MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
“Ekonomi Islam”
Kelompok 4
Putri Setya Rahmitha
105040204111016
Dewi Fajarwati
105040204111018
Yhosiana Santoro
105040206111001
Ida Ayu Wahyuningtyas
105040207111001
Astri Septianingsih
105040207111002
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2012
BAB I PENDAH1ULUAN 1.1 Latar Belakang Meskipun ada kesamaan timbulnya kegiatan ekonomi, yakni disebabkan oleh adanya kebutuhan dan keinginan manusia. Namun karena cara manusia dalam memenuhi alat pemuas kebutuhan dan cara mendistribusikan alat kebutuhan tersebut didasari filosofi yang berbeda, maka timbullah berbagai bentuk sistem dan praktik ekonomi dari banyak negara di dunia. Perbedaan ini tidak terlepas dari pengaruh filsafat, agama, ideologi, dan kepentingan politik yang mendasari suatu negara penganut sistem tersebut. Ilmu ekonomi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan dan sarana langka yang memiliki kegunaan-kegunaan alternatif. Ilmu ekonomi adalah studi yang mempelajari cara-cara manusia mencapai kesejahteraan dan mendistribusikannya. Kesejahteraan yang dimaksud adalah segala sesuatu yang memiliki nilai dan harga, mencakup barang-barang dan jasa yang diproduksi dan dijual oleh para pebisnis. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kemudian barang-barang dan jasa itu (kekayaan) itu dibagi-bagikan. Cara yang ditempuh oleh masyarakat untuk menjawab pertanyaan ini dengan menentukan sistem ekonomi yang diterapkan. Mau tahu bagaimana ekonomi syari’ah atau ekonomi Islam bisa berperan secara aktif di Indonesia ? Tengoklah pola dasar masyarakat Indonesia melakukan aktivitasnya. Jangan hanya berkutat di perkotaan untuk menampung perputaran uang dan menggunakan “logika” intermediasi. Indonesia sampai saat ini masih merupakan negara agraris, penghasil produk pertanian dan sumber daya alam yang melimpah ruah. Jangan terkooptasi oleh pemikiran bahwa modernitas adalah bentuk industrialisasi yang harus meninggalkan fase agraris menuju fase “industri”. Itu merupakan pandangan ekonomi “modern”
yang “kuno”, atau dalam bahasa Tukul Arwana, ekonomi modern “katrok”. Tidak membumi… ekonomi yang benar ya ekonomi yang membumi, yang bermanfaat bagi masyarakatnya, bagi “buminya” sendiri… jangan menjadi makhluk asing di negerinya sendiri. Logika ekonomi sederhana, jelas harus mengikuti tiga pola keseimbangan “produksi-intermediasi-retail”. Tidak ada lain. Semua negara yang ingin maju perekonomiannya, jelas harus mempertimbangkan keseimbangan ketiga pola ekonomi tersebut. Ekonomi syariah kita ternyata masih didominasi pola intermediasi (perbankan, asuransi, dan jasa lainnya) saja, itupun intermediasi yang hanya mengakomodasi kepentingan produksi ataupun retail “kota”. Indonesia kan 70-90% masyarakatnya ada di “desa”. Selama ini sektor pertanian merupakan sektor yang paling sedikit mendapat perhatian pemerintah. Pembahasan tentang pertanian umumnya dilakukan tanpa dikaitkan dengan sektor lainnya. Akibatnya pembangunan ekonomi dipandang sebagai bagian yang terpisah dari pembangunan di bidang lainnya seperti bidang industri, perdagangan dan jasa serta sektor ekonomi lainnya. Padahal pandangan yang sempit inilah yang menyebabkan pembangunan pertanian di negara-negara berkembang menjadi sangat jauh tertinggal dibandingkan pembangunan pertanian dan pembangunan ekonomi negara-negara maju. Pertanian adalah bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai bidang lainnya seperti industri, perdagangan, jasa, pertanahan dan lain sebagainya. Semuanya adalah bagian integral yang saling berhubungan erat. Karena itu ketika Islam berbicara tentang politik pertanian, politik perindustrian, politik pertanahan, politik perburuhan, politik perdagangan –baik perdagangan dalam negeri maupun perdagangan luar negeri—semuanya dibahas dalam satu kesatuan yang berhubungan erat. Semua bidang tersebut dalam perspektif Islam diarahkan kepada upaya mewujudkan tercapainya tujuan politik ekonomi menurut Sistem Ekonomi Islam. Politik ekonomi Islam adalah penerapan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk menjamin pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) tiap indidvidu masyarakat secara keseluruhan, disertai adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhankebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan mereka.
1.2 Tujuan Untuk mengetahui sistem dan prinsip-prinsip dasar pada ekonomi islam.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Ekonomi Islam atau Syariah menurut beberapa Ekonom Islam •
Muhammad Abdul Mannan
“Ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam”. •
M.M Metwally
“Ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari per4ilaku muslim (yang beriman) dalam suatu masyarakat Islam yang mengikuti Al Quran,Hadits Nabi,Ijma dan Qiyas”. •
Hasanuzzaman
“Ilmu ekonomi Islam adalah pengetahuan dan aplikasi dari anjuran dan aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh sumber daya material sehingga tercipta kepuasan manusia dan memungkinkan mereka menjalankan perintah Allah dan masyarakat”. •
Al-Shadr
“Ekonomi Islam adalah sebuah mahzab ekonomi yang terjelma didalamnya bagaimana cara islam mengatur kehidupan perekonomian, dengan suatu paradigm yang terdiri dari nilai-nilai moral islam dan nilai-nilai ilmu ekonomi atau nilai-nilai sejarah yang ada hubungannya dengan masalahmasalah siasat perekonomian maupun yang ada hubungannya dengan uraian sejarah masyarakat manusia”.
2.2 Sejarah tentang Sistem Ekonomi Islam atau Syariah Dengan hancurnya komunisme dan sistem ekonomi sosialis pada awal tahun 90-an membuat sistem kapitalisme disanjung sebagai satu-satunya sistem ekonomi yang sahih. Tetapi ternyata, sistem ekonomi kapitalis membawa akibat negatif dan lebih buruk, karena banyak negara miskin bertambah miskin dan negara kaya yang jumlahnya relatif sedikit semakin kaya. Dengan kata lain, kapitalis gagal meningkatkan harkat hidup orang banyak terutama di negara-negara berkembang. Bahkan menurut Joseph E. Stiglitz (2006) kegagalan ekonomi Amerika dekade 90-an karena keserakahan kapitalisme ini. Ketidakberhasilan secara penuh dari sistem-sistem ekonomi yang ada disebabkan karena masing-masing sistem ekonomi mempunyai kelemahan atau kekurangan yang lebih besar dibandingkan dengan kelebihan masing-masing. Kelemahan atau kekurangan dari masing-masing sistem ekonomi tersebut lebih menonjol ketimbang kelebihannya. Karena kelemahannya atau kekurangannya lebih menonjol daripada kebaikan itulah yang menyebabkan muncul pemikiran baru tentang sistem ekonomi terutama dikalangan negara-negara muslim atau negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam yaitu sistem ekonomi syariah. Negara-negara yang penduduknya mayoritas Muslim mencoba untuk mewujudkan suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada Al-quran dan Hadist, yaitu sistem ekonomi Syariah yang telah berhasil membawa umat muslim pada zaman Rasulullah meningkatkan perekonomian di Zazirah Arab. Dari pemikiran yang didasarkan pada Al-quran dan Hadist tersebut, saat ini sedang dikembangkan Ekonomi Syariah dan Sistem Ekonomi Syariah di banyak negara Islam termasuk di Indonesia. Ekonomi Syariah dan Sistem Ekonomi Syariah merupakan perwujudan dari paradigma Islam. Pengembangan ekonomi Syariah dan Sistem Ekonomi Syariah bukan untuk menyaingi sistem ekonomi kapitalis atau sistem ekonomi sosialis, tetapi lebih ditujukan untuk mencari suatu sistem ekonomi yang mempunyai kelebihan-kelebihan untuk menutupi kekurangan-kekurangan dari sistem ekonomi yang telah ada. Islam diturunkan ke muka bumi ini dimaksudkan untuk mengatur hidup manusia guna mewujudkan ketentraman hidup dan kebahagiaan umat di dunia dan di akhirat sebagai nilai ekonomi tertinggi. Umat di sini tidak semata-mata umat Muslim tetapi, seluruh umat yang ada di muka bumi. Ketentraman hidup tidak hanya sekedar dapat memenuhi
kebutuhan hidup secara melimpah ruah di dunia, tetapi juga dapat memenuhi ketentraman jiwa sebagai bekal di akhirat nanti. Jadi harus ada keseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan hidup di dunia dengan kebutuhan untuk akhirat.
