UNCONVENTIONAL HIDROKARBON
Unconventional hydrocarbon adalah suatu zat kimia organik, yang dapat berbentuk gas, cair, maupun padat yang memiliki unsur C (Karbon) dan H (Hidrogen), diambil secara tak biasa (tentunya dengan teknologi yg berbeda dari migas konvensional), dan ditemukan di lapisan batuan yang memiliki permeabilitas dan/atau porositas rendah yang tak terduga sebelumnya. Migas nonkovensional adalah minyak dan gas bumi yang terkandung dalam batuan induk itu sendiri maupun yang telah bermigrasi dan berkumpul pada batuan lainnya (reservoir) yang berdekatan, dengan karakteristik permeabilitas rendah-sangat rendah. Untuk memproduksi migas nonkonvensional diperlukan teknologi tinggi dan biaya yang lebih besar, yaitu teknologi produksi tersier (tertiary oil recovery) dengan cara pemboran horisontal (horizontal drilling) kemudian pembuatan rekahan dengan cara menembakkan fluida campuran air dan zat kimia dalam lapisan target (hydraulics fracturing) sehingga minyak dapat dialirkan melalui rekahan-rekahan tersebut dan dipompa ke atas permukaan. Hidrokarbon non konvensional merupakan sebutan untuk hidrokarbon (minyak dan gas) yang mempunyai sistem petroleum, jumlah dan cara pengambilan yang berbeda dengan hidrokarbon pada umumnya. Salah satu komponen sistem petroleum yang TIDAK terdapat pada hidorkarbon non konvensional adalah proses migrasi. Hal ini karena hidorkarbon non konvensional terbentuk dan terperangkap pada batuan yang sama, yang artinya bahwa batuan induk sekaligus juga berfungsi sebagai batuan reservoar sehingga tidak terdapat perpindahan hidrokarbon. Jadi, pada prinsipnya migas konvensional dan nonkonvensional merupakan barang yang sama, yang membedakannya hanya pada letak (posisi keterdapatan) dan teknologi penambangannya.
Gambar 1. Unconventional Hydrokarbon
Macam-macam Unconventional Hydrokarbon Jadi jenis-jenis minyak dan gas nonkonvensional pada prinsipnya meliputi: shale oil and gas (minyak serpih dan gas serpih), tight oil and gas, immature oil (oil shale/solid bitumen atau bitumen padat), heavy oil bitumen (oil sand/tar sand), coal bed methane (CBM atau gas metan batubara). Hal yang sangat menjanjikan dari hidorkarbon non konvensional adalah jumlahnya yang sangat melimpah. Dari beberapa jenis hidorkarbon non konvensional tersebut salah satu yang sudah berjalan dan sedang dikerjakan di Indonesia adalah CBM, yang ditandai dengan banyaknya PSC CBM di Indonesia. Besarnya resources CBM yang ada di Indonesia diperkirakan sekitar 450 TCF, ini merupakan jumlah yang sangat besar bila dibandingkan dengan jumlah resources gas konvensional yang hanya 380 TCF. 1. CBM (Coal Bed Methane)
CBM sama seperti gas alam konvensional pada umumnya, hanya saja terdapat beberapa perbedaan. CBM berasosiasi dengan batubara sebagai source rock dan reservoir-nya sedangkan gas alam yang kita kenal diproduksikan dari reservoir pasir, gamping maupun rekahan batuan beku. Selain itu, dari aspek penambangannya juga CBM harus direkayasa terlebih dahulu sebelum gasnya dapat diproduksikan. Rekayasa didahului dengan memproduksi air atau sering disebut dengan istilah (dewatering) sehingga terjadi perubahan keseimbangan jenis mekanik pada sistem. Hal ini mengakibatkan menurunnya tekanan pada reservoir yang berdampak pada keluarnya batubara dari matriks batubaranya. Kemudian hal ini disusul dengan mengalirnya gas metana melalui rekahan batubara (cleat) yang pada akhirnya keluar menuju lubang sumur. 2. Shale gas Shale gas adalah gas yang diperoleh dari serpihan batuan shale atau tempat terbentuknya gas bumi. Proses yang diperlukan untuk mengubah batuan shale menjadi gas, sekitar 5 tahun. Pemerintah saat ini tengah menyusun aturan hukum pengembangan shale gas. Batuserpih memiliki permeabilitas matriks rendah, maka produksi gas dalam jumah komersial memerlukan rekahan buatan pada batuan untuk menyediakan permeabilitas buatan. Gas serpih telah diproduksi selama beberapa tahun dari batuserpih dengan rekahan alami; kehebohan gas serpih beberapa tahun terakhir terjadi akibat ditemukannya teknologi modern terbaru yakni Perekahan Hidrolik (fracking) untuk membuat rekahan-rekahan artifisial secara luas di sumur bor. 3. Shale oil
