Jurnal Hubungan Internasional | Vol. 5 | No. 2| Oktober 2012 | ISSN 1829-5088
JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL adalah jurnal ilmiah berkala yang diterbitkan oleh Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dua kali setahun pada bulan April dan November. Redaksi menerima naskah artikel laporan penelitian, artikel lepas, dan resensi buku yang sesuai dengan visi Jurnal. Naskah yang dikirim terdiri dari 15 sampai 25 halaman kwarto (A4) dengan spasi ganda. Naskah dilengkapi dengan biodata penulis. Ketua Penyunting Ade Marup Wirasenjaya, M.A Sekretaris Penyunting Faris Alfadh M.A Dewan Penyunting Tulus Warsito Bambang Cipto Ali Muhammad Takdir Ali Mukhti Ratih Herningtyas Sugito Sugeng Riyanto Mitra Bestari Linda Quayle (Universitas Melbourne Australia) Budi Winarno (Universitas Gadjah Mada) Alamat Redaksi Gedung E, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Ringroad Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, Tel. 0274-387656 Email:
[email protected]
Daftar isi Halaman 154 Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional dan Praktikal dalam Pemberlakuan Kuota Perempuan di Indonesia Nur Azizah; Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Halaman 172 Globalisasi dan Rezim Demokrasi Poliarki: Kebijakan Integrasi Ekonomi Indonesia Budi Winarno; Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL Universitas Gadjah Mada Halaman 189 The Threat of a Nuclear-Armed North Korea And The Possibility of Solutions Zain Maulana; School of International Studies Flinders University, Australia. Email:
[email protected] Halaman 198 Suku Kurdi dan Potensi Konflik di Timur Tengah Ahmad Sahide; Program Doktor Kajian Timur Tengah, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Halaman 208 From New Order to Reformasi: Indonesian Subnational Politics in the Post-New Order Era 1 Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff; School of History, Politics and Strategic Studies, Faculty of Social Sciences and Humanities, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Malaysia Halaman 226 Keadilan Global dan Norma Internasional Muhammad Faris Alfadh; Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Email:
[email protected] Halaman 237 ASEAN Moslem Community as Track-9 on Multitrack Diplomacy for The Conflict Resolution in Southeast Asia Region Tonny Dian Effendi; Department of International Relations, University of Muhammadiyah Malang Halaman 247 Tinjauan Intermestik dalam Mekanisme Kebijakan Perubahan Iklim Global (REDDUNFCCC): Persfektif Indonesia Apriwan; Andalas Institute of International and Strategic Studies (ASISST), Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, FISIP Universitas Andalas, Padang, Email:
[email protected]
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
II JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Halaman 258 China versus China: Contending Nationalisms in The Twenty First Century Asia Tulus Warsito; Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, School of International Studies, Universiti Utara Malaysia Halaman 273 Rezim Kerjasama Sosek Malindo Kaltim-Sabah: Mengukur Derajat Compliance Partisipan Perjanjian Sonny Sudiar; Program Studi Hubungan Internasional, FISIP Universitas Mulawarman Halaman 289 Sistem Pasca Westphalia, Interaksi Transnasional dan Paradiplomacy Takdir Ali Mukti; Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
[email protected] Halaman 302 The Arab Spring 2010: Puncak Gunung Es Krisis Politik di Kawasan Timur Tengah Sidik Jatmika; Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
III VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Pengantar redaksi Puji syukur ke hadirat Allah, edisi terbaru JHI akhirnya bisa terbit di hadapan para pembaca. Edisi kali ini menampilkan topik yang amat beragam, dari isu-isu kawasan yang sedang hangat di Asia Pasifik, ketegangan politik yang belum berujung di Timur Tengah, hingga geliat raksasa ekonomi baru dunia, China. Menarik juga untuk membaca gagasan kontributor lainnya tentang demokrasi di Indonesia serta implikasinya atas berbagai fenomena politik di tingkat lokal. Yang pasti, semua tinjauan dalam volume ini tetap memberi gambaran tentang makin beragam dan penuh warnanya kajian hubungan internasional kontemporer. Pembaca, Kami juga perlu menginformasikan bahwa mulai edisi ini, di jajaran mitra bestari telah bergabung Linda Quayle PhD dari Universitas Melbourne, Australia. Untuk beberapa bulan ke depan, beliau adalah pengajar di Program Internasional Jurusan HI UMYsebagai pengajar tamu. Kami berterima kasih atas kesediaan dan antusiasme beliau untuk terlibat dalam jurnal ini. Nama mitra bestari kami yang kedua adalah Prof Dr Budi Winarno dari UGM, Yogyakarta. Beliau bukan nama yang asing dan cukup produktif menulis, termasuk di beberapa edisi JHI. Kepada beliau kami juga menyampaikan terima kasih. Pembaca, Tidak mudah mencari tulisan kajian HI, ternyata. Ada banyak tulisan yang dikirimkan berulang-ulang oleh para penulis. Kami sungguh menghimbau agar para penulis mengirimkan satu naskah dan berkomunikasi dengan pengelola jurnal agar tidak menjajakan naskah yang sama. Keluhan pengelola jurnal HI di universitas lain rasanya senada. Semoga di masa-masa yang akan datang akan terbentuk semacam informasi tentang penerbitan karya ilmiah di kalangan penstudi HI tanah air. Selamat menikmati edisi ini. Salam hangat. Ade M Wirasenjaya Ketua penyunting
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
IV JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Pedoman Penulisan 1. Artikel yang ditulis untuk JHI meliputi hasil pemikiran dan hasil penelitian dalam lingkup ilmu hubungan internasional. Naskah diketik dengan huruf Times New Roman, ukuran 12 pts, dicetak pada kertas A4 sepanjang 12 sampai 20 halaman, dan diserahkan dalam bentuk prin-out sebanyak 2 eksemplar. Berkas (file) dibuat dengan Microsoft Word. Pengiriman file juga dapat dilakukan sebagai attachment email ke alamat
[email protected] 2. Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik dan ditempatkan di bawah jusul artikel. Jika penulis terdiri dari 4 orang atau lebih, yang dicantumkan di bawah judul artikel adalah nama penulis utama; nama penulis-penulis lainnya dicantumkan pada catatan kaki halaman pertama naskah. Bagi naskah yang ditulis oleh sebuah tim, penyunting hanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya tercantum pada urutan pertama. Penulis dianjurkan mencantumkan alamat email untuk memudahkan komunikasi. 3. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris dengan format esai, disertai judul pada masing-masing bagian artikel. Bagian pendahuluan disajikan tanpa judul bagian. Judul artikel dicetak dengan huruf besar di tengah-tengah, dengan poin 14. Peringkat judul bagian ditulis dengan jenis huruf yang berbeda (semua judul bagian dan sub-bagian dicetak tebal atau tebal dan miring) dan tidak menggunakan angka/nomor pada judul bagian; PERINGKAT 1 (HURUF BESAR SEMUA, TEBAL, RATA TEPI KIRI) Peringkat 2 (Huruf Besar Kecil, Tebal, Rata Tepi Kiri) Peringkat 3 (Huruf Besar Kecil, Tebal-Miring, Rata Tepi Kiri) 4. Sistematika artikel hasil pemikiran adalah: judul, nama penulis (tanpa gelar akademik); abstrak (maksimum 100 kata); kata kunci; pendahuluan (tanpa judul) yang berisi latar belakang dan tujuan atau ruang lingkup tulisan; bahasan utama (dapat dibagi ke dalam beberapa sub bagian); penutup atau kesimpulan; daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk). 5. Sistematika artikel hasil penelitian adalah: judul; nama penulis (tan agelar akademik); abstrak (maksimum 100 kata) yang berisi tujuan, metode dan hasil penelitian; kata kunci; pendahuluan (tanpa judul) yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka dan tujuan penelitian; metode; hasil;pembahasan; kesimpulan; daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk) 6. Sumber rujukan sedapat mungkin merupakan pustaka-pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan yang diutamakan adalah sumber-sumber primer berupa laporan ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
V VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
penelitian (termsuk skripsi, tesis, disertasi) atau artikel-artikel penelitian dalam jurnal dan/atau majalah ilmiah. 7. Perujukan dan pengutipan menggunakan teknik rujukan berkurung (nama, tahun). Pencantuman sumber pada kutipan langsung hendaknya disertai keterangan tentang nomor halaman tempat asal kutipan. Contoh: (Friedman, 2008: 85). 8. Dafrar Rujukan disusun dengan tata cara seperti contoh berikut dan diurutkan secara alfabetis dan kronologis.
Buku Kristol, Irving. 1983. Reflection of a Neoconcervative: Looking Back, Looking Ahead. New York: Free Press.
Buku kumpulan artikel Skinner, Kiron (ed).2003. Reagan: A Life in Letters.New York. Free Press.
Artikel dalam buku kumpulan artikel: Sutton, Frank. 2006. Nation-Building in US Foreign Relations. Dalam Francis Fukuyama (ed), Nation-Building: Beyond Afghanistan and Iraq. Baltimore: Jhon Hopkins University Press.
Artikel dalam jurnal atau majalah: Skocpol, Theda.1977. Wallerstein’s Capitalist World System and Historical Critique. The American Journal of Sociology, March, Vol.82, No.5.
Artikel dalam koran: Hiarej, Erik. 2 Nopember, 2008. Terorisme dan Individualisasi Perang. Kompas, hlm.6.
Tulisan/berita dalam koran (tanpa nama pengarang): Kompas. 14 November, 2008. Korea Utara Semakin Mengisolasi Diri, hlm.9
Dokumen resmi: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.1978. Pedoman Penulisan Laporan Penelitian. Jakarta: Depdikbud. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional.1990.Jakarta: PT Armas Duta Jaya.
Buku terjemahan: Soros, George.2000. Open Society: Reforming Global Capitalism. Terjemahan Sri Koesdiyantiyah.2007. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
VI JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Skripsi, Tesis, Disertasi, Laporan Penelitian: Sugito.2007. Analisis Terhadap Misi Peacebuilding United Nations Transition Administration In East Timor (UNTAET). Tesis tidak diterbitkan. Yogyakarta: Sekolah Pasca Sarjana UGM.
Makalah seminar, lokakarya, penataran: Garnaut, Ross. 2008. Indonesia and the World of Climate Change. Makalah disajikan dalam Panglaykim Memorial Lecture. CSIS, Jakarta, 17 Oktober.
Internet (karya individual) Ahmadi, Sidiq.2008. Tantangan ASEAN Pasca Agreement on Transboundary Haze Pollution. ( Online), (http://www.aseansec.org/pdf/agr_haze.pdf, diakses 12 November 2008).
Internet (artikel dalam jurnal online) Herningtyas, Ratih. 2007. Pengaruh Internet terhadap Demokrasi. Jurnal Ilmu Hubungan Internasional. (Online), Jilid 2, No.4, (http://www.umy.ac.id, diakses 1 Januari 2008)
Internet (bahan diskusi): Sabrina, Katy, 20 Desember 2008. CIFOS Discussion List, (Online), (
[email protected]., diakses 25 November 2008). Internet (email pribadi) Riyanto, Sugeng (
[email protected]). 5 Oktober 2008. Artikel untuk JHI. Email kepada Siti Muslihati (
[email protected]) 9. Tata cara penyajian kutipan, tabel dan gambar mengikuti ketentuan dalam Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Universitas Negeri Malang, 2000) atau mencontoh tata cara yang digunakan dalam artikel yang telah dimuat. Artikel berbahasa Indonesia menggunakan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (Depdikbud, 1987). Artikel berbahasa Inggris menggunakan ragam baku. 10. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh mitra bestari (reviewer) yang ditunjuk oleh penyunting menurut bidang kompetensinya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan naskah atas dasar rekomendasi/saran dari mitra bestari atau penyunting. Kepastian pemuatan dan penolakan naskah akan diberitahukan secara tertulis atau melalui surat elektronik (email).
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
VII VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional dan Praktikal dalam Pemberlakuan Kuota Perempuan di Indonesia Abstract Political reform in 1998 Indonesia brought an inclusive participation to all people. One of its significant outcomes was the establishment of women quota that tried to accommodate women’s aspirations in Indonesian democratic system, particularly in the parliament. This policy had been legalized in the constitution article 65 UU 12 2003 about General Election of the House of Representative which then finalized in 2008. However, this quota mechanism has many barriers in its implementation such as from Mahkamah Konstitusi that decided to change the instrument for elected candidate which based not on the consecutive number, so the quota system was complicated to put into practice. This article tries to explain why the performance of women quota was ineffective. To address the problems, analysis of this article based on feminist perspective with critical discourse of analysis (CDA). The study will be conducted on three levels namely normative level, institutional level, and practical level. Keywords: liberal democracy, women quota, participation, Indonesia
Pendahuluan
Nur Azizah Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Kuota telah diterima sebagai jalur cepat (fast track) untuk mewujudkan perimbangan gender dalam lembaga-lembaga pembuatan keputusan. Penggunaan strategi kuota telah mampu meningkatkan keterwakilan perempuan hingga 56,3% di Rwanda (2008), 45% di Swedia (2010), 44,5% di Africa Selatan (2009), 38,5 di Argentina (2008) (Women in National Parliament, http://www.ipu.org). Meski kontroversial, kini sudah lebih dari 100 negara mengadopsi strategi ini. Pada tahun 2003 para aktivis perempuan Indonesia berhasil memperjuangkan adanya aturan tentang kuota perempuan dalam Undang-undang no 12/2003 tentang Pemilu dan diperbaiki dalam UU 10/2008. Namun pemberlakuan ketentuan kuota tersebut menemui banyak hambatan, diantaranya ialah keputusan Mahkamah Konstitusi untuk mengubah ketentuan calon terpilih bukan berdasar nomer ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
154 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional dan Praktikal dalam Pemberlakuan Kuota Perempuan di Indonesia
urut sehingga praktis ketentuan kuota sulit dilaksanakan. Penelitian ini ingin menjelaskan mengapa pemberlakuan kebijakan kuota perempuan di Indonesia terhambat. Tulisan ini menggunakan pendekatan kritis, metode analisa wacana kritis dan berperspektif feminis. Kajian politik feminist selalu didorong oleh keinginan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan politik yang dihadapi perempuan (Krooka and Squires, 2006). Penggunaan analisa wacana kritis (Critical Discourse of Analysis-CDA) disebabkan karena pendekatan ini dapat membantu menyingkap tabir-tabir terselubung yang ada dibalik realita sosial. Melalui CDA, peneliti berusaha mengungkap ideologi dan kepentingan politik yang berada di balik argumen-argumen yang menentang kuota perempuan. Ciri khas pendekatan kritis adalah curiga dan mempertanyakan secara kritis kondisi masyarakat saat ini. Wacana dapat diartikan sebagai percakapan, teks, serangkaian kalimat yang saling berkaitan, bahasa lisan–komentar, hasil wawancara, ucapan dan pernyataan-pernyataan (Eriyanto, 2009: 2). Pidato, dialog, polemik, perdebatan, percakapan atau perbincangan juga dapat dikategorisasikan sebagai sebuah wacana. Karena itu penelitian ini akan menganalisa pernyatan-pernyataan dan komentar para aktor politik dan hasil wawancara penulis terhadap responden, terkait dengan kuota perempuan. Dari berbagai varian analisa wacana, penulis memilih untuk menggunakan analisa CDA. Dengan menggunakan CDA penelitian ini ingin menunjukkan bagaimana gagasan perempuan, isu tentang ketimpangan gender disingkirkan dari konsep politik, demokrasi, perwakilan, sistem dan perundang-undangan partai politik, pemilu dan penjaringan caleg didalam partai-partai politik, meski telah terdapat ketentuan kuota perempuan dalam Undang-undang Pemilu dan Undang-undang Partai Politik. Dengan disingkirkannya gagasan dan isu tentang perempuan maka kepentingan perempuan untuk memperoleh kuota 30% keterwakilan di parlemen, kepentingan untuk memperoleh akses dalam pembuatan keputusan, dan kepentingan untuk mencapai kesetaraan dengan laki-laki juga ikut terpinggirkan. Analisa Wacana Kritis (Critical Discourse of Analysis) menggunakan analisa kualitatif dan menggunakan penafsiran sebagai basis utama untuk memaknai temuan (Eriyanto, 2009: 49). Meski penafsiran dalam analisis wacana bersifat subyektif, tetapi dengan menghubungkannya dengan konteks, maka penafsiran tersebut mempunyai dasar argumentasi yang kuat (Eriyanto, 2009: 64). Analisa dilakukan dengan menafsirkan secara subyektif wacana (teks) yang diteliti. Penafsiran dilakukan dengan menghubungkan teks dengan konteksnya (siapa partisipan yang memproduksi wacana, seting sosial, historis, kepentingan, kekuasaan dan ideologi). Intinya, untuk memahami teks, perlu dipahami konteksnya. Teks adalah semua bentuk bahasa baik yang tercetak (tulisan), maupun semua jenis ekspresi komunikasi—ucapan, gambar, musik, citra, suara dan lain-lain (Cook, Guy, 1994: 1). Konteks adalah semua situasi yang mempengaruhi teks, dapat dibagi dua yaitu partisipan wacana dan setting sosial. ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
155 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Nur Azizah
Partisipan wacana adalah siapa yang memproduksi wacana—apa jenis kelaminnya, berapa umurnya, apa pendidikannya, seperti apa kelas sosialnya dan apa agamanya. Seting sosial yaitu posisi dan aturan yang melingkupinya yang dapat diklasifikasikan dalam seting historis, seting kekuasaan dan seting ideology. Seting Historis yaitu dengan menghubungkan antara teks dengan setting sejarah, seperti bagaimana situasi sosial politik pada saat itu, mengapa wacana yang dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang digunakan seperti itu. Setting Kekuasaan yaitu dengan menghubungkan antara teks dengan kekuatan politik (kontrol kelompok laki-laki terhadap perempuan). Ini dapat berupa kontrol fisik dan kontrol pikiran (hegemoni sebuah gagasan)–kontrol struktur wacana (kelompok laki-laki mempunyai kekuasaan besar untuk menentukan isu apa yang diangkat dalam RUU Parpol/RUU Pemilu DPR). Sedangkan seting Ideologi ialah bahwa teks dan percakapan akan mencerminkan ideologi subyeknya. Dari teks dapat dianalisa ideologi subyeknya (misal: liberal kapitalis, feminis dll). Ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan (kelompok liberal-kapitalis) untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasinya. Telaah dilakukan pada tiga level analisa. Pertama, pada level normatif level normatif, dimana diperdebatkan dua gagasan keadilan: compensatory justice vs distributive justice. Kedua, pada level institusional, dimana kepentingan-kepentingan tersebut terjalin dalam suatu pola penataan, sebagaimana diungkap dalam rumusan ketentuan perundang-undangan. Ketiga, pada level praktikal yang mengungkap kepentingan aktor dalam rekrutmen caleg. Analisis secara simultan pada tiga level tersebut menunjukkaan bahwa pemberlakuan kuota perempuan di Indonesia terhambat karena kebijakan tersebut menghadapi konflik pada level normatif, level institusional dan level praktikal. Pada level normatif, pemberlakuan kuota berkonflik dengan hegemoni pemaknaan demokrasi dan perwakilan versi liberal. Pada level institusional pemberlakuan kuota berkonflik dengan sistem dan teknis pemilu (liberal–majoritarian) seperti yang tercantum dalam perundang-undangan pemilu. Pada level praktikal pemberlakuan kuota menimbulkan konflik kepentingan antara kelompok yang diuntungkan dengan kelompok yang dirugikan oleh kebijakan kuota. Konflik ini mengakibatkan peminggiran perempuan yang dilakukan melalui mekanisme penjaringan caleg, pengaturan peserta Konggres/ Munas dan konservasi gender politics dalam praktek partai politik. Hegemoni norma liberal ditandai oleh ketidaksadaran para pelaku bahwa terdapat male biased dalam norma, pelembagaan dan praktek demokrasi liberal. Hegemoni tersebut telah merata baik dikalangan eksekutif, legeslatif, yudikatif maupun aktivis. Karena kendalanya bersifat hegemonik, maka upaya untuk menyusun peraturan perundang-undangan tentang pemilu dan partai politik serta sistem rekruitmen caleg yang tidak menggunakan prinsip-prinsip demokrasi liberali sangat sulit tercapai. Akibatnya, perundang-undangan pemilu di Indonesia yang dibangun diatas prinsipprinsip liberal majoritarian justru menfasilitasi dominasi laki-laki dalam politik. Meski ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
156 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional dan Praktikal dalam Pemberlakuan Kuota Perempuan di Indonesia
dalam pemilu 2009 keterwakilan perempuan di DPR naik hingga mencapai 18% namun dalam 10 kali pemilu yang diselenggarakan sejak kemerdekaan Indonesia, laki-laki tetap mendominasi lebih dari 80% kursi DPR. Konflik pada ketiga level tersebut menghadirkan dilema bagi perempuan. Di satu sisi model liberal telah menjadi regime demokrasi di Indonesia sehingga jika perempuan ingin berpolitik mereka harus mengikuti aturan main liberal, namun di sisi lain aturan main liberal ini menghambat pemberlakuan kuota perempuan dan melanggengkan dominasi laki-laki dalam arena politik Indonesia. Konflik pada ketiga level tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Konflik Pada Level Normatif Pada level normatif, pemberlakuan kuota berkonflik dengan hegemoni pemaknaan demokrasi dan perwakilan versi liberal. Reformasi demokrasi di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan rejim demokrasi dunia. Pasca kejatuhan Uni Soviet, Amerika Serikat semakin gencar dalam mempromosikan ideologi demokrasi liberal kapitalis. Demokrasi liberal menjadi seperangkat nilai universal yang siap diekspor ke seluruh penjuru dunia, terutama ke negara-negara yang sedang membangun sistem demokrasinya, termasuk Indonesia. Akibatnya, model-model demokrasi lainnya seperti demokrasi sosial (social welfare democracy) yang lebih menekankan pada kesejahteraan rakyat menjadi tidak terdengar.1 Demokrasi liberal menjadi model hegemonik yang dianggap sebagai model terbaik. Untuk mendukung promosi demokrasi tersebut Amerika Serikat membentuk The National Endowment for Democracy (NED) yang mendanai lebih dari 1,000 proyek bagi NGOs diluar negeri yang bergerak dibidang demokrasi di lebih dari 90 negara . Sebagian besar dana NED mengalir ke empat lembaga prpmotor demokrasi besar yaitu The Center for International Private Enterprise (CIPE), The American Center for International Labor Solidarity (ACILS), The International Republican Institute (IRI), dan The National Democratic Institute for International Affair (NDI) yang berperan besar dalam pendanaan proyek-proyek demokrasi di Indonesia. Meski demikian adanya konflik normatif antara kebijakan kuota dengan normanorma demokrasi liberal ini tidak kasat mata sehingga para aktivispun banyak yang tidak menyadarinya. Banyak diantara aktivis yang berperan ganda, sebagai pendukung kuota dan juga sebagai pengusung norma demokrasi liberal. Beberapa jaringan advokasi antar negara (TAN’s) seperti International IDEA, lembaga penghubung donor seperti Partnership for Governance, organisasi non pemerintah seperti CETRO dan pemerintah Republik Indonesia sendiri juga berperan ganda sebagai pendukung kuota sekaligus pengusung demokrasi liberal, tanpa menyadari adanya kontradiksi normatif didalamnya. Ambivalensi ini sulit terelakkan mengingat sebagian besar dana advokasi kuota maupun demokrasi berasal dari sumber yang sama yaitu donor asing. Pasca reformasi prinsip-prinsip demokrasi liberal yang menekankan equal opportu○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
157 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Nur Azizah
nity dan individual right berhasil menjadi norma demokrasi yang diyakini kebenarannya dan mempunyai posisi hegemon dikalangan legeslatif (pembuat undang-undang/DPRpimpinan partai), yudikatif (Mahkamah Konstitusi), dan aktivis demokrasi Indonesia. Hegemoni norma liberal ini membuat gagasan kuota perempuan yang menekankan prinsip equality of result dan collective right sulit diterima maupun dilaksanakan karena dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.2 Menurut liberal, kesetaraan gender diupayakan dicapai melalui perbaikan kondisi sosial ekonomi (pemberdayaan) perempuan, bukan melalui intervensi pemerintah. Konsep-konsep utama demokrasi liberal seperti individual, equal opportunity dan one person one vote one value (OPOVOV) yang digunakan sebagai bahan baku bagi pembangunan teori-teori demokrasi dan pemilihan umum yang mereka klaim dapat menjelaskan “realita” dunia, terbukti bias gender sehingga tidak dapat dikatakan obyektif. Konsep-konsep ini bias gender karena pemahamannya tentang manusia, tentang sifat manusia, hanya didasarkan pada asumsi sifat manusia yang maskulin (Pirages and Sylvester, 1989). Dasar berfikir ini menjadi tidak representatif, karena ternyata isi bumi adalah manusia laki-laki dan perempuan. Bukan hanya laki-laki saja. Penggunaan konsep individual dalam demokrasi liberal didasarkan pada pengalaman laki-laki dalam bermasyarakat. Yang dimaksud dengan individu dalam konsep demokrasi liberal adalah orang yang mempunyai karakter autonomy (kemandirian), rationality (penalaran), mempunyai kemampuan untuk memilih (ability to make choices ) dan membuat kontrak/perjanjian dengan pihak lain. Karakter-karakter tersebut adalah karakter yang selalu melekat pada maskulinitas. Sebaliknya, sebagian besar perempuan tidak memenuhi criteria sebagai individu. Karena itu pengabstrakan lakilaki dan perempuan dalam konsep individu menjadi menyesatkan karena tidak sesuai dengan realita masyarakat. Penggunaan prinsip OPOVOV yang meminta pemilih untuk memilih satu nama calon/partai saja dalam sebuah pemilu cenderung akan menguntungkan laki-laki. Dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh tradisi patriarkhi, satu suara tersebut cenderung diberikan pada calon yang berjenis kelamin laki-laki. Seandainya sistem pemilu bersifat netral, tidak bias gender, mestinya penggunaan sistem tersebut tidak akan mengakibatkan tingginya kesenjangan gender di parlemen secara terus menerus seperti yang terjadi selama ini. Baru pada tahun 1990an muncul kesadaran bahwa sitem pemilu tidak bersifat ‘netral’ sehingga kalangan feminis mulai mengupayakan reformasi sistem pemilu yang lebih bersahabat bagi perempuan. Penggunaan norma equal opportunityy dan impartiality hanya akan menguntungkan kelompok dominan (laki-laki). Jika semua individu diberi hak yang sama (equal right), maka kepentingan dari kelompok dominanlah yang akan berlaku karena mereka akan menyatakan bahwa pengalaman dan cara pandang mereka tentang realitas social sebagai suatu hal yang obyektif dan tidak memihak (Young, 1989: 259). Artinya, norma kelompok dominan (laki-laki) lah yang menjadi standar. Atas nama obyektifitas ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
158 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional dan Praktikal dalam Pemberlakuan Kuota Perempuan di Indonesia
dan ketidakberpihakan (impartiality) maka kelompok-kelompok minoritas, termasuk perempuan, menjadi terpinggirkan dalam kehidupan politik. Atas nama universalism maka norma-norma asli yang semula dipunyai oleh kelompok-kelompok minoritas, termasuk perempuan, menjadi terdegradasi. Sebaliknya, norma laki-laki menjadi standar. Obsesi akan stabilitas menjadikan sistem pemilu cenderung konservatif (mendukung status quo) dan meminggirkan perempuan. Baik dari sisi teori maupun praktek, sistem pemilu yang dipraktekkan dinegara-negara demokrasi liberal seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat cenderung dianggap sebagai sebuah standar (norm). Aktoraktor politik yang diuntungkan dengan pemikiran dan praktek sistem pemilu tersebut cenderung mengkonservasi sistem sehingga pemikiran tentang reformasi sistem pemilu sulit untuk diterima. Penggunaan prinsip OPOVOV misalnya, cenderung mengunci munculnya alternatif/inovasi sistem pemilu dengan basis kelompok (group right) yang memungkinkan penggunaan reserved seats, pemisahan penghitungan suara bagi caleg perempuan dan laki-laki, penggunaan dual ballot ( satu surat suara untuk memilih caleg perempuan, dan satu surat suara untuk memilih caleg laki-laki) atau pemilihan caleg secara kolektif yang mengharuskan pemilih memilih satu calon perempuan dan satu calon laki-laki. Terkuncinya inovasi sistem pemilu memaksa perempuan untuk bertarung dalam kerangka sistem pemilu District, Proporsional Representative (PR) atau campuran diantara keduanya, yang cenderung male bias tersebut.
Konflik pada Level Pelembagaan Pada level institusional pemberlakuan kuota berkonflik dengan sistem dan teknis pemilu (liberal-majoritarian) seperti yang tercantum dalam perundang-undangan pemilu. Hegemoni norma liberal dalam demokrasi dan perwakilan di Indonesia tersebut mendorong terbentuknya institusi (UU Parpol dan UU Pemilu) dan praktek penentuan calon terpilih yang tidak sesuai dengan kebutuhan kuota, sehingga penghambat pemberlakuan kebijakan kuota, terlihat dalam flowchart ilustrasi 1: Pengalaman di berbagai negara seperti Rwanda, Inggris, Canada, New Zealand, India dan lain-lain menunjukkan bahwa keberhasilan peningkatan keterwakilan perempuan selalu didahului dengan electoral engineering (perekayasaan sistem pemilu) atau lebih tepatnya reformasi/inovasi sistem dan teknis pemilu yang memberikan peluang lebih besar bagi perempuan untuk terpilih. Di Indonesia, electoral engineering semacam ini belum pernah dilakukan. Rendahnya keterwakilan perempuan tidak dianggap sebagai problem yang perlu diatasi melalui reformasi sistem pemilu, selain penggunaan kuota. Aktor-aktor politik yang diuntungkan oleh sistem ini cenderung mengkonservasi sistem pemilu sehingga tidak terjadi reformasi sistem pemilu yang menguntungkan perempuan. Resistensi pemerintah dan politisi terhadap usulan kuota perempuan pada awal reformasi dan ketiadaan sanksi bagi partai yang tidak memenuhi ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
159 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Nur Azizah
ketentuan kuota menunjukkan sikap pembuat undang-undang yang cenderung mengkonservasi sistem pemilu yang telah ada karena sistem tersebut menguntungkan mereka (laki-laki). Ilustrasi 1 Sistem Pemilu Liberal (Indonesia Pasca Reformasi)
Pemikiran tentang reformasi sistem pemilu yang pro perempuan sulit untuk diterima. Pembahasan tentang perlunya inovasi sistem dan teknis pemilu (electoral engineering) yang bersifat emansipatoris dan lebih sesuai dengan logika kuota ini jarang dibahas karena para ahli politikpun cenderung berpendapat bahwa pemilu model liberal (distrik/majoritarian, perwakilan berimbang/Proportional Representative) adalah standar yang sulit diubah. Para ahli politik juga cenderung memaknai demokrasi sebagai sarana untuk mengetahui dan mengumpulkan preferensi warga Negara melalui “voting /pemilihan umum” (Model Demokrasi Agregarif).3 Sebagai dampak dari kegencaran Amerika Serikat dalam mempromosikan demokrasi liberal, maka paska Perang Dingin pewacanaan demokrasi dihegemoni oleh model demokrasi liberal. Terdapat kesan bahwa demokrasi liberal adalah ‘bentuk ideal dari organisasi politik’ sehingga bentuk-bentuk demokrasi lainnya cenderung tidak memperoleh tempat. Meski demikian sesungguhnya terdapat berbagai varian demokrasi. Dilihat dari proses bekerjanya, demokrasi dapat dibedakan dalam tiga model, yaitu Model Aggregative, Model Deliberative dan Model Anti Dominasi. Dilihat dari sikapnya terhadap kelompok-kelompok minoritas, demokrasi dapat dibedakan dalam demokrasi liberal individual, demokrasi liberal republican, demokrasi multi kultural, demokrasi konsociational dan demokrasi etnik. Dilihat dari basis pemberian hak politik, demokrasi dapat memberikan hak politik pada individu (individual liberal democracy, republican liberal democracy), dan demokrasi yang memberikan hak politik secara kolektif (consociational democracy dan ethnic democracy). Sedangkan multicultural democracy berada diantara demokrasi liberal dan demokrasi konsociational. Jika dilihat dari aspek pengelolaan ekonomi demokrasi demokrasi dapat dibedakan dalam demokrasi liberalism kapitalis dan demokrasi social (social democracy). Demokrasi liberal kapitalis memberikan peran minimal pada Negara, sebaliknya demokrasi social memberikan peran yang cukup besar pada Negara dalam pengelolaan ekonomi dan sosial. ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
160 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional dan Praktikal dalam Pemberlakuan Kuota Perempuan di Indonesia
Uraian singkat dari masing-masing varian demokrasi tersebut dapat dilihat dalam tabel-tabel berikut ini. Tabel 1 Varian Demokrasi berdasar Prosedur Kerja
Tabel 2 Varian Demokrasi Berdasar Sikap terhadap Minoritas
Sumber: Smooha, Sammy. 2001. The Model of Ethnic Democracy. ECMI Working Paper, 13 October
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Tabel 3 ○
○
○
○
○
○
161
VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Nur Azizah
Varian Demokrasi berdasar Pengelolaan Negara terhadap Ekonomi
Pasca reformasi politik 1998, karakter liberal individual dalam demokrasi Indonesia tampak semakin kuat. Hal ini tercermin, misalnya dalam ketentuan tentang Pemilihan Umum yang meminta pemilih untuk memberikan suaranya langsung pada calon (individu), penggunaan prinsip universal citizenship, penggunaan prinsip OPOVOV dalam pemilu dan digunakannya sistem majoritarian (suara terbanyak) untuk menentukan calon terpilih. Intinya, pemilu menjadi arena kompetisi antar individu (caleg). Pasca reformasi meski secara formal sistem pemilu Indonesia bernama proporsional namun secara esensial mekanisme penentuan calon terpilih didasarkan pada system majoritarian (suara terbanyak). Sistem pemilu ini menyulitkan perempuan. Pertama, dalam sistem majoritarian (suara terbanyak), dimana pemilih diminta memilih caleg dalam surat suara, gerakan perempuan akan kesulitan untuk menuntut pemenuhan isu gender pada setiap caleg yang jumlahnya amat sangat banyak (dapat mencapai puluhan ribu orang). Kedua, dengan sistem majoritarian, pemilu cenderung menjadi urusan individual. Dengan sistem pemilu yang berorientasi pada individu calon, tautan antara pemilih dengan calon lebih banyak bersifat klientelistik dan kharismatik. Artinya pemilih memilih caleh lebih karena pertimbangan keuntungan material yang diperoleh dari caleg atau karena kharisma caleg (Kitschelt, 2000). Tabel 4 Variabel Sistem Pemilu yang Akomodatif terhadap Perempuan
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
162 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional dan Praktikal dalam Pemberlakuan Kuota Perempuan di Indonesia
Menurut Kitschelt terdapat tiga pola hubungan caleg dengan pemilih dalam sistem politik demokratik, yaitu pola karismatik, pola klientelistik dan pola programatik. Pola kharismatik terjadi jika pemilih memberikan suaranya berdasar kharisma caleg. Pola klientelistik, terjadi jika pemilih memberikan suaranya berdasarkan pertimbangan keuntungan (material) yang diperoleh secara langsung kepadanya. Sedangkan pola programmatik terjadi jika pemilih memperikan suaranya karena program partai yang ditawarkan memang menarik (Kitschelt, 2000). Penelitian ini menunjukkan bahwa sistem pemilu Indonesia selama ini yang mengarah pada sistem majoritarian (suara terbanyak) membuat kebijakan kuota perempuan sulit dilaksanakan. Keputusan MK NOMOR 22-24/PUU-VI/2008 yang menentuan calon terpilih harus didasarkan pada suara terbanyak secara berurutan menjadikan klausul tentang kuota perempuan kehilangan “roh” nya karena perjuangan perempuan untuk “memaksa” partai-partai politik menempatkan perempuan di nomer urut kecil menjadi kehilangan dasar pijakannyai seperti terlihat dalam ilustrasi berikut. Ilustrasi 2 Ketidaksinkronan antara Sistem Pemilu Indonesia dengan Ketentuan Kuota Perempuan
Sumber: Soetjipto, Ani. 2009. Dampak Diterapkannya Aturan Suara Terbanyak terhadap Keterwakilan Perempuan dan Gerakan Perempuan. Jakarta: Women Research Institute
Konflik pada Level Praktikal Pada level praktikal pemberlakuan kuota menimbulkan konflik kepentingan antara kelompok yang diuntungkan dengan kelompok yang dirugikan oleh kebijakan kuota. Konflik ini mengakibatkan peminggiran perempuan yang dilakukan melalui mekanisme penjaringan caleg, pengaturan peserta Konggres/Munas dan konservasi gender politics dalam praktek partai politik. Meski telah ada ketentuan kuota namun praktik di dalam partai politik masih ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
163 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Nur Azizah
meminggirkan perempuan. Peminggiran dilakukan dengan mempraktekkan gender politics, pembuatan aturan tentang peserta Konggres/Munas partai yang mengkaitkan legalitas peserta dengan jabatan struktural partai di setiap level (DPD/DPW, DPC) sehingga sulit ditembus oleh perempuan, dan pembuatan aturan penjaringan caleg dengan menggunakan prinsip meritokrasi-scoring. Pemberlakuan kuota secara sungguhsungguh jelas akan menguntungkan sekelompok orang (caleg perempuan) dan merugikan sekelompok yang lain (caleg laki-laki) sehingga menimbulkan konflik kepentingan. Konflik kepentingan dan perebutan kekuasaan ini membuat pihak yang dirugikan akan berupaya menghambat pemberlakuan kuota dan meminggirkan posisi perempuan dengan berbagai cara. Gender politics dilakukan dengan mengelompokkan perempuan dalam organisasi sayap perempuan yang aktifitasnya cenderung mengikuti ideology gender yang telah tertanam kuat di masyarakat yaitu urusan keluarga, anak, kesehatan dan kesejahteraan sosial. Proses domestikasi ini menyebabkan perempuan Indonesia sulit untuk diorganisir agar mampu mendekonstruksi institusi partai yang mendiskriminasikan mereka. Tidak mengherankan jika sedikit sekali perempuan yang dapat menempati kepengurusan strategis partai (Cario, Argentina). Peminggiran perempuan juga dilakukan dengan pembuatan aturan tentang peserta Konggres/Munas partai yang sulit ditembus oleh perempuan sehingga arena tersebut selalu didominasi laki-laki. Pengaturan Konggres yang mengkaitkan legalitas peserta dengan jabatan struktural partai di setiap level (DPD/DPW, DPC) praktis telah meminggirkan perempuan dalam proses-proses pembuatan keputusan partai karena sulit sekali bagi perempuan untuk dapat menduduki posisi puncak di DPD/DPW dan DPC. Peminggiran perempuan berikutnya dilakukan dalam proses penjaringan caleg partai. Pada proses penjaringan caleg peminggiran perempuan terjadi ketika partaipartai menggunakan prinsip meritokrasi-scoring yang memperlakukan bakal caleg lakilaki maupun perempuan secara sama. Jika menggunakan affirmative action semestinya caleg perempuan diperlakukan secara berbeda dengan caleg laki-laki. Meski partai mengaku telah melakukan affirmative action, namun norma yang digunakan dalam proses penjaringan caleg adalah equality of opportunity, netralitas Negara (panitia seleksi) dan individual right yang bertentangan dengan logika kuota. Baik partai maupun masyarakat berpandangan bahwa pemilu yang demokratis adalah pemilu yang menempatkan pemilih dan peserta pemilu secara setara. Mekanisme penjaringan bakal caleg di berbagai partai tersebut maka dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu dengan menggunakan sistem skoring (Golkar, PDIP, PAN, PKB), dengan perolehan suara dalam Pemilu Raya (PKS) dan dengan Musyawarah (PPP). Sistem Pemilu Raya dan sistem skoring menghasilkan angka-angka yang bersifat kuantitatif yang akan digunakan sebagai dasar pengurutan calon, baik laki-laki maupun perempuan. Artinya, denga angka yang kongkrit seperti ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
164 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional dan Praktikal dalam Pemberlakuan Kuota Perempuan di Indonesia
Tabel 5 Proses Penjaringan Caleg PAN-Golkar-PDIP Pemilu 2004
Sumber: Diolah dari CETRO
ini, tindakan affirmative action terhadap calon perempuan akan sulit dilakukan, karena dapat dianggap sebagai manipulasi skor atau penghianatan terhadap mekanisme demokrasi. Pada beberapa partai memberikan sistem quota pada penjaringan bakal calon pada level pertama. Level-level seteruanya harus diikuti dengan sistem skoring. Ada pula partai yang menambahkan skor khusus untuk perempuan, tetapi penambahan tersebut tidak significant. PAN menambahkan skor 5 (lima) bagi ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
165 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Nur Azizah
Tabel 6 Proses Penjaringan Caleg PBB-PPP-PKB-PKS Pemilu 20044
Sumber: Diolah dari CETRO
perempuan, dengan total skor maksimal sekitar 100. Scoring system kerap dianggap sebagai sistem yang terbaik. Padahal ketika sistem scoring mencampurkan dalam satu list antara bakal caleg laki-laki dan perempuan maka akan menggugurkan sistem kuota perempuan. Perempuan bakal caleg sendiri pada umumnya tidak menyadari bahwa dengan system scoring berarti laki-laki maupun perempuan diperlakukan secara sama. Jika menggunakan prinsip quota, semestinya scoring harus dipisahkan dalam dua kelompok, laki-laki dan perempuan. Kuota adalah hak perempuan secara kolektif. Skoring didasarkan pada prinsip equal opportunity, ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
166 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional dan Praktikal dalam Pemberlakuan Kuota Perempuan di Indonesia
sedangkan kuota didasarkan pada equality of result. Penggunaan scoring dapat dimaknai sebagai strategi untuk melumpuhkan system kuota. Jika penentuan nomer urut dilakukan secara musyawarah maka akan menghasilkan penilaian yang kualitatif. Dengan sistem ini sebenarnya lebih memungkinkan adanya affirmative action untuk bakal caleg perempuan. Tetapi jika peserta musyawarah sebagian besar adalah laki-laki, maka suara bagi bakal caleg perempuan juga akan sangat kecil. Masalah utamanya ialah akses perempuan untuk terlibat sebagai peserta musyawarah (tim seleksi) sangat kecil sehingga peluang untuk mempengaruhi keputusan juga sangat kecil. Untuk itu kehadiran fisik perempuan dalam tim musyawarah sangat penting. Dalam partai-partai yang bernuansa Islam, otoritas kyai atau tokoh agama dalam proses musyawarah juga sangat tinggi. Jika para tokoh agama tersebut memberikan dukungannya pada bakal caleg laki-laki, maka bakal caleg perempuan juga akan terpinggir.
Penutup Riset ini telah menawarkan pengggunaan tiga level analisa yaitu level praktikal (kepentingan aktor dalam rekrutmen caleg) yang bersifat kasat mata, level institusional (perundang-undangan Pemilu dan Partai Politik) yang agak abstrak dan level normatif (compensatory justice vs distributive justice) yang bersifat abstrak secara simultan untuk mengungkap hambatan pemberlakuan kuota di Indonesia. Penggunaan tiga level analisa secara simultan untuk mengungkap hambatan pemberlakuan kuota di Indonesia tersebut menjadikan disertasi ini berbeda dengan desertasi Wahidah br Siregar yang mengungkap tidak tercapainya kuota 30% keterwakilan perempuan dari level institusional (sistem pemilu tertutup vs sistem pemilu suara terbanyak /majoritarian). Penelitian ini juga berbeda dengan penelitian Krook yang mengungkap hambatan pemberlakuan kuota dari level institusional (wording, sistem pemilu) dan praktikal (kekuatan aktor yang mendukung dan menentang kuota), dan juga berbeda dengan penelitian Dahlerup yang mengungkap hambatan pemberlakuan kuota dari level institusional (sanksi kuota) Argumen penulis dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi teoritis dengan menunjukkan bahwa hegemoni pemaknaan (norma) liberal majoritarian dalam demokrasi dan perwakilan telah menjadi penghambat utama pemberlakuan kebijakan kuota perempuan karena norma tersebut melahirkan institusi (UU Parpol dan UU Pemilu) dan praktek politik yang tidak sesuai dengan kebutuhan kuota dan melanggengkan kekuasaan laki-laki dalam perpolitikan Indonesia (status quo). Dengan melihat pada aspek norma maka temuan ini dapat menyempurnakan teori serupa yang dikemukakan oleh Dahlerup dan Krook. Menurut Mona Lena Krook, implementasi quota gender di sebuah negara dipengaruhi oleh tiga variabel utama yaitu variabel rincian mandat aturan atau undangundang tentang quota itu sendiri, variabel kerangka institusional yang melingkupi ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
167 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Nur Azizah
quota tersebut dan variabel aktor atau kelompok yang mendukung dan menentang quota. “The impact of quotas is linked to detail of the measures themselves, the impact of quota is depend on institutional framework in which they are introduces and the impact of quotas steams of the balance of actors for and against implementation” (Krooka, 2005: 42). Sedangkan menurut Dahlerup, design kuota yang spesifik sangat menentukan keberhasilan pemberlakuan kuota “..the specific design of the quota system is crucial for the successful implementation of quotas”. Artinya, design kuota harus memuat sanksi bagi partai yang tidak mematuhinya. “in order to be effective, a quota system must be compatible with the electoral system in place and that quota rules – for example, of 30 or 40 per cent women on electoral lists – must be supplemented with rules concerning rank order as well as – in the case of legislated quotas – effective legal sanctions”( Dahlerup and Freidenvall. 2008). Baik Krook maupun Dahlerup tidak mengungkap aspek normative (ideology) yang mempengaruhi pembentukan institusi politik maupun perilaku actor dalam menanggapi kebijakan kuota perempuan. Sementara penelitian ini menunjukkan bahwa mindset liberal dikalangan legeslatif (pembuat undang-undang, pimpinan partai), yudikatif (hakim konstitusi). maupun aktivis pro demokrasi Indonesia yang menekankan perpolitikan pada level individual, memaknai kesetaraan sebagai equal opportunity dan memaknai keadilan sebagai distributive justice telah menjadi penghambat kebijakan kuota, baik pada tahap perumusan maupun pemberlakuan. Efektifitas pemberlakuan kuota perempuan bukan hanya ditentukan oleh variable wording, institusional (system pemilu), sanksi maupun kekuatan actor yang mendukung kuota seperti dikatakan oleh Krook, Dahlerup maupun Wahidah br Siregar, namun juga dipengaruhi oleh ideology yang berkembang di Negara tersebut. Bahkan aspek ideology akan menentukan perumusan wording ketentuan kuota, kerangka institusional (system pemilu), kebijakan partai maupun perilaku aktor dalam merespon kebijakan kuota. Aspek ideology inilah yang membedakan efektifitas pemberlakuan kuota perempuan di beberapa Negara Scandinavia-Amerika LatinAustralia, Rwanda (demokrasi sosial—demokrasi konsosiasional) dan IndonesiaAmerika Serikat (demokrsi liberal majoritarian). Di Negara yang mengalami demokratisasi seperti di Indonesia kebijakan kuota diambil selain karena desakan gerakan perempuan yang sangat kuat juga sebagai upaya untuk menunjukkan bahwa Negara tersebut demokratis. Keberadaan ketentuan kuota bukan berarti merupakan jaminan peningkatan keterwakilan perempuan karena mindset liberal memaksa perempuan untuk bersaing dengan mengandalkan kekuatan individualnya dan aturan main didesign dengan prinsip equal opportunity, ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
168 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional dan Praktikal dalam Pemberlakuan Kuota Perempuan di Indonesia
OPOVOV dan surat suara tunggal (single ballot) serta meritokrasi. Penelitian ini mengkonfirmasi pendapat Anne Phillip dan beberapa ilmuwan feminist lainnya bahwa teori-teori demokrasi liberal tidak netral gender (Phillip, 1991). Pembahasan pada bab-bab terdahulu menunjukkan bahwa norma, institusi (system dan teknis pemilu) dan praktek yang terkait dengan demokrasi dan perwakilan politik di Indonesia tersebut tidak netral, melainkan sarat dengan kepentingan politik. Ketimpangan gender dalam lembaga perwakilan yang terjadi secara terus menerus merupakan salah satu bukti dari ketidaknetralan tersebut. Fakta ini membenarkan pernyataan Critical Theory bahwa teori juga tidak bersifat netral tetapi cenderung menguntungkan pihak yang kuat dan melanggengkan status quo. Gagasan kuota perempuan merupakan terobosan pemikiran alternative yang bersifat emansipatoris. Pengalaman di berbagai negara seperti Rwanda, Inggris, Canada, New Zealand, India dan lain-lain menunjukkan bahwa keberhasilan peningkatan keterwakilan perempuan selalu didahului dengan electoral engineering (perekayasaan system pemilu) atau lebih tepatnya reformasi/inovasi sistem dan teknis pemilu yang memberikan peluang lebih besar bagi perempuan untuk terpilih. Electoral engineering dilakukan dengan membuat inovasi teknis pemilu yang pro perempuan.Inovasi tersebut dilakukan oleh Rwanda dengan memperkenalkan Triple balloting system, Inggris memperkenalkan All women’s short lists’, Afganistan memperkenalkan reserved seats melalui pemilihan secara langsung, India memperkenalkan Dual-member Constituencies di Lok Sabha (masih dalam tahap usulan) dan Twinning System di Scottist yang terbukti mampu memberikan akselerasi terhadap kebijakan kuota perempuan. Partisipasi perempuan dalam lembaga demokrasi Indonesia berada dibawah tekanan dan dominasi norma-norma liberal. Perempuan adalah salah satu dari kelompok minoritas seperti orang tua (lansia), minoritas etnik dan kelompok masyarakat miskin yang dihambat untuk mengekspresikan pengalamannya dalam realitas politik karena liberal selalu memaksakan norma homogeneity, impartiality dan rationality. Norma liberal yang menekankan impartiality, generality dan formal equality cenderung merugikan perempuan karena keyakinan akan norma-norma tersebut menjadikan liberal tidak mampu mengakomodasi perbedaan-perbedaan dan particularitas yang ada di masyarakat, termasuk fakta akan adanya perbedaan aktifitas antara perempuan dan laki-laki. Akibatnya, norma-norma liberal tentang demokrasi dapat menjadi sarana dominasi politik laki-laki atas perempuan. Karena masing-masing kelompok mempunyai pengalaman, sejarah dan cara pandang yang berbeda terhadap kehidupan sosial maka tidak ada satupun kelompok yang dapat mewakili pengalaman, sejarah dan cara pandang dari kelompok lain. Dalam menghadapi keberagaman kelompok-kelompok tersebut, maka penggunaan norma formal equality dan impartiality hanya akan menguntungkan kelompok dominan (laki-laki). Jika semua individu diberi hak yang sama (equal right), maka kepentingan dari kelompok dominanlah yang akan berlaku karena mereka akan ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
169 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Nur Azizah
menyatakan bahwa pengalaman dan cara pandang mereka tentang realitas social sebagai suatu hal yang obyektif dan tidak memihak. Artinya, norma kelompok dominan (laki-laki) lah yang menjadi standar. Atas nama obyektifitas dan ketidakberpihakan (impartiality) maka kelompok-kelompok minoritas, termasuk perempuan, menjadi terpinggirkan dalam kehidupan politik. Atas nama universalism maka norma-norma asli yang dipunyai oleh kelompok-kelompok minoritas, termasuk perempuan, menjadi terdegradasi. Sebaliknya, norma laki-laki menjadi standar.
