MAKALAH PRESENTASI KASUS “TUMOR PAROTIS”
Disusun oleh: Putri Nuraini 108103000003 Pembimbing : dr. M. Yadi Permana, Sp. B(K)Onk
Kepaniteraan Klinik Bedah Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta Periode 8 April 2013 – 16 Juni 2013
KATA PENGANTAR Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah swt. karena atas rahmat dan karuniaNya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul tumor parotis dengan baik. Shalawat beserta salam semoga tak henti-hentinya tercurahkan kepada uswatun hasanah, Nabi Muhammad saw. bereserta keluarga, sahabat,dan kepada kita semua selaku umatnya semoga mendapatkan syafa’atnya kelak di akhir zaman, Aamiin. Ribuan terima kasih saya sampaikan kepada pembimbing saya, dr.M. Yadi Permana, SpB (K) Onk. yang telah banyak membantu saya menyelesaikan makalah ini. Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, maka dari itu penyusun mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu. Tak ada gading yang tak retak. Begitu pula dengan makalah ini. Penyusun merasa masih banyak kekurangan, karena itu segala kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini akan penyusun terima dengan hati terbuka. Akhir kata, penyusun berharap makalah ini dapat bermanfaat, bagi pembaca umumnya dan bagi penyusun khususnya. Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh
Jakarta, Mei 2013
Penyusun
BAB I PENDAHULUAN Kelenjar liur atau kelenjar saliva adalah kelenjar yang mensekresikan cairan saliva, terbagi menjadi dua golongan, yaitu mayor dan minor. Kelenjar saliva mayor terdapat tiga pasang, yaitu kelenjar parotis, kelenjar submandibular, dan kelenjar sublingual. Kelenjar saliva minor di mukosa traktus aerodigestif atas termasuk rongga mulut, terutama selaput lendir palatum. 1 Kelenjar saliva mayor dan minor menghasilkan saliva yang berbeda-beda. Kelenjar parotis mensekresikan liur serosa, sedangkan kelenjar submandibula mensekresikan liur mukosa.1 Kelainan pada parotis meliputi tumor jinak maupun ganas, batu di duktus, infeksi bakteri maupun virus, dan berbagai gangguan autoimun yang jarang ditemukan. Pembahasan dalam makalah ini akan lebih fokus kepada tumor yang terjadi di parotis, baik tumor jinak maupun ganas. Neoplasma kelenjar liur jarang terjadi, hanya 3-6% dari tumor kepala leher, tumor kelenjar liur mengenai parotis 85%, submandibula 3-15%, kelenjar liur minor 5-8% dan sublingual <1%. Makin kecil kelenjar liur yang terkena, makin besar kemungkinan keganasan.1 Secara klinis, jika didapatkan benjolan kelenjar parotis, maka cuping telinga akan terangkat ke atas. Tumor pleiomorf tidak nyeri, tumbuh berangsur dan dapat menjadi besar sekali bila dibiarkan.1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi, Histologi, Dan Fisiologi Kelenjar Parotis 2.1.1 Anatomi Kelenjar parotis merupakan kelenjar terbesar dibandingkan kelenjar saliva lainnya dengan berat sekitar 15-30 gram. Terletak di lateral wajah, yaitu di preaurikula, sampai ke posterior mandibula. Dilewati oleh nervus fasialis yang membaginya menjadi dua lobus, yaitu lobus profunda dan superfisial. Lobus superficial terletak di superficial dari bagian posterior otot masseter, ke atas, hingga ke arkus zigomatik, ke bawah mencapai margo inferior os mandibular. Lobus profunda ke atas berbatasan dengan kartilago meatus akustikus eksternal, terletak antara prosessus mastoideus tulang temporal dan ramus mandibula.1- 4 Duktus Stensen dengan panjang lebih kurang 4- 7cm, muncul dari anterior kelenjar. Duktus ini keluar dari permukaan lateral otot maseter, menembus jaringan lemak pipi dan otot businator. Ujung saluran ini berada di mukosa pipi rongga mulut, berhadapan dengan gigi molar kedua bagian atas. Kelenjar parotis aksesorius dapat ditemukan di sepanjang bagian anterior kelenjar dan pada duktus Stensen. Kelenjar ini dijumpai berkisar 20%.1-4
Perdarahan kelenjar parotis berasal dari arteri karotis eksterna, dimana arteri ini berjalan medial dari kelenjar parotis, kemudian mempercabangkan arteri maksilaris
dan
arteri
temporalis
superior.
Arteri
temporalis
superior
mempercabangkan arteri fasialis tranversalis yang berjalan di anterior zigoma dan saluran parotis, kemudian memperdarahi kelenjar parotis, saluran parotis dan otot
maseter. Vena maksilaris dan vena temporalis superfisialis bersatu membentuk vena retromandibuler yang berjalan di sebelah dalam saraf fasialis, kemudian menyatu dengan vena jugularis eksterna. 4 Fungsi sekretomotorik dihantarkan melalui serabut saraf parasimpatis lewat saraf glosofaringeus. Dalam perjalanan yang rumit serabut saraf ini memasuki kelenjar parotis setelah melewati ganglion otik dan dihantarkan melalui saraf aurikulotemporalis. 3
Lobus superfisial dari kelenjar parotis mengandung lebih kurang 3-20 kelenjar limfe, terletak diantara kelenjar parotis dengan kapsulnya. Kelenjar limfe ini merupakan saluran dari kelenjar parotis, liang telinga luar, daun telinga, kulit kepala, kelopak dan kelenjar air mata. Lapisan kedua terdapat pada kelenjar parotis profunda dan merupakan saluran dari kelenjar parotis, liang telinga luar, telinga tengah,
nasofaring, dan palatum mole. Kedua sistem ini mengalir ke sistem limfe servikal superfisialis dan profunda.3 Nervus fasialis sebenarnya terdiri dari serabut saraf motorik saja, namun pada perjalanannya ke tepi, nervus intermedius bergabung dengannya. Nervus intermedius ini tersusun oleh serabut sekretomotorik untuk glandula salivatorius dan serabut yang menghantarkan impuls pengecap dari 2/3 bagian depan lidah. Sebagai saraf motorik mutlak nervus fasialis keluar dari foramen stilomastoideum dan memberikan cabang-cabang kepada otot stilohioid dan venter posterior muskulus digastrikus dan otot oksipitalis. Pangkal sisanya menuju ke glandula parotis. Disitu ia bercabang cabang lagi untuk mempersarafi otot wajah dan plastima. Cabang-cabang tersebut diantaranya adalah cabang temporal, zigomatikus, bukalis, mandibularis dan cabang servikalis. 2.1.2 Histologi Kelenjar ini dibungkus oleh jaringan ikat padat dan mengandung sejumlah besar enzim antara lain amylase, lisozim, fosfatase asam, aldolase, dan kolinesterase. Kelenjar parotis adalah kelenjar tubuloasinosa kompleks, yang pada manusia adalah serosa murni. Kelenjar ini dikelilingi oleh kapsula jaringan ikat yang tebal, dari sini ada septa jaringan ikat termasuk kelenjar dan membagi kelenjar menjadi lobulus yang kecil. Kelenjar parotis mempunyai sistem saluran keluar yang rumit sekali dan hampir semua duktus ontralobularis adalah duktus striata. Saluran keluar yang utama yaitu duktus parotidikius steensen terdiri dari epitel berlapis semu, bermuara kedalam vestibulum rongga mulut berhadapan dengan gigi molar kedua atas.1,3
2.1.3
Fisiologi Pada kondisi basal, sekitar 0,5 mililiter saliva, hampir seluruhnya dari tipe mucus, disekresikan setiap detik sepanjang waktu kecuali selama tidur, saat sekresi menjadi sangat sedikit. Sekresi ini sangat berperan penting dalam mempertahankan kesehatan jaringan rongga mulut. Saliva membantu mencegah proses kerusakan jaringan mulut yang dapat disebabkan oleh bakteri dengan cara membantu membuang bakteri pathogen juga partikel-partikel makanan yang memberi dukungan metabolic bagi bakteri dan saliva juga mengandung beberapa factor yang menghancurkan bakteri, salah satunya adalah ion tiosianat dan lainnya adalah enzim proteolitik terutama lizozim. Terakhir, saliva juga mengandung sejumlah besar antibodi protein yang dapat menghancurkan bakteri rongga mulut, termasuk yang menyebabkan karies gigi.3,5,6 Setiap hari satu sampai dua liter air liur diproduksi dan hampir semuanya ditelan dan direabsorbsi. Proses sekresi dibawah kendali saraf otonom. Makanan dalam mulut merangsang serabut saraf yang berakhir pada nukleus pada traktus solitaries dan pada akhirnya merangsang nukleus saliva pada otak tengah. Pengeluaran air liur juga dirangsang oleh penglihatan, penciuman melalui impuls dari kerja korteks pada nukleus saliva batang otak. Aktivitas simpatis yang terus menerus menghambat produksi air liur seperti pada kecemasan yang menyebabkan mulut kering. Obatobatan yang menghambat aktivitas parasimpatis juga menghambat produksi air liur seperti obat antidepresan, tranquillizers, dan obat analgesik opiate dapat menyebabkan mulut kering (Xerostomia).3,5,7 Saluran air liur relatif impermeabel terhadap air dan mensekresi kalium, bikarbonat, kalsium, magnesium, ion fosfat dan air. Jadi produk akhir dari kelenjar air liur adalah hipotonik, cairan yang bersifat basa yang kaya akan kalsium dan fosfat. Komposisi ini penting untuk mencegah demineralisasi enamel gigi.7 Kelenjar parotis menghasilkan suatu sekret yang kaya akan air yaitu serous. Saliva pada manusia terdiri atas 25% sekresi kelenjar parotis.5
