IAS NO 2a PERSEDIAAN
OLEH :
PERTIWI KUSUMA PUTRI 1511060102
AKUNTANSI PERBANAS INSTITUTE JAKARTA 2017
Pendahuluan
Persediaan merupakan salah satu aktiva yang paling aktif dalam operasi kegiatan perusahaaan dagang. Sebagaian besar sumber daya perusahaan yang diinvestasikan dalam bentuk barang-barang yang dibeli atau diproduksi. Biaya barang – barang ini harus dicatat, dikelompokan, dan diikhtisarkan selama periode akuntansi. Pada akhir periode, biaya dialokasikan diantara aktivitas periode berjalan dan aktivitas periode mendatang yaitu diantara barang – barang yang berada dalam persediaan untuk dijual periode mendatang. Persediaan juga merupakan aktiva lancar terbesar dari perusahaan manufaktur maupun dagang. Pengaruh persediaan terhadap laba lebih mudah terlihat ketika kegiatan bisnis berfluktuasi. Selama iklim usaha baik, penjualan menjadi tinggi dan persediaan bergerak lebih cepat dari pembelian ke penjualan. Namun ketika kondisi ekonomi menurun, tingkat penjualan juga menjadi menurun, persediaan bertumpuk dan perlu dilakukan penjualan meskipun mengalami kerugian. Pengertian persediaan menurut Skousen, Stice dan Stice (2004:653) adalah sebagai berikut : “ Kata persediaan ditujukan untuk barang- barang yang tersedia untuk dijual dalam kegiatan bisnis normal, dan dalam kasus perusahaan manufaktur, maka kata ini ditujukan untuk proses produksi atau yang ditempatkan dala m kegiatan produksi“. IAS 2 merupakan standard akuntansi keuangan international
yang mengatur
mengenai persediaan. Tujuan dari IAS 2 adalah untuk menentukan perlakuan akuntansi untuk persediaan. IAS 2 memberikan panduan untuk menentukan biaya persediaan dan untuk selanjutnya mengakui beban, termasuk setiap penurunan-down menjadi nilai realisasi bersih. Hal ini juga memberikan panduan rumus biaya yang digunakan untuk menentukan biaya persediaan. IAS 2 menyatakan dasar penentuan dan akuntansi untuk persediaan sebagai suatu aset, hingga pendapatan yang terkait diakui. Standar juga memberikan pedoman mengenai penilaian persediaan dan konsekuensi penghapusannya sebagai suatu beban (expense), dan perlakuan yang harus di adopsi atas pendapatan terkait yang di akui.
Penilaian Persediaan
Menurut IAS 2 dalam buku IFRS Interpretation and Application of International Financial Reporting Standards, “ Inventories are defined ad items that are held for sale in the ordinary course of business; int the process of production for such sale; or in the form of materials or supplies to be consumed in the production process or in the rendering of
services”, yang bila diartikan, Persediaan didefinisikan sebagai barang-barang yang dimiliki untuk dijual dalam kegiatan usaha sehari, dalam proses produksi untuk penjualan tersebut, atau dalam bentuk bahan atau perlengkapan untuk dikonsumsi dalam proses produksi atau pemberian jasa. IAS 2 mendiskripsikan bahwa basis utama akuntansi persediaan adalah kas, dan kas didefinisikan sebagai jumlah kas pembelian atau kas konversi, termasuk kas lain untuk membuat persediaan ada di lokasi perusahaan dan dalam kondisi seperti pada saat pelaporan persediaan. Dikatakan bahwa kas atas pembelian persediaan mencakup harga beli, biaya angkut, asuransi, dan biaya penanganan persediaan (handling costs). Potongan tunai, rabat, dan jenis-jenis potongan pembelian lain jika ada harus dikurangkan ke biaya persediaan. Dapat disimpulkan bahwa sampai dengan titik ini, tidak ada perbedaan kententuan pengukuran kas persediaan antara IFRS dengan US GAAP, keduanya membuat aturan yang boleh dikatakan sama persis, karena memang untuk kasus kas perolehan persediaan tidak ada ruang untuk penerapan konsep principles-based , sehingga mau tidak mau harus menggunakan konsep rules-based. Untuk kasus persediaan yang memerlukan proses produksi cukup lama, IAS 23 mengatur bahwa bagian dari biaya pendanaan (borrowing costs) harus diperlakukan sebagai bagian dari biaya persediaan. Dalam kasus ini dapat disimpulkan bahwa IFRS justru sangat mengatur tentang bagaimana biaya pendanaan harus diperlakukan, atau justru menggunakan rules-based