Bibliografi Cook, Guy. 1994. The Discourse of Advertising. London and New York: Routledge. Dahlerup, Drude and Lenita Freidenvall. 2008. Electoral Gender Quota Systems and Their Implementation in Europe. WIP, Women in Politics Research Centre, Department of Political Science, Stockholm University in cooperation with International IDEA Eriyanto. 2009. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Cetakan VII. Yogyakarta: LKiS. Kitschelt, Herbert and Steven Wilkinson. 2007. Patrons, Clients, and Policies: Patterns of Democratic Accountability and Political Competition. Cambridge: Cambridge University Press. Kitschelt. 2000. Linkages between citizens and politicans in democratic politics. Comparative Political Studies 33 (6/7). Krook, Mona Lena, 2005. Politizing Representation: Campaign for Candidate Gender Quotas Worlwide. Columbia University Krooka, Mona Lena and Judith Squires. 2006. Gender Quotas in British Politics: Multiple Approaches and Methods in Feminist Research. Palgrave Macmillan Ltd. (Online), (www.palgrave-journals.com/bp) Phillip, Anne. 1991. Engendering Democracy. Cambridge, UK: Polity Press. Pirages, Dennis dan Christine Sylvester (ed). 1989. Transformations in the Global Political Economy. Basingstoke: Macmillan. Smooha, Sammy. 2001. The Model of Ethnic Democracy. ECMI Working Paper, 13 October. European Centre for Minority Issues (ECMI) Schiffbruecke 12 (Kompagnietor Building) Flensburg Germany. (Online), (http://www.ecmi.de) Soetjipto, Ani. 2009. Dampak Diterapkannya Aturan Suara Terbanyak terhadap Keterwakilan Perempuan dan Gerakan Perempuan. Jakarta: Women Research Institute. Women in National Parliament. (Online), (http://www.ipu.org)
(Footnotes) Ketiadaan ideologi yang berperan sebagai counter hegemoni ini membedakan
1
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
170 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional dan Praktikal dalam Pemberlakuan Kuota Perempuan di Indonesia
pengaruh norma liberal di Indonesia dengan negara-negara Amerika Latin (Argentina) dan negara-negara dengan tradisi demokrasi yang kuat seperti Scandinavia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Inggris, Selandia Baru, Skandinavia, Belanda, Swiss dan Belgia. 2 Penolakan gagasan kuota perempuan atas dasar norma demokrasi bukan hanya terjadi di Indonesia. Atas nama prinsip-prinsip demokrasi ini pulalah Amerika Serikat yang menjadi pemimpin Coalition Provisional Authority (CPA) setelah kejatuhan Sadham Hussein di Irak, menentang usulan organisasi-organisasi perempuan Irak yang menginginkan kuota 30% di parlemen lokal, nasional, kabinet dan Komisi Pembuat Konstitusi. Penolakan Amerika ini dijawab dengan mobilisasi perempuan Irak sehingga akhirnya CPA memenuhi tuntutan perempuan. Atas nama norma demokrasi pula Amerika Serikat hingga saat ini tidak mengadopsi kuota perempuan meski tingkat keterwakilan politik perempuan di Comgres hanya 16,9% dan di Senate hanya 17% 2 . Alasan yang sama digunakan oleh Mahkamah Konstitusi Perancis yang pada tahun 1982 menganulir peraturan kuota gender (25%-75%) karena kuota sex dianggap bertentangan dengan dengan prinsip republikan tentang equality dan mengancam bagi demokrasi Perancis. Jelas bahwa konflik normative, meski tidak kasat mata, menjadi hambatan bagi pemberlakuan kuota perempuan diberbagai Negara. 3 Dilihat dari proses bekerjanya, demokrasi dapat dibedakan dalam tiga model, yaitu Model Aggregative, Model Deliberative dan Model Anti Dominasi 4 Diolah dari CETRO
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
171 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Globalisasi dan Rezim Demokrasi Poliarki: Kebijakan Integrasi Ekonomi Indonesia Abstract Globalization on the one hand has reduced significantly the traditional roles of the state in the international level, while on the other hand it strengthened the positions of new transnational actors such as international organization, MNC, and society. At the domestic level, in many democratic nations, it changed the quality of democracy in which policies are no longer based on the interests of the people but to protect the penetration of global corporations. This article tries to explain, particularly in the case of Indonesia, how those decisions do not accommodate people as majority but only serve the interests of both local ruling elite and the transnational bourgeois. Democracy which ideally should be able to ensure the participation of the people in the decision making process apparently has been manipulated by a group of minority elites. Keywords: globalization, polyarchy democracy, economic integration
Pendahuluan
Budi Winarno Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL Universitas Gadjah Mada
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Politik luar negeri suatu bangsa dilakukan dalam rangka meraih tujuan nasionalnya (Morgenthou, 1993). Ini biasanya dicapai melalui berbagai instrumen kebijakan luar negeri, dan di era globalisasi seperti sekarang, efektivitas politik luar negeri suatu bangsa beserta instrumen kebijakan yang menopangnya tidak lagi ditentukan oleh kekuatan-kekuatan konvensional, tetapi juga aktor-aktor baru yang melampaui lintas batas global. Di sini, ada batas-batas dalam sistem politik yang berasal dari lingkungan internasional dan global (Winarno, 2008) yang pada akhirnya berpengaruh terhadap “kinerja” sistem politik. Salah satu perubahan lingkungan yang cukup signifikan sekarang ini adalah menajamnya globalisasi ekonomi, yang bagi negara nasional implikasinya berada dalam tiga hipotesis (Winarno, 2007). Pertama, negara sebagai aktor ekonomi akan menjadi anakronistik. Ini karena lingkup dan arti penting aktor-aktor transnasional swasta mening○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
172 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Globalisasi dan Rezim Demokrasi Poliarki: Kebijakan Integrasi Ekonomi Indonesia
kat, kontrol aparatus negara dalam batas hukum jurisdiksinya akan terbatas, dan dengan demikian semakin lemah. Dalam dunia baru, yaitu “dunia tanpa batas-batas negara (“a world without borders”)”, negara-negara dan penguasa militer tidak lagi memainkan peran penting. Bahkan, peran mereka semakin memudar, dan secara meyakinkan akan segera digantikan oleh peran yang semakin meningkat aktor-aktor nonteritorial, seperti perusahaan-perusahaan multinasional, gerakan-gerakan transnasional, dan organisasi-organisasi internasional (Keohane dan Nye, 1977: 3-4). Kedua, peran suatu negara bangsa akan ditentukan oleh posisinya dalam sistem dunia. Kekuasaan aktor-aktor transnasional yang berbasis di negara-negara inti akan mendorong peningkatan kekuasaan negara tersebut. Di sisi lain, meningkatnya aliran transnasional akan melemahkan negara-negara periferal dan pada waktu bersamaan menguatkan kekuasaan negara-negara inti. Terakhir, semakin meningkatnya aliran transnasional bagaimanapun akan meningkatkan peran penting negara di pusat ataupun di periferi. Dalam kaitan ini, arti penting aliran ekonomi transnasional secara simultan juga diiringi oleh peran negara (Green dan Luehrmann, 2003: 218; dalam Winarno, 2005). Globalisasi, dalam beberapa hal, tampaknya memang “melemahkan” peran negara. Setidaknya, globalisasi neoliberal telah berusaha keras dalam usahanya menempatkan pasar pada posisi hegemonik, sedangkan pada waktu bersamaan berusaha memarginalkan peran negara (Priyono, 2003; lihat juga Harvey, 2009). Dalam konteks ini, negara telah berusaha atau dipaksa sedikit demi sedikit untuk keluar dari wilayah bonum commune. Ini karena, dalam neoliberalisme, paham yang menjadi ideologi di balik globalisasi ekonomi, normatif etis yang biasa disebut “kebaikan bersama” (bonum commune) tidak lagi dianggap sebagai tujuan yang secara intensional dikejar oleh agenda ekonomi-politik (intended motive), tetapi hanya sebagai hasil sampingan (unintended consequences) kinerja ekonomi politik. Sebaliknya, yang dikejar oleh agenda ekonomi-politik neoliberal adalah “the accumulation of individual wealth” (Priyono, 2004: 18). Di sini, globalisasi, pada satu sisi, menguatkan peran negara karena keberlangsungan prosesnya sangat ditentukan oleh proses dan keputusan politik, sedangkan pada sisi lain peran yang semakin menguat tersebut justru melemah ketika dihadapkan pada kekuatan-kekuatan transnasional. Negara tidak mampu berbuat banyak ketika berhadapan, misalnya, dengan rejim perdagangan internasional seperti World Trade Center (WTO), Bank Dunia, juga International Monetary Fund (IMF), dan perusahaan-perusahaan transnasional. Dalam situasi ini, menjadi menarik untuk mengkaji bagaimana kebijakan-kebijakan publik suatu negara pada kenyataannya tidak diorientasikan untuk kepentingan-kepentingan warga negara, tetapi lebih untuk melindungi kepentingan dan tujuan korporasi-korporasi global (Hertz, 2005; Korten, 1997). Kemudian, dalam kaitannya dengan sistem demokrasi, penting untuk dikaji bagaimana keputusan-keputusan politik dan kebijakan publik tidak melibatkan rakyat, tetapi hanya dirumuskan oleh segelintir elit berkuasa, baik elit politik dan borjuasi ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
173 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Budi Winarno
lokal maupun elit-elit transnasional? Demokrasi yang seharusnya mampu menjamin keterlibatan dan partisipasi rakyat dalam pengambilan kebijakan (Dahl, 1998) ternyata telah diselewengkan oleh sekelempok elit. Di sini, demokrasi telah menjadi bersifat poliarkis. Tulisan ini dikembangkan berdasarkan hipotesis bahwa pengambilan kebijakan luar negeri (dalam hal ini perdagangan luar negeri) tidak didasarkan pada prosesproses demokratis, tetapi hanya sekelompok elit yang berkuasa. Globalisasi ekonomi yang melahirkan elit-elit transnasional telah mempertajam muatan demokrasi poliarkis dalam pengambilan kebijakan luar negeri. Padahal, kebijakan tersebut mempunyai imbas terhadap sebagian besar rakyat.
Politik Globalisasi dan “Kooptasi” Politik Nasional Kaum hiperglobalis mengklaim bahwa globalisasi merupakan fenomena yang bersifat alamiah. Sayangnya, klaim ini tidak menemukan sandaran yang cukup meyakinkan. Klaim globalisasi alamiah menegasikan proses-proses politik yang mengiringinya. Padahal, jika kita merujuk konteks historis globalisasi, maka kita akan menemukan fakta bahwa menyebar dan meluasnya globalisasi ditopang oleh banyak keputusan politik. Oleh karena itu, globalisasi juga harus kita lihat sebagai proses politik sehingga globalisasi tidaklah bersifat sealamiah seperti yang disangkakan selama ini. Sebagaimana dikemukakan Prawiro (1998: 314-317), pergerakan globalisasi dipengaruhi oleh adanya dukungan tambahan yang sangat penting, yakni pemerintah dan perusahaan. Pertama, dalam globalisasi yang dipimpin oleh pemerintah (a govermentled globalization), semua pemerintah, termasuk Indonesia cenderung memandang globalisasi secara ambivalensi. Tugas pemerintahan adalah kepada bangsa, dan melalui bangsa pemerintah mendapatkan kekuasaan dan legitimasi. Dalam kaitan ini, globalisasi membutuhkan negara bangsa untuk menyesuaikan diri dengan perjanjianperjanjian global yang mungkin bertentangan dengan kepentingan-kepentingan dalam negeri. APEC merupakan contoh globalisasi yang diarahkan oleh pemerintah. Di sisi lain, berbagai perundingan atau negosiasi di tingkat internasional dan gobal terus berlangsung diantara negara bangsa. Perundingan-perundingan tersebut diorientasikan untuk semakin membuka pasar-pasar dalam negeri. Ini merupakan proses politik sehingga, sebenarnya, tidak ada yang alamiah dalam proses globalisasi. Melalui berbagai perundingan ekonomi nasional semakin terintegrasi ke dalam perekonomian global, dan teknologi komunikasi bertindak sebagai katalis. Selebihnya, merupakan lobi dan keputusan politik pemerintahan nasional. Dengan melihat globalisasi sebagai proses dan hasil keputusan-keputusan politik, maka bagaimana kebijakan-kebijakan perdagangan luar negeri dirumuskan akan lebih mudah diidentifikasi. Uraian berikut akan menjelaskan bagaimana implikasi globalisasi pada kekuasaan dan peran negara bangsa untuk selanjutnya dipaparkan bagaimana kekuatan-kekuatan global “mengkooptasi” proses pengambilan kebijakan suatu negara? ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
174 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Globalisasi dan Rezim Demokrasi Poliarki: Kebijakan Integrasi Ekonomi Indonesia
Globalisasi telah merongrong kekuasaan negara melalui integrasi pasar-pasar domestik sehingga negara tidak lagi mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengontrol ekonomi nasional. Meskipun hal ini tidak berarti bahwa negara tidak sama sekali berperan. Kelompok skeptis telah mengingatkan mengenai peran negara ini dengan mengatakan bahwa kekuatan-kekuatan global itu sendiri sangat bergantung pada kekuatan mengatur pemerintahan nasional (Held, et.al., 1999). Dalam kasus Indonesia, kita akan melihat bagaimana pemerintahan yang lemah telah membuatnya mudah “dikendalikan” oleh kekuatan-kekuatan global. Meskipun demikian, globalisasi telah mentransformasi kekuasaan politik nasional, dalam pengertian memberikan batasan atas implementasi beberapa kekuasaan politik dan ekonomi yang dalam hubungan tradisional tidak tergoyahkan. Salah satu yang dapat dilihat dari kecenderungan semacam ini adalah bagaimana integrasi perekonomian global telah menciptakan kesalingtergantungan dan kesalinghubungan ekonomi nasional sehingga tidak ada satu negara pun yang mampu membuat kebijakan ekonomi tanpa mempertimbangkan negara lain atau aktor-aktor lain dalam lingkungan internasional dan global. Dalam kaitan ini, David Held (1995) mengemukakan adanya lima keterputusan (disjuncture) pola-pola kekuasaan dan tekanan yang berubah yang sedang mendefinisikan kembali arsitektur kekuasaan politik di era globalisasi sekarang ini. Pertama, hukum internasional. Perkembangan hukum internasional telah menempatkan individu, pemerintahan, dan organisasi non-pemerintah di bawah sistem pengaturan resmi yang baru. Hukum internasional mengakui kekuasaan dan tekanan, hak dan kewajiban, yang mengatasi klaim-klaim negara bangsa dan yang, meskipun dalam pelaksanaannya, mereka tidak bisa didukung oleh institusi-institusi dengan keputusan memaksa. Kedua, internasionalisasi pembuatan keputusan politik. Menurut Held, wilayah utama keterputusan kedua antara teori negara berdaulat dan sistem global kontemporer terletak pada rejimrejim dan organisasi-organisasi internasional yang sangat banyak yang dibentuk untuk, pada prinsipnya, mengatur keseluruhan bidang kegiatan transnasional (perdagangan, kelautan, ruang angkasa, dan sebagainya) dan masalah-masalah kebijakan kolektif. Perkembangan rejim-rejim dan organisasi-organisasi internasional telah membawa perubahan-perubahan penting dalam struktur pengambilan keputusan politik dunia. Bentuk-bentuk baru politik multilateral dan multinasional telah terbentuk dan bersamaan dengan itu terbentuk pula pola khusus pembuatan keputusan kolektif yang melibatkan pemerintahan nasional, IGO (International Government Organization), dan berbagai kelompok penekan transnasional serta INGO (International NonGovermental Organization). Ketiga, kekuasaan hegemonik dan struktur keamanan internasional. Tumbuhnya kekuatan hegemonik dan dan munculnya aktor militer dan perkembangan negara-negara global, yang dicirikan oleh kekuasaan-kekuasaan yang besar dan blok-blok kekuasaan, kadang-kadang mengurangi otoritas dan integritas negara. Penempatan negara individu dalam hirarki kekuasaan global menentukan ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
175 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Budi Winarno
tekanan dan jenis-jenis pertahanan dan kebijakan luar negeri yang bisa dicari oleh pemerintah, khususnya pemerintah yang dipilih secara demokratis. Keempat, identitas nasional dan globalisasi budaya. Konsolidasi kedaulatan negara pada abad ke-18 dan ke-19 membantu perkembangan identitas rakyat sebagai subjek politik-sebagai warga negara. Ini berarti bahwa orang-orang yang tunduk kepada otoritas sebuah negara secara perlahan menjadi sadar akan hak keanggotaan mereka dalam suatu masyarakat dan sadar akan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bisa diberikan keanggotaan semacam itu. Kelima, ekonomi dunia. Dalam konteks ini, terdapat keterputusan yang jelas antara otoritas formal negara dan jangkauan sistem produksi, distribusi, dan pertukaran kontemporer yang sering berfungsi membatasi wewenang dan keefektifan otoritas politik nasional. Kemajuan teknologi dalam teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi tengah menghilangkan batas-batas diantara pasar yang terpisah-batasbatas yang merupakan prasyarat utama bagi kebijakan ekonomi nasional yang independen (Keohane dan Nye, 1991 seperti dikutip Held, 1995). Pada kenyataannya, era globalisasi memunculkan aktor-aktor transnasional yang sangat berpengaruh, yang pengaruhnya, dalam tataran tertentu, mendeterminasi keputusan-keputusan politik dan kebijakan-kebijakan suatu negara, yakni perusahaanperusahaan transnasional dan lembaga-lembaga governance global. Perusahaan-perusahaan transnasional merupakan aktor kunci di balik globalisasi ekonomi. Bahkan, dalam banyak hal, korporasi-korporasi global ini tidak dapat dikontrol (Yeates, 2002: 70; Sklair, 2001) oleh kekuasaaan politik negara. Perusahaanperusahaan transnasional dan sekutu mereka merupakan aktor-aktor politik, dan mereka menuai kesuksesan besar dalam menyampaikan pesan ke seluruh dunia bahwa tidak ada alternatif lain kecuali melalui jalan kapitalisme global. Jalan ke arah kemakmuran bersama ini, sebagaimana sering diargumentasikan oleh para korporat, adalah melalui kompetisi internasional yang diputuskan melalui ‘free’ market dan ‘free’ trade, (Yeates, 2002: 155) lembaga dan proses melalui mana mereka mengontrol baik melalui diri mereka sendiri maupun melalui sekutu mereka di tingkat lokal, nasional, regional, dan global. Ada beberapa faktor pendukung semakin bagi semakin menguatnya pengaruh perusahaan-perusahaan transnasional dalam perekonomian global. Pertama, peran perusahaan-perusahaan transnasional semakin diperkuat oleh proses integrasi pasar keuangan global. Menguatnya integrasi pasar keuangan dunia ini telah membuat kontrol ekonomi korporasi menjadi sedemikian besar karena tidak ada satupun negara di dunia yang mampu mengontrol aliran modal global ini karena kurangnya kapasitas dan ketiadaan regulasi yang memadai. Kedua, merger dan akuisisi. Melalui proses ini, perusahaan-perusahaan transnasional mempunyai kemampuan ekonomi yang sangat besar. Bahkan, mengalahkan ekonomi beberapa negara. Desakan kompetisi dan keinginan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya membuat beberapa korporasi melakukan merger dengan korporasi lain sebagai usaha untuk meningkatkan ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
176 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Globalisasi dan Rezim Demokrasi Poliarki: Kebijakan Integrasi Ekonomi Indonesia
daya saing. Di Amerika Serikat, konsolidasi industri paling cepat terjadi pada kurun waktu 1897 sampai dengan 1904-pada tahun-tahun itu, 4277 perusahaan mengerut menjadi 257. Ratusan perusahaan terbesar tersebut meningkat empat kali lipat ukurannya dan menguasai 40 persen kapasitas industri negara (Tabb, 2003: 52-53). Konsolidasi dalam bentuk M & A tidak hanya terjadi diantara perusahaanperusahaan yang beroperasi dalam batas-batas teritorial negara, tetapi melibatkan perusahaan-perusahaan besar multinasional seperti Nestle, Philip Morris, RJR Nabisco, dan Unilever. Hal yang sama juga terjadi pada perusahaan-perusahaan farmasi. Pada pertengahan tahun 1990-an, misalnya, M & A perusahaan di bidang ini mencapai $ 80 juta, termasuk di dalamnya 16 transaksi senilai $ 1 juta (Scholte, 2000: 128). M & A ini dalam perkembangannya telah mentransformasi pasar menjadi dikuasai oleh segelintir pelaku ekonomi besar, perusahaan-perusahaan transnasional. McLarenn dan Willmore (2003) mencatat bahwa lima ratus perusahan multinasional kini mengontrol hampir dua pertiga perdagangan dunia, dan jika dibuat daftar dalam suatu tabel perkumpulan ekonomi berdampingan dengan negara-negara bangsa, maka lebih separuh dari 100 ekonomi dunia adalah perusahaan-perusahaan multinasional. Lima perusahaan terbesar dunia secara bersama-sama menghasilkan angka penjualan tahunan lebih besar dibandingkan dengan kombinasi pendapatan 46 negara termiskin di dunia. Lebih jauh, David Held et.al (1999: 237-238) mencatat bahwa selama tahun 1998 terdapat 53,000 MNCs dengan 450,000 cabangnya di luar negeri. Seratus MNCs terbesar mengontrol kira-kira 20% dari aset luar negeri dan mempekerjakan 6 juta tenaga kerja. MNCs menguasai 2/3 perdagangan dunia, dan 1/3 perdagangan dunia tersebut berlangsung intra-perusahaan antarcabang dalam suatu organisasi perusahaan yang sama. Kira-kira 50% perdagangan antara Jepang dan AS secara aktual terjadi dalam perusahaan (intrafirm trade). Selain itu, MNCs juga memainkan peran kunci dalam mengembangkan dan menyebarkan teknologi, kurang lebih 80% dari perdagangan dunia adalah dalam teknologi dan sejumlah besar share of private R &D. Selain perusahaan-perusahaan transnasional, aktor berikutnya yang mempunyai pengaruh besar di era globalisasi ekonomi ini adalah lembaga governance global. Salah satunya yang mempunyai pengaruh penting adalah World Trade Organization (WTO). Para pengritiknya mengatakan bahwa WTO merupakan puncak impian kaum neoliberal untuk mendapatkan organisasi yang akan mengatur arah globalisasi ekonomi di tingkatan dunia (Setiawan, 2000). Meskipun secara konseptual lembaga ini merepresentasikan suatu bentuk organisasi yang demokratis, tetapi pada kenyataannya merepresentasikan hipotesis hubungan sentral-periferi. Negara-negara maju mempunyai kekuasaan yang lebih besar dalam mempengaruhi keputusankeputusan dan negosiasi di tingkatan global. Melalui berbagai perundingan, negaranegara maju terus-menerus mendesakkan berbagai perjanjian dan kesepakatan yang memaksa negara-negara Dunia Ketiga untuk membuka pasar-pasar domestiknya, sementara pada saat bersamaan mereka melancarkan berbagai kebijakan ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
177 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Budi Winarno
proteksionisme. Aktor berikutnya adalah lembaga-lembaga keuangan global. IMF dan Bank Dunia menjadi lembaga keuangan yang berpengaruh saat ini dalam memaksakan banyak prasyarat bagi usaha mendesakkan agenda globalisasi neoliberal. Seperti dicatat Kevin Danaher (2005: xliii-xliv), dua institusi yang paling berkuasa yang telah berhasil menegakkan agenda “pasar bebas” dari korporasi-korporasi raksasa atau perusahaanperusahaan transnasional adalah Bank Dunia dan IMF. Dengan memberikan pinjaman ratusan milyar dolar kepada elit negara Dunia Ketiga, lebih lanjut Danaher mengemukakan, Bank Dunia dan IMF telah melakukan pengendalian signifikan terhadap strategi ekonomi kebanyakan negara. Mereka pun telah memaksakan seperangkat kebijakan (structural adjustment programs) suatu model ekonomi yang menguntungkan kaum minoritas, tetapi sangat mencelakakan kaum mayoritas. Kritik atas Bank Dunia dan IMF tidak hanya sebatas prasyarat-prasyarat memaksa yang berasal dari kemampuannya dalam memberikan utang, tetapi juga struktur lembaga tersebut yang sangat bersifat elitis dan anti demokrasi. Kevin Danaher (hal. 21) dengan tajam mengkritik lembaga ini sebagai bersifat otokrasi: mereka sangat hirarkis dan elitis. Para elit di kedua lembaga tersebut mempunyai kekuasaan yang sangat besar atas kehidupan para buruh, nasabah, sejumlah bisnis kecil, dan bahkan seluruh masyarakat. Merujuk Robert Dahl, Devest Kapur (2004: 103) mengkritik IMF dan Bank Dunia dengan menyatakan bahwa suatu kenyataan yang tidak menggembirakan mengenai institusi internasional ini ialah apapun governance dan pengambilan keputusan yang ada, kedua-duanya tidak akan demokratis dalam pengertian demokrasi sebagai suatu pengawasan oleh publik terhadap pengambilan keputusan. Secara struktural, menurut Kapur, organisasi internasional akan selalu menghadapi “defisit demokrasi”. Bahkan, di negara-negara yang sudah lama memiliki struktur demokrasi yang berurat berakar sangatlah sulit bagi warga negaranya untuk melakukan pengawasan secara efektif terhadap keputusan penting mengenai urusan luar negeri; pengaruh mereka terhadap institusi internasional jauh lebih kecil lagi. Satu negara satu suara (seperti pada PBB) mungkin tampak lebih demokratis daripada satu dolar satu suara (seperti pada intitusi Bretton Woods System, IMF dan Bank Dunia), tetapi kedua-duanya menyalahi konsep kesetaraan dalam paham demokrasi yang inheren dalam satu orang satu suara. Akhirnya, Bank Dunia dan IMF dituduh sebagai biang munculnya kemiskinan, yang pada akhirnya berimbas pada ketidaksetaraan politik dalam kontestasi demokrasi. Danaher (2006: 42) mengemukakan kritik tersebut sebagai berikut ini. Program Penyesuaian struktural (SAPs) yang disertakan dalam pinjaman IMF dan Bank Dunia boleh jadi membantu negara-negara dalam membayar utang mereka terdahulu, dan boleh jadi juga menciptakan sejumlah jutawan. Namun, mayoritas penduduklah yang menjadi tumbalnya: upah yang rendah, berkurangnya pelayanan sosial, dan minimnya akses demokratis pada proses pembuatan kebijakan. ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
178 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Globalisasi dan Rezim Demokrasi Poliarki: Kebijakan Integrasi Ekonomi Indonesia
Bagi negara yang pernah mengalami kebangkrutan ekonomi, kekuasaan IMF dan Bank Dunia ini pasti pernah mereka rasakan. Ekonomi yang bangkrut, defisit anggaran yang membengkak, membuat negara-negara yang berada dalam situasi krisis tidak mempunyai pilihan lain kecuali meminta belas kasihan dari IMF. Keseluruhan paparan di atas memberikan pelajaran bahwa globalisasi telah memunculkan aktor-aktor baru transnasional. Elit-elit transnasional yang lahir dari perusahaan-perusahaan global, WTO, IMF maupun Bank Dunia kini mempunyai kemampuan yang sangat besar dalam mempengaruhi kebijakan-kebijakan suatu negara. Perusahaan-perusahaan transnasional mendesakkan hasrat investasi yang bisa mengancam sewaktu-waktu untuk keluar dari dalam negeri jika kebijakan ekonomipolitik domestik tidak sejalan dengan kepentingan mereka. Ini belum termasuk lobilobi di tingkat pemerintah guna mendesakkan kebijakan-kebijakan yang lebih favourable bagi investasi dan usaha meraih keuntungan mereka. Sementara pada waktu bersamaan, memotong kebijakan-kebijakan pro-kaum buruh yang dalam pemahaman mereka merugikan. Bagaimanapun perusahaan-perusahaan transnasional mempunyai sumber daya memadai untuk memanipulasi kebijakan-kebijakan publik dibandingkan dengan warga negara biasa. Mereka juga mempunyai akses informasi yang lebih baik sehingga bisa memberikan respon atas rencana kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah dalam kerangka yang lebih menguntungkan untuk mereka. Kemampuan memanipulasi kebijakan perusahaan-perusahaan transnasional ini menjadi semakin besar jika kita lihat kenyataan semakin mahalnya demokrasi liberal. Telah menjadi rahasia umum, baik di Amerika Serikat, Uni Eropa, maupun Indonesia bahwa kampanye partai politik dan juga kandidat presiden dibiayai oleh perusahaanperusahaan swasta, baik nasional maupun transnasional. Terdapat aturan yang membatasi jumlah sumbangan, tetapi hal tersebut tetap tidak menghilangkan kekuatiran bahwa kebijakan-kebijakan pemerintahan yang berkuasa akan lebih ramah kepada perusahaan-perusahaan dibandingkan dengan masyarakat pemilih. Sementara itu, melalui WTO, elit-elit negara maju terus-menerus mengenduskan globalisasi ekonomi neoliberal untuk kepentingan-kepentingan kolonialis mereka lepas dari aspirasi negara Dunia Ketiga. Sebaliknya, elit-elit nasional di negara-negara Dunia Ketiga secara membabi buta “membebek” pada keputusan-keputusan dalam tubuh WTO tanpa memperhatikan aspirasi rakyat di negaranya meskipun beberapa diantaranya melakukan perlawanan. Namun, pada akhirnya, mereka harus melaksanakan hasil-hasil perundingan yang merugikan kepentingan rakyatnya. Demikian pula, para penguasa di IMF dan Bank Dunia yang sebenarnya juga merepresentasikan kepentingan negara industri maju, tidak lupa memaksakan berbagai prasyarat dalam bentuk SAPs guna menopang jalannya globalisasi noeoliberal yang merusak tersebut. Keseluruhan ini, pada akhirnya, mengkooptasi politik dalam negeri dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan nasional dan warga negara. Sebaliknya, lembaga-lembaga keuangan global seperti IMF dan Bank Dunia jauh ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
179 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Budi Winarno
lebih peduli dengan proyek-proyek ataupun kebijakan-kebijakan yang compatible dan mendukung globalisasi ekonomi yang timpang. Lembaga-lembaga ini lebih peduli terhadap upaya-upaya meliberalisasi ekonomi perdagangan dan juga privatisasi perusahaan-perusahaan publik yang dalam banyak hal bertentangan dengan kepentingan warga negara di negara Dunia Ketiga. Stiglitz (2002; 2006), saya kira, telah memberikan komentar-komentar kritisnya terhadap hal ini. Dalam hal privatisasi, Stiglitz mengemukakan bahwa kebijakan privatisasi di negara-negara Dunia Ketiga yang dilanda krisis acapkali merupakan kebijakan yang tidak perlu, dilakukan dengan serampangan di tengah kerangka institusional yang belum mapan. Sementara dalam hal liberalisasi perdagangan, Stiglitz mmberikan komentar bahwa liberalisasi perdagangan menimbulkan efek-efek yang tidak terduga di negara Dunia Ketiga yang mengancam industri bayi (infant industry). Dalam kaitan ini, pembelaan Stiglitz adalah bahwa industri negara Dunia Ketiga memerlukan persiapan untuk mampu bersaing dengan negara-negara industri maju sehingga proteksi diperlukan terhadap industri mereka agar kuat. Lebih lanjut, Stiglitz mengemukakan bahwa perdagangan bebas didasarkan pada efisiensi, dan ini akan sangat tergantung pada satu diantaranya sumber daya manusia dan kemampuan teknologi. Padahal, negara Dunia Ketiga tidak cukup memiliki sumber daya dan teknologi yang cukup. Akibatnya, perdagangan bebas tidak hanya menurunkan pendapatan karena penurunan tarif sebagai sumber penerimaan pemerintah di negara Dunia Ketiga, tetapi juga pada penurunan pajak. Ini pada akhirnya akan mendorong penurunan belanja publik. Di sisi lain, negara-negara Dunia Ketiga juga menderita karena tidak selalu menjadi pihak yang mendapatkan manfaat dengan adanya peningkatan ekspor karena minimnya infrastruktur untuk memindahkan barang-barang produksi mereka, dan yang kedua mereka memang tidak mempunyai barang yang dapat diekspor ke luar negeri. Apa yang dikemukakan Stiglitz di atas merupakan suatu contoh dimana kebijakan yang diprakarsai IMF dan Bank Dunia tidak dirumuskan demi mengejar kemakmuran ekonomi warga negara, tetapi lebih untuk memenuhi hasrat korporasi untuk mengeruk keuntungan. Ini sejalan dengan prinsip yang mendasari keseluruhan kerja IMF dan Bank Dunia (Danaher, 2006: 53), yakni merangkul korporasi-korporasi besar agar berinvestasi di negara Dunia Ketiga. Jika investasi masuk, maka, asumsinya, akan menciptakan lapangan kerja dan kemudian meningkatkan pendapatan masyarakat di negara Dunia Ketiga. Namun, asumsi semacam ini seringkali luput karena adanya pertentangan antara kepentingan-kepentingan korporasi dan buruh. Dalam banyak kasus, buruh seringkali tidak mendapatkan hasil yang cukup untuk membiayai hidupnya karena minimnya upah, sedangkan di sisi lain negara tidak mampu berbuat banyak dalam menghadapi situasi semacam itu karena ancaman penarikan investasi. Pemerintahan nasional terus-menerus mendapatkan tekanan dari semakin membengkaknya jumlah pengangguran. Padahal, pembangunan ekonomi yang ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
180 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Globalisasi dan Rezim Demokrasi Poliarki: Kebijakan Integrasi Ekonomi Indonesia
mendorong penciptaan lapangan kerja menjadi salah satu sumber penilaian keberhasilan pemerintah. Jika pemerintah berhasil menurunkan angka pengangguran, maka meningkatkan legitimasinya dan membuka peluang bagi kembali terpilihnya rejim tersebut pada pemilu berikutnya. Sebaliknya, rejim pemerintahan yang gagal dalam menciptakan lapangan kerja bukan hanya akan menutup peluang untuk dipilih kembali dalam pemilihan umum berikutnya, tetapi juga akan membuka peluang bagi terjadinya instabilitas politik akibat gejolak di masyarakat. Oleh karena itulah, pemerintah sangat berhati-hati dalam menyikapi konflik buruh dengan perusahaan. Bahkan, sebagaimana disinyalir oleh Pierre Bourdieu (2003), pemimpin nasional seringkali merendahkan martabat status mereka dengan selalu menunduk di depan CEO perusahaan-perusahaan multinasional seperti Toyota, Daewoo, dan lain sebagainya, yang menurut Robinson disebut sebagai elit transnasional baru. Sebagaimana dikemukakan oleh Robinson (2003: 6-7), agen-agen ekonomi global ini adalah elit transnasional baru. Elit-elit ini mengendalikan sistem keputusan dan secara cepat memonopoli kekuasaan masyarakat global melalui dominasi politik. Akibatnya, demokrasi yang dipromosikan oleh kelompok-kelompok ini lebih merupakan demokrasi poliarkis. Suatu sistem yang merujuk pada adanya sekelompok kecil yang benar-benar memiliki kekuasaan dan terikat langsung dalam pembuatan kebijakan, sembari hanya memberi kesempatan kelompok mayoritas pemilih mereka bersaing dalam pemilihan umum yang diawasi secara ketat. Robinson menyebutnya sebagai tipe “demokrasi pura-pura” yang sama sekali tidak melibatkan kekuasaan (cratos) dari massa rakyat (demos). Kekuasaannya berakhir setelah kelompok elite kecil berkuasa dan menyebabkan semakin menganganya kesenjangan akibat ekonomi global.
Demokrasi Poliarki Ungkapan demokrasi poliarki diperkenalkan oleh Robert Dahl (1998: 90) untuk membedakannya dengan suatu bentuk pemerintahan yang diatur oleh monarki atau oligarki. Konsep yang dikemukakan oleh Robert Dahl ini menarik karena setidaknya dua alasan. Pertama, demokrasi memang mempunyai sifat-sifat ideal setidaknya dalam konsepsi teoritiknya. Sebagaimana dikemukakan oleh Robert Dahl (1998: 38), demokrasi akan menjamin hak-hak politik warga negara, pembangunan manusia, kemakmuran, menghindarkan tirani, jaminan akan hak-hak dasar, dan lain sebagainya. Dalam prosesnya, suatu sistem dikatakan demokratis jika setidaknya mengandung lima kriteria, yakni partisipasi yang efektif, persamaan dalam memberikan suara, pemahaman yang jernih dari warga negara atau anggota suatu kelompok asosiasi, pengawasan agenda, dan pencakupan orang dewasa. Namun, acapkali terjadi, demokrasi tidak memberikan kesempatan semacam itu. Sebaliknya, proses pemilu yang mahal telah membuatnya terjebak ke dalam demokrasi prosedural yang lebih menjamin kelompok kaya untuk memegang tampuk pemerintahan karena kemampuan manipulasi melalui berbagai proyek pencitraan. Demokrasi, dengan ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
181 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Budi Winarno
demikian, mengalami proses penyerobotan oleh elit-elit politik lokal dan nasional yang tujuan dasarnya sebatas meraih kekuasaan. Dengan kata lain, demokrasi prosedural yang mengandalkan suara terbanyak berdasarkan prinsip one man one vote juga acapkali mudah diselewengkan untuk kepentingan pragmatis elit, baik ekonomi maupun politik. Kedua, demokrasi partisipatif yang setara memerlukan akses dan informasi yang tersedia untuk seluruh warga negara. Sayangnya, prasyarat ini hampir tidak pernah bisa dipenuhi. Informasi selalu timpang. Kelompok kaya selalu mendapatkan lebih banyak informasi, sedangkan masyarakat miskin tidak demikian. Akibatnya, kualitas partisipasi masing-masing warga negara mempunyai derajat yang sangat berbeda. Ini pada akhirnya berimplikasi pada kemampuan masing-masing kelompok dalam memanipulasi kebijakan. Perusahaan-perusahaan transnasional karena sumber daya yang dimiliki mempunyai kemampuan memanipulasi kebijakan publik yang lebih besar dibandingkan dengan warga negara kebanyakan sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Di era globalisasi sekarang ini, muatan demokrasi poliarkis menjadi semakin kuat. Keberadaan elit-elit transnasional seperti WTO, IMF, dan Bank Dunia, dan perusahaan-perusahaan transnasional, misalnya, membuat pemerintahan nasional yang berdaulat semakin tidak mempunyai kesempatan untuk mengkonsultasikan kebijakan-kebijakan publik melalui debat publik yang panjang. Dalam situasi ekonomi bangkrut seperti krisis ekonomi 1998, bangsa Indonesia sepertinya tidak mempunyai banyak pilihan kecuali utang kepada IMF. Tentu saja, utang diberikan dengan syarat Indonesia melakukan kebijakan yang bersandar pada tiga hal pokok, yakni liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi. Suatu kebijakan ekonomi khas neoliberal. Pilihan kebijakan semacam ini tidak saja tanpa melalui “konsultasi publik” layaknya yang berlaku dalam sistem demokrasi, tetapi dirumuskan oleh segelintir elit politik di Jakarta. Padahal, akibat-akibat kebijakan tersebut mempunyai dampak luas bagi hampir seluruh rakyat Indonesia. Utang yang besar jelas membebani APBN yang membuat anggaran pendidikan dan kesejahteraan sosial jauh berkurang. Sementara pada waktu bersamaan, liberalisasi tanpa kendali di sektor pertanian dan perkebunan justru menghancurkan produktivitas sektor tersebut (Primahendra, 2006), sekaligus menciptakan ketergantungan (Khudori, 2008). Keseluruhan proses tersebut pada akhirnya membuat petani semakin termarginalkan. Secara tradisional, sebenarnya, tujuan penyelenggaraan pemerintahan demokrasi adalah untuk mencegah akumulasi kekuasaan ke dalam satu atau beberapa orang. Demokrasi sebagaimana dikemukakan Winston Churchil sebagai ‘least bad’ form of government. Dengan menciptakan sistem dimana publik dapat mengganti pemerintahan dengan tanpa mengubah aturan dasarnya dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut, penyelenggaraan sistem pemerintahan demokrasi bertujuan untuk mengurangi ketidakpastian dan instabilitas, dan menjamin warga negara yang tidak sepakat dengan kebijakan saat ini dengan memberikan kesempatan berkala ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
182 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Globalisasi dan Rezim Demokrasi Poliarki: Kebijakan Integrasi Ekonomi Indonesia
untuk mengganti siapa saja yang memegang kekuasaan, dan dengan demikian mempunyai otoritas membuat kebijakan. Mereka dapat mengubah kebijakan yang tidak mereka setujui dengan melakukan tekanan-tekanan politik kepada rejim yang sedang berkuasa. Dalam kaitannya dengan kebebasan individu, Robert Dahl (1998: 2) menegaskan bahwa demokrasi memberikan jaminan kebebasan yang tidak tertandingi oleh sistem politik manapun. Secara instrumental, demokrasi mendorong kebebasan melalui tiga cara (Diamond, 2003: 3-4), yakni: pertama, pemilu yang bebas dan adil yang secara inheren mensyaratkan hak-hak politik tertentu untuk mengekspresikan pendapat, berorganisasi, oposisi, serta “hak-hak politik mendasar semacam ini tidak mungkin hadir” tanpa pengakuan kebebasan sipil yang lebih luas. Kedua, demokrasi memaksimalkan peluang bagi penentuan nasib sendiri (self determination), “setiap individu hidup di bawah aturan hukum yang dibuat oleh dirinya sendiri”. Ketiga, demokrasi mendorong otonomi moral, yakni kemampuan setiap negara untuk melakukan pilihan-pilihan normatif, dan karenanya pada tingkat yang paling mendalam, demokrasi mendorong kemampuan untuk memerintah sendiri (self governing). Namun, bagaimanapun idealnya, prasyarat demokrasi sebagaimana dikemukakan di awal, seringkali tidak dipenuhi. Di sisi lain, kecenderungan demokrasi ternyata justru melawan pandangan umum yang diyakini banyak orang dimana demokrasi akan terjebak ke dalam tirani mayoritas. Seperti dikemukakan oleh Tocqueville, prinsip mayoritas yang merupakan substansi dalam sistem pemerintahan demokratis dianggap akan memunculkan suatu produk hukum yang hanya akan melayani kehendak dan kepentingan mayoritas. Mayoritas sebagaimana dipahami oleh Tocqueville (1966) adalah kemampuan kolektif dengan pendapat dan biasanya dengan kepentingan yang bertentangan dengan kehendak dan kepentingan individu-individu yang lain, yang disebut sebagai minoritas. Demokrasi, sebaliknya, terjebak ke dalam sifat poliarkis dimana kebijakan dirumuskan oleh segelintir orang yang, dalam banyak hal, tidak bertanggung jawab terhadap kedaulatan rakyat. Padahal, legitimasi pemilihan umum dalam sistem demokrasi diselenggarakan sebagai usaha mewujudkan kedaulatan tersebut. Namun, dalam praktiknya, jauh dari kenyataan demikian. Oleh karena itu, penulis seperti Giddens (1994) menerima konsep demokrasi liberal sebagai demokrasi perwakilan dan tidak mengakui bentuk partisipasi langsung oleh mereka yang diperintah dalam proses pemilihan pemerintahan. Menurut Giddens, demokrasi ini hanya dibatasi pada wilayah politik; dalam wilayah produksi, pekerja tidak memiliki hak atas nasibnya sendiri segera setelah mereka memasuki ruang kerja setiap hari. Seperti dikemukakan Giddens, “demokrasi liberal, yang akan saya terima, pada dasarnya adalah demokrasi sebagai suatu sistem representasi”.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
183 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Budi Winarno
Integrasi Ekonomi Indonesia: Dari Elit untuk Elit? Kebijakan ekonomi Indonesia dalam usahanya untuk terus-menerus terlibat dalam integrasi ekonomi dunia mencerminkan suatu tipe pengambilan kebijakan yang bersifat poliarkis. Akhir tahun 1980an, Indonesia telah melancarkan serangkaian kebijakan yang ditujukan untuk semakin memperluas basis ekonomi swasta, baik nasional maupun internasional. Kebijakan ini terus berlanjut pada era tahun 1990an saat Indonesia masuk ke dalam organisasi perdagangan dunia, WTO. Konsekuensi atas masuknya Indonesia ke dalam WTO ini amatlah jelas, yakni secara konsisten harus meliberalisasi perekonomian dalam negeri sesuai dengan mandat yang diberikan oleh WTO. Pada penghujung tahun 1990-an ketika Indonesia mengalami serangkaian krisis moneter, usaha untuk mengintegrasikan diri ke dalam perekonomian global semakin gencar dilakukan. Ini dilakukan sebagai konsekuensi logis utang Indonesia kepada IMF untuk mengatasi krisis moneter waktu itu. Prasyarat mencarikan utang maka Indonesia harus melakukan serangkaian kebijakan yang termaktub dalam LoI. Isinya, tidak lain merupakan serangkaian kebijakan yang berbasis pada Konsensus Washington. Beberapa kebijakan pokok berdasarkan LoI ini diantaranya adalah liberalisasi di sektor pertanian. Beberapa kebijakan hasil dari kesepakatan dengan IMF di sektor ini adalah penurunan tarif impor dan ekspor hingga 0 persen. BULOG juga direformasi sehingga tidak lagi diijinkan melakukan monopoli kecuali untuk komoditas beras. Sistem tanam yang diwajibkan kepada petani dihapuskan, dan berbagai fasilitas yang banyak dinikmati petani mulai dihilangkan satu per satu. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana implikasi kebijakan ini bagi nasib petani? Kebijakan neoliberal di sektor ini ternyata tidak hanya membuat petani semakin kesulitan, tetapi juga menciptakan bentuk baru ketergantungan sektor pertanian. Periode 1989-1991, Indonesia merupakan negara pengeskpor pangan (net exporter) dengan nilai sekitar US$ 418 juta/per tahun. Namun, sejak tahun 1994, Indonesia beralih menjadi pengimpor pangan. Pada tahun 2003, sebagai akibat liberalisasi yang makin intensif, Indonesia mengalami defisit perdagangan sebesar US$ 1,4 miliar untuk tanaman pangan dan US$ 134,4 juta untuk peternakan (Primahendra, 2006: 229). Dalam hal impor, pada periode 1998-2000, Indonesia mengimpor pangan ratarata US$ 863 juta per tahun. Selama periode 1996-2003, Indonesia mengimpor beras 2,83 juta ton, gula 1,6 juta ton, jagung 1,2 juta ton, kedelai 0,8 juta ton serta beberapa bahan pangan lainnya (Witoro, 2006: 136). Ditinjau dari dampak-dampak kebijakan publik liberalisasi, dan dengan demikian merupakan rangkaian kebijakan Indonesia untuk mengintegrasikan pasar domestiknya ke dalam perekonomian global, liberalisasi sektor pertanian mempunyai dampak buruk. Namun, kebijakan tersebut tetap dilaksanakan. Ironisnya, petani yang menjadi kelompok terbesar dalam pemilu tidak pernah dilibatkan dalam proses ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
184 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Globalisasi dan Rezim Demokrasi Poliarki: Kebijakan Integrasi Ekonomi Indonesia
pengambilan kebijakan, yang nota bene mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan mereka. Sebaliknya, melalui perundingan dengan IMF liberalisasi sektor pertanian diputuskan dengan tanpa mempertimbangkan suara dan nasib petani. Di luar WTO dan desakan IMF, Indonesia juga terlibat secara aktif dalam membangun aliansi-aliansi ekonomi strategis yang bermuara pada integrasi perekonomian Indonesia dalam lingkup global. Dalam hal integrasi pasar ASEAN, Indonesia menjadi salah satu penggerak yang terus-menerus mempromosikan pentingnya pasar bebas ASEAN. Para pengambil kebijakan di tingkat pusat mempunyai keyakinan ideologis bahwa hanya melalui perdagangan bebaslah ekonomi Indonesia akan menjadi lebih baik, dan dengan demikian kemakmuran dan kesejahteraan akan lebih mudah dicapai. Sayangnya, keyakinan-keyakinan para pengambil kebijakan ini bertentangan, dalam banyak kasus, dengan keluhan-keluhan masyarakat di tingkat bawah. Pembukaan pasar-pasar dalam negeri telah menggerus kemampuan industri dalam negeri yang tidak kompetitif. Sektor pertanian menjadi contoh dalam hal ini. Industri tektil menjadi contoh lainnya. Suatu pertanyaan pokoknya adalah jika kebijakan-kebijakan yang diorientasikan untuk mengintegrasikan diri ke dalam perekonomian global merugikan pengusahapengusaha kecil dalam negeri dan petani, maka bagaimana mungkin kebijakan tersebut tetap dipertahankan? Jawaban atas hal ini terletak pada perubahan struktur kekuasaan dalam lingkungan global yang telah berubah sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Bagaimanapun negara-negara akan mempunyai keterbatasan dalam mendesakkan agenda nasional lepas dari pertimbangan kekuatan-kekuatan global yang juga bersifat poliarkis. Situasi ini akan menjadi semakin buruk jika dilihat kenyataan karakteristik kekuasaan dan kelembagaan Indonesia baik sebelum maupun sesudah reformasi. Dalam kaitan ini, Vedy R. Hadiz (2005: 263) mengemukakan adanya delapan karakterisk kelembagaan baru Indonesia pasca-reformasi. Pertama, deseNtralisasi kekuasaan kepresidenan kepada lembaga-lembaga seperti partai-partai politik dan parlemen. Kedua, kebangkitan partai-partai politik, yang tidak disatukan oleh agenda-agenda sosial, ekonomi dan politik yang bersifat spesifik dan konkret, melainkan sekadar merupakan ekspresi dari pergeseran koalisi-koalisi kekuasaan. Kepentingan-kepentingan predatoris lama umumnya masih bercokol di dalam partaipartai ini, ditambah dengan segelintir unsur-unsur reformis yang biasanya termarjinalisasi. Ketiga, desentralisasi kekuasaan dari Jakarta ke daerah-daerah. Oleh karena itu, pejabat-pejabat lokal seperti bupati dan walikota, cabang-cabang partai dan parlemen di tingkat lokal memperoleh arti penting baru. Keempat, munculnya jaringan-jaringan patronase yang desentralistik, tumpang-tindih, dan tersebar yang didasarkan atas persaingan memperebutkan akses dan kontrol terhadap lembagalembaga dan sumber-sumber daya negara di tingkat nasional maupun lokal. Kelima, munculnya bandar-bandar, pialang dan kriminal politik yang sebelumnya berada pada ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
185 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Budi Winarno
lapisan-lapisan terbawah dalam sistem patronase Orde Baru. Keenam, terkait dengan itu, kebangkitan para hooligan dan kriminal yang terorganisasi dalam milisi partai, kekuatan-kekuatan paramiliter, serta berbagai laskar Islam, dimana banyak dari mereka yang mengambil alih fungsi-fungsi tertentu militer (misalnya, dalam mengintimidasi buruh dan para aktivis). Ketujuh, kontrol-kontrol yang terlalu otoritan digantikan oleh penggunaan politik uang dan politik kekerasan serta intimidasi, baik di tingkat nasional maupun lokal. Kedelapan, kedudukan penting pemilihan umum, termasuk ditingkat lokal, terutama karena kecenderungan-kecenderungan yang mengarah pada otonomi daerah (yang hingga sekarang masih belum terdefinisikan secara memadai). Kesembilan, peran militer senagai sebuah lembaga. Setelah militer diturunkan dari polisi ‘bodyguard’ rezim pada tahun-tahun akhir Soeharto, partaipartai dan para politisi di era pasca-Soeharto belum mampu untuk mengabaikan kepentingan-kepentingan mereka. Isu yang ramai diperdebatkan adalah sistem teritorial yang telah menjadi dasar bagi komandan-komandan lokaluntuk masuk ke dalam alinasi-alinasi bisnis maupun politik dan menanamkan pengaruhnya di setiap tingkat, serta keterlibatan militer dalam berbagai aktivitas bisnis (misalnya di bidang kehutanan). Keseluruhan karakteristik kelembagaan ini pada akhirnya membuat “sabotase” demokrasi jauh lebih berjalan mulus. Demokrasi poliarkis semakin kuat dengan keuntungan berada di lingkaran elit melalui patronase dan perburuan rente ekonomi dalam lingkaran kekuasaan (Hadiz, 2005). Kebijakan ekonomi luar negeri dengan demikian lebih berorientasi pada kemauan ideologis para pelaku pasar utama dibandingkan dengan memperjuangkan kepentingan rakyat dalam pengertian sesungguhnya.
Kesimpulan Keseluruhan paparan di atas memberikan gambaran bagaimana demokrasi telah cenderung bersifat poliarkis. Globalisasi yang memunculkan elit-elit transnasional baru pada akhirnya mempertajam muatan demokrasi poliarkis dengan menyerobot proses-proses demokrasi. Untuk mengatasi hal tersebut, barangkali, muatan demokrasi deliberatif ini dapat dipertimbangkan. Ini karena setidaknya tiga alasan, yang sekaligus menjadi ciri demokrasi model ini. Pertama, partisipan mendapatkan jaminan guna menawarkan argumentasi persuasif yang ditujukan untuk partisipan yang lain dalam suatu proses deliberatif. Standar yang diterima oleh para pendukung demokrasi deliberatif bahwa partisipan dalam proses-proses deliberatif tidak hanya dibutuhkan untuk menawarkan argumen, tetapi menawarkan argumen persuasif yang ditujukan untuk semua. Kedua, partisipan dalam demokrasi deliberatif mempunyai komitmen untuk merespon alasan dan argumentasi partisipan yang lain juga melalui alasan dan argumen. Apa yang dimaksud dengan deliberation bukanlah menyangkut tawar-menawar kekuasaan, tetapi ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
186 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Globalisasi dan Rezim Demokrasi Poliarki: Kebijakan Integrasi Ekonomi Indonesia
hanya menguatkan argumentasi yang lebih baik: partisipan memberikan alasan-alasan mereka ‘dengan harapan bahwa alasan-alasan itu akan meyakinkan usulan mereka’. Ketiga, partisipan dalam demokrasi deliberatif bersedia merevisi usulan yang mereka ajukan dalam rangka mendapatkan kesepakatan yang dapat diterima secara bersamasama.
Bibliografi Bourdieu, Pierre. 2003. Kritik Terhadap Neoliberalisme: Utopia Eksploitasi Tanpa Batas Menjadi Kenyataan. Basis, Nomor 11-12, Tahun ke-52, November-Desember. Dahl, Robert. 1998. On Democracy. Yale University Press Danaher, Kevin. 2006. 10 Alasan Bubarkan IMF dan Bank Dunia. Yogyakarta: Cindelaras Diamond, Larry. 2003. Developing Democracy: Toward Consolidation. Yogyakarta: IRE Press. Festenstein, Matthe. 2004. Deliberative Democracy and Two Pragmatism. European Journal of Social Theory, 7(3): 291-306. Giddens, Anthony. 1994. Beyond the Left and Right: The Future of Radical Politics. Cambridge: Polity Press Hadiz, Vedy R. 2005. Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES Held, David at.al. 1999. Global Transformations: Politics, Economic, and Culture. Stanford, California: Stanford University Press Held, David. 1995. Democracy and the Global Order, Stanford: Stanford University Press. Held, David. 2001. Globalization, Cosmopolitanism, and Democracy: an Interview. First published in the journal IDEES of the Centre d’Estudis de Temes Contemporanis, Generalitat de Catalunya. (Online), (http://www.polity.co.uk/global/held.htms) Kapur, Devest. 2004. Anatomi Governance Bank Dunia. Dalam Jonathan R. Pincus dan Jeffery Winters. Membongkar Bank Dunia. Jakarta: Jambatan Korten, David. 1997. When Corporations Rule The World, (Bila Korporasi Menguasai Dunia). Jakarta: Profesional Books McLarenn, Duncan and Ian Willmore. 2003. The Growing of Big Bussiness. Open Democracy, 20 February. Primahendra, Riza. 2006. Tata Kelola Globalisasi dan Dampaknya: Pekerjaan Rumah untuk Indonesia. Dalam Sugeng Bahagijo (ed.). Globalisasi Menghempas Indonesia. Jakarta: LP3ES Priyono, Herry B. 2003. Dalam Pusaran Neoliberalisme. Dalam I. Wibowo dan F. Wahono (ed.) Neoliberalisme. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Robinson, William I. 2003. Neoliberalisme, Elit Global, dan Transisi Guatemala: Sebuah Analisis Kritis Makrostruktural. Dalam William I. Robinson (ed.). Hantu ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
187 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Budi Winarno
Neoliberalisme. Jakarta: C-Books. Scholte, Jan Art. 2000. Globalization: A Critical Introduction. New York: St. Martin Press Sklair, Leslie. 2001. Globalization: Capitalism and It’s Alternative. Oxford University Press. Sklair, Leslie. 2002. Demokrasi and Transnational Capitalis Class. ANNAL, AAPSS, 581, Mei. Stiglitz, Joseph. 2002. Globalization and Its Discontents. Allen Lane: Pinguin Books Tocqueville, Alexis De. 1966. Democracy in America. Dalam Ricardo Blaug and John Schwarzmantel (ed.). Democracy: A Reader, Edinburg University Press. Winarno, Budi. 2005. Globalisasi dan Krisis Pembangunan: Bagaimana dengan Indonesia?. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Winarno, Budi. 2007. Globalisasi dan Krisis Demokrasi. Yogyakarta: Media Peressindo Winarno, Budi. 2008. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Yogyakarta: Media Pressindo. Witoro. 2006. Memperdagangkan Kehidupan: Menelisik Nasib Beras di Bawah Pasalpasal WTO. Dalam Sugeng Bahagijo (ed.). Globalisasi Menghempas Indonesia. Jakarta: LP3ES Yeates, Nicola. 2002. Globalization and Social Policy: From Global Neoliberal Hegemony to Global Political Pluralism. Global Social Policy, Vol 2 (X), 69-91.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
188 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
The Threat of a Nuclear-Armed North Korea And The Possibility of Solutions Abstract Artikel ini memberi gambaran tentang ancaman nuklir Korea Utara terhadap keamanan regional maupun internasional. Proliferasi nuklir Korea Utara membuka kemungkinan bagi hadirnya perlombaan senjata, bahkan perang nuklir, di kawasan. Lebih auh, kemampuan teknologi Korea Utara dalam memproduksi senjata nuklir akan meningkatkan penyebaran senjata ini, baik terhadap negara lain maupun terhadap aktor di luar negara. Dibutuhkan sejumlah terobosan kebijakan regional untuk mencegah proliferasi nuklir di kawasan. Keywords: North Korean Nuclear, Security Threats, International Policy
Introduction
Zain Maulana School of International Studies Flinders University, Australia. Email:
[email protected]
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
The Democratic People’s Republic of Korea (DPRK) is an authoritarian state controlled by the Kim regime for decades. In 2012, the government has delivered a political message to the world that North Korea has already attained the status of a politically, ideologically, and militarily powerful state, while it seeks to be recognized by the world as a nuclear state (Nanto and Manyin, 2010: 9). For North Korea, nuclear armament plays a significant role as a source of political status as well as strengthening the regime leadership. In this regard, however, ‘nuclear technology, is inherently dual-use: ‘Atoms for Peace’ immediately suggests the possibility of ‘Atoms for War’ (F. Lehman II, 1993: 6). Observations of the state tend to show that the possibility to use nuclear weapons is high. Nucleararmed North Korea has increased vulnerability for both regional and international security. The possibility of an arms race or even nuclear war is also considered. Furthermore, the capability of the ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
189 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Zain Maulana
DPRK in nuclear technology is likely to increase the spread of nuclear weapons to other state and non-state actors. To deal with these problems, some measures are possible to realize denuclearization in the Korean peninsula whether through economic sanctions, international regime or even military intervention. Regarding these matters, this article attempts to discuss why nuclear-armed North Korea poses a threat to regional and international security. It begins with a brief explanation of the DPRK nuclear armament policy. The next section will discuss the threats of the DPRK nuclear-armed for both regional and international security. In addition, discussion of the preferred option for the international community to deal with a nuclear-armed North Korea will be addressed in the final section.
