LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PASIEN DENGAN FRAKTUR VERTEBRA
DISUSUN OLEH :
FARID
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN – JAWA JAWA BARAT
LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PASIEN DENGAN FRAKTUR VERTEBRA
A.
Anatomi Tulang Vertebra
Tulang vertebrae terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral. Tulang servikal, torakal dan lumbal masih tetap dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang sacral dan koksigeus satu sama lain menyatu membentuk dua tulang yaitu tulang sakum dan koksigeus. Diskus intervertebrale merupkan penghubung antara dua korpus vertebrae. Sistem otot ligamentum membentuk jajaran barisan (aligment) tulang belakang dan memungkinkan mobilitas vertebrae.
B.
Definisi
Fraktur adalah diskontinuitas jaringan tulang dan tulang rawan (R.Syamsuhidayat, 1997). Tanda-tanda khas terjadinya fraktur adanya krepitasi, disfungsi serta dislokasi. Fraktur vertebra adalah terputusnya discus invertebralis yang berdekatan dan berbagai tingkat perpindahan fragmen tulang(Theodore, 1993). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa ( Lewis, 2000).
Fraktur adalah terpisahnya kontinuitas tulang normal yang terjadi karena tekanan pada tulang yang berlebihan (Brunner and Suddarth 2002).
C.
Etiologi Fraktur Vertebra
Fraktur vertebra, khususnya vertebra servikalis dapat disebabkan oleh trauma hiperekstensi, hiperfleksi,ekstensi rotasi, fleksi rotasi, atau kompresi servikalis. Fraktur vertebra thorakal bagian atas dan tengah jarang terjadi, kecuali bila trauma berat atau ada osteoporosis. Karena kanalis spinal di daerah ini sempit, maka sering disertai gejala neurologis. Mekanisme trauma biasanya bersifat kompresi atau trauma langsung. Pada kompresi terjadi fraktur kompresi vertebra, tampak korpus vertebra berbentuk baji pada foto lateral. Pada trauma langsung dapat timbul fraktur pada elemen posterior vertebra, korpus vertebra dan iga di dekatnya. Fraktur dapat disebabkan oleh berbagai hal, yaitu: 1.
Kecelakaan Kebanyakan fraktur terjadi karena kecelakaan lalu lintas
2.
Cidera olah raga Saat melakukan olah raga yang berat tanpa pemanasan sehingga terjadi cedera olah raga yang menyebabkan fraktur
3.
Osteoporosis Lebih sering terjadi pada wanita usia di atas 45 tahun karena terjadi perubahan hormone menopause
4.
Malnutrisi Pada orang yang malnutrisi terjadi deficit kalsium pada tulang sehingga tulang rapuh dan sangat beresiko sekali terjadi fraktur
5.
Kecelakaan Kecerobohan di tempat kerja biasa terjadi, yang dapat menyebabkan fraktur. (Reeves, 2000)
D.
Patofisiologi Fraktur Vertebra
Menurut chairudin Rasjad (1998) menegaskan bahwa semua trauma tulang belakang harus dianggap sebagai trauma yang hebat. Oleh karena itu, klien harus diperlakukan secara hati – hati saat pertolongan pertama dan dibawa ke rumah sakit dengan menggunakan transportasi. Trauma pada tulang belakang dapat mengenai
jaringan lunak pada tulang belakang (ligamen dan diskus), tulang belakang dan sumsum tulang belakang. Penyebab trauma tulang belakang adalah kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, kecelakaan industri, kecelakaan lain seperti jatuh dari pohon atau bangunan, luka tusuk, luka tembak, trauma kerana tali pengaman (fraktur chance), kejatuhan benda keras. Sebagian besar trauma tulang belakang yang mengenai tulang tidak disertai kelainan pada sumsum tulang belakang disertai kelainan pada sumsum tulang belakang. Mekanisme trauma yang terjadi pada trauma tulang belakang adalah: a.
Fleksi. Trauma terjadi akibat fleksi dan diserta dengan sedikit kompresi pada vertebra. Vertebra mengalami tekanan berbentuk remuk yang dapat menyebabkan kerusakan atau tanpa kerusakan ligamen posterior. Apabila terdapat kerusakan ligamen posterior, fraktus bersifat tidak stabil dan dapat terjadi subluksasi.
b.
