PRESENTASI KASUS
I.
II.
Identitas Pasien
Nama
: Tn. Panut Susanto
No. RM
: 30.85.15
Usia
: 57 tahun
Alamat
: Mangunan RT16, Mangunan, Dlingo, Bantul
Jenis Kelamin
: Laki - laki
Agama
: Islam
Pendidikan
: SMA
Masuk RS
: 26 Januari 2013 pukul 11.09 WIB
Diagnosis awal
: snake bite
Anamnesis
Keluhan utama
: os datang dari IGD, sadar, diantar keluarga dengan keluhan bengkak pada bagian tangan kanan karena digigit ular pada pukul 09.00 WIB hari tersebut. Os menjelaskan bahwa ular berwarna hijau dan ekor berwarna merah.
Keluhan tambahan : os mengeluh bengkak pada lengan kanan, bengkak bertambah hingga bahu dan dada dan terasa nyeri, pusing -, mual muntah-
III.
Pemeriksaan fisik
a. Keadaan Umum Baik, CM b. Kesadaran E4V5M6 c. Vital Sign TD
: 130/90 mmHg
Nadi
: 84x/menit
Respirasi
: 20x/menit
Suhu
: 36,5 C
O
1
d. Head to toe Cephal
: CA -/-, SI -/-
Thorax
: P = simetris +, sonor +, vesikuler + C = S1 S2 murni regular
Abdomen
: supel, timpani +, peristaltik +, NT –
Ekstremitas
: dextra superior = udem +, NT+ dari regio pektoralis s/d palmaris
dextra
IV.
Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap
Hemoglobin
14,4 gr%
Angka leukosit
10,42 ribu/ul ()
Angka Eritrosit
5,46 ribu/ul
Angka trombosit
262 ribu/ul
Hematokit
45,9 %
Hitung jenis leukosit Eosinofil
2
Basofil
0
Batang
2
Segmen
76
Limfosit
18
Monosit
2
Masa perdarahan
3
Masa pembekuan
9
PPT
12,6
APTT
28,7
Control APTT
14,7
Control PTT
33,1
2
Ro thorax
Cardiomegali, pulmo dbn
EKG
Normal sinus rythm
V.
Diagnosis
Snake bite grade 3
VI.
Terapi
Perbaikan keadaan umum Infus NaCl 20 tpm Medikasi
VII.
-
Tetagram injeksi 1A
-
Anti Bisa Ular II FL (0,5 cc i.m dan 0,5 cc drip dalam NaCl)
-
Cefotaxim injeksi 1 gr/12 jam
-
Dexamethason injeksi 1A/12 jam
-
Ketorolac injeksi 1A/12 jam
-
Ranitidin 1A/ 12 jam
Follow up
27 Januari 2013 Pukul 22.30 WIB Konsul ke dr. Suryo Habsara, Sp.B Advis : -antihistamin 3x1 -
Kalmethason 3x1
28 Januari 2013 3
06.30 WIB S
os mengeluh bengkak pada lengan kanan, bengkak bertambah hingaa bahu dan dada.
O
KU
= sedang, anemis
VS
TD
=130/80 mmHg
N
=84 x/menit
S
=36,5 C
R
=20x/menit
O
Head to toe Cephal
: SI : -/-, CA -/-
Thorax
: simetris +, sonor +, vesikuler+
Abdomen
: supel, timpani +, peristaltik +
Ekstremitas
: dextra superior = udem +, NT+ dari regio pektoralis s/d palmaris dextra
A
snake bite
P
observasi KU/vital sign Infuse NaCl 16 tpm Medikasi : -
Anti histamine 3 x1
-
Kalmetashon 3 x1
-
Cefottaxim 2 x1
-
Ranitidin 2 x 1
-
Ketorolac 2 x1
Konsul ke UPD
Pukul 14.30 WIB Konsul dr. Warih via telfon Advis : -
Trikodazole 3 x 500 mg
-
Cefotaxime 2 x 1 gr
-
ABU 3 x 1FL (drip N5 500ml dan dihabiskan dalam waktu 8 jam, ganti N5 100cc) 4
Pukul 16.30 WIB dr. Warih telfon Advis : -
ABU injeksi 3 x 1FL (drip N5 100 habis dalam waktu 1 jam)
-
Besok pagi cek CPK
Pemeriksaan darah lengkap per 28 Januari 2013 Hemoglobin
14,4 gr%
Angka leukosit
17,9 ribu/ul ()
Angka Eritrosit
5,02 ribu/ul
Angka trombosit
215 ribu/ul
Hitung jenis leukosit Eosinofil
0
Basofil
0
Batang
1
Segmen
84
Limfosit
9
Monosit
6
Ratikulosit
2,5
PPT
>120
APTT
>120
Control APTT
13,9
Control PTT
34,0
D-Dimer
menyusul
Bilirubin Total
0,31
Bilirubin direk
0,4
Bilirubin indirek
0,27
5
PEMBAHASAN
A. PENDAHULUAN
Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara yang menghambat respons pada sistem biologis dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Keracunan sering dihubungkan dengan pangan atau bahan kimia. Pada kenyataannya bukan hanya pangan atau bahan kimia saja yang dapat menyebabkan keracunan. Di sekeliling kita ada racun alam yang terdapat pada beberapa tumbuhan dan hewan. Salah satunya adalah gigitan ular berbisa yang sering terjadi di daerah tropis dan subtropis. Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia. Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa memiliki sepasang taring pada bagian rahang atas. Pada taring tersebut terdapat saluran bisa untuk menginjeksikan bisa ke dalam tubuh mangsanya secara subkutan atau intramuskular. Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular terdiri atas 20 atau lebih komponen terutama protein (90%), yang memiliki aktivitas enzimatik. Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase-A yang bertanggung jawab pada aktivitas neurotoksik presinaptik, rabdomiolisis dan kerusakan endotel vascular. Enzim hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun. Polipeptida lain yaitu, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim- enzim tersebut menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis atau zat – zat peradangan lain seperti kinin, histamin dan substansi cepat lambat sehingga timbul reaksi anafilaksis. (de J ong, 2010).
6
B. JENIS ULAR
Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada spesies, ukuran ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu atau kedua taring menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi. Sebenarnya dari kira – kira ratusan jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali yang berbisa, dan dari golongan ini hanya beberapa yang berbahaya bagi manusia. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular berbisa dapat diklasifikasikan ke dalam 4 familli utama yaitu: 1. Famili Elapidae memiliki taring pendek dan tegak permanen, contohnya adalah ular cabai ( Maticora intestinalis), ular weling ( Bungarus candidus), ular sendok ( Naja sumatrana), dan ular king kobra (Ophiophagus hannah). 2. Familli Viperidae memiliki taring yang panjang yang secara normal menempe pada rahang atas, tapi jika ular menggigit, taring tersebut akan berdiri tegak. Jenis ini dibagi menjadi dua yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ untuk mendeteksi mangsa berdarah panas ( pit organ), yang terletak di antara lubang hidung dan mata. Contohnya adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah (Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris). 3. Familli Hydrophidae, misalnya ular laut 4. Familli Colubridae umumnya bisa yang dihasilkannya bersifat lemah dan ular berbisa kebanyakan termasuk dalam family ini. Contohnya adalah ular sapi ( Zaocys carinatus), ular tali ( Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular jali ( Ptyas korros), dan ular serasah (Sibynophis geminatus) Untuk menduga jenis ular yang mengigit adalah ular berbisa atau tidak dapat dipakai rambu – rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan sebagai berikut: Ciri – ciri ular tidak berbisa: 1. Bentuk kepala segi empat panjang 2. Gigi taring kecil 3. Bekas gigitan, luka halus berbentuk lengkung Ciri – ciri ular berbisa: 1. Kepala segi tiga 7
2. Dua gigi taring besar di rahang atas 3. Dua luka gigitan utama akibat gigi taring 4. Pupil elips
Gambar 1. Bekas Gigitan Ular
Gambar 2. Ciri ular tidak berbisa dan ular berbisa
C.
