LAPORAN PENDAHULUAN SPEECH DELAY
I.
Konsep Penyakit 1.1 Definisi Keterlambatan
(speech
delay) delay) bicara
dan
berbahasa
pada
anak,
menggambarkan kemampuan (skill) anak yang berkembang, tetapi pada tingkat yang lebih lambat dari anak-anak sebayanya sesuai dengan tahapan tumbuh kembang anak. Masalah keterlambatan bicara dan berbahasa ini, bisa ringan, sedang, atau berat.
1.2 Etiologi 1. Faktor Genetik Termasuk faktor genetik antara lain adalah berbagai faktor bawaan yang normal dan patologik, jenis kelamin, suku bangsa atau bangsa. Seperti sindrom
Down,
sindrom
Turner
yang
disebabkan
oleh
kelainan
kromosom. 2. Faktor Lingkungan o
Sosial Ekonomi Kurang
Anak dengan keluarga sosial ekonomi kurang akan mengalami keterlambatan dalam berbahasa karena fasilitas berbahasa dan pendidikan yang rendah pulan dari orang tua.
o
Faktor Psikososial, antara lain: stimulasi, motivasi belajar, hukuman yang wajar, kelompok sebaya, stres, sekolah, cinta dan kasih sayang, kualitas interaksi anak-orang tua.
o
Faktor Keluarga dan Adat Istiadat, antara lain: pekerjaan/ pendapatan keluarga, pendidikan ayah/ibu, jumlah saudara, jenis kelamin dalam keluarga, stabilitas rumah tangga, kepribadian ayah/ibu, adat-istiadat, norma-norma, agama, urbanisasi, kehidupan politik dalam masyarakat
yang mempengaruhi prioritas kepentingan anak, angaran, dll. (Soetjiningsih, 1998) 1.3 Tanda Dan Gejala Tanda dan Gejala Speech Delay Anak Usia 1 tahun (12 bulan)
Menggunakan bahasa tubuh seperti melambaikan tangan ‘good‘good- bye’ bye’ atau menunjuk objek tertentu
Berlatih menggunakan beberapa konsonan yang berbeda
Vokalisasi atau melakukan komunikasi
Tanda dan Gejala Speech Delay Anak Usia 1-2 Tahun
Tidak Tidak memanggil ‘mama’ dan ‘dada’
Tidak menjawab bila dikatakan ‘tidak’, ‘halo’ dan ‘bye’
Tidak memiliki satu atau 3 kata pada usia 12 bulan dan 15 kata pada usia 18 bulan
Tidak mampu mengidentifikasi bagian tubuh
Kesulitan mengulang suara dan gerakan
Lebih memilih menunjukkan gerakan daripada berbicara verbal
Tanda dan Gejala Speech Delay Anak Usia 2-5 Tahun
Tak mampu menyampaikan kata-kata atau frase secara spontan
Tak mampu mengikuti petunjuk dan perintah sederhana
Kurang bunyi konsonan di awal atau akhir kata, seperti ‘aya’ (ayah), ‘uka’ (buka)
Tidak dipahami bicaranya oleh keluarga terdekat
Tak mampu untuk membentuk 2 atau 3 kalimat sederhana
1.4 Patofisiologi Proses produksi berlokasi pada area yang sama pada otak. Struktur untuk pesan yang masuk ini diatur pada area Wernicke, pesan diteruskan melalui fasikulus arkuatum ke area Broca untuk penguraian dan koordinasi verbalisasi pesan tersebut. Signal kemudian melewati korteks motorik yang mengaktifkan otot-otot respirasi, fonasi, resonansi dan artikulasi. Ini merupakan proses aktif pemilihan lambang dan formulasi pesan. Proses enkode dimulai dengan enkode semantik yang dilanjutkan dengan enkode gramatika dan berakhir pada enkode fonologi. Keseluruhan proses enkode ini terjadi di otak/pusat pembicara. Di antara proses dekode dan enkode terdapat proses transmisi, yaitu pemindahan atau penyampaian kode atau disebut kode bahasa. Transmisi ini terjadi antara mulut pembicara dan telinga pendengar. Proses decode-encode diatas disimpulkan sebagai proses komunikasi. Dalam proses perkembangan bahasa, kemampuan menggunakan bahasa reseptif dan ekspresif harus berkembang dengan baik.
