Studi Agama Islam 2
1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ikhlas bermakna sesuatu yang tulus dari hati menjadi bersih dari kotoran. Sedangkan secara istilah, Ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah SWT dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Oleh karena itu, bagi seorang muslim sejati makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah SWT, mengharap ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya tanpa melihat pada kekayaan dunia, tampilan, kedudukan, kemajuan atau kemunduran. Untuk itu, kiranya sangat perlu bagi kita membaca kembali k embali kitab kita. Apakah selama kita hidup, ibadah yang ita lakukan sudah benar-benar ikhlas karena Allah SWT atau hanya sekedar menjalankan kewajiban semata, atau malah ingin mendapat sesuatu dan perhatian dari orang lain. Kedudukan ikhlas dalam sabda Rasulullah sabda Rasulullah SAW “ SAW “ Ikhlaslah dalam beragama, cukup bagimu amal yang sedikit.” sedikit.” Dan dalam hadits lain Rasulullah SAW . bersabda ,“ Sesungguhnya Allah SWT tidak menerima amal kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha- Nya.” Nya.” Al-Imam Al-Ghazali Al-Ghazali mencatatkan dalam kitab Ayyuhal Walad (Wahai Anakku) hakikat ikhlas, seperti berikut : “Wahai anakku yang tercinta, Dan engkau juga bertanya kepadaku tentang ikhlas, maka ikhlas itu bahawa engkau menjadikan segala amalanmu hanya untuk Allah Ta’ala dan hati engkau tidak berasa senang dengan pujian manusia dan juga engkau tidak peduli dengan kecaman kecaman mereka”
B. TUJUAN
Merapikan dan lebih memperbaiki amal ibadah yang kita lakukan dengan mengkaji ayat-ayat yang berkenaan dengan ikhlas, harapannya kita dapat mengambil hikmahnya dan dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Studi Agama Islam 2
2
BAB II IKHLAS
A. PENGERTIAN IKHLAS
Meluruskan dengan niat dikaitkan dalam hati dengan semata-mata hanya untuk mengharap ridha Allah SWT biasanya disebut dengan ikhlas. “Alamat dalam kata ikhlas itu ada tiga, pertama pujian dan celaan orang sama saja bagi dirinya. Kedua, tidak riya dalam beramal ketika ia sedang melaksanakan amalan itu. Dan ketiga, amal yang ia lakukan hanya mengharap pahala di akhirat. Hal ini berkaitan dengan ibadah dan seluruh amal perbuatan, seperti shalat, zakat, puasa, membaca al-Qur’an, sedekah, senyum dan lain sebagainya, semua itu dilakukan dengan hati yang ikhlas. Bukan untuk mengharapkan hal-hal yang lain. Semisal mengharapkan perhatian dari orang lain, dibicarakan oleh orang lain, atau malah ingin dipuji di pandangan mata manusia. Dalam kitab al-Quran terdapat sebuah surat yang bernama Al-Ikhlas yang artinya “M emurnikan ke-Esaan Allah SWT .” Artinya dalam sangkut pautnya dengan ibadah dan setiap amal perbuatan hendaknya mengesakan Allah SWT. Hanya kepadanyalah segala sesuatu yang kita persembahkan. Bukanlah kepada sesuatu selain Allah SWT. Faktanya, dalam mengerjakan sesuatu kita nyaris sering dilandari rasa takut terhadap sesuatu selain Allah SWT. Sebagai contoh sebagai seorang santri. Mengerjakan apa yang disuruh oleh ustadznya karena ada rasa takut terhadap hukuman yang akan diberikan kepadanya jika ia tidak mau melaksanakannya. Artinya jika tidak ada ustad z ia santai-santai saja. Hal ini jelas menunjukkan bahwa ada tujuan atau niat yang membelokkan hatinya dari Allah SWT. Dan sikap yang seperti ini, apakah dalam peristiwa yang sama atau yang semisal denga ini, hendaklah kita kikis dari diri kita. Meskipun sulit tetapi mulailah dengan perlahan dan dari hal-hal yang kecil terlebih dahulu. Ikhlas juga bisa diartikan lapang dada. Bisa diartikan dengan bersikap menerima tanpa perasaan sakit hati atau menggerutu terhadap suatu cobaan atau sebuah kondisi disaat kita telah mengerjakan sesuatu namun mendapatkan hasil yang mengecewakan. Yang demikian itu adalah ciri-ciri orng yang ikhlas dalam mengerjakan amal ibadah. Intinya orang
Studi Agama Islam 2
3