Fleksi dan rotasi. Trauma jenis ini merupakan trauma fleksi yang bersama – sama dengan rotasi. Pada trauma ini terdapat strain dan ligamen dan kapsul serta ditemukan fraktur faset. Pada kejadian ini terjadi pergerakan ke depan atau dislokasi vertebra diatasnya. Semua fraktur dislokasi bersifat tidak stabil.
c.
Kompresi vertikal (aksial). Trauma vertikal yang secara langsung mengenai vertebra akan menyebabkan kompresi aksial. Nukleus polposus akan memecahkan permukaan serta badan vertebra secara vertikal. Material diskus akan masuk dalam badan vertebra dan menyebabkan vertebra bisa menjadi rekah (pecah). Pada trauma jenis ini elemen posterior masih utuh sehingga fraktur yang terjadi bersifat stabil.
d.
Hiperekstensi atau retroekstensi. Biasanya terjadi hiperekstensi sehingga terjadi kombinasi distraksi dan ekstensi. Keadaan ini sering ditemukan pada vertebra servikalis dan jarang pada vertebra torakolumbalis. Ligammen anterior dan diskus dapat mengalami kerusakan atau terjadi fraktur pada arkus neuralis. Fraktur ini biasanya bersifat stabil.
e.
Fleksi lateral. Kompresi atau trauma distraksi yang menimbulkan fleksi lateral akan menyebabkan fraktur pada komponen lateral, yaitu pedikel, foramen vertebra dan sendi laser.
f.
Fraktur dislokasi. Trauma yang menyebabkan terjadinya fraktur tulang belakang dan dislokasi pada tulang belakang. Pada pasien dengan fraktur vertebra datang dengan nyeri tekan akut,
adanya gap antara prosesus spinosus. Nyeri akan memberat saat bergerak, batuk atau pembebanan berat badan (Brunner dan Suddarth, 2001; 2387). Trauma pada sumsum tulang belakang dapat terjadi perdarahan pada sumsum tulang belakang yang disebut hematomiela. Gejala yang penting adalah tetap adanya sensibilitas di bawah trauma (pinprick perianal). Gejala yang paling sering terjadi adalah sindrom sentral berupa paralisis layu yang diikuti paralisis lower motor neuron anggota ger ak atas dan paralisis upper motor neuron (spastik) dari anggota gerak bawah disertai kontrol kandung kemih dan sensibilitas perianal yang tetap baik. Trauma tulang belakang jika mengenai: a.
Vertebra servikalis. Jika terjadi trauma pada vertebra servikalis, maka dapat terjadi kelumpuhan otot pernapasan karena blok saraf simpatis sehingga klien dapat
mengalami
gagal
napas.
Trauma
vertebra
servikalis
juga
dapat
menyebabkan quadiplegik dengan disfungsi kedua lengan, kedua kaki, defekasi dan berkemih. b.
Vertebra torakolumbalis. Dapat terjadi paraplegi dan gangguna dalam menelan.
c.
Vertebra sakralis. Jika trauma terjadi pada vertebra ini akan terjadi disfungsi bladder dan bowel. Trauma pada sakralis juga dapat menyebabkan penis erection.
E.
Pathway
F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik fraktur antara lain : a.
Edema/pembengkakan
b.
Nyeri: spasme otot akibat reflek involunter pada otot, trauma langsung pada jaringan, peningkatan tekanan pada saraf sensori, pergerakan pada daerah fraktur.
c.
Spasme otot: respon perlindungan terhadap injuri dan fraktur
d.
Deformitas
e.
Echimosis: ekstravasasi darah didalam jaringan subkutan
f.
Kehilangan fungsi
g.
Crepitasi: pada palpasi adanya udara pada jaringan akibat trauma terbuka
1) Manifestasi klinis fraktur vertebra pada cervical a.
C1-C3 : gangguan fungsi diafragma (untuk pernapasan)
b.
C4 : gangguan fungsi biceps dan lengan atas
c.
C5 : gangguan fungsi tangan dan pergelangan tangan
d.
C6 : gangguan fungsi tangan secara komplit
e.
C7 : gangguan fungsi jari serta otot trisep
f.
