Injeksi Vit.C BAB I PENDAHULUAN
A. Sediaan Parenteral Sediaan parenteral adalah sediaan obat steril, dapat berupa larutan atau suspensi yang dikemas sedemkian rupa sehingga cocok untuk diberikan dalam bentuk injeksi hypodermis dengan pembawa atau zat pensuspensi yang cocok. Sediaan parenteral volume kecil diartikan sebagai obat steril yang dikemas dalam wadah dengan ukuran di bawah 100 ml. Untuk mendapatkan formula sediaan parenteral yang baik harus mempunyai data praformulasi yang meliputi sifat kimia, sifat fisika dan sifat biologis sehingga didapatkan : 1. Pembawa yang tepat, yaitu pembawa larut air, pembawa yang tidak larut air atau pelarut campur. 2. Zat penambah yang diperlukan, meliputi zat anti mikroba (pengawet), komplekson, zat pengisotoni, anti oksidan, dapar dan sebagainya. 3. Wadah dan jenis wadah yang sesuai. 4. Tersatukan tanpa terjadi reaksi 5. Isotoni dan isohidri 6. Bebas pirogen dan bebas partikel melayang B. Pengertian Injeksi Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi, atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan secara parenteral, disuntikan dengan cara menembus atau merobek jaringan ke dalam atau melalui kulit atau selaput lendir. C. Komponen Larutan Injeksi 1. Zat aktif a. Memenuhi syarat yang tercantum sesuai monografinya mono grafinya masing-masing dalam farmakope. b. Pada etiket tercantum p.i (pro injection) 2. Zat pembawa / zat pelarut Dibedakan menjadi 2 bagian: a. Zat pembawa berair Umumnya digunakan aqua pro injeksi. Selain itu dapat digunakan NaCl pro injeksi, glukosa pro injeksi, dan NaCl compositus pro injeksi. b. Zat pembawa bukan air Umumnya digunakan minyak untuk injeksi misalnya oleum sesami, oleum olivarum, oleum arachidis, pelarut campur (alkohol, propilenglikol, gliserin, polietilenglikol). 3. Zat tambahan Ditambahkan pada pembuatan injeksi dengan maksud: a. Bahan penambah kelarutan obat Untuk menaikkan kelarutan obat digunakan : - Pelarut organik yang dapat campur dengan air seperti etanol, propilenglikol, gliserin. - Surface active agent (s.a.a) terutama yang n onionik. - Etilendiamin untuk menambah kelarutan teofilin.
- Dietilamin untuk menambah kelarbarbital. - Niasinamid dan Salisilas Natricus menambah kelarutan vit B2. - Kreatinin, niasinamid dan lecitine digunakan untuk menambah kelarutan steroid. b. Buffer / pendapar Pengaturan pH dilakukan dengan penambahan asam, basa, dan dapar. Penambahan larutan dapar hanya dilakukan untuk larutan obat suntik dengan pH 5,5-9. Pada pH >9, jaringan mengalami nekrosis, pada pH<3, jaringan akan mengalami rasa sakit, phlebitis, dan dapat menghancurkan jaringan. Pada pH<3 atau pH>11 sebaiknya tidak di dapar karena sulit dinetralisasikan, terutama ditujukan untuk injeksi i.m. dan s.c. Fungsi larutan dapar dalam obat suntik adalah : - Meningkatkan stabilitas obat, misalnya injeksi vitamin C dan injeksi luminal. - Mengurangi rasa nyeri dan iritasi. - Meningkatkan aktivitas fisiologis obat. Umumnya digunakan larutan dapar fosfat, laritan dapar boraks, dan larutan dapar lain yang berkapasitas dapar rendah. c. Untuk mendapatkan larutan yang isotonis. Bahan pembantu mengatur tonisitas adalah NaCl, glukosa, sukrosa, KNO3, dan NaNO3. d. Antioksidan - Asam ascorbic 0,1% - BHA 0,02% - BHT 0,02% - Natrium Bisulfit 0,15% - Natrium Metabisulfit 0,2% - Tokoferol 0,5% - Zat pengkhelat seperti Na-EDTA 0,01-0,075% yang akan membentuk kompleks dengan logam berat yang merupakan katalisator oksidasi. e. Bahan Pengawet (preservatives) - Benzalkonium chloride 0,05%-0,1% - Benzyl alkohol 2% - Chlorobutanol 0,5% - Chlorocresol 0,1-0,3% - Fenil merkutik nitrat dan asetat 0,002% - Fenol 0,5% f. Gas inert seperti nitrogen dan karbondioksida sering digunakan untuk meningkatkan kestabilan produk dengan mencegah reaksi kimia antara oksigen dalam udara dengan obat . D. Sterilisasi 1. Cara sterilisasi akhir Cara ini merupakan cara sterilisasi umum dan paling banyak digunkan dalam pembuatan sediaan steril. Zat aktif harus stabil dengan adanya molekul air dan suhu sterilisasi. Dengan cara ini sediaan disterilkan pada tahap terakhir pembuatan sediaan. Semua alat setelah lubang-lubangnya ditutup kertas perkamen, dapat langsung digunakan tanpa perlu disterilkan lebih dahulu. 2. Cara aseptis Cara ini terbatas penggunaanya pada sedian yang mengandung zat aktif peka suhu tinggi dan dapat mengakibatkan penguraian dan penurunan kerja farmakologisnya. Antibiotika dan
beberapa hormon tertentu merupakan zat aktif yang sebaiknya diracik secara aseptis. Cara aseptis bukanlah suatu cara sterilisasi melainkan suatu cara kerja untuk memperoleh sediaan steril dengan mencegah kontaminasi jasad renik dalam sediaan. 3. Sterilisasi panas dengan tekanan atau Sterilisasi uap (autoklaf) Dengan memaparkan uap jenuh pada tekanan tertentu selama waktu dan suhu tertentu pada suatu objek, sehingga terjadi pelepasan energi laten uap yang mengakibatkan pembunuhan mikroorganisme secara irreversible akibat denaturasi atau koagulasi protein sel. Sterilisasi ini dilakukan dengan suhu 121°C selama 30 menit. Autoklaf digunakan untuk mensterilkan alat-alat persisi seperti gelas ukur, pipet, corong beserta kertas saring, spuit. 4. Sterilisasi panas kering (oven) Terjadi melalui mekanisme konduksi panas. Panas akan diabsorpsi oleh permukaan alat yang disterikan lalu merambat kebagian dalam permukaan sampai akhirnya suhu untuk sterilisasi tercapai. Udara panas oven akan mematikan jasad renik meluli mekanisme dehidrasi-oksidasi terhadap mikroorganisme. Sterilisasi ini dilakukan dengan suhu 170°C selama 30 menit. Digunakan untuk mensterilkan alat-alat gelas non-persisi seperti beaker glass, elenme yer, kaca arloji, cawan penguap, pinset logam, batang pengaduk. E. Pengujian atau Evaluasi Obat Suntik Parameter yang dievaluasi untuk uji kestabilan sediaan parenteral meliputi: 1. Potensi/kadar Evaluasi dilakukan dengan bantuan alat seperti HPLC, spektrometri massa, spektrometri UV, sinar X, sinar tampak, inframerah dan lain lain. Do sis yang ada tidak boleh kurang dari 90% dari yang tertera dalam label. 2. pH Perubahan pH dalam sediaan parenteral dapat menjadi indikasi bahwa telah terjadi penguraian obat atau telah terjadi interaksi antara obat d engan wadah (gelas, plasatik, atau tutup karet). 3. Warna Perubahan warna umumnya terjadi pada sediaan parenteral yang disimpan pada suhu tinggi (> 40oC), karena suhu tinggi dapat mempercepat terjadinya penguraian. Pencegahan umumnya dengan menghilangkan oksigen di atas permukaan larutan atau penambahan komplekson. 4. Kekeruhan Alat yang dipakai adalah Tyndall, karena larutan dapat menyerap atau memantulkan sinar. Idealnya larutan parenteral dapat melewatkan 92-97% pada waktu dibuat dan tidak turun menjadi 70% setelah 3-5 tahun. Ada tiga penyebab terjadinya kekeruhan sediaan parenteral, yaitu benda asing, terjadinya endapan dan pertumbuhan mikroorganisme. 5. Bau Pemerikasaan kemungkinan terjadinya bau harus dilakukan secara periodic, terutama larutan yang mengandung sulfur atau anti oksidan. 6. Benda asing Sediaan parenteral tidak boleh mengandung benda asing dengan diameter >m.10 7. Toksisitas Lakukan uji LD50 atau LD0 pada sediaan parenteral selama penyimpanan. 8. Wadah Evaluasi wadah (gelas, plastik, atau tutup karet) dilakukan secara periodik untuk mengetahui
