MAKALAH ISLAM DAN NEGARA ISLAM DI NKRI
Makalah ini ditujukan untuk memenuhi syarat Ujian Akhir Semester Matakuliah Agama Islam
Dosen Miftah Safari, S.Pd, M.Ag.
Asep Haerudin 1016002 Teknik Geologi
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI MINERAL INDONESIA Bandung 2016/2017
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II AGAMA ISLAM DAN NEGARA A. Pengertian Islam dan Negara B. Hubungan Agama dan Negara dilihat secara ideologis C. Islam dan Pancasila sebagai dasar negara
BAB III PEMBAHASAN A. Negara dalam Islam BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
Dewasa ini, salah satu perdebatan yang sangat mengemuka di kalangan umat Islam adalah persoalan agama dan negara. Setidaknya, ada dua penyebab mengapa hal tersebut terjadi. Pertama, ada pendapat yang mengatakan bahwa Islam tidak membahas masalah kenegaraan. Karena itu, tidak pada tempatnya untuk mengatakan bahwa konsep negara ditemui dalam Islam. Kedua, Islam mempunyai perangkat kenegaraan dan karenanya tidak ada alasan untuk memisahkan antara keduanya. Di tengah atmosfer tersebut, muncul pendapat yang mengatakan bahwa agama dan negara saling membutuhkan. Namun demikian, perdebatan di atas terus mencuat. Dalam konteks tersebut, seorang penulis bermaksud melacak relasi Islam dan negara dalam perspektif modernisme dan fundamentalisme Islam, dengan dilatarbelakangi oleh adanya aliran – aliran pemikiran tentang negara dalam Islam. Sejauh ini pemikiran tersebut meliputi tiga kategori aliran yaitu : Pertama, aliran konservatif, yang tetap mempertahankan integrasi antara Islam dan negara, karena menurut paradigma ini, Islam telah lengkap mengatur sistem kemasyarakatan. Kelompok ini terdiri dari (a) tradisionalis, yakni aliran yang tetap mempertahankan tradisi politik dan pemikiran politik Islam klasik/pertengahan, dan (b) fundamentalis, yakni aliran yang ingin melakukan reformasi sistem sosial dengan kembali kepada ajaran Islam secara total dan menolak yang dibuat manusia. Kedua, aliran modernis, yang berpendapat bahwa Islam mengatur masalah keduniaan (kemasyarakatan) hanya secara dasar – dasar saja, adapun secara teknis bisa mengadposi sistem lain, yang dalam hal ini sistem Barat yang sudah menunjukkan kelebihannya. Ketiga, aliran sekuler, yaitu ingin memisahkan antara Islam dengan negara, karena menurut aliran ini, Islam sebagaimana agama – agama lainnya, tidak mengatur masalah keduniaan, sebagaimana praktik kenegaraan yang terdapat di Barat.
BAB II AGAMA ISLAM DAN NEGARA
A. Pengertian Islam dan Negara 1. Islam Orang sering salah paham terhadap Islam. Kadangkala suatu keyakinan dan perbuatan dianggap sebagai Islam ternyata bukan Islam dan kadangkala suatu keyakinan dan perbuatan dianggap bukan Islam ternyata itu adalah Islam. Kenapa ini bisa terjadi? Itu karena banyak orang tidak paham tentang Islam. Ini tidak hanya menimpa orang awam saja tetapi juga para intelektualnya. Maka dirasa sangat perlu untuk dimengerti oleh setiap orang akan pengertian Islam agar orang tidak salah paham dan itu mesti diambil dari sumber asli nya yakni Al-Qur’an, bukan dari pendapat-pendapat orang atau yg lainnya. Dan tidak mungkin Alloh tidak menjelaskan secara tersurat maupun tersirat di dalam Al-Qur’an dalam perkara ini. Dan saya telah menemukan penjelasannya. Kata Islam itu berasal dari bahasa Arab al-islam. Kata alislam ada di dalam Al-Qur’an dan di dalamnya terkandung pula pengertiannya, diantaranya dalam surat Ali Imron (3) ayat 19 dan surat Al-Maidah (5) ayat 3. Apa yang dapat kita pahami dari kedua ayat itu?. Al-Qur’an surat Ali Imron (3) ayat 19, lafaln ya, “ innad-dina ‘indallohil islam…”, artinya, ” sesungguhnya ad-din (jalan hidup) di sisi Alloh (adalah) al-islam…”. Ayat