LAPORAN PENDAHULUAN & ASUHAN KEPERAWATAN ATRESIA ANI
Disusun oleh : MARYANTI 170070301111036
PROGAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017
ATRESIA ANI DEFINISI
Anus Imperforta (Atresia Ani) merupakan suatu kelainan malformasi congenital dimana terjadi ketidaklengkapan perkembangan embrionik pada bagian anus atau tertutupnya anus secara abnormal atau dengan kata lain tidak ada lubang secara tetap pada daerah anus. Lokasi terjadinya anus imperforate ini meliputi bagian anus, rectum, atau bagian di antara keduanya. (Aziz Alimul Hidayat,2008) Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforata meliputi anus, rektum, atau batas di antara keduanya (Betz, 2002). Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus (Donna, 2003). Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal (Suradi, 2001). Atresia ani atau anus imperforata adalah tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan bagian endoterm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum (Purwanto, 2001).
Etiologi
Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum diketahui pasti, namun kelainan bawaan anus dapat di sebabkan oleh (Arifin, 2011): 1. Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik. 2. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang anus. 3. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan. 4. Berkaitan dengan sindrom down. Penelitian menunjukkan adanya hubungan antara atresia ani dengan pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal tersebut
menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda dapat menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat multigenik 5. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia kehamilan. 6. Kelainan sistem pencernaan terjadi kegagalan perkembangan anomali pada gastrointestinal. 7. Kelainan sistem perkemihan terjadi kegagalan pada genitourinary. 8. Risiko atresia ani meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum diketahui pasti, namun ada sumber yang mengatakan bahwa kelainan bawaan anus disebabkan oleh: 1. Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik. 2. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang anus. 3. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atay 3 bulan. 4. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan otot dasar panggul. Namun demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carrier penyakit ini. Janin yang diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carrier saat kehamilan mempunyai peluang sekitar 25% 30% dari bayi yang mempunyai sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain juga beresiko untuk menderita atresia ani.
FAKTOR RESIKO
1. Pemakaian alkohol oleh ibu hamil Pemakaian alkohol oleh ibu hamil bisa menyebabkan sindroma alcohol pada janin dan obat-obat tertentu yang diminum oleh ibu hamil juga bisa
menyebabkan kelainan bawaan. 2. Penyakit Rh Terjadi jika ibu dan bayi memiliki faktor Rh yang berbeda. 3. Teratogenik Teratogen adalah setiap faktor atau bahan yang bisa menyebabkan atau meningkatkan resiko suatu kelainan bawaan. Radiasi, obat tertentu dan racun merupakan teratogen. 4. Infeksi pada ibu hamil juga bisa merupakan teratogen. Beberapa infeksi selama kehamilan yang dapat menyebabkan sejumlah kelainan bawaan:
Sindroma rubella congenital ditandai dengan gangguan penglihatan atau pendengaran, kelainan jantung, keterbelakangan mental dan cerebral palsy.
Infeksi toksoplasmosis pada ibu hamil bisa menyebabkan infeksi mata yang bisa berakibat fatal, gangguan pendengaran, ketidakmampuan belajar, pembesaran hati atau limpa, keterbelakangan mental dan cerebral palsy.
Infeksi virus herpes genitalis pada ibu hamil, jika ditularkan kepada bayinya sebelum atau selama proses persalinan berlangsung, bisa menyebabkan kerusakan otak, cerebral palsy, gangguan penglihatan atau pendengaran serta kematian bayi.
Penyakit bisa menyebabkan sejenis anemia yang berbahaya, gagal jantung dan kematian janin.
Sindroma varicella congenital disebabkan oleh cacar air dan bisa menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada otot dan tulang, kelainan bentuk dan kelumpuhan pada anggota gerak, kepala yang berukuran lebih kecil dari normal, kebutaan, kejang dan keterbelakangan mental.