2.2
Tumor Parotis 2.2.1
Definisi Tumor adalah jaringan baru (neoplasma) yang timbul dalam tubuh akibat pengaruh berbagai faktor penyebab tumor yang menyebabkan jaringan setempat pada tingkat gen kehilangan kendali normal atas pertumbuhannya. Sesuai definisi Willis, neoplasma adalah massa abnormal jaringan yang pertumbuhannya berlebihan dan tidak terkoordinasi dengan pertumbuhan jaringan normal serta terus demikian walaupun rangsangan yang memicu perubahan tersebut telah berhenti. Hal mendasar tentang asal neoplasma adalah hilangnya responsivitas terhadap faktor pengendali pertumbuhan yang normal.8 Sel bisa menjadi kanker karena adanya kerusakan DNA. Didalam sel normal, ketika DNA mengalami kerusakan, maka sel yang lain akan memperbaikinya atau sel rusak tersebut akan mati. Sedangkan didalam sel kanker, kerusakan DNA tersebut tidak diperbaiki. Sel tersebut juga tidak mati seperti seharusnya. Bahkan sel ini akan membentuk sel baru yang tidak dibutuhkan oleh tubuh dan memiliki kerusakan DNA yang sama seperti sel pertama.8
2.2.2
Epidemiologi Tumor pada kelenjar liur relative jarang terjadi, presentasinya kurang 2-5% dari seluruh keganasan pada kepala dan leher. Dari tumor kelenjar saliva, insidens tumor parotis paling tinggi, yaitu sekitar 80%, tumor submandibular 10%, tumor sublingual 1%, tumor kelenjar saliva kecil dalam mulut 1%.1
Sejak periode 2000-2008 angka kejadian lebih sering pada laki-laki dengan insidensi sekitar 1.41 kasus per 100.000 laki-laki, dibandingkan dengan perempuan yang hanya 1.00. bisa mengenai semua umur, namun kebanyakan pasien didiagnosis pada usia >64 tahun.9 Sebagian besar tumor parotis adalah jinak. Tumor jinak yang paling sering adalah mixed tumor / pleomorfik adenoma, dan Wartin’s tumor. Hanya sekitar 20% tumor parotis yang ganas.9,10 Keganasan biasanya asimtomatik, tetapi tanda dan gejala yang menunjukkan keganasan biasanya adalah pertumbuhan tumor yang cepat membesar, nyeri, trismus, paralisis nervus fasialis atau yang lainnya. Pemeriksaan penunjang yang sensitivitasnya 95% pada keganasan kelenjar saliva adalah dengan FNAB. Semua pasien dengan massa di kelenjar saliva nya harus
dilakukan
pemeriksaan
FNAB
untuk
mengetahui
diagnosis
histologinyadan untuk perencanaan terapi pembedahan. Pemeriksaan CT Scan dan MRI juga sangat membantu untuk mengetahui apakah letak tumor di lobus superfisial atau profunda. Keganasan lebih sering terjadi pada tumor parotis yang mengenai lobus profunda. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa tumor pada lobus profunda sebanyak 35%nya adalah maligna, dan hanya 10% nya yang benigna.10 2.2.3
Etiologi Penyebab terjadinya tumor kelenjar parotis masih belum jelas karena angka kejadiannya yang masih jarang. Paparan rokok dan konsumsi alkohol tidak ada hubungannya dengan pertumbuhan tumor parotis. Sejauh ini, paparan radiasi ion sudah ditetapkan sebagai faktor resiko terjadinya tumor parotis. Seseorang yang pernah mengalami terapi radiasi dan terapi UV pada kepaladan leher meningkatkan faktor risiko. Penelitian terakhir mengatakan bahwa terjadi peningkatan angka kejadian tumor parotis, terutama di Israel dan Inggris. Terdapat hipotesis bahwa peningkatan angka kejadian tumor parotis ini ada hubungannya dengan meningkatnya penggunaan telepon genggam. Namun dari penelitian yang dilakukan oleh Shu, dkk ini didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara peningkatan penggunaan telepon genggam dengan peningkatan
angka kejadian tumor parotis. Faktor resiko lain yang mempengaruhi terjadinya karsinoma kelenjar air liur adalah pekerjaan, nutrisi, dan genetik.9,11 2.2.4
Klasifikasi Tumor Parotis WHO tahun 2005 mengklasifikasikan tumor kelenjar saliva menjadi jinak dan ganas. Berdasarkan histopatologinya dibagi menjadi epitelial dan non epitelial. Jenis epitelial sangat jarang terjadi, sekitar 2-5% dari kasus tumor kelenjar saliva. Tabel 1. Klasifikasi histopatologi WHO/AJCC Tumor jinak Tumor ganas plemorphic adenoma ( mixed mucoepidermoid carcinoma benign tumor)
acinic cell carcinoma
monomorphic adenoma
adenoid cystic carcinoma
papillarycystadenoma
adenocarcinoma
lymphomatosum
(Warthin’s epidermoid carcinoma
tumor)
small cell carcinoma lymphoma Malignant mixed tumor Carcinoma
ex
pleomorphic
adenoma
(carcinosarcoma) a. Tumor jinak 1) Pleomorfik adenoma (mixed tumor jinak): Merupakan tumor tersering pada kelenjar liur dan paling sering terjadi pada kelenjar parotis. Dinamakan pleomorfik karena terbentuk dari sel-sel epitel dan jaringan ikat. Pertumbuhan tumor ini lambat berupa benjolan pada depan bawah daun telinga atau angulus mandibula yang tidak memberikan gejala. Kondisi ini membuat luput dari perhatian pasien, sehingga pasien datang untuk pemeriksaan ke petugas kesehatan setelah muncul benjolan setidaknya 1 tahun. Pada perabaan didapatkan massa berbentuk
bulat,
permukaan
licin,
kadang
berbenjol-benjol,
dan
konsistensinya lunak, berbatas tegas, tampak berkapsul, dan ukuran terbesarnya jarang melebihi 6 cm, tidak nyeri tekan dan dapat digerakkan.12,13
Secara histologi dikarakteristik dengan struktur yang beraneka ragam.biasanya terlihat seperti gambaran lembaran, untaian atau seperti pulau-pulau dari spindel atau stellata. Tumor ini, yang umumnya terbentuk di parotis superfisial, menyebabkan pembengkakan tak nyeri di sudut rahang dan mudah diraba sebagai massa diskret. Tumor biasanya sudah ada selama beberapa tahun sebelum dibawa ke dokter. Walaupun berkapsul, pemeriksaan histologik sering memperlihatkan tempat tumor menembus kapsul. Oleh karena itu, diperlukan batas reseksi yang adekuat untuk mencegah kekambuhan. Hal ini mungkin memerlukan pengorbanan saraf fasialis, yang berjalan melalui kelenjar parotis. Secara rerata, sekitar 10% eksisi diikutioleh kekambuhan. Penatalaksanaanya yaitu eksisi bedah dari kelenjar yang terkena. 2,12,13
Gambaran histologi adenoma pleomorfik Adenoma pleomorfik sering mengenai wanita pada dekade umur ke-IV, namun pada laki-laki adenoma pleomorfik bisa terjadi pada anak-anak dan orang tua. Sehingga dapat dikatakan bahwa insidensi adenoma pleomorfik dapat terjadi pada semua umur, dan kasus terbanyak terutama terjadi pada dekade IV - V. 2,12,13 Umur rata-rata penderita adenoma pleomorfik adalah 43 tahun, dan hampir 40% kasus yang dicatat AFIP mengenai penderita berumur kurang
dari 40 tahun. Adenoma pleomorfik 10 kali lebih sering terjadi pada kelenjar liur mayor parotis daripada kelenjar submandibuler, jarang terjadi pada kelenjar liur sublingual. 2,12,13 2) Warthin's tumor ( kistadenoma limfomatosum papiler, adenoma kistik papiler). Tumor ini tampak rata, lunak pada daerah parotis, memiliki kapsul apabila terletak pada kelenjar parotis dan terdiri atas kista multipel. Histologi Warthin's tumor yaitu : (1) lapisan epitel dua deret yang melapisi rongga yang bercabag, kistik, atau mirip celah, dan (2) jaringan limfoid didekatnya yang kadang-kadang membentuk sentrum germinativum. Angka kekambuhan sekita 10% diperkirakan disebabkan oleh eksisi yang tidak komplet, sifat multisentrik tumor, atau adanya tumor primer kedua. Perubahan menjadi ganas tidak pernah dilaporkan.Lebih sering ditemukan pada kelenjar mayor. 2,8,12,13 3) Tumor monomorphic Tumor yang tumbuh lambat ini hanya berkisar kurang dari 5% dari seluruh angka kejadian tumor kelenjar lidah. Monomorfik adenoma dibedakan dari pleomorfik adenoma karena tumor ini hanya memiliki satu morfologi sel. Monomorfik adenoma memiliki subklasifikasi menjadi grup neoplasma epitelial dan mioepitelial yang termasuk didalamnya yaitu basal cell adenomas, canalicular adenomas, oncocytomas atau oxyphilic adenomas, dan myoepitheliomas.2, b.