2.3 Prinsip Dasar Yang Menyangkut sistem ekonomi Syariah menurut Islam Adapun prinsip-prinsip dasar pada ekonomi islam adalah sebagai berikut : 1. Tawhid, Prinsip ini merefleksikan bahwa penguasa dan pemilik tunggal atas jagad raya ini adalah Allah SWT. 2. Khilafah, mempresentasikan bahwa manusia adalah khalifah atau wakil Allah di muka bumi ini dengan dianugerahi seperangkat potensi spiritual dan mental serta kelengkapan sumberdaya materi yang dapat digunakan untuk hidup dalam rangka menyebarkan misi hidupnya. 3. ‘Adalah, merupakan bagian yang integral dengan tujuan syariah (maqasid al-Syariah). Konsekuensi dari prinsip Khilafah dan ‘Adalah menuntut bahwa semua sumberdaya yang merupakan amanah dari Allah harus digunakan untuk merefleksikan tujuan syariah antara lain yaitu; pemenuhan kebutuhan (needfullfillment), menghargai sumber pendapatan (recpectable source of earning), distribusi pendapatan dan kesejah-teraan yang merata (equitable distribution of income and wealth) serta stabilitas dan pertumbuhan (growth and stability).
2.4 Sistem Ekonomi Islam Ilmu ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalahmasalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam. Sejauh mengenai masalah pokok kekurangan, hampir tidak terdapat perbedaan apapun antara ilmu ekonomi Islam dan ilmu ekonomi modern. Andaipun ada perbedaan itu terletak pada sifat dan volumenya (M. Abdul Mannan; 1993). Itulah sebabnya mengapa perbedaan pokok antara kedua sistem ilmu ekonomi dapat dikemukakan dengan memperhatikan penanganan masalah pilihan.
Dalam ilmu ekonomi modern masalah pilihan ini sangat tergantung pada macam-macam tingkah masing-masing individu. Mereka mungkin atau mungkin juga tidak memperhitungkan persyaratan-persyaratan masyarakat. Namun dalam ilmu ekonomi Islam, kita tidaklah berada dalam kedudukan untuk mendistribusikan sumber-sumber semau kita.
Dalam hal ini ada
pembatasan yang serius berdasarkan ketetapan kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah atas tenaga individu. Dalam Islam, kesejahteraan sosial dapat dimaksimalkan jika sumber daya ekonomi juga dialokasikan sedemikian rupa, sehingga dengan pengaturan kembali keadaannya, tidak seorang pun lebih baik dengan menjadikan orang lain lebih buruk di dalam kerangka Al-Qur’an atau Sunnah. Suka atau tidak, ilmu ekonomi Islam tidak dapat berdiri netral di antara tujuan yang berbeda-beda. Kegiatan membuat dan menjual minuman alkohol dapat merupakan aktivitas yang baik dalam sistem ekonomi modern. Namun hal ini tidak dimungkinkan dalam negara Islam. Seluruh lingkaran aktivitas ekonomi dapat dijelaskan dengan bantuan dua tabel dibawah sebagai berikut: (A)Ilmu Ekonomi Islam
(B)Ilmu Ekonomi Modern
A.(1) Manusia (sosial namun religius)
B (1) Manusia (sosial)
A.(2) Kebutuhan- kebutuhan tidak A.(3)
B. (2) Kebutuhan- B.(3)
terbatas
Kekurangan
kebutuhan
sarana
terbatas
(E) masalah-masalah ekonomi
tidak Kekurangan sarana
(E) masalah-masalah ekonomi
A. (4) Pilihan di antara alternatif (dituntun oleh nilai B. (4) Pilihan di antara alternatif Islam)
(dituntun oleh kepentingan individu)
A.(5) Pertukaran terpadu dan transfer Satu arah B. (dituntun oleh etika Islami, kekuatan bukan pasar)
(5) Pertukaran
dituntun
oleh
kekuatan pasar
Jadi ringkasnya, dalam ilmu ekonomi Islam kita tidak hanya mempelajari individu sosial melainkan juga manusia dengan bakat religiusnya [A(1)]. Hal ini disebabkan karena banyaknya kebutuhan [A(2)/B(2)] dan kurangnya sarana (A3/B3), maka timbullah masalah ekonomi (E). Masalah ini pada dasarnya sama baik dalam ekonomi modern maupun ekonomi Islam. Namun perbedaan timbul berkenan dengan pilihan. Ilmu ekonomi Islam dikendalikan oleh nilai-nilai dasar Islam A (4) dan ilmu ekonomi modern sangat dikuasai oleh kepentingan diri si individu B (4).
Yang membuat ilmu ekonomi Islam benar-benar berbeda ialah sistem pertukaran dan transfer satu arah yang terpadu mempengaruhi alokasi kekurangan sumber-sumber daya, dengan demikian menjadikan proses pertukaran langsung relevan dengan kesejahteraan menyeluruh (A/5) yang berbeda hanya dari kesejahteraan ekonomi (B/5). Faktor-faktor Produksi dan Konsep Pemilikan : Produksi berarti diciptakannya manfaat, produksi tidak diartikan sebagai menciptakan secara fisik sesuatu yang tidak ada, karena tidak seorang pun dapat menciptakan benda. Yang dapat dilakukan oleh manusia hanyalah membuat barang-barang menjadi berguna, disebut sebagai "dihasilkan." Prinsip fundamental yang harus diperhatikan dalam proses produksi adalah prinsip kesejahteraan ekonomi. Tidak ada perbedaan sudut pandang apa yang menjadi faktor-faktor produksi dalam pandangan ekonomi umum dengan ekonomi Islam yakni, Tanah, Tenaga kerja, Modal dan Organisasi dipandang sama sebagai faktorfaktor produksi. Perbedaan keduanya adalah dari sudut pandang perlakuan faktor-faktor produksi tersebut. Dalam pandangan Kapitalisme tanah merupakan hak milik mutlak, sementara dalam pandangan Sosialis dan Komunis tanah hanya dimiliki negara sementara Islam memandang Tanah sebagai milik mutlak Allah.5 Sehingga baik negara maupun masyarakat tidak dapat mengklaim sebidang tanah bila keduanya mengabaikan tanah tersebut melewati batas waktu 3 tahun. Pemanfaatan atas tanah dalam Islam bukan pada kemampuan seseorang untuk menguasainya tetapi atas dasar pemanfaatannya.7 Sehingga fungsi tanah dalam Islam adalah sebagai hak pengelolaan bukan pada penguasaan. Suatu sistem ekonomi Islam harus bebas dari bunga (riba), riba merupakan pemerasan kepada orang yang sesak hidupnya (terdesak oleh kebutuhan). Islam sangat mencela penggunaan modal yang mengandung riba. Dengan alasan inilah, modal telah menduduki tempat yang khusus dalam ilmu ekonomi Islam. Negara Islam mempunyai hak untuk turun tangan bila modal swasta digunakan untuk merugikan masyarakat. Tersedia hukuman yang berat bagi mereka yang menyalahgunakan kekayaan untuk merugikan masyarakat. Lagi pula hanya sistem ekonomi Islam yang dapat menggunakan modal dengan benar dan baik, karena dalam sistem Kapitalis modern kita dapati bahwa manfaat kemajuan teknik yang dicapai oleh ilmu pengetahuan hanya bisa dinikmati oleh masyarakat yang relatif kaya, yang pendapatannya melebihi batas pendapatan untuk hidup sehari-hari. Mereka yang hidup sekedar cukup untuk makan sehari-hari terpaksa harus tetap
