MAKALAH
MANAGEMEN TIDUR DAN MOBILISASI PADA PASIEN KRITIS
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Mata Kuliah Konsep Dasar Dasar Keperawatan Kritis Dosen Koordinator: Yanny Trisyani, S.Kep., MN
Oleh Destiya Dwi Pangestika
220120150033 220120150033
Sehabuddin Salasa
220120150058 220120150058
Refa Teja Mukti
220120150051
PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2016
i
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala kuasa-Nya yang telah memberikan
kesehatan
dan
kesempatan
kepada
penulis
sehingga
menyelesaikan penyusunan makalah ini. Makalah dengan tema
dapat
“ Managemen Managemen
ni disusun sebagai tugas mata kuliah Tidur Dan Mobilisasi Pada Pasien Kritis ” i ni konsep dasar keperawatan kritis. kritis . Kami ucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Yanny dan tim , yang telah memberikan waktu dan arahannya dalam penyusunan makalah ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan di dalamnya, sehingga kritik dan saran sangat diperlukan untuk meningkatkan mutu penulisan yang akan datang. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Bandung, Mei 2016
Penulis
i
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pasien
kritis
mempunyai
masalah
yang
kompleks
dalam
proses
perawatannya. Salah satu masalah yang paling sering dialami oleh pasien kritis adalah adanya kesulitan tidur. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zolfaghari (2012) menginformasikan bahwa gangguan tidur banyak dialami oleh pasien kritis di Intensive Care Unit (ICU). Secara ilmiah, tidur merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang, mempertahankan fungsi fisiologis tubuh, dan mempercepat proses penyembuhan jaringan yang luka (Kozier, 2008). Pasien yang mengalami gangguan tidur akan dapat mempengaruhi proses penyembuhan dan menurunkan kualitas hidup. Menurut Stacy (2012) mendeskripsikan gangguan tidur pada pasien kritis sebagai ketidakcukupan durasi atau kelengkapan fase tidur yang dapat mempengaruhi kenyamanan dan kualitas hidup pasien. Beberapa penelitian menghasilkan bahwa sebagian besar pasien kritis mengalami gangguan tidur dan banyak yang menerima pengobatan untuk membantu gangguan tidur tersebut. Faktor yang dapat mempengaruhi gangguan tidur pada pasien kritis beragam. Menurut Stacy (2012), menyatakan bahwa gangguan tidur pada pasien kritis dapat dipengaruhi oleh stress seperti kondisi lingkungan perawatan, tindakan operasi, suara/kebisingan, pemberian perawatan, nyeri, cahaya yang terlalu terang, dan ketidaknyamanan pada otot dan sendi karena bed rest yang lama. Berdasarkan kondisi di atas, maka perlu dilakukan penatalaksanaan gangguan tidur secara non farmakologi. Terapi nonfarmakologi dipilih karena banyaknya efek yang ditimbulkan pada pasien jika hanya menerima farmakologi saja. Urden (2012) menyebutkan bahwa efek penggunaan obat-
1
2
obatan
untuk
mengatasi
gangguan
tidur
dapat
berupa
berkeringat,
meningkatkan peka terhadap rangsang, lebih banyak bicara, anorexia, masalah di GI, insomnia, dan palpitasi, tergantung dengan jenis obat yang diberikan. Terapi non farmakologis untuk managemen tidur sudah cukup banyak dilakukan penelitian diantaranya penggunaan accupressure, aromaterapi, eye mask dan ear plug , dan sebagainya. Semua terapi tersebut sudah terbukti efektif dalam meningkatkan kualitas tidur pasien kritis. Makalah ini diharapkan dapat menjadi gambaran bagi pemberi pelayanan keperawatan untuk dapat menggunakan terapi non farmakologi dalam meningkatkan kualitas tidur pasien kritis. Masalah lain yang juga dihadapi oleh pasien kritis adalah adanya hambatan mobilisasi. Mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk bergerak secara bebas mudah dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas, guna mempertahankan kesehatannya (Aziz, 2009). Menurut Carpenito (2009) mobilisasi dapat menyebabkan perbaikan sirkulasi,
membuat
napas
dalam
dan
menstimulasi
kembali
fungsi
gastrointestinal normal, sehingga tindakan tersebut sangat baik dilakukan untuk pasien-pasien ICU dengan tirah baring yang lama. Berdasarkan
penelitian
yang
dilakukan
di
sebuah
rumah
sakit
menyatakan bahwa mobilisasi di ICU jarang dilakukan. Kendala untuk melakukan mobilisasi pada pasien di ICU sangat beragam. Faktor-faktor yang berperan
meliputi
keamanan
dari
selang
dan
pipa,
ketidakstabilan
hemodinamik, sumber daya manusia dan peralatan, pemberian penenang, berat badan pasien, nyeri dan ketidaknyamanan pasien, waktu, dan prioritas dari tindakan. Pasien yang mengalami penurunan keadaran dan imobilisasi akan meningkatkan resiko terjadinya dekubitus. Terjadinya dekubitus tersebut tentu akan menjadi suatu bentuk kegagalan bagi pelayanan keperawatan. Hal tersebut juga dapat meningkatkan Length of Stay serta biaya perawatan pasien. Kondisi tersebut perlu dilakukan managemen terapi yang efektif dan efisien untuk memperbaiki dan mempercepat proses perawatan pasien kritis.
3
Berdasarkan kondisi tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas mengenai gangguan tidur serta mobilisasi pada pasien kritis dengan tujuan untuk memberikan pemahaman baru mengenai konsep managemen tidur dan mobililisasi kepada perawat.
1.2. Tujuan
a. Mengetahui konsep tidur secara normal b. Mengetahui gangguan tidur pada pasien kritis c. Mengetahui manajemen terapi untuk pasien kritis dengan gangguan tidur d. Mengetahui konsep mobilisasi e. Mengetahui konsep mobilisasi pada pasien kritis f. Mengetahui manajemen terapi mengenai mobilisasi pada pasien kritis
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Tidur 1. Definisi Tidur
Tidur merupakan hal mendasar yang harus dipenuhi oleh setiap manusia termasuk pasien kritis. Menurut Stacy (2012) mendefinisikan tidur sebagai perubahan persepsi menjadi tidak respon terhadap lingkungan. Manusia menghabiskan waktu hampir sepertiganya untuk tidur (Urden, 2012). Tidur adalah keadaan istirahat alami yang diamati di sebagian besar mamalia. Hal ini ditandai dengan penurunan gerakan tubuh sukarela, penurunan reaksi terhadap rangsangan eksternal, peningkatan laju anabolisme sintesis struktur sel, dan penurunan tingkat katabolisme (pemecahan
struktur
sel).
tidur
yang
teratur
diperlukan
untuk
kelangsungan hidup.( Free encyclopedia 2007). Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa tidur adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan respon terhadap rangsangan eskternal serta terjadi reaksi metabolisme di dalam tubuh. 2. Fisiologi tidur
Pengkajian tidur dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti penggunaan alat Polysomnography (PSG) yang dapat mengkaji tidur serta gangguannya menggunakan elektroda. Electroencephalographic (EEG) juga dapat digunakan untuk mengukur gelombang otak pasien selama tidur, dimana gelombang otak tersebut dapat memberikan klasifikasi fase tidur pasien. Electrooculography (EOG) digunakan untuk mengukur aktivitas pergerakan mata, sehingga dapat dikaji apakah pasien sudah masuk ke dalam fase REM ( Rapid Eye Movement) atau tidak.
