BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Fimosis adalah preputium penis yang tidak dapat diretraksi (ditarik) ke proksimal sampai ke korona glandis, bisa dikarenakan keadaan sejak lahir atau karena patologi. Pada usia bayi glans penis dan prepusium terjadi adesi sehingga lengket jika terdapat luka pada bagian ini maka akan terjadi perlengketan dan terjadi fimosis, biasanya pada bayi itu adalah hal yang wajar karena keadaan tersebut akan kembali seperti normal dengan bertambahnya umur dan produksi hormon. Beberapa penelitian mengatakan kejadian Fimosis saat lahir hanya 4% bayi yang preputiumnya sudah bisa ditarik mundur sepenuhnya sehingga kepala penis terlihat utuh. Selanjutnya secara perlahan terjadi deskuamasi sehingga perlekatan itu berkurang. Sampai umur 1 tahun, masih 50% yang belum bisa ditarik penuh. Berturut-turut 30% pada usia 2 tahun, 10% pada usia 4-5 tahun, 5% pada umur 10 tahun, dan masih ada 1% yang bertahan hingga umur 16-17 tahun. Dari kelompok terakhir ini ada sebagian kecil yang bertahan secara persisten sampai dewasa bila tidak ditangani. Bila Fimosis menghambat kelancaran berkemih seperti pada ballooning maka sisa-sisa urin mudah terjebak pada bagian dalam preputium dan kandungan glukosa pada urine menjadi ladang subur bagi pertumbuhan bakteri, maka berakibat terjadi infeksi saluran kemih (UTI). Berdasarkan data tahun 1980-an dilaporkan bahwa anak yang tidak disirkumsisi memiliki resiko menderita UTI 10-20 kali lebih tinggi. Tahun 1993, dituliskan review bahwa resiko terjadi sebesar 12 kali lipat. Tahun 1999 dalam salah satu bagian dari pernyataan sirkumsisi disebutkan bahwa dari 100 anak pada usia 1 tahun. Dua laporan jurnal tahun 2001 dan 2005 mendukung bahwa sirkumsisi dibawah resiko UTI. I.2.
Rumusan Masalah 1. Apakah pengertian fimosis ? 2. Apakah penyebab terjadinya fimosis ? 3. Bagaimana gambaran klinik dari fimosis ? 4. Bagaimana tatalaksana fimosis ?
I.3.
Tujuan Penulisan 1
I.3.1
Tujuan Umum Tujuan umum dari pembuatan referat ini adalah untuk memberikan pengetahuan
mengenai fimosis kepada tenaga medis khususnya dokter dan mahasiswa kepaniteraan klinik bagian bedah. I.3.2. Tujuan Khusus 1. Mengetahui pengertian fimosis. 2. Mengetahui penyebab terjadinya fimosis. 3. Mengetahui bagaimana gambaran klinik dari fimosis. 4. Mengetahui tatalaksana fimosis.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Struktur AnatomiOrgan Genitalia Pria
Organ Genital Luar
Gambar 1.Organ Genitalia Pria Penis
Gambar 2. Anatomi penis 3
Secara anatomis, penis terbagi atas radix, corpus dan glans penis (Gambar 2). Ketiganya tersusun dari tiga korpus berbentuk silinder yang mengandung jaringan kavernosa erektil, yakni sepasang corpus cavernosum yang terletak pada bagian dorsal dan satu corpus spongiosum yang terletak pada bagian ventral. Setiap corpus cavernosum dilapisi oleh lapisan fibrosa yang disebut tunica albuginea dan kedua corpus cavernosum dipisahkan oleh septum penis. Di sebelah superfisial tunica albuginea terdapat fascia profunda penis (fascia Buck), yang merupakan lanjutan dari fascia perineal profunda yang membentuk lapisan membranosa yang kuat yang menutupi dan melekatkan keduacorpus cavernosa dengan corpus spongiosum. Kedua corpus cavernosa membentuk crus penis pada bagian posterior. Corpus spongiosum yang terletak di bagian bawah (bagian ventral)dan di dalamnya terdapat uretra pars spongiosa. Pada bagian distal, corpus spongiosum membesar dan membentuk glans penis. Tepi glans penis merupakan proyeksi ujung corpus cavernosum yang membentuk corona glandis. Corona glandis memisahkan basis glans dan corpus penis.Di ujung dari glans penis terdapat bagian uretra anterior berupa celah terbuka yang disebut orificium urethra externa. Gambar 3. Penis potongan melintang
Kulit penis tipis dan berwarna lebih gelap dibanding kulit sekitarnya yang dihubungkan dengan tunica albuginea oleh jaringan ikat longgar. Pada bagian leher glans penis, kulit dan fascia penis berlanjut sebagai dua lapisan kulit yang disebut prepusium. Frenulum preputii merupakan lipatan pada bagian tengah yang berasal dari lapisan dalam preputium ke permukaan uretral dari glans penis.