ini dengan jelas sekali menyatakan bahwa al-islam adalah nama suatu ad-din (jalan hidup) yang ada di sisi Alloh (‘indalloh). Ad-din (jalan hidup) itu berupa bentuk-bentuk keyakinan (al-’aqidatu) dan perbuatan (al-’amalu) yang ada pada seseorang, maka pastilah setiap orang memiliki suatu ad-din tertentu. Al-Islam sebagai suatu ad-din yang ada di sisi Alloh tentu berupa bentuk-bentuk keyakinan dan perbuatan yang ditetapkan Alloh dan berasal dari Alloh, bukan hasil pemikiran manusia, makanya dinamakan dinulloh (QS 110 ayat 2). Maka itu berarti al-islam merupakan suatu addin yang ditetapkan oleh Alloh untuk manusia, yang merupakan petunjuk dari Alloh ( huda minalloh) (QS 28 ayat 50) yang diberikan kepada manusia yang dikehendaki-Nya. Oleh karena al-islam dari Alloh dan sementara itu dikatakan dalam surat Al-Baqoroh (2) ayat 147 bahwa al-haqqu (kebenaran) itu dari Alloh maka pasti al-islam itulah yang dimaksud dengan al-haqqu yang dari Alloh itu. Dan karena al-islam itu dari Alloh dan sementara itu di dalam Al-Qur’an surat Al-A’rof (7) ayat 16 dikatakan bahwa ash-shirothol-mustaqim (jalan yang harus
ditegakkan) itu dari Alloh, maka pastilah juga yang dimaksud dengan ash-shirothol-mustaqim yang berasal dari Alloh itu. Lalu bagaimana al-islam bisa sampai kepada manusia? Ya tentu hanya melalui wahyu beserta penjelasannya yang diberikan/diturunkan Alloh kepada para nabi dan utusan-Nya dari Adam as hingga Muhammad saw (sebagai nabi dan utusan Alloh yang terakhir). Al-islam dalam bentuknya yang final (sempurna) tentu diberikan/diturunkan kepada nabi dan utusan Alloh yang terakhir, Muhammad saw, melalui Al- Qur’an beserta penjelasannya (QS 75 ayat 19). Oleh karena berasal dari Alloh tentu diridhoi Alloh. 2. Negara Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wila yah tersebut. Negara adalah sebuah organisasi sekelompok orang yang berada didalamnya. Negara adalah organisasi politik dari kekuasaan politik. Negara merupakan bentuk organisasi dari masyarakat atau
kelompok
orang
yang
mempunyai
kekuasaan
mengatur
hubungan
dengan
menyelenggarakan ketertiban dan menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama. Negara disebut organisasi kekuasaan politik karena dapat memaksakan kekuasaan tersebut secara sah pada semua orang yang ada dalam wilaahnya. Dengan demikian bangsa itu adalah bagian dari suatu Negara itu sendiri. Bangsa atau persekutuan hidup manusia adalah salah satu unsure dari Negara Beberapa pengertian Negara antara lain: a. Suatu organisasi diantara sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang bersama-sama mendiami wilayah tertentu dengan mengakui adanya suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan sekeiompok atau beberapa kelompok manusia.
b. Suatu perserikatan yang melaksanakan suatu pemerintaan melalui hukum yang mengikat masyarakat dengan kekuasaan untuk memaksa yang berada dalam suatu wilayah masyarakat tertentu dan membedakannya dengan kondisi masyarakat dunia luar untuk ketertiban social.
c. Suatu asosiasi yang meyelenggarakan penertiban dalam suatu masyarakat atau wilayah dengan berdasarkan system hukum yang diselenggarakan suatu pemerintah. Untuk maksud tersebut, pemerintah diberi kekuasaan memaksa. Sebagai organisasi kekuasaan, Negara memiliki sifat memaksa, monopoli dan mencakup semua.
a. Memaksa dalam arti memiliki kekuasaan untuk menyelenggarakan ketertiban, dengan memakai kekerasan fisik secara legal. b. Monopoli artinya memiliki hak untuk menetapkan tujuan bersama masyarakat. Negara memiliki hak untuk melarang sesuatu yang bertentangan dan menganjurkan sesuatu yang dibutuhkan masyarakat. c. Mencakup semua artinya semua peraturan dan kebijakan Negara berlaku untuk semua orang tanpa kecuali.
