ABSTRAK
Kegawatdaruratan Psikiatrik merupakan aplikasi klinis dari psikiatrik pada kondisi darurat. Kondisi ini menuntut intervensi psikiatrik seperti percobaan bunuh diri, penyalahgunaan obat, depresi, penyakit kejiwaan, kekerasan atau perubahan lainnya pada perilaku. Pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik dilakukan oleh para profesional di bidang kedokteran, ilmu perawatan, psikologi dan pekerja sosial. Permintaan untuk layanan kegawatdaruratan psikiatrik dengan cepat meningkat di seluruh dunia sejak tahun 1960-an, terutama di perkotaan. Penatalaksanaan pada pasien kegawatdaruratan psikiatrik sangat kompleks. Para profesional yang bekerja pada pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik umumnya beresiko tinggi mendapatkan kekerasan akibat keadaan mental pasien mereka. Pasien biasanya datang atas kemauan pribadi mereka, dianjurkan oleh petugas kesehatan lainnya, atau tanpa disengaja. Penatalaksanaan pasien yang menuntut intervensi psikiatrik pada umumnya meliputi stabilisasi krisis dari masalah hidup pasien yang bisa meliputi gejala atau kekacauan mental baik sifatnya kronis ataupun akut.
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kegawatdaruratan psikiatri adalah gangguan akut perilaku, pikiran atau suasana hati pasien yang jika tidak diobati dengan segera dapat merugikan, baik untuk dirinya atau orang lain dalam lingkungan sekitarnya. Sebagai ujung tombak di lapangan, peran dokter sangat penting dalam hal ini adalah sebagai bagian dari pelayanan kedaruratan medik yang terintegrasi.
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui kegawatdaruratan psikiatri. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang termasuk dalam kedaruratan psikiatri. 3. Dapat mengetahui cara penanganan kedaruratan pasien psikiatri, pengobatan dan perawatannya
1.3 Manfaat
Dapat menegakan diagnosis pasien psikiatri yang mengalami keadaan gawat darurat sehingga bisa menanganinya dengan segera.
2
BAB II PEMBAHASAN KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI
Kedaruratan psikiatri merupakan cabang dari Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kedokteran Kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapi kasus kedaruratan yang memerlukan intervensi psikiatrik. Tempat pelayanan kedaruratan psikiatri antara lain di rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, klinik dan sentra primer. Kasus kedaruratan psikiatrik meliputi gangguan pikiran, perasaan dan perilaku yang memerlukan intervensi terapeutik segera, antara lain: 4 a. Kondisi gaduh gelisah b. Tindak kekerasan (violence) c. Tentamen Suicidum/percobaan bunuh diri d. Gejala ekstra piramidal akibat penggunaan obat e. Delirium Evaluasi Menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat adalah tujuan utama dalam melakukan evaluasi kedaruratan psikiatrik. Tindakan segera yang harus dilakukan secara tepat adalah: a. Menentukan diagnosis awal b. Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera pasien c. Memulai terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai Dalam proses evaluasi, dilakukan: 1. Wawancara Kedaruratan Psikiatrik. Wawancara dilakukan lebih terstruktur, secara umum fokus wawancara ditujukan pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke unit gawat
darurat. Keterangan tambahan dari pihak pengantar, keluarga, teman atau
polisi dapat melengkapi informasi, terutama pada pasien mutisme, tidak kooperatif, negativistik atau inkoheren. Hubungan dokter-pasien sangat berpengaruh terhadap informasi yang diberikan. Karenanya diperlukan kemampuan mendengar, melakukan 3
observasi dan melakukan interpretasi terhadap apa yang dkatakan ataupun yang tidak dikatakan oleh pasien, dan ini dilakukan dalam waktu yang cepat. 2. Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan psikiatrik standar
meliputi:
riwayat perjalanan
penyakit, pemeriksaan status mental, pemeriksaan status fisik/neurologik dan jika perlu pemeriksaan penunjang. Yang pertama dan terpenting yang harus dilakukan oeh seorang dokter di unit gawat darurat adalah menilai tanda-tanda vital pasien. Tekanan ddarah, suhu, nadi adalah sesuatu yang mudah diukur dan dapat memberikan informasi bermakna. Misalnya seorang yang gaduh gelisah dan mengalami halusinasi, demam, frekuensi nadi 120 per-menit dan tekanan darah meningkat, kemungkinan besar mengalami delirium dibandingkan dengan suatu gangguan psikiatrik. Lima hal yang harus ditentukan sebelum menangani pasien selanjutnya: a. Keamanan pasien. Sebelum mengevaluasi
pasien, dokter harus dapat