Tumor Jinak Nonepitelial 1) Hemangioma Kebanyakan terajadi pada anak-anak biasnya pada kelenjar parotis. Biasanya asimptomatik, unilateral dan massa yang kompresibel. berwarna merah gelap, berlobus-lobus dan tidak berkapsul. Penanganan dengan pemberian steroid 2-4 mg/kgBB/hari.40-60% hemengioma tidak berespon terhadap steroid. 2 2) Limfangioma (higroma kistik) Merupakan tumor bagian kepala dan leher yang paling sering pada anak-anak, eksisi merupakan penanganan piliha bila tumor terletak pada
struktur yang vital.Limfangioma jarang menimbulkan gejala-gejala obstruksi jalan napas dan eksisi biasanya untuk alasan kosmetik. 2
c.
Tumor Ganas Kelenjar Liur 1) Mukoepidermoid karsinoma Kebanyakan berasal dari kelenjar parotis dan biasanya memiliki gradasi yang rendah.2 Presentasi yang paling umum adalah adanya massa di daerah pipi posterior tanpa rasa sakit dan tanpa gejala > 80% pasien. Sekitar 30% dari pasien mengeluhkan rasa sakit yang terkait dengan massa, meskipun keganasan kelenjar parotis sebagian besar tidak sakit. Kemungkinan besar rasa sakit menunjukkan adanya invasi perineural yang memungkinkan adanya keganasan pada pasien dengan massa parotis. Dari pasien dengan tumor ganas parotis, 70-20% terdapat adanya kelemahan atau kelumpuhan saraf wajah, yang hampir tidak pernah menyertai lesi jinak dan menunjukkan prognosis buruk. Sekitar 80% dari pasien dengan kelumpuhan saraf wajah telah terjadi metastasis nodul pada saat diagnosis. Pasien-pasien ini memiliki kelangsungan hidup rata-rata 2,7 tahun dan selama 10 tahun sebesar 14-26%. Aspek penting yang lain dari anamnesis meliputi lama waktu timbulnya massa, riwayat lesi kulit sebelumnya atau eksisi lesi parotis. Pertumbuhan massa yang relatif lambat cenderung jinak. Riwayat adanya karsinoma sel skuamosa, melanoma ganas, atau histiocytoma bersifat ganas menunjukkan metastasis intraglandular atau metastasis ke kelenjar getah bening parotis. Kemungkinan besar tumor parotis yang kambuh menunjukkan reseksi awal yang tidak memadai. Sebuah laporan adanya sakit pada telinga mungkin menunjukkan perluasan tumor ke dalam saluran pendengaran. Adanya keluhan mati rasa sering menunjukkan invasi saraf pada cabang kedua atau ketiga dari saraf trigeminal.
Pada pasien dengan tumor kelenjar saliva, diindikasikan pemeriksaan kepala dan leher secara cermat. Perhatian harus langsung pada ukuran, lokasi dan mobilitas dari tumor. Ada atau tidak ada penekanan dari tumor sebaiknya
dicatat.
Adanya
paralisis
nervus
fasialis
seharusnya
meningkatkan kecurigaan adanya suatu keganasan pada pasien, walaupun jarang, tumor jinak dapat juga menyebabkan paralisis nervus facialis. 2) Kista Adenoid karsinoma Tumor ini merupakan suatu basaloid tumor yang terdiri dari sel-sel epitel dan myoepitel dengan gambaran morfologi yang bervariasi antara cribriform, tubular, dan solid. Tumor ini merupakan neoplasma malignan yang jarang terjadi.1,21 Tumor ini dapat mengenai semua umur dengan insiden paling tinggi pada usia pertengahan dan usia tua. Tidak ada perbedaan insiden antara pria dan wanita. Pertumbuhannya lambat dan kebanyakan memiliki gradasi yang rendah. dapat berulang setelah dilakukan pembedahan, kadang-kadang beberapa bulan setelah operasi.1,21 Gejala klinis yang terjadi pada tumor ini tergantung pada ukuran tumor dan lokasi dari tumor. Pada lesi yang dini pada kelenjar liur, tampak adanya massa dengan pertumbuhan yang lambat tanpa rasa nyeri pada daerah mulut ataupun wajah. Pada lesi yang sudah lanjut, gejala yang timbul disertai dengan rasa nyeri dan adanya nervus paralyse oleh karena sel-sel tumor sudah menginvasi saraf perifer.1,21 Pemeriksaan radiologi berupa MRI dan USG dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosa terutama pada tumor yang sudah meluas ke organ-organ sekitarnya.1,21 Pada sediaan makroskopis karsinoma ini berbentuk bulat, solid, dan tidak berkapsul. Warna coklat terang dan konsistensi kenyal dengan ukuran yang bervariasi. Pada pemeriksaan histopatologi, karsinoma ini mempunyai tiga gambaran utama: tubular, cribriform, dan solid.1,21
Gambaran histologi kista adenoma karsinoma
3) Adenokarsinoma Terdapat beberapa tipe adenokarsinoma: a)
Karsinoma sel asinik Paling banyak berasal dari kelenjar parotis dan pertumbuhannya lambat
b)
Adenokarsinoma
polimorfik
grade rendah Kebanyakan berasal dari kelenjar minor c)
Adenokarsinoma
yang
tidak
dispesifikasikan: Bila dilihat di mikroskop tumor ini memiliki penempakan yang cukup untuk disebut adenokarsinoma, tetapi belim memiliki penampakan untuk dispesifikasikan.sering berasal dari kelenjar parotis dan kelenjar minor. d)
Adenokarsinoma yang jarang: Contohnya
seperti
basal
sel
adenokarsinoma,
clear
cell
adenokarsinoma, kistadenokarsinoma, sebaceus adenokarsinoma, musinous adenokarsinoma.8
d.
Mixed tumor maligna Terdiri atas 3 tipe yaitu, ex adenoma pleomorfik, karsinosarkoma dan mixed tumor metastasis.kasrinoma ex pleomorfik adenoma merupakan tipe yang paling banyak. Karsinoma ex pleomorfik adenoma merupakan kanker yang berkembang dari mixed tumor jinak (pleomorfik adenoma). Kebanyakan terjdi pada kelenjar liur mayor. 8
e.
Kanker kelenjar liur lainnya yang jarang •
squamous sel karsinoma: terutama pada laki-laki yang tua. Dapat berkembang setelah terapi radiasi untuk kanker yang lain pada area yang sama.
•
epitelial-mioepitelial karsinoma
•
anaplastik small sel karsinoma
•
karsinoma yang tidak berdiferensiasi
•
limfoma non hodgkin7
2.2.5 Prosedur Diagnostik A. Pemeriksaan Klinis 1. Anamnesa Anamnesa dengan cara menanyakan kepada penderita atau keluarganya tentang : a.) Keluhan 1. Pada umumnya hanya berupa benjolan
soliter, tidak nyeri, di
pre/infra/retro aurikula (tumor parotis), atau di submandibula (tumor sumandibula), atau intraoral (tumor kelenjar liur minor) 2. Rasa nyeri sedang sampai hebat (pada keganasan parotis atau submandibula) 3. Paralisis n. fasialis, 2-3% (pada keganasan parotis) 4. Disfagia, sakit tenggorok, gangguan pendengaran (lobus profundus parotis terlibat) 5. Paralisis n.glosofaringeus, vagus, asesorius, hipoglosus, pleksus simpatikus (pada karsinoma parotis lanjut) 6. Pembesaran kelenjar getah bening leher (metastase) b.)
Perjalanan penyakit ( progresivitas penyakit)
c.)
Faktor etiologi dan resiko (radioterapi kepala leher, ekspos radiasi)
d.)
Pengobatan yang telah diberikan serta bagaimana hasil pengobatannya
e.)
