BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Tulang 2.1.1 Anatomi
Pelvis dibagi dalam dua bagian, masing-masing terdiri atas tiga tulang yang terpisah : pubis di anterior dan inferior,iskium di posterior dan inferior serta ilium di superior. Tulang tersebut bersatu di asetabulum, yang mengelilingi kaput femur dengan memberikan stabilitas dan memungkinkan memungkinkan berbagai rentang gerak. Meskipun ketiga ketiga tulang menyatu menyatu saat dewasa untuk membentuk setiap bagian pelvis, tulang tersebut tetap merupakan tiga tulang terpisah. Kedua bagian pelvis menyatu di anterior pada sendi simpisis pubis fibrokartilagenosa dan menyambung dengan sakrum di posterior pada sendi skroiliaka. Tulang terutama merupakan jaringan konselosa dengan lapisan korteks yang tipis. Cincin pelvis terdiri atas tulang pelvis, sakrum dan koksiks, yang bersama-sama membentuk sebuah mangkuk. Pelvis mayor atau palsu meruakan bagian atas yang berbatasan dengan krista iliaka dilateral,dengan spina lumbal di psoterior dan dengan dinding abdomen di anterior. Pelvis tersebut membentuk rongga abdomen yang melindungi kandung kemih ketika penuh dan uterus saat kehamilan. Pelvis minor atau sejati mengelilingi organ organ pelvis, berbatasan dengan ilium dan dan iskium inferior di lateral, dengan sakrum dan koksiks di posterior serta dengan pubis di anterior. Perbedaan antara pelvis pria dan wanita berkaitan dengan susunan otot dan adaptasi selama kehamilan dan kelahiran. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.1 Perbedaan gender berdasarkan anatomi pelvis Karakteristik Karakteristik
Wanita
Pria
Pelvis palsu
Dangkal
Dalam
Pintu atas pelvis
Lebar dan oval
Sempit dan berbentuk hati
Ilium
Melebar dan
Lebih vertikal
mendatar Fosa iliaka
Dangkal
Dalam
Krista iliaka
Kurva lebih
Kurva
landai
menonjol
Asetabulum
Relatif kecil
Besar
Foramen obturator
Oval
Bundar
Simpisis pubis
Relatif dangkal
Lebih dalam
Lengkung pubis
Lebiih daru 90
Kurang dari 90
Sumber : Kneale & Davis (2011, hal 525)
Fungsi utama pelvis adalah memberikan stabilitas dan pergerakan. Secara rinci fungsi tersebut antaralain : 1.
Menopang organ pencernaan, ekskresi dan reproduksi.
2.
Melindungi kandung kemih, uterus, organ reproduksi wanita, rektum dan pembuluh darah iliaka.
3.
Memeberikan sokongan mekanis yang kokoh.
4.
Berperan sebagai penahan goncangan melalui struktur ligamen dan tulang kanselosa.
Otot yang melekat ke pelvis memungkinkan fleksi kolumna vertebra, misalnya oleh iliakus dan gerakan paha, contohnya kelompok gluteus dan adduktor. Stabiltas pelvis tergantung pada integritas tulang, sendi dan ligamen sakroiliaka, skarospinosa, sakrotuberosa, sakroiliaka anterior dan posterior. Setiap gangguan yang menyebabkan perubahan stabilitas pelvis dapat mempengaruhi stukrtur di dalamnya sehingga memicu trauma jaringan lunak dan kemungkinan kehilangan darah yang banyak (Kneale & Davis, 2011 hal 524-525).
Gambar 2.1 Anatomi panggul
Gambar 2.2 Anatomi panggul 2.1.2 Fisiologi
Struktur tulang dan jaringan ikat menyusun kurang lebih 25% berat badan dan otot menyusun kurang lebih 50%. Kesehatan dan baiknya fungsi sistem muskuloskeletal sangat tergantung pada sistem tubuh yang lain. Struktur tulang memberikan perlindungan terhadap organ vital, termasuk otak, jantung dan paru. Kerangka tulang merupakan kerangka yang kuat untuk menyangga struktur tubuh. Otot yang melekat ke tulang memungkinkan tubuh bergerak. Matriks tulang menyimpan kalsium, fosfor, magnesium dan flour. Lebih dari 99% kalsium tubuh total terdapat dalam tulang. Sumsum tulang merah yang terletak dalam rongga tulang menghasilkan sel darah merah dan putih dalam proses yang dinamakan hematopoiesis. Kontraksi otot menghasilkansuatu usaha mekanik untuk gerakan maupun produksi panas untuk mempertahankan temperatur tubuh. 1. Pembentukan tulang Tulang mulai terbentuk lama sebelum kelahiran. Osifikasi adalah proses dimana matriks tulang terbentuk dan pengerasan mineral ditimbun di serabut kolagen dalam suatu lingkungan elektronegatif. Serabut kolagen memberi kekuatan terhadap tarikan pada tulang dan kalisum memberikan kekuatan terhadap tekanan pada tulang. Ada dua model dasar osifikasi : intramembran dan endokondral. Penulangan intramembrans dimana tulang tumbuh di dala membran, terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah. Maka ketika tengkorak mengalami penyembuhan terjadi union secara fibrus. Bentuk lain pembentukkan tulang adalah penulangan endokondral, dimana terbentuk dahulu model tulang rawan. Pertama terbentuk jaringan serupa tulang rawan (osteoid) kemudian
mengalami resopsi dan diganti oleh tulang. Kebanyakan tulang di tubuh terbentuk dan mengalami penyembuhan melalui osifikasi endikondral. 2. Pemeliharaan tulang Tulang merupakan jaringan yang dinamis dalam keadaan peralihan yang konstan (resopsi dan pembentukan ulang). Kalsium dalam tulang orangdewasa diganti dengan kecepatan sekitar 18% per tahun. Faktor pengatur penting yang menentukkan keseimbangan antara pembentukan dan resopsi tulang antara lain stres terhadap tulang, vitamin D, hormon paratiroid, kalsitonin dan peredaran darah. Vitamin D berfungsi meningkatkan jumlah kalsium dalam darah dengan meningkjatkan penyerapan kalisum dari saluran pencernaan. Kekurangan vitamin D mengakibatkan defisit mineralisasi, deformitas dan patah tulang. Hormon paratiroid dan kalsitonin adalah hormon utama yang mengatur homeostasis kkalsium. Hormon paratiroid mengatur konsentrasi kalsium dalam darah., sebagian dengan cara merangsang perpindahan kalsium dari tulang. Sebagai respon kadar kalsium dalam darah yang erndah, peningkatan hormon paratiroid akan mempercepat mobilisasi kalsium, demineralisasi tulang, dan pembentukan kista tulang. Kalstonin, dari kelenjar tiroid
meningkatkan
penimbunan
kalsium
dalam
tulang.