1.5 Komplikasi 1. Gangguan bahasa ekspresif 2. Gangguan bahasa reseptifekspresif 3. Gangguan phonological 4. Gagap 1.6 Pemeriksaan Penunjang 1.
TES BERA (Brainstem Evoked Response Auditory) atau ABR (Auditory Brainstem Response Menguji kinerja seluruh alat pendengaran dari gendang telinga (telinga luar) sampai ke otak. Cara kerjanya dengan memberikan bunyik klik pada
frekuensi yang berbeda – beda pada tingkat kekerasan yang berbeda – – beda pula responnya ditangkap langsung oleh sensor di otak. Tesnya tidak menyakitkan (un-invasive), tidak perlu respon aktif dari pasien dan hasilnya menyeluruh. Tes ini adalah tes paling umum dalam mendeteksi gangguan pendengaran.
2.
TES OAE (Oto Acoustic Emission). Menguji kinerja alat pendengaran dari gendang sampai rumah siput tetapi terutama rumah siput. Cara kerjanya dengan memberikan nada murni ke telinga dan menangkap responnya melalui perubahan tekanan di saluran telinga. Tesnya juga tidak menyakitkan dan tidak memerlukan respon aktif dari pasien serta obyektif. Biasanya digunakan untuk mendeteksi gangguan pendengaran khususnya akibat gangguan di telinga tengah karena OME, OMA atau sensorinerual hearing loss (SNHL) yaitu kerusakan sel saraf di rumah siput.
3.
Tes Tympanometri Menguji kinerja alat pendengaran dari gendang sampai telinga tengah (tulang sanggurdi). Caranya mirip dengan OAE tapi responnya dari defleksi
(perubahan
gerak)
gendang
telinga.
Tesnya
juga
tidak
menyakitkan, obyektif dan tidak perlu respon aktif dari pasien. Biasanya digunakan untuk mengeliminasi kemungkinan gangguan telinga tengah jika hasil OAE menunjukkan respon negatif.
4.
Tes Audiometri Pemeriksaan audiometri memerlukan : audiometer, ruang kedap suara, dan pasien yang kooperatif. Pemeriksaan standar yang adalah : a.
Audiometri nada murni
b.
Audiometri tutur
Audiometri nada murni adalah tes dasar untuk mengetahui ada tidaknya gangguan pendengaran. Selama tes, orang yang dites akan mendengar nada murni yang diberikan pada frekwensi yang berbeda melalui sebuah headphone atau ear phone. Intensitas nada berangsurangsur dikurangi sampai ambang dengar, titik dimana suara terkecil yang dapat didengar akan diketahui. Hasilnya ditunjukkan dalam desibel (dB) dan dimasukkan ke bentuk audiogram. Caranya dengan memberikan nada murni baik melalui earphone (direct to ear) ataupun speaker (free field test) dan meminta respon balik dari pasien apakah bunyi terdengar atau tidak. Tesnya tidak menyakitkan namun agak subyektif dan memerlukan respon aktif dari pasien. Cukup sulit dilakukan khususnya untuk anak-anak. Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang pendengaran pasien pada stimulus nada murni. Nilai ambang diukur dengan frekwensi yang berbeda-beda. Secara kasar bahwa pendengaran yang normal grafik berada diatas. Grafiknya terdiri dari skala desibel. Suara dipresentasikan dengan earphone (air conduction) dan skull vibrator (bone conduction). Bila terjadi air bone gap maka mengindikasikan adanya CHL. Turunnya nilai ambang pendengaran oleh bone conduction menggambarkan SNHL. Untuk anak –anak biasanya dilakukan “Play Audiometri” yaitu uji pendengaran
dengan
bermain
dan
diperlukan
audiologist
yang
berpengalaman untuk mendapatkan hasil yang baik. Biasanya untuk menguji kemajuan/kemunduran fungsi pendengaran terutama pada pasien gangguan pendengaran. Sedangkan
pada
audiometric
tutur
dites
seberapa
banyak
kemampuan mengerti percakapan pada intensitas yang berbeda. Tes terdiri dari sejumlah kata-kata tertentu yang diberikan melalui headphone atau pengeras suara free field. Kata-kata tersebut harus diulangi oleh orang
yang dites. Setelah selesai, persentase berapa kata yang dapat diulang dengan benar dapat diketahui.
