KERANGKA ACUAN KEGIATAN PENANGGULANGAN DBD
PUSKESMAS DTP KARANGNUNGGAL
1. Pendahuluan
Dewasa ini, pembangunan kesehatan di Indonesia dihadapkan pada masalah dan tantangan yang muncul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial ekonomi dan perubahan lingkungan strategis, baik secara nasional maupun global. Penerapan desentralisasi di bidang kesehatan dan pencapaian sasaran Millenium Development Goals (MDGs) merupakan contoh masalah dan dan tantangan yang perlu menjadi perhatian seluruh stakeholder bidang kesehatan, khususnya para pengelola program, dalam menyusun kebijakan dan strategi agar pelaksanaannya menjadi lebih efisien dan efektif. Program pencegahan dan pengendalian penyakit menular telah mengalami peningkatan peningkatan capaian walaupun penyakit infeksi menular masih tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat yang menonjol terutama TB, Malaria, HIV-AIDS, DBD dan Diare. Angka kesakitan DBD masih tinggi, yaitu sebesar 65,57 per 100.000 penduduk pada tahun 2010, sedangkan angka kematian dapat ditekan di bawah 1 persen, yaitu 0,87 persen. Target pengendalian DBD tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kesehatan 2010-2014 dan KEPMENKES 1457 tahun 2003 tentang Standar Pelayanan Minimal yang menguatkan pentingnya upaya pengendalian penyakit DBD di Indonesia hingga ketingkat Kabupaten/Kota bahkan sampai ke desa. Melalui pelaksanaan program pengendalian penyakit penyakit DBD diharapkan diharapkan dapat berkontribusi berkontribusi menurunkan angka kesakitan, dan kematian akibat penyakit menular di Indonesia. 2. Latar Belakang Penyakit DBD merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat dan endemis di hampir seluruh Kota/Kabupaten di Indonesia. Sejak ditemukan pertama kali pada tahun 1968 hingga saat ini jumlah kasus DBD dilaporkan meningkat dan penyebarannya semakin meluas mencapai seluruh provinsi di Indonesia (33 provinsi). Penyakit ini seringkali menimbulkan KLB di beberapa daerah endemis tinggi DBD. sejak januari sampai dengan Maret tahun 2004 total kasus DBD di seluruh prOpinsi diIndonesia sudah mencapai mencapai 26.015, dengan jumlah kematian sebanyak389 orang (CFR 1,53% ).Kasus tertinggi terdapat di Propinsi DKI Jakarta 11.534 orang. Sedangkan Sedangkan CFR tertinggi t ertinggi terdapat diPropinsi NTT (3,96 %). Penyakit DBD sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti 8lu atau tipus. Hal inidisebabkan karena infeksi virus dengue yang menyebabkan DBD bisa bersifat asimtomatik atau tidak jelas gejalanya. Data di bagian anak RSCM menunjukkan menunjukkan pasien DBD sering menunjukkan gejala batuk, pilek, muntah, mual, maupun diare. Masalah bisa bertambah karena virus
tersebut dapat masuk bersamaan bersamaan dengan infeksi penyakit lain seperti flu atau tipus. oleh karena itudiperlukan kejelian pemahaman tentang perjalanan penyakit infeksi virus dengue, patofisiologi, dan ketajaman pengamatan klinis. Dengan pemeriksaan
klinis yang baik dan lengkap, diagnosis DBD serta pemeriksaan penunjang (laboratorium) dapat membantu terutama bila gejala klinis kurang memadai. Masih adanya kasus tiap tahun (daerah endemis) DBD diwilayah Karangnunggal dan bertambahnya wilayah yang terjangkit karena banyak nya transportasi, perumahan atau pemukiman penduduk baru, kurangnya kesadaran prilaku masyarakat mas yarakat terhadap kebersihan lingkungan, dan banyak nya vektor di seluruh wilayah. 3. Tujuan
a. Umum Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mencegah dan melindungi diri dari penularan DBD melalui perubahan perilaku (PSN DBD) dan kebersihan lingkungan. l ingkungan. b. Khusus 1. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pencegahan dan pengendalian DBD 2. Menurunkan jumlah kelompok masyarakat yang berisiko terhadap penularan DBD 3. Melaksanakan penanganan penderita sesuai standar 4. Menurunkan angka kesakitan DBD 5. Menurunkan angka kematian akibat DBD 4. Kegiatan Kegiatan Pokok dan Rincian Kegiatan Kegiatan