C8 : gangguan fungsi jari
Gangguan motoriknya yaitu kerusakan setinggi servical menyebabkan kelumpuhan tetraparese 2) Manifestasi klinis fraktur vertebra pada torakal, antara lain: a.
T1 : gangguang fungsi tanganT1-T8 : gangguan fungsi pengendalian otot abdominal, gangguan stabilitas tubuh
b.
T9-T12 : kehilangan parsial fungsi otot abdominal dan batang tubuh
3) Manifestasi klinis fraktur vertebra pada lumbal, antara lain: Gangguan motorik yaitu kerusakan pada thorakal sampai dengan lumbal memberikan gejala paraparese. a.
L1 : Abdominalis
b.
L2 : Gangguan fungsi ejakulasi
c.
L3 : Quadriceps
d.
L4-L5 : Ganguan Hamstring dan knee, gangguan fleksi kaki dan lutut
4) Manifestasi klinis fraktur vertebra pada sakral Gangguang motorik kerusakan pada daerah sacral menyebabkan gangguan miksi &
pengendalian tungkai, sistem saluran kemih dan anus. Selain itu gangguan fungsi sensoris dan motoris, cedera vertebra dapat berakibat lain seperti spastisitas atau atrofi otot. a. S1 : Gangguan pengendalian tungkai b. S2-S4 : Penile Erection c. S2-S3 : Gangguan system saluran kemih dan anus
G.
Komplikasi
Adapun komplikasi dari fraktur vertebra, antara lain: 1.
Syok Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.
2.
Mal union Pada keadaan ini terjadi penyambungan fraktur yang tidak normal sehingga menimbulkan deformitas. Gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan mal union, selain itu infeksi dari jaringan lunak yang terjepit diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union) jugadapat menyebabkan mal union.
3.
Non union Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan tulang. Non union dapat di bagi menjadi beberapa tipe, yaitu: a.
Tipe I (Hypertrophic non union), tidak akan terjadi proses penyembuhan fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan fibros yang masih mempunyai potensi untuk union dengan melakukan koreksi fiksasi dan bone grafting.
b.
Tipe II (atropic non union), disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis) terdapat jaringan synovial sebagai kapsul sendi beserta ronga cairan yang berisi cairan, proses union tidak akan tercapai walaupun dilakukan imobilisasi lama.
Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi periosteum yang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur, waktu imobilisasi yang tidak memadai, distraksi interposisi, infeksi dan penyakit tulang (fraktur
patologis).Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu. Hal ini diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai. 4.
Delayed union Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam waktu lama atau lambat dari waktu proses penyembuhan fraktur secara normal. Pada pemeriksaan radiografi tidak terlihat bayangan sklerosis pada ujung-ujung fraktur.
5.
Tromboemboli, infeksi, koagulopati intravaskuler diseminata (KID) Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti plate, paku pada fraktur.
6.
Emboli lemak Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.
7.
Sindrom Kompartemen Terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada tungkai atas maupun tungkai bawah sehingga terjadi penekanan neurovaskuler sekitarnya. Fenomena ini disebut ischemi volkmann. Ini dapat terjadi pula pada pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat mengganggu aliran darah dan terjadi edema didalam otot. Apabila iskhemi dalam 6 jam pertama tidak mendapatkan tindakan dapat mengakibatkan kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti dengan jaringan fibros yang secara perlahan-lahan menjadi pendek dan disebut dengan kontraktur volkmann. Gejala klinisnya adalah 5 P yaitu Pain (nyeri), Parestesia, Pallor (pucat), Pulseness (denyut nadi hilang) dan Paralisis.
8.
Cedera vascular dan kerusakan syaraf yang dapat menimbulkan iskemia, dan gangguan syaraf. Keadaan ini diakibatkan oleh adanya injuri atau keadaan penekanan syaraf karena pemasangan gips, balutan atau pemasangan traksi.
9.
Dekubitus Terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips, oleh karena itu perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang menonjol.
H.
Pemeriksaan Diagnostik
1.
