Etika dalam Periklanan April 4, 2010
image masternewmedia Untuk membuat konsumen tertarik, iklan harus dibuat menarik bahkan kadang dramatis. Tapi iklan tidak diterima oleh target tertentu (langsung). Iklan dikomunikasikan kepada khalayak luas (melalui media massa komunikasi iklan akan diterima oleh semua orang: semua usia, golongan, suku, dsb). Sehingga iklan harus memiliki etika, baik moral maupun bisnis. Etika?
Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (KBBI) Ciri-ciri iklan yang baik
•
Etis: berkaitan dengan kepantasan. Estetis: berkaitan dengan kelayakan (target market, target audiennya, kapan harus ditayangkan?).
•
Artistik: bernilai seni sehingga mengundang daya tarik khalayak.
•
Contoh Penerapan Etika
•
Iklan rokok: Tidak menampakkan secara eksplisit orang merokok. Iklan pembalut wanita: Tidak memperlihatkan secara realistis dengan memperlihatkan daerah kepribadian wanita tersebut
•
Iklan sabun mandi: Tidak dengan memperlihatkan orang mandi secara utuh.
•
ETIKA SECARA UMUM
•
Jujur : tidak memuat konten yang tidak sesuai dengan kondisi produk yang diiklankan Tidak memicu konflik SARA
•
Tidak mengandung pornografi
•
Tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
•
•
Tidak melanggar etika bisnis, ex: saling menjatuhkan produk tertentu dan sebagainya.
•
Tidak plagiat
ETIKA PARIWARA INDONESIA (EPI) (Disepakati Organisasi Periklanan dan Media Massa, 2005). Berikut ini kutipan beberapa etika periklanan yang terdapat dalam kitab EPI. Tata Krama Isi Iklan 1. Hak Cipta: Penggunaan materi yang bukan milik sendiri, harus atas ijin tertulis dari pemilik atau pemegang merek yang sah. 2. Bahasa: (a) Iklan harus disajikan dalam bahasa yang bisa dipahami oleh khalayak sasarannya, dan tidak menggunakan persandian (enkripsi) yang dapat menimbulkan penafsiran selain dari yang dimaksudkan oleh perancang pesan iklan tersebut. (b) Tidak Tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif seperti “paling”, “nomor satu”, ”top”, atau kata-kata berawalan “ter“. (c) Penggunaan kata ”100%”, ”murni”, ”asli” untuk menyatakan sesuatu kandungan harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik. (d) Penggunaan kata ”halal” dalam iklan hanya dapat dilakukan oleh produk produk yang sudah memperoleh memperoleh sertifikat resmi dari Majelis Ulama Indonesia, atau lembaga yang berwenang. 3. Tanda Asteris (*): (a) Tanda asteris tidak boleh digunakan untuk menyembunyikan, menyesatkan, membingungkan atau membohongi khalayak tentang kualitas, kinerja, atau harga sebenarnya dari produk yang diiklankan, ataupun tentang ketidaktersediaan sesuatu produk. (b) Tanda asteris hanya boleh digunakan digunakan untuk memberi penjelasan lebih rinci atau sumber dari sesuatu pernyataan yang bertanda tersebut. 4. Penggunaan Kata ”Satu-satunya”: Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata “satusatunya” atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menyebutkan dalam hal apa produk tersebut menjadi yang satu-satunya dan hal tersebut harus dapat dibuktikan dibuktikan dan dipertanggungjawabkan. 5. Pemakaian Kata “Gratis”: Kata “gratis” atau kata lain yang bermakna sama tidak boleh dicantumkan dalam iklan, bila ternyata konsumen harus membayar biaya lain. Biaya pengiriman yang dikenakan kepada konsumen konsumen juga harus dicantumkan dengan jelas. 6. Pencantum Harga: Jika harga sesuatu produk dicantumkan dalam iklan, maka ia harus ditampakkan dengan jelas, sehingga konsumen mengetahui apa yang akan diperolehnya dengan harga tersebut. 7. Garansi: Jika suatu iklan mencantumkan garansi atau jaminan atas mutu suatu produk, maka dasar-dasar jaminannya harus dapat dipertanggung- jawabkan. 8. Janji Pengembalian Uang (warranty): (warranty): (a) Syarat-syarat pengembalian uang tersebut harus dinyatakan secara jelas dan lengkap, antara lain jenis kerusakan atau kekurangan yang dijamin, dan jangka waktu berlakunya pengembalian uang. (b) Pengiklan wajib mengembalikan uang konsumen sesuai janji yang telah diiklankannya.
9. Rasa Takut dan Takhayul: Iklan tidak boleh menimbulkan atau mempermainkan rasa takut, maupun memanfaatkan kepercayaan orang terhadap takhayul, kecuali untuk tujuan positif. 10. Kekerasan: Iklan tidak boleh – langsung maupun tidak langsung -menampilkan adegan kekerasan yang merangsang atau memberi kesan membenarkan terjadinya tindakan kekerasan. 11. Keselamatan: Iklan tidak boleh menampilkan adegan yang mengabaikan segi-segi keselamatan, utamanya jika ia tidak berkaitan dengan produk yang diiklankan. 12. Perlindungan Hak-hak Pribadi: Iklan tidak boleh menampilkan atau melibatkan seseorang tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari yang bersangkutan, kecuali dalam penampilan yang bersifat massal, atau sekadar sebagai latar, sepanjang penampilan tersebut tidak merugikan yang bersangkutan. 13. Hiperbolisasi: Boleh dilakukan sepanjang ia semata-mata dimaksudkan sebagai penarik perhatian atau humor yang secara sangat jelas berlebihan atau tidak masuk akal, sehingga tidak menimbulkan salah persepsi dari khalayak yang disasarnya. 14. Waktu Tenggang (elapse time): Iklan yang menampilkan adegan hasil atau efek dari penggunaan produk dalam jangka waktu tertentu, harus jelas mengungkapkan memadainya rentang waktu tersebut. 15. Penampilan Pangan: Iklan tidak boleh menampilkan penyia-nyiaan, pemborosan, atau perlakuan yang tidak pantas lain terhadap makanan atau minuman. 16. Penampilan Uang: (a) Penampilan dan perlakuan terhadap uang dalam iklan haruslah sesuai dengan norma-norma kepatutan, dalam pengertian tidak mengesankan pemujaan ataupun pelecehan yang berlebihan. (b) Iklan tidak boleh menampilkan uang sedemikian rupa sehingga merangsang orang untuk memperolehnya dengan cara-cara yang tidak sah. (c) Iklan pada media cetak tidak boleh menampilkan uang dalam format frontal dan skala 1:1, berwarna ataupun hitam-putih. (d) Penampilan uang pada media visual harus disertai dengan tanda “specimen” yang dapat terlihat Jelas. 17. Kesaksian Konsumen (testimony): (a) Pemberian kesaksian hanya dapat dilakukan atas nama perorangan, bukan mewakili lembaga, kelompok, golongan, atau masyarakat luas. (b) Kesaksian konsumen harus merupakan kejadian yang benar-benar dialami, tanpa maksud untuk melebih-lebihkannya. (c) Kesaksian konsumen harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis yang ditanda tangani oleh konsumen tersebut. (d) Identitas dan alamat pemberi kesaksian jika diminta oleh lembaga penegak etika, harus dapat diberikan secara lengkap. Pemberi kesaksian pun harus dapat dihubungi pada hari dan jam kantor biasa. 18. Anjuran (endorsement): (a) Pernyataan, klaim atau janji yang diberikan harus terkait dengan kompetensi yang dimiliki oleh penganjur. (b) Pemberian anjuran hanya dapat dilakukan oleh individu, tidak diperbolehkan mewakili lembaga, kelompok, golongan, atau masyarakat luas. 19. Perbandingan: (a) Perbandingan langsung dapat dilakukan, namun hanya terhadap aspek-aspek teknis produk, dan dengan kriteria yang tepat sama. (b) Jika perbandingan
langsung menampilkan data riset, maka metodologi, sumber dan waktu penelitiannya harus diungkapkan secara jelas. Pengggunaan data riset tersebut harus sudah memperoleh persetujuan atau verifikasi dari organisasi penyelenggara riset tersebut. (c) Perbandingan tak langsung harus didasarkan pada kriteria yang tidak menyesatkan khalayak. 20. Perbandingan Harga: Hanya dapat dilakukan terhadap efisiensi dan kemanfaatan penggunaan produk, dan harus diserta dengan penjelasan atau penalaran yang memadai. 21. Merendahkan: Iklan tidak boleh merendahkan produk pesaing secara langsung maupun tidak langsung. 22. Peniruan: (a) Iklan tidak boleh dengan sengaja meniru iklan produk pesaing sedemikian rupa sehingga dapat merendahkan produk pesaing, ataupun menyesatkan atau membingungkan khalayak. Peniruan tersebut meliputi baik ide dasar, konsep atau alur cerita, setting, komposisi musik maupun eksekusi. Dalam pengertian eksekusi termasuk model, kemasan, bentuk merek, logo, judul atau subjudul, slogan, komposisi huruf dan gambar, komposisi musik baik melodi maupun lirik, ikon atau atribut khas lain, dan properti. (b) Iklan tidak boleh meniru ikon atau atribut khas yang telah lebih dulu digunakan oleh sesuatu iklan produk pesaing dan masih digunakan hingga kurun dua tahun terakhir. 23. Istilah Ilmiah dan Statistik: Iklan tidak boleh menyalahgunakan istilah-istilah ilmiah dan statistik untuk menyesatkan khalayak, atau menciptakan kesan yang berlebihan. 24. Ketiadaan Produk: Iklan hanya boleh dimediakan jika telah ada kepastian tentang tersedianya produk yang diiklankan tersebut. 25. Ketaktersediaan Hadiah: Iklan tidak boleh menyatakan “selama persediaan masih ada” atau kata-kata lain yang bermakna sama. 26. Pornografi dan Pornoaksi: Iklan tidak boleh mengeksploitasi erotisme atau seksualitas dengan cara apa pun, dan untuk tujuan atau alasan apa pun. 27. Khalayak Anak-anak: (a) Iklan yang ditujukan kepada khalayak anakanak tidak boleh menampilkan hal-hal yang dapat mengganggu atau merusak jasmani dan rohani mereka, memanfaatkan kemudahpercayaan, kekurangpengalaman, atau kepolosan mereka. (b) Film iklan yang ditujukan kepada, atau tampil pada segmen waktu siaran khalayak anakanak dan menampilkan adegan kekerasan, aktivitas seksual, bahasa yang tidak pantas, dan atau dialog yang sulit wajib mencantumkan kata-kata “BimbinganOrangtua” atau simbol yang bermakna sama. Selain mengatur Tata Krama Isi Iklan epi juga mengatur: Tata Krama Ragam Iklan
