LAPORAN KASUS Peritonitis Difus
STASE ILMU BEDAH RSUD CIANJUR
DISUSUN OLEH Rahmi Dwi Winarsih
2010730087
Pembimbing: dr. H. Lili K. Djoewaeny, Djoewaen y, Sp.B
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 2014
Laporan Kasus
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. D
Usia
: 17 Tahun
Status
: Belum menikah
Alamat
: Kp. Leuweung Konde, Kec. Ciranjar
Tgl. MRS
: 06 Juli 2014
Tgl. Pemeriksaan
: 06 Juli 2014
AUTOANAMNESIS Keluhan Utama:
Nyeri perut keseluruhan sudah 3 hari. Riwayat Penyakit Sekarang:
Os datang ke IGD RSUD Cianjur mengeluh nyeri perut keseluruhan sudah 3 hari. 5 hari yang lalu os merasakan nyeri di ulu hati lalu ke perut kanan bawah disertai mual (+), muntah 5x/hr (+), nafsu makan menurun (+) dan demam (+) terus menerus yang dirasakan selama 2 hari. Lalu, os mengeluh perut terasa kembung (+), tidak bisa BAB (+), kentut (+) dan BAK lancar. Riwayat Penyakit Dahulu:
Os mengaku tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Riw. trauma (-). Riwayat Penyakit Keluarga:
Dikeluarga tidak ada yang mengalami seperti ini. Riwayat Pengobatan:
Os mengaku belum pernah berobat. Riwayat Alergi:
Tidak ada keluhan/riwayat alergi.
Riwayat Psikososial:
Sebelum nyeri perut yang dirasakan sekarang, os mengaku sering makan makanan yang pedas. Os mengaku tidak merokok dan mengonsumsi alkohol.
PEMERIKSAAN FISIK 1. Keadaan Umum
Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran
: compos mentis
2. Tanda Vital
TD
:
120/80 mmHg
Nadi
:
80x/menit
RR
:
20x/menit
Suhu :
37,8°C
3. Status Generalisata
Kepala {normocephal, rambut warna hitam, rontok (-)} - Mata
: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
- Hidung
: tidak tampak adanya deformitas, tidak tampak adanya sekret, tidak tampak adanya perdaharan/epistaksis/rhinorhagic
Leher
: pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Thorax
Inspeksi
: normochest, pergerakan dada simetris, tidak ada luka bekas operasi
Palpasi
: tidak ada pergerakan dada yang tertinggal, nyeri tekan (-), vokal fremitus teraba sama pada kedua lapang paru
Perkusi
: sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-), BJ I dan II murni regular, murmur (-), gallops (-)
Abdomen
Inspeksi
: distensi abdomen (+), scar (-)
Auskultasi : bising usus menurun (+) 4x/mnt
Perkusi
: timpani di seluruh kuadran abdomen
Palpasi
: nyeri tekan (+), defans muskular (+), hepatomegali (-) splenomegali (-)
Ekstremitas atas: akral hangat, RCT < 2 detik Ekstremitas bawah: akral hangat, RCT < 2 detik Rectal touche: tonus sphincter ani baik, mukosa licin, ampula rekti tidak kolaps, tidak ada nyeri, pada handscoon feses (+), darah (-). 4. Status Lokalis e/r abdomen
+ +
+
+
+
+
+
+
+
Inspeksi
: distensi abdomen (+)
Auskultasi
: bising usus menurun (+) 4x/mnt
Perkusi
: timpani di seluruh kuadran abdomen
Palpasi
: nyeri tekan (+), defans muskular (+)
5. Resume
Pasien datang ke IGD RSUD Cianjur dengan keluhan nyeri perut keseluruhan sudah 3 hari. 5 hari yang lalu os merasakan nyeri di ulu hati lalu ke perut kanan bawah disertai
mual (+), muntah 5x/hr (+), nafsu makan menurun (+) dan demam ( +) terus menerus yang dirasakan selama 2 hari. Lalu, os mengeluh perut terasa kembung (+), tidak bisa BAB (+), kentut (+) dan BAK lancar. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital: TD 120/80 mmHg, Nadi 80x/menit, RR 20x/menit dan Suhu 37,8°C. Status generalis dalam batas normal ( kecuali abdomen). Status lokalis e/r abdomen didapatkan adanya distensi abdomen, bising usus menurun 4x/mnt, nyeri tekan dan defans muscular. 6. Differential Diagnosis
1. Peritonitis difus e.c. appendicitis perforasi. 2. Peritonitis difus e.c. thypoid perforasi. 3. Peritonitis difus e.c. ulkus peptikum. 7. Pemeriksaan Penunjang
Hematologi lengkap Tanggal 6 Juli 2014
Pemeriksaan
Hasil
Nilai Rujukan
Satuan
Leukosit
14.4
4.8 – 10.8
10- /uL
Foto polos abdomen
8. Analisa Kasus
-
Laki-laki
-
Usia 17 tahun
-
Mengeluh nyeri perut keseluruhan sudah 3 hari
-
5 hari yang lalu os merasakan nyeri di ulu hati lalu ke perut kanan bawah
-
Disertai mual (+), muntah (+), nafsu makan menurun (+) dan demam (+) terus menerus yang dirasakan selama 2 hari
-
Mengeluh perut terasa kembung (+), tidak bisa BAB (+), kentut (+)
-
Status lokalis: distensi abdomen, BU menurun (+) 4x/mnt, nyeri tekan seluruh kuadran abdomen, defans muskular
9. Working Diagnosis Per it oni tis dif us e.c. appendi citi s per for asi
10. Rencana Penatalaksanaan
Terapi khusus: laparatomy eksplorasi+appendectomy
Terapi umum: resusitasi cairan dan elektrolit, antibiotik, dekompresi
Tinjauan Pustaka
A. Definisi
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut (peritoneum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut adn dinding perut dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difus, riwayat akut atau kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawatdaruratan yang biasanya disertai dengan baktericemia atau sepsis. Apabila tidak ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal disebut peritonitis primer. Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis atau peradangan infeksi pada usus buntu (apendiks) yang terletak di perut kuadran kanan bawah. Walaupun apendisitis dapat terjadi pada setiap usia, namun paling sering terjadi pada remaja dan dewasa muda, angka mortalitas penyakit ini tinggi sebelum era antibiotik.
