BAB I PENDAHULUAN 1.1 Letak Geografis
Kabupaten Ngada (Bajawa) adalah salah satu dari 15 kabupaten di propinsi NTT,yang terletak di bagian tengah pulau Flores,secara geografis kabupaten Ngada terletak pada koordinat o o o – 9o LS. 120 ,45 dan 8 – 9
Beriklim tropis dengan dua musim yaitu musim hujan (Oktober-April) dan musim panas (MeiSeptember). Rata-rata curah dalam musim hujan 122 mm - 152 mm. Rangkaian pegunungan dan perbukitan merupakan kekhasan topografi kab.Ngada (Bajawa). Gunung-gunung yang terkenal adalah Ebulobo (2.149 m), Inelika (1.631 m),Inerie (2.245 m), Lobobutu (1.800 m). Kabupaten Ngada memiliki Flora dan Fauna yang bervariasi sebagian besar sebagai petani,panorama yang indah,adat istiadat yang unik merupakan obyek wisata yang dapat dinikmati. 1.2 Mata Pencaharian
Ada beberapa pendapat yang menyebutkan bahwa masing-masing kesatuan adat istiadat di Bajawa (Ngada) mempunyai pranata ekonomi yang berbeda satu dengan yang lainnya antara lain: 1.
Masyarakat di Kecamatan So‟a merupakan pendukung kebudayaan parawitu (kebudayaan berburu).
2.
Masyarakat dibajawa khususnya Naru,Watujaji,Mangulewa,Aimere,Bou-bou, Boripo,Nua lima zua,Langa,merupakan pendukung kebudayaan Reba (kebudayaan tahun baru dan panen).
3.
Pendukung kebudayaan bertani dalam arti luas ialah pendukung Ngadhu/Peo, yang terjadi pada sebagian adat Bajawa (Ngada) dan Kecamatan Riung. Secara tradisional pola bercocok tanam sejak dahulu berkebudayaan kea kala (tebas
bakar),yang di tandai dengan menebas hutan dengan pohon-pohon besar yang rindang dan tinggi.
1
Pekerjaan lebih mudah karena rumput yang tumbuh dibawahnya lembab dan mudah dibersikan. Dalam mencari lahan yang lebih subur,masyarakat Bajawa mengenal ungkapan “gae semu nu oe lina”. lina”. Rangkaian upacara pertanian di tandai dengan beberapa situs. Secara tradisional memilih tpemat yang cocok untuk berladang,bersawah yang memiliki serangkaian acara dengan mengorbankan darah hewan. Hal ini karena membuka hutan baru,menebang pohon-pohon perlu mendapat ijin dari penguasa hutan. Ritus upacara pertanian di dahului oleh satu acara memohon datangnya hujan yaitu „„Enga ae uza”, kemudian di acara “Ghoro nio” ( tarik kelapa ) dan “Kela nio” (belah kelapa) untuk memberi makan bumi,membuat dingin ta nah, disusul dengan acara “Bu siu” (mengikuti suara burung),upacara ini bertujuan untuk membutakan mata burung supaya tidak melihat biji-bijian yang di tanam. Semua pekerjaan pertanian dapat dilakukan brgotong-royong,waktu bekerja kebun baik sebelum sampai dengan sesudah menanam,rangkaian pekerjaan dilakukan dengan gotong-royong mengenal istilah “kabho “kabho tawo ne’e sozo wozo” wozo” (kerja sama dalam penggarapan tani). Bentuk gotong-royong lainnya seperti:
Rau zo,Leza kaba: Seluruh rakyat dapat diijinkan menanam penanaman pertama dan pemetikkan hasil panen
untuk padi dan jagung secara simbolis tetap dilakukan oleh wanita karena mereka jugalah yang menentukan bibit terbaik dari padi dan jagung.
Moni uma/Doko uma/Anakola: Acara perayaan ladang sesudah panen,hasil diikat dalam simpul-simpul dan di masukan
dalam lumbung. 1.2 Sistem Sosial Masyarakat
Arti keluarga dalam masyarakat Bajawa umumnya selain terdekat dalam bentuk keluarga inti “Sa‟o”(rumah), maka keluarga yang lebih luas ialah se pendukung satu simbol pemersatu (Satu peo,Satu ngadhu,Satu bhaga). Ikatan nama membawa hak-hak dan kewajiban tertentu,sebagai contoh sebagai anggota kekerabatan dari kesatuan adat istiadat harus taat pada kepala suku terutama atas tanah. Atas kenyataan ini maka 2
masyarakat pendukung suku mempunyai sebuah rumah pokok (adat) dengan seorang yang mengepalai bagian pangkal “ Ngadhu ulu sa’o saka pu’u”. Semua anggota keluarga diharuskan taat juga pada kepala keluarga dengan satu prinsip yang disebut “Ulu sa’o lie ne’e teda toko sipolali” dan klen besar dari rumah-rumah klen inti itu membentuk klen kecil atau “Woe” misalnya Woe ngadhu. Secara tradisional rumah adat Bajawa sejak dulu ditandai dengan “Weti” ukiran ragam motif. Ukiran-ukiran di buat dalam sebilah papan dan diletakan pada dasar dinding panggung. Bentuk ukiran sangat bervariasi dari yang paling sederhana sampai yang bertaraf atas misalnya “sa’o, sa’o keka, sa’o lipi wisu,sa‟o dawu ngongo”. Rumah-rumah itu bergabung dalam pola perkampungan yang letaknya dibukit-bukit keliling kampung di pagari benteng batu seperti di baghi,watu api. Sistem/pelapisan sosial di sebut “ata/riwu ga’e’’ yang memiliki hak-hak khusus dalam persekutuan
adat,mengambil
bagian
pokok
dalam
upacara
adat,
seperti
urusan
konsumsi,kebersihan lingkungan pesta,akomodasi dan perlengkapan. Lapisan menengah disebut„‟gae kisa„‟ yang menjadi penengah/jembatan antara lapisan atas dan terbawah.lapisan terbawah adalah “ho’o”,yaitu orang-orang kecil atau budak. Para istri setiap lapisan terutama pelapisan atas dan menengah disebu t „’inegae/finegae„‟ dengan tugas utama menjadi kepala rumah yang memutuskan segala sesuatu di rumah mulai pemasukan dan pengeluaran. Disamping struktur-struktur tersebut,maka di kenal pula “ Mori lengi” atau “Mori nua” (mereka di hormati karena mereka adalah suku atau orang tertua yang mendirikan kampung induk), “Mori wesu tana” (tuan tanah),” mori wesu sudu” (menetapkan saat diadakan tinju),”mori sobhi” (pemegang kalender adat), “mori sao saka puu” (kepala rumah adat).Disamping penggolongan masyarakat berdasarkan pelapisan, maka masyarakat ngada (Bajawa) juga mengenal bebrapa organisasi sosial yang berfungsi gotong royong, sebagai contoh perkumpulan “kee kaka” (kerja sama menyumbangkan nasi yang empunya hajat). Organisasi sosial tersebut dibentuk berdasarkan pengelompokan fungsi dalam bidan pertanian (rau zo) untuk kerja bergilir, kelompok menyumbangkan tenaga, materil “suu papa suru”atau “sa’a papa laka”.
3
BAB II BERPIKIR MORAL MASYARAKAT 2.1. Filosofi (Cara pandang masyarakat) 2.2.1 Ngadhu dan bhaga.