Pasokan
darah
juga
mempengaruhi pembentukan tulang. Dengan menurunnya pasokan darah atau hiperemia (kongesti), akan terjadi penurunan osteogenesis dan tulang mengalami osteoporosis (berkurang kepadatannya). Nekrosis tulang akan terjadi bila tulang kehilangan aliran darah. 3. Penyembuhan tulang Kebanyakan patah tulang sembuh melalui osifikasi endokondral. Ketika tulang mengalami cedera, fragmen tulang tidak hanya ditambal dengan jaringan parut. Namun tulang mengalmi regenerasi sendiri. Ada beberapa tahapan dalam penyembuhan tulang: 1) Inflamasi Dengan adanya patah tulang, tubuh mengalami tubuh mengalami respon yang sama dengan bila terjadi cedera di tempat lain. Terjadi perdarahan dalam jaringan yang cedera dan terjadi pembentukkan hematoma pada tempat patah tulang. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan darah. Tempat cedera kemudian akan dinvasi oleh makrofag, yang akan membersihkan daerah tersebut. Terjadi inflamasi, pembengkakan dan nyeri. Tahap inflamasi berlangsung beerapa hari dan hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri. 2) Proliferasi sel
Dalam sekitar 5 hari, hematoma akan mengalami organisasi. Terbentuk benang-benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi dan invasi fibroblas dan osteoblas. Fibroblas dan osteoblas akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada pecahan tulang. Terbentuk jaringan iikat fibrus dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum tampak pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh gerakan mikrominimal pada tempat patah tulang. Tetapi gerakan yang berlebihan akan merusak struktur kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukkan potensial elektronegatif. 3) Pembentukkan kalus Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan dan tulang serat imatur. Bentuk kalus dan volume yang dihubungkan untuk menghubungkan defek secara langsung berhubungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu waktu 3-4 minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrus. Secara klinis fragmen tulang tidak bisa lagi digerakkan. 4) Penulangan kalus, remodeling menjadi tulang dewasa Pembentukkan kalus mulai mengalami penulangan (osifikasi) dalam 2-3 minggu patah tulang melalui pross penulangan endokondral. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar benar bersatu dengan keras. Permukaan kalus tetap bersifat elektronegatif. Pada patah tulang panjang orang dewasa normal, penulangan memerukan waktu 3-4 bulan. Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan mati dan reorganisasi tulang baru ke sususnan struktural sebelumnnya. Remodeling memerlukan waktu berbulan bulan sampai bertahun-tahun tergantung beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan, fungsi tulang dan pada kasus yang melibatkan tulang kompak dan kanselus, stres fungsional pada tulang. Tulang kanselus mengalami penyembuhan dan remodling lebih cepat daripada tulang kortikal kompak, khususnya pada titik kontak langsung. Ketika remodeling telah sempurna, muatan permukaan patah tulang tidak lagi negatif. Proses penyembuhan tulang dapat dipantau dengan pemeriksaan seri sinar-x. Imobilisasi harus memadai samai tampak tanda-tanda adanya kalus pada gambaran sinar-x. Kemajuan program terapi ditentukan dengan adanya bukti penyembuhan patah tulang ( Smeltz er, 2001).
2.2 Definisi
Fraktur pelvis adalah terputusnya hubungan tulang pelvis, baik tulang pubis/ tulang ileum yang disebabkan oleh suatu trauma. Fraktur pelvis menyebabkan < 5% pada semua cedera rangka. Tetapi cedera ini sangat penting karena tingginya insidensi cedera jaringan lunak yang menyertainya dan resiko kehilangan darah yang hebat, syok, sepsis serta sindrom gangguan pernapasan pada orang dewasa (ARDS). Dua pertiga dari fraktur pelvis panggul terjadi akibat kecelakaan lalulintas. Sepuluh persen diantaranya disertai trauma pada alat-alat dalam rongga panggul seperti uretra, buli-buli, rektum serta pembuluh darah dengan angka mortalitas sekitar 10% (Helmi, 2012).