a. Surveilans epidemiologi Surveilans pada pengendalian DBD meliputi kegiatan surveilans kasus secara aktif maupun pasif, surveilans vektor (Aedes sp), surveilans laboratorium dan surveilans terhadap faktor risiko penularan penyakit seperti pengaruh curah hujan, kenaikan suhu dan kelembaban serta surveilans akibat adanya perubahan iklim (climate change). Surveilans kasus itu sendiri merupakan suatu proses pengamatan yang terus menerus sistematik dan berkesinambungan dalam pengumpulan data, analisa dan interpretasi data kesehatan dalam upaya menguraikan dan memantau suatu peristiwa kesehatan agar dapat dilakukan penanggulangan yang efektif dan efisien terhadap masalah kesehatan. Data yang termasuk dalam surveilans kasus antara lain dokumen proses surveilans kasus yaitu trend atau grafik kasus, CFR, jumlah desa terjangkit; musim penularan; grafik maksimum minimum bulanan kasus; petalokasi kelurahan/desa rawan DBD; daftar kecamatan, kelurahan
endemis, sporadis, potensial dan bebas yang ditanggulangi; buku catatan kasus per kecamatan; laporan kasus cepat melalui jalur lain diluar lap KDRS; pengambilan kasus di RS oleh petugas ; pemberitahuan kasus dari kab/kota lain serta lama waktu rata-rata antara dirawat sampai dilaksanakan PE dan fogging kasus. Surveians juga dapat digunakan untuk menentukan luasnya infeksi dan resiko penulara pen yakit sehingga tindakan pencegahan dan penanggulangan penanggulangan dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Mekanisme pengumpulan data dapat dipilih secara pasif dengan menerima lapran atau secara aktif mengumpulkan data di lapangan serta sumber data. Pengmpulan data terhadap te rhadap perorangan perlu juga mempertimbangkan kerahasiaan data. Surveilans kasus Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di meliputi kegiata n pengumpulan dan pencatatan data tersangka DBD dan penderita DD,DBD,SSD; pengolahan dan penyajian penyajian data penderita DBD untuk pemantauan KLB; KLB; KD/RS-DBD untuk pelaporan tersangka DBD, penderita DD, DBD, SSD dalam 24 jam setelah diagnosis ditegakkan; laporan KLB (W1); laporan mingguan KLB (W2-DBD); laporan bulanan kasus/kematian DBD dan program pemberantasan (K-DBD); data dasar perorangan penderita DD, DBD, SSD (DPDBD), penentuan stratifikasi (endemisitas) desa/kelurahan, distribusi kasus DBD per RW/dusun, penentuan musim penularan dan kecenderungan DBD. Penyakit DBD yang termasuk penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah sehingga keberhasilan pencegahan dan pemberantasan penyakit harus ditunjang oleh sistem survailans dan sistem manajemen yang baik. Faktor-faktor manajemen meliputi faktor manusia (pengetahuan, sikap, tindakan, tingkat pendidikan dan pelatihan yang pernahdiikuti petugas), faktor imbalan (uang jasa), faktor bahan (material) dan faktor metode. Laporan penderita DD, DBD dan SSD selain untuk tindak lanjut penyelidikan epidemiologis (PE) dan dan penanggulangan penanggulangan fokus (PSN DBD, larvasidasi, penyuluhan tentang DBD/PSN DBD, dan fogging focus bila memenuhi kriteria) untuk membatasi penyebaran penyakit, sekaligus sebagai pelaporan penderita secara berjenjang ke propinsi dan pusat. Laporan tersangka DBD dimaksudkan untuk tindakan kewaspadaan seperti pemantauan perkembangan diagnosis di unit pelayanan kesehatan atau oleh dinas kesehatan, pencarian informasi kemungkinan adanya kasus tambahan (case active finding) di desa/kelurahan tersangka berdomisili dan pemberian anjuran pemeriksaan di fasilitas kesehatan agar tidak terjadi keterlambatan, peningkatan upaya penyuluhan DBD atau PSN DBD dan upaya penggerakan masyarakat dalam PSN DBD di RT/RW/desa/kelurahan tempat tersangka berdomisili terutama di desa/kelurahan endemis, dan lain-lain.