Pemeriksaan radiologi. Sebagai penunjang,pemeriksaan yang penting adalah pencitraan menggunakan sinar Rongent (Sinar-X). Untuk mendapatkan gambaran tiga dimensi dari keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, kita memerlukan dua proyeksi, yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) jika ada indikasi untuk memperlihatkan patologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan sinar-X harus atas dasar indikasi kegunaan. Selain foto polos sinar- X (plane X-ray) mungkin diperlukan teknik khusus, seperti hal – hal berikut: a. Tomografi, menggambarkan tidak hanya satu struktur saja, tetapi juga struktur tertutup yang sulit divisualisasikan. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks, tidak hanya pada satu struktur saja, tetapi pada struktur lain yang juga mengalami kerusakan. b. Mielografi, menggambarkan cabang – cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebra yang mengalami kerusakan akibnat trauma. c. Artrografi, menggambarkan jaringan ikat yang rusak karena rudapaksa. d. Computed Tomography – Scanning, menggambarkan potongan secara tranversal dari tulang tempat terdapatnya struktur tulang yang rusak. pemeriksaan ini sifatnya membuat gambar vertebra menjadi 2 dimensi . Pemeriksaan vertebra dilakukan dengan melihat irisan-irisan yang dihasilkan CT scan.
2.
Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium yang lazim digunakan untuk mengetahui lebih jauh kelainan yang terjadi meliputi hal – hal sebagai berikut: a.
Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
b.
Fosfatase alkali meningkat pada saat kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c.
Enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat dehidrogenase (LDH – 5), aspartat
amino
transferase
penyembuhan tulang.
(AST),
dan
..
meningkat
pada
tahap
Pada pemeriksaan kultur mikroorganisme dan tes sensitivitas didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi a. Biopsi tulang dan otot: pada intinya, pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan di atas, tetapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi. b. Elektromiografi: terdapat kerusakan konduksi saraf akibat fraktur. c. Artroskopi: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan. d. Indium imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang. e. MRI: menggambarakan semua kerusakan akibat fraktur. Pemeriksaan ini menggunakan gelombang frekuensiradio untuk memberikan informasi detail mengenai jaringan lunak di aerah vertebra. Gambaran yang akan dihasilkan adalah gambaran 3 dimensi . MRIsering digunakan untuk mengetahui kerusakan jaringan lunak pada ligament dan diskus intervertebralis dan menilai cedera medulla spinalis.
H.
Pengkajian Primer
1. Respon Cek respon, dengan memanggil nama klien, menggoyangkan badan, dan member rangsang nyeri. 2. Airways a. Bagaimana jalan nafas, bisa berbicara secara bebas b. Adakah sumbatan jalan nafas (darah, lendir, makanan, sputum) 3. Breathing a. Bagaimana frekuensi pernafasan, teratur atau tidak, kedalamannya b. Adakah sesak nafas, bagaimana bunyi nafas c. Apakah menggunakan otot tambahan d. Apakah ada reflek batuk 4. Circulation a. Bagaimana nadi, frekuensi, teratur atau tidak, lemah atau kuat Berapa tekanan darah b. Akral dingin atau hangat, capillary refill < 3 detik atau > 3 detik, warna kulit, produksi urin
I.
Pengkajian Sekunder
Pemeriksaan fisik: 1. Keadaan umum 2. Kepala : bagaimana bentuk kepala, rambut mudah dicabut/tidak, kulit kepala bersih/tidak 3. Mata : konjungtiva anemis +/-, sclera icterik +/-, besar pupil, refleks cahaya +/4. Hidung :bentuk simetris atau tidak, discharge +/-, pembauan baik atau tidak. 5. Telinga : simetris atau tidak, discharge +/6. Mulut : sianotik +/-, lembab/kering, gigi caries +/7. Leher : pembengkakan +/-, pergeseran trakea +/8. Dada a. Paru Inspeksi : simetris atau tidak, jejas +/-, retraksi intercostal Palpasi : fremitus kanan dan kiri sama atau tidak Perkusi : sonor +/-, hipersonor +/-, pekak +/Auskultasi : vesikuler +/-, ronchi +/-, wheezing +/-, crekles +/ b. Jantung Inspeksi : ictus cordis tampak atau tidak Palpasi : dimana ictus cordis teraba Perkusi : pekak +/Auskultasi : bagaimana BJ I dan II, gallops +/-, mur-mur +/9. Abdomen Inspeksi : datar +/-, distensi abdomen +/-, ada jejas +/Auskultasi : bising usus +/-, berapa kali permenit Palpasi : pembesaran hepar / lien Perkusi : timpani +/-, pekak +/9. Genetalia : bersih atau ada tanda – tanda infeksi 10. Ekstremitas : a. Adakah perubahan bentuk: pembengkakan, deformitas, nyeri, pemendekan tulang, krepitasi b. Adakah nadi pada bagian distal fraktur, lemah/kuat c. Adakah keterbatasan/kehilangan pergerakan
e. Adakah sensasi terhadap nyeri pada bagian distal fraktur f.
