PEREKONOMIAN INDONESIA MASA PENDUDUKAN JEPANG
(1942-1945)
Oleh :
A. Razif Kurniawan
ABSTRAK
Perekonomian suatu Negara sering kali mengalami pasang-surut, di
Indonesia yang merupakan salah satu Negara bekas jajahan juga mengalami hal
tersebut. Pada masa pendudukan merupakan satu tahapan dalam perkembangan
perekonomian Indonesia. Jepang yang datang setelah mengalahkan Belanda
membuat peraturan yang menguntungkan Negara mereka, hasil alam Indonesia
yang melimpah membuat Jepang bisa memanfaatkan hal tersebut untuk digunakan
dalam mencukupi kebutuhan Negara mereka. Selain Sumber Daya Alam, Sumber
Daya Manusia juga diperas oleh Jepang, Jepang memerintahkan para masyarakat
Indonesia untuk bekerja di ladang, membangun jalan dan lain-lain. Kegiatan
buruh pekerja yang dipekerjakan secara paksa ini sering disebut Romusha,
tidak ada imbalan sepadan untuk para buruh tersebut, bahkan para buruh
tersebut sering mengalami siksaan.
Kata Kunci : Perekonomian Indonesia, Jepang, Romusha
Kedatangan Jepang
Masa pendudukan Jepang merupakan periode yang penting dalam sejarah
bangsa Indonesia. Kedatangan Jepang ke Indonesia menandakan berakhirnya
kekuasaan Hindia-Belanda. Periode ini sangat menentukan perjalanan bangsa
Indonesia menuju kemerdekaan. Kedatangan Jepang ke Indonesia, tidak dapat
dipisahkan dari Perang Pasifik sebagai bagian dari Perang Dunia II.
Sebelum menguasai wilayah Indonesia, Jepang menyerang pangkalan militer
Amerika Serikat di Pearl Harbour di bawah komando Laksamana Nagano pada 7
Desember 1941. Setelah melumpuhkan kekuatan Amerika Serikat di Pasifik,
Pada tanggal 18 Desember 1941, Hindia Belanda mengumumkan perang dengan
Jepang. Pada 1 Januari 1942, Jepang meresponnya dengan menyatakan perang
dengan Hindia-Belanda. Militer Jepang masuk ke Hindia-Belanda melalui
Tarakan (Kalimantan) (Lubis, 2004:144).
Selanjutnya militer Jepang bergerak ke Pulau Jawa, mereka dengan mudah
menghancurkan armada laut sekutu di Laut Jawa, kemudian mendarat di daerah
Eretan Wetan, Cirebon dan Banten pada 1 Maret 1942. Militer Jepang pada
hari yang sama, berhasil menguasai lapangan udara Kalijati, Subang.
Pemerintah Kolonial berusaha merebut kembali lapangan udara Kalijati pada 2-
4 Maret 1942, tetapi gagal.
Pada 5 Maret 1942, militer Jepang, bersiap-siap untuk menggempur Ciater
dan diteruskan ke Bandung. Pasukan Belanda yang berada di Ciater terpaksa
mundur ke Lembang. Kekuatan Jepang tidak dapat dibendung oleh pasukan
Belanda, akhirnya pada 7 Maret 1942, Lembang berhasil dikuasai oleh Jepang.
Pasukan Sekutu yang bertahan di Bandung akhirnya menyerah pada 8 Maret
1942, Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang (Lubis, 2004:145-146).
Pendudukan Jepang di Indonesia ditujukan untuk mewujudkan Persemakmuran
Bersama Asia Timur Raya. Untuk mewujudkan cita-cita itu, Jepang menyerbu
pangkalan Angkatan Laut di Pearl Harbour, Hawai. Peristiwa itu terjadi pada
tanggal 7 Desember 1941. Gerakan invasi militer Jepang cepat merambah ke
kawasan Asia Tenggara. Pada bulan Januari-Februari 1942, Jepang menduduki
Filipina, Tarakan (Kalimantan Timur), Balikpapan, Pontianak, dan Samarinda.
