BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Agama merupakan hal yang dekat dan penting dalam kehidupan manusia. Agama yang memberikan tuntunan bagi manusia untuk tetap berada di jalan yang benar dengan menjalankan ajaran-ajaran yang diajarkan agamanya masing-masing. Dalam pembahasannya mengenai agama, kita mengetahui bahwa adanya perbedaan agama di dunia ini. Perbedaan ini terkadang menjadi masalah dalam kehidupan sosial masyarakat karena kurangnya rasa toleransi antar umat beragama. Oleh karena itu diperlukan suatu pemahaman bahwa adanya masyarakat multikuluturalisme pluralisme di mana adanya kesadaran bahwa di masyarakat yang kompleks ini pasti terdapat banyak perbedaan budaya, tradisi, agama yang sebenarnya berguna sebagai motor penggerak pembangunan. Pemahaman ini sangat diperlukan karena pada dasarnya agama mengajarkan nilai-nilai yang berguna bagi kehidupan sosial kita. Dari ajaran agamalah, nilai moral dapat dibangkitkan kembali untuk memperbaiki tatanan sosial masyarakat yang tadinya tidak baik me njadi baik. Nilai-nilai agama yang mengajarkan akan nilai moral akan memberi pengaruh besar bukan hanya untuk manusianya saja, tapi juga untuk negaranya. Dengan semakin maraknya pelanggaran sosial yang terjadi di zaman modern ini, agama memberikan peranan nilai bagi setiap sikap individu dalam ruang lingkup l ingkup masyarakat yang multikulturalis dan pluralis ini. Oleh karena itu, multikulturalis dan pluralis dalam pemahaman akan agama sangat diperlukan agar masyarakat memiliki pemahaman yang benar mengenai perbedaan agama dan perbedaan agama maupun budaya yang ada bukanlah sesuatu yang harus jadi masalah karena pada dasarnya setiap agama memiliki tujuan untuk memberikan nilai moral bagi setiap individu.
1
1.2 Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan pluralisme agama? 2. Apa penyebab pluralisme agama dapat terjadi? 3. Bagaimana pandangan pandangan orang lain melihat mel ihat tradisi agama lain? 4. Pengukuran sikap pluralisme dalam setiap individu?
2
BAB II ISI 2.1 Pengertian Pluralisme Pluralisme agama sudah menjadi suatu isu
penting yang mendapat banyak perhatian dari
banyak sosiolog agama. Bagi sebagian orang hal ini adalah suatu paham yang menganggap semua agama sama saja sehingga tidak terasa spiritualisme suatu agama. Bagi sebagian orang hal ini justru merupakan suatu inti yang yang mendukung konsep tiap agama yang yang berbeda.
Pluralisme juga dipandang sebagai suatu suatu pandangan yang menyatakan bahwa bahwa agama seseorang bukanlah sumber satu-satunya yang eksklusif bagi kebenaran, dan dengan demikian di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan, setidak-tidaknya, setidak-tidaknya, suatu kebenaran dan nilainilai yang benar, sebagai penerimaan atas konsep bahwa dua atau lebih agama yang samasama memiliki klaim-klaim kebenaran yang eksklusif sama-sama dapat dibuktikan kebenarannya. Seringkali disingkat bahwa pluralisme menekankan aspek-aspek bersama yang terdapat dalam agama-agama. agama-agama.
Pluralisme agama kadang-kadang juga digunakan sebagai sinonim untuk ekumenisme, untuk ekumenisme, yakni yakni upaya untuk mempromosikan suatu tingkat kesatuan, kerja sama, dan pemahaman yang lebih baik antar agama-agama atau berbagai denominasi berbagai denominasi dalam satu agama. Juga sebagai sinonim untuk toleransi untuk toleransi agama, yang agama, yang merupakan prasyarat untuk ko-eksistensi harmonis antara berbagai pemeluk agama ataupun denominasi yang berbeda-beda. 3
Pluralisme menurut pendapat agama:
Pluralisme menurut agama Islam adalah Islam adalah sikap menghargai dan toleran kepada pemeluk agama lain adalah mutlak untuk dijalankan, sebagai bagian dari keberagaman (pluralitas). Namun Namun anggapan bahwa semua agama adalah sama (pluralisme) tidak diperkenankan, dengan kata lain tidak menganggap bahwa Tuhan yang 'mereka' (Islam) sembah adalah Tuhan yang 'orang lain' (non-Islam) sembah.