menderita kemiskinan abadi, karena hanya dengan mengurangi konsumsi hari ini ia dapat menyediakan hasil yang kian bertambah bagi hari esok, dan kita tidak bisa berbuat demikian kecuali bila pendapatan kita sekarang ini bersisa sedikit di atas keperluan hidup sehari-hari. Tetapi Islam melindungi kepentingan si miskin dengan memberikan tanggung jawab moral terhadap si kaya untuk memperhatikan si miskin. Islam mengakui system hak milik pribadi secara terbatas, setiap usaha apa saja yang mengarah ke penumpukan kekayaan yang tidak layak dalam tangan segelintir orang, dikutuk! Al-Qur’an menyatakan agar si kaya mengeluarkan sebagian dari rezekinya untuk kesejahteraan masyarakat, karena kekayaan harus tersebar dengan baik. Dengan cara ini, Islam menyetujui dua pembentukan modal yang berlawanan yaitu konsumsi sekarang yang berkurang dan konsumsi mendatang yang bertambah. Dengan demikian memungkinkan modal memainkan peranan yang sesungguhnya dalam proses produksi. Karena itu tingkat keuntungan pada usaha ekonomi yang khusus antara lain dapat digunakan sebagai salah satu sarana penentuan modal. Kelihatannya tiak ada ciri-ciri istimewa yang dapat dianggap sebagai organisasi dalam suatu kerangka Islam. Tetapi ciri-ciri khusus berikutnya dapat diperhatikan, untuk memahami peranan organisasi dalam ekonomi Islam. Pertama, dalam ekonomi Islam pada hakikatnya lebih berdasarkan ekuiti (equity-based) daripada berdasarkan pinjaman (loan-based), para manajer cenderung mengelola perusahaan yang bersangkutan dengan pandangan untuk membagi deviden di kalangan pemegang saham atau berbagi keuntungan diantara mitra suatu usaha ekonomi. Kekuatan – kekuatan koperatif melalui berbagai bentuk investasi berdasarkan persekutuan dalam bermacammacam bentuk (mudaraba, musyarika, dll). Kedua, pengertian keuntungan biasa mempunyai arti yang lebih luas dalam kerangka ekonomi Islam karena bunga pada modal tidak diperkenankan. Modal manusia yang diberikan manajer harus diintegerasikan dengan modal yang berbentuk uang. Pengusaha penanam modal dan usahawan menjadi bagian terpadu dalam organisasi dimana keuntungan biasa menjadi urusan bersama. Ketiga, karena sifat terpadu organisasi inilah tuntutan akan integritas moral, ketetapan dan kejujuran dalam perakunan (accounting) barangkali jauh lebih diperlukan daripada dalam organisasi sekular mana saja, dimana para pemilik modalnya mungkin bukan merupakan bagian ari manajemen. Islam menekankan kejujuran, ketepatan dan kesungguhan dalam urusan perdagangan,
karena hal itu mengurangi biaya penyediaan (supervisi) dan pengawasan. Faktor manusia dalam produksi dan strategi usaha barangkali mempunyai signifikansi lebih diakui dibandingkan dengan strategi manajemen lainnya yang didasarkan pada memaksimalkan keuntungan atau penjualan.
BAB III PEMBAHASAN •
Berdasarkan Literatur I Syariah Publications. Pada pidato politik, 31 Januari lalu, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) menyampaikan sebuah rencana besar yakni rencana untuk melaksanakan reforma agraria (land reform). Secara tegas SBY mengatakan, mulai tahun ini pemerintah akan membagikan tanah bagi rakyat miskin. Prinsipnya tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat. Hal yang melatarbelakangi rencana tersebut ialah bahwa saat ini angka kemiskinan mencapai 39,5 juta, angka pengangguran 11,1 juta, pengangguran terbuka mencapai 29,9 juta. (Data Badan Pusat Statistik). Rencana program reforma agraria di Indonesia sebenarnya sudah berjalan lama. Hanya perjalanannya mengalami kemandekan. Meski begitu, pemerintah terus berupaya melakukan rencana ini. Terbukti dengan lahirnya TAP MPR RI No IX/2001 yang diperkuat dengan Keputusan MPR RI No 5/2003 bahwa harus diadakan pembaruan agraria. Menurut Deputi Pengaturan dan
Penataan Pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN), Yuswanda A Tamenggung, dengan adanya program ini diharapkan mampu menata ketimpangan yang terjadi dalam penguasaan kepemilikan, mengurangi pengangguran, kemiskinan, serta menyelesaikan konflik sengketa tanah yang hingga kini sudah cukup banyak (Koran Seputar Indonesia, 18 Februari 2007). Program ini seolah akan segera merealisasikan ‘mimpi’ petani miskin. Bagaimanakah Islam memandang masalah ini? Dan adakah solusi Islam mengenai masalah pertanahan? Sejarah Land Reform Menurut pakar agraria, Gunawan Wiradi yang kini menjabat sebagai Penasihat Pusat Kajian Agraria Institut Pertanian Bogor (IPB), usia pembaruan agraria sudah mencapai lebih dari 2500 tahun. Kata ‘land reform’ yang pertama di dunia, dikenal pada zaman Yunani Kuno, 594 tahun sebelum Masehi. Bahkan, slogan land to the tillers (tanah untuk penggarap) sudah menggema selama 565 tahun sebelum Masehi. Selanjutnya, melalui tonggak-tonggak sejarah: ‘land reform’ di zaman Romawi Kuno (134 SM), gerakan pencaplokan tanah-tanah pertanian oleh peternak biri-biri di Inggris berlangsung kurang lebih selama lima abad, dan Revolusi Perancis (1789-1799), maka sejak itu hampir semua negara-negara di Eropa melakukan ‘land reform’. Apalagi setelah Perang Dunia Kedua, pembaruan agraria dilakukan dimana-mana, baik di Asia, Afrika, dan Amerika. Politik Pertanahan Menurut Islam Tanah merupakan faktor produksi paling penting yang menjadi bahan kajian paling serius para ahli ekonomi, karena sifatnya yang khusus yang tidak dimiliki oleh faktor produksi lainnya. Sifat itu antara lain tanah dapat memenuhi kebutuhan pokok dan permanen manusia, tanah kuantitasnya terbatas dan tanah bersifat tetap. Sifat lainnya ialah tanah bukan produk tenaga kerja. Segala sesuatu yang lain adalah produk tenaga kerja kecuali tanah. Di dalam masyarakat, permasalahan tanah juga telah menjadi penyebab pertentangan, pertikaian, dan pertumpahan darah di dalam masyarakat atau antar masyarakat. Tanah juga memberi andil besar dalam perubahan struktur dan sistem masyarakat. Sistem ekonomi kapitalisme maupun sosialisme dalam hal ini sedikit banyak dipicu karena kecemburuan sosial terhadap orang-orang yang memiliki tanah karena hak-hak istimewa dan menjadikannya sebagai alat eksploitasi masyarakat.