Dalam filosofi masyarakat Bajawa menyebutkan: Mula ngadu tau tubo lizu,kabu wi rawe nitu, lobo wi soi dewa,mendirikan ngadu menjadi tiang penyangga langit dan akar mencengkram kuat kedalam bumi serta ujungnya menjulang mencapai Allah. Begitulah kewajiban setiap woe di Ngada (Bajawa), menegakan simbol kehadiran leluhur lelakinya yang demikian eratnya dibumi mesra bersama cucunya, walau hanya kenangan didalam setiap langkah kehidupan anak cucu turunannya, sekaligus sebagai perantara menemui sang ilahi. Bhaga dalam monumen, pengganti rupa dari leluhur pokok perempuan dari setiap woe di Ngada.Dengan demikian , ngadhu dan bhaga adalah monument pengganti rupa dari suami istri sebagaimana diungkapkan dalam bahasa budaya Ngada “Ngadhu he‟e bhaga wi radakisa nata” yang berarti ngadhu dan bhaga menaungi halaman kampung. 2.2.2 Filosofi kekudusan-kesucian para leluhur (Go Milo/Go zio milo).
Pada hari kelahiran seorang anak,suatu tradisi si ibu dan si anak diperciki dengan air kelapa merah seraya menyebutkan”dia wi zio milo rasi higa”, artinya keadaan yang suci,kekudusan. Mereka dimandikan supaya menjadi bersih dan suci adanya.Acara ini diperintahkan dan diteguhkan dengan ajaran”pui loka oja pe‟i tangi lewa dewawi dhoro dhega”, artinya tempat suci sebagai simbol hati nurani manusia yang berkenaan kepada sang ilahi atau leluhur.Hanya orang-orang tertentu yang boleh mengantarkan sembahan atau sesajian ketempat itu.Bila dikaitkan dengan keyakinan kristiani loka oja itu tidak saja tempat alamiah,tetapi juga simbol hati nurani manusia yang berkenaan pada Allah, agar menjadi tempat yang layak bagi Allah. Kewajiban menjaga kebersihan diri sudah diterapkan sejak dini, sejak usia memasuki kehidupan
bermasyarakatterutama
menjelang
usia
perkawinan.Kesucian,
bersih
diri,
keperawanan hidup itu sudah diawasi dan dijaga sampai saat menjelang perkawinan.karena itu,perkawinan sudah dianggap sebagai suatu panggilan hidup.
4
2.2.3 Filosofi wi pegi kage suli ngi’i
Adalah ungkapan yang menunjukan tujuan dan hidup perkawinan trdisi itu, yakni keturunan,anak pengganti atau pelanjutperan orang tua.Maka kelahiran seorang diibaratkan seperti menanam atau menggantikan gigi,memasang tananam kembali gigi yang telah tak tumbuh lagi,dalam arti patah tumbuh hilang berganti,ada generasi penerusnya. Perkawinan tradisi Ngada (Bajawa) bertujuan untuk saling mmembahagiakan antara suami dan istri dan memperoleh keturunan,anak patut dibanggakan dikenal dengan”wi yie sama jora ngasa,wi kako sama manu jago”, artinya meringik seperti kuda jantan dan berkokok seperti ayam jantan kebanggaan yang berbicara penuh wibawa. Asas dan dasar perkawinana tradisi diatas menjadi asas dan dasar hidup perkawinan orang Ngada (Bajawa) serta diterapkan melalui ajaran pokoknya, yakni “Sui Uwi”, kemudian itu menyangkut pula tata tertib hidup, tingkah laku serta pengembangan kehidupan sosial ekonomi dan gaya kepimimpinan tradisi Ngada (Bajawa). 2.2 Nilai-nilai moral tradisional masyarakat Bajawa
Nilai-nilai moral
Artinya
Tradisional 1. La‟a Sala
Suatu perkawinan yang dilakukan pasangan yang masih mempunyai hubungan darah. misalnya: anak menikah dengan ayahnya atau saudara lakilaki dengan saudari perempuannya. Termasuk pelanggaran moral.
2. Reba
Pesta adat tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Bajawa dalam setahun sekali untuk mensyukuri hasil panen.
3. Bere Tere
Suatu
acara
adat,dimana
seseorang
laki-laki
bersama
keluarganya masuk pertama kali kerumah perempuan atau perkenalan.
5
4. Ka Sa‟o
Upacara yang dilakukan untuk masuk rumah adat yang baru/rumah baru.
5. Idi Ngawu
Pihak laki-laki membawa belis pada pihak perempuan sebelum menikah.
6. Golo
Kematian yang tidak wajar,seperti dibunuh,ditabrak dll. Kematian seperti ini jenazahnya tidak boleh di simpan di dalam rumah harus berada di luar rumah.
7. Sagi
Tinju adat yang dilakukan setahun sekali khususnya di kecamatan so‟a.
8. Kiki Ngi‟i
Simbol pemotongan gigi yang dilakukan hanya pada perempuan yang sudah dewasa.
2.3 PENERAPAN NILAI-NILAI MORAL DALAM PERISTIWA ATAU UPACARA ADAT. 2.3.1 upacara adat reba A. Perayaan Awal
Ada beberapa upacara ritual yang dilaksan pada saat reba 1. Paki sobhi Paki sobhi pembuatan sisir dari bambu yang digunakan sebagai kalender adat yang
dilakukan pada hari pertama,awal perayaan reba sebelum kobe dheke. Sobhi dibuat dari bantang bambu aur sepanjang 20 cm di buat bentuk jari-jari atau urat sisir sebanyak 13 jari atau urat.dengan hitungan tiap bulan baru muncul di bagian barat, satip jari atau urat dipatahkan begitu seterusnya. Ketika tinggal satu jari atau sisir ke 13 itu berarti waktu untuk melaksanan upacara reba. Sebelum acara reba ada satu tahapan adat namanya soka soka uwi artinya seluruh pujaan tentang tanaman uwi-uwi hawut pertandanya reba. Syair soka uwi sebagai berikut: O uwi e….. O uwi e……
6
Ulu mena kutu ko’e koe dhano ana ko’e (ketimur babi landak gali meski di gali tetap masih ada) Ulu zele hui moki moki dhano bhai moli ( kebarat babi hutan sungkur, meski sungkur juga
takaan habis ) O, uwi e….. O uwi
Makna bebas; uwi adalah tanaman simbol sumber kehidupan yang tak kan bisa punah meski dikonsumsi oleh hewan dan manusia 2. Rebha Rebha adalah salah satu upacara persiapan reba yang dilaksanakan pada pagi hari pertama
sebelum kobe dheke. Upacara rebha dilaksanaan pada pagi hari di kebun atau diladang sebelum upacara persiapan berikunya yaitu tege kaju lasa. Rebha dilaksanakan untuk memohon berkat Tuhan melalui arwah leluhur agar tujuan tanaman (ngaza lima zua) tumbuh subur dan menghasilkan panen berlimpa. Tanama-tanaman tersebut adalah pare (padi), ha‟e ( jagung), hae lewa (jagung solor), wete (jewawut) dan hobho (kacang-kacangan) tanaman ini di tanam didalam kebun atau ladang.