yang ikhlas itu ada atau tidak adanya orang lain, berhasil atau gagalnya usaha yang dilakukannya tidak merusak ketulusan hatinya yang semata-mata mengharap ridha Allah. Walaupun ia tidak berhasil dan memperoleh hal yang menyakitkan bagi diriya ia tidak akan berhenti melakukan yang terbaik. Baik itu amal kepada Allah maupun kepada manusia. Ikhlas ini sangat erat kaitannya dengan hubungan kepada Allah SWT. Setiap amal ibadah yang dilakukan dengan keikhlasan sejatinya adalah bentuk dari perwujudan seorang hamba yang mengabdi dengan sepenuh hati kepada Tuhan yang telah menciptakan dan memeliharanya. Mengingat demikian, sudah seharusnya bagi kita sebagai hamba Allah dalam melaksanakan ibadah dengan hati yang tulus ikhlas tanpa riya’. Bukan beribadah karena makhluk lain. Dan di penghujung ayat, menjelaskan tentang keikhlasan itu hanya pada-Nya. Kepada-Nya lah kita tujukan setiap amal ibadah kita dengan ikhlas. Allah telah menurunkan nikmat yang sangat besar kepada kita. Bukan dari orang lain. Karena itu hanyalah sebagai perantara saja. Yang sebenarnya semua itu berasal dari Allah SWT. Hindari beramal karena hal-hal yang tidak tertuju pada Allah dan itu merupakan sesuatu yang tidak baik. Seperti ingin dilihat orang lain, dipuji, apalagi menyombongkan diri. Kiranya sebagai manusia sudah menjadi keharusan untuk menyembah sang Pencipta, dan disertai dengan keikhlasan. Semestinya pada kita memiliki kesadaran bahwa kita bukanlah apa-apa dan tidak mampu berbuat apa-apa tanpa Allah. Dalam surah Al-Bayyinah (98): 5, yang dimaksud dengan ikhlas dalam ayat ini adalah sikap yang semestinya dilakukan oleh orang-orang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik, menerima dan menjalankan dengan sepenuh hati apa yang disampaikan oleh Muhammad SAW. Ayat ini jika kita dalami tidak hanya menyinggung orang kafir dan musyrik dari kalangan Ahli Kitab saja. Dalam ayat ini mengatakan bahwa mendirikan shalat dan menunaikan zakat itu adalah agama yang lurus, tetapi masih banyak umat yang mengaku Islam meninggalkannya. Mendirikan shalat dan menunaikan zakat saja masih terasa sulit untuk dijalankan apalagi dengan keikhlasan. Kewajiban umat Islam adalah menjalankan ajaran-ajaran agamanya. Tentunya dengan keikhlasan dan ketulusan hati. Karena amal perbuatan yang dilaksanakan yang tujuannya bukan untuk mengharap keridha’an Allah SWT belum tentu
Studi Agama Islam 2
4
diterima di sisi-Nya. Bahkan ada hadits tentang setiap amal yang kita lakukan bergantung pada niat kita. Dari Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” ( HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits), Maka dari itu hendaklah kita membersihkan niat kita dalam beribadah. Adapun tafsiran ayat-ayat lain yang serupa sebagaimana sudah dicantumkan di atas yaitu ; Q.S. an-Nisa (4): 146. Ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya. Yang menyebutkan bahwa orang yang munafik itu berada pada tempat yang paling bawah di neraka. Namun bagi orang yang ikhlas dalam agamanya, bertaubat dengan sungguh-sungguh dan terus memperbaiki diri serta selalu menjauhi larangan-larangan Allah SWT akan mendapatkan balasan yang baik. Q.S. al- A’raf (7): 29. Dalam ayat ini. Menyertakan shalat sebelum perintah mengikhlaskan ibadah dengan ikhlas. Makna yang berhubungan antara ibadah secara ikhlas dengan shalat. Shalat di sini bukanlah shalat yang didirikan dalam 5 waktu sehari semalam. Akan tetapi “Habluminallah wa habluminannas” . Selau terjaga dan tidak terputus. Dengan seperti itu, keihklasan dalam beribadah dapat dicapai. Namun tidak hanya terhenti sampai sebelum dan saat beribadah saja. Sebagaimana yang diterangkan dalam Q.S. Yunus (10): 22 dan juga pada surah Luqman (31): 32. Dalam surah ini, mangingatkan kita untuk terusmenerus beribadah secara ikhlas dan tidak melakukan perbuatan zalim. Kita diperingatkan agar selalu menjaga amal perbuatan kita. Dan jangan menjadi penghianat dan orang yang tidak pandai bersyukur. Karena saat Allah mengabulkan apa yang diinginkan setelah beribadah dengan ikhlas, lalu kita lupa setelah mendapatkannya. Yang menyebabkan amal ibadah yang sudah kita lakukan dengan ihlas hanya kepada Allah menjadi rusak dan tidak berarti lagi. Perintah beribadah kepada Allah dengan ikhlas, memurnikan agama kepada Allah banyak disebutkan dalam al-Qur’an. Seperti pada surah az-Zumar (39): 2,11, dan 14. Dialah Allah SWT yang memiliki sifat yang Pengasih dan Penyayang. Dan Allah telah banyak
Studi Agama Islam 2
5
memberikan kenikmatan bagi kita. Namun manusia terkadang tidak menyadarinya. Kesombongan, keangkuhan dan perbuatan dosa telah menutup mata hati manusia untuk mengingat semua itu. Manusia lupa dan tidak ingat dari mana sebenarnya ia berasal dan kepada siapa ia akan kembali. Hanya Allah satu-satunya Tuhan yang kekal. Hanya kepada Allah lah, segala sesuatu yang berasal dari Dia akan kembali. Tiada Tuhan yang layak disembah melainkan Allah.
