BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dunia Bisnis hidup di tengah-tengah masyarakat. Kehidupannya tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu ada suatu tanggung jawab sosial yang dipikul oleh bisnis. Banyak kritik dilancarkan oleh masyarakat terhadap bisnis yang kurang memperhatikan lingkungan. Dalam dekade terakhir ini diributkan adanya pergeseran dalam etika bisnis, yang dikatakan makin merosot. Merosotnya rasa solidaritas, tanggung jawab sosial dan tingkat kejujuran di kalangan kelompok bisnis merupakan gejala yang makin parah, permainan cek kosong, utang tidak dibayar, merupakan gejala umum, dan meruntuhkan teori-teori tentang solidaritas, baik solidaritas finansial, komersial, dan moral.
Dalam dunia bisnis semua orang tidak mengharapkan memperoleh perlakuan tidak jujur dari sesamanya. Praktek manipulasi tidak akan terjadi jika dilandasi dengan moral tinggi. Moral dan tingkat kejujuran rendah akan menghancurkan tata nilai etika bisnis itu sendiri. Masalahnya ialah tidak ada hukuman yang tegas terhadap pelanggaran etika tersebut, karena nilai hanya ada dalam hati nurani seseorang.
Orang-orang bisnis diharapkan bertindak secara etis dalam berbagai aktivitasnya dalam masyarakat. Harus ada etik dalam menggunakan sumber daya yang terbatas di masyarakat dan apa akibat dari pemakaian sumber daya tersebut, apa akibat dari proses produksi yang ia lakukan.
Sumber daya alam ini dapat bersifat menguntungkan dan merugikan. Jika sumber daya alam ini disalahgunakan, maka sumber daya alam akan berakibat fatal dan merugikan segala pihak, dan sebaliknya. Dan ini terjadi pada bencana Lumpur Lapindo Brantas Sidoarjo-Jawa Timur. Sumber daya alam (minyak bumi dan gas) yang terjadi pada kasus lumpur Lapindo Brantas Sidoarjo ini bersifat merugikan yang dikarenakan adanya kesalahan prosedur saat pengeboran gas dan minyak bumi. Lumpur Lapindo ini dapat mengakibatkan pengaruh yang berakibat fatal pada lingkungan dan masyarakat sekitar. Dampak terjadinya lumpur Lapindo Brantas Sidoarjo-Jawa Timur ini mengakibatkan segala aktivitas – aktivitas baik industri, pabrik, fasilitas-fasilitas umum dan sosial, dan lain-lain pada daerah lingkupan lumpur lapindo tersendat atau terhenti.
Dalam hal ini pemerintah tidak dapat bertindak kecuali melakukan suatu tinjauan untuk dapat memberikan intruksi atau perintah kepada pihak yang bertanggung jawab agar lumpur lapindo brantas dapat diberhentikan. Jaminan atau janji pemerintah dan pihak penanggung jawab dengan korban lumpur lapindo mengenai ganti rugi dimana lahan yang telah terlewati dengan lumpur lapindo brantas masih kurang memadai dalam segi kesejahteraan baik tempat tinggal, tempat ibadah, gedung-gedung, sekolah atau pendidikan, pabrik-pabrik atau fasilitas-fasilitas umum dan sosial lainnya yang masih belum terlihat mensejahterakan korban lumpur Lapindo Brantas Sidoarjo sampai sekarang.
Rumusan Masalah
Apa contoh pelanggaran etika bisnis dan tanggung jawab?
Bagaimana ulasan kasus dan dampak yang ditimbulkan?
Bagaimana ulasan kasus etika bisnis dan tanggung jawab sosial dilihat dari sisi etika bisnis?
Tujuan
Mengetahui contoh kasus etika bisnis dan tanggung jawab sosial
Memahami ulasan kasus dan mengetahui dampak yang ditimbulkan akibat kasus etika bisnis dan tanggung jawab sosial
Memahami ulasan kasus dari sisi etika bisnis dan tanggung jawab sosial
Manfaat Penulisan
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan contoh studi kasus etika bisnis dan tanggung jawab sosial agar mahasiswa dapat lebih memahami materi yang telah dipelajari.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial
Tanggung Jawab Sosial Suatu Bisnis
Tanggung jawab sosial suatu bisnis adalah suatu tanggung jawab yang harus di lakukan dalam suatu lingkungan perusahaan bisnis agar adanya solidaritas yang tinggi dalam bernisnis. Proses produksi seringkali menyebabkan benturan kepentingan (masyarakat dengan perusahaan). Terjadi pada berbagai tingkat perusahaan (besar, menengah dengan perusahaan). Benturan ini terjadi kerap kli karena perusahaan menimbulkan polusi (udara, air, limbah, suara bahkan mental kejiwaan).