5.
TES ASSR (Auditory Steady State Response). Menguji kinerja seluruh alat pendengaran dari gendang telinga sampai ke otak. Cara kerjanya seperti BERA tapi yang diberikan adalah nada murni seperti layaknya tes audiometri. Namun tidak diperlukan partisipasi aktif dari pasien karena respon langsung dicatat oleh sensor yang menangkap aktifitas otak. Tes ini tidak menyakitkan dan tidak memerlukan respon aktif namun pasien harus diam dan tenang dalam waktu yang cukup lama, kurang lebih 1 jam. Seringkali dianjurkan agar pasien ditidurkan atau diberi obat tidur jika memang sulit, diminta untuk tetap tenang dan diam. Digunakan untuk mendeteksi gangguan pendengaran pada bayi dan anak - anak yang masih kecil.
1.7 Penatalaksanaan Terapi
1. Terapi wicara 2. Terapi okupasi Edukasi
1. Motivasi keluarga untuk menstimulasi bahasa, bicara secara intensif 2. Secara teratur membawa anak untuk mengikuti terapi 3. Konseling
1.8 Pathway
Resiko cidera
II.
Rencana Asuhan Keperawatan 2.1 Pengkajian a. Identitas Pasien Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan dan pekerjaan pasien. b. Keluhan Utama 1)
Keluhan utama merupakan faktor utama yang yang mendorong pasien mencari pertolongan atau berobat ke rumah sakit.
2)
Biasanya pada pasien dengan effusi pleura didapatkan keluhan berupa : sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri pleuritik akibat iritasi pleura yang bersifat tajam dan terlokasilir terutama pada saat batuk dan bernafas serta batuk non produktif.
c. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien dengan effusi pleura biasanya akan diawali dengan adanya tandatanda seperti batuk, sesak nafas, nyeri n yeri pleuritik, rasa berat pada dada, berat badan menurun dan sebagainya. d. Riwayat Penyakit Dahulu Perlu ditanyakan apakah pasienpernah menderita penyakit seperti TBC paru, pneumoni, gagal jantung, trauma, asites dan sebagainya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya faktor predisposisi. e. Riwayat Penyakit Keluarga Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakitpenyakit yang disinyalir sebagai penyebab effusi pleura seperti Ca paru, asma, TB paru dan lain sebagainya
f.
Riwayat Psikososial Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang dilakukan terhadap dirinya.
g. Pengkajian Pola Fungsi
Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat Adanya tindakan medis danperawatan di rumah sakit mempengaruhi perubahan persepsi tentang kesehatan, tapi kadang juga memunculkan persepsi yang salah terhadap pemeliharaan kesehatan.
Kemungkinan adanya riwayat kebiasaan merokok, minum alcohol dan penggunaan obat-obatan bias menjadi faktor predisposisi timbulnya penyakit.
h.
Pola nutrisi dan metabolisme
Dalam pengkajian pola nutrisi dan metabolisme, me tabolisme, kita perlu melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui status nutrisi pasien,
Perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama MRS pasien dengan effusi pleura akan mengalami penurunan nafsu makan akibat dari sesak nafas dan penekanan pada struktur abdomen.
Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat proses penyakit. pasien dengan effusi pleura keadaan umumnyalemah.
i.
Pola eliminasi
Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai kebiasaan defekasi sebelum dan sesudah MRS.
Karena keadaan umum pasien yang lemah, pasien akan lebih banyak bed rest sehingga akan menimbulkan konstipasi, selain akibat
pencernaan
pada
struktur
abdomen
menyebabkan
penurunan
peristaltik otot-otot tractus degestivus. j.
Pola aktivitas dan latihan
Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhi
Pasien akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas minimal.
Disamping itu pasien juga akan mengurangi aktivitasnya akibat adanya nyeri dada.
Untuk memenuhi kebutuhan ADL nya sebagian kebutuhan pasien dibantu oleh perawat dan keluarganya.
k.