Untuk menghadapi Jepang, Sekutu membentuk Komando gabungan. Komando itu
bernama ABDACOM (American British Dutch Australian Command). ABDACOM
dipimpin oleh Jenderal Sir Archibald Wavell dan berpusat di Bandung. Pada
tanggal 1 Maret 1942 Jepang berhasil mendarat di Jawa yaitu Teluk Banten,
di Eretan (Jawa Barat), dan di Kragan (Jawa Timur). Pada tanggal 5 Maret
1942 kota Batavia jatuh ke tangan Jepang. Akhirnya pada tanggal 8 Maret
1942 Belanda secara resmi menyerah kepada Jepang.
Upacara penyerahan kekuasaan dilakukan pada tanggal 8 Maret 1942 di
Kalijati, Subang, Jawa Barat. Dalam upacara tersebut Sekutu diwakili oleh
Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh dan Jenderal Ter Poorten, sedang
Jepang diwakili oleh Jenderal Hitoshi Imamura. Dengan penyerahan itu secara
otomatis Indonesia mulai dijajah oleh Jepang.Kebijakan Jepang terhadap
rakyat Indonesia pada prinsipnya diprioritaskan pada dua hal, yaitu:
Kedatangan tentara Jepang pada mulanya mendapat sambutan baik oleh
sebagian rakyat Indonesia karena mereka datang dengan semboyan sebagai
saudara tua yang akan membebaskan bangsa-bangsa Asia dari penjajahan Barat.
Namun pendudukan Jepang di Indonesia dalam beberapa bulan saja telah
menunjukkan kekejamannya, bala tentara Jepang melakukan penindasan,
pemerasan tenaga, perampasan kekayaan alam dan sebagainya.
Dalam usaha Mengembalikan simpati Rakyat Indonesia Di bidang ekonomi,
Jepang menjalankan politik dumping, yakni menjual barang-barang dengan
harga lebih murah di luar negeri dari pada di Jepang sendiri.
Kebijakan Jepang terhadap rakyat Indonesia pada prinsipnya
diprioritaskan pada dua hal, yaitu:
1. Menghapus pengaruh-pengaruh Barat di kalangan rakyat Indonesia, dan
2. Memobilisasi rakyat Indonesia demi kemenangan Jepang dalam Perang Asia
Timur Raya.
Interaksi Bangsa Indonesia Dengan Jepang Pada Masa Kolonial Belanda
Jauh hari, sebelum berlangsungnya Perang Dunia II, telah terjadi
hubungan antara tokoh-tokoh nasionalis Indonesia dengan pihak Jepang,
antara lain Gatot Mangkupraja dan Moh. Hatta. Sesudah kunjungannya ke
Jepang pada akhir tahun 1933, Gatot Mangkupraja berkeyakinan bahwa Jepang
dengan gerakan Pan-Asia mendukung pergerakkan nasional Indonesia.
Moh. Hatta adalah tokoh yang memegang teguh paham nasionalisme.
Meskipun beliau secara tegas menolak imperialism Jepang, tetapi beliau
tidak mengecam perjuangan Jepang dalam melawan ekspansi Negara-negara
Barat. Moh. Hatta bersedia bekerja sama dengan Jepang karena beliau
berkeyakinan pada ketulusan Jepang dalam mendukung kemerdekaan Indonesia.
Faktor lain yang menyebabkan timbulnya simpati rakyat Indonesia kepada
Jepang adalah sikap keras pemerintah Hindia Belanda menjelang akhir
kekuasaannya. Pada tahun 1938, pemerintah colonial menolak Petisi Sutardjo
yang meminta pemerintahan sendiri bagi bangsa Indonesia dalam lingkungkan
kekuasaan Belanda sesudah 10 tahun. Setahun kemudian, Belanda pun menolak
usulan dari Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang dirumuskan dalam slogan
Indonesia Berparlemen. Penolakan-penolakan tersebut menimbulkan keyakinan
kaum pergerakan nasional Indonesia bahwa pihak Belanda tidak akan
memberikan kemerdekaan. Di lain pihak, Jepang sejak awal sudah
mengumandangkan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia, termasuk Indonesia.