Pemilikan tanah dianggap sebagai tipe kepemilikan yang par excellence (paling istimewa) di negara-negara kapitalis. Tanah boleh dimiliki individu seluas-luasnya, bahkan menyewakan kepada masyarakat dengan harga sewa dan harga jual yang dilakukan sewenang-wenang. Akibatnya cukup serius, harga bahan pokok naik dan inflasi terjadi. Bagi negara, tanah menjadi lahan subur bagi perolehan pajak. Namun pemilikan atas tanah secara individu justru tidak diakui dalam masyarakat sosialis. Para petani dan kaum buruh dilarang mengambil nilai tambah dari hasil kerjanya, dan statusnya semata-mata sebagai buruh tani. Sistem ini secara factual menimbulkan ketimpangan ekonomi dan menjadikan negara-negara sosialis gagal mencapai swasembada pangan pada pertengahan abad kedua puluh. Mereka masih tergantung kepada negara lain untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Kebutuhan-kebutuhan Rusia dipasok oleh Amerika Serikat sedangkan kebutuhan China didatangkan dari Australia dan Canada. Hingga kini persoalan kepemilikan tanah masih tetap belum terjawab oleh ekonom kapitalis dan sosialis. Namun, persoalan ini telah lama mampu dijawab oleh system ekonomi Islam. Mekanisme Penguasaan Tanah Hingga kini persoalan kepemilikan dan penguasaan tanah masih menjadi agenda utama perekonomian. Di beberapa negara feodal dimana tanah banyak dikuasai oleh tuan tanah, ketimpangan kepemilikan dipecahkan dengan land reform. Jepang, Korea selatan dan Taiwan adalah negara yang paling intens dalam sejarah modern yang menjalankan land reform setelah perang dunia kedua. Land reform dijalankan dengan tujuan menghapuskan secara psikologis dan materiil tuan-tuan tanah yang menjadi motor penggerak di belakang negara-negara ini untuk mengobarkan perang. Reformasi ini berdampak sangat jauh dalam mempersamakan distribusi pendapatan di pedesaan dan turut menjaga perbedaan pendapatan antara kota dan desa sehingga menjadi lebih sempit daripada negara lain. Akibat reformasi ini, kekuatan kaum feodal menjadi hancur, meniadakan persewaan tanah pertanian dan membatasi kepemilikan tanah garapan. Sistem ekonomi Islam memandang kepemilikan tanah harus diatur sebaik-baiknya karena mempengaruhi rangsangan produksi. Islam secara tegas menolak sistem pembagian penguasaan tanah secara merata di antara seluruh masyarakat sebagaimana yang menjadi agenda land reform. Namun demikian, Islam juga tidak mengijinkan terjadinya penguasaan tanah secara berlebihan di luar kemampuan untuk mengelolanya. Karena hukum-hukum seputar tanah dalam pandangan
Islam memiliki karakteristik yang khas dengan adanya perbedaan prinsiip dengan sistem ekonomi lainnya. Sistem ekonomi Islam mengakui tanah termasuk dalam kepemilikan individu apabila tidak ada unsur-unsur yang menghalanginya seperti terdapat kandungan bahan tambangn atau dikuasai oleh negara. Ketika kepemilikan ini dianggap sah secara syariah, maka pemilik tanah memiliki hak untuk mengelolanya maupun memindahtangankan secara waris, jual beli dan pembelian. Sebagaimana kepemilikan individu lainnya, kepemilikan atas tanah ini bersifat pasti tanpa ada pihak lain yang dapat mencabut hak-haknya. Negara melindungi harta milik warga negara dan melindunginya dari ancaman gangguan pihak lain. Dengan demikian, kepemilikan atas tanah dapat dilakukan dengan prinsip yang sama dengan komoditas lainnya. Tanah dapat dikuasai dengan waris, hadiah, dan jual beli sebagaimana komoditas lainnya pun dapat dilakukan dengan transaksi ini. Namun demikian, system ekonomi islam juga telah menetapkan mekanisme lainnya dalam penguasaan tanah secara khusus yaitu menghidupkan tanah mati dan pemberian oleh negara. Menghidupkan Tanah Mati Menghidupkan tanah mati (ihya’ul mawat) artinya mengelola atau menjadikan tanah mati agar siap ditanami. Yang dimaksud tanah mati adalah tanah yang tidak tampak dimiliki seseorang, dan tidak terdapat tanda-tanda apapun, seperti pagar, tanaman, pengelolaan, ataupun yang lainnya. Tanah mati yang telah dihidupkan oleh seseorang akan menjadi milik orang yang bersangkutan. Hak kepemilikan ini ditetapkan berdasarkan beberapa hadits Rasulullah saw. “Siapa saja yang telah mengelola sebidang tanah, yang bukan menjadi hak orang lain, maka dialah yang lebih berhak.” (HR. Imam Bukhari dari Aisyah) “Siapa saja yang telah memagari sebiidang tanah dengan pagar, maka tanah itu adalah miliknya.” (HR. Abu Daud) “Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati maka tanah itu adalah miliknya.” (HR. Imam Bukhari) Seseorang yang telah menghidupkan tanah mati, maka ia berhak atas kepemilikannya beserta hak-hak lain sebagai konsekuensi kepemilikan. Pemilik tanah berhak memperoleh manfaat tanah,
mengelolanya, mendapatkan harga dari hasil penjualannya, melakukan pertukaran atas tanah tersebut, mewariskan kepada ahli warisnya, sebagimana kepemilikan-kepemilikan yang lain. Mekansime menguasai tanah dengan cara menghidupkan tanah mati tidak memerlukan izin dari negara. Sebab perkara-perkara yang dimubahkan tidak perlu minta izin dari imam (khalifah). Pemberian Negara Pemberian negara (iqtha’) adalah memberikan tanah yang sudah dikelola dan siap untuk langsung ditanami, atau tanah yang nampak sebelumnya telah dimiliki oleh seseorang. Dengan kata lain, mekanisme ini hanya berlaku pada tanah yang tidak mati. Pemberian tanah oleh negara juga disertai dengan penganugerahan hak kepemilikan secara utuh. Pemiliknya bebas mengguanakan dan mengalihkan haknya kepada orang lain. Baidhuri melaporkan bahwa pemberian Rasulullah kepada Bilal ibn al Harits oleh Rasulullah telah dijual oleh ahli warisnya kepada Umar. Hal ini memberikan gambaran tentang jangkauan kepemilikan ini. Pemberian tanah oleh negara dalam pengertian diatas, memiliki pengertian yang berbeda dengan system pemberian tanah (land reform) dalam system feodalisme. Karena system ini bersifat khas dengan dilandasi semangat sosialisme yang tidak pernah diakui kebenarannya dalam Islam Sistem ini dilakukan negara dengan memberikan tanah kepada orang yang dikehendaki sesuai kebijakan yang tepat pada masa itu. Tentu, prinsip pokok yang harus menjadi pertimbangan adalah mengutamakan kepada orang-orang yang membutuhkan dan memiliki kemampuan untuk mengelolanya.
Pengelolaan Lahan Pertanian Konsepsi kepemilikan tanah mengenai tanah mati dan kemudian dapat dimiliki secara CumaCuma bagi siapa saja yang menghidupkannya menyiratkan maksud tanah yang dimanfaatkan lebih disukai dibandingkan tanah yang terlantar. Sistem ekonomi manapun pasti menyadarai hal ini karena peran penting tanah sebagai faktor produksi bahan kebutuhan pokok manusia. Sistem Islam sendiri, dengan merujuk berbagai hokum seputar tanah menunjukkan perhatiannya yang besar tentang hal ini. Bahkan, pemberian tanah pertanian oleh negara dimaksudkan untuk dikelola agar dapat memberikan kontribusi penyediaan pangan dan kebutuhan pokok lainnya yang dapat
dihasilkan tanah dan bukan untuk ditelantarkan. Kasus Bilal al Muzni dapat menggambarkan dorongan ini. Yunus menceritakan dari Muhammad bin ishaq dari Abdullah bin Abu Bakar berkata: “Bilal bin Al harits Al Muzni datang kepada Rasulullah saw., lalu dia meminta sebidang tanah kepada beliau. Beliau kemudian memberikan tanah yang berukuran luas kepadanya.” Ketika pemerintahan dipimpin oleh khalifah Umar, dia (Umar) berkata kepadanya: “wahai Bilal, engkau telah meminta sebidang tanah yang luas kepada Rasulullah saw. Lalu beliau memberikannya kepadamu. Dan Rasulullah saw, tidak pernah menolak sama sekali untuk dimintai, sementara engkau tidak mampu (menggarap) tanah yang ada ditanganmu.” Bilal menjawab: “Benar.” Umar berkata: “Lihatlah, mana di antara tanah itu yang mampu kamu garap, maka milikilah. Dan mana yang tidak mampu kamu garap, serahkanlah kepada kami, dan kami akan membagikannya kepada kaum muslimin.” Bilal berkata: “Demi Allah, aku tidak akan melakukan sama sekali dan memberikan apa yang diberikan oleh Rasulullah saw.” Umar berkata: “Demi Allah, engkau hendaknya benar-benar menggarapnya.” Kemudian Umar mengambil tanah yang tidak mampu dia garap dari Bilal, lalu dia membagikan kepada kaum Muslimin. Negara sebagai pihak yang mengontrol aktivitas ekonomi warga negaranya akan memaksa para pemilik tanah pertanian untuk mengelola tanahnya secara optimal. Langkah yang dilakukan oleh negara adalah mengambil hak kepemilikan tanah apabila orang yang bersangkutan mengabaikannya selama tiga tahun. Tanah tersebut kemudian akan diberikan kepada pihak yang membutuhkan dan sanggup untuk mengelolanya. Dengan demikian, kepemilikan tanah pada hakikatnya tidak dibatasi waktu tertentu. Tanah masih berhak untuk dimiliki dengan segala hakhak yang menyertainya selama yang bersangkutan mengelola sesuai dengan kegunaannya. Islam hanya membatasi jangka waktu penelantaran selama masa tiga tahun. System pencabutan hak kepemilikan dan jangka waktunya ini diambil dari hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah ini. Umar bin Khaththab r.a. mengatakan: “Orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang dipagarnya) setelah (membiarkannya) selama tiga tahun.”. Pengambilan tanah yang ditelantarkan selama jangka waktu tiga tahun berlaku untuk semua jenis tanah pertanian baik yang diperoleh dari pembelian, waris, hadiah, pemberian negara maupun