4
5
Gambar 4. Vaskularisasi penis Vaskularisasi penis Suplai darah arteri pada penis terutama berasal dari cabang arteri pudendus internus :
Arteri dorsalis penis : berjalan pada setiap sisi vena dorsalis penis pada dorsal groove di antara corpus cavernosa, yang mensuplai darah menuju ke jaringan fibrosa di sekitar corpus cavernosa, corpus spongiosum dan uretra spongiosa, dan
kulit penis. Arteri profunda penis : menembus crura di bagian proksimal dan berjalan di sebelah distal dekat dengan pusat corpus cavernosa, yang mensuplai jaringan
erektil pada struktur tersebut. Arteri bulbaris : mensuplai daerah posterior (pars bulbosa) dari corpus spongiosum dan uretra di dalamnya serta glandula bulbouretralis. Cabang superfisial dan profunda dari arteri pudendus eksterna mensuplai darah ke
kulit penis, yang saling beranastomis dengan cabang dari arteri pudendus interna. Darah yang berasal dari ruang cavernosus dialirkan oleh plexus venosus yang bergabung dengan vena dorsalis penis profunda pada fascia Buck. Vena ini berjalan di antara lamina dari ligamentum suspensorium, yang memasuki pelvis dimana selanjutnya mengalir menuju plexus venosus prostatika. Darah yang berasal dari lapisan superfisial penis mengalir menuju vena dorsalis penis superfisialis, dimana selanjutnya mengalir menuju vena pudendus eksterna superficial. Aliran limfa yang berasal dari kulit penis pada awalnya mengalir menuju limfonodus inguinal superficialis. Sedangkan yang berasal dari glans penis dan uretra 6
spongiosa
bagian
distal
mengalir menuju ln.
inguinal profunda dan ln. iliaca
eksterna,
berasal dari corpus cavernosa
dan uretra spongiosa
bagian
menuju
proksimal
mengalir
dan
yang
ln.
iliaca
yakni
interna. Penis dipersyarafi oleh 2
jenis
syaraf
syaraf otonom (para simpatis
dan
simpatis)
dan
syaraf somatik (motoris dan sensoris). Syaraf-syaraf simpatis dan parasimpatis berasal dari hipotalamus menuju ke penis melalui medulla spinalis (sumsum tulang belakang). Khusus syaraf otonom parasimpatis ke luar dari medulla spinalis (sumsum tulang belakang) pada kolumna vertebralis di S2-4. Sebaliknya syaraf simpatis ke luar dari kolumna vertebralis melalui segmen Th 11 sampai L2 dan akhirnya parasimpatis dan simpatis menyatu menjadi nervus kavernosa. Syaraf ini memasuki penis pada pangkalnya dan mempersyarafi otot-otot polos. Syaraf somatis terutama yang bersifat sensoris yakni yang membawa impuls (rangsang) dari penis misalnya bila mendapatkan stimulasi yaitu rabaan pada badan penis dan kepala penis (glans), membentuk nervus dorsalis penis yang menyatu dengan syaraf-syaraf lain yang membentuk nervus pudendus. II.2. FIMOSIS
II.2.1. Definisi Menurut Ngastiyah (2005), fimosis adalah penyempitan pada prepusium. Sedangkan menurut Purnomo (2000), fimosis adalah prepusium penis yang tidak dapat di retraksi (ditarik ke proksimal sampai ke korona glanis). Fimosis adalah suatu kelainan dimana prepusium penis yang tidak dapat diretraksi (ditarik) ke proksimal sampai ke korona glandis. Fimosis dialami oleh sebagian besar bayi baru lahir karena terdapat adhesi alamiah antara prepusium dengan glans penis.