4
5
Electromyography (EMG) dapat mengidentifikasi aktivitas otot selama tidur,
seperti
pada
perekaman
daerah
intercostal
berguna
untuk
mengetahui usaha nafas pasien selama tidur. Electrocardiogram (ECG) menunjukan ketidaknormalan aktivitas jantung. a. Fase tidur
Tidur memiliki 3 fase, yaitu saat terjaga, REM ( Rapid Eye Movement ),
dan
NREM
( Non-Rapid
Eye
Movement ).
NREM
menyumbang sekitar 70%-75% dari siklus tidur, REM sekitar 20%25%. Beberapa teori menjelaskan bahwa fase NREM merupakan fase yang dapat mengurangi stress ketika bangun, sedangkan fase REM dapat meningkatkan kreativitas otak. Fase NREM didominasi oleh aktivitas saraf parasimpatis. Pada fase ini, tubuh mencoba untuk mempertahankan
homeostatis,
dan
hal
tersebut
menyebabkan
penurunan energi. Tekanan darah, nadi, pernafasan, dan metabolisme rate dikembalikan ke level yang paling dasar. Selama fase slow-wave sleep, 80% dari total hormon dari tubuh dihasilkan yang berguna untuk menstimulasi sintesis protein dan mengurangi kerusakan katabolik.
Tidur fase ini juga
menghasilkan hormon prolaktin dan testosteron yang dapat membantu proses anabolisme yang terjadi selama fase tidur lambat. Puncak kortisol dihasilkan pada saat pagi, sedangkan melatonin dihasilkan ketiga gelap, dan tiroid dihambat penghasilannya ketika tidur. 1) Non R apid E ye Movement Sleep (NREM)
NREM dibagi menjadi 3 tahap (N1-N3), dimana setiap tahap akan menjadi semakin dalam kualitas tidurnya. Fase N1 mempunyai prosentase sekitar 2%-5% saat tidur malam, dan dapat ditunjukan dari pemeriksaan EEG. Tipe NREM dibagi dalam 4 stadium yaitu: a) Tidur stadium Satu (N1)
Fase ini merupakan antara fase terjaga dan fase awal tidur. Fase ini didapatkan kelopak mata tertutup, tonus otot berkurang
6
dan tampak gerakan bola mata ke kanan dan ke kiri. Fase ini hanya berlangsung 3-5 menit dan mudah sekali dibangunkan. Gambaran EEG biasanya terdiri dari gelombang campuran alfa, beta dan kadang gelombang teta dengan amplitudo yang rendah. Tidak didapatkan adanya gelombang sleep spindle dan kompleks K. Hasil pemeriksaan EOG selama fase N1 terdapat pergerakan bola mata namun masih lemah. Pasien yang melaporkan banyak gangguan selama tidur dapat diprediksi bahwa mengalami gangguan pada fase ini. Menurut Stacy (2012), pada fase transisi antara terjaga dan tidur pasien banyak mengalami kerusakan memori. b) Tidur stadium dua (N2)
Pada fase ini didapatkan bola mata berhenti bergerak, tonus otot masih berkurang, tidur lebih dalam dari pada fase pertama. Gambaran EEG terdiri dari gelombang teta simetris. Terlihat adanya gelombang sleep spindle, gelombang verteks dan komplek K. Fase N2 sekitar 45%-55% dari waktu tidur malam, dengan kondisi tidur yang lebih dalam dibandingkan fase N1. Pada stadium ini karakteristik yang diperlihatkan adalah : (1) Tahap 2 merupakan periode tidur bersuara (2) Kemajuan relaksasi (3) Terbangun masih relatif mudah (4) Tahap berakhir 10 hingga 20 menit (5) Kelanjutan fungsi tubuh menjadi lamban c) Tidur stadium tiga (N3)
Fase ini tidur lebih dalam dari fase sebelumnya. Gambaran EEG terdapat lebih banyak gelombang delta simetris antara 25%50%
serta
tampak
gelombang sleep
spindle.
Fase
N3
menyumbang sekitar 15%-20% dari siklus tidur. Pada tahap ini, gelombang lambat terus terjadi sampai 50% dari total gelombang EEG. Pada fase N3 ini, dihasilkan sintesis protein dan perbaikan
7
jaringan seperti perbaikan sel epitel dan sel tertentu dalam orak, kulit, sumsum tulang, dan mukosa lambung. Karakteristik dari stadium ini adalah: (1) Tahap 3 meliputi tahap awal dari tidur yang dalam (2) Orang yang tidur sulit dibangunkan dan jarang bergerak (3) Otot-otot dalam keadaan santai penuh (4) Tanda-tanda vital menurun tapi tetap teratur (5) Tahap berakhir 15 hingga 30 menit d) Tidur stadium empat
Merupakan tidur yang dalam serta sukar dibangunkan. Gambaran EEG didominasi oleh gelombang delta sampai 50% tampak gelombang sleep spindle. Fase tidur NREM, ini biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu akan masuk ke fase REM. Karakteristik yang ditunjukan dari stadium ini adalah: (1) Tahap 4 merupakan tahap tidur terdalam (2) Sangat sulit untuk membangunkan orang yang tidur (3) Orang yang kurang tidur akan menghabiskan porsi malam yang seimbang pada tahap ini. (4) Tanda-tanda vital menurun secara bermakna dibanding selama jam terjaga (5) Tahap berakhir kurang lebih 15 hingga 30 menit (6) Tidur sambil berjalan dan anuresis dapat terjadi 2) Rapid E ye Movement Sleep (REM)
REM menempati sekitar 20%-25% dari malam pada manusia normal, dan fase ini disebut dream stage atau paradoxic sleep. Paradox adalah sebuah daerah di otak yang sangat aktif, sedangkan daerah otak lain mengalami penekanan (lumpuh) saat tidur. Pada fase ini, terdapat gerakan mata dengan ditandai atonia otot yang mengindikasikan terdapat paralisis pada otot rangka. Sistem saraf simpatis mendominasi selama fase REM. Manusia akan merasakan
8
peningkatan konsumsi oksigen, dan tekanan darah, curah jantung, pernafasan serta nadi. Saraf vagus akan mengalami penekanan selama fase ini, dan pola nafas yang tidak teratur dapat menurunkan penurunan oksigen, terutama untuk pasien yang memiliki masalah pada paru atau penyakit jantung. b. Siklus tidur
berjalan
NREM stage 1
NREM stage 2 NREM stage 3
REM
NREM stage 2
NREM stage 4
NREM Stage 3
Siklus tidur dimulai dari tidur stage 1, lalu berlanjut ke stage 2 dan 3, kembali ke stage 2, pada saat itu biasanya manusia mulai memasuki fase REM. Siklus pertama tersebut biasanya terjadi selama 70-100 menit, dengan siklus selanjutnya selama 90-120 menit. Pada manusia normal, siklus dapat terjadi sebanyak 4-5 kali, dimana NREM terjadi sebanyak 1/3 pertama dari malam, sedangkan REM pada 1/3 terakhir. c. Sistem sirkadian
Sistem sirkadian mempunyai arti ritme tidur-bangun selama 24 jam. Irama sirkadian diatur oleh sekelompok sel di anterior hipotalamus yang disebut suprachiasmatic nuclues, yang fungsinya sebagai pemicu
9
ritme tesebut. Irama sirkadian dapat dipengaruhi oleh kondisi lain dari setiap manusia seperti aktivitas sosial, postur, dan kondisi lingkungan fisik. Pengaruh eksternal yang dapat mempengaruhi irama sirkadian disebut zeitgebers. Menurut stacy (2012), cahaya adalah zeitgebers yang paling berpengaruh pada tidur pasien kritis, sehingga perawat sebaiknya mengatur cahaya ruangan agar dapat meningkatkan kualitas tidur pasien. 3. Gangguan tidur pada pasien kritis a. Definisi
Menurut Stacy (2012) mendeskripsikan gangguan tidur pada pasien kritis sebagai ketidakcukupan durasi atau kelengkapan fase tidur yang dapat mempengaruhi kenyamanan dan kualitas hidup pasien. Beberapa penelitian menghasilkan bahwa sebagian besar pasien kritis mengalami gangguan tidur dan banyak yang menerima pengobatan untuk membantu gangguan tidur tersebut. b. Etiologi dan patofisiologi
Penyebab terbesar gangguan tidur pada pasien kritis adalah adanya nyeri. Nyeri dipengaruhi oleh somatostatin dan substansi P. Pada kondisi tidur dalam orang normal, somatistatin dapat diproduksi, tanpa zat tersebut maka nyeri akan dialami oleh pasien. Substansi P dihasilkan ketika pasien dalam kondisi tidur yang dalam, dan substansi P dapat menyebabkan nyeri pada pasien. Ketika pasien kritis berada pada kondisi tidur yang dalam, somatostatin akan lebih sedikit dihasilkan dan substansi P mengalami peningkatan produksi, hal tersebt yang dapat menyebabkan nyeri yang lebih hebat dan gangguan tidur. Gangguan tidur pada pasien kritis dapat dipengaruhi oleh stress seperti
kondisi
lingkungan
perawatan,
tindakan
operasi,
suara/kebisingan, pemberian perawatan, nyeri, cahaya yang terlalu terang, dan ketidaknyamanan pada otot dan sendi karena bed rest yang lama.