dan bukannya menggunakan principles-based. Semestinya jika konsisten
menggunakan principles-based, financing costs untuk keperluan proses produksi yang panjang semacam ini tetap diperlakukan sebagai period costs dan bukannya diperlakukan sebagai production costs, karena jika manajemen memutuskan untuk tidak menggunakan dana luar dalam proses produksinya, maka financing costs tidak akan pernah terjadi. IAS 2 menyebutkan bahwa biaya konversi untuk proses produksi persediaan mencakup seluruh biaya yang berhubungan langsung dengan proses produksi persediaan, seperti biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead. Alokasi biaya overhead harus dilakukan secara sistematis dan rasional, dan dalam kasus biaya overhead tetap, yaitu yang jumlahnya tidak berubah-ubah menyesuaikan dengan volume produksi, alokasi harus dilakukan berdasarkan tingkat produksi normal. Dalam periode tingkat produksi turun secara tidak normal, sebagian dari biaya overhead tetap harus dibebankan langsung ke periode terjadinya biaya, atau dengan kata lain harus diperlakukan sebagai biaya periode (period
costs), dan tidak diperhitungkan sebagai bagian dari biaya persediaan. Dalam kasus standard pengukuran biaya produksi ini, sekali lagi dapat dirasakan bahwa IFRS membuat aturan dengan cukup jelas tetang bagaimana pengukuran biaya produksi harus dilakukan, sama sekali tidak berbeda dengan standard pengukuran biaya produksi versi US GAAP, sehingga dapat disimpulkan baik IFRS maupun US GAAP tetap menggunakan konsep rulesbased, dan bukannya menggunakan konsep principles-based. Berdasarkan paparan dalam paragraf
ini,
sama
sekali
tidak
ada
alasan
untuk
bisa
mengatakan
IFRS
menggunakan principles-based dan US GAAP menggunakan konsep rules-based. Biaya produksi selain bahan baku dan biaya konversi (biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead) hanya akan dibebankan sebagai bagian dari biaya persediaan pada saat biaya tersebut dipandang sangat diperlukan untuk membuat persediaan dalam kondisi siap untuk dijual atau dilaporkan dalam laporan keuangan. Contoh biaya semacam ini adalah biaya perancangan produk dan biaya persiapan produksi untuk memenuhi kepuasan sekelompok pelanggan tertentu. Di sisi lain, seluruh biaya riset dan pengembangan produk, berdasarkan IAS 38, tidak boleh diperlakukan sebagai bagian dari biaya persediaan. Biaya lain yang juga tidak perperbolehkan diperlakukan sebagai bagian dari biaya persediaan adalah biaya administrasi dan biaya penjualan atas persediaan, biaya sisa bahan-bahan produksi, serta biaya penggudangan persediaan. Biaya lain yang harus dimasukkan sebagai bagian dari biaya overhead, dan oleh karenanya diperlakukan sebagai bagian dari biaya persediaan adalah biaya perbaikan dan pemeliharaan mesin, biaya peralatan produksi, biaya sewa peralatan produksi, biaya tenaga kerja tidak langsung, biaya gaji pengawas produksi, biaya bahan-bahan produksi tidak langsung, biaya pengendalian dan pengawasan kualitas produk, dan biaya atas peralatan kecil yang tidak dikapitalisasi. Ketentuan dalam IFRS atas biaya produksi selain biaya bahan baku dan biaya konversi, yang diuraikan dalam paragraf ini, juga memperjelas fakta bahwa untuk kasus ini IFRS tidak menggunakan principlesbased, tetapi menggunakan rules-based sebagaimana yang terjadi pada US GAAP.