Ex: Iklan minuman keras maupun gerainya hanya boleh disiarkan di media nonmassa; Iklan rokok tidak boleh dimuat pada media periklanan yang sasaran utama khalayaknya berusia di bawah 17 tahun; dll. Tata Krama Pemeran Iklan
Ex: Iklan tidak boleh memperlihatkan anak-anak dalam adegan-adegan yang berbahaya ; Iklan tidak boleh melecehkan, mengeksploitasi, mengobyekkan, atau mengornamenkan perempuansehingga memberi kesan yang merendahkan kodrat, harkat, dan martabat mereka; dll. Tata Krama Wahana Iklan
Ex: Iklan untuk berlangganan apa pun melalui SMS harus juga mencantumkan cara untuk berhenti berlangganan secara jelas, mudah dan cepat; Iklan-iklan rokok dan produk khusus dewasa hanya boleh disiarkan mulai pukul 21.30 hingga pukul 05.00 waktu setempat, dll. IKLAN “BUILD IN” DARI SUDUT PANDANG ETIKA Kenapa dengan “Build-in”? •
•
•
Kasus iklan “build-in” memang sangat menarik. Satu hal yang pasti, strategi ini memang membuat proses penanyangan iklan menjadi jauh lebih singkat karena tidak ada proses produksi iklan (cukup dalam bentuk teks/brief saja) dan segala “tetek bengek” di belakangnya (persetujuan atas ide dan eksekusi iklan, lay-out/story- board, tes via FGD dlsb), tidak ada proses sensor (via LSF unt. iklan TV) bahkan tidak perlu melaporkan ke BPOM untuk produk obat-obatan yang sebenarnya diwajibkan untuk melaporkan iklan/kampanyenya terlebih dahulu. Kondisi ‘singkat-mudah- murah’ ini justru wajib kita cermati dengan hati-hati sekali karena akan muncul peluang yang relatif jauh lebih besar untuk terjadinya pelanggaran- pelanggaran etika di sini. Kuncinya ada di tangan produser dari program-program TV/radio yg disponsori tsb. Produser program harus memahami dengan benar etika beriklan dari suatu produk dan tidak semata-mata berorientasi finansial saja. Pihak produsen/pengiklan (dan media agencynya, bila brief untuk kampanye “build-in” ini datang darinya) juga harus benar benar memahami apa saja resiko yang dihadapinya dgn melakukan proses ‘short-cut’ (dgn melakukan strategi “build-in” campaign) atas proses promosi produknya.
Kitab EPI sudah mengantisipasi hal ini dan sudah mencantumkan beberapa pasal yang mengatur iklan-iklan “build-in” khususnya di media Radio/Televisi (media elektronik): •
•
•
•
Prinsip yang digunakan adalah (sama dengan prinsip iklan advertorial pada media cetak); iklan harus dapat dibedakan dengan suatu berita atau isi program. Secara etika, kalau suatu iklan ditayangkan dalam format adlibs, maka si penyiar/pembawa acara harus memberikan pengantar sebelumnya bahwa informasi yang akan dibacakan berikutnya adalah suatu iklan. Dari sudut pandang EPI, suatu kampanye “build-in” suatu produk adalah sah-sah saja selama pemirsa/konsumen mendapatkan informasi yang jelas bahwa suatu bagian dari program tsb. adalah sponsor/kampanye dari suatu produk/jasa dan tidak dengan disengaja disamarkan dan/atau digabungkan dalam suatu program siaran. Bila program itu berupa film (misalnya sinetron), untuk menghindari kesan “aneh” bila tiba2 aktor/aktrisnya harus mengatakan suatu dialog yg berhubungan dengan sponsorship tertentu, maka minimal dalam credit title di akhir film tsb. hal ini bisa dicantumkan.
•
•
•
Produk apapun juga yang menggunakan strategi berkampanye “build-in” seharusnya tetap mematuhi aturan/etika mengenai iklan produk/kategori produk tsb. Dalam kasus di atas, benar adanya bahwa untuk iklan obat-obatan (juga kosmetik dan produk produk lainnya yang efeknya membutuhkan waktu tertentu), tidak diperkenankan memberikan kesan mempunyai dampak seketika. Iklan/kampanye produk obat-obatan juga diwajibkan mencantumkan “warning”: Baca Aturan Pakai dst. selain juga diwajibkan mencantumkan nama produsennya. Dalam suatu kampanye “build-in” petunjuk dan informasi ini juga wajib diucapkan oleh penyiar/pembawa acara. Bila produk yang akan ditampilkan dalam bentuk “build-in” itu adalah iklan rokok atau produk yg ditujukan khusus bagi individu dewasa (“intimate product”), maka dianjurkan agar pemunculan program tsb adalah di atas pk. 21.30. Produk rokok juga diwajibkan mencantumkan/ menyebutkan “warning” sesuai aturan pemerintah.
MENELAAH KASUS IKLAN BERMASALAH •
•
•
Mahasiswa mencari contoh iklan bermasalah (satu mahasiswa satu iklan: dari media cetak sertakan copynya, bila dari televisi sebutkan iklan apa dan buat sinopsis iklannya). Kemudian telaah/ komentari sesuai dengan materi etika periklanan (minimal satu halaman spasi satu) Dikumpulkan pertemuan berikutnya.
BAHAN BAKU: • •
Situs www.pppi.or.id Beberapa sumber lainnya yang relevan
Seberapa Penting Etika dalam Iklan? Meskipun ada peraturan tentang etika periklanan namun iklan-iklan yang sudah beredar kerapkali tersandung masalah etika. Sebenarnya masih pentingkah etika dalam sebuah iklan? Adhita Idris
Marketing Manager Colas and Teas PT Coca-Cola Indonesia Etika buat saya itu menyangkut seperti apa cara menyampaikan produk itu ke masyarakat. Selama caranya baik dan dijalankan dengan manner menurut saya tidak apa-apa. Meskipun misal dengan menjatuhkan produk lain tapi berdasarkan riset dan fakta yang betul, kenapa nggak? Sebenarnya komunikasi iklan kan tergantung produk dan segmen apa yang ingin dituju, kalau misal targeted seperti bicara pengawet terus fokusnya pada orang yang tertarik pada hidup sehat gak papa. Tapi kalau massive pasti ada pro dan kontra, ada yang merasa perlu ataupun tidak. Menurut saya aturan untuk etika itu perlu, sehingga ada rules dan regulasi sebagai batasan-batasan, dan selama juga dilaksanakan dengan tidak mencekal kreatifitas. Dengan peraturan supaya ada acuan juga buat kita yang mau beriklan. Mestinya tiap pengiklan dan biro iklan sudah tahu peraturan yang ada sebelum membuat iklan. Sehingga saat mereka ingin membuat suatu kreatifitas tidak mengalami pencekalan. Hakim Lubis
Pengarah Kreatif Octocomm Tidak semua orang aware bahwa banyak hal yang sebenarnya tidak boleh mereka gunakan. Baik itu aneka kata superlatif, disclaimer , hadiah langsung selama persediaan masih ada atau untuk 100 pengirim pertama, di luar negeri itu sudah tidak boleh. Harus dipisahkan antara yang superlatif dengan yang disclaimer . Orang masih banyak memakai itu karena tidak pernah ada tuntutan dari konsumen. Pada produk rokok dan obat-obatan sudah ada rambu-rambu dan pengawasnya. Sedangkan pada produk lain belum ada pengawasnya, sehingga orang bablas saja. Harusnya iklaniklan Indonesia itu bisa sangat kreatif tanpa harus membodohi masyarakat. Saya kok lebih concern pada upaya kearah meningkatkan kualitas iklan. Walaupun memang iklan yang baik adalah bukan iklan yang dengan terang-terangan produk ini produk terbaik, namun iklan yang mampu menggiring target pasarnya bahwa merek ini adalah merek yang terbaik. Huzna Zahir
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Etika dibuat tentu karena ada kecenderungan yang salah dari iklan. Iklan biasanya kan lebih persuasif tentang produknya daripada memberikan unsur edukasi pada masyarakat. Untuk itu kita lebih perhatikan kebenaran informasi atau persepsi yang ditimbulkan dari produk itu. YLKI tidak punya program atau pengawasan khusus untuk etika ini, tapi kita lebih mendorong masyarakat atau kelompok seperti LSM untuk mengkritisi misal lewat media massa jika saat mereka merasa terganggu akan berani mengekpresikan. Sehingga masyarakat lebih pro-aktif dan masyarakat juga punya kekuatan. Seringkali etika itu dibilang regulasi tapi voluntary . Jadi lebih ke sanksi moral atau hanya sebagai teguran berupa surat peringatan. Etika itu sendiri menjadi tanggung jawab moral masingmasing. Bisa saja berargumen bahwa itu sebagai bentuk kreatif tapi harusnya pelaku usaha sensitif dan menyadari bahwa masyarakat kita tidak homogen. Badan pengawas etika sendiri kan pastinya dari perwakilan orang-orang periklanan, seharusnya itu bisa menjadi self control kalangan periklanan
BAB I PENDAHULUAN Periklanan atau reklame adalah bagian tak terpisahkan dari bisnis modern. Iklan dianggap sebagai cara ampuh untuk menonjol dalam persaingan. Dalam perkembangan periklanan, media komunikasi modern : media cetak maupun elektronis, khususnya televisi memegang peranan dominan. Fenomena periklanan ini menimbulkan perbagai masalah yang berbeda. Periklanan dilatar belakangi suatu ideologi tersembunyi yang tidak sehat, yaitu ideologi konsumerisme atau apapun nama yang ingin kita pilih untuk itu. Ada dua persoalan etis yang terkait dalam hal periklanan. Yang pertama menyangkut kebenaran dalam iklan. Mengatakan yang benar merupakan salah satu kewajiban etis yang penting. Persoalan etis yang kedua adalah memanipulasi public yang menurut banyak pengamat berulang kali dilakukan melalui upaya periklanan.