Etika Bisnis
Etika adalah suatu cabang yang dari filosofi yang berkaitan dengan kebaikan (rightness) atau moralitas (kesusilaan) dari perilaku manusia. Etika dapat diartikan sebagai aturan aturan yang tidak dapat dilanggar dari perilaku yang diterima masyarakat sebagai baik atau buruk. Etika bisnis adalah standar – standar nilai yang menjadi pedoman atau acuan manajer dan segenap karyawan dalam pengambilan keputusan dan mengoperasikan bisnis yang etik. Paradigma etika dan bisnis merupakan dunia yang berbeda dimana saatnya para pelaku bisnis merubahnya menjadi sinergi antara etika dengan laba. Dimana reputasi perusahaan yang baik dan dilandasi oleh etika bisnis merupakan competitive adventage bagi para pelaku bisnis.
Etika bisnis merupakan penerapan secara langsung tanggung jawab social suatu bisnis yang timbul dari dalam perusahaan itu sendiri. Etika pergaulan dalam melaksakan bisnis disebut etika pergaulan bisnis.
Hubungan dengan Konsumen
Hubungan antara bisnis dengan langganan/kosumen merupakan pergaulan antara konsumen dengan produsen dan paling banyak ditemui. Berikut beberapa contohnya :
Kemasan yang berbeda-beda menyulitkan kosumen untuk membandingkan harga terhadap produk.
Kemasan membuat konsumen tidak dapat mengetahui isi didalamnya, sehingga diperlukan penjelasan tentang isi serta kandungan yang terdapat dalam produk tersebut.
Promosi, terutama iklan merupakan gangguan etis tang paling utama.
Pemberian servis dan garansi sebagai bagian dari layanan purna jurnal.
Hubungan dengan Karyawan
Bentuk hubungan ini meliputi : penerimaan (recruitmen), latihan (training), promosi, transfer, demosi maupun pemberhenti (termination). Dimana semua bentuk hubungan tersebut harus dijalan secara objektif dan jujur. Hubungan antara bisnis Pemberian informasi hubungan yang terjadi diantara perusahhan, baik perusahaan kolega, pesaing, penyalur, grosir maupun distributornya.
Hubungan dengan Investor
Pemberian informasi yang benar terhadap investor maupu calon investor merupakan bentuk hubungan ini. Sehingga dapat menghimdari pengambilan keputusan yang keliru.
Hubungan dengan Lembaga-Lembaga Keuangan
Terutama jawatan pajak pada umumnya merupakan hubungan yang bersifat financial, berkaitan dengan penyusunan laporan keuangan. Pelaksanaan tanggung jawab social merupakan penerapan dan pelaksanaan kepedulian bisnis terhadap lingkungan serta mengikuti etika bisnis. Penerapan etika bisnis adalah maksud dari konsep stakcholder yang berlawan dengan konsep stockholder.
2.2 Masalah Polusi
Polusi yang timbulkan oleh kegiatan proses produksi karena akibat asap, ampas atau zat kimia yang dihasilkan oleh pabrik dibuang ke alam terbuka dapat mengancam kehidupan umat manusia. Polusi berupa polusi udara, pencemaran udara di kota besar disebabkan oleh asap knalpot mobil dan asap pabrik. Polusi air disebabkan oleh buangan pabrik yang menyebabkan air berubah warna, dan berbau tidak enak mengandung racun mematikan ikan dan sebagainya.
Polusi suara berupa bising gemuruh sepanjang siang dan malam, dari mesin pabrik, kendaraan pesawat udara menyebabkan orang tidak bisa istirahat.
Polusi tanah karena pembuangan zat-zat kimia mencemarkan lingkungan . Penebangan hutan yang berakibat gundulnya huta, erosi, banjir, pengikisan tanah, sehingga tanah berubah menjadi padang pasir, kering tanpa tumbuh-tumbuhan.
