Kebijakan Pendidikan Zaman Pendudukan Jepang Oleh Rum Rosyid Univ Tanjungpura Pontianak
Pada tahun 1939 meletus Perang Dunia II (perang antar negara kapitalis untuk berebut wilayah kekuasaan yang mengandung kekayaan alam besar dan pasar barang yang besar) dengan diawali penyerbuan tentara fasisme Jerman ke Polandia, dan Jepang menyerbu Asia Pasifik. Tentara Jepang Dai Nippon, kemudian berhasil mengambil alih kendali penjajah Belanda di Nusantara. Dengan pecahnya perang dunia II, yang disebabkan oleh invansi tentara Jepang tanggal 7 desember 1941, maka runtuhlah sistem pemerintahan kolonial dan sekaligus pula sistem pendidikan yang ada di dalamnya. Pada masa pendudukan Jepang, pendidikan di Indonesia mengalami penurunan jika dibandingkan dengan masa pendudukan Belanda. Kebijakan politik Jepang berbeda dengan politik kolonial. Untuk kepentingan politik perangnya Jepang membebaskan Soekarno dan Hatta yang kemudian mengajaknya bekerja sama untuk kepentingan politik perangnya. Sebaliknya Sjahrir yang sejak mudanya tertarik dengan sosial demokrasi dan a nti fasis menolak bekerja sama dengan melakukan perlawanan bawah tanah terhadap Jepang. Antara tahun 1942 -1945 simpulsimpul pergerakan kebangsaan tidak menyatu seperti halnya Soekarno atau Hatta di masa kolonial, tetapi terpencar berdasarkan pengelompokan - pengelompokan yang berpusat pada tokoh-tokoh dan ideologi tertentu. Di masa Jepang lewat pengelompokan kaum pergerakan muncul nama-nama seperti Adam Malik, Subadio Sastrosatomo, Soekarni, Wikana, Chairul Saleh, dan sebagainya yang membangun gerakan melawan Jepang. Sementara itu Soekarno dan Hatta yang berkolaborasi dengan Jepang membangun komunikasi politik dengan petinggi-petinggi Jepang, terutama dengan petinggi Angkatan Laut (Kaigun) semisal Laksamana Maeda yang bersimpati dengan perjuangan Indonesia. Ideology Pendidikan : Fasisme “Hakko Ichiu” Didorong semangat untuk mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai bagian dari rencana membentuk Asia Timur Raya yang meliputi Manchuria, Daratan China, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di bawah kepemimpinan Jepang, negara ini mulai melakukan ekspansi militer ke berbagai negara sekitarnya tersebut. Dengan konsep “Hakko Ichiu” (Kemakmuran Bersama Asia Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”, bangsa fasis inipun menargetkan Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan menopang ambisi besarnya. Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan Pasifik. Kebijakan Pendidikan Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain:
(1) Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda; (2) Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda. Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Termasuk yang harus ditutup adalah HCS, sehingga memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya proses resinification (penyadaran dan penegasan identitas sebagai keturunan bangsa China). Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk mentranslasikan buku-buku berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga melarang pihak swasta mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta harus mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi kembali. Taman Siswa misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani, sementara Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan lainnya. Angka buta huruf menjadi sangat tinggi, walaupun telah ada usaha pemberantasan buta huruf. Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain: (1) Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam send iri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Di daerah-daerah dibentuk Sumuka; (2) Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang; (3) Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin; (4) Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta; (5) Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis n asionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan (6) Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia Indon esia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU. Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan. System Pendidikan : Kurikulum Untuk Perang Asia Timur Raya
Pada masa ini, sistem pendidikan dan kurikulumnya ditujukan untuk keperluan perang Asia Timur Raya. Meskipun demikian, telah terjadi penghapusan Sistem Dualisme dan konkordansi dalam pendidikan Indonesia. Pendidikan terbuka untuk semua anak Indonesia, sehingga semua siswa mendapat kesempatan yang sama. Inilah untuk pertama kali terjadi proses demokratisasi dalam sistem pendidikan nasional Indonesia. Guna memperoleh dukungan tokoh pribumi, Jepang mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera Tenaga Rakyat di bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda. (2) Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun. (3) Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian. (4) Pendidikan Tinggi. Kurikulum berorientasi Lokal Di Indonesia mereka mencobakan mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa pendudukanya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia Raya.
Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain: (1) Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu; (2) Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang; (3) Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang; (4) Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta (5) Olaharaga dan nyanyian Jepang. Sementara untuk pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini: (1) Menyanyikan lagi kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap pagi; (2) Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi; (3) setiap pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya; (4) Setiap pagi mereka
juga diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang; (5) Melakukan latihan-latihan fisik dan militer; (7) Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib diajarkan. Pada masa ini, pendidikan lebih bernafaskan semangat kemiliteran. Jepang melatih sebanyak mungkin pemuda Indonesia untuk menjadi pasukan perang lewat beberapa organisasi kemiliterannya seperti PETA, HEIHO, Seinendan, dll. yang tujuannya hanya untuk mendapatkan tenaga perang untuk membantu balatentara Jepang dalam menghadapi tentara Sekutu. Dan sisa-sisa pendidikan gaya militeristik Jepang ini dapat kita lihat dan rasakan sampai sekarang, misalnya seperti pelaksanaan ospek bagi mahasiswa atau siswa baru, yang masih cenderung mengedepankan nilai-nilai militeristik. BPUPKI : UUD 1945 dan Piagam Jakarta Salah satu peristiwa politik menjelang kemerdekaan Indonesia ialah didirikannya BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 1 Maret 1945. BPUPKI yang beranggotakan 70 (tepatnya 69 orang) orang, terdiri dari berbagai unsur kekuatan politik dan masyarakat Indonesia. Sidang BPUPKI diarahkan pada perumusan dan pembuatan rancangan Undang Undang Dasar. Perdebatan serta diskusi di antara anggota yang mewarnai jalannya sidang mencerminkan sebuah toleransi. Mereka lebih menonjolkan kesatuan dan kebersamaan, yang kelak mewarnai rumusan-rumusan Undang Undang Dasar yang kemudian menjadi UUD 1945. Meskipun toleransi itu akhirnya membuahkan pengorbanan besar pada kelompok tertentu.
Pembicaraan selama persidangan Badan Penyelidik itu dengan jelas mencerminkan ada dua posisi kelompok yang saling berbeda kepentingan. dalam merumuskan dasar negara Republik Indonesia. Memang di sini terlihat terlihat ada dua faham, ialah ; faham dari anggotaanggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan anjuran lain, sebagai telah dianjurkan oleh tuan Mohammad Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam, dengan lain perkataan: bukan negara Islam. Dalam melaksanakan tugasnya BPUPKI mengadakan dua kali sidang resmi dan satu kali sidang tidak resmi, yang seluruhnya berlangsung di Jakarta sebelum kekalahan kekaisaran Jepang terhadap Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Sidang-sidang resmi berlangsung dua tahap, tahap pertama dilaksanakan pada tanggal 28 Mei - 1 Juni 1945 yang membahas tentang dasar negara yang dipimpim langsung oleh Ketua BPUPKI Dr. Radjiman Widyodiningrat. Tahap kedua berlangsung antara tanggal 10 – 17 Juli 1945 membahas bentuk negara, wilayah negara, kewarganegaraan, rancangan Undang- undang Dasar, ekonomi dan keuangan, pembelaan, pendidikan dan pengajaran. Sedangkan sidang tidak resmi yang dihadiri oleh 38 orang anggota BPUPKI, berlangsung dalam masa reses antara sidang pertama dan sidang kedua yang membahas rancangan pembukaan UUD 1945, dipimpin oleh anggota BPUPKI, Ir. Soekarno.
