LAPORAN STUDI KASUS TEKNIK PEMERIKSAAN MRI KEPALA PADA PASIEN DENGAN KLINIS MACROADENOMA DI INSTALASI RADIOLOGI RUMAH SAKIT SMC TELOGOREJO Disusun untuk memenuhi tugas Praktik Kerja Lapangan V
Oleh: IKHLASUL AMAL NIM: P1337430215046
PROGRAM STUDI D-IV TEKNIK RADIOLOGI JURUSAN TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG 2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hida yah Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan praktik kerja lapangan 5 dengan judul “Teknik Pemeriksaan MRI Kepala pada Pasien dengan Klinis Macroadenoma di Instalasi Radiologi Rumah Sakit SMC Telogorejo”. Penulisan laporan praktik kerja lapangan tersebut bertujuan untuk memenuhi tugas Praktik Kerja Lapangan 5. Dalam penulisan laporan kasus tersebut penulis menemui beberapa kendala, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Rini, S.Si, M.Kes selaku ketua jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, 2. Ibu Siti Masrochah, S.ST, M.Si selaku ketua prodi D-IV Teknik Radiologi, 3. Orang tua penulis yang telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis, 4. Mas Imam S.ST, selaku Clinical Instructure yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis. 5. Pak Yosi, Bu Maret, Pak Udin, Mbak Tery, Mas Hambali, Mas Anggit, Mas Haztian, Mas Ardyan, Mas Yuna, Mbak Shyana, Mbak Mira, Mbak Irma, Mbak Emil, Mbak Ekle, Mbak Benita, Mba Atun, Bu Ning, Mbak Nia, Mbak Intan, Dokter Lucas dan seluruh staff Instalasi Radiologi RS SMC Telogorejo. 6. Teman sejawat Bintang, Azmi Bagas yang telah menjadi teman seperjuangan selama penulis menimba ilmu praktik klinik di RS SMC Telogorejo.
BAB I PENDAHULUA
A. Latar Belakang
Pemeriksaan radiodiagnostik merupakan salah satu pemeriksaan penunjang di bidang kedokteran dalam membantu menegakkan diagnosa suatu penyakit. Salah satu pemeriksaan radiodiagnostik adalah pemeriksaan dengan menggunakan modalitas imejing salah satunya berupa Magnetic Resonance Imaging (MRI). Pemeriksaan MRI menghasilkan gambaran potongan tubuh manusia dengan memanfaatkan medan magnet. Sehingga pemeriksaan MRI tidak menimbulkan efek ionisasi radiasi layaknya pemeriksaan imejing lainnya seperti CT Scan. Pemeriksaan dengan menggunakan MRI mampu menghasilkan citra yang lebih baik dan mempunyai beberapa kelebihan diantaranya dapat memberikan gambaran dengan spasial resolusi yang baik khususnya kontras antar jaringan lunak, tanpa radiasi pengion dan dapat menghasilkan gambaran dengan berbagai potongan (multi planar) yaitu potongan axial, coronal serta sagital tanpa dilakukan rekonstruksi gambar terlebih dahulu. Diagnosa macroadenoma dibuat berdasarkan: gejala klinis dari gangguan hormon, adanya riwayat penyakit dahulu yang jelas, pemeriksaan fisik yang menunjang, pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan disfungsi dari hormon yang terganggu, adanya pemeriksaan penunjang yang akurat seperti CTScan, MRI-Scan
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah teknik pemeriksaan MRI Kepala pada pasien dengan klinis Macroadenoma?
2. Apa yang membedakan teknik pemeriksaan MRI Kepala pada pasien dengan klinis Macroadenoma dengan pemeriksan MRI Kepala Rutin?