PATOFISIOLOGI
Bisa diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah mata. Racun ini disimpan di bawah gigi taring pada rahang atas. Rahang dapat bertambah sampai 20 mm pada ular berbisa yang besar. Dosis racun pergigitan bergantung pada waktu yang yang 8
terlewati setelah gigitan yang terakhir, derajat ancaman dan ukuran mangsa. Respon lubang hidung untuk pancaran panas dari mangsa memungkinkan ular untuk mengubah ubah jumlah racun yang dikeluarkan. Bisa ular merupakan campuran racun paling kompleks yang berisi ikatan enzimatik protein toksik dan non-toksik, termasuk pula karbohidrat dan metal. Ada lebih dari 20 enzim berbeda antara lain fosfolipase A2, B, C, D, hidrolase, fosfatase, protease, esterase, asetilkolinesterase, transaminase, hialuronidasem fosfodiesteras, ATPase, nukleotidase (DNA dan RNA). Komponen non-enzimatik dikategorikan sebagai neurotoksin andhemoragen. Spesies yang berbeda memiliki proporsi yang berbeda tetapi sesuai campuran tersebut di atas. Macam bisa ular antara lain neurotokoksin, yang menyerang saraf dan bersifat pertentangan dengan tranmisi ransangan saraf. Hemotoksin, yang diserang darah dan sitem peredarannya. Kardiotoksin, yang diserang dalah otot jantung. Miksotoksin, yang diserang cairan di dalam tubuh. Patofisiologi dasar morbiditas dan mortalitasnya yaitu kerusakan fungsi seluler normal oleh enzim dan toksin tersebut..Diketahui beberapa enzim diantaranya adalah (1) hialuronidase, bagian dari racun dimana merusak jaringan subkutan dengan menghancurkan mukopolisakarida; (2) fosfolipase-A yang bertanggung jawab pada aktivitas neurotoksik presinaptik, rabdomiolisis dan kerusakan endotel vascular serta memainkan peran penting pada hemolisis sekunder untuk efek eritrolisis pada membran sel darah merah dan menyebabkan nekrosis otot; dan (3)enzim trobogenik menyebabkan pembentukan clot fibrin, yang akan mengaktivasi plasmin dan menghasilkan koagulopati yang merupakan konsekuensi hemoragik. Enzim yang lain memiliki aksi yang berbeda. Variasi komposisi
9
racun menjelaskan perbedaan klinis gejala ofitoksoemia. Ofitoksoemia meningkatkan permeabilitas kapiler yang menyebabkan penurunan volume darah dan plasma ke spatium ekstraseluler. Akumulasi cairan di spasium interstitial bertanggungjawab terhadap edema. Penurunan volume intravaskuler bisa menjadi cukup fatal terhadap sirkulasi dan menyebabkan syok. Bisa ular juga memiliki aksi sitolitik dan menyebabkan nekrosis lokal dan infeksi sekunder. Bisa ular juga memiliki aksi neurotoksik langsung yang menyebabkan paralisis pernafasan, serangan jantung, dan miotoksik dan efek nefrotoksik.
Skema 1. Patofisiologi snake bite
C.
GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis dikelompokkan berdasarkan efek yang terjadi .Pengelompokkan ini berguna bagi tenaga kesehatan untuk penanganan selanjutnya dalam pemberian anti venom sesuai dengan pengelompokkan tersebut. Efek yang ditimbulkan akibat gigitan ular dapat dibagi 3 (tiga) kelompok : 1. Efek Lokal
10
Beberapa spesies seperti coral snakes, krait akan memberikan efek yang agak sulit di deteksi dan hanya bersifat minor tetapi beberapa spesies, gigitanya dapat menghasilkan efek yang cukup besar seperti : bengkak, melepuh, perdarahan, memar sampai dengan nekrosis.yang mesti diwaspadai adalah terjadinya syok hipovolemik sekunder yang diakibatkan oleh berpindah cairan vaskuler ke jaringan akibat pengaruh bisa ular tersebut. 2. Efek Umum / Sistemik Gigitan ular ini akan menghasilkan efek sistemik yang non-spesifik seperti : nyeri kepala, mual dan muntah, nyeri perut, diare sampai pasien menjadi tidak sadarkan diri. Gejala yang ditemui seperti ini sebagai tanda bahaya bagi tenaga kesehatan untuk memberi pertolongan sesegera mungkin. 3. Efek Sistemik Spesifik (Specific systemic effect ) Dalam hal ini specific systemic effect dapat dibagi berdasarkan : a) Koagulopati Beberapa spesies ular dapat menyebabkan terjadinya koagulopati (penggumpalan unsur darah). Tanda-tanda klinis yang dapat ditemui adalah keluarnya darah terus menerus dari tempat gigitan, venipuncture, dari gusi, dan bila berkembang akan menimbulkan hematuria, haematemesis, melena dan batuk darah. b) Neurotoksik Gigitan ular ini dapat menyebabkan terjadinya flaccid paralysis (kelumpuhan flaksid). Ini biasanya berbahaya bila terjadi paralysis pada pernafasan. Biasanya tandatanda yang pertama kali di jumpai adalah pada saraf cranial seperti ptosis, opthalmophlegia progresif. Bila tidak mendapat anti venom / Serum Anti Bisa Ular (SABU) akan terjadi kelemahan anggota tubuh dan paralisis pernafasan. Biasaya full paralysis akan memakan waktu lebih kurang 12 jam, pada beberapa kasus biasanya menjadi lebih cepat (3 jam setelah gigitan). c) Myotoxicity Myotoxiticty hanya akan ditemui bila seseorang diserang atau digigit oleh ular laut. Ular yang berada didaratan biasanya tidak ada yang menyebabkan terjadinya myotoxicity berat. Tanda dan gejala adalah : nyeri otot, tenderness, myoglobinuria,dan berpotensi untuk terjadinya gagal ginjal, hiperkalemia dan cardiotoxicity. d.