B. Hubungan Agama dan Negara Dilihat secara ideologis Hubungan negara dan agama dilihat secara ideologis harus diletakkan pada proporsinya sebagai pemikiran cabang, bukan pemikiran mendasar tentang kehidupan. Sebab pemikiran mendasar tentang kehidupan adalah pemikiran menyeluruh tentang alam se mesta, manusia, dan kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia, dan hubungan antara kehidupan dunia dengan apa yang ada sebel umnya dan sesudahnya. Ideologi yang ada di dunia ada tiga, yaitu Sosialisme (Isytirakiyyah), Kapitalisme (Ra`sumaliyyah), dan Islam, maka aqidah atau pemikiran mendasar tentang kehidupan pun ada tiga macam pula, yakni aqidah Sosialisme, aqidah Kapitalisme dan aqidah Islamiyah. Masingmasing aqidah ini merupakan pemikiran mendasar yang di atasnya dibangun berbagai pemikiran cabang tentang kehidupan, termasuk di antaranya hubungan agama-negara. Aqidah Sosialisme adalah Materialisme yang menyatakan segala sesuatu yang ada hanyalah materi belaka. Tidak ada tuhan, tidak ada ruh, atau aspek-aspek kegaiban lainnya. Ide materialisme ini dibangun oleh dua ide pokok dalam Sosialisme yang mendasari seluruh bangunan ideologi Sosialisme, yaitu Dialektika Materialisme dan Historis Materialisme. Agama tidak mempunyai tempat didalam Sosialisme. Sebab agama berpangkal pada pengakuan akan eksistensi tuhan, yang jelas-jelas diingkari oleh ide materialism yakni hubungannya dapat diistilahkan sebagai hubungan yang negatif, dalam arti Sosialisme telah menafikan secara mutlak eksistensi dan pengaruh agama dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Agama merupakan candu masyarakat yang harus dibuang dan dienyahkan Aqidah ideologi Kapitalisme, adalah pemisahan agama dari kehidupan (fashluddin ‘anil hayah), atau secularisme. Ide ini tidak menafikan agama secara mutlak, namun hanya membatasi perannya dalam mengatur kehidupan. Keberadaan agama memang diakui walaupun
hanya secara formalitas namun agama tidak boleh mengatur segala aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Agama hanya mengatur hubungan pribadi manusia dengan tuhannya, sedang hubungan manusia satu sama lain diatur oleh manusia itu sendiri. Agama hanya berlaku dalam hubungan secara individual antara manusia dan tuhannya, atau berlaku secara amat terbatas dalam interaksi sosial sesama manusia. Agama tidak terwujud secara institusional dalam konstitusi atau perundangan negara, namun hanya terwujud dalam etika dan moral individu-individu pelaku politik. Aqidah Islamiyah adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan qadar (taqdir) Allah. Aqidah ini merupakan dasar ideologi Islam yang darinya terlahir berbagai pemikiran dan hukum Islam yang mengatur kehidupan manusia. Aqidah Islamiyah menetapkan bahwa keimanan harus terwujud dalam keterikatan terhadap hukum syara’, yang cakupannya adalah segala aspek kehidupan, dan bahwa pengingkaran sebahagian saja dari hukum Islam (yang terwujud dalam sekulerisme) adalah suatu kebatilan dan kekafiran yang nyata. Allah SWT berfirman : “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan..” (QS An Nisaa` : 65)“Barangsiapa yang tidak memberi keputusan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (QS Al Maa`idah : 44)
C. Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara Hubungan antara agama dan negara dalam konteks Indonesia -tidak dimungkiri- kerap menjadi perdebatan sengit, bahkan dalam suasana stigmatis. Perdebatan itu tak hanya terjadi di tingkat wacana, melainkan telah diikuti tuntutan riil t entang konsep negara Islam yang perlu dibumikan di Indonesia. Sejarah mencatat, sejak Indonesia merdeka tuntutan untuk menjadikan Islam sebagai ideologi dan dasar negara itu seperti tidak pernah surut.Silang perdebatan dalam menerapkan syari`at Islam secara total dalam menata kehidupan sosial-politik, setidaknya dapat ditengok sejak mula Indonesia mendapatkan anugerah kemerdekaan. Dengan belum tersedianya seperangkat aturan dan sistem yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, beberapa pemimpin umat Islam berupaya mendesakkan syari`at Islam untuk diterapkan. Tuntutan itu pun sempat terakomodir.Tapi, tuntutan yang semula terakomodir dengan perkataan… “dengan kewajiban menjalankan syari`at Islam bagi pemeluk-pemeluknya… yang tertuang di mukadimah dan pasal 29 UUD 1945 ternyata tidak berlangsung lama. Pada t anggal 18 Agustus
