Artinya: Tidakkah kamu memperhatikan bahwa Allah telah menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang di bumi untuk (kepentingan)mu dan menyempurnakan nikmat-Nya untukmu lahir dan batin. Tetapi di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan. Firman
Allah
QS.
Al-Baqarah:275
meletakkan
prinsip
umum
dihalalkannya berjual beli dan diharamkannya riba.
........
Artinya: ... Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. .. Sedangkan firman Allah QS. Al-Nisa:32 meletakkan prinsip umum, dengan keputusan bahwa hasil pekerjaan kembali kepada yang mengerjakannya, tak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita.
)32(
Maksudnya : "Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Kerana) bagi orang lelaki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.(Surah an-Nisa' (4) ayat 32) Firman Allah QS. Al-Hasyr:7 yang meletakkan kendali umum, dengan memutuskan bahwa pemimpin harus dapat mengembalikan distribusi kekayaan dalam masyarakat manakala tidak ada keseimbangan di antara mereka yang dipimpinnya. .........
Artinya: supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.
Rasulullah bersabda, “Semua muslim atas muslim lainnya, haram darahnya, kehormatannya dan hartanya.” Hadist tersebut meletakkan prinsip umum, yakni haram menganiaya dengan menerjang hak atas harta orang Islam lainnya. Prinsip-prinsip umum adalah prinsip-prinsip yang tidak berubah ataupun berganti serta cocok untuk setiap saat dan tempat, tanpa peduli dengan tingkat kemajuan ekonomi dalam masyarakat. Dua prinsip utama dalam ajaran Islam: 1. Tidak
seorangpun
atau
sekelompok
orangpun
yang
berhak
mengeksploitasi orang lain. 2. Tidak sekelompok orangpun boleh memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi di kalangan mereka saja. Dengan demikian, seorang muslim harus yakin bahwa perekonomian suatu kelompok, bangsa, maupun individu pada akhirnya kembali ke tangan Allah, sehingga ia tidak akan diperbudak dunia. Islam memandang umat Islam sebagai satu keluarga, maka setiap manusia memiliki derajat yang sama dihadapan Allah dan di depan hukum yang diwahyukan-Nya. Oleh karena itu, konsep persaudaraan dan perlakuan yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat di muka hukum tidak akan ada artinya jika tidak disertai keadilan ekonomi yang memungkinkan setiap orang memeroleh hak atas sumbangannya terhadap masyarakat. Agar tidak ada eksploitasi yang dilakukan kepada orang lain, Allah melarang umat Islam memakan hak orang lain, sebagaimana firman-Nya:
(183). Artinya: Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan
janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan; Berdasarkan tinjauan terhadap ayat-ayat al-Qur’an dapat diketahui adanya dua prinsip ekonomi yang dilakukan oleh umat manusia. Prinsip ekonomi tersebut adalah: 1.
Prinsip Zhulumat / Syar (Non Islam) Prinsip ekonomi non islam (zulumat) adalah prinsip ekonomi yang melandaskan pada pola pikir materialisme, yang menempatkan manusia sebagai segala-galanya, baik secara kolektif atau komunal, maupun individual atau liberal. Tata aturan yang bersangkut paut dengan kegiatan ekonomi ditetapkan berdasarkan aturan manusia. Prinsip inilah yang melandasi ekonomi kovensional pada kurun waktu sejak dunia Barat mendominasi peradaban. Prinsip ekonomi yang demikian dinyatakan dalam Al-Quran sebagai penyesat kehidupan, dimana pada akhirnya akan melahirkan peradaban yang saling bakuhantam dan mencari kelengahan pihak lain.
"Barangsiapa mencari agama, selain daripada agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." – (QS.Ali-Imran:85) 2.
Prinsip Nur (Khair) Prinsip ekonomi yang didasarkan atas konsep ketuhanan secara fungsional. Maksudnya, hal yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi, ditetapkan berdasarkan aturan Allah swt dalam Al-Quran, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah.
Kemudian prinsip-prinsip tersebut dapat kita ketahui, diantaranya: a. Alam beserta isinya ini mutlak milik Allah SWT.
"Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya, dan semua yang di bawah tanah." (QS.Thaha:6)
b. Alam merupakan nikmat atas karunia Allah
“Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.” (QS. Luqman : 20) c. Alam kurnia Allah yang harus dijaga dan dimanfaatkan dengan tidak melampaui batas-atas ketentuan:
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid,
makan
dan
minumlah,
dan
janganlah
berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (QS. Al-Araf : 31)
d. Hak milik persorangan diakui sebagai hasil jerih payah usaha yan halal
dan hanya boleh dipergunakan untukha;-hal yang halal pula.