Sudah lama bumi kita memasuki tahap krisis lingkungan yang terus menerus malaju. Pada tahun 1970-an manusia dicemaskan oleh meluasnya gurun, penggundulan hutan, dan kurangnya tingkat kesuburan tanah. Pada tahun1980-an daftar kecemasan itu bertambah panjang dengan limbah beracun , polusi melewati ambang batas, hujan asam, lubang ozon, kecelakaan dan kebocoran reaktor nuklir, dan pembuangan ampas nuklir, serta pemanasan global. Daftar kecemasan diatas memang sangat membahayakan akibatnya seperti hujan asam akan mematikan manusia dan tanaman sendiri., mengeringkan tanah, lubang ozon menyebabkan sinar ultra violet matahari langsung menembus permukaaan bumi tanpa ada filter udara, pemanasan global menyebabkan bumi makin panas, gunung es di kutub mencair, permukaan laut makin tinggi, pantai-pantai terendam dan mengancam kota-kota yang terletak di pinggir pantai.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kasus Lumpur Lapindo
Banjir Lumpur Panas Sidoarjo atau Lumpur Lapindo, merupakan peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc di Dusun Balongnongo Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak 29 Mei 2006. Lokasi semburan lumpur ini berada di Porong, yakni kecamatan di bagian selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 km sebelah selatan kota Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Gempol (kabupaten Pasuruan) di sebelah selatan. Lokasi pusat semburan hanya berjarak 150 meter dari sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas Inc sebagai operator blok Brantas.
Lokasi semburan lumpur tersebut merupakan kawasan pemukiman dan di sekitarnya merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari lokasi semburan terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-Malang dan Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur), serta jalur kereta api lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi, Indonesia. Lumpur juga berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Kandungan logam berat (Hg), misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg, padahal baku mutunya hanya 0,002 mg/liter Hg. Hal ini menyebabkan infeksi saluran pernapasan, iritasi kulit dan kanker. Kandungan fenol bisa menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantung berdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal.
Perusahaan terkesan lebih mengutamakan penyelamatan asset-asetnya daripada mengatasi masalah lingkungan dan sosial yang ditimbulkan. Namun Lapindo Brantas akhirnya sepakat untuk membayarkan tuntutan ganti rugi kepada warga korban banjir Lumpur Porong, Sidoarjo. Lapindo akan membayar Rp2,5 juta per meter persegi untuk tanah pekarangan beserta bangunan rumah, dan Rp120.000 per meter persegi untuk sawah yang terendam lumpur.
Selain perusakan lingkungan dan gangguan kesehatan, dampak sosial banjir lumpur tidak bisa dipandang remeh. Setelah lebih dari 100 hari tidak menunjukkan perbaikan kondisi, baik menyangkut kepedulian pemerintah, terganggunya pendidikan dan sumber penghasilan, ketidakpastian penyelesaian, dan tekanan psikis yang bertubi-tubi, krisis sosial mulai mengemuka.
3.2 Ulasan Kasus
Kronologi Terjadinya Luapan Lumpur
Sebenarnya ada beberapa hal yang diduga sebagai penyebab terjadinya luapan lumpur lapindo, seperti kaitannya dengan gempa Yogyakarta yang berlangsung pada hari yang sama, aspek politik yaitu eksplorasi migas oleh pemerintah, dan aspek ekonomis yaitu untuk menghemat dana pengeluaran, maka PT Lapindo sengaja tidak memask selubung bor (casing) pada sumur BPJ-1.
Salah satu dari ketiga perkiraan yang sudah umum diketahui banyak orang tentang penyebab meluapnya lumpur lapindo di Porong Sidoarjo 29 Mei 2006 lalu adalah PT Lapindo Brantas yang waktu itu sedang melakukan kegiatan di dekat lokasi semburan.
Kegiatan yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas waktu iu adalah pengeboran sumur Banjar Panji-1 (BPJ-1) pada awal maret 2006, kegiatan tersebut bekerjasama dengan perusahaan kontraktor pengeboran yaitu PT Medici Citran Nusantara.
Dugaan atas meluapnya lumpur tersebut kepada PT Lapindo Brantas adalah kurang telitinya PT Lapindo dalam melakukan pengeboran sumur dan terlalu menyepelekan. Dua hal tersebut sudah tampak ketika rancangan pengeboran akhirnya tidak sesuai dengan yang ada dilapangan. Rancangan pengeboran adalah sumur akan dibor dengan kedalaman 8500 kaki (2590 meter) untuk bisa mencapai batu gamping. Lalu sumur tersebut dipasang casing yang bervariasi sesuai dengan kedalaman sebelum mencapai batu gamping.
