REFERAT NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK
Disusun : Rudi Chandra ( 0710209 )
Pembimbing : dr. Liem Fenny, Sp.KK
BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT & KELAMIN RUMAH SAKIT IMMANUEL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG 2012
NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK ( N.E.T )
A. DEFINISI
Nekrolisis epidermal toksik atau Lyell's syndrome adalah kelainan kulit yang memerlukan penanganan segera yang paling banyak disebabkan oleh obat-obatan. Meskipun begitu, etiologi lainnya, termasuk infeksi, keganasan, dan vaksinasi, juga bisa menyebabkan penyakit ini. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) merupakan reaksi mukokutaneous khas onset akut dan berpotensi mematikan, yang biasanya terjadi setelah dimulainya pengobatan baru. Nekrolisis epidermal toksik merupakan varian yang paling berat dari penyakit bulosa seperti eritema multiforme dan sindrom Stevens-Johnson. Semua kelainan tersebut memberikan gambaran lesi kulit yang menyebar luas, dan terutama pada badan dan wajah yang melibatkan satu atau lebih membran mukosa. Pada Stevens-Johnson Syndrome (SJS) epidermal detachment meliputi kurang dari 10% luas permukaan kulit tubuh ; transitional SJS-TEN ditentukan dengan epidermal detachment antara 10 sampai 30 % ; dan TEN detachment lebih dari 30 %.
B. EPIDEMOLOGI
Kejadian di seluruh dunia adalah 0,5 sampai 1,4 kasus per 1 juta penduduk per tahun. Berdasarkan jenis kelamin didapatkan frekuensi yang sama pada pria dan wanita. NET dapat mengenai semua kelompok usia tetapi lebih umum pada orang tua, kemungkinan karena meningkatnya jumlah obat yang dikonsumsi oleh orang tua.
C. ETIOLOGI
Etiologi NET sama dengan Syndrome Steven Johnson. NET juga dapat terjadi akibat reaksi graft versus host, infeksi (virus,jamur,bakteri,parasit), dan sepertiga kasus nekrolisis epidermal toksika disebabkan oleh suatu reaksi terhadap suatu obat. Hubungan antara intake obat dan onset penyakit ini merupakan faktor yang sangat penting. SJS dan TEN umumnya dimulai kurang dari 8 minggu tapi lebih dari 4 hari sejak intake obat pertama kali. Obat yang paling sering menyebabkan penyakit ini adalah :
Sumber : Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine , 2008.
D. PATOFISIOLOGI
Patogenesisnya belum jelas. Ada yang menganggap bahwa N.E.T. merupakan bentuk berat Sindrome Stevens-Johnson karena pada sebagian para penderita SJS penyakitnya berkembang menjadi NET. Keduanya dapat disebabkan oleh alergi obat dengan spectrum yang hampir sama. Anggapan lain N.E.T. berbeda dengan SJS karena pada N.E.T tidak didapati kompleks imun yang beredar seperti pada Sindrome Stevens-Johnson dan eritema multiformis. Gambaran histologiknya juga berlainan. NET dipercaya merupakan immune-related cytotoxic reaction yang menghancurkan keratinosit yang mengekspresikan sebagai antigen asing. TEN menyerupai reaksi hipersensitivitas dengan karakteristik reaksi lambat pada pajanan pertama dan reaksinya meningkat cepat pada pajanan ulang. Adanya bukti yang mendukung beberapa jalur immunopatologik yang mengacu pada apoptosis keratinosit, sebagai berikut :
death receptor – mediated apoptosis
Aktivasi Fas-ligand pada membran keratinosit
Pelepasan protein dekstruktif (perforin and granzyme B) dari sitotoksik T limfosit akibat interaksi dengan sel yang mengekspresikan major histocompatability complex (MHC) class I.
Produksi berlebih dari T cell dan/atau macrophage-derived cytokines (interferon-γ, tumor necrosis factor-α [TNF-α], and various interleukins).
Drug-induced secretion of granulysin dari CTLs, natural killer cells, dan natural killer T cells.