”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambil-nya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Mahakaya lagi Mahaterpuji”. ( QS. Al-Baqarah : 267)
e. Allah melarang menimbun kekayaan tanpa ada manfaat bagi sesama manusia
”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah
kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”.(QS. At-Taubah : 34)
f. Di dalam harta orang kaya itu terdapat hak orang miskin, fakir dan lain sebagainya
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”. (QS. Al-Israa’ : 26)
2.2 Sistem Ekonomi Islam
Ekonomi rabbani menjadi ciri khas utama dan model Ekonomi Islam, secara umum dapat dikatakan sebagai divine economic. Cerminan watak “ketuhanan” ekonomi Islam bukanpadaa aspek pelaku ekonominya, tetapi pada aspek aturan atau system yang harus dipedomani oleh para pelaku ekonomi. Ini didasarkan pada keyakinan bahwa semua faktor ekonomi termasuk diri manusia pad dasarnya adalah kepunyaan Allah, dan kepada Nya dikembalikan segala urusan (QS. Ali Imran: 109). Melalui aktivitas ekonomi , manusia dapat mengumpulkannafkh sebanyak mungkin, teetapi tetap berada pada batas koridor aturan main. “Dialah yang member kelapangan atau membatasi rezeki or ang yang Dia kehendaki.” (QS. AlSyuara : 12; Al-Ra’d : 26). Karena hikmah Ilahiah, untuk setiap makhluk hidup telah Dia sediakan rezekinya slama ia tidak menak untuk mendapatkannya
(QS. Hud : 6). Namun Allah tak pernah menjamin
kesejahteraan ekonomi tanpa manusia tadi melakukan usaha. Sebagai ekonomi yang ber-Tuhan maka ekonomi Islam mempunyai 2 sumber “nilai-nilai normative-imperatif”, sebagai acuan yang mengikat. Dengan mengakses kepada aturan ilahiah, setiap pebuatan manusia
mempunyai nilai moral dan ibadah. Setiap tindakan manusia tidak boleh lepas dari nilai, secara vertikal merefleksikan moral yang baik, dan secara horizontal member manfaat bagi manusia dan makhluk lainnya. Nilai moral samahah (lapang dada, lebar tangan, dan murah hati) merupakan prasyarat bagi pelaku ekonomi untuk mendapatkan Rahmat Ilahi, baik selaku pedagang, konsumen, debitor, maupun kreditor. Dengan demikian posisi ekonomi Islam terhadap nilai-nilai moral adaah syarat nilai (value loaded ), bukan sekadar member nilai tambah (value neutral ). Untuk memahami hubungan antara agama secara umum dan ekonomi, terlebih dahulu harus dipelajari cakupan bahasan dan bidang kerjanya masing-masing. Sehingga kan diperoleh benang merah diantara kedua hal tersebut. Michael Mayer dalam bukunya Instruction Morales et Religieusu, lere leson, mendefinisikan agama sebagai seperangkat kepercayaan dan atran yang pasti untuk membimbing kita dalam indakan kita terhadap Tuhan, orang lain dan terhadap diri sendiri (Monzer Kahf, 1995). Sementara ekonomi, pada umumnya didefinisikan sebagai kajian tentang perilaku manusia dan hubungannya dengan pemanfaatan sumber-sumber produktif yang langka untuk memproduksi barang-barang dan jasa-jasa serta mendestribusikannya untuk konsumsi. Dengan demikian garapan ekonomi adalah salah satu sektor perilaku manusia yang berhuungan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi. Dengan membuat perbandingan definisi kedua hal tersebut bahwa agama merupakan sebuah aturan yang memberikn arah dan batasa dalam berbagai kegiatan ekonomi. Pada dasarnya sistem ekonomi Islam dibentuk dengan bersumberkan pada Islam itu sendiri. Pertama Al-Quran, firman (kalam) Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai petunjuk bagi kehidupan dan perilaku manusia. Kedua, Sunnah, pemahaman dan aplikasi Nabi terhadap Al-Quran.. Sebuah sistem dibentuk melalui sebuah metodologi. Demikian juga sistem ekonomi Islam, dibentuk dari dua macam metodologi. Pertama metode
deduksi, yang dikembangkan oleh para ahli hukum Islam atau Fuqaha. Ia diaplikasikan pada ekonomi Islam modern untuk menampilkan prinsip prinsip, sistem Islam dan kerangka hukumnya dengan berlandaskan sumbersumber Islam, yaitu Al-Quran dan Sunnah. Kedua, metode pemikiran retrospektif yang banyak digunakan oleh para penulis muslim kontemporer yang merasakan tekanan kemiskinan dan keterbelakangan di dunia Islam dan berusaha mencari berbagai pemecahan terhadap persoalan-persoalan ekonomi umat muslim dengan kembali terhadap Al-Quran dan Sunnah untuk mencari dukungan atas pemecahan persoalan tersebut, dan mengujinya dengan memperhatikan petunjuk Tuhan. 2.3 Manajemen Zakat 2.3.1
Pengertian dan Dasar Hukum Zakat
Menurut bahasa, zakat berasal dari kata zaka yang berati berkah, tumbuh, bersih, dan baik.pendapat lain tetang buah zaka berarti bertambah, sedang segala sesuatu yang bertambah disebut zakat. Menurut istilah fiqih, zakat berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada yang berhak. Menurut Nabawi, jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut zakat karena yang dikeluarkan itu menambah banyak, membuat lebih berarti, dan melindungi kekayaan dari kebinasaan (Qardlawi, 1969). Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah, jiwa dan kekayaan orang yang berzakat itu menjadi bersih dan kekayaannya akan bertambah (al-Jaziri: 590). Hal ini sesuai dengan firman Allah QS. Al-Taubah: 103.