C. Tujuan
1. Mengetahui teknik pemeriksaan MRI Kepala pada pasien denga klinis Macroadenoma. 2. Mengetahui perbedaan teknik pemeriksaan MRI Kepala pada pasien dengan klinis Macroadenoma dengan pemeriksan MRI Kepala Rutin.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
1. Komponen utama Menurut (Mark Cohen,2008) komponen utama MRI yaitu : magnet utama, pengirim sinyal Radio-frequency (RF), penerima sinyal Radio Frequency (RF), dan sebuah Data Acquisition System (DAS). a. Magnet Utama Magnet utama yang digunakan adalah magnet yang memproduksi kuat medan yang besar dan stabil serta mampu menginduksi jaringan sehingga menimbulkan magnetisasi dalam obyek. Medan magnet yang digunakan mempunyai jangkauan antara
0,3T
sampai
3T
yang
diperbolehkan
untuk
aplikasi
klinis
(Muhammad,2005). Pembangkitan untuk MRI pada dewasa ini menggunakan medan magnet permanent dari feromagnetik dan medan magnet yang dibangkitkan dari koil superkonduktor.
b. Pengirim sinyal Radio-frequency (RF) Pengirim sinyal Radio-frequency merupakan koil radiofrekuensi yang berfungsi untuk memancarkan gelombang radio pada inti yang terlokalisir sehingga terjadi eksitasi atomik. c. Penerima sinyal Radio-frequency (RF) Penerima sinyal Radio-frequency merupakan koil radiofrekuensi yang berfungsi untuk menerima sinyal output dari sistem setelah proses eksitasi selesai.
d. Data Akuisisi Sistem (DAS) Data Akuisisi Sistem adalah suatu komponen yang digunakan untuk memproses sinyal, menyimpan data dan mengolah sehingga menjadi citra MRI yang bisa dilihat melalui layar monitor. 2. Prinsip Dasar MRI Pada dasarnya MRI adalah sebuah penggambaran atom hidrogen yang merupakan unsur pembentuk sebagian besar tubuh manusia dan hidrogen memiliki momen magnetik paling besar dan rasio giromagnetik yang paling besar bila dibandingkan inti lainnya (Partain,1998). Gambaran tersebut diperoleh dari interaksi atom hidrogen dalam medan magnet dan gelombang radio. Interaksi dimulai dengan meletakkan atom hidrogen ke dalam medan magnet. Di dalam medan mgnet ini kutub-kutub atom akan menjadi searah dengan medan magnet, kemudian dengan menggunakan sinyal radiofrekuensi pada bidang yang dipilih, inti atom akan menyerap energi. Segera setelah radiofrekuensi dihilangkan atom akan kembali ke tahap equilibrium dalam magnet sambil melepaskan energi. Energi inilah yang disebut sinyal MR. Pembangkitan ini dilakukan berulangkali sampai diperoleh cukup sinyal untuk memperoleh gambaran MRI yang diperlukan. 3. Parameter MRI Parameter yang mempengaruhi kontras citra dalam pencitraan MRI dibagi menjadi 2 kategori umum yaitu inherensi jaringan dan parameter teknis. a. Parameter inherensi jaringan Parameter inherensi jaringan merupakan faktor yang mempengaruhi sinyal yaitu jumlah densitas proton relative dan inherensi waktu relaksasi T1 dan T2. b. Parameter teknis
Parameter teknis yang sering digunakan untuk kontras citra antara lain pulse sequence, flip angle, tebal irisan, FOV (field of view), ukuran matriks, NEX, dan media kontras yang digunakan. Pemilihan nilai parameter teknis yang tepat akan sangat membantu dalam menghasilkan kontras citra yang baik karena parameter inherensi jaringan dapat dimaksimalkan. Hal ini disebut conspicuity T1 dan T2 sebagai contoh adalah pada perbedaan waktu relaksasi densitas proton antara tumor dan white matter pada organ kepala akan dapat dihasilkan kontras citra yang dapat dimaksimalkan oleh manipulasi parameter teknis yang digunakan pada saat dia gnosa, sementara ketidaksesuaian
dalam
penggunaan
nilai
parameter
teknis
akan
menghasilkan efek hasil citra yang sulit untuk dideteksi pada perbedaan lesi dengan jaringan normal sekitar. Urutan pulsa yang digunakan adalah urutan pulsa RF yang dipancarkan selama pemeriksaan MRI, dengan parameter TR, TE, dan TI serta parameter-parameter lain yang menyertainya. Beberapa urutan pulsa yang sering digunakan adalah sebagai berikut : 1)
Spin echo (SE) Urutan pulsa spin echo terdiri dari 90º pulsa excitation yang diikuti 180º pulsa rephasing, dan hanya dengan satu langkah phase encoding per TR. Pembobotan gambar meliputi T1, T2 dan proton density (PD). Spin echo digunakan hampir disemua pemeriksaan dengan hasil citra yang sangat baik karena memiliki nilai SNR yang tinggi. Pembobotan T1 menghasilkan gambaran anatomi, sedangkan pembobotan T2 menunjukkan patologinya yang akan tampak terang jika ada cairan. Tetapi kerugian SE adalah waktu yang relatif panjang.