Shale oil diekstraksikan dari batuan serpih, suatu batuan sedimen berukuran sangat halus yang memiliki sifat fissility yang khas, dan secara khusus disebut oil shale. Keberadaan oil shale ini sangat berkaitan dengan tatanan geologi yang berkembang pada suatu lingkungan pengendapan dan secara lebih jauh dikontrol
oleh proses geologi berupa tektonik, sedimentasi, dll. Proses ini menkonversikan material organik di dalam batuan, yang disebut sebagai kerogen, sehingga menjadi minyak dan gas sintetik. Minyak yang dihasilkan dari proses ini dapat secara langsung digunakan sebagai bahan bakar atau dapat di upgrade untuk memenuhi spesifikasi refineri dengan cara menambahkan hydrogen dan menghilangkan matrial pengotor seperti sulfur dan nitrogen. 4. Gas hydrate Gas Hydrate adalah kristal es seperti padat yang terbentuk dari campuran air dan gas alam, biasanya metana. Mereka terjadi dalam ruang pori sedimen, dan dapat membentuk semen, node atau lapisan 5. Heavy oil Heavy Oil Bitumen (Oil Sand/Tar Sand) merupakan pasir lepas atau batu pasir terkonsolidasi yang mengandung campuran alami dari pasir, tanah liat, dan air, dengan bentuk yang padat dan sangat kental jenuh dengan minyak bumi secara teknis disebut sebagai aspal (atau bahasa sehari-hari tar karena penampilan yang sama, bau dan warna). Heavy oil juga disebut sebagai minyak berat karena mempunyai kerapatan atau berat jenis yang lebih tinggi dari minyak mentah ringan dan juga memiliki kadar kekentalan yang lebih tinggi.
Pembentukan Batubara
Gambar 2. Pertemuan 3 Lempeng Indonesia terletak di daerah yang merupakan pertemuan dari 3 lempeng, yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasific. Dimana terjadi tumbukan antara dua lempeng yaitu, lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Akibat tumbukan itu menghasilkan suatu morfologi yang khas, yaitu palung(jurang laut yang sempit dan dalam), punggungan mélange akibat sesar naik, cekungan-cekungan, dan jajaran gunung-gunung api atau jalur batuan beku. Dari model morfologi yang terbentuk akibat tumbukan ini, yang terpenting dan terkait erat dengan pembentukan batubara adalah munculnya cekungan-cekungan. Cekungan-cekungan ini dikelompokkan menjadi cekungan busur muka, cekungan antar pegunungan dan cekungan busur belakang. Dengan adanya batubara tersebut dapat mengindikasikan pembentukan CBM. Karena CBM berada pada celahcelah batubara. Selanjutnya akan dijelaskan pada slide berikutnya. Unconventional Hydrokarbon untuk Indonesia
Unconventional hydrocarbon yang paling bagus untuk dikembangkan di Indonesia adalah CBM (Coal Bed Methane). Karena Indonesia merupakan salah satu pemegang cadangan CBM terbesar di dunia. Selain itu, karena Potensi CBM di Indonesia memiliki keunggulan teknis untuk dikembangkan, terutama berada di tempat yang dangkal (500 m-1500m dibawah permukaan). Dengan biaya pengeboran murah, karena tidak membutuhkan eksplorasi maupun infrastruktur khusus tetapi bisa menggunakan data dan infrastruktur migas yang sudah ada, sebagai keuntungan awal sebelum penambangan batubara serta lokasinya yang ada di daratan serta memiliki pasar yang bagus. Pada aspek lingkungan, pembakaranCBM menghasilkan emisi CO2 yang jauh lebih sedikit daripada pembakaran batubara, sehingga berdampak dalam pengurangan efek pemanasan global yang terjadi.
Gambar 3. Coal Bed Methane CBM adalah gas alam dengan dominan gas metana dan disertai oleh sedikit hidrokarbon
lainnya
dan
gas
non-hidrokarbon
dalam
batubara
hasil
dari beberapa proses kimia dan fisika. CBM sama seperti gas alam konvensional yang kita kenal saat ini, namun perbedaannya adalah CBM berasosiasi dengan batubara
sebagai source rock dan reservoirnya. Sedangkan gas alam yang kita kenal saat ini, walaupun sebagian ada yang bersumber dari batubara, diproduksikan dari reservoir pasir, gamping maupun rekahan batuan beku. Hal lain yang membedakan keduanya adalah cara penambangannya dimana reservoir CBM
harus
direkayasa
terlebih
dahulu
sebelum
gasnya
dapat
diproduksikan. Pengertian reservoir batubara masih baru dalam dunia perminyakan di CBM berasal dari material organik tumbuhan tinggi, melalui beberapa proses kimia dan fisika (dalam bentuk panas dan tekanan secara menerus) yang berubah menjadi gambut
dan
akhirnya
terbentuk
batubara.