Artinya: Pungutlah zakat dari kekayaan mereka, engkau bersihkan dan
sucikan mereka dengannya. (QS. Al-Taubah: 103) Dari ayat tersebut tergambar bahwa dengan mengeluarkan zakat, para muzakki dapat mensucikan dan membersihkan hati mereka. Para muzakki akan disucikan dari sifat tercela terhadap harta sepeti rakus dan kikir.
Sedangkan pihak si miskin, zakat akan membuat hati mereka bersih dari rasa dengki dan iri terhadap orang yang memiliki kekayaan dan harta benda. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa zakat dari satu segi adalah ibadah dan di segi lain merupakan kewajiban sosial. Zakat merupakan dasar prinsipil untuk menegakkan struktur sosial islam dan merupakan sedekah wajib. Perintah
untuk
menuanaikan
zakat
terdapat
dalam
QS.
Al-
Baqarah:110.
Artinya: Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat dan apa-apa
yang kamu usahakan berupa kebaikan darimu, tentu kamu akan mendapatkan pahalanya di sisi Allah. Sesungguhnya Allah itu Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 110) Al-Qur’an menyebutkan harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah emas dan perak, binatang ternak, harta perdagangan, hasil tanaman dan tumbuh-tumbuhan, harta rikaz dan ma’din, hasil laut dan harta profesi yang masing-masing telah ditentukan nisab dan kadarnya. Orang-orang yang berhak menerima zakat adalah fakir, miskin, amil (orang yang mengurus zakat), muallaf (orang yang baru masuk islam dan lemah imannya), fir riqab (hamba sahaya), gharim (orang yang berhutang), fi sabilillah (segala usaha baik untuk kepentingan Islam), dan ibnu sabil (orang yang kehabisn biaya dalam perjalanan melakukan hal baik). Dari delapan golongan tersebut dapat dilihat bahwa fakir dan miskin merupakan prioritas utama yang berhak menerima zakat. Hal ini menunjukkan bahwa zakat bertujuan menghapus kemiskinan dan kemelaratan umat Islam, serta menunjukkan pentingnya kedermawanan dan kepedulian umat Islam terhadap sesama umat manusia. 2.3.2
Manajemen Pengelolaan Zakat Produktif
Pada tahun 1990-an, beberapa perusahaan dan masyarakat membentuk Baitul Mal atau lembaga zakat yang bertugas mengelola dana ZIS (Zakat, Infak, dan Sedekah) dari karyawan perusahaan yang bersangkutan, dan masyarakat, misalnya Dompet Dhu’afa Republika (DDR). Pada tahun 1997, DDR menggelar seminar zakat perusahaan di Jakarta yang pesertanya lebih dari seratus orang, dan 70%nya mewakili Baitul Mal lembaga zakat dari berbagai perusahaan. Setelah berakhirnya seminar tersebut, terbentuklah Forum Zakat (FOZ). FOZ memayungi keberadaan LPZ dan asosiasi ini sangat diperlukan karena ia merupakan lembaga konsultatif, koordinatif, dan informatif tentang zakat. Pada awal Agustus 1999, Menteri Agama RI, A. Malik Fajar, membacakan RUU tentang Pengelolaan Zakat di depan Sidang Paripurna DPR-RI. Setelah melalui perjuangan panjang, pada 23 September 1999 Presiden B. J.Habibie, mengesahkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang zakat. Undang-undang tersebut kemudian diikuti dengan keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 38 Tahun 1999, tentang Pengelolaan Zakat. Jika diperhatikan, umat Islam di Indonesia akhir-akhir ini sangat mengharapkan pengelolaan zakat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Mereka mengharapkan lembaga zakat itu dapat meningkatkan kemampuan masyrakat fakir miskin, meningkatkan kesehatan masyarakat, meberikan beasiswa kepada mereka yang terus belajar, dan member modal kepada mereka yang ingin berusaha dan sebagainya. Tujuan umum usaha-usaha pengembangan zakat di Indonesia adalah agar bangsa Indonesia lebih mengamalkan seluruh ajaran agamanya, dalam hal ini zakat yang diharapkan dapat menunjang perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai masyarakat adil dan makmur materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Meskipun umat Islam selalu melaksanakan kewajibannya membayar zakat, namun pengaruh lembaga tersebut masih belum nampak kuat dalam perkembangan ekonomi