5. Gizi
Menjaga kesehatan janin tidak hanya dilakukan dengan menghindari teratogen, tetapi juga dengan mengkonsumsi gizi yang baik. Salah satu zat yang penting untuk pertumbuhan janin adalah asam folat . Kekurangan asam folat bisa meningkatkan resiko terjadinya spina bifida atau kelainan tabung saraf lainnya. Karena spina bifida bisa terjadi sebelum seorang wanita
menyadari bahwa dia hamil, maka setiap wanita usia subur sebaiknya mengkonsumsi asam folat minimal sebanyak 400 mikrogram/hari. 6. Faktor fisik pada rahim Di dalam rahim, bayi terendam oleh cairan ketuban yang juga merupakan pelindung terhadap cedera. Jumlah cairan ketuban yang abnormal bisa menyebabkan atau menunjukkan adanya kelainan bawaan.Cairan ketuban yang terlalu sedikit bisa mempengaruhi pertumbuhan paru-paru dan anggota gerak
tubuh
atau
bisa
menunjukkan
adanya
kelainan
ginjal
yang
memperlambat proses pembentukan air kemih. Penimbunan cairan ketuban terjadi jika janin mengalami gangguan menelan, yang bisa disebabkan oleh kelainan otak yang berat (misalnya anensefalus atau atresia esofagus). 7. Faktor genetik dan kromosom Genetik memegang peran penting dalam beberapa kelainan bawaan. Beberapa kelainan bawaan merupakan penyakit keturunan yang diwariskan melalui gen yang abnormal dari salah satu atau kedua orang tua. Gen adalah pembawa sifat individu yang terdapat di dalam kromosom setiap sel di dalam tubuh manusia. Jika 1 gen hilang atau cacat, bisa terjadi kelainan bawaan. 8. Semakin tua usia seorang wanita ketika hamil (terutama diatas 35 tahun) maka semakin besar kemungkinan terjadinya kelainan kromosom pada janin yang dikandungnya. (Donna, 2004)
Moore (2013) menuliskan beberapa hal yang berhubungan dengan kejadian atresia ani, diantaranya :
Familial factor Kejadian
atresia
ani
yang
berhubungan
dengan
keluarga
jika
diprosentasikan sekitar 8%. Sebagian besar kejadian dikaitkan dengan
pewarisan
gen
autosomal
resesif,
walaupun
demikian
pernah
dideskripsikan pula pewarisan gen terpaut X. namun bebrapa juga melaporkan penyakit ini melalui pewarisan gen autosomal dominan Rekurensi terjadinya atresia ani dalam satu keluarga dapat terjadi pada tiga generasi
Genetic dan chromosomal factor Kejadian atresia ani dihubungkan dengan trisomy 8 dan sindrom down
Penggunaan obat selama kehamilan Walaupun masih sedikit bukti, penggunaan obat seperti thalidhomide dan tridione disuga sebagai agen penyebabnya. Thalidomide yang dikenal sebgai obat anti angiogenesis diduga berhubungan dengan kemunduran pembelahan selama masa gestasi
Paparan agen infectious Hubungan
paparan
agen
infectious
dengan
kejadian
atresia
ani
sebenarnya karena terpapar agen infectious seperti cytomegalovirus atau toxsoplasmosis diduga sebagai agen penyebabnya.
Faktor Predisposisi Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir, seperti : a. Kelainan sistem pencernaan terjadi kegagalan perkembangan anomali padagastrointestinal. b. Kelainan sistem perkemihan terjadi kegagalan pada genitourinari.
KLASIFIKASI
Secara fungsional, pasien atresia ani dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu : 1. Tanpa anus tetapi dengan dekompresi adequate traktus gastrointestinalis dicapai melalui saluran fistula eksterna. Kelompok ini terutama melibatkan bayi perempuan dengan fistula rectovagina atau rectofourchette yang relatif besar, dimana fistula ini sering dengan bantuan dilatasi, maka bisa didapatkan dekompresi usus yang adequate sementara waktu.
2. Tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adequate untuk jalan keluar tinja. Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan dekompresi spontan kolon, memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah segera.