Ruang Lingkup
Sebelum tahun 2005 IAS 2 membolehkan penggunaan tiga alternatif pengukuran kas persediaan, yaitu metode FIFO dan rata-rata tertimbang yang oleh IAS 2 disebut sebagai benchmark treatments, serta satu lagi metode yang oleh IAS 2 disebut sebagai allowed alternative treatments yaitu metode LIFO. Namun efektif mulai 1 Januari 2005 IFRS tidak membolehkan penggunaan metode LIFO, sehingga metode pengukuran kas yang berlaku
tinggal metode FIFO dan metode Rata-rata Tertimbang. Pembatasan penggunakan metode akuntansi semacam ini merupakan indikasi bahwa IFRS pada dasarnya tidak sepenuhnya menggunakan principles-based, bahkan dalam kasus akuntansi persediaan menjadi lebih rules-based dibanding US GAAP. Tujuan Pernyataan ini adalah mengatur perlakuan akuntansi untuk persediaan. Permasalahan pokok dalam akuntansi persediaan adalah penentuan jumlah biaya yang diakui sebagai aset dan perlakuan akuntansi selanjutnya atas aset tersebut sampai pendapatan terkait diakui. Pernyataan ini menyediakan panduan dalam menentuan biaya dan pengakuan selanjutnya sebagai beban, termasuk setiap penurunan menjadi nilai realisasi neto. Pernyataan ini juga memberikan panduan rumus biaya yang digunakan untuk menentukan biaya persediaan. Persediaan adalah salah satu aset lancar signifikan bagi perusahaan pada umumnya, terutama perusahaan dagang, manufaktur, pertanian, kehutanan, pertambangan, kontraktor bangunan, dan penjual jasa tertentu. Hal ini menyebabkan akuntansi untuk persediaan menjadi suatu masalah penting bagi perusahaan-perusahaan tersebut. Menurut IAS No.2 inventory atau persediaan adalah : a. Tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal b. Dalam proses produksi untuk penjualan tersebut, atau c. Dalam bentuk bahan atau perlengkapan ( supplies) untuk digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa.
Terdapat beberapa poin penting terkait dengan definisi tersebut diatas : a. Persediaan merupakan aset yang tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal. Ini berarti aset yang dikelompokkan sebagai persediaan adalah aset yang memang selalu dimaksudkan untuk dijual atau digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa. b. Perlengkapan yang dimaksudkan sebagai persediaan adalah perlengkapan yang digunakan dalam proses produksi, sehingga perlengkpan kantor (seperti alat tulis kantor) dengan tujuan untuk digunakan administrasi kantor dan bukan untuk dijual, bukanlah bagian dari persediaan. c. Perlengkapan tersebut juga harus merupakan perlengkapan yang digunakan secara regular dalam proses produksi dan bukan perlengkapan yang hanya bisa digunakan bersamaan dengan aset tetap.
IAS 2 diterapkan untuk semua persediaan, kecuali : a) Barang
dalam
proses
yang
timbul
menurut
kontrak
konstruksi
(IAS
11
mengenai kontrak konstruksi) b) Instrumen keuangan (misal saham, surat hutang, obligasi) yang dimiliki sebagai persediaan (IAS 32 mengenai instrumen keuangan) c) Aset biologis dan memproduksi yang terkait dengan aktivitas pertanian (IAS 41 mengenai pertanian).
IAS 2 ini tidak berlaku untuk pengukuran persediaan bagi pialang-pedagang komoditi yang mengukur persediaannya pada nilai wajar setelah dikurangi biaya untuk menjual, sesuai dengan praktik yang berlaku pada industri. Ketika persediaan tersebut diukur pada nilai wajar setelah dikurangi biaya untuk menjual, maka perubahan nilai wajar setelah dikurangi biaya untuk menjual diakui dalam laporan laba rugi pada periode terjadinya .