Gambar.2.9 Phase Encoding pada spin echo konvensional (Westbrook & Kaut,1998)
2) Fast Spin Echo (FSE) Fast spin echo (FSE) pada awalnya dikenal dengan Rapid Acquisition Recofussed Echos (RARE). FSE digunakan untuk mempercepat waktu scan, dengan mengaplikasikan beberapa kali pulsa 180º rephasing dalam satu Time Repetition (TR). Pengaplikasian beberapa pulsa 180º dalam satu TR menghasilkan rangkaian echo yang disebut dengan Echo Train Length (ETL). Pada sekuens FSE, jumlah slice berkurang adanya contrast overaging sehingga Cerebro Spinal Fluid (CSF) menjadi lebih terang pada pembobotan proton densit y dan multiple sclerosis serta lesi-lesi kecil tidak dapat dilihat serta adanya bluring akibat pemilihan ETL yang digunakan. Semakin besar ETL pembobotan T2 semakin tinggi, hal tersebut menyebabkan bluring.
Kelemahan-kelemahan
tersebut
dapat
ditanggulangi
dengan
pengurangan ETL. Pada FSE diperlukan TR yang jauh lebih panjang dibandingkan dengan konvensional spin echo. Pengaplikasian pulsa 180º memakan waktu. Kadang untuk pemenuhan kebutuhan jumlah irisan akan meningkatkan nilai TR, sebagai akibatnya pembobotan menjadi berkurang (Westbrook dan Kaut,1998)
Gambar.2.10 Phase encoding pada fast spin echo konvensional (Westbrook&Kaut,1998)
3) Inversion Recovery (IR) Inversion Recovery (IR) urutan pulsanya dimulai dengan 180º pulsa inverse yang dilanjutkan dengan pulsa 90º excitation, lalu pulsa 180º rephrasing. Parameter utamanya adalah Time Repetition (TR), Time Echo (TE) dan Time Inversion (TI). Kontras gambar yang dihasilkan tergantung dari panjang pendeknya TI. Pulsa Inversion 180º menghasilkan perbedaan kontras antara cairan dan jaringan yang lain. Inversion Recovery biasa digunakan sebagai alternatif metode spin echo yang secara konvensional juga untuk membuat gambar dengan pembobotan T1. Hasil gambar pada T1 weighted sangat dipererat, karena pulsasi penginversi 180º mencapai sat urasi penuh dan
memastikan adanya kontras yang besar antara lemak dan air. Inversion Recovery secara konvensional digunakan untuk memperoleh gambar T1 weighted yang menghasilkan gambaran anatomi. Pulse penginversi 180º menghasilkan perbedaan kontras yang besar antara lemak dan air karena saturasi penuh dari vektor lemak dan air telah tercapai pada setiap permulaan setiap repetisi, sehingga sekuens pulsa IR menghasilkan T1 weighted yang lebih berat daripada spin echo konvensional. 