Dalam dunia Kristen dunia Kristen,, pluralisme agama pada beberapa dekade terakhir diprakarsai oleh John oleh John Hick. Dalam Hick. Dalam hal ini dia mengatakan bahwa menurut pandangan fenomenologis, terminologi pluralisme agama arti sederhananya ialah realitas bahwa sejarah agama-agama menunjukkan berbagai tradisi serta kemajemukan yang timbul dari cabang masing-masing agama.
Agama hindu merupakan hindu merupakan agama yang sangat terbuka dengan paham pluralisme. Karena menurut kitab agama hindu yaitu Wreda disebutkan bahwa dalam Rg. Weda X.191.3-4, menyatakan bahwa pada hakekatnya semua manusia adalah bersaudara.
Sedangkan menurut agama katolik , Paus Paulus Yohanes II mengeluarkan dekrit “Dominus Jesus”. Dalam dominus jesus menegaskan akan penolakan tentang pluralisme agama dan
menguatkan kembali bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya pengantar keselamatan ilahi dan tidak ada yang mengantarkan ke Bapa selain Yesus.
Agama Budha jelas Budha jelas mendudkung pluralisme seperti yang dibuktikan dengan fakta bahwa umat budha sendiri sangat pluralistik. Hal ini sesuai dengan prinsip pandangan Buddhis yaitu, kehidupan tidak dapat lepas dari saling berhubungan, saling bergantungan dan kerja sama .
4
2.2 Penyebab terjadinya pluralisme
Menurut artikel Buster G Smith, penyebab terjadinya pluralisme di Amerika Serikat adalah imigrasi, hal ini disebabkan banyaknya banyaknya penduduk non-asli yang pindah ke Amerika dan membawa berbagai jenis agama baru. Hal ini juga yang memulai tersebarnya berbagai agama di dunia. Selain itu, media dan adanya pendidikan agama di universitas-universitas juga merupakan salah satu faktor pendukung dalam mengajarkan dan menyebarkan agama-agama lain selain apa yang sudah ada di negara tersebut.
Adanya media dan pendidikan agama di sekolah dan universitas juga memainkan peran penting untuk menunjukkan bahwa adanya agama-agama lain dalam kehidupan kita. Contohnya saja dalam aktivitas sehari-hari kita beraktivitas dengan orang-orang yang beragam seperti orang Muslim sebagai rekan kerja, orang beragama Hindu sebagai tetangga, dan sebagainya memberikan kesadaran bahwa agama-agama lain eksis di dalam kehidupan kita.
Pemikiran pluralisme agama muncul pada masa yang disebut Pencerahan (Enlightenment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi, masa yang sering disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan agama.
Sebab-sebab lahirnya teori pluralisme agama banyak dan beragam, sekaligus kompleks. Alasan keragaman itu adalah kebudayaan-kebudayaan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda menghasilkan perbedaan u tama tanggapan yang nyata. Namun secara umum dapat diklasifikasikan dalam dua faktor utama yaitu faktor internal (ideologis) dan faktor eksternal, yang mana satu faktor dengan faktor lainnya saling mempengaruhi dan berhubungan erat. Faktor internal merupakan internal merupakan faktor yang timbul akibat tuntutan akan kebenaran yang mutlak dari agama-agama itu sendiri, baik dalam masalah sejarah maupun dalam masalah keyakinan atau doktrin “keterpilihan”. Faktor ini sering
juga dinamakan dengan faktor ideologis. ideologis. Adapun faktor yang timbul dari luar dapat 5
diklasifikasikan ke dalam dua hal, yaitu yaitu faktor sosio-politis, faktor ilmiah ilmiah dan faktor teknologi. 1. Faktor Ideologis atau Internal Dalam konteks ideologi ini, umat manusia terbagi menjadi dua bagian, yang pertama mereka beriman teguh terhadap wahyu dari Tuhan, sedangkan kelompok yang kedua mereka yang tidak beriman kecuali hanya kepada kemampuan akal saja (rasionalis). Perbedaan cara pandang dalam beriman dan beragama secara otomatis akan mengantarkan kepada perbedaan dan pertentangan di setiap masalah dalam menentukan kebenaran yang mutlak. Sebab, keimanan adalah pokok seluruh permasalahan. Mereka yang beriman kepada Tuhan adalah mereka yang beriman kepada suatu wujud yang tidak dapat dilihat serta kekuatan yang paling tinggi di atas segalanya yang ada di balik kekuatan alam. Adapun kelompok yang kedua dari manusia adalah mereka yang sama sekali tidak mengimani itu semua. Kelompok pertama, terjebak dalam perbedaan pendapat yang tak mungkin dikompromikan sama sekali dalam menetukan siapa/apa wujud yang tidak terlihat itu dalam aspek bilangan, substansi maupun eksistensinya. Dan akibat perbedaan ini, mereka berbeda pendapat dalam segala hal yang y ang berhubungan, dekat atau jauh.