10
Pemasangan ventilator pada pasien kritis juga dapat menyebabkan gangguan tidur pada pasien. Cooper dan Colleagues melakukan penelitian pada 20 pasien yang terpasang ventilator, didapatkan hasil bahwa tidak ada pasien yang mengalami fase tidur normal. Dua belas pasien mengatakan tidak tidur, dan delapan pasien sisanya terdeteksi mengalami gangguan tidur. Mode ventilator juga dapat mempengaruhi kualitas
tidur
pasien.
Bosma
melakukan
penelitian
dengan
membandingkan mode ventilator Proportional Assist Ventilation (PAV) dan Pressure Support saat tidur. Penelitian tersebut menghasilkan bahwa PAV lebih baik untuk meningkatkan kualitas tidur pasien, sedangkan perbandingan antara Assist Control ventilation (AC) dan low level dari pressure support menghasilkan bahwa AC lebih dapat meningkatkan kualitas tidur. c. Pengkajian dan diagnosa
Pengkajian tidur pada pasien kritis meliputi pola tidur normal (termasuk bangun, tidur siang, jam tidur normal dan jam bangun, serta kebiasaan tidur (ritual sebelum tidur, jumlah bantal yang dipakai, selimut, dan penggunaan obat), perubahan tidur selama mengalami sakit, riwayat gangguan tidur, mendengkur, nafas teren gah-engah ketika malam hari, berhenti nafas ketika malam, tidur siang yang terlalu lama, frekuensi dan durasi tidur siang, dan keparahan dari penyakit yang diderita yang dapat mempengaruhi kualitas tidur (COPD, artiritis, angina, reflux esofagitis, atau nokturia). Perawat sebaiknya juga melakukan pengkajian mengenai level kebisingan yang dapat menganggu tidur pasien, riwayat mendengkur karena hal tersbeut berhubungan dengan sleep apnea dan gangguan tidur. Hal termudah yang dapat dilakukan perawat untuk melakukan pengkajian kualitas tidur pasien adalah dengan membandingkan bagaimana pola tidur ketika di rumah (sebelum sakit) dengan ketika di rumah sakit.
11
d. Gangguan tidur pada pasien kritis
Gangguan tidur diantaranya Sleep apneu syndrome terjadi ketika aliran udara tidak ada atau mengalami penurunan. Apneu dalam tidur dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu obstruktif, pusat, dan campuran. Pada jenis apneu obstruktif, tidak ada aliran udara disebabkan oleh obstruksi pada saluran nafas bagian atas. Obstruksi total akan terjadi dalam waktu 10 detik atau lebih lama atau yang biasa disebut obstructive apneu, sedangkan obstruksi parsial disebut hypopnea. Pada apneu pusat, aliran udara menjadi tidak ada karena adanya otot pernafasan yang tidak adekuat dalam bekerja, sedangkan pada tipe ketiga merupakan campuran dari tipe pertama serta kedua dalam satu periode apneu. Penegakan diagnosa apneu syndrome dilakukan perhitungan pada apneu-hypopnea index, yaitu jumlah apneu dan hypopnea/jam dibagi dengan jumlah jam tidur), jika hasilnya lebih dari 5 atau lebih berati menunjukan adanya sleep apneu syndrome. Semua tipe dari sleep apneu syndrome diikuti oleh desaturasi arteri dan berpotensi menimbulkan hipoksemia, yang dapat menyebabkan vasokontriksi pulmonal serta meningkatkan tahanan sistemik vaskular. Diagnosa keperawatan yang dapat diambil dari sleep apneu syndrome adalah: a) Pola
nafas
tidak
efektif
berhubungan
dengan
kelelahan
muskulosketal atau kegagalan neuromuskular. b) Penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidakadekuatan preload. c) Gangguan pola tidur berhubungan dengan tidur yang terpotong d) Gangguan
citra
tubuh
berhubungan
dengan
ketergantungan
fungsional terhadap teknologi pertahanan hidup. e) Defisit pengetahuan berhubungan dengan kekurangan informasi Intervensi keperawatan yang diberikan berfokus kepada optimalisasi oksigenasi dan ventilasi, menyediakan kenyamanan dan dukungan
12
emosi, mempertahankan pengawasan untuk pencegahan komplikasi serta memberikan pendidikan kesehatan pada pasien dan keluarga. 1) Obstructive sleep apnea
Penyebab Obstructive Sleep Apnea (OSA) belum dapat diketahui secara pasti, tapi beberapa faktor dapat menyebabkan terjadinya OSA, seperti penyempitan saluran nafas bagian atas, peningkatan pemenuhan jaringan dari saluran nafas atas, reflek kemampuan saluran nafas bagian atas, fungsi otot paringeal. Fokus pengkajian yang dilakukan perawat kritis adalah monitoring saturasi oksigen dan pola nafas pasien. Pasien dengan OSA memiliki faktor yang berpengaruh seperti, mendengkur, obesitas, pendek, leher pendek, penyakit jantung, hipertensi sistemik, hipertensi
pulmonal,
riwayat
tidur
yang
terpotong,
refluks
gastroesophageal, dan penurunan kualitas hidup. Apnea dapat terjadi pada orang dengan tenggorokan yang kecil. Otot tidak dapat menahan tenggorokan secara normal ketika tenggorokan
terbuka
saat
pasien
tidur.