memastikan bahwa situasi di UGD, jumlah pasien di ruangan tersebut aman bagi pasien. Jika intervensi verbal tidak cukup atau kontraindikasi, perlu dipikirkan pemberian obat atau pengekangan. b. Medik atau psikiatrik? Penting bagi dokter untuk menilai apakah kasusnya medik, psikiatrik atau kombinasi keduanya, sebab penanganannya akan jauh berbeda. Kondisi medik umum seperti trauma kepala, infeksi berat dengan demam inggi, kelainan metabolisme, intoksikasi atau gejala putus zat seringkali menyebabkan gangguan fungsi mental yang menyerupai gangguan psikiatrik umumnya. Dokter gawat darurat tetap harus menelusuri semua kemungkinan penyebab gangguan fungsi mental yang tampak. c. Psikosis. Yang penting bukanlah penegakan diagnosisnya, tetapi seberapa jauh ketidakmampuannya dalam menilai realita dan buruknya tilikan. Hal ini dapat mempengaruhi sikapnya terhadap pertolongan yang kita berikan serta kepatuhannya dalam berobat. d. Suicidal atau homicidal. Semua pasien dengan kecenderungan bunuh diri harus dobservasi secara ketat. Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan tindak kekerasan atau pikiran bunuh diri harus selalu ditanyakan kepada pasien. e. Kemampuan merawat diri sendiri. Sebelum memulangkan pasien, harus dipertimbangkan apakah pasien mampu merawat dirinya sendir, mampu menjalankan saran yang dianjurkan. Ketidakmampuan pasien
dan atau
keluarganya untuk merawat pasien di rumah merupakan salah satu indikasi rawat inap. 4
Adapun indikasi rawat inap antara lain adalah: 1. Bila pasien membahayakan diri sendiri atau orang lain, 2. Bila perawatan di rumah tidak memadai, dan 3. Perlu observasi lebih lanjut. Pertimbangan Dalam Penegakan Diagnosis Dan Terapi 1. Diagnosis. Meskipun pemeriksaan gawat darurat tidak harus lengkap, namun ada beberapa hal yang harus dilakukan sesegera mungkin untuk keakuratan data , misalnya penapisan toksikologi ( tes urin untuk opioid, amfetamin), pemeriksaan radiologi, EKG dan tes laboratorium. Data penunjang seperti catatan medik sebelumnya, informasi dari sumber luar juga dikumpulkan sebelum memulai tindakan. 2. Terapi. Pemberian terapi obat atau pengekangan harus mengikuti prinsip terapi Maximum tranquilization with minimum sedation. Tujuannya adalah untuk: a. Membantu pasien untuk dapat mengendalikan dirinya kembali b. Mengurangi/menghilangkan penderitaannya c. Agar evaluasi dapat dilanjutkan sampai didapat suatu kesimpulan akhir Obat-obatan yang sering digunakan adalah: a. Low-dose
High-potency
antipsychotics
seperti
haloperidol,
trifluoperazine,
perphenazine dsb b. Atypical antipsychotics, seperti risperidone, quetiapine, olanzapine. c. Injeksi benzodiazepine. Kombinasi benzodiazepine dan antipsikotik kadang sangat efektif.
1. Keadaan Gaduh Gelisah
Keadaan gaduh gelisah bukanlah diagnosis dalam arti kata sebenarnya, tetapi hanya menunjuk pada suatu keadaan tertentu, suatu sindrom dengan sekelompok gejala tertentu. Keadaan gaduh gelisah dipakai sebagai sebutan sementara untuk suatu gambaran psikopatologis dengan ciri-ciri utama gaduh dan gelisah. (Maramis dan Maramis, 2009). Etiologi : Keadaan gaduh gelisah merupakan manifestasi klinis salah satu jenis psikosis (Maramis dan Maramis, 2009): 5
1. Delirium 2. Skizofrenia katatonik 3. Gangguan skizotipal 4. Gangguan psikotik akut dan sementara 5. Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik 6. Amok
1. Psikosis karena gangguan mental organik: delirium Pasien dengan keadaan gaduh-gelisah yang berhubungan dengan sindroma otak organik akut menunjukkan kesadaran yang menurun. Sindroma ini dinamakan delirium. Istilah sindroma otak organik menunjuk kepada keadaan gangguan fungsi otak
karena suatu penyakit badaniah (Maramis dan Maramis, 2009). Penyakit
badaniah ini yang menyebabkan gangguan fungsi otak itu mungkin terdapat di otak sendiri dan karenanya mengakibatkan kelainan patologik-anatomik (misalnya meningo-ensefalitis, gangguan pembuluh darah otak, neoplasma intracranial, dan sebagainya), atau mungkin terletak di luar otak (umpamanya tifus abdominalis, pneumonia, malaria, uremia, keracunan atropine/kecubung atau alcohol, dan sebagainya) dan hanya mengakibatkan gangguan fungsi otak dengan manifestasi sebagai psikosa atau keadaan gaduh-gelisah, tetapi tidak ditemukan kelainan patologik-anatomik pada otak sendiri (Maramis dan Maramis, 2009). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada sindrom otak organik akut biasanya terdapat kesadaran menurun sedangkan pada sindrom otak organik menahun biasanya terdapat dementia. Akan tetapi suatu sindrom otak organik menahun (misalnya tumor otak, demensia paralitika, aterosklerosis otak, dan sebagainya) dapat saja pada suatu waktu menimbulkan psikosis atau pun keadaan gaduh gelisah. Untuk mengetahui penyebabnya secara lebih tepat, perlu sekali dilakukan evaluasi internal dan neurologis yang teliti (Maramis dan Maramis, 2009). 2. Skizofrenia dan gangguan skizotipal Bila kesadaran tidak menurun, maka biasanya keadaan gaduh gelisah itu merupakan manifestasi suatu psikosis dari kelompok ini, yaitu psikosis yang tidak berhubungan atau sampai sekarang belum diketahui dengan pasti adanya hubungan dengan suatu penyakit badaniah seperti pada gangguan mental organik.