B.
Anatomi
Abdomen adalah rongga terbesar dalam tubuh. Dinding perut mengandung struktur muskulo aponeurosis yang kompleks. Dibagian belakang, struktur ini melekat pada tulang belakang, di sebelah atas pada iga, dan di bagian bawah melekat pada tulang panggul. Dinding perut terdiri atas beberapa lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapisan kulit yang terdiri dari: 1. Kutis. 2. Subkutis. - Fascia superfisial (fascia camper). - Fascia profunda (fascia scarpa). 3. Otot dinding perut. a. Kelompok ventrolateral - Tiga otot pipih: Musculus obliquus abdominis eksternus, Musculus obliquus abdominis internus, Musculus transversus abdominis. - Satu otot vertikal: musculus rectus abdominis. b. Kelompok posterior: musculus psoas major, musculus psoas minor, musculus iliacus, musculus quadratus lumborum. 4. Fascia tranversalis.
5. Peritoneum.
Regio-regio abdomen dan organ-organnya:
Hypochondrium dextra, yaitu regio kanan atas: Hepar dan Vesica fellea
Epigastrium, regio yang berada di ulu hati: Gaster, Hepar, Colon transversum
Hypochondrium sinistra, regio kiri atas: Gaster, Hepar, Colon Transversum
Lumbaris dextra, regio sebelah kanan tengah: Colon ascendens
Umbilicalis, regio tengah: Intestinum tenue, Colon transversum
Lumbaris sinistra, regio sebelah kiri umbilikalis: Intestinum tenue, Colon descendens
Inguinalis/Iliaca dextra, regio kanan bawah: Caecum, Appendix vermiformis
Hypogastrium/Suprapubicum, regio di tengah bawah: Appendix vermiformis, Intestinum tenue, Vesica urinaria
Inguinalis/Iliaca
sinistra,
regio
kiri
bawah:
Intestinum
tenue,
Colon
descendens, Colon sigmoideum
Dinding abdomen dilapisi oleh peritoneum parietal yang merupakan membrana serosa tipis yang terdiri atas selapis mesotel yang terletak pada jaringan ikat dan melanjutkan diri ke bawah dengan peritoneum parietal yang melapisi rongga pelvis. Peritoneum dibagi dua: 1) Peritoneum pars parietal, yang melapisi dinding internal abdominal serta mendapat suplai neurovaskular dari regio dinding yang dilapisin ya. 2) Peritoneum pars visceral, yang melapisi organ intraperitoneal dan mendapat suplai neurovaskular dari organ yang ditutupinya.
Organ peritoneal adalah organ yang ditutupi oleh peritoneum pars visceral, diantaranya: hati, spleen, gaster, duodenum pars bulbosa, jejunum, ileum, colon transversum, colon sigmoid, rektum pars superior. Organ retroperitoneal terdiri dari ginjal, kelenjar adrenal, pankreas, sisa duodenum, colon ascenden dan descenden. Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar pada bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan melebar pada bagian ujung apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan ini memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Perdarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren.
C. Etiologi
Infeksi peritoneal diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Peritonitis primer Disebabkan oleh invasi bakteri hematogen dari organ peritoneal atau monomikrobial. Penyebab paling sering peritonitis primer adalah spontaneous bacterial peritonitis akibat penyakit hepar kronis. Kira- kira 10-30% pasien dengan sirosis hepatis dengan asictes akan berkembang menjadi peritonitis bacterial. 2. Peritonitis sekunder Penyebab
peritonitis
sekunder
polimonobakterial.
Sering
terjadi
pada
appendicitis, perforasi gaster, kolon akibat diverkulitis, volvulus. 3. Peritonitis tersier Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman dan akibat tindakan operasi sebelumya.