2.2 Etiologi
Fraktur pelvis dapat disebabkan karena jatuh, kecelakaan, kendaaraan bermotor atau cedera remuk. Pada orang tua dengan osteoporosis atau osteomalasia dapat terjadi stres ramus pubis (Helmi, 2012). Muttaqin (2008) menyebutkan ada beberapa mekanisme trauma pada cincin panggul antaralain : 1.
Kompresi anteriorposterior Hal ini biasanya terjadi akibat tabrakan antara seorang pejlaan kaki dan kendaraan. Ramus pubis mengalami fraktur. Tulang inominata terbelah dan mengalami rotasi eksterna disertai robekan simpisis. Keadaan ini disebut sebagai open book injury. Bagian posterior ligamen sakro-iliaka mengalami robekan parsial atau dapat disertai fraktur bagian belakang ilium.
2.
Kompresi lateral Kompresi dari samping akan menyebabkan cincicn mengalami keretakan. Hal ini terjadi apabila ada trauma samping karena kecelakaan lalulintas atau jatuh dari ketinggian. Pada keadaan ini kedua sisi ramus pubis bagian depan mengalmi fraktur ,bagian belakang terdapat strain dari sendi sakroiliaka atau fraktur ilium. Atau dapat pula terjadi fraktur ramus pubis pada sisi yang sama.
3.
Trauma vertikal Tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan secara vertikal disertai fraktur ramus pubis dan gangguan sendi sakroiliaka pada sisi yang sama. Hal ini terjadi apabla seseorang jatuh dari suatu ketinggian pada satu tungkai.
4.
Trauma kombinasi Pada trauma yang lebiih hebat dapat terjadi kombinasi antarkelainan diatas. Trauma kombinasi dapat berakibat pada hal-hal sebagai berikut :
1) Keretakan tunggal pada cincin panggul (fraktur pada kesua ramus ipsilateral, fraktur dekat atau subluksasi simfisis pubis, dan fraktur dekat atau subluksasi sendi sakroiliaka. 2) Fraktur vertikal ganda dan dislokasi pubis (fraktur ganda, dislokasi dan fraktur multipel yang hebat). 3) Fraktur asetabulum (tanpa pergeseran dan dengan pergeseran).
2.3 Klasifikasi
Apley (1995) membagi cedera pelvis menjadi empat kelompok yaitu 1.
Fraktur yang terisolasi dengan cincin pelvis yang utuh. Dibagi menjadi fraktur avulsi, fraktur langsung dan fraktur tekanan.
2.
Fraktur dengan cincin yang patah, dibagi menjadi stabil dan tak stabil.
3.
Fraktur pada asetabulum
4.
Fraktur sakrokoksigius
Penjelasan masing-masing klasifikasi dijelaskan sebagai berikut : 1.
Fraktur yang terisolasi 1) Fraktur avulsi Sepotong tulang tertarik oleh kontraksi otot yang hebat, fraktur ini biasanya ditemukan pada olahragawan dan atlet. Sartorius dapat menarik spina iliaka anterior superior, rektus femoris menarik sina iliaka superior inferior, adduktor longus menarik sepotong pubis dan urat-urat lutut menarik bagian iskium. Semua merupakan cedera otot, hanya memerlukan istirahat selama beberapa hari dan penentraman. 2) Fraktur langsung Pukulan langsung pada pelvis, biasanya setelah jatuh dari tempat tinggi dapat menyebabkan fraktur iskium atau ala osis ilii. Biasanya diperlukan istirahat di tempat tidur hingga nyeri mereda. 3) Fraktur tekanan (1) Fraktur letih ( fatigue fracture) Disebabkan
oleh
metastasis
tulang,
malignansi
tulang
atau
osteolitik
pascatraumatik. Umumnya fraktur ini menyebabkan nyeri, namun dpaat asimtomatik bila terjadi pegeseran. (2) Fraktur insufisiensi (insuficiency fracture) Pada tulang abnormal yang diakibatkan oleh gangguan seperti osteoporosis, penggunaan kortikosteroid jangka panjang, artritis reumatoid, atau iradiasi lokal
dari penanganan terapi radisi. Fraktur ini dapat salah didiagnosis, namun pasien biasanya mengalami nyeri pelvis atau punggung bawah yang berat. 2.
Fraktur pada cincin pelvis Tile (1988) dalam Kenale dan Davis (2011) menyebutkan klasifikasi fraktur pelvis sebagai berikut : 1)
Tipe A (Fraktur displace yang stabil dan minimal) A1 : Fraktur tidak mencakup cincin pelvis A2 : Fraktur stabil pada cincin pelvis , pergeseran minimal
2)
Tipe B (Fraktur stabil vertikal, takstabil rotasional) B1 : Fraktur kompresi anteriorposterior disertai gangguan dan pelebaran simpisis pubis. B2 : Ipsilateral B3 : Kontralateral, cedera kompresi tak stabil pada rotasi internal
3)
Tipe C (Fraktur takstabil vertikal dan rotasional) C1 : Unilateral C2 : Bilateral C3 : Berkaitan dengan fraktur asetabulum
3.