Berdasarkan klasifikasi Internasional Wingspread di Winconsin tahun 1984 atresia ani dapat diklasifikasilan berdasarkan letak dimana rektum berakhir dihubungkan dengan garis pubococcygeal (PC line) dan garis yang sejajar dengan PC line yang melewati titik “I” yang merupakan titik pada seperempat bagian bawah tulang ischium pada foto roentgenogram lateral. Klasifikasinya antara lain : 1. Atresia ani letak rendah : Jika rektum berakhir di atas PC line 2. Atresia ani intermediet : Jika rektum berakhir di bawah PC line tetapi masih di atas garis yang melalui titik “I” 3. Atresia ani letak tinggi : Jika rektum berakhir di bawah garis yang melalui titik “I” Berikut ini merupakan tabel klasifikasi wingspread Perempuan
Laki-laki
Letak tinggi
Letak tinggi
a. Agenesis anorektal -
Dengan fistula rektovagina
-
Tanpa fistula rekovagina
b. Atresia rektal c. Malformasi kloaka Intermediet
a. Agenesis anorektal -
Dengan
fistula
rektoprostatik uretral -
Tanpa fistula
b. Atresia rektal Intermediet
c. Fistula rektovestibuler
a. Fistula rektobulbar uretral
d. Fistula rektovagina
b. Agenesis ani tanpa fistula
e. Agenesis ani tanpa fistula Letak rendah a. Fistula anovestibuler
Letak rendah a. Fistula anokutaneus
b. Fistula anokutaneus
b. Stenosis ani
c. Stenosis ani
c. Malformasi lain (jarang)
d. Malformasi lain (jarang)
Klasifikasi yang sering digunakan adalah klasifikasi pena yang membagi malformasi anorektal menjadi dua, berdasarkan akhiran rektum dengan anal dimple/marker/penandaan, yaitu letak tinggi dan letak rendah. Disebut kelainan letak rendah apabila jarak antara akhiran rektum dan kulit <1 cm, sedangkan letak tinggi bila jarak antara akhiran rektum dan kulit >1 cm. Letak intermediet dimasukkan dalam letak tinggi (Wahid, 2012). Berikut ini adalah gambaran malformasi dari anak laki-laki
Dan berikut ini merupakan gambaran malformasi dari anak perempuan
EPIDEMIOLOGI
Atresia ani paling sering terjadi pada bayi yang baru lahir. Frekuensi seluruh kelainan kongenital anorektal didapatkan 1 dari tiap 5000-10000 kelahiran, sedangkan atresia ani didapatkan 1 % dari seluruh kelainan kongenital pada neonatus dan dapat muncul sebagai penyakit tersering. Jumlah pasien dengan
kasus atresia ani pada laki-laki lebih banyak ditemukan dari pada pasien perempuan. Insiden terjadinya atresia ani berkisar dari 1500-5000 kelahiran hidup dengan sedikit lebih banyak terjadi pada laki-laki. 20 % -75 % bayi yang menderita atresia ani juga menderita anomali lain. Kejadian tersering pada laki-laki dan perempuan adalah anus imperforata dengan fistula antara usus distal uretra pada laki-laki dan vestibulum vagina pada perempuan. Atresia ani yaitu tidak berlubang nya dubur. Atresia ani memiliki nama lain yaitu anus imperforata. Jika atresia terjadi maka hampir selalu memerlukan tindakan operasi untuk membuat saluran seperti keadaan normalnya. Insidensi rata-rata sekitar 1 setiap 2500 hingga 3000 kelahiran hidup. Insidensi Atresia Ani di Amerika Serikat 1 kasus setiap 3000 kelahiran hidup. Di dunia, insidensi bervariasidari 0,4 – 3,6 per 10.000 kelahiran hidup. Insidensi tertinggi terdapat di Finlandia yaitu 1 kasus dalam 2500 kelahiran hidup. Kejadian di AmerikaSerikat 600 anak lahir dengan atresia ani. Data yang didapatkan kejadian atresia ani timbul dengan perbandingan 1 dari 5000 kelahiran. (Ranjan L. Fernando, 2001). Angka kejadian kasus di Indonesia sekitar 90%.didapatkan data kasus atresia ani di Jawa Tengah, khususnya di Semarang yaitu sekitar 50% dalam kurun waktu tahun 2007-2009, di RS Dr. Kariadi Semarang terdapat 20% pasien dengan kasus atresia ani, Menyikapi kasus yang demikian serius akibat dari komplikasi penyakit atresia ani, maka penulis mengangkat kasus atresia ani untuk lebih memahami perawatan pada pasien dengan atresia ani. (WHO, 2001). Di indonesia atresia ani merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar. Dari berbagai penelitian yang ada frekuensi penderita atresia ani berkisar antara 5-25%. Penelitian dari berbagai daerah di indonesia menunjukkan angka yang sangat bervariasi tergantung pada tingkat atresia ani di tiap-tiap daerah. (Soemoharjo, 2008).