menghidupkan tanah mati. Hal ini karena illat (sebab hukum) dicabutnya tanah adalah penelantaran selama tiga tahun tanpa memandang tanah tersebut. Jadi, tiap pemilik tanah yang membiarkan tanahnya selama tiga tahun, maka tanahnya akan dicabut dan diberikan kepada orang lain, darimanapun asal pemilikan tanah tersebut. Hal ini tidak bisa dianggap telah mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Sebab, syariah telah menjadikan pemilikan tanah pertanian dengan cara dikelola. Semuanya ini adalah agar tanah tersebut selalu ditanami dan dikelola secara optimal. Oleh karena itu, seorang pemilik tanah boleh menanami tanahnya dengan alatnya, benih, hewan dan pekerja-pekerjanya. Dia juga boleh mempekerjakan para pekerja untuk menanaminya. Apabila dia tidak mampu untuk mengusahakannya, maka dia akan dibantu oleh negara. Namun, apabila tanah tersebut tidak ditanami oleh pemiliknya, maka tanah tersebut akan diberikan kepada orang lain sebagai pemberian cuma-cuma, tanpa kompensasi apapun, lalu dia menggarapnya. Apabila pemiliknya menggarapnya dan tetap menguasainya, maka dibiarkan selama tiga tahun. Apabila tanah tersebut dibiarkan tanpa dikelola selama tiga tahun, maka negara akan mengambil tanah tersebut dari pemiliknya dan diberikan kepada orang lain. Bagi siapa saja yang membutuhkan (biaya perawatan) akan diberi sesuatu (modal) dari baitul mal, sehingga orang yang bersangkutan bisa mengelolanya secara optimal. Larangan Sewa Lahan Pertanian Seorang pemilik tanah secara mutlak tidak boleh menyewakan tanahnya untuk pertanian. Ia tidak diperbolehkan untuk menyewakan tanah pertanian dengan sewa berupa makanan, atau apa saja yang dihasilkan dari sana, sebab semuanya merupakan ijarah. Menyewakan tanah untuk pertanian itu secara mutlak hukumnya haram. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits: Mereka bertanya kepada Rasulullah, “Kami akan menyewakannya dengan bibit.” Beliau menjawab: “Jangan.” Mereka bertanya: “Kami akan menyewakannya dengan jerami.” Beliau tetap menjawab: “Jangan.” Mereka bertanya lagi: “kami akan menyewakannya dengan rabi’ (danau)”, Beliau tetap menjawab: “Jangan.” Kemudian beliau pertegas dengan sabdanya: “Tanamilah, atau berikanlah kepada saudaramu.” Larangan penyewaan lahan pertanian secara ekonomi dapat dipahami sebagai upaya agar lahan pertanian dapat berfungsi secara optimal. Artinya seseorang yang mampu mengolah lahan
harus memiliki lahan sementara siapapun yang tidak mampu dan tidak mau mengolah lahan maka tidak dibenarkan untuk menguasai lahan pertanuian. •
Berdasarkan Literatur II Dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia, Islam memperhatikan pemenuhan kebutuhan setiap anggota masyarakat dengan fokus perhatian bahwa manusia diperhatikan sebagai individu (pribadi), bukan sekedar sebagai suatu komunitas yang hidup dalam sebuah negara. Hal ini berarti Islam lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan secara individual dan bukan secara kolektif. Atau dengan kata lain bagaimana agar setiap individu masyarakat dapat memenuhi seluruh kebutuhan pokok sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan mereka sehingga dapat memenuhi kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier). Bukan sekedar meningkatkan taraf hidup secara kolektif yang diukur dari rata-rata kesejahteraan seluruh anggota masyarakat tanpa melihat secara lebih jauh aspek distribusinya sehingga dapat dijamin secara pasti bahwa setiap individu telah terpenuhi kebutuhannya. Politik ekonomi Islam bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan sebuah negara semata, tanpa memperhatikan adanya jaminan kepada setiap orang untuk menikmati peningkatan taraf hidup tersebut. Politik ekonomi Islam juga bukan hanya bertujuan mengupayakan kemakmuran individu dengan membiarkan sebebas-bebasnya untuk memperoleh kemakmuran tersebut dengan cara apapun, tanpa memperhatikan terjamintidaknya hak hidup individu-individu lainnya. Akan tetapi, politik ekonomi Islam adalah semata-mata untuk menjamin hak hidup setiap orang, sebagai manusia yang hidup sesuai dengan interaksi-interaksi tertentu serta memungkinkan orang yang bersangkutan untuk meningkatkan taraf hidupnya, dan mengupayakan kemakmuran dirinya di dalam gaya hidup tertentu. Dengan demikian, politik ekonomi Islam tentu berbeda dengan politik ekonomi kapitalis dan politik ekonomi sosialis. Perbedaan tersebut terlihat dari tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan berbagai kebijakan (hukum-hukum) yang dipergunakan untuk memecahkan persoalan hidup manusia. .Politik ekonomi Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok. Kebutuhan pokok (primer) dalam pandangan Islam mencakup kebutuhan terhadap barang-barang tertentu berupa pangan, sandang dan papan serta kebutuhan terhadap jasa-jasa tertentu berupa keamanan, pendidikan dan kesehatan.
Barang-barang berupa pangan, sandang dan papan (perumahan) adalah kebutuhan pokok (primer) manusia yang harus dipenuhi. Tidak seorangpun yang dapat melepaskan diri dari kebutuhan tersebut. Demikian jasa-saja keamanan, kesehatan dan pendidikan, adalah tiga hal yang merupakan kebutuhan jasa asasi dan harus dikecap oleh manusia dalam hidupnya. Dalam rangka memenuhi seluruh kebutuhan pokok masyarakat, maka Sistem Ekonomi Islam telah menetapkan suatu strategi politik yang harus dilaksanakan agar pemenuhan tersebut dapat berjalan dengan baik. Kalau di kaji hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan strategi pemenuhan seluruh kebutuhan ini, maka akan dijumpai beberapa ketentuan yang menjelaskan hal itu. Secara garis besar strategi pemenuhan kebutuhan pokok dibedakan antara pemenuhan kebutuhan pokok yang berupa barang dengan kebutuhan pokok berupa jasa. Untuk pemenuhan kebutuhan pokok yang berupa barang Sistem Ekonomi Islam memberikan jaminan dengan mekanisme tidak langsung, yakni dengan jalan menciptakan kondisi dan sarana yang dapat menjamin terpenuhi kebutuhan tersebut. Sedangkan berkaitan dengan kebutuhan jasa pokok dipenuhi dengan mekanisme langsung, yakni negara secara langsung memenuhi kebutuhan jasa pokok tersebut. Politik Pertanian Islam Politik pertanian yang dijalankan oleh negara Islam dapat dilihat dari berbagai kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dibidang pertanian. Menurut Sistem Ekonomi Islam ada beberapa kebijakan yang harus dijalankan pemerintah dalam bidang pertanian baik sektor produksi primer, pengolahan hasil pertanian, maupun perdagangan dan jasa pertanian. Dibawah ini akan dipaparkan beberapa kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah untuk mewujudkan terpenuhinya tujuan politik ekonomi Islam. Kebijakan di Sektor Produksi Pertanian Kebijakan pertanian yang ditempuh oleh pemerintah di produksi primer dijalankan dalam rangka meningkatkan produksi pertanian. Untuk mencapainya dapat dilakukan dengan jalan intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dilakukan dengan berbagai cara yang dapat meningkatkan produktivitas lahan. Sedangkan ekstensifikasi dilaklukan dengan berbagai cara yang dapat menambah luas lahan pertanian yang dapat ditanami. Intensifikasi pertanian ditempuh dengan jalan penggunaan sarana produksi pertanian yang lebih baik seperti bibit unggul, pupuk dan obat-obatan
yang diperlukan dalam rangka meningkatkan produktivitas pertanian. Untuk itu kebijakan subsidi untuk keperluan sarana produksi pertanian dapat dilakukan. Hal lain yang dapat dilakukan dengan jalan menyebarluaskan teknik-teknik modern yang lebih efisien dikalangan petani. Dalam rangka intensifikasi ini juga, negara harus menyediakan modal yang diperlukan bagi yang tidak mampu. Penyediaan modal tersebut menurut pandangan Islam adalah dengan jalan pemberian harta oleh negara (hibah) kepada individu yang tidak mampu agar mereka dapat mengolah lahan yang dimilikinya. Pemberian ini tidak dilakukan dengan jalan hutang, tetapi semata-mata pemberian cuma-cuma untuk keperluan produksi pertanian. Dengan cara ini petani-petani yang tidak mampu tidak akan terbebani untuk mengembalikan hutang. Dengan demikian produksi pertanian mereka benar-benar dapat digunakan untuk keperluan pemenuhan kebutuhan pokok mereka. Ekstensifikasi pertanian dilakukan untuk meningkatkan luasan lahan pertanian yang diolah. Untuk itu negara akan menerapkan kebijakan yang dapat mendukung terciptanya perluasan lahan pertanian yang diolah. Beberapa kebijakan tersebut adalah bahwa negara akan menjamin kepemilikan lahan pertanian yang diperoleh dengan jalan menghidupkan lahan mati (ihyaul mawat). Negara akan mendorong agar masyarakat menghidupkan tanah mati dengan jalan mengolahnya, memagarinya serta memnfaatkannya untuk keperluan hidup mereka. Selain itu negara akan memberikan tanah secara cuma-cuma kepada siapa saja yang mampu dan mau bertani namun tidak memiliki lahan pertanian atau memiliki lahan pertanian yang sempit. Bahkan negara akan memaksa kepada siapa saja yang memiliki lahan pertanian agar mereka mengolahnya. Agar politik pertanian yang dijalankan dapat mendukung tercapainya tujuan politik ekonomi Islam yakni terpenuhinya kebutuhan pokok, maka berbagai kebijakan di sektor produksi primer harus ditujukan pada upaya meningkatkan produksi pertanian untuk komoditi-komoditi penting. Untuk itu strategi peningkatan produksi pertanian harus diarahkan pada : Pertama : Meningkatkan produksi bahan makanan, mengingkat bahan makanan merupakan kebutuhan pokok masyarakat. Meningkatkan produksi bahan makanan pokok diperlukan agar dapat menyediakan bahan makanan yang cukup seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Selain itu juga untuk mengantisifasi bahaya kelaparan ketika datangnya musim paceklik atau karena adanya bencana alam atau dalam keadaan dimana negara Islam sedang menghadapi embargo ekonomi akibat peperangan dan jihad yang dilakukan.