6
Skizofrenia merupakan psikosis yang paling sering didapat di negara kita. Secara mudah dapat dikatakan bahwa bila kesadaran tidak menurun dan terdapat inkoherensi serta afek-emosi yang inadequate, tanpa frustasi atau konflik yang jelas maka hal ini biasanya suatu skizofrenia. Diagnosa kita diperkuat bila kelihatan juga tidak ada perpaduan (disharmoni) antara berbagai aspek kepribadian seperti proses berpikir, afek-emosi, psikomotorik dan kemauan (kepribadian yang retak, terpecah belah atau bercabang = schizo; jiwa = phren),yaitu yang satu meningkat, tetapi yang lain menurun. Pokok gangguannya terletak pada proses berpikir (Maramis dan Maramis, 2009). Dari berbagai jenis skizofrenia, yang sering menimbulkan keadaan gaduhgelisah ialah episode skizofrenia akut dan skizofrenia jenis gaduh-gelisah katatonik. Di samping psikomotor yang meningkat, pasien menunjukkan inkoherensi dan afekemosi yang inadequate. Proses berpikir sama sekali tidak realistik lagi (Maramis dan Maramis, 2009). 3. Gangguan psikotik akut dan sementara Gangguan ini timbul
tidak lama sesudah terjadi stress psikologik yang
dirasakan hebat sekali oleh individu. Stress ini disebabkan oleh suatu frustasi atau konflik dari dalam ataupun dari luar individu yang mendadak dan jelas, umpamanya dengan tiba-tiba kehilangan seorang yang dicintainya, kegagalan, kerugian dan bencana. Gangguan psikotik akut
yang biasanya disertai keadaan gaduh-gelisah
adalah gaduh-gelisah reaktif dan kebingungan reaktif (Maramis dan Maramis, 2009). 4. Psikosis Bipolar. Psikosis bipolar
termasuk dalam kelompok psikosa afektif karena pokok
gangguannya terletak pada afek-emosi. Tidak jelas ada frustasi atau konflik yang menimbulkan gangguan mental ini. Belum ditemukan juga penyakit badaniah yang dianggap berhubungan dengan psikosa bipolar, biarpun penelitian menunjuk kearah itu. Tidak ditemukan juga disharmoni atau keretakan kepribadian seperti pada skizofrenia; pada jenis depresi ataupun mania, bila aspek afek-emosinya menurun, maka aspek yang lain juga menurun, dan sebaliknya (Maramis dan Maramis, 2009). Pada psikosa bipolar jenis mania tidak terdapat inkoherensi dalam arti kata yang sebenarnya, tetapi pasien itu memperlihatkan jalan pikiran yang meloncat-loncat atau melayang (“flight of ideas”). Ia merasa gembira luar biasa (efori), segala hal dianggap mudah saja. Psikomotorik meningkat, banyak sekali berbicara 5. Amok 7
Amok adalah keadaan gaduh-gelisah yang timbul mendadak dan dipengaruhi oleh faktor-faktor
sosiobudaya. Karena itu PPDGJ-III
(Pedoman Penggolongan
Diagnosa Gangguan Jiwa ke-III di Indonesia) memasukkannya ke dalam kelompok “Fenomena dan Sindrom yang Berkaitan dengan Faktor Sosial Budaya di Indonesia” (“culture bound phenomena”). Efek “malu” (pengaruh sosibudaya) memegang peranan penting. Biasanya seorang pria, sesudah periode “meditasi” atau tindakan ritualistic, maka mendadak ia bangkit dan mulai mengamuk. Ia menjadi agresif dan destruktif, mungkin mula-mula terhadap yang menyebabkan ia malu,tetapi kemudian terhadap siapa saja dan apa saja yang dirasakan menghalanginya. Kesadaran menurun atau berkabut (seperti dalam keadaan Sesudahnya terdapat amnesia total atau sebagian. Amok
trance).
sering berakhir karena
individu itu dibuat tidak berdaya oleh orang lain, karena kehabisan tenaga atau karena ia melukai diri sendiri, dan mungkin sampai ia menemui ajalnya (Maramis dan Maramis, 2009). Menilai dan Memprediksi Perilaku Kekerasan Tanda-tanda adanya perilaku kekerasan yang mengancam (Sadock, et al, 2007): a. Pernah melakukan tindakan kekerasan beberapa saat yang lalu b. Kata-kata keras /kasar atau ancaman akan kekerasan c. Membawa benda-benda tajam atau senjata d. Adanya perilaku agitatif e. Adanya intoksikasi alkohol atau obat f. Adanya pikiran dan perilaku paranoid g. Adanya halusinasi dengar yang memerintahkan untuk melakukan ti ndak kekerasan. h. Kegelisahan katatonik i.
Episode manik
j.