masyarakat atau dengan kata lain zakat belum dapat meningkatkan kesejahteraan umat secara meneyluruh. Padahal apabila zakat dikelola secara optimal
dan
professional
dengan
tetap
menerapkan
fungsi
standar
manajemen, yakni perencanaan(planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan
(actuating),
dan
pengawasan
(controlling),
jelas
akan
mewujudkan dan meningkatkan keadilan sosial dan kesejahteraan umat. Meskipun cukup banyak hal yang mendorong umat Islam dalam melaksanakan zakat tetapi masih ada cukup banyak hal yang menjadi masalah. Masalah tersebut antara lain adalah kurangnya pemahamantentang zakat. Sampai saat ini pengertian mereka tentang zakat maupun lembagalembaga zakat masih kurang dibandingkan dengan amsalah sholat, puasa, dan haji, Masalah kedua yaitu tentang konsepsi fikih zakat. Fikih zakat yang selama ini diajarkan merupakan hasil dari perumusan pada beberapa abad yang lalu, sehingga kurang sesuai jika diterapkan pada kehidupan modern sekarang ini. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia sekarang mempunyai sector-sektor industri atau pelayanan jasa yang tidak tertampung dalam fikih zakat yang telah ada. Masalah ketiga adalah adanya benturan kepentingan organisasiorganisasi atau lembaga-lembaga sosial Islam yang memungut zakat ini misalnya BAZ (Badan Amil Zakat) atau LAZ (Lembaga Amil Zakat), organisasi pengelola zakat yang baru. Disamping itu juga masih ada sebagian masyarakat yang kurang percaya terhadap lembaga pengumpul zakat yang ada sehingga banyak muzakki yang menyerahkan zakat kepada yang ia kehendaki tanpa koordinasi dengan lembaga pengelola zakat yang sudah ada. Untuk memcahkan masalah-masalah tersebut ada beberapa upaya yang harus dilakukan, antara lain dengan menyebarluaskan pengertian zakat baik melalui pendidiakn formal maupun nonformal. Disamping itu penyebarluasan pengertian zakat juga dapat dilakukan melalui seminar, media elektronik, media cetak dan penyuluhan, terutama tentanng hukumnya,
barang yang dizakati, pendayagunaan, dan pengorganisasiannya sesuai dengan perkembangan zaman. Upaya lain yaitu dengan merumuskan fikih zakat baru. Fikih zakat tersebut diharapkan dapat menampung perkembangan yang ada dan aka nada di Indonesia. Fikih zakat tersebut dibuat oleh para ahli yang ahli dalam bidangnya yang berkaitan dengan zakat. Sumber zakat hendaknya semua jenis barang yang bernilai ekonomis yang ada dalam masyarakat Indonesia. Berdasarkan UU No. 38 Tahun 1999, pengelolaan zakat dilakukan oleh Badan Amil Zakat yang dibentuk oleh pemerintah, baik ditingkat pusat maupun daerah. Organisasi BAZ di semua tingkatan bersifat konsultatif, koordinatif, dan Informatif. Pengurus BAZ terdiri dari unsure masyrakat dan pemerintah yang memenuhi persyaratan tertentu, antara lain memiliki sifat amanah, jujur, adil, berdedikasi, professional, dan berintegritas tinggi. Meskipun pemertintah membentuk Badan Amil Zakat, tetapi dalam Keputusan Menteri Agama RI No. 581 Tahun 1999 masyarakat tetap diberikan kesempatan untuk mendirikan institusi pengolahan zakat yang sepenuhnya dibentuk atas prakarsa dan oleh masyarakat sendiriyang disebut Lembaga Amil Zakat (LAZ). LAZ yang telah dan akan dibentuk harus dikukuhkan, dibina, dan dilindungi oleh pemerintah. Dengan adanya BAZ dan LAZ