4. Difusi Difusi adalah istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan pergerakan molekul secara acak pada jaringan. Gerakan ini dibatasi oleh batas-batas seperti ligament, membrane dan molekul. Pembatasan difusi adalah secara langsung tergantung pada struktur jaringan. Pada stroke hiperakut segera setelah terjadinya iskemia tapi sebelum terjadinya infark atau kerusakan permanent pada jaringan otak, sel-sel membengkak dan menyerap air dari ruang extra seluler. Kemudian ketika sel sel penuh oleh molekul air dan dibatasi oleh membrane, maka difusi yang terjadi akan terbatas dan nilai rata-rata difusi pada jaringan tersebut akan berkurang. Imejing dengan sekuen spin echo dapat memperlihatkan struktur dengan ta ndatanda difusi pada jaringan. Gambaran difusi dapat diperoleh dengan lebih efektif dengan mengkombinasikan dua pulsa gradient yang diaplikasikan setelah eksistasi. Pulsa gradient digunakan untuk saling mempengaruhi pada spin-spin yang tidak bergerak sementara spin-spin yang bergerak pada jaringan normal tidak dipengaruhi. Ini menyebabkan gambaran difusi sinyal yang mengalami atenuasi terjadi pada jaringan normal dengan pergerakan difusi yang random dan jaringan normal akan
tampak lebih gelap, dan sinyal yang intensitasnya tinggi terjadi pada jaringan dengan difusinya yang terbatas (restriksi) misalnya pada st roke hiperakut. Banyaknya atenuasi tergantung pada amplitudo dan arah dari aplikasi gradien difusi. Pulsa gradien dapat diaplikasikan searah dengan sumbu x,y,z. Arah difusi pada sumbu x,y,z dikombinasikan untuk menghasilkan gambaran diffusion weighted. Ketika gradient difusi hanya diaplikasikan sepanjang sumbu Y, atau pada arah sumbu X, perubahan sinyal yang terjadi hanya sedikit dan mungkin hanya merefleksikan arah difusi pada axons. Ketika gradient difusi diaplikasikan pada ketiga sumbu tersebut disebut dengan istilah isotropic diffusion. Gradient difusi harus sangat panjang dan kuat agar dapat memperoleh citra dengan pembobotan difusi (diffusion weighting). Sensitivitas dan intensitas sinyal difusi dikontrol oleh parameter ´b´ value. ´b´ value menentukan atenuasi difusi dengan memodifikasi durasi dan amplitude dari gradient difusi. ´b´ value dapat dinyatakan dengan satuan s/mm², dengan rentang 500 s/mm² sampai 1000 s/mm² (Westbrook,1999). ´b´ value dipengaruhi oleh kekuatan magnet gradient yang terdapat pada pesawat MRI itu sendiri. Semakin tinggi b value maka intensitas sinyal difusi dan sensitifitas difusi akan meningkat. Intensitas sinyal difusi yang meningkat pada jaringan otak normal akan lebih gelap pada gambaran citra yang ditampilkan, sedangkan intensitas sinyal difusi yang berkurang pada jaringan yang rusak akan tampak lebih terang. Sensitifitas difusi yang dimaksud disini adalah kemampuan difusi tersebut untuk mendeteksi adanya difusi yang terbatas pada jaringan otak. Penilaian intensitas sinyal difusi pada jaringan otak normal dinilai pada white matter dan gray matter. Jika terdapat kelainan stroke pada jaringan otak yang difusinya terbatas akan menghasilkan intensitas sinyal yang terlihat terang dibandingkan jaringan yang normal.