Penyebab apendisitis akut yang paling sering adalah terjadinya obstruksi lumen. Obstruksi lumen biasanya diakibatkan oleh fekalit (batu tinja), hyperplasia jar limfe, tumor apendiks dan parasit yang ada di usus besar. Parasit yang berperan menyebabkan obstruksi adalah cacing ascaris dan strongiloides species. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intralumen, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis.
D. Patofisiologi
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya: apendisitis, salpingitis), ruptur saluran cerna atau dari luka tembus abdomen. Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam kolon pada kasus ruptur apendiks, sedangkan stafilokokus dan streptokokus sering masuk dari luar. Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Abses terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstruksi usus. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktifitas peristaltik berkurang, usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus. Pada apendisitis disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh fekalit atau dengan benda asing. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan, makin lama mukus tersebut semakin banyak, sehingga elastisitas dinding apendiks mengalami peningkatan tekanan intra lumen dan menghambat aliran limfe dan mengakibatkan edema, lalu menganggu aliran arteri sehinga terjadi infark
dinding apendiks diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis lokal atau difus. Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular. Apabila terjadi pernanahan maka akan terbentuk suatu rongga yang berisi nanah di sekitar apendiks disebut abses periapendikular. Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan serangan berulang di perut kanan bawah disebut dengan apendisitis rekurens. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.
E.
Gejala
1. Nyeri abdomen Nyeri abdomen merupakan gejala yang selalu ada pada peritonitis. Nyeri biasanya datang dengan onset tiba-tiba, hebat pada penderita dengan perforasi nyerinya didapatkan pada seluruh bagian abdomen. Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri lebih terasa pada daerah dimana terjadinya peradangan peritoneum. Menurunnya intesitas dan penyebaran dari nyeri menandakan adanya lokalisasi dari proses peradangan, ketika intesitasnya bertambah meningkat disertai dengan perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari peritonitis. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya. 2. Dinding perut akan terasa tegang (defans muskular), biasanya karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasi yang menyakitkan, atau bisa pula tegang karena iritasi peritoneum. 3. Anoreksia, mual, muntah dan demam Pada penderita ditemukan gejala anoreksia, mual, muntah. Penderita diikuti badan terasa demam dan mengigil hilang timbul. Meningkatnya suhu tubuh dapat mencapai 38°C sampai 40°C.
4. Facies hipocrates Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies hipocrates. Gejala ini termasuk ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, dan muka tampak pucat.Peritonitis dengan facies hiprocrates biasanya pda stadium pre terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan lutut difleksikan dan respirasi interkosta yang terbatas karena gerakan dapat menyebabkan nyeri pada abdomen. 5. Syok Syok dapat terjadi oleh dua faktor. Yang pertama akibat perpindahan cairan intravaskular ke cavum peritoneum atau ke lumen dari intestinal. Yang kedua disebabkan terjadinya sepsis generalisata.
F.
Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium Ini merupakan tes yang paling sederhana dilakukan adalah hitung sel darah dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih lebi dari 20.000/mm. Pada perhitungan diferensial
menunjukan pergeseran ke kiri dan dominasi
oleh
polimononuklear yang memberikan bukti adanya peradangan, meskipun jumlah leukosit tidak menunjukkan peningkatan yang nyata. 2. Radiologi Pemeriksaan radiologi pada peritonitis adalah dilakukan foto thoraks PA lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thoraks dapat menunjukkan gambaran proses pengisian udara di lobus inferior yang menunjukkan proses intraabdomen. Pada foto polos diafragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau keduanya akibatnya adanya udara bebas dalam cavum peritoneum. Pada pemeriksaan foto polos abdomen dijumpai asites, tanda-tanda obstruksi usus berupa air-udara dan kadang-kadang udara bebas (perforasi). Biasanya lambung, usus halus dan kolon menunjukkan dilatasi sehingga menyerupai ileus paralitik. Usus-usus yang melebar biasanya berdinding tebal.
G. Penatalaksanaan
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dan sebagainya) atau penyebab radang lainnya.
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera setelah diagnosis peritonitis bakteri ditegakkan. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi. Penatalaksanaan
peritonitis
secara
kausal
ialah
eradikasi
kuman
yang
menyebabkan radang di peritoneum. Secara non-invasif dapat dilakukan dengan drainase abses dan endoskopi perkutan, namun yang lebih umum dilakukan ialah laparotomi eksplorasi rongga peritoneum. Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi. Operasi ini untuk mengontrol sumber primer kontaminasi bakteri. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Teknik operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.
Daftar Pustaka Towsend, M. Jr, dkk. 2008. Sabiston textbook of Surgery. Elsivier. United State of America Cole et al. 1970. Cole and Zollinger textbook of Surgery 9 th edition. Appelton-Century Corp Fauci et al. 2008. Horrison’s Principal of Internal Medicine Volume 1. McGraw hill Brunicardi, F. Charles, dkk. Schwartz’s Principles of Surgery Eight Edition Zinner M. Dkk. 1997. Abdominal Operations tenth editions. United States of America