2. Faktor Eksternal Faktor eksternal mempunyai peran yang cukup besar bagi berkembangnya teori pluralisme agama. Faktor eksternal meliputi faktor sosio-politis dan faktor ilmiah, dan faktor teknologi. a. Faktor Sosio-Politis Diantara faktor yang mendorong munculnya teori pluralisme agama adalah berkembangnya wacana-wacana wacana-wacana sosio-politis, demokrasi, dan nasionalisme yang telah melahirkan sistem negara-bangsa, dan kemudian mengarah pada apa yang dikenal dengan “globalisasi”. Proses ini bermula semenjak pemikiran manusia mengenal “liberalisme” yang menerompetkan menerompetkan irama-irama kebebasan, toleransi,
kesamaan dan pluralisme, kemudian liberalisme menjadi ikon dan simbol setiap pergerakan sosio-politis dalam menentang segala bentuk kedzaliman, hingga muncul dalam kasus sosial politik suatu istilah yang disebut “demokrasi”. Begitu juga meski 6
dasar-dasar liberalisme semula tumbuh dan berkembang sebagai proses sosio-politis dan sekular, tapi kemudian paham ini tidak lagi berbatas pada masalah-masalah politis belaka. Watak universal dan komprehensif, yang diklaimnya yang meliputi HAM juga telah juga menyeretnya untuk untuk mempolitisasi masalah-masalah agama agama dan mengintervensinya mengintervensinya secara sistematis. sistematis.
b. Faktor Keilmuan Pada hakikatnya, terdapat banyak faktor keilmuan yang berkaitan dengan pembahasan ini. Namun yang memiliki kaitan l angsung dan erat dengan timbulnya teori-teori pluralisme agama adalah maraknya studi- studi “ilmiah” modern terhadap agama-agama dunia, atau yang sering dikenal dengan studi Perbandingan Agama. Kajian-kajian ini telah berkembang begitu pesat dan cepat, baik dalam metodologi maupun materinya, sehingga memungkinkannya untuk membuat penemuanpenemuan, tesis-tesis, teori-teori, kesimpulan-kesimpula kesimpulan-kesimpulan n dan pengayaanpengayaan ilmiah yang baru, dan pada gilirannya menjadikannya memiliki bobot yang sangat diperhitungkan dalam pemikiran dan akademik modern. Lebih dari itu, kajian-kajian telah berhasil membekali perpustakaan-perpustakaan perpustakaan-perpustakaan dengan banyak literatur yang berkenaan dengan agama-agama dunia dunia yang sangat bermanfaat bermanfaat bagi kajian-kajian berikutnya. c. Faktor Teknologi Teknologi modern tak hanya merubah wajah kehidupan fisik-material, tapi juga merubah pola kehidupan manusia, baik secara pribadi maupun sosial. Untuk memenuhi kebutuhan psikis material dapat diperoleh dengan cara membeli atau mentransfer teknologi. Namun tak demikian untuk memenuhi kebutuhan mentalspiritual manusia. Transisi dari pola pikir lama ke pola pikir baru, baik secara fisikmaterial maupun mental-spiritual tak mudah. Kasus bekas negara-negara Eropa Timur, Uni Soviet dan Yugoslavia menjelaskan betapa proses transisi itu tidak mudah. Hukum perubahan tak mengenal apakah suatu bahasa sudah memasuki era teknologi canggih atau belum.