Mendengkur
terjadi
disebabkan karena jaringan halus di sekitar tenggorokan bergetar. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk penegakan diagnosa menggunakan PSG yang dapat menentukan jumlah dan panjang episode apnea dan fase tidur, jumlah aliran udara, usaha nafas, dan desaturasi oksigen. Intervensi medis yang dapat diberikan pada pasien OSA adalah dengan memberikan CPAP sebagai alat bantu nafas. CPAP dapat menahan jalan nafas tetap terbuka dan mencegah terjadinya collaps, mengatasi dengkuran, tersedak, dan terengah-engah, dan dapat memperbaiki kondisi kardiovaskular. Alternatif lain selain CPAP adalah
BiPAP
Uvulopalato
( Bimodal
Positive
Pharingoplasty
Airway
(LAUP),
menghilangkan jaringan di palatum.
Pressure), Laser
yaitu
laser
untuk
13
Peran
perawat
dalam
managemen
pasien
dengan
OSA
diantarannya memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga dan pasien termasuk mengenai tindakan operasi seperti UPPP. Monitoring pasien juga harus dilakukan meliputi monitoring pola nafas, jam tidur, dan saturasi oksigen. 2) Central Sleep Apnea
CSA dapat diidentifikasi melalui PSG dengan melihat aliran udara dan usaha nafas selama minimal 10 detik. Kemoreseptor sensitif terhadap kada CO2 dalam otak. Ketika kadar CO 2 mengalami peningkatan, maka usaha nafas adalah mengeluarkan kelebihan CO2 tersebut untuk membuat keadaan yang homeostatis antara CO 2 dan oksigen dalam tubuh. OSA disebabkan oleh obstruksi jalan nafas, sedangkan pasien dengan CSA disebabkan karena usaha nafas yang tidak adekuat. Hal tersebut banyak ditemui pada pasien yang memiliki masalah pernafasan atau gagal jantung dimana kedua penyakit tersebut dapat meningkatkan kadar CO2 dalam otak. Karakteristik klinis yang dapat diidentifikasi dari CSA adalah adanya
gagal
nafas,
edema
perifer,
polisitemia,
mengantuk
sepanjang siang, mendengkur, terbangun dengan diikuti terdedak atau nafas pendek dan cepat. Peran perawat dalam penanganan pasien ini adalah sama dengan pasien OSA, yaitu memberikan pendidikan kesehatan pada pasien dan keluarga. Perawat juga sebaiknya mengkaji ketakutan atau kecemasan pasien ketika akan tidur, memperingatkan pasien untuk tidak mengonsumsi alkohol dan sedatif. 4. Managemen gangguan tidur a. Managemen medis
Terapi farmakologi sering digunakan untuk mengatasi gangguan tidur pada pasien. Obat yang biasa dipakai untuk mengatasi insomnia adalah hypnotic benzodiazepine. Hypnotic dapat memperdalam fase tidur dan mempunyai kadar lipophilicity yang tinggi, dimana hal
14
tersebut
dapat
menyebabkan
lansia
mengalami
ketergantungan
konsumsi obat selama hidupnya. Hypnotic juga dapat menyebabkan anterograde amnesia, yaitu kerusakan memori yang disebabkan oleh konsumsi obat. Pengobatan dengan tujuan agar pasien terjaga juga dapat meningkatkan aktivasi tingkah laku, dan kewaspadaan. Hal tersebut dapat dibagi menjadi 3 kelas, yaitu direct-acting symptomimetics (contoh:
phenylephrine),
indirect-acting
symptomimetics
(methylphenidate, amphetamine, mazindol ), dan stimulan yang bukan sympythomimetics (caffeine). Efek samping yang dihasilkan dari konsumsi obat-obatan tersebut adalah berkeringat, meningkatkan peka terhadap rangsang, lebih banyak bicara, anorexia, masalah di GI, insomnia, dan palpitasi. Obat-obatan tersebut dapat diberikan untuk pasien yang mengalami gangguan tidur seperti narkolepsi, hipersomnia saraf pusat idiopatik, atau deprivasi tidur. Beberapa orang menggunakan alkohol untuk membantu tidur. Mekanisme tersebut terjadi karena alkohol adalah sedatif pada sistem saraf pusat dan akan menyebabkan penekanan pada fase REM. Konsumsi alkohol lebih dari 2 gelas dapat menyebabkan peningkatan fase NREM stage 1 dan 2 serta menurunkan onset slow-wave sleep, namun alkohol juga dapat menyebabkan tidur yang dangkal, tidur yang terpotong, dan Osbstructive Sleep Apnea (OSA). Pada ruangan intensive atau area keperawatan kritis, obat yang paling sering digunakan untuk mengatasi gangguan tidur pada pasien adalah beta blocker . Efek samping yang dihasilkan dari penggunaan obat ini adalah mimpi buruk serta efek yang menganggu terhadap kualitas tidur pada beberapa orang. b. Managemen keperawatan 1) Aromaterapi
Aromaterapi dapat menjadi alternatif dalam mengatasi gangguan tidur pasien kritis. Penelitian yang dilakukan oleh Mi Yeon (2013)
15
mengungkapkan
bahwa
aromaterapi
terbukti
efektif
untuk
mengatasi gangguan tidur pada pasien kritis. Penelitian dilakukan pada 30 orang yang dilakukan pemasangan stent setelah angiografi dan masuk ICU.
Pasien diberikan aromaterapi lavender, roman
chamomile, dan neroli oils yang dihisap selama 10 detik. Efektifitas aromaterapi juga diteliti oleh Lytle (2011) yang menggunakan aromaterapi bunga lavender
selama 9 jam pada 50 pasien ICU.
Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa pasien yang diberikan aromaterapi mempunyai kualitas tidur yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok kontrol.
a) F oot massage Terapi ini sudah dilakukan penelitian oleh Oshvandi (2014) yang
menghasilkan
bahwa
foot
massage
efektif
dalam
meningkatkan kualitas tidur pasien. Foot massage dilakukan selama 20 menit pada 30 responden penelitian. Alasan ilmiah yang dikemukakan peneliti mengenai efektifitas terapi tersebut adalah karena sentuhan dan kontak kulit menyebabkan tubuh mengeluarkan endorfin atau zat endogenous dan menyebabkan seluruh tubuh merasa relaks dan juga meningkatkan energi. Melalui relaksasi, massage memblok stress dan kecemasan dan aktivitas saraf simpatis berkurang sehingga dapat meningkatkan kualitas tidur.
b) E ar plugs dan eye mask Terapi tersebut efektif dilakukan pada pasien ICU dan dapat mempengaruhi kualitas tidur pasien. Hal tersebut sejalan dengan penelitian
yang
dilakukan
oleh
Yazdanik
(2014)
yang
menginformasikan bahwa penggunaan penutup telinga dan mata terbukti efektif meningkatkan kualitas tidur 50 pasien ICU di RS Iran. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Mashayekhi (2013), yang menghasilkan bahwa penutup mata terbukti efektif dalam menigkatkan kualitas tidur pada 60
16
pasien
dengan
infark
miokard.