Proses upacara rebha sebagai berikut ; Beberapa orang dari masing-masing suku /warga rumah adat berangkat dari sa’o(rumah adat)
menuju kebun membawa serta parang, piso,seekor ayam kecil , ssatu buah kelapa muda yang masi kecil (nio boko) dan nasi.dikebun merka langsung menuju kesebuh tempat didalam kebun yang bernama mata tewi ,mata tewi merupakan sebuah tempat yang berukuran kira-kira 2x2 m. Tempat persemayan uwi ,pada keempat sudut kebun itu ditanami uwi,sedangkan di tengahnya tanam tanaman yang laen, sebelum melakukan penanaman bibit uwi seorang yang lebih tua mengucapkan semacam manra zi’a ura manu untuk menyatakan ujud pelaksanaan upacara tersebut Syair zia ura manu: Zi’a ura manu dia (semoga dengan upacara pemotongan ayam untuk rebha) Dia kami da rebha uma(ini kami akan merebha kebun) Raba go ngaza lima zua wi lowa(agar tanaman yang di tanam bertumbuh subur )
7
Dia kami nge nuka reba (kami persembahkan darah ayam ini bagi keselamatan peryaan reba di
kampong, Manu kau ura zia (ayam semoga urat, empedumu menunjukan tanda baik) Bhoko se wolo jali jo (tanam terbaris rapih ) Da lewa noze nea(yang tinggi dipangkas sehinggah subur )
Kiki kaba ne’e we’a (dapat menghasilkan kerbau dengan emas ) Pedhu kau bodha wela olo (semoga penyakit tersingkir jauh)
Setelah zi’a ura manu lalu ayam di potong dan di bakar dibelah untuk melihat isi perutnya, dan si pengucap mantra tadi harus melihat kondisi urat hati, empedunya.melalui pengamatan kondisi urat hati, dan empedu ayam akan tanpak petunjuk-petunjuk tertentu seperti akan terjadi kelaparan, tanaman tumbuh subur atau berhasil,dan lain-lain.setelah itu darah ayam dioleskda batu lanu dan daun-daun tanaman tadi yang dipetik dan diikat menjadi satu,kemudian salah seorang membakara ayam tadi dan yang lainya berjalalan keliling kebununtuk rebha daun tanaman tadi dioleskan dengan darah ayam di celupkan kedalam buah kelapa muda setelah di lubangi bagian matanya,kemmudian mereka berjalan keliling kebun memercik tanaman di seluruh kebun sambil beteriak lowa-lowa-lowa (lowa artinya bertumbuh terus) ter akhir kelapa mida tadi di telingkupkan pada salah satu kayun patok teras kebun za’i/ulu kemudian mereka makan nasi serta daging ayam yang dibakar.sebelum dimakan mereka harus memberikan sesajean kuwi bagi leluhur berupa nasi dan hati ayam.pada waktu kuwi /memberikan sesajian harus diucapkan mantra berikut Dia ine ema ebu kajo ( ini para leluhur nenek moyang) Kami da puju kuwi (kami memberimu sesajen) Ka papa fara inu papa pinu (makanlah bersama ,minumlah bergilir) Kami nenga raba go buku reba (kami akan merayakan adat budaya reba Dhegha go buku ngata sili anan wunga (mengenang adat budaya sili ana wunga)
3. Tege kaju/kuju lasa
Setelah upacara rebha dikebun, sore harinya ada upacara te g’e kaju secara harafiah tege kaju artinya masukan kayu (kayu api)kedalam sa’o (rumah adat)kayu api ini sudah dipotong dan dikeringkan kurang lebih satu bulan menjelang reba kayu-kayu itu dikumpulkan dipadha sa’o
8
yaitu jenjang pertama sa’o, sa’o memiliki tiga jenjang lantai yaitu pertama padha kedua teda dan jenjang ketiga one Pelaksanaan upacara teg’e kaju harus dimulai dari rumah adat. Kayu dimasukan ke on’e sa’o dan diletakan di atas para-para ( ke’e)yang berjarak kurang lebih 1,5 meter diatas tungkuh api didalam rumah adat. Kayu api tersebut disiapkan untuk dipakai selama upacara reba, Jenis kayunya harus kayu isi supaya bara api tetap ada, sebab selama perayaan reba masing-masing rumah tidak boleh meminta api dari rumah lain, dan selama perayaan reba tidak boleh ada yang ke kebun sebab panenannya bisa gagal. Yang dimaksud paling pertama ialah kaju lasa yaitu kayu reba yang belum kering betul. Kaju lasa ini ada 12 batang diletakan tersendiri paling bawah yaitu bagian bawa para-para. Kayu – kayu lain dimasukan kemudian, disusun menumpuk ke atas. Bila masa pesta reba telah selesai namum kayu-kayu tersebuut masi ada maka kayu tersebut boleh digunakan untuk masak. Sedangkan kaju lasa tidak dibolehkan dipakai namun tetap disimpan sampai waktu perayaan reba tahun
berikutnya. Posisi kayu dimasukan kedalam sa’o adalah bagian pangkal duluan . Filsafatnya olo pu’u dhra olo lobo tupu tapa. Secara harafiah artinya kalau duluan pangkal lancer, kalau duluan pucuk akan tertahan ranting atau cabang.maka simbolisnya :segala urusan harus dimulai dari bawa atau dasar kalau dimulai dari atas akan tertahan atau terhalang. Teknik masukan kayu seseorang berdiri di padha sa’o mengambil kayu satu paersatu diberikan kepada seseorang lain yang berdiri di teda lalu diteruskan kepada seorang lainya yang sudah berdiri didalam sa’o dan menyusun keatas para-para. Sesudah kayu dimasukan semua dilanjutkan dengan upacara pemotonngan ayam didalam sa’o untuk mengesahkan upacara tege kaju tersebut. Sebelum ayam dipotong, salah seorang pemangku adat dari sa’o tersebut
mengucapkan mantra zia ura manu untuk pengesahan upacara tege kaju selanjutnya saluruh warga sao (ana sa’o) besama-sama makan minum perjamuan tege kaju tersebut intinya adalah makan ber sama. Masalahnya bukan banyak sedikitnya makanan tetapi seperti filsafat ka papa fara inu papa resi yang artinya makan bersama dari satu wadah, minum bergilir dari satu
cangkir. 4. Reba bhaga
Sesudah upacara tege kaju dilanjutkan dengan reba bhaga. Bhaga adalah miniatur sa’o yang didirikan di tengah kampung. Pada zaman dahulu ada orang yang di tugaskan untuk 9
menjaga khusus untuk tinggal di bhaga. Disamping bhaga ada ngdhu yaitu tiang pemali berukir, tempat menambat kerbau yang akan
dikorban kan untuk upacara-upacara tertentu
dalam kampung, misalnya ka sa’o , kenduri dan lain-lain. Reba bhga dilaksanakan didalam bhaga diawali dengan pengucapan mantra zi’a ura manu dengan ujud reba bahga. Pesta reba bhga cuma beberapa orang saja. Urat hati dan
empedu ayam harus diamati untuk mengetahui tanda-tanda atau ramalan. B. Perayaan inti Sili peletak budaya pertama reba sudah menata perayaan reba dalam tiga bagian yaitu¨:
a. Esa go wala su’a kobe wunga b. Zua go su’I uwi kobe ngia zua c.
Telu go pojo tebu kobe ngia telu
Perayaan inti rebha terdiri atas tioga bagian yakni: a.
Kobe dheke/dheke reba
b.
Sedo uwi da woko uwi
c.
Su‟I uwi
A. Kobe dheke/dheke reba Secara harafiah kobe dheke terdiri atas dua kata yaitu kobe yang berarti malam, dan dheke yang berarti naik. Nuansa maknanya bahwa masuk rumah adat / sa’o kita harus menaiki
tangga, khususnya kebagian dalam /one sa’o yang posisi paling tinggi,sehingga masuk rumah adat selalu digunakan kata dhek’e pada malam itu semua keluarga atau warga sa’o ngaza baik yang berada dikampung itu ,maupun yanga datang dari luar daerah karena bekerja di perantauan akan berkumpul bersama. Dheke reba diselenggarakan dirumah adat masing-masing, merupakan malam reuni keluarga secara paripurna. Setiap ana sa’o / warga sa’o yang datang akan membawakan serta beras, ayam dan moke. Pada malam itu juga para penggarap lahan milik sa‟o itu akan datang mengantarkan beras, moke dan ayam.namanya wa’e tua ana manu mereka ikut merayakan kobe dheke di sa’o itu Kobe
dheke juga merupakan ajang seorang pemuda dan keluarganya mengantar tua
manu untuk meresmikan pertunanganan dengan seo rang pemudi dari sa‟o tersebut, untuk sebuah
10
pernikahan. Jalur adat yang harus ditempuha adalah melamar/masuk minang ( bere tere oka pale). Kemudian pada waktu reba mengantarkan tua manu baru terakihir pemberkatan nikah .