7
Gambar 5. Fimosis II.2.2. Etiologi Fimosis dapat timbul kemudian setelah lahir. Hal ini berkaitan dengan tingkat higienitas alat kelamin yang buruk, peradangan kronik glans penis dan kulit preputium (balanoposthitis kronik), (Robbins, 2004) atau penarikan berlebihan kulit preputium (forceful retraction). Pada fimosis kongenital umumya terjadi akibat terbentuknya jaringan parut di prepusium yang biasanya muncul karena sebelumnya terdapat balanopostitis. Apapun penyebabnya, sebagian besar fimosis disertai tanda-tanda peradangan penis distal (Robbins, 2004). Sedangkan fimosis pada bayi laki-laki yang baru lahir biasanya terjadi karena ruang di antara kutup dan penis tidak berkembang dengan baik. Kondisi ini menyebabkan prepusium menjadi melekat pada glans penis, sehingga sulit ditarik ke arah proximal. Apabila stenosis atau retraksi tersebut ditarik dengan paksa melewati glans penis, sirkulasi glans dapat terganggu hingga menyebabkan kongesti, pembengkakan, dan nyeri distal penis atau biasa disebut parafimosis (Robbins, 2004). II.2.3. Epidemiologi Berdasarkan data epidemiologi, fimosis banyak terjadi pada bayi atau anak-anak hingga mencapai usia 3 atau 4 tahun. Sedangkan sekitar 1-5% kasus terjadi sampai pada usia 16 tahun . Normalnya hingga usia 3-4 tahun penis tumbuh dan berkembang, dan debris yang dihasilkan oleh epitel prepusium (smegma) mengumpul di dalam prepusium dan perlahanlahan memisahkan prepusium dari glan penis. Ereksi penis yang terjadi secara berkala membuat prepusium menjadi retraktil dan dapat ditarik ke proksimal. Pada saat usia 3 tahun, 90% prepusium sudah dapat diretraksi (Purnomo, 2011).
Konginetal (fimosis fisiologis) 8
Fimosis kongenital (fimosis fisiologis) timbul sejak lahir sebenarnya merupakan kondisi normal pada anak-anak, bahkan sampai masa remaja. Kulit preputium selalu melekat erat pada glans penis dan tidak dapat ditarik ke belakang pada saat lahir, namun seiring bertambahnya usia serta diproduksinya hormon dan faktor pertumbuhan terjadi proses keratinisasi lapisan epitel dan deskuamasi antara glans penis dan lapis glan dalam preputium sehingga akhirnya kulit preputium terpisah dari glan penis. Suatu penelitian mendapatkan bahwa hanya 4% bayi seluruh kulit preputiumnya dapat ditarik ke belakang penis pada saat lahir, namun mencapai 90% pada saat usia 3 tahun dan hanya 1% laki-laki berusia 17 tahun yang masih mengalami fimosis kongenital. Walaupun demikian, penelitian
lain
mendapatkan
hanya
20%
dan
200
anak
laki-laki
berusia
5-13 tahun yang seluruh kulit preputiumnya dapat ditarik ke belakang penis.