BAB II PEMBAHASAN Ada 6 pokok bahasan yang menyangkut reaksi kritis masyarakat Indonesia tentang iklan yang dapat dipandang sebagai kasus etika periklanan dalam konteks kita. 1. Fungsi Periklanan
Dalam buku-buku tentang manajemen periklanan, iklan dipandang sebagai upaya komunikasi. Iklan dilukiskan sebagai komunikasi antara produsen dan pasaran, antara penjual dan calon pembeli. Periklanan dibedakan dalam dua fungsi : fungsi informatif dan fungsi persuasif. Tetapi pada kenyataannya tidak ada iklan yang semata-mata informatif dan tidak ada iklan yang semata-mata persuasif. Iklan tentang produk baru biasanya mempunyai unsur informasi yang kuat. Misalnya iklan tentang tempat pariwisata dan iklan tentang harga makanan di toko swalayan. Sedangkan iklan tentang produk yang ada banyak mereknya akan memiliki unsure persuasif yang lebih menonjol, seperti iklan tentang pakaian bermerek dan rumah. Tercampurnya unsure informative dan unsure persuasive dalam periklanan, membuat penilaian etis terhadapnya menjadi l ebih kompleks. 1. Periklanan dan kebenaran
Pada umumnya periklanan tidak mempunyai reputasi baik sebagai pelindung atau pejuang kebenaran. Sebaliknya, kerap kali iklan terkesan suka membohongi, menyesatkan, dan bahkan menipu publik.
Iklan mempunyai unsure promosi. Iklan merayu konsumen, iklan ingin mengimingiming calon pembeli. Karena itu bahasa periklanan mempergunakan retorika tersendiri. Ia menandaskan bahwa produknya adalah yang terbaik atau nomor satu di bidangnya. Bahasa periklanan pada umumnya sarat dengan superlative dan hiperbol. Di sini si pengiklan tidak bermaksud agar public percaya begitu saja. Dan public konsumen tahu bahwa retorika itu tidak perlu dimengerti secara harfiah. Iklan bukan saja menyesatkan dengan berbohong, tapi juga dengan tidak mengatakan seluruh kebenaran, misalnya karena mendiamkan sesuatu yang sebenarnya penting untuk diketahui. Contohnya, iklan tentang mobil bekas yang berbunyi “semua mobil yang kami jual sebelumnya diperiksa oleh montir ahli” tetap berbohong, bila hal itu memang benar, tapi montir tidak berbuat apa-apa bila menemukan ketidakberesan serius pada suatu mobil. Pada intinya, masalah kebenaran dalam periklanan ti dak bias dipecahkan dengan cara hitam putih. Banyak tergantung pada situasi konkret dan kesediaan public untuk menerimanya atau tidak. 1. Manipulasi dengan periklanan
Masalah manipulasi terutama berkaitan dengan segi persuasive dari iklan (tapi tidak terlepas juga dari seg informatifnya). Karena dimanipulasi, seseorang mengikuti motivasi yang tidak berasal dari dirinya sendiri, tapi ditanamkan dalam dirinya dari luar. Dikhawatirkan bahwa periklanan-seperti propaganda lain-bisa memanipulasi public. Tetapi sekarang pada umumnya orang tidak begitu takut lagi akan bahaya dimanipulasikan melalui propaganda dan periklanan. Namun demikian, tetap benar juga bahwa periklanan berusaha mempengaruhi tingkah laku konsumen. Contohnya : iklan kosmetika selalu berusaha menciptakan suatu suasana romantic yang khas, sehingga menggiurkan untuk public konsumen. Manipulasi melalui iklan atau cara apapun merupakan tindakan yang tidak etis. Tetapi, iklan tidak mudah memanipulasi, karena tidak mudah membuat “korban” permainan. Ada 2 cara untuk memanipulasi orang dengan periklanan : 1. Subliminal advertising Maksudnya adalah teknik periklanan yang sekilas menyampaikan suatu pesan dengan begitu cepat, sehingga tidak dipersepsikan dengan sadar, tapi tinggal di bawah ambang kesadaran. Teknik ini bisa dipakai di bidang visual maupun audio. Teknik subliminal bisa sangat efektif, contohnya, dalam sebuah bioskop di New Jersey yang menyisipkan sebuah pesan subliminal dalam film yang isinya “Lapar. Makan popcorn”. Dan konon waktu istirahat popcorn jauh lebih laris dari biasa. 1. Iklan yang ditujukan kepada anak
Iklan seperti ini pun harus dianggap kurang etis, Karena anak mudah dimanipulasi dan dipermainkan. Iklan yang ditujukan langsung kepada anak tidak bisa dinilai lain daripada manipulasi saja dan karena itu harus ditolak sebagai tidak etis. 1. Pengontrolan terhadap iklan
Dalam bisnis periklanan, perlulah adanya kontrol tepat yang dapat mengimbangi kerawanan tersebut. Pengontrolan ini terutama harus dijalankan dengan tiga cara berikut ini : 1. Kontrol oleh pemerinah Tugas penting bagi pemerintah, harus melindungi masyarakat konsumen terhadap keganasan periklanan. Di Amerika Serikat instansi-instansi pemerintah mengawasi praktek periklanan dengan cukup efisien, antara lain melalui Food and Drug Administration dan Federal Trade Commission. Di Indonesia iklan diawasi oleh Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dari Departemen Kesehatan. 1. Kontrol oleh para pengiklan Cara paling ampuh untuk menanggulangi masalah etis tentang periklanan adalah pengaturan diri (self regulation) oleh dunia periklanan. Biasanya dilakukan dengan menyusun sebuah kode etik, sejumlah norma dan pedoman yang disetujui oleh para periklan, khususnya oleh asosiasi biro-biro periklanan. Jika suatu kode etik disetujui, tentunya pelaksanaannya harus diawasi juga. Di Indonesia pengawasan kode etik ini dipercayakan kepada Komisi Periklanan Indonesia. 1. Kontrol oleh masyarakat Masyarakat luas tentu harus diikutsertakan dalam mengawasi mutu etis periklanan. Dengan mendukung dan menggalakkan lembaga-lembaga konsumen, kita bisa menetralisasi efek-efek negatif dari periklanan. Laporan-laporan oleh lembaga konsumen tentang suatu produk atau jasa sangat efektif sebagai kontrol atas kualitasnya dan serentak juga atas kebenaran periklanan. Selain itu, ada juga cara yang lebih positif untuk meningkatkan mutu etis dari i klan dengan memberikan penghargaan kepada iklan yang di nilai paling baik. Di Indonesia ada Citra Adhi Pariwara yang setiap tahun dikeluarkan oleh Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. 1. Penilaian etis terhadap iklan
Ada empat faktor yang selalu harus dipertimbangkan dalam menerapkan prinsipprinsip etis jika kita ingin membentuk penilaian etis yang seimbang tentang iklan.