Guen
(2013)
juga
mengungkapkan hal serupa, yaitu penggunaan penutup telinga dan mata efektif dalam meningkatkan kualitas hidup pada pasien post operasi di ICU.
c) Stroke back massage Penelitian mengenai terapi tersebut sudah pernah dilakukan oleh Shinde (2014) yang menghasilkan bahwa stroke back massage terbukti efektif dalam meningkatkan kualitas tidur pasien ICU.
d) Accupressure Accupressure mempunyai banyak jenis. Penelitian yang dilakukan oleh Nesami (2015) mengatakan bahwa baik pijat accupressure maupun pijat accupressure dengan minyak valerian efektif dalam meningkatkan kualitas tidur pasien dengan ACS. Penelitian dilakukan pada 90 responden pasien dengan ACS. Peneliti menyebutkan bahwa minyak valerian memiliki efek relaksasi
dan
meredakan
nyeri
sehingga
mengurangi
terbanggunnya pasien ACS dimalam hari, karena minyak ini mengaktifkan aktifitas reseptor GABA. Penelitian lain yang mengungkapkan hal yang serupa dengan Nesami (2015) adalah Chen (2012) yang mengungkapkan bahwa accupressure dengan minyak valerian 2,5% juga terbukti efektif dalam meningkatkan kualitas tidur pasien. Pijatan menggunakan jempol yang diberikan pada daerah pergelangan tangan dan telapak kaki. 2.2 Konsep Mobilisasi 1. Definisi
Manusia sebagai keseluruhan yang komplit dan independen, holistik secara biologis, psikologis, sosial dan spiritual yang keseluruhannya tidak dapat dipisahkan, teori Henderson mempunyai empat belas kebutuhan dasar manusia seperti bernafas secara normal, makan dan minum cukup, eliminasi,
bergerak
dan
mempertahankan
psisi
yang
dikehendaki
17
(mobilisasi), istirahat dan tidur, memilih cara berpakaian;berpakaian dan melepas pakaian, mempertahankan temperatur suhu tubuh dalam rentang normal, menjaga tubuh tetap bersih dan rapi, menghindari bahaya dari lingkungan, berkomunikasi dengan orang lain, beribadah menurut keyakinan, bekerja yang menjajikan prestasi, bermain dan bepatisipasi dalam berbagai bentuk rekreasi, belajar, menggali atau memuaskan rasa keinginantahuan yang mengacu pada perkembangan dan kesehatan normal (Potter & Perry, 2005). Mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk bergerak secara bebas mudah dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas, guna mempertahankan kesehatannya (Aziz, 2009). Mobilisasi dini adalah kebijaksanaan untuk selekas mungkin membimbing penderita keluar dari tempat tidurnya dan membimbingnya selekas mungkin berjalan. Menurut Carpenito (2009), mobilisasi dini merupakan suatu aspek yang terpenting pada fungsi fisiologis karena hal itu esensial untuk mempertahankan kemandirian. Dari kedua defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa mobilisasi dini adalah upaya mempertahankan kemandirian sedini mungkin dengan cara membimbing penderita untuk mempertahankan
fungsi
fisiologis.
Mobilisasi
dapat
menyebabkan
perbaikan sirkulasi, membuat napas dalam dan menstimulasi kembali fungsi gastrointestinal normal, dorong untuk menggerakkan kaki tungkai bawah sesegera mungkin biasanya dalam waktu 6 jam sehingga tindakan ini sangat baik dilakukan untuk pasien-pasien ICU dengan tirah baring yang lama. 2. Jenis mobilisasi
Berdasarkan jenisnya, menurut (Agus, 2009) mobilisasi terbagi atas dua jenis, yaitu: a. Mobilisasi penuh Mobilisasi
penuh
merupakan
kemampuan
seseorang
untuk
bergerak dengan batasan tidak jelas dan mampu bergerak secara bebas tanpa adanya gangguan pada bagian tubuh.
18
b. Mobilisasi Sebagian Mobilisasi sebagian adalah ketidakmampuan seseorang untuk bergerak secara bebas dan aktif karena dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan sensorik pada area tubuhnya. Mobilisasi sebahagian terbagi atas dua jenis, yaitu: 1) Mobilisasi sebahagian temporer, merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang tidak menetap. Hal tersebut dinamakan sebagai batasan yang bersifat reversible pada sistem musculoskeletal, contohnya: adanya dislokasi pada sendi atau tulang. 2) Mobilisasi sebagian permanen, merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap, Contohnya: terjadinya kelumpuhan karena stroke, lumpuh karena cedera tulang belakang, poliomyelitis karena terganggunya sistem saraf motorik dan sensorik. 3. Rentang gerak dalam mobiliasi
Menurut Carpenito,(2000) mobilisasi terdapat tiga rentang gerak, yaitu sebagai berikut: a. Rentang Gerak Pasif
Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otototot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasi en. b. Rentang Gerak Aktif
Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif misal nya berbaring pasien menggerakkan kakinya. c. Rentang Gerak Fungsional
Berguna
untuk
memperkuat
melakukan aktifitas yang diperlukan.
otot-otot
dan
sendi
dengan
Pengkajian mobilisasi pasien
berfokus pada rentang gerak, gaya berjalan, latihan, dan toleransi aktivitas, serta kesejajaran tubuh. Rentang gerak merupakan jumlah maksimum gerakan yang mungkin dilakukan sendi pada salah satu dari
19
tiga potongan tubuh: sagittal, frontal, dan transversal tubuh. Pengkajian rentang gerak ( Range of Motion-ROM) dilakukan pada daerah seperti kepala (leher spinal servikal), bahu, siku, lengan, jari-tangan, ibu jari, pergelangan tangan, pinggul, dan kaki (lutut, telapak kaki, jari kaki). 4. Manfaat mobilisasi
Penderita merasa lebih sehat dan kuat dengan mobilisasi dini. Dengan bergerak, otot-otot perut dan panggul akan kembali normal sehingga otot perutnya menjadi kuat kembali dan dapat mengurangi rasa sakit dengan demikian ibu merasa sehat dan membantu memperoleh kekuatan, mempercepat kesembuhan. Faal usus dan kandung kencing lebih baik. Dengan bergerak akan merangsang peritaltik usus kembali normal. Aktifitas ini juga membantu mempercepat organ-organ tubuh bekerja seperti semula (Yemima, 2007). Mobilisasi dini adalah suatu usaha untuk menggerakkan bagian tubuh secara bebas dan normal baik secara aktif maupun pasif untuk mempertahankan sirkulasi, memelihara tonus otot-otot dan mencegah kekakuan otot. Prinsip dalam melakukan mobilisasi yaitu mencegah dan mengurangi komplikasi sekunder seminimal mungkin, menggantikan hilangnya
fungsi
motorik,
memberikan
rangsangan
lingkungan,
memberikan dorongan untuk bersosialisasi, meningkatkan motivasi, memberikan keseimbangan untuk dapat berfungsi dan melakukan aktifitas sehari-hari sedangkan tujuan mobilisasi dini adalah untuk mencegah terjadi infeksi nosokomial pneumonia, kekakuan sendi, thombophebitis, atrofi otot, penumpukan sekret pada saluran pernafasan, mengurangi nyeri pada sisi
yang lumpuh memperlancar sirkulasi
darah, mencegah
kontraktur, dan dekubitus (Yemima, 2007). Mobilisasi dini juga merupakan salah satu tindakan preventif non farmakologi yang dapat mencegah atau mengurangi kejadian infeksi nosokomial pneumonia. Pasien kritis yang bed rest total dan fisiknya lemah karena otot pada pasien immobility mengalami penurunan sintesis protein dan peningkatan proses katabolisme di otot yang menyebabkan
20
otot-otot menjadi lemah termasuk otot pernapasan (Kathleen, 2010). Selain itu pada pasien dengan atelektasis yang terjadi karena suatu kompresi mengakibatkan
expansi
parunya
tidak
optimal.