Fraktur asetabulum Fraktur asetabulum diakibatkan oleh trauma tubrukan berkekuatan besar seperti dashboard injury atau disebabkan karena jatuh dari ketinggian. Tekanan mendesak batang femur atau gaya kompresi lateral menimbulkan kerusakan pada mekkanisme penopang berat pelvis dan pinggul sehingga menggerakkan kaput femur melewati daasar asetabulum atau menimbulkan dislokasi pada sendi. Jika cedera terabaikan atau pasien bergerak terlalu cepat, kaput femur dapat terdorong melewati asetabulum yang mengakibatkan fraktur displaced atau retak pada pelvis. Trauma jaringan lunak yang berat dapat menyebabkan kehilangan darah 1,5 liter atau lebih. Fraktur kolumna anterior memiliki prognosis yang baik karena area penopang berat lebih sedikit terkena. Dislokasi anterior terjadi apabila tungkai ekstensi dan spina fleksi, yang menibulkan rotasi, abduksi dan fleksi eksternal pada posisi tungkai. Otot rektus femoris yang terlekat pada spina iliaka inferior anterior, mencegah gerakan kaput femur ke atas dan pemendekan tungkai. Kaput femur teraba di anterior dan gerakan aktif t idak dapat dilakukan. Fraktur kolumna posterior dan dislokasi posterior sendi pinggul biasanya disebabkan oleh kecelakaan mobil adu muka, pinggul dan lutut penumpang tertekuk yang mengakibatkan
patela menjadi ttitik tubrukan. Gaya yang membebani femur
menyebabkan beragam cedera: fraktur patela, cedera ligamen krusiat posterior, fraktur batang femur atau fraktur dari foramen obturator s ampai takik skiataik yang memisahkan kolumna iskiopubis posterior dan mematahkan bagian penopang berat asetabulum. Pada dislokasi posterior tanpa fraktur kolumna posterior, gerakan ke belakang kaput femur mengakibatkan gaya koyakan, yang mematahkan tepi asetabulum. Tungkai mengalami rotasi, adduksi dan fleksi internal tanpa gerakan aktif lebih lanjut pada sendi. Kaput femur sering teraba dibokong dan dengan menggunakan sinar X terletak di belakang pelvis dalam posisi memendek dan berputar ke dalam. Fraktur kolumna anterior atau posterior yang kompleks dan fraktur tranversus asetabulum memisahkan bagian ilium, pubis dan iskium. Saat atap asetabulum terganggu, timbul dislokasi sentral dan kaput femur terdorong melewati dasar asetabulum. Tungkai dapat mempertahankan posisi normal, disertai nyeri tekan diatas trokanter mayor dan sendi, namun gerakan aktif minimal. Kadang-kadang paha tergores dan memar, yang mengindikasikan tubrukan lateral atau jatuh miring. Jika seluruh permukaan artikular terlepas dari kolumna aksila (spinal), rekonstruksi sendi menjadi lebih sulit sehingga membutuhkan fiksasi internal atau penggantian prostetik asetabulum. Walaupun gerakan aktif fungsional tercapai, semua gerakan kecuali fleksi dan ekstensi mungkin tetap terganggu dan timbul resiko tinggi artritis jangka panjang (Kneale & Davis, 2011). 4.
Fraktur koksigius Pukulan dari belakang atau jatuh pada tulang ekor dapat mematahkan sakrum atau koksigis atau menyababkan keseleo pada sendi antara keduanya. Wanita tampaknya lebih sering terkena daripada pria. Terjadi memar yang luas dan nyeri tekan muncul bila sakrum atau koksigis dipalpasi dari belakang atau melalui rektum. Sensasi dapat hilang pada distribusi sakralis. Young-Burgess membagi disrupsi pelvis ke dalam cedera kompresi anteripr posterior (APC), kompresi lateral (LC),shear vertikal (VS)dan mekanisme kombinasi (CM). Keterangan : A : kompresi anteriorposterior tipe I B : kompresi anteriorposterior tipe II C : kompresi anterior posterior tipe III D : kompresi lateral tipe I E : kompresi lateral tipe II F : kompresi lateral tipe II G : shear vertikal
2.4 Patofisiologi
Trauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul karena tekanan yang besar / karena jatuh dari ketinggian. Pada orang tua dengan osteoporosis / osteomalasia dapat terjadi stres pada ramus pubis. Oleh karena rigiditas panggul maka keretakan pada salah satu bagian cincin akan disertai robekan pada titik lain, kecuali pada trauma langsung. Seringkali titik kedua tidak terlihat dengan jelas / mungkin terjadi robekan sebagian/ terjadi reduksi spontan pada sendi sakro-iliaka.Trauma pada pelvis akan menyebabkan kerusakan pada : 1.
Kerusakan pada tulang pelvis
2.
Kerusakan jaringan lunak pada panggul
3.
Kerusakan pada organ bagian dalam panggul
2.5 Manifestasi Klinik
Adanya riwayat yang mengenai panggul akibat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan industri, kecelakaan lain seperti jatuh dari pohon/bangunan. Gejala umum meliputi ekimosis, nyeri tekan pada simpisis pubis, spina iliaka anterior, krista iliaka, sakrum atau koksigius, pembengkakan lokal dan ketidakmampuan melakukan pembebanan berat badan tanpa rasa tidak nyaman (Muttaqin, 2010). Pengkajian yang didapat meliputi nyeri, paralisis ekstremitas bawah, perdarahan sampai syok, kerusakan alat kelamin dan rektum, ileus paralitik, retensi urin, pada keadaan tertentu pasien masuk dalam kondisi ARDS. Pasien mungkin datang dalam keadaan anemia dan syok karena perdarahan yang hebat. Pemeriksaan pada pasien yang mengalami fraktur pelvis dapat menyebabkan gangguan pada berbagai sistem. Perubahan pada sistem pernapasan terutama pasien trauma panggul berat disertai perdarahan banyak dan syok, pasien biasanya akan jatuh pada kondisi ARDS/gagal nafas akut.
