KERUSAKAN BAHAN PANGAN NABATI DAN PRODUK OLAHANNYA 1. Jeruk a. Perubahan tekstur Pembusukan dapat diartikan sebagai bentuk kerusakan tekstur pangan dari yang semula cukup baik menjadi produk dengan tekstur lunak dan berlendir, serta menyimpang dari kondisi normal. Pada sayuran dan buah-buahan pelunakan tekstur disebabkan karena aktivitas mikroba Erwina carotovora , Pseudomonas marginalis dan Sclerotinia sclerotiorum. Perubahan sclerotiorum. Perubahan ini akan disertai atau ditandai dengan munculnya lender. b. Perubahan warna Perubahan warna terjadi diakibatkan karena aktivitas mikroba penghasil pigmen yang banyak terdapat di permukaan bahan pangan. Beberapa Beberapa mikroba tersebut antara lain adalah Serratia mercescens mercescens dan Rhodotorulla (penyebab warna merah), Penicillium Penicillium (penyebab warna hijau), Pseudomonas Pseudomonas fluorescens fluorescens (penyebab (penyebab warna hijau dengan fluorescens), dan Aspergillus Aspergillus niger (penyebab warna hitam). Selain aktivitas mikroba, perubahan warna juga dapat terjadi akibat reaksi pencoklatan (browning) secara enzimatis maupun maupun non-enzimatis c. Kerusakan Mikrobiologis
Aspergil lu s flavus Gambar 1. Aktivitas Aspe (Kapang) pada Jeruk Tabel Penyakit dan Kerusakan pada Jeruk
Komoditas
Jeruk
Nama Penyakit
Penyebab
1. Busuk alternaria
Alternaria citri Ell. citri Ell. & Pierce
2. Kapang biru
Penicillium italicum Wehmer italicum Wehmer
3. Kapang hijau
Penicillium digitatum Sacc. digitatum Sacc.
4. Busuk asam
Geothrichum candidum Ferr.
5. Busuk ujung tangkai
Phosmopsis citri Fawc
6. Busuk ujung tangkai
Diplodia natalensis P. Evans
Cara Penanggulangannya
Aspe Aspergi ll us fl avus avus terdapat pada jeruk orange setelah kulitnya sudah mulai rusak diserang oleh
mikroorganisme atau serangga. Kontaminasi aflatoksin di Indonesia tergolong cukup tinggi dan sulit dihindari mengingat iklim tropis di Indonesia dengan tingkat kelembaban, curah hujan dan suhu yang tinggi sangat menunjang pertumbuhan kapang penghasil aflatoksin. Rute utama aflatoktin dalam tubuh adalah inhalasi, setelah terpapar melalui pernapasan dan pencernaan. Setelah tertelan, usus menyerap aflatoksin B1 bersama makanan, dan didalam usus dua belas jari menjadi bagian utama penyerapan melalui m elalui difusi pasif. Berbagai teknik pengendalian aflatoksin telah banyak dilakukan meliputi pengendalian secara fisik, kimiawi dan biologis, namun pengendalian secara fisik dan kimiawi dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap komposisi zat gizi bahan pangan dan akan meninggalkan residu yang mungkin berbahaya bagi kesehatan. Oleh sebab itu, diupayakan teknik pengendalian secara biologis dengan menggunakan mikroorganisme untuk mengendalikan pertumbuhan Aspergillus flavus dan mencegah biosintesis aflatoksin. Tempat metabolisme utama aflatoksin adalah organ hati, namun ada juga yang dimetabolisme di dalam darah dan organ lainnya. Metabolisme aflatoksin terdiri atas tiga tahap yaitu: bioaktivasi, konjugasi, dan d ekonjugasi. Contoh Produk Olahan 2. Kentang Kerusakan pada kentang disebabkan oleh beberapa kapang seperti Ceratocystis fimbriata, Rhizopus sp., Diaporthe batalis, Diplodia tuhericola dan Macrophomina phaseoli .
Kerusakan oleh kapang terjadi selama proses penyimpanan. Perlakuan panas direkomendasikan untuk mengontrol laju infeksi ini. Infeksi terjadi melalui keretakan pada umbi atau luka lain. Pencegahan terhadap kerusakan ini dapat dilakukan dengan penanganan secara hati-hati dan sortasi. Contoh Produk Olahan Kentang Panggang
Produk-produk olahan kentang sangat banyak misalnya keripik kentang, kentang goring dll. Namun dari cara pengolahan untuk membuat membuat produk olahan tersebut seringkali menyebabkan menyebabkan sedikti kerusakan pada kentang nya baik dari nilai gizi, tampilan fisik atau yang lainnya. Salah satunya adalah kentang panggang yang cara pengolahannya dengan di panggang. Pemanggangan ini bias menyebabkan zat gizi menyusut, Hal ini disebabkan karena suhu pemanggangan yang dilakukan sampai kulit kentang berwarna cokelat akan menurunkan kadar tiamin 17-22% . Hampir semua tiamin akan hilang apabila digunakan bahan kimia. Hal ini terjadi karena pH meningkat jauh di atas 6 akibat penggunaan soda. Penyusutan Niasin kurang dari 5% sementara Riboflavin sangat sedikit.