Episode depresi agitatif
k. Gangguan Kepribadian tertentu Menilai resiko terjadinya perilaku kekerasan (Sadock, et al, 2007): -
Adanya ide-ide untuk melakukan kekerasan
-
Adanya faktor demografik seperti jenis kelamin laki-laki, usia 15 – 24tahun, status sosioekonomi yang rendah, dukungan sosial yang rendah 8
-
Adanya riwayat kekerasan sebelumnya,
penjudi, pemabuk, penyalahgunaan zat
psikoaktif,percobaan bunuh diri ataupun melukai diri sendiri, psikosis -
Adanya stresor (masalah pernikahan, kehilangan pekerjaan, dan lainnya)
Tatalaksana Bila seorang dalam keadaan gaduh gelisah dibawa kepada kita, penting sekali kita harus bersikap tenang. Dengan sikap yang meyakinkan, meskipun tentu waspada, dan katakata yang dapat menenteramkan pasien maupun para pengantarnya, tidak jarang kita sudah dapat menguasai keadaan (Maramis dan Maramis, 2009). Bila pasien masih diikat, sebaiknya ikatan itu disuruh dibuka sambil tetap berbicara dengan pasien dengan beberapa orang memegangnya agar ia tidak mengamuk lagi. Biarpun pasien masih tetap dipegang dan dikekang, kita berusaha memeriksanya secara fisik. Sedapat-dapatnya tentu perlu ditentukan penyebab keadaan gaduh gelisah itu dan mengobatinya secara etiologis bila mungkin (Maramis dan Maramis, 2009). Suntikan intramuskular suatu neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeutik tinggi (misalnya chlorpromazine HCL), pada umumnya sangat berguna untuk mengendalikan psikomotorik yang meningkat. Bila tidak terdapat, maka suntikan neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeurik rendah, misalnya trifluoperazine, haloperidol (5 – 10 mg), atau fluophenazine dapat juga dipakai, biarpun efeknya tidak secepat neuroleptikum kelompok dosis terapeutik tinggi. Bila tidak ada juga, maka suatu tranquailaizer pun dapat dipakai, misalnya diazepam (5 – 10 mg), disuntik secara intravena, dengan mengingat bahwa tranquilaizer bukan suatu antipsikotikum seperti neuroleptika, meskipun kedua-duanya mempunyai efek antitegang, anticemas dan antiagitasi (Maramis dan Maramis, 2009). Efek samping neuroleptika yang segera timbul terutama yang mempunyai dosis terapeutik tinggi, adalah hipotensi postural, lebih-lebih pada pasien dengan susunan saraf vegetatif yang labil atau pasien lanjut usia. Untuk mencegah jangan sampai terjadi sinkop, maka pasien jangan langsung berdiri dari keadaan berbaring, tetapi sebaiknya duduk dahulu kira-kira satu menit (bila pasien sudah tenang) (Maramis dan Maramis, 2009). Penjagaan dan perawatan yang baik tentu juga perlu, mula-mula agar ia jangan mengalami kecelakaan, melukai diri sendiri, menyerang orang lain atau merusak barang9
barang.
Bila pasien sudah tenang dan mulai kooperatif, maka pengobatan dengan
neuroleptika dilanjutkan per oral (bila perlu suntikan juga dapat diteruskan). Pemberian makanan dan cairan juga harus memadai. Kita berusaha terus mencari penyebabnya, bila belum diketahui, terutama bila diduga suatu
sindrom otak organik yang akut. Bila
ditemukan, tentu diusahakan untuk mengobatinya secara etiologis (Maramis dan Maramis, 2009).
Pasien dengan amok, bila sampai kepada kita, biasanya sudah tidak mengamuk lagi, kita tinggal berusaha tambah menentramkan saja dan mengobati keadaan fisik bila sudah terganggu sewaktu dia dalam keadaan amok. Psikosis skizofrenia dan bipolar memerlukan pengobatan jangka panjang dengan neuroleptika (Maramis dan Maramis, 2009).
2. Tindak kekerasan (violence)
Violence atau tindak kekrasan adalah agresi fisik yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain. Jika hal itu diarahkan kepada dirinya sendiri, disebut mutilasi diri atau tingkah laku bunuh diri (suicidal behavior). Tindak kekerasan dapat timbul akibat berbagai gangguan psikiatrik, tetapi dapat pula terjadi pada orang biasa yang tidak dapat mengatasi tekanan hidup sehari-hari dengan cara yang lebih baik.
10
Gambaran klinis dan diagnosis : Gangguan psikiatrik yang sering berkaitan dengan tindak kekerasan adalah: -
Gangguan psikotik, seperti skizofrenia dan manik, terutama bila paranoid dan mengalami halusinasi yang bersifat suruhan (commanding hallucination),
-
Intoksikasi alkohol atau zat lain,
-
Gejala putus zat akibat alkohol atau obat-obat hipnotik-seddatif
-
Katatonik furor
-
Depresi agitatif
-
Gangguan kepribadian yang ditandai dengan kemarahan dan gangguan pengendalian impuls (misalnya gangguan kepribadian ambang dan antisosial),
-
Gangguan mental organik, terutama yang mengenai lobus frontalis dan temporalis otak.
Faktor risiko lain terjadinya tindak kekerasan adalah : -
Adanya pernyataan seseorang bahwa ia berniat melakukan tindak kekerasan,
-
Adanya rencana spesifik,
-
Adanya kesempatan atau suatu cara untuk terjadinya kekerasan,
-
Laki-laki,
-
Usia muda (15-24 tahun),
-
Status sosioekonomi rendah,
-
Adanya riwayat melakukan tndak kekrasan,
-
Tindakan antisosial lainnya
-
Riwayat percobaan bunuh diri.