Fimosis didapat (fimosis patologik, fimosis yang sebenarnya, True Phimosis) Hal ini berkaitan dengan kebersihan hygiene alat kelamin yang buruk, peradangan
kronik glans penis dan kulit preputium (balanoposthitis kronik), atau penarikan berlebihan kulit preputium (forceful retraction) pada fimosis kongenital yang akan menyebabkan pembentukkan jaringan ikat (fibrosis) dekat bagian kulit preputium yang membuka. II.2.4. Patogenesis Normalnya hingga usia 3-4 tahun penis tumbuh dan berkembang, dan debris yang dihasilkan oleh epitel prepusium (smegma) mengumpul didalam prepusium dan perlahanlahan memisahkan prepusium dari glans penis. Ereksi penis yang terjadi secara berkala membuat prepusium menjadi retraktil dan dapat ditarik ke proksimal. Pada saat usia 3 tahun, 90% prepusium sudah dapat diretraksi. Pada kasus fimosis, lubang yang terdapat di prepusium sempit sehingga tidak bisa ditarik mundur dan glans penis sama sekali tidak bisa dilihat. Kadang hanya tersisa lubang yang sangat kecil di ujung prepusium. Pada kondisi ini, akan terjadi fenomena “balloning” dimana prepusium mengembang saat berkemih karena desakan pancaran urine yang tidak diimbangi besarnya lubang di ujung prepusium. Bila fimosis menghambat kelancaran berkemih, seperti pada balloning maka sisa-sisa urin mudah terjebak di dalam prepusium. Adanya kandungan glukosa pada urine menjadi pusat bagi pertumbuhan bakteri. Karena itu, komplikasi yang paling sering dialami akibat fimosis adalah infeksi saluran kemih (ISK). ISK paling sering menjadi indikasi sirkumsisi pada kasus fimosis.
9
Fimosis juga terjadi jika tingkat higienitas rendah pada waktu BAK yang akan mengakibatkan terjadinya penumpukan
kotoran-kotoran
pada
glans penis sehingga
memungkinkan terjadinya infeksi pada daerah glans penis dan prepusium (balanitis) yang meninggalkan jaringan parut sehingga prepusium tidak dapat ditarik kebelakang. Pada lapisan dalam prepusium terdapat kelenjar sebacea yang memproduksi smegma. Cairan ini berguna untuk melumasi permukaan prepusium. Letak kelenjar ini di dekat pertemuan prepusium dan glans penis yang membentuk semacam “lembah” di bawah korona glans penis (bagian kepala penis yang berdiameter paling lebar). Di tempat ini terkumpul keringat, debris/kotoran, sel mati dan bakteri. Bila tidak terjadi fimosis, kotoran ini mudah dibersihkan. Namun pada kondisi fimosis, pembersihan tersebut sulit dilakukan karena prepusium tidak bisa ditarik penuh ke belakang. Bila yang terjadi
adalah
perlekatan
prepusium
dengan
glans penis,
debris
dan
sel
mati yang terkumpul tersebut tidak bisa dibersihkan. Ada pula kondisi lain akibat infeksi yaitu balanopostitis. Pada infeksi ini terjadi peradangan pada permukaan preputium dan glans penis. Terjadi pembengkakan kemerahan dan produksi pus di antara glans penis dan prepusium. Meski jarang, infeksi ini bisa terjadi pada diabetes. II.2.5. Manifestasi Klinis Fimosis menyebabkan gangguan aliran urin berupa sulit kencing, pancaran urine mengecil, menggelumbungnya ujung prepusium penis pada saat miksi, dan menimbulkan retensi urine. Higiene lokal yang kurang bersih menyebabkan terjadinya infeksi pada prepusium (postitis), infeksi pada glans penis (balanitis) atau infeksi