b. Penemuan dan tatalaksana kasus Penyakit DBD sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan yang cukup besar di Indonesia, karena walaupun jumlah angka kematian sudah dapat ditekan, tetapi jumlah kasus secara keseluruhan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Manifestasi penyakit ini sangat bervariasi mulai dari yang paling ringan sampai gejala yang paling berat yang dapat disertai dengan renjatan. Penderita klinis tersangka DBD apabila diagnosa tidak segera ditegakkan secara dini maka dapat menuju kearah lebih berat, mudah terjadi renjatan dan akhirnya dapat berakibat fatal karena terjadinya DSS. Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka diagnose `pasti DBD penting sekali artinya, karena selain membantu penatalaksanaan dan pengelola c. Pengendalian vektor Upaya pengendalian vektor dilaksanakan pada fase nyamuk dewasa dan jentik nyamuk. Pada fase nyamuk dewasa dilakukan dengan cara pengasapan untuk memutuskan rantai penularan antara nyamuk yang terinfeksi kepada manusia. Pada fase jentik dilakukan upaya PSN dengan kegiatan 3M Plus : 1. Secara fisik dengan menguras, menutup dan memanfaatkan barang bekas 2. Secara kimiawi dengan larvasidasi 3. Secara biologis dengan pemberian ikan 4. Cara lainnya (menggunakan repellent, obat nyamuk bakar, kelambu, memasang kawat kasa dll) Kegiatan pengamatan vektor di lapangan dilakukan dengan cara : 1. Mengaktifkan peran dan fungsi Juru Pemantau Jentik (Jumantik) dan dimonitor olah petugas Puskesmas. 2. Melaksanakan bulan bakti “Gerakan 3M” pada saat sebelum musim penularan. 3. Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) setiap 3 bulan sekali dan dilaksanakan oleh petugas Puskesmas. 4. Pemantauan wilayah setempat (PWS) dan dikomunikasikan kepada pimpinan wilayah pada rapat bulanan POKJANAL DBD, yang menyangkut hasil pemeriksaan Angka Bebas Jenti k (ABJ). d. Peningkatan peran serta masyarakat Sasaran peran serta masyarakat terdiri dari keluarga melalui peran PKK dan organisasi kemasyarakatan atau LSM, murid sekolah melalui UKS dan pelatihan guru, tatanan institusi (kantor, tempat0tempat umum dan tempat ibadah). Upaya pencegahan penyakit ini telah dilakukan antara lain dengan pemutusan rantai nyamuk penularnya dengan cara penaburan larvasida, fogging focus serta pemberantasan
sarang nyamuk (PSN). PSN merupakan cara pemberantasan yang lebih aman, murah dan sederhana. Oleh sebab itu kebijakan pemerintah dalam pengendalian vektor DBD lebih menitikberatkan pada program ini, walaupun cara ini sangat tergantung pada peranserta masyarakat Pada daerah-daerah dengan sumber air bersih yang terbatas, masyarakat harus lebih berperan serta secara aktif dalam kegiatan PSN, dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD. Adanya kegiatan 3M akan sangat membantu dalam keberhasilan PSN-DBD. Tindakan 3M merupakan cara paling tepat dalam pencegahan dan penanggulangan terjadinya Penyakit DBD. Penyuluhan kesehatan, yang merupakan saluran penyampaian informasi dari para pelaksana program di lapangan kepada warga masyarakat, mas yarakat, dapatberjalan dengan baik oleh apabila didukung oleh saran dan prasaran yang memadai. Ketidakberhasilan program pencegahan dan pemberantasan DBD dalam mencegah dan menurunkan tingginya angka kejadian penyakit DBD berhubungan erat dengan belum adanya peranserta warga e. Sistem kewaspadaan dini (SKD) dan penanggulangan KLB Upaya SKD DBD ini sangat penting dilakukan untuk mencegah terjadinya KLB dan apabila telah terjadi KLB dapat segera ditanggulang dengan cepat dan tepat. Upaya dilapangan yaitu dengan melaksanakan kegiatan penyelidikan epidemiologi (PE) dan penanggulangan seperlunya meliputi foging fokus, penggerakan masyarakat dan penyuluhan untuk PSN serta larvasidasi. Demikian pula kesiapsiagaan