Berapa lama kelambatan
Pada penelitian retrospective yang dilakukan pada 104 pasien dengan tumor kelenjar parotis yang diterapi di ENT clinic timisoara pada tahun 2001-2009 didapatkan gejala-gejala yang paling sering dikeluhkan pasien, yaitu paling sering adalah konsistensi keras, tumbuh cepat,
fiksasi dalam, nyeri, nodus yang
terpalpasi, keterlibatan nervus fasialis, pembengkakan dinding faring lateral, dan keterlibatan perubahan kulit.
2. Pemeriksaan fisik a.) Status general Pemeriksaan umum dari kepala sampai kaki, tentukan : 1. penampilan (Karnofski / WHO) 2. keadaan umum adakah anemia, ikterus, periksa T,N,R,t, kepala, toraks, abdomen, ekstremitas,vertebra, pelvis 3. apakah ada tanda dan gejala ke arah metastase jauh (paru, tulang tengkorak, dll) b.) Satus lokal 1. Inspeksi (termasuk inraoral, adakah pedesakan tonsil/uvula)
2. Palpasi (termasuk palpasi bimanual, untuk menilai konsistensi, permukaan, mobilitas terhadap jaringan sekitar) 3. Pemeriksaan fungsi n.VII,VIII,IX,X,XI,XII karena lintasan nervusnervus tersebut dekat dengan kelenjar parotis.
Lintasan nervus kranialis yang dekat dengan kelenjar parotis c.) Status regional Palpasi apakah ada pembesaran kelenjar getah bening leher ipsilateral dan kontralaeral. Bila ada pembesaran tentukan lokasinya, jumlahnya, ukuran terbesar, dan mobilitasnya. Pemeriksaan nervus fasialis: A. Dalam keadaan diam, perhatikan : •
Asimetri muka (lipatan nasolabial)
•
gerakan-gerakan abnormal (tic fasialis, grimacing, kejang tetanus/rhesus sardonicus, tremor, dsb)
B. Atas perintah pemeriksa
1. Mengangkat alis, bandingkan kanan dengan kiri. 2. Menutup mata sekuatnya (perhatikan asimetri), kemudian pemeriksa mencoba membuka kedua mata tersebut (bandingkan kekuatan kanan dan kiri). 3. Memperlihatkan gigi (asimetri). 4. Bersiul dan mencucu (asimetri/deviasi ujung bibir). 5. Meniup sekuatnya (bandingkan kekuatan udara dari pipi masing-masing). 6. Menarik sudut mulut ke bawah (bandingkan konsistensi otot platisma kanan dan kiri). Pada kelemahan ringan, kadang-kadang tes ini dapat untuk mendeteksi kelemahan saraf fasialis pada stadium dini. 3. Pemeriksaan Penunjang Terdapat beberapa macam pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk penegakan diagnosis tumor parotis meliputi pemeriksaan histopatologik dan pemeriksaan radiologik ( foto polos, sialografi, CT- Scan, dan MRI) a.
Pemeriksaan Histopatologik •
Biopsi Aspirasi Jarum Halus (Fine – Needle Aspiration Biopsy) Biopsi Aspirasi Jarum halus merupakan alat yang sederhan untuk diagnostic. Biopsi aspirasi jarum halus memiliki kelebihan yaitu tingkat keakuratan yang cukup tinggi dengan sensitifitas 88-98% dan spesifitas 94% pada tumor jinak. Biopsi aspirasi jarum halus juga sensitive dalam mendeteksi keganasan sebesar 58-98 % dengan spesifitas 71-88%. Suatu penelitian didapatkan diagnosis sitologi tumor jinak negatif palsu sebanyak 4 dari 27 pasien (14.8%). Kesalahan diagnosis ini bisa disebabkan oleh bias sampel (sampelnya terlalu sedikit / tidak adekuat), dan bisa juga karena kesalahan interpretasi (salah baca). Tekhnik ini sederhana, dapat ditoleransi dengan komplikasi yang minimal. Selain untuk menegakan diagnosis defenitif, pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk menentukan tindakan tepat selanjutnya dan untuk evaluasi preoperative..17,18
•
Bedah Diagnostik Biopsi pembedahan sebaiknya dihindari. Biopsi eksisional dan enukleasi massa parotis berhubungan dengan peningkatan rekurensi tumor, terutama pada adenoma pleiomorfik. Penanganan bedah yang baik untuk
tumor parotis adalah reseksi bedah komplit melalui parotidektomi dengan identifikasi dan preservasi nervus fasialis. Identifikasi nervus fasialis ditujukan agar dapat dilakukan eksisi tumor yang adekuat dan mencegah cedera nervus fasialis. Cara ini memastikan batas jaringan sehat yang adekuat disekeliling tumor, sehingga pada kebanyakan kasus tidak hanya bersifat diagnostic, tetapi juga kuratif. Pemeriksaan ini jarang dilakukan dan biasanya dilakukan hanya pada pasien dengan keganasan yang tidak dapat dioperasi. Pada kasus seperti ini, biopsy dengan insisi terbuka berguna dalam diagnostic histopatologi dan terapi radiasi paliatif atau kemoterapi.17 b. Pemeriksaan Radiologi •
Sialografi Tekhnik ini memerlukan suntikan bahan kontras yang larut dalam air atau minyak langsung keduktus submandibula atau parotis. Setelah pemakaian anastesi topical pada daerah duktus, tekanan yang lembut dilakukan pada kelenjar, dan muara duktus yang kecil diidentifikasi oleh adanya aliran air liur. Muara duktus dilebarkan dengan menggunakan sonde lakrimal. Kateter ukuran 18, mirip dengan jenis yang digunakan untuk pemberian cairan intravena, atau pipa polietilen secara lembut dimasukkan sekitar 2 cm kedalam duktus.. Kateter dipastikan pada sudut mulut. Tekhnik ini sama untuk kelenjar parotis
dan
submandibula.
Bagaimanapun
kanulasi
duktus
kelenjar
submandibula, memebutuhkan kesabaran dari pada pelebaran duktus parotis. Film biasa sinar X diperoleh untuk meyakinkan bahwa tidak terdapat substansi radioopak, seperti batu dalam kelenjar. Antara 1,5 dan 2 ml media kontras disuntikan secara lembut melalui kateter kedalam kelenjar sampai penderita merasakan adanya tekanan tetapi tidak melewati tititk ketika penderita mengeluh
nyeri.
Dilakukan
foto
lateral,
lateral
oblik,
oblik,
dan
anteriposterior. Ketika kateter diangkat penderita dapat diberikan sedikit sari buah lemon. Dalam 5 sampai 10 menit pengambilan foto ulang. Normal jika seluruh media kontras dikeluarkan dalam waktu itu. Persistensi media kontras dalam kelenjar 24 jam setelah test ini pasti abnormal.11,12
Terdapat keuntungan dan kerugian dari bahan kontras yang dapat larut dalam air dan lemak. Sekarang ini Pantopaque dan Lipidol merupakan bahan kontras yang paling popular. Sialografi lebih berguna pada gangguan – gangguan kronis kelenjar parotis seperti sialadenitis rekuren, sindrom sjorgen, atau obstruksi duktus seperti striktur. sialografi tidak berguna untuk membedakan massa jinak dari massa keganasan. Sialografi merupakan kontra indikasi terdapatnya peradangan akut kelenjar yang baru terjadi.12 •
CT-Scan Pemeriksaan CT scan dengan kontras dapat mengetahui letak tumor berada di lobus superfisial atau lobus profunda. Gambaran kalsifikasi dalam massa biasanya ditemukan pada adenoma pleomorfik. Nervus fasialis dan duktus stensen sulit dilihat dengan menggunakan CT scan.