1945, setelah melewati saat-saat kritis, perkataan itu pun dicoret. Meski kemudian modifikasi sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa itu dapat dikata jadi jalan tengah yang diilhami dari konsep tauhid tapi wakil-wakil umat Islam masih merasa keberatan dengan formula baru Pancasila. Usai pemilu 1955, tuntutan untuk memperjuangkan dasar negara Islam seperti mendapatkan momentum kembali. Sejarah mencatat, sidang Majelis Konstituante di bawah kepemimpina Ir Soekarno untuk menentukan dasar negara Islam atau pancasila, tak mencapai keputusan final. Perdebatan sengit selama sidang antara partai-partai Islam dan pendukung Pancasila dalam mengokohkan dasar negara menemui jalan buntu. Selama kurang lebih dua puluh bulan --November 1957 sampai Juni 1959 — tidak ada kata sepakat. Konstitusi menemui jalan buntu serius Di tengah kebuntuan itu, Soekarno sebagai penguasa yang didukung militer lalu melakukan intervensi. Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. Dengan keluarnya Dekrit Presiden itu, Soekarno membubarkan Konstituante dan menetapkan kembali UUD 1945 dan menyingkirkan usulan dasar Islam. Tentu, rekam jejak saat-saat genting perdebatan sidang Majelis Konstituante tentang dasar negara itu sangat menarik untuk dicermati.
Studi Komprehensif Buku Ahmad Syafi`i Ma`arif yang berjudul Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara; Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante ini coba merekam “perdebatan antara wakil-wakil partai Islam yang menghendaki Islam sebagai dasar negara dan wakil partai nasionalis yang mendukung Pancasila. Buku terjemahaan dari desertai penulis di Chicago Universy ini, cukup kompatibel jadi referensi tentang perdebatan sengit dasar negara Indonesia dalam sidang Majelis Konstituante. Dalam Majelis Konstitusi, pada awalnya ada tiga rancangan (draf) tentang dasar negara yang diajukan oleh tiga fraksi. Ketiga rancangan itu adalah; Pancasila, Islam dan SosialEkonomi (diajukan Partai Murba dan Partai Buruh). Tetapi, draf Sosial Ekonomi tersebut seperti kehilangan gaung. Sementara perdebatan sengit dari wakil partai Islam – yang menginginkan Islam sebagai dasar negara- dan partai nasionalis yang mendukung Pancasila mewarnai sidang. Wakil dari partai Islam meneguhkan bahwa tuntutan untuk membumikan Islam sebagai dasar negara itu, tidak lain merujuk realitas kehidupan sejarah di masa nabi saat membangun
Madinah. Tapi di mata Syafi`i, Islam cita-cita yang terbangun di masa nabi itu kerap tidak dipisahkan oleh para penggagas negara Islam yang berada dalam dimensi Islam sejarah. Padahal sebagaimana diungkapkan Fazlur Rahman, antara Islam cita-cita dan dan Islam sejarah, “Harus ada kaitan positif dan dapat dipahami agar gerak maju d ari yang riil menjadi mungkin.” Umat Islam Indonesia, tak bisa ditepis memiliki idealisme itu. Sayang, sebagian besar dari mereka – di mata Syafi`i — masih kekurangan visi yang cukup dan kemampuan intelektual dalam memahami jiwanya yang dinamik dan kreatif. Tetapi – sekali pun tak berhasil — perjuangan umat Islam Indonesia dalam menegakkan dasar Islam di sidang Majelis Konstituante tahun 1950-an, adalah bagian dari upaya membumikan Islam cita-cita dalam konteks politik kenegaraan sebagaimana yang dipahami wakil partai Islam. Selain merujuk kehidupan zaman nabi, wakil partai Islam merujuk teori politik Islam sebagaimana yang digagas Jamal ad-Din al-Afghani, Abduh, Rasyid Ridha, dan lain-lain. Dari modernisme Islam