pada glans dan prepusium penis (balanopositis). Kadangkala pasien dibawa berobat oleh orang tuanya karena ada benjolan lunak di ujung penis yang tak lain adalah korpus smegma yaitu timbunan smegma di dalam sakus prepusium penis. Smegma terjadi dari sel-sel mukosa prepusium dan glans penis yang mengalami deskuamasi oleh bakteri yang ada di dalamnya (Purnomo, 2011). Adapun tanda dan gejala dari Fimosis, yaitu: a. Penis membesar dan menggelembung akibat tumpukan urin b. Kadang-kadang keluhan dapat berupa ujung kemaluan menggembung saat mulai miksi yang kemudian menghilang setelah berkemih. Hal tersebut disebabkan oleh karena urin yang keluar terlebih dahulu tertahan dalam ruangan yang dibatasi oleh kulit pada ujung penis sebelum keluar melalui muaranya yang sempit. 10
c. Biasanya bayi menangis dan mengejan saat BAK karena timbul rasa sakit. d. Kulit penis tak bias ditarik kea rah pangkal ketika akan dibersihkan e. Air seni keluar tidak lancar. Kadang-kadang menetes dan kadang-kadang memancar dengan arah yang tidak dapat diduga f. Bisa juga disertai demam g. Iritasi pada penis II.2.6. Pemeriksaan Penunjang Pada klien dengan fimosis pemeriksaan yang perlu dilakukan sebagai penunjang dalam pengumpulan data adalah: 1
Pemeriksaan darah lengkap
2
USG penis
3
Pemeriksaan kadar TSH
II.2.7. Penatalaksanaan Tidak dianjurkan melakukan dilatasi atau retraksi yang dipaksakan pada penderita fimosis, karena akan menimbulkan luka dan terbentuk sikatriks pada ujung prepusium sebagai fimosis sekunder. Fimosis yang disertai balanitis xerotika obliterans dapat dicoba diberikan salep deksametasone 0,1% yang dioleskan 3 atau 4 kali. Diharapkan setelah pemberian selama 6 minggu, prepusium dapat retraksi spontan. (Purnomo, 2011). Bila fimosis tidak menimbulkan ketidaknyamanan dapat diberikan penatalaksanaan non-operatif, misalnya seperti pemberian krim steroid topikal yaitu betamethasone selama 4-6 minggu pada daerah glans penis. Pada fimosis yang menimbulkan keluhan miksi, menggelembungnya ujung prepusium pada saat miksi, atau fimosis yang disertai dengan infeksi postitis merupakan indikasi untuk dilakukan sirkumsisi. Tentunya pada balanitis atau postitis harus diberi antibiotika dahulu sebelum dilakukan sirkumsisi. (Purnomo, 2011). Fimosis yang harus ditangani dengan melakukan sirkumsisi bila terdapat obstruksi dan balanopostitis. Bila ada balanopostitis, sebaiknya dilakukan sayatan dorsal terlebih dahulu yang disusul dengan sirkumsisi sempurna setelah radang mereda. Secara singkat teknik operasi sirkumsisi dapat dijelaskan sebagai berikut : Setelah penderita diberi narkose, penderita di letakkan dalam posisi supine. Desinfeksi lapangan pembedahan dengan antiseptik kemudian dipersempit dengan linen steril. Preputium di bersihkan dengan cairan antiseptik pada sekitar glans penis. Preputium di klem pada 3 tempat. Prepusium di gunting pada sisi dorsal penis sampai batas corona 11
glandis. Dibuat teugel pada ujung insisi. Teugel yang sama dikerjakan pada frenulum penis. Preputium kemudian di potong melingkar sejajar dengan korona glandis. Kemudian kulit dan mukosa dijahit dengan plain cut gut 4.0 atraumatik interupted. (Sjamsuhidajat, 2004) Sumber lain mengatakan demikian: 1.