Dasar Penilaian
a) Nilai Realisasi Neto ( Net Realizable Value) Nilai realisasi neto adalah estimasi harga jual dalam kegiatan usaha biasa dikurangi estimasi biaya penyelesaian dan estimasi biaya yang diperlukan untuk membuat penjualan. Nilai realisasi neto mengacu kepada jumlah neto yang entitas berharap untuk direalisasi dari penjualan persediaan dalam kegiatan usaha biasa. Nilai wajar mencerminkan suatu jumlah di mana persediaan yang sama dapat dipertukarkan antara pembeli dan penjual yang berpengetahuan dan berkeinginan di pasar. Nilai realisasi neto adalah nilai khusus entitas sedangkan nilai wajar tidak tergantung pada nilai khusus entitas. Nilai realisasi neto untuk persediaan bisa tidak sama dengan nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual. IAS 2 menyatakan bahwa estimasi net realizable value harus diterapan untuk setiap jenis persediaan atau item demi item, kecuali terdapat sekelompok persediaan yang sejenis dan dapat dinilai secara tepat per kelompok jenis persediaan. Sebagai pedoman umum, penilaian harus dilakukan untuk setiap jenis persediaan untuk mencegah kemungikan terjadinya kompensasi unrealized gain dengan unrealized loss kelompok persediaan lain, sehingga menurunkan jumlah rugi yang harus diakui, hal ini penting untuk diperhatikan mengingat IFRS melarang pengakuan unrealized gain pada laporan rugi-laba. Dikatakan bahwa evaluasi penurunan nilai persediaan yang dilakukan atas sekel ompok persediaan, tidak atas item per item persediaan, adalah merupakan mekanisme tidak langsung atau ?backdoor
mechanism? untuk mengakuiunrealized gain yang seharusnya tidak diakui, sehingga perlu ditegaskan bahwa tuntutan dasar evaluasi penurunan nilai persediaan adalah diterapkan atas item demi item persediaan. Paparan dalam dua paragraf di atas menegaskan bahwa IAS 2 sangat mengatur penerapan net realizable value, yaitu harus diterapkan item demi item demi untuk mencegah potensi pengakuan unrealized gain secara tidak langsung, di sisi lain US GAAP tidak mengatur hingga sedetil ini, sehingga dapat disimpulkan bahwa IFRS ternyata justru lebih condong ke rules-based dan bukannya berbasis pada konsep principles-based. Recover i es of pr eviou sl y recogni zed losses. Untuk kasus terjadinya kenaikan kembali
nilai persediaan, IAS 2 mendeskripsikan bahwa pengukuran net realizable value harus dilakukan pada setiap periode pelaporan keuangan, dan pada saat tidak terdapat lagi fakta adanya penurunan nilai persediaan, misalnya karena nilai persediaan mengalami kenaikan kembali, maka penurunan nilai persediaan harus dibatalkan dengan membuat jurnal koreksi, dan karena penurunan nilai persediaan telah dimasukkan ke dalam laporan rugi-laba, maka jurnal koreksi atas penurunan nilai persediaan juga harus direfleksikan dalam laporan rugilaba. Juga ditegaskan bahwa jurnal koreksi atau recovery hanya diperkenankan maksimum sebesar penurunan nilai yang telah diakui pada periode sebelumnya. Dalam kasus ini perbedaannya dengan US GAAP adalah bahwa dalam US GAAP penurunan nilai persediaan yang telah diakui pada periode sebelumnya tidak boleh ditutup dengan kenaikan nilai pada periode
berikutnya.
based, ternyata
untuk
Dari
sudut
kasus
pandang
inipun
istilah
keduanya
konsep principles-based dan ruled-
lebih
bisa
dikatakan
sama-sama
menggunakan ruled-based. b) Nilai wajar Nilai wajar adalah jumlah di mana suatu aset dipertukarkan, atau kewajiban diselesaikan, antara pihak yang berpengetahuan dan berkeinginan dalam suatu transaksi yang wajar. c) Komoditi Komoditi adalah barang dagangan yang menjadi subjek kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa berjangka. d) Nilai khusus entitas Nilai khusus entitas adalah nilai kini dari arus kas yang diharapkan oleh suatu entitas yang timbul dari penggunaan aset berkelanjutan dan dari pelepasannya pada akhir umur manfaat atau yang diharapkan terjadi ketika penyelesaian kewajiban.