Pada malam itu tiap-tiap rumah adat seluruh warga sa‟o tekun mengikuti dheke reba biasanya orang mengikuti dheke reba di sa’o
(pihak mama martilinear )baru mereka pergi
merayakan di rumah pihak bapak B. Sedo Uw‟i Sedo uwi adalah tarian tandak khusus pada perayaan reba seni pertunjukan masal yang dilakoni seluruh masyarakat baik anak-anak, orang muda maupun orang tua. Semua menari harus berpakaian adat lengkap, laki-laki menggunakan sapu lu’e , boku, marangia, lega jara, sa’u sedangkan perampuan menggunaka lawo, kasa sese, keru, marangia, butu dan propertinya setelah dheke reba bertempat dipelantaran kampung, para penari membentuk lingkaran, melakukan gerakan hentakan kaki dalam irama maju mundur selangkah bergantian kaki kiri maju dan kaki kanan mundur. Gerakan berputaaran kekanan, sambil menyanyi o uwi e refrein lagu tandak tersebut dinyanyikan bersama-sama oleh seluruh peserta, sedangkan dibagian dalam lingkaran ada kelompok koor kecil yang masing-masing terdiri atas 3 orang yang melantunkan bait-bait solonya. Contoh syair-syair tentang uwi antara lain: Uwi meze go leba laba (ubi sebesar gong sepanjang gendang ) Uwi tebu toko,koba rao wolo (ubi merambat menutupi gunung) Uwi ladu wai poso koba reko lizu (uwi penopang gunung poso merambat menutupi langit ) Uwi kutu koe ana dhano koe (ubi digali babi landak tetap ada) Awi hui moki, moki dhano bhai moli (ubi disungkur celeng tetap tak akan habis) Uwi halo leza sedu peka rua wali(uwi biar musim paanas bertumbuh )
Contoh syair yang berkaitan dengan para leluhur peletak dasar budaya rebha sili ana wunga da nuka pera gua (silih mengajarkanpertama adat budaya)
11
Sabe ne me ga’e ndoma ngape( sabe da gae peramal ulung ) Paba ule laje sasa rama dara(paba ule laja penyemangat)
Pati ne’e sina pojo pi’e ge hiwa(pati dan sina selalu berhasil tiap tahun) Wiji ne;e wojo dhanga tau pagho(wiji dan wajo peteni yang selalu berhasil)
Selama menari dan menyanyi ini kadang-kadang di selingi dengan ereleleo dimana kelompok pemuda dan pemudi saling menyindir ditutup dengan sorakan gerileli oleh atau juga sindiran yang berisi oleh nasihat orang tua sair sindiran atau pata neke terhadap gadis-gadis yang hamil sebelum menikah misalnya pare mala nuza pu; beo lado busa ha’e dhiri zala ata langi la’a uwi mwena repi ko’e beti ghoru beki Selingan lain ialah gaka uwi (seruan peringatan uwi) dimana seorang laki-laki meneriaki sebuah pengumuman tetap dalam nada irama ama tandak o...uwi misalnya heti si riwu eeee sili ana wunga da nuka pera gua kau, kau, kau kau, kau, kau, kau e lalu disambung oleh kaum
perampuan, dengan meneriaki sambil menghentakan kaki lebih keras dengan irama dobel yang lebih cepat hal ini dilakukan untuk lebih menggrirangkan dan lebih menyemangati pesta. Selingan lain ereleleleooooo.......ruda ana dole (oleh kelompok laki-laki/perempuan) lalu di balas zale jere boro e lalu di balaz lagi o, tekie dibalas lagi o,le tewi e di balas lagi o,le tewie di balaz lagi o, le teki lalu geri leli oleh perampuan ereleleleleo, bisa juga menggunakan solo-solo sindiran lain. Untuk menggantikan suasana atau variasi bernyanyi dan menari, kadang-kadang tandak ini diselingi dengan kelo ghae dimana seluruh penari bergabung bergerombol menari berarak keliling kampung sambil menyani o, uwi, untuk mengajak orang-orang lain yang masih menonton saja agar ikut menari. Sering kali rombongan itu ditahan oleh warga rumah-rumah yang dilewati, untuk makan minum sesudah itu baru diteruskan lagi menari tandak. Selama pesta reba orang hanya ingin makan dan menari, saling kunjung, saling mengundang, bergembira bersama.
12
C.
Perayaan Penutup
Upacara penutup dalam rangkaian upacara reba adalah pojo tebu bu pojo atau rebu pojotebu juga disebut rorahota atau rora sot.pojotebu yaitu acara pembersihan,pembuangan
sampah atau kotoran yang terkumpul selama perayaan reba. Sampah-Sampah tersebut seperti kulit ubi, tulang-tulang, bulu ayam, tulang daun kacang, dll. Setelah upacara pojo tebu segala
sesuatu
yang berkaitan dengan perayaan reba tidak boleh
disebut-sebut lagi,sebab dapat mendatangkan bencana angin. Setelah pojo tebu warga kampung beristirahat saja dikampung. Mereka tidak boleh kerja kebun atau ke kebun, hal ini termasuk tabu. Masa tenang atau masa istirahat sampai dengan upacara poke lasu wara selesai.upacara poke lasu wara biasanya dilaksanakan dalam waktu 3 hari setelah reba,masa tenang atau setelah istirahat ini dimanfaatkan oleh masyarakat untuk membayar hutang piutang atau bermusyawarah tentang belis atau urusan-urusan adat lainnya. D. Nilai-Nilai Budaya Reba
Nilai adalah aspek budaya yang paling dalam tertanam.selanjutnya proses menjelaskan bahwa otoritas pada nilai
Seni Petunjuk
Sedo uwi merupakan seni pertunjukan massal yang
dilaksanakan oleh seluruh masyarakat baik anak-anak, orang muda dan orang tua, semuanya berpakayan adat lengkap. Para penari membentuk lingkaran sambil menghentakan kaki dalam irama maju mundur selangkah-selangkah bergantian kaki kiri dan kanan bergerak kearah kanan diiringi lagu o,uwi demikian juga tarian o,luka merupakan senitari yang dilakukan secara massalsambil me4nyanyikan lagu o,luka dan mengeli;ingi nabe tegu.
13
Seni Musik Lagu o‟uwi dinyanyikan secara bersama oleh seluruh peserta sedo uwi.di bagian dalam
lingkaran ada dua kelompok kor kecil yang masing-masing terdiri atas tiga orang untuk melantunkan bait-bait solohnya.kedua kelompok kecil tersebut merupakan kelompok chorus 1(naro doa)dan chorus 2(jara tu)lingkaran ini bergerak berlawanan arah jarum jam. Refrein o,uwi dinyanyikan secara bersama-sama terdengar indah sebab ada paduan suara anak-anak, wanita dan kaum pria. Musik ini bergaya polifoni sebab ada Ttiga kelompok melantunkan melodi yang berbeda dengan syair yang berbeda tetap dalam satu irama harmoni.
Nilai Moral/Ajaran Hidup
Pada upacara SU’I UWI mosalaki dalam woe/klan menyampaikan pesan moral bagi seluh warga sukunya, teks su’i uwi termasuk teks material kotbah (Nai 1999) malam merupakan malam refleksi kehidupan sosial, historis leluhur, pendidikan, pekerjaan, agama, lingkungan serta aspek kehidupan lain. su’i uwi merupakan tujuh fungsi dan makna yaitu: 1. Fungsi dan makna historis 2. Fungsi dan makna hukum adat 3.