Awalnya, PT Lapindo sudah memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, 20 inchi pada 1195 kaki, 16 inchi pada 2385 kaki dan 13-3/8 inchi pada 3580 kaki. Namun setelah PT Lapindo mengebor lebih dalam lagi, mereka lupa memasang casing. Mereka berencana akan memasang casing lagi setelah mencapai/menyentuh titik batu gamping. Selama pengeboran tersebut, lumpur yang bertekanan tinggi sudah mulai menerobos (blow out), akan tetapi PT Lapindo masih bisa mengatasi dengan pompa lumpur dari PT Medici.
Dan setelah kedalam 9297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping. PT Lapindo mengira target sudah tercapai, namun sebenarnya mereka hanya menyentuh titik batu gamping saja. Titik batu gamping itu banyak lubang sehingga mengakibatkan lumpur yang digunakan untuk melawan lumpur dari bawah sudah habis, lalu PT Lapindo berusaha menarik bor, tetapi gagal, akhirnya bor dipotong dan operasi pengeboran dihentikan serta perangkap BOP (Blow Out Proventer) ditutup. Namun fluida yang bertekanan tinggi sudah terlanjur naik ke atas sehingga fluida tersebut harus mencari jalan lain untuk bisa keluar. Itu lah yang menyebabkan penyemburan tidak hanya terjadi di sekitar sumur melainkan di beberapa tempat. Oleh karena itu terjadilah semburan lumpur lapindo.
Usaha Menghentikan Semburan Lumpur
Mengenai luapan lumpur lapindo beberapa pihak ada yang mengatakan luapan lumpur ini bisa dihentikan, dengan beberapa skenario dibawah ini, namun asumsi luapan bisa dihentikan sampai tahun 2009 tidak berhasil sama sekali, yang mengartikan luapan ini adalah fenomena alam.
Skenario pertama menghentikan luapan lumpur panas lapindo dengan menggunakan Snubbing Unit. Snubbing unit adalah usaha untuk menemukan rangkaian mata bor yang dulunya digunakan untuk mengebor sumur yang sekarang mengeluarkan lumpur panas. Lalu rangkaian mata bor dapat ditemukan pada kedalaman 2991 kaki, dan sudah dicoba untuk memasukkan material-material yang kiranya dapat mendorong rangkaian mata bor ke dasar sumur (9297 kaki) untuk menutup sumur yg mengeluarkan lumpur panas. Namun, cara ini sia-sia saja. Snubbing Unit gagal mendorong mata bor tersebut sampai ke dasar sumur.
Skenario kedua, menghentikan luapan lumpur panas lapindo dengan cara melakukan pengeboran miring (sidetracking) untuk menghindari mata bor yang tertinggal di dalam sumur. Proses pengeboran dilakukan dengan menggunakan Ring milik PT Pertamina (persero). Ternyata cara ini juga belum bisa mengatasi bencana lumpur panas lapindo. Cara ini juga gagal karena telah ditemukan terjadinya kerusakan selubung di beberapa kedalaman antara 1.060-1.500 kaki, serta terjadinya pergerakan lateral di lokasi pemboran BJP-1. Kondisi itu mempersulit pelaksanaan sidetracking. Selain itu muncul gelembung-gelembung gas bumi di lokasi pemboran yang dikhawatirkan membahayakan keselamatan pekerja, ketinggian tanggul di sekitar lokasi pemboran telah lebih dari 15 meter dari permukaan tanah sehingga tidak layak untuk ditinggikan lagi. Oleh karena itu, PT.Lapindo melaksanakan penutupan secara permanen sumur BIP-1.
Skenario ketiga menghentikan lumpur panas lapindo dengan cara pemadaman lumpur, dengan membuat 3 sumur baru (relief well). Tiga lokasi yang dijadikan : Pertama, sekitar 500 meter barat daya Sumur Banjar Panji-1. Kedua, sekitar 500 meter barat barat laut sumur Banjar Panji 1. Ketiga, sekitar utara timur laut dari Sumur Banjar Panji-1. Sampai saat ini, cara ini masih diusahakan, semoga saja cara ini dapat membuahkan hasil.