-
Tujuan pertama menghadap pasien yang potensial untuk melakukan tindak kekerasan adalah mencegah kejadian itu. Tindakan selanjutnya aadalah membuat diagnoss sebagai dasar rencana penatalaksanaan, termasuk cara-cara untuk memperkecil kemungkinan terjadinya tindak kekerasan berikutnya.
Panduan wawancara dan Psikoterapi -
Bersikaplah suportif dan tidak mengancam, tegas dan berikan batasan yang jelas bahwa kalau perlu pasien dapat diikat
(physical restraints). Tentukan batasan itu
dengan memberikan pilihan (misalnya pilih obat atau diikat), dan bukan dengan menyuruh pasien secara provokatif: “minum tablet ini sekarang” 11
-
Katakan langsung kepada pasien bahwa tindak kekerasan tidak dapat diterima,
-
Tenangkan pasien bahwa ia aman di sini. Tunjukkan dan tularkan sikap tenang dan penuh kontrol.
-
Tawarkan obat kepada pasien untuk membantunya lebih tenang.
Evaluasi dan penatalaksanaan 1) Lindungi diri anda -
Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersenjata,
-
Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersikap beringas (violent) seorang diri atau di ruang tertutup. Lepaskan hal-hal yang bisa dijambak/ditarik seperti kalung atau dasi,
-
Jangan melakukan pengikatan pasien seorang diri, serahkan urusan itu pada anggota staf yang terlatih.
-
Duduklah dengan jarak paling tidak sepanjang lengan
-
Jangan menantang atau menentang pasien psikotik.
-
Jangan duduk berdekatan dengan pasien paranoid, yang mungkin merasa bahwa anda mengancamnya
-
Waspadalah terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan. Selalu persiapkan rute untuk melarikan diri seandainya pasien menyerang anda. Jangan pernah membelakangi pasien
2) Waspada terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan, antara lain: -
Adanya kekerasan terhadap orang atau benda yang terjadi belum lama ini, gigi yang dikatupkan serta telapak yang dikepal,
-
Ancaman verbal,
-
Agitasi psikomotor,
-
Intoksikasi alkohol atau obat atau zat lain,
-
Waham kejar, dan
-
Senjata atau benda-benda yang dapat digunakan sebagai senjata (seperti garpu, asbak).
3) Pastikan bahwa terdapat jumlah staf yang cukup untuk mengikat pasien secara aman.
12
4) Pengikatan pasien hanya dilakukan oleh mereka yang telah terlatih. Biasanya setelah
pasien
diikat
diberikan
benzodiazepin
atau
antipsikotik
untuk
menenangkan pasien. 5) Lakukan evaluasi diagnostik yang tepat, meliputi TTV, pemeriksaan fisik dan wawancara pskiatrik. Terapi Psikofarmaka Terapi obat tergantung diagnosisnya. Biasanya untuk menenagkan pasien diberikan obat antipsikotik atau benzodiazepin:
Flufenazine, trifluoperazine atau haloperidol 5mg per oral atau IM,
Olanzapine 2,5-10 mg per IM, maksimal 4 injeksi per hari, dengan dosis rata-rata per hari 13-14mg,
Atau lorazepam 2-4 mg, diazepam 5-10mg per IV secara pelahan (dalam 2 menit ).
Bila dalam 20-30 menit kegelisahan
tidak berkurang, ulangi dengan dosis yang sama.
Hindari pemberian antipsikotik pada pasien yang mempunyai risiko kejang. Utnuk penderia epilepsi,
mula-mula
berikan
antikonvulsan
misalnya
carbamazepine
lalu
berikan
benzodiazepine. Pasien yang menderita ganggauan organik kronik seringkali memberikan respon yang baik dengan pemberian ß-blocker seperti propanolol. (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010).
3. Bunuh diri (suicide)/ Tentamen Suicidum
Bunuh diri atau suicide atau tentamen suicidum adalah kematian yang diniatkan dan dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010) atau
segala perbuatan
seseorang yang dapat mengakhiri hidupnya
sendiri dalam waktu singkat (Maramis dan Maramis, 2009). Ada macam-macam pembagian bunuh-diri dan percobaan bunuh-diri. Pembagian Emile Durkheim masih dapat dipakai karena praktis, yaitu: 1. Bunuh diri egoistic Individu ini tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadi individu itu seolah-olah tidak berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat menerangkan 13
mengapa mereka tidak menikah lebih rentan untuk melakukan percobaan bunuh diri dibandingkan
dengan
mereka
yang
menikah.