Adakah luka, berapa luasnya, adakah jaringan/tulang yang keluar
11. Psikologis : a. Cemas b. Denial c. Depresi
J.
Penanganan Kegawat Daruratan
Prinsip-prinsip penanganan fraktur vertebra antara lain: 1.
Immobilisasi Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan sampai ke unit gawat darurat.. Yang pertama ialah immobilisasi dan stabilkan leher dalam posisi normal dengan menggunakan cervical collar . Cegah agar leher tidak terputar (rotation). Baringkan penderita dalam posisi terlentang (supine) pada empat/alas yang keras. Pasien diangkat/dibawa dengan cara 4 men lift atau menggunakan Robinson’s orthopaedic stretcher . a.
Stabilisasi Medis
b.
Periksa vital signs
c.
Pasang nasogastric tube
d.
Pasang kateter urin
e.
Segera normalkan vital signs. Pertahankan tekanan darah yang normal dan perfusi jaringan yang baik. Berikan oksigen, monitor produksi urin, bila perlu monitor AGD (analisa gas darah), dan periksa apa ada neurogenic shock.
2.
Mempertahankan posisi normal Vertebra (Spinal Alignment ) Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau Gardner-Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi traksi diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15 menit sampai terjadi reduksi.
3.
Rehabilitasi. Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam program ini adalah bladder trainin, bowel training , latihan otot pernafasan, pencapaian optimal fungsi – fungsi neurologik dan program kursi roda bagi penderita
I.
Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma 2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik 3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler
J. No.
Rencana Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan kelumpuhan
NOC
NIC
Setelah dilakukan tindakan 1. Pertahankan jalan nafas; posisi
dengan keperawatan, otot menjadi
diafragma
Rasional
pola
efektif
napas
kepala tanpa gerak.
akan membutuhkan bantuan
dengan 2. Berikan oksigen dengan cara
kriteria hasil:
yang tepat
a. Respiratory
status
:
Ventilation b. Respiratory
status
:
1. Pasien dengan cedera vertebra
untuk
mencegah
mempertahankan jalan nafas.
3. Lakukan penghisapan lendir bila
2. Jika
batuk
tidak
efektif,
perlu, catat jumlah, jenis dan
penghisapan dibutuhkan untuk
karakteristik sekret.
mengeluarkan
Airway patency
4. Kaji fungsi pernapasan.
mengurangi
c. Vital sign Status
5. Auskultasi suara napas.
pernapasan.
Dengan kriteria hasil:
6. Observasi warna kulit.
a. Mendemonstrasikan
aspirasi/
3. Trauma
7. Lakukan pengukuran kapasitas
sekret, resiko
dan
infeksi
pada
C5-6
menyebabkan
hilangnya
batuk efektif dan suara
vital, volume tidal dan kekuatan
fungsi
nafas yang bersih, tidak
pernapasan.
partial, karena otot pernapasan
ada sianosis dan dyspneu 8. Pantau analisa gas darah. (mampu
mengeluarkan 9. Kaji tanda-tanda vital
pernapasan
secara
mengalami kelumpuhan. 4. Hipoventilasi biasanya terjadi
sputum, mampu bernafas
atau menyebabkan akumulasi
dengan mudah, tidak ada
sekret
pursed lips)
pnemonia.
b. Menunjukkan jalan nafas
yang
berakibat
5. Menggambarkan
adanya
yang paten (klien tidak
kegagalan pernapasan yang
merasa tercekik, irama
memerlukan tindakan segera.
nafas,
frekuensi
6. Menentukan fungsi otot-otot
pernafasan dalam rentang
pernapasan. Pengkajian terus
normal, tidak ada suara
menerus
nafas abnormal)
adanya kegagalan pernapasan.