Pada 9 September 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani surat keputusan pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo, yaitu Keppres Nomor 13 Tahun 2006. Dalam Keppres itu disebutkan, tim dibentuk untuk menyelamatkan penduduk di sekitar lokasi bencana, menjaga infrastruktur dasar, dan menyelesaikan masalah semburan lumpur dengan risiko lingkungan paling kecil. Tim dipimpin Basuki Hadi Muljono, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjaan Umum, dengan tim pengarah sejumlah menteri, diberi mandat selama enam bulan. Seluruh biaya untuk pelaksanaan tugas tim nasional ini dibebankan pada PT Lapindo Brantas.
Namun upaya Timnas yang didukung oleh Rudy Rubiandini ternyata gagal total walaupun telah menelan biaya 900 milyar rupiah. Rapat Kabinet pada 27 September 2006 akhirnya memutuskan untuk membuang lumpur panas Sidoardjo langsung ke Kali Porong. Keputusan itu dilakukan karena terjadinya peningkatan volume semburan lumpur dari 50,000 meter kubik per hari menjadi 126,000 meter kubik per hari, untuk memberikan tambahan waktu untuk mengupayakan penghentian semburan lumpur tersebut dan sekaligus mempersiapkan alternatif penanganan yang lain, seperti pembentukan lahan basah (rawa) baru di kawasan pantai Kabupaten Sidoardjo.
Banyak pihak menolak rencana pembuangan ke laut ini, diantaranya Walhi dan ITS. Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI, 5 September 2006, menyatakan luapan lumpur Lapindo mengakibatkan produksi tambak pada lahan seluas 989 hektar di dua kecamatan mengalami kegagalan panen. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) memperkirakan kerugian akibat luapan lumpur pada budidaya tambak di kecamatan Tanggulangin dan Porong Sidoarjo, Jawa Timur, mencapai Rp10,9 miliar per tahun. Dan rencana pembuangan lumpur yang dilakukan dengan cara mengalirkannya ke laut melalui Sungai Porong, bisa mengakibatkan dampak yang semakin meluas yakni sebagian besar tambak di sepanjang pesisir Sidoarjo dan daerah kabupaten lain di sekitarnya, karena lumpur yang sampai di pantai akan terbawa aliran transpor sedimen sepanjang pantai. Dampak lumpur itu bakal memperburuk kerusakan ekosistem Sungai Porong. Ketika masuk ke laut, lumpur otomatis mencemari Selat Madura dan sekitarnya. Areal tambak seluas 1.600 hektare di pesisir Sidoarjo akan terpengaruh.
Dampak Luapan Lumpur Lapindo
Semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Luapan lumpur terjadi pertama kali pada 2006 hingga kini telah memaksa sekitar 60 ribu orang mengungsi. Tidak hanya itu, masih banyak dampak lain yang timbul akibat bencana ini, diantaranya adalah :
Lumpur menggenangi 16 desa di tiga kecamatan. Semula hanya menggenangi empat desa dengan ketinggian sekitar 6 meter, yang membuat dievakuasinya warga setempat untuk diungsikan serta rusaknya areal pertanian. Luapan lumpur ini juga menggenangi sarana pendidikan dan Markas Koramil Porong. Hingga bulan Ahustus 2006, luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak 25.000 jiwa mengungsi. Karena tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur.
Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur hingga Agustus 2006 antara lain: lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan Kedungcangkring; lahan padi seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon; serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang.
Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini.
Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak bekerja.
Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong, serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon)
Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak sebanyak 1.683 unit. Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480, Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7 sekolah negeri), kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan musala 15 unit.
Kerusakan lingkungan terhadap wilayah yang tergenangi, termasuk areal persawahan
Pihak Lapindo melalui Imam P. Agustino, Gene-ral Manager PT Lapindo Brantas, mengaku telah menyisihkan US$ 70 juta (sekitar Rp 665 miliar) untuk dana darurat penanggulangan lumpur.
Akibat amblesnya permukaan tanah di sekitar semburan lumpur, pipa air milik PDAM Surabaya patah.
Meledaknya pipa gas milik Pertamina akibat penurunan tanah karena tekanan lumpur dan sekitar 2,5 kilometer pipa gas terendam.
Ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol hingga waktu yang tidak ditentukan, dan mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur alternatif, yaitu melalui Sidoarjo-Mojosari-Porong dan jalur Waru-tol-Porong. Penutupan ruas jalan tol ini juga menyebabkan terganggunya jalur transportasi Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi serta kota-kota lain di bagian timur pulau Jawa. Ini berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.
Tak kurang 600 hektar lahan terendam.