12,17, 18
Gambar 4. Tumor Parotis Ganas. Gambar menunjukkan massa berbatas tegas dalam kelenjar parotis kiri, yang telah terbukti sebagai adenoma pleomorfik18 •
MRI lebih unggul daripada CT scan dalam memvisualisasikan tepi tumor. Nervus fasialis dan duktus stensen dengan jelas dapat terlihat. Bisa digunakan untuk mengetahui letak tumor parotis berada dalam lobus superfisial atau profunda. Selain itu juga untuk membedakan tumor jinak atau ganas. Lesi jinak biasanya
tepinya halus, dengan garis terang atau kapsul; tapi
bagaimanapun juga, banyak keganasan grade rendah yang memiliki pseudokapsul dan gambaran seperti tumor jinak. Keganasan grade tinggi akan menunjukkan gambaran tepi yang menginfiltrasi. 12,17,18
Gambar 5. Adenoma pleomorfik pada kelenjar parotis kanan potongan axial leher11 CT-Scan dan MRI digunakan untuk menemukan tumor dan menggambarkan luasnya. Sedangkan biopsi untuk menegaskan jenis sel.18 2.2.6
Staging Tumor Parotis Tabel 3: Klasifikasi TNM The American Joint Committee on Cancer (AJCC) 13
TNM
Keterangan
ST
T
N
M
Tx
Tumor primer tak dapat ditentukan
I
T1
N0
M0
T2
N0
M0
T0 T1 T2
Tidak ada tumor primer Tumor < 2cm, tidak ada ekstensi ekstraparenkim Tumor >2cm-4cm, tidak ada ekstensi ektraparenkim
II III
T3 T1
N0 N1
M0 M0
IV
T2 T4
N1 N0
M0 M0
tanpa terlibat n.VII
T3
N1
M0
Tumor >6cm, atau ada invasi ke n.VII/dasar
T4 Tiap
N1 N2
M0 M0
tengkorak
T
N3
M0
T3
T4
Tumor >4cm-6cm, atau ada ekstensi ekstraprenkim
Tiap
Tiap
T
N
M1
Tiap T Nx N0 N1
Metastase k.g.b tak dapat ditentukan Tidak ada metastase k.g.b Metastase k.g.b tunggal <3cm, ipsilateral
N2
Metastase
N2a N2b N2c N3
ipsilateral/bilateral/kontralateral Metastase k.g.b tunggal >3cm-6cm, ipsilateral Metastase k.g.b multipel > 6cm, ipsilateral Metastase k.g.b > 6cm, bilateral/kontralateral Metastase k.g.b >6cm
Mx M0 M1
Metastse jauh tak dapat ditentukan Tidak ada metastase jauh Metastase jauh
2.2.7
k.g.b
tunggal/multipel
>3cm-6cm,
Tatalaksana Tumor Parotis15 Terapi pilihan utama untuk tumor kelenjar liur ialah pembedahan. Radioterapi sebagai terapi ajuvan pasca bedah diberikan hanya atas indikasi, atau diberikan pada karsinoma kelenjar liur yang inoperabel. Kemoterapi hanya diberikan sebagai ajuvan, meskipun masih dalam penelitian, dan hasilnya masih belum memuaskan. 1. Tumor operabel a. Terapi
utama ( pembedahan). Pilihan pengobatan untuk neoplasma
kelenjar parotis adalah melalui pembedahan. Sebagian besar tumor parotis jinak dan ganas dapat diatasi dengan parotidektomi superfisial atau total sesuai dengan lokasi tumor dengan preservasi nervus fasilis. Parotidektomi
superfisial.
Parotidektomi
superfisial
adalah
tindakan pengangkatan massa tumor dengan kelenjar parotis lobus superfisial. Dilakukan pada tumor jinak parotis lobus superfisialis.
Parotidektomi total. Parotidektomi total adalah pengangkatan massa tumor dengan seluruh bagian kelenjar parotis dilakukan pada: a. Tumor
ganas
parotis
yang
belum
ada
ekstensi
ekstraparenkim dan n.VII b. Tumor jinak parotis yang mengenai lobus profundus Parotidektomi total diperluas, dilakukan pada: Tumor ganas parotis yang sudah ada ekstensi ekstraparenkim atau n.VII Deseksi leher radikal (RND), dikerjakan
pada: Ada metastase
k.g.b.leher yang masih operabel b. Terapi tambahan Meskipun terapi primer tumor ganas kelenjar liur adalah dengan pembedahan, terapi radiasi juga dianjurkan karena memiliki efek menguntungkan
jika
digabungkan
dengan
pembedahan
yaitu
meningkatkan hasil terapi. Selain itu berperan sebagai terapi primer untuk tumor yang sudah tidak dapat direseksi. Ada keadaan di mana terapi radiasi merupakan indikasi, yaitu: 1. high grade malignancy 2. masih ada residu makroskopis atau mikroskopis 3. tumor menempel pada syaraf ( n.fasialis, n.lingualis, n.hipoglosus, n. asesorius ) 4. setiap T3,T4 5. karsinoma residif 6. karsinoma parotis lobus profundus Radioterapi sebaiknya dimulai 4-6 minggu setelah pembedahan untuk memberikan penyembuhan luka operasi yang adekwat, terutama bila telah dikerjakan alih tandur syaraf. •
Radioterapi lokal diberikan pada lapangan operasi meliputi bekas insisi sebanyak 50 Gy dalam 5 minggu.
•
Radioterapi regional/leher ipsilateral diberikan pada T3,T4, atau high grade malignancy Baik konvensional dan neutron-beam terapi radiasi telah
dianjurkan sebagai single-modalitas pengobatan untuk T1 dan T2 neoplasma ganas kelenjar ludah. Pendekatan ini kontroversial, tetapi dapat dipertimbangkan jika ada kontraindikasi nyata untuk operasi.14 2. Tumor inoperabel a.
Terapi utama Radioterapi
b.
: 65 – 70 Gy dalam 7-8 minggu
Terapi tambahan Kemoterapi : Indikasi untuk kemoterapi adalah pasien dengan tumor yang inoperable. Respon parsial atau lengkap telah dicapai pada hingga 50% pasien, yang biasanya berlangsung 5-8 bulan dan mungkin termasuk kontrol nyeri yang signifikan. Sebagian besar pasien memiliki karsinoma adenoid kistik, karsinoma mucoepidermoid, atau adenokarsinoma. Saat ini, paclitaxel adalah agen yang paling sering digunakan. Meskipun kemoterapi saja tidak meningkatkan tingkat ketahanan hidup, integrasi radiasi dan kemoterapi telah terbukti meningkatkan kontrol lokal dan menunjukkan perbaikan dalam pengelolaan keganasan kelenjar ludah.14 a. Untuk
jenis
adenokarsinoma
(adenoid
cystic
carcinoma,
adenocarcinoma, malignant mixed tumor, acinic cell carcinoma) -adriamisin 50mg/m2 iv pada hari 1 -5 fluorourasil 500mg/m2 iv pada hari 1
diulang tiap 3minggu
-sisplatin 100mg/m2 iv pada hari ke 2 b. Untuk jenis karsinoma sel skuamous (squamous cell carcinoma, mucoepidermoid carcinoma) -methotrexate 50mg/m2 iv pada hari ke 1 dan 7
diulang tiap
-sisplatin 100mg/m2 iv pada hari ke 2
3 minggu
3. Metastase Kelenjar Getah Bening (N) a. Terapi utama Operabel : deseksi leher radikal (RND) Inoperabel : radioterapi 40 Gy/+kemoterapi preoperatif, kemudian dievaluasi - menjadi operabel RND - tetap inoperabel radioterapi dilanjutkan sampai 70Gy b. Terapi tambahan Radioterapi leher ipsilateral 40 Gy 4. Metastase Jauh (M) Terapi paliatif : kemoterapi a. Untuk jenis adenokarsinoma (adenoid cystic carcinoma, adenocarcinoma, malignant mixed tumor, acinic cell carcinoma) -adriamisin 50mg/m2 iv pada hari 1 -5 fluorourasil 500mg/m2 iv pada hari 1
diulang tiap 3
-sisplatin 100mg/m2 iv pada hari ke 2
minggu
b. Untuk jenis karsinoma sel skuamous (squamous cell carcinoma, mucoepidermoid carcinoma) -methotrexate 50mg/m2 iv pd hari ke 1 dan 7
diulang tiap
-sisplatin 100mg/m2 iv pada hari ke 2
3 minggu
2.2.8 Komplikasi
Telah dilakukan penelitian selama 10 tahun antara 1996 Januari sampai 2006 Januari pada pasien dengan tumor parotis yang telah menjalani terapi bedah di University of Rome “La Sapienza”, Department of Maxillo-Facial surgery. Didapatkan 135 pasien laki-laki dan 147 pasien perempuan dengan usia antara 10 tahun sampai 85 tahun dan pasien usia terbanyak adalah 49 tahun. Dari total 282 pasien, setelah dilakukan follow
up ±60 bulan didapatkan 26 pasien mengalami komplikasi post operasi sebagai berikut: Komplikasi yang sering terjadi setelah
parotidektomi
•
Nervus Fasialis Nervus fasialis adalah nervus yang melintasi kelenjar parotis dan membaginya menjadi lobus superfisialis dan profunda. Sekitar 15-20% kasus (15-20 dalam 100 pasien) nervus fasialisnya mengalami trauma sehingga terjadi kelemahan pada otot-otot fasialis. Ini biasanya sembuh dalam 14 hari sampai 3 bulan setelah operasi dan penyembuhan bisa lebih cepat dengan latihan terapi bicara dan bahasa. Sebanyak 1% kasus terjadi kelemahan permanen dari nervus fasialis. Beberapa pasien mengalami kelemahan nervus fasialis cabang-cabang tertentu saja.