North Korean Nuclear Policy The DPRK is a communist-authoritarian country led by Kim’s regime. For decades, North Korea was subject to embargo and isolated by a majority of countries in the world especially by the United States and European countries. Generally, the DPRK has a less significant role in both international economics and international politics. Nevertheless, the nuclear proliferation policy issued by the government absolutely increased the significance of the state at the international level, mainly with regard to security and peace issues. In this regard, there are several reasons underlying the nuclear policy. First, the policy to begin a nuclear program aims to fulfill national energy needs. This policy is important for the state budget in order to support a national program of economic development. In spite of this, the energy goal is still debatable, because of the lack of information regarding the nuclear program. Second, the nuclear proliferation is aimed at increasing the political bargaining position either at regional or international level. Obviously, the DPRK nuclear proliferation issue has increased the political leverage of the communist state, at least, in the region. Some major countries such as United States, China, Russia and some of European States have been discussing the issue at international level. Many solution packages offered to the DPRK government consist of economic and political assistance in order to discontinue the nuclear program.
Why a nuclear-armed North Korea is dangerous Nuclear-armed North Korea is clearly a threat to both regional and international security. The threats are related to three critical issues. First, nuclear-armed North Korea is a threat for regional and international security because nuclear proliferation is considered to have occurred in a ‘rogue state’ or ‘untrustworthy regime’ (Ayson and Taylor, 2004: 269). The Kim regime is considered to be dangerous because their authoritarian power makes them likely to use nuclear weapons. In addition, North Korea frequently shows provocative action in the region regarding nuclear and missile forces with tested of nuclear weapons in October 2006 and May 2009 (Nanto and ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
190 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
The Threat of a Nuclear-Armed North Korea And The Possibility of Solutions
Manyin, 2010: 4). Second, North Korea has been labeled as one of the ‘axis of evil’ states, with Iran and Iraq that pose ‘a grave and growing danger’ to international security (Howard, 2004: 806). In their article, Proliferation ring; New Challenges to the Nuclear Nonproliferation Regime, Chaim Braun and Christopher F. Chyba, argue that North Korea is a latent proliferation country, which means this country has capabilities to proliferate nuclear arms and is likely to export its technology to other states such as Pakistan and Libya (Braun and Chyba, 2004: 5-6). In 2002, North Korea appears to have turned to Pakistan, with its fully developed uranium enrichment program. ‘This apparently led to a missile for enrichment technology barter deal between Pakistan and North Korea, a benchmark event in the global proliferation enterprise’ (Braun and Chyba, 2004: 12). Thus, a list of reasons why North Korea with nuclear capacity is dangerous includes, most importantly, proliferation through sales and support to other unreliable states. In this regard, nuclear proliferation in North Korea will stimulate a missile and nuclear weapons supply chain across nations and it means that international security is threatened with nuclear war. Furthermore, considering the terrible economic conditions of the country, North Korea is likely to sell dangerous weapons to any customers who will pay hard currency, because they need a sustainable cash flow to finance their national project (Armacost, Okimoto, and Shin, 2003: 2). Besides that, the spread of nuclear weapons around the world is increasing the likelihood of terrorist groups to getting their hands on nuclear weapons. In today’s war waged on world order by terrorists, nuclear weapons are the ultimate means of mass devastation. Furthermore, terrorist groups with nuclear weapons are conceptually outside the bounds of a deterrent strategy and present difficult new security challenges (Shultz, Perry, Kissinger and Nunn, 2007: 1). Hence, the efforts to denuclearize North Korea are critically important to deter the deployment of nuclear weapons in many other ‘rogue states’ and to the non-state actors such as militants in Pakistan, Iraq and many others. Third, a nuclear-armed North Korea may possibly turn to facilitating the arms race in the region. Barry Buzan argues that most attempts to define the arms race are rooted in the action-reaction model. The basic proposition of the model is that states strengthen their armaments because of the threats they perceive from other states (Buzan, 1978: 76). In this regard, North Korea’s neighbour states such as Japan, South Korea, and possibly Taiwan and other Asian countries are likely to develop their own nuclear deterrence and ballistic missile capabilities to ensure security from North Korean threats (Demetriou, 2009: 8). If it happens, the arms race will obviously exist in the region.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
191 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Zain Maulana
Why War Is Not Preferred The most striking policy in dealing with the issue is the possibility to attack North Korea, particularly led by the United States and the allies. Regarding this option, there are four assessments that show the option to attack North Korea is a very difficult and risky solution. The first assessment of the policy relates to the cost of the policy. Some scholars, Robert Ayson and Brendan Taylor, for instance, argue that the cost to attack North Korea may be lower than estimated for the United States (Ayson and Taylor, 2004: 271-272). The U.S. military superiority over North Korea will increase the possibility to win the battle and reach the main target, being to change the Kim regime. In addition, the absence of a North Korean major power patron in the military aspect is the key factor that increases opportunities to change the regime by military operation. Operations in Iraq and Afghanistan are obvious examples that show the lack of a major power patron makes success more likely, more quickly and easily than if they enjoy such support (Ayson and Taylor, 2004: 271-272). Nevertheless, conditions differ between North Korea and Afghanistan as well as Iraq. North Korea has close relations with one powerful state, China, politically and economically, although China is not a power patron of North Korea. This relationship is critical for North Korea to deal with international pressures regarding nuclear proliferation. Secondly, the question to be answered is regarding the effectiveness of military intervention to shut down nuclear proliferation and to change the authoritarian regime. The Kim regime is considered to be the main problem of the North Korea issue that triggers the emerging of nuclear forces. It implies that the solution to deal with North Korean nuclear proliferation is to address regime change toward democracy in North Korea. Yet, there is no guarantee that attacking North Korea will automatically transform the political system. North Korea is different from other countries that have been occupied by the U.S such as Iraq and Afghanistan. While Iraq and Afghanistan are countries less controlled by central government as well as the spread of separatism or terrorism movements in many parts of the nation, North Korea is an authoritarian state with strong control from central government and high leverage from the regime. This means that it is inappropriate to generalize the effectiveness of U.S. intervention from previous missions and to expect that it will occur automatically in North Korea. Thirdly, the U.S. and its allies will face huge challenges regarding any attack on North Korea. The challenges will come from China that will likely reject an option for military intervention to North Korea. Several reasons to reject the intervention are involved. China is North Korea’s closest ally, and the largest trading partner in provision of food, fuel and industrial machinery (Nanto and Manyin, 2010: 1). In addition, war will cause destabilization in the Korean peninsula and it is incompatible with China’s interest. Although, China’s interest in stability on the Korean penin○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
192 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
The Threat of a Nuclear-Armed North Korea And The Possibility of Solutions
sula is linked to U.S. interest in denuclearization, China’s government is unlikely to choose military intervention, even as ‘the least-worst option, delivering a statement that diplomacy is the preferred solution to every provocation by North Korea’ (Nanto and Manyin, 2010: 4). Recently, as the most powerful Country in Asia, China is concerned to maintain strong leverage in that region and will not allow any other major power to change the domination. ‘China has wide influence over North Korea but elects not to use it in order to ensure that the North Korean issue continues to complicate U.S. regional strategy and undermine the U.S. position in Asia’ (Nanto and Manyin, 2010: 4). On the other hand, the challenges to attacking North Korea are Japan and South Korea. Although, both states are U.S. allies, they are unlikely to prefer war because it may increase the vulnerability of their national security with the use of chemical weapons as a retaliatory strike from North Korea (Ayson and Taylor, 2004: 265). Both countries acknowledge that if the war occurs, the U.S. government will deploy military bases in both states. Thus, it is automatically to involve Japan and South Korea in that war. Hence, without support from Japan and South Korea, as the closest U.S. allies and North Korea’s neighbours it will be very difficult to destroy the nuclear facilities effectively. The last assessment looks at the consequences of a military attack on North Korea. Military attack will have particular impact on the nation and also the wider parties. Military attack on North Korea has potential to become a widespread war in the region. In the war, North Korea is very likely to use Weapons of mass Destruction (WMD) or even nuclear weapons in retaliation to the attack. The weapons may be the most effective force for North Korea because they have no adequate conventional military forces to deal with the U.S. military forces. If North Korea used WMD or nuclear weapons the consequences of the war will be catastrophic for the region. In addition, even if the attack is to destroy the North Korean nuclear proliferation facilities, the impact will be worse because of the spread of radioactivity particularly to South Korea, Japan and parts of China (Carter and Perry, 2002: 275). Hence, the option to attack North Korea is less urgent and counterproductive for many parties. This option will be very difficult, if not impossible, because it is not supported by the three major important states in the region; China, Japan and South Korea.
International Regime Dilemmas Delivering pressure to North Korea through international regimes such as the U.N. Security Council or International Atomic Energy Agency (IAEA) to denuclearize North Korea is very difficult. Basically, the main functions these regimes to control uranium for energy use only and to ensure the absence of nuclear weapons in particular states, the IAEA, for instance, ‘was created to administer safeguards over peaceful nuclear facilities around the world’ (Nye Jr, 1992: 1294). Yet, the dilemma is ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
193 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Zain Maulana
that those institutions cannot intervene in a sovereign state. Regarding nuclear-armed North Korea, in the 1970s, this country signed various agreements with the IAEA, and in 1985 North Korea signed the Non-Proliferation Treaty (NPT). However, North Korea began construction work on a gas-graphite reactor and this reactor was the centre of North Korea’s nuclear problem because the reactor extracted plutonium which is the key material for nuclear weapons. ‘While North Korea insisted that the reactor was for energy, there was no sign of any steps to channel electricity from the reactor facilities to the rest of the country. In addition, by 1991 both the Soviet KGB and the American CIA had concluded that a nuclear weapons program was indeed at an advanced stage’ (McCormack, 2004: 151-152). The dilemma for the international regimes is the difficulty in compelling a state to obey the agreement. North Korea’s disobedience shows that the national interests of a state determine its action more than pressure from outside. Although North Korea had signed the international agreement and was pressured by the international community particularly the United States, the Kim government ignored it and continued the nuclear proliferation program. Furthermore, to obtain nuclear weapons, rather than to obey the agreement, North Korea instead announced that they would not accept the additional inspections proposed by the IEAE to resolve concerns about possible violations. Instead, ‘one year after the United nations Security Council declared at the head of state level that proliferation was a threat to international peace and security, Pyongyang announced that it was withdrawing from the NPT’ (F. Lehman II, 1993: 1-4). This indicates the difficulty for international regimes in attempting to compel a state when the international treaty has to come head to head with the power of state interest. Therefore, using the IAEA and U.N. as instruments to pressure North Korea is ‘time wasting’ policy. Rather than obey the international regime’s proposal, the North Korea government instead claims that the international regimes are political tool of the United States (Hassig and Kongdan Oh, 2005: 6).
Stronger Economic Sanctions: preferred solution? The United States and international community attempt to look for solutions to deal with the North Korea nuclear issue. Several policies are possible to stop the proliferation, but each policy has to consider the challenges and the consequences whether at domestic, regional or international level. In this regard, the international community can deliver economic sanctions as an instrument to pressure North Korea to discontinue nuclear proliferation. The sanctions can be economic embargo, export control or freezing of state assets. The sanctions are expected to weaken the state economy in order to change its nuclear proliferation policy. Economic instability automatically pushes the state to be more compliant and easier to bring into the negotiation process, to discuss the issue and to look for a better solution, because the ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
194 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
The Threat of a Nuclear-Armed North Korea And The Possibility of Solutions
economic embargo and freezing of assets will exacerbate economic conditions and make it more likely that the state will follow the international proposal. Obviously, the international community has delivered the sanctions to North Korea through the United Nations, but so far, the sanctions are not working effectively to denuclearize North Korea. In spite of the fact that, the US and UN sanctions have banned shipments of luxury goods to North Korea, and trade with South Korea, Japan, and the United States has virtually stopped (Nanto and Manyin, 2010: 2), China’s leverage in North Korea is remains strong and important regarding supply of food, fuel, industrial machinery and even political support to the regime, in order to keep stability on the Korean peninsula. Furthermore, in 2009, China planned to create a major new development zone called the Tonghua - Dandong Economic Zone along the North Korean border, aimed at boosting trade (Nanto and Manyin, 2010: 12). This shows that China plays a fundamental role in this issue, and the international community recognizes that the consistent engagement of China in the implementing of the sanctions is very important. Regarding this option, the international community can tightly control export activity related to the stuff of nuclear technology. Export activity is not only conducted by the state but also by a proliferating network in the private sector. ‘North Korea and Libya reportedly used private firms to purchase centrifuge components through Dubai, with assistance from the Turkish electrical components firm Elektronik Kontrol Aletleri (EKA), Sri Lankan businessman Buhary Syed Abu Tahir, and the A.Q. Khan network’ (Braun and F. Chyba, 2004: 15). Basically, controlling export of nuclear related components is important because the ability to create nuclear weapons is highly dependent on technological raw materials to transform the uranium to weapons grade. Mostly, the either as latent proliferation, first-tier nuclear proliferation or second-tier proliferation (Braun and F. Chyba, 2004: 5), states cannot produce all the raw materials for nuclear weapons and in some parts, are highly dependent on supply from other parties, either other nuclear states or private companies. Hence, this measure is critical and has high potential to discontinue nuclear proliferation in North Korea or at least, decelerate the spread of nuclear weapons around the world. However, economic sanctions will cause economic collapse in North Korea. This condition will lead to starvation and a flood of refugees from North Korea to other neighbouring countries such as China and South Korea. These matters are an obstacle to implementing economic sanctions effectively. For instance, China is continuing economic assistance to North Korea by providing food and energy assistance. This policy can be seen as an insurance that ‘Beijing remits regularly to avoid paying the higher economic, political, and national security costs of a North Korean Collapse, a war on the peninsula, or the subsuming of the North into the South’ (Braun and F. Chyba, 2004: 7). While implementing sanctions to prevent the development ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
195 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Zain Maulana
of nuclear weapons, humanitarian aid should also be provided by the international community to North Korean people. This aid is to avoid increasing starvation and the massive migration of refugees to other neighbouring countries. Thus, it is very important for the international community to create an intensive dialog with China in order to look for the best form of economic sanctions for North Korea by considering the social impacts, starvation and flood of refugees, of this sanctions.
Conclusion All in all, nuclear proliferation in North Korea is an obvious threat for regional and international security. It poses threats because North Korea has the potential to export nuclear weapons technology to other states, and of course the spread of nuclear weapons around the world will increase the possibility of non-state actors such as terrorist groups gaining possession of missiles and nuclear weapons. Moreover, the existence of nuclear weapons can cause an arms race in that region, and also the authoritarian Kim regime is highly likely to use nuclear weapons in a war. This problem needs an effective solutions with consideration of the challenges and the consequences, such as the possibility of starvation in North Korea, the flood of refugees, the instability of the Korean peninsula and also the spread of nuclear radioactivity to other countries in that region. To deal with the problem, war is not preferred for many parties in the region, nor for China or the U.S. closest allies, Japan and South Korea. This option is cannot work effectively without major support from those countries. In addition, regarding the impact, attacking North Korea is very risky and makes many parties highly vulnerable whether North Korean citizens, states in the region or even the U.S and its allies. While attacking North Korea will have great impact, military intervention to change the regime and to freeze nuclear proliferation is likely to be extremely difficult. Besides that, pressure on North Korea through international institutions is also ineffective, because the North Korean government can reject the institution’s proposal or inspections of the nuclear site. Presently, the international community can strengthen economic sanctions by engaging China more deeply in implementing the policy. This measure is more doable and appropriate, at the moment, for international community, in order to denuclearize the Korean peninsula or at least, to slow down the nuclear proliferation with minimum impact.
Bibliography Andemicael, Berhanykun and John Mathiason. 2005. Eliminating Weapons of Mass Destruction; Prospects for effective International Verivication. England: Palgrave Macmillan. Ayson, R and B. Taylor. 2004. Attacking North Korea: Why War Might be Preferred. ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
196 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
The Threat of a Nuclear-Armed North Korea And The Possibility of Solutions
Comparative Strategy, 23 (3). Braun, Chaim and Christopher F. Chyba. 2004. Proliferation Rings; New Challenges to the Nuclear Non-proliferation Regime. International Security, Vol. 29, No. 2. Buzan, Barry. 1987. An Introduction to Strategic Studies; Military Technology and International Relations. New York: International Institute for Strategic Studies. Carter, Asthon B. and William J. Perry. 2002 Back to the Brink. Washington Post. Demetriou, Danielle. 2009. Japan Should Develop Nuclear Weapon To Counter North Korea Threat. The Telegraph. F. Lehman, Ronald II. 1993. Implications of a North Korean Nuclear Weapons Program. Lawrence Livermore national laboratory. Hassig, Ralph C., Kongdan Oh. 2005. The Twin Peaks of Pyongyang. Foreign Policy Research Institute, Elsevier. Howard, Peter. 2004. Why Not Invade North Korea? Threats, Language Games, and U.S. Foreign Policy. International Studies Quarterly 48. John H, Nuckolls. 1995. Post-Cold War nuclear dangers: Proliferation and terrorism. Science Vol. 267, The American Association for the Advancement of Science. Klare, Michael. 1995. Rogue States and Nuclear Outlaws; America’s Search for a New Foreign Policy. United States: Harper Collins. McCormack, Gavan. 2004. Target North Korea; pushing North Korea to the brink of nuclear catastrophe. Random House of Australia. Nanto, Dick K. and Mark E. Manyin. 2010. China-North Korea relations. Congressional Research Service. S. Nye, Jr, Joseph. 1992. New Approches to Nuclear proliferation Policy. Science, Vol. 256 (5061). Shultz, George P., William J. Perry, Henry A. Kissinger and Sam Nunn. 2007. A World Free of Nuclear Weapons. The Wall Street Journal.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
197 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Suku Kurdi dan Potensi Konflik di Timur Tengah Abstract Kurdistan tribe is the name of the ethnic unity occupying some countries in Middle East region, mainly Iraq, Iran, and Turkey. The existence of the Kurdistan tribe, with different ethnic from the majority, is always viewed as the region problem and treated discriminatively. Thus, the Kurdistan community always makes movement, even always does rebellion, for the sake of fighting their political right. This writing explains the existence and the form of the political movements of the Kurdistan, in the three main countries above, in fighting their political right, either autonomy or independence demand, even though the dreams of the Kurdistan movement is difficult to be brought into reality. Keywords: Kurdistan tribe, political movement, political right, Middle East.
Pendahuluan
Ahmad Sahide Program Doktor Kajian Timur Tengah, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Secara geografis, wilayah Timur Tengah termasuk wilayah yang cukup strategis dan penting kehadirannya di dunia, baik secara politik maupun ekonomi. Timur Tengah juga merupakan wilayah yang menjadi pusat dari agama dunia yang berbasis agama samawi (agama langit/wahyu), agama tersebut adalah Islam, Yahudi, dan Nasrani (Surwandono, 2009: 174). Namun dengan semua itu, sampai saat ini wilayah ini dikenal sebagai wilayah yang selalu dirundung konflik, baik itu konflik antar agama, geografis, dan etnis. Semua ini membuat dinamika politik di kawasan Timur Tengah memiliki corak ragam yang unik dibandingkan dengan kawasan-kawasan lainnya di belahan dunia ini. Di antara ciri khas politik di kawasan tersebut adalah adanya sejumlah suku yang memerankan adegan politik yang memiliki episode-episode menarik dari tiap babaknya. Salah satu dari suku-suku tersebut adalah Suku Kurdi. Suku Kurdi sempat mengecap masa keemasan dalam sejarah mereka. Mereka memiliki seorang tokoh pejuang dan pemimpin ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
198 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Suku Kurdi dan Potensi Konflik di Timur Tengah
yang luar biasa seperti Shalahuddin al-Ayyubi, ada juga seorang ilmuwan dan pahlawan semisal Ibnu Taimiyah yang buku-bukunya menjadi rujukan para penuntut ilmu agama hingga hari ini. Suku Kurdi termasuk suku minoritas yang mendiami beberapa negara di Timur Tengah, seperti Irak, Iran, Turki, dan sebagian wilayah Suriah. Keberadaan suku Kurdi ini menjadi bagian dari konflik etnis di Timur Tengah yang tergolong berlangsung cukup lama. Suku Kurdi selalu menjadi korban dari rezim penguasa di negara-negara yang mereka diami. Irak, misalnya, pada masa kekuasaan Saddam Hussein, yang melancarkan serangan besar-besaran dengan senjata kimia terhadap penduduk suku Kurdi pasca Perang Teluk (Sihbudi, 1991: 135). Di Turki, banyak orang Kurdi yang dibantai dan dideportasi oleh rezim Ankara karena pemberontakan yang mereka lakukan pada tahun 1925, 1930, dan 1937 (Sihbudi, 1991: 137). Pada tahun 1988, Iran juga berhasil merebut wilayah Kurdistan Selatan (Sihbudi, 1991: 139). Fakta sejarah ini membuat suku Kurdi merupakan sebuah potret yang mirip dengan etnis Yahudi yang mengalami diaspora (penyebaran) dari tanah airnya. Dalam batas tertentu, etnis Kurdi dipahami oleh banyak negara sebagai etnis yang senantiasa menimbulkan masalah. Upaya pengintegrasian terhadap etnis ini di berbagai negara Timur Tengah senantiasa gagal meskipun dengan penggunaan instrumen militer. Hal ini lebih disebabkan oleh keinginan etnis Kurdi untuk melakukan separatisme lalu menghimpun dalam sebuah negara baru Kurdi Merdeka (Surwandono, 2009: 173174). Pertanyaan yang muncul dari eksistensi suku Kurdi ini adalah mengapa ia selalu dilihat sebagai etnis yang selalu menimbulkan masalah? Mengapa ia melakukan gerakan-gerakan politik untuk membuat negara Kurdi yang merdeka? Pertanyaanpertanyaan inilah yang coba penulis jawab dalam tulisan ini.
Latar Belakang Sejarah Suku Kurdi merupakan nama kesatuan etnik. Meskipun berada di wilayah Timur Tengah, suku itu tidak termasuk dalam jajaran etnik Arab dengan bahasa yang berbeda pula dari bahasa Arab, yaitu bahasa Kurdi. Orang-orang Kurdi adalah suatu kelompok etnis Indo-Eropa (European tribes) yang mayoritas menganut agama Islam Sunni dan tinggal di wilayah yang disebut Kurdistan (“tanah orang-orang Kurdi”). Wilayah Kurdistan terdapat di beberapa negara, seperti Turki bagian tenggara, Iran Utara, Irak Utara, Suriah Utara, dan juga terdapat di Soviet Selatan (wilayah yang secara geografis tidak termasuk Timur Tengah). Komunitas Kurdi juga dapat diketemukan di Lebanon, Armenia, Azerbaijan (Kalbajar dan Lachin, sebelah barat Nagorno Karabakh) dan, pada beberapa dasawarsa terakhir, beberapa negara-negara Eropa serta Amerika Serikat. Secara etnis, kaum ini memiliki hubungan dengan suku bangsa Iran. Mereka menggunakan bahasa Kurdi, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang bahasa ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
199 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Ahmad Sahide
Iran. Karakter geografis Kurdistan yang terdiri dari gugusan perbukitan, struktur sosial yang sangat sarat sentimen tribalisme, serta sistem mata pencarian yang mengandalkan pertanian dan menggembala, memang membuat bangsa dan wilayah Kurdistan menjadi semi-eksklusif sepanjang sejarahnya selama sekitar 3.000 tahun. Sepanjang sejarahnya, tidak ada satu bangsa atau kekuatan pun yang mampu menguasai secara penuh bangsa dan wilayah Kurdi, juga sering disebut sebagai Kurdistan. Yunani, Romawi, Persia, dan bahkan Dinasti berbasis Islam selalu gagal menundukkan secara penuh bangsa Kurdi. Pada era modern pun, sistem yang melahirkan negara seperti Turki, Iran, Irak, dan Suriah gagal pula menguasai secara penuh wilayah Kurdi. Namun, secara geopolitik, karakter geografis Kurdi justru membawa petaka karena harus menerima wilayah itu terbagi di antara lima negara pasca Perang Dunia I. Berdasarkan catatan sejarah, nenek moyang suku Kurdi memasuki wilayah yang mereka tempati sekarang sekitar 3.000 tahun lalu, tapi cara hidup suku tersebut, sebagai petani dan penggembala, masih tradisional. Sementara banyak ilmuwan berpendapat bahwa suku Kurdi berasal dari suku bangsa Medes yang masuk ke Parsi (Iran) dari kawasan Asia Tengah. Mereka menguasai daerah Pegunungan Parsi dan dari tahun 614 sampai 550 SM. Empat belas Abad kemudian mereka memeluk agama Islam, setelah kedatangan pasukan Arab Islam dari daratan ke daerah Pegunungan Parsi. Orang-orang Turki sebagai suatu kelompok, memainkan peranan penting dalam sejarah Asia Barat sampai tahun 1258, saat Kekhalifahan Arab di Baghdad ditaklukkan oleh pasukan Mongol. Salahuddin al-Ayyubi (Saladin) adalah salah satu pemimpin Kurdi yang sangat terkenal dalam dunia Islam. Tokoh yang lahir pada 1137 di Tikrit (Kurdistan Irak) ini, sangat terkenal karena keberhasilannya mengusir Tentara Salib dari Jerusalem pada 1187 (Sihbudi, 1991: 136) dalam Perang Salib fase kedua (Hitti, 2008: 824-825). Nasionalisme Kurdi, Konflik, dan Hubungannya dengan Negara Arab Mayoritas dari suku Kurdi terdapat di negara-negara Timur Tengah, terutama di Iran, Irak, dan Turki, namun suku ini tidak termasuk dalam jajaran etnik Arab dengan bahasa yang berbeda pula dari bahasa Arab, yaitu bahasa Kurdi. Perbedaan keturunan antara suku Arab dan Kurdi inilah di negara-negara yang mereka diami yang seringkali menjadi pangkal meletusnya kerusuhan. Sehingga tidak heran kalau etnis ini selalu dipahami oleh banyak negara sebagai etnis yang senantiasa menimbulkan masalah. Meskipun tidak termasuk dalam etnik Arab, akan tetapi suku Kurdi ini memainkan peran penting dalam sejarah perpolitikan di Timur Tengah. Perjalanan sejarah politik yang cukup tua, bangsa Kurdi termasuk bangsa yang kurang beruntung. Bahkan, Kurdi disebut sebagai bangsa tragis akibat karakter geografis, sentimen tribalisme, tirani, dan kolonialisme. Tragedi bangsa Kurdi itu pun kemudian dikenal dengan ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
200 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Suku Kurdi dan Potensi Konflik di Timur Tengah
nama “problem Timur”. Ironisnya, problem Kurdi sering kali dilupakan, diabaikan. Tidak ada pembelaan terhadap bangsa Kurdi, bahkan dijadikan komoditas politik kekuatan regional maupun internasional untuk tujuan politik tertentu. Suku Kurdi juga menempati kasta kelas bawah dalam heterogenitas masyarakat Arab, hak-hak mereka sering kali dikebiri, melayangnya nyawa mereka seakan disyukuri dan lain sebagainya. Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwasanya permusuhan-permusuhan yang dilontarkan oleh Arab disambut dengan perlawanan juga oleh Kurdi. Salah satu bentuk perlawanan mereka adalah dengan cara gerakan nasionalisme Kurdi. Orang-orang Kurdi sendiri baru memperjuangkan nasib suku bangsa mereka pada Abad XIX. Tepatnya pada 1880, ketika pecah pemberontakan yang dipimpin oleh tokoh Kurdi, Syaikh Ubaidullah, di Propinsi Hakari yang berada di bawah kekuasaan Dinasti Utsmaniah (Ottoman Empire) Turki. Pada tahun 1897, orang-orang Kurdi menerbitkan sebuah surat kabar yang diberi nama Kurdistan untuk yang pertama kalinya. Surat kabar ini mempunyai tujuan untuk menyebarluaskan informasi tentang budaya dan perjuangan bangsa Kurdi (Sihbudi, 1991: 136). Cita-cita dan perjuangan bangsa Kurdi adalah untuk mendapatkan tanah air mereka sejak awal Abd XIX. Perjanjian Sevres 1920 (Sevres adalah sebuah kota di Prancis) yang memberikan jaminan berdirinya sebuah negara Kurdistan Merdeka dalam kenyataannya tidak pernah terealisasikan. Orang-orang Kurdi mempunyai sebuah cita-cita untuk mendirikan wilayah Kurdistan yang otonom, tempat mereka dapat mengatur diri mereka sendiri serta mempertahankan identitas dan sistem sosial budaya mereka. Fakta bahwa wilayah Kurdistan berada di beberapa negara, menjadi kendala utama bagi terwujudnya sebuah negara Kurdistan Merdeka. Sementara wilayah Kurdistan sudah terintegrasi ke dalam negara-negara Turki, Iran, Irak (juga Soviet dan Suriah) sejak negara-negara tersebut berdiri (Sihbudi, 1991: 138). Inilah yang menjadi sumber utama dari konflik yang dikarenakan oleh kehadiran Suku Kurdi di negara-negara seperti Irak, Iran, dan Turki. Maka, setiap aktivitas dari suku Kurdi untuk memerdekakan diri selalu berakhir dengan penumpasan dan penindasan. Jalan menuju kemerdekaan bagi Kurdistan seakan menunggu kehancuran tiga negara yang menguasainya.
Gerakan dan Perjuangan Politik Kurdi Dari penjelasan sebelumnya dikatakan bahwa suku Kurdi tersebar di tiga negara utama, yaitu Irak, Iran, dan Turki. Oleh karena itu pada bagian ini akan dijelaskan perjuangan politik suku Kurdi di tiga negara tersebut.
Irak Data pada bulan Juli 2006 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Irak ialah 26.783.383. Antara 75 hingga 80 persen penduduk Irak adalah bangsa Arab; kelompok etnis utama lainnya adalah Kurdi (15-20%), Asiria, Turkmen Irak dll (5%), ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
201 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Ahmad Sahide
yang kebanyakan tinggal di utara dan timur laut negeri. Kelompok lainnya adalah orang Persia dan Armenia (kemungkinan keturunan budaya Mesopotamia kuno). Sekitar 25.000–60.000 orang Arab Masih tinggal di selatan Irak. Wilayah yang didiami oleh suku Kurdi di utara ini dikenal sebagai wilayah yang subur dan kaya minyak. Perbedaan keturunan antara suku Arab, yang mayoritas, dan Kurdi di Irak seringkali menjadi pangkal meletusnya kerusuhan. Orang Arab telah memerintah Irak sejak 1958, ketika pecah revolusi yang mengakhiri kekuasaan Inggris, yang bersekutu dengan suku Kurdi dalam upaya mempertahankan kekuasaan di negara Abu Nuwas tersebut. Setelah revolusi, pemerintah Irak berusaha menyatukan suku Kurdi ke dalam pemerintahan, tapi kelompok ekstrem suku itu menolak bergabung sehingga meletuslah perang sejak saat itu. Pada saat referendum diadakan, sebagian besar dari suku Kurdi tidak memberikan suara. Ini menjadi pertanda bahwa suku Kurdi di Irak ini tidak bersedia dipimpin oleh bangsa Arab yang mayoritas. Pada masa antarperang mereka tetap bergolak, dan pecah menjadi pemberontakan ketika kesabaran mereka habis melihat kesewenang-wenangan pemerintah dan juga praktek korupsi oleh para elite. Pemberontakan besar pecah pada tahun 1922-1924, 1930-1931, dan 1932 di bawah pimpinan Shaikh Mahmud dari Sulaimaniyah. Pemberontakan itu, selain menjadi masalah dalam negeri Irak, juga menjadi bagian dari masalah internasional. Hal ini disebabkan oleh tinggalnya suku Kurdi di lima wilayah negara lain. Mereka sangat kompak, dan sering terjadi bahwa mereka yang terdesak menyeberangi wilayah Irak untuk kemudian tinggal dan mendapatkan perlindungan di daerah suku Kurdi yang ada di negara lain (Lenczowski, 1993: 172). Perjuangan suku Kurdi memang dimulai sejak tahun 1923, yang dipimpin oleh Ahmad Barzani dan Adiknya, Mulla Mustafa Barzani, yang melancarkan kampanye panjang yang bertujuan mendapatkan otonomi bagi wilayah Kurdistan Irak. Perjuangan ini terorganisir di bawah payung partai politik yang bernama Partai Demokratik Kurdi (Kurdish Democratic Party). Selain KDP, orang Kurdi juga punya partai lain bentukan Jalal Talabani, yaitU Uni Patriotik Kurdistan (Patriotic Union of Kurdistan) (Sihbudi, 1991: 137). Suku Kurdi sebagai masalah yang tidak terselesaikan dalam politik Irak juga sering melibatkan atau berkaitan dengan pihak asing, terutama Inggris dan Uni Soviet (Rusia saat ini), untuk memperkeruh suasana. Setelah Perang Dunia I, Inggris bercita-cita membuat negara Kurdi yang berada di bawah perlindungan Inggris untuk meluaskan pengaruhnya ke utara yang berbatasan dengan Kaukasus, juga untuk menekan Kemalis Turki, Iran, dan terutama Irak. Walaupun pada akhirnya niat ini ditinggalkan karena akan berbahaya bagi kepentingan Inggiris di Timur Tengah, termasuk Irak. Tapi bukan berarti Inggris membuang sama sekali persahabatannya dengan suku Kurdi, terutama di tingkat lokal. Hal ini dilakukan dengan dua alasan: pertama, sebagai taktik bila suatu waktu menghadapi kesulitan dengan Baghdad dan Teheran (Iran); dan ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
202 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Suku Kurdi dan Potensi Konflik di Timur Tengah
kedua, untuk mencegah penetrasi asing, baik Soviet maupun Jerman. Tetapi Inggris membantu Irak memadamkan pemberontakan yang dilakukan oleh suku Kurdi pada tahun 1932 karena kebijakannya yang pro-Arab (Lenczowski, 1993:172-173). Di Iran, organisasi politik kurdi, Komala, juga menyebarkan kegiatannya ke pusat-pusat Kurdi di Irak (1943). Dengan dukungan Soviet terhadap kemerdekaan Kurdi-Iran, suku Barzani di Irak melakukan pemberontakan pada tahun 1943 yang dipimpin oleh Mulla Mustafa. Walaupun pada akhirnya dipaksa melarikan diri ke Iran untuk bergabung dengan suku Kurdi di sana (Lenczowski, 1993: 181). Pada masa kekuasaan Saddam Husain, suku Kurdi berkali-kali berhadapan dengan pembantain oleh rezim Saddam. Keberadaan suku Kurdi yang non-Arab itu ternyata menjadi hambatan tersendiri bagi Saddam Husein dalam menjalankan obsesinya menggelorakan semangat nasionalisme Arab. Bahkan pada tahun 1988, tercatat bahwa dua kali Saddam melakukan pembantain dengan menggunakan senjata kimia terhadap suku Kurdi ini. Hal itu dilakukan oleh Saddam karena selama perang Iran-Irak, warga Kurdi Irak justru berpihak kepada pasukan Ayatullah Khomeini dan memerangi pasukan Saddam Hussein (Sihbudi, 1991: 135). Di Irak, sampai sekarang suku Kurdi dianggap sebagai gerakan separatis yang merongrong kedaulatan Irak. Mereka ditengarai akan memisahkan diri dari kedaulatan Irak atau bahkan merebut kekuasaan di Irak dengan melakukan pemberontakan. Kekhawatiran ini sempat dilontarkan oleh Presiden Irak Jalaluddin Thalibani dengan kalimatnya, “Terus terang saya sampaikan, jika pasukan AS meninggalkan Irak sekarang, akan terjadi tindakan militer semena-mena dari kekuatan pasukan Kurdi dan Syiah. Mereka kini dalam kondisi siap. Mereka memiliki ratusan ribu pasukan bersenjata. Mereka mampu menguasai Irak dengan cepat, dan melebar ke seluruh Irak” (http://eramuslim.com). Dalam kongres KDP di Irbil Desember 2010, ketua KDP, Masoud Barzani, meminta hak Kurdi untuk bisa menentukan nasib sendiri. Pernyataan Barzani ini menunjukkan bahwa impian rakyat Kurdi memiliki negara sendiri tidak pernah pupus sejak zaman kuno hingga sekarang (Kompas, 13/12/2010). Sejak ambruknya Dinasti Media (653-625 SM) yang berkuasa di wilayah Mesopotamia utara dan Anatolia Timur (wilayah Kurdistan sekarang), rakyat Kurdi tidak pernah lagi berada di bawah satu kekuasaan regional. Rakyat Kurdi setelah itu berada di bawah kekuasaan berbagai imperium, mulai dari Romawi, Persia, Umayah (era Islam), Abbasia (era Islam), Ottoman (era Islam), kemudian di bawah otoritas empat negara, yaitu Turki, Irak, Iran, dan Suriah (era negara bangsa sejak abad ke20) (Kompas, 13/12/2010). Dampak dari keresahan pemerintah Irak terhadap ancaman Kurdi ini adalah pembekuan akses-akses Kurdi yang diyakini berpotensi untuk merebut kekuasaan. Partai buruh kurdi yaitu PKK dibekukan oleh Perdana Menteri Irak Nuri al-Maliki ia mengatakan, “PKK adalah organisasi teroris dan kami sudah mengambil keputusan ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
203 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Ahmad Sahide
untuk menutup kantor-kantor perwakilan mereka dan tidak mengizinkan mereka beroperasi lagi di wilayah Irak” (http://eramuslim.com).
Iran Iran dikenal sebagai negara para Mullah dan termasuk salah satu negara utama yang didiami oleh kelompok suku Kurdi. Iran berbatasan dengan Azerbaijan (500 km) dan Armenia (35 km) di barat laut dan Laut Kaspia di utara, Turkmenistan (1000 km) di timur laut, Pakistan (909 km) dan Afganistan (936 km) di timur, Turki (500 km) dan Irak (1.458 km) di barat, dan perairan Teluk Persia dan Teluk Oman di selatan. Iran juga termasuk negara yang terdiri dari banyak suku dan agama. Etnik mayoritas ialah etnik Persia (51% dari rakyatnya,) dan 70% rakyatnya adalah bangsa Iran, keturunan orang Arya. Kebanyakan penduduk Iran berkomunikasi dalam bahasa yang tergolong dalam keluarga Bahasa Iran, termasuk bahasa Persia. Kumpulan minoritas Iran ialah Azeri (24%), Gilaki dan Mazandarani (8%), Kurdi (7%), Arab (3%), Baluchi (2%) Lur (2%) Turkmen (2%), dan juga suku-suku lain (1%). Data ini menunjukkan bahwa persentase warga Kurdi di negara Mullah tersebut, yang kurang lebih 90 persen penganut Syi’ah, tergolong lebih sedikit dari pada persentase warga Kurdi yang ada di Irak. Di Iran, suku Kurdi mendiami Provinsi Kurdistan (Khuzastan) yang kaya akan minyak. Dalam perjuangannya, orang-orang Kurdi di Iran juga membentuk Partai Politik. Tahun 1942, di Mahabad berdiri Partai Komunis Kurdi Iran (Komola), yang merupakan partai politik pertama yang dibentuk oleh orang-orang Kurdi Iran. Kemudian pada 2945, berdiri Partai Demokratik Kurdi Iran (KDPI) yang menggabungkan semua gerakan suku Kurdi, termasuk Komola pada tahun yang sama, mereka memproklamasikan berdirinya apa yang disebut sebagai “Republik Mahabad” dengan “presiden”-nya Qazi Mohammad. Inilah “negara Kurdi merdeka” pertama dan satu-satunya dalam sejarah, meskipun hanya berumur satu tahun, karena pada 1946 pasukan Kerajaan Iran menyerbu Mahabad dan membubarkan “republik” tersebut. sejumlah pimpinan Kurdi, termasuk “presiden” Qazi Mohammad, ditangkap dan dieksekusi (Sihbudi, 2991: 137). Ketika konstalasi politik Iran mengalami perubahan, ketika gelombang anti-Syah, 1978-1979, menyebar luas di bawah pimpinan Ayatullah Khomeini, para peshmarga (pejuang) mengambil sikap politik untuk bergabung dengan kaum pendukung Khomeini. Setelah Syah jatuh, suku Kurdi mengajukan tiga tuntutan kepada rezim kaum Mullah, yaitu otonomi provinsi Kurdistan, penghapusan diskriminasi dalam mendapatkan pekerjaan, dan pembagian yang adil dari hasil tambang minyak. Teheran tidak bersedia memenuhi tuntutan tersebut, akibatnya para peshmarga kembali mengangkat senjata dan melawan pemerintah pusat. Awal Juni 1979, untuk pertama kalinya para peshmarga terlibat dalam bentrokan dengan pasdaran (pasukan pengawal revolusi Iran) yang menelan korban sekitar 100 jiwa. Konflik antara peshmarga ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
204 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Suku Kurdi dan Potensi Konflik di Timur Tengah
dan pasdaran terus berlanjut sampai 1984, terutama setelah KDP (Iran) yang dipimpin Abdulrahman Ghassemlou. Namun pada 1985, pemimpin KDP tersebut memilih untuk kembali ke meja perudingan dengan penguasa Teheran. Walapun pada akhirnya tidak ada hasil yang dicapai oleh KDP. Pemerintah Khomeini menolak untuk memberikan otonomi bagi Provinsi Kurdistan karena wilayah tersebut kaya dengan minyak, yang banyak memberikan andil terhadap pendapatan negara (Sihbudi, 2991: 139).
Turki Turki adalah sebuah republik konstitusional yang demokratis, sekular, dan bersatu. Sistem politiknya didirikan pada tahun 1923 di bawah pimpinan Mustafa Kemal Atatürk setelah kejatuhan Khilafah Ottoman, akibat Perang Dunia I. Sejak saat itu, Turki telah berangsur-angsur bergabung dengan Barat sementara di saat yang sama menjalin hubungan dengan dunia Timur. Dibandingkan dengan Irak dan Iran, populasi suku Kurdi di Turki adalah yang terbesar, jumlahnya mencapai 30 juta jiwa (Internationale, 1/3, 2008). Di Turki, orang-orang Kurdi tiga kali melancarkan pemberontakan secara besarbesaran, yaitu pada 1925, 1930, dan 1937. Semua pemberontakan ini berakhir dengan kegagalan total, sehingga banyak orang Kurdi yang dibantai maupun yang dideportasi oleh rezim Ankara. Pemberontakan yang dilakukan oleh suku Kurdi sebagai bentuk penentangannya yang paling keras terhadap sekularisasi yang dilakukan oleh Mustafa Kemal Attaturk. Oleh karena itu, mereka menuntut pengembalian Islam kepada statusnya yang lama. Permintaan lainnya adalah otonomi lokal (Lenczowski, 1993: 84). Pemerintahan sekuler, akhirnya, di bawah Mustafa Kemal Attaturk, yang mengggantikan Dinasti Usmaniah, berhasil menyatukan orang-orang Turki dan Kurdi. Rezim Ankara mengkombinasikan kebijakan represif dan integrasi terhadap suku Kurdi. Sehingga, secara resmi tidak orang-orang Kurdi di Turki (Sihbudi, 1991: 137138). Pascakemerdekaan Irak tahun 1932, bangsa Kurdi semakin terisolasi dan terpecahpecah. Mereka yang mendiami daerah-daerah perbatasan ini selalu menjadi korban pertikaian antara Irak, Iran, dan Turki. Karena frustrasi atas semakin tertutupnya peluang menuju kemerdekaan, muncullah kelompok-kelompok militan Kurdi yang kerap melancarkan aksiaksi terorisme (Internationale, 1/3, 2008). Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwasanya permusuhan yang dilontarkan oleh Arab disambut dengan perlawanan juga oleh Kurdi. Salah satu bentuk perlawanan mereka adalah dengan cara gerakan nasionalisme Kurdi. Berbeda dengan di Irak, di Turki nasionalisme Kurdi menginginkan otonomi, bukan pemisahan, karena kebanyakan suku Kurdi di sana memiliki saham dalam sistem ekonomi dan politik dan menginginkan peningkatan dalam hak-hak kewarganegaraan dan politik mereka ketimbang perpisahan. Meski demikian, mereka masih mengagumi prestasi simbolis ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
205 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Ahmad Sahide
suku Kurdi Irak: Bendera tiga warna Kurdi dengan matahari keemasan di tengahnya, ritual masyarakat umum untuk menghormati para pahlawan Kurdi, dan pengadopsian bahasa Kurdi sebagai bahasa resmi. Ungkapan-ungkapan identitas budaya dan politik semacam itu menghadapi hambatan hukum dan rintangan administrasi di Turki, meskipun sudah ada reformasi undang-undang dan hukum sejak akhir 1990an. Serangan terhadap suku Kurdi yang terakhir kalinya adalah Serangan besar-besaran militer Turki pada bulan Februari 2008 ke basis milisi Kurdi di Pegunungan Qandil yang menewaskan ratusan jiwa dari kelompok Kurdi (Internationale, 1/3, 2008). Dikabarkan Amerika Serikat (AS) sendiri ikut terlibat dalam operasi yang digelar hingga wilayah Irak Utara. Serangan militer yang dibungkus dengan slogan memerangi terorisme memang didukung oleh AS dan Uni Eropa. Mengingat salah satu faksi Kurdi yang ada di Turki bagian tenggara yaitu Partiye Karkaren Kurdistan (Partai Pekerja Kurdistan, PKK) telah dimasukkan dalam daftar kelompok teroris internasional. Kelompok Kurdi pro AS di Irak Utara juga membiarkan serangan ke wilayahnya karena adanya konf lik yang terjadi di antara mereka. Bangsa Kurdi yang mendambakan kemerdekaan sejak hampir seabad lamanya, kini nasibnya semakin tidak menentu. Hidup berserak sebagai minoritas di antara wilayah Turki, Iran, Irak dan sebagian kecil di Siria. Nampaknya, operasi militer Turki ke wilayah Kurdi pada tahun 2008 tersebut diyakini akan semakin menciptakan eskalasi kekerasan di kawasan Timur Tengah.
Kesimpulan Kebangkitan nasionalisme bangsa Kurdi, yang dimulai sejak Abad XIX tersebut serta kemerdekaan yang dijanjikan oleh Presiden AS Woodrow Wilson (1856–1924) melalui Perjanjian Sevres (The Treaty of Sevres) tahun 1920, memang menghadirkan tantangan unik pada orde politik yang kuat di wilayah Timur Tengah. Namun sepertinya cita-cita kemerdekaan tersebut semakin sulit terealisasi karena lokasinya yang strategis secara geopolitik dan tersedianya minyak dalam jumlah besar lengkap dengan jalur-jalur pipanya menuju Eropa dan Israel di daerah-daerah yang didiami oleh suku Kurdi. Setiap aktivitas untuk memerdekakan diri selalu berakhir dengan penumpasan dan penindasan. Jalan menuju kemerdekaan bagi Kurdistan seakan menunggu kehancuran tiga negara yang menguasainya (Internationale, 1/3, 2008). Apalagi ketiga negara tersebut, Irak, Iran, dan Turki, seringkali membangun kerja sama untuk memadamkan gejolak pemberontakan yang dilakukan oleh suku Kurdi. Selain dari itu, kehadiran pihak asing juga seringkali menjadikan suku Kurdi sebagai tumbal politik.
Bibliografi Hitti, Philip K. 2006. History of The Arabs. Jakarta: Serambi. http://eramuslim.com/berita/dunia/irak-galang-kekuatan-dengan-turki-berangus○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
206 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Suku Kurdi dan Potensi Konflik di Timur Tengah
kelompok-bersenjata-kurdi.htm. Diakses 17 Mei 2010. http://eramuslim.com/berita/dunia/presiden-irak-resah-ancaman-milisi-syiah-dan kurdi.htm. Diakses 17 Mei 2010. Kompas, 13 Desember, 2010. Barzani: Kurdi Ingin Tentukan Nasib Sendiri, hlm. 9. Lenczowski, George. 1993. Timur Tengah Di Tengah Kancah Dunia. Terj. Asgar Bixby. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Sihbudi, Riza, M., dkk (ed). 1995. Profil Negara-Negara Timur Tengah. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. Sihbudi, Riza, M.. 1991. Bara Timur Tengah. Bandung: Mizan. Surwandono. 2009. Resolusi Konflik Di Dunia Islam. Yogyakarta: UMY.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
207 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
From New Order to Reformasi: Indonesian Subnational Politics in the Post-New Order Era1 Abstrak Pemilihan kepala daerah langsung di Indonesia telah dilaksanakan sejak pertengahan tahun 2005.Hal ini membawa sejumlah perubahan, terutama dalam hal reformasi politik. Mekanisme pemilihan kepala daerah diubah kepada pemilihan secara langsung oleh masyarakat di daerah. Tulisan ini melihat bahwa perubahan ini membawa beberapa dampak positif kepada masyarakat seperti tumbuhnya partisipasi politik yang semakin luas, legitimasi kepala daerah menjadi semakin tinggi dan peranan partai politik menjadi sangat penting. Perubahan inilah yang penulis sebut sebagai wujud dari proses pendalaman demokrasi bagi ‘demokrasi baru’ di Indonesia. Selain itu, muncul juga beberapa kelemahan, seperti tumbuh suburnya politik uang, semakin melemahnya institusi daerah dan munculnya kekuatan elit lokal. Hal ini akan mendorong tumbuhnya pemerintah minoritas dalam lingkup kekuatan lembaga legislatif yang berposisi mayoritas. Keywords: local politics, polycentrism, local strongmen, autonomy, redistricting
Introduction
Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff
Discussions and studies on subnational politics in the Indonesia’s post New Order are of an interesting subjects. This is because subnational political issues could give diametrical impacts. The situation arises due to the overlapping interests between central and district government, inter-alia the establishment and redistribution of district autonomy. Hence, the overlapping has resulted in to two major implications. It has produced negative and positive benefits to the society. In terms of positive consequences, subnational politics contributes to the common benefits to parties that are involved. It has created a people’s oriented government servants and at the same time increased public services’ productivity and a better public relations services to the common people. Furthermore, infrastructure projects tend to involve public opinion on its sustainability and
School of History, Politics and Strategic Studies, Faculty of Social Sciences and Humanities, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Malaysia
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
208 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
From New Order to Reformasi: Indonesian Subnational Politics in the Post-New Order Era
suitability; health services has become more efficient, if not much better in some of the local districts. Indonesia’s local political conditions at the district level enjoy more freedom to nominate their own local representation, hence, has done away with the old practices of having leaders whose appointment and selection were decided by political elites in Jakarta. This new practice also witnesses an increasing participation, involvement and selection of women in the local political arena. Nonetheless, subnational politics in the post-new order (Order Baru) period has also its own negative impacts. Hence the major purpose of this article is to analyze the challenges and problems of subnational politics in the post-Soeharto period. This paper argues that Indonesia’s political transformation process has been marred by political opportunists at local level, who seized the changing situation to their advantage. Sometimes they are labeled as free political riders who portray themselves as reformers and use all avenues of political logic to survive in a new political environment. Although these free riders were part of manipulative actors during the New Order regime, they were quick to adapt to the new role as if they are also true reformers in the post-Soeharto period. Their manipulative political strategies then led to some interesting questions—why do these manipulative political strategies exist during the transformation period of Indonesia’s politics? Has it to do with the political legacy of the New Order period? The paper is organized into several sections. The first section would review existing literature on the Indonesia’s post-Soeharto period by discussing issues on subnational politics in various parts of the archipelago. The second section analyses Indonesia’s subnational politics during the New Order/Soeharto period, and finally the paper analyzes the dynamics of Indonesia’s subnational politics, in terms of issues and challenges in the post-New Order period.
Undrstanding Concept and the Unit of Analysis Indonesia’s politics in the post-New Order is basically a reflection of societal resentment against the old style politics of authoritarian rule, which was repressive and centralized. This so-called “new politics” also witnesses the birth of polycentricism phenomenon—a regional collective struggle that reject old ideas of governing deemed to be undermining local identity and power. According to Laclau & Mouffe (1985), Escobar & Alvares (1992), Mohan & Stokke (2000), this phenomenon is a kind of movements or struggle that went against the idea of centralization (which for such a long time has accumulated its strength and power to weaken regional politics either in its formal and informal form). As a result, subnational economy becomes static. The situation also resulted in a strong cultural resistance (i.e. the creation of movement campaigning for local wisdom values) calling for alternative solution to the development of districts. Laclau & Mouffe (1985), Escobar & Alvares (1992), Mohan & Stokke (2000) also argue that the new political ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
209 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff
culture backed by civil societies is an avenue for struggle to recreate local identity that has been denied by the earlier autocratic regime.2 Social resistance movement through civil society did succeed at the end of 1980s in Eastern Europe, especially when some of those countries collapsed due to the end of the Cold War (Diamond, 1994; Wellhoer, 2005). This shows that the role of civil society is very important in creating a new political phenomenon that expounded the idea of polycentricism. They acted as the agent for the empowerment of civil society and at the same time as a guardian of check and balance mechanism to the government’s political activities. The impact of this new politics and polycentricism has changed Indonesia’s local political landscape at provincial and district levels. District autonomy, redistricting, and direct election for district head (Pikilda) are some of the examples. Nonetheless, not all changes brought about by this new politics create common benefit to the public. In India, for instance—the biggest democratic country in the world, democratization has triggered new challenges to local politics. It has in fact strengthened the caste and class politics in the society (Hansen, 1999). As a result, the dynamism of subnational politics in India has also exposed its local politics into a lucid political manipulation. The phenomenon also happens in Camaçari, Brazil. Camaçari’s “New Political” wave encourages a new set of political values—”clientism” between economic and political interests of elites. It leads to a governing malaise of inefficiency, ineffectiveness and non-functionality. This can be seen when local district’s financial independence was robbed by political and economic elites (Schönleitner, 2004). The elites, either in the executive or legislative branches, equally benefit from the local district financial wealth to protect their clientele and cronies. By manipulating the legislative process at subnational level, the elites in Camaçari influence government decision and policy that benefit them and their cronies. One of the major impacts of this process is the emergence a political master and local strongmen who become dominant formally in a local political scene. The emergence of informal political elite in local politics is a common phenomenon in a new democratic country. In the Philippines, its people’s power politics has been marred by the advent of informal elite who become interested in the political process (Sidel, 1999). These economic elite not only start to involve in the national political arena but have slowly infiltrated into subnational level.3 The aim is to capitalize their position in politics for economic interests. They have managed to capitalize local district’s economic wealth by expanding their economic financial portfolios. This was done through land concession, law enforcement, appointment and promotion of public officers and government contract distribution. Sidel (1999: 156) points out that several provinces in Cavite, Cebu, and its surrounding area have been filled with industrial parks, golf courses, housing estates, tourist complexes—thanks to local ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
210 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
From New Order to Reformasi: Indonesian Subnational Politics in the Post-New Order Era
economic bosses cum politicians who use their power to set the pace of development in their locality. They not only have the unlimited power to decide on the issue of area expansion, land acquisition to build roads, contract allocation, but also to deploy local police for specific tasks such as to counter demonstration by labor movement or to forcibly evacuate people from squatter areas. The same situation also happens in Thailand. McVey’s study in shes book entitled Money and power in provincial Thailand (2000), points out that economic bosses and local strongmen are a political reality for the country. They are known as chao pho (read: jao poh) or ‘the protective father’.4 The presence of ‘protective father’ is not a new phenomenon for Thailand yet its position and role has strengthened ever since the 1973 democracy incident. They can be easily identified for their monopolistic traits and active involvements in every aspect of Thai’s economic activities from mining, transportation, agriculture, printing, banking and others. The chao pho are also actively involved in contraband and illegal activities such as drug trafficking, smuggling and gambling (Arghiros, 2001). Prior to 1973, the “protective fathers” were known for their involvement in providing protection for the local political elites. They were known for their ability to use force if necessary, and to garner some financial strength locally. But when the country moved to political transformations, “the protective fathers” acted as political and economic brokers” to the local politics. This was made possible since they had all the influential networking and followers. They could also contribute “votes” in local election to candidates who desperately needed to win. Through this link of support, cronies of “the protective father” managed to garner power and financial sources. Several chao pho even managed to stand as candidates for a parliamentary election and won. Narong Wongwan (a well-known drug trafficker who has been barred to enter the United States) and Kamnan Po (a well known godfather from Chonburi province) are some of the examples (Arghiros, 2001). It can be concluded that, based on the discussion above, democracy and democratization do not necessary produce positive impacts to the society. It can produce the opposite impact such as in Nigeria in 1983, Peru in 1992, and Sierra-Leone in 1997— just to name a few cases.5 Even if democracy runs smoothly in a particular country, it has to undergone various adaptation processes (political alignment or political adjusment) and in some instances produces political anomalies. Among these political anomalies is the emergence of economic bosses who become part of the political elites or strongmen in local politics. Their presence is correlated with and could affect political centralization as a result of polycentricism processes. This situation has been labeled as modus vivendi between the weak state and strong society. It contributes to local strongmen’s political consolidation through increased role and influence in subnational politics. Based on the above discussion, it can be argued that Indonesia’s subnational politi○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
211 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff
cal issues has to be studied not only from the structural aspect (i.e. autonomy and good governance, public relations and management and, other structural characters), but also has to be understood and perceived from the aspects of the agencies involved. The political transformational phenomenon that was briefly discussed above show the increasing role of local strongmen in the Indonesian post democratization process. Hence the analytical framework that will be used in this paper is based on local strongmen’s impact (the negative side) (Migdal, 1988) on the dynamism of democratization process. According to Migdal (1988: 256), local strongmen and economic bosses are social control due to the fact that: They have succeeded in having themselves or their family members placed in critical state posts to ensure allocation of resources according to their own rules, rather than the rules propounded in the official rhetoric, policy statements, and legislation generated in the capital city or those put forth by a strong implementor. Furthermore, Migdal states that the argument is based on three inter-related points. First, local strongmen’s strong growth is associated with close-netted society. They managed to get greater influences compared to that of other local leader or bureaucrats. Secondly, local strongmen also manage social control in the society through the strategy of survival. The logic is that these local strongmen create societal dependency on them, thus creating a legitimacy that only local strongmen are capable of solving societal problems. Local strongmen would become patron to the society— especially for the underprivileged. Third, local strongmen directly weaken state and local government’s capacity to administer the province of the district. This paper then discusses Migdal’s theoretical framework in the context of Indonesia pre and post-New Order.