7
2.3 Pentingnya Klaim Kebenaran
Poin utama pertentangan antara agama-agama modern yang cenderung muncul adalah isu-isu terkait kebenaran dan keselamatan. Semua agama membuat klaim untuk mencapai kebenaran. Penegasan klaim kebenaran sebenarnya mungkin merupakan aktivitas pusat beberapa agama . Kesadaran akan adanya berbagai macam agama di dunia disebabkan karena setiap agama membuat klaim bahwa setiap agama mengajarkan kebenaran. Padahal yang nyatanya terjadi adalah bahkan di antara tradisi-tradisi agama di antara pemeluk agama yang sama juga terdapat pertentangan. Catatan Paul Griffith, banyak faktor yang mempengaruhi bagimana seseorang menanggapi setiap klaim kebenaran yang muncul. Misalnya, kelayakan kebenaran, sumber, tingkat keahlian seseorang dalam hal-hal seperti itu dan seberapa besar penerimaan mereka akan hidup seseorang semua membuat perbedaan. Yang terpenting dari setiap klaim kebenaran adalah bagaimana agama secara eksklusif untuk mencapai keselamatan. Inilah yang menjadi tujuan akhir dari setiap agama. Banyak gambaran mengenai apa sebenarnya keselamatan keselamatan itu, mulai dari “heaven” sampai pada “nirvana” karena
sebenarnya gambaran akan keselamatan itu dinyatakan dalam banyak bentuk berbeda. Inilah yang menjadi tugas penting dari setiap agama yaitu untuk menjelaskan klaim akan keselamatan yang digambarkan agama lainnya karena jika agama lain memperbolehkan arti lain dari keselamatan itu sendiri, maka akan timbul keraguan mengapa perbedaan perbedaan itu ada sedangkan diterangkan bahwa setiap agama mengajarkan hal yang sama yaitu kebenaran. Keselamatan merupakan elemen inti dari setiap agama, dan setiap agama harus menghadapinya menghadapinya dengan memahaminya juga secara pluralistik .
8
2.4 Pandangan individu terhadap tradisi agama lain Secara umum, terdaoat 4 kategori yang digunakan untuk mendeskripsikan bagaimana pandangan seseorang terhadap tradisi agama lain. Keempat kategori itu adalah: 1. Eksklusivisme Eksklusivisme adalah sikap yang menganggap bahwa agamanya sendirilah yang paling benar sedangkan agama yang lain salah. Pada dasarnya sikap ini mengklaim bahwa keselamatan hanya ada pada di dalam agamanya sendiri dan menganggap agama yang lain tidak memiliki keselamatan. Hal ini menjadi semakin kompleks karena pernyataan keselamatan disampaikan disampaikan dalam bentuk yang berbeda di setiap tradisi agama yang satu dengan yang lain. Sikap eksklusivisme inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya perang agama dan akar dari radikalisme agama. 2. Inklusivisme Inklusivisme adalah sikap yang menganggap bahwa di dalam agama l ain juga diberikan hikmat dan terdapat kemungkinan untuk diselamatkan namun tetap menganggap pemenuhan keselamatan yang sesungguhnya hanya ada di dalam agamanya sendiri. Inklusivisme sendiri bersifat lebih longgar dan terkesan fleksibel terhadap sesuatu yang di luar dirinya, tidak kaku dan memberi jalan kepada selain dirinya untuk mengakui kebenaran mereka. Jadi, asumsi dasar inklusivisme agama adalah mengakui bahwa kebenaran hanya terdapat dalam agama sendiri, namun memberi kesempatan bagi mereka yang berlainan keyakinan bahwa agama mereka juga benar. 3. Relativisme Konsep relativisme dalam agama muncul di mana konsep ini menganggap semua bentuk agama memiliki kebenaran yang relative. Artinya adalah suatu agama tertentu benar dan sesuai bagi suatu individu tertentu. Contoh: Kekristenan menjadi sesuatu yang benar bagi orang Kristen, Budhisme adalah benar bagi penganut agama Buddha. Relativisme menganggap agama-agama adalah sama karena semuanya tumbuh dari satu kebenaran. Beberapa tokoh relativitasme bahkan mengklaim bahwa seluruh agama memiliki tujuan yang sama namun melalui jalan yang berbeda.