Sebuah SUTET milik PT PLN dan seluruh jaringan telepon dan listrik di empat desa serta satu jembatan di Jalan Raya Porong tak dapat difungsikan.
Berubahnya suhu udara yang semakin panas, yang bercampur bau lumpur.
Mayoritas warga sekitar lumpur kini begitu akrab dengan sesak nafas dan batuk. Sekalipun belum ada korban meninggal akibat ISPA, namun batuk 'jamaah' yang diidap warga sulit untuk disebut wajar.
Pencemaran air di kawasan sekitar bencana yang menyebabkan air menjadi tidak layak lagi dikonsumsi. Akibatnya warga terpaksa membeli air bersih dari sumber mata air Prigen yang dijual perusahaan pengangkut air dengan harga Rp. 1500 per curigen (25 liter).
Pengangguran massal yang mengancam masa depan warga.
Sejumlah warga merelakan anaknya tidak sekolah akibat sulitnya mendapatkan pekerjaan baru. Tingkat pendidikan rendah menjadi penghalang selanjutnya. Sayangnya disituasi rumit ini warga tak disiapkan pekerjaan oleh Lapindo Berantas, dan nyaris di campakkan pemerintahan yang berkuasa.
Penyebab Terjadinya Bencana Menurut Para Ahli
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ilmuwan dari berbagai negara menyimpulkan bahwa luapan lumpur adalah akibat dari proses pengeboran eksplorasi gas yang dilakukan PT. Lapindo Brantas. Tim yang dipimpin oleh Richard Davies dari Universitas Durham, Inggris, itu menyatakan, data yang dirilis Lapindo yang menjadi dasar bukti baru timnya bahwa pengeboran menyebabkan luapan lumpur.
"Kami menemukan laporan harian salah satu titik pengeboran yang menyatakan Lapindo sempat memompakan kembali lumpur galiannya untuk menghentikan luapan lumpur. Upaya itu menunjukkan beberapa keberhasilan dan membuat luapan lumpur melambat," ujar Davies. Dari data tersebut Davies dan timnya menemukan bukti baru.
"Fakta bahwa luapan lumpur melambat menjadi bukti bahwa lubang pengeboran memang terhubung dengan sumber luapan lumpur," ungkap Davies.
Hal ini diperkuat oleh ungkapan anggota tim asal Universitas Curtin, Australia, Mark Tingay, yang menyatakan bahwa luapan lumpur diakibatkan oleh gempa bumi adalah tidak masuk akal.
"Gempa bumi yang mereka (pihak Lapindo) klaim sebagai penyebab utama luapan lumpur hanya memiliki dampak sepele. Alasannya, gempa bumi terjadi di Yogyakarta dua hari sebelum lumpur meluap, dan jauh dari lokasi luapan lumpur, yakni sekitar 250 km di sebelah barat daya titik luapan," ujar Tingay. Dan melalui serangkaian konferensi internasional yang diselenggarakan oleh pihak yang netral, diperoleh hasil akhir bahwa kesalahan operasi Lapindo dianggap para ahli sebagai penyebab semburan Lumpur panas di Sidoarjo.
Akan tetapi pihak Lapindo dan beberapa geolog menganggap bahwa semburan Lumpur diakibatkan oleh gempa bumi Yogyakarta yang terjadi dua hari sebelum Lumpur menyembur pada tanggal 29 Mei 2006.
Sementara sebagian ahli menganggap bahwa hal itu tidak mungkin karena jarak yang terlalu jauh dan skala gempa yang terlalu kecil. Mereka, melalui berbagai penerbitan di jurnal ilmiah yang sangat kredibel, justru menganggap dan menemukan fakta bahwa penyebab semburan adalah kesalahan operasi yang dilakukan oleh Lapindo. Lapindo telah lalai memasang casing, dan gagal menutup lubang sumur ketika terjadi loss dan kick, sehingga Lumpur akhirnya menyembur. (Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka "belum" memasang casing 9-5/8 inchi)
Puluhan ahli datang dari seluruh penjuru dunia membahas enam makalah tentang masalah Lapindo yang dipaparkan oleh para presenter, baik dari pihak Lapindo maupun para pakar independen. Dan karena para ahli yang berada di pihak Lapindo tetap berkeras dengan pendirian mereka, untuk memperoleh kepastian pendapat dari para ahli dunia tersebut dengan cara voting, menggunakan metoda langsung angkat tangan. Hasilnya, tidak diragukan lagi bahwa sebagian besar peserta yang hadir berpendapat bahwa penyebab semburan adalah karena pengeboran yang disebabkan oleh Lapindo.