ini diharapkan zakat, infaq, dan
shadaqah yang diberikan oleh umat Islam yang mempunyai kelebihan harta dapat dikelola dan dapat didistribusikam kepada yang ebrhak. Meskipun masyarakat telah diberi kesempatan untuk membentuk LAZ, namun dalam amsyarakat masih cukup banyak lembaga-lembaga pengelola zakat. Dengan kondisi seperti itu maka akan susuah untuk melakukan koordinasi. Berhasilnya
pengelolaan
zakat
tidak
hanya
bergantung
pada
banyaknya zakat yang terkumpul tetapi sangat terga ntung pada dampak dari pengelolaan zakat tersebut dalam masyarakat. Untuk itu dalam pengelolaan zakat terdapat beberapa prinsip, antara lain:
1. Pengelolaan harus berlandaskan al-Quran dan Sunnah. Zakat merupakan salah satu bentuk ibdahan kepada Allah yang erat kaitannya dengan masalah ekonomi dan sosial masyrakat. Oleh akrena itu dalam pengelolaannya pun harus sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam al-Quran dan Sunnah. 2. Keterbukaan. Untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga amil zakat, maka pihak pengelola zakat harus menerapkan manajemen yang terbuka. Oleh karena itu, pihak pengelola zakat harus menggunakan sistem informasi modern yang dapat diakses secara langsung oleh pihak-pihak yang memerlukan. Pihak pengelola zakat juga harus membuat laporan secara berkala, baik mengenai dana yang terkumpul, pendistribusiannya, juga mustahiq yang pernah mendapatkan dana zakat. Dengan demikian perkembangan mustahiq dapat diketahui setiap saat. Untuk itu ami zakat harus terus membina dan memantau para mustahiq. 3. Menggunakan manajemen dan administrasi modern. Oleh karena itu pengurus BAZ maupun LAZ harus terdiri dari berbagai orang yang memiliki pengetahuan di bidangnya masing-masing sesuai dengan tenaga yang diperlukan dalam pengelolaan zakat contohnya ahli hukum, ahli hukum Islam, ekonom, banker, ahli administrasi, ahli komunikasi, ahli manajemen dan lain-lain sesuai dengan kebutuhan dan tingkatannya. Dalam mengelola zakat, BAZ maupun LAZ harus memiliki perencanaan yang matang, mulai dari menentukkan muzakki, mustahiq, pola pengelolaan dan lain-lain. Disamping itu, pengorganisasiannya juga harus dilaksanakan dengan baik sehingga pengarahan dapat dilakukan. Dalam
pengelolaan
zakat
ini
juga
diperlukan
adanya
pengawasan/controlling dari semua pihak. Dengan demikian jika ada halhal yang kurang sesuai dengan aturan yang sebenarnya dapat segera diperbaiki. Untuk memudahkan mustahiq dalam menyerahkan zakatn infak dan sadakah, pengelola zakat seharusnya bekerja sama dengan bank bank Islam.
4. BAZ dan LAZ harus mengelola zakat sebik-baiknya sesuai dengan Undang-Undang 38 Tahun 1999 dan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia, Badan Amil Zakat, dan Lembaga Amil Zakat harus bersedia diaudit. Disamping itu amil juga harus berpegang teguh pada tujuan pengelolaan zakat, yang antara lain sebagai berikut: 1.
Mengangkat harkat dan martabat fakir miskin dan membantunya keluar dari kesulitan dan penderitaan.
2.
Membantu pemecahan permasalahan yang dihadapi para mustahik.
3.
Meningkatkan syi’ar Islam
4.
Menjembatani antara yang kaya dan yang miskin dalam suatu masyarakat.
5.
Mengangkat harkat dan martabat bangsa dan Negara
6.
Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial dalam masyarakat. Apabila prinsip-prinsip pengelolaan dan tujuan pengelolaan zakat
dipegang oleh amil zakat baik itu berupa badan atau lembaga, dan zakat, infaq, dan shadakah dikelola dengan manajemen modern dengan tetap menerapkan empat fungsi standar manajemen, nampaknya sasaran zakat, infaq, dan sadaqah akan tercapai. Oleh karena itu, yang menjadi amil zakat harus benar benar orang yang professional, jujur, amanah, dan mempunyai komitmen terhadap prinsip-prinsip dan tujuan pengelolaan zakat. Yang menjadi masalah saat ini adalah masih ada pengelola zakat yang bekerja sendiri tanpa melakukan koordinasi dengan amil zakat yang lain atau BAZ dan LAZ, ditambah lagi mereka mengelola zakat masih tradisional dan konsumtif. Keadaan yang demikian menyebabkan zakat, infaq, dan sadaqah belum dapat menciptakan kesejahteraan umat dan keadilan sosial. 2.4 Manajemen Wakaf
Wakaf adalah salah satu bentuk dari lembaga ekonomi Islam. Ia merupakan lembaga Islam yang satu sisi berfungsi sebagai Ibadah kepada Allah, sedangkan di sisi lain wakaf juga berfungsi sosial. Wakaf muncul dari
suatu pernyataan dan perasaan iman yang mantap dan solidaritas yang tinggi antara sesama manusia. Oleh karenanya wakaf adalah salah satu lembaga Islam yang dapat dipergunakan oleh seorang muslim untuk mewujudkan dan memelihara hubungan manusia dengan Allah dan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat. Dalam fungsinya sebagai ibadah, wakaf diharapkan dapat menjadi bekal bagi kehidupan si wakif di hari kemudian, karena ia merupakan suatu bentuk amalan yang pahalanya akan terus mengalir selama harta wakaf itu dimanfaatkan. Sedangkan dalam fungsi sosialnya, wakaf merupakan aset yang amat bernilai dalam pembangunan umat 2.4.1 Permasalahan Wakaf di Indonesia
Di Indonesia, wakaf telah dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama Islam masuk di Indonesia. Menurut Departemen RI, sampai dengan September 2002 jumlah seluruh tanah wakaf di Indonesia sebanyak 359.462 lokasi dengan luas 1.472.047.607,29 m 2. Sebenarnya wakaf merupakan salah satu lembaga Islam yang sangat potensial untuk lebih dikembangkan guna membantu masyarakat yang kurang mampu. Sayangnya wakaf yang jumlahnya begitu banyak, pada umumnya pemanfaatannya masih bersifat konsumtif dan belum dikelola secara produktif. Wakaf yang ada di Indonesia pada umumnya berupa masjid, mushalla, madrasah, sekolah, makam, dan rumah yatim piatu. Dilihat dari segi soci al dan ekonomi, wakaf yang ada memang belum dapat berperan dalam menanggulani masalah di bidang tersebut. Hal itu disebabkan karena kebanyakan wakaf yang ada kurang maksimal dalam pengelolaannya. Agar wakaf di Indonesia dapat memberdayakan ekonomi umat, maka perlu dilakukan paradigma baru dalam pengelolaan wakaf yang produktif. Untuk itu, sebelum dilakukan pengelolaan wakaf produktif, perlu dilakukan pengkajian dan perumusan kembali mengenai benda-benda yang dapat di wakafkan (mauquf bih), peruntukan wakaf (mauquf ‘alaih), tugas dan kewajiban serta hak-hak nadzir. Hasil pengkajian dan perumusan wakaf
tersebut kemudian disosialisasikan kepada masyarakat, sehingga mereka dapat memahaminya. 2.4.2 Manajemen Pengelolaan Wakaf di Indonesia
Berbicara tentang pengelolaan wakaf, berarti juga harus berbicara masalah nadzir wakaf. Nadzir dapat diartikan sebagai orang atau pihak yang berhak untuk bertindak atas harta wakaf, baik untuk mengurus, memelihara dan mendistribusikan hasil wakaf kepada orang yang berhak menerimanya, ataupun mengerjakan segala sesuatu yang memungkinkan harta itu tumbuh dengan baik dan kekal. PP. No.28 Tahun 1977 Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa nadzir berkewajiban untuk mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf serta hasilnya menurut ketentuan-ketentuan yang diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama sesuai dengan tujuan wakaf. Pasal 10 ayat (1) Peraturan Menteri Agama No. I Tahun 1987 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 