pengaruhnya pada zat aktif. 9. Pengawet Pada sediaan yang disimpan pada suhu 50C dan 250C dievaluasi keefektifan pengawet apakah masih efektif atau sudah berkurang. BAB II PRAFORMULASI
A. Tinjauan Pustaka Zat Aktif dan Zat Tambahan Bahan Aktif : Vitamin C 1. Sifat Kimia Sinonim : Asam askorbat Rumus Kimia : C6H8O6 Rumus bangun:
Kadar Bahan Aktif : Asam askorbat mengandung tidak kurang dari 99% C6H8O6. Injeksi vit C mengandung asam askorbat tidak kurang dari 95% dan tidak lebih dari 115% dari jumlah yang tertera pada etiket. 2. Sifat Organoleptis Bentuk : Serbuk atau hablur Warna : Putih atau agak kuning Bau : Tidak berbau Rasa : Asam 3. Sifat Fisika Kelarutan : Larut dalam 3-3,5 bagian air, dalam 25 bagian alcohol dan 10 bagian methyl alcohol ; larut dalam acetone ; praktis tidak larut dalam kloroform, eter, dan light petroleum. Stabilitas dalam larutan : Asam askorbat sangat stabil pada pH 6 -6,5 dan sodium bicarbonat lebih baik daripada TEA untuk mengatur pH. Propilenglikol mempunyai efek stabilizing. Larutan sebaiknya terlindung dari cahaya. Ion-ion logam berat seperti Cu2+,Fe 3+, Zn2+, dan Mn2+ menurunkan stabilitas dari asam askorbat, tetapi Fe2+ dan Mg 2+ hanya sedikit mempengaruhi. Karbondioksida lebih efektif daripada nitrogen untuk mengganti oksigen dalam air. Khasiat : Antiskorbut Dosis Lazim : Injeksi untuk anak dan bayi : 1xhp = 200 mg-300 mg dibagi dalam 3-4 dosis. Injeksi untuk dewasa : 1xhp = 75 mg - 1 g, biasanya 500 mg. Sterilisasi : Larutan di sterilisasi dengan pemanasan 98°-100°C selama 30 menit deng an bakterisid atau dengan filtrasi ; udara pada wadah akhir digantikan oleh nitrogen atau gas lainnya yang cocok. Pada larutan, terutama yang dibuat alkalin, diperburuk dengan cepat oleh udara, perubahan tersebut oleh pemanasan dan cahaya dengan pH optimum 5,4. Tingkat pertama pada reaksi oksidasi adalah formasi dari dehydroaskorbat acid yang reversible. Asam
askorbat sangat mudah rusak selama pembuatan. Umumnya kehilangan sekitar 50%, tetapi dapat dilakukan pencegahan yang tepat, misalnya mengurangi kontak dengan oksigen, menggunakan air seminimal mungkin serta ketika dimasak pada kondisi panas, mungkin kehilangan asam askorbat sekitar 30%. OTT : Dengan garam-garam besi, oxidising agent, dan garam-garam dari logam berat terutama tembaga. Simpan pada wadah kedap udara non-logam dan terlindung dari cahaya. Injeksi dari asam askorbat telah dilaporkan OTT dengan aminophylline, bleomicin sulphate, etrytromycin lactobionate, nafcillin sodium, nitrofurantoin sodium, estrogen konjugasi, sodium bicarbonat, dan sulphafurazole diethanolamine. Kadang-kadang ketidakcocokan bergantung pada pH atau konsentrasi terjadi dengan kloramfenikol sodium suksinat, chlorotiazide sodium dan hydrocortisone sodium suksinat. Efek Samping : Vitamin C dengan dosis lebih dari 1 g/hari dapat menyebabkan diare, serta meningkatkan bahaya terbentuknya batu ginjal, karena sebagian vitamin C dimetabolisme dan di ekskresi sebagai oksalat. Penggunaan kronik vitamin C dosis sangat besar dapat menyebabkan ketergantungan. Interaksi Obat : Vit C-pil KB : Resiko hamil dapat meningkat jika digunakan vit C 1g/hari dan menghentikan