Hasil konferensi ini mestinya cukup untuk meyakinkan publik, pemerintah, dan penegak hukum di Indonesia bahwa Lapindo merupakan pihak yang harus bertanggung jawab dalam Bencana ini. Kesimpulan ini juga diharapkan bisa segera menghentikan berbagai upaya Lapindo untuk menghindar dari kewajiban, serta segera memenuhi hak dari korban Lumpur.
Para tersangka dijerat Pasal 187 dan Pasal 188 KUHP dan UU No 23/1997 Pasal 41 ayat 1 dan Pasal 42 tentang pencemaran lingkungan, dengan ancaman hukum 12 tahun penjara. "Otomatis UU pencemaran lingkungan hidup ini sudah termasuk kejahatan korporasi karena merusak lingkungan hidup," kata Wakil Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Anton Bachrul Alam yang sejak tahun 2009 menjadi Kapolda Jawa Timur.
Pemerintah dianggap tidak serius menangani kasus luapan lumpur panas ini. Masyarakat adalah korban yang paling dirugikan, di mana mereka harus mengungsi dan kehilangan mata pencaharian tanpa adanya kompensasi yang layak. Pemerintah hanya membebankan kepada Lapindo pembelian lahan bersertifikat dengan harga berlipat-lipat dari harga NJOP yang rata-rata harga tanah dibawah Rp. 100 ribu- dibeli oleh Lapindo sebesar Rp 1 juta dan bangunan Rp 1,5 juta masing-masing permeter persegi. untuk 4 desa (Kedung Bendo, Renokenongo, Siring, dan jatirejo) sementara desa-desa lainnya ditanggung APBN, juga penanganan infrastruktur yang rusak.Hal ini dianggap wajar karena banyak media hanya menuliskan data yang tidak akurat tentang penyebab semburan lumpur ini.
Salah satu pihak yang paling mengecam penanganan bencana lumpur Lapindo adalah aktivis lingkungan hidup. Selain mengecam lambatnya pemerintah dalam menangani lumpur, mereka juga menganggap aneka solusi yang ditawarkan pemerintah dalam menangani lumpur akan melahirkan masalah baru, salah satunya adalah soal wacana bahwa lumpur akan dibuang ke laut karena tindakan tersebut justru berpotensi merusak lingkungan sekitar muara.
PT Lapindo Brantas Inc sendiri lebih sering mengingkari perjanjian-perjanjian yang telah disepakati bersama dengan korban.Menurut sebagian media, padahal kenyataannya dari 12.883 buah dokumen Mei 2009 hanya tinggal 400 buah dokumen yang belum dibayarkan karena status tanah yang belum jelas. Namun para warga korban banyak yang menerangkan kepada Komnas HAM dalam penyelidikannya bahwa para korban sudah diminta menandatangani kuitansi lunas oleh Minarak Lapindo Jaya, padahal pembayarannya diangsur belum lunas hingga sekarang. Dalam keterangannya kepada DPRD Sidoarjo pada Oktober 2010 ini Andi Darusalam Tabusala mengakui bahwa dari sekitar 13.000 berkas baru sekitar 8.000 berkas yang diselesaikan kebanyakan dari korban yang berasal dari Perumtas Tanggulangin Sidoarjo. Hal ini menunjukkan bahwa banyak keterangan dan penjelasan yang masih simpang siur dan tidak jelas.
3.3 Ulasan dari Sisi Etika Bisnis
Dari Uraian kasus diatas diketahui bahwa kelalaian yang dilakukan PT. Lapindo Brantas merupakan penyabab utama meluapnya lumpur panas di Sidoarjo, akan tetapi pihak Lapindo malah berdalih dan enggan untuk bertanggung jawab. Jika dilihat dari sisi etika bisnis, apa yang dilakukan oleh PT. Lapindo Berantas jelas telah melanggar etika dalam berbisnis. Dimana PT. Lapindo Brantas telah melakukan eksploitasi yang berlebihan dan melakukan kelalaian hingga menyebabkan terjadinya bencana besar yang mengakibatkan kerusakan parah pada lingkungan dan sosial.