Masyarakat
daerah
pedesaan
mempunyai integrasi social yang lebih baik dari pada daerah perkotaan, sehingga angka suiside juga lebih sedikit. 2. Bunuh diri altruistic Individu itu terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk bunuh diri karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa bahwa kelompok tersebut sangat mengharapkannya. Contoh: “Hara-kiri: di Jepang, “puputan” di Bali beberapa ratus tahun yang lalu, dan di beberapa masyarakat primitive yang lain. Suiside macam ini dalam jaman sekarang jarang terjadi, seperti misalnya seorang kapten yang menolak meninggalkan kapalnya yang sedang tenggelam. 3. Bunuh diri anomik Hal ini terjadi bila tedapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu dengan masyarakat, sehingga individu tersebut meningglakan norma-norma kelakuan yang biasa. Individu itu kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat atau kelompoknya tidak dapat memberikan kepuasan kepadanya karena tidak ada pengaturan dan pengawasan terhadap kebutuhan-kebutuhannya. Hal ini menerangkan mengapa percobaan bunuh diri pada orang cerai pernikahan lebih banyak dari pada mereka yang tetap dalam pernikahan. Golongan manusia yang mengalami perubahan ekonomi yang drastis juga lebih mudah melakukan percobaan bunuh diri. Helber Hendin mengemukakan beberapa hal psikodinamika bunuh-diri sebagai berikut: Kematian sebagai pelepasan pembalasan (“Death as retaliatory abandonment”).
Suiside dapat merupakan usaha untuk mengurangi preokupasi tentang rasa takut akan kematian. Individu mendapat perasaan seakan-akan ia dapat mengontrol dan dapat mengetahui bilamana dan bagaimana kematian itu. Kematian sebagai pembunuhan terkedik (ke belakang) ( “Death as retroflexed
murder”). Bagi individu yang mengalami gangguan emosi hebat, suiside dapat mengganti kemarahan atau kekerasan yang tidak dapat direpresikan. Orang ini cenderung untuk bertindak kasar dan suiside dapat merupakan penyelesaian mengenai pertentangan emosi dengan keinginan untuk membunuh.
14
Kematian sebagai penyatuan kembali (“Death as reunion”). Kematian dapat
mempunyai arti yang menyenangkan, karena individu itu akan bersatu kembali dengan orang yang telah meninggal (reuni khayalan). Kematian sebagai hukuman buat diri sendiri (“Death as self punishment”).
Menghukum diri sendiri karena kegagalan dalam pekerjaan jarang terjadi pada wanita, akan tetapi seorang ibu tidak mampu mencintai, maka keinginan menghukum dirinya sendiri dapat terjadi. Dalam rumah sakit jiwa, perasaan tak berguna dan menghukum diri sendiri merupakan hal yang umum. Mula-mula mungkin karena kegagalan, rasa berdosa karena agresi, individu itu mencoba berbuat lebih baik lagi, tetapi akhirnya ia menghukum diri sendiri untuk menjauhkan diri dari tujuan itu. F aktor Risiko
Berikut ini faktor-faktor resiko untuk bunuh diri (Sadock, et al, 2007): 1) Jenis kelamin. Perempuan lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri dibanding laki-laki. Akan tetapi, keberhasilan bunuh diri lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini berkaitan dengan metode bunuh diri yang dipilih. Laki-laki lebih banyak dengan gantung diri, meloncat dari tempat tinggi, dengan senjata api. Perempuan lebih banyak dengan overdosis obat-obatan atau menggunakan racun. 2) Usia. Kasus bunuh diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada laki-laki, angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 45 tahun sedangkan pada perempuan angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 55 tahun. Orang yang lebih tua lebih jarang melakukan percobaan bunuh diri, tetapi lebih sering berhasil. 3) Ras. Di Amerika Serikat ras kulit putih lebih banyak melakukan bunuh diri dibanding ras kulit hitam. 4) Status perkawinan. Pernikahan menurunkan angka bunuh diri, terutama jika terdapat anak di rumah. Orang yang tidak pernah menikah dua kali lebih beresiko untuk bunuh diri. Perceraian meningkatkan resiko bunuh diri. Janda atau duda yang pasangannya telah meninggal juga memiliki angka bunuh diri yang tinggi. 5) Pekerjaan. Semakin tinggi status sosial semakin tinggi resiko bunuh diri, tetapi status sosial yang rendah juga meningkatkan resiko bunuh diri. Pekerjaan sebagai dokter memiliki resiko bunuh diri tertinggi dibanding pekerjaan lain. Spesialisasi psikiatri memiliki resiko tertinggi, disusul spesialis mata dan spesialis anestesi. Pekerjaan lain yang memiliki resiko tinggi untuk bunuh diri adalah pengacara, artis, dokter gigi, 15