E. MANIFESTASI KLINIS
N.E.T. umumnya terdapat pada orang dewasa. Pada umumnya N.E.T. merupakan penyakit yang berat dan sering menyebabkan kematian karena gangguan keseimbangan cairan/elektrolit atau karena sepsis. Gejalanya mirip Sindrome Steven Johnson. Penyakit mulai secara akut dengan gejala prodromal. Penderita tampak sakit berat dengan demam tinggi, mialgia, cephalgia, dan kesadaran menurun. Kelainan kulit mulai dengan eritema generalisata kemudian banyak timbul vesikel dan bula, dapat pula disertai purpura. Kelainan pada kulit dapat disertai kelainan pada bibir dan selaput lendir mulut berupa erosi, ekskoriasi, dan perdarahan sehingga terbentuk krusta berwarna merah hitam. Kelainan semacam itu dapat pula terjadi di orifisium genitalia eksterna. Juga dapat disertai kelainan pada mata seperti pada syndrome Steven Johnson. Pada N.E.T. yang terpenting ialah terjadinya epidermolisis, yaitu epidermis terlepas dari dasarnya yang kemudian menyeluruh. Gambaran klinisnya menyerupai kombustio. Adanya epidermolisis menyebabkan tanda Nikolski positif pada kulit yang eritematosa, yaitu jika kulit ditekan dan digeser, maka kulit akan terkelupas. Epidermolisis mudah dilihat pada tempat yang sering terkena tekanan, yakni pada punggung dan bokong karena biasanya penderita berbaring. Pada sebagian para penderita kelaina kulit hanya berupa epidermolisis dan purpura, tanpa disertai erosi, vesikel, dan bula. Kuku dapat terlepas (onikolisis). Pada organ tubuh dapat terjadi perdarahan traktus gastrointestinal, trakeitis, bronkopneumonia, udem paru, emboli paru, gangguan keseimbangan cairan & elektrolit, syok hemodinamik & kegagalan ginjal.
Pada penyakit ini terlihat adanya trias kelainan berupa : 1. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, papul, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula
kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Dapat juga disertai purpura. 2. Kelainan selaput lendir di orifisium Kelainan di selaput lendir yang sering ialah pada mukosa mulut, kemudian genital, sedangkan dilubang hidung dan anus jarang ditemukan. Kelainan berupa vesikal dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi serta krusta kehitaman. Juga dapat
terbentuk pescudo membran. Di bibir yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam yang tebal. Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan esophagus. Stomatitis ini dapat menyeababkan penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menimbulkan keluhan sukar bernafas. 3. Kelainan mata
Kelainan mata yang sering ialah konjungtivitis, perdarahan, simblefarop,
ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis. Lebih dari 80% pasien memperlihatkan adanya kelainan yang melibatkan konjungtiva, ulserasi kornea, uveitis anterior dan synechiae.
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Hal yang terpenting yaitu adanya riwayat mengkonsumsi obat-obatan tertentu. Semua kasus yang dicurigai NET harus dilakukan biopsi kulit dan hapusan immunofluoresensi harus dipertimbangkan jika diduga pemphigus / pemphigoid. Laboratorium didapatkan adanya leukositosis, peningkatan enzim transaminase serum, albuminuria, gangguan fungsi ginjal, dan ketidakseimbangan elektrolit. Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi TBC dan bronkopneumonia. Pemeriksaan histopatologi, lesi awal menunjukkan apoptosis keratinosit lapisan suprabasal dan pada lesi lanjut didapatkan adanya n
ekrosis di seluruh lapisan epidermis, kecuali stratum korneum, dan terpisahnya lapisan
epidermis dan dermis.
Sumber : Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 2008.
G. DIAGNOSIS BANDING
Sumber : Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 2008.
Sumber : Hongkong medical diary, 2008.
H. PENATALAKSANAAN
Hanya pasien dengan keterlibatan kulit yang terbatas dan SCORTEN 0-1 yang tidak perlu penanganan spesial. Sedangkan yang lain harus ditanganin di unit intensive atau burn centers. Supportive cares terdiri dari : mempertahankan kestabilan hemodinamik dan
mencegah komplikasi yang mengancam nyawa.
Sumber : Hongkong medical diary, 2008.
Pengobatan Simptomatik : -
Fluid replacement secepatnya : Tujuan
Mengatur+mempertahankan keseimbangan
cairan & elektrolit. -
o
Suhu ruangan dipertahankan 28 – 30 C cegah hipotermi.
- Early nutritional support pasang nasogastric tube (NGT), diet tinggi protein & rendah garam -
Debridement ekstensif dan agresif tidak dianjurkan.