Hal-hal
tersebut
menimbulkan fungsi normal paru seperti reflek batuk, dan drainage tidak bekerja dengan baik sehingga beresiko lebih tinggi terkena infeksi nosokomial pneumonia karena bakteri pathogen akan berkoloni di paru. Mobilisasi dini memungkinkan kita mengajarkan segera untuk pasien merawat dirinya. Perubahan yang terjadi pada pasien pasca operasi akan cepat pulih dengan demikian pasien akan cepat merasa sehat dan dapat
merawat
dirinya.
Mencegah
terjadinya
thrombosis
dan
tromboemboli, dengan mobilisasi sirkulasi darah normal/ lancar sehingga resiko terjadinya thrombosis dan tromboemboli dapat dihindari. 5. Kerugian tidak melakukan mobilisasi
Tujuan mengatur posisi pasien adalah memberikan rasa nyaman pada pasien, mempertahankan atau menjaga postur tubuh tetap baik, apabila hal ini tidak diperhatikan dan dilakukan maka pasien yang menjalani perawatan di ruang ICU akan mengalami komplikasi yang mungkin timbul akibat tirah baring yang lama. Posisi pasien sebaiknya dirubah setiap 2 jam bila tidak ada kontra indikasi. Adapun posisi yang dapatdilakukan pada pasien di ruang ICU adalah sebagai berikut (Agus, 2009): a. Posisi Berbaring ke samping
Posisi diatur berbaring kesamping kanan atau kiri. Lengan yang dibawah tubuh diatur fleksi didepan kepala atau diatas bantal. Sebuah bantal dapat diletakkan dibawah kepala dan bahu. Untuk menyobong otot sternokleidomartoid dapat dipasang bantal di bawah tangan. Untuk mencegah lengan aduksi dan bahu beratasi ke dalam, sebuah bantal dapat diletakkan dibawahnya. Untuk mencegah paha beraduksi dan berotasi ke dalam, sebuah bantal dapat diletakkan di bawah kaki atas, sambil kaki atas diatur sedikit menekuk kedepan.
21
b. Posisi Sims
Pasien diatur posisi miring ke kiri / kanan dengan tangan yang dibawah di letakkan dibelakang punggung dan tangan yang atas difleksikan di depan bahu. Kaki atas sedikit fleksi dan disokong sebuah bantal. Untuk mencegah leher fleksi dan hiperektensi, sebuah bantal dapat diletakkan di bawah kepala. 6. Mobilisasi pada pasien ICU
Pasien yang dirawat di ICU adalah pasien yang kondisinya kritis sehingga memerlukan pengelolaan fungsi sistem organ tubuh secara terkoordinasi, berkelanjutan, dan memerlukan pemantauan secara terus menerus. Pasien ICU tidak hanya memerlukan perawatan dari segi fisik tetapi memerlukan perawatan secara holistik. Kondisi pasien yang dirawat di ICU yaitu (Murbarak & Chayatin, 2008): a. Pasien sakit berat, pasien tidak stabil yang memerlukan terapi intensif seperti bantuan ventilator, pemberian obat vasoaktif melalui infus secara terus menerus, seperti pasien dengan gagal napas berat, pasien pasca bedah jantung terbuka, dan syok septik. b. Pasien yang memerlukan bantuan pemantauan intensif sehingga komplikasi berat dapat dihindari atau dikurangi seperti pasien pasca bedah besar dan luas, pasien dengan penyakit jantung, paru, dan ginjal. c. Pasien yang memerlukan terapi intensif untuk mengatasi komplikasikomplikasi akut dari penyakitnya seperti pasien dengan tumor ganas dengan komplikasi infeksi dan penyakit jantung, sumbatan jalan napas. Untuk menjamin kenyamanan, memperkecil distress, dan membuat intervensi penyelamatan hidup lebih dapat ditoleransi, pasien dengan alat bantu napas atau ventilasi mekanik diberikan sedasi. Dampak lanjutan pemberian
sedasi
adalah
penurunan
tingkat
kesadaran
dan
ketidakmampuan bergerak (imobilisasi) atau ketidakmampuan untuk melakukan mobilisasi secara independen. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di sebuah rumah sakit menyatakan bahwa mobilisasi di ICU jarang dilakukan. Kendala untuk
22
melakukan mobilisasi pada pasien di ICU sangat beragam. Faktor-faktor yang berperan meliputi keamanan dari selang dan pipa, ketidakstabilan hemodinamik, sumber daya manusia dan peralatan, pemberian penenang, berat badan pasien, nyeri dan ketidaknyamanan pasien, waktu, dan prioritas dari tindakan. Pasien yang mengalami penurunan keadaran dan imobilisasi akan meningkatkan resiko terjadinya dekubitus. Sebuah studi observasional prospektif tentang pergantian posisi dan mobilisasi pada 50 ICU di Inggris dinyatakan bahwa 4.88 jam merupakan waktu yang tepat untuk merubah posisi pasien. Di ICU Arab menemukan waktu yang tepat adalah 2 jam untuk merubah posisi pasien. Di Irlandia perubahan posisi dilakukan setiap 3 jam selama 12 jam selama 3 hari, karena rata-rata pasien yang menggunakan ventilator selama 2-3 hari. Sesuai panduan nasional di Amerika National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP) menyatakan bahwa standar perawatan bagi pasien imobilisasi sekarang ini yaitu perubahan posisi pasien dilakukan tiap 2 jam. Pasien yang dirawat di ruang ICU dengan gangguan status mental misalnya oleh karena stroke, injuri kepala atau penurunan
kesadaran
tidak
mampu
untuk
merasakan
atau
mengkomunikasikan nyeri yang dirasakan atau pasien merasakan adanya tekanan namun mereka tidak bisa mengatakan kepada orang lain untuk membantu mereka mengubah posisi. Bahkan ada yang tidak mampu merasakan adanya nyeri atau tekanan akibat menurunnya persepsi sensori. 5 Pasien yang dirawat di ruang ICU mengalami kelembaban kulit yang berasal dari drainase luka, keringat, kondensasi dari sistem yang mengalirkan oksigen yang dilembabkan, muntah, dan inkontensia, menyebabkan perlunakan pada kulit (maserasi), sehingga lebih rentan terhadap kerusakan akibat tekanan dan mengalami dekubitus. Lingkungan yang lembab meningkatkan risiko dekubitus lima kali lipat. Pasien dengan trauma besar, luka bakar , dan sepsis dan yang telah menjalani operasi besar yang dirawat di ruang ICU terjadi perubahan metabolisme sehingga berada dalam keadaan gizi buruk. Status nutrisi
23
merupakan faktor risiko kritis terhadap berkembangnya dekubitus. Keutuhan kulit dan penyembuhan luka akan lebih baik jika pasien berada pada kondisi keseimbangan nitrogen yang positif dan kadar serum protein yang
adekuat.