Kebijakan Umum Pemerintahan Jepang
Berakhirnya Pemerintahan Hindia-Belanda yang digantikan oleh
Pemerintahan Jepang tentu disertai perubahan kebijakan. Pemerintah Jepang
sangat memerlukan sumber daya untuk menunjang militernya dalam Perang
Pasifik. Demi kelancaran dalam memperoleh sumber daya, Pemerintah Jepang
pada awal kedatangannya membuat berbagai kebijakan yang menarik simpati
rakyat Indonesia.
Bahasa Indonesia dan bendera merah putih tidak lagi dikekang oleh
pemerintah. Pribumi yang berpendidikan mendapat jabatan di pemerintahan.
Ulama pun digandeng oleh pemerintah Jepang, berbeda dengan pemerintah
Hindia-Belanda yang kerap bersitegang dengan ulama. Upaya-upaya tersebut
berhasil membuat rakyat Indonesia bersimpati.
Kebijakan pertama yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang adalah
melarang kegiatan berkumpul dan dan rapat, tertuang dalam UU No. 2 yang
diperkuat dalam UU No. 3 pada 20 Maret 1942, yang isinya melarang segala
macam perbincangan, pergerakan, atau propaganda mengenai aturan dan susunan
organisasi Negara (Lubis, 2004:150). Pergerakan politik rakyat Indonesia
yang pada pemerintahan Hindia-Belanda begitu gencar menjadi terhambat pada
pemerintahan Jepang. Pemerintah Jepang membuat berbagai badan untuk
mengalihkan dan menumpulkan radikalisme dari partai politik yang ada
sebelumnya.
Stratifikasi sosial pada pemerintahan Jepang berubah, Jepang berada di
posisi teratas disusul oleh Timur Asing dan Indonesia pada lapis kedua, dan
Belanda serta Eropa pada lapis ketiga, sebelumnya pada pemerintahan Hindia-
Belanda Jepang berada di lapis kedua dan Belanda serta Eropa di lapis
pertama. Penempatan orang Belanda dan Eropa pada lapis ketiga berdampak
pada perkebunan yang telah mereka bangun. Perkebunan milik Belanda dan
Eropa disita oleh Jepang. Berbagai kebijakan yang mengatur perkebunan
dikeluarkan, seperti produksi, rehabilitasi, dan pemberian kredit (Lubis,
2004:152).
Kebijakan Ekonomi Pemerintahan Jepang
Dalam menjalankan kebijakan pemerintahannya, pemerintah Jepang
berpegang pada tiga prinsip utama. Pertama, mengusahakan agar mendapat
dukungan rakyat untuk memenangkan perang dan mempertahankan ketertiban
umum. Kedua, memanfaatkan sebanyak mungkin struktur pemerintahan yang sudah
ada. Ketiga, meletakkan dasar supaya wilayah yang bersangkutan dapat
memenuhi kebutuhannya sendiri bagi wilayah selatan. Kebijaksanaan Jepang
terhadap rakyat Indonesia mempunyai dua prioritas, yaitu menghapus pengaruh-
pengaruh Barat di kalangan rakyat Indonesia dan memobilisasi rakyat
Indonesia demi kemenangan Jepang dalam perang Asia Timur Raya.
Jepang melakukan beberapa peraturan. Dalam Undang-Undang No. 4
ditetapkan hanya bendera Jepang, Hinomaru, yang boleh dipasang pada hari-
hari besar dan hanya lagu kebangsaan Kimigayo yang boleh diperdengarkan.
Sejak tanggal 1 April 1942 ditetapkan harus menggunakan waktu (jam) Jepang.
Perbedaan waktu antara Tokyo dan Jawa adalah 90 menit. Kemudian mulai
tanggal 29 April 1942 ditetapkan bahwa kalender Jepang yang bernama Sumera.
Tahun 1942 kalender Masehi, sama dengan tahun 2602 Sumera. Demikian juga
setiap tahun rakyat Indonesia diwajibkan untuk merayakan hari raya
Tancōsetsu, yaitu hari lahirnya Kaisar Hirohito.