-
Konsultasi disiplin ilmu lain : THT, mata, penyakit dlm, gigi dan mulut, dll . Mata diperiksa oleh ophthalmologist setiap hari, beri artificial tears, tetes mata antibiotik, dan vitamin A setiap 2 jam sekali selama fase akut dan cegah synechiae. Mulut berkumur dengan larutan antiseptik atau antifungal beberapa kali sehari.
Pengobatan Spesifik : -
Kortikosteroid
masih kontroversial, beberapa penelitian menyatakan penggunaan
pada fase akut dapat mencegah perluasan penyakit, dan penelitian lain menyatakan
steroid tidak menghentikan progresivitas penyakit dan bahkan berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan efek samping, terutama sepsis. -
Intravenous Immunoglobulin
gunakan high-dose dikarenakan adanya fas-mediated
cells death.
-
Cyclosporin A
agent immunosupresif kuat; mekanismenya dengan mengaktivasi
Th2 sitokine, inhibisi CD8+ sitotoksik, dan anti-apoptosis dengan inhibisi Fas-L, nuclear factor dan TNF-α. -
Plasmapheresis/Hemodialysis
tujuannya untuk mengeluarkan medikasi penyebab,
metabolitnya, atau mediator inflamasi (sitokin), tapi tidak direkomendasikan karena kurangnya bukti dan risiko yang berhubungan dengan kateter intravaskular. -
Anti-TNF agents
anti-TNF monoclonal antibodi telah berhasil dipakai untuk
mengobati beberapa pasien, tapi pada penggunaan thalidomide dihentikan karena dilaporkan banyaknya kematian.
I. KOMPLIKASI
Infeksi sistemik dan septisemia
Syok dan gagal multi-organ (MODs)
Komplikasi
pada
ginjal
berupa
nekrosis
tubular
akut
akibat
terjadinya
ketidakseimbangan cairan bersama-sama dengan glomerolunefritis.
Pengelupasan membran mukus dalam mulut, tenggorokan, dan saluran pencernaan; ini menimbulkan kesulitan dalam makan dan minum sehingga mengarah pada dehidrasi dan kekurangan gizi.
Pengelupasan konjungtiva dan gangguan-gangguan mata lainnya bisa menyebabkan kebutaan.
Infeksi kulit oleh bakteri, scars and nail dystrophy, hiperpigmentasi atau hipopigmentasi
Adhesi genital dyspareunia, nyeri dan perdarahan
Pneumonia atau respiratory failure
J. PROGNOSIS
Jika penyebabnya infeksi, maka prognosisnya lebih baik daripada jika disebabkan alergi terhadap obat. Kalau kelainan kulit luas, meliputi 50-70% permukaan kulit, prognosisnya buruk. Luas kulit yang terkena mempengaruhi prognosisnya. Juga bila terdapat
purpura yang luas dan leukopenia. Angka kematian NET 30-35% , jadi lebih tinggi daripada Sindrome Steven Johnson yang hanya 5 % atau 10-15% pada bentuk transisional, karena N.E.T. lebih berat. SCORTEN merupakan sistem skoring prognostik yang dikembangkan untuk menghubungkan mortalitas dengan parameter yang terpilih.
Sumber : Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 2008.
DAFTAR PUSTAKA
1. Valeyrie and Roujeau, 2008. Epidermal Necrolysis (Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis). “Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine”, USA th : 7 edition, chapter 39, page 349-355. 2. Sanchez and Raimer, 2001. Toxic Epidermal Necrolysis (TEN). “Vademecum Dermatopathology”. Georgetown, USA : page 68-69.
3. HHF Ho, 2008. Diagnosis and Management of Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. “Hongkong Medical Diary” : volume 13, number 10. Diunduh
tanggal 6 maret 2012. http://www.fmshk.org/database/articles/03mb3_4.pdf.
4. Ghislain and Roujeau, 2002. Treatment of severe drug reactions: Stevens-Johnson Syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis and Hypersensitivity syndrome. “Dermatology
Online Journal” : volume 8, number 1. Diunduh tanggal 6 maret 2012. http://dermatology-s10.cdlib.org /DOJvol8num1/reviews/drugrxn/ghislain.html.
5. Cohen, 2011. Toxic Epidermal Necrolysis. “Medscape reference” : america. Diunduh tanggal 7 maret 2012. http://emedicine.medscape.com/article/229698-overview #showall.