•
Maksud si pengiklan
Jika maksud si pengiklan tidak baik, dengan sendirinya moralitas iklan itu menjadi tidak baik juga. Jika maksud si pengiklan adalah membuat iklan yang menyesatkan, tentu iklannya menjadi tidak etis. Sebagai contoh: iklan tentang roti Profile di Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa roti ini bermanfaat untuk melangsingkan tubuh, karena kalorinya kurang dibandingkan dengan roti merk lain. Tapi ternyata, roti Profile ini hanya diiris lebih tipis. Jika diukur per ons, roti ini sama banyak kalorinya dengan roti merk lain. •
Isi iklan
Menurut isinya, iklan harus benar dan tidak boleh mengandung unsur yang menyesatkan. Iklan menjadi tidak etis pula, bila mendiamkan sesuatu yang sebenarnya penting. Namun demikian, kita tidak boleh melupakan bahwa iklan diadakan dalam rangka promosi. Karena itu informasinya tidak perlu selengkap dan seobyektif seperti seperti laporan dari instansi netral. Contohnya : iklan tentang jasa seseorang sebagai pembunuh bayaran. Iklan semacam itu tanpa ragu-ragu akan ditolak secara umum. •
Keadaan publik yang tertuju
Yang dimengerti disini dengan publik adalah orang dewasa yang normal dan mempunyai informasi cukup tentang produk atau jasa yang diiklankan. Perlu diakui bahwa mutu publik sebagai keseluruhan bisa sangat berbeda. Dalam masyarakat dimana taraf pendidikan rendah dan terdapat banyak orang sederhana yang mudah tertipu, tentu harus dipakai standar lebih ketat daripada dalam masyarakat dimana mutu pendidikan rata-rata lebih tinggi atau standar ekonomi lebih maju. Contohnya : Iklan tentang pasta gigi, dimana si pengiklan mempertentangkan odol yang biasa sebagai barang yang tidak modern dengan odol barunya yang dianggap barang modern. Iklan ini dinilai tidak etis, karena bisa menimbulkan frustasi pada golongan miskin dan memperluas polarisasi antara kelompok elite dan masyarakat yang kurang mampu. •
Kebiasaan di bidang periklanan
Periklanan selalu dipraktekkan dalam rangka suatu tradisi. Dalam tradisi itu orang sudah biasa dengan cara tertentu disajikannya iklan. Dimana ada tradisi periklanan yang sudah lama dan terbentuk kuat, tentu masuk akal saja bila beberapa iklan lebih mudah di terima daripada dimana praktek periklanan baru mulai dijalankan pada skala besar. Seperti bisa terjadi juga, bahwa di Indonesia sekarang suatu iklan dinilai biasa saja sedang tiga puluh tahun lalu pasti masih mengakibatkan banyak orang mengernyitkan alisnya.
1. Beberapa kasus etika periklanan •
Tiket gratis dari Bouraq
Pada tanggal 11 dan 18 Mei 1992, maskapai Penerbangan Bouraq memasang iklan di sebuah harian yang berbunyi : “tukarkan 10 lembar tiket bekas penerbangan Bouraq dengan sebuah tiket gratis di perwakilan Bouraq setempat”. Tidak diberi penjelasan lain. Lalu seorang pengusaha di Banjarmasin kebetulan menyimpan 50 tiket bekas dan berencana menukarkannya dengan harapan memperoleh 5 tiket gratis. Ia mendapat keterangan dari petugas bahwa yang bisa ditukarkan hanyalah tiket 5 Agustus 1992 ke atas. Keterangan ini tidak dimuat dalam iklan dan juga tidak disebut bahwa konsumen bisa memperoleh informasi lebih lanjut di kantor perwakilan Bouraq. Karena itu, boleh diandaikan saja bahwa informasi dalam iklan itu lengkap. •
Iklan plaza senayan
Sangat disayangkan pada nyanyian dan tokoh pelaku iklan plaza senayan. Begitu konsumtif degan menggunakan helikopter belanja dan terkesan hura-hura ditambah konteks nyanyian: “Hidup hanya …..jangan sia-siakan” apakah betul yang hanya sekali itu harus diisi dengan hura-hura belanja penuh kemegahan Apakah tidak terbesit sedikitpun utuk menggunakan hidup yang sekali itu dengan menjalankan ibadah, beramal dan membantu saudara kita yang masih banyak berekonomi lemah? Yang jangankan belanja dengan mewah di tempat megah, membeli makanan di warungpun mikir. •
Iklan kijang
Mendengar iklan mobil Toyota Kijang di radio maupun di televisi, yang melibatkan seorang anak usia sekolah. Iklan itu secara ditdak langsung telah mendidik anak dan keluarga untuk bergaya hidup dan berbudaya konsumtif. Sangat memrihatinkan, begitu banyak anak di negeri ini yang jangankan liburan ke Bali dan naik “Kijang”, untuk sekolah mereka tidak mampu dan harus bekerja siang malam sekadar untuk makan 1 hari. Sungguh merupakan hal yang ironis, seorang anak yang seharusnya belajar memahami fakta sosial teman-teman seusianya yang tersuruk di tengah kerasnya perjuangan mereka, ternyata terdidik untuk ikut berpikir tentang cicilan ke Bali hanya karena sudah terlanjur bercerita kepada teman-temannya. Eksploitasi anak-anak untuk iklan saja sudah merupakan sesuatu yang tidak etis, apalagi dengan materi iklan yang mewah dan konsumtif. BAB III KESIMPULAN
Dalam periklanan kita tidak dapat lepas dari etika. Dimana di dalam iklan itu sendiri mencakup pokok-pokok bahasan yang menyangkut reaksi kritis masyarakat Indonesia tentang iklan yang dapat dipandang sebagai kasus etika periklanan . Iklan mempunyai unsure promosi, merayu konsumen, iklan ingin mengiming-iming calon pembeli. Karena itu bahasa periklanan mempergunakan retorika tersendiri. Masalah manipulasi yang utama berkaitan dengan segi persuasive dari iklan (tapi tidak terlepas juga dari seg informatifnya). Karena dimanipulasi, seseorang mengikuti motivasi yang tidak berasal dari dirinya sendiri, tapi ditanamkan dalam dirinya dari luar. Maka di dalam bisnis periklanan, perlulah adanya kontrol tepat yang dapat mengimbangi kerawanan tersebut
DAFTAR PUSTAKA
K. Bertens. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Kanisius : Yogyakarta.
ETIKA DALAM IKLAN 5 Okt Jeremias Jena
(Staf Pengajar tetap, Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya, Jakarta, mahasiswa program Master of Bioethics, Katholieke Universiteit Leuven, Belgia) Abstrak
Dalam dunia bisnis, iklan merupakan satu kekuatan yang dapat digunakan untuk menarik konsumen sebanyak-banyaknya. Penekanan utama iklan adalah akses informasi dan promosi dari pihak produsen kepada konsumen. Sebagai media, baik yang berupa vis ual atau oral, iklan jenis punya tendensi untuk mempengaruhi khalayak umum untuk mencapai target keuntungan. Tulisan ini mencoba memaparkan etika dalam iklan. Apa saja kerugian yang ditanggung oleh produsen dengan iklan dan apa pengaruhnya dalam dunia ekonomi, politik, bidaya, moral, dan agama. Untuk itulah perlu ada prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam dunia periklanan agar segi negatif dari iklan itu bisa dikurangi. Pengantar
Hampir setiap hari kita dibanjiri oleh iklan yang disajikan media-media massa, baik cetak maupun elektronik. Akibatnya seakan-akan upaya pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari untuk sebagian besarnya dikondisikan oleh iklan. Memang, inilah sebenarnya peran yang diemban oleh iklan, yakni sebagai kekuatan ekonomi dan sosial yang menginformasikan konsumen perihal produk-produk barang dan jasa yang bisa dijadikan sebagai pemuas kebutuhan. Dalam peran seperti inilah, di mana pun juga, kita bisa dengan mudah menemukan iklan-iklan mulai dari yang paling sekuler sampai kepada informasi mengenai aktivitas-aktivitas keagamaan, perjalanan ziarah, dan sebagainya.[1] Tanpa kita sadari, iklan ternyata sungguh-sungguh ditampilkan sebagai kekuatan ekonomi dan sosial yang mempengaruhi sebagian besar hidup kita, terutama sehubungan dengan upaya mendapatkan barang dan jasa pemuas kebutuhan. Apalagi iklan-iklan tersebut disiarkan lewat media radio atau ditayangkan lewat layar televisi.[2] Keadaan semacam ini yang membuat kita tidak hanya tidak sadar bahwa iklan sedang “menjajah” kita, tetapi juga tidak peka terhadap kenyataan bahwa iklan sedang menggerogoti nilai-nilai moral dan agama yang selama ini kita junjung tinggi. Untuk hal yang terakhir ini kita paling-paling hanya bisa sampai pada tingkat sopan-santun, dan bukannya sebuah kesadaran etis untuk memprotes ikln-ikln yang tidak bermoral tersebut.[3] Dalam konteks pemikiran seperti inilah kita perlu suatu pemikiran yang bisa menyadarkan kita akan pentingnya memiliki kesadaran moral di hadapan propaganda-propaganda iklan. Pemikiran tersebut yangcoba kami sajikan dalam karangan ini. Berturut-turut akan diuraikan (1) pengertian apa itu iklan, (2) keuntungan-keuntungan serta bahaya-bahaya iklan, (3) beberapa prinsip moral yang harus diperhatikan, dan (4) sebuah penutup reflektif.