•
Frey’s Syndrome
Nama lain Frey’s syndrome adalah Baillarger’s syndrome, Dupuy’s syndrome, auriculotemporal syndrome, atau Frey-Baillarger syndrome Merupakan komplikasi tersering pada pasien pasca operasi parotidektomi yaitu sebanyak 6 orang dari 26 pasien. Frey’s syndrome adalah manifestasi klinik berupa kemerahan dan berkeringat pada hemifasial setelah stimulus kelenjar saliva dan mengunyah. Frey’s Syndrome ini biasanya terjadi setelah cedera traumatik regio parotis seperti parotidektomi, fraktur kondilar, trauma tumpul, insisi dan drainase abses. Sindrom ini bisa muncul setelah beberapa minggu sampai beberapa tahun setelah trauma. Pemeriksaan dilakukan dengan cara tes pati-iodine. Iodine cair dioleskan di atas kulit area preaurikular, tunggu sampai kering, kemudian setelah itu ditaburkan pati jangung di atasnya. Minta pasien untuk mengunyah makanan selama 5 menit untuk merangsang gustatori. Akan tampak gambaran bercak biru kehitaman yang berarti hasilnya positif, karena adanya kompleks iodine-pati yang terdilusi oleh keringat.
Gambar 6: tes pati – iodine Patofisiologi Frey’s syndrome adalah karena regenerasi saraf otonom yang salah arah setelah cedera area parotis. Setelah cedera, serat saraf parasimpatis sekretomotor post ganglionik yang seharusnyaberinervasi dengan kelenjar parotis, menjadi bergabung dengan reseptor simpatis, dan berinervasi dengan kelenjar keringat sehingga menyebabkan berkeringatnya gustatori. Dengan demikian, seharusnya makanan merangsang kelenjar saliva, menjadi merangsang kelenjar keringat. Meskipun Frey’s syndrome tidak menyebabkan
gangguan fisiologis yang berbahaya, namun gejala kemerahan dan keringat berlebihan menyebabkan stres psikologis dan sosial. 20 •
Hematoma Hematoma mengenai 3 dari 26 pasien. Terjadi karena blokade drainase sehingga pada pasien post parotidektomi dipasang drain untuk mencegah terjadinya hematoma.
2.2.9
Prognosis Prognosis pada tumor maligna sangat tergantung pada histologi, perluasan lokal
dan besarnya tumor dan jumlah metastasis kelenjar leher. Jika sebelum penanganan tumor maligna telah ada kehilangan fungsi saraf, maka prognosisnya lebih buruk. Untuk tumor maligna, pengobatan dengan eksisi dan radiasi menghasilkan tingkat kesembuhan sekitar 50%, bahkan pada keganasan dengan derajat tertinggi. Ketahanan hidup 5 tahun kira-kira 5%, namun hal ini masih tetap tergantung kepada histologinya.12,13,15 Faktor prognostik rendah termasuk keganasan kelas tinggi, keterlibatan saraf, penyakit stadium lanjut, usia lanjut, rasa sakit yang terkait, metastasis getah bening regional node, metastasis jauh, dan akumulasi p53 atau-erbB2 c oncoproteins. Meskipun pernyataan menyangkut kelangsungan hidup sulit dibuat karena berbagai macam jenis histologis, 20% dari semua pasien akan berkembang menjadi metastasis jauh. Metastasis jauh menandakan prognosis buruk, dengan kelangsungan hidup rata-rata 4,3-7,3 bulan. Secara keseluruhan 5-tahun kelangsungan hidup untuk semua tahap dan jenis histologis adalah sekitar 62%-72%. Kelangsungan hidup 5 tahun secara keseluruhan untuk penyakit berulang adalah sekitar 37%. Karena risiko kekambuhan, semua pasien yang menderita tumor kelenjar ludah histologi yang terbukti ganas harus di kontrol seumur hidup.12,13,15
2.2.10 Kontrol
Pengawasan harus terus tanpa batas waktu, sebagai kekambuhan lokal atau metastasis jauh dapat menjadi jelas bertahun-tahun setelah pengobatan awal. Pasien harus menjalani pemeriksaan fisik secara menyeluruh setiap 3 bulan selama 2 tahun, setiap 6 bulan selama 3 tahun, kemudian setiap tahun setelahnya. Tes fungsi hati dan rontgen dada harus diperoleh setiap tahun.9,13,16
BAB III Kasus dan Pembahasan
1.1 Anamnesis a) Identitas pasien
Nama
: Tn. MH
Usia
: 40 tahun
Jenis kelamin
: laki-laki
Agama
: Islam
Pendidikan
: SLTA
Pekerjaan
: pegawai swasta
Alamat
: Cimanggis, Depok
b) Keluhan Utama
Benjolan di bawah telinga kanan sejak ±4 bulan SMRS.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik bedah RSF dengan keluhan satu benjolan dekat telinga kanan yang baru disadari oleh pasien sejak ±4 bulan SMRS. Benjolan awalnya kecil, kira-kira sebesar kelereng, makin lama makin membesar namun lambat menjadi sebesar telur puyuh. Tidak terasa nyeri, tidak terasa hangat, tidak memerah, dan tidak demam. Keluhan lain seperti bibir mencong, sulit menutup mata, sulit menelan, nyeri tenggorokan, gangguan pendengaran disangkal. Benjolan di leher dan di tempat lain juga disangkal. Terdapat penurunan nafsu makan, penurunan berat badan tidak diketahui. Benjolan ini belum pernah diobati sebelumnya.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini. Tidak ada Hipertensi, DM, kolesterol, asma, storke, jantung, dan trauma. Pasien juga tidak pernah menjalani terapi radiasi atau UV pada daerah kepala dan leher.
e) Riwayat Keluarga
Paman pasien mengalami keluhan benjolan di daerah pipi.
f) Riwayat Kebiasaan dan Sosial
Pasien tidak merokok dan tidak mengkonsumsi minum-minuman beralkohol.
1.2 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum: tampak sakit ringan Kesadaran: komposmentis/ GCS:E4M6V5 = 15 Koperasi: kooperatif Tinggi badan : 170 cm Berat badan: 79 kg BMI: 27.3 Tekanan darah: kanan 110/90 mmHg Nadi: 84 x/menit
kiri: 110/90 mmHg
Suhu: 36,7 oC Pernapasan: 20 x/menit Pemeriksaan Kepala Mata
: Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher
: tidak ada pembesaran KGB leher
Jantung Inspeksi
: Pulsasi ictus cordis tidak terlihat
Palpasi
: Pulsasi ictus cordis teraba di ICS V, 1 jari lateral dari linea
midclavicula sinistra Perkusi
: Batas kanan : ICS IV linea para sternalis dekstra.
Batas kiri
: ICS V 1 jari lateral dari linea midclavicula sinistra
Pinggang jantung: ICS III linea parasternalis sinistra Auskultasi
: BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Inspeksi
: Simetris dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi
: Vokal fremitus sama di kedua lapang paru
Perkusi
: Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi
: Suara napas vesicular +/+ ; Ronki -/-; Wheezing -/-.
Abdomen: Inspeksi
: Datar
Palpasi
: Supel, nyeri tekan (-), hepatosplenomegali (-)
Perkusi
: Timpani di seluruh lapangan abdomen
Auskultasi
: BU (+) normal.
Ekstremitas: Atas: akral hangat (+), edema (-) Bawah: akral hangat (+), edema (-) Status neurologis : N. VII
Kanan
Kiri
Motorik Orbitofrontal :
baik
baik
Motorik Orbicularis :
baik
baik
N. VIII Vestibular Vertigo
: (-)
Nistagmus : (-) Cochlear Tuli Konduktif
: (-)
Tuli Perspeptif
: (-)
N. IX, X Motorik
: tidak ada deviasi uvula, arcus faring simetris
Sensorik
: refleks muntah (+), refleks menelan (+)
N. XI
Kanan
Kiri
Mengangkat bahu
:
baik
baik
Menoleh
:
baik
baik
N. XII Pergerakan Lidah Atrofi
: (-)
Fasikulasi
: (-)
Tremor
: baik, tidak ada deviasi
: (-)
Status lokalis : Pada regio infraaurikula dekstra terdapat benjolan, soliter, ukuran 5x3x2cm, padat, batas tegas, permukaan licin rata, immobile, tidak nyeri, suhu dan warna seperti jaringan sekitar.