Pola tidur dan istirahat
Adanya nyeri dada, sesak nafas dan peningkatan suhu tubuh akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan istitahat
Selain itu akibat perubahan kondisi lingkungan dari lingkungan rumah yang tenang ke lingkungan rumah sakit, dimana banyak orang yang mondar-mandir, berisik dan lain sebagainya.
l.
Pemeriksaan Fisik 1) Status Kesehatan Umum Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan pasien secara umum, ekspresi wajah pasien selama dilakukan anamnesa, sikap dan perilaku pasien terhadap petugas, bagaimana mood pasien untuk mengetahui tingkat kecemasan dan ketegangan pasien. 2) Sistem Respirasi
Inspeksi Pada pasien effusi pleura bentuk hemithorax yang sakit mencembung, iga mendatar, ruang antar iga melebar, pergerakan pernafasan menurun. Pendorongan mediastinum ke arah hemithorax
kontra lateral yang diketahui dari posisi trakhea dan ictus kordis. RR cenderung meningkat dan pasien biasanya dyspneu.
Fremitus tokal menurun terutama untuk effusi pleura yang jumlah cairannya > 250 cc. Disamping itu pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang sakit.
Suara perkusi redup sampai pekak tegantung jumlah cairannya. Bila cairannya tidak mengisi penuh rongga pleura, maka akan terdapat batas atas cairan berupa garis lengkung dengan ujung lateral atas ke medical penderita dalam posisi duduk. Garis ini disebut garis EllisDamoisseaux. Garis ini paling jelas di bagian depan dada, kurang jelas di punggung.
Auskultasi Suara nafas menurun sampai menghilang. Pada posisi duduk cairan makin ke atas makin tipis, dan dibaliknya ada kompresi atelektasis dari parenkian paru, mungkin saja akan ditemukan tanda tanda auskultasi dari atelektasis kompresi di sekitar batas atas cairan.
3)
Sistem Cardiovasculer
Pada inspeksi perlu diperhatikan letak ictus cordis, normal berada pada ICS – ICS – 5 5 pada linea medio claviculaus kiri selebar 1 cm. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran jantung.
Palpasi untuk menghitung frekuensi jantung (health rate) dan harus diperhatikan kedalaman dan teratur tidaknya denyut jantung, perlu juga memeriksa adanya thrill yaitu getaran ictuscordis.
Perkusi untuk menentukan batas jantung dimana daerah jantung terdengar pekak. Hal ini bertujuan untuk menentukan adakah pembesaran jantung atau ventrikel kiri.
Auskultasi untuk menentukan suara jantung I dan II tunggal atau gallop dan adakah bunyi jantung III yang merupakan gejala payah jantung
serta
adakah
murmur
yang
menunjukkan
adanya
peningkatan
arus
turbulensi darah. 4)
Sistem Pencernaan
Pada inspeksi perlu diperhatikan, apakah abdomen membuncit atau datar, tepi perut menonjol atau tidak, umbilicus menonjol atau tidak, selain itu juga perlu di inspeksi ada tidaknya benjolan-benjolan atau massa.
Auskultasi untuk mendengarkan suara peristaltik usus dimana nilai normalnya 5-35kali per menit.
Pada palpasi perlu juga diperhatikan, adakah nyeri tekan abdomen, adakah massa (tumor, feces), turgor kulit perut untuk mengetahui derajat hidrasi pasien, apakah hepar teraba.
Perkusi abdomen normal tympani, adanya massa padat atau cairan akan menimbulkan suara pekak (hepar, asites, vesikaurinarta, tumor).
5)
Sistem Neurologis
Pada inspeksi tingkat kesadaran perlu dikaji Disamping juga diperlukan pemeriksaan GCS. Adakah composmentis atau somnolen atau comma
Pemeriksaan refleks patologis dan refleks fisiologisnya.
Selain itu fungsi-fungsi sensoris juga perlu dikaji seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan.
6)
Sistem Muskuloskeletal
Pada inspeksi perlu diperhatikan adakah edema peritibial
Palpasi pada kedua ekstremetas untuk mengetahui tingkat perfusi perifer serta dengan pemerikasaan capillary refiltime.