dengan jelas menyatakan bahwa nadzir berkewajiban mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf dan hasilnya meliputi: 1. Menyimpan salinan lembar kedua salinan Akta Ikrar Wakaf 2. Memelihara tanah wakaf 3. Memanfaatkan tanah wakaf 4. Memanfaatkan dan berusaha meningkatkan hasil wakaf 5. Menyelenggarakan pembukuan/ administrasi yang meliputi: a. Buku catatan tentang keadaan tanah wakaf b. Buku catatan tentang pengelolaan dan hasil tanah wakaf c. Buku catatan tentang penggunaan hasil tanah wakaf Di Indonesia masih sedikit orang yang mewakafkan tanahnya dalam bentuk tanah pertanian. Andaikatapun ada, untuk mengelola tanah tersebut masih tetap memerlukan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu, sudah
saatnya umat Islam Indonesia memikirkan cara mengelola wakaf yang ada ini supaya dapat mendatangkan kemanfaatan pada semua pihak. Langkah mengelola wakaf produktif di Indonesia adalah yang pertama membentuk suatu badan atau lembaga yang khusus mengelola wakaf yang ada dan bersifat nasional, contohnya Badan Wakaf Nasional. Kemudian, Badan Wakaf Nasional harus menyusun perencanaan yang matang tentang hal-hal yang harus dilakukan dalam pengelolaan wakaf. Langkah selanjutnya adalah memperkuat organisasi pengelolaan wakaf, dan yang tidak kalah pentingnya yakni perlu adanya pengarahan dan pengawasan. Badan Wakaf Nasional ini sebaiknya bersifat independen; pemerintah dalam hal ini hanyalah sebagai fasilitator. Pada prinsipnya tugas Badan Wakaf Nasional adalah menangani seluruh wakaf yang ada, namun karena selama ini wakaf yang ada di Indonesia berupa tanah dan masing-masing sudah ada nadzirnya dan pembinaannya ada di bawah Direktorat Zakat dan Wakaf, maka terhadap tanah wakaf yang sudah ada, Badan Wakaf Nasional hanya membantu memberdayakan wakaf tersebut dengan membuat kebijakankebijakan yang mengarah pada peningkatan kemampuan para nadzir wakaf, sehingga mereka dapat mengelola wakaf yang menjadi tanggungjawabnya secara produktif. Untuk itu Badan Wakaf Nasional hanya mengelola wakaf benda-benda bergerak dan wakaf tunai (uang). Hasil pengembangan benda-benda bergerak terutama wakaf uang tersebut dipergunakan untuk pihak-pihak yang membutuhkan, yaitu: 1. Yayasan-yayasan Islam 2. Fakir miskin 3. Yatim piatu 4. Biaya pendidikan dan kesehatan masyarakat 5. Modal usaha 6. Rehabilitasi orang cacat 7. Pengembangan budaya
8. Pembangunan rumah sakit 9. Riset 10. Pembangunan sarana dan prasarana peribadatan umat Islam 11. Memberdayakan wakaf benda-benda tidak bergerak yang ada
Wakaf uang ini penting sekali untuk dikembangkan di Indonesia di saat kondisi perekonomian yang kian memburuk. Kaum umat Islam mampu melaksanakannya dalam skala besar, maka akan terlihat implikasi positif dari kegiatan wakaf tunai tersebut. Wakaf tunai mempunyai peluang yang unik bagi terciptanya investasi di bidang keagamaan, pendidikan, dan pelayanan social. Jika ada lembaga wakaf yang mampu mengelola wakaf uang secara profesiona, maka lembaga ini merupakan sarana baru bagi umat Islam untuk beramal. Dalam masalah ini Mustafa Edwin Nasution pernah melakukan asumsi bahwa jumlah penduduk muslim kelas menengah di Indonesia sebanyak 10 juta jiwa dengan rata-rata penghasilan perbulan antara Rp 500.000 – Rp 10.000.000, maka dapat dibuat perhitungan sebgai berikut: 1. Apabila umat islam yang berpenghasilan Rp 500.000 sejumlah 4 juta orang dan setiap tahun masing-masing berwakaf sebanyak Rp 60.000 maka setiap tahun terkumpul Rp 240 Milyar. 2. Apabila umat islam yang berpenghasilan Rp 1-2 juta sejumlah 3 juta orang dan setiap tahun masing-masing berwakaf sebanyak Rp 120.000 maka setiap tahun terkumpul Rp 360 Milyar. 3. Apabila umat islam yang berpenghasilan Rp 2-5 juta sejumlah 2 juta orang dan setiap tahun masing-masing berwakaf sebanyak Rp 600.000 maka setiap tahun terkumpul Rp 1,2 triliun. 4. Apabila umat islam yang berpenghasilan Rp 5-10 juta sejumlah 1 juta orang dan setiap tahun masing-masing berwakaf sebanyak Rp 1,2 juta maka setiap tahun terkumpul Rp 1,2 triliun.