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok hipovolemik/syok hemoragik) yang sering terjadi pada cedera panggul sedang dan berat. Hasil pemeriksaan kardiovaskuler pada cedera panggul pada beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan darah menurun, bradikardi, berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi serta ekstremitas dingin/ pucat. Bradikardi merupakan tanda perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat menandakan adanya penurunan kadar hemoglobin dalam darah. Hipotensi menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda-tanda awal dari suatu renjatan, Tingkat kesdaran bisa berubah sesuai komplikasi yang dapat mengganggu organ vital. Lesi saraf skiatik dapat terjadi pada saat trauma atau operasi. Lesi pleksus lumbosakralis biasanya terjadi fraktur sakrum yang bersifat vertikal disertai pergeseran. Terjadi gangguan seksual apabila mengenai pusat saraf. Pada pasien dengan trauma panggul anterolateral yang mengenai kandung kemih akan didapatkan hematuri, nyeri berkemih, deformitas pada pubis sampai kelainan pada alat kelamin sehingga menggangu proses miksi. Pada pemeriksaan urin output kadang tidak ditemukan, disini perawat harus waspada adanya ruptur kandung kemih dan ruptur urtra sehingga urine keluar ke rongga peritoneum (Helmi, 2012). Look : Sering dijumpai kondisi pasien sangat parah dengan penurunan kesadaran umum. Pada status lokal terlihat adanya memar yang luas pada area panggul. Inspeksi skrotum dan perineum biasanya didapatkan adanya perdarahan, pembengkakan serta deformitas pada panggul dan alat kelamin luar. Feel : Didapatkan adanya nyeri tekan pada panggul terdapat derajat ketidakstabilan cincin panggul dengan palpasi pada ramus dan simpisis pubis. Move: Hambatan dalam melakukan aktivitas duduk, disfungsi motor paling umum adalah kelamahan dan kelumpuhan pada ekstremitas bawah.
2.6 Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan diagnostik utama adalah dengan foto polos anteroposterior pelvis. Pada umumnya foto ini akan memberikan informasi yang cukup untuk membuat diagnosis pendahuluan pada fraktur pelvis (Helmi, 2012). Jika pasien dicurigai mengalami cedera saluran kemih maka dapat dilakukan pemeriksaan sistogram dan urogram intravenus (Smeltzer, 2001). Pemeriksaan radiografi yang bisa dilakukan menurut Kneale & Davis (2011) antara lain : 1.
Sinar X
Digunakan untuk skrining awal, memperlihatkan ruang sendi, kemunculan dan ukuran erosi atau osteofit, adanya masaa abdomen, dislokasi dan fraktur. Sisi yang sering digunakan meliputi : 1) Aspek anteroposterior (A/P) untuk melihat sayap sakrum, tulang iliaka, iskium, pubis, kaput dan kolum femur dan vertebra lumbal. 2) Proyeksi pintu atas panggul (inlet) mengidentifikasi pergeseran pelvis sejati ke posterior dan rotasi pelvis. 3) Aspek pintu bawah panggul (outlet) menunjukkan pergeseran hemipelvis posterior ke superior atau inferior. 2.
CT scan Mengidentifikasi abnormalitas tulang, erosi, perubahan ruang sendi dan truma jaringan lunak, yang meliputi hematoma retroperitoneal. Saat ini, CT Scan tetap digunakan untuk memastikan posisi fiksasi, memantau penyembuhan tulang dan menyingkirkan trauma jaringan lunak seperti jepitan kandung kemih. Penggunaan untuk mendiagnosis fraktur sakroiliaka dan sakrum posterior semakin meningkat karena sebanyak 35% fraktur ini tidak dapat didiagnosa dengan sinar X.
3.
Scan tulang Mengidentifikasi peningkatan tekanan pada sendi mekanis, fraktur, infeksi, perubahan metabolisme dan neoplasma. Scan ini dapat mengidentifikasi fraktur tekan sebelum terlihat dengan sinar X , namun scan tulang yang negatif dalam beberapa jam pertama setelah cedera mungkin tidak menyingkirkan fraktur.
4.
MRI ( Magnetic Resonance Imaging ) Memungkinkan pengkajian strujtur otot, kartilago, ligamen serta efektif untuk mengidentifikasi kondisi inflamasi pelvis dan tumor jaringan lunak dengan cepat.
2.7 Komplikasi
Kerusakan / komplikasi dari cedera pelvis meliputi komplikasi segera dan lanjut. Pada komplikasi segera meliputi hal berikut : 1.
Trombosis vena iliaka femoral (sering ditemukan dan sangat berbahaya). Apabila ada keraguan sebaiknya diberikan antikoagulan secara rutin untuk profilaksis.
2.
Robekan kandung kemih (robekan dapat terjadi apabila ada disrupsi simpisis pubis / tusukan dari bagian panggul yang tajam).
3.
Robekan uretra (terjadi karena adanya disrupsi simpisis pubis pada daerah uretra pars membranosa).
4.
Trauma rektum dan vagina
5.
Trauma pembuluh darah besar yang akan menyebabkan perdarahan masif sampai syok.
6.
Trauma pada saraf : lesi saraf skiatik (dapat terjadi pada saat trauma/ saat operasi). Lesi fleksus lumboskralis (dapat terjadi pada sakrum yang bersifat vertikal disertai pergeseran. Terjadi gangguan fungsi seksual apbila mengenai pusat saraf.
Pada komplikasi lanjut meliputi dua hal sebagai berikut : 1.