Prinsip Diffusion Weighted Imaging (DWI) adalah adanya kontras intensitas signal yang dimodulasi oleh difusi molekul air dalam jaringan otak sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi akumulasi cairan (edema) secara tiba-tiba. 5. Kualitas Gambar MRI Dalam MRI, ada empat faktor yang mempengaruhi kualitas gambar yaitu ; a. Signal to noise ratio (SNR) Signal to noise ratio adalah perbandingan dari amplitude sinyal yang diterima terhadap rata-rata amplitude dari noise. Noise nilainya konstan untuk setiap pasien dan tergantung pada kondisi pasien, area pemeriksaan, dan background electrical noise pada sistem. Noise terjadi pada seluruh frekuensi dan waktunya random. Meningkatkan sinyal akan berarti meningkatkan SNR. Sebaliknya menurunkan sinyal berarti menurunkan SNR. SNR dipengaruhi oleh : 1) Proton density area pemeriksaan a) Jumlah proton pada area pemeriksaan menentukan amplitude sinyal yang diterima. b) Area dengan proton density rendah misalnya paru-paru mempunyai sinyal yang rendah sehingga SNR rendah, sedangkan area dengan proton density yang tinggi misalnya pelvis mempunyai sinyal yang tinggi sehingga SNRl tinggi.
2) Voxel (volume pixel) a) Voxel menandakan volume dari tissue dalam pasien dan ditentukan oleh pixel area dan ketebalan irisan (slice thickness). Pixel area ditentukan
oleh ukuran field of view (FOV) dan jumlah pixel dalam FOV atau matrix. b) Voxel yang besar mempunyai spin inti-inti atom yang lebih banyak daripada voxel yang kecil, sehingga voxel yang besar mempunyai SNR yang lebih tinggi. c) Perubahan SNR proporsional dengan voxel volume dan parameter parameter yang mengatur perubahan voxel antara lain slice thickness dan pixel area sehingga perubahan slice thickness dan pixel akan merubah SNR. d) Menduakalikan slice thicknes akan menduakalikan SNR. e) Menduakalikan FOV akan mengempatkalikan SNR. 3) TR, TE, dan Flip Angle a) TR yang pendek akan meningkatkan SNR, sebaliknya TR yang panjang akan menurunkan SNR. b) TE yang pendek akan menurunkan SNR, sebaliknya TE yang panjang akan menaikkan SNR. c)
Flip angle menentukan jumlah transverse magnetisasi. Maksimum amplitude dihasilkan dengan flip angle 90º.
d) Flip angle yang rendah akan menghasilkan SNR yang rendah. 4) Type coil a) Type coil yang digunakan menentukan jumlah sinyal yang diterima SNR. Contoh : surface coil yang ditempatkan dekat dengan area pemeriksaan akan menghasilkan SNR yang tinggi. b) Ukuran coil juga menentukan SNR. Coil yang besar memungkinkan untuk coverisasi area periksaan yang lebih luas, tetapi akan
menghasilkan SNR yang rendah dikarenakan artefact yang muncul lebih banyak. Coil yang kecil akan menghasilkan SNR yang besar tetapi ukuran coverisasi area pemeriksaan sempit. b. Contrast Noise Ratio ( CNR ) CNR adalah perbedaan SNR antara organ yang saling berdekatan. CNR yang baik dapat menunjukkan perbedaan daerah yang patologis dan daerah yang sehat. CNR dapat ditingkatkan dengan cara : 1)
Menggunakan media kontras
2)
Menggunakan pembobotan gambar T2
3)
Memilih magnetization transfer
4)
Menghilangkan gambaran jaringan normal dengan spectral presaturation
c. Spatial Resolution 1) Spatial resolution menentukan resolusi gambar dan dikontrol oleh ukuran voxel. 2) Voxel yang kecil menghasilkan resolusi yang bagus karena struktur-struktur yang kecil dapat dibedakan. 3) Voxel yang besar akan menghasilkan resolusi yang rendah dan struktur yang kecil tidak dapat dibedakan. Hal ini dikarenakan intensitas sinyal rata- rata bersama sehingga partial volume terjadi. 4) Slice yang lebih tipis mempunyai kemampuan untuk menggambarkan struktur yang kecil. Mereduksi slice thickness akan meningkatkan spatial resolution.