Local Politics Prior to Reformation: the Roots and Behavior of Local Strongmen The dynamics of Indonesia’s subnational politics have always changed through times. Prior to independence, the Nusantara’s local politics was faced with gloomy period. It was because local politics was controlled and influenced by a strong traditional adat or custom. The majority of the population was not part or subject of development yet subject to series of taxes collected by repressive local officers. Hence, they were the object of political convenience of the local government. This situation made their economic conditions in a very dire need. Continued uses of repressive method by the local officers finally led to the people’s opposition and uprisings. It was led by local strongmen such as Ken Arok, Samin, Pitung and others who rose up against the central repressive power. These local strongmen represented some form of local people’s civil opposition against the government. Local strongmen’s role then led to positive image in the eyes of local popu○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
212 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
From New Order to Reformasi: Indonesian Subnational Politics in the Post-New Order Era
lation. They were seen as the protectors of local interests although some of these local strongmen did involve in illegal activities and part of underworld groups. Local strongmen’s involvement and contribution to the society strengthened their position and polycentricism. Indonesia’s local politics became more dynamic after the proclamation of independence. This is due to the fact that more and more Indonesians are involved in the decision process of their own country by becoming part of local council and bureaucrats. The Dutch legacy of local political structure gave wider opportunities for the locals to be active or to be part of the country’s political system. In the post- independent political system, members of the aristocrats were forced to compete with the local public to fill in posts in local government. In addition to that, there were also competitions based on ethnic line. Ethnicity is part and parcel of Indonesia’s nation building problem even until today. There were political ethnic tension during the periods of Parliamentary Democracy (1950-1958) and Guided Democracy (1959-1965), especially outside the Java Island where military was directly involved in local politics.6 The local society was deprived from being active in politics. This also explains why Parliamentary Democracy era was replaced by the Soeharto’s 1966 Guided Democracy. The Guided Democracy created mixed euphoria at the district level. It was seen as a new form of polycentricism or a new liberating politics that marked a new era of the Indonesian post-colonial period politics. For more than 30 years, Indonesia was under the autocratic regime of Soeharto’s New Order (1966-1998). During that period, local politics was controlled and centralized by Jakarta. As a result, executive bodies at district, sub district and provinces level were tied up under Jakarta’s hegemony. Allocations for senior and higher posts at local level were decided by the Ministry of Internal Affairs (Kemdagri) in Jakarta. The ministry controlled the elite’s interest at local level. In the election for the Riau governor in 1985, for instance, the Golkar Party directed all local parliamentary members to select Mejar Jeneral Imam Munandar (incumbent) as the governor. To ensure Munadar’s winning the election, all senior party officers of Golkar were sent to Pekanbaru. As the election become nearer, representatives from the Tentara Nasional Indonesia (TNI)’s headquarters and Kemdagri were also sent to Pekanbaru. The military and the Golkar leaderships from the House of Local Representative (DPRD) met to discuss the scenario of the governor election. They decided that candidates would each receive three votes and the remaining votes would be given to the incumbent (Malley 1999:82). Although prior arrangements were made, the results showed the opposite. The September election gave Ismail Suko—a local politician—a clear winner by defeating the incumbent (who is a Javanese) only by two votes. President Soeharto nonetheless intervened and appointed Imam Munandar as the governor This controlling mechanism was not only done by Jakarta to the local politics, but ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
213 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff
also to the military councils. To ensure easy control of the military council, ex-military men who have show their loyalty to the regime was awarded with special appointment either in the local legislative council (DPRD) or executive (governorship, district head or mayorship). This strategy excluded the appointment of senior military officers in the cabinet post or in the Parliament as special rewards for the military’s loyalty. Nonetheless, the rewards also led to undesirable consequences, especially at the district level. The military-cum-local legislative officer tended to accumulate personal wealth. Power accumulation was easily done due to the military’s long association with local development. As a result, they became the local mafias controlling all aspect of local activities and development. An editor to the Journal Indonesia from the Cornell University commented (1992: 98): They have the opportunity to build powerful long-term local bases in the regions, first as representatives of the center, later as real-estate speculators, fixers, commission-agents, local monopolists, and racketeers. These long-term prospects, meaning retirement in the regions, are helped by local alliances, including marriage connections (themselves or their children), business partnerships with local elites, and personnel manipulations through former subordinates within the active military. As ‘old hands,’ such military men are in a strong position to inveigle or obstruct ‘new broom’ officers sent in from the center. Essentially, we are speaking of the formation of local mafias, which often have their eye on such ‘civilian’ political positions as bupati, provincial secretary, and even governor. The phenomenon did not start in 1980s but has been part of Indonesia’s political dilemma since independence. For example, between 1967 and 1978, Wahab Sjahranie (a senior Colonel Officer from the ethnic of Banjar) capitalized Jakarta’s weak control on local politics and District Military Command (KODAM)’s unassailability by using his political position to accumulate personal wealth and to consolidate his power base (Malley, 1999: 83). Through his governorship in East Kalimantan, the position for the KODAM’s Commandant was replaced five times! The replacements show how KODAM was weakened by Wahab’s manipulative strategies through his control over local bureaucrats and subsequently becoming a big local strongman. Not only was he managed to control local politics and bureaucrats, he used local police to protect and to strengthen his position by offering several loyal policemen a mayorship post. Local strongmen did not only emerge from ex-military men. At the end of 1970s and in the early 1980s, for instance, a large inflow of development money created local aristocrats control over the appointments of regent, district secretary (Sekwilda), or members of DPRD by local aristocrats. These local aristocrats became local power house through their ownerships of hotel chains, plantation, manufacturing and ce○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
214 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
From New Order to Reformasi: Indonesian Subnational Politics in the Post-New Order Era
ment industries. They used development monies as if it was theirs. Ichlasul Amal (1992: l79) wrote: It was hard to find any bupati or high-ranking official in the governor’s office who did not own profitable clove plantations or salt-water fishponds or both … Officials owning large areas of productive land represented the continuation of a long established pattern in which aristocratic families owned land and invested some of the money they received from landowning in trade. But it also reflected the new economic climate of the New Order which enabled nobles who were also government officials to commercialize their landholdings. In other words, local strongmen emerged as a result of New Order’s development process. The central government’s economic policy had given rise to economic opportunities and growth, industrialization, and social mobilization in Indonesia.7 In the 1980s and 1990s, for instance, the growth of local strongmen was phenomenal. They used social organization such as Pemuda Pancasila (that has close association with the regime in power) to garner support and power base. This type of local strongmen was also a political broker that used whatever means to provide support to the local bureaucrats either to end labor strike, student or pro-opposition demonstration. Ryter (2002) labels this type of local strongmen as preman or gangster. The presence and involvement of this kind of semi-official gangster in Pemuda Pancasila during the New Order period were actually needed. Local political elite often used them to stabilize local politics and more importantly to ensure Golkar’s political winnings. They were in fact representing Golkar’s voice in its political territories where local elite politicians received central government’s economic distribution such as subsidy and contract for their own personal wealth—including retaining their power base. For instance, several Presidential Instructed Programs to finance the development of elementary schools, social health system, and public services either formally and informally benefited the local political elites (read: the local strongmen who cooperated closely with local elites) though various opportunities they themselves created. It can be considered as a broad daylight public misuse of funds or literally stealing money from the public Based from the above discussion, it can be argued that Indonesia’s local politics is very uniquely dynamic. Scholars may argue that Indonesia’s New Order period was dictatorial. But it can only be true when we analyze it at the national level. The fact is that political reality at the local political level as this paper has shown so far is very much authoritarian. A question beg to be answered is why it has happened? It can be argued that national political virus has infected local politics. Yet what has happened to the local politics after the fall of the new order regime? The following section will discuss the issue raised in depth.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
215 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff
Reforming Local Political Order: An Illusional Change? The 1997 Financial Crisis and student movements led to the down fall of Soeharto regime and the end of Jakarta’s centralization of power. The fall of New Order regime also marks the beginning of new polycentricism—that rejects concentration of power of the central government. Political reformation provides local district an autonomy to formulate, pass and implement laws without central government’s intervention. The implementation of law also put an end to local elites’ control on unsolicited money collection and the rejection of the role of local strongmen at district level. Political reformation has also weaken the central government’s control at the local district politics since nobody could claim that he or she is representing Jakarta’s interest. Hence, they have lost their political legitimacy. They no longer become a central government’s power broker at district level. They are also no longer a single district authority. Polycentricism has replaced the logic of centralized politics. The transformational changes from an “old politics” of centralization to a “new politics” or decentralization bring a new refreshing environment to Indonesia’s local politics. At least the change flourished in the early years of reformation period. Nonetheless, scholars argue that Indonesia has been going back to the “old politics” whereby political brokers and local strongmen reappear at the subnational political level (Ryter, 2002; Hadiz, 2003; Agustino & Yusoff, 2010b). This is due partly to the decentralization itself where central government no more involves in the local political process. These political brokers and local strongmen are actually the old faces who were unable to compete with the new order regime’s local strongmen (Agustino & Yusoff, 2010a). Yet, these “veteran” local strongmen continue to consolidate their position. They have managed to further expand their political base during the transitional period and at the same time able to manipulate the public’s state of minds to further influence the society. Democratization and decentralization process indeed provide more opportunities for local economic brokers and local strongmen to fill important political and bureaucratic posts at district councils and provincial legislative houses. For those who do not hold political or administrative posts, they make sure that important office bearers continue to depend on their assistance and support. Local policy formulations must benefit their businesses as well as their political domination in the local society.8 This, however, does not create a continuous dependency between local elite politics i.e. the office bearers and the economic boss/ local strongmen. In some cases, the opposite has happened. In this kind of situation assistance provided by the local bearers to the economic bosses would benefit the earlier party the most. Research done by McCarthy (2002) in Southeast Aceh is very interesting. According to him (2002: 93-94): At the apex of the network are four key business figures, predominantly from a ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
216 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
From New Order to Reformasi: Indonesian Subnational Politics in the Post-New Order Era
particular Alas clan (marga). These figures dominated Southeast Aceh politics, and even the bupati was enmeshed in this network. Those who upset this group would be excluded from the webs of patron-client relations running Southeast Aceh. Key figures there, allegedly including the bupati, are enmeshed in a social order that extends to forestry staff working for the National Park, police (Polres) and army personnel (Kodim), local government officials, the judiciary and local religious leaders (imam). Irrespective of the precise formal position within the state of those playing various roles, the links among businessmen, intermediaries, brokers and villagers lie outside the formal structure of the state. Those kinds of interactions have emerged in many parts of Indonesia’s post New Order politics. It can be seen further in Medan, one of the major towns in Sumatera island. Medan local parliament according to Vedi R. Hadiz (2003) has been dominated by a group of preman who compete among themselves.9 Some of them have even had special relations with ex senior army or police officers. In the early period of the Indonesian political reformation, the mayor of the city, Abdillah who was a charismatic economic boss, was elected to the post through vote buying and political intimidation. Having lived in a very competitive and cut throat political environment, one can explain why Abdillah administered the local bureaucratic system in a “punitive” way. Apart from local strongmen, there are also new actors in the local politics— the middle level businessmen who depend on government projects and social activists who are closely associated with non-governmental organizations (NGOs) such as the Indonesian University Students Group or Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI), the National Youth Committee of Indonesia or Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), the Indonesian University Student Movement or Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), and the Indonesia Christian University Students Movement or Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) (Hadiz, 2003: 125). In addition to Aceh and Medan, there tend to be an increasing trend where economic bosses change their profession by becoming politicians in some districts. The networking of local strongmen has even expanded in many parts of Indonesia among others, Banten, East Java, and South Sulawesi. These places are not only under the control of powerful local economic bosses, but also under the influences of local aristocrat, respected religious figures and indigenous adat leaders. The last three leaders have the charismatic charms and would manipulate ethnic, religious and adat sentiments to stir up local societal emotion. This can be seen in the Ambon’s Christian-Muslim conflicts in Maluku (van Klinken 2001). Power rivalry between the Ternate and Tidore Sultanates also led to local political conflicts in North Maluku. The royal feuds also triggered religious conflict in the area. (Ibid.). In Central Kalimantan, ethnic conflict has had slowly evolved into strings of political enmity in the election process and Pilkada (Taufiq Tanasaldy 2007). The increasing influences of local strongmen also include political enmity among local elites in the drafting of new ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
217 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff
autonomy law for the district through redistricting policy (Aragon, 2007). In other context, local politics have to be understood as a competition ground for the three powerful political giants: (i) bureaucrats with aristocratic background, (ii) bureaucrats who initially came from an average social background, and (iii) the local strongmen. The competition among them may force them to cooperate, but more so to kill each other’s political base. We can see their rivalry in the redistricting process (redrawing the constituencies at provincial, regent or city level). When one group of bureaucrats (for instance those who are coming from an average social background) failed to implement the redistricting process, the other group of bureaucrats (with aristocratic background) would take the opportunity to go against the regime in power. Hence, the bureaucrats with aristocratic background used the opportunity to redraw the constituency that would benefit them. The rivalry was further heightened when local strongmen intervened. Their involvement was mostly to get major slices of the cake as a result of redistricting process. They hope to gain more business opportunities when the constituencies are redrawn.10 Outside Java area, bureaucrats with aristocratic background have the upper hand. This is because they are able to a number of new autonomic provinces, regents and cities according to their own wimps and fancies. The number of new regents are in fact multiple. Local aristocrats with higher educational background are easily inducted into local offices or military services through lobbying with local Golkar party or with those powerful figures in Jakarta. In some cases a delegation would be sent to Jakarta by the local DPRD to convince the Parliamentary Commissioner II of DPR to create more autonomy districts. In this case, local strongmen cum economic bosses are needed to provide financial support for the visit of DPR members to their areas. The bargaining between two parties may infer that local strongmen would gain benefits from the redistricting processes, especially when a new district is created. The discussion so far has shown that local politics in Indonesia is a combination of a clash of interest between that of local strongmen’ (including the economic bosses) and bureaucrats. The two groups strive to maintain their power in their district. Each of them would ensure that they continue to control the sources of the district’s economic wealth. It is not surprising when Amrih Widodo (2003: 190), argues that the dark side of decentralisation during the Reformation order period is: ... a new modus vivendi based on negotiation and deal-making appears to be evolving between the bureaucracy and the legislature. The system serves as an avenue for political players to maximise their access to resources and enhance their political standing. Each tries to outdo the others, because they all realize that victory in the fight for strategic positions depends on being able to mobilise financial resources and build a popular support base. Yet the local political transformation in Indonesia is not as severe when we com○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
218 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
From New Order to Reformasi: Indonesian Subnational Politics in the Post-New Order Era
pare to what has happened in Thailand. In Thailand local strongmen’s roles are more centralized on one chao pho and rigidly divided into several groups. The role of local strongmen in Indonesia, however, is fluid, non-monolithic and indecisive. The major focus of local strongmen in Indonesia is to build local political dynasty by centralizing their power base. One case is now happening in Banten. Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff (2010b) argue that the evolution of local strongmen in Banten has entered into the formation of a local political dynasty.11 Currently, the Banten political dynasty created by Tubagus Chasan Sochib manages to place his family members and cronies in important local government posts and businesses (formally and informally). One conclusion can then be made—Indonesian local politics is still in an evolving stage. The direction of the development is very much influenced by the local strongmen’s political consolidation (this has been shown by several examples discussed in this paper). If it is argued that the creation of district autonomy has created more good practices, the findings and assumptions of this paper may not be relevant. One may argue that some districts such as Yogyakarta do not experience local strongmen’s political control. But one has to remember that although local strongmen are not powerful in Banten, for instance, their tendency to become political investors in Pilkada and subsequently influence the decentralization process at the subnational level is much greater. Political investors, compared to that of financial investors, would continue to create “benefits and opportunities” to ensure that those in power would continue to support them. If this trend continues, Indonesia’s subnational politics would have its gloomy faces if attempts are not made to change it. This led to the perceived changes to remain an illusion.
Conclusion Indonesia’s subnational politics has undergone dramatic tribulation period in recent years. At one time, central political elites intervened directly in the local or district affairs especially during the early years of the Indonesia’s post-independence period and also during the New Order period. Yet in the political reformation period, local politics have been able to enjoy more freedom and able to chart its own political directions. Two major lessons can be learned from Indonesia’s local politics dynamics. The first is that there have been attempts by the central government to continuously control the local political landscape. Second is, based on the discussion of this paper, the emergence of “strongmen” as the major force in influencing local politics. The local strongman emerges due to strategies used by the New Order regime to monitor and operate its enforcement mechanism at subnational political levels, and more importantly as mechanism of resistance to the decentralization processes. Yet, Indonesia’s subnational politics in the pre and post 1998 periods remained to be ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
219 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff
controlled by local strongmen that led to autocratic nature of local politics. The role of strongmen in the district autonomy either through Pilkada or Redistricting has had shaped local political scene. This is because prior to the downfall of the New Order government, local strongmen were controlled or even suppressed by the Soeharto regime that jealously guarded its power base through coercive apparatus at the district level. This strict control is partly due to the regime’s restricting objective of Jakarta’s centralization approaches. But in the reformed era, strongmen’s role in the local political and economic manipulation is difficult to contain. Hence, the transformation from “old politics” (centralization of power) to “new politics” (decentralization) fails to benefit the people at the subnational level. It is only those who have the power (local strongmen) and money (powerful businessmen) who continue to have the advantage even under the current democratic era of Indonesia. The paper concludes that “old” political actors who benefit the most during the New Order period have been able to reassert themselves under the new political environment and continue to become powerful than ever. Political reform that is expected to bring about total changes to the Indonesian politics hence remains static.
Bibliography Agustino, Leo & Mohammad Agus Yusoff. 2009. Pilkada dan pemekaran daerah dalam demokrasi lokal di Indonesia: local strongmens dan roving bandits. Paper Presented at the Seminar Serumpun IV Organized by Pusat Pengajian Bahasa, Kesusteraan dan Kebudayaan Melayu, Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) in association with Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin (Unhas). Bangi, Selangor, Malaysia, 4-5 July. Agustino, Leo & Mohammad Agus Yusoff. 2010. Dinasti politik di Banten pasca Orde Baru: sebuah amatan singkat. Jurnal Administrasi Negara 1(1): 79-97. Amal, Ichlasul. 1992. Regional and central government in Indonesia politics: West Sumatra and South Sulawesi 1949-1979. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Aragon, L.V. 2007. Persaingan elit di Sulawesi tengah. In Henk S. Nordholt dan Gerry van Klinken (ed), Politik lokal di Indonesia. Translation. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV Jakarta. Arghiros, D. 2001. Democracy, development and decentralization in provincial Thailand. Surrey: Curzon. Chandhoke, N. 1995. State and Civil Society: Exploration in Political Theory. London: Sage Publication. Cohen, J-L., & Arato, A. 1992. Civil society and political theory. Cambridge: Massachussetts Institute of Technology Press. Diamond, L. 1994. Rethinking civil society: toward democratic consolidation. Journal of Democracy 5(3): 151-159. Emelifeonwu, D.C. 1999. Anatomy of a failed democratic transition: the case of Nigeria. ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
220 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
From New Order to Reformasi: Indonesian Subnational Politics in the Post-New Order Era
PhD Dissertation. McGill University. Escobar, A. & Alvarez, S.E. (ed). 1992. The making of social movements in Latin America: identity, strategy, and democracy. Boulder: Westview. Gellner, E. 1994. Conditions of liberty: civil society and its rivals. London: Hamish Hamilton. Hadiz, Vedi R. 2003. Power and politics in North Sumatra: the uncompleted reformasi. In Edward Aspinall & Greg Fealy (ed), Local power and politics in Indonesia: decentralisation & democratisation. Singapore: ISEAS. Hansen, T.B. 1999. The saffron wave: democracy and Hindu nationalism in modern India. Princeton: Princeton University Press. Harriss-White, B. 1999. How India works: the character of the local economy. Cambridge: Cambridge University Press. Kay, B.H. 1996. Violent democratization and the feeble state: political violence, breakdown and recomposition in Peru, 1980-1995. PhD Dissertation. University of North Carolina. Keen, D. 2005. Conflict and collusion in Sierra Leone. Oxford: James Currey Publishing. Laclau, E. & Mouffe, C. 1985. Hegemony and socialist strategy: towards a radical democratic politics. London: Verson. Magenda, Burhan. 1989. The Surviving Aristocracy in Indonesia: Politics in Three Province of the Outer Islands. PhD Dissertation. Cornell University. Malley, M. 1999. Regions: centralization and resistance. In Donald K. Emmerson (ed), Indonesia beyond Suharto: polity, economy, society, transition. New York: M.E. Sharpe. McCarthy, J.F. 2002. Power and interest on Sumatera’s rainforest frontier: clientiest coalitions, illegal logging and conservation in the Alas Valley. Journal of Southeast Asian Studies 31(1): 83-102. McVey, R. (ed). 2000. Money and power in provincial Thailand. Copenhagen: Nordic Institute of Asian Studies (NIAS). Migdal, J.S. 1988. Strong societies and weak state: state-society relations and state capabilities in the third world. Princeton: Prnceton University Press. Mohan, G. & Stokke, K. 2000. Participatory development and empowerment: the dangers of localism. Third World Quarterly 21(2): 247-268. Robison, R., & Vedi R. Hadiz. 2004. Reorganising power in Indonesia: the politics of oligarchy in an age of markets. London: RoutledgeCurzon. Ryter, L. 2002. Youth, gangs, and the state in Indonesia. PhD Dissertation. University of Washington. Scönleitner, G. 2004. Can public deliberation democratise state action?: municipal health council and local democracy in Brazil. In John Harriss, Kristian Stokke, & Olle Tornquist (ed), Politicing democracy: the local politics of democratisation. New ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
221 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff
York: Palgrave Macmillan. Sidel, J. 1999. Capital, coercion, and crime: bossism in the Philippines. Stanford: Stanford University Press. Tasanaldy, Taufiq. 2007. Politik identiti di Kalimantan Barat. In Henk S. Nordholt & Gerry van Klinken (ed), Politik lokal di Indonesia. Translation. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta. The Editors. 1992. Current Data on the Indonesian Military Elite. Indonesia 53(April): 93-136. van Klinken, G. 2001. The Maluku wars of 1999: bringing society back in. Indonesia 71(April): 1-26. van Klinken, G. 2007. Communal violence and democratisation in Indonesia: small town wars. London: Routledge. Varshney, A. 2002. Ethnic conflict and civic life. New Haven: Yale University Press. Wellhoer, E.S., 2005. Democracy, facism and civil society. In S. Roßteutscher (ed), Democracy and the role of associations: political, organizational and social contexs. London: Routledge. Widodo, Amrih. 2003. Changing the cultural landscape of politics in post-authoritarian Indonesia: the view from Blora, Central Java. In Edward Aspinall and Greg Fealy (ed), Local power and politics in Indonesia: decentralisation & democratisation. Singapore: Institute of Southeast Asian Studie.
(Footnotes) This paper was presented in the Fifth International Conference on Global Studies, Moscow, Russia, 20-22 June 20-22. Paper was modified for this journal. Civil society is considered an agent for political transformational change. This is because civil society is not only defined as an informal social cohesion group that has the ability to garner social support and solidarity and promote universal norms and values accepted by all strata of life (c.f. Cohen & Arato 1992), but more importantly, it could create inner social strength that could balance government’s indifferent attitudes on humanity and injustice (Gellner 1994:5). In spite of that, civil society is believed to have the ability to defend the interests of the public and to prevent government’s manipulative social strategies. At the same time Chandhoke (1995:8-13) adds that civil society is an avenue where “... at which society enter into relationship with the state.” From this perspective, the society manages to interact and to raise critical issues rationally with the government. The interactions would dampen the regime’s intention to accumulate more power and to becoming autocratic. Boss or the Economic Elites in the Philippines derives from the historical linkages between family dynasty of ‘old landlord’ (oligarchs) with its networks and patronclient relationship between them. Some of these old family oligarchies (economic
1
2
3
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
222 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
From New Order to Reformasi: Indonesian Subnational Politics in the Post-New Order Era
boss) are also the major players in the Philippines politics. Among them are the family of Lacson and Montelibanos from the Negros Province, Osmeoas and Duranos from Cebu, and Joson and Diazezs of Nueva Ecija. Cory Aquino and Gloria Macapagal Arroyo are also part of this political oligarchic system. The boss, coming from the family ‘old oligarchs’ and involve in politics, was initially has a strong local strongmen lineage. They were the economic and political broker and hold monopolistic position in their local society. When these bosses have enough ‘capital investment’, they would then run in the parliamentary elections and become political leaders in their area. It is seldom that they would not be selected. But the way they run their local district is just like a mafia style. They would consolidate more power and wipe out all political opponents through manipulative voting systems or in some extreme form using force to eliminate their opponents. For further discussion on this, see Sidel (1999). According to McVey (2000), their presence can be categorized into three levels: First, pre-1960. There are two conditions of which led to the emergence of chao pho, (i) strong patriarchal cultural in the society; and (ii) an ineffective control and weak government in the internal district areas. In this kind of situation, the role of godfather is permissible as the main player for local politics (middle distance between capital and countryside). Second, between 1960s and 1973, the anticommunist military regime under Jeneral Sarit Thanarat (1958-1963) and Jeneral Thanom Kittikachorn (1963-1973), had included countryside areas as part of extensive infrastructure development plan. Subsequently, the godfather used their influences to be part of the project development, and some of them became the head of villagers, whom the task was among others to increase local tax revenues. Third, a more democratic regime was introduced through local electoral process after the fall of military regime. The process allows them to get involve in national politics directly and independently. In Nigeria for instance, democratization process took longer period (from 1974 until early period of 1980s). The protracted democratic process ignited a coup by General Abacha who was very impatient with the slow process. He subsequently ruled the country with iron-fist. In Peru, President Alberto Fujimori organized a self-coup on 5 April 1992. He justified his action by arguing that the country was in emergency due to acute economic problems and ineffective leadership. He dissolved the parliament and ruled the country single handedly. The same situation also occurred during the failed transitional process of Sierra Leone’s democracy in 1997. Democracy failed to stabilize the country due to vested interests among political elites. The country was drawn into a series of civil war. Please refer to Kay (1996), Emelifeonwu (1999), and Keen (2005) for further information on the issues. In spite of that, there are many small groups that have colored the ethnic works in
4
5
6
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
223 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff
Indonesia. For instance Burhan Magenda’s works (1989) show that there was continuity of power among the aristocrats outside Java Island (East Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, and South Sulawesi) after the proclamation of independence. The study also argues that in the 1950s the Indonesian Civil Service was still managed by members of Javanese aristocrat of whom maintaining their ally with that of from outside the Java Island. Their alliance was based on common in interests i.e. to limit the expansion of leftist idea and Islamism that wanted to launch a new political force. This common interest also benefited the bureaucrats who needed the aristocrat’s influences in managing ethnic conflicts. At the same the aristocrat also needed bureaucrat’s support to deal with local’s opposition against them. In this context, Orde Baru or New Order regime attempted to present a multiple positive impacts of capitalisme. However, ent-seeking activities, crony capitalism, and patrimonial hierarchy practices continued to reinforce itself and created a web of networks. This then contributed to a situation where one could not get away from the web of networks once he/she was in. It has then been resulted with at least 30% of foreign investment went directly to political elite’s coffin. The practices also allowed cronies to get their own shares at the district level. Harriss-White (1992) names this activity as “informal economy”, where strong local people benefits the most through their personal ties with the government. These strong local men continue to influence local, district and parliamentary leadership through: “... the use of trusted family labour; bilateral and multilateral contracts, especially repeated and interlocked contracts; individual and collective reputation; collective institutions; an inconsistent normative pluralism; and private protection forces” (Harriss-White 1999:5). Furthermore, she explains: Some elements of the shadow state are played simultaneously by real state players, e.g. corrupt lines of tribute, patronage/clientelage. Other shadow state livelihoods are a form of self employment, though they depend on state employees, politicians and other interested social forces for their incomes e.g. private armies enforcing black or corrupt contracts, intermediaries, technical fixers, gatekeepers, adjudicators of disputes, confidants, consultants, and chore performers.Hence the real state with its shadow is bigger than the formal state and has a vested interest in the perpetuation of a stricken and porous state. The shadow state spills spatially into the lanes surrounding offices and into the private (some argue the ‘female’) domestic space of an official’s residence. This must be the most vivid image of the blurred boundaries between state and society (Harriss-White 1999:15). Three names were identified as notable non-military trained youth leaders in Medan: Bangkit Sitepu, head of division for Pemuda Pancasila (PP) Medan, a social civilian organization during the new order era. The organization received supports from the government and had an affiliation with Golkar Party; Moses Tambunan, leader of Ikatan Pemuda Karya (IPK)— Golkar Party’s youth wing; and
7
8
9
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
224 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
From New Order to Reformasi: Indonesian Subnational Politics in the Post-New Order Era
Martius Latuperisa member of Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) under the leadership of Jeneral (Retired) Edi Sudrajat, who was also the major prime mover for the Forum Komunikasi Purnawiaran Putera-Putri ABRI (FKPPI) Medan. For further discussion please see Ryter (2002) and Vedi R. Hadiz (2003). The formation of new district autonomy created many advantageous. Among others, it has opened up various important bureaucratic positions or posts such as for developments and public relations to be filled. Local businessmen also benefited with the redistricting policy. Financial distribution became less bureaucratic. Business entity could receive their money more quickly than before once the project is completed thus contributed to increased income. Local political elites also benefited from the decentralization process. Chances to sit in the district important posts such as head of district or becoming head and members of the province’s local parliament or DPRD became wider. For bureaucratic elites, their opportunity to climb up the ladder has become easier. According to Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff (2010), the evolution starts when the autonomy law was implemented through the formation of Provinsi Banten through the redistricting mechanism. Since thenu, Tubagus (Tb.) Chasan Sochib—a ‘tameng’ and local strongmen during New Order—plays a dominant role in the administration of Banten. In the early period of the formation of Banten as a separate province, he appointed his own son (Ratu Atut Chosiyah) as deputy governor instead of his political ally, Djoko Munandar (from the Partai Persatuan pembangunan). Ratut Atut was then appointed as governor of Banten until 2011.
10
11
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
225 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Keadilan Global dan Norma Internasional Abstract The discourse of global justice is an attempt not only to explain the inequalities in global lives but as an effort to solve the problem of injustice as well. The extreme disparities in life quality between people in the rich countries and the poor nations have shown that there has been a colossal injustice in human lives. As the part of the idea in the political philosophy of cosmopolitanism, this theory also leads to the global acknowledgment on the basic rights of human being so everybody can live in just world. This article tries to explain the transformation of a global justice theory as an international norm. This perspective was enlarged from the thought of justice in the social contract tradition, but attempts to put down its utilitarian nature and puts human values as the basis of thinking. The essential contribution of this theory is to encourage the establishment of justice evenly so that every individual has as an equal opportunity to live deliberately in a peaceful atmosphere, not only through discourses so the values of universal justice can be believed, but also promoting the institutionalization of norms into international covenants which have binding force for every actor from states, organizations as well as communities. Keywords: global justice, international norm, just world, John Rawls
Pendahuluan
Muhammad Faris Alfadh Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Email:
[email protected]
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Barangkali benar apa yang dikatakan Thomas Nagel, pemikir filsafat politik Amerika, bahwa kita tidak hidup di dunia yang adil (Nagel, 2005: 113). Di sebagian besar masyarakat di belahan bumi manapun, kemiskinan dan kesenjangan sudah menjadi fenomena obyektif. Pada level yang lebih tinggi, hal yang sama juga tampak mengkhawatirkan, terutama perbandingan antara negara maju dengan negara-negara berkembang, terlebih lagi negara miskin. Pada tahun 2011 lalu, UNDP mengeluarkan laporan tahunan mengenai Human Development Index negara di seluruh dunia. Laporan tersebut menunjukkan kenyataan yang amat ganjil. Seorang anak yang lahir di Swedia, misalnya, memiliki usia harapan hidup hingga 81,4 tahun. Sementara harapan hidup seorang anak di Sierra Leone, negara di bagian barat Afrika (berbatasan dengan Liberia), hanya 47,8 tahun (UNDP, 2011).1 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
226 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Keadilan Global dan Norma Internasional
Jumlah GDP (gross domestic product) perkapita Amerika Serikat mencapai 45.989 dollar, sementara Sierra Leone hanya sebesar $ 808 dollar. Perbandingan tingkat melek huruf di beberapa negara juga sangat timpang. Lebih dari 80 persen orang dewasa (25 tahun ke atas) di dua puluh negara maju tergolong melek huruf. Sementara di beberapa negara berkembang masih memperihatinkan. Di Bangladesh, misalnya, hanya 30,8 persen dari perempuan dan 39,3 persen lakilaki yang bisa digolongkan terdidik. Nigeria menunjukkan data paling rawan, hanya terdapat 2,5 persen perempuan dan 7,6 persen laki-laki yang mengenyam pendidikan. Beberapa fakta di atas menunjukkan bahwa hampir semua kebutuhan dasar manusia ternyata tidak terdistribusi secara merata di seluruh dunia. Hal ini semakin kontras jika perbandingan tersebut kita lanjutkan pada aspek-aspek lainnya seperti akses terhadap air bersih, layanan kesehatan dan sanitasi, serta kebebasan berbicara, beragama, dan partisipasi politik. Proses ketidakadilan dan kesenjangan sebenarnya sudah berlangsung cukup lama. Fenomena tersebut tidak saja mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan strategis untuk mengurangi tingkat kesenjangan tetapi juga banyak melahirkan pertanyaan filosofis sekaligus kritis mengenai bentuk kehidupan yang lebih adil. Dari sini pula lahir studi mengenai keadilan, yang mencoba menjelaskan sekaligus menawarkan perilaku yang lebih fair—terutama dari perspektif moral. Salah satu pemikir yang paling berpengaruh dalam mengembangkan teori keadilan adalah John Rawls, terutama melalui karyanya A Theory of Justice (1971). Melanjutkan tradisi berpikir kontraktarian, Rawls mencoba menggagas teori keadilan yang lebih adil (fair). Namun fakta bahwa ketidakadilan berlangsung secar global dan kolosal membuat teori keadilan ini terus berkembang pada level yang lebih tinggi. Berkembangnya wacana tentang keadilan global (global justice) juga seiring dengan menguatnya keyakinan akan nilai-nilai kosmopolitanisme dalam masyarakat internasional. Konsepsi global justice memang tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pemikiran Rawls. Meski demikian, teori keadilan dalam perspekstif Rawls dipandang belum mampu menjawab seluruh persoalan umat manusia, terutama ketika ditarik pada level global. Karena itu, beberapa pemikir kosmopolitan kontemporer seperti Martha Nussbaum, Thomas Nagel, Thomas Pogge, dan Simon Caney, banyak berbicara mengenai konsepsi keadilan global ini. Konsepsi global justice cukup berbeda dengan teori keadilan sebelumya, terutama dalam melihat persoalan dari level yang lebih tinggi serta bagaimana mendorong keadilan sebagai sebuah norma internasional, agar keadilan tidak hanya bisa ditegakkan tetapi sekaligus terdistribusi secara adil. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana konsep keadilan ini berkembang dari kontraktarian (versi Rawls) yang menempatkan negara sebagai unit dominan, ke arah norma-norma yang mampu diyakini secara internasional, sehingga setiap orang, organisasi, dan negara memiliki kewajiban yang ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
227 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Muhammad Faris Alfadh
sama untuk menjamin keadilan bagi setiap manusia. Tulisan ini ingin mengelaborasi lebih jauh bagaimana teori keadilan global berkembang dan mampu menjadi norma internasional, di mana keadilan kemudian tidak saja diyakini sebagai nilai tetapi juga hadir dalam bentuk rezim dan institusi.
Keadilan dalam Perspektif John Rawls Selama ini teori keadilan dalam tradisi filsafat politik banyak didominasi oleh teori kontrak sosial (social contract). Keadilan dalam pandangan ini dilihat sebagai hasil dari kesepakatan yang dibuat bersama demi mencapai keuntungan semua pihak, serta meninggalkan apa yang disebut Thomas Hobbes sebagai “the state of nature” dan menyerahkan sepenuhnya pada hukum. Tradisi berpikir kontraktarian ini cukup panjang, mulai dari Thomas Hobbes (15881679), John Lock (1632-1704), Jean-Jacques Rousseau (1712-1774), hingga Immanuel Kant (1724-1804). Namun tidak dapat dipungkiri bahwa John Rawls (1921-2002) adalah pemikir yang paling berpengaruh di abad modern. Teorinya mengenai keadilan sebagai fairness yang dijelaskan dalam magnum opusnya, A Theory of Justice (1971), berangkat dari kritik atas teori sebelumnya yang ia rasa tidak sempurna dan kurang memadai dalam memberikan konsep keadilan yang tepat. Kegagagalan teori terdahulu, menurtnya, disebabkan oleh substansi dari teori tersebut yang sangat dipengaruhi nilai-nilai utilitarianisme (Ujan, 2001: 21). Dalam pandangan kaum utilitarianis, benar dan salahnya tindakan manusia sangat bergantung pada konsekuensi langsung dari tindakan tersebut. Dengan demikian, baik buruknya perilaku sesorang secara moral dapat dinilai dari baik buruknya konsekuensi yang dihasilkan bagi manusia lainnya. Tegasnya, apabila akibat yang ditimbulkan baik, maka sebuah peraturan atau tindakaan dengan sendirinya menjadi baik, betapapun cara yang ditempuh untuk itu, demikian pula sebaliknya. (MagnisSuseno, 1986). Karena itu, menurut Rawls, utilitarianisme gagal untuk menjamin keadilan sosial karena mendahulukan asas manfaat (good) daripada asas hak (right). Karena bisa jadi dalam mendahulukan asas manfaat, sebuah tindakan akan menafikan hak-hak yang dianggap marjinal. Disebabkan kegagalan inilah maka utilitarisme tidak cukup kuat bila dijadikan basis untuk membangun konsep keadilan yang ideal (Ujan, 2001: 21). Karen itu, menurut Rawls, suatu teori keadilan yang memadai harus dibentuk dengan pendekatan kontrak di mana prinsip-prinsip keadilan yang dipilih sebagai pegangan bersama sungguh-sungguh merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua pihak yang bebas, rasional, dan sederajat. Hanya melalui pendekatan kontrak inilah sebuah teori keadilan mampu menjamin pelaksanaan hak sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua orang. Pendekatan kontrak terhadap konsep keadilan yang dikembangkan Rawls sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Keadilan yang bersifat kontrak ini juga sudah ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
228 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Keadilan Global dan Norma Internasional
dikembangkan sebelumnya oleh Lock, Rousseau, dan juga Kant. Rawls sendiri mengakui sumbangan para pendahulunya tersebut. Akan tetapi ia berpendapat bahwa teori-teori tradisional ini tidak memuaskan justru karena semuanya cenderung bersifat utilitarianis. Kelemahan pokok teori kontraktarian dengan basis utilitarisme adalah, keadilan sosial dan ekonomi dalam masyarakat sulit dijamin karena pengambilan keputusan lebih ditentukan oleh prinsip manfaat daripada hak. Keadilan seakan-akan dapat dikompensasi melalui keuntungan-keuntungan ekonomis ataupun keuntungan sosial lainnya. Menurut Rawls, harga diri manusia tidak bisa diukur dengan materi. Martabat manusia, sebaliknya, ditandai dengan kebebasan (Ujan, 2001: 23). Selain itu, utilitarianisme cenderung mengabaikan keunikan setiap individu dan memperlakukannya melulu sebagai bagian yang berfungsi melayani kepuasan masyarakat sebagai keseluruhan. Bagi Rawls, adalah tidak adil (unfair) mengorbankan hak dari satu atau beberapa orang hanya demi keuntungan ekonomis yang lebih besar bagi masyarakat secara keseluruhan. Sikap dasar utilitarisme justru bertolak belakang dengan prinsip keadilan sebagai fairness. Keadilan sebagai fairness menuntut bahwa orang pertama-tama harus menerima prinsip kebebasan yang sama sebagai basis yang melandasi pengaturan kesejahteraan sosial. Bagi Rawls, keadilan harus dimengerti sebagai fairness, dalam arti bahwa tidak hanya mereka yang memiliki kemampuan yang lebih baik yang berhak menikmati manfaat sosial lebih banyak, tetapi juga berlaku bagi kelompok dengan kemampuan terbatas. Keuntungan yang dicapai oleh mereka yang mampu juga seharusnya membuka peluang bagi mereka yang kurang beruntung untuk meningkatkan prospek hidupnya (Ujan, 2001: 25). Rawls merumuskan dua prinsip keadilan sebagai berikut: Pertama, setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang; Kedua, Ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga (a) diharapkan memeberi keuntungan bagi setiap orang (everyone’s advantages), dan (b) semua posisi dan jabatan terbuka secara sama bagi semua orang (equally open to all) (Rawls, 2006: 72). Menurut Rawls kekuatan dari keadilan dalam arti fairess justru terletak pada tuntutan bahwa ketidaksamaan dibenarkan sejauh juga memberikan keuntungan bagi semua pihak dan sekaligus memberi prioritas pada kebebasan. Bisa disimpulkan secara sederhana, bahwa keadilan sebagai fairness mengandung tiga tututan moral: Pertama, kebebasan untuk menentukan diri sendiri sekaligus independensi terhadap pihak lain; Kedua pentingnya distribusi yang adil atas semua kesempatan, peranan, kedudukan, serta berbagai manfaat atau nilai-nilai sosial dasar yang tersedia; dan Ketiga, tuntutan distribusi beban kewajiban secara adil.
Keadilan Global: Melampaui Tradisi Kontrak Sosial ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
229 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Muhammad Faris Alfadh
Berkembangnya konsepsi global justice sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari teori keadilan sebelumnya dalam perspektif John Rawls—keadilan sebagai fairness-. Namun beberapa pemikir, terutama penganut kosmopolitan, melihat teori ini tidak sepenuhnya mampu menjawab seluruh persoalan. Menurut Martha Nussbaum, seorang pemikir filsafat politik Amerika yang banyak menulis mengenai gloal justice-, walaupun teori Rawls paling kuat dari semua teori keadilan yang ada, beberapa aspek masih tampak problematik, terutama ketika dihadapkan pada tiga persoalan yang sangat penting: (a) keadilan bagi masyarakat yang tidak mampu—disabilities (khususnya secara mental); (b) keadilan lintas batas negara; dan (c) keadilan terhadap makhluk selain manusia (binatang, tumbuhan, alam) (Nussbaum, 2003). Hal ini juga sebenarnya disadari oleh Rawls sendiri. Dalam Political Liberalism (1996), misalnya, ia menunjukkan empat persoalan yang sulit dijawab oleh konsepsi keadilan yang ia paparkan selama ini, yakni: kewajiban (kita) terhadap masyarakat yang tidak mampu—disabilities (baik sementara maupun permanen, bagitu juga mental ataupun fisik), keadilan lintas batas nasional, kewajiban terhadap hewan dan alam, dan persoalan menjaga kelangsungan bagi generasi yang akan dating (Rawls, 1996: 20-21). Karena itu Nussbaum, sebagai salah satu pemikir kosmopolitanisme, melihat teori Rawls perlu dikembangkan lebih jauh. Menurutnya, kita tidak bisa menyelesaikan persoalan keadilan global hanya dengan mempertimbangkan kerjasama internasional sebagaiaman kerjasama dalam skema kontrak sosial, demi mencapai kepentingan bersama di antara anggota dengan cara yang sama untuk menggantikan “state of nature”. Teori kontrak memandang negara sebagai unit dasar. Dalam pandangan Hobbes, prinsip-prinsip keadilan memang bisa diidentifikasi melalui ergumen moral, namun mustahil untuk mewujudkannya tanpa adanya kedaulatan negara. Senada dengan argumen Hobbes, Rawls melihat peran struktur negara menjadi syarat untuk menjamin kesetaraan antar sesama penduduk masyarakat. Terkait hal itu, maka dalam hubungan internasionalnya, sebuah negara akan sulit melepaskan diri variable-variabel domestik, yang oleh Morgenthau (1948) serta kelompok realis disebut sebagai kepentingan nasional: dasar dari kebijakan luar negeri sebuah bangsa. Layakya manusia yang beranjak dari kondisi “state of nature”-nya, ketika melakukan kontrak sosial maka negara juga hanya akan bersepakat jika menemukan kesamaan kerjasama dan saling menguntungkan (Nussbaum, 2005: 198). Karena itu, menurut Nussbaum, kita baru bisa memecahkan persoalan ketidakadilan yang terjadi secara global dengan memikirkan apa yang dibutuhkan oleh semua orang untuk hidup layak sebagai umat manusia (Nussbaum, 2003). Untuk itu, nilai-nilai keadilan sebagai fairness tadi perlu ditarik pada level internasional sebagai sebuah norma yang berlaku global. Selama ini, sebelum konspsi mengenai global justice diterima secara luas, keadilan lebih banyak dimaknai terbatas pada level negara. Tidak ada kewajiban membantu apa yang terjadi di luar batas teritorial nasional. Namun, keadilan membutuhkan ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
230 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Keadilan Global dan Norma Internasional
sesuatu yang lebih, kata Nussbaum. Menurutnya, selama ini kita sepertinya abai dan membiarakan martabat (hak) manusia dirampas oleh kemiskinan, buta huruf, serta kondisi kesenjangan antar negara. Karena itu, menjadikan keadilan sebagai nilai universal (global), membuat manusia memiliki kewajiban yang sama untuk menangani segala sesuatu yang merampas hak manusia tadi (Nussbaum, 2003). Persoalan kemiskinan, buta huruf, pembantaian atas nama ras, dan persoalanpersoalan hilangnya hak dasar tidak bisa lagi dipandang sebagai persoalan orangperorang, atau tangungjawab negara semata. Hal tersebut juga merupakan tangungjawab manusia seluruhnya. Gagasan global justice memang sangat dipengaruhi oleh berkembangnya nilai-nilai kosmopolitanisme dalam filsafat politik, di mana hubungan yang terbangun sesama manusia karena kesamaan nilai budaya, agama, ras, dan negara, tidak lagi dianggap relevan. Ikatan antar manusia harus disandarkan pada nilai kemanusiaan itu sendiri. Manusia tidak dibenarkan secara moral berpihak hanya atas dasar kesamaan budaya, ras, agama, maupun negara. Karena itu, persoalanpersoalan kemanusiaan yang ada di negara-negara dunia ketiga juga menjadi tangungjawab semua orang, termasuk negara maju. Tidak ada satu orangpun yang bisa menentukan di mana ia ingin dilahirkan, termasuk mereka yang ditakdirkan lahir di negara terbelakang. Oleh sebab itu, gagasan mengenai global justice ingin membangun kesadaran bersama bahwa semua orang harus ikut memikul tanggungjawab yang sama. Salah satu caranya adalah dengan membangun gagasan keadilan global sebagai norma internasional, di mana keadilan diyakini sebagai konsep dan nilai universal sekaligus hadir dalam bentuk istitusi-institusi internasional yang memiliki legitimasi. Hanya dengan langkah tersebut setiap orang bisa “dipaksa” terlibat dan memikul tanggungjawab yang sama. Dalam beberapa kasus, kita bias melihat upaya nyata yang dilakukan. Dengan adanya nilai keadilan sebagai keyakinan internasional, maka isu-isu yang melemahkan kemanusiaan seseorang seprti kelaparan, penyiksaan, genocide dan pembantaian atas nama ras, bisa menjadi alasan atas intervensi terhadap kebijakan nasional sebuah negara. Begitu juga dengan adanya nilai-nilai universal yang difahami pada aspekaspek kesetaraan jenis kelamin dan isu-isu dasar lainnya dari kebebasan manusia, seperti hak sosial, ekonomi, budaya, sipil, dan politik.