Metode Penilaian Persediaan
Menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel (2005:235), ada tiga metode yang dapat digunakan untuk menilai persediaan, yaitu : 1. First-in, first out (FIFO). 2. Last-in, first-out (LIFO). 3. Average cost . Seperti yang sudah dibahas diawal, bahwa pada tanggal 1 Januari 2005 IAS 2 sudah tidak membolehkan penggunaan metode LIFO, sehingga metode pengukuran kas yang berlaku tinggal metode FIFO dan metode Rata-rata Tertimbang.
a.
Metode F ir st-in, Fi rst Out (FIFO).
Metode FIFO mengasumsikan persediaan yang dibeli pertama kali akan dijual terlebih dahulu. Menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel (2005:236) pengakuan cost of goods sold dengan menggunakan metode FIFO adalah sebagai berikut : “Under the FIFO method, the costs of the earliest goods purchased are the first to be r ecognized as cost of goods sold”. Sedangkan, untuk perhitungan persediaan akhir (ending inventory) dengan menggunakan metode FIFO menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel (2005:236) adalah sebagai berikut : “Under FIFO, the cost of ending inventory is found by taking the unit cost of the most recent purchase and working backward until all units of inventory ar e costed”. Dengan menggunakan metode FIFO, perusahaan akan menghasilkan laba yang lebih besar dibandingkan dengan menggunakan metode LIFO maupun metode rata-rata karena biaya unit yang lebih rendah dari pembelian persediaan pertama kali. Tetapi, dengan laba yang besar, maka perusahaan juga akan membayar pajak yang lebih besar sehingga tidak dapat dilakukan penghematan pajak jika menggunakan metode FIFO. Manajemen perusahaan akan lebih memilih untuk menggunakan metode FIFO karena dengan nilai laba perusahaan yang besar akan menunjukkan bahwa kinerja manajemen perusahaan tersebut bagus dan manajemen akan mendapatkan kompensasi berupa bonus yang cukup besar dari perusahaan. Perusahaan yang menggunakan metode FIFO pada saat terjadi inflasi akan menghasilkan laba yang besar sedangkan pada saat terjadi deflasi, perusahaan yang menggunakan metode FIFO akan menghasilkan laba yang kecil. b.
Metode Rata-Rata Tertimbang - AVERAGE
Metode rata-rata mengasumsikan persediaan yang tersedia untuk dijual memiliki ratarata biaya per unitnya sama. Menurut Weygandt, Kieso, dan Kimmel (2005:238) perhitungan
unit cost berdasarkan formula rata-rata tertimbang adalah sebagai berikut : “Under this method, the cost of goods available for sale is allocated on the basis of the weighted-average unit cost”. Berikut adalah formula perhitungan unit cost berdasarkan metode rata-rata tertimbang (weighted-average method ) :
Setelah dilakukannya perhitungan unit cost , selanjutnya menurut Weygandt, Kieso, dan Kimmel (2005:238) untuk mengetahui nilai biaya dari persediaan akhir adalah sebagai berikut : “The weighted-average unit cost is then applied to the units on hand. This computation determines the cost of the ending inventory”. Pada sistem periodik, metode
rata-rata disebut metode rata-rata tertimbang
(weighted average method ) dan pada sistem perpetual disebut dengan metode rata-rata bergerak (moving average method ) (Abdullah dan Djalil, 2004) dalam Metallia (2007). Dengan menggunakan metode rata-rata, perusahaan akan dapat melakukan penghematan pajak (tax saving ) dikarenakan laba yang di dapat perusahaan dengan menggunakan metode tersebut akan lebih kecil. Tetapi, pada saat menggunakan metode rata-rata akan dapat menghasilkan nilai akhir persediaan di antara FIFO dan LIFO. c.