Pembentukan tulang heterotrofik (terjadi setelah suatu rauma jaringan lunak yang hebat / setelah suatu diseksi operasi).
2. Nekrosis avaskular (terjadi pdaa kaput femur paska trauma) 3.
Gangguan pergerakan sendi serta osteoartritis sekunder.
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan fraktur pelvis antaralain adalah : 1.
Penatalaksanaan kegawatdaruratan, ditujukan pada fase awal meliputi hal-hal sebagai berikut : 1) Penanganan kestabilan jalan napas dan ventilasi. 2) Penanganan perdarahan dan sirkulasi. 3) Penanganan uretra dan kandung kemih. 4) Pencegahan open book injury dan menurunkan nyeri.
2.
Terapi fraktur pelvis meliputi hal-hal sebagai berikut : 1) Konservatif. Penatalaksanaan imobilisasi dengan pemasangan pelvik sling dilakukan untuk menurunkan nyeri dan mencegah pergerakan fragmen. 2) Pembedahan dengan ORIF dan OREF. Intervensi bedah ortopedi dilakukan untuk imobilisasi dan reduksi fraktur pelvis.
3.
Stabilisasi fraktur pelvis (Kneale & Davis, 2011 hal 531-532) Terdapat dua metode untuk menangani fraktur pelvis yaitu : 1) Traksi pelvis menstabilkan dan mengimobilisasi fraktur cincin pelvis dengan menutup setiap diastasis anterior. Sistem traksi suspensi disertai penarik vertikal seimbang dengan mitela kanvas pada pelvis digunakan pada klien yang mengalami fraktur displace minimal atau pada lokasi yang membutuhkan kompresi lateral. Tujuannya adalah meluruskan ujung tulang hingga mendekati normal, memulihkan fungsi neurovaskuler dan mengurangi trauma jaringan lunak lebih lanjut.Traksi dipertahankan untuk sementara sebelum fiksasi internal atau eksternal, atau untuk
penatalakasanaan konservatif terhadap fraktur. Pasien dibaringkan selama mitela pelvis yang membentang dari krista iliaka posterior hingga lipatan gluteus. Tarikan vertikal sebesar 4-8 kg harus mengangkat bokong dari tempat tidur dengan benar. Traksi yang berlawanan diberikan oleh berat badan pasien. Tepi mitela memberikan kompresi lateral, kompresi ini ditambah untuk menutup diastasis pubis dengan menyesuaikan tali traksi sehingga bersama-sama mendekat atau melintang di ats garis tengah pasien. Cara ini tidak digunakan pada cedera kompresi karena kompresi lateral tambahan dapat mengubah posisi fraktur dan memutar ujung tulang. Pasien umumnya menggunakan traksi selama 6 minggu sebelum memobilisasi penopang non-berat selama 2-3 minggu sebelum memberikan berat parsial dan dilanjutkan berat penuh pada tungkai yang cedera. Besarnya penopang berat bergantung pada fraktur, apakah melewati area penopang berat atau tidak. Traksi skeletal via pin tuberkel tibia selama 4-6 minggu untuk mengurangi tekanan pada asetabulum mungkin berguna bagi pasien yang mengalami fraktur displaced asetabulum atau vertikal. Implikasi asuhan keperawatan khusus bagi pasien yang mengalami cedera pelvis yang terpasang traksi adalah sebagai berikut : (1) Pertahankan pasien dalam posisi supinasi. Pasien mungkin memerlukan bantal tambahan untuk menyangga kepala dan roll lumbal untuk menopang spina lumbal, namun roll ini tidak boleh menyebabkan lengkungan lumbal yang berlebihan. (2) Komunikasi, aktivitas sehari-hari dn kemandirian dibatasi sehingga memerlukan bantuan tambahan di sebagian besar aktivitas. (3) Pengkajian dan penatalksanaan ketidaknyamanan dan nyeri yang baik sangat penting. (4) Pemindahan dan penanganan pasien harus direncanakan sebelum melaksanakan seluruh prosedur dan memastikan analgesik yang adekuat. (5) Pengaturan posisi bedpan dengan tepat dan higiene perineal yang cepat setelah penggunaan urinal tau bedpan penting bagi kenyamanan pasien. (6) Pencegahan cedera neurovaskuler akibat traksi melalui pemeriksan fungsi neurovaskuler dan motorik ekstremitas bawah serta sakrum secara kontinu dan pencegahan rotasi eksternal dengan mengizinkan pasien sedikit memfleksikan pinggul dan lutut jika memungkinkan. 2) Fiksasi Internal dan eksternal (Kneale & Davis, 2011)