penggunaan vit C secara tiba-tiba. Vit C-Vit B12 : Aktivitas vitamin B12 menurun Vit C-Besi : Penyerapan besi meningkat Sebagai pH adjuster : Larutan NaOH • Berat Molekul : 40 • Pemerian : Batang, butiran, massa hablur atau keping, kering, keras, rapuh dan menunjukkan susunan hablur; putih, mudah meleleh oleh basah. Sangat alkalis dan korosif. Segera menyerap karbondioksida. • Fungsi : pH adjuster Sebagai Pelarut : Aqua pro injection bebas O2 (API) • Pemerian : Berupa larutan, tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa • Cara Pembuatan : Air aquadest didihkan di dalam elenmeyer tertutup selama 40 menit terhitung sejak mulai mendidih, k emudian ditambahkan atau dialirkan gas inert seperti karbondioksida. B. Rancangan Praformulasi Akan dibuat sediaan injeksi vitamin C yang mengandung 100 mg/ml dengan volume 1 ml per ampul. Pembuatan 1 batch sebanyak 3 ampul. Metode pembuatan yang direncanakan adalah dengan cara aseptis. Dengan bahan tambahan yang terdiri atas : 1. PH adjuster : Larutan NaOH 2. Pelarut : Aqua pro injection bebas O2 Injeksi Vitamin C no. III Daftar Obat Jenis Obat Dosis Lazim Kelarutan pH Jenis Sterilisasi Khasiat
Vitamin C (asam askorbat) Anak 1xhp 200 mg- 300 mg, dibagi dalam 3 -4 dosis Dewasa 1xhp 75 mg- 1 g, biasanya 500 mg 1 : 3-3,5 bagian air FI III : 5,5 -7,0 Martindale : 6 - 6,5 Fornas : 5- 6,5 Aseptis antiskorbut da in amp 1 ml C. Rangkuman Hasil Pengkajian Praformulasi No. Masalah Alternatif / Pemecahan Rekomendasi Keputusan Alasan 1. Bentuk sediaan steril yang digunakan secara parenteral ada beberapa macam. Dibuat bentuk sediaan yang sesuai dengan sifat zat aktif - Injeksi - Infus Injeksi Merupakan sediaan dalam volume kecil yang digunakan untuk satu kali pakai (dosis tunggal) 2. Zat aktif sangat stabil pada pH 6-6,5 dan mudah teroksidasi Ditambahkan pH adjuster - NaOH - Na2CO3 NaOH Dapat meningkatkan stabilitas zat aktif dan tidak OTT dengan zat aktif 3. Zat aktif yang digunakan mudah teroksidasi oleh cahaya. Digunakan wadah ampul yang dapat melindungi zat aktif (sediaan) dari cahaya - Ampul bening - Ampul gelap Ampul gelap Karena cahaya tidak langsung tembus ke dalam sediaan sehingga tetap stabil selama penyimpanan 4. Rute pemberian secara injeksi ada bermacam-macam. Dipilih rute pemberian yang sesuai dengan zat aktif - Intramuskular - Intravena - Subkutan Intramuskular karena dapat mengurangi iritasi dan nyeri pada saat penyuntikan 5. Zat aktif tidak tahan terhadap pemanasan . Dipilih jenis sterilisasi yang sesuai - Aseptis - Sterilisasi akhir Aseptis memperoleh sediaan steril dengan mencegah kontaminasi jasad renik dalam sediaan
6. Penandaan berdasarkan golongan obat bermacam-macam. Diberi penandaan golongan obat yang sesuai. - Merah - Biru Hijau Merah Sediaan injeksi tidak dapat digunakan sendiri dan harus dibantu oleh tim medis
BAB III FORMULASI
A. Formulasi Standar Formula standar yang tercantum di Fornas : Komposisi : Tiap ml mengandung : Acidum ascorbicum 100 mg Natrii Subcarbonas 48 mg Thiocarbamidum 12 µg Aqua pro injection hingga 1 ml Penyimpanan : Dalam wadah dosis tunggal, terlindung dari cahaya Dosis : Pengobatan : 1-2 kali sehari 1 ml-2 ml Pencegahan : 1 kali sehari ½ ml Catatan : - Dapat ditambahkan Diantrium Edetat - Digunakan air untuk injeksi bebas udara - Natrium Subcarbonat dapat diganti dengan NaOH. - pH 5,0 – 6,5 - Pada pembuatan dialiri nitrogen atau karbondioksida - Disterilkan dengan cara sterilisasi C (aseptic) - Sediaan berkekuatan lain : 50 mg.