polisi, montir, agen asuransi. Orang yang tidak memiliki pekerjaan memiliki resiko lebih tinggi untuk bunuh diri. 6) Kesehatan fisik. Satu dari tiga orang yang melakukan bunuh diri memiliki masalah kesehatan dalam 6 bulan sebelum bunuh diri. Hilangnya mobilitas fisik, nyeri hebat yang kronik, pasien hemodialisis meningkatkan resiko bunuh diri. 7) Gangguan mental. Sekitar 95% dari semua orang yang mencoba atau melakukan bunuh diri memiliki gangguan mental. Gangguan mental tersebut terdiri dari depresi 80%, skizofrenia 10%, dan demensia atau delirium 5%. Di antara semua pasien dengan gangguan mental, 25% kecanduan juga kepada alkohol. 8) Kecanduan alcohol. Sekitar 15% pasien kecanduan alkohol melakukan bunuh diri. Sekitar 80% pasien bunuh diri akibat kecanduan alkohol adalah laki-laki. Sekitar 50% dari pasien kecanduan alkohol yang bunuh diri mengalami kehilangan anggota keluarga atau pasangan dalam satu tahun terakhir. 9) Gangguan kepribadian. Sebagian besar orang yang bunuh diri memiliki gangguan kepribadian. Gangguan kepribadian merupakan faktor predisposisi untuk gangguan depresi. Selain itu juga merupakan faktor predisposisi untuk kecanduan alkohol. Gangguan kepribadian juga dapat menyebabkan konflik dengan keluarga dan orang lain. Gangguan Jiwa yang sering Berkaitan dengan Bunuh Diri,
adalah gangguan mood,
keterantungan alkohol, skizofrenia. Pencegahan tindak bunuh diri yang terbaik adalah dengan mendeteksi dini dan menatalaksana gangguan jiwa yang mungkin menjadi faktor kontribusi tadi. Mengenali pasien yang berpotensi bunuh diri. Kemungkinan bunuh diri dapat terjadi apabila (Tomb, 2004): a. Pasien pernah mencoba bunuh diri b. Keinginan bunuh diri dinyatakan secara terang-terangan maupun tidak, atau berupa ancaman: “kamu tidak akan saya ganggu lebih lama lagi” (sering dikatakan pada keluarga) c. Secara objektif terlihat adanya mood yang depresif atau cemas d. Baru mengalami kehilangan yang bermakna (pasangan, pekerjaan, harga diri, dan lain-lain)
16
e. Perubahan perilaku yang tidak terduga: menyampaikan pesan-pesan, pembicaraan serius dan mendalam dengan kerabat, membagi-bagikan harta/barang-barang miliknya. f. Perubahan sikap yang mendadak: tiba-tiba gembira, marah atau menarik diri. Panduan Wawancara dan Psikoterapi
Pada waktu wawancaa, pasien mungkin secara spontan menjelaskan adanya ide bunuh diri. Bila tidak, tanyakan langsung.
Mulailah dengan menanyakan: - Apakah anda pernah merasa ingin menyerah saja? - Apakah anda pernah merasa bahwa lebih baik kalau anda mati saja?
Tanyakan isi pikiran pasien: - Berapa sering pikiran ini muncul? - Apakah pikiran tentang bunuh diri ini meningkat?
Selidiki : - Apakah pasien bisa mendapatkan alat dan cara untuk melaukan rencana bunuh dirinya? - Apakah mereka sudah mengambilkah aktif, isalnya mengumpulkan obat? - Seberapa pesimiskah mereka? - Apakah mereka bisa memikirkan bahwa kehidupannya akan membaik?
Evaluasi dan Penatalaksanaan Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat di rumah (di tempat kejadian) dan atau di Unit Gawat Darurat di rumah sakit, di bagian penyakit dalam atau bedah. Dilakukan pengobatan terhadap luka-luka dan atau keracunan. Bila keracunan atau luka sudah dapat diatasi maka dilakukan evaluasi psikiatrik. Tidak ada hubungan antara beratnya gangguan fisik dengan beratnya gangguan psikologis. Penting sekali dalam pengobatan untuk menangani juga gangguan mentalnya. Untuk pasien dengan depresi dapat diberikan psikoterapi dan obat antidepresan (Maramis dan Maramis, 2009). Ketika sedang mengevaluasi pasien dengan kecendrungan bunuh diri, jangan tinggalkan mereka sendiri di ruangan. Singkirkan benda-benda yang dapat membahayakan dari ruang tersebut. Etika mengevaluasi pasien yang baru melakukan percobaan bunuh diri, buatlah penilaian apakah hal
itu direncanakan atau dilakukan secara impulsif.
17
Penatalaksanaan tergantung dari diagnosis yang ditegakkan. Pasien yang depresi berat boleh saja berobat jalan asalkan keluarganya dapat mengawasi pasien secara ketat di rumah. Ide bunuh diri pada pasien alkoholik umumnya hilang setelah sesudah menghentkan pengguanan alkohol itu.