Tidak dianjurkan melakukan retraksi yang dipaksakan, karena dapat menimbulkan luka dan terbentuk sikatriks pada ujung prepusium sehingga akan
2.
terbentuk fimosis sekunder. Fimosis disertai balanitis
xerotica
obliterans
dapat
diberikan
salep
dexamethasone 0,1% yang dioleskan 3/4 kali, dan diharapkan setelah 6 minggu 3.
pemberian prepusium dapat diretraksi spontan. Fimosis dengan keluhan miksi, menggelembungnya ujung prepusium pada saat miksi atau infeksi postitis merupakan indikasi untuk dilakukan sirkumsisi, dimana pada fimosis disertai balanitis/postitis harus diberikan antibiotika terlebih dahulu.
Prinsip terapi dan perawatan sehari-hari 1. 2.
3.
4. 5.
Perawatan Rutin Kebersihan penis Penis harus dibasuh secara seksama dan bayi tidak boleh ditinggalkan berbaring dengan popok basah untuk waktu yang lama. Sirkumsisi Pada pembedahan ini, kelebihan katup diangkat. Digunakan jahitan catgut untuk mempertemukan kulit dengan mukosa dan mengikat pembuluh darah. Perawatan Pra Bedah Rutin Perawatan Pasca Bedah Pembedahan ini bukan tanpa komplikasi dan Observasi termasuk adanya perdarahan. Pembalut diangkat jika basah dengan urin dan lap panggul berguna untuk membersihkan penis dan mendorong terjadinya penyembuhan. Popok perlu sering diganti. Komplikasi yang terjadi termasuk ulserasi meatus. Ini terjadi sebagai akibat amonia yang membakar epithelium glans. Untuk menimbulkan nyeri pada saat berkemih kadang-kadang adanya perkembangan perdarahan dan retensi urin. Ulserasi meatus dapat menimbulkan stenosis meatus. Hal ini dapat diterapi dengan meatotomi dan dilatasi.
6.
Bimbingan bagi orang tua. 12
Instruksi yang jelas harus diberikan pada orang tua jika bayi atau anak siap untuk pulang kerumah. Ini termasuk hygiene dari daerah dan pengenalan setiap komplikasi. Mereka juga harus diberikan pedoman untuk pencegahan dermatitis amonia dan jika hal ini terjadi bagaimana untuk mengobatinya. II.2.8. Penatalaksanaan Medis 1
Fimosis disertai balanitis xerotica obliterans dapat diberikan salep dexamethasone 0,1% yang dioleskan 3-4 kali sehari dan diharapkan setelah 6 minggu pemberian prepusium dapat diretraksi spontan.
2
Dengan tindakan sirkumsisi, apabila fimosis sampai menimbulkan gangguan miksi pada klien. Dengan bertambahnya usia, fimosis akan hilang dengan sendirinya.
II.2.9. Pencegahan Untuk mencegah dapat dilakukan dengan melebarkan lubang prepusium dengan cara mendorong kebelakang kulit prepusium tersebut dan biasanya akan terjadi perlukaan, untuk menghindari infeksi luka tersebut diberikan salep antibiotic. Tindakan ini mula-mula dilakukan oleh dokter
(pada orang barat sunat dilakukan pada saat bayi baru lahir,
tindakan ini dilakukan untuk menjaga kebersihan atau mencegah infeksi karena adanya smegma). Adanya smegma pada ujung prepusium juga menyulitkan bayi berkemih maka setiap memandikan bayi sebaiknya prepusium didorong kebelakang dan kemudian dibersihkan dengan kapas yang diolesi air matang atau hangat II.2.10Komplikasi Akumulasi sekret dan smegma di bawah preputium yang kemudian terkena infeksi sekunder akhirnya terbentuk jaringan parut
Pada kasus yang berat dapat menimbulkan retensi urin Penarikan preputium secara paksa dapat berakibat kontriksi dengan rasa nyeri dan
pembengkakan glans penis yang disebut parafimosis Pembengkakan atau radang pada ujung kemaluan yang disebut ballonitis Timbul infeksi pada saluran air seni (ureter) kiri dan kanan, kemudian menimbulkan
kerusakan pada ginjal Fimosis merupakan salah satu faktor resiko terjadinya kanker penis.