Fungsi dan makne politis
4.
Fungsi dan mmakna religius
5. Fungsi dan makna didaktis 6.
Fungsi dan makna didiaktis
7.
Fungsi dan makna apresiatif-rekletif
Berikut beberapa contoh ajaran hidup: Ngo sosogo bojo,kema sa’i leza beza bugu kungu uri logo artinya bekerja keras membanting tulang, sampai kukumu tumpul, belakang membusur bercucuran keringat Dua netu uma nuka nono sa’o artinya bekerjalah kebun kaplingmu, lahanmu, dan selesai kerja kembali kerumah adatmu.
14
Dua zili uma sa’a go su’a wirau uma wi noa pusi tuka,nuka dia nu’a su’u kaju rubha uta wi no’a bo’o tuka. Artinya pergi ke kebun harus membawa tofa untuk bekerja buat mengsi perut, kembali kekampung pikulah kayu utuk memasak makanan untuk mengenyangkan perut. Ngo si molo-molo tebo wi ma’e ro pebhisi ghemi- ghemi weki wi ma’e dheri artinya bekerjalah
baik-baik agar badan tidak sakit, simpanlah rapih-rapih (makanan) agar badan tidak kurus. Ngira-ngira lawo pisa artinya jangan bertindak sembarang, harus hati-hati bela ma’e dheke mote ma’e ngadho artinya jangan suka membicarakan nama orang,
Bhuka moe miku mola.hi wi ma’e tiki artinya bertumbuh seperti pisang yang ditanam rumpunnya supaya tidak kurus. Woe wi ma’e be’o,tuza mula wi ma’ekura artinya keluarga semoga tidak punah,tanam menanam supaya tidak kurang Bo wi ma’e nobo peni wi dhesi,loka wi lowa, artinya tunas supaya tidak putus,kasi makan ayam dan kasi makan babi supaya berkembang, Ka modhe inu nari bhila dhadhi dhawi,go tuka tuda da nunga bhila kura tua artinya makan enak
minum manis bagaikan keluarga, kawin-kawin bagai mayan enau
Nilai Magis Pada upacara reba ada nilai magis yang tidak dapat diterima dari aspek logika akal sehat,
namun hal itu ada dan tetap terjadi.contoh pada pengucapan mantra sebelum pemotongan hewan kurban akan terbaca tanda-tanda peristiwa melalui kondisi urat, hati dan empedu hewan tersebut.
Nilai Ekonomis
Penyiapan kebutuhan untuk pelaksanaan upaca reba dapat menghasilkan uang dari hasil penjualan produk seperti pakaian adat, aksesoris, beras, moke, ayam atau babi
15
2.3.2Tenun ikat
Kegiatan
tenun
menenun
nampaknya
merupakan cirri khas dihampir setiap etnis masyarakat
Nusa
Tenggara
Timur,termasuk
masyarakat Bajawa. Kegiatan tenun dinamakan “Mane tenu/Seda tenu” yang dilakukan khusus oleh para wanita (kaum Ibu
dan wanita
muda/gadis). Seni Bajawa
tenunan
digolongkan
ikat
pada
sederhana
masyarakat dan
belum
berkembang secara baik dengan berbagai motif seperti kuda,,dan kaki ayam. Kuda: sebagai kendaraan yang di gunakan setiap hari, Kaki ayam:sebagai binatang sakti naga manu.Semua ini merupakan pengaruh kebudayaan Hinduisme.Seluruh tenunan dari Bajawa,memberikan kesan suram,tenang,sehingga warnanya gelap.
Tenunan untuk kaum wanita:
Hoba ragi mite : sarung berwarna hitam diselingi beberapa garis
Hoba ragi woi sa wisa : sarung seluruh berwarna hitam diselingi warna merah.
Ragi woi toto pata : berwarna hitam dan di beri hiasan tertentu.
Lawo (sarung) butu
Lawo keto
Lawo wa‟i manu
Lawo biri
Lawo pisa
16
berwarna biru.
gambar kain/motif daerah
Tenunan untuk kaum pria:
Boku : Mahkota bagi setiap laki-laki dewasa.
Lu‟e/sapu gajah : pakian laki-laki yang bernilai tinggi.
Lu‟e/sapu jara kedhi
Lu‟e
kebo
:
berbentuk
selendang
berukuran
kecil/sedang.
Sapu piri. Proses
menghasilkan
tenunan
melangkahi
satu
rangkaian pekerjaan panjang dan memakan waktu lama. Menenun dimulai dari pengeluaran kapas tua yang setelah dijemur dan dipisahkan bijinya. Menenun di mulai dari mengikat rentangan benang di antara dua potongan bamboo,kemudian untuk motif,gambar bentuk tertentu diikat oleh kaum ibu dengan syarat-syarat tertentu. Hasil ikatan pada benang di celupkan dalam pewarna hitam,biru, merah tua dan dijemur sampai kering, sesudah pengerigan,direntangkan pada alat-alat tenun. 2.3.2 Kelahiran
Kelahiran sebagai waktu yang paling dinantikan baik oleh orang tua,nenek dan kakek. Kelahiran biasanya ada acara ritual bahkan pada masa sebelumnya yakni waktu hamil sudah di adakan beberapa acara yang bertujuan memelihara kehamilan. Apa sebab? Karena dimasa muda sang gadis mungkin pernah melanggar tabu hamil,mengumpat orang,melanggar kesopanan dan kehormatan orang tua. Akibatnya menjelang kelahiran mendapat kesulitan persalinan. Ungkapan sumpah serapah untuk orang atau wanita pada umumnya adalah “sigi ba ghighi,tiwa ba viro” 17
(bila terjadi kehamilan termakan kutukan orang tua)”. “dhadhi subhe,suki dhano dhapi tebo (jangan jadi bersalin seharusnya tersumbat rahim sang ibu)” “zata ghezo zale semo (bila selesai bersalin maka kubur selalu terbuka menel an nyawa sang ibu)”. Ungkapan ini seolah-olah mengancam nyawa sang ibu menjelang kelahiran. Disini peranan dukun bersalin/tora mali menjadi semakin penting. Tora mali berasal dari dua kata, Tora artinya orang yang mempunyai kemampuan nujum, menerangkan sesuatu yang gaib, dan Mali artinya orang yang mampu mengelakan penderitaan orang sakit (nama yang lain teke ru`u/teke wunu kaju).Rangkaian upacara kelahiran disebut “Doro Azi”. Sebagai contoh sesudah lahir, ariari dipotong (dengan kepercayaan bahwa ari-ari adalah bagian dari keluarga batin calon adikadik dan bayi), sehingga perlu dipelihara. Plasenta disimpan baik-baik dalam bere (tas jinjing) yang dibungkus dengan kain putih kemudian digantung diatas pohon, yang disebut “ Teo Bau”. Sesudah itu acara-acara pemberian nama yang dicalonkan dari keturunan ayah dan ibu, pelbagai nama dipanggil berganti-ganti sampai sang bayi bersin, baru sang ayah menggunakan nama itu. Sementara itu para wanita, kerabat, dan tetangga berkumpul dirumah keluarga, bertanak nasi, memasak air panas, memandikan ibu dan anak. Pada saat nasi sedang dimasak, dilakukan acara “Kela Nio” (membelah kelapa) dan airnya dipercikkan kearah mata angin pada sudut merah dengan ucapan “Le Fa Le Meku” ucapan keselamatan, rukun dan damai, daging kelapa diukur dan diberikan pada hadirin. Setelah 40 hari dari masa kelahiran dilanjutkan dengan upacara mencukur rambut “Koi Ulu Azi”. Sangat penting dilakukan pada anak sulung (anak laki). Tujuannya agar ketika dewasa sang bayi tadi tidak kikir, pandai menghemat, dan menyimpan makanan dalam segala musim. Lumbung padi selalu terisi. Pada masa balita sang anak mulai diperkenalkan dengan pakaian disebut “Rida/Pedi” menutup tubuh, ditanamkam rasa malu sehingga menutup bagian tubuh yang tidak boleh dilihat oleh umum. Pakaian tradisional untuk anak- anak disebut “Rida Go Upu” yang terbuat dari sisasisa tenunan yang disulam lagi dalam bentuk kasar. Pemberian pakaian semua hanya untuk pria dan wanita.