Sindrom kompartemen 11
Sindrom kompartemen merupakan salah satu gejala khusus gigitan ular berbisa, yaitu terjadi edem (pembengkakan) pada tungkai ditandai dengan 5P: pain (nyeri), pallor (muka pucat), paresthesia (mati rasa), paralysis (kelumpuhan otot), pulselesness (denyutan menghilang).
Gejala yang muncul berdasarkan jenis ular : 1.Gigitan Elapidae a. Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut. b. Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit yang rusak. c. Setelah digigit ular - 15 menit: muncul gejala sistemik. - 10 jam: paralisis urat-urat di wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar bicara, susah menelan, otot lemas, kelopak mata menurun, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur, mati rasa di sekitar mulut. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam. 2. Gigitan Viperidae/Crotalidae a. Gejala lokal timbul dalam 15 menit, atau setelah beberapa jam berupa bengkak di dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota badan. b. Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam. c. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat. 3. Gigitan Hydropiidae a. Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah. b. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobulinuria yang ditandai d engan urin warna coklat gelap (ini penting untuk diagnosis), ginjal rusak, henti jantung. 4. Gigitan Crotalidae/ Viperidae. a. Gejala lokal: ditemukan tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis, nyeri di daerah gigitan,
semua
ini
indikasi
perlunya
pemberian
polivalen
crotalidae
antivenin.
b. Anemia, hipotensi, trombositopeni.
12
c. Rasa nyeri pada gigitan ular mungkin ditimbulkan dari amin biogenik, seperti histamin dan 5-hidroksitriptamin, yang ditemukan pada Viperidae. d. Sindrom kompartemen merupakan salah satu gejala khusus gigitan ular berbisa, yaitu terjadi edem (pembengkakan) pada tungkai ditandai dengan 5P: pain (nyeri), pallor (muka pucat), paresthesia (mati rasa), paralysis (kelumpuhan otot), pulselesness (denyutan). Tabel 1. Klasifikasi gigitan ular Derajat
Venerasi
Luka
Nyeri
Edema/
Sistemik
eritema 0
0
+
+/-
<3 cm/ 12 jam
0
I
+/-
+
-
3-12 cm/ 12
0
jam II
III
+
+
+
+
+++
+++
12-25 cm/ 12
+ neurotoksik, mual, pusing,
jam
syok
>25 cm/ 12
++ ptekhi, syok, ekhimosis
jam IV
+++
+
+++
>ekstremitas
++ gagal ginjal akut, koma, perdarahan
Tanda dan gejala lokal 1. Tanda gigi taring (Fang sign) 2. Nyeri lokal 3. Pendarahan lokal 4. Bruising 5. Limfangitis 6. Bengkak, merah, panas 7. Melepuh 8. Nekrosis
13
Gejala dan tanda sistemik umum Mual, muntah, malaise, nyeri abdominal, lemah Gejala lain : 1. Kardiovascular (Viperidae) Kelainan penglihatan, pusing, kolaps, syok hipotensi, aritmia kordis, udem pulmo, udem konjungtiva. 2. Kelainan perdarahan dan pembekuan darah (Viperidae) Perdarahan dari luka gigitan, perdarahan sitemik spontan – dari gusi, epistaksis, hemopteu, hematemesis, melena, hematuri, perdarahan per vaginam, perdarahan pada kulit seperti petechiae, purpura, ekimosis dan pada mukosa seperti pada konjungtiva, perdarahan intracranial 3. Neurologik (Elapidae) Kelemahan, parestesia, abnormalitas dari penciuman dan perabaan, kelopak mata berat, ptosis, oftalmoplegia eksternal, paralisis otot wajah dan otot lain yang diinervasi nervus kranialis, afoni, susah menelan, paralisis flaksid umum dan sistem respirasi. 4.Otot rangka (Hidrophidae) Nyeri menyeluruh, kaku dan nyeri otot, trismus, myoglobinuria, hyperkalaemia, serangan jantung, gagal ginjal akut 5. Ginjal (Viperidae, ular laut) LBP (lower back pain), haematuria, haemoglobinuria, myoglobinuria, oliguria/anuria, tanda dan gejala dari uraemia (nafas asidosis, hiccups, mual, nyeri perut pleuritis) 6. Endokrin (insufisiensi pituari dan adrenal akut) Fase akut: syok, hypoglikemia Fase kronik (beberapa bulan sampai tahun setelah gigitan): lemah, kehilangan rambut pubis sekunder, amenorea, atrofi testikuler, hipotiroidisme. (Warrel, 2005)