Dengan inspeksi dan palpasi dilakukan pemeriksaan kekuatan otot kemudian dibandingkan antara kiri dan kanan.
7)
Sistem Integumen
Inspeksi mengenai keadaan umum kulit higiene, warna ada tidaknya lesi pada kulit, pada pasien dengan efusi biasanya akan tampak cyanosis akibat adanya kegagalan sistem transport O2.
Pada palpasi perlu diperiksa mengenai kehangatan kulit (dingin, hangat, demam). Kemudian texture kulit (halus-lunak-kasar) serta turgor kulit untuk mengetahui derajat hidrasi seseorang.
2.2 Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul 1. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kurangnya stimulasi bahasa. 2. Gangguan komunikasi berhubungan dengan kerusakan fungsi alat-alat artikulasi. 3. Gangguan
komunikasi
verbal
berhubungan
dengan
gangguan
pendengaran. 4.
Kecemasan orang tua berhubungan dengan ketidakmampuan anak berkomunikasi.
5. Gangguan komunikasi berhubungan dengan kurangnya kemampuan memori dan kerusakan sistem saraf pusat. 6. Resiko cidera
2.3 Perencanaan NO
DIAGNOSA
INTERVENSI
RASIONAL
KEPERAWATAN
1.
Gangguan komunikasi verbal Sehubungan dengan kurangnya stimulasi bahasa
-
Lakukan latihan komunikasi dengan memperhatikan perkembangan mental
-
Latihan bicara yang sesuai dengan perkembangan anak akan menghindari
anak
-
Lakukan komunikasi secara komprehensif baik verbal maupun non verbal.
-
Berbicara sambil bermain dengan alat untuk mempercepat persepsi anak tentang suatu hal.
-
-
Berikan lebih banyak kata meskipun anak belum mampu mengucapkan dengan benar.
Lakukan sekrening lanjutan dengan mengggunakan Denver Speech Test.
ekploatasi yang berakibat penekanan fungsi mental anak.
-
Komunikasi yang komprehensif akan memperbanyak jumlah stimulasi yang diterima anak sehingga akan memperkuat memori anak terhadap suatu kata.
-
Bermain akan menigkatkan daya tarik anak sehingga frekwensi dan durasi latihan bisa lebih lama.
Anak lebih suka mendengarkan kataakat dari pada mengucapkan karena biasanya kesulitan dalam mengucapkan.
Untuk mengetahui jenis dan beratnya gangguan serta keterlambatan dalam berbicara pada
anak. 2.
Gangguan komunikasi verbal Sehubungan dengan gangguan pendengaran
- Lakukan latihan komunikasi, dan stimulasi dini dengan benda-benda atau dengan menggunakan bahasa isyarat serta biasakan anak melihat artikulasi orang tua dalam berbicara. -
-
Perhatikan kebersihan telinga anak
Agar stimulasi tetap diterima anak sesuai dengan perlembangan mental anak yang didasarkan atas kemampuan penerimaan anak terhadap informasi yang diberikan -
Ganguan pendengaran sering disebabkan oleh adanya hambatan pendengaran akibat adanya kotoran ditelinga.
-
Alat bantu dengar diharapkan mampu mengatasi hambatan pendengaran pada telinga anak.
Kolaborasi dengan rehabilitasi untuk penggunaan alat bantu dengar
3.
Gangguan komunikasi Sehubungan dengan hambatan bahasa
Gunakan bahasa yang sederhana dan umum digunakan dalam komunikasi sehar-hari.
-
Untuk memudahkan pema-haman menghindari stress dan kebingungan anak yang akibat bahasa yang berubah-ubah.
-
Difersifikasi bahasa dapat diberikan jika kemampuan mental anak sudah matang seperti setelah umur 9 tahun, karena perkembangan selsel otak anak sudah mulai maksimal.
Gunakan verifikasi bahasa sesuai dengan tingkat kematangan dan pengetahuan anak.
4.
Kecemasan orang tua Sehubungan dengan ketidakmampuan anak berbicara
-
Gali kebiasaan komunikasi dan stimulasi orang tua terhadap anak.