Mendefinisikan
Menurut Thomas M. Garret, SJ, iklan dipahami sebagai aktivitas-aktivitas yang lewatnya pesan-pesan visual atau oral disampaikan kepada khalayak dengan maksud menginformasikan atau memengaruhi mereka untuk membeli barang dan jasa yang diproduksi, atau untuk melakukan tindakan-tindakan ekonomi secara positif terhadap ideaidea, institusi-institusi tau pribadi-pribadi yang terlibat di dalam iklan tersebut.[4] Sebagai kekuatan utama ekonomi, iklan justru menjadi sarana yang efektif bagi produsen untuk menstabilkan atau terus meningkatkan penawaran barang dan jasa. Sementara konsumen dengan sendirinya juga membutuhkan iklan, terutama ketika mereka hidup dalam sebuah masyarakat yang ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat, sebuah masyarakat konsumtif dengan tingkat permintaan akan barang dan jasa yang yerus meningkat. Di sini sebenarnya iklan melakonkan tiga peran sekaligus. Pertama, iklan informatif. Jenis iklan ini bertujuan untuk menginformasikan secara objektif kepada konsumen kualitas dari barang tertentu yang diproduksi, nilai-lebih dari barang tersebut, fungsi-fungsinya, harga serta tingkat kelangkaannya. Kedua, iklan persuasif atau sugestif. Jenis iklan ini tidak sekadar menginformasikan secara objektif barang dan jasa yang tersedia, tetapi menciptakan kebutuhan-kebutuhan akan barang dan jasa yang diiklankan. Kalau pada iklan informatif yang mau dicapai adalah bagaimana masyarakat bisa memenuni kebutuhannya, maka pada iklan persuasif justru kebutuhan akan barang dan jasa itu sendiri yang hendak diciptakan. Dan demi tujuan-tujuannya tidak jarang jenis iklan ini mengutamakan unsure-unsur perasaan dan bersifat irasional, karena pesan-pesannya sunguh-sungguh menggerakkan perasaan-perasaan, imajinasi-imajinasi, serta realitas bawah-sadar manusia. Dan ketiga, iklan kompetitif. Meskipun meliputi juga iklan informatif dan persuasif, jenis iklan ini lebih dimaksud untuk mempertahankan serta memproteksi secara kompetitif kedudukan produsen di hadapan pelaku produksi lainnya. Masyarakat kemudian diharapkan memiliki semacam tingkat “kesetiaan” yang relatif tinggi dan tetap selaku pemakai barang dan jasa yang dihasilkan oleh satu pelaku produksi tertentu saja.[5] Masalah moral dalam iklan muncul ketika iklan kehilangan nilai-nilai informatifnya, dan menjadi semata-mata bersifat propaganda barang dan jasa demi profit yang semakin tinggi dari para produsen barang dan jasa maupun penyedia jasa iklan. Padahal, sebagaimana juga digarisbawahi oleh Britt, iklan sejak semula tidak bertujuan memperbudak manusia untuk tergantung pada setuap barang dan jasa yang ditawarkan, tetapi justru menjadi tuan atas diri serta uangnya, yang dengan bebas menentukan untuk membeli, menunda atau menolak sama sekali barang dan jasa yang ditawarkan. Hal terakhir ini yang justru menegaskan sekali lagi tesis bahwa iklan bisa menghasilkan keuntungan-keuntungan bagi masyarkat. Keuntungan dan Kerugian Iklan
Mengikuti dokumen yang dikeluarkan oleh komisi kepausan bidang komunikasi sosia l mengenai etika dalam iklan,[6] paling kurang ada empat keuntungan dan ketugian yang bisa diperoleh dari iklan, yakni keuntungan dan kerugian di dalam bidang ekonomi, politik,kultural dan agama, serta moral. Keempat hal tersebut akan dideskripsikan berikut. Bidang ekonomi
Dalam kerangka tindakan ekonomi secara luas, iklan merupakan sebuah jaringan kerja yang amat kompleks karena melibatkan produsen (pemasang iklan), pembuat iklan (advertiser), agen-agen, media iklan, para peneliti pemerintah, maupun masyarakat itu sendiri. Maka keuntungan-keuntungan maupun kerugian-kerugian di bidang ekonomi juga berpengaruh secara langsung terhadap para pelaku ekonomi itu. Iklan ternyata memampukan perusahaan-perusahaan untuk bisa menjual lebih banyak dan efektif produk-produknya. Keuntungan maksimal lalu menjadi semacam finalitas yang mau direalisir. Sementara bagi masyarakat konsumen, iklan bisa menyediakan informasi mengenai bagaimana dan di mana kebutuhan-kebutuhan akan badang dan jasa bisa terpenuhi secara lebih mudah dan efisien. Selain itu, iklan juga bisa mendidik masyarakat konsumen untuk semakin meningkatkan standar hidupnya.[7] Hal ini ternyata turut menentukan kontinuitas proses produksi, karena semakin tinggi standar kehidupan masyarakat akan semakin tinggi pula tingkat permintaan (demand ) akan barang dan jasa. Ini dengan sendirinya meningkatkan produktivitas perusahaan-perusahaan. Seringkali terjadi juga bahwa meningkatnya produktivitas juga menguntungkan para buruh. Semangat kerja masyarakat pun terus meningkat. Iklan juga memberikan sumbangan yang besar bagi media massa. Dengan pemuatan iklaniklan maka biaya produksi, pajak, ataupun masalah-masalah keuangan lainnya yang harus ditanggung menjadi relatif lebih ringan. Dengan demikian, iklan sungguh-sungguh mengkomersialisasikan media massa. Juga disinyalir bahwa bahaya control dari pihak luar terhadap media massa karena faktor financial ternyata bisa dihindari. “Dukungan financial yang diberikan iklan, “ demikian Garret, “ternyata telah membebaskan media-media masa dari penguasaan oleh kepentingan politik tertentu.”[8] Semuanya ini menjadi sungguh-sungguh “sehat” secara moral kalau mengefek pada semakin membaiknya kehidupan umat manusia. Dalam arti itu seharusnya dihindari iklan-iklan yang menguntungkan secara ekonomi segelintir orang saja. Mengenai hal ini dokumen yng dikeluarkan Dewan Kepausan bidang Komunikasi Sosial menulis: “Iklan menginformasikan masyarakat tentang barang-barang serta jasa-jasa yang baru saja dihasilkan produsen, tingkat kelangkaannya, dan bagaimana, secara rasional, mendapatkannya. Iklan memberikn informasi tentang keputusan-keputusan konsumen, menciptakan efisiensi dalam tindakan ekonomi, dan mempermurah harga. Iklan merangsang terjadinya pertumbuhan ekonomi lewat perluasan bisnis dan perdagangan. Semuanya ini bisa menyumbang kepada semakin membaiknya kehidupn. Ikln membantu pembiayaan penerbitan-penerbitan, program-program serta produksi-produksi di bidang informasi. Iklan jug bisa menghibur dan membangkitkan aspirasi.”[9] Meskipun demikian, lebih sering terjadi bahwa iklan ditampilkan bukan sebagai media informasi mengenai kelangkaan barang dan jasa pemuas kebutuhan, tetapi sebagai media persuasi yang “mendikte” konsumen supaya membeli barang dan jasa tertentu. Tentang hal ini Walter Seiler memberi contoh bahwa kaum wanita di Amerika Serikat bisa membelanjakan 10–50 dollar untuk membeli sepotong sabun pemutih kulit, atau kosmetik tertentu supaya bisa menjadi lebih cantik. Seiler kemudian menambahkan bahwa kaum wanita itu sebenarnya membeli janji dan bukan barang pemuas kebutuhan itu sendiri. Dalam kerangka prioritas nilai kebutuhan mesti dikatakan bahwa kaum wanita itu tidak sedang memenuhi kebutuhan eksistensialnya.[10]
Maka—sebagaimana juga disinyalir oleh A. Sonny Keraf—tidak mengherankan jika kemudian muncul kesan bahwa iklan menampilkan citra bisnis sebagai “kegiatan menipu dan memperdaya konsumen untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.” [11] Dan sebagaimana juga dikritik oleh Sri Paus Yohanes Paulus II, iklan lebih serinbg ditampilkan sebagai media pembentuk masyarkat konsumenristis yang preokupasi utamanya adalah menumpuk barang dan jasa sebanyak mungkin (to have), dan bukannya memanfaatkan barang dan jasa yng sungguh-sungguh dibutuhkan untuk merealisir eksistensi dirinya ( to be). [12] Di sini kemudian digarisbawahi bahwa iklan memang bisa meningkatkan standar hidup konsumen. Yang tidak etis adalah mengkonsolidasikan konsumen untuk mengarahkan seluruh finalitas kehidupannya kepada kehidupan “ideal” yang ditampilkan iklan, padahal itu hanyalah realitas artificial yang dikonstruksi oleh iklan dan media massa itu sendiri. Bidang Politis
Seringkali juga media assa menampilkan atau menayangkan iklan-iklan politik. Ini bisa menguntungkan semua pihak sejauh tidak dipakai semata-mata demi kepentingan tiranis pihak penguasa,[13] tetapi sebagai ekspresi daru sebuah kehidupan politik yang demokratis. Artinya, dengan iklan politik, masyarakat tidak hanya mendapatkan informasi perihal segala kebiakan yang tengah dn akan diambil pemerinth, tetapi juga—sebagai konsekuensi— semakin meningkatnya partisipasi masyarakat dalam kehidupan politik, yakni dalam menentukan pilihan-pilihan politisnya. Dalam dokumen kepausan bidang komunikasi sosial perihal etika dalam iklan ditegaskan bahwa pemerintah, lewat iklan-iklan politik, berkewajiban menginformsikan kepada masyarakat mengenai tendensi-tendensi monopolistis dari pasar-pasar tertentu maupun kekurangan-kekuranan tertentu serta langkah-langkah apa yang sedang diambil terhadap tendensi-tendensi itu. Sementara calon-calon yng akan duduk di dalam pemerintahan plus curriculum vitae mereka juga wajib diinformasikan kepada masyarakat lewat iklan politik tersebut. Sering terjadi juga bahwa lewat iklan rezim penguasa tertentu menjalankan politik kebudayaannya. Di sini masyarakat diindoktrinasi melalu slogan-slogan atau pernyataan pernyataan politik murahan tertentu, yang meskipun disadari sebagai politik pembohongan massa, tetapi tetap saja merasuk ke dalam kesadaran masyarakat karena iklan-iklan tersebut ditayangkan pada prime time di televise-televisi atau radio-radio, atau dipajang di jalan-jalan protocol. Lebih mengerikan lagi keadaannya jika media-media massa dikontrol secara ketat dengan kewajiban mematuhi aturan-aturan tertentu yang secara jelas hanya menguntungkan rezim penguasa, atau juga kewajiban menayangkan secara serentak acara-acara atau iklaniklan kenegaraan tertentu.[14] Bidang Kultural