18
2.3.3 Perkawinan A.Arti dan Makna Perkawinan
Arti dan makna perkawinan dalam masyarakat Bajawa dapat dibaca dalam kata-kata kunci yang diapakai pada saat perkawinan adat. Salah satu kata kunci yang dipakai adalah “Buri Peka Naja, Logo Bei Ube” (pantat telah menyentuh lantai dan pungung pun telah bersadar pada dinding). Buri adalah “pantat,” peka “menyentuh,” naja berarti “pelupu yang menjadi lantai rumah adat.” “Buri” ini menjadi simbol pria, “Naja” adalah simbol wanita yang menjadi calon istri. “logo‟ adalah punggung yang menajdi simbol pria. Sedangkan “ube” adalah dinding papan rumah adat sebagai simbol wanita calon istri yang menjadi pemilik rumah dan pemilik ketangguhan dan keselamatan hidup. Dari penafsiran atas ungkapan ini dapat disimpulkan bahwa perkawinan merupakan persatuan kedua insan yang berbeda jenis kelamin untuk membangun kehidupan bersama dalam keselamatan dan tangguh dalam menumbuhkan keturunan mereka. “ Buri peka naja, Logo bei ube” adalah simbol perkawinan tradisional Bajawa untuk meyatukan kedua insan yang berbeda
jenis kelamin yang telah membentuk kehidupan dalam satu rumah. B.Sistem Perkawinan a.Ditinjau dari segi suku
Ditinjau dari segi suku ada dua sistem perkawinan Adat. Pertama, sistem perkawian endogami. Menurut sistem ini perkawinan terjadi di antara sesama kesatuan masyarakat hukum adat atau marga yang sering disebut “go sama one” baik untuk lingkup “woe” (kelompok masyarakat adat yang lebih kecil dari suku), maupun dengan sesama anggota kampung yang artinya masih keluarga jauh. Tujuaannya pernikahan jenis ini ada dua: 1) Kago sama sao wea nao mae galo: artinya, perkawinan di antara anggota suku sendiri guna menghindari belis atau mas kawin. Perkawinan jenis ini sering terjadi antara saudara sebuyut. Tujuannya, untuk memperteguh hak dan kewajiban dalam kesatuan masyarakat hukum adat. 2) Po Tolo Kobho Nau Wawo Ngima: perkawinan di dalam sesama dalam kesatuan masyarakat hukum adat yang segeneologis ( woe). Tujuannya, juga tetap sama yakni menjaga agar harta benda tidak mengalir pihak lain melalui belis. Kedua, sistem perkawinan eksogami. Artinya, perkawinan yang dilakukan antara kedua pasangan dari kesatuan teritorial yang lebih luas dari kampung halaman sendiri. Perkawinan dengan sistem ini disebut “kadhi bata.” Sistem ini juga tetap berpegang pada prinsip bahwa 19
pasangan tetaplah seasal, sedarah, seketurunan dari kelurga yang telah lama melakukan perkawinan ke luar. Intinya, tetap sama yakni perkawinan dilakukan di antara keluarga sendiri. b.Dilihat dari Segi Rumah
Dari segi ini juga dikenal dua jenis perkawinan. Pertama, perkawinan “dii sao” merupakan bentuk perkawinan yang lazim terjadi. Bentuk perkawinan ini sesuai dengan sistem kekerabatan matilineal menurut garis keturunan ibu. Di sini, wanita menjadi ahli waris atas semua harta milik dari keluarga di mana wanita itu tinggal. Dari bentuk perkawinan ini, suami menjadi pendatang dalam rumah istrinya atau yang dikenal dengan nama “ana ngodho mai.” Suami datang, tinggal dan bekerja di rumah istrinya. Sebagai pendatang, suami tidak terhitung sebagai anggota rumah dan tak mempunyai hak atas semua harta warisan yang ada di dalam rumah istrinya. Yang berhak adalah istrinya, sedangkan pengaturannya diurus oleh saudara istrinya. Relasi kunci yang terjadi di sini adalah relasi “paman-anak” dan bukan “bapak -anak.” Masa depan anak -anak, hasil perkawinan “dii sao” bukan berada di tangan ayahnya, tetapi berada di tangan pamannya. Kedua, perkawinan “ pasa” atau belis. Perkawinan “ pasa” adalah bentuk perkawinan di mana istri dibelis oleh pihak keluarga suami. Anak-anak hasil perkawinan ini mengikuti garis keturunan bapak, memiliki hak atas harta warisan ayah. Namun, mereka tetap harus taat kepada anak-anak saudari ayahya, jika ada. Akan tetapi, biasanya sangat jarang karena perkawinan jenis ini dilakukan bila di dalam rumah sang ayah tidak ada saudari yang berhak atas segala warisan di dalam rumah tersebut. C.JENIS-JENIS PERKAWINAN
Ritus perkawinan atau zeza latu ngawu di Bajawa nampaknya sama bagi semua kultur dan tidak mengandung perbedaan yang prinsipil.perbedaan-perbedaan hanya pada tata cara peminang,pembelisan dan upaca perkawinan,tetapi tahapnya sama. perkawinan di Bajawa berbentuk matriarchat,perkawinan ini di lakukan tanpa belis,seluruh biaya perkawinan di tanggung oleh kedua belah pihak. pola pemukiman pasca nikah,di adakan di rumah wanita karena yang akan mewarisi harta kekeyaan kliennya,apalagi jika cuma satu-satunya putri tunggal seluruh rangkaian acara pina ngan disebut “Bere tere oka pale”,bheku mebhu tana tigi,idi tua manu” sistem perkawinan di wilayah Bajawa antara lain:
20
Perkawinan masuk.
Perkawinan ini lebih mirip atau dapat di katakan menganut prinsip sama dengan matrilineal dengan alasan-alasan utama anak wanita sebagai pewaris keluarga dengan segala kekayaannya. kawin masuk di sebut “Daru rai manu atau kawo api ngata” pengurapan dengan darah ayam. Ada juga anggapan sementara orang bahwa dengan kawin masuk sebenarnya lelaki di perbudak oleh keluarga istri.
perkawinan keluar.
Jenis perkawinan ini memakai ”weli atau belis” sehinga hak perempuan berpindah kerumah suami. Perkawinan ini hanya terjadi di Feo dan So‟a,Bajawa. Suatu bentuk perkawinan yang sama seperti terjadi di dalam kesatuan adat rote dengan terang kampung,perkawinan itu di nyatakan syah apa bila di sertai acara zeza (peresmian adat) yang dalam adat Bajawa ialah “beo sa‟o atau teo tada”.
Perkawinan berdasarkan pelapisan sosial.
Hanya diperkenankan pada pelapisan yang sama. Perkawinan antara lapisan seperingkat pada masyarakat Bajawa terlarang sekali,apabila seorang gadis dari tingkat atau golongan Gae (golongan bangsawan) berkawin dengan lelaki dari golongan yang bukan Gae,disini berlaku asas yang bernama Endogami pelapisan. Para pemuda dari golongan Gae dihalalkan berkawin dengan gadis bukan golongan Gae, namun anak-anak yang dilahirkan nanti digolongkan sebagai yang bukan Gae seperti ibunya. Kejadian perkawinan terbalik (lelaki kasta bawah terhadap wanita kasta lebih atas) disebut “Laa Sala Page Leko”, sanksinya harus dihukum menurut adat dan diusir keluar kampung.