- Berikan penjelasan tentang kondisi anaknya secara jelas, serta kemungkinan penanganan lanjutan, prognose serta lamanya tindakan atau pengobatan.
5.
Gangguan komunikasi Sehubungan dengan kurangnya kemampuan memori dan kerusakan sistem saraf pusat.
-
Lakukan observasi dan pemeriksaan fisik neurologi secara mendetail.
-
Kolaborasi pemeriksaan EEG
-
Untuk dapat menggali efektivitas dan kemampuan serta usaha yang telah dilakukan oleh orang tua, untuk mengindari overlaping tindakan yang berakibat orang tua menjadi bosan.
-
Pengikutsertaan keluarga terhadap perawatan anak secara langsung akan mampu mengurangi tingat kecemasan orang tua terhadap keadaan anaknya. -
Untuk mengetahui kemungkinan posisi kelainan dalam otak.
-
Untuk mengetahui kemungkinan kelainan pada SSP anak.
6. Diagnosa 6 : Resiko cidera Definsi : Dalam risiko cedera sebagai hasil dari interaksi kondisi lingkungan dengan respon adaptif indifidu dan sumber pertahanan. Faktor resiko :
Eksternal
Mode transpor atau cara perpindahan Manusia atau penyedia pelayanan kesehatan (contoh : agen nosokomial) Pola kepegawaian : kognitif, afektif, dan faktor psikomotor Fisik (contoh : rancangan struktur dan arahan masyarakat, bangunan dan atau perlengkapan) Nutrisi (contoh : vitamin dan tipe makanan) Biologikal ( contoh : tingkat imunisasi dalam masyarakat, mikroorganisme) Kimia (polutan, racun, obat, agen farmasi, alkohol, kafein nikotin, bahan pengawet, kosmetik, celupan (zat warna kain) Internal
Psikolgik (orientasi afektif) Mal nutrisi Bentuk darah abnormal, contoh : leukositosis/leukopenia, perubahan faktor pembekuan, trombositopeni, sickle cell, thalassemia, penurunan Hb, Imunautoimum tidak berfungsi. Biokimia, fungsi regulasi (contoh : tidak berfungsinya sensoris) Disfugsi gabungan Disfungsi efektor Hipoksia jaringan Perkembangan usia (fisiologik, psikososial) Fisik (contoh : kerusakan kulit/tidak utuh, berhubungan dengan mobilitas) NOC : Risk Kontrol Kriteria Hasil :
Klien terbebas dari cedera Klien mampu menjelaskan cara/metode untukmencegah injury/cedera Klien mampu menjelaskan factor resiko dari lingkungan/perilaku personal Mampumemodifikasi gaya hidup untukmencegah injury Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada
Mampu mengenali perubahan status kesehatan NIC : Environment Management (Manajemen lingkungan)
III.
Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan kondisi fisik dan fungsi kognitif pasien dan riwayat riwayat penyakit terdahulu terdahulu pasien Menghindarkan lingkungan yang berbahaya (misalnya memindahkan perabotan) Memasang side rail tempat tidur Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih Menempatkan saklar lampu ditempat yang mudah dijangkau pasien. Membatasi pengunjung Memberikan penerangan yang cukup Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien. Mengontrol lingkungan dari kebisingan Memindahkan barang-barang yang dapat membahayakan Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau pengunjung adanya perubahan status kesehatan dan penyebab penyakit.
DAFTAR PUSTAKA Carpenito, L.D (2009), Nursing (2009), Nursing Diagnois; Application to Clinical Practice, 7th. Edition, Lippincott, Philadelpia, New York.
Kozier Barbara et.al (2012), Fundamental (2012), Fundamental Of Nursing ; Concept, Process and Practice , 5 th Edition, Addison Wesley Nursing, Cuming Publishing, New York. Whaley and Wong (1997), Pediatric (1997), Pediatric Nursing; Clinical Manual, Mosby Year Book, Philadelpia. Whaley and Wong (1996), Nursing (1996), Nursing Care of Infants and Children, Children, 5 th Edition , Mosby Year Book, Philadelpia.
Pelaihari, Mei 2017
Preseptor Klinik
(
)
Preseptor Akademik
(
)