Keadilan Global sebagai Norma Internasional Pasca Perang Dunia II, meningkatnya intensitas kerjasama ekonomi secara global membuat pola interaksi antar negara mengalami perubahan signifikan, begitu juga menguatnya kekuatan politik dan ekonomi dari aktor-aktor non-negara seperti organisasi internasional semacam PBB, Bank Dunia, MNCs, dan juga organisasi lainnya. Selama periode yang sama, dan khususnya sejak tahun 1970-an, wacana mengenai keadilan global juga menjadi isu penting dalam kajian filsafat politik, terutama terkait dua hal: (a) isu mengenai tidak berpihak secara moral termasuk di ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
231 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Muhammad Faris Alfadh
luar batas negara, dan (b) memaknai diri sebagai baian dari warga manusia secara universal (O’Neill, 2000: 115). Meski pada periode yang sama, ketertarikan para pemikir politik masih banyak difokuskan pada isu-isu keadilan domestik. Keadilan di luar batas negara, dan bagimana kewajiban sebuah negara terhadap negara lain, relatif masih dikesampingkan. Banyak orang yang masih melihat kewajiban terhadap keluarga dan sesama bangsa jauh lebih penting daripada terhadap orang asing yang sama sekali tidak dikenal. Posisi inilah yang dipertanyakan secara kritis oleh perpektif kosmopolitanisme. Bagi kelompok penganut nilai-nilai kemanusiaan universal, setiap individu harus menyadari bahwa mereka juga adalah bagian dari warga dunia. Karena itu setiap orang berkewajiban untuk tidak memihak dalam memandang persoalan yang dihadapi manusia lainnya (Godwin, 1976). Hal ini berangkat dari argumen bahwa setiap orang memiliki posisi moral yang sama sebagai manusia, dan berlaku bagi seluruh umat manusia, sehingga batas-batas budaya, kelompok, dan negara tidak relevan secara moral (Caney, 2005). Salah satu pemikir kosmopolitanisme, Thomas Pogge, berargumen bahwa semua manusia memiliki hak yang sama—sebagaimana dijamin dalam deklarasi HAM PBB. Ini menjadi alasan bahwa hak tersebut menciptakan kewajiban positif dari mereka yang kaya untuk turut bertanggungjawab atas terancamnya kehidupan sebagian orang di belahan bumi lainnya karena kemiskinan. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa mereka yang kaya juga menjadi bagian dari sistem global yang melahirkan disparitas (Pogge, 2002). Berdasarkan pada refleksi universal di atas, maka munculnya gagasan untuk membangun sebuah norma yang bisa disepakati bersama secara global menjadi sesuatu yang tidak terelakkan. Hal ini dimaksudkan agar tersedianya konsensus yang jelas terhadap penghormatan kebebasan individu serta pemenuhan kak-hak dasar manusia. Salah satu perhatian dari teori global justice adalah adanya pengakuan bersama atas nilai tersebut serta institusi yang mengatur dan mengawasi. Untuk itu norma maupun institusi yang mampu menjamin standar keadilan merupakan instrument yang inheren. Meski demikian, instrument tersebut baru dipandang efektif jika ia mendapatkan kepatuhan dan berlaku melampaui batas-batas kedaulatan (Singer, 2002; Pogge, 1989: 240-80; Pogge, 2002; Beitz, 1979). Namun demikian, upaya untuk menciptakan keadilan bersama dalam perspektif kelompok kosmopolitan juga tidaklah mudah. Banyak pihak masih meyakini bahwa cita-cita besar tersebut memerlukan kekuatan global yang melampaui kedaulatan negara. Di sinilah letak persoalannya, mengingat saat ini negara masih memegang kedaulatan paling tinggi. Bisa dibilang bahwa ketidakadilan yang berlangsung secara global turut disebabkan oleh kondisi internasional yang anarki, sehingga nilai-nilai moral untuk menciptakan standar keadilan menjadi sulit untuk diwujudkan. Bagi penganut kosmopolitanisme, lingkungan internasional yang anarki ini ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
232 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Keadilan Global dan Norma Internasional
dianggap gagal memberikan jaminan bagi pemenuhan hak-hak kemanusiaan yang universal. Dunia saat ini diyakini telah gagal meningkatkan standar keadilannya, karena itu memerlukan perubahan yang sungguh-sunguh. Mereka menempatkan optimisme yang cukup tinggi bahwa keadilan bisa dinikmati bersama setidaknya dengan menanamkan kesepakatan bersama serta institusi internasional yang akan mampu membatasi, atau bahkan mengganti, prilaku mementingkan diri sendiri dari negara-negara kuat dan juga korporasi internasional. Salah satu upaya yang cukup berhasil dalam menjadikan keaadilan sebagai norma internasional adalah deklarasi HAM yang disepakati pada sidang umum PBB pada tahun 1948. Dengan adanya deklarasi ini menjadi dasar pengakuan atas hak-hak dasar setiap manusia dan tidak satu orang atau lembaga apapun yang berhak melanggarnya. Dalam isu HAM, salah satu persoalan yang cukup penting adalah bagaimana proses penegakan nilai-nilai kemanusiaan itu. Misalnya, dengan terus mengupayakan nilainilai keadilan dijadikan sebagai norma internasional, bahkan pada aspek yang sangat spesifik. Salah satu contoh upaya tersebut adalah disepakatinya pengakuan internasional atas hak-hak dasar manusia mengenai hak ekonomi, sosial, dan budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights), serta kesepakatan internasional mengenai pengakuan hak-hak dasar mengenai hak sipil dan politik (International Covenant on Civil and Political Rights). Terbetuknya International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) tidak terlepas dari amanat dari deklarasi HAM PBB pada tahun 1948. Namun karena deklarasi HAM bukanlah instrumen yuridis yang memiliki kekuatan mengikat, maka poin-poin pokok dari HAM dan kebebasan fundamental manusia harus dituangkan ke dalam instrumeninstrumen yang mengikat secara hukum sebagai norma yang disepakati dan dilaksanakan bersama. Dalam sidang tahun 1951, Majelis Umum PBB kemudian meminta Komisi HAM untuk merancang dua kovenan (perjanjian) tentang HAM, satu mengenai hak sipil dan politik, dan satu lagi tentang hak ekonomi, sosial dan budaya. Setelah sekian tahun mengalami pembahasan, baru pada tahun 1966 rancangan naskah kedua kovenan tersebut bisa diselesaikan. Tepatnya pada tangal 16 Desember 1966 akhirnya majelis umum PBB mengesahkan kedua rancangan naskah tadi sebagai kovenan internasional bidang azasi manusia melalui Resolusi 2200 A (XXI). Kedunya kemudian disebut juga sebagai “International Bill of Human Rights”. Kedua kovenan tersebut kini sudah mencapai status sebagai hukum kebiasaan internasional (customary international law). Artinya, kedua perjanjian tersebut telah diakui sebagai standar acuan bersama untuk setiap negara di dunia. Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mulai berlaku pada tanggal 3 Januari 1976, sesuai dengan pasal 27 kovenan tersebut. Sementara kovenan ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
233 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Muhammad Faris Alfadh
internasional tentang Hak Sipil dan Politik resmi berlaku sejak tanggal 23 Maret di tahun yang sama. ICESCR, misalnya, mengatur pengakuan, pemenuhan, dan penegakan atas hakhak dasar manusia pada bisang ekonomi, soaial, dan budaya, yang meliputi: (a) hak atas buruh (meliputi upah yang layak, kebebasan membentuk serikat, serta melakukan pemogokan); (b) hak atas kehidupan yang layak (termasuk kecukupan pangan, jaminan sosial, hak terbebas dari kelaparan); (c) hak perlindungan atas keluarga; (d) hak atas kesehatan fisik dan mental; (e) hak atas pendidikan (meliputi wajib belajar tingkat dasar); (f) hak atas keterlibatan dalam budaya. Sementara ICCPR mengatur pengakuan dan pemenuhan atas hak-hak sipil dan politik yang terdiri dari lima ketentuan: (a) hak untuk mendapatkan perlindungan secara fisik (misalnya dari penyiksaan serta penagkapan sewenang-wenang); (b) hak diperlakukan adil di mata hukum (seperti diperlakukan sama, mendapatkan kuasa hukum); (c) hak untuk mendapatkan perlindungan dari bias gender, rasial, atau halhal lainnya yang bersifat diskriminatif; (d) hak atas kebebasan individu, seperti kebebasan berbicara, beragama, kebebasan atas media, dan kebeasan untuk membentuk organisasi; (e) hak kebebasan dalam berpolitik. Misalnya mendirikan partai politik, begitu juga hak untuk memilih dan dipilih. Sejak kedua kovenan itu disahkan PBB tahun 1966, hingga bulan Desember 2008, ICESCR sudah diratifikasi oleh 160. Sementara ICCPR telah diratifikasi oleh 166 negara. Dengan diratifikasinya dua kovenan ini maka diharapkan nilai-nilai keadilan bisa dipaksakan kepada negara-negara yang sudah meratifikasinya, serta perlindungan atas ketidakadilan bisa diberikan kepada orang-orang yang selama ini merasa hakhak dasarnya tidak terpenuhi (dirampas), baik yang diakibatkan oleh sistem sosial, kebijakan negara, maupun pihak-pihak lain. Kemiskinan, buta huruf, diskriminasi gender, rasial dan juga buruh, kini merupakan fenomena yang terjadi secara global. Karena itu, upaya menjadikan globak justice sebagai norma internasional menjadi salah satu upaya untuk mengembalikan hak-hak dasar manusia yang telah dirampas. Salah satu sumbangan paling penting dari teori keadilan global sebagai norma internasional adalah terus mendorong negara-negara untuk mengakui dan menghormati hak-hak dasar seorang manusia, yang sejatinya tidak bias disubstitusi oleh nilai-nilai ekonomis dan politis. Dalam kasus dua kovenan internasioanl di atas, diskursus mengenai keadilan global sangat penting dalam mendorong setiap negara untuk mengadopsi kovenan tersebut. Karena sulit rasanya untuk ikut andil dalam mendistribusi keadilan di negara-negara yang masih belum mengakui akan hak-hak dasar manusia. Kasus di Myanmar merupakan contoh yang tragis. Selama rezim junta militer masih belum mengakui hak-hak dasar masyarakatnya dalam hal hak sipil dan berpolitik, maka sulit untuk berharap keadilan bagi para tahanan politik untuk mendapatkan hak dasar mereka, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
234 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Keadilan Global dan Norma Internasional
Kesimpulan Gagasan mengenai keadilan global hadir untuk menjawab fenomena ketidakadilan serta kerapuhan manusia yang terjadi secara global, terutama hak-hak dasar yang telah dirampas. Upaya menjadikannya sebagai norma yang diyakini secara internasional merupakan langkah prkatis untuk menjamin adanya keadilan bagi setiap manusia, serta terdistribusinya hak serta tanggungjawab secara adil bagi setiap orang. Maka dari itu, cita-cita filosofis dari keadilan global sangat dipelukan untuk memberi petunjuk kepada refleksi tiap personal dan kebijakan publik. Teori ini membutuhkan perhatian besar dari pekerjaan filsafat yang belum pernah dilakukan sebelumnya: mengartikulasikan sejumlah hubungan antara individu dan tanggungjawab institusi, untuk memikirkan mengenai apa saja kewajiban-kewajiban negara yang telah diabaikan di masa lalu, dan untuk memikirkan sejauh mana dan dengan cara apa sebuah negara sebaiknya membantu negara-negara lain yang mengalami keterbelakangan dan ketidakadilan. Adanya transformasi teori keadilan global menuju norma internasional yang disepakati bersama memberikan legitimasi bagi penghormatan kebebasan dan disribusi keadilan bagi setiap individu, termasuk dalam memikul tanggungjawab yang sama. Ketidak adilan adalah fenomena kemanusiaan yang terjadi secara global. Karena itu, langkah yang harus diambil tidak lagi bisa dilakukan orang-perorang, tetapi harus melibatkan semua pihak. Upaya menjadikan teori global justice sebagai norma internasional bisa dilihat sebagai salah satu upaya mendorong keadilan yang ideal (kebebasan) bagi setiap orang.
Bibliografi Beitz, Charles. 1979. Political Theory and International Relations. Princeton, N.J.: Princeton University Press. Caney, Simon. 2005. Justice Beyond Borders. Oxford: OUP. Godwin, William. 1976. Enquiry Concerning Political Justice. London: Penguin. Magnis-Suseno, Franz. 1986. Etika Umum. Jakarta: Gramedia. Morgenthau, Hans. 1948. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. New York NY: Alfred A. Knopf. Nagel, Thomas. 2005. The Problem of Global Justice. Philosophy and Public Affairs. Edisi 33. (Online), (http://philosophy.fas.nyu.edu/docs/IO/1172/globaljustice.pdf, diakses 27 Januari 2012). Nussbaum, Martha. 2000. Toward Global Justice. (Online), (http:// fathom.lib.uchicago.edu/1/77777760815/, diakses 27 Januari 2012). Nussbaum, Martha. 2003. Beyond the Social Contract: Toward Global Justice. Paper kuliah yang disampaikan di University of Cambridge, 5-6 Maret. (Online), (http:// w w w. t a n n e r l e c t u r e s . u t a h . e d u / l e c t u r e s / d o c u m e n t s / v o l u m e 24 / nussbaum_2003.pdf, diakses 27 Januari 2012). ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
235 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Muhammad Faris Alfadh
Nussbaum, Martha. 2005. Beyond the Social Contract: Capabilities and Global Justice. Dalam Gillian Brock & Harry Brighouse (ed), The Political Philosophy of Cosmopolitanism. Cambridge: Cambridge University Press. O’Neill, Onora. 2000. Transnational Economic Justice. Dalam Bounds of Justice. Cambridge: CUP. Pogge, Thomas. 1989. Realizing Rawls. Ithaca, New York: Cornell University Press. Pogge, Thomas. 2002. World Poverty and Human Rights. Cambridge: Polity. Pogge, Thomas. 2002. World Poverty and Human Rights; Cosmopolitan Responsibilities and Reforms. Cambrdige: Polity. Rawls, John. 1971. A Theory of Justice. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press. Rawls, John. 1996. Political Liberalism. New York: Columbia University Press. Rawls, John. 2006. Teori Keadilan; Dasar-dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara. Terjemahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Singer, Peter. 2002. One World. New Haven, Conn: Yale University Press. Ujan, Andre Ata. 2001. Keadilan dan Demokrasi: Telaah Filsafat Politik John Rawls. Yogyakarta: Kanisius. UN Treaty Collection: International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights. (Online), (http://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=IV-3&chapter=4&lang=en, diakses 27 Januari 2012). UNDP. 2011. Human Development Report 2011, Sustainability and Equity: A Better Future for All. New York: Palgrave Macmilan. (Online), (http://hdr.undp.org/en/ media/HDR_2011_EN_Complete.pdf, diakses 27 Januari 2012).
(Footnotes) Data ini (dan juga beberapa lainnya) dikutip dari laporan UNDP dalam Human Development Report 2011, Sustainability and Equity: A Better Future for All. New York: Palgrave Macmilan, hlm. 127–165. (Online), (http://hdr.undp.org/en/media/HDR_2011_EN_Complete.pdf, diakses 27 Januari 2012). Norwegia berada pada peringkat teratas dalam Human Development Index, menyusul di belakangnya Australia, Belanda, Amerika Serikat, New Zealan, dan Kanada. Sierra Leone berada pada posisi 180 di antara 187 negara. Indonesia berada pada urutan 124.
1
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
236 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
ASEAN Moslem Community as Track-9 on Multitrack Diplomacy for The Conflict Resolution in Southeast Asia Region Abstract ASEAN Community 2015 still needs many preparation for its implementation. Southeast Asian peoples should prepared their change of mind to view their regional organisation. The epistemic community have significant roles to creating network and work together inside their fields and make spillover effect to public. ASEAN Moslem Community is one of the ideas which can supporting the community on 2015. This organisation is not only establishing a network for cooperations, but also it will contribute for conflict resolution in this region relate with moslem issues. This community will play roles as one of multitrack diplomacy for conflict resolution. As Non Governmental organization, this community will have flexible on its activities and relatively can be accepted by the people. But, it should to consider as a neutral community in some conflict or it will lose its credibility. Keywords: multitract diplomacy, conflict resolution, Moslem community, ASEAN
Introduction
Tonny Dian Effendi Department of International Relations, University of Muhammadiyah Malang
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
In 2009, ASEAN leaders was meet in Thailand to discussing the growth and future plan of ASEAN. From this meeting, the ASEAN leaders aggreed to create specific ways to establishing ASEAN vision in 2020. Many programs was launched. As we know that almost five dekade, ASEAN has been strugle on the international environtment change. ASEAN has successfull to maintain cooperation and stability in the region. So, ASEAN tries to make a good point by developing futuristic and ideal mision in 2020. ASEAN vision in 2020 is establishing Southeast Asia region as open, peaceful, stable, wealthy and harmony, united by the cooperation in the democratic environment, integrated development on economic growth, respectfull each other, united with the history and cultural heritage and all of them
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
237 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Tonny Dian Effendi
are united in the one regional identity (ASEAN Secretariat, 2010 : 1). On Bali Concord II, the ASEAN leaders aggreed that in the implementation of ASEAN vision 2020, it is need to real actions by establishing three pillars of ASEAN Community. They are ASEAN Political-Security Community, ASEAN Economic Community and ASEAN Socio-Cultural Community. These three pillars may enhanching the preparation for ASEAN vision 2020. Three years after the declaration for the Roadmap for the ASEAN Community, the activities related with the community is stull fluctuative and variative. The ASEAN Economic Community showed good progress. On the way to open the region for the outsider and to enhanching regional econbomic cooperation, some aggreement was signed with its rule. Some of the aggreement has been implemented but another is stil on discussion. In the ASEAN Political-Security Community, there are many meeting and cooperation to enhanche cooperation on politics and security to establishing peacefull Southeast Asia region, including some specific problems like terrorism, transnational crime and human security. Anothe specific problem is about border management among the members. The last pillar, the ASEAN Socio-Cultural Community also showing some progress but just few publication to educated the people and developing awareness of the community. The problems that faced related with the activities to ASEAN Community 2015 is on socialization by the members to their people. For the developed country like Singapora, while the access of the information is very easy, so the socialization does not find difficulties, but for developing countries with large population, access of information still be a problem. This problem giving the impact for the progress like few support from the people, low conciusness and all of this based on the problem of the information while the people do not understand well the advantage of the community. The roles of the academician, businessman and religion group is needed. Their roles can fullfil the empty space that can be provided by the government. Government has many limitation both on spreading information and eduating the people. So the role of non government group is very needed here. This groups can create a network and cooperation with their partners in another state members. By this way, the people of the members can get enough information because this group can act more flexible than the government. Beside preading the information, these epictemic community can also helping to find some solution for the conflict resolution in Southeast Asia region, of course it is based on their activity focused. One of the problem in ASEAN is about moslem community and related problems. The problems of moslem community in the region can be generalized on two problems. First, politic related problem. We have known that in some ASEAN countries members like Philipina, Thailand and Myanmar there are some problem related with moslem community that live there. The problem generaly related with ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
238 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
ASEAN Moslem Community as Track-9 on Multitrack Diplomacy for The Conflict Resolution in Southeast Asia Region
their relation with the government.in Philipina and Thailand, the problem of moslem community related with the reparation movement, while in Myanmar it is related with the ommunity relations with the military regime. In other countries member, there are also many problems related with the politics. Second, economic related problem. Population of the moslem community in the region is the largest. But in other hand, they still face the economic problem like poverty. This problem can also be caused of the politic and security problem. Both two main problem should to find the solution. Related with both problems, so the question is, is ASEAN Community 2015 have mechanism to create the solutions? Of course, I do believe that there are no specific for moslem community resolution in ASEAN but, ASEAN have some regulation and mechanism for the general problem. So, to supporting ASEAN effort to solve many problem inside, it will very good if the moslem epistemic community in ASEAN, have initiative to establish an ASEAN moslem community. It is not to build exclusivity but, it rather than buildthe coordination of the cooperation and network to work together to find the solution of moslem community problem in Southeast Asia region. This article will describe how the ASEAN moslem community can be played as diplomatic tools for conflict resolution. I will use multitrack diplomacy concept which one of the track is the role of religion or peacemaking through faith in action. This article devide on four part. They are backgroud, multitrack diplomacy approach, the problems of moslem in Southeast Asia and the role which can be played by the ASEAN moslem community.
Multitrack Diplomacy Indeed, diplomacy was known as two general field. They are first-track diplomacy and second-track diplomacy. First-track diplomacy is focus on the diplomatic activities played by the government. This field is also called official diplomacy. The secondtrack diplomacy is more focused on non government actors. It also called unofficial diplomacy. These diplomacy activity has done by non government actors like businessman, NGOs and even individu (Djelantik, 2008). On the growth of the diplomacy concept and activity, some American scholars tried to make another approach to diplomacy. Their approach then called multitrack diplomacy. This concept, actually, begin on the analogy when some blind people try to describe an elephant. On their description, the are describe an elephant in vary description. It is because they describe an elephant on the different side of it. These analogy then also using to enrich the concept of multitrack diplomacy, that in the implementation, some diplomatic activities seen uneffective so it is needed to be enhance. In the conflictual situation, the problem usually is so complext and complicated, so it is need for another actors with variative background to work together. ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
239 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Tonny Dian Effendi
Begin of that problem, then, American scholars try tto make a new approach in the diplomacy activities related with the conflict resolution. Multitrack diplomacy is a concept that describe how the process of world peace on multi dimension view. Multidimension means that on the process, involving many actors with different backgroud, they are interconnected each other, helping each other and united in the similar purpose, a world peace. So, multitrack diplomacy can be explained as conceptual framework which designed to describe many activities that contributed to the development of world peace (Diamond and McDonald, 1996 :1). Multitrack diplomacy concept is an enhance of the second-track diplomacy. Second track diplomacy, for the first time, launched by Joseph Montville in 1982. This concept used to explain the unformal and unofficial method on diplomacy done by govenrment and non government actors, even individu. Their diplomacy activities have three main purposes. They are to release or refuse the conflict among groups or nation state by focuse on communication, common understanding and relations; decreasing the tension, angry, fear or misunderstanding by humanizing the enemy and giving personal experience each other directly in the society; and influencing the way of thinking and action of the first track diplomacy by showing the root of the problem, feeling and need of options exploration without prejudgement, especially to establishing official diplomatic activity like negotiation or redevelop the policy. The main idea of second track diplomacy is that in the conflcit resolution, government or state can not walking alone, but it is need other actors which have knowledge, capabilities in many field related with the conflict. The result of the enhancing fof second track diplomacy, then called multitrack diplomacy. Multitrack diplomacy have nine track activities done by government or non government actors. They are government (peacemaking trough diplomacy); non government or proffesional (peacemaking trough professional conflict resolution); business (peacemaking through commerce); private citizen (peacemaking trough personal involvement); research, training and education (peacemaking through learning); activism (peacemaking trough advocacy); religion (peacemaking trough faith in action); funding (peacemaking throgh providing resources); and communications and the media (peacemaking trough information) (Diamond and McDonalds, 1996 : 4-5). In this articles, I will use the seventh track of diplomacy is religion. The discussion abouth these seventh track will be used to explain the role that can be plaed by ASEAN moslem community on conflict resolution in Southeast Asia region. Many religion groups in local, national, regional and international, are active on many effort and activity trough peacemaking process. They have similiar vission is creating the world peace. This vision developed by the norms and value which integrated on the belief system and the commitment for something like the spiritual truth of the interconnectedness of all life; social action; a prophetic imperative to seek justice, feed hungry, heal the sick and minister to the poor; equality and justice; forgiveness, ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
240 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
ASEAN Moslem Community as Track-9 on Multitrack Diplomacy for The Conflict Resolution in Southeast Asia Region
concrition and reconciliation; practicing one’s spriritual values in one’s one life; community; hospitality; full and loving presence with the porr; the fostering of hope; living with an open, loving and compassionate heart; non violence and, insome case, pacifism; caretaking of ourselves, one another, and all precious beings; and service (Diamond and McDonalds, 1996). The activities that played by the religion community is related with another track on multitrack diplomacy like public education, conference, research, discussion, mediation, dialogue project, comment in the media, protest, campaign, publication and other activities. These activities also done together with another religion community like interfaith dialoge where it is very important to exchange the opinion each other and build a networking and cooperation for conflict resolution. Interfaith dialogue can be played as informal conflict resolution or conciliation that before very difficult to do for the public. The concept which develope on the religion community, then, called transformational politics, a concousness or a view to the world shoud be change related with the change of the issues by time, and change of counciousness have to involving to the policy (Diamond dan McDonalds, 1996 : 97-100). The position of the seventh track of multitrack diplomacyt is the center of multitrack diplomacy it self. Why? Because there are spiritual spirit, idealism and basic of ethic, that all of them as the basic of the people. Without heart and mind, it will difficult to accepting the goald of peace. The positive aspect of this track is it can be used to bring to the higher dimension on the understanding and feeling toward war and peace issues. The unity is a basic in the religion, showed in the love each other in diversity. But, we should also aware of negative side of this track while the religion conflict is begin on the different historical view that full of conflict and the view of truth and false in another side.
The Map of Conflict Related with Moslem Community in Southeast Asia As describe before, there are two generalized problem of that can cause conflict involving moslem community in Southeast Asia region. The two generalized problems are politics and economics problems. Although both of them have specific case, but on reality, they are interconnected each other. a. Political Problems In the political problems related with moslem community in Southeast Asia, there are two problem characteristics. First, is the problems as legacy of the history related with identity and separatiem. As we know that almost all of Southeast Asia countries were colonialized by Western countries (except Thailand). One the impact of the colonialization is territory conflict. The people, who before have family or ethnich relations, have to separated each other because of the legacy of that colonialism. Their land have to devide into two state post independence. This problem can be ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
241 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Tonny Dian Effendi
found in Philipina, Thailand and Indonesia. As cultural, they have different culture and religion with the majority the people in their state. So, the change become minority, something that they never though before colonialism. This feeling, then, developing the spirit to separated with the state. So, actually, the main problem is politic, but, then, it change to religion conflict. The southern Thailand and southern Philipina, is unsolved well untill today (Gross, 2007).
Sumber http://www.harpercollege.edu/mhealy/geg101i/review/exam2.htm
The second political characteristic problem is the problems related with the US policy on War on Terrorism. (Esposito, Boll and Bakar, 2008). As we know that, post 9/11 tragedy, there are some negative view toward moslem community in many countries. In other hand, Southeast Asia is the region which on its population, moslem is the majority and in some countries like Indonesia, Philipina and Thailand there were some terrorism activity. So, post 2001, moslem community in Southeast Asia, have got additional problem called terrorism. In the report of Centre for Strategic and International Studies (CSIS), United States in 2009, showed that almost all of the contributor mention that there are some problem in Southeast Asia and Australia related with radicalism, fundamentalism group etc. But the report also mention that the definition of terorrism it self, in the region, is still debatable, especially when it tried to be related with local violence in some countries in Southeast Asia (Borchgrave, Sanderson and Gordon, 2009). On another research by Suzaina Kadir from National University of Singapore, it found that post 9/11, moslim politics in Southeast Asia is going to be more complext and dynamic. It is influenced by globalization, Islamization and development. Moslem politics in Southeast Asia also very influenced by the interaction between state and the people or the relations of moslem community with the political regime of the state where they have lived. (Kadir, 2002).
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
242 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
ASEAN Moslem Community as Track-9 on Multitrack Diplomacy for The Conflict Resolution in Southeast Asia Region
b. Economics Problems Another important problem beside the political problem is economics problem. World data viewed that in 2005, there are 1,2 billion moslem people in the world. 60% of the population lived in Asia, while 30% of them live in Middle East and another live in other part of Asia especially in South and Southeast Asia. Indonesia have the first position of the largest moslem population or about 194 million, followed by India with 150 million peoples, Pakistan about 145 millions peoples and Bangladesh about 130 millions peoples. Another relative number is also in China, about 39 millions moslem people live there (Vaughn, 2005). This number is not fix with the wealthy. There are many economic problem, especially poverty, face the moslem community in Southeat Asia region. The table showing the data about poor people who live in Southeast Asia countries. While we see in Indonesia, the number is large. So, it is need an improvement on moslem community economy. It is very important because the economic problem can create another problem like security and politics. Table 1 The Number of Poor People in Southeast Asia (in Million) Poverty measurement under US$ 1.25 PPP
Source : Asian Development Bank, 2011
The Roles of ASEAN Moslem Community Relaed with the growth of ASEAN toward ASEAN Community2015, some problems still face, related with the readyness of the people it self. It can be a threat factor to the community it self. One of the basic factor is unstable in some filed, especially domestic conflict in member countries. The problems related with moslem community in Southeast Asia still need to solved. So, it is need the special program or project to build peacemaking process. The ASEAN Moslem Community that will launch in the international conference on ASEAN moslem community is very important and strategic. It is important and strategic because this community can playing role as a place for discussion, meeting, research, action of the member to find suitable action for the conflict resolution especially in Thailand, Philipina and Myanmar. There are some important roles that can be played by this community related with ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
243 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Tonny Dian Effendi
the track nine of multitrak diplomacy. They are: (1). Increasing solidarity and cooperation among moslem communities in ASEAN. We are realized that there are many moslem communities in every single members of ASEAN. So, with the community, it need more activities related with increasing solidarity and strengthening cooperationg each other. The community is the answer where moslem community can meet, work and act together, discussing the issues and find the solution. (2). Doing conflict resolution activities. Another program that can be played by the community is doing many activities related with conflict resolution. The first step is mapping the conflict it self. This mapping process is very important to classify many problems into the level of interest. It can be done by collaborative research by scholar from member countries. This research focus to find the root of the problem and potential of solution to be implemented. The last step is by the action and disemmination of the research result. It is also important because moslem people in ASEAN should to understand the real problem and what should they do. On simple way, conflict resolution activities that can be done by the ASEAN moslem community is by action on three levels of conflict resolution, peace building, peace making ad peace keeping. Conflict resolution is an activity where both of the conflict person try to find the solution for the problem faced. This conflict esolution is a combination of real solution (tangible, or material solution) with the transformation of psichology and socialof the people in the conflict environment. The real solution is related with real change in the people daily life, while psychological change is the change of view to the conflict it self from the people to build trust and reconciliation. The golden goal is peace it self. The implementation of conflict resolution are done in three level. They are peace building, peace making and peace keeping.Peace buildingis various activities related with the developing of peace. The activity done by seed or developing peace from the bottom. It is done by looking for the roots of the problem and the conflict resolutio from the peoplw point of view. So, the main porpuse of this level is how to build the feeling of the need to peace it self, from the people in the conflict. Related with the first level, ASEAN moslem community can playing roles by making an approach to the people. The purpose of this approach is to support the “peace want” feeling, that will be implemented on peace process.the community can playing role as a constructor to build the trust and “peace want” from the people. The second level ispeace making. Afterthe people have the feeling to build peace, the next level is creating the peace building it self to be more concrete or real. Some activities that can be done is like held a meeting, conference and warkshop. The main purpose of this level is to find an agreement and commitment for the peace process. In this context, the community can be play by held some activities related with peace making like conference, interfaith dialogue, research related with con○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
244 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
ASEAN Moslem Community as Track-9 on Multitrack Diplomacy for The Conflict Resolution in Southeast Asia Region
flict, making a progress repost of conflict resolution etc. The role that can be played by the community on this level is as mediator. The last level is peace keeping. This proces done with the purpose to saving and keeping the peace process that have done by two levels before. The main task of this level is keep the process still on the rule, and making sure that peace can be implemented. Peace keeping activities, usually done post the agreement to make a strong commitment to keep peace together. The community can playng the roles like invole to the investigator team for the conflict, doing many activities to keeping peace post conflict like education, health service etc. (3). Keep the good relations with another ASEAN religion community. ASEAN religion community in welcoming ASEAN Community 2015 is not only done by moslem community but also by another religion. So, the ASEAN moslem community should to keep good relation and cooperation with them. This relation can be buil by common understanding, mutual trust, respect and based on humanity value and unity of ASEAN it self. I think that the community have to always make coordination with the ASEAN Secretariat and ASEAN Socio-Cultural Community’s coordinator. (4). As the Center of Moslem Development in Southeast Asia. The establishment of ASEAN Moslem Community will not only as a place but also can contribute to the development of moslem community in Southeast Asia, especially in research. The community can playing role as center of research and development, and promotion of the moslem community in the region. Almost all of the participant of the first international conference on establishing ASEAN moslem community come from academic or sholars. It is showed that the role of scholar or intelectual group as epistemic community is very important. So, in the future, this community is also as research center for all of research related with moslem community in Southeast Asia. So, what is the relations with the conflict resolution process? The research that published to the people, will help to diseminating the information about the conflict it self and also the progress report. From this information, we hope that it will help to support the building of trust and understanding each other and also attracting people to involve actively on the peace process.
Conclucion ASEAN Community 2015 promising ideal region where it will be very convinience place, full of peace, safe, wealth, respect each other and develop together. On the road map for this goal, a roadmap have been established by ASEAN leaders. But the implementation of the road map could not be done by government alone. It is need support and involvement of many peoples, groups, communitys and individuals. There are many problem that still could not be solved. The ASEAN Moslem Community is one of the answer of the fearness of the ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
245 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Tonny Dian Effendi
implementation of ASEAN Community 2015. This community is not only as a place where many moslem meet from member sountries, but also playing as one of the solution machine of the problem faced by moslem community in Southeast Asia. the community can playing as the main actors as well as the seventh track diplomacy on conflict resolution. The role for the conflict resolution is not only on surface, like discussion, annual meeting or conference, but also the real action for the conflict resolution process. But, this effort can be contraproductive while it is not managed well. So, the prequerement of the community roles are: (a) strong commitment of the member from ASEAN members countries to strugle for peace, using the principles of ASEAN Charter, like dialogue, avoiding violence and harmonious relations; (b) place it self as resolutor in the conflict resolution and always keeping independency on politics; (c) keep the good relations and make strong cooperation with another part of ASEAN, including secretariat office of ASEAN, three pillars of ASEAN Community, and another ASEAN religion community; (d) consistency on conflict resolution process in peace building, peace making andpeace keeping; (e) a commitment to publishing, diseminationg information and the research result, give the people peace education and all of activities supporting peace keeping process.
Bibiliography ASEAN Secretariat. 2010. Roadmap for an ASEAN Community 2009-2015: One Vision, One Identity, One Community. Jakarta: The ASEAN Secretariat. Borchgrave, Arnauld de (ed). 2009. Conflict, Community and Criminality in Southeast Asia and Australia: Assessment from the field. Washington: CSIS. Diamond, Louise dan John McDonald. 1996. Multitrack Diplomacy: A System Approach to Peace. Connecticut: Kumarian Press. Djelantik, Sukawarsini. 2008. Diplomasi Antara Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Esposito, John L, John O Voll and Osman Bakar (eds). 2008. Asian Islam in 21st Century. Oxford: Oxford University Press. Galtung, Johan,2003, Studi Perdamaian : Perdamaian dan Konflik Pembangunan dan Peradaban. Surabaya: Pustaka Eurika. Gross, Max L. 2007. A Muslim Archipelago: Islam and Politics in Southeast Asia. Washington: NDIC Press. ISEAS. 2008. The Asean Community: Unblocking the Roadblocks.Singapura: ISEAS. Kadir, Suzaina. 2002. Mapping Moslem Politics in Southeast Asia After September 11. CERI. Vaughn, Brush. 2005. Islam in South and Southeast Asia. CRS.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
246 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Tinjauan Intermestik dalam Mekanisme Kebijakan Perubahan Iklim Global (REDD-UNFCCC): Persfektif Indonesia Abstract The international regime of the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) has resulted some agreements and policies which binding its countries member. The lattest one was the mechanism of REDD (Reducing Emissions From Deforestation and Forest Degradation). The implemetantion of these mechanism does not only bind and involve the countries member at the national level but also at local level (such as at province and regency level). Local aspect has a significant role as the basis for implementing these policy. This paper examines how instermestic perspective used for explaining the relation between international and domestic (local) aspect within the REDD-UNFCCC mechanism. Keywords: international regime, climate change, intermestic, Indonesia
Pendahuluan
Apriwan Andalas Institute of International and Strategic Studies (ASISST), Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, FISIP Universitas Andalas, Padang, Email:
[email protected]
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Rangkaian panjang dari kerjasama internasional The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) telah menghasilkan agenda baru yang disebut dengan Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD) yang dihasilkan melalui Conference of The Parties (COP) 13 di Bali pada 2007 lalu. Skema kebijakan ini merupakan langkah tindak lanjut dari kesepakatan yang tertuang pada Protokol Kyoto 1997, yang mana poin kesepakatan usaha pengurangan emisi gas karbon dengan target 5.2% akan berakhir di 2012 ini (Soejachmoen dan Sari, 2003: 13). Dengan demikian diperlukan mekanisme lanjutan untuk penanggulangan prubahan iklim global yang dari hari ke hari menjadi perhatian semua pihak di berbagai level. REDD ini merupakan skema yang ditujukan bagi negara non-annex 1 countries, yaitu kelompok ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
247 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Apriwan
negara-negara berkembang yang memiliki hutan basah dengan tingkat produktifitas oksigen yang cukup signifikan bagi konsumsi oksigen dunia. Sebagai negara yang memiliki hutan cukup luas, Indonesia juga memiliki peluang untuk berkontribusi dalam penurunan produksi karbon dari sektor kehutanan. Melalui mekanisme REDD, Indonesia diharapkan bisa mewujudkan perekonomian rendah karbon dan sekaligus menunjukkan komitmen Indonesia dalam penanggulangan dampak perubahan iklim global, seperti yang digadang-gadangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada berbagai pertemuan internasional terkait perubahan iklim. Namun d isisi lain, ada pandangan yang pesimis, bahwa implementasi dari skema tersebut, justru akan merugikan masyarakat lokal dalam hak penggunaan pengelolaan hutan. Karena skema REDD ini akan bekerja dalam pengurangan aktifitas penggunanaan lahan, alih guna lahan, dan kehutanan (landuse, land-use change, and forestry/LULUCF) yang pada dasarnya terjadi di level daerah atau lokal (Yamni and Depledge, 2004: 184-190). Berangkat dari kondisi tersebut, tulisan ini menggunakan cara pandang intermestik dalam menganalisa permasalahan kebijakan perubahan iklim global yang dihasilkan oleh rezim internasional perubahan iklim UNFCCC. Bagaimana kepentingan negara(nasional) memiliki sinergisitas dengan kepentingan domestik (daerah/lokal) dalam konteks isu dan kebijakan perubahan iklim global (internasional). Sehingga kebijakan global yang muncul juga merepresentasikan kebutuhan dan kepentingan dari aspek domestik (nasional dan lokal).
UNFCCC sebagai Rezim Internasional Perubahan Iklim Berdasarkan laporan International Panel on Climate Change (IPCC), dampak perubahan iklim tidak hanya dalam konteks lingkungan semata, tetapi juga berkembang dalam aspek lainnya. Sosial, ekonomi dan lingkungan. Pemanasan global sebagai implikasi lain dari perubahan iklim merupakan dampak dari aktivitas modern yang kompleks, melibatkan dunia secara keseluruahan, kondisi ini juga berhubungan dengan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, ledakan penduduk. Dengan demikian, penanganannya tentu tidaklah mudah, dan mengabaikan isu ini juga berimplikasi sangat buruk atas keberlansungan kehidupan di muka bumi ini (http://unfccc.int/essential_background/feeling_the_heat/items/2917.php). Gareth Porter dan Janet Welsh Brown (1991), memetakan kemunculan lingkungan sebagai “isu global” sejak 1980-an. Kajian mereka menunjukkan bagaimana isu ini berkaitan dengan perkembangan interaksi baru diantara negara-negara untuk membentuk “rezim lingkungan global.” Mereka juga menganalisa proses penetapan agenda lingkungan menciptakan hubungan baru antara isu lingkungan dengan keamanan internasional, relasi antara utara-selatan, maju-berkembang dan perdagangan dunia. Mereka menambahkan bahwa isu lingkungan telah menjadi agenda kebijakan global yang tidak terlelakkan (Porter and Brown, 2011: 240). ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
248 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Tinjauan Intermestik dalam Mekanisme Kebijakan Perubahan Iklim Global (REDD-UNFCCC): Persfektif Indonesia
Dalam kondisi seperti ini dibutuhkan sebuah aturan baru untuk menampung dan mengatur berbagai isu dan aktivitas banyak aktor yang terus berkembang. Kebutuhan untuk menciptakan sebuah tatanan atau mekanisme global yang menjalankan fungsi yang ekuivalen dengan pemerintah negara bangsa menjadi sangat besar. Konsep International Regime menjadi gagasan untuk menjawab kebutuhan tersebut. Para ahli hubungan internasional melihat gagasan ini sebagai jawaban yang lebih efektif dalam menyelesaikan masalah-masalah global kekinian. Menurut Krasner (1983), rezim internasional merupakan: “…implicit or explicit principles, norms, rules, and decision-making procedures around which actors’ expectations converge in a given area of international relations. Principles are beliefs of fact, causation, and rectitude. Norms are standards of behavior defined in terms of rights and obligations. Rules are specific prescriptions or proscriptions for action. Decision-making procedures are prevailing practices for making and implementing collective choice”. Dalam hal ini, Rezim internasional lebih menekankan pada norma internasional dalam mengontrol prilaku para aktor negara, norma dalam hal ini dimaknai sebagai bentuk hak dan kewajiban yang harus ditaati oleh aktor internasional terkait akan sebuah isu. Hak dan Kewajiban ini muncul melalui proses pengambilan keputusan oleh para aktor yang terlibat. Lebih lanjut, rezim internasional memberikan peluang bagi semua aktor untuk menyuarakan suara dan nilai yang mereka miliki. Hansenclever dkk. (2007), menggunakan pendekatan kognitivisme untuk menjelaskan keberadaan rezim internasional. Menurut pendekatan ini, perilaku aktor tidak dibentuk sepenuhnya oleh kepentingan material, tetapi lebih pada peranan mereka dalam masyarakat. Dalam hal ini, kognitivis lebih menekankan pada hubungan intersubjektifitas dalam masyarakat internasional, dengan kata lain dunia kita ini adalah sebuah realita rekonstruksi sosial dimana orang-orang percaya akan apa yang mereka lakukan. Pendekatan ini lebih memandang negara sebagai aktor sosial yang tidak selalu sebagai aktor yang rasional. Sebagai aktor sosial, negara-negara bekerja dalam konteks struktur sosial mereka yang didasarkan pada aturan-aturan, norma-norma, identitas dan institusi (Caballero-Anthony, 2005: 32). Dengan demikian suatu negara tidak bertindak secara independen diluar struktur tersebut, tapi mengacu pada institusi itu sendiri, dengan kata lain struktur tersebut membantu menjelaskan perilaku negara-negara dan interaksinya dengan negara-negara lain. Terkait dengan isu perubahan iklim global, melalui Earth Summit tahun 1992 di Rio de Jeneiro, Brazil dibuat suatu kerangka konvensi untuk perubahan iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change—UNFCCC) yang ditandatangani oleh 162 negara. Kerangka konvensi ini ditujukan sebagai ikatan moral untuk mengurangi emisi gas karbondioksida di setiap negara-negara yang ikut menandatanganinya dengan mengatasi penyebabnya (mitigasi) dan mengantisipasi akibatnya (adaptasi) (Farhana ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
249 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Apriwan
and Depledge, 2004: 184-190). UNFCCC sebagai bentuk rezim perubahan iklim memiliki andil yang cukup signifikan dalam merumuskan dan mengangkat isu-isu perubahan iklim dan pemanasan global menjadi isu dan norma internasional. Dalam konteks ini, UNFCCC muncul dari proses intersubjektif antar aktor negara, yang menyadari bahawa permasalahan perubahan iklim adalah permasalahan global, dimana tidak bisa diselesaikan begitu saja oleh satu atau dua negara saja. Akan tetapi menjadi tanggungjawab secara menyeluruh, baik oleh aktor-aktor negara maupun non negara. Dan yang lebih penting, isu perubahan iklim dan pemanasan global merupakan isu yang diangkat atas dasar kepentingan keberlangsungan umat manusia di masa sekarang dan masa yang akan datang, sebagai akibat dari kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh manusia juga. Sebagai bentuk proses intersubjektifitas, UNFCCC dalam kerangka kerjanya tentu harus mempertimbangkan berbagai aspek pada berbagai level. Artinya, kebijakankebijakan yang dihasilkan harus mampu mengakomodir semua pihak dengan tetap mengutamakan kepentingan lingkungan itu sendiri. Misalkan, kesepakatan yang tertuang dalam Skema Protokol Kyoto pada tahun 1997, yang mewajibkan seluruh Negara Annex I (negara-negara maju) untuk secara bersama-sama menurunkan emisi gas rumah kaca rata-rata sebesar 5,2% dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode tahun 2008-2012(Soejachmoen, Moekti H dan Sari, 2003: 13). Protokol ini memiliki tiga mekanisme yang fleksible, yaitu Join Implementation (JI), Carbon Trading (CT), dan Clean Development Mechanism (CDM). Disisi lain, REDD sebagai bentuk pelibatan lebih lanjut atas partisipasi negara-negara berkembang atau negara non annex 1, harusnya juga memberikan peluang dan fleksibelitas yang bisa mengkover berbagai kepentingan baik pada tataran global maupun domestik dalam konteks kepentingan lokal/daerah.
Pendekatan Intermestik pada Kebijakan Rezim Perubahan Iklim Global REDD-UNFCCC Konsep intermestik muncul seiring dengan meningkatnya fenomena globalisasi. Batas-batas tradisional negara bangsa(nasional) semakin kabur dengan dunia internasional. Keterkaitan antara struktur domestik dan struktur internasional semakin kental, seiring perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, meningkatnya arus barang dan manusia dari dan ke berbagai negara dan belahan dunia. Fenomena ini muncul dalam berbagai diskusi publik dan kajian akademis. Kajian tentang hubungan antar domestik dengan hubungan internasional cukup banyak dan bervariasi. Rosenau misalnya memulai dengan konsep “linkage politics” yang melihat hubungan antar level (domestik dan internasional) ini sebagai pola prilaku konflik (conflict behavior). Lebih lanjut Katzeinsten dan Krasner melihat determinasi domestik dalam kebijakan luar negeri suatu negara melalui faktor ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
250 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Tinjauan Intermestik dalam Mekanisme Kebijakan Perubahan Iklim Global (REDD-UNFCCC): Persfektif Indonesia
struktural, terutama dalam kontek kebijakan ekonomi luar negeri. Menurut mereka, tujuan utama dari segala strategi kebijakan ekonomi suatu negara adalah untuk menjadikan kebijakan domestik kompatibel dengan ekonomi politik internasional (Putnam, 1988: 427-460). Apa yang akan diperjuangkan dalam level internasional, suatu negara harus memperimbangkan dan memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan dan kepentingan pada level domestik. Lebih lanjut, Putnam (1988), menawarkan sebuah kerangka atau model yang reliable untuk menjembatani faktor domestik dan internasional atau faktor internal dan eksternal dengan pendekatan “two level games,” konsep ini menjelaskan bagaimana faktor domestik suatu negara sangat menentukan keberhasilan politik luar negeri mereka di tengah konstelasi politik internasional. Untuk itu diperlukan sinergisitas antara kedua level tersebut, sehingga bisa memudahkan dan menguatkan proses perumusan kebijakan maupun implementasi dari kebijakan luar negeri (Starr, 2006: 4). a. Level pertama, berada pada konteks terjadinya proses diplomasi atau negosiasi yang dilakukan dalam level internasional, seorang diplomat akan berhadapan dengan diplomat lainnya dalam memperjuangkan politik luar negeri mereka masing-masing. b. Level Kedua, diasumsikan sebagai proses negosiasi dan diplomasi yang dilakukan dalam konteks domestik, apakah itu dengan parlemen, LSM, Daerah, dan berbagai sektor domestik lainnya, yang memiliki pengaruh dan terkait dengan isu kebijakan luar negeri suatu negara bangsa. Berangkat dari paparan di atas, Putnam secara eksplisit mengkaitkan antara “winset” politik domestik akan menentukan suksesnya aktifitas diplomasi dan penandatanganan dari sebuah kesepakatan internasional. Win-set dalam hal ini mengacu kepada proses kesepakatan pada level kedua (domestik) yang akan memberikan justifikasi dan legtimasi bagi level pertama untuk memperjuangkan politik luar negerinya. Semakin kuat kesepakatana pada level kedua maka semakin besar kemenangan (win) yang diperoleh pada level pertama. Dan begitupun sebalikny, apa yang dicapai pada level pertama akan menjadi mudah untuk diterima dan diimplementasikan pada level kedua. Sederhananya, diplomasi politik luar negeri suatu negara tidak semata merepresentasikan dan memproyeksikan kepentingan nasional mereka, akan tetapi bagaimana proses diplomasi juga menempatkan faktor domestik sebagai tolak ukur bagi keberhasilan politik luar negerinya, dengan demikian dibutuhkan kemampuan untuk mengkomunikasikan dan mensinergiskan perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam dunia internasional/global ke dalam negeri (domestik). Dalam konteks rezim perubahan iklim global (UNFCCC), ketetapan yang dihasilkan semestinya memang mencerminkan kesepakatan-kesepakatan di tingkat ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
251 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Apriwan
domestik, perlu adanya proses pemahaman pada struktur, kepentingan dan kebutuhan domestik terkait isu perubahan iklim tersebut. Artinya diplomasi pada level pertama, benar-benar mencerminkan kebutuhan dan kepentingan domestik (mulai dari level nasional/pusat sampai pada level daerah/lokal), sehingga output kebijakan yang diperoleh pada level pertama tersebut memiliki sinergisitas disaat di implementasikan di level kedua (domestik) tersebut. Permasalahan yang muncul saat ini, output Kebijakan Perubahan Iklim seperti Skema Protokol Kyoto ataupun REDD menjadi tidak populis di level domestik, dalam hal ini adalah konteks daeral/lokal. Hal ini dikarenakan proses “win sets” ini memang belum sepenuhnya dilakukan pada level lokal. Sementara implementasi dan pelaksanaan kebijakan perubahan iklim tersebut akan lebih banyak bekerja pada level daerah/lokal. Sehingga efektifitas kebijakan menjadi tidak tepat sasaran, dan pada akhirnya juga akan memberikan dampak pada reputasi suatu negara di dunia internasional.
REDD-UNFCCC di Indonesia; Representasi Kepentingan Nasional dan Daerah? Komitmen Indonesia dalam menanggulangi isu perubahan iklim global ditandai dengan meratifikasi keanggotaannya dalam UNFCCC melalui Undang Undang No. 6 Tahun 1994 dan juga telah meratifikasi skema kebijakan dalam Protokol Kyoto melalui UU no. 17/2004 (Apriwan, 2010). Keberlanjutan dari Skema Protokol Kyoto di atas akan diperbaharui pada 2012, dan Skema pengurangan emisi dan deforestasi dan degradasi hutan (REDD) dipromosikan sebagai salah satu skema yang akan dijadikan penerus skema pengurangan emisi gas rumah kaca bagi negara-negara berkembang. Skema ini bertujuan untuk “memberi harga” pada karbon yang bisa diserap hutan dan yang bisa ditahan jika terjadi penebangan hutan. Sederhananya skema REDD memberikan insentif kepada negara-negara pemilik hutan tropis untuk menjaga dan tidak mengekploitasi hutannya untuk kepentingan ekonomi (Ica, 2010: 55). Kondisi ini memungkinkan bagi pihak negara maju untuk membeli karbon ke negara-negara berkembang melalui produksi hutan mereka, pembelian karbon ini diasumsikan sebagai bentuk kompensasi negara-negara maju untuk menurunkan produkis emisi CO2 mereka yang melebihi standar yang telah ditetapkan oleh UNFCCC. Sederhananya, dengan membayar Oksigen yang dihasilkan oleh hutan negara-negara berkembang, negara-negara maju tidak harus menurunkan produksi emisi karbon, tetapi bisa diganti dengan mekanisme perdagangan karbon melalui skema REDD tersebut. Indonesia sebagai negara berkembang cukup proaktif untuk berpartisipasi dalam skema terakhir ini. Dengan luas hutan sekitar 144 juta hektar dan merupakan negara yang memiliki hutan tropis terluas ketiga di dunia, Indonesia merupakan pasar yang ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
252 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Tinjauan Intermestik dalam Mekanisme Kebijakan Perubahan Iklim Global (REDD-UNFCCC): Persfektif Indonesia
potensial dalam penerapan skema REDD tersebut. Partisipasi Indonesia ini terlihat dari aktifnya Indonesia mempromosikan skema REDD ini disetiap pertemuan UNFCCC mulai dari COP 13 Bali 2007 sampai pada COP 15 Copenhagen 2009. Komitmen Indonesia ini juga tercermin dari pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada COP 15, bahwa Indonesia optimis untuk menurunkan GHG Emission nya dari 26 % (berdasarkan skenario Business As Usual-BAU) menjadi 41 % dengan bantuan negara-negara industry maju pada tahun 2040 (Purwanto, Sartika dan Rahman, 2010: 2). Meskipun di level pemerintahan nasional Indonesia terkesan optimis dalam menerapkan skema REDD ini, akan tetapi masih banyak pro dan kontra terkait kesiapan di tingkat lokal maupun nasional. Dimana, adanya keprihatinan bahwa skema REDD hanya memprioritaskan kepentingan konservasi dan menguatkan kontrol negara/global terhadap pemanfaatan pengelolaan hutan. Sementara isu pengentasan kemiskinan, bagi masyarakat yang hidupnya bergantung pada hutan,termasuk masyarakat adat, justeru tidak mendapatkan porsi yang seimbang. Belum lagi adanya, ketimpangan atau tarik menarik antara kepentingan pemerintah pusat dan daerah dalam membagi hasil program dari skema REDD. Sehingga muncul keprihatinan lebih dalam mengingat bahwa skema REDD yang didanai oleh institusi yang dikontrol oleh negara maju (seperti Bank Dunia), atau sektor swasta (melalui pasar karbon) hanya akan melayani kepentingan negara-negara dan perusahaan itu, daripada penduduk yang tinggal dan bergantung pada hutan demi keberlansungan kehidupan mereka (Keadilan Iklim dan Penghidupan yang Berkelanjutan, 2008). Kondisi ini disebabkan program-program yang akan diturunkan melalui skema REDD tersebut, secara nyata akan lebih banyak bekerja pada level lokal, artinya pihak daerah atau masyarakat seputar hutan merupakan bagian penting yang tidak bisa terpisahkan dalam implementasi skema kebijakan perubahan iklim global tersebut. Namun respon daerah maupun nasional terkait skema tersebut masih cukup rendah. Respon dalam hal ini terkait akan inisiasi, adaptasi dan antisipasi dari daerah melalui kesiapan masyarakat dan pemerintah, serta kesiapan kelembagaan dan kebijakan baik di tingkat nasional maupun daerah. Dalam konteks ini, hasil riset Purwanto, dkk, (2010) dari CIFOR menjadi ulasan yang menarik. Mereka menemukan bahwa adanya aspek sosial budaya terkait pada pemanfaatan sumber daya alam seperti hutan. Kondisi ini berangkat dari keberadaan komunitas lokal disekitar wilayah sumber daya. Komunitas lokal yang pada umumnya hidup dalam alam sub-sistem atau pra-kapitalis selama ini menjadi tersisihkan karena kehadiran pemerintah dan swasta melalui investasi modal pertambangan dan perusahan konsesi hutan di sekitar kawasan sumber daya. Pola-pola ini selalu muncul pada program-program pembangunan yang menempatkan komunitas lokal termarginalkan ketika berhadapan dengan ekonomi kapitalis. Kondisi ini akan semakin kompleks dengan kehadiran kebijakan perubahan iklim ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
253 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Apriwan
global seperti REDD yang hadir sebagai kebijakan dan isu baru yang dilandaskan pada pemahaman saintifik atas fenomena ekologi dunia saat ini (World Values). Rangkaian riset yang mereka lakukan di pedalaman Kalimantan, menunjukkan bagaimana komunitas lokal yang awalnya hidup dengan teknologi sederhana dan sistem ekonomi pra kapital di pedalaman Kalimantan mencoba bertahan di tengah maraknya penenaman modal dan isu global seperti kebijakan perubahan iklim global UNFCCC melalui skema kebijakan REDD yang diterapkan disana. Ada beberapa poin yang dirumuskan dari penelitian ini, antara lain pertama, bahwa kebijakan pemerintah terkait dengan mitigasi perubahan iklim tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan ekonomi sosial dan budaya masyarakat lokal. Hal ini terlihat dari eksploitasi SDA yang terus menerus terjadi. Kedua, adanya traumatik masyarakat lokal atas kebijakan konservasi yang melarang mereka untuk mengakses hutan yang dianggap secara kultural sebagai bagian dari diri mereka. Ketiga, perlunya pelibatan kelembagaan lokal/adat dalam proses perumusan kebijakan pengelolaan hutan di kawasan. Dan yang terakhir, kurang memadainya pemahaman masyarakat terhadap dampak perubahan iklim, menjadikan kerja sosialisasi harus lebih komprehensif dan menjangkau kelompok komunitas secara nyata (Purwanto, 2010: 3). Lebih lanjut, Wulansari (2010) memberikan pandangan bahwa adanya potensi konflik dalam penerapan skema REDD di Indonesia. REDD dinilai berpotensi mengabaikan, bahkan melanggar hak-hak masyarakat adat atas hutan yang telah menjadi sumber penghidupan mereka sejak lama. Masyarakat lokal Sumatera dan Papua memiliki kepercayaan bahwa hutan termasuk dalam kehidupannya, sementara pemerintah lokal, provinsi maupun nasional berhak menyewakan lahannya kepada perusahaan. Sehingga mekanisme REDD hanyalah melibatkan pemerintah atau kepentingan yang terkait semata, tanpa mengakomodir kepentingan masyarakatnyang bermukin di sekitar hutan (Ica, 2010: 55). Kemudian, untuk konteks Sumatera Barat misalnya, dengan luas hutan 4.228.730,00 Hektar (http://www.dephut.go.id/files/Sumbar_07_Luas_Kws_Hutan.pdf) yang tersebar di 19 kabupaten/kota merupakan daerah yang cukup signifikan terkait skema kebijakan REDD tersebut. Seperti yang dilaporkan harian Padang Ekspres, beberapa negara seperti Australia dan Singapura ingin menjalin perdagangan karbon dengan Sumatera Barat, akan tetapi karena belum ada regulasi yang jelas tentang mekanisme penjualan karbon tersebut, Pemerintah Sumatera Barat selalu menunda kerjasama tersebut (Perdagangan Karbon Ditunda, Padang Ekspress, 20/ 04/2011). Kondisi ini sangat jelas menunjukkan bahwa kesiapan pemerintahan daerah masih rendah. Belum lagi pada level masayarakat. Di samping itu, masalah kepemilikan lahan di Sumatera Barat termasuk cukup kompleks, hal ini terkait dengan hukum adat yang mengakui hak-hak masyarakat adat/nagari terhadap tanah ulayat yang ada di suatu nagari. Seperti yang diungkapkan Afrizal (2007), bahwa komunitas nagari cukup aktif ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
254 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Tinjauan Intermestik dalam Mekanisme Kebijakan Perubahan Iklim Global (REDD-UNFCCC): Persfektif Indonesia
melawan negara dan bisnis terkait kepemilikan lahan sawit yang dimiliki HPH yang diakui oleh negara. Konflik ini tersebar di nagari-nagari di berbagai kabupaten di Sumatera Barat. Perlawanan yang muncul semenjak reformasi bergulir di tahun 1998 ini, sampai saat ini masih banyak yang belum terselesaikan. Dengan demikian, skema REDD yang akan berkaitan dengan pemanfaatan lahan hutan di Sumatera Barat, secara tidak lansung akan berhadapan dengan kepemilikan tanah ulayat yang juga merupakan hutan yang akan menjadi komoditas perdagangan karbon dalam skema kebijakan perubahan iklim global REDD. Artinya, konflik atas penggunaan lahan akan semakin kompleks, seiring munculnya keberadaan REDD yang mau tidak mau akan dialami oleh setiap daerah di Indonesia. Jika strategi nasional REDD Indonesia tidak mengakomodir kepentingan dan konteks lokalitas seperti yang ada di Sumatera, Kalimantan dan Papua ini, bisa diperkirakan masalah baru akan muncul kembali dalam sektor penggunaan lahan hutan di wilayah ini. Draf strategi REDD Indonesia yang sedang disusun, benar-benar harus mempertimbangkan keadaan/kondisi di wilayah-wilayah tertentu. Sehingga kebijakan perubahan iklim global tidak bersifat parsial (nasional) semata, akan tetapi merupakan produk kebijakan yang utuh mewakili kepentingan domestik pada berbagai sektor dan level. Sederhananya, ada beberapa faktor yang harus menjadi perhatian pemerintah pusat dalam merumuskan dan mengimplementasikan REDD-UNFCCC dengan menggunakan pendekatan intermestik ini, pertama, Pemerintah harus bisa mengakomodir dan mensinergiskan kebutuhan domestik baik pada level nasional maupun pada level lokal. Sehingga tidak terkesan satu pihak merasa terabaikan, sementara pihak lain mendapatkan porsi yang ideal, seperti yang terjadi pada kasus REDD di Kalimantan. Hal ini bisa dilakukan dengan serangkaian assessement dan sosialisasi yang melibatkan berbagai pihak seperti akademisi dan NGOs. Kedua, adanya pelibatan dari berbagai stakeholders secara pastisipatif dalam merumuskan berbagai kebutuhan dan kebijakan terkait implementasi skema REDD tersebut. Ketiga, mempersiapkan instrumen berupa regulasi dan institusi pada level pusat dan daerah. Keempat, kesemua tahapan tersebut harus menjadi acuan dan pedoman yang dibawa oleh wakil Indonesia dalam setiap proses negosiasi implementasi REDD di tingkat Internasional. Dengan demikian, kekeliruan koordinasi dalam
Kesimpulan Berangkat dari paparan di atas, dipahami bahwa produk kebijakan perubahan iklim global UNFCCC, khususnya terkait dengan skema REDD perlu memang mempertimbangkan kembali konteks domestik (daerah), dalam artian bagaimana kondisi nyata, kebutuhan dan kepentingan domestik tersebut terakomodir dalam skema kebijakan yang dihasilkan. Model two level games yang ditawarkan oleh Putnam cukup reliable memberikan gambaran bagaimana hubungan domestik dan ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
255 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Apriwan
internasional (intermestik) harusnya dibangun dalam proses diplomasi dan negosiasi dalam level rezim perubahan iklim global. Pendekatan ini memberikan pemahaman bahwa, proses diplomasi tidak semata hanya berbicara dalam konteks kepentingan nasional, akan tetapi lebih luas melihat bagaimana proses diplomasi juga merefleksikan kemampuan mengkomunikasikan kondisi global ke dalam konteks domestik, dan begitu juga sebalikanya memperjuangkan kepentingan dan kebutuhan domestik dalam ranah rezim internasional perubahan iklim. Dengan demikian, sinergisitas antara faktor domestik (lokal) dengan kondisi global/internasional bisa tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang dihasilkan (win-set). Lebih lanjut, implementasi kebijakan perubahan iklim global pada level domestik akan lebih acceptable dan populis karena kebijakan yang dirumuskan tidak lagi bersifat parsial melainkan bersifat menyeluruh (komprehensif) yang merefleksikan kebutuahan dari berbagai sektor dan level.