Kedua : Meningkatkan produksi bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat pakaian seperti kapas, wool, pohon rami dan sutra. Hal ini mutlak diperlukan sebab bahan-bahan tersebut diperlukan agar dapat memenuhi kebutuhan pokok berupa sandang (pakaian). Dengan tersedianya bahan-bahan ini secara mencukupi, maka dapat menjauhkan diri manusia dari bahaya telanjang dan butuhnya pakaian dalam keadaan apapun apabila negara Islam dihadapkan pada embargo ekonomi negara-negara kafir. Ketiga : Meningkatkan komoditi-komoditi yang memiliki potensi pasar luar negeri yang menguntungkan. Komoditi-komoditi pertanian penting baik itu yang berupa bahan pangan maupun bahan-bahan untuk pakaian adalah komoditi yang harus menjadi prioritas. Komoditi-komoditi ini umumnya dapat menjadi andalan negeri-negeri berkembang sebab negeri-negeri tersebut mempunyai sarana-sarana potensial yang dapat mendukung hal tersebut. Kebijakan di Sektor Industri Pertanian Dalam sektor perindustrian termasuk industri pertanian, nagara hanya akan mendorong berkembangnya sektor riil saja, sedangkan sektor non riil yang diharamkan tidak akan diberi sebuah kesempatan pun untuk berkembang. Kebijakan ini hanya akan tercapai jika negara bersikap adil dengan tidak memberikan hak-hak istimewa dalam bentuk apapun kepada pihak-pihak tertentu. Baik itu hak monopoli dan pemberian fasilitas khusus. Seluruh pelaku ekonomi akan diperlakukan secara sama. Negara hanya mengatur jenis komoditi dan sektor industri apa saja yang boleh atau tidak boleh dibuat. Selanjutnya, seleksi pasar akan berjalan seiring dengan berjalannya mekanisme pasar. Siapa saja berhak untuk memenangkan persaingan secara wajar dan fair. Tentunya, pelaku ekonomi yang memiliki kualitas dan profesionalitas yang tinggi yang akan dapat memenangkan persaingan. Industri pertanian akan tumbuh dengan baik, jika sarana dan prasarana yang mendukung tumbuhnya industri pertanian tersedia secara memadai. Sarana dan prasarana tersebut mulai dari tersedianya bahan baku industri pertanian, yakni bahan-bahan pertanian yang memadai dan harga yang layak, jaminan harga yang wajar dan menguntungkan serta berjalannya mekanisme pasar secara transparan serta tidak ada distorsi yang disebabkan oleh adanya kebijakan yang memihak. Selain itu juga adanya prasarana jalan, pasar dan lembaga-lembaga pendukung lainnya seperti lembaga penyuluhan pertanian, lembaga keuangan yang menyediakan modal bagi usaha sektor industri pertanian. Hal ini semua diperlukan agar industri pertanian dapat tumbuh dengan baik.
Kebijakan di Sektor Perdagangan Hasil Pertanian Sedangkan disektor perdagangan, negara harus melakukan berbagai kebijakan yang dapat menjamin terciptanya mekanisme pasar secara transparan, tidak ada manipulasi, tidak ada intervensi yang dapat menyebabkan distorsi ekonomi serta tidak ada penimbunan yang dapat menyebabkan kesusahan bagi masyarakat. Untuk itu ada beberapa kebijakan yang harus ditempuh pemerintah agar industri pertanian dapat tumbuh dengan baik, yaitu : Pertama : Negara harus menyediakan berbagai prasarana jalan, pasar dan sarana transportasi yang dapat mengangkut hasil pertanian dan hasil industri pertanian secara cepat dan dengan harga murah. Dengan cara ini maka produk-produk pertanian dan produk-produk industri pertanian dapat diperoleh dengan harga yang murah karena biaya transportasi yang murah. Kedua : Negara harus menjamin agar mekanisme harga komoditi pertanian dan harga komoditi hasil industri pertanian dapat berjalan secara transparan dan tanpa ada manipulasi. Untuk itu negara harus membuat kebijakan yang dapat menjamin transparannya harga komoditi pertanian. Berbagai penipuan dalam bentuk manipulasi harga komoditi pertanian dan hasil industri pertanian harus dicegah dan negara dapat memberikan sanksi kepada siapa saja melakukan penipuan terhadap harga tersebut. Upaya memanfaatkan ketidaktahuan sekelompok orang agar dia dapat memperoleh keuntungan yang sangat besar adalah adalah harus dicegah. Karena itu dilarang untuk menghadang kafilah yang akan masuk pasar agar dapat memperoleh harga yang sangat murah, kemudian menjualnya di pasar. Dalam hal ini telah diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa : “Rasulullah saw telah melarang melakukan penghadangan terhadap para pedagang” (HR. Bukhari-Muslim) Juga diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda : “Janganlah kalian hadang kafilah-kafilah (orang-orang yang berkendaraan) dan janganlah orang yang hadir (orang di kota) menjualkan barang milik orang desa.” (HR Bukhari-Muslim) Larangan Rasulullah saw terhadap aktivitas ini, agar harga yang berlaku benar-benar transparan dan tidak ada yang memanfaatkan ketidaktahuan satu pihak –baik penjual maupun pembeli—. Dengan demikian harga yang berlaku adalah harga pasar yang sebenarnya. Ketiga : Pemerintah harus membuat kebijakan yang dapat menjamin terciptanya harga yang wajar berdasarkan mekanisme pasar yang berlaku. Mekanisme pasar yang berjalan normal,
perekonomian akan berjalan dengan sebaik-baiknya. Begitu terjadi gangguan dalam mekanisme pasar, perekonomian akan goncang dan distribusi kekayaan akan tersumbat. Maka, adalah sebuah kewajiban jika secara preventif negara menjaga agar mekanisme pasar dapat berjalan. Negara juga akan mengawasi mekanisme penawaran dan permintaan untuk mencapai tingkat harga yang didasari rasa keridlaan. Inilah mekanisme pasar yang diajarkan oleh Islam. Islam bahkan melarang negara mempergunakan otoritasnya untuk menetapkan harga baik harga maksimum maupun harga dasar. Terdapat riwayat tentang hal ini. “Suatu ketika orang-orang berseru kepada Rasulullah saw. menyangkut penetapan harga, “Wahai Rasulullah saw. harga-harga naik, tentukanlah harga untuk kami.” Rasulullah lalu menjawab : “Allahlah yang sesungguhnya Penentu harga, Penahan, Pembentang dan Pemberi rizki. Aku berharap agar bertemu kepada Allah tidak ada seorangpun yang meminta kepadaku tentang adanya kezaliman dalam urusan darah dan harta.” (HR. Ashabus Sunan). Berdasarkan hadits ini, mayoritas ulama sepakat tentang haramnya campur tangan penguasa dalam menentukan harga. Melindungi kepentingan pembeli bukanlah hal yang lebih penting dibandingkan melindungi penjual. Jika melindungi keduanya sama perlunya, maka wajib membiarkan kedua belah pihak menetapkan harga secara wajar di atas keridlaan keduanya. Memaksa salah satu pihak merupakan tindak kezaliman. Meskipun demikian pemerintah diperbolehkan bertindak secara langsung untuk menjual maupun membeli barang-barang kebutuhan masyarakat jika itu dilakukan untuk menjamin agar “mekanisme harga” yang berlaku menghasilkan harga keseimbangan yang wajar. Artinya pemerintah boleh melakukan intervensi secara tidak langsung dengan jalan bertindak sebagai pelaku pasar (pembeli maupun penjual). Namun negara tidak boleh melakukan penetapan harga, baik harga dasar (Floor Price) maupun harga maksimum (Ceiling Price). Keempat : Pemerintah harus dapat mencegah terjadinya berbagai penipuan yang sering terjadi dalam perdagangan baik penipuan yang dilakukan oleh penjual maupun yang dilakukan oleh pembeli. Penipuan dilakukan oleh penjual dengan jalan mereka menyembunyikan cacat barang dagangan dari pembeli. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda : “Tidak halal bagi seseorang yang menjual sesuatu, melainkan hendaklah dia menerangkan (cacat) yang ada pada barang tersebut.” (HR. Ahmad)