9
4. Pluralistik Dikatakan oleh Diana Eck “Pluralisme bukan hanya sekedar relativisme. Pluralisme tidak
mengeliminasi komitmen yang dalam di dalam suatu agama atau komitmen secular. Pluralisme lebih kepada kerjasam dan kebersamaan.” kebersamaan.” Daripada mentoleransi tradisi agama lain, pluralisme lebih kepada “merangkul” yang lain dan mengharapkan mengharapkan untuk
menemukan nilai di luar tradisi tersebut yang tidak pernah disajikan suatu agama tertentu. Jika inklusivisme tetap menganggap agamanya sendiri yang mengandung seluruh kebenaran yang ada, pluralisme berasumsi bahwa ada kebenaran penting yang ditegaskan oleh agama lain dan sangat bermanfaat untuk mempelajari hal- hal tersebut. Dalam hal pluralistik ini menyatakan bahwa tetap berpegang pada iman masing-masing penganut agama akan menyelematkan para penganutnya. Yang terpenting adalah perlu dilakukannya dialog antar penganut agama dari agama lain. Dengan mempelajari sikap-sikap individu ini, perilaku seseorang terhadap perbedaan agama dapat dimengerti dan pada akhirnya dapat dilihat apakah ada pengaruh terhadap tindakan sosial, politik, dan keagamaan mereka.
2.5 Mengukur perilaku pluralistik Pada tahun 2000, Robert Wuthnow melalukan penelitian mengenai agama dan politik melalui 5.603 sumber koresponden yang disurvei via telepon pada musim semi tahun 2000. Survei ini mengajukan pertanyaan yang mencakup berbagai hal tentang politik, sosial, dan sikap keagamaan, kepercayaan dan kegiatan. Sebagai analisis awal mengenai seberapa besar kesadaran yang dimiliki orang Amerika terhadap agama-agama lainnya. Umumnya, orang Amerika mungkin menyadari dan mengetahui tradisi agama-agama lain, tetapi sebagian besar tampaknya tidak tidak menyadarinya.
10
TABLE 1 EXPOSURE TO RELIGIOUS DIVERSITY
Form of Exposure
Yes/No
(%)
Among your close personal friends, do any of them happen
Yes
38.0
No
62.0
Yes
11.5
No
88.5
Yes
10.7
No
89.3
Yes
19.3
No
80.7
Yes
4.4
No
95.6
Yes
2.4
No
97.7
to be Jewish? (N=5.437)
Among your close personal friends, do any of them happen to be Muslim? (N=5.467)
Among your close personal friends, do any of them happen to be Hindu or Buddist? (N=5.455)
Have you ever attended religious services at synagogue? (N=5.574)
Have you ever attended religious services at mosque? (N=5.560)
Have you ever attended religious services at Hindu temple? (N=5.560)
11
In the past year y ear has your congregation sponspored a program or meeting to encourage greates understanding
Yes
46.8
No
53.3
among different religon? (N = 2.937)
Analisis Tabel 1:
Dalam tabel 1, sikap yang diukur adalah paparan mengenai keragaman agama.
Faktor yang dipakai untuk mengukur adalah dengan melihat berapa banyak orang Amerika yang memiliki teman dekat dari penganut agama lain. Faktor kedua yang dilihat adalah dengan melihat apakah orang Amerika pernah menghadiri ibadah di tempat ibadah agama lain.
Sebanyak 38% menjawab ya bahwa di antara teman dekat mereka, terhadap orang beragama Jewish, dan sisanya sebanyak 63% menjawab tidak. Sebanyak 11,5% menjawab ya bahwa mereka memiliki teman dekat bergama Muslim, dan sisanya sebanyak 88,5% menjawab tidak. Sebanyak 10,7% menjawab ya bahwa mereka memiliki teman dekat yang beragama Buddha, sedangkan sisanya menjawab tidak. Sebanyak 19,3% mengatakan mereka pernah datang ke pelayanan keagamaan di sinagoge. 4,4% mengatakan pernah datang ke pelayanan keagamaan di masjid dan 2,4% mengatakan pernah datang ke pelayanan keagamaan di kuil Hindu.
46.8% dari orang Amerika yang menjadi anggota di perkumpulan suatu agama tertentu menjadikan saling mengerti dan toleransi di antara penganut agama lain merupakan bagian dari kegiatan kumpulan agama mereka dan menjadi sponsor untuk kegiatan tersebut.
Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan meskipun terbatas, masih terdapat kesadaran di antara orang Amerika bahwa terdapat agama-agama lain di sekeliling mereka.