Dengan demikian wakaf yang terkumpul selama satu tahun sejumlah Rp 3 triliun. berdasarkan pembahsan yang sudah dikemukakan jelas zakat dan wakaf di Indonesia saat ini perlu mendapat perhatian khusus, karena lembagalembaga tersebut merupakan lembaga potensial untuk dikembangkan.
BAB II PENUTUP 3.1 Kesimpulan
Ekonomi islam merupakan sebuah madzhab ekonomi yang terjelma di dalamnya bagaimana cara Islam mengatur kehidupan perekomian. Ekonomi islam memiliki dua prinsip utama yaitu prinsip zhulumat (non islam) yaitu prinsip ekonomi yang melandaskan pada pola piker materialisme dan prinsip nur (khair) yaitu prinsip ekonomi yang didasarkan atas konsep ketuhanan secara fungsional. Sedangkan sistem ekonomi islam bersumber pada AlQur’an dan Sunnah. Sistem ekonomi islam juga dibagi menjadi dua metodologi yaitu metode diskusi dan metode pemikiran retrospektif. Zakat merupakan sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk diserahkan kepada yang berhak. Maka perlu adanya lembaga Islam yang mengelola
zakat
tersebut
agar
menjadi
produktif,
sehingga
mampu
mensejahterakan masyarakat umum. Begitu juga dengan wakaf yang merupakan lembaga ekonomi islam yang bertujuan untuk mewujudkan dan memelihara hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia lain melalui harta atau aset yang diwakafkan. Untuk mencapai hal tersebut perlu adanya manajemen dalam mengelola wakaf yang produktif.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Dosen PAI. 2012. Buku Daras Pendidikan Agama Islam di Universitas Brawijaya. Malang: Pusat Pembinaan Agama (PPA) Universitas Brawijaya.
Pertanyaan dan jawaban hasil diskusi:
No.
Penanya
Pertanyaan
1.
Widya Vicky Alfiona
Bagaimana pandangan Islam tentang bunga bank?
145070301111020 2.
Triana Dessy Fitrianti
Bagaimana konsep perekonomian Islam di Indonesia?
145070301111011 3.
Salsabila Absari
Apa yang dimaksud rikaz dan ma’din?
145070300111008 4.
Regina Safitri
Apa yang dimaksud Badan Wakaf Nasional bersifat independen dan
Permatasari
mengapa harus independen?
145070307111019 5.
6.
Nur Fitriana
Apakah sistem ekonomi di Indonesia sudah merupakan ekonomi Islam
145070301111018
atau masih ada ekonomi zhulumat?
Washila Ali Abdat
Kalau suami kurang penghasilan dan istri membantu bekerja maka
145070301111008
penghasilan istri dihitung shadakah, apakah kalau suami sudah meninggal bekerja merupakan kewajiban atau dihitung sebagai sedekah?
No.
1.
Jawaban
Bunga bank itu tidak sesuai dengan ajaran Islam karena terhitung riba dan riba i tu hukumnya haram. Hal ini terdapat dalam Q.S. al-Baqarah ayat 275.
2.
Beberapan tahun ini lembaga-lembaga dengan sistem syariah mulai bermunculan. Bank Muamalat menjadi pelopor bank yang menggunakan sistem syariah pada tahun 1991, kini banyak bermunculan bank-bank syariah, baik yang murni menggunakan sistem tersebut maupun baru pada tahap membuka Unit Usaha Syariah (UUS) atau divisi usaha syariah. Sejarah perkembangan perbankan syariah di Indonesia secara formal dimulai dengan Lokakarya MUI mengenai perbankan pada tahun 1990, yang selanjutnya diikuti dengan dikeluarkannya UU No 7/ 1992 tentang perbankan yang mengakomodasi kegiatan bank dengan prinsip bagi hasil.
3.
Rikaz merupakan harta temuan yang sebelumnya pernah dimiliki orang lain berupa emas, harta karun, atau uang jatuh di jalan. Ma’din merupakan harta hasil olahan dar i dalam bumi yang sangat
bernilai contohnya emas dan perak. 4.
Independen berarti berdiri sendiri. Hal ini dikarenakan untuk menghindari adanya campur tangan kepentingan politik dalam Badan Wakaf Nasional.
5.
Belum sepenuhnya ekonomi Islam karena masih ada bank-bank atau badan ekonomi lain yang bersistem konvensional/zhulumat.
6.
Istri yang bekerja itu hukumnya mubah, tetapi penghasilan tersebut dihitung pahala sedekah. Jika suaminya meninggal dunia maka bekerja itu tetap dihitung mubah karena seharusnya masih ada wali bertanggung jawab membiayai. Dan penghasilan dari istri tersebut mas ih dihitung sedekah.