Sedangkan penipuan yang dilakukan oleh pembeli adalah dengan jalan memanipulasi alat pembayarannya (baik berupa uang maupun barang). Kelima : Pemerintah harus mencegah berbagai tindakan penimbunan produk-produk pertanian dan kebutuhan pokok lainnya. Penimbunan merupakan suatu cara bagi manusia yang dapat memperbesar harta kekayaannya. Penimbun adalah orang yang mengumpulkan barang-barang dengan menunggu waktu naiknya harga barang-barang tersebut, sehingga dia bisa menjualnya dengan harga yang tinggi, sementara masyarakat mengalami kesulitan untuk menjangkau harganya. Cara seperti ini adalah cara yang telah diharamkan oleh Islam. Dalam hal ini rasulullah saw bersabda : “Tidak akan menimbun (barang) kecuali orang yang berdosa” (HR. Muslim) “Sejelek-jelek manusia adalah orang yang suka menimbun, jika mendengar harga murah dia merasa kecewa, dan jika mendengar harga naik dia merasa gembira.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim) Keenam : Pemerintah harus dapat mencegah perselisihan yang terjadi akibat tindakan-tindakan spekulasi dalam perdagangan. Banyak sekali jenis-jenis spekulasi yang mengandung kesamaran yang dilarang oleh Islam, sebagaimana dinyatakan dalam berbagai hadits. Jabir meriwayatkan bahwa, “Nabi saw. telah melarang muhaqalah, muzabanah, mukhabarah dan tsunaiya kecuali diketahui.” (HR. Tirmidzi). Anas meriwayatkan bahwa, “Rasulullah saw. telah melarang muhaqalah, mukhadarah, mulamasah, munabazah dan muzabanah. (HR. Bukhari) Sistem muhaqalah merupakan panjualan komoditas pertanian yang belum dipanen untuk memperoleh hasil panen yang kering. Penjualan secara munabazah berarti seseorang menawarkan barang yang dia miliki kepada orang lain dan penjualan tersebut dianggap sah meskipun orang tersebut tidak memegang atau melihat barang tersebut. Hal ini berarti penjual langsung melemparkan barang kepada pembeli tanpa memberi kesempatan kepada pembeli untuk memeriksa barang dan harganya. Rasulullah saw. melarang praktek jual beli ini karena terdapat kemungkinan unsur penipuan dan kesalahan.
Penjualan secara mulamasah artinya seseorang menjual sebuah barang dengan boleh memegang tapi tanpa perlu membuka atau memeriksanya. Hal ini dilarang oleh Rasulullah s.a.w karena keburukannya sama seperti cara munabazah. Abu Said al Khudri meriwayatkan bahwa “Rasulullah melarang penjualan dengan cara Mulamasah”. (Diriwayatkan pula oleh Anas dan Abu Hurairah). Kedua bentuk perdagangan seperti ini dilarang oleh Rasulullah saw. karena keduanya tidak memberi kesempatan pembeli memeriksa atau melihat barang yang dibelinya dan dapat dengan mudah ditipu atau dikelabui. Dalam bentuk penjualan muzabanah, buah-buahan ketika masih di atas pohon sudah ditaksir dan dijual sebagai alat penukar untuk memperoleh kurma dan anggur kering. Secara sederhana dapat dikatakan sebagai menjual buah-buahan segar untuk memperoleh buah-buahan kering. Rasulullah melarang cara seperti ini karena didasari atas perkiraan dan dapat merugikan satu pihak jika perkiraan temyata salah. Sebenarnya, jual beli buah yang ada pada pohon tidak termasuk pada jual beli majhul atau jual beli barang yang tidak ada, sebab komoditasnya yaitu buah memang sudah ada di atas pohon. Berkaitan dengan persoalan ini ada beberapa hal yang penting diperhatikan. Pertama, bila buah itu belum layak dikonsumsi maka tidak boleh memperjualbelikannya. Jabir menyatakan tentang Nabi SAW : “Rasulullah SAW melarang berjual beli pohon hingga baik (matang)” (HR. Muslim). “Rasulullah SAW melarang berjual beli buah hingga nampak kelayakannya.” (HR. Imam Muslim) Hadits-hadits ini dan masih banyak yang lainnya menunjukkan larangan menjualbelikan buahbuahan sebelum matang. Kedua, dari hadits-hadits itu pula dapat dikatakan bahwa bila buahbuahan itu sudah mulai nampak kelayakannya untuk dimakan maka boleh diperjualbelikan. Berdasarkan hal ini, sistem ijon yang membeli padi saat masih hijau dan belum nampak kelayakannya termasuk yang dilarang. Politik Pertanahan Menurut Islam Tanah merupakan faktor produksi paling penting yang menjadi bahan kajian paling serius para ahli ekonomi, karena sifatnya yang khsusus yang tidak dimiliki oleh faktor produksi lainnya. Sifat itu
antara lain tanah dapat memenuhi kebutuhan pokok dan permanen manusia, tanah kuantitasnya terbatas dan tanah bersifat tetap. Sifat lainnya adalah tanah bukan produk tenaga kerja. Segala sesuatu yang lain adalah produk tenaga kerja kecuali tanah. Di dalam masyarakat, permasalahan tanah juga telah menjadi penyebab pertentangan, pertikaian dan pertumpahan darah di dalam masyarakat atau antar masyarakat. Tanah juga memberi andil besar dalam perubahan struktur dan sistem masyarakat. Sistem ekonomi kapitalisme maupun sosialisme dalam hal ini sedikit banyak dipicu karena kecemburuan sosial terhadap orang-orang yang memiliki tanah karena hak-hak istimewa dan menjadikannya sebagai alat eksploitasi masyarakat. Pemilikan tanah dianggap suatu tipe kepemilikan yang par excellence (paling istimewa) di negaranegara kapitalis. Tanah boleh dimiliki oleh indivdu seluas-luasnya, bahkan menyewakannya kepada masyarakat dengan harga sewa dan harga jual yang dilakukan sewenang-wenang. Akibatnya cukup serius, harga bahan pokok naik dan inflasi terjadi. Bagi negara, tanah menjadi lahan subur bagi perolehan pajak. Gerakan Henry George tentang pajak tunggal (1886), yang memiliki jutaan pengikut di Amerika Serikat, berdasarkan fakta-fakta seperti itu ia berpendapat bahwa pada prinsipnya penyewaan tanah akan memberikan nilai tambah dan karena itu dapat dikenakan pajak tinggi tanpa perlu mengubah perangsang produksi. Namun pemilikan atas tanah secara individu justru tidak diakui dalam masyarakat sosialis. Para petani dan kaum buruh dilarang mengambil nilai tambah dari hasil kerjanya, dan statusnya sematamata sebagai buruh tani. Sistem ini secara faktual menimbulkan ketimpangan ekonomi dan menjadikan negara-negara sosialis gagal mencapai swasembada pangan pada pertengahan abad kedua puluh. Mereka masih tergantung kepada negara lain untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Kebutuhan-kebutuhan Rusia dipasok oleh Amerika Serikat sedangkan kebutuhan China didatangkan dari Australia dan Kanada. Hingga kini persoalan tentang kepemilikan tanah masih tetap belum terjawab oleh ekonomi kapitalis dan sosialis. Namun, persoalan ini telah lama mampu dijawab oleh sistem ekonomi Islam. Mekanisme Penguasaan Tanah Hingga kini persoalan kepemilikan dan penguasaan tanah masih menjadi agenda utama perekonomian. Di beberapa negara feodal dimana tanah banyak dikuasai oleh tuan tanah, ketimpangan kepemilikan dipecahkan dengan land reform. Jepang, Korea Selatan dan Taiwan adalah negara paling intens dalam sejarah modern yang menjalankan land reform setelah perang