Eksploitasi besar-besaran yang dilakukan PT. Lapindo membuktikan bahwa PT. Lapindo rela menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan. Dan keengganan PT. Lapindo untuk bertanggung jawab membuktikan bahwa PT. Lapindo lebih memilih untuk melindungi aset-aset mereka daripada melakukan penyelamat dan perbaikan atas kerusakan lingkungan dan sosial yang mereka timbulkan.
Padahal baru-baru ini beberapa akademisi dan praktisi bisnis melihat adanya hubungan sinergis antara etika dan laba. Menurut mereka, justru di era kompetisi yang ketat ini, reputasi baik merupakan sebuah competitive advantage yang sulit ditiru.
Doug Lennick dan Fred Kiel, dalam bukunya yang berjudul Moral Intelligence, berargumen bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki pemimpin yang menerapkan standar etika dan moral yang tinggi terbukti lebih sukses dalam jangka panjang.
Hal yang sama juga dikemukakan miliuner Jon M. Huntsman, 2005 dalam bukunya yang berjudul Winners Never Cheat. Dimana ia mengatakan bahwa kunci utama kesuksesan adalah reputasinya sebagai pengusaha yang memegang teguh integritas dan kepercayaan pihak lain.
Tidak hanya itu, dalam sebuah studi selama dua tahun yang dilakukan The Performance Group, sebuah konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical, Industries, Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa pengembangan produk yang ramah lingkungan dan peningkatan environmental compliance bisa menaikkan EPS (earning per share) perusahaan, mendongkrak profitability, dan menjamin kemudahan dalam mendapatkan kontrak atau persetujuan investasi.
Di tahun 1999, jurnal Business and Society Review menulis bahwa 300 perusahaan besar yang terbukti melakukan komitmen dengan publik yang berlandaskan pada kode etik akan meningkatkan market value added hingga dua atau tiga kali lebih besar daripada perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa. Bukti lain, seperti riset yang dilakukan oleh DePaul University di tahun 1997 menemukan bahwa perusahaan yang merumuskan komitmen korporat mereka dalam menjalankan prinsip-prinsip etika memiliki kinerja finansial (berdasar penjualan tahunan/revenue) yang lebih bagus dari perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa.
Hal ini membuktikan bahwa etika berbisnis yang dipegang oleh suatu perusahaan akan sangat mempengaruhi kelangsungan suatu perusahaan. Dan segala macam bentuk pengabaian etika dalam berbisnis akan mengancam keamanan dan kelangsungan perusahaan itu sendiri, lingkungan sekitar, alam, dan sosial.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Hubungan bisnis antara PT. Lapindo Brantas dengan masyarakat jelas telah melanggar etika dalam berbisnis. Dimana PT. Lapindo Brantas telah melakukan eksploitasi yang berlebihan dan melakukan kelalaian hingga menyebabkan terjadinya bencana besar yang mengakibatkan kerusakan parah pada lingkungan dan sosial. Hubungan bisnis antara PT. Lapindo Brantas dengan masyarakat tidak sesuai dengan konsep dan persyaratan etika bisnis yaitu kontrak sosial perusahaan terhadap pembayaran ganti rugi atas tanah, rumah dan aktivitas usaha masyarakat yang tidak bias digunakan/di huni lagi.
Dalam mengatasi masalah lumpur panas yang melibatkan lingkungan, ekonomi dan bisnis sebaiknya PT. Lapindo melakukan sinergi antara pemerintah dan lembaga – lembaga terkait dalam mengasi masalah lingkungan yang diakibatkan oleh pengeboran PT. Lapindo Brantas. Untuk badan otorisasi pemerintah sebaiknya mengkaji lebih dalam manfaat dan resiko atas kegiatan yang melibatkan kepentingan lingkungan dan masyarakat luas.
DAFTAR PUSTAKA
Alma, Buchari. 2002. Pengantar Bisnis. Bandung: CV. Alfabeta.
http://prastaeltanin.blogspot.com/2012/01/pelanggaran-etika-bisnis-pt-lapindo.html
http://emilyaumil.blogspot.com/2013/12/tanggung-jawab-sosial-suatu-bisnis.html
http://madewismantara.blogspot.com/2012/11/makalah-lumpur-lapindo.html
https://www.academia.edu/4131544/MAKALAH_Etika_Binis_lapindo
http://wwwallaboutrossycom-rossy.blogspot.com/2012/05/usaha-usaha-pemerintah-dan-ptlapindo.html
http://www.bimbingan.org/awal-terjadinya-lumpur-lapindo.htm
12