B. AKTUALISASI PENCAPAIAN KEIKHLASAN
Tidak hanya sekedar menafsirkan ayat, namun melupakan aktualisasi adalah hal yang sangat penting. Karena jika berbicara tentang ikhlas adalah perkara yang tidak terlalu sulit. Namun yang lebih berat adalah mengamalkannya. Tidak sedikit orang yang melakukan ibadah dan perbuatan tanpa keikhlasan berakhir pada rasa kekecewaan karena tidak mendapatkan apa yang ia inginkan. Dan hanya mendapat kesia-siaan semata Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas mengenai pengertian ikhlas yang sesungguhnya, maka akan tampak sebuah pergeseran nilai yang seolah-olah tidak kita rasakan. Kembali lagi kepada niat dalam beribadah yang seharusnya dilakukan dengan tulus ikhlas, semata-mata hanya untuk mengharapkan keridhaan dari Allah SWT, yang kini telah lebih menjurus ke arah lain. Namun bukanlah ke arah yang tidak baik. Hanya saja bergeser atau berkurang nilai keikhlasannya Itulah beberapa contoh yang dapat kita renungkan kemba li. Maka dari itu hendaklah kita benar-benar melaksanakan ibadah dengan ikhlas dan niat karena Allah SWT. Jangan sampai kita banyak beribadah, namun setiap ibadah yang kita kerjakan hanya dengan niat yang tidak sesuai dalam agama islam. Hal itu tidak lain hanya menjadi amal yang sia-sia.
Studi Agama Islam 2
6
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian tafsiran di atas, dapat disimpulkan bahwa ikhlas adalah memurnikan iman, hanya kepada Allah dan mengharap ridhaNya, bersih dari riya. Dalam beribadah, hendaknya manusia sadar akan siapa dirinya. Tahu dari mana ia berasal, untuk apa dan untuk siapa dia beramal dan kepada siapa ia akan dikembalikan. Hal-hal tersebut jika direnungi, tentunya akan tumbuh dalam hati manusia kesadaran. Sehingga menjadikannya ikhlas dalam melakukan segenap amal ibadah. Karena mengingat betapa Mah a Kuasanya Allah. Manusia tidak dapat berbuat apa-apa tanpa kehendakNya serta nikmat yang telah ia turunkan kepada manusia. Maka dari itu, penting kiranya bagi kita untuk mengintrospeksi diri, sebelum melihat orang lain. Sejauh mana kesadaran kita menilai diri sendiri. Apakah amal ibadah kita sudah betul-betul ikhlas karena Allah SWT, atau belum? Dan apakah kita beribadah lebih karena ingin mendapatkan sesuatu selain dari Ridha Allah? Bukankah Allah telah mengingatkan kita lewat wahyu yang disampaikan oleh Rasulullah kepada kita? Maka, marilah sama-sama kita memperbaiki diri sebelum terlambat. Sebelum ajal datang menjemput kita. Dan ingatlah, setiap makhluk yang hidup dan memiliki nyawa, pastilah ia akan menemukan ajalnya. Hanya kita saja tidak dapat mengira dan memprediksikan kapan itu terjadi
B. SARAN
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Bagi pembaca, dimohon untuk memberikan kritikan dan saran yang membangun. Agar penulis dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada. Sehingga kedepannya dapat menyajikan karya-karya yang lain lebih baik dari yang sebelumnya. Semoga uraian makalah ini tidak hanya sekedar dibaca tetapi juga dapat diamalkan dalam kehidupan.
Studi Agama Islam 2
DAFTAR PUSTAKA
1. Tafsiran Ayat ayat Al-Qur’an 2. Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar , Juzu’ I, hal. 327 3. Ahmad Mudjab Mahalli, Bayani Memahami Makna Al-Qur’an, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, hal. 101-103 4. M. Quraish Shihab, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, hal. 340. 5. ( HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits)
7