dunia kedua. Land reforms dijalankan dengan tujuan menghapuskan, secara psikologis dan materiil¸tuan-tuan tanah yang menjadi motor penggerak di belakang negara-negara ini untuk mengobarkan perang. Reformasi ini berdampak sangat jauh dalam mempersamakan distribusi pendapatan di pedesaan dan turut menjaga perbedaan pendapatan antara kota dan desa sehingga menjadi lebih sempit daripada negara lain. Akibat reformasi ini, kekuatan kaum feodal menjadi hancur, meniadakan persewaan tanah pertanian dan membatasi kepemilkan tanah garapan. Sistem ekonomi Islam memandang kepemilikan tanah harus diatur sebaik-baiknya karena mempengaruhi rangsangan produksi. Islam secara tegas menolak sistem pembagian penguasaan tanah secara merata di antara seluruh masyarakat sebagaimana yang menjadi agenda land reform. Namun demikian, Islam juga tidak mengijinkan terjadinya penguasaan tanah secara berlebihan di luar kemampuan untuk mengelolanya. Karenanya, hukum-hukum seputar tanah dalam pandangan Islam memiliki karakteristik yang khas dengan adanya perbedaan prinsip dengan sistem ekonomi lainnya. Islam sebagai sebuah prinsip ideologi telah menjadikan bahwa pertanian adalah bagian integral dari persoalan manusia yang harus dipecahkan dan diatur dengan sebaik-baiknya sebagaimana sektor lainnya. Untuk itulah Islam ketika membahas pertanian maka ia dibahas sebagai bagian integral dari dari berbagai bidang kehidupan lainnya. Dan yang lebih penting lagi bahwa pembahasan Islam tentang politik pertanian diarahkan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pokok manusia dan upaya mereka untuk meningkatkan kesejahteraan.
BAB IV KESIMPULAN Dapat disimpulkan bahwa sistem produktif dalam negara Islam harus dikendalikan dengan kriteria objektif maupun subjektif. Kriteria objektif diukur dengan kesejahteraan material, seangkan kriteria subjektif harus tercermin dalam kesejahteraan yang harus dinilai dari segi etika ekonomi Islam. Dalam Islam, faktor produksi tidak hanya tunduk pada proses perubahan sejarah yang didesak oleh banyak ke-kuatan berlatar belakang penguangan / monetization tenaga kerja, tanah dan modal, timbulnya negara nasional dari kerajaan feodal dan sebagainya, tetapi juga pada kerangka moral dan etika abadi sebagaimanatertulis dalam syariat. Tanah tidak dianggap sebagai hak kuno istimew dari negara dan kekuasaan, tetapi dianggap sebagai sarana untuk meningkatkan produksi yang digunakan demi kesejahteraan individu dan masyarakat. Konsep hak milik pribadi dalam Islam bersifat unik, dalam arti bahwa pemilik mutlak segala sesuatu yang ada di bumi dan langit adalah Allah14 manusia hanyalah kalifah di muka bumi. Pada umumnya terdapat ketentuan syariat yang mengatur hak milik pribadi. Beberapa aspek pembiayaan dalam Islam cukup bervariasi, jika dalam ekonomi modern pemerintah memperoleh pendapatan dari sumber pajak, bea cukai dan pungutan, maka Islam lebih memperkayanya dengan zakat, jizyah, kharaj (paja bumi), pampasan perang. Meskipun nilai nominal zakat lebih kecil dari pajak dalam ekonomi modern tetapi pemberlakukan distribusinya lebih efektif. Sebagai contoh pada masa depresi di Amerika tahun
1929 (jatuhnya bursa saham di New York), ahli makro ekonomi Keynes, menyarankan agar masyarakat Amerika yang berduit melakukan komsumsi tinggi - salah satu penyebab terjadinya depresi ekonomi adalah akibat terkonsentrasinya modal pada segelintir orang – diharapkan dengan konsumsi tinggi akan mengalir dana dan menjadi efek rembes ke kemasyarakat. Akan tetapi efek rembes dana dari orang kaya biasanya mengalir lambat pada orang miskin,
Keunggulan
pembangunan Islam yang mengacu pada meningkatnya output dari setiap jam kerja yang dilakukan, bila dibandingkan dengan konsep modern, disebabkan karena keinginan pembangunan ekonomi dalam Islam tidak hanya timbul dari masalah ekonomi abadi manusia, tetapi juga dari anjuran Ilahi dalam Qur’an dan Sunnah. Pertumbuhan output per kapita, di satu pihak tergantung pada sumber daya alam dan di lain pihak pada perilaku manusia. Tetapi sumber daya alam saja bukan merupakan kondisi yang cukup untuk pembangunan ekonomi, juga bukan sesuatu yang mutlak diperlukan. Perilaku manusia memainkan peranan yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi. Namun pembentukan perilaku manusia di negara terbelakang adalah suatu proses yang menyakitkan karena memerlukan penyesuaian dengan lembaga-lembaga sosial, ekonomi, hukum, politik. Berbeda dari agama lainnya, Islam mengakui kebutuhan metafisik maupun material dari kehidupan. Karena itu masalah penempatan perilaku manusia di suatu negara Islam tidaklah sesulit di negara-negara sekular. Demikianlah pandangan Islam tentang masalah pertanahan menurut tinjauan system politik ekonomi Islam. Seharusnya seluruh kebijakan pemerintah senantiasa berdasarkan aturan Islam. Sebab Islam tidak hanya mengatur masalah ritual ibadah tapi Islam juga mengatur masalah siyasah (politik). Hal ini menunjukkan sempurnanya Islam. Kesempurnaan Islam tidak akan terwujud tanpa adanya system yang sempurna yakni Khilafah. Berkata Imam An-Nawawi rahimahullah: Profesi yang paling baik adalah pekerjaan yang dilakukan dengan tangannya. Sesungguhnya pertanian adalah profesi terbaik karena mencakup (3 hal) merupakan (1) pekerjaan yang dilakukan dengan tangan, (2) dalam pertanian terdapat tawakkal dan (3) Pertanian memberikan manfaat yang umum bagi manusia, binatang dan burung.
DAFTAR PUSTAKA Deliarnov.1995. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Raja Garfindo Persada Fuad Mohd Fachruddin.1983.Riba Dalam Bank, Koperasi, Perseoran & Asuransi. Alma’arif : Bandung. Muhammad Abdul Mannan.1993.Teori dan Praktek Ekonomi Islam. PT. Dana Bhakti Wakaf . M.Reza Rosadi. 2012. Politik Pertanian Dalam Islam . http://hizbut-tahrir.or.id/2008/04/ 28/serialsyariah-politik-pertanian-dalam-islam/. Diakses 25 Maret 2012. Med Nurhindarno, S.P. 2007. Tanah Pertanian Dalam Politik Ekonomi Islam. IPB : Bogor. Robert L. Heilbroner. 1986.Tokoh-Tokoh Besar Pemikir Ekonomi. UI Press. Tim dosen PAI.2005.Pendidikan Agama Islam.Universitas Brawijaya. Winardi. 1986. Kapitalisme Versus Sosialism. Remadja Karya : Bandung.