Dalam situasi perang, Jepang berkepentingan untuk membangun berbagai
sarana, seperti kubu-kubu pertahanan, benteng, jalan-jalan, dan lapangan
udara. Untuk itu, perlu tenaga kasar yang disebut romusha. Bentuk kerja
paksa seperti halnya pada masa pemerintahan Hindia Belanda (Kerja Rodi)
juga terjadi pada masa pendudukan bala tentara Jepang, yang disebut dengan
Romusha. Para tenaga kerja paksa ini dipaksa sebagai tenaga pengangkut
bahan tambang (batu bara) , pembuatan rel kereta api serta mengangkut hasil
hasil perkebunan.Tidak terhitung berapa ratus ribu bahkan jutaan rakyat
Indonesia yang menjadi korban romusha. Untuk menarik simpati bangsa
Indonesia terhadap Romusha, Jepang menyebut romusha sebagai "Pahlawan
Pekerja/Prajurit Ekonomi".
Karena daerah pendudukan sangat luas maka, Jepang memerlukan tenaga
yang banyak untuk membangun sarana pertahanan. Tenaga untuk mengerjakan
semua itu, diperoleh dari desa-desa di Jawa yang padat penduduknya melalui
suatu sistem kerja paksa yang dikenal dengan Romusha. Kurang lebih 70.000
orang dalam kondisi menyedihkan dan berakhir dengan kematian.
Sistem perekrutan diselenggarakan di desa-desa melalui lurah/kepala
desa. Kondisi ekonomi yang serba sulit membuat dan iming-iming kehidupan
yang lebih baik membuat rakyat melamar menjadi romusha. Tenaga kerja yang
melamar menjadi romusha dipaksa bekerja di berbagai daerah sesuai dengan
kebutuhan Jepang. Pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan yang berat,
seperti pembangunan infrastruktur, lapangan terbang, benteng pantai, lubang
perlindugan, parit perlindungan, dan pabrik amunisi (Kurosawa, 1993:144).
Romusha dalam kesepakatan mendapatkan bayaran sebesar F. 0.50/hari dan
F. 30/bulan dikirim ke keluarga mereka. Pada praktiknya, romusha dibayar
kurang dari kesepakatan atau bahkan tidak dibayar. Pembayaran di setiap
tempat kerja paksa berbeda-beda, ada yang dibayar F. 0.14/hari hingga F.
1.00/hari. Namun, upah yang diterima oleh romusha tidak mencukupi biaya
hidupnya, harga gabah/kg adalah F. 0.10 pada Maret 1944 (Kurosawa,
1993:149).
Kebijakan lainnya adalah, penekanan angka produksi perkebunan karena tidak
berkaitan dengan kebutuhan perang, fokus utama Jepang adalah peningkatan
produksi beras. Akibat kebijakan ini, produksi perkebunan yang tinggi pada
masa Hindia-Belanda, menjadi turun drastis. Salah satunya adalah melemahnya
industri gula. Industri gula melemah karena kebijakan pemerintah Jepang
untuk mengurangi produksi gula yang telah direncanakan sejak awal
kedatangan. Pengurangan ini dilakukian bertahap dan rahasia.
Semua perusahaan gula milik Belanda dan Eropa disita, kemudian Jepang
menyerahkan pengelolaan industri gula kepada enam perusahaan milik Jepang.
Enam perusahaan Jepang tersebut membawahi perusahaan-perusahaan Belanda dan
Eropa. Jumlah perkebunan selama pendudukan Jepang terus berkurang, dari 85
(1942) menjadi 13 (1945).
Begitu pula dengan angka produksi, pada tahun 1942, produksi gula
mencapai 1.325.802 ton, menurun drastis menjadi hanya 84.245 ton pada tahun
1945. Jumlah produksi pada tahun 1945 merupakan jumlah yang terburuk, lebih
rendah dari masa Depresi (1935) yang mencapai 506.659 ton (Kurosawa,
1993:37-43). Tidak hanya produksi gula yang menurun, produksi karet karena
produksi di Jawa dan Kalimantan terhenti hal yang sama juga tejadi pada
komoditas teh (Ricklefs, 2001:249).