PATOFISIOLOGI
(Terlampir)
MANIFESTASI KLINIS
Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat def ekasi mekonium.Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi. Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita sering ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air besar feses keluar dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah rektourinarius. sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir di kandung kemih atau uretra dan jarang rektoperineal. (Ngastiyah, 2005)
Menurut suriadi & yuliani (2006), tanda dan gejala yang khas pada klien antresia ani seperti :
Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi.
Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya
Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada fistula).
Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
Pada pemeriksaan rectal touché terdapat adanya membran anal.
Perut kembung..
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut 1. Pemeriksaan radiologis Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal. 2. Sinar X terhadap abdomen Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.
3. Ultrasound terhadap abdomen Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam sistem pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor. 4. CT Scan Digunakan untuk menentukan lesi. 5. Pyelografi intra vena Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter. 6. Pemeriksaan fisik rektum Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari. 7. Rontgenogram abdomen dan pelvis Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan traktus urinarius.
Untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 1. Anamnesa Anamnesa dilakukan untuk menggali keluhan dan riwayat kesehatan. Pada anamnesa biasanya hal yang sering ditemukan adalah bayi tidak mengeluarkan mekonium setelah 24 jam kelahiran 2. Pemeriksaan fisik a. Inspeksi perinatal sangat penting. Flat “bottom” atau flat perineum ditandai dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple yang mengindikasikan bahwa pasien memiliki otot-otot perineum yang sangat sedikit. Tanda ini berhubungan dengan atresia ani letak tinggi. Sementara tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan atresia ani letak rendah meliputi adanya mekonium pada peritonium, “bucket -handle” (skin tag yang terdapat pada anal dimple) dan adanya membran pada anus (tempat keluarnya mekonium) b. Perkusi abdomen biasanya dilakukan dan hasil temuannya adalah berupa perut yang kembung c. Pada auskultasi dapat ditemukan adanya hiperperistaltik
d. Memasukkan termometer rektal untuk mengetahui kondisi anus. Pada pemeriksaan ini biasanya termometer yang dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan Selama pemeriksaan fisik secara menyeluruh, perhatian harus difokuskan pada abdomen, genetalia, rektum dan tulang belakang yang lebih rendah. Umbilikus harus diperiksa untuk kondisi arteri umbilikalis yang mungkin mengindikasikan adanya gangguan ginjal, abdomen harus teraba untuk mengetahui adanya massa. Jika ditemui adanya massa maka mengindikasikan adanya perbesaran ginjal, kandung kemih, hidrocolpos, ginjal ektopik, duplikasi, atau struktur klinis lainnya. Pada laki-laki, testis harus teraba di skortum. Perineum kemudian diperiksa. Fistula perineal didiagnosis pada penemuan saat membuka perineum, mekonium atau mukus. Jika tidak terdapat pembukaan maka diperlukan pemeriksaan urin yang diamati selama 24 jam. Sementara pada perempuan, fistula perineum dapat diidentifikasi secara langsung sebagai lubang kecil pada perineum. Jika tidak terdapat hal itu, labia dipisahkan untuk mencari fistula vestibular (Rosen, 2014). 3. Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan urin Pada bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila : - Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran yang mengindikasikan atresia letak rendah - Bila mekonium (+) maka atresia letak tinggi dan dilakuakan kolostomi terlebih dahulu, setelah 8 minggu kemudian dilakukan tindakan definitif. Apabila pemeriksaan masih meragukan maka dilakukan invertogram. Bila akhiran rektum < 1 cm dari kulit maka disebut letak rendah. Akhiran rektum > 1 cm disebut letak tinggi. Pada laki-laki fistel dapat berupa rektovesikalis, rektouretralis dan rektoperinealis. Pada bayi perempuan 90% atresia ani disertai dengan fistel - Bila ditemukan adanya fistel rektrovaginal atau rektovestibuler dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Bila fistel (-) maka dilakukan invertogram; apabila
akhiran <1 cm dari kulit dilakukan postero sagital anorektoplasti, apabila akhiran >1 cm dari kulit dilakukan kolostom terlebih dahulu b. Invertogram Dilakukan dengan menempatkan sebuah koin atau lempengan logam yang diletakkan pada area anus yang akan diperiksa dengan posisi bayi terbali ke atas (minimal 3 menit). Jarak gelembung gas pada lempengan besi dicatat >2cm : tipe tinggi, <2cm tipe rendah c. Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah lahir agar usus terisi udara dengan cara wangenstein reis (kedua kaki dipegang posisi badan vertikal dengan kepala di bawah) atau knee chest position (sujud) dengan tujuan udara dapat terkumpul didaerah yang paling distal. Bila terdapat fistula dilakukan fistulografi d. Fistulografi Pemeriksaan radiologi pada fistula dengan menggunakan media kontras posit if. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendapatkan radiograf yang baik tentang fistula. Sebelum media kontras dimasukkan, sebelumnya dibuat plan foto dengan proyeksi aP, selanjutnya media kontras dimasukkan dengan kateter atau abocath melalui muara fistula yang diikuti dengan flouroskopi. Kemudian dilakukan pemotretan pada saat media kontras disuntikkan melalui muara fistula yang telah mengisi penuh saluran fistula. Hal ini dapat dilihat pada layar fluoroskopi dan ditandai dengan keluarnya media kontras melalui muara fistula. Jumlah media kontras yang dimasukkan tergantung dari luas muara fistula e. Pyelogram intravena Sebuah
pemeriksaan
dengan
menggunakan
x-ray
untuk
melakukan
pemeriksaan ginjal, ureter dan saluran perkemihan dengan menggunakan iodinasi bahan kontras yang disuntikkan ke pembuluh darah f. USG Pada pemeriksaan USG anus dapat terlihat sebagai sebuah spot ekogen pada tingkatan perineum dan dalam atresia tempat ekogernik ini mungkin tidak ada. Ditunjukkan pula adanya dilatasi usus dan infra coccygeal atau pendekatan transperineal memungkinkan untuk membedakan klasifikasi atresia
g. CT Scan CT scan digunakan untuk membantu menegakkan diagnosa atresia karena kemampuannya untuk memperlihatkan lesi pada mukosa, penebalan dinding kolon, komplikasi intraperitoneal abses dan fistula) dan limfadenopati h. MRI MRI berguna untuk mengevaluasi atresia karena memiliki resolusi jaringan yang tinggi. MRI dapat menunjukkan karakteristik perubahan pada anus, melihat adanya ulkus, edema, penebalan dinding, fistula dan komplikasi ekstraluminal i.
Flouroskopi Untuk
mendeteksi
rekto-kandung
kemih,
rekto-vaginal
atau
fistula
rektoperineal. Fistula dianggap rendah (di bawah levator ani) jika di bawah garis pubococcygeal (PCL) dan dianggap fistula tinggi jika di atas PC (Knipe and Jones at al, 2015).