12
Pengukuran kedua yang dilakukan dilaku kan adalah bagaimana agama dimengerti dan dinterpretasikan oleh orang Amerika. Untuk mengeksplor pandangan mengenai pluralisme agama dan klaim kebenaran agama, ditetapkan suatu faktor untuk menganalisis hal tersebut yang ditampilkan dalam 8 pertanyaa yang relevan. Setiap pertanyaan menyatakan tentang cara yang tepat untuk mengenal Tuhan. Setiap pertanyaan ini dibagi dalam 5 jawaban yang mungkin yaitu Strongly agree(sangat setuju), Somewhat agree(agak setuju), Somewhat Disagree(agak tidak setuju), strongly disagree(sangat tidak setuju), dan Don’t know (tidak tahu). Responden yang menjawab
tidak tahu dan menolak untuk menjawab dianggap sebagai data yang hilang. TABEL 2 FACTOR ANALYSIS OF 8 QUESTIONS RELATED TO RELIGIOUS PLURALISM Statement
God is a mystery
(%)
Factor 1
Factor 2
Factor 3
Agree
Loading
Loading
Loading
49.6
-0.10
0.25
0.55
80.2
0.80
-0.02
-0.06
82.6
-0.01
0.80
0.06
68.5
-0.08
0.85
0.03
and can never be understood by humans. God has been fully revealed to humans in Jesus Christ. All religions contain some truth about God All religion are equally good ways of knowing about God
13
God can only be
67.1
0.25
0.50
0.38
65.3
0.84
-0.18
-0.00
59.4
-0.04
-0.09
0.86
64.3
0.75
0.21
-0.05
known as people empty their minds and look inside themselves. Christianity is the best way to understand God. Religious doctrines get in the way of truly relating to God. Church teaching are the best way we have of relating to God
Analisis tabel 2 :
Di tabel 2, yang diukur adalah pandangan mengenai pluralisme agama dan klaim kebenaran agama
Faktor yang dipakai untuk mengukur adalah 8 pernyataan mengenai pemahaman akan Tuhan yang dibagi ke dalam 8 kategori jawaban (strongly agree, somewhat agree, somewhat disagree, strongly disagree, don’t know)
Dari respons yang diberikan seperti yang terpapar dalam tabel 2, sebanyak 49,6% mengatakan setuju bahwa Tuhan adalah misteri yang tidak akan pernah dapat dimengerti oleh manusia. 80,2% setuju bahwa Tuhan sepenuhnya telah diungkapkan diungkapkan kepada manusia di dalam Yesus Kristus. 82,6% mengatakan setiap agama mengandung beberapa kebenaran mengenai Tuhan. 68,5% setuju bahwa setiap agama pada dasarnya sama-sama memiliki jalan yang baik untuk mengetahui tentang Tuhan. 67,1% setuju 14
bahwa Tuhan hanya dapat dimengerti jika orang mengosongkan pikiran mereka dan melihat ke dalam diri mereka masing-masing. 65,3% mengatakan Kerkristenan menjadi cara yang paling baik untuk mengerti Tuhan. 59,4% setuju bahwa doktrin agama berhubungan dengan pengertian kebenaran akan Tuhan. 64,3% setuju bahwa ajaran gereja adalah cara terbaik yang dimiliki untuk berhubungan dengan Tuhan.
Dari data di tabel 2, disimpulkan bahwa kebanyakan orang Amerika masih menganggap Kristen adalah agama yang paling baik dan hanya dengan Kekristenanlah pengertian akan Tuhan menjadi sempurna. Berdasarkan kesimpulan tersebut dapat dikatakan pluralisme agama di antara orang-orang Amerika masih sangat kurang karena mereka hanya menganggap gereja dan Kristen lah yang menjadi cara terbaik untuk mengenal dan berhubungan dengan Tuhan.
15
BAB III PENUTUP Agama sangat mempengaruhi sikap individu, khususnya di masyarakat yang multikulturalis pluralis ini di mana terdapat perbedaan agama dan budaya. Perbedaan agama ini mendorong pandangan seseorang terhadap agama lainnya yang dikategorikan menjadi 4 sikap. Kesadaran akan adanya perbedaan agama yang masih sangat kurang perlu ditingkatkan lagi agar orang-orang mengerti bahwa di masyarakat yang pluralis dan multikulturalis ini terdapat banyak perbedaan yang seharusnya dimaklumi.
16
DAFTAR PUSTAKA Artikel “Attitudes towards Religious Pluralism: Measurements and Consequences” by Buster G. SMITH
17