c. Tanda Tanda vital dalam
7. Untuk
untuk
mendeteksi
mengetahui
adanya
rentang normal (tekanan
kelainan fungsi pertukaran gas
darah, nadi, pernafasan
sebagai contoh : hiperventilasi PaO2
rendah
dan
PaCO2
meningkat. 8. Memaksimalkan
suplai
oksigen 2. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan, dengan agen injuri fisik:
nyeri akut berkurang dengan
reflek
kriteria hasil:
spasme
terhadap fraktur
otot
Pain level, pain control dan
1. Kaji karakteristik nyeri yang 1. Untuk dialami klien 2. Observasi
ketidak
mengevaluasi
efektivitas nyeri nyamanan 2. Untuk
non verbal terhadap nyeri
mengetahui
pasien terhadap nyeri
respon
pursed lips)
pnemonia.
b. Menunjukkan jalan nafas
5. Menggambarkan
adanya
yang paten (klien tidak
kegagalan pernapasan yang
merasa tercekik, irama
memerlukan tindakan segera.
nafas,
frekuensi
6. Menentukan fungsi otot-otot
pernafasan dalam rentang
pernapasan. Pengkajian terus
normal, tidak ada suara
menerus
nafas abnormal)
adanya kegagalan pernapasan.
c. Tanda Tanda vital dalam
7. Untuk
untuk
mendeteksi
mengetahui
adanya
rentang normal (tekanan
kelainan fungsi pertukaran gas
darah, nadi, pernafasan
sebagai contoh : hiperventilasi PaO2
rendah
dan
PaCO2
meningkat. 8. Memaksimalkan
suplai
oksigen 2. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan, dengan agen injuri fisik:
nyeri akut berkurang dengan
reflek
kriteria hasil:
spasme
otot
terhadap fraktur
comfort level dengan criteria:
c.
ketidak
nyamanan 2. Untuk
non verbal terhadap nyeri
3. Ciptakan
lingkungan
yang 3. Memberikan
nyaman untuk klien
intervensi
nyeri
untuk
4. Kolaborasi pemberian analgetik
mengidentifikasi
nyeri
untuk mengurangi rasa nyeri
berbagai yang
cara
untuk mengatasi nyeri 6. Kaji tipe dan sumber nyeri
Mengungkapkan
7. Monitor
tidur
dan
nyeri
dan
6. Agar dapat mencegah dan
sebelum
dan
sesudah pemberian analgetik
menghilangkan
penyebab
nyeri 7. Mengetahui
Mendiskripsikan
dapat
ketidaknyamanan
manajemen nyeri
ttv
cara
mengurangi sensasi nyeri
5. Ajarkan tehnik nonfarmakologi 5. Mengatasi
Mendiskripsikan
respon
4. Mengurangi rasa nyeri
istirahat d.
mengetahui
pasien terhadap nyeri
skala
kemampuan
mengevaluasi
efektivitas nyeri
Menggunakan
yang dirasakan b.
dialami klien 2. Observasi
Pain level, pain control dan
a.
1. Kaji karakteristik nyeri yang 1. Untuk
terapi
adanya
perubahan pada tanda-tanda
non farmakologi untuk
vital terhadap respon nyeri
mengontrol nyeri e. 3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan kerusakan neuromuskuler
TTV dalam batas normal
Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi
dengan keperawatan, mobilitas fisik baik dengan kriteria hasil: a. Mampu
meminta
bantuan untuk mobilisasi
klien
terhadap
kelemahan 2. Ajarkan
1. Menilai
kemampuan
anggotagerak klien untuk
melakukan 2. Mengoptimalkan
anggota
latihan tentang gerak aktif pada
gerak yang sehat, mencegah
anggota
penurunan
gerak
yang
sehat
perfusi
jaringan
comfort level dengan criteria: a.
c.
lingkungan
yang 3. Memberikan
Menggunakan
skala
nyeri
untuk
4. Kolaborasi pemberian analgetik
mengidentifikasi
nyeri
untuk mengurangi rasa nyeri
yang dirasakan b.