14
Gambar 3. Gejala umum snake bite E. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan meliputi 1. Anamnesis lengkap berupa riwayat gigitan ular, antara lain : letak gigitan ular, kapan digigit ular, jenis ular yang menggigit 2. Pemeriksaan fisik Perkembangannya dilihat setiap 12 jam a. Status lokalis : adanya nyeri tekan edema, penyebaran ke limfonodi regional, gambaran trombosis intravaskuler (edema, dingin, imobil, pulsasi arterial tidak terpalpasi), gambaran nekrosis (kulit gelap dengan batas jelas, penurunan sensasi, dan bau daging yang membusuk) b. Pengukuran tekanan darah respirasi. Pemeriksaan kulit dan membran mukosa untuk melihat petekhia, purpura, ekimosis. Pemeriksaan sulcus gingivalis menunjukkan
15
perdarahan spontan. Nyeri perut mungkin iskemia renalis akut. Perdarahan intrakranial ditandai dengan lateralisasi gejala neurologis, konvulsi, penurunan kesadaran) 3. Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan darah: Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea, elektrolit, waktu perdarahan, waktu pembekuan, waktu protrombin, fibrinogen, APTT, D-dimer, uji faal hepar, golongan darah, uji cocok silang. b. Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria c. EKG d. Foto dada
F. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding untuk snake-bite antara lain : 1. Anafilaksis 2. Trombosis vena bagian dalam 3. Trauma vaskular ekstrimitas 4. Scorpion Sting 5. Syok septik 6. Luka infeksi
G. PENATALAKSANAAN
Tujuannya adalah: 1.
Menghalangi/ memperlambat absorbsi bisa ular
2.
Menetralkan bisa ular yang sudah masuk kedalam sirkulasi darah
3.
Mengatasi efek lokal dan sistemik
Tindakan penatalaksanaan: 1. Pertolongan pertama Tujuan pertolongan pertama : 16
a. penghambatan penyerapan sistemik bisa ular b. pencegahan komplikasi sebelum pasien dapat menerima perawatan medis (di apotik atau rumah sakit) c. kontrol awal gejala berbahaya dan keracunan d. persiapan transportasi untuk mendapatkan pertolongan medis Pertolongan pertama yang direkomendasikan a. Menenangkan pasien yang mungkin cemas. b. Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan. c. Imobilisasi daerah gigitan dengan balut bidai. d. Pertimbangkan tekanan imobilisasi untuk beberapa gigitan Elapid. e. Hindari intervensi pada luka karena dapat menyebabkan infeksi, perdarahan lokal, dan absorpsi bisa ular. f.
Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, dilakukan balut mengelilingi daerah gigitan, dimulai dari bagian distal hingga bagian proksimal untuk mendapatkan balutan yang kuat. Kegiatan mengikat ini kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan. Tujuan ikatan adalah untuk menahan aliran limfe, bukan menahan aliran vena atau arteri.
2. Assesmen klinis dan resusitasi a. Penatalaksanaan jalan nafas dan fungsi pernafasan Bila terjadi kelumpuhan pernapasan dilakukan intubasi, dilanjutkan dengan memasang respirator untuk ventilasi b. Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid c. Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas diatas luka, imobilisasi dengan bidai.