Dalam sidang tidak resmi dari 38 anggota BPUPKI ini, kemudian membentuk panitia kecil yang terdiri atas 9 orang yang dipilih, yaitu : Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno, Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Ha ji Agus Salim, Achmad Soebarjo, Wahid Hasyim dan Muhammad Yamin. Setelah melalui pembicaraan serius, akhirnya panitia kecil ini mencapai suatu kesepakatan antara para nasionalis Islam disatu pihak dan nasionalis sekuler dipihak lain. Mereka menyetujui rancangan pembukaan UUD 1945. Dalam pidatonya tanggal 10 Juli pada pa da sidang Paripurna Badan Penyelidik, Soekarno menyampaikan hasil kesepakatan yang dicapai oleh panitia sembilan itu, sebagai berikut : Allah Subhana wa Ta’ala memberkati kita. Sebenarnya ada kesukaran mula-mula, antara golongan yang dinamakan golongan Islam dan golongan yang dinamakan golongan kebangsaan. Mula-mula ada kesukaran mencari kecocokan faham antara kedua golongan ini, terutama yang mengenai soal agama dan negara, tetapi sebagai tadi saya katakan, Allah Subhana wa Ta’ala memberkati kita sekarang ini, kita sekarang sudah ada persetujuan. Panitia kecil menyetujui sebulat-bulatnya rancangan preambul yang d isusun oleh anggota-anggota panitia kecil itu. Rancangan preambul itu ditanda tangani oleh sembilan anggota pada 22 Juni 1945 di Jakarta, maka ia dikenal sebagai Piagam Jakarta, nama yang nampaknya dipergunakan pertama kali oleh Mohammad Yamin. Bunyi asli dari Piagam Jakarta itu sebagai berikut : Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak ssegala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusian dan peri-keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka Rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan Rakyat, dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusian yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan–perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Yang menonjol dalam Piagam Jakarta ini ialah termuatnya tujuh kata, yaitu “dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, yang kemudian
menjadi perdebatan di kalangan anggota BPUPKI pada sidang-sidang selanjutnya. Seorang anggota BPUPKI yang beragama Kristen, Latuharhary, menyatakan keberatannya atas kata-kata tersebut. Dia mengkhawatirkan akibatnya mungkin besar terutama terhadap agama lain, juga bisa menimbulkan kekacauan terhadap adat istiadat. Terhadap kekhawatiran Latuharhary ini secara spontan dijawab oleh H. Agus Salim, seorang anggota Badan Penyelidik sekaligus pemimpin Islam terkenal, dia mengatakan : Pertikaian hukum agama dengan hukum adat bukanlah masalah baru, dan pada umumnya sudah selesai. Lain daripada itu orang-orang beragama lain tidak perlu khawatir : keamanan orang-orang itu tidak tergantung pada kekuasaan negara, tetapi pada adatnya ummat Islam yang 90 % itu. Perdebatan terus berlangsung, beberapa orang yang lainnya juga menyampaikan keberatan atas dimuatnya tujuh kata tersebut. Tidak kurang dari Wongsonegoro yang didukung oleh Hoesein Djajadiningrat, mengemukakan pendapat penolakannya dengan argumentasi bahwa kalimat itu mungkin saja menimbulkan fanatisme, karena seolah-olah memaksa menjalankan syari’at bagi orang-orang Islam. Namun usul penolakan itu kemudian dijawab oleh Abdul Wahid Hasyim, “Bila ada orang yang menganggap kalimat ini tajam, ada juga yang mengangap kurang tajam”. Terhadap situasi ini akhirnya Soekarno, sebagai pemimpin pertemuan mengingatkan bahwa “Preambul itu adalah suatu hasil jerih payah antara golongan Islam dan kebangsaan. Kalau kalimat itu tidak dimasukkan, tidak bisa diterima oleh kalangan kaum Islam. Oleh karena pokok-pokok lain kiranya tidak ada yang menolak, pokok-pokok dalam Preambul dianggap sudah diterima. d iterima. Setelah Piagam Jakarta ini diterima secara apa adanya, pembicaraan selanjutnya beralih pada masalah rancangan Undang-Undang Dasar. Dalam sidang Badan Penyelidik, 14 Juli 1945, Soekarno, sebagai Ketua Panitia Konstitusi melaporkan kepada sidang paripurna tiga rancangan; yaitu Deklarasi Kemerdekaan. Preambul (Mukaddimah) UUD dan Batang