di RS untuk dapat manampung pasien DBD, baik penyediaan tempat tidur, sarana logistik, dan tenaga te naga medis, paramedis dan laboratorium yang siaga 24 jam. Pemerintah daerah menyiapkan anggaran untuk perawatan bagi pasien tidak mampu. Hal ini dikarenakan seluruh informan menjawab mereka melibatkan masyarakat dalam penanggulangan DBD, juga melaksanakan kegiatan fogging focus, adanya pengendalian sebelum musim penularan dan penanggulangan kejadian luar biasa. Di Indonesia, pada saat musim hujan populasi nyamuk meningkat meskipun saat musim kering populasinya tetap banyak oleh karena masyarakat memiliki kebiasaan menampung air di dalam bak air/drum terutama di daerah sulit airsehingga nyamuk dan jentik selalu ada sepanjang tahun. Kunci pencegahan penyakit DBD adalah pengawasan yang ketat untuk pelaporan dini hasil pemantauan kepadatan vektor sehingga pengambilan tindakan tidak terlambat saat menerima laporan kasus dari lokasi wabah. Keberadaan jumantik memiliki peran vital dalam pemberantasan DBD karena bertugas memantau populasi nyamuk penular DBD dan jentiknya. jentiknya. Pemeriksaan jentik berkala dilakukan oleh oleh jumantik yang bertugas melakukan kunjungan rumah setiap 3 bulan. Hasil yang didapat jumantik dilaporkan dalam bentuk Angka Bebas
Jentik (ABJ) yaitu rasio antara jumlah rumah/bangunan yang tidak ditemukan jentik dengan jumlah rumah/ bangunan yang diperiksa dikali 100%. ABJ merupakan indikator penyebaran Aedes aegypti. ABJ yang ditargetkan secara nasional mencapai lebih dari 95%.11,13 ABJ sesungguhnya bukan jaminan akan adanya penurunan jumlah kasus karena bisa saja daerah berpotensi sarang nyamuk yang tersembunyi atau tidak terpantau seperti kaleng bekas di jalan, rumah kosong, lubang bambu/pohon, dan sebagainya. Oleh karena itu, pada saat survei jentik memerlukan ketelitian dalam memeriksa tempattempat perkembangbiakan nyamuk. Secara umum, peran petugas kesehatan dinilai cukup berhasil dalam pencegahan DBD, namun terdapat beberapa hal yang menjadi bahan evaluasi. Pengalaman di lapangan dalam melakukan evaluasi kinerja jumantik biasanya mereka tidak memberikan informasi yang cukup kepada masyarakat mengenai DBD dan pencegahannya. Motivasi kepada masyarakat juga jarang diberikan padahal, ini penting sekali untuk selalu diberikan dan diingatkan kepada masyarakat tentang pencegahan DBD. Kalau program ini berjalan dengan baik maka masyarakat akan memiliki pengetahuan yang cukup cukup tentang DBD dan perilaku mereka f. Penyuluhan Promosi kesehatan tentang penyakit DBD tidak hanya menyebarkan leaflet atau poster tetapi juga ke arah perubahan perilaku dalam pemberantasan sarang nyamuk sesuai dengan kondisi setempat. Penyuluhan kesehatan tersebut merupakan salah satu cara yang digunakan untuk menambah pengetahuan dan kemampuan seseorang melalui teknik belajar atau instruksi dengan tujuan mengubah atau mempengaruhi perilaku manusia secara individu, kelompok maupun masyarakat. Tujuan penyuluhan kesehatan tentang DBD adalah menginformasikan kepada masyarakat tentang penyakit tersebut. Dengan demikian, masyarakat akan menggunakan pengetahuan dari hasil penyuluhan tersebut untuk mengubah sikap dan praktik agar mencapai kesehatan yang lebih baik. Pengetahuan tentang DBD meningkatkan pemahaman masyarakat tentang masalah yang terjadi di masyarakat dan partisipasi masyarakat dalam pencegahan DBD. g. Kemitraan/jejaring kerja Disadari bahwa penyakit DBD tidak dapat diselesaikan hanya oleh sektor kesehatan saja, tetapi peran lintas program dan lintas sektor terkait sangat besar. Wadah kemitraan telah terbentuk melalui SK KEPMENKES 581/1992 dan SK MENDAGRI 441/1994 dengan nama Kelompok Kerja Operasional (POKJANAL). Organisasi ini merupakan wadah koordinasi dan jejaring kemitraan dalam pengendalian DBD.