Secara ideal harus dikatakan bahwa iklan semestinya dikemas sebegitu rupa supaya tidak hanya bernilai secara moral, tetapi juga intelektual dan estetis. Selain itu, para pemasang iklan juga mesti mempertimbangkan kebudayaan dari masyarakat yang menjadi “sasaran” iklan. Prinsip umum yang dianut adalah bahwa masyarakat harus selalu diuntungkan secara kultural. Hal ini hanya bisa terwujud kalau isi iklan bukan merupakan cerminan dari kehidupan glamor kelompok kecil masyarakat kaya atau pun masyarakat dunia pertama yang wajib diimitasi secara niscaya oleh mayoritas masyarakat miskin atau pun masyarakat dunia ketiga, tetapi merupakan cerminan dan dinamisme kehidupan masyarakat miskin itu sendiri,
karena iklan menginformasikan barang dan jasa yang sungguh-sungguh mereka butuhkan, dan itu berarti sesuai dengan stadar hidup mereka. Prinsip yang secara etis dipegang teguh adalah bahwa iklan tidak harus pertama-tama menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru, atau mengekspos pola kehidupan baru yang malah mengasingkan masyarakat dari kebudayaannya sendiri. Dalam kenyataannya, iklan lebih sering menampilkan kebudayaan hidup masyarakat yang lebih suka menonjolkan kompetisi di segala bidang kehidupan seraya membuang jauh-jauh rasa solidaritas antarsesama. Iklan juga seringkali meremehkan unsur-unsur edukatif, standar moral serta seni yang tinggi. Bahkan boleh dikatakan bahwa sebagaian besar iklan menampilkan warna dominasi kaum lelaki atas kaum perempuan. Tentang hal terakhir ini dokumen kepausan mengenai etika dalam iklan menantang kita dengan pertanyaan pertanyaan mendasar berikut: “How often are women treated not as persons with an inviolable dignity but as objects whose purpose is to satisfy others’ appetite for pleasure or power? How often is the role of women in business life depicted as a masculine caricature, a denial or the specific gifts of feminine insight, compassion, and understanding, which so greatly contribute to the ‘civilization of love’?”[15] Bidang Moral dan Agama
Ajaran-ajaran moral dan agama juga seringkali disampaikan lewat iklan. Ajaran-ajaran moral dan agama tersebut—kepatuhan kepada kehendak Yang Ilahi, toleransi, belaskasihan, pelayanan dan conta kasih kepada sesama yang lebih membutuhkan pertolongan, pesan-pesan mengenai kesehatan dan pendidikan, dll—bertujuan untuk memotivasi masyarakat ke arh kehidupan yang baik dan membahagiakan. Masalah muncul ketika iklan bertentangan dengan ajaran-ajaran moral dan agama. Bagi kaum moralis maupun agamawan, hal yang secara jelas bertentangan dengan aharan moral dan agama adalah pornografi dalam iklan. Mengapa demikian? Karena, menurut mereka, pornografi yang diekspos itu merupakan sisi gelap dari kodrat manusia—kaum agamawan menyebut sisi ini sebagai “gudang dosa”—dan pelecehan terhadap martabat manusia. Selain itu, iklan yang diwarnai oleh kekerasan juga bertentangan dengan ajaran moral serta agama, dengan alasan yang kurang lebih sama seperti pada pornografi. Beberapa Prinsip Moral yang Perlu dalam Iklan
Terdapat paling kurang 3 prinsip moral yang bisa dikemukakan di sini sehubungan dengan penggagasan mengenai etika dalam iklan. Ketiga hal itu adalah (1) masalah kejujuran dalam iklan, (2) masalah martabat manusia sebagai pribadi, dan (3) tanggung jawab sosial yang mesti diemban oleh iklan. Ketiga prinsip moral yang juga digarisbawahi oleh dokumen yang dikeluarkan dewan kepausan bidang komunikasi sosial untuk masalah etika dalam iklan ini kemudian akan didialogkan dengan pandangan Thomas M. Gerrett, SJ yang secara khusus menggagas prinsip-prinsip etika dalam mempengaruhi massa (bagi iklan) dan prinsip-prinsip etis konsumsi (bagi konsumen).[16] Dengan demikian, uraian berikut ini akan merupakan “perkawinan” antara kedua pemikiran tersebut. Prinsip Kejujuran
Prinsip ini berhubungan dengan kenyataan bahwa bahasa penyimbol iklan seringkali dilebihlebihkan, sehingga bukannya menyajikan informasi mengenai persediaan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh konsumen, tetapi mempengaruhi bahkan menciptakan kebutuhan baru. Maka yang ditekankan di sini adalah bahwa isi iklan yang dikomunikasikan haruslah sungguh-sungguh menyatakan realitas sebenarnya dari produksi barang dan jasa. Sementara yang dihindari di sini, sebagai konsekuensi logis, adalah upaya manipulasi dengan motif apa pun juga. Di Amerika Serikat, misalnya, dalam pembuatan iklan hal-hal berikut ini dilarang: (1) Pesan yang tidak jujur atau yang sifatnya menyesatkan karena melebih-lebihkan kenyataan apa adanya dari barang dan jasa yang diiklankan. (2) Menafsirkan secara salah isi ( content ) produksi sebuah barang dan jasa, entah itu dilakukan oleh produsen sendiri (the advertisers) atau oleh pihak editor maupun fotografer. (3) Pernyataan-pernyataan atau pesan-pesan yang bertentangan dengan tatakrama masyarakat. (4) Pernyataan-pernyataan yang bermaksud melecehkan perusahaan lain lewat propaganda bahwa barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan lain itu tidak bermutu. (5) Klaim-klaim harga yang menyesatkan, (6) Pernyataan pernyataan atau pesan-pesan yang mengaburkan arti yang sebenarnya dan juga tidak aplikabel, tetapi kemudian diklaim sebagai yang didukung oleh pendapat para ahli atau otoritas ilmiah tertentu. (7) Menegaskan kualitas barang dan jasa lewat kesaksian dari konsumen tertentu yang tidak kompeten sehingga pendapatnya tidak mencerminkan pilihan yang sejati dan bertanggung jawab mengenai pemakaian barang dan jasa tertentu. (8) Iklaniklan yang lebih mementingkan unsur sugesti, dalam arti menonjolkan dimensi-dimensi emosional, dorongan-dorongan bawah-sadar dan seks, di mana lewat hal-hal ini dimensi rasionalitas manusia tidak mendapat tempat yang wajar.[17] Dari deskripsi ini sebenarnya ditekankan bahwa iklan sesungguhnya adalah sebuah media informasi mengenai kelangkaan barang dan jasa yang dibutuhkan konsumen, dengan catatan bahwa tanpa dipengaruhi oleh aneka iklan yang canggih pun konsumen tetap mencari dan mendapatkan barang dan jasa yang ia butuhkan karena itu merupakan kebutuhan-kebutuhan dasar. Masalahnya tentu saja akan menjadi lain jika peran iklan bergeser menjadi upaya penumpukan profit setinggi mungkin, sehingga yang tampak adalah iklan-iklan yang bersifat propaganda. Hal terakhir ini yang justru ditolak secara etis, karena bukan saja melecehkan kebebasan manusia dalam memilih barang dan jasa yang ia perlukan, tetapi juga mencoreng peran mulia dari iklan itu sendiri selaku penyaji informasi yang jujur. Prinsip Martabat Manusia sebagai Pribadi
Bahwa iklan semestinya menghormati martabat manusia sebagai pribadi semakin ditegaskan dewasa ini sebagai semacam tuntutn imperatif (imperative requirement ). Iklan semestinya menghormati hak dan tanggung jawab setiap orang dalam memilih secara bertanggung jawab barang dan jasa yang ia butuhkan. Ini berhubungan dengan dimensi kebebasan yang justeru menjadi salah satu sifat hakiki dari martabat manusia sebagai pribadi. Maka berhadapan dengan iklan yang dikemas secanggih apa pun, setiap orang seharusnya bisa dengan bebas dan bertanggung jawab memilih untuk memenuhi kebutuhannya atau tidak.[18] Yang banyak kali terjadi adalah manusia seakan-akan dideterminir untuk memilih barang dan jasa yang diiklankan, hal yang membuat manusia jatuh ke dalam sebuah keniscayaan pilihan. Keadaan ini bisa terjadi karena kebanyakan iklan dewasa ini dikemas sebegitu rupa sehingga
menyaksikan, mendengar atau membacanya segera membangkitkan “nafsu” untuk memiliki barang dan jasa yang ditawarkan (lust ), kebanggaan bahwa memiliki barang dan jasa tertentu menentukan status sosial dalam masyarkat, dll. Jika ini terjadi maka, menurut Thomas M. Garreth, SJ, iklan sesungguhnya melupakan satu hal yang dalam etika iklan sendiri telah diterima: “Kewajiban bertindak rasiona”[19] dan kewajiban “membantu orang lain untuk bertindak yang sama.”[20] Tentang hal ini Garreth menulis: “Kita semua berkewajiban untuk bertindak berdasarkan refleksi dan pertimbangan pertimbangan rasional. Tetapi sejauh sebagai manusia selalu saja terjadi bahwa kita bertindak secara irasional. Inilah keterbatasan ruang dan waktu kita yang membuat hanya sebagian kecil dari kita yang biasa bertindak rasional dan manusiawi. Demikianlah dengan meminta kita bertindak secara rasional para etikawan mengkualifikasi kewajiban-kewajiban tertentu yang mesti kita penuhi. Dengan bertindak rasional terhadap kewajiban-kewajiban tersebut kita memperlihatkan pula tanggung jawab selalu pribadi. Pada titik ini pula kita dievaluasi secara moral.”[21] Dalam konteks inilah, baik Gereja Katolik, maupun Thomas M. Garreth, SJ sendiri mengecam habis-habisan iklan yang semata-mata mementingkan unsure irasional dan sugestif sebagai yang melawan cinta kasih kepada sesama, karena iklan-iklan tipe ini melecehkan manusia sebagai animale rationale yang semestinya selalu bertindak rasional dalam setiap tindakannya, karena hanya dengan demikian ia bisa dengan bebas dan bertanggung jawab menentukan pilihan-pilihannya. Lebih mengerikan lagi adalah bahwa iklan seringkali merugikan anak-anak yang tingkat kesadaran serta otonomi moralnya masih sangat terbatas, atau juga masyarakat miskin yang pada umumnya belum membebaskan diri dari preokupasi-preokupasi untuk memiliki semakin banyak barang dan jasa pemuas kebutuhan.[22] Iklan dan Tanggung Jawab Sosial