Tubuh UUD yang terdiri atas 42 pasal. Dua pasal dari rancangan pertama UUD itu yang relevan dengan uraian ini ialah fasal 4 dan 29. Pasal 4 ayat 2 tentang orang yang dapat menjadi Presiden dan Wakil Presiden hanya orang Indonesia asli, sedangkan pasal 29 tentang agama : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama apa pun dan untuk beribadat menurut agamanya masing-masing. Bunyi dari dua pasal ini kemudian dibantah dengan usul-usul yang diajukan oleh pihak Islam. Usul-usul itu pada dasarnya menghendaki bahwa jiwa dari Pembukaan UUD yang diambil dari Piagam Jakarta itu, secara implisit termuat dalam batang tubuh UUD itu. A. Wahid Hasjim mengajukan dua usul. “Pertama pada pasal 4 ayat 2 ditambah dengan kata “yang beragama Islam. Buat masyarakat Islam penting sekali perhubungan antara pemerintah dengan masyarakat”. Dia menyampaikan alasan : “Jika Presiden orang Islam, maka perintah-perintah berbau Islam, dan akan besar pengaruhnya”. Kedua, diusulkannya
pula pada pasal 29 tentang agama, diubah sehingga berbunyi : “Agama negara ialah agama Islam, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain untuk, dan sebagainya”. Dia beralasan; “Pada umumnya pembelaan yang berdasarkan atas kepercayaan sangat hebat, karena menurut ajaran agama , nyawa hanya boleh diserahkan buat ideologi agama”. Usul Wahid Hasjim ini nampaknya bukan saja ditolak oleh kalangan non muslim, tetapi Haji Agus Salim, yang juga merupakan juru bicara pihak Islam, tidak menyetujui usul tersebut. Namun Wahid Hasjim yang kemudian mendapat dukungan dari Sukiman, berkeras dengan pendapatnya, dengan beralasan bahwa usul tersebut akan memuaskan rakyat. Oto Iskandar Dinata mencoba mengambil jalan tengah, pada satu sisi dia setuju dengan usul Djajadiningrat untuk menghapus sama sekali pasal 4 ayat 2 itu. Di segi lain dia mengusulkan agar kata-kata yang tercantum dalam Piagam Jakarta diulang cantumkan dalam pasal tentang agama. Oto Iskandar menginginkan bahwa dalam pasal mengenai agama dari UUD dicantumkan bunyi kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya. Lain halnya dengan Ki Bagus Hadikusumo, tidak menyetujui rumusan dengan pencantuman tujuh kata itu. Dia bahkan sejalan dengan usul Kiai Ahmad Sanusi, bahwa kata-kata “bagi pemeluk-pemeluknya” itu dihilangkan saja. Usul Ki Bagus ini lebih jelas lagi menginginkan bahwa dasar negara Indonesia adalah Islam. Sebab dengan membuang kata “bagi pemeluknya”, maka semua penduduk Indonesia terikat untuk mengamalkan syari’at Islam, tidak hanya terbatas pada umat Islam tetapi juga kepada penganut agama lain. Dalam proses perdebatan tersebut, Hadikusumo kembali mengungkit ketidak setujuannya atas tujuh kata dalam Preambul UUD. Namun Soekarno juga tetap pada pendiriannya, dia sekali lagi mengingatkan dengan usulnya sebagai berikut : Pendek kata inilah kompromis yang sebaik-baiknya, jadi Panitia memegang teguh kompromis yang dinamakan oleh anggota yang terhormat Muhammad Yamin “Jakarta Charter”, yang disertai perkataan anggota yang terhormat Sukiman “Genteleman’s Agreement”, supaya ini dipegang teguh di antara fihak Islam dan fihak kebangsaan. Saya mengharap paduka tuan yang mulia, rapat besar suka membenarkan sikap Panitia itu. Meskipun perdebatan ini sempat membuahkan penawaran pemungutan suara oleh ketua Badan Penyidik, Radjiman Wedyodiningrat, tetapi atas saran-saran anggota yang menawarkan semangat kompromi akhirnya piagam Jakarta diterima bulat sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar. Demikian juga tentang dasar negara yaitu : Negara berdasar atas Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya. Sedangkan pasal 4 ayat 2 disetujui bahwa yang dapat menjadi presiden dan wakil presedin ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam. Pemufakatan secara bulat itu tidaklah dicapai dengan mudah bahkan sempat terjadi penutupan sidang tanpa membawa kesepakatan apa-apa. Kemudian pada sidang berikutnya tanggal 16 Juli 1945 kembali Soekarno menghimbau kepada segenap anggota terutama kepada pihak yang disebutnya kebangsaan untuk berkorban.