Kecenderungan penurunan produksi ini berdampak kepada para petani. Para
petani yang memiliki tanah merasa diuntungkan dengan pengurangan produksi
gula. Mereka tidak lagi disibukkan dengan irigasi dan pengembalian tanah,
mereka dapat menaman padi. Kondisi yang berbeda dialami oleh petani yang
tidak memiliki tanah, jumlahnya lebih banyak daripada petani yang memiliki
tanah.
Mereka menggantungkan hidupnya dari upah perkebunan. Begitu produksi
gula dikurangi, kehidupan mereka menjadi semakin sulit. Akibat, pengurangan
produksi gula, jumlah pengangguran meningkat. Para pengangguran ini banyak
dimobilisasi oleh kinro hoshi (tenaga kerja sukarela) untuk menjadi romusha
(Kurosawa: 1993:47). Pilihan yang benar-benar sulit.
Terdapat usaha-usaha untuk memperbaiki kondisi ini, pada Juli 1944,
Fujinkai dan Kridodarmo membuatkan 200.000 baju untuk dihadiahkan kepada
romusha, bahan pembuatan baju ini disediakan oleh Koochi Zimu Kyoku (Sinar
Baroe, 15 Juli 1944:3). Perhatian bagi keluarga romusha pun berdatangan
dari badan-badan bentukkan Jepang, pada bulan yang sama, keluarga dan anak-
anak romusha diberikan sejumlah pakaian dan uang (Surakarta dan Surabaya)
(Asia Raya, 15 Juli 1944:2).
Mereka pun diberikan pekerjaan untuk menambah hasil bumi atau membuat
pakaian (Sinar Baroe, 29 Juli 1944:3). Kemudian pada September 1944,
dukungan terhadap romusha juga muncul dari Chuoo Sangi in, yang menempatkan
romusha sebagai prajurit ekonomi, artinya mereka layak diberi penghargaan
sama seperti prajurit PETA dan Heiho.
Sebagai bukti penghargaan kepada romusha, di Pati diadakan sayembara
untuk membuat sebuah model penghargaan yang nantinya akan ditempelkan di
depan pintu rumah keluarga romusha, sama seperti yang diberikan pada
prajurit Heiho (Sinar Baroe, 1 September 1944:1). Pada Februari 1945,
terdapat gerakan menyempurnakan urusan pengerahan tenaga romusha, tujuan
gerakan ini adalah untuk menyempurnakan romusha, salah satunya adalah
dengan memperlakukan romusha dengan baik, seperti keluarga (Sinar Baroe, 19
Februari 1945:2). Pemberian penghargaan dan pelabelan romusha sebagai
prajurit ekonomi sangat berkait dengan upaya Jepang untuk menyamarkan
kondisi nyata romusha kepada dunia internasional.
Kebijaksanaan yang dilakukan Jepang bidang ekonomi di Jawa adalah :
1). Peningkatan produksi padi
Keadaan beras di Jawa tahun 1942 sangat mengkhawatirkan. Oleh karena itu
produksi padi perlu ditingkatkan. Dalam rangka itu Jepang merencanakan
penambahan areal tanah. Cara menambah areal tanah ini adalah pertama
dengan dengan membuka tanah baru terutama bekas perkebunan tanah lainya
yang belum pernah ditanami. Kedua disamping itu Jepang yang
memeperkenalkan teknik penanamam padi yang baru,
2). Wajib serah padi
Pada masa pendudukan Jepang, Jawa ditetapkan sebagai pemasok beras pulau-
pulau diluar Jawa serta untuk keperluan medan pertempuran di medan
pertempuran di pasifik selatan. Beras didatangkan dari Jawa semakin
memiliki arti yang sangat penting karena semasa perang membutuhkan
kebutuhan bahan makanan banyak. Oleh karena itu, Jepang berkeinginan
untuk memperolah beras dari Jawa sehingga kebijakan mereka ditujukan
untuk memaksimalkan produksi dan pengumpulan beras.