Kegagalan untuk memastikan stabilitas cinci pelvis posterior menyebabkan neyri jangka panjang, penurunan aktivitas dan keseimbangan duduk yang buruk. Saat ini, kondisi tersebut jarang terjadi karena peningkatan penggunaan fiksasi eksternal. Penggunaan penstabil pelvis atau C-clamp sebagai tindakan pertama sering dipraktikkan pada sebagian besar unit. Alat fiksasi eksternal yang tidak permanen ini dipasang dengan menggunakan anestesi lokal dan dipertahankan sampai fiksasi internal atau eksternal dipasang. Fiksator memungkinkan penanganan syok hipovolemik dengan mencegah pergerakan fraktur, gangguan bekuan darah dan mengurangi risiko perdarahan. Pin dimasukkan ke tulang pelvis baik dibawah krista iliaka maupun ke dalam spina iliaka superior posterior. Pemantauan neurovaskuler secara kontinu sangat diperlukan karena kerusakan pada saraf skiatik, saraf gluteus, dan pembuluh darah dapat timbul selama insersi. Fiksasi eksternal yang lebih permanen yang menggunakan kerangka kaku disertai penyambungan pin perkutan ke krista iliaka anterior atau spina iliaka inferior anterior dipasang saat pasien telah stabil. Fraktur takstabil tidak dapat ditangani dengan manipulasi tertutup , fraktur ini paling baik ditangani dengan fiksasi internal. Hakim et al (1996) membuktikan bahwa reduksi terbuka dan fiksasi internal pada fraktur tak stabil memungkinkan reduksi anatomi lebih akurat dengan menimbulkan masalah nyeri punggung jangka panjang yang lebih sedikit dibandingkan tirah baring dan fiksasi eksternal. Fraktur tak stabil terutama pergeseran secara vertikal memiliki insiden yang lebih tinggi untuk nyeri jangka panjang, ketidaksesuaian panjang tungkai dan pelvis, ketidakseimbangan saat duduk, mal-tau non-union, dan artritis pasaca-trauma. Kombinasi antara fiksasi eksternal, reduksi bagian yang bergeser dan fiksasi internal akan menahan fragmen fraktur serta memastikan pelvis tetap kaku dan stabil sehingga mengurangi risiko mal- dan non-union. Ketika stabilitas telah dipastikan pasien dapat bergerak dan menopang berat, pada awalnya dengan fisioterapi dan bimbingan perawat. Pasien dipulangkan saat mampu merawat area pemasangan pin. Prosedur ini memerlukan dukungan dan edukasi pasien agar memudahkan penerimaan terhadap fiksator, memastikan perawatan fiksator dan area pemasangan pin secara terus-menerus dan menerima pembatasan terhadap aktivitas normal serta perubahan citra tubuh. 4. Pentalaksanaan terkait dengan trauma jaringan lunak (Kneale & Davis, 2011) 1) Trauma kandung kemih
Kandung kemih yang kosong terlindung di belakang simfisis pubis, namun saat terisi, kubah akan naik yang membuatnya rentan terhadap cedera. Pergeseran vertikal hemipelvid atau fraktur rami meregangkan dinding kandung kemih yang menyebabkan trauma. Trauma kandung kemih berkaitan dengan cedera pada urtra, rektum, vagina, uterus, vas deferens, peritoneum dan saraf sakrum keempat yang menyuplai bagian bawah dan leher kandung kemih. Tinjauan Taffet (1997) menyatakan bahwa 15% pasien yang mengalami fraktur pelvis mengalami trauma kandung kemih yang menyebabkan : (1) Ruptur tak lengkap / komtusio (2) Ruptur intraperotoneal pada kubah menyebabkan rembesan urin ke dalam rongga peritoneal. Paien tampak asites .Bila terinfeksi peritonitis berkembang sangat cepat. (3) Ruptur ekstraperitoneal dengan robekan anterior di dekat dasar kandunng kemih, memungkinkan urine mengalir ke dalam jaringan perivesika, namun tidak melewati diafragma urogenital atau ke dalam rongga peritoneal. Seluruh pasien yang mengalami fraktur tak stabil memerlukan pemantauan asupan dan haluaran cairan dengan ketat untuk memudahkan identifikasi dini trauma kandung kemih atau uretra. Bergantung pada luka robekan, pasien mengalami : (1) Nyeri abdomen di daerah pelvis dan suprapubis (2) Memar perineum atau pembengkakan pada skrotum, bokong, vulva, dan perineum bila urine merembes di sepanjang bidang fasial. (3) Darah pada ujung uretra (4) Hematuria yang mengindikasikan robekan parsial dan ekstraperitoneal. (5) Tidak ada haluaran urine yang menandakan ruptur ekstraperitoneal Rujukan ke bagian urologi sangat penting bila dicurigai terjadi cedera jandung kemih atau uretra dapat bertambah oleh kateterisasi uretra yang tidak tepat. Kateterisasi suprapubis diperlukan hingga derajat kerusakan kandung kemih atau uretra diketahui. Kateter menjaga kandung kemih tetap kosong selama 7-10 hari dan selanjutnya dilepas setelah pemulihan dipastikan terjadi. 2) Trauma uretra Meskipun robekan uretra parsial atau total terjadi pada wanita, uretra pria yang relatif lebih panjang lebih rentan terhadap trauma. Trauma uretra ditandai dengan gangguan pada simpisis pubis, perdarahan meatus urinaria, memar perineum,
distensi kandung kemih, ketidakmampuan untuk mengeluarkan urine, hematoma, atau edema pada penis. Trauma uretra posterior mencakup uretra prostatik atau membranosa,
superior
terhadap
diafrgama
urogenital.