Meskipun sudah dikritik di atas, bahwa iklan harus menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru karena perananya yang utama selaku media informasi mengenai kelangkaan barang dan jasa yang dibutuhkan manusia, namun dalam kenyataannya sulit dihindari bahwa iklan meningkatkan konsumsi masyarakat. Artinya bahwa karena iklan manusia “menumpuk” barang dan jasa pemuas kebutuhan yang sebenarnya bukan merupakan kebutuhan primer. Penumpukan barang dan jasa pada orang atau golongan masyarkat tertentu ini disebut sebagai surplus barang dan jasa pemuas kebutuhan.[23] Menyedihkan bahwa surplus ini hanya dialami oleh sebagai kecil masyarakat. Bahwa sebagian kecil masyarakat ini, meskipun sudah hidup dalam kelimpahan, toh terus memperluas batasa kebutuhan dasarnya,[24] sementara mayoritas masyarakat hidup dalam kemiskinan. Dalam konteks pemikiran seperti inilah muncul ide tanggung jawab sosial dari iklan. Masalahnya bisa dirumuskan demikian: “Bagaimana bisa menghindari surplus atau penumpukan barang dan jasa pemuas kebutuhan pada sebagian kecil masyarakat dan kemudian mengaturnya demi kemakmuran bersama?” Di sini tidak berlaku perntanyaan apakah surplus pada sebagian kecil masyarakat itu perlu dihindari, karena penegasan afirmatif-etis, bahwa surplus itu mau tidak mau harus dihindari. Para etikawan lalu setuju untuk menolak upaya merentang batasan kebutuhan dasar hingga tak terbatas sifatnya. [25] Di sinilah kemudian dikembangkan ide solidaritas sebagai salah satu bentuk tanggung jawab sosial dari iklan. Berhadapan dengan surplus barang dan jasa pemuas kebutuhan manusia, dua
hal berikut pantas dipraktekkan. Pertama, surplus barang dan jasa seharusnya disumbangkan sebagai derma kepada orang miskin atau lembaga/institusi sosial yang berkarya untuk kebaikan masyarakat pada umumnya (gereja, mesjid, rumah sakit, sekolah, panti asuhan, dll). Tindakan karitatif semacam ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa kehidupan cultural masyarakat akan semakin berkembang. Kedua, menghidupi secara seimbang pemenuhan kebutuhan fisik, biologis, psikologis, dan spiritual dengan perhatian akan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Perhatian terhadap hal terakhir ini bisa diwujudnyatakan lewat kesadaran membayar pajak ataupun dalam bentuk investasi-investasi, yang tujuan utamanya adalah kesejahteraan sebagian besar masyarakat. Masalah keutuhan serta keselamatan lingkungan hidup juga menjadi tanggung jawab sosial iklan.[26] Asumsinya adalah bahwa dengan menonjolkan peran sugestif, iklan kemudian “menciptakan” sebuah gaya hidup konsumtif. Gaya hidup ini, selain ditandai oleh surplus barang dan jasa yang tidak perlu, juga semakin meningkatkan permintaan (demand ). Produksi barang dan jasa yang mengikuti irama permintaan pun cendrung meningkat. Konsekuensi langsungnya adalah permintaan akan bahan mentah yang dihasilkan dari alam untuk produksi juga meningkat. Dan untuk kepentingan logika produksi seperti inilah alam dikeruk secara besar-besaran. Padahal sebagian dari bahan-bahan mentah yang tersedia di alam bersifat tak-bisa-diperbarui. Selain itu, seringkali terjadi juga bahwa sisa-sisa barang dan jasa yang telah digunakan manusia turut merusak alam. Maka sebenarnya yang perlu diusahakan bukannya meniadakan iklan, tetapi meniadakan isi atau maksud dari iklan yang obsesi utamanya adalah mengkonstruksi sebuah masyarakat konsumtif dengan seluruh konsekuensi yang menyertainya. Kalau kita setuju dengan analisis Dr. Gregory Baum, bahwa media massa dan iklan cendrung mengkonstruksi realitas dan bahwa realitas tersebut umumnya bersifat konsumtif-materialistis yang sungguh-sungguh mensugesti manusia untuk secara niscaya menanggapinya, maka bahaya pengrusakan lingkungan karena mentalitas hidup konsumtif sungguh-sungguh serius .[27] Sama seperti yang ditegaskan dokumen kepausan mengenai etika dalam iklan, komitmen untuk mencegah upaya pengrusakan lingkungan ada pada mereka yang berkehendak baik, yang mau mengusahakan sebuah kehidupan bersama yang utuh dan integral, baik antara manusia maupun dengan lingkungan tempat kediamannya. Penutup
Sebagaimana juga disinggung di atas, iklan memang tidak bisa dihapus sama sekali dari kehidupan manusia. Ini bukan saja karena pemahaman kita mengenai iklan dalam artinya yang luas sebagai segala kegiatan manusia dalam menginformasikan “kepentingankepentingan” tertentu kepada publik, tetapi juga bahwa iklan sejak semula tidak bersifat propagandis. Lagi pula kecenderungan hal yang terakhir ini relatif baru dalam dunia iklan, terutama ketika masyarakat mulai mengenal sistem ekonomi pasar bebas.[28] Maka kemudian sebagai usaha untuk “menghapus” citra iklan yang sugestif-propagandis bukan dengan menghapus sama sekali iklan, tetapi lewat mengembalikan iklan pada misinya yang sejati. Salah satu tugas etikawan di bidang ini adalah mendidik masyarakat untuk selalu bersikap rasional. Kepemilikan atas sikap ini yang kemudia bisa diandalkan sebagai semacam senjata pamungkas berhadapan dengan iklan-iklan yang semata-mata sugestif. Iklan pada akhirnya akan membunuh diri sendiri jika tetap beranggapan bahwa konsumen merupakan pihak yang
selalu bisa dibohongi. Sementara karena jasa para etikawan masyarakat perlahan-lahan memupuk sikap rasional. Tentang hal ini peringatan David Ogilvy pantas disimak: “Kalau Anda mengatakan kebohongan tentang sebuah produk, Anda akan diketahui—entah oleh pemerintah ayang akan mendakwa Anda, atau oleh konsumen yang akan menghukum Anda dengan tidak lagi membeli produk Anda. Produk yang baik dapat digunakan dengan menggunakan iklan yang jujur . Kalau menurut Anda produk itu tidak baik, jangan diiklankan. Kalau Anda mengatakan kebohongan atau hal yang menyesatkan, Anda merugikan klien ANda. Anda memperbesar perasaan bersalah dalam diri Anda, dan Anda mengobarkan perasaan dengki masyarakat terhadap seluruh kegiatan iklan Anda.”[29] Upaya mendidik masyarakat untuk bertindak rasional ini bisa dilakukan lewat pendidikan melek media (media literacy).[30] Di sana masyarakat disadarkan untuk, antara lain, memahami bahwa realitas yang ditayangkan media massa dan iklan bukanlah ekstensifikasi dari realitas kehidupan nyata manusia, tetapi merupakan realitas ciptaan berdasarkan kepentingan-kepentingan tertentu. Dan bahwa dengan demikian media massa dan iklanlah yang mengkonstruksi dan bukannya merepresentasikan realitas. Konsekuensinya, realitas rekaan yang ditampilkan itu telah ditafsirkan sedemikian rupa untuk melayani kepentingankepentingan tertentu pula. Maka lewat pendidikan melek medialah masyarakat dibekali dengan nilai-nilai ideal tertentu (misalnya nilai-nilai yang diajarkan agama), yang pada gilirannya bisa memampukan masyarakat untuk menafsirkan realitas yang ditampilkan seturut kepentingan-kepentingannya yang ideal. Lewat pendidikan melek media ini pula masyarakat disadarkan bawa media massa dan iklan tidak bisa tidak memiliki kepentingankepentingan bisnis, ideology dan politik dan bahwa kepentingan-kepentingan ini dikemas sebegitu rupa sehingga hanya dengan sikap rasional hal-hal tersebut bisa dipilah-pilah satu sama lain. Selain pendidikan melek media, masyarakat juga bisa diajarkan untuk hidup sederhana. [31] Ini sebenarnya berhubungan dengan salah satu prinsip yang menakutkan dari pasar bebas, yaitu bahwa barang dan jasa yang mewah akan segera menjadi kebutuhan primer pada saat barang dan jasa itu dipenuhi. Ini terjadi secara terus menerus sampai manusia sendiri tidak mampu menentukan dengan tegas prioritas kebutuhan-kebutuhannya. Di sini pula kiranya kita bisa memahami kritik Paus Yohanes Paulus II terhadap masyarakat konsumeristis yang diciptakan iklan sebagaimana disinggung di atas sembari menambahkan bahwa hidup sederhana bisa menjadi semacam counter culture terhadap kehidupan yang konsumeristis dewasa ini. Tanggung jawab untuk ini ada di tangan siapa saja yang ingin membangun sebuah masyarakat yang sungguh-sungguh manusiawi.*** DAFTAR PUSTAKA
Coleman, John & Tomko, Miklos (Eds.), “Mas Media”, dalam majalah Concilium, SCM Press Ltd, London, 1993/6. Dokumen Komisi Kepausan bidang Komunikasi Sosial tentang Etika dalam Iklan. Dikutip dari L’Osservatore Romano N. 16 , 16 April 1997. Elaine, St. James, Simplify Your Life, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997. Henderson Britt, Steuart, “Advertising” dalam Encyclopedia Americana, Vol 1, Glorier Inc., USA.