17
Gambar 4. Imobilisasi dengan bidai g. Ambil 5-10 mL darah untuk pemeriksaan lab darah seperti: waktu trotombin, APTT, Ddimer, fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit (terutama K), CK. Periksa waktu pembekuan, jika >10 menit, menunjukkan kemungkinan adanya koagulopati. h. Apus tempat gigitan dengan venom detection
3. Terapi SABU SABU (Serum Anti Bisa Ular), berasal dari serum kuda yang dikebalkan. Teknik pemberian SABU: 2 vial (1 vial= 5 mL) IV dalam 500 mL NaCl 0,9% atau dextrose 5% dengan kecepatan 40-80 tetes/ menit. Maksimal 100 mL (20 vial). Infiltrasi lokal pada luka tidak dianjurkan. Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian luka.
18
Tabel 2. Pemberian SABU Klasifikasi Derajat 0 dan I
Tindakan tidak diperlukan SABU. Lakukan evaluasi dalam 12 jam, jika derajat meningkat maka berikan SABU
Derajat II
3-4 vial SABU
Derajat III
5-15 vial SABU
Derajat IV
berikan penambahan 6-8 vial SABU.
Pedoman terapi SABU menurut Luck a. Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit b. Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom c. Jika koagulopati tidak membaik (fibrinogen tidak meningkat, w aktu pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya, dst d. Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan menurun) maka monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah untuk memonitor perbaikannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita dengan gigitan Viperidae untuk tidak menjalani operasi minimal 2 minggu setelah gigitan
4. Terapi suportif Terapi suportif lainnya pada keadaan : a. Gangguan koagulopati berat: beri plasma fresh-frizen (dan antivenin) b. Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen, vitamin K, tranfusi trombosit c. Hipotensi: beri infus cairan kristaloid d. Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat e. Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota badan f. Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi 19
g. Gangguan neurologik: beri neostigmin (asetilkolinesterase), diawali dengan sulfas atropine 5. Terapi profilaksis 1) Pemberian suntikan anti-tetanus, atau bila korban pernah mendapatkan toksoid, maka diberikan satu dosis toksoid tetanus. 2) Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara intramuskular atau antibiotika spektrum luas. Kuman terbanyak yang dijumpai adalah P.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis 3) Pemberian sedasi atau analgesik untuk menghilangkan rasa takut cepat mati/panik.
H. PREVENTIF
1. Penduduk di daerah di mana ditemuakan banyak ular berbisa dianjurkan untuk memakai sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih dari 50% kasus gigitan ular terjadi pada daerah paha bagian bawah sampai kaki 2. Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular 3. Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan bersemak – semak 4. Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti 5. Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang tergigit akibat kejadian semacam itu.
I. PROGNOSIS
Gigitan ular berbisa berpotensi menyebabkan kematian dan keadaan yang berat, sehingga perlu pemberian antibisa yang tepat untuk mengurangi gejala. Ekstremitas atau bagian tubuh yang mengalami nekrosis pada umumnya akan mengalami perbaikan, fungsi normal, dan hanya pada kasus-kasus tertentu memerlukan skin graft . 20
DAFTAR PUSTAKA
1. Ahiwar. 2012. Poisonous Snake Bite. New Delhi 2. De Jong, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. EGC: Jakarta 3. Niasari, Nia dkk. 2003. Gigitan Ular Berbisa dalam Sari Pediatri , Vol. 5, No. 3, Desember 2003. Jakarta : IKA-FKUI 4. Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
5. Warrel, E David, et al . 2005. Guidelines for the Clinical Management of Snake bites in the South-East Asia Region. New Delhi :WHO 6. http://www.tbmcalcaneus.org/90/ diakses pada 28 Januari 2013 7. http://www.idai.or.id/saripediatri/pdfile/5-3-1.pdf diakses pada 28 Januari 2013 8. http://dokternetworkangk97.blogspot.com/2011/02/tindakan-dan-terapi-yang-dilakukan pada.html diakses pada 28 Januari 2013 9. http://sanirachman.blogspot.com/2009/10/snake-bite-pedoman-penatalaksanaan.html diakses pada 28 Januari 2013 10. http://pentinggaksihh.blogspot.com/2012/05/penatalaksanaan-gigitan-ular-berbisa.html diakses pada 28 Januari 2013
21