PENATALAKSANAAN
PerawatanPascaOperasi PSARP a. Antibiotik intravena diberikan selama 3 hari, salep antibiotik diberikan selama 8 – 10 hari. b. 2 minggu pasca operasi dilakukan anal dilatasi dengan heger dilatation , 2 kali sehari dan tiap minggu dilakukan anal dilatasi dengan anal dilator yang dinaikkan sampai mencapai ukuran yang sesuaidenganumurnya.
Terdapat algoritma penatalaksanaan atresia ani. Pada pasien laki-laki dan perempuan memiliki algoritma yang berbeda. Berikut ini adalah algoritma pada pasien perempuan
Malformasi anus dan kloakal (atresia ani) pada perempuan
Inspeksi perineum (tunggu 24 jam)
Fistula (sekitar 95%)
Kloaka
Tanpa fistula (sekitar 5%)
Vestibuler
Kutaneus
(atau vaginal)
(perineal)
Kolostomi,
Kolostomi
Pemeriksaan radiologis
<1cm jarak
>1cm jarak
kulit-usus
kulit-usus
Vaginostomi, Diversi urinari
Selama 4-8
Kolostomi
minggu: dan
Selama 3 bln
dilakukan
PSARP
Selama 4-8
verifikasi
minimal
minggu dan
tanpa
dilakukan
kolostomi
verifikasi
PSARP
PSARVUP
PSARP
Dan pada pasien laki-laki algoritmanya adalah sebagai berikut
Bayi laki-laki dengan malformasi anorektal
Inspeksi perineal dan urinalisasi (tunggu selama 24 jam)
Bukti klinis (90%)
Meragukan (10%)
Fistula perineal
“Flat bottom”
“Bucket handle”
mekonium di urin
Fistula midline Stenosis anal
Minimal PSARP, Tanpa kolostomi
Kolostomi
Pemeriksaan radiologi
Jarak kulit-
Jarak kulit-
anus >1cm
anus <1 cm
selama 4-8 minggu
PSARP minimal,
diverifikasi dahulu
tanpa kolostomi
PSARP
Komplikasi
1. Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan. 2. Obstruksi intestinal 3. Kerusakan uretra akibat prosedur pembedahan. 4. Komplikasi jangka panjang : a. Eversi mukosa anal. b. Stenosis akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis. c. Impaksi dan konstipasi akibat terjadi dilatasi sigmoid. d. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training. e. Inkontinensia akibat stenosis anal atau impaksi. f. Fistula kambuh karena tegangan di area pembedahan dan infeksi. (Betz, 2002)
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat,Aziz Alimul.2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan.Jakarta : Salemba Medika
Arifin,
Z.
2011.
BAB
2
Tianjauan
Pustaka.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23480/3/Chapter%20II.pdf. Diakses pada 3 Maret 2016 pukul 05.30 WIB. http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/109/jtptunimus-gdl-heldanilag-5416-2babii.pdf
Wong, Donna L. 2004. Keperawatan Pediatrik . Alih Bahasa Monica Ester. EGC: Jakarta Knipe
and
Jones
et
al.
2015.
“Anal
Atresia”.
http://radiopaedia.org/articles/anal-atresia. Diakses 7 Maret 2016 pukul 15.40 Rosen,
Nelson
G.
2014.
“Pediatric
Imperforate
Anus”.
http://emedicine.medscape.com/article/929904-overview. Diakses 7 Maret 2016 pukul 15.14 Wahid, O Romdani. 2012. “Fungsi Anus Pada Pasien Atresia Ani yang Dioperasi dengan Metode Posterosagittal Anorectoplasty di Sub. Bagian Bedah Anak
RS
Dr.
Sardjito
Yogyakarta”.
http://repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/767/bab21.PDF?se quence=6 . Diakses 7 Maret 2016 pukul 15.24 Suriadi & Yuliani, R. 2006, Asuhan Keperawatan pada Anak, Jakarta : ISBN Betz, Cecily, L. Dan Linda A. Sowden 2002. Buku Saku Keperawatan