Proses pemanggangan juga bisa menghilangkan lisin sebanyak 15%. 3. Pisang Kualitas buah pisang di Indonesia Indonesia kadang kurang baik, yang disebabkan oleh panen tidak tepat waktu (ketuaan tidak memenuhi syarat), kurangnya perawatan tanaman dan buruknya penanganan di kebun dan selama pengangkutan yang mengakibatkan kerusakan mekanis dan memberi peluang infeksi mikroorganisme penyebab busuk pascapanen lebih besar. Selain mikroorganisme yang masuk ke dalam buah melalui luka, serangan busuk buah juga sudah dimulai penetrasinya sejak buah masih di pohon. Mikroorganisme yang telah melakukan penetrasi tersebut adalah Colletotrichum sp, yang kemudian berada dalam keadaan laten, dan spora berkecambah saat buah menjadi matang. Pada umumnya busuk pada pisang di Indonesia adalah antraknos, tip rot , dan crown rot . Cendawan Colletotrichum gloeosporioides, adalah cendawan penyebab penyakit antraknosa, tumbuh makin meluas menimbulkan gejala warna coklat pada kulit buah. Warna coklat ini timbul karena cendawan tersebut menghasilkan enzim selulase yang dapat menghidrolisis selulosa kulit buah, sehingga kulit buah menjadi terdisintegrasi dan lunak serta berubah warna menjadi coklat. Noda coklat lama kelamaan meluas dan warnanya makin gelap dan akhirnya busuk. Adanya noda-noda berwarna coklat sampai hitam di permukaan kulit buah, seperti pada mangga dan pisang, merupakan indikator adanya serangan antraknose. Luka pada buah-buahan dapat terjadi pada saat penanganan di lapangan, panen, penanganan saat proses pengepakan (packinghouse), transportasi dan pemasaran. Adanya luka menjadi pintu gerbang masuknya cendawan penyebab kebusukan. Cendawan yang masuk lewat luka akan berkembang di dalam buah bersamaan dengan makin matangnya buah. Adanya aktivitas cendawan pembusuk dapat dilihat dengan perubahan warna kulit buah ke arah coklat dan akhirnya hitam. Serangan yang parah menyebabkan busuk berair pada bagian yang terinfeksi.
Cara Penanggulangannya Untuk mengendalikan busuk yang disebabkan disebabkan serangan penyakit pascapanen dapat digunakan salah satu dari beberapa fungisida atau tanpa bahan kimia yaitu menggunakan pencelupan dengan air panas. Jika tidak ingin menggunakan fungisida, maka perlakuan dengan air panas sudah dapat membantu mengurangi dan menunda serangan busuk pada buah pisang. Untuk mengatasi serangan busuk pada crown, dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain pencelupan dalam air panas, pelapisan lilin+benomil, dan pengolesan dengan kapur sirih. Ternyata, yang paling mudah dan murah namun cukup efektif adalah pengolesan dengan kapur sirih pada crown. Gejala serangan pada crown muncul setelah 11,62 HSP, sementara pada kontrol, gejala muncul pada 4,50 HSP. Buah mulai matang setelah 10,50 HSP dan terserang pada 11,57 HSP. Jika digunakan perlakuan pelapisan lilin yang mengandung benomil, gejala serangan pada crown baru muncul setelah 13 HSP. Penggunaan fungisida prochloraz 0,55 ml/liter juga sudah diteliti, dapat menunda munculnya serangan penyakit pascapanen sampai 5 hari dibandingkan perlakuan kontrol yang m embutuhkan waktu 10-11 hari pada suhu kamar hanya saja prochloraz merupakan fungisida yang tidak beredar di Indonesia.
Contoh Produk : Keripik Pisang Keripik pisang adalah produk olahan pisang yang proses pembuatannya dengan cara di goring. Selama proses pengolahan menjadi keripik pisang seringkali terjadi beberapa kerusakan. Misalnya saat melakukan pemotongan pisang/pengirisan, pisang tersebut berubah menjadi warna kecoklatan hal ini di karenakan terjadinya pencoklatan enzimatis karena proses pengirisan tersebut. Adanya kerusakan jaringan seringkali mengakibatkan enz enzim konta ontak k deng engan sub substrat trat.. Enz Enzim yan yang berta ertan nggun ggung g jawa jawab b dal dalam rea reaksi pencoklatan enzimatis adalah oksidase yang disebut fenolase, fenoloksidase, tirosinase, polifenolase, atau katekolase. Selain itu ketika sudah jadi produk olahannya apabila telah disimpan cukup lama maka biasanya menimbulkan baut tengik, hal ini disebabkan karena kontak lemak makanan dengan udara khususnya oksigen dalam jangka waktu lama.