Metode L ast I n F ir st Out (LIFO)
Metode LIFO mengasumsikan persediaan yang terakhir dibeli akan dijual terlebih dahulu. Weygandt, Kieso dan Kimmel (2005:237) menyatakan bahwa pengakuan
cost of
goods sold dengan menggunakan metode LIFO adalah sebagai berikut : “Under the LIFO method, the costs of the latest goods purchases are the first to be assigned to cost of goods sold ”. Sedangkan, untuk mengetahui nilai persediaan akhir (ending inventory) dengan menggunakan metode LIFO adalah sebagai berikut : “Under the LIFO method, the cost of ending inventory is found by taking the unit cost of the oldest goods and working forward until all units of inventory ar e costed”. Dengan menggunakan metode LIFO, perusahaan akan menghasilkan laba yang kecil sehingga dapat melakukan penghematan pajak. Pada saat inflasi, perhitungan harga beli terakhir dibebankan ke operasi dalam periode kenaikan harga sehingga mengurangi laba dan menghasilkan pengurangan pajak.
Sistem Pencatatan Persediaan
Adapun sistem pencatatan persediaan dapat digolongkan ke dalam dua cara yaitu: a. Sistem Periodic Atau Fisik (Physical Method)
Menurut Epstein dan Jermakowicz (2007:p176), Sistem periodik ialah sistem persediaan di mana jumlah yang ditentukan hanya berkala oleh perhitungan fisik. Menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel (2007:p2461), dalam sistem persediaan periodik, rincian catatan persediaan barang yang dimiliki tidak disesuaikan secara terus menerus dalam satu periode. Harga pokok penjualan barang ditentukan hanya pada akhir periode akuntansi. Menurut sistem ini setiap pembelian atau pemasukan maupun penjualan (pengeluaran) persediaan tidak dicatat atau dibukukan kedalam perkiraan persediaan. Pembelian barang dibukukan keperkiraan-keperkiraan pembelian dan beberapa perkiraan lain seperti potongan pembelian dan pengembalian pembelian. Penjualan dibukukan ke perkiraan penjualan. Dengan sistem ini jumlah persediaan akhir diketahui setelah dilakukan perhitungan fisik (invertory taking ) terhadap barang yang ada digudang. Selanjutnya setelah perhitungan fisik maka perlu dilakukan closing (penutup) terhadap persediaan awal. Jadi dalam buku besar persediaan hanya terdapat jumlah persediaan awan dan persediaan akhir. Bagi perusahaan dagang jika menggunakan metode ini maka sistem pencatatannya adalah sebagai berikut: Saat Pembelian:
Purcahase
Rp xxx Cash/Account Payable
Rp xxx
Jika barang yang telah dibeli dikembalikan karena rusak atau penyebab lainnya:
Cash/Account Payable
Rp xxx
Purchase Return
Rp xxx
Saat penjualan:
Cash/Account Receivable Sales
Rp xxx Rp xxx
Jika barang yang telah dijual dikembalikan karena sesuatu hal:
Sales Return
Rp xxx Cash/Account Receivable
Rp xxx
b. Sistem Perpetual atau Kontinyu (Per petual M ethod )
Menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel (2007:p2461), Dalam sistem persediaan perpetual, rincian catatan mengenai setiap pembelian dan penjualan persediaan disimpan. Sistem ini secara terus menerus menunjukkan persediaan yang harus dimiliki untuk setiap jenis barang. Berdasarkan sistem persediaan perpetual, harga pokok penjual ditentukan setiap kali terjadi penjualan. Menurut Epstein dan Jermakowicz (2007:p176), Sistem perpetual ialah sistem persediaan di mana pembaruan catatan jumlah persediaan selalu dilakukan dan disimpan. Menurut sistem ini, setiap saat harus dilakukan pencatatan atas penambahan ataupun pengurangan persediaan akibat adanya pembelian, pemakaian bahan baku dan penjualan sehingga jumlah maupun nilai persediaan dapat diketahui sewaktu-waktu tanpa melakukan perhitungan fisik. Untuk perusahaan dagang, pencatatan yang dilakukan menurut metode ini adalah sebagai berikut: Saat pembelian:
Merchandise Inventory
Rp xxx
Account Payable/Cash
Rp xxx
Jika barang yang telah dibeli dikembalikan karena rusak atau penyebab lainnya:
Account Payable/Cash
Rp xxx
Account Payable/Cash
Rp xxx
Saat penjualan:
Account Receivable/Cash
Rp xxx
Sales
Cost of Good Sold
Rp xxx
Rp xxx Merchandise Inventory
Rp xxx
Jika barang yang telah dijual dikembalikan karena sesuatu hal:
Sales Return
Rp xxx Cash/Account Receivable
Marchandise Inventory
Rp xxx
Rp xxx
Cost of Good Sold
Rp xxx
Karena sistem perpetual dicatat setiap ada perubahan dalam persediaan, maka saldo dalam perkiraan yang ada di neraca saldo adalah saldo perkiraan persediaan akhir, sehingga tidak diperlukan ayat jurnal penyesuaian.
Pengukuran Biaya Perolehan
Persediaan harus diukur berdasarkan biaya atau nilai realisasi neto, mana yang lebih rendah, Biaya persediaan harus meliputi semua biaya pembelian, biaya konversi, dan biaya lain yang timbul sampai persediaan berada dalam kondisi dan lokasi s aat ini. a) Biaya Pembelian Biaya pembelian persediaan meliputi harga beli, bea impor, pajak lainnya (kecuali yang kemudian dapat ditagih kembali oleh entitas kepada otoritas pajak), biaya pengangkutan, biaya penanganan, dan biaya lainnya yang secara langsung dapat diatribusikan pada perolehan barang jadi, bahan, dan jasa. Diskon dagang, rabat dan hal lain yang serupa dikurangkan dalam menentukan biaya pembelian. b) Biaya Konversi Biaya konversi persediaan meliputi biaya yang secara langsung terkait dengan unit yang diproduksi, misalnya biaya tenaga kerja langsung. Termasuk juga alokasi sistematis overhead produksi tetap dan variabel yang timbul dalam mengonversi bahan menjadi barang jadi. Overhead produksi tetap adalah biaya produksi tidak langsung yang relatif konstan, tanpa memerhatikan volume produksi yang dihasilkan, seperti penyusutan dan pemeliharaan bangunan dan peralatan pabrik, dan biaya manajemen dan administrasi pabrik. Overhead produksi variabel adalah biaya produksi tidak langsung yang berubah secara langsung, atau hampir secara langsung, mengikuti perubahan volume produksi, seperti bahan tidak langsung dan biaya tenaga kerja tidak langsung.
c) Biaya Standard Biaya standar memperhitungkan tingkat normal penggunaan bahan dan perlengkapan, tenaga kerja, efisiensi dan utilisasi kapasitas. Biaya standar di-review secara reguler dan, jika diperlukan, direvisi sesuai dengan kondisi terakhir d) Metode eceran Metode eceran seringkali digunakan dalam industri eceran untuk menilai persediaan dalam jumlah besar item yang berubah dengan cepat, dan memiliki marjin yang sama saat tidak praktis untuk menggunakan metode penetapan bia ya lainnya. e) Biaya-biaya Lain Biaya-biaya lain hanya dibebankan sebagai biaya persediaan sepanjang biaya tersebut timbul agar persediaan berada dalam kondisi dan lokasi saat ini. Misalnya, dalam keadaan tertentu diperkenankan untuk memasukkan overhead nonproduksi atau biaya perancangan produk untuk pelanggan tertentu sebagai biaya persediaan.