3. Ciptakan
nyaman untuk klien
intervensi
cara
untuk mengatasi nyeri 6. Kaji tipe dan sumber nyeri
Mengungkapkan
7. Monitor
tidur
dan
dapat
mengurangi sensasi nyeri
nyeri
6. Agar dapat mencegah dan
sebelum
dan
sesudah pemberian analgetik
menghilangkan
penyebab
nyeri 7. Mengetahui
Mendiskripsikan
dan
ketidaknyamanan
manajemen nyeri
ttv
cara
4. Mengurangi rasa nyeri
istirahat d.
yang
5. Ajarkan tehnik nonfarmakologi 5. Mengatasi
Mendiskripsikan
kemampuan
berbagai
terapi
adanya
perubahan pada tanda-tanda
non farmakologi untuk
vital terhadap respon nyeri
mengontrol nyeri e. 3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan kerusakan neuromuskuler
TTV dalam batas normal
Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi
dengan keperawatan, mobilitas fisik baik dengan kriteria hasil: a. Mampu
meminta
klien
terhadap
kelemahan 2. Ajarkan
1. Menilai
kemampuan
anggotagerak klien untuk
melakukan 2. Mengoptimalkan
anggota
latihan tentang gerak aktif pada
gerak yang sehat, mencegah
bantuan untuk mobilisasi
anggota
penurunan
sesuai kebutuhan
sedikitnya 4x sehari.
gerak
yang
sehat
perfusi
jaringan
anggota gerak yang sehat.
b. Mampu memaksimalkan 3. Posisikan tubuh untuk mencegah 3. Mencegah komplikasi fungsi ekstrimitas yang
komplikasi, ubah posisi tiap 2-4 4. Membantu mobilisasi secara
sehat.
jam.
mandiri.
4. Ajarkan penggunaan alat bantu 5. Mencegah yang sesuai. 5. Ajarkan tindakan
individu
injuri
karena
kerusakan mobilitas fisik. melakukan 6. Meningkatkan kewaspadaan
keamanan. 6. Kolaborasi untuk fisioterapi.
kemampuan
mobilitas secara bertahap.
sesuai kebutuhan
sedikitnya 4x sehari.
anggota gerak yang sehat.
b. Mampu memaksimalkan 3. Posisikan tubuh untuk mencegah 3. Mencegah komplikasi fungsi ekstrimitas yang
komplikasi, ubah posisi tiap 2-4 4. Membantu mobilisasi secara
sehat.
jam.
mandiri.
4. Ajarkan penggunaan alat bantu 5. Mencegah yang sesuai. 5. Ajarkan tindakan
injuri
karena
kerusakan mobilitas fisik.
individu
melakukan 6. Meningkatkan kewaspadaan
kemampuan
mobilitas secara bertahap.
keamanan. 6. Kolaborasi untuk fisioterapi.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume 3. Jakarta : EGC Mansjoer,Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 2. Jakarta:Media Aesculapius. McCloskey&Bulechek. 2004. Nursing Intervention Classification : Fourth Edition. Mosby : USA Moorhead, Johnson, L.Maas, & Swanson. 2008. Nursing Outcomes Classification: Fourth Edition. Mosby : USA Mursada.
2011.
Laporan
Pendahuluan
Fraktur
Vertebra.
www.scribd.com./doc/60966817/Laporan-Pendahuluan-Fraktur-Vertebra (Akses:10 Juni 2013) Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika. NANDA. 2009-2011. Nursing Diagnosis : definitions and Classification. Philadephia : USA Potter, & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Vol. 1. Jakarta : EGC
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume 3. Jakarta : EGC Mansjoer,Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 2. Jakarta:Media Aesculapius. McCloskey&Bulechek. 2004. Nursing Intervention Classification : Fourth Edition. Mosby : USA Moorhead, Johnson, L.Maas, & Swanson. 2008. Nursing Outcomes Classification: Fourth Edition. Mosby : USA Mursada.
2011.
Laporan
Pendahuluan
Fraktur
Vertebra.
www.scribd.com./doc/60966817/Laporan-Pendahuluan-Fraktur-Vertebra (Akses:10 Juni 2013) Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika. NANDA. 2009-2011. Nursing Diagnosis : definitions and Classification. Philadephia : USA Potter, & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Vol. 1. Jakarta : EGC Price, Sylvia. 2003. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6. Jakarta: EGC Priharjo, Robert. 2006. Pengkajian Fisik Keperawatan Edisi 2. Jakarta : EGC