Para romusha diperlakukan dengan sangat buruk. Mulai dari pagi buta
hingga petang, mereka dipaksa untuk melakukan pekerjaan kasar tanpa makanan
dan perawatan. Oleh karena itu, kondisi fisiknya menjadi sangat lemah
sehingga banyak yang menderita berbagai jenis penyakit, bahkan meninggal
dunia di tempat kerjanya. Belum lagi siksaan bagi yang melawan mandor-
mandor Jepang, seperti cambukan, pukulan-pukulan, dan bahkan tidak segan-
segan tentara Jepang menembak para pembangkang tersebut.
Untuk mendukung kekuatan dan kebutuhan perangnya, pemerintah Jepang
mengambil beberapa kebijakan ekonomi, antara lain.
I.) Pengambilan Aset-Aset Pemerintah Hindia Belanda
Aset-aset yang ditinggalkan oleh pemerintah colonial Belanda disita dan
menjadi milik pemerintah pendudukan Jepang, seperti perkebunan, bank-
bank, pabrik-pabrik, pertambangan, sarana telekomunikasi, dan perusahaan
transportasi.
II.) Kontrol terhadap Perkebunan dan Pertanian Rakyat
Tidak semua tanaman perkebunan dan pertanian sesuai dengan kepentingan
perang. Hanya beberapa tanaman saja yang mendapat perhatian pemerintah
pendudukan Jepang, seperti karet dan kina, serta Jarak. Kopi, teh, dan
tembakau hanya dikategorikan sebagai tanaman kenikmatan dan kurang
berguna bagi keperluan perang sehingga perkebunan ketiga tanaman
tersebut banyak digantikan dengan tanaman penghasil bahan makanan dan
tanaman jarak yang berguna sebagai pelumas mesin pesawat tentara Jepang.
III.) Kebijakan Moneter dan Perdagangan
Pemerintah pendudukan Jepang menetapkan bahwa mata uang yang berlaku,
tetap menggunakan gulden atau rupiah Hindia Belanda. Tujuannya adalah
agar harga barang-barang tetap dapat dipertahankan seperti sebelum
terjadinya perang.
Perdagangan pada umumnya lumpuh dikarenakan menipisnya persediaan barang-
barang di pasaran. Barang-barang yang dibutuhkan oleh rakyat
didistribusikan melalui penyalur yang ditunjuk agar dapat dilakukan
pengendalian harga.
IV.) Sistem Ekonomi Perang
Dalam situasi perang, setiap daerah harus menetapkan sistem ekonomi
autarki, yaitu sistem ekonomi yang mengharuskan setiap daerah berupaya
memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri, tanpa mengandalkan bantuan dari
daerah lain. Setiap daerah autarki mempunyai tugas pokok memenuhi
kebutuhan pokok sendiri untuk tetap bertahan dan mengusahakan
memproduksi barang-barang untuk keperluan perang.
Hal-hal yang Diberlakukan dalam Sistem Pengaturan Ekonomi Pemerintah Jepang
1. Kegiatan ekonomi diarahkan untuk kepentingan perang maka seluruh potensi
sumber daya alam dan bahan mentah digunakan untuk industri yang mendukung
mesin perang.
2. Jepang menerapkan sistem pengawasan ekonomi secara ketat dengan sanksi
pelanggaran yang sangat berat.
3. Menerapkan sistem ekonomi perang dan sistem autarki (memenuhi kebutuhan
daerah sendiri dan menunjang kegiatan perang).
Perubahan Ekonomi Masyarakat Jawa
Berbagi kebijakan ekonomi Jepang di Jawa tentu ada kaitannya dengan
perubahan ekonomi masyarakat Jawa tahun 1942-1945. Bentuk kebijakan ekonomi
Jepang di Jawa yang berakibat pada perubahan ekonomi masyarakat secara
mendasar ialah diberlakukannya politik penyerahan padi secara paksa untuk
memenuhi kebutuhan bahan pangan yang semakin meningkat bagi tentara Jepang
di front-front pertempuran.
Usaha Jepang dalam Menguasai dan Mendapatkan Sumber-Sumber Bahan Mentah
Jepang berusaha untuk mendapatkan dan menguasai sumber-sumber bahan
mentah untuk industri perang. Jepang membagi rencananya dalam dua tahap :
a) Tahap penguasaan, yakni menguasai seluruh kekayaan alam termasuk
kekayaan milik pemerintah Hindia Belanda.
b) Tahap penyusunan kembali struktur ekonomi wilayah dalam rangka memenuhi
kebutuhan perang.