B. Formulasi Akhir yang Akan Dibuat R/ Asam askorbat 100 mg e = 0,18 NaOH 100 mg e = 17 x LSI/BM = 17 x 3,4/40 = 1,445 API ad 1 ml
Perhitungan : • Kesetaraan NaCl (0,1 x 0,18) + (0,1 x 1,445) = 0,1625 NaCl = 0,9/100 x 1 ml = 0,009 – 0,1625 = -0,15 (hipertonis) • White Vincent V = W x E x 111,1 = [(0,1 x 0,18) + (0,1 x 1,445)] x 111,1 = 18,05 ml 1 – 18,05 = -17,05 -17,05/1 x 111,1 = -0,15 (hipertonis) • Volume yang di buat = (n + 2) v’ + (2 x 3) ml = (3 + 2) 1,1 + (2 x 3) ml = 11,5 ml ~ 20 ml Jumlah vitamin C = 100 mg x 20 ml = 2000 mg ~ 2 gr Jumlah NaOH = 100 x 20 ml = 2000 mg ~ 2 gr API ad 20 ml Usul Penyempurnaan Sediaan : • Natrii Subcarbonat diganti dengan NaOH, karena acidum ascorbicum OTT dengan sodium/natrium bikarbonat. • Tidak memakai thiocarbamidum • Simpan pada ampul yang berwarna coklat (gelap) Alat-alat yang digunakan : Nama Alat Jumlah Cara Sterilisasi Waktu Kaca arloji 2 Oven 170oC 30 menit Erlenmeyer 2 Oven 170oC 30 menit Sendok porselen 1 Oven 170oC 30 menit Beacker glass 1 Oven 170oC 30 menit Pinset 1 Oven 170oC 30 menit Corong 1 Oven 170oC 30 menit Batang pengaduk 1 Oven 170oC 30 menit Ampul 3 Oven 170oC 30 menit Pipet 1 Autoklaf (115 - 116oC) 30 menit Gelas ukur 2 Autoklaf (115 - 116oC) 30 menit Spuit 1 Autoklaf (115 - 116oC) 30 menit Krustang 1 Autoklaf (115 - 116oC) 30 menit Karet pipet 1 Rendam dalam alkohol 15 menit Langkah Kerja
A. Pembuatan Aqua pro Injeksi 1. Panaskan aqua destilata dalam Erlenmeyer sampai air mendidih. Setelah air mendidih, kemudian dipanaskan lagi selama 30 menit. 2. API bebas O2 dilakukan dengan pemanasan aqua destilata selama 30 menit terhitung sejak mendidih, kemudian dialiri gas nitrogen. Dan ditambah pemanasan selama 10 menit B. Pembuatan sediaan 1. Melakukan sterilisasi peralatan yang akan digunakan sesuai dengan prosedur. 2. Menyiapakan API bebas O2 sebanyak 20 ml 3. Menimbang vitamin C dan NaOH dengan kaca arloji, kemudian dimasukkan ke dalam beacker glass, zat aktif dilarutkan dengan API bebas O2, kemudian bilas kaca arloji dengan beberapa tetes API bebas O2. 4. Menambahkan NaOH ke dalam larutan vitamin C, aduk sampai larut. (cek pH 5-6,5). 5. Larutan tersebut dituang ke dalam gelas ukur, catat volume larutan. Ad-kan dengan API bebas O2 sampai tepat 10 ml. 6. Tuangkan sedikit API bebas O2 untuk membasahi kertas saring, yang akan digunakan untuk menyaring. 7. Menyaring larutan ke dalam Erlenmeyer bersih dan kering. 8. Membilas gelas ukur dengan sisa API bebas O2 (sisa 10 ml). Memasukkan larutan bilasan k e dalam Erlenmeyer. 9. Mengisikan larutan zat ke dalam ampul (dengan spuit) sebanyak 1,1 ml. C. Evaluasi Sediaan 1. Penampilan Larutan berwarna kuning bening, homogen, serta tidak ada partikel yang melayang. 2. Kadar pH Asam askorbat dalam larutan sangat stabil pada pH 5-6,5. Pengujian dilakukan dengan menggunakan kertas indicator universal didapatkan pH = 11. Hal ini dikarenakan kami menambahkan NaOH sebagai adjuster pH terlalu banyak, karena NaOH yang digunakan dalam bentuk padatan, sedangkan akan lebih efektif jika menggunakan NaOH dalam bentuk larutan. 3. Kebocoran Sediaan yang dihasilkan tidak dilakukan pengujian kebocoran karena ampul tidak ditutup.