Perkawinan menurut keturunan
Perkawinan ini disebut perkawinan yang teratur berdsarkan sepupu (anak om dan tante), layak diperlakukan dihampir semua kultur disebut “ Kago Sama Sa’o W ea Nao Wi Mae Galo, Fai Weta Saki Nara”. Penentuan hari perkawinan biasanya dilakukan pada hari pembicaraan pertemuan tahap kedua setelah peminangan. Waktu itu ditentukan besarnya belis dari keluarga lelaki (hewan seperti kerbau, kuda) sebagian keluarga wanita dengan ternak kecil (babi) sebagai balasan. Setelah weli terbayar sehari atau dua hari sebelum nikah, maka pihak lelaki mengantar anak 21
lelakinya kerumah keluarganya wanita untuk dikukuhkankan disana. Setelah tingal kira-kira seminggu maka keluarga wanita menghantar lelaki kembali kekeluarganya diiringi tarian dan lagu-lagu gembira. D.Tahap-tahap Perkawinan Tahap Perkenalan dan Pacaran (Papa Tei Tewe Moni Neni)
Tahap ini merupakan tahap mencari jodoh yang dilakukan sendiri oleh sang pria. Hasil temuannya disampaikan kepada orang tuanya untuk diproses lebih lanjut dengan tata urusan yang mulai melibatkan keluarga besar dan anggota suku. Pada tahap ini ada beberapa sub-tahap yang harus dilewati lagi. a.
Beku Mebhu Tana Tigi (hancurnya dedaunan di sepanjang jalan dan padatnya tanah yang
sering dilalui). Disebut demikian karena inilah yang dinamakan dengan tahap penjajakan yang bukan dilakukan oleh pemuda kepada pacarnya, tetapi oleh ibunya. Ibu sang pemudalah yang aktif ke rumah calon besannya untuk menjajaki kenyataan perilaku dan sifat gadis idaman anaknya dan berupaya mendapatkan kepastian apakah gadis yang bersangkutan sungguh-sunguh bebas dari incaran pria lain selain putranya. b. Bere Tere Oka Pale (meletakan tempat untuk sekapur sirih). Inilah tahap peminangan atau
melamar. Di sini, pihak lelaki mengutus duta peminangannya yang terdiri dari saudari kandung dan beberapa wanita lainnya yang dianggap layak dan mampu bersekapur – sirih dengan pihak gadis pinangan dan keluarganya. Hal ini dilakukan pada pagi hari dengan tujuan untuk diketahui oleh seisi kampung bahwa gadis itu telah dipinang (dilamar). Acara ini dilakukan dengan penuh persaudaraan dan keakraban sebagai suatu kerabat yang saling menerima dalam satu ikatan. c.
Nasa. Berarti, kedua calon suami-istri menjalankan pencocokan tingkah laku atau tahap
penyamaan persepesi, visi dan misi, sebelum menikah secara adat. Masa ini boleh disebut sebagai masa pertunanganan. d. Zeza: yang merupakan upacara peresmian atau pengesahan perkawinan secara adat. Dalam
upacara zeza ini akan dilakukan beberapa ritus pokok: 1.
Zia Ura Ngana. Pada waktu ritus ini, babi dan beras diletakkan pada tempat yang sama lalu
didoakan oleh tua adat kemudian dimasak untuk dimakan dalam acara tersebut. Setelah beras dan babi diletakan di depan pintu rumah adat, didoakan oleh tua adat, kedua calon diminta untuk duduk di “mata raga” (altar korban dalam rumah adat) yang diapiti oleh 22
sanak saudara dari kedua belah pihak. Saudara pengantin wanita diminta untuk membawa babi dan beras yang disimpan di atas kepala babi sambil berkata sebagai berikut: “ zia ura ngana dia, tewe dia da buri peka naja, logo bei ube, wi zeza ana kami (....nama), ulu wi tutu, kage wi gebhe huy nee maki zeza (fai nee hak) wi moe go wea da lala dhape, dua wi penga dua, nuka wi penga nuka. Tee setoko, lani setebu,kami wi bhe nee nitu zale ngadhu nee bhaga, sus keri asa kae nusi nange kajo pera, ine ame mai wi dii utu meda mogo, padha wi meze aze, wi lewa pipi wi mae isi, pasu wi mae nau, wiwi le gaja rae, zala wigoda gai. Ngana kau bhara ura zia,pedhu benu lie seko, kau ba se gebu, ketu kau ba le todho ngadho, kabu peda kau ba le teme. Wiwi kau ba le gaja rae. Dia jao wela kau seteka mata mema.”
Artinya: “sucilah seluruh makanan ini di saat upacara pernikahan anak kami (nama kedua mempelai) ini, yang kami hadirkan ya Penguasa lagit dan bumi, Leluhur terpokok Oba dan Ngana, leluhur pokok turunan Teru dan Tena, leluhur pokok pria dan wanita dari kesatuan masyarakat hukum adat ini, para pelindung rumah leluhur, pemberi ajaran dan pengetahuan. Para orang tua yang telah tiada untuk bersama kami menyaksikan guna melindungi mereka bagi persatuannya yang agung berkelanjutan untuk mejadi suami-istri yang bersatu padu takterceraikan seakan emas yang disepuh-leburkan jadi satu. Sekiranya permohonan kami ini berkenan di hati kalian, para leluhur dan pra orang tua. Tunjukkanlah pada urat-urat hati babi ini, yakni empedunya penuh, buah kecipirnya serangkai dengan hati tanda kewibawaan berkekuatan) 2.
pengurapan darah babi pada pengantin: darah babi yang dioleskan di dahi merupakan penegasan seorang laki-laki memasuki rumah wanita. Hal ini didasarkan atas sistem perkawinan matriarkat yang berakibat bahwa wanita yang berperan sebagai penguasa sedangkan suami sebagai pembantu. Saat pengurapan dengan darah babi, tua adat mengucapkan kata-kata: “dia wi toro papa bhoko, mite mata raga da toa gha nee ulu beo gha nee eko.” Artinya: “anak lelaki ini kini diserahk an sebagai suami anak kita (nama penganti wanita tersebut) dan menjadi pembantu dalam rumah ini.” Dengan upacara ini seeorang pria yang menjadi calon suami si gadis resmi menjadi suami si gadis untuk seterusnya bersama istrinya mengatur kehidupan bersama dalam keluarga.
23
3.
Tota ura ngana: untuk membaca kehendak penguasa langit dan bumi dan para
leluhur guna membimbing, melindungi pengantin sesuai dengan permohonan yang diharapkan dalam pengucapan doa. 4.
Bau gae: persembahan atau penyajian yang suci kepada penguasa langit dan bumi
dan para luluhur sekaligus memohon perlindungan dan naungan itu. 5.
Zeza: pemberian makan makanan utama berupa daging babi dan nasi yang disucikan
kepada pengantin lelaki sebagai ujud untuk sudah boleh hidup bersama. 6.
Ritus Penutup: acara penutup sering disebut dengan “Ka toka inu sobhe, lese dhe peda pawe.” Yang merupakan makan bersama penutup bagi semua yang hadir pada upacara tersebut.