Selama
berlangsungnya proses
pemendaman dan pematangan, material organik akan mengeluarkan air, CO2, gas metana dan gas lainnya.
Gambar 4. Pembentukan CBM Selain melalui proses kimia, CBM dapat terbentuk dari aktifitas bakteri metanogenik dalam air yang terperangkap dalam batubara khususnya lignit. CBM diproduksi dengan cara terlebih dahulu merekayasa batubara (sebagai reservoir) agar
didapatkan cukup ruang sebagai jalan keluar gasnya. Proses rekayasa diawali dengan memproduksi air (dewatering) agar terjadi perubahan kesetimbangan mekanika. Setelah tekanan turun, gas batubara akan keluar dari matriks batubaranya. Gas metana kemudian akan mengalir melalui rekahan batubara (cleat) dan akhirnya keluar menuju lubang sumur. Puncak produksi CBM bervariasi antara 2 sampai 7 tahun. Sedangkan periode penurunan produksi (decline) lebih lambat dari gas alam konvensional. CBM mempunyai multi guna antara lain dapat dijual langsung sebagai gas alam, dijadikan energi dan sebagai bahan baku industri. Eksploitasi CBM tidak akan merubah kualitas matrik batubara dan menguntungkan para penambang batubara, karena gas emisinya telah dimanfaatkan sehingga lapisan betubara tersebut menjadi aman untuk di tambang, selain itu CBM ini termasuk salah satu sumber energi yang ramah lingkungan (Lemigas, ESDM., 2010). Potensi CBM di Indonesia Potensi CBM di Indonesia memiliki keunggulan teknis untuk dikembangkan, terutama berada di tempat yang dangkal (500 m-1500m dibawah permukaan). Dengan biaya pengeboran murah, karena tidak membutuhkan eksplorasi maupun infrastruktur khusus tetapi bisa menggunakan data dan infrastruktur migas yang sudah ada, sebagai keuntungan awal sebelum penambangan batubara serta lokasinya yang ada di daratan serta memiliki pasar yang bagus. Data terbaru mencatat jumlah sumber daya batubara Indonesia sebesar 90.451,87 juta ton, yang sebagian besar berupa batubara peringkat rendah dan menengah. Indonesia memiliki potensi sumberdaya Coal Bed Methane (CBM) sekitar 300 hingga 450 Triliun Cubic Feet (TCF). Cadangan CBM sebesar itu tersebar pada sebelas areal cekungan (basin) batubara di berbagai lokasi di Indonesia, baik di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Program diversifikasi energi antara laindengan mengembangan dan memanfaatkan CBM. Ke sebelas basin lokasi CBM itu adalah Sumatera Selatan (183 TCF), Barito (101,6 TCF), Kutei (89,4 TCF) dan Sumatera Tengah (52,5 TCF) untuk kategori high prospective. Basin Tarakan Utara
(17,5 TCF), Berau (8,4 TCF), Ombilin (0,5 TCF), Pasir/Asam-Asam (3,0 TCF) dan Jatibarang(0,8) memiliki kategori modarate. Sedang basin Sulawesi (2,0 TCF) dan Bengkulu (3,6TCF) berkategori low prospective. Cadangan CBM, berdasarkan Data BankDunia, diperkirakan mencapai 453 TSCF dengan konsentrasi potensi terbesar terletak pada dua pulau yaitu Kalimantan dan Sumatera. Di Kalimanan antara lain di Kalimantan Timur (Berau 8,4 TSCF, Pasir/Asem 3 TSCF, Tarakan 17,5 TSCF, dan Kutai 80,4 TSCF), Kalimantan Tengah Kabupaten Barito 101,6 TSCF, dan Sumatera Tengah 52,5 TSCF, Sumatera Selatan 183 TSCF; dan Bengkulu 3,6 TSCF, sisanya terletak di Jatibarang (Jawa Barat)0,8 TSCF dan Sulawesi 2 TSCF. Sedangkan berdasar data (ESDM,2003), potensi cadangan CBM yang berada di Indonesia mencapai 453,3 (TCF) yang berada di Sumatera Selatan dengan cadangan sebesar 183 TCF, Barito dengan cadangan 101,6 TCF, Kutai sebesar80,4 TCF, Sumatera bagian tengah sebesar 52,5 TCF, Tarakan Utara sebesar 17,5 TCF, Berau sebesar 8,4 TCF, Ombilin sebesar 0,5TCF, Pasir/Asem sebesar 3,0 TCF, Jatibarang sebesar 0,8 TCF, Sulawesi bagian barat daya sebesar 2 TCF, Bengkulu sebesar3,6 TCF.
Gambar 4. Potensi CBM di Indonesia