Karena
ligamen
puboprostatik melekatkan prostat ke simpisis pubis, setiap gangguan pada area ini menyebabkan hematoma di sekitar prostat yang member ikan
“rasa basah” saat
pemeriksaan rektum. Setiap pergeseran superior kandung kekmih dan prostat menyebabkan keduanya sulit dipalpasi pada pemeriksaan rektum. Trauma uretra anterior mencakup bulbar atau uretra penis, inferior terhadap diafrgma urogenital. Straddle injury dan trauma kateterisasi dapat mengakibatkan robekan parsial atau total. Jika fasia buck utuh, darah dan urine mengalir ke dalam sarung penis namun jika terganggu, timbul hematoma berbentuk kupu-kupu yang disebabkan oleh perpindahan darah dan urin ke dalam skrotum dan dinding abdomen. Bila pasien mampu berkemih, tndakan ini dianjurkan dan antibiotik profilaksis diberikan. Jika tidak mampu berkemih, kateterisasi suprapubis dilanjutkan dengan pengajian urologi untuk mendiagnosis luasnya trauma dan perbaikan pembedahan dilakukan secepat mungkin. Jika pasien pulang dengan terpasang kateter, mereka membutuhkan dukungan dan edukasi untuk memahami pentingnya perawatan kateter, bagaimana mencegah infeksi serta apa yang harus dilakukan jika kateter tersumbat. 3) Trauma genetalia Setelah straddle injury, genitalia memerlukan pemeriksaan seksama karena labia, testis, uretra, dan perineum beresiko mengalami trauma tubrukan langsung. Nyeri berat sering terjadi pada area tersebut. Disertai pembengkkan dan diskolorisasi khususnya pada skrotum. Penatalaksanaan keperawatan mencakup analgesia dan jika berat tirah baring untuk membatasi aktivitas fisik sam[ai nyeri dan bengkak berkurang. 4) Trauma usus Reaksi tubuh terhadap stress dan cedera menyebabkan pnurunan atau tidak adanya bising usus, nyeri abdomen dan sikap melindungi. Karena kondisi ini terlihat pada sebagian besar cedera pelvis trauma kolon mungkin terdeteksi. Perforasi rectum terjadi akibat fraktur terbuka, sedangkan cedera remuk menyebabkan trauma pada usus halus. Kontaminasi feses pada pelvis dan rongga abdomen meningkatkan risiko peritonitis dan septicemia. Antibiotik profilaksis spektrum luas umumnya diresepkan. Sigmoidoskoo dilakukan untuk mengkaji adanya
cedera kolon. Diverting colostomy jika diperlukan untuk robekan kolon diletakkan pada kuadran atas untuk mengindari lokasi pemasangan fiksator eksternal pelvis.
Fraktur pelvis stabil paling baik ditangani dengan tirah baring, mempergunakan papan di bawah kasur untuk menambah rigiditas sampai nyeri dan ketidaknyamanan menghilang. Traksi dengan sling pelvis jarang diperlukan karena tidak mudah ditoleransi oleh pasien. Pasien yang dipasang sling pelvis sering mengeluh ketidaknyamanan sehubungan dengan slingnya dan beresiko mengalami kerusakan kulit. Pasien tirah baring beresiko mengalami komplikasi akibat imobilisasi seperti konstipasi, stasis vena, dan komplikasi paru. Cairan, serat dalam diet, latihan tungkai dan pergelangan kaki, log rolling, batuk dan napas dalam dan asuhan kulit dapat mengurangi risiko komplikasi dan meningkatkan kenyamanan pasien. Pasien dengan fraktur sakrum beresiko mengalami ileus paralitik dan bising usus harus dipantau. Pasien dengan fraktur koksigius akan mengalami nyeri saat duduk dan saat defekasi. Rendam duduk hangat dapat dianjurkan untuk mengurangi nyei dan pelunak feses dapat diberikan untuk mencegah mengejan saat defeksi. Bila nyeri sudah menghilang aktivitas dikembalikan secarabertahap. Bila cedera terjadi dengan hanya pelebaran ringan simpisis pubis dan atau sendi sakroiliaka anterior dan ligamnetum pelvis tetap utuh dan psien secara hemodinamika stabil, pasien dapat ditangani dengan tirah baring. Tapi untuk fraktur yang tidak stabil secara rotasional seperti fraktur tipe open book dengan pemissahan simpisis pubis lebih dari 2 cm dan kerusakan ligamen sakral, penanganan biasanya melibatkan fiksasi eksterna atau reduksi terbuka anterior. Cara ini akan memberikan hemostasis, stabilitas hemodinamika dan mobilisasi awal. Fraktur pelvik pergeseran vertikal meliputi cicncin pelvis anterior dan posterior dengan pergeseran vertikal, bisanya melalui sendi sakroiliaka. Biasanya terdapat disrupsi komplet ligamen sakroiliaka posterior, sakrospinosus. Biasanya jelas terlihat pergeseran vertikal hemipelvis. Modalitas penanganan meliputi fiksasi eksterna dengan atau tanpa traksi skelet dan reduksi terbuka dan fiksasi interna. Fraktur asetabulum tanpa pergeseran biasanya terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor dimana femur tergencet ke dashboard. Reduksi terbuka dan fiksasi dengan banyak sekrup, artroplasti atau traksi skelet lateral direk dengan menancapkan sekrup trokanter besar ke kaput femur. Traksi dipertahankan selama 6 minggu, diikuti tanpa pembebanan berat badan selama 6 minggu kemudian. Dengan fiksasi interna memungkinkan gerakan dan fungsi yang lebih awal.
Selama periode imobilisasi sehubungan dengan fraktur pelvik, latihan (tungkai, respirasi, rentang gerak dan penguatan), stoking elastik dan peninggian kaki tempat tidur untuk membantu aliran balik vena merupakan upaya yang perlu dilakukan untuk mengurangi efek tirah baring berkepanjangan. Bila penyembuhan fraktur sudah terjadi pasien segera diimobilisasi dengan pembeban berat badan progresif biasanya dengan tongkat. Komplikasi jangka panjang meliputi penyimpangan penyatuan , tidak ada penyatuan, gangguan sisa cara berjalan dan nyeri punggung akibat cedera ligamen (Smeltzer, 2001).