BAB IV PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, kami melakukan praktikum pembuatan sediaan steril berupa sediaan injeksi dengan bahan aktif yaitu vitamin C yang dibuat secara aseptis. Tujuan suatu sediaan dibuat steril, karena berhubungan langsung dengan darah atau cairan tubuh dan jaringan tubuh lain yang pertahanannya terhadap zat asing tidak selengkap pada saluran cerna atau astrointestinal. Diharapkan dengan kondisi steril dapat dihindari adanya infeksi sekunder. Dalam hal ini tidak berlaku relative steril atau setengah steril, han ya ada dua pilihan yaitu steril dan tidak steril. Dan obat injeksi merupakan sediaan yang perlu disterilkan. Sediaan injeksi memiliki keuntungan dan kelemahan, antara lain :
Keuntungan: 1. Memiliki onset (mula kerja) yang cepat. 2. Dapat digunakan untuk obat yang rusak jika terkena cairan lambung, merangsang jika masuk ke cairan lambung, atau tidak diabsorpsi baik oleh cairan lambung. 3. Efek obat dapat diramalkan dengan pasti. 4. Bioavaibilitas sempurna atau hampir sempurna. 5. Dapat diberikan kepada penderita yang sakit keras atau yang dalam keadaan koma. Kerugian: 1. Rasa nyeri pada saat disuntik, apalagi kalau harus diberikan berulangkali. 2. Memberikan efek psikologis pada penderita yang takut disuntik. 3. Karena bekerja cepat, jika terjadi kekeliruan sukar dilakukan pencegahan/diperbaiki, terutama sesudah pemberian intravena. 4. Cara pemberian lebih sukar, harus memakai keahlian khusus (dokter, perawat). 5. Kemungkinan terjadinya infeksi pada bekas suntikan. 6. Secara ekonomis lebih mahal dibandingkan dengan sediaan yang digunakan per oral. Sifat vitamin C yang tidak tahan terhadap pemanasan dan mudah teroksidasi oleh cahaya dan oksigen merupakan alasan di gunakannya metode sterilisasi secara aseptis dalam pembuatan injeksi vitamin C. Sterilisasi sediaan injeksi vitamin C dilakukan secara aseptis, karena vitamin C stabil pada suhu pemanasan 98-100oC, sehingga dikhawatirkan masih ada mikroba di dalam sediaan tersebut. Cara ini terbatas penggunaanya pada sedian yang mengandung zat aktif peka suhu tinggi dan dapat mengakibatkan penguraian dan penurunan kerja farmakologisnya. Cara aseptis bukanlah suatu cara sterilisasi melainkan suatu cara kerja untuk memperoleh sediaan steril dengan mencegah kontaminasi jasad renik dalam sediaan. Sehingga semua peralatan yang akan digunakan harus disterilkan terlebih dahulu sebelum digunakan sesuai dengan prosedur. Dalam pembuatan injeksi vitamin C dengan menggunakan zat tambahan yang terdiri atas : larutan NaOH sebagai pH adjuster dan Aqua pro Injection bebas O2 sebagai pelarut. Pada pembuatan injeksi dilakukan perhitungan isotonis dan prosedur kerjanya menggunakan cara Intermediate ad (IAD) yaitu suatu cara yang melibatkan pengukuran volume sebanyak 2x pada tahap pembuatan. Pada praktikum kali ini, kami akan membuat 20 ml larutan injeksi, maka sejumlah 10 ml digunakan intermediate ad dan sisa 10 ml digunakan untuk membilas wadah, yang kemudian kedua volume disatukan pada tahap akhir. Vitamin C mudah teroksidasi oleh cahaya dan oksigen, maka digunakan wadah berupa ampul yang gelap. Tetapi Ampul yang tersedia di laboratorium steril hanya ampul bening, sehingga digunakan ampul bening (di dispensasi). Asam askorbat dalam larutan sangat stabil pada pH 5-6,5 oleh karena itu perlu ditambahkan NaOH untuk mengatur pH. NaOH yang digunakan dalam bentuk padatan. Penambahan dilakukan sebelum larutan di ad kan. Tetapi dalam praktikum pembuatannya, NaOH yang