Saya berkata, adalah sifat kebesaran di dalam pengorbanan, “er is grootheid in offer”. ...Yang saya usulkan, ialah : baiklah kita terima, bahwa di dalam Undang Undang Dasar dituliskan, bahwa “Presiden Republik Indonesia haruslah orang Indonesia asli yang beragama Islam”. Saya mengetahui bahwa buat sebagian pihak kebangsaan ini berarti suatu ... pengorbanan mengenai keyakinan. Tetapi apa boleh buat! Karena bagaimanapun kita yang hadir di sini, dikatakan 100 % telah yakin, bahwa justru penduduk Indonesia, rakyat Indonesia terdiri daripada 90 % orang-orang yang beragama Islam, bagaimanapun, tidak boleh tidak, nanti yang menjadi Presiden Indonesia tentulah yang beragama Islam. Saya minta dengan rasa menangis, rasa menangis supaya sukalah saudara-saudara menjalankan Offer ini kepada tanah air dan bangsa kita. ... Saya harap, Paduka Tuan yang mulia suka mengusahakan supaya sedapat mungkin dengan lekas, mendapat kebulatan dan persetujuan yang sebulat-bulatnya dari segenap sidang untuk apa yang saya usulkan tadi itu. Pidato Soekarno ini akhirnya menyemangati anggta Badan Penyelidik untuk menerima secara bulat Undang-Undang Dasar sebagai hasil dari rancangan Panitia kecil yang diketuai oleh Soekarno. Kesepakatan ini merupakan sebuah kemenangan pihak Islam, sebab secara meyakinkan usul-usul yang merupakan kepentingan mayoritas dapat diterima. Perang Dunia II : menjelang Proklamasi Kemerdekaan Ketika orang Indonesia bergabung dalam Heiho, Giyugun, dan Peta yang sedari awal disiapkan untuk membantu perang Jepang, ternyata dibelokkan kaum pergerakan untuk melawan kekuasaan Jepang. Oleh karena demikian represifnya pemerintahan Jepang, sepanjang tiga setengah tahun, perlawanan pergerakan kebangsaan tidak dilancarkan berhadap-hadapan dengan “negara”, tetapi dilakukan di bawah tanah seperti yang dikerjakan Sjahrir dan kelompoknya.
Ketika meletus Perang Dunia II konstelasi politik internasional berubah, Jepang dikalahkan Sekutu. Kekalahan Jepang oleh Sekutu menyebabkan Jepang di Indonesia tidak bisa mengambil tindakan politik, kecuali kecu ali menjaga status quo. Sjahrir yang mendengar kekalahan Jepang mendesak Soekarno-Hatta segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, tetapi Soekarno Hatta tidak memercayainya dan menolaknya, kalaupun dilakukan tidak dengan segera karena hal itu akan memunculkan tindakan kekerasan dari pihak Jepang. Di tengah suasana itu Soekarno Hatta terus membangun komunikasi dengan Laksamana Maeda, sementara dari kalangan pergerakan lainnya (Wikana, Adam Malik, Chairul Saleh, dan sebagainya) terus mendesak agak secepatnya memproklamasikan Indonesia. Dua hari menjelang kemerdekaan, 15 Agustus 1945, antara kelompok yang mendesakkan kemerdekaan yang juga sering disebut kelompok pemuda bersitegang dengan Soekarno membuat Soekarno marah sambil memaki-maki kelompok pemuda soal kemerdekaan bangsa.