Bibliografi Afrizal. 2007. The Nagari Community, Business and the State: the Origin and the Process of Contemporary Agrarian Protest in West Sumatera, Indonesia. Bogor: Sawit Watch and Forest People Prorame. Apriwan. 2010. Clean and Development Mechanism in Indonesia. Makalah dipresentasikan pada Environmental Policy Program. International University of Japan, Japan Maret. Hasenclever, Andreas, Peter Mayer and Volker Rittberger. 1997. Theories of International Regimes. Cambridge: Cambridge University Press. Ica, Wulansari. 2010. Deforestasi di Indonesia dan Mekanisme REDD. Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, Volume 6 No.2 PACIS Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Jack M, Hollander. 2003. The real environmental crisis: why poverty, not affluence, is the environment’s number one enemy. Berkeley: University of California Press. Keadilan Iklim dan Penghidupan yang Berkelanjutan, Kompilasi News Letter Down To Earth (DTE), 2008, KIPPY Print Solution. Lester, James P. and Joseph Stewart. 2000. Public Policy and Evolutionary Approach. Second edition. Australia: Warsworth. Luas Kawasan Hutan Sumatera Barat. (Online), (http://www.dephut.go.id/files/ Sumbar_07_Luas_Kws_Hutan.pdf, diakses 12 Juli 2011). Noordwijk, Meine van, Herry Purnomo, Leo Peskett and Bambang Setiono. 2008. Reducing emissions from deforestation and forest degradation (REDD) in Indonesia: options and challenges for fair and efficient payment distribution mechanisms. Working paper 81, World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia. Padang Ekspres. 20 April 2011. Perdagangan Karbon Ditunda. (Online), (http:// unfccc.int/essential_background/feeling_the_heat/items/2917.php, diakses 10 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
256 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Tinjauan Intermestik dalam Mekanisme Kebijakan Perubahan Iklim Global (REDD-UNFCCC): Persfektif Indonesia
Juni 2009). Purwanto, Semiarto Aji, Iwi Sartika, Rano Rahman. 2010. Kesiapan dan kerentanan sosial dalamskema kebijakan perubahan iklim/REDD di Indonesia. Kertas Kerja Epistema No.08/2010, Jakarta: Epistema Institute. Republik Indonesia. 1994. Undang-Undang Republik Indonesia No. 06 Tahun 1994, Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. Jakarta. Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia no 17 Tahun 2004. Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. Jakarta. Republik Indonesia. 2005. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, Departemen Komunikasi dan Informatika. Jakarta. Soejachmoen, Moekti H dan Omar Sari (ed). 2003. Mencari Pohon Uang: CDM Kehutanan di Indonesia. Jakarta: Pelangi. Wiharani, Annisa Paramita. 2011. Copenhagen Accord: Sebuah Kemajuan Kompromi Politik Hukum Internasional Perubahan Iklim. Multiversa Journal of International Studies, Volueme 02 (1). Winnefeld, James A. and Marry, E Morris. 1994. Where Environmental Concerns and Security Strategies Meet; Green Conflict in Asia and Middle East. Rand, St. Monica. Yamin, Farhana and Joanna Depledge. 2004. The International Climate Change Regime A Guide to Rules, Institutions and Procedures. Cambridge: Cambridge University Press.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
257 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
China versus China: Contending Nationalisms in The Twenty First Century Asia Abstract This paper is set to find out whether the competition of Sino-Nationalism will have been influenced by the mutual benefit of their economics relations rather than by the historical hard-line military power. Post-Cold War era has shifted the ideological issue from capitalism/liberalism versus socialism/communism model to nation-wide economic welfare competition which made People’s Republic of China (PRC) to redefine their national entity towards its contending part, the nationalist Republic of China (RoC). While Sino-American relations may have warmed under the Taiwan’s new administration and the increasing role which Taiwan plays in Mainland China economics may have been well noted, may still lead to an undesired conflict. Keywords: China Nationalism, Taiwan, economy, military
Introduction
Tulus Warsito Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, School of International Studies, Universiti Utara Malaysia
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Republic of China (RoC or Taiwan) has played a prominent role in Chinese politics since the founding of the People’s Republic of China (PRC) in 1949. For decades, the Chinese Communist Party (CCP) called for the “liberation” of the island, first as a means to increase its legitimacy internationally, and more recently with declining legitimacy of their socialist foundation, to deflect criticism of continued one-party rule. When the U.S. granted formal recognition to the PRC in 1979, the PRC finally dropped the constant threat of invasion, assuming that without American support, formal independence would not occur and Taiwan would inevitably “come back home.” So far, the Taiwan Relations Act (TRA) which followed prevented any short term unification plans. After the Republic of China (ROC) on Taiwan fully democratized, the PRC gravitated towards a hardline approach, believing that the U.S. encouraged Taiwanese independence and intended ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
258 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
China versus China: Contending Nationalisms in The Twenty First Century Asia
to keep Taiwan separate. While cross-strait relations may have warmed under the new Prime Minister Ma Ying-jeou administration and Sino-American relations beyond the Taiwan issue have greatly improved in the past decade, the role which Taiwan plays in Chinese nationalism may still lead to an undesired conflict. The paper will overview of Chinese nationalism and the role of Taiwan within this narrative. Then to address how Taiwan’s democratization has created tensions within this nationalist narrative. In the final part, while the continued focus on Taiwan prevents a peaceful solution, military conflict should not be seen as unavoidable.
The Concept of Nationalism Scholars and non-academics have struggled to capture the multiple facets of Chinese nationalism, as evident in the massive literature on the subject.1 Studies of nationalism attempt to subdivide the phenomenon by various means, often resulting in categories which fit only one country. While this may provide some definitional clarity, needs to be noted that a focus on state nationalism which treats the government as the main architect of Chinese nationalism (in contrast to popular nationalism) is sufficient in this situation, especially when concerning the Taiwan issue. State nationalism highlights the need for a strong central power, consistent with the CCP’s desire to justify its continued rule. Furthermore, there was little sign of an independent popular nationalism in China before the 1990s and what does exist today remains largely defined by the CCP (Chan and Bridges, 2006: 127-156). Chinese nationalism should be viewed not as a fixed concept or a historical given, but rather as an ambiguous tool used for political purposes. Pye states that “Chinese nationalism is what the leaders of the day say it is, and this means that it becomes a defense of their formulations of what the consensus should be” (Pye, 1992: 232). By doing so, official nationalism attempts to blur the separation between the nation and rulers (Anderson, 1983: 110). A similar blurring of the lines is evident in the PRC’s official account of Taiwan’s post-war status, which states that the “Chinese people” recovered the lost territory of Taiwan in 1945. No distinction is acknowledged between land and people nor those under Communist rule and that under the Nationalists. Similarly, while defining itself as a multi-ethnic state, Chinese nationalism remains at its core Han-centered, leading many to equate present nationalism with Han chauvinism (Dikotter, 2005: 177-204; Chow, 2001: 47-84). This conception of Chinese nationalism, however, remains an admitted simplification. While this article starts from a position of elite-driven nationalism, one must acknowledge that nationalism in almost any context defies such narrow instrumental definitions. Societal influences increasingly shape Chinese nationalism, but more in terms of responding to state-driven directives rather than presenting an organic alternative. The focal points ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
259 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Tulus Warsito
of contemporary Chinese nationalism may be dictated by the leadership, but how these factors resonate with the general populace largely defines the depth of such sentiments, creating restraints beyond what elites may have originally intended. New regimes often push nationalism to overcome perceived historical wrongs subjected to by other powers. Mondal described Indian nationalism similarly as ideologically a pole away from colonialism (Mondal, 2003: 144). Although only small parts of China were de facto colonized by Western powers (i.e., Hong Kong and Macao), China’s history with Western imperialism (and later Japanese imperialism) has a similar influence on Chinese nationalism, leading some to state that anti-imperialism defines Chinese nationalism.2 The success of the CCP transformed Chinese nationalism from primarily anti-Japanese in nature to include its Nationalist opposition and the U.S. under the broad category of imperialism. Furthermore, CCP propaganda framed the party as the vanguard against Japanese occupation, while the Nationalists were portrayed as preferring to fight fellow Chinese, contributing to the enduring antiJapanese element within Chinese nationalism.3 Rhetoric of “liberating Taiwan” cannot be understood outside of the context of the Chinese civil war. The CCP master narrative of creating a socialist society focused on ridding the mainland of imperialist encroachment and the establishment of the PRC in 1949 was constructed as the defining historical turning point. Since the ROC was supported by the U.S. and Chiang Kai-shek was already labeled an imperialist, the only means to complete the narrative was to maintain support for military force to reclaim the island. Thus, the CCP continued to portray the Taiwan issue as a historical injustice, claiming both that Taiwan for centuries had been Chinese until Japanese annexation in 1895 and that biological and geological evidence supported their position of the Chineseness of Taiwan.4 An argument can be made that Taiwan was unimportant to the CCP until the Nationalists were forced to the island, in part because of Mao’s comments in the 1930s that Taiwan was beyond the boundaries of China, in the same category as Vietnam and Korea (Snow, 1938: 33-89). Other CCP documents suggest that Taiwan was seen as a peripheral entity. The “Message to Compatriots on Resistance to Japan to Save the Nation” and the “Resolution of the CC on the Current Political Situation and the Party’s Tasks” in August and December of 1935 both refer to Taiwan in similar tones as Korea and should be united in an anti-Japanese alliance. In the “CCP Declaration on the War in the Pacific” in December of 1941, the CCP states their goal of encouraging anti-Japanese propaganda and agitation, again mentioning Taiwan in a similar fashion as Korea. The Constitution of the CCP in June of 1945 also makes no reference to the island. China has also assumed that any cross-strait military conflict will include American involvement. From the onset of the Cold War through the 1970s, the CCP implicitly desired formal recognition from the West. Despite constant references to ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
260 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
China versus China: Contending Nationalisms in The Twenty First Century Asia
the moral and political corruptness of American “imperialism,” Beijing realized that its security would be strengthened by formal relations. This desire went so far that the PRC hinted in the 1950s that it would renounce claims to Taiwan in exchange for formal relations with the U.S. (Madsen, 2001: 159; Purifoy, 1976: xi). However, one can presume this option was discarded due to its potentially negative domestic ramifications for the CCP as much as U.S. disinterest. The importance of relations with the U.S. can also be seen in the shift in the CCP party line. Shortly after recognition, the PRC abandoned the slogan “liberation of Taiwan” in favor of peaceful unification, suggesting Beijing’s confidence that without American support, such a policy could be successful. America dropping its opposition to seating the PRC, followed by the 1972 Communiqué (“The Shanghai Communiqué”) and the 1979 Communiqué establishing formal recognition gave Beijing officials the impression that although unification may not be immediate, the likelihood of permanent separation was diminishing. American intent, however, was more a policy of engagement and vague dialogue rather than capitulation on Taiwan,5 with the U.S. simply acknowledging the Chinese position of “One China.” As Hickey stated, the term “acknowledge” was deliberately chosen to indicate “cognizance of, but not necessarily agreement with, the Chinese position.”6 The Taiwan Relations Act (TRA) further shattered Chinese hopes and made American agreements on both military supports of Taiwan (the U.S. agreed in 1972 to remove all U.S. forces from Taiwan) and recognition of a “One China” policy seem disingenuous. The TRA essentially left these relations intact, which the PRC took as a clear violation of their sovereignty, with later agreements and actions (e.g., the 1982 Communiqué, President Bush’s approval of military assistance in 1992) lending further support to American disingenuousness. With these seemingly contradictory positions, Beijing officials surmised that Washington opposed a Beijing-led reunification and thus the U.S. returned as a prime obstacle in the unification narrative. The only way to overcome this obstacle was to raise the costs for American intervention and Taiwanese actions inconsistent with unification. Although Chinese rhetoric about the U.S. did not return to pre-normalization levels, their unfulfilled expectations continue to taint Sino-American relations with a level of distrust which has only been exacerbated by America’s support of Taiwan’s democratic reforms.
Democratization The maintenance of China’s Taiwan policy and the necessity of unification has aided the PRC in deflecting domestic criticism, in particular the lack of democratic reforms. Beijing traditionally argued that Chinese and Confucianist culture were not suited for a Western-style democracy. However, East Asian democratization, including Taiwan’s own transformation, ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
261 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Tulus Warsito
undermines this stance.7 Taiwan’s first democratically elected president Lee Teng-hui used this to his political advantage, making potential reunification contingent on mainland democratization (Shih, 2003:31). Since then, the CCP leadership has altered its argument, stating that democracy brings chaos, with many drawing a parallel to the Cultural Revolution and the potential chaos of democratic reform, with the decline of Russia as further evidence. Implicit in China’s democracy-brings-chaos theory is that foreign interests are behind such reforms to keep the country weak by ousting the CCP. Similarly, during the Tiananmen protests, Beijing officials drew a direct correlation between Taiwan’s young democracy and a looming threat to their hold on government.8 Protestors were viewed as akin to outside agitators, making the use of force to disperse the crowds more acceptable. While cross-strait talks emerged in 1991, China has refused to view democratization as anything but a potential threat. Furthermore, the PRC leadership has attempted to dismiss any suggestion that democratization could alter claims over Taiwan. In practical terms, however, it has lead to the ROC that, while still paying lip service to “One China,” has denounced claims to the mainland and maintained an ambiguous stance on Taiwan’s futureconsistent with a public which both sees itself increasingly as Taiwanese or both Chinese and Taiwanese and that prefers the continuation of the status quo. Any position on Taiwan’s future status inconsistent with Taiwanese public opinion would be political suicide. As Lee Teng-hui stated “Taiwan has now reached the point of no return. The people of Taiwan would never countenance any less representative form of government” (Teng-hui, 1999: 9-14). Instead, the PRC maintains symbolic representation of Taiwan within the national legislature, enlisting delegates with no connection whatsoever to the island.9 Furthermore, accepting that Taiwan’s democracy had changed its status would require Beijing to admit that their demands for party-to-party talks (instead of government-to-government) were inappropriate. On a practical level, Beijing must treat democratization as a non-issue in terms of Taiwan’s political status or accept radical changes to the cross-strait dialogue which does nothing to help their own goals. Maintaining this stance seems to invite conflict with Taiwan. It should not have been surprising then when Lee Teng-hui set equally unacceptable conditions for unification talks (democratic reforms on the mainland and renouncing the use of force) (Chu, 2000: 313). Beijing’s response, to label Lee a “lackey of America” (Shambaugh, 1998: 242), allowed for the maintenance of the narrative by eliminating Lee as a person to take seriously. It also started a pattern of discrediting Taiwan’s leaders who refer positively to Taiwan’s separate status as nothing more than independence-seekers. For example, Chen Shui-bian’s proposal of “cross-strait integration” seemed to please PRC leaders, but once Chen clarified that this meant rapprochement not unification, the PRC returned to a hardline rhetoric. Although talk of “liberating” ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
262 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
China versus China: Contending Nationalisms in The Twenty First Century Asia
Taiwan ceased with formal relations with the U.S., Beijing’s efforts to maintain public support for the use of force in order to prevent Taiwan’s permanent separation continues. Furthermore, many Taiwanese officials have been demonized to the point that mainland Chinese view anyone willing to negotiate with Taiwan regarding the island’s future status implies sovereign equality and thus is labeled a traitor (Friedman,2001: 135). Even cross-strait negotiations which skirt sovereignty issues risk this backlash as any actions not clearly consistent with unification is assumed to encourage independence. Conciliatory efforts in the past were often undermined by the “victor’s mentality” of old cadres that were still in prominent positions through the mid 1980s which were adamantly opposed to any conciliatory effort which implied equality for ROC officials (Shih, 2003: 52). Despite a marked drop in revolutionary rhetoric out of Beijing, Taiwan’s position in the calculus of Chinese nationalism has remained constant. This does not mean that the PRC has been inflexible in its Taiwan policy. Beijing seems willing to make overtures to Taiwan as long as it conforms to their master narrative of a CCP victorious in the protracted Chinese civil war. Similarly, mainland propaganda attempts to solidify the view that the CCP is China. Any suggestion that the party was not the true voice of China would be incongruent with the master narrative.10 For example, in talks during the early 1980s, the PRC seemed willing to grant Taiwan some form of autonomy after reunification, allowing “One China” to be defined beyond a political scope, highlighting historical and cultural ties. Once it became clear Taiwan did not wholeheartedly support imminent reunification, China ended such talk and insisted that “One China” had a clear political definition. More importantly, the CCP continues the decade’s old notion that once Taiwan reunites with the mainland, China will once again rise to the status of a world power and their era of weakness will be over. As Zong Hairen declared, “The Taiwan issue is a threshold China must step over if it is to go out into the world. If China fails to cross this threshold it cannot go into the world or genuinely become a world power; even less can it compete with the United States” (Hairen, 2002: 16). While unification does provide some strategic advantages, even a peaceful unification cannot live up to the “cure all” that Beijing officials have made it out to be. Perpetuating this nationalistic dream places further pressures on CCP leaders to bring Taiwan back into the fold. Both Deng Xiaoping and Jiang Zemin wanted unification on their watch to secure their place in history, yet neither was willing to take a more conciliatory approach which would conflict with the implicit “liberation” narrative. With the return of Hong Kong and Macao under the “one country, two systems” formula, Jiang put added pressure on himself because the formula made Taiwan’s unification look inevitable (Gungwu, 2004). While Hu Jintao has avoided an implicit timeline, he too must show evidence that Taiwan is not forever lost. The growing economic integration between both sides has also done little to curb this nationalist trend, as it, along with the PRC’s own domestic economic growth may actually ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
263 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Tulus Warsito
strengthen Chinese nationalist sentiment as it reinforces that China is on its way to economic and political superpower status. As Lam suggests, the next generation of Chinese leaders, equipped with greater economic power, have little reason to decrease their nationalist tone (Lam, 2003: 264-265). A PRC on the rise then may be more inclined to push the Taiwanissue.11 By encouraging such nationalist sentiment and being unable to deliver, Beijing officials have produced an unintended side effect. Since the government relies so heavily on nationalism, reining in public variants is particularly problematic (Zhang, 2007: 27-30). Nationalism by its very nature plays upon history, but if the nationalistic message is unattainable, these unfulfilled national desires impose higher pressures for the future. Shih argues that if enough unfulfilled nationalism accumulates within a society, these grievances will lead to complete devotion to further nationalist causes (Shih, 2003: 81). In other words, Beijing’s nationalist rhetoric has created a spiraling effect, encouraging greater support of the party line in regards to Taiwan policy, but also placing greater demands on the government to conform to this hardline approach when a more conciliatory policy may be more effective in achieving the mainland’s goals. Viewing Chinese nationalism as a response to legitimate concerns over territorial integrity is also misleading. The PRC has continuously used the principle of preserving territorial integrity in its argument over Taiwan (Hsiao, 1998: 715). With the return of Hong Kong and Macao, Taiwan remains the last major territory claimed by the PRC not under its control, the last remnant of China’s humiliating defeats in the 19th and 20th centuries. However, the CCP not only accepted the loss of land before “losing” Taiwan to the Nationalists (i.e., Outer Mongolia), they have also willingly relinquished other territorial claims in recent years.12 Since Taiwan was never under control of the CCP or PRC, it also differs from the traditional view of a separatist movement. The PRC did not lose control of Taiwan; they never had it. Furthermore, Taiwan cannot be seen as a threat to Chinese security unless backed heavily by the U.S.13 Attempting to explain China’s Taiwan policy as primarily a function of nationalism admittedly oversimplifies the situation. A common argument is that the mainland’s fear of looking weak on Taiwan prohibits any negotiations on the matter and that the CCP leadership would lose all credibility if it is weak on the Taiwan issue. The core of this argument is that if Taiwan were to reject conciliatory offers from the mainland, the PRC would lose face. A mishandling of the issue could also strain the power coalition within the CCP, a major concern during the Jiang-Zhu era (Wang and Yongnian, 2000: 7), but a concern which persists today. However, several incidents have made the PRC’s stance look weak and yet the legitimacy of the leadership was not inquestion. The mainland’s backing down during the Quemoy and Matsu crisis 1954–1955, the enactment of the Taiwan Relations Act, and America’s increased military sales after the 1982 Communiqué all contradicted the notion that Chinese ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
264 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
China versus China: Contending Nationalisms in The Twenty First Century Asia
nationalism would require a hardline response. In each case, the mainland response was limited primarily to harsh criticism, suggesting that the PRC is maintaining the policy of being “firm on principles, flexible on tactics.” A key difference, however, is that in all of the cases mentioned, Taiwan was not the party that made China look weak. Rather it was America’s influence. In the aftermath of democratization, Taiwan’s success as a separate entity presents a continued challenge to the PRC narrative, one arguably more detrimental to the PRC’s master narrative than previous incidents. This is exacerbated by the need for Taiwanese officials to maintain domestic support on matters which can upset the delicate balance of cross-strait dialogue. Taiwan’s military purchases from the U.S. under the Ma Ying-jeou administration for example directly conflicted with the government’s more pro-China stance, leading the PRC to respond with traditional harsh rhetoric common during the previous Chen Shui-bian administration. Beijing’s ultimate objectives for Taiwan also remain somewhat unclear. The PRC certainly wants unification, but, outside of the proposed “One China, Two Systems” formula, has been vague on the structure of this unified China. The mixed success of Hong Kong under this system has done little to entice Taiwan to move towards unification, suggesting that another formula may be more appropriate. However, the PRC calls other formulas unacceptable (e.g., federalism), thus denying the possibility of a formula that allows for the basic continuation of Taiwan’s de facto independence while committing both sides to unification. Pushing for a hasty unification, however, brings greater problems for Beijing. Any large scale military action to retake Taiwan would conflict with mainland propaganda, revealing that the Taiwanese public was not on the side of the PRC.14 Even if the PLA can quickly overcome forces on the island and cross-strait conflict does not encourage protests in Tibet and Xinjiang dividing People’s Liberation Army (PLA) attention, reincorporating a defeated Taiwan into a greater China will be politically and economically exhaustive. The only clear objective behind military threats or even more recent enticements, thus is to maintain hope for unification by preventing formal independence (Swaine, 2004: 40).
The contending episode Historically, the CCP has used force (or the threat of it) to test an opponent’s resolve and the Taiwan issue is no different. The first major test occurred over Matsu and Quemoy in 1954–1955 which arguably backfired, resulting in greater American support for the ROC and a weak threat to use nuclear weapons to stop Chinese aggression. In 1954 America lifted its blockade of Taiwan, making a more ambitious attempt to reclaim the mainland possible. Chiang Kai-shek amassed large numbers of troops on the offshore islands leading up to the crisis, which perhaps convinced the CCP a heightened conflict was imminent.15 Others suggest that following the Korean War, the PRC’s primary motive was to test the strength of America’s ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
265 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Tulus Warsito
renewedcommitments to the ROC (Kovachi, 2002: 7; Copper, 2003: 48). Regardless of the cause, this show of force accomplished two things for the CCP. First, it reinforced the view of American intent on containment and made possible the symbolic use of Taiwan to drum up anti-American sentiment for China’s continued humiliation. Second, it encouraged the ROC to maintain the offshore islands. Chiang Kai-shek saw the islands as a symbolic link to the mainland and his claims to legitimately rule it. To relinquish them after this military conflict would not only signal to the CCP military weakness, but would likely encourage those within Taiwan to consider Taiwan as a separate country, a consideration dismissed post 1954. With Sino-American rapprochement in 1979, the PRC ended talk of the need to “liberate” Taiwan in favor of allowing for peaceful reunification. However, as Taiwan’s democratized, China’s willingness to remind Taiwan that forceful reunification was still an option became more common. While China’s threats have changed little, its capabilities to fulfill such threats have grown. The combination of Chinese nationalism and a belief that war may be inevitable leads Beijing to continue its hardline approach. To increase its deterrence capabilities, China has spent an exorbitant amount on weaponry, reducing, if not eliminating any technological advantages possessed by Taiwan. Recent acquisitions have led some PLA officials to believe that within the next decade, the PRC will not only have military superiority over Taiwan, but will be able to repel “foreign intervention” as well. Taiwan has responded with attempts to improve its deterrent capabilities. While the PLA’s projection is unlikely, the rapid military advances are a cause for concern. Military improvements have created a chauvinistic mentality that China can act more unilaterally concerning Taiwan than before. Beijing believes that this will make the U.S. less likely to support Taiwan, turning the ROC from “bold and aggressive” to “demoralized and cautious” (Garver, 1997: 13). Although the PLA’s capabilities have increased considerably in recent years, the focus of military development remains rather limited. Much of the effort has been on missile development and cyber-war capabilities, not equipment needed for an invasion, which suggests that Beijing’s motive remains deterrence. This also shows the limitations of Chinese military threats to others in the region. The PRC may be looking for a rationale for war, but their military build-up heavily favors deterrence or short-term conflict, not a full invasion. Even assuming that China’s military build-up is intended solely for deterrence purposes, this does little to decrease tension in the region. China has never clearly defined what it would take for a military response and now with greater abilities to inflict damage on Taiwan, China may lower this threshold. For example, the AntiSecession Law of 2005 appears to label any move that may appear as directed towards independence or Taiwan’s unwillingness to unify as a potential cause for military action.16 Secondly, Taiwan feels inherently less secure because of this build-up and thus ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
266 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
China versus China: Contending Nationalisms in The Twenty First Century Asia
seeks more military procurements and greater protection from the U.S. More generally, China’s military build-up and the militant Chinese nationalism supporting it encourages Taiwanese to see themselves as different than Chinese on the mainland.17 This arguably creates a spiraling effect as Taiwan’s efforts to assert themselves increase the mainland’s belief that Taiwan is creeping towards independence. The mainland thus takes a harder stance and increases its missiles directed at Taiwan, further encouraging Taiwanese to see themselves as different from those on the mainland.
Wrapping up In the absence of Communist ideology, nationalism has become the primary means to unify a population into accepting, if not approving, the continued leadership of the CCP. This tool, however, has no clear long-range objective other than unification and thus one cannot easily predict what role Chinese nationalism will play in the future. As Scalapino stated, as China becomes a greater political power, this nationalism could manifest itself in either benign (e.g., a focus on a rich cultural heritages) or militant form (Scalapino, 1998: 204). Presently, the PRC’s nationalist narrative requiring unification precludes the possibility of a negotiated political settlement regarding Taiwan’s sovereignty, even one that ultimately leads to unification. The negative rhetoric towards previous Taiwanese presidents simply increased support for these men in a way that a cordial approach never could, by creating a clear “us and them” image Taiwanese politicians could play upon. The mainland’s decision to continue a hardline approach in 2000 likely lead to their least desired candidate being elected (pro-independence candidate Chen Shui-bian), leaving Beijing officials confused at their lack of success (Wang, 2001: 726). This may in part explain not only China’s more flexible policy since the election of Ma Ying-jiu in Taiwan, but President Ma’s own pro-China policy initiatives. Beijing has been given ample opportunities to make overtures to the ROC short of acknowledging them as a legitimate national government. Recent party-to-party talks and increased commercial ties show that constructive dialogue, however flawed, may be possible. The culmination of the Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA) and the possibility of an emerging “Chaiwan” economic union suggest a major thaw in cross-strait dialogue and may encourage both sides to conduct constructive dialogues on sovereignty issues. China’s rise as a world power in part requires peaceful regional economic if not political integration, Taiwan included. While some expect economic integration to encourage political solutions (Cheung, 2010: 11-36), such hopeful thinking, however, ignores the continued attempts by the PRC to at least rhetorically separate economic and political spheres. Even the means in which ECFA was negotiated intentionally resembled party-to-party talks rather than intergovernmental negotiations, further dismissing the dynamics of a democratic ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
267 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Tulus Warsito
Taiwan (Cohen, Jerome A. and Chen, 2010). Furthermore, greater economic integration may leave Taiwan sensing fewer political options. While China attempts to keep economic and political discussions separate, consistent with official nationalism, in practice this has been problematic, not only in terms of concerns within Taiwan but the expectations within China that economic integrations is simply an intermediary stage before political integration. Although increased economic integration may create greater pressures for both sides to find acceptable political solutions to the Taiwan issue, little evidence suggests that China’s stance visà-vis Taiwan’s sovereignty will change. In contrast to ever more sophisticated approaches to international relations elsewhere, China’s Taiwan policy remains poorly developed for current conditions (Hickey, 2009: 31-70). Despite recent thaws in cross-strait relations and the PRC’s own belief that time is on their side, the dismissal of Taiwan’s democracy confounds the mainland’s goals as it has allowed a counter nationalism to foster. Such backlash is apparent in Taiwan as the perceived economic benefits from recent cross-strait exchanges have not overcome sovereignty concerns. China may believe that their increased economic and political power will propel them to superpower status and in the process Taiwan will be forced back into the fold, but the interplay of Taiwan’s democratization and the counter nationalism encouraged indirectly by Beijing’s own actions make this highly doubtful.
Bibliography Anderson, Benedict. 1983. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso. Chan, Che-po and Brian Bridges, 2006. China, Japan and the Clash of Nationalisms. Asian Perspectives, Vol. 30, No. 1. Chan, Che-po and Brian Bridges. 2006. China, Japan, and the Clash of Nationalisms. Asian Perspectives, Vol. 30, No. 1. Chang, Jung and John Halliday, 2005. Mao: The Unknown Story. London: Jonathan Cape. Cheung, Gordon C. K. 2010. New Approaches to Cross-Strait Integration and Its Impacts on Taiwan’s Domestic Economy: An Emerging ‘Chaiwan’?. Journal of Current Chinese Affairs 39, no. 1. China Post. June 10, 2004. No Plan to Attack Three Gorges Dam: MND. China Post. June 17, 2004. China General Threatens War if Taiwan Targets Three Gorges. Chow, Kai-Wing. 2001. Narrating Nation, Race and National Culture: Imaging the Hanzu Identity in Modern China. In Kai-Wing Chow, Kevin M. Doak and Poshek Fu (ed), Constructing Nationhood in Modern East Asia. Ann Arbor: University of Michigan Press. Chu, Jou-juo. 2000. Nationalism and Self-determination: The Identity Politics in Taiwan. ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
268 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
China versus China: Contending Nationalisms in The Twenty First Century Asia
Journal of Asian and African Affairs, August. Cohen, Jerome A. and Yu-Jie Chen, 2010. ECFA and Taiwan’s Political System. U.S. Asia Law Institute, July 6. (Online), (http://www.usasialaw.org/?p=3814). Copper, John F. 2003. Taiwan: Nation-State or Province? 4th edition. Boulder, CO: Westview Press. Dikotter, Frank. 2005. Race in China. In Pal Nyiri and Joana Breidenbach (ed), China Inside Out: Contemporary Chinese National and Transnationalism. Budapest: Central European University Press. Friedman, Edward. 2001. The Possibility of Peaceful Compromise in Cross-Strait Relations. In Kenneth Klinker (ed), The United States and Cross-Strait Relations: China, Taiwan and the U.S. Entering a New Century. Urbana-Champaign: University of Illinois, 2001. Garver, John W. 1997. Face Off: China, the United States, and Taiwan’s Democratization. Seattle: University of Washington Press. Gleick, Peter H. 2008. Three Gorges Dam Project, Yangtze River, China. Water Brief 3, The World’s Water 2008–2009 Guillermaz, Jacques. 1976. The Chinese Communist Party in Power, 1949–1976. Boulder, CO: Westview Press. Gungwu, Wang. 2004. Systems and Cultures: A Perspective on Recent Chinese History. Sspeech, Ohio University, 7 May. Hairen, Zong. 2002. Responding to the ‘Two States Theory’. Chinese Law and Government, Vol 35, no. 2 (March-April). Hickey, Dennis V. 2009. Beijing’s Evolving Policy Toward Taipei: Engagement or Entrapment. Issues & Studies, vol. 45, no. 1. Hickey, Dennis Van Vranken and Yitan Li, 2002. Cross-Strait Relations in the Aftermath of the Election of Chen Shui-bian. Asian Affairs: An American Review, Vol. 28, no.4 (Winter). Hickey, Dennis Van Vranken. 1999. U.S.-Taiwan Security Ties: Toward the Next Millennium. Paper presented at the conference Taiwan on the Threshold of the 21st Century: A Paradigm Reexamined, National Chengchi University, Taipei, Taiwan. 4–5 January. (Online), (http://www.taiwansecurity.org/IS/IS-Hickey.htm). Hsiao, Anne Hsiu-An. 1998. Is China’s Policy to Use Force Against Taiwan a Violation of the Principle of Non-Use of Force Under International Law?. New England Law Review, 32 (Spring). Kovachi, Noam. 2002. A Conflict Perpetuated: China Policy During the Kennedy Years. Westport: Praeger. Lam, Willy Wo-Lap. 1999. Jiang pulls out all the stops in foreign policy. South China Morning Post, 25 January. (Online), (http://special.scmp.com/chinaat50/Article/ FullText_asp_ArticleID-19990928210012708.html). Lam, Willy Wo-Lap. 2003. The Generation after Next in Chinese Politics. In David ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
269 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Tulus Warsito
M. Finkelstein and Maryanna Kivlehan (ed), Chinese Leadership in the 21st Century. New York: M. E. Sharpe. Madsen, Robert A. 2001. The Struggle for Sovereignty Between China and Taiwan. In Stephen D. Krasner (ed), Problematic Sovereignty: Contested Rules and Political Possibilities. New York: Columbia University. Medeiros, Evan S. and M. Taylor Fravel, 2003. China’s New Diplomacy. Foreign Affairs Vol 82, no. 6 (November–December). Minnick, Wendell. 2009. Taiwan Continues Cruise Missile Effort. DefenseNews, 23 March. Mondal, Anshuman. 2003. Nationalism and Post-Colonial Identity: Culture and Ideology in India and Egypt. London: RoutledgeCurzon. Niou, Emerson. 2005. A New Measure of the Preferences on the Independence-Unification Issue in Taiwan. Journal of Asian and African Studies, Vol 40, no. 1–2. Purifoy, Lewis McCarroll. 1976. Harry Truman’s China Policy: McCarthyism and the Diplomacy of Hysteria, 1947–1951. New York: New Viewpoints Publishing. Pye, Lucian. 1992. The Spirit of Chinese Politics. Cambridge: Harvard University Press. Scalapino, Robert A. 1998. Will China Democratize? Current Trends and Future Prospects. In Christian Soe (ed), Comparative Politics 98/99. Guilford: Dushkin/ McGraw-Hill. Shambaugh, David. 1998. Taiwan’s Security: Maintaining Deterrence Amid Political Accountability. In David Shambaugh (ed), Contemporary Taiwan. Oxford: Oxford University Press. Shambaugh, David. 2004. Civil-Military Relations in China: Party-Army or National Army?. In Kjeld Erik Brosgaard and Zheng Yongnian (ed), Bringing the Party Back in: How China is Governed. Singapore: National University of Singapore. Shih, Chih-yu. 2003. Navigating Sovereignty: World Politics Lost in China. New York: Palgrave MacMillan. Snow, Edgar. 1938. Red Star Over China. New York: Random House. Swaine, Michael. 2004. Tough Love for Taiwan. Foreign Affairs 40 (March–April) Teng-hui, Lee. 1999. Understanding Taiwan: Bridging the Perception Gap. Foreign Affairs 78, no. 6 (November–December). Wang, John and Zeng Yongnian. 2000. The Waning of the Jiang-Zhu Coalition? Singapore: Singapore University Press. Wang, T. Y. 2001. Cross-Strait Relations After the 2000 Election in Taiwan: Changing Tactics in a New Reality. Asian Survey vol. 41, no. 5 (September–October). Xinhua News Agency. 18 June, 2004. Terrorism Part on Taiwan Separatist Agenda. Zhang, Jian. 2007. The Influence of Chinese Nationalism on Sino-Japanese Relations. In Michael Heazle and Nick Knight (ed), China-Japan Relations in The twenty first Century: Creating a future Past? Cheltenham: Edward Elgar Publishing. Zhao, Suisheng. 2000. Chinese Nationalism and Authoritarianism in the 1990s. In ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
270 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
China versus China: Contending Nationalisms in The Twenty First Century Asia
Suisheng Zhao (ed), China and Democracy: the Prospect for a Democratic China. New York: Routledge.
(Footnotes) Zhou Enlai had mentioned the possibility of peaceful “liberation” in 1956, but the term was generally seen to imply eventual unification by force (Guillermaz, 1976: 181). Zhao argues that Chinese nationalism was sparked by foreign invasions (Zhao, 2000: 253; Shih, 2003: 84). This narrative endured even though the KMT played a far more instrumental role in this than their communist counterparts. KMT contributions to liberation were largely ignored until 2005 (Chang and Halliday, 2005: 211-213; Chan and Bridges, 2006: 135). This evidence intentionally omits contrary evidence. First, that Taiwan’s indigenous peoples do not have a Chinese mainland origin. Secondly, even if geological evidence shows a historical linkage between Taiwan and China, this predates the Chinese state. This could also be inferred by the broadness of the 1972 Communiqué, in that both sides mention the general need to reduce tensions and increase peace in Asia, discussing Korea, India-Pakistan conflict and Indochina almost as much and in similar vague terms as the Taiwan issue. Guillermaz referred to this as both sides making a “tentative sketch of what East Asia could become.” Guillermaz 1976: 549; “Nixon’s China Game,” documentary, WGBH Educational Foundation and Ambrica Productions, 2000. Similarly the PRC made similar “acknowledgements” of continued American arms sales to Taiwan to quicken the normalisation process. Dennis Van Vranken Hickey, “U.S.-Taiwan Security Ties: Toward the Next Millennium” (paper presented at the conference Taiwan on the Threshold of the 21st Century: A Paradigm Reexamined, National Chengchi University, Taipei, Taiwan. 4-5 January, 1999), available online at http://www.taiwansecurity.org/IS/IS-Hickey.htm. Democratic reforms in pre-1997 Hong Kong further damage such claims. Although Taiwanese may have emotionally supported the Tiananmen demonstrators, there is no evidence that the ROC supported protestors with money or material (Copper, 2003: 54-55. The ROC would also likely prevent would-be delegates from Taiwan from filling these seats as well as this would be explicitly acknowledging the PRC’s conception of “one country, two systems.” “China’s Mystery Delegates a Puzzle to Most Taiwanese,” Taipei Times, 1 March, 2003. David Shambaugh, “Civil-Military Relations in China: Party-Army or National Army?” in Bringing the Party Back in: How China is Governed, ed. Kjeld Erik
1
2
3
4
5
6
7 8
9
10
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
271 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Tulus Warsito
11
12
13
14
15
16
17
○
○
Brosgaard and Zheng Yongnian (National University of Singapore, 2004), 24. An aide to Jiang Zemin stated, “The Taiwan problem will automatically be solved once China is recognised around the world as on par with the U.S. Can you imagine any country daring to sell arms to Hawaii if there was a pro-independence movement on the island?”; Willy Wo-Lap Lam, “Jiang pulls out all the stops in foreign policy,” South China Morning Post, 25 January, 1999, http:// special.scmp.com/chinaat50/Article/FullText_asp_ArticleID-19990928210012708.html. Since 1991, China has settled border conflicts with six nations and in most received half or less of the contested territory. In its agreement with Tajikistan, China conceded to only 1,000 of the 28,000 square miles of territory in dispute (Medeiros and Fravel, 2003). While bombing the Three Gorges Dam has been suggested as a means to deter China, there is no evidence that Taiwan has considered a pre-emptive strike. “No Plan to Attack Three Gorges Dam: MND,” China Post, June 10, 2004; “China General Threatens War if Taiwan Targets Three Gorges,” China Post, June 17, 2004; “Terrorism Part on Taiwan Separatist Agenda,” Xinhua News Agency, 18 June, 2004; Peter H. Gleick, “Three Gorges Dam Project, Yangtze River, China,” Water Brief 3, The World’s Water 2008–2009 (2008): 139–150; Wendell Minnick, “Taiwan Continues Cruise Missile Effort,” DefenseNews, 23 March, 2009 The call to “liberate” Taiwan and references to Taiwanese compatriots always suggested that the majority of the island’s inhabitants were supportive of the PRC. The implication is that the ROC government and other “imperialist” or independence minded Taiwanese were the source of the conflict. This does not necessarily mean either side expected the ROC to attempt to recapture the mainland, only that backed by the U.S. the Nationalists could take more provocative actions against the mainland. Article 8 states that “In the event that the ‘Taiwan independence’ secessionist forces should act under any name or by any means to cause the fact of Taiwan’s secession from China, or that major incidents entailing Taiwan’s secession from China should occur, or that possibilities for a peaceful reunification should be completely exhausted, the state shall employ non-peaceful means and other necessary measures to protect China’s sovereignty and territorial integrity.” Embassy of the People’s Republic of China in the United States of America website, http:// www.china-embassy.org/eng/zt/twwt/t187406.htm. For more on the rise of Taiwanese identity and its relation with the island’s future status vis-à-vis China, see Election Study Center (National Chengchi University) “Taiwanese/Chinese Identification Trend Distribution in Taiwan (1992/06–2009/ 12),” available online at http://esc.nccu.edu.tw/english/modules/tinyd2/content/ TaiwanChineseID.htm; (Niou, 2005: 91-104). ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
272 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Rezim Kerjasama Sosek Malindo Kaltim-Sabah: Mengukur Derajat Compliance Partisipan Perjanjian Absract Sosek Malindo cooperation is mutual agreement between Indonesia and Malaysia that concentrated in the field of socio-economic development in border areas. The main objective of Sosek Malindo cooperation is to improve the welfare of the people who live in border areas of each country. Sosek Malindo Cooperation produce some agreements, but not all of them can be implemented, because of compliance problems. The failure was caused by several factors, among others: the limited authority of the actor, the factor of interest, in managing the agreement Sosek Malindo regime does not use persuasive methods. Moreover it has serious implications to the implementation of agreement and actor behavior. Keywords: Compliance, Regime, Sosek Malindo
Pendahuluan
Sonny Sudiar Program Studi Hubungan Internasional, FISIP Universitas Mulawarman
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Kerjasama internasional merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam pelaksanaan kebijakan dan politik luar negeri Republik Indonesia. Melalui kerjasama-kerjasama internasional baik secara bilateral maupun multilateral, Indonesia diharapkan dapat memanfaatkan peluangpeluang untuk menunjang dan melaksanakan pembangunan nasionalnya (Direktorat Jenderal Kerjasama Asean. 2007: i). Pembangunan memang sebuah keniscayaan yang harus dilakukan untuk alasan kemajuan dan perubahan untuk menjadi lebih baik. Dengan demikian pembangunan menjadi sebuah proses yang senantiasa harus dilakukan oleh setiap pemerintahan sebuah negara untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. Gagasan pembangunan pada hakikatnya adalah gagasan mengenai peningkatan taraf hidup manusia ke tingkat yang lebih baik, lebih sejahtera, lebih nyaman dan lebih tentram, serta lebih
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
273 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Sonny Sudiar
menjamin kelangsungan hidup masyarakat di hari depan (Husein, 1986: 1). Begitu pun adanya dengan Indonesia, pembangunan mutlak harus terus digalakkan agar negeri ini dapat terbebas dari masalah ketertinggalan yang terus menghantuinya. Adapun agenda pembangunan yang paling mendesak adalah pembangunan di wilayah perbatasan Indonesia. Kawasan perbatasan negara adalah wilayah kabupaten/kota yang secara geografis dan demografis berbatasan langsung dengan negara tetangga dan/atau laut lepas. Kawasan perbatasan terdiri dari kawasan perbatasan darat dan laut, yang tesebar secara luas dengan tipologi yang sangat beragam (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS. 2010: 63). Secara geografis, Indonesia memiliki beberapa wilayah perbatasan dengan negaranegara tetangga, baik berupa daratan maupun lautan (pulau-pulau terluar). Indonesia berbatasan dengan 10 (sepuluh) negara tetangga, yaitu: India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Australia, Timor Leste, Palau, dan Papua Nugini. Secara keseluruhan kawasan perbatasan dengan negara tetangga tersebar di 12 (dua belas) provinsi (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS. 2010: 63). Namun hanya ada 4 (empat) daerah yang memiliki perbatasan darat dengan negaranegara lain, yakni: Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan Provinsi Papua (Koespramoedyo dkk, 2003: 1). Wilayah-wilayah tersebut pada hakekatnya memiliki arti yang sangat vital dan strategis, baik dalam sudut pandang pertahanan-keamanan, maupun dalam sudut pandang ekonomi, sosial, dan budaya. Masing-masing wilayah perbatasan tersebut memiliki karakter sosial budaya dan ekonomi yang relatif berbeda antara satu dengan yang lainnya. Namun secara keseluruhan memperlihatkan adanya fenomena yang hampir sama, yakni adanya interaksi langsung dan intensif antara warga negara Indonesia dengan warga negara tetangga, berupa hubungan-hubungan sosial kultural secara tradisional maupun dalam bentuk kegiatan-kegiatan ekonomi modern (Koespramoedyo dkk, 2003: 1). Salah satu wilayah perbatasan Indonesia yang mempunyai tingkat aktivitas dan interaksi perdagangan-ekonomi cukup tinggi adalah perbatasan antara Provinsi Kalimantan Timur dengan Negeri Sabah. Hal tersebut dapat dilihat dari perdagangan tradisional yang sudah lama terjadi antar masyarakat di perbatasan Indonesia dan Malaysia. Hubungan kerjasama bilateral dengan Malaysia ini merupakan salah satu kerjasama internasional yang perlu dimaksimalkan oleh Indonesia sebagai upaya untuk mengcatch up peluang-peluang yang dihasilkan dari proses kerjasama tersebut. Salah satu kerjasama bilateral yang terjalin antara Indonesia-Malaysia adalah forum kerjasama Sosial Ekonomi Malaysia-Indonesia (Sosek Malindo). Kerjasama ini berkonsentrasi pada bidang pembangunan sosial-ekonomi di daerah perbatasan. Tujuan utama dari perjanjian kerjasama Sosek Malindo adalah untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
274 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Rezim Kerjasama Sosek Malindo Kaltim-Sabah: Mengukur Derajat Compliance Partisipan Perjanjian
masyarakat yang hidup di daerah perbatasan masing-masing negara. Kerjasama Sosek Malindo pertama kali dimulai pada tahun 1985 di perbatasan Kalbar-Serawak. Kemudian tahun 1995 di perbatasan Kaltim-Sabah. Setelah memasuki tahun yang ke-15 jalinan kerjasama Sosek Malindo tingkat daerah Kaltim-Sabah telah mengalami proses hubungan kerjasama yang sangat dinamis. Banyak program kerjasama yang telah disepakati oleh kedua pihak dalam perjanjian kerjasama Sosek Malindo ini. Dalam dinamika perkembangannya, hingga saat ini terdapat 7 kertas kerja yang telah disepakati antara Pemprov Kaltim dengan Pemerintah Negeri Sabah, yang meliputi beberapa bidang kerjasama, yaitu: bidang pembangunan PLBL, pembangunan PLBD, pencegahan dan penanggulangan kegiatan penyelundupan, hubungan sosial-budaya, bidang pendidikan, bidang kesehatan, dan bidang ekonomiperdagangan. Kesepakatan-kesepakatan yang sudah diambil dalam kerjasama tersebut ada yang sudah dapat dilaksanakan, namun ada pula yang masih belum/tidak dapat dilaksanakan, diantaranya adalah kesepakatan pembangunan Pos Lintas Batas Laut di Sungai Imam Pasir Putih, Tawau, Malaysia dan pembangunan Pos Lintas Batas Darat di Serudong, Malaysia.1 Fakta empirik tersebut tentu saja dapat berpengaruh pada kondisi dan perkembangan kehidupan sosial-masyarakat di daerah perbatasan kedua negara. Terdapatnya kesepakatan yang tidak dilaksanakan oleh pihak yang bekerjasama ini menunjukkan adanya perilaku yang tidak patuh (compliance problem). Situasi seperti apa yang sesungguhnya melatarbelakangi terjadinya tindakan non-compliance tersebut. Gambaran ini mengindikasikan bahwa rezim Sosek Malindo Kaltim-Sabah tidak memiliki instrumen yang mempunyai kapabilitas untuk mengkondisikan agar setiap partisipan perjanjian internasional mempunyai tanggung jawab dan kewajiban mau untuk melaksanakan semua kesepakatan yang telah dibuat. Oleh karena itu, problem kepatuhan (compliance problem) dari masing-masing pihak dalam melaksanakan semua hasil kesepakatan menjadi concern utama yang ingin dikaji lebih dalam penelitian ini.
Rezim Internasional Rezim internasional merupakan sebuah konsekuensi logis dari kerjasama internasional. Rezim biasanya dibuat untuk mengatur kerjasama agar menjadi lebih efektif mengingat tingkat interdependensi antar aktor yang sangat rumit dan komplek. Oleh karena itu, dibentuknya rezim internasional merupakan sebuah upaya untuk menciptakan kerangka kerjasama internasional dan untuk memfasilitasi proses pembuatan kebijakan yang dapat dilakukan bersama. Menurut Stephen Krasner rezim internasional adalah suatu tatanan yang berisi kumpulan prinsip, norma, aturan, dan prosedur pembuatan kebijakan baik yang ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
275 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Sonny Sudiar
berupa eksplisit maupun implisit, yang berkaitan dengan ekspektasi dan kepentingan aktor dalam hubungan internasional. Seperti yang dinyatakan dalam tulisannya: International regimes are defined as a set of implicit or explicit principles, norms, rules, and decision making procedures around which actors’ expectations converge in a given area of international relations. Principles are beliefs of fact, causation, and rectitude. Norms are standards of behavior defined in terms of rights and obligations. Rules are specific prescriptions or proscriptions for action. Decision-making procedures are prevailing practices for making and implementing collective choice (Olson & Groom, 1991: 198). Dalam formula lain Donald J. Puchala dan Raymond F. Hopkins (1982) menyatakan bahwa rezim internasional mempunyai 5 ciri utama, yaitu: Pertama, rezim mempunyai kemampuan untuk membentuk perilaku kepatuhan terhadap prinsip-prinsip, norma dan aturan. Rezim bersifat subjektif, dia hanya bisa eksis berdasarkan pemahaman, ekspektasi dan keyakinan para partisipannya mengenai legitimasi, kelayakan atau perilaku yang bermoral; Kedua, rezim internasional dapat menciptakan mekanisme/ prosedur bagi pembuatan kebijakan. Karakteristik ini menunjukkan bahwa rezim internasional bukan hanya sekedar berisikan norma substantif. Tapi lebih dari itu, rezim internasional adalah tentang bagaimana prinsip-prinsip tersebut dibuat yang melibatkan unsur-unsur seperti siapa partisipannya, kepentingan apa yang mendominasi atau yang menjadi prioritas, dan aturan apa yang dapat melindungi dari dominasi dalam proses pembuatan kebijakan; Ketiga, sebuah rezim selalu mempunyai prinsip-prinsip yang dapat menguatkannya, sebagaimana halnya sebuah norma dapat menetapkan kebenaran dan melarang perilaku yang menyimpang; Keempat, dalam setiap rezim selalu terdapat aktor yang berperan di dalamnya. Partisipan (aktor utama) dalam kebanyakan rezim internasional adalah pemerintahan negarabangsa, akan tetapi tidak menutup kemungkinan juga ada dari aktor-aktor non-negara. Peran mereka sebagai partisipan sangat krusial, yakni menciptakan, menjalankan, dan mematuhi aturan yang telah dibuat; Kelima, eksistensi rezim internasional adalah untuk mencocok nilai-nilai, tujuan-tujuan, dan prosedur pembuatan kebijakan yang dapat mengakomodir kepentingan dan kebutuhan semua partisipan (Puchala & Hopkins, 1992: 62-63). Konsep rezim internasional dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskan dan mengukur keberadaan dinamika perjanjian kerjasama Sosek Malindo tingkat daerah Kaltim-Sabah sebagai rezim internasional yang telah disepakati oleh kedua anggotanya.
Teori Compliance Konseksuensi yang muncul dari dibuatnya sebuah perjanjian internasional adalah tentang perilaku para partisipan yang menyepakatinya untuk konsisten dalam ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
276 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Rezim Kerjasama Sosek Malindo Kaltim-Sabah: Mengukur Derajat Compliance Partisipan Perjanjian
memenuhi semua kesepakatan yang dibuat dalam perjanjian internasional tersebut. Dalam situasi seperti ini, tentunya dibutuhkan upaya-upaya kooperatif dari masingmasing negara anggota yang membuat perjanjian internasional. Bentuk dari upaya kooperatif yang dimaksud adalah kepatuhan (compliance) terhadap kesepakatan. Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes telah menegaskan ada 3 (tiga) alasan utama yang mendorong sebuah negara mengambil tindakan untuk mematuhi perjanjian internasional, yaitu: efisiensi, kepentingan dan norma (Chayes, & Chayes, 1995: 4). Sementara situasi yang memicu untuk tidak mematuhi kesepakatan, antara lain: pertama, ambiguitas dan tidak tepatnya bahasa yang digunakan dalam perjanjian; kedua, keterbatasan kapasitas partisipan tentu saja sangat berpengaruh pada tingkat kepatuhan terhadap perjanjian; ketiga, perjanjian internasional biasanya bersifat temporal dikarenakan perubahan signifikan yang terjadi dalam struktur sosial, sistem ekonomi dan kondisi politik. Dalam studi tentang compliance terdapat dua aliran yang saling bertetangan satu sama lain, yaitu: enforcement school dan management school. Menurut aliran enforcement bahwa tindakan non-compliance terhadap perjanjian internasional dapat terjadi dalam berbagai motif. Compliance baru bisa terjadi jika aturan ditegakkan dan disertai dengan adanya sanksi (punishment). Strategi ini cukup efektif agar perjanjian dapat terlaksana, karena setiap pihak mengetahui jika melanggar atau tidak mematuhi perjanjian maka dia akan mendapatkan sanksi. Berbeda dengan aliran enforcement, aliran management justru menegaskan bahwa kepatuhan (compliance) dapat terjadi tanpa harus menyertakan strategi sanksi (punishment) dalam formulasi perjanjian, karena dianggap tidak efektif (Jonsson & Tallberg, 1998: 374). Permasalahan compliance sebenarnya memang lebih tepat dianggap sebagai permasalahan pengelolaan (management) daripada permasalahan pelaksanaan (enforcement). Munculnya tindakan non-compliance terhadap rezim bukan tidak sengaja, akan tetapi lebih disebabkan oleh kurangnya kapabilitas, kejelasan dan prioritas kesepakatan dalam perjanjian. Untuk itu dibutuhkan strategi pengelolaan yang sophisticated contohnya dengan menggunakan metode persuasi. Adapun elemen yang dibutuhkan dalam metode ini antara lain: transparency, dispute settlement, capacity building. Keberadaan tiga elemen ini dalam sebuah perjanjian internasional diyakini bisa menstimulan munculnya perilaku compliance (Chayes, & Chayes, 1995: 22-25). Teori compliance dalam penelitian ini digunakan untuk mengukur derajat kepatuhan dari masing-masing pihak yang membuat kesepakatan. Lebih lanjut teori ini berupaya untuk menjelaskan dinamika implementasi rezim kerjasama Sosek Malindo, serta difungsikan untuk menganalisis prosedur/mekanisme dan strategi pengelolaan kesepakatan.