yang diwariskan para pendahulu itu, wakil-wakil Islam seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Sukiman dan Natsir hendak membangun pilar Islam sebagai d asar negara di bumi Indonesia. Sayang, konteks Indonesia yang kemudian menjadikan Pancasila sebagaimana digagas untuk merangkup kebhinnekaan nusantara itu lebih menguat di bawah tangan Soekarno. Soekarno yang sedari awal memuja sekularisme Turki, membubarkan Sidang Konstituante yang waktu itu tidak menghasilkan kesepakatan, sehingga keluarlah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan Dekrit itu, Indonesia mengukuhkan sistem politik baru --dikenal dengan Demokrasi Terpimpin – sehingga tertutup pintu untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Menjawab Tantangan Zaman Meski kajian yang ditulis oleh mantan Ketua Umum Muhammadiyah ini adalah terjemahan disertasi dan pernah diterbitkan tahun 1985, tapi tema buku ini masih tetap memiliki relevansi dengan kondisi Indonesia saat ini. Memang, isu tentang negara Islam tak mengeras lagi, tapi isu negara Islam seperti tak pernah padam. Sayangnya, tuntutan yang kerap didegungkan kelompok Islam garis keras lebih memilih jalan undergroun dengan jalan melakukan teror, bukan lewat jalur partai politik. Keinginan membumikan negara Islam itu, semata-mata dilatarbelakangi beban sejarah untuk mengembalikan “harkat dan martabat umat Islam” yang terpuruk akibat penindasan politik dan ekonomi Barat. Sayang jihad melawan Barat itu bukan membuat Islam menjadi
cemerlang, melainkan justru mendapat citra yang kian jauh darai kesan damai karena Islam ditengarai agama yang tidak membawa misi kemanusiaan. Di sisi lain, kekuatan PKS yang solid dan berjuang lewat jalan partai jika ditelisik lebih jauh juga bukan karena mengangkat isu negara Islam melainkan lebih pada konsep yang dijual ingin yang menjadi partai yang bersih. Jadi upaya untuk mengangkat lagi isu negara Islam sudah tidak lagi menjanjikan. Apalagi, dalam teks al-Qur`an maupun hadits nabi, penulis tak menemukan pola teori tentang negara yang harus diikuti umat Islam di berbegai negara, dengan catatan asal prinsip syura dijalankan dan dihormati. Teori politik Islam yang dikembangkan pemikir muslim, seperti al-Baqillani dan al-Mawardi tidak lebih usaha intelektual untuk menjawab tantangan zaman. (Nur Mursidi, alumnus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta)
BAB III PEMBAHASAN A. Negara dalam Islam
Apakah Islam mengatur
perihal negara? Atau
mungkinkah
sebenarnya Islam tidak
menganjurkan adanya negara? Pertanyaan ini nampaknya akan tetap menjadi perdebatan di kalangan internal harakah Islam. Ada yang jelas-jelas menolak adanya konsep negara. Mereka berdalih bahwa bagaimana pun bentuk pemerintahan yang sah dalam Islam sejatinya ialah khilafah. Sementara di pihak lain, ada pula yang berkeyakinan akan bolehnya bentuk negara apa saja asalkan tetap ada upaya menerapkan syariat Islam di dalamnya. Karenanya, pembahasan ini merupakan wilayah kajian kontemporer yang cukup sensitif.
Terlepas dari perbedaan tersebut, Ust. Yusuf Mustofa, Lc. mengaku lebih meyakini pendapat kedua. Ia menilai meski bentuk pemerintahan paling ideal ialah khilafah islamiyah, namun ketika kita belum cukup syarat, maka apapun bentuk negaranya tak jadi masalah. Hal ini karena esensi adanya sebuah pemerintahan (dalam hal ini negara) lebih penting dibandingkan bentuk pemerintahan itu sendiri. Dengan adanya negara, maqashidusy syari’ah (tujuan adanya syariat) seperti hifzul maal, hifzhun nafs, hifzhun nasl, hifzhud diin, dan hifzhul ‘aql (menjaga harta, jiwa, keturunan, agama, dan akal) akan lebih terjamin keberadaannya.
Pemerintah
yang
beriman
dan
adil dalam sebuah negara tentu
akan
memperhatikan hal-hal terkait hak-hak warganya tersebut. Sebaliknya, jika kita memilih tidak bernegara
lantaran
tidak
cocok
dengan
prinsip
khilafah,
maka
dikhawatirkan
maqashidusy syari’ah itu pun terbengkalai.