Ujung dari peristiwa itu Soekarno diculik dan diasingkan kelompok pemuda di sebuah tempat bernama Rengas-dengklok. Penculikan ini dapat dikatakan merupakan bentuk kekerasan pertama di kalangan elite politik menjelang kemerdekaan. Setelah itu, kekuasaan Jepang yang sebelumnya sangat berkuasa akhirnya runtuh juga ketika pada tanggal 16 Agustus 1945 kekaisaran Jepang menyatakan menyerah kalah kepada sekutu. Setelah sebelumnya dua kota utamanya yaitu kota Nagasaki dan Hiroshima diluluhlantahkan oleh Bom Atom sekutu. Akhirnya setelah terdapat kesepahaman Soekarno Soekarno dibawa ke Jakarta dan di tempat Laksamana Maeda teks proklamsi kemerdekaan Indonesia di-persiapkan. Esok harinya tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia berkumandang di seluruh Indonesia. Kepustakaan Alif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa Ideologi , Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007. http://aliflukmanulhakim.blogspot.com Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at 11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/ Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at 11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/ Adnan Khan(2008), Memahami Keseimbangan Kekuatan Adidaya , By hati-itb September 26, 2008 , http://adnan-globalisues.blogspot.com/ Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus (terjemahan Pustaka Firdaus). Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII), Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada. _________2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta, Penerbit ArgaWijaya Persada. A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987 R.C. Salomon dan K.M. Higgins, H iggins, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, yogyakarta, 2003 Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas & Noble, Inc. Awaludin Marwan, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita, Senin, Juni 01, 2009 Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra. Yogjakarta. Hal. 28 Budiman, Hikmat 2002, Lubang Hitam Kebudayaan , Kanisius, Yogyakarta. Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Culture and Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra& William P Lebra. University of Hawaii. Hawai. Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education. Dawson, Raymond, 1981, Confucius , Oxford University Press, Oxford Toronto, Melbourne D. Budiarto, Metode Instrumentalisme – Eksperimentalisme John Dewey, dalam Skripsi, Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982
Edward Wilson. 1998. Consilience : The Unity of Knowledge. NY Alfred. A Knof. Fakih, Mansour, Dr, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi . Pustaka Pelajar. Yogyakarta : 1997 Fritjof Capra. 1982. The Turning of Point; Science, Society and The Rising Culture. HaperCollins Publiser. London. Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980 Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4, Bandung, Penerbit Alumni. Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell Lasiyo, 1982/1983, Confucius , Penerbit Proyek PPPT, UGM Yogyakarta --------, 1998, Sumbangan Filsafat Cina Bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru G uru Besar Pada Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta --------, 1998, Sumbangan Konfusianisme Dalam Menghadapi Era Globalisasi , Pidato Dies Natalis Ke-31 Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta. Yo gyakarta. McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition), Glasgow, Bell & Bain Ltd. Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum (sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III, Malang, Laboratorium Pancasila. ---------2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural, Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila. Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to Jurisprudence, San Francisco, Westview Press. mcklar(2008), Aliran-aliran Pendidikan, http://one.indoskripsi.com/node/ Posted July 11th, 2008 Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundb egriffe, Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC. Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cet ke-6. Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western, London, George Allen and Unwind Ltd. Roland Roberton. 1992. Globalization Social Theory and Global Culture. Sage Publications. London. P. 85-87 Sudionokps(2008)Landasan-landasan Pendidikan, http://sudionokps.wordpress.com Titus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta : 1984 UNO 1988: Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966; 2001, 2003) Widiyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit Paradigma, Yogyakarta Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New York, Harvard College, University Press. Ya'qub, Hamzah, 1978, Etika Islam , CV. Publicita, Jakarta Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New York, Harvard College, University Press.