1.3 Pemeriksaan Penunjang a. FNAB
Sediaan apusan mengandung banyak darah, di antaranya terlihat beberapa kelompok-kelompok kecil sel yang terdiri atas sel berinti bulat/oval, inti tampak uniform, kromatin tersebar merata. Tampak pula fragmen-fragmen menyerupai chondromyroid. Tidak ditemukan sel ganas. Kesan : lesi jinak, kemungkinan adenoma pleomorfik. b. USG: tidak dilakukan c. Rontgen thoraks : paru dan jantung dalam batas normal d. Laboratorium
Pemeriksaan
Hasil
Nilai rujukan
Interpretasi
14.8
13.2-17.3 g/dl
Normal
27/11/2012 Hematologi - Hemoglobin -
Hematokrit
49
33-45 %
Meningkat
-
Leukosit
6.9
5-10 ribu/ul
Normal
-
Trombosit
234
150-440 ribu/ul
Normal
-
Eritrosit
5,65
4.40-5.90 juta/ul
Normal
- LED 1,0 VER/HER/ KHER/RDW - VER 86,9
0.0-10.0 mm 80.0-100.0 fl
Normal
-
HER
26,1
26.0-34.0 pg
Normal
-
KHER
30,1
32.0-36 mg/dl
Normal
-
RDW
13.6
11.5-14.5 %
Normal
- SGOT
25
0-34 U/I
Normal
- SGPT
32
0-40 U/I
Normal
- Bilirubin total
0,80
0,10-1,00 mg/dl
Normal
- Bilirubin direk Fungsi Ginjal
0,30
< 0,2 mg/dl
Meningkat
- Ureum Darah
28
20-40 mg/dl
Normal
- Creatinin Darah Diabetes
1,4
0.6-1.5 mg/dl
Normal
- Gula darah sewaktu
83
70-140 mg/dl
Normal
Kimia Klinik Fungsi Hati
Pemeriksaan
Hasil
Nilai rujukan
Interpretasi
15.4
13.2-17.3 g/dl
Normal
24/04/2013 Hematologi - Hemoglobin -
Hematokrit
49
33-45 %
Meningkat
-
Leukosit
7.7
5-10 ribu/ul
Normal
-
Trombosit
232
150-440 ribu/ul
Normal
-
Eritrosit
5.58
4.40-5.90 juta/ul
Normal
80.0-100.0 fl
Normal
VER/HER/ KHER/RDW - VER 86,8 -
HER
27,6
26.0-34.0 pg
Normal
-
KHER
31,8
32.0-36 mg/dl
Normal
- RDW Sero-Imunologi - Golongan darah
13.5
11.5-14.5 %
Normal
A/Rhesus (+)
1.4 Diagnosis kerja
Tumor parotis superfisial dekstra susp benigna
1.5 Diagnosis banding
Tumor parotis superfisial dekstra susp maligna
1.6 Tata laksana
Parotidektomi superfisial
1.7 Laporan Operasi •
Pasien dalam posisi supine di atas meja operasi dengan general anastesi, bahu diganjal, dibuat desain blaire modifikasi
•
Asepsis dan antisepsis daerah operasi dan sekitarnya, droupping, tampak sudut mata kanan dan sudut mulut
•
Insisi sesuai desain menembus kutis, subkutis, fasia.
•
Dibuat flap ke arah anterior hingga m.maseter, dan posterior hingga m.sternokleidomastoideus
•
Trunkus n.fascialis dikenali, dicari cabang-cabang n.fascialis.
•
Dilakukan superfisial parotidektomi dengan diseksi secara tajam dengan skalpel no. 12
•
Kontrol perdarahan
•
Luka operasi ditutup lapis demi lapis
•
Dipasang 1 buah drain vakum
•
Operasi selesai
1.8 Instruksi post-op: •
Awasi TNSP
•
IVFD KaenMg3:RL = 3:1/24 jam
•
Puasa sampai dengan pasien sadar betul
•
Diet biasa
•
Ceftriakson 1x2 gr iv
•
Ketesse 3x1 amp iv
•
Vakum drain / 12 jam
•
Senin rawat jalan
1.9 Follow Up S : Nyeri pada luka post-operasi (VAS 3), gangguan motorik (-) O: KU: TSR/ CM, TD : 110/90, N: 84, S: 36,5, RR: 18 Status lokalis: luka tertutup kassa, rembesan-, drain produksi hemoragik 70cc. A: Tumor parotis dekstra suspek jinak post parotidektomi superfisial P: Diet biasa IVFD KaenMg3:RL = 2:2 / 24 jam Ceftriakson 1x2gr
Ketesse 3x1 amp Vacum drain/ 12 jam Hasil PA : Makroskopik : Jaringan permukaan tidak teratur, compang camping 30 cc. Penampang irisan sebagian putih, padat, sebagian tidak teratur kecoklatan, agak rapuh. Mikroskopik : Sediaan dengan keterangan tumor parotis menunjukkan massa tumor dengan arsitektur yang bervariasi tubuler, tubulokistik dengan massa amorf eusinofilik dalam lumen, solid dan cribriform. Sel pleomorfik, hyperkromatik. Mitosis mudah ditemukan. Kesimpulan
:
Adenoid cystic carcinoma 1.10 Resume : Pasien, laki-laki, usia 40 tahun datang ke poliklinik RSUPF dengan keluhan satu benjolan dekat telinga kanan yang baru disadari oleh pasien sejak ±4 bulan yang lalu. Benjolan awalnya kecil, kira-kira sebesar kelereng, makin lama makin membesar namun lambat menjadi sebesar telur puyuh. Tidak terasa nyeri, tidak terasa hangat, tidak memerah, dan tidak demam. Keluhan lain seperti bibir mencong, sulit menutup mata, sulit menelan, nyeri tenggorokan, gangguan pendengaran disangkal. Benjolan di leher dan di tempat lain juga disangkal. Terdapat penurunan nafsu makan, penurunan berat badan tidak diketahui. Benjolan ini belum pernah diobati sebelumnya. Pasien tidak pernah menjalani terapi radiasi atau UV pada daerah kepala dan leher. Paman pasien mengalami keluhan benjolan pada daerah pipi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pada regio infraaurikula dekstra terdapat benjolan, soliter, ukuran 5x3x2cm, padat, batas tegas, permukaan licin rata, immobile, tidak nyeri, suhu dan warna seperti jaringan sekitar. Pada pemeriksaan sediaan apusan FNAB didapatkan kesan adenoma pleomorfik.
Diagnosis sebelum operasi adalah tumor parotis superfisial dekstra susp benigna dengan recana operasi parotidektomi. Pada saat operasi ditemukan massa tumor berasal dari parotis superfisial. Kemudian dilakukan parotidektomi superfisial. Diagnosis setelah operasi adalah tumor parotis superfisial dekstra susp benigna. Pada follow up, pada pasien tidak didapatkan pasien keluhan gangguan motorik. Pada hasil pemeriksaan PA didapatkan kesimpulan adenoid kistik karsinoma yang merupakan tumor ganas.
BAB IV ANALISIS KASUS
Pasien adalah seorang laki-laki berusia 40 tahun, sesuai dengan tinjauan pustaka yang menyatakan bahwa tumor parotis lebih sering pada laki-laki dengan insidensi sekitar 1.41 kasus per 100.000 laki-laki, dibandingkan dengan perempuan yang hanya 1.00. Tumor parotis bisa mengenai semua umur, namun kebanyakan pasien didiagnosis pada usia >64 tahun. Baik adenoma pleomorfik maupun adenoid kistik karsinoma, insiden keduanya dapat terjadi pada semua umur. Pasien bekerja sebagai pegawai swasta, dimana pasien tidak sering terpapar oleh sinar radiasi yang menjadi faktor risiko tumor parotis. Pasien datang dengan keluhan benjolan soliter dekat telinga kanan yang baru disadari oleh pasien sejak ±4 bulan SMRS. Gejala tumor parotis adalah adanya benjolan di pre/infra/retro aurikula. Adenoma pleomorfik merupakan tumor tersering pada kelenjar liur dan paling sering terjadi pada kelenjar parotis, sedangkan adenoid kistik karsinoma yang jarang biasanya terjadi pada kelenjar liur mayor ataupun minor. Pasien tidak mengeluh nyeri, nyeri biasanya dirasakan pada pasien yang mengalami keganasan tumor parotis. Pada adenoid kistik karsinoma biasanya tidak ada keluhan nyeri pada lesi yang dini karena pertumbuhannya yang lambat. Benjolan awalnya kecil, kira-kira sebesar kelereng, makin lama makin membesar, menjadi sebesar telur puyuh, menunjukkan bahwa adanya progresivitas dari sel tumor namun lambat, hal ini sesuai dengan adenoid kistik karsinoma yang pertumbuhannya lambat. Tidak terasa hangat, tidak memerah, tidak demam, menunjukkan bahwa ini bukan reaksi peradangan/inflamasi. Keluhan lain seperti bibir mencong, muka asimetris, dan sulit menutup mata tidak ada, hal ini berarti tidak ada keterlibatan nervus fasialis yang biasanya terjadi pada keganasan tumor parotis. Pasien tidak mengeluh sulit menelan, nyeri tenggorok, dan
gangguan pendengaran disangkal,
menunjukkan bahwa lobus profundus parotis tidak terlibat. Benjolan di leher dan di tempat lain juga disangkal, hal ini menunjukkan tidak adanya metastasis ke kelenjar limfe dan di organ jauh. Terdapat penurunan nafsu makan namun penurunan berat badan tidak diketahui pasien menunjukkan adanya penyakit kronik. Paman pasien mengalami keluhan benjolan pada daerah pipi, ini untuk mengetahui faktor risiko pasien, yaitu genetik. Pasien tidak pernah
menjalani radioterapi pada daerah kepala dan leher sebelumnya, yang merupakan faktor risiko terjadinya tumor parotis. Pada pemeriksaan fisik ditemukan pada regio infraaurikula dekstra terdapat benjolan, soliter, ukuran 5x3x2cm, padat kistik, batas tegas, permukaan licin rata, immobile, tidak nyeri, suhu dan warna seperti jaringan sekitar. Tumor parotis pada umumnya hanya berupa benjolan soliter. Konsistensinya kenyal padat/kistik, permukaan licin, berbatas tegas, tampak berkapsul, tidak nyeri, dapat digerakkan, dan ukuran terbesarnya jarang melebihi 6 cm merupakan ciri-ciri adenomapleomorfik. Dari pemeriksaan neurologis tidak didapatkan parese nervus VII, VII, IX, X, XII, dan XII, hal ini menunjukkan bahwa lobus profunda tidak terlibat. Dari pemeriksaan FNAB didapatkan hasil terlihat beberapa kelompok-kelompok kecil sel yang terdiri atas sel berinti bulat/oval, inti tampak uniform, kromatin tersebar merata. Tampak pula fragmen-fragmen menyerupai chondromyroid. Yang menggambarkan kesan adenoma pleomorfik. Pasien didiagnosis dengan tumor parotis superfisial dekstra susp benigna. Kemudian pasien direncanakan terapi operatif berupa parotidektomi, saat intraoperatif didapatkan tumor berasal dari lobus superfisial sehingga akhirnya dilakukan parotidektomi superfisial. Lalu dipasang drain untuk mengalirkan darah dan cairan post op. Instruksi post operasi Awasi TNSP, hitung produksi drain / 24 jam, diet biasa, IVFD KaenMg3/RL = 3:1 / 24 jam, ceftriakson 1 x 2 gr iv sebagai antibiotik profilaksis, ketesse 3 x 1 ampul iv sebagai analgesik dan pemeriksaan PA post-operasi. Pada follow up tidak didapatkan gangguan motorik pada pasien. Hal ini menunjukkan pasien tidak mengalami komplikasi. Pada hasil pemeriksaan PA didapatkan penampang irisan sebagian putih, padat, sebagian tidak teratur kecoklatan, agak rapuh. Sediaan tumor parotis menunjukkan massa tumor dengan arsitektur yang bervariasi tubuler, tubulokistik dengan massa amorf eusinofilik dalam lumen, solid dan cribriform. Sel pleomorfik, hyperkromatik. Mitosis mudah ditemukan. Kesimpulan adenoid cystic carcinoma yang merupakan tumor ganas. Pasien masih memerlukan tatalaksana lebih lanjut yaitu berupa terapi radiasi.