sudah ditimbang sesuai resep tidak semuanya digunakan, karena NaOH yang digunakan hanya sebagai adjuster. Namun pH yang didapat sebesar 11 yang melebihi dari pH seharusnya, yaitu 5-6,5. Setelah larutan di ad kan maka dapat langsung dipindahkan dari dalam elenmeyer ke dalam ampul dengan menggunakan jarum spuit, dengan melebihkan sedikit volumenya dari yang tertera pada etiket yaitu 1 ml sehingga menjadi 1,1 ml /per ampul. Sebelum penutupan ampul, seharusnya dialirkan gas inert seperti karbondioksida atau nitrogen ke atas permukaan. Ini dimaksudkan untuk mencegah interaksi asam askorbat dengan oksigen yang dapat menimbulkan reaksi oksidasi. Tetapi ini tidak dilakukan karena ketidak
tersedianya bahan. Penutupan ampul pada sediaan ini tidak dilakukan karena bunsen yang ada di laboratorium rusak. Oleh karena itu, diberikan dispensasi pada dua perlakuan ini. Kemudian kami melakukan evaluasi terhadap sediaan injeksi vitamin C yang diperoleh dan di dapatkan data sebagai berikut : 1. Penampilan Larutan berwarna kuning bening, homogen, karena tidak ada partikel yang melayang. 2. Kadar pH Vitamin C dalam larutan sangat stabil pada pH 6-6,5. Pengujian dilakukan dengan menggunakan kertas indicator universal didapatkan pH = 11. Hal ini dikarenakan kami menambahkan NaOH sebagai adjuster pH terlalu bnyak, karena yang digunakan NaOH dalam bentuk padatan. 3. Kebocoran Uji kebocoran tidak kami lakukan karena ampul tidak ditutup.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan • Formula injeksi vitamin C yang kami buat R/ Asam askorbat 100 mg NaOH 100 mg API ad 1 ml • Sterilisasi sediaan injeksi vitamin C dilakukan secara aseptis, karena vitamin C stabil pada suhu pemanasan 98-100oC, sehingga dikhawatirkan masih ada mikroba di dalam sediaan tersebut. • Sediaan injeksi vitamin C yang dibuat tidak stabil, karena pH yang didapat sebesar 11. • Sediaan injeksi vitamin C yang dihasilkan homogen, karena tidak ada partikel yang melayang. B. Saran Dalam penyusunan praformulasi injeksi kita harus memperhatikan kecocokan antara bahan aktif dan zat-zat tambahan. Serta sifat dari bahan aktif tersebut dapat memberikan petunjuk untuk jenis sterilisasi yang akan digunakan dan perlakuan selama proses pembuatan. Pengecekan pH sebaiknya dilakukan pada saat volume sediaan mendekati jumlah volume yang dibuat. Sebelum memulai praktikum, terlebih dahulu membuat API dan menyiapkan oven dan autoklaf untuk proses sterilisasi agar bisa langsung digunakan, sehingga tidak memakan waktu yang lama.
DAFTAR PUSTAKA Sulistiawati, Farida dan Suryani Nelly. 2009. Formulasi Sediaan Steril. Jakarta : Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah. Farmakope Indonesia Edisi ketiga. 1979. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Farmakope Indonesia Edisi keempat. 1995. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Formularium Nasional Edisi Kedua. 1978. Departemen Kesehatan Repiblik Indonesia. Wade, Ainley and Paul J.Weller. 1994. Handbook of Pharmaceutical Excipients, second edition. London : The Pharmaceutical Press Direction of the Council of The Pharmaceutical Society of Great Britain. 1982. Martindale The Extra Pharmacopoeia Twenty eight Edition. London : The Pharmaceutical Press. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UI. 1995. Farmakologi dan Terapi, edisi empat. Jakarta : Gaya Baru. Lukas, Stefanus. 2006. Formulasi Steril. Yogyakarta : Andi Yogyakarta. Anief, Moh. 2005. Farmaseutika. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press