Metabolisme
yang
diubah
mengarah
ke
dalam
keseimbangan nitrogen negatif akan berisiko tinggi mengalami kerusakan jaringan dan penyembuhan luka yang sulit. Kerusakan jaringan pada kondisi nitrogen yang negatif dipicu oleh adanya proses. Katabolisme dimana hati akan mengubah protein dalam tubuh menjadi energy. Protein ini diambil dari masa otot. Hal ini menyebabkan terjadinya pengecilan masa otot dan terhambatnya pembentukan jaringan baru. Rendahnya albumin serum dapat menyebabkan edem interstisial yang berdampak menurunnya status nutrisi ke jaringan. Pasien dengan albumin serum < 35 gram/ liter sebesar 75 % mengalami dekubitus, dibandingkan pasien dengan albumin serum > 35 gram / liter hanya 16 % mengalami dekubitus. 2.3. Imobilisasi 1. Definisi
Imobilitas atau lebih dikenal dengan keterbatasan gerak dan juga didefinisikan oleh North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) sebagai suatu keadaan ketika individu mengalami atau berisiko mengalami keter batasan gerak fisik baik aktif dan pasif memiliki dampak pada sistem tubuh. Imobilitas dapat mempengaruhi fisiologis sistem tubuh yang abnormal dan patologis seperti perubahan sistem muskuluskeletal, sistem kardiovaskuler, sistem repirasi, sistem urinari dan endokrin, sistem integument, sistem neourosensori, perubahan metabolism dan nutrisi, perubahan eliminasi bowel, perubahan sosial, emosi dan intelektual. Immobilisasi merupakan suatu kondisi yang relatif yang dapat dialami setiap individu dengan tidak saja kehilangan kemampuan geraknya secara total, tetapi juga mengalami penurunan aktivitas dari kebiasaan normalnya. Masalah immobilisasi dapat menimbulkan
24
berbagai dampak, baik dari segi fisik maupun psikologis. Secara psikologis, immobilitas dapat menyebabkan penurunan motivasi, kemunduran kemampuan dalam memecahkan masalah, dan perubahan konsep diri. Selain itu, kondisi ini juga disertai dengan ketidaksesuaian antara emosi dan situasi, perasaan tidak berharga dan tidak berdaya, serta kesepian yang diekspresikan dengan perilaku menarik diri dan apatis (Murbarak & Chayatin, 2008). Immobilisasi merupakan keadaan dimana seseorang tidak dapat bergerak secara bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan (aktivitas), misalnya mengalami trauma tulang belakang, cedera otak berat disertai fraktur pada ekstremitas dan sebagainya (Agus, 2009). 2. Dampak Imobilisasi
Individu dengan berat dan tinggi badan rata-rata dan tanpa penyakit kronis yang dalam keadaan tirah baring, akan kehilangan kekuatan otot sebanyak 3% setiap hari. Immobilisasi juga dihubungkan dengan
perubahan
kardiovaskuler,
rangka
dan
organ
lainnya.
Keparahan perubahan sistem bergantung pada kesehatan keseluruhan, derajat lama mobilisasi, dan usia. Misalnya lansia dengan penyakit kronis mengembangkan dampak mobilisasi yang lebih cepat dari pada klien yang lebih muda dengan masalah imobilisasi yang sama. Diantara dampak yang terjadi terhadap imobilisasi adalah sebagai berikut (Murbarak & Chayatin, 2008): a. Perubahan metabolisme
Perubahan
mobilisasi
akan
mempengaruhi
metabolisme
endokrin, resorpsi kalsium dan fungsi gastrointestinal. Sistem endokrin menghasilkan hormon, mempertahankan dan meregulasi fungsi vital seperti berespon pada stress dan cedera, pertumbuhan dan
perkembangan,
reproduksi,
mempertahankan
lingkungan
internal, serta produksi pembentukan dan penyimpanan energi.
25
b. Perubahan pernafasan
Kurangnya pergerakan dan latihan akan menyebabkan klien memiliki komplikasi pernafasan. Komplikasi pernafasan yang paling umum adalah atelektasis (kolapsnya alveoli) dan pneumonia hipostatik (inflamasi pada paru akibat statis atau bertumpuknya sekret). Menurunnya oksigenasi dan penyembuhan yang alam dapat meningkatkan ketidaknyamanan klien. c. Perubahan kardiovaskuler
Imobilisasi juga mempengaruhi sistem kardiovaskuler. Tiga perubahan utama adalah hipotensi ortostatik, meningkatnya beban kerja jantung dan pembentukan trombus. Pada kilen yang imobilisasi,
menurunnya
volume
cairan
yang
bersirkulasi,
berkumpulnya darah pada ekstremitas bawah, menurunnya respon otonomik akan terjadi. Faktor ini akan menurunkan aliran balik vena, disertai meningkatnya curah jantung, yang direfleksikan dengan menurunnya tekanan darah. Hal ini terutama terjadi pada klien lansia. Karena beban kerja jantung meningkat, konsumsi oksigen juga meningkat. Oleh karena itu, jantung akan bekerja lebih keras dan kurang efisiensi jantung selanjutnya akan menurun sehingga beban kerja jantung meningkat. d. Perubahan muskuloskeletal
Dampak
imobilisasi
pada
sistem
musluloskeletal
adalah
gangguan permanen atau temporer atau ketidakmampuan yang permanen.
Pembatasan
mobilisasi
terkadang
menyebabkan
kehilangan daya tahan, kekuatan dan massa otot, serta menurunnya stabilitas dan keseimbangan. Dampak pembatasan mobilisasi adalah gangguan metabolisme kalsium dan gangguan sendi. e. Perubahan Integument
Perubahan metabolisme yang menyertai imobilisasi dapat meningkatkan efek tekanan yang berbahaya pada kulit klien yang imobilisasi. Hal ini membuat imobilisasi menjadi masalah resiko
26
yang besar terhadap luka tekan. Metabolisme jaringan bergantung pada suplai oksigen dan nutrisi serta eliminasi sampah metabolisme dari darah. Tekanan mempengaruhi metabolisme seluler dengan menurunkan
atau
mengeliminasi
sirkulasi
jaringan
secara
keseluruhan. 2.4. Managemen Mobilisasi pada pasien Kritis
Mobilisasi dini pada tahap awal bisa dilakukan dengan memposisikan miring atau alih baring dan ROM pasif. Memberikan posisi miring selain untuk mencegah dekubitus juga sangat efektif untuk meningkatkan proses pengeluaran sekret bronchial dengan dasar efek gravitasi. Hal ini menstimulus sekret untuk berpindah dari satu atau lebih segmen paru ke jalan napas dimana sekret dapat keluar dengan sendirinya melalui mulut, dengan reflek batuk atau dengan aspirasi mekanik (Kathleen, 2010). Selain itu ROM pasif dapat meningkatkan kekuatan otot pasien dan secara psikologis juga dapat memotivasi pasien untuk meningkatkan otot pernapasan diafragma sehingga pernapasan bisa adekuat dan proses weaning ventilator dapat lebih cepat dan resiko terjadi pneumonia dapat diminimalkan. Seperti halnya pada pasien dengan atelektasis juga dilatih napas dalam dan batuk efektif supaya otot pernapasannya dapat kuat serta pasien tidak kelelahan karena batuk yang tidak efektif. Cara tersebut menjadikan expansi paru akan optimal, bersihan jalan napas adekuat, sekret dapat keluar dan tidak terjadi penumpukan sekret bronchial di paru sehingga dapat mencegah atau meminimalkan koloni bakteri patogen penyebab pneumonia. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tahun 2003 yang mengatakan bahwa mobilisasi dini dapat mencegah infeksi nosokomial pneumonia dengan tujuan mengoptimalkan pertahanan tubuh pasien. Mobilisasi dini ini dilakukan dengan melihat kondisi pasien, pasien yang kondisi atau vital signnya tidak stabil, ditunda untuk dilakukan mobilisasi dini karena dapat meningkatkan metabolisme tubuh sehingga menambah beban kerja jantung.