h. Monitoring dan evaluasi Monitoring dan evaluasi ini dilaksanakan secara berjenjang dari tingkat kelurahan/desa sampai ke pusat yang menyangkut menyangkut pelaksanaan pengendalian DBD, dimulai dari input, proses, output dan outcome yang dicapai pada setiap tahun. 5. Cara melaksanakan kegiatan.
a. Pemberdayaan masyarakat Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pencegahan dan pengendalian penyakit DBD merupakan salah satu kunci keberhasilan upaya pengendalian DBD. Untuk mendorong meningkatnya peran aktif masyarakat, maka KIE, pemasaran sosial, advokasi dan berbagai upaya penyuluhan kesehatan lainnya dilaksanakan secara intensif dan berkesinambungan melalui berbagai media massa maupun secara berkelompok atau individual dengan memperhatikan aspek sosial budaya yang lokal spesifik. b. Peningkatan kemitraan berwawasan bebas dari penyakit DBD Upaya pengendalian DBD tidak dapat dapat dilaksanakan dilaksanakan oleh sector kesehatan saja, peran sektor terkait pengendalian penyakit DBD sangat menentukan. Oleh sebab itu maka identifikasi stake-holders baik sebagai mitra maupun pelaku potensial potensial merupakan langkah awal dalam menggalang, menggalang, meningkatkan dan mewujudkan kemitraan. Jejaring kemitraan diselenggarakan melalui pertemuan berkala guna memadukan berbagai sumber daya yang tersedia dimasing-masing mitra. Pertemuan berkala sejak dari tahap perencanaan sampai tahap pelaksanaan, pemantauan dan penilaian melalui wadah Kelompok Kerja Operasional (POKJANAL DBD) di berbagai tingkatan administrasi. c. Peningkatan Profesionalisme Pengelola Program SDM yang terampil dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu unsur penting dalam mencapai keberhasilan pelaksanaan program pengendalian DBD. d. Desentralisasi Optimalisasi pendelegasian wewenang pengelolaan kegiatan pengendalian DBD kepada pemerintah kabupaten/kota, melalui SPM bidang kesehatan. e. Pembangunan Berwawasan Kesehatan Lingkungan Meningkatkan mutu lingkungan hidup yang dapat mengurangi risiko penularan DBD kepada manusia, sehingga dapat menurunkan angka kesakitan akibat infeksi Dengue/DBD. 6. Sasaran
a. Individu, keluarga dan masyarakat di tujuh tatanan dalam PSN yaitu tatanan rumah tangga, institusi pendidikan, tempat kerja, tempat-
tempat umum, tempat penjual makanan, fasilitas olah raga dan fasilitas kesehatan yang secara keseluruhan di daerah terjangkit DBD mampu mengatasi masalah termasuk melindungi diri dari penularan DBD di dalam wadah organisasi kemasyarakatan yang ada dan mengakar di masyarakat. b. Lintas program dan lintas sektor terkait termasuk termas uk swasta/dunia usaha, LSM dan organisasi kemasyarakatan mempunyai komitmen dalam penanggulangan penyakit penyakit DBD. c. Penanggungjawab program mampu membuat dan menetapkan kebijakan operasional dan menyusun prioritas dalam pengendalian DBD. d.