Koperasi pada Masa Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan bala tentara Jepang istilah koperasi lebih dikenal
menjadi istilah Kumiai. Pemerintahan bala tentara Jepang di Indonesia
menetapkan bahwa semua Badan-badan Pemerintahan dan kekuasaan hukum serta
Undang-undang dari Pemerintah yang terdahulu tetap diakui sementara waktu,
asal saja tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Militer.
Berdasarkan atas ketentuan tersebut, maka Peraturan Perkoperasian tahun
1927 masih tetap berlaku. Akan tetapi berdasarkan Undang-undang No. 23 dari
Pemerintahan bala tentara Jepang di Indonesia mengatur tentang pendirian
perkumpulan dan penyelenggaraan persidangan. Sebagai akibat daripada
peraturan tersebut , maka jikalau masyarakat ingin mendirikan suatu
perkumpulan koperasi harus mendapat izin Residen. Dengan berlakunya Undang-
undang ini, maka di beberapa daerah banyak koperasi lama yang harus
menghentikan usahanya dan tidak boleh bekerja lagi sebelum mendapat izin
baru dari Scuchokan.
Peralihan dari Perekonomian Jepang ke Perekonomian Revolusi
Pada akhir masa kedudukan Jepang dan awal kemerdekaan, perekonomian
Indonesia mengalami kelumpuhan karena beberapa faktor yang terjadi
sebelumnya, diantaranya adalah:
a) Pengurasan berbagai kekayaan alam dan hasil bumi oleh pemerintah
pendudukan Belanda dan Jepang;
b) Tenaga kerja usia produktif dijadikan romusha oleh Jepang
c) Hiper Inflasi akibat peredaran mata uang Jepang yang kosong
d) Pajak-pajak dan bea masuk yang menjadi andalan turun drastis, sementara
pengeluaran pemerintah bertambah besar.
e) Kedatangan Belanda dengan NICA. Belanda melakukan blockade laut.
ORI
Sebuah tim yang terdiri atas anggota serikat buruh percetakan G. Kolf
di Jakarta untuk melakukan peninjauan ke Surabaya, Malang, Solo dan
Yogyakarta untuk menentukan percetakan terbaik untuk memperoleh kepercayaan
melaksanakan pencetakan uang itu. Pembuatan design dan bahan-bahan berupa
negatif kaca dilakukan di percetakan Balai Pustaka Jakarta dan ditangani
Bunyamin Surjoharjo. Pelukis pertama ORI adalah Abdulsalam dan Soerono.
Proses cetak offset dilakukan di percetakan RI Salemba Jakarta (di bawah
Kementrian Penerangan). Produksi ORI ditangani oleh RAS Winarno dan Joenet
Ramli.
Negara penjajah yang paling merugikan Indonesia adalah Jepang, karena
pemerintah militer Jepang melakukan perombakan besar-besaran dalam struktur
ekonomi masyarakat. Kesejahteraan masyarakat merosot tajam dan terjadi
bencana kekurangan pangan, karena produksi bahan makanan dipasok untuk
kebutuhan militer. Tidak hanya pemerintah militer Jepang yang merugikan
Indonesia, pemerintah Belanda pun sangat merugikan Indonesia. Hampir
seluruh kekayaan Indonesia dikuras untuk memperkaya mereka. Banyak
kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah Belanda membuat Indonesia
sengsara dan rata-rata kehidupan rakyatnya dibawah taraf kemiskinan.
DAFTAR RUJUKAN
Drakeley, S. 2005. The History of Indonesia. Westport: Greenwood.
Kurosawa, A.1993. Mobilisasi dan Kontrol;Studi tentang Perubahan Sosial di
Pedesaan Jawa 1942-1945. Jakarta: Grasindo.
Lubis, N. 2004. Banten dalam Pergumulan Sejarah; Sultan, Ulama, Jawara.
Jakarta: LP3ES.
Ricklefs, M.C.2001. A History of Modern Indonesia since c. 1200; Third
Edition. Basingstoke: Palgrave.