27
Selain itu dengan mobilisasi dini juga dapat meningkatkan peristaltik usus. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Prasetya (2013) tentang pengaruh mobilisasi miring kanan miring kiri terhadap pencegahan konstipasi pad pasien stroke infark dengan tirah baring lama. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat pengaruh signifikan mobilisasi miring kanan dan miring kiri untuk mencegah konstipasi pada pasien stroke infark dengan tirah baring lama. Disarankan agar mobilisasi miring kanan dan miring kiri tiap dua jam dibuatkan prosedur tertulis. Rahmanty tentang Pengaruh Pelaksanaan Mobilisasi Progresif Level I Terhadap Hemodinamik Non Invasif Pada Pasien Kritis Di General Intensive Care Unit (GICU) RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung mengungkapkan hasil penelitianya, setelah diberikan intervensi terlihat ada
perubahan
pada
pameter
sistolik,
diastolik
dan
pernafasan
dibandingkan pada awal pengukuran. Pada parameter heart rate dan saturasi oksigen tidak mengalami perubahan. Analisi bivariat didapatkan pengaruh pemberian mobilisasi pada pernafasan dengan p value = 0,023 sedang pada parameter lain didapatkan p value > 0,05. Kesimpulannya adalah pemberian mobilisasi progresif berpengaruh terhadap perubahan pernafasan.
Implikasi
dari hasil
penelitian
ini,
diharapkan dapat
dipertimbangkan dan dipergunakan sebagai bahan pertimbangan untuk memberikan mobilisasi pada pasien di ICU.
BAB III KESIMPULAN
Tidur merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi. Tidur memiliki peranan penting dalam proses penyembuhan termasuk pada pasien kritis, namun kebutuhan tidur pada pasien kritis mengalami banyak kendala dalam proses pemenuhannya. Kendala yang paling sering dilaporkan adalah nyeri, suara serta cahaya yang terlalu terang. Gangguan tidur pada pasien kritis yang dapat terjadi diantarannya sleep apneu syndrome, dimana jika tidak ditangani dengan segera bisa menyebabkan kematian pada pasien. Penanganan sleep apneu syndrome dengan memberikan ventilator sebagai alat bantu nafas atau oksigen, serta perawat harus terus memonitor pola pernafasan pasien. Salah satu cara untuk membantu pemenuhan kebutuhan tidur pasien adalah dengan memberikan terapi baik farmakologi maupun non-farmakologi. Terapi farmakologi sering disertai efek samping yang dapat memperburuk kondisi pasien,
maka
perlu
diberikan
terapi
pendamping
seperti
aromaterapi,
accupressure, foot massage, slow back massage, dan pemberian eye mask & ear plug . Pasien kritis juga memiliki masalah lain dalam proses perawatannya, yaitu adanya hambatan mobilisasi. Menurut berbagai penelitian, mobilisasi jarang dilakukan pada pasien ICU karena berbagai faktor. Salah satu cara untuk membantu pemenuhan mobilisasi pada pasien ICU adalah dengan memberikan ROM (Range of Motion) dan latihan otot progressif. Hasil telaahan diatas menunjukan kondisi yang sering terjadi pada pasien kritis adalah gangguan istirahat tidur dan mobilisasi baik disebabkan oleh keadaan penyakit atau program pengobatan yang dijalankan. Jika dalam perawatan intensif dikatakan bahwa kebutuhan istirahat tidur terganggu lebih disebabkan karena nyeri baik secara patofisiologi atau intervensi yang dilakukan sedangkan
28
29
mobilisasi terganggu lebih karena penyakit yang diderita misalkan intoleransi aktivitas yang berpengaruh terhadap hemodinamik atau keterbatasan mobilisasi karena keterbatasan fisik. Kedua intervensi tersebut memiliki keterkaitan karena apabila kebutuhan istirahat tidur tidak terpenuhi secara adekuat maka akan menimbulkan kelelahan otot untuk mobilisasi, sehingga proses recoverry yang ditimbulkan dari tidur yang adekuat sangat penting bagi kehidupan. Hal tersebut telah di buktikan dari beberapa penelitian diatas bagaimana mobilisasi dini dan istirahat tidur berpengaruh terhadap daya tahan tubuh maupun hemodinamik. Kedua kebutuhan ini harus terpenuhi secara seimbang baik dengan bantuan medikasi ataupun intervensi mandiri perawat.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, R. 2009. Pelaksaaan Mobilisasi Dini Pada Ibu Post Partum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Chen, Chao, Fen Lu , Fen Shiung, Chao. 2012. The effectiveness of valerian acupressure on the sleep of ICU patients: A randomized clinical trial. International Journal of Nursing Elseiver ltd. doi:10.1016/j.ijnurstu.2012.02.012. Cho, Min, Hur, Lee. 2013. Effects of Aromatherapy on the Anxiety, Vital Signs, and Sleep Quality of Percutaneous Coronary Intervention Patients in Intensive Care Units. Hindawi Publishing Corporation Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine Volume 2013, Article ID 381381, 6 pages. Christiane Perme. 2009. Early mobility and walking program for patients in intensive care units: creating a standard of care. Diakses tanggal 06 Mei 20106. URL : http://www.ajcconline.org Kathleen M. Vollman, RN, MSN. Progressive mobility in the critically ill. Diposkan April 2010. Diakses tanggal 06 Mei 2016. URL : http:// www.ccnonline.org Kozier B, Erb G, Berman A, Snyder SJ. Fundamental Concepts and Skills for Nursing . 8th ed. Philadelphia: Sunders; 2008. p. 1162. Le Guen, Robin, Lebard, Arnulf, Langeron. 2013. Earplugs and eye masks vs routine care prevent sleep impairment in post-anaesthesia care unit: a randomized study. British Journal of Anaesthesia Page 1 of 7 doi:10.1093/bja/aet304. Lytle, Mwatha, Davis. 2014. Effect Of Lavender Aromatherapy On Vital Signs And Perceived Quality Of Sleep In The Intermediate Care Unit: A Pilot Study. AJCC american Journal Of Critical Care , January 2014, Volume 23, No. 1 doi: http://dx.doi.org/10.4037/ajcc2014958 Mashayekhi, Arab, Pilevarzadeh, Amiri, Rafiei. 2013. The effect of eye mask on sleep quality in patients of coronary care unit. Sleep Science Volume : 6, Issue: 03, Page : 108-111 Moeini, Khadibi, Bekhradi, Mahmoudian, Nazari. 2010. Effect of aromatherapy on the quality of sleep in ischemic heart disease patients hospitalized in intensive care units of heart hospitals of the Isfahan University of Medical Sciences. IJNMR/Autumn 2010; Vol 15, No 4
30