BAB III PENUTUP III.1 Kesimpulan 13
Fimosis adalah suatu keadaan dimana prepusium tidak bisa ditarik ke belakang, bisa dikarenakan keadaan sejak lahir atau karena patologi. Pada usia bayi glan penis dan prepusium terjadi adesi sehingga lengket jika terdapat luka pada bagian ini maka akan terjadi perlengketan dan terjadi Fimosis biasanya pada bayi itu adalah hal yang wajar karena keadaan tersebut akan kembali seperti normal dengan bertambahnya umur dan produksi hormon. Fimosis dapat timbul kemudian setelah lahir. Hal ini berkaitan dengan tingkat higienitas alat kelamin yang buruk, peradangan kronik glans penis dan kulit preputium (balanoposthitis
kronik),
atau
penarikan
berlebihan
kulit
preputium
(forceful
retraction).Pada fimosis kongenital umumya terjadi akibat terbentuknya jaringan parut di prepusium yang biasanya muncul karena sebelumnya terdapat balanopostitis. Apapun penyebabnya, sebagian besar fimosis disertai tanda-tanda peradangan penis distal. Sedangkan fimosis pada bayi laki-laki yang baru lahir biasanya terjadi karena ruang di antara kutup dan penis tidak berkembang dengan baik. Kondisi ini menyebabkan prepusium menjadi melekat pada glans penis, sehingga sulit ditarik ke arah proximal. Bila fimosis tidak menimbulkan ketidaknyamanan dapat diberikan penatalaksanaan non-operatif, misalnya seperti pemberian krim steroid topikal yaitu betamethasone selama 4-6 minggu pada daerah glans penis. Pada fimosis yang menimbulkan keluhan miksi, menggelembungnya ujung prepusium pada saat miksi, atau fimosis yang disertai dengan infeksi postitis merupakan indikasi untuk dilakukan sirkumsisi. Tentunya pada balanitis atau postitis harus diberi antibiotika dahulu sebelum dilakukan sirkumsisi.
14
DAFTAR PUSTAKA Cooper, S Christopher et all. 2006. Phimosis. In : Poherty, M Gerard. Current Diagnosis and Treatment Surgery 13rd edition. Mc-Graw Hill Companies. New York. USA. Hal 961-963. Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. EGC, Jakarta Graham, Sam D, Keane Thomas E. 2009. Phimosis. In : Glenn’s Urologic Surgery. Lippincott Williams and Wilkins. Hal 397-401. Mayor, George S et all. 2000. Phimosis in Urologic Surgery. Diagnosis, Technique and Postoperative Treatment. Georg Theme Publisher. Stuttgart. Germany.Hal 443446. Price, SW dan Wilson, LM. Patofisiologi. Edisi 6. Volume 1. Jakarta : EGC. 2005 Purnomo, Basuki B. Dasar-Dasar Urologi. Edisi ketiga. Malang : Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. 2011 : 14, 236-237 Robbins dkk. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Volume 2. Hariawati Hartono. Jakarta: EGC.2004 Rudolph. Abraham M. Kelainan Urogenital. A. Samik Wahab, Sugiarto. Buku Ajar Pediatri Rudolph. Edisi 20. Volume 2. Jakarta : EGC. 2006 Sjamsuhidajat R,dan Jong W.D. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC. 2004 Smith, J Steven, Robert I. White. 2005. Nonsurgical Treatment of Phimosis. Northwestern University Medical School. USA. Snell, Richard S. Anatomi Klinik Snell.Ed 6. Jakarta : EGC. 2006 Tanagho EA, McAninch JW. 2008. Phimosis. In :Smith General Urology. McGraw HillCompanies. Ed 17. Chap 44 hal 14, 690-691, 704.
15