Kondisi Umum di Wilayah Perbatasan Kaltim Perbatasan Kalimantan merupakan perbatasan yang saat ini lebih banyak ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
277 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Sonny Sudiar
permasalahannya jika dibandingkan dengan wilayah perbatasan Indonesia lainnya. Secara keseluruhan panjang wilayah Kalimantan yang berbatasan langsung dengan Negara Bagian Serawak dan Sabah (Malaysia) lebih kurang 1.200 km. Dari panjang garis perbatasan tersebut 70,58 persen berada di wilayah Provinsi Kalimantan Barat atau sepanjang lebih kurang 847,3 km dan melintasi 5 (lima) daerah Kabupaten, yaitu: Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang dan Kapuas Hulu, yang meliputi 14 daerah kecamatan. Sedangkan perbatasan Provinsi Kalimantan Timur dengan Negara Bagian Sabah dan Negara Bagian Serawak sepanjang lebih kurang sekitar 850 km yang meliputi 3 (tiga) daerah Kabupaten yaitu: Kutai Barat, Malinau dan Nunukan yang meliputi 9 kecamatan (Koespramoedyo dkk, 2003: 4). Kawasan perbatasan Kalimantan Timur meliputi kawasan pantai dan laut dan daratan yang terdiri dari pegunungan. Dengan wilayah Negara Bagian Serawak terdapat pegunungan Iban membujur dari utara ke selatan dan membelok ke barat, di pegunungan Kapuas Hulu. Ada pula pegunungan Batu Ayu, membujur dari timur ke barat. Pada bagian utara di Kecamatan Pulau Sebatik berbatasan dengan Malaysia Timur, sedangkan Kabupaten Nunukan berbatasan laut dengan Kota Tawau. Jarak antara pelabuhan Nunukan dan Pelabuhan Tawau, Negara Bagian Sabah sekitar 30 kilometer. Pembangunan ekonomi di kawasan ini belum optimal, aktivitasnya kebanyakan masih bersifat lokal dan tradisional, dan belum berorientasi eksport. Hal ini disebabkan adanya kendala infrastruktur, kelembagaan, terbatasnya permodalan dan teknologi yang dimiliki, serta masih rendahnya kualitas dan kuantitas SDM setempat (Ishak. 2003: 15).
Dinamika dan Struktur Kerjasama Sosek Malindo Kaltim-Sabah Perdagangan lintas batas yang terjadi di perbatasan Kaltim-Sabah memiliki frekuensi yang cukup tinggi. Oleh karena itu, untuk mengatur lalu-lintas barang (perdagangan tradisional) antar masyarakat perbatasan, maka kedua pemerintahan baik Republik Indonesia dan Kerajaan Malaysia pun membuat sebuah kesepakatan berupa Border Trade Agreement (BTA) atau “Perjanjian Tentang Perdagangan Lintas Batas antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Kerajaan Malaysia.” Perjanjian tersebut ditandatangani pada tanggal 24 Agustus 1970 di Jakarta. Salah satu isi kesepakatannya berupa kerjasama Sosial Ekonomi Malaysia Indonesia atau disingkat menjadi Sosek Malindo. Adapun visi dari kerjasama Sosek Malindo ini adalah: “Meningkatkan kesejahteraan masyarakat kedua daerah melalui kerjasama Sosek Malindo menuju 2020.” Agar visi kerjasama ini dapat direalisasikan, maka misi yang dilaksanakan adalah: pertama, menciptakan kondisi sosial ekonomi dan budaya yang kondusif bagi kesejahteraan masyarakat masing-masing daerah; kedua, meningkatkan kerjasama ekonomi yang berkeadilan dan saling menguntungkan serta berorientasi kelestarian lingkungan; ketiga, meningkatkan kerjasama sosial budaya lewat peningkatan kualitas dan ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
278 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Rezim Kerjasama Sosek Malindo Kaltim-Sabah: Mengukur Derajat Compliance Partisipan Perjanjian
pemberdayaan SDM di kedua daerah perbatasan (Irewati, 2005: 87-88). Lebih lanjut data yang menunjukkan tentang kerjasama perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 1 Dinamika Kerjasama Sosek Malindo
Sumber: diolah dari berbagai data sekunder
Tabel di atas menunjukkan bahwa kerjasama perbatasan antara dua negara Republik Indonesia-Malaysia pada awalnya dimulai dengan bidang keamanan pada tahun 1967, perjanjian ini kemudian direvisi untuk pertama kali pada tahun 1972, dan direvisi kembali pada tahun 1984. Revisi kedua kerjasama perbatasan antara Republik Indonesia-Malaysia mengalami perluasan area cakupan kerjasama hingga mencakup berbagai bidang yaitu ideologi, politik, sosial, budaya, ekonomi. Menindaklanjuti kesepakatan tersebut, maka tahun 1985 dibentuk forum kerjasama sosial ekonomi daerah (Sosekda) Provinsi Kalimantan Barat-Negeri Serawak, dan Sosekda Provinsi Kalimantan Timur-Negeri Sabah dimulai sejak tahun 1995 (Asaddin, http:www. tastawima.com). Hubungan kerjasama Sosek Malindo tingkat daerah Kaltim-Sabah yang dimulai sejak tahun 1995 sampai sekarang masih terus berlangsung. Memasuki tahun ke-15 hubungan kerjasama ini mengalami dinamika yang sangat berwarna, dan tentunya banyak sudah program-program kerja yang telah disepakati dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat di masing-masing perbatasan di kedua negara. Forum kerjasama Sosek Malindo ini mengadakan program pertemuan setahun sekali dengan tempat saling bergantian antara Indonesia dan Malaysia. Dalam strukturnya, Sosek Malindo diketuai oleh General Border Committee (GBC) di masingmasing negara dan untuk Indonesia Ketua GBC dipimpin oleh Panglima TNI. Di bawah struktur GBC tersebut telah dibentuk pula sebuah kelompok kerja (KK) Sosek Malindo di tingkat daerah provinsi/peringkat negeri2 yang dimaksudkan untuk: menentukan proyek-proyek pembangunan sosial ekonomi yang digunakan bersama, merumuskan hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan pembangunan sosial ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
279 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Sonny Sudiar
ekonomi di wilayah perbatasan, melaksanakan pertukaran informasi mengenai proyekproyek pembangunan sosial ekonomi di wilayah perbatasan bersama, meyampaikan laporan kepada KK Sosek Malindo tingkat pusat mengenai pelaksanaan kerjasama pembangunan sosial ekonomi di wilayah perbatasan (Koespramoedyo dkk, 2003: 27). Selain dikoordinasikan oleh Panglima TNI selaku ketua GBC Indonesia, KK Sosek Malindo juga melibakan Menteri Luar Negeri masing-masing negara selaku ketua Joint Committee Meeting (JCM) dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia untuk membicarakan kerjasama bilateral dan pengembangan wilayah perbatasan Kalimantan antara pemerintah Malaysia dan pemerintah RI. Struktur organisasi Sosek Malindo dapat dilihat pada gambar di bawah ini: Gambar 1 Struktur Organisasi Sosek Malindo
Tujuh Kertas Kerja Sosek Malindo Kaltim-Sabah Sampai dengan persidangan terakhir KK/JKK Sosek Malindo tingkat daerah Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan peringkat Negeri Bagian Sabah telah bersepakat untuk melaksanakan beberapa program kerja yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah perbatasan masing-masing negara. Adapun program kerja yang disepakati seperti yang tertuang dalam tujuh kertas kerja, yaitu; Kertas Kerja Pos Lintas Batas Laut (PLBL), Kertas Kerja Pos Lintas Batas Darat (PLBD), Kertas Kerja Pencegahan dan Penanggulangan Kegiatan Penyelundupan, Kertas Kerja Hubungan Sosial, Kertas Kerja Bidang Pendidikan, Kertas Kerja Bidang Kesehatan, Kertas Kerja Bidang Ekonomi dan Perdagangan (Asaddin. Sinergitas Pengembangan Potensi. http:www.tastawima.com). ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
280 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Rezim Kerjasama Sosek Malindo Kaltim-Sabah: Mengukur Derajat Compliance Partisipan Perjanjian
Meskipun kedua belah pihak telah berhasil menyepakati tujuh kertas kerja dalam perjanjian kerjasama Sosek Malindo tingkat daerah Provinsi Kalimantan Timur-Negeri Sabah, namun masih ada hasil kesepakatan yang belum/tidak dapat dilaksanakan. Terhambatnya realisasi kesepakatan kerjasama tersebut lebih disebabkan oleh tiga kendala utama, yaitu; struktur kerjasama, mekanisme pengambilan keputusan kerjasama, fokus dan lingkup lokasi usulan kesepakatan.
Derajat Compliance Partisipan Perjanjian Hasil penelitian menunjukkan bahwa 7 (tujuh) kertas kerja yang telah disepakati dalam perjanjian kerjasama Sosek Malindo Kaltim-Sabah, setidaknya telah ditemukan ada 2 (dua) hasil kesepakatan yang tidak dapat terlaksana secara komprehensif, yaitu: kertas kerja 1: PLBL di Sungai Imam (Malaysia) dan Sungai Lamijung (Indonesia); dan kertas kerja 2: PLBD di Simanggaris (Indonesia) dan Serudong (Malaysia). Sebagaimana yang terlihat pada tabel di bawah ini: Tabel 2 Derajat Compliance Dalam Kesepakatan Sosek Malindo Kaltim-Sabah
Sumber: diolah dari berbagai data sekunder
Tidak terlaksananya 2 (dua) kesepakatan seperti yang tertulis pada tabel di atas lebih dikarenakan oleh perilaku pihak Malaysia yang tidak melakukan pembangunan di lokasi yang telah disepakati bersama. Kondisi tersebut tentu saja menunjukkan adanya perilaku non-compliance yang dilakukan pihak Malaysia terhadap hasil kesepakatan. Sementara di lain pihak, Indonesia telah berupaya maksimal untuk mematuhi hasil kesepakatan, dengan mewujudkan pembangunan Pos Lintas Batas Laut (PLBL) dan Pos Lintas Batas Darat (PLBD) di lokasi-lokasi yang telah ditentukan. ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
281 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Sonny Sudiar
Rampungnya pembangunan PLBL di Sungai Lamijung dan pembangunan infrastruktur pendukung seperti: jalan, drainase dan jembatan menuju PLBD di Simanggaris yang hingga saat ini masih terus dilakukan adalah bukti keseriusan pihak Indonesia dalam melaksanakan hasil kesepakatan. Rendahnya derajat kepatuhan (compliance) Malaysia dalam merealisasi hasil kesepakatan bisa jadi karena proyek pembangunan infrastuktur perbatasan bukan dari bagian kepentingan prioritas mereka. Sehingga terkesan ada indikasi perilaku yang cenderung menyepelekan proyek-proyek rencana pembangunan infrastruktur tersebut. Argumentasi ini diperkuat oleh bukti-bukti empirik yang terjadi di lapangan, bahwa tidak terdapat kemajuan yang signifikan pada proyek pembangunan infrastruktur PLBL di Sungai Imam maupun PLBD di Serudong. Lebih lanjut agar tidak muncul impresi negatif yang berkaitan dengan ketidakapatuhannya, pihak Malaysia kemudian berupaya untuk mengalihkan isu kesepakatan, dengan mencari alternatif solusi atas ditundanya/tidak jadinya pembangunan infrastruktur tersebut. Untuk permasalahan PLBL, pihak Malaysia membuat penawaran baru dengan membatalkan proyek pembangunan pelabuhan Sungai Imam, dan sebagai kompensasinya pihak Malaysia bersedia menaikkan nilai transaksi perdagangan di Pelabuhan Tawau. Motif yang melatarbelakangi perilaku ini tentunya adalah kepentingan ekonomi, karena dengan menaikkan nilai transaksi perdagangan merupakan peluang besar Malaysia untuk memasarkan produknya ke Indonesia. Khusus untuk kasus pembangunan fasilitas Pos Lintas Batas Darat (PLBD) di Serudong, setelah melakukan studi kelayakan pihak Malaysia menyimpulkan bahwa pembangunan PLBD di lokasi yang sudah disepakati tidak layak untuk dilaksanakan pada masa sekarang, dengan dalih bahwa dana yang dibutuhkan untuk pembangunannya sangat besar. Padahal masalah yang sebenarnya terletak pada persoalan restu dari pemerintah pusat, yang menilai proyek pembangunan infrastruktur di Serudong belum terlalu urgen untuk dilaksanakan sekarang. Sedangkan pihak Indonesia dalam hal ini adalah Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur telah berupaya untuk mematuhi semua hasil kesepakatan, dengan memenuhi semua kewajibannya yang telah diamanatkan dalam perjanjian. Ini mengindikasikan bahwa Indonesia adalah partisipan rezim perjanjian dengan derajat kepatuhan (compliance) yang tinggi. Namun bukan berarti Indonesia bertindak sempurna dalam mentaati perjanjian. Perilaku compliance Indonesia tersebut dapat dinilai sebagai sebuah kepatutan yang harus dilakukan, karena semua tawaran kerjasama yang terangkum dalam 7 (tujuh) kertas kerja tersebut merupakan usulan dari Indonesia. Sehingga bagi Indonesia alasan mentaati hasil kesepakatan selain sebagai upaya untuk mencapai kepentingan nasional, juga untuk alasan tanggung jawab moral selaku pihak yang mengusulkan, serta bentuk kesadaran Indonesia yang memahami bahwa rezim adalah norma yang harus dipatuhi (pacta sunt servanda).
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
282 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Rezim Kerjasama Sosek Malindo Kaltim-Sabah: Mengukur Derajat Compliance Partisipan Perjanjian
Kegagalan Rezim Sosek Malindo menciptakan Mekanisme Compliance Adanya hasil kesepakatan yang tidak dilaksanakan oleh salah satu partisipan perjanjian (dalam hal ini adalah pihak Malaysia) tentu saja tidak lepas dari eksistensi rezim kerjasama Sosek Malindo yang tidak mampu menciptakan mekanisme compliance dalam strategi pengelolaannya. Munculnya non-compliance dalam pelaksanakan hasil kesepakatan rezim Sosek Malindo Kaltim-Sabah, bukan hanya sekedar kurangnya tingkat kesadaran dari partisipan perjanjian. Akan tetapi juga lebih dikarenakan rezim Sosek Malindo tidak mengadung elemen-elemen mendasar yang dapat mempersuasi partisipan untuk mematuhi perjanjian, walaupun tanpa harus menggunakan instrumen sanksi. Merujuk pada argumentasi management school yang menegaskan bahwa strategi yang paing efektif untuk menciptakan perilaku compliance adalah dengan menggunakan metode/pendekatan persuasi. Metode ini membutuhkan tiga elemen penting, yaitu: transparency, dispute settlement, capacity building. Lantas bagaimana dengan keberadaan rezim Sosek Malindo Kaltim-Sabah dalam rangka menciptakan mekanisme compliance tersebut. Strategi apa yang dilakukan agar semua program kerjasama dapat terlaksana. Apakah rezim ini dipatuhi oleh para partisipannya. Dalam pelaksanaaan hasil kesepakatan transparansi adalah kata kunci bagi terciptanya compliance. Elemen transparansi yang dimaksud dalam rezim adalah diseminasi informasi tentang performa para partisipan perjanjian. Transparansi dapat mempengaruhi pola interaksi strategis antar partisipan dalam mematuhi (compliance) perjanjian. Elemen ini mampu memfasilitasi ruang kerjasama bagi para aktor untuk membuat kebijakan yang independen dalam norma perjanjian. Transparansi juga memberikan jaminan kepastian kepada para aktor yang mematuhi perjanjian bahwa aktor lain juga akan melakukan hal yang sama. Dia juga dapat berfungsi sebagai instrumen penangkal (deterrence) bagi aktor yang bertindak non-compliance. Jika diperhatikan dengan teliti dalam rezim kerjasama Sosek Malindo Kaltim-Sabah tidak ditemukan elemen transparansi tersebut. Hampir semua butir kesepakatan dibuat hanya berdasarkan pada muatan kepentingan masing-masing pihak. Sehingga ketika pada saat dieksekusi, pelaksanaan kesepakatan sering kali mengalami kendala seperti penundaan dan pembatalan, apalagi jika ternyata hasil kesepakatan tidak terlalu memberikan kontribusi yang signifikan bagi pencapaian kepentingan nasional masingmasing aktor. Seperti yang terjadi pada hasil kesepakatan tentang proyek pembangunan PLBL dan PLBD yang tidak dipatuhi oleh Malaysia. Padahal di lain pihak, Indonesia secara optimal telah menjalankan hasil kesepakatan. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa dalam perjanjian Sosek Malindo Kaltim-Sabah tidak mengandung butir kesepakatan yang dapat menjamin kepastian berjalannya hasil kesepakatan. Penjelasan selanjutnya menunjukkan bahwa kerjasama Sosek Malindo mempunyai ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
283 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Sonny Sudiar
struktur organisasi yang mapan. Dalam birokrasi organisasi terdapat agenda sidang yang dilaksanakan setiap tahun untuk membicara program-program kerjasama pembangunan di perbatasan, termasuk juga mendiskusikan perbedaan-perbedaan antara Indonesia dan Malaysia. Namun titik persoalannya terletak pada struktur organisasi Sosek Malindo ini yang memiliki mekanisme pengambilan keputusan yang sangat rumit dan panjang. Membutuhkan waktu yang lama dan proses yang panjang untuk bisa menghasilkan sebuah kebijakan atas permasalahan tertentu. Terhambat dan tertundanya realisasi dari program-program kerjasama yang disepakati dalam perjanjian Sosek Malindo disebabkan oleh mekanisme pengambilan keputusan yang panjang tersebut. Hal ini tentu saja memperlambat proses realisasi hasil kesepakatan Sosek Malindo di tingkat daerah seperti yang juga dialami oleh Kaltim dan Negeri Sabah. Akibat dari mekanisme pengambilan keputusan yang panjang tersebut berdampak pada manajemen compliance rezim, yang semestinya dapat terlaksana pada waktu yang telah direncanakan tapi harus tertunda karena harus menunggu restu dan persetujuan dari struktur sidang organisasi yang lebih tinggi. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa keterbatasan kapasitas partisipan dalam perjanjian internasional dapat menjadi kendala yang serius pada tataran implementasi kesepakatan. Limited capacity yang dimaksud adalah dalam hal kemampuan teknis, kapabilitas birokrasi, dukungan finansial, termasuk juga kewenangan. Kendala keterbatasan kapasitas ini dapat mempengaruhi mekanisme compliance pada sebuah rezim. Berkaitan dengan rezim Sosek Malindo Kaltim-Sabah, yang menjadi kendala utama adalah terbatasnya wewenang yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan Pemerintah Negeri Sabah. Kedua belah pihak menyadari bahwa bidangbidang kerjasama yang disepakati dalam forum KK/JKK Sosek Malindo Tingkat Provinsi Kaltim dan Negeri Sabah cenderung terlalu melebar dan melampaui kewenangan yang dimiliki oleh kedua belah pihak. Untuk isu pembangunan PLBL dan PLBD masing-masing pihak memang harus menunggu persetujuan dari pemerintah pusat karena memang merupakan domain kewenangan pemerintah pusat. Tidak terlaksananya kesepakatan pembangunan PLBL dan PLBD yang ada di wilayah perbatasan Malaysia dikarenakan pemerintah pusat Kuala Lumpur tidak memberikan restu/persetujuan. Sangat tidak mungkin memang bagi pemerintah Negeri Sabah untuk melanjutkan proyek pembangunan PLBL dan PLBD tanpa dukungan dari pemerintah pusat. Kondisi inilah yang mempengaruhi mekanisme compliance dalam implementasi rezim kerjasama Sosek Malindo.
Implikasi Kegagalan Terhadap Hasil Kesepakatan dan Perilaku Aktor Kegagalan rezim perjanjian kerjasama Sosek Malindo dalam menciptakan mekanisme compliance tentu saja berimplikasi serius terhadap pelaksanaan hasil ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
284 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Rezim Kerjasama Sosek Malindo Kaltim-Sabah: Mengukur Derajat Compliance Partisipan Perjanjian
kesepakatan. Implementasi program-program kerjasama pembangunan di daerah perbatasan dalam kerangka Sosek Malindo Kaltim-Sabah sering mengalami beberapa hambatan serius. Program kerjasama yang sudah dirancang dan sudah disepakati secara bersama-sama oleh kedua belah pihak tidak dapat berjalan secara efektif karena adanya compliance problem. Implikasi yang paling serius adalah tidak terpenuhinya beberapa hasil kesepakatan, seperti: tidak terrealisasinya rencana pembangunan PLBL di Sungai Imam, Malaysia dan pembangunan PLBD di Serudong, Malaysia. Dengan tidak terrealisasinya 2 (dua) hasil kesepakatan tersebut, maka dapat berpengaruh pada proses pelaksanaan program kerjasama yang lain. Ketidakmampuan rezim kerjasama Sosek Malindo untuk menciptakan mekanisme compliance dalam strategi pengelolaannya tidak hanya mempengaruhi efektifitas pelaksanaan program hasil kesepakatan kerjasama, akan tetapi juga berimplikasi pada perilaku masing-masing pihak yang memformulasi kesepakatan kerjasama. Perilaku Indonesia jauh lebih patuh dibandingkan dengan Malaysia, Indonesia menjalankan semua hasil kesepakatan sementara Malaysia tidak menjalankan beberapa hasil kesepakatan.
Kesimpulan Isu pembangunan di daerah perbatasan memang telah menjadi perhatian yang sangat serius pada level nasional. Bagi pemerintah Republik Indonesia pembangunan di daerah perbatasan berkaitan erat dengan misi pembangunan nasional, terutama untuk menjamin keutuhan dan kedaulatan wilayah, pertahanan dan keamanan nasional serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam rangka mewujudkan kepentingan tersebut, maka strategi yang dibutuhkan oleh pemerintah Republik Indonesia adalah dengan menjalin kerjasama internasional. Salah satu kerjasama internasional yang dilakukan adalah Sosek Malindo. Kerjasama Sosek Malindo merupakan salah satu bentuk kerjasama internasional yang memiliki makna strategis bagi kedua negara dalam upaya untuk mempercepat proses pembangunan di daerah perbatasan masing-masing negara. Dalam perkembangannya kerjasama Sosek Malindo tingkat daerah Kalimantan Timur dan peringkat Negeri Sabah menyepakati 7 (tujuh) kertas kerja yang meliputi: pembangunan PLBL, pembangunan PLBD, pencegahan dan penanggulangan kegiatan penyelundupan, hubungan sosial, bidang pendidikan, bidang kesehatan, bidang ekonomi dan perdagangan. Namun ada dua kertas kerja yang tidak terlaksana dengan sempurna, yaitu: kesepakatan tentang pembangunan PLBL di Sungai Imam dan PLBD di Serudong. Tidak terlaksananya 2 (dua) kesepakatan tersebut merupakan bentuk tindakan non-compliance yang dilakukan oleh pihak Malaysia. Perilaku Malaysia ini ditengarai adanya motif kepentingan. Bagi Malaysia membangun infrastruktur perbatasan berupa ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
285 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Sonny Sudiar
fasilitas PLBL dan PLBD bukan merupakan bagian dari kepentingan prioritas. Sementara di lain pihak, Indonesia telah memenuhi semua hasil kesepakatan kerjasama termasuk membangun fasilitas PLBL di Sungai Lamijung dan PLBD di Simanggaris. Perilaku compliance ini telah dibuktikan dengan merampungkan proyek pembangunan pelabuhan Sungai Lamijung yang ditetapkan sebagai PLBL di wilayah perbatasan Indonesia. Selain itu, Indonesia juga terus meningkatkan kualitas pembangunan infrastruktur pendukung (seperti: jalan, jembatan, drainase) yang menuju ke arah PLBD di Simanggaris.
Bibliografi Asaddin, Fuad. 2010. Hasil Pelaksanaan Rapat Teknis. (Online), (http:www. tastawima.com, diakses 26 Juli 2010). Asaddin, Fuad. 2010. Sinergitas Pengembangan Potensi. (Online), (http:www. tastawima.com, diakses 26 Juli 2010) Asaddin, Fuad. 2010. TOR Kerjasama Sosek Malindo perlu disempurnakan. (Online), (http:www. tastawima.com, diakses 25 November 2010) Banyu Perwita, Anak Agung & Yayan Gani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Rosda. Bappeda Kab. Nunukan. 2008. Profil Kabupaten Nunukan 2008. Pemerintah Kabupaten Nunukan Bappeda Provinsi Kaltim. 2009. Laporan Perkembangan Kerjasama Sosial Ekonomi Malaysia-Indonesia (Tingkat Daerah Kalimantan Timur-Peringkat Negeri Sabah. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. BPS Kab. Nunukan. 2009. Kabupaten Nunukan Dalam Angka 2009. Pemerintah Kabupaten Nunukan. Carlsnaes, Walter .Thomas Risse & Beth A. Simmons. 2002. Handbook of International Relations. London: SAGE Publication. Chayes, Abram & Antonia Handler Chayes. 1993. On Compliance. Dalam International Organization. Vol. 47 No.2 (Spring). University of Wisconsin Press, The MIT Press. (Online). (http:www.jstor.org) Chayes, Abram & Antonia Handler Chayes. 1995. The New Sovereignty: Compliance with International Regulatory Agreement. London: Harvard University Press. Cheboud, Elias & Hanafi Rais. 2010. Materi Perkuliahan Research Method. Tidak dipublikasikan. Direktorat Jenderal Kerjasama Asean. 2007. Asean Selayang Pandang. Departemen Luar Negeri RI, Jakarta. Farouk Ishak, Awang. 2003. Membangun Wilayah Perbatasan Kalimantan Dalam Rangka Memelihara dan Mempertahankan Integritas Nasional. Jakarta: Sinar Grfika. Haas, B. Ernst.1982. Word can hurt you; or, who said what to whom about regimes. Dalam International Regimes. London: Cornell University Press. ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
286 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Rezim Kerjasama Sosek Malindo Kaltim-Sabah: Mengukur Derajat Compliance Partisipan Perjanjian
Husein, Machnun. 1986. Etika Pembangunan dalam Pemikiran Islam di Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali. Irewati, Awani. 2005. Sikap Indonesia dalam Menghadapi Kejahatan Lintas Negara: Ilegal Logging di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Dalam Jurnal Politik, Vol.2 No. 1. Jakarta: LIPI. Jonsson, Christer & Jonas Tallberg. 1998. Compliance and Post Agreement Bargaining. Dalam European Journal of International Relations. London: SAGE Publications. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS. 2010. RPJNM 20102014, Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Jakarta. Koespramoedyo, Deddy dkk. 2003. Strategi dan Model Pengembangan Wilayah Perbatasan Kalimantan. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus & Tertinggal Deputi Bidang Otonomi Daerah & Pengembangan Regional BAPPENAS, Jakarta. Krasner, D. Stephen. 1984. International Regimes. London: Cornell University Press. Mingst, Karen. 1999. Essentials of International Relations. New York & London: Norton & Company. Murray, Neil & Geraldine Hughes. 2008. Writing Up Your University Assignment and Research Projects: A Practical Handbook. New York: MacGraw Hill, Open University Press. Olson, C. Olson & A.J.R. Groom. 1991. International Relations Then and Now: Origins and trends in interpretation. London: HarperCollins Academic. Puchala, J. Donald & Raymond F. Hopkins. 1992. International regimes: lessons from inductive analysis. Dalam International Regimes. London: Cornell University Press. Risalah Sidang ke-15 JKK/KK Sosek Malindo Peringkat Negeri Sabah-Tingkat Daerah Kalimantan Timur. Siburian, Robert. 2004. Kondisi Perkonomian Masyarakat Perbatasan: Entikong dan Nunukan. Dalam Masyarakat Indonesia: Majalah Ilmu-ilmu Sosial Indonesia, Jilid XXX, No. 2. Jakarta: LIPI. Singarimbun, Irawati. 1989. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: LP3ES. Wolfer, Loreen. 2007. Real Research: Conducting and Evaluating Research in the Social Sciences. Boston: Pearson Education Inc. Young, R. Oran. 1982. Regime dynamics: the rise and fall of international regimes. Dalam International Regimes. London: Cornell University Press.
Wawancara Adri Patton, Prof.DR. (Kepala BPKPPDT Provinsi Kalimantan Timur) Fuad Asaddin, M.Si (Kabiro Perbatasan Penataan Wilayah Prov. Kaltim) Hanafiah, SE (Kepala BAPPEDA Kabupaten Nunukan) Loiseana Benito, dr (Dokter Umum Puskesmas Sungai Nyamuk, Sebatik Induk) Putu Eko Prasetyo (Kasi Penindakan, Penyidikan Bea & Cukai, Kab. Nunukan) ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
287 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Sonny Sudiar
Rahmad, drg (Kepala Puskesmas Sungai Nyamuk, Sebatik Induk) Rinsan Siagian (Kasi Perbendaharaan Bea & Cukai, Kab. Nunukan) Samsul, SH (Kasubbag Kerjasama Perbatasan Kabupaten Nunukan)
(Footnotes) Keterangan ini disampaikan oleh Samsul, SH (Kasubbag Kerjasama Perbatasan Pemerintah Kabupaten Nunukan), hasil wawancara pada tanggal 10 November 2010 Untuk KK. Sosek Malindo Tingkat Daerah Provinsi Kalimantan Timur diketuai oleh Prof.DR.Adri Patton, M.Si (Kepala Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan, Pedalaman dan Daerah Tertinggal) yang baru saja menjabat menggantikan Drs. Abdussamad (Mantan Asisten I Sekprov. Kaltim) yang memasuki masa jabatan pensiun. Sedangkan untuk JKK Sosek Malindo Peringkat Negeri Sabah diketuai oleh Yang Berbahagia. Datuk Maznah BTE Abdul Ghani (Timbalan Setiausaha Kerajaan (1) Negeri Sabah.
1
2
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
288 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Sistem Pasca Westphalia, Interaksi Transnasional dan Paradiplomacy Abstract Understanding world history will lead to understand world life today. World politics or international relations experiences many periodical momentums along the centuries, from barbarian to institutionalized system in Westphalia Treaty, with a lot of historical facts such as colonialism, world wars and cold war. The further period is from Westphalian system to post Westphalian system, where international societies have changed dramatically. This article will explores the new world system nowadays, and the responds of local actors in transnational relations. Key words:
Pendahuluan
Takdir Ali Mukti Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
[email protected]
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Ketika Peer Schouten mengajukan pertanyakan kepada Joseph Nye Jr.: ’Dalam dunia internasional seperti apa, kita hidup saat ini?’, Nye menyatakan bahwa dewasa ini kita hidup di jaman hibrid. Sebagian dari dunia kita yang positif-normatif, serta berbasis pada ’kedaulatan negara’ adalah ’doktrin’ Westphalian, sedangkan di bagian lain adalah model post-Westphalia, yang di dalamnya aktor-aktor transnasional dan norma-norma hukum humaniter internasional menerabas melintasi batas-batas kedaulatan negara. Kedua bagian ini tampaknya masih akan terjadi untuk beberapa dekade ke depan, sehingga analisis positif dan normatif yang baik akan mencakup keduanya (Schoulten, 2008). Perjanjian Westphalia atau The Peace of Westphalia atau The Westphalia Treaty, tahun 1648, di Jerman, mengakhiri Perang Eropa selama 30 tahun, berhasil memancangkan tonggak sejarah bernegara secara modern dalam konsep nation-state dan menjadi permulaan bagi terjadinya sistem hubungan internasional secara modern, yang disebut sebagai Westphalian System (Osiander, 2001). Doktrin Westphalian hasil dari perjanjian ini ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
289 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Takdir Ali Mukti
meliputi prinsip penghormatan atas kedaulatan suatu negara dan hak untuk menentukan nasib sendiri suatu bangsa, kemudian prinsip kesamaan di depan hukum bagi setiap negara, dan prinsip non-intervensi atas urusan internal negara lain. Sebagaimana dikatakan oleh Watson bahwa Perjanjian Westphalia melegitimasi persemakmuran negara-negara berdaulat, yang menandai kemenangan negara dalam mengendalikan masalah-masalah internalnya, dan menjaga kemerdekaannya secara ekternal. Perjanjian ini banyak melahirkan aturan dan prinsip politik bagi negaranegara baru (Watson, 2009). Fakta historis tentang prinsip bernegara secara modern dalam The Westphalia Treaty ini bagi para penstudi ilmu hubungan internasional, terutama kalangan teoritisi realis-tradisionalis, dianggap merupakan titik awal terjadinya studi ilmu hubungan internasional modern. Gugatan terhadap pendekatan para realis-tradisionalis tak terbendung lagi seiring dengan semakin menyatunya sistem ekonomi dunia yang ditunjang dengan penyatuan sistem teknologi informasi dalam jaringan yang bersifat world wide. Demikian pula dengan perilaku masyarakat internasional yang semakin fleksibel, baik secara institusional maupun individual, untuk melakukan interaksi yang bersifat transnasional, dimana aktor-aktor pemerintahan lokal pun secara langsung ikut berinteraksi dengan pihak asing dalam kapasitasnya selaku sub-state actors, atau apa yang lebih dikenal sebagai paradiplomacy. Pertanyaannya adalah, bagaimana gambaran riil konstruksi hubungan antarbangsa saat ini, dan bagaimana aktor-aktor lokal dalam merespon interaksi transnasional itu?
Hubungan dan Kerjasama Internasional Dewasa Ini Para teoritisi konstruktivis dan praktisi hubungan internasional dewasa ini, lebih melihat bahwa era Westphalian Doctrines telah tidak relevan lagi dalam pergaulan masyarakat dunia yang sangat interns dan terbuka seiring dengan kemajuan teknologi informasi. Andreas Osiander menyatakan bahwa Westphalian System dengan konsep kedaulatannya sebagai pilar utama, telah menjadi perdebatan secara internasional. Pertanyaan mengenai apakah pilar-pilar sistem Westphalia telah rapuh saat ini, dan sistem internasional dewasa ini sedang bergerak ke arah beyond Westphalian (Osiander, 2001 253) Gugatan atas relevansi juga sangat terasa di tempat asal dari doktrin Westphalia tersebut, yakni di Eropa, yang telah mengarah pada terbentuknya masyarakat Uni Eropa yang menyatu secara ekonomi, politik dan kultural. Hal ini tergambar jelas dalam pidato Sekretaris General NATO, Dr Javier Solana dalam Symposium on the Political Relevance of the 1648 Peace of Westphalia, di Mnster, German, 12 November 1998, yang mengatakan bahwa: “It is my general contention that humanity and democracy - two principles essentially irrelevant to the original Westphalian order - can serve as guideposts in crafting a new international order, better adapted to the security realities, and challenges, of today’s ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
290 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Sistem Pasca Westphalia, Interaksi Transnasional dan Paradiplomacy
Europe. The Westphalian Peace, signed here in Mnster, was the first all-European peace after the first all-European war. It has shaped our thinking about the structure of the international system, and thus about war and peace, perhaps more than any other single event in the last 350 years. Yet the Westphalian system had its limits. For one, the principle of sovereignty it relied on also produced the basis for rivalry, not community of states; exclusion, not integration. In the end, it was a system that could not guarantee peace. Nor did it prevent war, as the history of the last three centuries has so tragically demonstrated.” (Nato, 1998) Solana berpandangan bahwa prinsip humanitas dan demokrasi merupakan dua prinsip yang secara esensial tidak relevan terhadap order Westphalia, lebih bisa diadopsi untuk menjadi acuan dalam membangun sistem internasional yang baru, sebab sistem Westphalia mengandung sejumlah kelamahan. Sistem Westphalia dibangun di atas fondasi kedaulatan mutlak sebuah negara yang memunculkan rivalitas satu sama lain, dan tidak menciptakan sebuah komunitas negara-negara atau komunitas internasional yang damai. Kedaulatan adalah sebuah esklusi sehingga tidak berfungsi intergrasi. Pada akhirnya, sistem Westphalia tidak mampu menjamin keamanan sebagaimana yang terjadi selama tiga abad lamanya. Mengapa Eropa menjadi sangat merasakan pergeseran sistem Westphalia ini, bahkan untuk yang pertama kalinya dibandingkan dengan belahan dunia yang lain? Hal ini tidak dapat dipisahkan dari perkembangan dramatis kerjasama ekonomi Eropa yang kemudian tumbuh menjadi Uni Eropa seperti sekarang ini, dimana batas-batas negara menjadi sangat kabur, dan bahkan oleh sebagian besar penduduknya dianggap sebagai ’pengganggu yang merepotkan’ mobilitas mereka saja. Intergrasi Eropa memunculkan gejala yang secara prinsip berlawanan dengan semangat Westphalian, yakni sebuah proses de-bordering the world of states, sebagaimana dikatakan oleh Hüsamettin Inanc dan Hayrettin Ozler: ‘Declining transaction costs and cost of organizational connections across national boundaries have increased the flow of information, capital, service, goods and people around the globe. This so-called globalization phenomenon is expected to close the gap between cultural, economic and political differences. Yet globalization does not always mean association between national political and economic societies or the emergence of a global society. The fact seems to be rather a process of ‘de-bordering the world of states’ in which the governments or the nation states diffuse to or ‘share’ their exclusive policymaking power with some international and sub-national actors. This conception signals the emergence of a novice political order beyond so-called the Westphalian system.’ (Inanc dan Ozler, 2007) Dalam pandangan Inanc dan Ozler, fenomena globalisasi yang terjadi karena peningkatan arus informasi, modal, layanan dan lalu lintas orang dan barang, ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
291 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Takdir Ali Mukti
diharapkan dapat menutup kesenjangan diantara perbedaan-perbedaan budaya, politik dan ekonomi antar bangsa, meskipun globalisasi tidak selalu berarti terjadinya kesatuan secara ekonomi dan politik masyarakat suatu negara. Fakta menunjukkan bahwa globalisasi lebih merupakan proses de-bordering atau proses peniadaan batasbatas negara diantara bangsa-bangsa di dunia, dimana negara-negara melakukan share atas otoritas esklusive pembuatan kebijakannya dengan aktor internasional dan juga dengan aktor-aktor sub-nasionalnya. Konsepsi tersebut memunculkan sebuah tatanan politik baru di luar apa yang biasa disebut sebagai Sistem Westphalia. Tatanan pasca sistem Westphalia yang cenderung mengabaikan batas negara atau de-bordering ini mendobrak pengertian ’hubungan internasional’ kovensional menjadi ’hubungan transnasional’ yang lebih kompleks, dan dalam batas-batas tertentu lebih partisipatif, sekaligus mengandung potensi konflik. Pemaknaan istilah ’international relations’ yang berarti hubungan ’antar bangsa’ (inter-nation), menjadi kurang mewadahi aktor-aktor ’non-negara’ (non-nation/state). Dalam kajian ini, Robert C. Keohane memberikan kontribusi terbesar dalam pengembangan teoritis transnasionalisme sejak tahun 1970-an. Dia secara kreatif tidak terjebak dengan issu dunia yang mainstream saat itu yakni Perang Dingin, namun pemikirannya merambah dunia lain yang lebih luas dan dan lebih realistis untuk membangun sebuah fondasi kompleks perdamaian dunia. Keohane memfokuskan karyanya pada issu-issu baru tentang ekonomi politik dunia yang menggeser masalah keamanan internasional, issu tentang aktor-aktor baru dalam hubungan antar bangsa yang tidak lagi ’state centric’, tapi berbagai aktor transnasional, issu tentang bentuk-bentuk interaksi internasional baru yang tidak lagi ’interstate relations’, melainkan transnasional dan ’transgovernmental relations’, issue tentang hasil-hasil baru dari kerjasama internasional yang tidak hanya berbicara tentang konflik antar bangsa, issu tentang struktur institusi internasional baru yang tidak sepenuhnya anarkhis, yang dia hepothesiskan secara provokatif bahwa struktur internasional baru itu akan kokoh setelah menurunnya hegemoni Amerika Serikat (Moravcsik, 2009). Pemikiran Keohane tersebut merupakan kritikan terhadap pendekatan realisme politik internasional yang sangat dominan pada waktu itu, dimana hubungan internasional digambarkan penuh dengan anarkhisme dan kecenderungan untuk ber-konflik. Keohane menemukan celah untuk membangun fondasi teoritik tentang struktur intitusi dan hubungan internasional yang lebih memberi peluang untuk berkembangnya hubungan damai antar bangsa. Dia berkeyakinan bahwa dengan semakinbermunculannya aktor-aktor baru dalam hubungan trasnasional, terutama terkait dengan issu-issu ekonomi-politik internasional, hubungan antarbangsa akan lebih cenderung untuk tidak bersifat konfliktual, tetapi hubungan yang saling memberi keuntungan atau positive sum. “The more fundamental implication of the existance of transnational relations is the following: State preferences about the management of world politics are a potentially ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
292 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Sistem Pasca Westphalia, Interaksi Transnasional dan Paradiplomacy
positive-sum variable, rather than a zero sum constant, as realists had claimed.” (Moravcsik, 2009) Keohane sangat mengapresiasi konsep tentang managemen konflik internasional yang diungkapkan oleh Thomas Schelling sebagai Strategy of Conflict, di mana caracara pemaksimalan potensi kerjasama internasional, secara rasional, akan dapat dicapai oleh para aktor hubungan internasional, dengan mengesampingkan pilihan untuk berkonflik. Keohane berpendapat bahwa regim atau tatanan internasional adalah sangat berharga bagi pemerintahan/negara-negara bukan karena mereka bisa memaksakan ikatan atas negara lainnya, melainkan karena mereka secara sadar melihat kemungkinan bagi pemerintahanya untuk membuat kesepakatan-kesepakatan yang saling menguntungkan satu sama lain. Mereka akan memberdayakan pemerintah mereka daripada membelenggunya. Kontribusi pemikiran Keohane yang kedua setelah optimisme positive-sum dalam hubungan transnasional ini adalah, bahwa hubungan kekuatan antar negara terbentuk bukan karena kepemilikan sumber-sumber kekuatan yang koersif, tetapi terbentuk dari keadaan yang asimetris terkait isu spesifik dalam hubungan yang saling bergantung antar bangsa. Dalam hubungan saling bergantung yang asimetris, semakin banyak sumber daya dimiliki oleh suatu negara, maka ia akan semakin kuat, namun sebaliknya, makin sedikit yang dimiliki, maka semakin lemahlah negara itu. Bargaining relations mungkin bisa relatif simetris seperti dalam kasus Jerman dan Perancis, dan mungkin juga menjadi asimetris misalnya antara Amerika Serikat dan Guatemala di masa yang lalu. Kontribusi pemikiran dari Keohane yang ketiga dalam teori transnasional adalah, mengenai peranan informasi sebagai elemen dasar dalam sistem internasional. Dia berpendapat bahwa, variasi dari sifat dasar dan distribusi informasi adalah suatu variabel sistemik dalam hubungan internasional (world politics) yang membantu menjelaskan kemampuan bangsa-bangsa dalam mengatasi masalah aksi-aksi bersama. Dengan memahami secara akurat peran yang dimainkan oleh kuantitas, kualitas dan distribusi dari informasi, maka kita dapat memahami dengan baik perilaku negara dalam hubungan internasional, daripada model pemahaman yang hanya mempreferensikan gagasan-gagasan tentang kekuatan (militer) dan strategi (Moravcsik, 2009). Lebih jauh, Keohane mengidentifikasi ada lima dampak dari terjadinya interaksi transnasional, yakni, pertama, terjadinya attitude change atau perubahan sikap, di mana interaksi antar masyarakat, individu secara langsung antar bangsa akan memberikan alternative sikap dan opini yang berbeda pada setiap orang. Demikian pula dengan jaringan komunikasi transnasional yang ditransmisikan secara elektronik baik dalam bentuk kata-kata, maupun gambar, akan mendorong terjadinya perubahan sikap tersebut. Kedua, terjadinya international pluralism. Yang dimaksud dengan tumbuhnya pluralisme internasional ini adalah semakin eratnya link-link jaringan antar kelompok ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
293 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Takdir Ali Mukti
kepentingan yang berbasis nasional yang mengembangkan jaringan ke tingkat transnasional, dan biasanya dengan melibatkan organisasi transnasional untuk pengkoordinasiannya. Ketiga, terbentuknya dependence and interdependence terutama yang terkait dengan transportasi dan keuangan internasional. Intergrasi sistem keuangan suatu negara ke dalam sistem keuangan global merupakan praktek dependency yang tidak dapat dipungkiri saat ini, sebab keterasingan dalam sistem keuangan ini dapat berakibat sangat serius bagi suatu negara. Sedangkan, kesalingtergantungan dapat dilihat dari kebijakan internasional terkait dengan lingkungan hidup dan global warming. Keempat, peningkatan sikap dari beberapa pemerintah dari negara tertentu untuk mempengaruhi negara lainnya. Di sini, interaksi transnasional dimanfaatkan oleh negara-negara tertentu untuk tujuan-tujuan politik, misalnya pariwisata internasional digunakan untuk aktifitas spionase, atau menanamkan rasa simpatik kepada etnis tertentu di negara lain, atau bahkan penumbuhan rasa simpatik terhadap agama tertentu, adalah contoh-contoh bagaimana melakukan penetrasi negara secara informal. Kelima, munculnya aktor-aktor otonom ‘non-state’ dalam hubungan internasional dengan membawa corak kebijakan luar negeri ‘swasta’ atau ‘private foreign policies’ yang kemungkinan akan bertabrakan dengan kepentingan/kebijakan negara atau paling tidak terdapat ketidak sinkronan dengan kebijakan negara. Aktor-aktor ini antara lain kongsi dagang internasional (trade unions), dan MNCs (Keohane dan Nye, 1971). Sifat hubungan internasional yang bercorak transnasional ini memang menjadi kecenderungan dunia setelah munculnya era globalisasi, maka tidak mengherankan jika pemikir seperti Quincy Wright memaknai hubungan internasional dengan pengertian yang sangat luas dan tidak terkungkung dengan pemikiran yang statecentris. Q. Wright menyatakan bahwa hubungan internasional melibatkan berbagai aktor, antara lain: “…varied types of groups- nation states, governments, peoples, regions, alliances, confederations, international organizations, even industrial organizations, cultural organizations, religious organization…” (Wright, 1998). Dengan beragamnya aktor hubungan internasional, baik state actors atau non-state actors, institusi maupun individu, serta kompleksnya interaksi transnasional yang terjadi di dalamnya, maka Keohane selaku peletak dasar-dasar pemikiran teoritis tentang transnasionalisme lebih memilih istilah ‘world politics’ daripada ‘international relations’, dengan makna yang lebih dinamis dan luas (Keohane, 2003).
Pemikiran Thomas C. Schellings tentang Theory of Interdependent Decisions Pemikiran Thomas C. Schelling tentang teori keputusan yang saling bergantung atau “The Theory of Interdependent Decisions”, yang untuk selanjutnya disingkat TID, secara khusus mendapat apresiasi dari Robert Keohane seperti telah disinggung ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
294 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Sistem Pasca Westphalia, Interaksi Transnasional dan Paradiplomacy
sebelumnya. Keohane sependapat dengan Schelling bahwa secara rasional dalam interaksi transnasional para aktor akan mengambil tindakan atau aksi yang bersifat positive sum. Teori ini terdapat variasi nama-nama sebutan lain, seperti Schelling’s Bargaining Theory, Strategic Theory, dan The Strategy of Conflict. Penulis secara sadar lebih memilih menggunakan sebutan “Theory of Interdependent Decisions” sebab istilah inilah yang diberikan oleh pencetusnya, yaitu Thomas C. Schellings sendiri (Dougherty, 1982). Sebelum mengkaji teori ini secara lebih jauh, terlebih dahulu akan dedefinisikan apa yang dimaksud dengan ‘Interdependent’. Menurut Richard Rosecrance dan Arthur Stein, pengertian istilah ini adalah : “Interdependence, in the most general sense, as consisting of a relationship of interests such that if one nation’s position changes, other states will be affected by that change” (Dougherty, 1982, hal 137). Adapun yang dimaksud dengan decisions dalam tesis ini adalah kebijakan yang diambil oleh para aktor hubungan internasional baik itu daerah otonom maupun pihak asing (IGO, INGO ataupun aktor-aktor lain). Kebijakan yang dipilih ini merupakan keputusan yang diambil di antara alternatif-alternatif kebijakan lain yang cukup mendapat dukungan dari komunitas yang melingkunginya. Kebijakan ini harus bersifat responsif terhadap perkembangan yang terjadi di lingkungan internasional yang melingkupinya. “Decisions” dalam hal ini disejajarkan dengan pengertian “Out Put” sebagaimana dimaksud oleh David Easton dalam teori sistemnya (Easton dalam Mas’oed, 1991). Setelah mendefinisikan istilah-istilah pokok di atas, sampailah kini pada pembicaraan mengenai inti dari Teori Keputusan Yang Saling Bergantung ini. Menurut Schellings, “Theory of Interdependent Decisions” (TID) ini mendasarkan diri pada pemikiran bahwa : “takes conflict for granted, but also assumes common interest between the adversaries; it assumes a ‘rational’ value-maximazing mode of behaviour; and it focuses on the fact that each participant’s ‘best’ choice of action depends on what the expects the other to do, and that ‘strategic behaviour’ is concerned with influencing another’s choice by working on his expectation of how one’s own behaviour is related to his” (Dougherty, 1982, hal 527). Terpapar jelas di sini, bahwa TID dilandaskan pada asumsi bahwa inheren dalam suatu konflik sebagaimna adanya, terdapat pula kepentingan bersama (common interests) di antara pihak-pihak yang terlibat, yang dianggap sebagai suatu bentuk pemaksimalan nilai rasional dari perilaku mereka yang bisa dicapai. Atau dengan kata lain, “common interests’ itu merupakan hasil upaya maksimal yang rasional guna mengakomodasikan konflik yang sedang terjadi di antara para aktor hubungan internasional. Pandangan ini berdasar pada kenyataan bahwa pilihan kebijakan terbaik ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
295 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Takdir Ali Mukti
dari setiap perilaku partisipan (aktor-aktor) adalah sangat tergantung dari apa yang mereka harapkan dari pihak lain. Pilihan kebijakan itu dimaksudkan pula untuk mempengaruhi agar perilaku pihak lain sesuai dengan yang diharapkan. Ada dua pokok pikiran penting dalam teori ini. Pertama, TID memandang konflik bukan semata-mata sebagai saling bersaing atau saling mengancam diantara pihakpihak yang terlibat saja, tetapi lebih merupakan suatu fenomena yang kompleks, yang di dalamnya antagonisme dan kerjasama sering berinteraksi secara samar dalam hubungan yang berlawanan. Pikiran Schelling ini merefleksikan suatu keyakinan bahwa dalam sebagian besar konflik internasional, misalnya masalah persaingan sumberdaya ekonomi luar negeri, penyelesaian yang bersifat zero sum game adalah tidak relevan. Pokok pikiran kedua dari TID adalah teori ini memandang bahwa penyelesaian yang bersifat rasional (kalkulatif) merupakan suatu tindakan yang pantas dan harus diupayakan semaksimal mungkin, meskipun, dalam berbagai kasus tidak semua penyelesaian dapat bersifat rasional. Dalam hal ini Schelling mengatakan : ‘It is not a universal advantage in situations of conflict to be inalienablyand manifestly rational in decision and motivation…It is not true, as illustrated in the example of extortion, that in the face of threat, it is invariably an advantage to be rational, particularly if the fact of being rational or irrational cannot be concealed’ (Dougherty, 1982, hal. 529). Nyatalah kiranya bahwa rational decision tidak selalu terdapat dalam setiap penyelesaian konflik ataupun pembuatan keputusan ketika menghadapi ancaman. Penyelesaian rasional harus tetap diupayakan terlebih dahulu sebagaimana diyakini sendirti oleh Schelling terutama untuk menyelesaikan masalah-masalah tertentu seperti konflik/masalah ekonomi yang menuntut rasionalitas yang tinggi. Sumbangan terbesar dari TID dalam menyelesaikan masalah-masalah internasional antara para aktor hubungan antarbangsa adalah perlunya menghindarkan penyelesaian konflik internasional secara extrem atau frontal. Formulasi penyelesaian yang bersifat zero sum game oleh TID diganti menjadi jenis penyelesaian yang bersifat kolaborasi murni (pure collaboration) yang di dalamnya para pihak yang berkonflik berusaha semaksimal mungkin untuk mencari celah kerjasama secara rasional sehingga melahirkan spiral harapan-harapan yang saling berbalasan (spiral of reciprocal expectation) guna memformulasikan penyelesaian yang acceptable atas konflik internasional yang terjadi. Relevansi TID dalam menganalisa penyelesaian masalah antar para aktor hubungan internasional adalah sesuai dengan dua pokok pikiran yang ditawarkan TID di atas, pertama, jenis penyelesaian masalah secara non zero sum game dengan mendorong para aktor untuk melakukan pure collaboration sangat sesuai untuk menganalisa kunci persoalan antar para aktor hubungan internasional yaitu masalah ekonomi atau ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
296 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Sistem Pasca Westphalia, Interaksi Transnasional dan Paradiplomacy
perebutan sumber-sumber ekonomi luar negeri. Kedua, TID menawarkan bahwa dalam penyelesaian masalah antara para aktor hubungan internasional mendorong upaya pemaksimalan penyelesaian konflik secara rasional, betapun menurut TID ini pula, hal ini tidak dapat berlaku secara mutlak. Jadi, penggunaan TID dalam menganalisa masalah konflik antar para aktor hubungan internasional ini, diharapkan dapat memberikan arah sekaligus sifat penyelesaiannya yaitu pure collaboration dan rational decision. Sebuah optimisme baru di tengah pergaulan dunia yang lebih beradab dan kompleks. Di samping itu, Keohane juga mengajukan tiga kriteria untuk mengelola resolusi konflik antar negara dan konflik transnasional, yakni ‘independence’, ‘access’ dan ‘legal embeddedness’ di mana lembaga-lembaga internasional memiliki sifat pengambilan keputusan yang mandiri tanpa ada dominasi politik, tekanan luar atau pun ancaman militer dari negara mana pun (individual national governments), serta keterbukaan akses bagi setiap negara untuk menjadi pengambil keputusan, dan adanya keterikatan hukum diantara para aktors transnasional untuk saling mengotrol dan melakukan penegakkan aturan (Keohane, 2000).