5) FOV yang besar akan menghasilkan pixel yang besar, meningkatkan FOV berarti menurunkan spatial resolution. d. Waktu Pencitraan (Scan time ) Scan time adalah waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan akuisisi data. Scan time berpengaruh tehadap kualitas gambar, karena dengan waktu scanning yang lama akan menyebabkan pasien bergerak dan kualitas gambarnya akan turun. Beberapa hal yang berpengaruh terhadap scan time adalah TR, jumlah phase encoding, dan jumlah ekuisisi (NEX). Untuk menghasilkan waktu pemeriksaan yang singkat dengan cara menggunakan TR sesingkat mungkin, menggunakan matrix yang kasar dan mengurangi NEX. 6. Teknik Scanning MRI Kepala a. Indikasi pemeriksaan Menurut Westbrook (1999) indikasi dilakukan pemeriksaan MRI Kepala : 1) Multiple sclerosis adalah penyakit yang menyerang sistem sara f pusat yang disebabkan oleh kerusakan myelin, yaitu selubung pelindung yang mengelilingi serabut saraf pada sistem saraf pusat. 2) Tumor/metastase merupakan mutasi DNA dalam sel. Akumulasi mutasi tersebut yang menyebabkan munculnya tumor. 3) AIDS (toxoplasmosis) adalah sekumpulan gejala atau infeksi yang timbul karena rusaknya kekebalan sistem tubuh manusia akibat infeksi virus HIV. 4) Infark (Cerebral Vascular Accident/ Transient Ischemic Attack) kematian jaringan otak yang dikarenakan pembekuan trombus atau embolisasi. 5) Haemorrhage adalah pecahnya pembuluh darah otak. 6) Gangguan pendengaran merupakan akibat kerusakan langsung akibat saraf pendengaran sehingga energi listrik tidak dapat disampaikan ke otak.
7) Infeksi merupakan kolonisasi yang dilakukan spesies asing terhadap spesies inang, dan dapat membahayakan inang. 8) Trauma adalah benturan pada kepala yang dapat menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak. 9) Gangguan
penglihatan
merupakan
akibat
dari
pembengkakan
(papiloedema), peradangan pada ujung saraf optic yang masuk ke mata (papilitis). 10) Gangguan saraf, umumnya berupa gejala alzheimer, stroke, parkinson. b. Persiapan pasien Menurut Nesseth (2000) persiapan pasien terdiri dari pasien diminta melengkapi checklist yang tersedia. Isi checklist antara lain: 1) Apakah pasien claustrophobia 2) Apakah pasien pernah dipasang implant sehubungan dengan operasi jantung atau pembuluh darah ataupun operasi orthopedic dan jenis lainnya 3) Apakah pasien menggunakan gigi palsu 4) Apakah pasien ada riwayat alergi dan lain-lain 5) Pasien diminta untuk ganti baju pasien dan meninggalkan semua barang yang dibawa c. Persiapan alat Persiapan alat menurut Westbrook (1999) adalah : 1) Head coil 2) Alat immobilisasi dan tali pengikat 3) Penutup telinga (earplug ) dan headphone d. Posisi pasien
1) Pasien supine di atas meja pemeriksaan dengan posisi kepala berada dalam head coil. 2) Kepala itu disesuaikan sehingga garis interpupillary pararel dengan meja pemeriksaan. 3) Pasien itu diposisikan sehingga arah sinar longitudinal pada midline, dan arah sinar yang horizontal melewati nasal. 4) Tali pengikat dan busa digunakan untuk mencegah pergerakan. e. Protokol pemeriksaan Menurut Westbrook (1999) protokol pemeriksaan adalah : 1) Sagital SE/FSE GRE T1 2) Axial SE/FSE PD/T2 dan Coronal SE/FSE PD/T2 f. Dengan potongan tambahan 1) Axial IR T1 2) Axial FLAIR/EPI 3)
Axial SE/FSE GRE T1
4) SS-FSE T2 5) Axial 3D GRE T1 6) Axial GRE/EPI T1/T2 7) Axial SE+MT 8) Axial DWI 9) Axial perfusion Imaging