Selain itu, tuntunan bernegara sebenarnya telah Allah SWT dan Rasul-Nya nyatakan secara implisit maupun eksplisit dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Perintah bermusyawarah (Q.S. Asy-Syura: 38), berlaku adil (Q.S. Al-Maidah: 8), taat kepada pemimpin (Q.S. An- Nisa’: 59), dsb, menyiratkan kemestian adanya kepemimpinan di tengah umat (negara). Pun begitu dengan isyarat hadits Nabi Muhammad SAW dalam hadits berikut sebagai contoh:
“Jika ada 3 orang yang mengadakan perjalanan maka hendaknya mereka menjadikan salah seorang dari mereka sebagai pemimpin.” (HR. Abu Dawud no. 2609)
Kalau untuk sebuah perjalanan (safar) saja Rasulullah memerintahkan kita mengangkat pimpinan, bagaimana dengan perjalanan hidup kumpulan orang banyak yang tentu lebih kompleks persoalannya? Tentu mutlak diperlukan adanya negara dengan perangkatnya demi mengatur hak dan kewajiban di antara mereka.
Demi lebih menegaskan perlunya ada negara (meskipun belum 100% khilafah), maka ada baiknya kita cermati pula kaidah ushul fiqih berikut:
“Sesuatu yang dapat menyempurnakan suatu kewajiban, maka hukumnya wajib”
Mengingat perintah Allah dan Rasul-Nya pada dasarn ya bersifat wajib hukumnya (kecuali ada dalil lain yang memalingkan hukumnya), maka adanya sebuah negara untuk menerapkan apa yang menjadi perintah juga wajib hukumnya.
Lalu, apa saja yang menjadi syarat terbentuknya sebuah negara? Sebagaimana banyak diketahui, setidaknya ada empat syarat kita bisa mendirikan sebuah negara, yaitu adanya tanah/ wilayah, rakyat, pemerintah, dan pengakuan dari negara lain. Maka, ketika sudah terpenuhi syarat-syarat ini, alangkah lebih baik jika pembentukan negara tidak lagi ditunda demi terjaminnya hak dan kewajiban masyarakat yang hidup di dalamnya.
“Adapun mengenai sistem yang mengatur sebuah negara memang akan tetap menimbulkan pro dan kontra” masih kata Ust. Yusuf.
Namun, hal yang lebih baik menurutnya ialah tetap tak berhenti di satu masalah itu. Kalaulah karena beberapa sebab janji Rasulullah SAW bahwa kita akan kembali kepada fase khilafah ala minhajin nubuwah (kekhalifahan berdasarkan manhaj kenabian) belum bisa terealisasi, penerapan sistem apapun selama tak bertentangan dengan prinsip Islam tak jadi soal. Hal yang lebih penting daripada sistem formal tersebut sebenarnya ialah orang yang diserahi amanah. Begitu kata Anis Matta dalam bukunya “Dari Gerakan ke Negara”. Prinsip ini pula yang dianut Imam Syahid Hasan Al-Banna, pendiri harakah Ikhwanul Muslimin. Walhasil, kaidah maratibul ‘amal (urutan amal) pun ia rumuskan demi mencapai ustadziyatul ‘alam (Islam sebagai soko guru/ pemimpin peradaban dunia).
BAB IV PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hubungan negara dan agama dilihat secara ideologis ha rus diletakkan pada proporsinya sebagai pemikiran cabang, bukan pemikiran mendasar tentang kehidupan. Sebab pemikiran mendasar tentang kehidupan adalah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia, dan hubungan antara kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelumnya dan sesudahnya. Agama hanya berlaku dalam hubungan secara individual antara manusia dan tuhannya, atau berlaku secara amat terbatas dalam interaksi sosial sesama manusia. Agama tidak terwujud secara institusional dalam konstitusi atau perundangan negara, namun hanya terwujud dalam etika dan moral individuindividu pelaku politik.
Terlepas dari perbedaan pandangan mengenai metode menuju tujuan yang sama dalam hal kepemimpinan dan negara Islam, hendaknya ukhuwah islamiyyah harus dikedepankan. Jangan sampai kita terlalu disibukkan dengan perbedaan ini, sementara musuhmusuh
kita
sebenarnya
merapatkan
barisan
bersiap
menghancurkan
kita
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Akh. Minhaji, M.A, Ph.D. Relasi Islam dan Negara, prespektif modernis & fundamentalis Yan.Idrawan.A. R.Moch. Hubungan Islam dan Negara, UNPAS. Bandung. 2011 http://www.dakwatuna.com/2012/09/19/22966/negara-dalam-islam/#ixzz4jCafK3Ja