Paradiplomacy, Geliat Lokal dalam Interaksi Global Paradiplomasi secara relatif masih merupakan fenomena baru dalam kajian hubungan internasional. Paradiplomasi mengacu pada perilaku dan kapasitas melakukan hubungan luar negeri dengan pihak asing yang dilakukan oleh entitas sub-state, dalam rangka kepentingan mereka secara spesifik (Wolff, 2009). Dalam konteks ini, aktor sub-negara diperankan oleh pemerintahan regional atau lokal yang secara tradisional bertindak sebagai aktor dalam negeri. Namun, pada era transnasional, pemerintah regional juga melakukan interaksi yang melintasi batasbatas negara mereka, dan dalam taraf tertentu, mereka juga menyusun kebijakan kerjasama luar negerinya, yang dalam banyak kasus, tidak selalu berkonsultasi secara baik dengan pemerintah pusat. Fenomena pemerintah regional membangun hubungan internasional ini sangat tampak di Negara-negara industri maju di Barat, seperti di Flander-Belgia, Catalonia-Spanyol, the Basque Country, Quebec-Canada (Lecours, 2008). Terkait bangkitnya geliat partisipasi pemerintah local atau daerah otonom untuk berkiprah secara initernasional ini, Stefan Wolff, lebih lanjut mengatakan; ‘The participation of autonomous entities in the international arena indicates that the very notion of sovereignty has fundamentally changed. It can no longer be conceptualised in the exclusive state-only terms of the Westphalian system. For states to enjoy sovereignty to its fullest possible extent and for their populations to benefit from it, states have to share their powers with other players in the international arena. The example of paradiplomacy, however, also clearly indicates that states remain the ultimate bearers of sovereignty: paradiplomacy is, at best, a competence devolved to autonomous entities ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
297 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Takdir Ali Mukti
and hence it is the sovereign state that decides how much of its power it shares’ (Wolff, 2009, hal. 13). Dengan terlibatnya pemerintah lokal dalam melaksanakan hubungan dengan pihak luar negeri, maka itu mengindikasikan bahwa pemikiran paling mendasar tentang kedaulatan Negara telah berubah secara fundamental. Sistem Westphalia yang meletakkan kedaulatan secara penuh pada pemerintah pusat, harus rela shar’ dengan pemerintah daerah dalam aktifitas internasionalnya. Seberapa besar share kedaulatan itu, tentu akan berbeda-beda tiap negara. Studi yang dilakukan oleh David Criekemans menunjukkan bahwa di negaranegara maju, hubungan pusat dan daerah dalam share kedaulatan di bidang hubungan internasional ini ada dua kecenderungan, yakni ada yang bersifat kooperatif dan ada pula yang konfliktual. Paradiplomasi yang dipraktikkan oleh Flanders, Wallonia, dan Bavaria cenderung kooperatif dengan pemerintah pusat, meski masih ada kesan kompetitif, sedangkan interaksi luar negeri yang dilaksanakan oleh Scotland dan Catalonia cenderung konfliktual (Criekemans, 2008). Dalam konteks Indonesia, paradiplomasi telah diberi ruang yang cukup leluasa oleh pemerintah pusat, terutama setelah adanya era otonomi daerah. Hal ini bisa dibuktikan dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudoyono di depan para pengusaha Australia, di Canberra, Australia, 11 Maret 2010, mengatakan bahwa,” silakan para pengusaha Australia menghubungi dan menjalin komunikasi dengan pemerintah daerah (kabupaten/kota dan provinsi) di Indonesia, terutama para Gubernur untuk mengadakan investasi di Indonesia. Kalau ada kesulitan silakan menghubungi para menteri terkait,” (Kompas, 12 Maret 2010). Jalinan kerjasama Pemda dengan pihak asing ini ditegaskan oleh Presiden SBY karena disadari sepenuhnya bahwa tanpa kerjasama dengan investor asing atau pihak asing lainnya seperti pemerintah asing dan organisasi/foundation asing, pertumbuhan ekonomi daerah akan sulit didorong untuk berkembang lebih cepat. Pernyataan Presiden tersebut memang dilandasi oleh undang-undang yang memberikan peluang bagi daerah untuk melakukan kerjasama dengan pihak asing. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, kewenangan daerah otonom untuk melakukan kerjasama luar negeri ini terdapat dalam pasal 42 ayat (1), bahwa DPRD mempunyai tugas dan wewenang untuk memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Ditegaskan pula dalam penjelasan pasalnya bahwa selain sister city/province, Pemda juga dapat membuat perjanjian kerjasama teknik termasuk bantuan kemanusiaan, kerjasama penerusan pinjaman/hibah, kerjasama penyertaan modal dan kerjasama lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kerjasama luar negeri oleh daerah otonom jika dilihat dari sudut pandang studi hubungan internasional, secara teoritis, merupakan hubungan yang tidak lagi bersifat ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
298 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Sistem Pasca Westphalia, Interaksi Transnasional dan Paradiplomacy
state-centris di mana aktor-aktor non-pemerintah dapat secara leluasa mem-by pass hubungan dengan tanpa melibatkan pemerintah pusat. Hal ini disebabkan adanya perbedaan sistem hukum yang berlaku di NKRI dengan hukum yang berlaku di negara asing yang akan bekerjasama, dimana beberapa gubernur/walikota dari negara asing dapat langsung membuat/menandatangani kerjasama internasional tanpa ‘full power’ dari pemerintah pusatnya (contoh Propinsi Geongsangbuk-Do dan Chungnam-Do di Korea Selatan, Provinsi/Kota-kota di Cekoslovakia, serta Negara Bagian California, USA). Dalam hubungan yang ‘non-state centris’ ini, aktor-aktor dapat berwujud INGO, foundation, kelompok kepentingan ekonomi, perusahaan multinasional dan bahkan bagian-bagian dari birokrasi pemerintah suatu negara (pemda). Dalam pelaksanaan kerjasama luar negeri oleh daerah otonom atau paradiplomasi di Indonesia terdapat beberapa masalah utama, antara lain; pertama, terdapat kerancuan hukum nasional yang mengatur kewenangan ini terutama terkait dengan kewenangan interdepartemental yang harus menangani, yakni overlap antara kewenangan Kementerian Luar Negeri dengan Kementerian Dalam Negeri. Masingmasing memproduk aturan hukum yang berbeda untuk pemerintah daerah sehingga mempersulit koordinasi vertikal. Kedua, terdapat desentralisasi asimetris di Indonesia, yakni perbedaan antara Provinsi Aceh dan Papua yang perlakuan prossedurnya tidak sama dengan pemerintah daerah/provinsi lainnya. Ketiga, kesiapan daerah yang belum prima, terutama terkait dengan sumberdaya insani birokrasi dan pembeayaan aktifitas kerjasama luar negeri yang relatif besar.
Penutup Hubungan transnasional yang mewarnai sistem interaksi masyarakat dunia pasca regim Westphalia memiliki karakter yang lebih partisipatif bagi semua aktor internasional, baik pada tingkat negara, maupun lokal, institusional atau pun individual. Spirit positive sum dan pure colaboration, yang diajukan sebagai transnational values, akan lebih memberikan pengharapan bagi terciptanya dunia yang lebih beradab. Interaksi transnasional yang memunculkan aktor-aktor sub state dalam menjalin aktifitas paradiplomasi, tidak serta merta menghapuskan sendi utama kedaulatan negara, namun melahirkan sebuah tuntutan untuk pengaturan lebih lanjut tentang komitmen negara untuk melakukan share kedaulatan dalam batas-batas konstitusinya. Di sinilah, pada praktik paradiplomasi di negara-negara maju, fakta tentang tarik ulur pembagian kedaulatan itu terjadi. Dalam konteks Indonesia, paradiplomasi masih merupakan praktek berpemerintahan yang baru sehingga memerlukan perangkat yuridis yang jelas di tengah pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah saat ini.
Referensi Criekemans, David, ‘Are The Boundaries between Paradiplomacy and Diplomacy Water○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
299 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Takdir Ali Mukti
ing Down?’, hal. 12-13, University of Anwerp and Flemish Centre for International Policy, Belgium, July 2008 Dougherty, James E. dan Pfaltzgraff, Robert L., Jr., ‘Contending Theories of International Relations’,, hal. 527, Harper and Row, Publishers, New York, 1982 Easton, David, ‘An Approach to the Analysis of Political System’, dalam Mohtar Mas’oed, Perbandingan Sistem Politik, Gadjah Mada Univ. Press, YK, Tahun 1991, hal. 5 Inanc, Hüsamettin dan Ozler, Hayrettin, dalam, ‘Democratic Deficit in EU: Is there an institutional solution to over-institutionalization?’ Alternatives: Turkish Journal of International Relations, Vol. 6, No.1&2, hal. 127, Turkey, Spring & Summer 2007 Jackson Robert, dan Sorenson, Georg dalam, ‘Introduction to International Relations’, Oxford University Press Inc., New York, 1999. Dalam edisi Bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Dadan Suryadipura, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2009 Keohane, Robert, ‘Power and Governance in a Partially Globalized World’, hal 2-40, Rouledge, London, 2002 Keohane, Robert, and Nye, Joseph S. Jr., ‘Transnational Relations and World Politics’, hal. 337-341, Summer 1971. Published by International Organization Vol. 3, No. 3, JSTOR, USA, 2003 Keohane, Robert, ‘Theory of World Politics: Structural Realism and Beyond’, hal. 165, dan hal. 195-196, International Organization, JSTOR, 2003 Keohane, Robert, Anne-Marie Slaughter, ‘Legalized Dispute Resolution: Interstate and Transnational’, International Organization 54, 3, hal. 457-460, The IO Foundation and Massachusetts Institute of Technology, USA, Summers 2000 Lecours, André, ‘Political Issues of Paradiplomacy: Lessons from the Developed World’, Hal. 1, Netherlands Institute of International Relations ‘Clingendael’, December 2008, Moravcsik, Robert, ‘Robert Keohane: Political Theorist’,dalam ‘Power, Interdependence, and Nonstate Actors in World Politics’,Helen V. Milner dan Andrew Moravcsik (Editor), Chapter 3, hal 244, Princeton University Press, Princeton and Oxford, 2009 Osiander, Andreas, ‘Sovereignty, International Relations and Westphalian Myth’, International Organization 55, hal. 251, The IO Foundation and Massachusetts Institute of Technology, USA, Spring 2001 Stefan Wolff, ‘Paradiplomacy: Scope, Opportunities and Challenges’, hal. 1-2, dan 13, University of Nottingham, 2009 Wright, Quincy, The Study of International relations, seperti dikutip dalam bukunya Suwardi Wiriaatmaja, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Penerbit Pustaka Tinta Mas, Bandung, 1988 Kompas, 12 Maret 2010 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, SETNEG, Tahun 2004 http://www.nato.int/docu/speech/1998/s981112a.htm ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
300 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Sistem Pasca Westphalia, Interaksi Transnasional dan Paradiplomacy
http://www.theory-talks.org/2008/05/theory-talk-7.html. Theory Talks is an initiative by Peer Schouten and is registered as ISSN 2001-4732 | 2008-2012. Beberapa wawancara Theory Talks telah diterbitkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul “Theory Talks, Perbincangan Pakar Sedunia Tentang Teori Hubungan Internasional Abad Ke-21”, Editor: Bambang Wahyu Nugroho dan Hanafi Rais, PPSK dan LP3M UMY, Yogyakarta, 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
301 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
The Arab Spring 2010: Puncak Gunung Es Krisis Politik di Kawasan Timur Tengah Abstract Since 2010, number of political uprisings took place in the Arab countries which so called The Arab Spring (atThawrât al-‘Arabiyyah). The fall of regimes such as in Tunis, Egypt, and Libya, following the massive resistance of people was actually reflect the crisis of legitimacy and the weakness of authority of many political leaders in the region. Moreover, the loyalty of many people in the Arab countries to their leaders was also problematic decision when it has to deal with their primordial affiliations such as ashabiyah, wathanniyah, qaummiyah and ummah. The Arab Spring is a very important political movement which taught us lessons that both leadership and national character building are unfinished and will never be end as a process. This phenomenon also emphasized the importance of political system to be adaptive to the dynamic of domestic political situation and international atmosphere as well. The failure to adapt towards such conditions will causes to the fall of the ruling power. Keywords: crisis of legitimacy, national building, adaptive political system
Pendahuluan
Sidik Jatmika Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Muammar Khaddafi, Pemimpin Besar Revolusi Rakyat yang telah memimpin Libya selama 42 tahun (1969-2011) akhirnya tewas dengan cara tragis setelah ditembak kepala dan kedua kakinya. Saat ditemukan hidup-hidup oleh pasukan pemberontak yang tergabung dalam Dewan Transisi Nasional (NTC) ia tengah bersembunyi di sebuah lubang di bawah tanah dan sempat memohon, “Jangan tembak! Jangan tembak!” Penembakan terhadap Khaddafi terjadi tidak lama setelah kejatuhan Sirte ke tangan tentara revolusioner (Ramadhanny, 2011). Nasib Khaddafi kian tragis, karena jenazahnyapun tidak diperlakukan dengan cara layak. Dalam kondisi yang hampir membusuk setelah hampir sepekan dipamerkan di sebuah pasar di Sirte, akhirnya jenazah mantan pemimpin Libya Muammar Khaddafy dimakamkan dalam sebuah upacara sederhana di padang gurun yang dirahasiakan. ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
302 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
The Arab Spring 2010: Puncak Gunung Es Krisis Politik di Kawasan Timur Tengah
Tragedi Khaddafi telah memperpanjang deretan kisah tragis yang menimpa beberapa pemimpin Arab pada dekade kedua abad ke-21 ini. Sebelumnya, nasib serupa menimpa Presiden Tunisia Zine Al-Abidine Ben Ali. Pemimpin yang telah berkuasa 23 tahun itu, akibat Revolusi Yasmin, akhirnya melarikan diri ke luar negeri pada tanggal 14 Januari 2010. Hal serupa juga terjadi pada Presiden Mesir Husni Mubarak. Setelah kewalahan menghadapi demonstrasi rakyat selama 18 hari, Presiden Mubarak akhirnya mundur pada tanggal 11 Februari 2011 dan kemudian diadili.1 Mengapa berbagai tragedi maupun krisis kepemimpinan yang terjadi pada beberapa pemimpin Arab tersebut penting untuk dikaji para pengamat politik di Indonesia? “Jauh di mata dekat di hati” adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan hubungan yang memiliki karakter khas dari waktu ke waktu antara Indonesia dengan bangsa Arab. Artinya, apapun yang terjadi pada bangsa Arab seolah begitu mudah menyentuh syaraf kesadaran bangsa Indonesia. Baik sekedar dukungan, kecaman bahkan juga pengiriman relawan. Bahkan banyak di antara anak bangsa Indonesia yang mengidolakan gaya para pemimpin Arab. Karena itulah, maka bahasan ini memiliki daya tarik tersendiri. Apakah guncangan terhadap kepemimpinan Khaddafi, Zine Al-Abidine Ben Ali dan Husni Mubarak pada tahun 2010 terjadi secara tiba-tiba ataukah sesungguhnya merupakan hasil akumulasi dari berbagai proses politik sebelumnya? Untuk menjawabnya, tulisan ini akan menelusuri sejarah dinamika proses gelombang demokratisasi dunia dan dampaknya terhadap kawasan Timur Tengah dari waktu ke waktu. Setelah itu akan dikupas fenomena Arab Springs yang terjadi sejak tahun 2010.
Dinamika Gelombang Demokratisasi Dunia di Kawasan Arab Samuel P. Huntington, seorang ilmuwan politik Amerika, menulis tesis mengenai tahapan atau gelombang demokratisasi. Gelombang demokratisasi adalah sekelompok transisi dari rezim-rezin non-demokratis ke rezim-rezim demokratis yang terjadi dalam kurun waktu tertentu dan jumlahnya secara signifikan lebih banyak daripada transisi menuju arah sebaliknya. Sebagian gelombang juga biasanya mencakup liberalisasi atau demokratisasi, sebagian pada sistem-sistem politik yang tidak sepenuhnya menjadi demokratis (Huntington, 1993; Markoff, 2002). Gelombang Demokratisasi Pertama terjadi di Barat pada paruh pertama abad ke17. Dimulai dengan revolusi di Inggris pada 14 Januari 1638 yang melahirkan The Fundamental Orders of Connecticut, yang disetujui warga kota Hartford dan kota-kota lainnya yang berdekatan. Gelombang Demokrasi Pertama (1828-1926), oleh Huntington, dirujuk dan dikaitkan dengan Revolusi Prancis dan Revolusi Amerika. Kemunculan lembaga demokrasi nasional sesungguhnya merupakan fenomena abad ke-19 dimana terjadi perkembangan lembaga demokrasi di berbagai negara. Gelombang Demokrasi Pertama yang panjang ini pada awal abad ke-20 sempat ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
303 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Sidik Jatmika
berbalik arah. Hal itu terutama ditandai dengan bangkitnya rezim yang berideologi komunis, fasis dan militeristis ditambah dengan terjadinya perang yang berkedok menyelamatkan demokrasi dunia ternyata malah sebaliknya justru membangkitkan gerakan-gerakan ekstrem kanan maupun kiri yang ingin menghancurkannya. Oleh Huntington, gelombang balik ini terjadi tahun 1922-1942. Di kawasan Timur Tengah, pasca Perang Dunia I (1914-1918), ditandai dengan runtuhnya Khilafah Islamiyah yang berpusat di Istambul dan lahirnya beberapa pemerintahan maupun negara-nasional (nation-state) yang baru. Misalnya Republik Turki, Kerajaan Hejaz, Kerajaan Nejd, dll (Ochsenwald & Fisher, 1979). Gelombang demokrasi kedua, dicatat Huntington, berlangsung pasca Perang Dunia II, di mana Indonesia juga muncul sebagai negara baru yang lepas dari kolonialisasi. Pendudukan sekutu atas beberapa negara melahirkan lembaga-lembaga demokrasi di Jerman Barat, Italia, Austria, Jepang dan Korea. Turki dan Yunani pada 1940 dan 1950 telah bergerak kearah demokrasi. Begitu pula di Amerika Latin, Uruguay, Brasil dan Kostarika (1940) bergeser ke sistem demokrasi. Pemilu di negara-negara Argentina, Kolombia, Peru, dan Venezuela (1945-1946) melahirkan pemerintahan pilihan rakyat, meskipun Argentina dan Peru bergerak kembali ke arah demokrasi terbatas yang tidak stabil, karena adanya konflik antara pihak militer dengan gerakan Aprista dan Peronista yang sangat populer pada akhir dasa warsa 1950. Di kawasan Timur Tengah lahir beberapa pemerintahan baru maupun negara-nasional baru. Misalnya, terbentuknya Republik Syria dan Libanon(1941) serta pemerintahan Republik Arab Mesir (1947) dan lain-lain. Gelombang demokrasi kedua yang pendek segera diikuti oleh gelombang balik sekitar tahun 1958-1975. Gelombang balik kedua dimulai dengan apa yang terjadi di Peru pada tahun 1962 ketika pihak militer ikut campur tangan untuk merubah hasil pemilu yang menghasilkan pemimpin dari luar militer yang juga digulingkan oleh militer pada tahun 1968. Ayunan gelombang balik kedua di seluruh dunia pada tahun 1962 mencatat sebanyak 13 pemerintahan di dunia merupakan hasil kudeta, sedangkan pada tahun 1975 tercatat 38 pemerintahan juga hasil kudeta yang sama. Menurut hasil perhitungan yang lain, sepertiga dari 32 negara yang merdeka pada tahun 1958 telah berubah menjadi negara yang otoriter menjelang pertengahan dasa warsa 1970-an. Timur Tengah, di era ini antara lain diwarnai dengan Revolusi Rakyat Libya pimpinan Moamar Khaddafi (1969) dan Revolusi Irak pimpinan Saddam Hussein (1971). Gelombang demokratisasi ketiga adalah proses demokratisasi yang berlangsung sejak tahun 1974. Bermula dari Revolusi Mawar di Portugal, gelombang demokrasi ini dalam kurun waktu 5 tahun bergerak ke Spanyol melintasi Eropa Selatan. Setelah itu melanda Amerika Latin dan menuju Asia serta kembali lagi ke Eropa menghancurkan sebagian besar rezim Blok Timur menyusul usainya Perang Dingin akhir tahun 1990-an. ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
304 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
The Arab Spring 2010: Puncak Gunung Es Krisis Politik di Kawasan Timur Tengah
Demokratisasi gelombang ketiga dimulai dengan faktor penyebab yang lebih kompleks dibandingkan dua gelombang terdahulu. Empat di antaranya adalah melemahnya legitimasi rejim otoriter, perkembangan di sektor ekonomi, dampak dari proses serupa di kawasan (snowball effect), dan tekanan dari luar. Huntington memberi sebutan gelombang ketiga (third wave) untuk proses demokratisasi yang terjadi mulai pertengahan 1970-an sampai awal 1990-an. Di kawasan Timur Tengah, gelombang ini antara lain ditandai dengan munculnya Revolusi Republik Revolusioner Islam Iran (1979) pimpinan Ayatollah Ruhollah Khomeini menggulingkan kekuasaan Shah Mohammad Reza Pahlavi. Revolusi adalah hal yang didambakan oleh segenap rakyat Iran pada tahun 1979. Hal ini dilatar belakangi faktor akumulasi ketidakpuasan dan kekecewaan rakyat Iran pada umumnya terhadap kinerja pemerintah / rezim pimpinan Shah Reza Pahlevi yang berkuasa pada kala itu. Tingkat inflasi yang tinggi, peningkatan infrastuktur yang tidak seimbang antara pusat dan daerah, jurang pemisah antara si kaya dan si miskin yang terlalu lebar, tuntutan kaum terpelajar akan liberalisasi dan kebebasan akan hak-hak sipil dipandang sebagai titik pemicu revolusi tersebut. Meskipun resiko yang akan dihadapi rakyat akibat revolusi cukup tinggi, rakyat Iran tampaknya cukup siap untuk membayar mahal konsekuensinya. Perubahan tatanan secara radikalpun tak dapat dielakkan lagi. Demonstrasi pertama menentang Shah dimulai dengan aksi sekumpulan mahasiswa Islam pada Januari 1978. Kerajaan Shah mengerahkan tentara untuk membubarkan demonstrasi dan keputusan ini menyebabkan beberapa mahasiswa terbunuh. Kekerasanpun kembali pecah Pada 18 Februari, tepat 40 hari tewasnya para demonstran yang terbunuh (http://ms.wikipedia.org/wiki/ Revolusi_Iran#Latar_Belakang_Revolusi). Terjadi beberapa demonstrasi di seluruh Iran untuk memberi penghormatan kepada korban mahasiswa-mahasiswa itu dan juga untuk memprotes kekejaman Shah. Akhirnya, bentrokan terjadi di Tabriz dan ratusan pengunjuk rasa terbunuh. Hal yang sama turut terjadi pada 29 Maret dan kali ini di seluruh Iran. Kebanyakan bangunan-bangunan pemerintah rezim Shah dirobohkan dan dimusnahkan, dan sekali lagi, ratusan nyawa menjadi korban. Aksi yang tadinya hanya dilakukan oleh beberapa gelintir mahasiswa berubah menjadi gelombang perlawanan masyarakat Iran yang selama ini memendam kekesalan terhadap rezim Pahlevi. Saat itu Pahlevi sadar bahwa ia sedang menghadapi situasi revolusi, banyak pihak yang ingin dirinya terguling dari kursi kepemimpinan. Menyadari hal ini, iapun meminta bantuan kepada Amerika Serikat untuk menyokongnya. Amerika ketika itu memiliki kepentingan sangat besar di Iran, karena Iran adalah salah satu Negara yang kaya akan sumber minyak, selain itu posisi Iran dipandang sangat strategis mengingat Amerika sedang terlibat perang dingin dengan Uni Soviet. Awalnya Amerika optimis Pahlevi mampu mengatasi masalah ini dan menyatakan hal ini hanya ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
305 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Sidik Jatmika
maneuver politik para oposisi. Tetapi dengan semakin besarnya arus ketidakpuasan serta semakin banyaknya masyarakat yang turun ke jalan, Amerika berpendapat bahwa image Pahlevi sudah hancur dan tidak dapat diselamatkan lagi. Pahlevi harus segera turun tahta dan menyiapkan calon pengganti dirinya/suksesornya untuk meredakan revolusi ini. Tetapi rencana tersebut tak pernah terwujud karena Ayatollah Khomeini mengambil alih kekuasaan untuk memerintah Iran dengan bantuan rakyat (Encarta Premium 2007). Ayatollah Ruhollah Khomeini, sebagai pemimpin revolusi dengan gelar Vilayat al Faqih menyerukan 4 Program Revolusi, yaitu: 1. Menyiapkan Revolusi 2. Gulingkan rezim lalim, Shah Reza Pahlevi 3. Bentuk pemerintahan Republik Revolusioner Islam Iran 4. Mengekspor Revolusi Revolusi Iran sebenarnya dimulai pada awal tahun 1977, ketika unjuk rasa hakhak sipil yang dilakukan oleh para penulis dan pengacara mulai menuntut kebebasan yang lebih. Takut mereka akan menggulingkannya, maka elit pemerintah memperkenalkan reformasi dari atas untuk mencegah revolusi dari bawah. Shah yang mengumumkan adanya reformasi, termasuk persidangan majelis (parlemen). Betapapun juga, reformasi ini jauh dari menyelesaikan masalah, justru membuka jalan untuk menggulingkan pemerintahan Shah (Jatmika, 2000: 111-124). Pada tanggal 8 September 1978 (Jum’at Kelabu) para serdadu melakukan pembantaian atas ribuan demonstran di Teheran. Sebagai jawabannya, para buruh melakukan pemogokan. Pemogokan itu adalah percikan yang menyulut dinamit yang telah terpasang di seluruh pelosok negeri. Pada tanggal 9 Spetember 1978, para pekerja kilang minyak di Teheran mengeluarkan seruan pemogokan untuk mengungkapkan solidaritas terhadap pembantaian yang dilakukan sehari sebelumnya dan menentang diberlakukannya undang-undang negara dalam keadaan bahaya. Tepat pada keesokan harinya, pemogokan telah menjalar luas seperti api yang tidak bisa dijinakkan ke Shiraz, Tabriz, Abdan dan Isfahan. Para buruh penyulingan minyak melakukan mogok dimana-mana. Tuntutan ekonomi dari kaum buruh dengan cepat dirubah menjadi tuntutan politik: “Turunkan Shah!”, “Bubarkan Savak!”, “imperialis Amerika!” Kemudian pekerja minyak Ahwaz mengadakan mogok, diikuti oleh buruh non-minyak di Khuzistan yang bergabung dengan pemogokan pada akhir September. Shah yang sedang sibuk mengadakan persiapan untuk sebuah pengasingan yang nyaman, telah mengirimkan keluarganya ke luar negeri, dan mentransfer $1 milyar ke Amerika (ini adalah tambahan dari $1 milyar atau lebih yang disimpan di Bonn, Swiss dan di bagian dunia lainnya). Setelah terjadinya perpecahan yang terjadi dalam tubuh tentara, Shah kehilangan semua kendali terhadapnya. Dalam kepanikan, setelah ragu pada awalnya, beliau ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
306 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
The Arab Spring 2010: Puncak Gunung Es Krisis Politik di Kawasan Timur Tengah
melakukan langkah terakhir untuk tetap memegang kendali kekuasaan, menunjuk Shahpur Bakhtiar dari Front Nasional sebagai perdana menteri. Akan tetapi manuver tersebut gagal dan krisis tersebut menjadi lebih parah. Pada tanggal 16 Januari 1979, negara ini dalam sebuah keadaan pergolakan revolusioner. Tidak ada harapan yang tersisa bagi Shah, yang pada akhirnya harus terbang meloloskan diri dengan pesawat terbang ke Mesir.
Pemberontakan Arab (Dekade 2010-an) Memasuki dekade kedua abad ke-21, kawasan Timur Tengah ditandai dengan geliat gerakan rakyat menggugat berbagai kepemimpinan nasional mereka. Peristiwa itu dikenal sebagai Kebangkitan dunia Arab atau Musim Semi Arab (bahasa Inggris: The Arab Spring; bahasa Arab:, Kebangkitan dunia Arab ath-Thawrât al-‘Arabiyyah secara harafiah Pemberontakan Arab) meski tidak semua pihak yang terlibat dalam protes merupakan bangsa Arab (Moisi, 2011; Korotayev A., 2011: 139–169). Yang terjadi adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi di dunia Arab. Para pengunjuk rasa di dunia Arab mendengungkan slogan Ash-sha‘b yurid isqat an-nizam (Rakyat ingin menumbangkan rezim ini).Sejak 18 Desember 2010, telah terjadi revolusi di Tunisia dan Mesir; perang saudara di Libya; pemberontakan sipil di Bahrain, Suriah, dan Yaman; protes besar di Aljazair, Irak, Yordania, Maroko, dan Oman, dan protes kecil di Kuwait, Lebanon, Mauritania, Arab Saudi, Sudan, dan Sahara Barat. Kerusuhan di perbatasan Israel bulan Mei 2011 juga terinspirasi oleh kebangkitan dunia Arab ini. Protes ini menggunakan teknik pemberontakan sipil dalam kampanye yang melibatkan serangan, demonstrasi, pawai, dan pemanfaatan media sosial, seperti Facebook, Twitter, YouTube, dan Skype, untuk mengorganisir, berkomunikasi, dan meningkatkan kesadaran terhadap usaha-usaha penekanan dan penyensoran Internet oleh pemerintah. Banyak unjuk rasa ditanggapi keras oleh pihak berwajib, serta milisi dan pengunjuk rasa pro pemerintah. Rangkaian ini berawal dari protes pertama yang terjadi di Tunisia tanggal 18 Desember 2010 setelah pembakaran diri Mohamed Bouazizi dalam protes atas korupsi polisi dan jaminan kesehatan. Dengan kesuksesan protes di Tunisia, gelombang kerusuhan menjalar ke Aljazair, Yordania, Mesir, dan Yaman, kemudian ke negaranegara lain, dengan unjuk rasa terbesar dan paling terorganisir terjadi pada “hari kemarahan”, biasanya hari Jumat setelah salat Jumat. Protes ini juga mendorong kerusuhan sejenis di luar kawasan Arab Pada Juli 2011[update], unjuk rasa ini telah mengakibatkan penggulingan dua kepala negara, yaitu Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali yang kabur ke Arab Saudi tanggal 14 Januari setelah protes revolusi Tunisia, dan di Mesir, Presiden Hosni Mubarak mengundurkan diri pada 11 Februari 2011, setelah 18 hari protes massal dan mengakhiri masa kepemimpinannya selama 30 tahun. Selama periode kerusuhan ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
307 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Sidik Jatmika
regional ini, beberapa pemimpin negara mengumumkan keinginannya untuk tidak mencalonkan diri lagi setelah masa jabatannya berakhir. Presiden Sudan Omar alBashir mengumumkan ia tidak akan mencalonkan diri lagi pada 2015, begitu pula Perdana Menteri Irak Nouri al-Maliki, yang masa jabatannya berakhir tahun 2014, meski unjuk rasa semakin menjadi-jadi menuntut pengunduran dirinya sesegera mungkin. Protes di Yordania juga mengakibatkan pengunduran diri pemerintah sehingga mantan Perdana Menteri dan Duta Besar Yordania untuk Israel Marouf al-Bakhit ditunjuk sebagai Perdana Menteri oleh Raja Abdullah dan ditugaskan membentuk pemerintahan baru. Pemimpin lain, Presiden Ali Abdullah Saleh dari Yaman, mengumumkan pada 23 April bahwa ia akan mengundurkan diri dalam waktu 30 hari dengan imbalan kekebalan hukum, sebuah persetujuan yang diterima oposisi Yaman secara tidak formal pada 26 April; Saleh kemudian mengingkari persetujuan ini dan semakin memperpanjang pemberontakan di Yaman. Pemimpin Libya Muammar Khaddafi menolak mengundurkan diri dan mengakibatkan perang saudara antara pihak loyalis dan pemberontak yang berbasis di Benghazi. Klimaks gejolak politik di Libya ditandai dengan tertangkap dan terbunuhnya Muammar Khaddafi pada Dampak protes ini secara geopolitik telah menarik perhatian global, termasuk usulan agar sejumlah pengunjuk rasa dicalonkan untuk menerima Hadiah Perdamaian Nobel 2011.
Krisis Politik Para Pemimpin Arab Mengapa gejolak politik bisa menjadi begitu laten dan masif di kawasan Arab serta Timur Tengah pada umumnya? Fakta menunjukkan bahwa para penguasa di Timur Tengah pada umumnya memiliki berbagai krisis politik, antara lain krisis otoritas, ekualitas dan kontinuitas. Selain itu, ketaatan rakyat Arab terhadap pemimpin nasionalnya juga sering dihadapkan pada aneka pilihan ganda yaitu ashabiyah, wathanniyah, qaummiyah dan ummah.
Krisis Otoritas Krisis otoritas adalah keabsahan untuk berkuasa dan memerintah yang diakui oleh rakyat sendiri maupun bangsa lain. Dalam kenyataan, banyak penguasa Timur Tengah yang mengalami pembangkangan dari berbagai kekuatan politik dalam negeri. Hal itu antara lain tercermin pada munculnya gerakan demonstrasi, pembangkangan umum, kudeta, revolusi, separatisme, irredentisme. Misalnya penguasa Sudan menghadapi pemberontakan di Darfur (Sudan Selatan); Turki menghadapi pemberontakan suku Kurdi; pemerintah Siprus menghadapai gerakan separatisme Siprus Utara yang didukung Turki; dan sebagainya. Merebaknya gerakan rakyat pada peristiwa “Arab Springs” dekade 2010-an merupakan penegasan bahwa krisis otoritas merupakan krisis yang banyak dialami oleh para penguasa di Timur Tengah. Krisis ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
308 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
The Arab Spring 2010: Puncak Gunung Es Krisis Politik di Kawasan Timur Tengah
politik yang bersumber dari luar negeri, bisa berujud penolakan pengakuan terhadap penguasa yang ada, embargo, campur tangan hingga intervensi (agresi).
Krisis Ekualitas Krisis ekualitas adalah krisis kekuasaan yang disebabkan oleh adanya kesenjangan dalam hal tingkat perekonomian dan kesempatan berpolitik antar warga negara pada suatu negara. Keadaan itu pada akhirnya bisa memancing munculnya ketidakstabilan politik. Struktur ekonomi berbentuk piramida runcing, dimana pucuk (raja/ presiden dan keluarga sangat runcing). Sedang masa akar rumput miskin sangat lebar. Urutannya,antara lain sbb: 1. Golongan Sangat Kaya: Raja/ Presiden dan keluarganya 2. Golongan Kaya: Elit politik, milter dan bisnis 3. Miskin : Pegawai negeri atau swasta, petani 4. Sangat Miskin: buruh; warga negara kelas dua. (Misal warga Syiah di Saudi bagian Timur; suku Kurdi di Iraq-Iran-Suriah-Turki; warga Palestina di Tanah Pendudukan) Orang kaya dari Timur Tengah kebanyakan berasal dari keluarga kerajaan. Hal ini tidak terlepas dari sistem politik monarki absolut yang dianut oleh negara-negara Teluk yang memungkinkan keluarga kerajaan mendapatkan kekuasaan ekonomi maupun politik. Dalam daftar 50 orang kaya Arab tahun 2007 yang dikeluarkan oleh Arabia Business, 7 dari 10 orang terkaya di Timur Tengah tersebut berasal dari Saudi. Yang terkaya adalah Pangeran Al Walid Bin Talal Al-Saud, keponakan Raja Abdullah. Keluarga Hariri dari Libanon yang menduduki peringkat ketiga juga terhitung memiliki darah Saudi. Kelompok kian kaya, dalam kenyataannya cenderung kian pro-status quo. Misalnya keluarga Saud di Saudi; Al Sabah di Kuwait; Golongan Yunani di Siprus,dll. Sebaliknya kelompok kian miskin kian revolusioner. Misalnya, kaum Hamas di Palestina; Syiah di Saudi- Libanon-; golongan Turki di Siprus Utara; kaum Kurdi di Iraq-Iran-Suriah-Turki; dll). Kesenjangan ekonomi dan politik merupakan faktor utama yang menyulut revolusi rakyat Tunisia 2011 yang menggulingkan Presiden Zine al-Abidine Ben Ali. Ia berkuasa sejak tahun 1987 dengan menggulingkan Habib Bourguiba, Presiden Tunisia pertama, yang terpilih lewat pemilu sejak merdeka dari Perancis. Awalnya kepemimpinan Ben Ali, berdasarkan penilaian Dana Moneter Internasional (IMF), Tunisia memiliki catatan bagus dalam pengelolaan keuangan, dan dipuji karena memiliki fondasi ekonomi yang solid dan tetap berupaya melakukan modernisasi. Rata-rata penguasa yang diktator yang korup dan despotis hanyalah mengandalkan kekuatan militer, polisi dan aparat intelijen untuk menjaga dan melindunginya. Umumnya, para diktator yang berkuasa, selalu menciptakan sistem oligarki, yang terdiri sejumlah elite sipil dan militer yang berkuasa, dan menjadi pilar kekuaasaannya. Maka pemerintahan Ben Ali ini, hanya dikendalikan sejumlah elite politik yang berada ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
309 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Sidik Jatmika
di sekeliling kekuasaannya. Selanjutnya, Ben Ali membentuk kroni-kroni yang menguasai ekonomi dan industri Tunisia, yang terdiri dari sanak familinya, yang menguasai aset dan sumber alam Tunisia. Mereka terus “membangun” Tunisia, dan menjadi orang-orang yang sangat kaya, di tengah-tengah kemelaratan rakyatnya yang masif. Mirip seperti Imelda Marcos, Istri Mantan Presiden dari Filipina yang kaya berkat memanfaatkan kekuasaan suaminya; istri Ben Ali Leila Trebelsi, diberitakan telah mengumpulkan 1,5 ton emas dari bank sentral sebelum melarikan diri dari negara itu. Laporan media banyak menyebutkan bahwa sebenarnya yang berkuasa di Tunisia adalah Leila Trebelsi, bukan Ben Ali yang menjabat sebagai presiden. Leila memiliki pengaruh yang kuat dalam pengelolaan urusan pemerintahan di Tunisia, dan anggota keluarganya, telah membuat sebuah dinasti korup serta memainkan peran yang kuat selama 23 tahun Ben Ali berkuasa. Imad Trabelsi, adik dari Leila Trabelsi, digambarkan sebagai simbol terbesar dari korupsi di Tunisia. Gambaran mengenai betapa akutnya krisis ekualitas di Mesir, antara lain tercermin pada meledaknya demonstrasi selama 18 hari yang akhirnya Presiden Mubarak mundur pada tanggal 11 Februari 2011.”Revolusi ini adalah gerakan massa akar rumput yang digerakkan oleh kemelaratan, upah rendah, dan pengangguran,” kata Firas Al-Atraqchi, profesor jurnalisme pada Universitas Amerika di Kairo seperti dikutip Al-Jazeera. Tak heran, gerakan ini diikuti oleh hampir semua kalangan yang bahkan tak mengenal demonstrasi sebelumnya. Mereka ini menemukan cara untuk bersuara guna menunjukkan kemarahan mereka (Peterson, 2011).
Krisis Kontinuitas Krisis kontinuitas adalah keadaan dimana para penguasa di Timur Tengah rawan kelestariannya dari ancaman digulingkan dengan cara-cara yang tidak demokratis. Baik dari ancaman revolusi atau pemberontakan dalam negeri maupun intervensi asing. Intervensi asing ini, dari segi pelakunya, bisa berlangsung antar sesama negara Timur Tengah (intra-regional) dan oleh negara di luar regional (ekstra-regional). Di lihat dari penyebab atau motif pelaku, intervensi asing, bisa berlangung karena diundang oleh penguasa; diundang oleh oposisi; dan sebagai tamu tak diudang karena mereka memiliki agenda tersendiri. a) Intervensi Intra-Regional, misalnya tercermin pada keterlibatan Saudi Arabia pada berbagai proses politik di Yaman, merupakan gambaran keterlibatan aktor intra-regional dalam proses politik sesama antar negara Arab. Hal serupa juga terjadi pada keterlibatan Suriah dan Israel dalam berbagai proses politik di Libanon; maupun keterlibatan Turki di Siprus. Contoh lain adalah pecahnya Perang Teluk II yang terjadi pada tahun 1990. Perang dimulai dengan penyerangan dan pendudukan oleh Irak terhadap Kuwait, yang kemudian berujung terhadap ikut campurnya Amerika Serikat dalam perang tadi. Perang ini memuncak pada Februari 1991. Sebenarnya, Irak dan ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
310 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
The Arab Spring 2010: Puncak Gunung Es Krisis Politik di Kawasan Timur Tengah
Kuwait semula merupakan partner. Bahkan, Kuwait membantu Irak melawan Iran pada Perang Teluk I tahun 1980-1988 melalui pinjaman-pinjaman dan dukungan diplomatik. Namun, karena adanya tuduhan dari Irak yang menganggap bahwa Kuwait melakukan eksplorasi di wilayah Irak, dan tidak membagi keuntungan dari hasil minyak tadi. Juga adanya tuduhan bahwa Kuwait menghasilkan lebih banyak minyak dibandingkan yang diizinkan oleh Organization Petroleum Exporting Countries (OPEC), yang berakibat pada menurunnya harga minyak ekspor Irak. Sehingga, Irak melakukan penyerangan dan pendudukan atas Kuwait pada tahun 1990. b) Intervensi Ekstra Regional (Amerika Serikat Ke Berbagai Negara Timur Tengah). Kehadiran pangkalan militer Amerika Serikat di kota Dahran di bagian timur Saudi Arabia merupakan keterlibatan aktor extra-regional yang hadir karena diundang oleh penguasa Saudi Arabia. Keterlibatan berbagai kekuatan asing asal Barat dalam proses kejatuhan Moammar Khaddafi (2010-2011) merupakan cermin keterlibatan extraregional karena diundang oleh oposisi (NTC). Agresi Amerika Serikat ke Afghanistan pasca Peristiwa WTC 2006, merupakan contoh keterlibatan aktor ekstra-regional tanpa diundang siapapun namun lebih didasari motif kepentingan nasional Amerika Serikat.
Krisis Kesetiaan Rakyat Krisis kepemimpinan beberapa negara Arab dan Timur Tengah pada umumnya, juga dipengaruhi oleh dilema kesetiaan rakyat Arab terhadap pemimpin nasionalnya. Rakyat sering dihadapkan pada aneka pilihan ganda yaitu ashabiyah, wathanniyah, qaummiyah dan ummah (Hudson, 1977). Pertama, Ashabiyah adalah faham untuk lebih mengutamakan kesetiaan terhadap keluarga tertentu atau faham tertentu, ideologinya, partainya, kelompoknya dan lain sebagainya sehingga merasa paling baik, paling kuat, paling terhormat, dan aneka keutamaan lainnya yang tidak dimiliki kelompok lain. Hal itu antara lain tercermin pada fanatisme sebagian rakyat terhadap beberapa keluarga yang memiliki peran politik kuat di Timur Tengah. Mereka itu antara lain Bani Saud (Saudi Arbia), Bani Hasyim (Hasyimiyah Yordania), al Sabah (Kuwait), dan sebagainya. Sumber krisis kesetiaan berbasis ashabiyah juga terjadi pada beberapa kelompok masyarakat berdasarkan kesetiaan aliran keagamaan. Misalnya, para anggota kelompok Syi’ah yang tergabung pada gerakan Hizbullah di Lebanon, dalam banyak kasus lebih berorientasi politik ke Iran dari pada kepada pemerintahan pusat di Lebanon. Hal serupa juga terjadi pada kelompok al-Hauthi di wilayah Jebel al-Dukhan, Yaman Utara, dalam banyak kasus lebih berorientasi politik ke Iran dari pada kepada pemerintahan pusat di Yaman. Kedua, Qaummiyah adalah semangat untuk lebih mengutamakan kesetiaan terhadap suku tertentu. Misalnya, kesetiaan dan kebanggaan sebagai bangsa Arab yang oleh Hasan al Banna disebut sebagai ‘Urubah (Arabisme). Salah satu contoh ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
311 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Sidik Jatmika
kongkrit dari semangat qaummiyah adalah upaya pembentukan Uni Republik Arab Mesir dengan Suriah (1958 – 1961) dan berdirinya organisasi Liga Arab pada tanggal 22 Maret 1945. Liga Arab atau Liga Negara-Negara Arab adalah sebuah organisasi yang terdiri dari negara-negara Arab (bandingkan dengan dunia Arab). Pada tahun 1943, Mesir memprakarsai gerakan Liga Arab. Tujuan Liga Arab ini untuk mempererat persahabatan Bangsa Arab, memerdekakan negara di kawasan Arab yang masih terjajah, mencegah berdirinya negara Yahudi di daerah Palestina. Organisasi ini didirikan pada oleh tujuh negara. Piagamnya menyatakan bahwa Liga Arab bertugas mengkoordinasikan kegiatan ekonomi, termasuk hubungan niaga; komunikasi; kegiatan kebudayaan; kewarganegaraan, paspor, dan visa; kegiatan sosial; dan kegiatan kesehatan. Piagam Liga Arab juga melarang para anggota untuk menggunakan kekerasan terhadap satu sama lain. Ketiga, Wathaniyah adalah semangat untuk lebih mengedepankan kesetiaan terhadap Negara bangsa (nation-state) dibanding kesetiaan yang lainnya. Misalnya, Irak yang berlatar belakang kesukuan Arab melakukan intervensi terhadap Kuwait yang juga bangsa Arab pada tahun 1990, yang kemudian memicu pecahnya Perang Teluk II. Hal serupa juga terjadi pada tahun 1958 saat Presiden Arab Mesir Gamal Abdel Nasser mengirim pasukan Mesir ke wilayah yang disengketakan dengan negara Arab Sudan. Contoh lain yang menggambarkan kesetiaan terhadap negara bangsa (wathaniyah) mengalahkan kesetiaan terhadap sesama bangsa Arab (qaummiyah) adalah kegagalan keberlangsungan Republik Uni Arab, atau United Arab Republic (UAR). Uni ini adalah suatu negara yang terdiri atas perserikatan Republik Mesir dan Suriah, pada. UAR didirikan pada 1 Februari 1958. Pendirian tersebut dilandasi kekhawatiran kelompok pimpinan politik dan militer di Suriah akan bahaya komunis yang mengintai. Mereka lalu meminta bantuan dari Gamal Abdal Nasser, pemimpin Mesir. Perserikatan yang dilakukan mengikat kedua bangsa tersebut ke dalam satu negara, dengan Kairo sebagai ibu kotanya dan Nasser sebagai pemegang tampuk pimpinan. Militer Mesir kemudian dikerahkan masuk ke Suriah, dan berhasil mematahkan ancaman komunis. Lama kelamaan, rakyat Suriah mulai merasa terganggu dengan kondisi penyatuan tersebut. Pemimpin Suriah yang dipaksa untuk menetap di Kairo pun merasa terputus dari pusat kekuatan di Suriah. Selain itu, timbul arogansi dari orang-orang Mesir yang tinggal di Suriah, berlaku seolah-olah Suriah merupakan koloni Mesir. UAR akhirnya bubar pada 1961, setelah terjadi kudeta di Suriah. Namun, Mesir tetap melanjutkan pemakaian nama UAR hingga kematian Nasser pada 1971. Keempat, Ummah atau ‘Alamiyah (Internasionalisme), adalah semangat yang mengedepankan kesetiaan terhadap agama tertentu tanpa membedakan asal muasal keluarga, kesukuan dan negara bangsa. Misalnya, adalah solidaritas berbagai bangsa Islam yang berbeda latar aliran, suku dan negara- bangsa terhadap perjuangan ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
312 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
The Arab Spring 2010: Puncak Gunung Es Krisis Politik di Kawasan Timur Tengah
kemerdekaan bangsa Palestina. Bangsa Iran yang bersuku Persia dan berfaham Syiah mendukung perjuangan bangsa Palestina yang bersuku Arab dan berfaham Suni; melalui pertemuan di Teheran pada bulan Februari 2010. Saat itu Pemimpin Besar Revolusi Islam Ayatollah al-Udzma Sayyid Ali Khamenei menerima sejumlah pemimpin perjuangan Palestina yang kini berada di Tehran untuk menghadiri konferensi ‘Solidaritas Nasional dan Islam untuk Masa Depan Palestina’. Mereka menekankan bahwa Palestina dan al-Quds akan kembali ke pangkuan umat Islam lewat perjuangan, jihad dan resistensi, dan nasib rezim penjajah Israel akan berakhir dengan kekalahan dan kehancuran (Browers, 2009).
Carilah Ilmu Walau Sampai Negeri Arab Mengapa kita perlu belajar sejarah? Paling tidak ada 3 (tiga) fungsi sejarah. Pertama, mengetahui kapan dan di mana peristiwa penting berlangsung, siapa pelakunya, mengapa bisa terjadi dan apa akibatnya. Kedua, kita bisa mengambil pelajaran yang baik, sekaligus membuang yang buruk. Ketiga, sejarah adalah teori. Maksudnya, jika di kemudian hari kita mengemui peristiwa yang sama ataupun serupa; kita dapat menggunakan sejarah yang serupa, untuk memecahkan persoalan tersebut. Lantas, apa saja pelajaran yang bisa kita petik dari berbagai krisis kepemimpinan Arab ini?
1. Never Ending Leadership and National Character Building. Keberadaan berbagai krisis kepemimpinan( krisis otoritas, ekualitas, kontinuitas) dan berbagai krisis kesetiaan (ashabiyah, wathaniyah, qaummiyah, ummah) yang menimpa berbagai bangsa Arab bisa jadi adalah hikmah utama yang bisa dipetik oleh bangsa manapun tatkala mengkaji betapa rumitnya problem yang dialami oleh beberapa bangsa Arab dalam membentuk dan menjaga persatuan bangsa dan negaranya. Berbagai paparan di atas menggambarkan bahwa proses pembentukan, pemeliharaan dan pelestarian pembangunan nilai-nilai bangsa (national character building) adalah proses yang tidak pernah selesai (Phares, 2010).
2. Pentingnya Sistem Yang Holistik- Elastis-Adaptif. Revolusi Yasmin berupa gerakan perlawanan rakyat di Tunisia berhasil secara dramatis menjatuhkan Presiden Zine al-Abidine Ben Ali dan bahkan membuat dia melarikan diri ke Arab Saudi mempunyai resonansi politik yang besar terhadap Dunia Arab. Revolusi rakyat Tunisia itu telah membawa efek karambol terhadap negaranegara Arab. Apa yang terjadi di Tunisia, telah menginspirasi beberapa negara di Timar Tengah untuk melakukan protes dan penggulingan terhadap rezim yang telah lama berkuasa. Di Sudan, juga telah melakukan referéndum untuk pemisahan Sudan Selatan. Di Mesir, rakyat mengikuti langkah Tunisia, terjadi demo besar yang akhirnya menggulingkan Presiden Hosni Mubarak. Di Libya gerakan rakyat dibawah NTC berhasil menggulingkan Moammar Khadaffi. Sementara Yaman dan Suriah juga ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
313 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Sidik Jatmika
terjadi demonstrasi sebagai bentuk “deman Tunisia.” Fakta tersebut menegaskan pentingnya kesadaran bahwa sistem politik adalah bersifat holistik, dimana sebuah gejala yang berlangsung pada suatu tempat bisa memengaruhi anggota sistem yang lainnya. Sebuah sistem politik juga harus bersifat adaptif (cepat tanggap dan mampu segera menyesuaikan dengan dinamika perubahan di lingkungan internal maupun ekternalnya). Keterlambatan beradaptasi, bisa menyebabkan kegagalan dan kemacetan sebuah sistem politik. Kerusakan bisa berupa demonstrasi, pemogokan, amuk masa, kudeta hingga revolusi rakyat (Goldstone; John T., Hazel, Jr., 2011).
3. Pemimpin, Rakyat Dan Martabat Bangsa Muammar Khaddafi, seorang pemimpin yang masyhur selama 42 tahun, akhirnya mati dengan cara tragis. Tertangkap di gorong-gorong; setelah memohon keselamatan akhirnya ditembak jarak dekat; jenazah dipajang selama tujuh hari dipajang di kulkas sebuah super market; setelah mulai membusuk akhirnya jenazah dimakamkan di sebuah padang pasir yang dirahasiakan (Posusney and Angrist, 2005). Seperti itukah cara yang bermartabat dalam memperlakukan (bekas) seorang pemimpin bangsa? Bukankan martabat sebuah bangsa antara lain dapat diukur dari bagaimana anak bangsa tersebut memperlakukan (bekas) pemimpinnya? Lantas apa pelajaran yang bisa kita petik? “Raja adil raja disembah. Raja lalim, raja disanggah”. Barangkali merupakan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan bagaimana korelasi sebuah kepemimpinan dengan cara anak bangsa memperlakukan (bekas) pemimpin bangsanya. Kalau kita meyakini adagium bahwa “Tolok ukur martabat suatu bangsa antara lain dilihat dari cara rakyat memperlakukan (bekas) pemimpinnya”, maka pemimpin, hendaklah hadir dengan cara terhormat. Berakhir dengan cara menghormat. Rakyat juga harus belajar menghormati pemimpin dengan cara terhormat. Namun, prinsip resiprositas adalah hukum alam; ibarat “siapa menanam, siapa mengetam”. Supaya pemimpin nantinya diperlakukan secara bermartabat oleh rakyatnya, terlebih dahulu, ia semasa berkuasa hendaknya memperlakukan rakyatnya dengan cara yang bermartabat pula.
Bibliografi Browers, Michaelle. 2009. Political Ideology in the Arab World: Accommodation and Transformation. New York: Cambridge University Press. Encarta Premium. 2007. Iran/History/H. Growing Opposition To The Shah George, Lenczowski. 1993. The Middle East In World Affairs. USA: University of Californa at Berkeley. Goldstone, Jack A., Hazel, John T., Jr. 2011. Understanding the Revolutions of 2011: Weakness and Resilience in Middle Eastern Autocracies. Foreign Affairs, 14 April. ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
314 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
The Arab Spring 2010: Puncak Gunung Es Krisis Politik di Kawasan Timur Tengah
Hudson, Michael C. 1977. Arab Politics The Search To Legitimacy. Yale University Huntington, Samuel P. 1993. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: PT. Grafity Press. Jatmika, Sidik. 2000. Amerika Penghambat Demokrasi. Yogyakarta: Penerbit BIGRAF. Jatmika, Sidik. 2011. Timur Tengah: Never Ending Conflict? Diktat Mata Kuliah Politik Pemerintahan Timur Tengah, proses terbit. Korotayev A., Zinkina J. 2011. Egyptian Revolution: A Demographic Structural Analysis. Entelequia. Revista Interdisciplinar, 13: 139–169 Markoff, John. 2002. Gelombang Demokrasi Dunia, Gerakan Dan Perubahan Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Moisi, Dominique. 2011. An Arab Spring? Project Syndicate, 26 Januari. Ochsenwald, William & Sidney Nettleton Fisher. 1979. Impact of World War I Upon The Middle East. Dalam The Middle East, A History. New York: McGraw-Hill Comp. Peterson, Scott. 2011. Egypt’s revolution redefines what’s possible in the Arab world. 11 Februari 2011. Diakses pada 12 Juni 2011. Phares, Walid. 2010. Coming Revolution: Struggle for Freedom in the Middle East. New York: Simon & Schuster. Posusney, Marsha Pripstein; Angrist, Michele Penner (ed). 2005. Authoritarianism in the Middle East: Regimes and Resistance. Boulder: Lynne Rienner. Ramadhanny, Fitraya. 20 Oktober, 2011. Dor! Khadafi Tewas Tertembak di Kepala. detikNews. Saat tulisan disusun, krisis politik dan kepemimpinan nasional tengah terjadi pada Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh dan Presiden Suriah Bashar al Assad. Di Yaman Tanggal 4 Juni, Presiden Ali Abdullah Saleh terluka dalam serangan terhadap masjid di tempat perlindungannya di ibu kota Yaman, Sana’a, menyebabkan ia dan 35 anggota keluarganya, termasuk istrinya, serta Perdana Menteri dan Juru Bicara Parlemen Yaman, meninggalkan Yaman ke Arab Saudi. Di Suriah, bentrokan dan kekerasan terus berlangsung antara pasukan pemerintah dan aktivis oposisi. Setidaknya lebih dari 2.200 orang tewas akibat kekerasan.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
315 VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○