KESIMPULAN
Umumnya, tumor kelenjar liur jarang terjadi, dan jika terjadi, sebagian besar tumor pada kelenjar liur terjadi pada kelenjar parotis, dimana 75% - 85% dari seluruh tumor berasal dari parotis dan 80% dari tumor ini adalah adenoma pleomorphic jinak (benign pleomorphic adenomas). 1,2 Gambaran klinis tumor kelenjar liur baik itu jinak atau ganas akan muncul sebagai suatu massa berbentuk soliter, berkembang diantara sel-sel pada kelenjar yang terkena. Pertumbuhan yang cepat dari massa dan rasa sakit pada lesi itu berkaitan dengan perubahan ke arah keganasan, tetapi bukan sebagai alat diagnostik. Keterlibatan saraf fasialis (N.VII) umumnya sebagai indikator dari keganasan,walaupun gejala ini hanya nampak pada 3% dari seluruh tumor parotis dan prognosisnya buruk. 4,7 Tumor parotis dapat dibagi menjadi 2 yaitu jinak dan ganas. Tumor kelenjar jinak yang paling sering ditemui adalah adenoma Pleomorfik dan Limfomatosum Adenokistoma Papilar (Tumor Warthin), sedangkan tumor ganas kelenjar liur paling sering pada anak adalah karsinoma mukoepidermoid, biasanya derajatnya rendah. Pada dewasa dapat berupa Karsinoma mukoepidermoid, Karsinoma sel skuamosa, Adenokarsinoma yang tidak berdiferensiasi, Karsinoma adenokistik (silindroma). 4,6,7 Untuk terapi dilakukan tergantung stadiumnya, ada tumor yang masih dapat dioperasi ada pula yang memerlukan terapi lain. Terapi tambahan berupa radiasi pasca operasi atau kemoterapi. Untuk prognosis sesudah terapi adekuat pada tumor benigna terjadi residif lokal kurang dari 1% kasus. Namun, jika tumor benigna tidak diangkat secara luas, sering timbul residif lokal. 12,13,14
DAFTAR PUSTAKA
1. De Jong W. Tumor Kelenjar Liur. Dalam : R Samsuhidajat, Warko Karnadihardja, Theddeus OH Prasetyono, Reno Rudiman, editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007. h. 469-70. 2. F Christopher Holsinger, Dana T Bui. Anatomy, Function, and Evaluation of Salivary Glands. In: Myers EN, Ferris RL editors. Salivary Gland Disorders. Springer: Berlin; 2007. h 1-14. 3. Susan, Standring. Grays Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practise. USA: Elsevier; 2005. h. 515-18. 4. Arthur C Guyton, John E Hall. Fungsi Sekresi dari Saluran Pencernaan. Dalam : Luqman Yanur Rachman, Huriawati hartanto, Andita Novrianti, Nanda Wulandari, editor. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta; 2007. h. 1013-14. 5. William F Ganong. Fungsi Endokrin Pankreas & Pengaturan Metabolisme Karbohidrat. Dalam: M Djauhari Widjajakusumah, editor. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 20. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta; 2002. h. 320-39. 6. Satish Keshav. In: The Gastrointestinal System At A Glance. Australia: Blackwell Science Ltd; 2004. h. 14-15. 7. Vinay Kumar, Ramzi S Cotran, Stanley L Robbins. Pankreas. Dalam: Huriawati Hartanto, Nurwani Darwaniah, Nanda Wulandari, editor. Buku Ajar Patologi Edisi 7 Volume 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta; 2007. h. 711-16. 8. Kimberley Ho, Helen Lin, David K Ann, Peiguo G Chu, Yun Yen. An Overview of The Rare Parotid Gland Cancer. Head & Neck Onconlogy 2011. h. 1-7. 9. Mulholland dkk. Greenfield's Surgery: Scientific Principles and Practice. Edisi 4. Lippincott Williams & Wilkins; 2006.
10. Shu, Xiaochen; Ahlbom, Anders; Feychting, Maria. Incidence Trends of Malignant Parotid Gland Tumors in Swedish and Nordic Adults 1970 to 2009.Epidemiology: September 2012. Volume 2. h. 766-67. 11. C Ungari, F Paparo, W Colangeli, G Iannetti. Parotid Glands Tumours: Overview Of A 10-Years Experience With 282 Patients, Focusing On 231 Benign Epithelial Neoplasms. European Review for Medical and Pharmacological Sciences 2008; 12: h. 321-325. 12. Claudia-Patricia Mejía-Velázquez, Marco-Antonio Durán-Padilla, Erick Gómez-
Apo, Daniel Quezada- Rivera, Luis-Alberto Gaitán-Cepeda.
Tumors of the salivary gland in
Mexicans. A re-trospective study of 360 cases. Med Oral Patol Oral Cir Bucal 2012 Mar 1;17 (2): h. 183-9.
13. Edge SB, Byrd DR, Compton CC, et al., eds.: AJCC Cancer Staging Manual. 7th ed. New York: Springer; 2010. h. 79-86. 14. A Mag, S Cotulbea, S Lupescu, H tefãnescu, C Doros, et al. Parotid Gland Tumors. Journal of Experimental Medical and Surgical Research 2010; 4: 259-63. 15. Albar, Zafiral Azdi. Protokol PERABOI 2003 edisi 1 Cetakan 1. Bandung : 2004 16. Ali SN, et al. diagnostic accuracy of fine needle aspiration cytology in parotid lesion. International Scholarly Research Network. Volume 2011. 17. Moonis G. Et al. Imaging Characteristic of Recurrent Pleomorphic Adenoma of the Parotid Gland. Am J Neuroradiol 2007; 105: h. 1532-36. ` 18. Scott, Vanderheiden. ed. Malignant Parotid Tumor Imaging. Emedicine 2011 may 27. 19. Jeannon JP, Calman F, Gleeson M, et al; Management of advanced parotid cancer. A systematic review. Eur J Surg Oncol 2008 Nov 20. 20. Samson NG, Cathy Torjek, Allan Hovan. Management of Frey Syndrome Using Botulinum Neurotoxin: A Case Report. CJDA November 2009; 75: h. 651-54. 21. Lumongga F. Temuan Kasus-kasus Yang Didiagnosa Secara Histopatologi Sebagai Cylindroma Sejak 1 Januari 1997-31 Oktober 2007. 2008. (diakses 22 Mei 2013). Tersedia dari:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/2046/1/09E01468.pdf