SDM bidang Desa/Kelurahan
kesehatan
Kabupaten/Kota,
Kecamatan
dan
7. Jadwal pelaksanaan kegiatan BULAN
NO
NAMA KEGIATAN
Penemuan dan tatalaksana kasus
Puskesmas
1
Pengendalian vektor
Insedentil
Peningkatan peran serta masyarakat
Puskesmas
Penyuluhan
Puskesmas
2
3
1
2
3
4 5 6
7 8 9
10
11
12
TEMPAT
dan
4
Tempat Kunjungan
5
Sistem kewaspadaan dini (SKD) dan penanggulangan KLB
6
Kemitraan/jejaring kerja
7
Monitoring evaluasi
dan
Tempat Kunjungan (insidentil)
Wilayah puskesmas Dinkes kabupaten
8. Evaluasi pelaksanaan kegiatan dan pelaporan
Evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan dilaksanakan setiap bulan sekali saat lokmin bulanan dan laporan dikirim ke Dinkes kabupaten. Pelaporan menggunakan format laporan yang telah disediakan, meliputi ; a. Pelaporan Rutin 1. Pelaporan dari unit pelayanan kesehatan (selain puskesmas) Setiap unit pelayanan kesehatan yang menemukan tersangka atau penderita DBD wajib segera melaporkannya ke dinas kesehatan kabupaten /kota setempat selambat – selambat – lambatnya lambatnya dalam 24 jam dengan tembusan ke Puskesmas wilayah tempat tinggal penderita. Laporan tersangka DBD merupakan laporan yang dipergunakan untuk tindakan kewaspadaan dan tindak lanjut penanggulangannya juga merupakan laporan yang dipergunakan sebagai laporan kasus yang diteruskan secara berjenjang dari puskesmas sampai pusat. Formulir yang digunakan adalah formulir kewaspadaan dini RS (KD/RS-DBD), dan formulir rekapitulasi penderita DBDper bulan (DP-DBD/RS). 2. Pelaporan dari puskesmas ke dinas kesehatan kabupaten / kota a. Menggunakan formulir KD/RS-DBD untuk pelaporan kasus dalam 24 jam setelah diagnosis ditegakkan
DBD
b. Menggunakan formulir DP-DBD sebagai data dasar perorangan DBD yang dilaporkan perbulan c. Menggunakan formulir K-DBD sebagai laporan bulanan d. Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan KLB e. Menggunakan formulir W1 bila terjadi KL b. Pelaporan dalam situasi kejadian luar biasa 1. Pelaporan oleh unit pelayanan kesehatan (selain puskesmas) a. Menggunakan formulir W1 b. Pelaporan dengan formulir DP-DBD ditingkatkan frekuensinya menjadi mingguan atau harian c. Pelaporan dengan formulir KD/RS-DBD tetap dilaksanakan 2. Pelaporan dari puskesmas ke dinas kesehatan kabupaten / kota a. Menggunakan formulir W1 b. Menggunakan formulir KD/RS-DBD untuk pelaporan kasus DBD dalam 24 jam setelah diagnosis ditegakkan c. Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan KLB
9. Pencatatan, pelaporan dan evaluasi kegiatan
a. Pencatatan kegiatan dilaksanakan oleh programmer/pelaksana kegiatan dengan menggunakan komputer metode entri dan olah data. b. Pelaporan dilakukan setiap bulan melalui lokmin Puskesmas, dan dikirimkan kepada Dinas Kesehatan secara berjenjang dengan menggunakan format yang terstandar setiap bulan. c. Evaluasi kegiatan meliputi evaluasi proses yakni cakupan per-bulan dan evaluasi hasil dilakukan pada akhir tahun sebagai bentuk kinerja program.
Kepala UPT Puskesmas Karangnunggal
Karangnunggal, Karangnunggal, Januari 2017 Pengelola Program
H.SYARHAN`,dr.MM
ANDRI AHMAD RIADI
NIP. 19691201 200212 1 004
NIP. 19790628 201410 1 001
KERANGKA ACUAN PROGRAM PENYAKIT DBD
Nomor
:
Revisi Ke
:
Berlaku Tgl:
UPT PUSKESMAS DTP KARANGNUNGGAL