Biasanya setelah semua proses ini berlangsung, dengan sendirinya kedua mempelai ini boleh tinggal serumah, tidur bersama dan melakukan aktivitas layaknya sebagai suami-istri tanpa terlebih dahulu mengesahkan perkawinannya di Gereja. Perkawinan adat ini masih berpengaruh kuat sampai dengan saat ini. Hukum Adat dan Hukum Gereja masih kelihatan sama kuatnya. Karena itu, perlu dilihat sikap-sikap yang tepat untuk mengatasi hal ini. E.Sifat Perkawinan
Dari kata-kata doa dan nasehat serta simbol-simbol yang digunakan dapat dikatakan bahwa perkawianan adat Bajawa bersifat monogam dan takterceraikan. Hal ini terbukti pada saat upacara perkawinan adat di mana bahasa-bahasa adat yang digunakan pada saat peresmian perkawinan tersebut berbunyi “yang senantiasa bersatu dan takterceraikan.” Jelaslah bahwa perkawinan adat Bajawa sesempurna apapun dan walaupun sifatnya sudah sangat mengikat, monogam dan takterceraikan, tetap bukan merupakan sebuah sakramen. Karena itu, di akhir semua tahap tersebut sebaiknya dipikirkan juga untuk sesegera mungkin menindaklajutinya dengan proses-proses yang lazim dalam tahap-tahap perkawinan Kristiani agar perkawinan tersebut bernilai sakramntal dan bukan hanya menjadi realitas manusiawi belaka.
24
Segi personalitas kurang tampak di dalam perkawinan adat Bajawa. Yang dominan adalah Ssegi sosialnya. Kesepakatan tibal- balik antara kedua pasangan dan bukan hanya “antara kedua pihak keluarga” harus lebih ditonjolkan lagi. Sebab perkawinan Kristiani lebih menuntut kesepakatan timbal-balik dari masing-asing pasangan dengan hati yang bebas dan bukan karena tekanan sosial oleh keluarga dan masayrakat adat. 2.3.4 Kematian
Kematian merupakan bagian berakhir dari daur kehidupan seorang termasuk manusia di Bajawa.Seoarang bayi jika meninggal sebelum 40 hari harus dikuburkan dibawah kolong rumah,tujuannya melindungi sang bayi yang sangat memerlukan perlindungan orang tua,hawa sejuk dan dingin. Cara penguburan orang-orang meninggal dilihat dari sebab kematiannya. Orang yang meninggal dunia secara tidak normal (dibunuh, bunuh diri, tabrakan) dikuburkan dengan cara yang berbeda dengan mati yang normal. Kematian yang normal atau “mata ade” mengikuti urutan acara ritual yang layak, keluarga dan kerabat dikumpulkan, lelaki pengubur masuk kerumah dan meminta alat-alat penggali dan alat- alat makan “ngeme/kula” (bekal waktu menggali kubur). Sesudah liang lahat digali penguburan dapat dilakukan, setelah itu semua peralatan penggali dibuang dengan upacara kecil. Penguburan dengan cara yang lain juga berbeda juga karena mati tidak normal terhadap seorang karena busung air yang oleh masyarakat dianggap meninggal karena sihir, “piso sa‟o” (mati golo/tidak wajar) yang cara penguburannya dilakukan secara tradisional,diikat kedua ujung tangannya tanpa pakian lalu dikuburkan,jenazah dipikul keluar kampung seperti orang memikul hewan yang mati. Cara-cara ini tidak dilakukan sekarang ini. 2.3.5 Menganyam.
Para wanita di Kabupaten ngada (Bajawa) sangat berperan dalam kegiatan seni karya yaitu anyam-anyaman. Kegiatan menganyam disebut subi nana/weko riko. Kegiatan menganyam diarahkan untuk menghasilkan peralatan rumah tangga/alat-alat yang dipergunakan untuk keperluan menyimpan barang-barang konsumsi. Bahan dasar ialah daun lontar, kecuali tikar menggunakan daun pandan. Jenis-jenis anyaman,antara lain :
25
Lega
= Tempat sirih pinang dan kapur (pria).
Bere Oka
= Tempat sirih pinang dan kapur (wanita).
Pegho
= Tempat menyimpan pakaian.
Wati
= Piring anyaman.
Sole/Diu
= Nyiru untuk menapis beras.
Kepe/lega ragh
= Dos tempat bakau untuk pria.
Dhale/Loba
= Saku untuk memuat barang bawaan diatas kuda.
Biasanya kegiatan mengayam dilakukan pada waktu senggang dalam rumah sesudah makan siang, sesudah makan malam (menjelang tidur). 2.3.6 Seni musik/seni suara
Seni musik ditandai dengan pemilikan alat-alat musik tradisional yang sampai sekarang tetap dipertahankan secara baik. Beberapa alat musik,antara lain :
Foy Pay
= Terbuat dari bambu, alat ini ditiup pada malam hari sesudah panen padi
Foy Doa
= Ditiup oleh pria maupun wanita.
Bhego,Foy
= Feko Alat tiup yang terbuat dari bambu.
Robe
= Alat tiup yang terbuat dari pelepah enau.
Toda Gu
= Berbentuk kentongan,dibunyikan dengan memukul untuk mengiringi tarian terkenal Toda Gu.
Go Genga
= Alat musik bambu (mirip sasando dengan 5 tali yang dimainkan pria maupun wanita).
26
BAB III PENUTUP
3.1
Komentar dan Rekomendasi
Mengenai perkawinan antar sesama ras Disini perkawinan hanya dilakukan atau berlaku dimana seorang wanita yang
berketurunan bangsawan atau rang atas hanya boleh menikah dengan laki-laki keturunan bangsawan atau rang atas juga. Mereka tidak di perbolehkan untuk berkeluarga dengan laki-laki rang bawah,dalam hal ini para perempuan rang atas tersebut secara tidak langsung mereka mengalami tekanan batin yang luar biasa.Sebagai contoh: Seorang gadis rang atas mencintai pria yang rang bawah, dia mengetahui bahwa hal itu tidak boleh terjadi tetapi keduanya saling mencintai, diposisi orang tua gadis itu melarangnya dan menjodokannya dengan pria rang atas yang sama sekali tidak dicintainya. Dari contoh diatas dapat disimpulkan bahwa perkawinan antar sesama ras terkadang membawa penderitaan bagi seseorang. Dilihat dari segi budaya memang setiap orang harus menaatinya,jika tidak seseorang akan menanggung akibatnya. Tapi disisi lain,jika dilihat dari perkembangan zaman pada dewasa ini atau modern ini,hal ini memang kelihatannya tidak wajar, namun apa boleh buat? Budaya tetaplah budaya.Dalam hal ini kelompok kami hanya mau memberi sedikit rekomendasi atau komentar, jikalau bisa perkawinan antara sesama ras ini bisa dihapuskan,tetapi tidak dihapuskan begitu saja melainkan dihilangkan secara perlahan-lahan. Karena disini kita mengetahui banyak yang mengalami pederitaan atau dengan kata lain perkawinan ini dilakukan atas paksaan atau kehendak orang lain,bukan atas rasa cinta seseorang “Tuhan menciptakan manusia sama derajatnya”.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Asry Moi,Jatmiko, 2007 “Penerbit pemukiman kecamatan Bajawa Kabupaten Ngada” Dinas kebudayaan dan pariwisata Kabupaten Ngada pusat penelitian dan pengembangan arkeologi nasional. 2. Ansel Doredae,Petrus C. Dhogo, 2008 “Ngada membangun” Bajawa : Ledalero. 3. Ubaldus Gogi, 2005 “Reba” Bajawa : Biro Humas Setda Provinsi NTT. 4. Alo Liliweri, 1989 “Inang hidup dan baktiku” Kupang : Tim penggerak PKK Provinsi NTT. 5. Upacara tradisional(upacara kematian) daerah NTT.Proyek penelitian dan pencatatan kebudayaan daerah Depdikbud. 6. http://www.nttuweb.com/ntt/ngada/profil-ngada.php 3 april 2012
28