Pasien dengan gangguan kepribadian akan berespon baik bila
mereka ditangani secara empatik dan dibantu untuk memecahkan masalah dengancara rasional dan bertanggung jawab. Rawat inap jangka panjang diperlukan bagi pasien yang cendrung dan mempunyai kebiasaan melukai diri sendiri serta parasuicides. Parasuicides yaitu mereka yang berulangkali melakukan hal-hal berbahaya tetapi menyangkal adanya ideide bunuh diri. (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010) Terapi psikofarmaka Seorang yang sedang dalam krisis karena baru ditinggal mati biasanya akan berfungsi lebih baik setelah mendapat tranquilizer ringan, tertama bila tidurnya terganggu. Obat pilihannya adalah golongan benzodiazepine, misalnya lorazepam 3x1 mg per hari selama 2 minggu. Jangan memberukan obat dalam jumlah banyak sekaligus terhdap pasien(rrespkan sedikit-seikit saja) dan pasien harus kontrol dalam bebeapa hari. 4. Sindroma Neuroleptik Maligna
Sindrom neuroleptik maligna adalah suatu sindrom toksik yang behubungan dengan penggunaan obat antipsikotik. Gejalanya meliputi : kekakuan otot, distonia, akinesia mutisme dan agitasi. Gambaran Klinis dan Diagnosis Ditandai oleh demam tinggi (dapat mencapai 41,5ºC), kekakuan otot yang nyata sampai seperti pipa (lead-pipe rigidity), instabilitas otonomik (takikardia, tekanan darah yang labil, keringat berlebih) dan gangguan kesadaran. Kekakuan yang parah dapat menyebabkan rhabdomyolysis, myaglobinuria dan akhirnya gagal ginjal. Penyulit lain dapat berupa tombosis vena, emboli paru dan kematian. Biasanya terjadi dalam hari-hari pertama pengguanaan antipsikotik pada saat dosis mulai ditingkatkan, umunya dalam 10 hari pertama pengobatan antipsikotik. Sindrom neuroleptik maligna paling mungkin terjadi pada pasien yang menggunakan antipsikotik potensi tinggi dalam dosis tinggi atau dosis yang meningkat cepat. Menurut
18
DSM-IV-TR, diagnosis sindrom neuroleptik maligna ditegakkan jika terdapat demam dan kekakuan otot yang parah disertai dengan 2 atau lebih gejala berikut:
Diaforesis
Disfagia
Tremor
Inkontinensia
Penurunan kesadaran
Autism
Takikardia
Tekanan darah yang meningkat atau labil
Leukositosis
Bukti laboratorium adanya kerusakan otot rangka
Patofisiologi Patofisiologi sindrom neuroleptik maligna belum diketahui secara jelas. Timbulnya sindrom neuroleptik maligna akibat obat yang menghambat reseptor D2 menghasilkan hipotesis bahwa penghambatan reseptor D2 pada berbagai area di otak menjelaskan gejala klinis yang timbul. Hambatan reseptor D2 di formatio retikularis dapat menurunkan kesadaran. Hambatan reseptor D2 di jalur nigrostriatal dapat menyebabkan rigiditas. Hambatan reseptor D2 di hipotalamus dapat menyebabkan instabilitas otonom, gangguan pelepasan panas. Hiperpireksia terjadi akibat disfungsi hipotalamus dan kekakuan otot. Faktor resiko Jenis kelamin laki-laki dua kali lebih beresiko dibanding perempuan.Faktor predisposisi munculnya sindrom neuroleptik maligna adalah dehidrasi, malnutrisi, kelelahan, injeksi intramuskular neuroleptik, cedera kepala, infeksi, intoksikasi alkohol, pengunaan antipsikotik bersama dengan litium (Hall and Chapman, 2006). Gangguan ini dapat pula terjadi pada pasien yang baru menghentikan terapi dengan obat-obatan agoni dopaminergik seperti carbidopa, levodopa, amantadine dan bromocriptine. Panduan Wawancara dan Psikoterapi 19
Sindrom neuroleptik maligna adalah kegawatdaruratan medik sehingga perlu dirawat di ICU. Kesadarannya terganggu, tanyakan perjalanan penyakitnya pada keluarga dan temantemannya. Evaluasi dan Penatalaksanaan Pertimbangkan
kemungkinan sindrom neuroleptik maligna pada pasien yang
mendapat antipsikotik yang mengalami demam serta kekakuan otot. Bila terdapat rigiditas rinan yang tidak berespon terhdap antikolinergik biasa dan bila
demamnya tak jelas sebabnya, buatlah diagnosis sementara sindroma neuroleptik maligna. Hentikna pemberian antipsikotik segera. Monitor tanda-tanda vital secara berkala. Lakukan pmeriksaan laboratorium Hidrasi
cepat intrvena daapt mencegah erjadinya renjatan dan menurnkan
kemungkinan terjadiny agagal ginjal.
Sindrom ini biasanya berlangsung selama 15 hari. Setelah sembuh, masalah kemudian adalah pemberian naipsikotik selanjutnya apakah mengganti dari kelas yang berbeda atau kembali ke antipsikotik semula yang efektif.
Terapi Psikofarmaka
Amantadine 200-400 mg PO/hari dalam dosis terbagi
Bromocriptine 2,5 mg PO 2 atau 3 kali/hari , dapat dianikan sampai 45 mg/hari
Levodopa 50-100 mg/hari IV dalam infus terus-menerus
20
BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan
Kondisi pada keadaan kegawatdaruratan psikiatrik meliputi percobaan bunuh diri, ketergantungan obat, intoksikasi alkohol, depresi akut, adanya delusi, kekerasan, serangan panik, dan perubahan tingkah laku yang cepat dan signifikan, serta beberapa kondisi medis lainnya yang mematikan dan muncul dengan gejala psikiatrik umum. Kegawatdaruratan psikiatrik ada untuk mengidentifikasi dan menangani kondisi ini. Kemampuan dokter untuk mengidentifikasi dan menangani kondisi ini sangatlah penting.
2. Saran
Jika menemukan anggota keluarga yang memiliki tanda prilaku percobaan bunuh diri atau prilaku menyerang sebaiknya segera bawa orang tersebut ke psikiatri atau bawa ke rumah sakit agar dapat ditangani lebih lanjut dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto ed. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit FKUI 2. Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press. 3. Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York: Lippincott Williams & Wilkins. 4. Tomb, D.A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta: EGC.
22