Garrett, Thomas M., SJ, Some Ethical Problems of Modern Advertising , The Gregoriana Univ. Press, Rome, 1961. Keraf, Sonny A., Etika Bisnis, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1991. Pitoyo, Djoko dan Siswanto, Joko, “Pandangan Moral Guru Terhadap Iklan Komersial yang Mengeksploitasi Wanita Sebagai Model”, dalam Jurnal Fakultas Filsafat UGM , Seri 27, Maret 1997 , Yogyakarta, Maret 1997. Sutanto, Limas, “Media Massa: Kekuatan Otoritatif di Era Informasi”, dalam Buletin Komunikasi, No. 44, 1997. [1] Steuart Henderson Britt, “Advertising”, dalam Encyclopedia Americana, Vol. 1, 1994. Hlm. 196.
[2] Pada kedua media elektronik inilah iklan sungguh-sungguh mempengaruhi secara mendalam emosi-emosi kita dan membangkitkan realitas bawah-sadar kita. Pada media radio, ini dilakukan dengan teknik suara yang membangkitkan imajinasi. Sementara pada media televisi, selain sura, juga lewat pesan-pesan visual serta ditayangkan sesering mungkin. Steuart Henderson, 1994: 201. [3] Yang dimaksud dengan tingkat sopan santun adalah kesadaran bahwa iklan tertentu itu sopan atau tidak, hal mana unsur subjektif sering lebih ditonjolkan. Di situ patut kiranya menggarisbawahi penelitian mengenai kesadaran moral terhadap iklan pada guru-guru di Sleman, Bantul, dan Gunung Kidul yang dilakukan oleh Djoko Pitoyo dan Joko Siswanto. Di sana disebutkanbahwa terhadap iklan tertentu para guru tersebut memang memprotesnya sebagai tidak sopan. Tetapi ketika ditantang bahwa bagaimana kalau para guru yang menjadi artis iklan dan memerankan adegan-adegan seronok, dan bahwa honor untuk peran tersebut sangat mahal, mereka lalu tidak bisa berpendapat lain. Padahal kalau saja para guru tersebut sungguh-sungguh memiliki kesadaran moral, mereka akan tetap mempertahankan pandangan mereka, bahwa iklan-iklan tertentu pantas dilarang karena tidak etis pada dirinya, bahwa mayoritas masyarakat pun berpandangan demikian. Djoko Pitoyo dan Joko Siswanto, “Pandangan Moral Guru Terhadap Iklan Komersial yang Mengeksploitasi Wanita sebagai Model,” Jurnal Filsafat UGM , Maret 2007. Hlm. 58-66. [4] Thomas M. Garrett, SJ, Some Ethical Problems of Modern Advertising , The Gregorian Univ. Press, Rome, 1961. Hlm. 1. Bandingkan dengan difinisi yang dikemukakan oleh Henderson Britt berikut, “Advertising is any paid form of nonpersonal presentation and promotion of products, services, or ideas by an identifiable individual or organization.” Steuart Henderson Britt, 1994: 195. [5] Thomas M. Garrett, SJ., 1961: 10. Bdk Steuart Henderson Britt, 1994: 195. [6] Dimuat secara lengkap dalam L’Osservatore Romano, N. 16, 16 April 1997, hlm. I-IV. [7] Untuk kepentingan seperti inilah mereka yang melibatkan diri dalam mega proyek pengadaan iklan, menurut Pease, memandang dirinya sebagai “pahlawan-pahlawan” yang
membebaskan masyarakat dari tirani puritanisme dan asketisme material kepada kehidupan kelas menengah yang glamor. Lih. Thomas M. Garrett, SJ, 1961: 114. [8] Thomas M. Garrett, SJ., 1961: 56. [9] L’Osservatore Romano, N. 16, 16 April 1997, hlm. I. [10] Dalam Thomas M. Garrett, SJ., 1961: 85. [11] A. Sonny Keraf, Etika Bisnis, Kanisius, Yogyakarta, 1991. Hlm. 43. [12] Dokumen Kepausan bidang Komunikasi Sosial tentang Etika dalam Iklan. L’Osservatore Romano, N. 16, 16 April 1997, hlm. II. [13] Bdk . Dr. Limas Susanto, “Media Massa: Kekuatan Otoritatif di Era Komunikasi”, dalam Buletin Komunikasi no. 44, Januari 1997, hlm. 36-37. [14] Bdk . Niklos Tomko, “Eastern Europe: The Media in Transition”, dalam Concillium, SCM Press, London, 1993/6. Hlm. 47-49. [15] Dokumen Kepausan bidang Komunikasi Sosial tentang Etika dalam Iklan. L’Osservatore Romano, N. 16, 16 April 1997, hlm. II. [16] Lih. Thomas M. Garrett, SJ., 1961: 37-94. [17] Nomor 1-7, lihat Thomas M. Garrett, SJ., 1961: 38; nomor 8, lihat Thomas M. Garrett, SJ., 1961: 46-51. [18] Thomas M. Garrett, SJ., 1961: 74-77. [19] Thomas M. Garrett, SJ., 1961: 40-42. [20] Thomas M. Garrett, SJ., 1961: 44-45. [21] Thomas M. Garrett, SJ., 1961: 41 [22] Lih. Dokumen Kepausan bidang Komunikasi Sosial tentang Etika dalam Iklan. L’Osservatore Romano, N. 16, 16 April 1997, hlm. III. Bandingkan Thomas M. Garrett, SJ., 1961: 45. [23] “Surplus is described as that wealth which remains after a person has the things necessary for life and for fitting maintenance of his position.” Thomas M. Garrett, SJ., 1961: 72. [24] Ide dasar yang dipegang di sini adalah pemahaman bahwa barang dan jasa dipergunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar atau tujuan eksistensialnya. Thomas M. Garrett, SJ., 1961: 65. Dengan iklan, kebutuhan dasar atau tujuan eksistensial ini direntang sampai tak-terbatas, sehingga semuanya seakan-akan merupakan kebutuhan dasar atau kebutuhan eksistensial. Dalam konteks seperti ini juga kita menyaksikan bagaimana manusia
memperlakukan barang dan jasa pemuas kebutuhan sebagai yang memiliki tujuan pada dirinya sendiri. [25] Thomas M. Garret, SJ., 1965: 72-74. [26] Kesadaran semacam ini boleh dikatakan relatif baru. Dalam karangan Thomas M. Garrett, SJ (1961) setebal 209 halaman itu belum disinggung kesadaran mengenai keutuhan dan keselamatan lingkungan. Ini baru muncul bersamaan dengan merebaknya diskusi mengenai etika lingkungan di era tahun 1980-an. Bandingkan Dokumen Kepausan bidang Komunikasi Sosial tentang Etika dalam Iklan. L’Osservatore Romano, N. 16, 16 April 1997, hlm. III. [27] Dr. Gregory Baum, “The Church and the Mass Media”, dalam Concilium, 1993/6, hlm. 66. [28] Sistem ekonomi pasar bebas disifati antara lain oleh kompetisi yang ketat antarperusahaan yang memperoduksi barang dan jasa sejenis, sehingga untuk merebut pasar sering dilakukan propaganda-propaganda yang tidak jujur lewat iklan. A. Sonny Keraf, 1991: 143. [29] Sebagaimana dikutip dari A. Sonny Keraf, 1991: 145. [30] Pendidikan melek media ini sudah mulai dijalankan sebagai program resmi pendidikan di sekolah-sekolah di Australia, Inggris, Skotlandia, dan Kanada. Lih. Gregory Baum, 1993/6: 66-68. [31] Setelah berhasil dalam membangun sebuah kehidupan yang sederhana, Elaine St. James kemudian menegaskan bahwa pandangan bahwa semakin banyak barang dan jasa yang dimiliki akan semakin membuat seseorang mencapai kebahagiaan hanyalah mitos belaka. Dan bahwa menumpuk barang dan jasa yang tidak bersifat primer, menurut pengalaman Elaine St. James ternyata bisa “merusak” kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan lingkungan. Elaine St. James, Simplify Your Life, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997. Hlm. 103.