Andersen, R. dan Cusher, K. K . (1994). Multicultural and intercultural studies, dalam Teaching Studies of Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney: Prentice-Hall Banks, J. (1993). Multicultural education: historical development, dimensions, and practice. Review of Research in Education, 19: 3-49. Boyd, J. (1989). Equality Issues in Primary Schools. London: Paul Chapman Publishing, Ltd. Burnett, G. (1994). Varieties of multicultural education: an introduction. Eric Clearinghouse on Urban Education, Digest, 98. Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For For Education. Boston MA: Allyn Allyn Bacon Campbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research. Chicago Rand McNelly Carter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education. Review of Research in Education, 20:291-336. Cooper, H. dan Dorr, N. (1995). Race comparisons on need for achievement: a meta analytic alternative to Graham's Narrative Review. Review of Educational Research, 65, 4:483-508. Darling-Hammond, L. (1996). The right to learn and the advancement of teaching: research, policy, and practice for democratic education. Educational Researcher, 25, 6:5-Dewantara, Deese, J (1978) The Scientific Basis of the Art of Teaching. New York : Colombia University-Teachers College Press Eggleston, J.T. (1977). The Sociology of the School Curriculum, London: Routledge & Kegan Paul. Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education, 19:51 -98. Gordon, Thomas (1974) Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. Wydenpub Hasan, S.H. (1996). Local Content Curriculum for SMP. Paper presented at UNESCO Seminar on Decentralization. Unpublished. Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020. Unpublished. Henderson, SVP (1954) Introduction to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of Chicago Press Hidayat Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada Semiloka Nasional Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997
Highet, G (l954), Seni Mendidik (terjemahan Jilid I dan II), PT.Pembangunan Ki Hajar (1936). Dasar-dasar pendidikan, dalam K arya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, Science, New Hersey, NJ: Yale Yale Univ.Press Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur Ki Suratman, Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila, Jakarta:Depdikbud Ki Hajar, Dewantara (1945). Pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Ki Hajar, Dewantara (1946). Dasar-dasar pembaharuan pengajaran, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Kuhn, Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution, Ch icago:Chicago Univ. Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP IKIP Bandung Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC Digest. ED 348196. Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leon ard: Allen & Unwin Pty, Ltd. Raka JoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud Rosyid, Rum (1995) Kesatuan, Kesetaraan, Kecintaan dan Ketergantungan : Prinsip prinsip Pendidikan Islami, Suara Almamater No 4/5 XII Bulan Juli 7 Agustus, Publikasi Ilmiah, Universitas Tajungpura, Pontianak Rum Rosyid(2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian I : Beberapa Tantangan Menuju Masyarakat Informasi, Penerbit KAMI , Pontianak. Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian II : Perselingkuhan Dunia Pendidikan Dan Kapitalisme, Penerbit KAMI, Pontianak. Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian III : Epistemologi Pragmatisme Dalam Pendidikan Kita, Penerbit KAMI, Pontianak. Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian IV : Peradaban Indonesia Evolusi Yang Tak Terarah, Penerbit KAMI , Pontianak. Twenticth-century thinkers: Studies in the work of Seventeen Modern philosopher, edited by with an introduction byJohn K ryan, alba House, State Island, N.Y, 1964 http://stishidayatullah.ac.id/index2.php?option=com_content http://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan.htm http://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/default
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.html http://stishidayatullah.ac.id/index2.php http://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan, .htm http://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/default http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.html Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan Modern, http://panjiaromdaniuinpai2e.blogspot.com Koran Tempo, 12 November 2005 , Revolusi Sebatang Jerami. http://www.8tanda.com/4pilar.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005 http://filsafatkita.f2g.net/sej2.htm http://filsafatkita.f2g.net/ sej2.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005 http://spc.upm.edu.my/webkursus/FAL2006/notakuliah/nota.cgi?kuliah7.htm l di down load pada tanggal 16 November 2005 http://indonesia.siutao.com/tetesan/gender_dalam_siu_tao.php di down load pada tanggal 16 November 2005 http://storypalace.ourfamily.com/i98906.html http://storypalace.ourfamily .com/i98906.html di down load pada tanggal 16 November Nov ember 2005 http://www.ditext.com/runes/y.html di down load pada tanggal 2 Desember 2005
Dari Buku Pragmatisme Pendidikan Indonesia Beberapa Tantangan Menuju Masyarakat Informasi Oleh : Rum Rosyid Dosen FKIP Universitas Tanjungpura Direktur Global Equivalency for Education