BAB I LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, baik yang berasal dari dalam laut maupun dari daratan. Dengan melimpahnya sumber daya alam tersebut, maka mendorong masyarakat melakukan kegiatan ekonomi yang selalu berkembang, karena pemanfaatan sumber daya alam atau kebutuhan akan sumber daya alam juga terus meningkat. Begitu juga dengan pajak yang dapat meningkatkan penerimaan negara, juga terus meningkat. Dalam hal penyerahan barang dan atau jasa dalam negeri atau dalam daerah pabean (menurut pajak) maka pemerintah wajib memungut pajak pertambahan nilai. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya adalah pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung. Pengenaan PPN sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat yang merupakan objek dari PPN tersebut. Adu cerdas antara wajib pajak/konsultan pajak dengan pihak fiskus. Sedikit saja pihak fiskus membuat peraturan yang tidak tidak jelas,kurang lengkap atau atau bahkan ada celah maka WP sudah bersiap untuk memanfaatkan. Pada dasarnya Tax Planning adalah semacam strategi yang digunakan WP untuk untuk meminimalkan jumlah pajak pajak yang harus dibayar.Secara lebih lebih rinci menurut Lumbantoruan Lumbantoruan Tax Planning atau Perencanaan Pajak dapat didefenisikan sebagai upaya manajemen keuangan untuk
meminimalkan biaya pajak dengan merancang investasi, jenis usaha dan sistem pencatatan pendapatan dan biaya mana yang menghasilkan beban pajak yang paling kecil. Tax Planning sering pula disamakan dengan Tax Management atau manajemen pajak yang didefinisikan sebagai sarana memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba l aba dan likuiditas yang diharapkan. Perencanaan dan Manajemen Pajak adalah sesuatu yang dapat dilakukan oleh setiap perusahaan yang menginginkan adanya penghematan pajak. Karena tujuan dari manajemen pajak yang bersifat ekonomis, efektif, dan efisien. Dengan menyusun perencanaan dan
manajemen pajak sejak dini perusahaan akan terhindar dari segala hal yang mengakibatkan peningkatan beban pembayaran pajak. Salah satunya adalah dengan melakukan manajemen pajak pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dalam melakukan manajemen pajak yang harus diperhatikan ialah tidak melanggar peraturan yang berlaku, secara bisnis reasonable, dan didukung dengan bukti-bukti yang kuat.
BAB II KAJIAN TEORITIS
2.1 Pengertian Manajemen dan Perencanaan Perpajakan
Pada umumnya, perencanaan pajak (tax planning) merujuk kepada proses merekayasa usaha dan transaksi Wajib Pajak agar utang pajak berada dalam jumlah yang minimal, tetapi masih dalam bingkai peraturan perpajakan. Namun demikian, perencanaan pajak juga dapat diartikan sebagai perencanaan pemenuhan kewajiban perpajakan secara lengkap, benar, dan tepat waktu sehingga dapat secara optimal menghindari pemborosan sumber daya. Perencanaan pajak merupakan langkah awal dalam manajemen pajak. Manajemen pajak itu sendiri merupakan sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar, tetapi jumlah pajak yang yang dibayarkan dapat dapat ditekan seminimal mungkin mungkin untuk memperoleh laba laba dan likuiditas yang diharapkan. Langkah selanjutnya adalah pelaksanaan kewajiban perpajakan (tax implementation) dan pengendalian pajak (tax control). Pada tahap perencanaan pajak ini, dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap t erhadap peraturan perpajakan. Tujuannya adalah agar dapat dipilih jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan. Pada umumnya, penekanan perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk meminimimalisasi kewajiban pajak. Manajemen Pajak adalah sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan (Sophar Lumbantoruan, 1996) Tujuan Manajemen pajak dibagi atas 2(dua) bagian yaitu : 1) Menerapkan peraturan perpajakan secara benar 2) Usaha Efisiensi dalam pencapaian laba dan likuiditas Tujuan manajemen pajak dapat dicapai melalui tiga fungsi berikut :. 1) Perencanaan pajak 2) Pelaksanaan kewajiban perpajakan 3) Pengendalian Pengendalian pajak
2.1.1 Perencanaan Pajak
Terdapat tiga hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan pajak, yaitu : a)
Tidak melanggar ketentuan perpajakan
b)
Secara bisnis masuk akal
c)
Bukti pendukung memadai
Sebagai contoh, ketika sebuah perusahaan hendak melakukan perencanaan pajak, maka ketiga hal diatas harus terpenuhi. Contoh, perusahaan memiliki akun beban penyusutan dan beban gaji, maka jumlah beban atas penyusutan haruslah sama dengan jumlah aktiva yang dimiliki. Seandainya jumlah aktiva tidak sesuai dalam artian sengaja melanggar aturan perpajakan dengan menimbulkan aktiva baru yang memang tidak dimiliki oleh perusahaan, maka akan timbul konsekuensi atas beban pajak dimasa depan. Seandainya perusahaan diperiksa oleh petugas pajak, maka pasti akan segera diketahui pelanggaran yang telah dilakukan oleh perusahaan. Contoh lain adalah Perusahaan bergerak dibidang perdagangan, namun memiliki jumlah karyawan yang tidak masuk akal. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan perencanaan pajak yang baik. Hal terakhir adalah bukti selalu ada. Biaya gaji, sesuai dengan pembayaran terhadap jumlah karyawan yang dibuktikan dengan data absensi karyawan, slip pembayaran gaji ke bank atau pembayaran langsung pada karyawan. 2.1.2
Pelaksanaan Kewajiban perpajakan
Setelah perencanaan yang baik, hal penting berikutnya adalah pelaksanaan kewajiban. Untuk dapat mencapai tujuan manajemen pajak maka ada 2(dua) hal yang perlu dikuasai dan dilaksanakan: 1. Memahami ketentuan perpajakan. Pemahaman yang baik atas aturan perpajakan dapam dimanfaatkan untuk menghemat beban pajak 2. pembukuan yang memenuhi syarat. Pembukuan itu merupakan hal yang sangat penting tidak hanya bagi perusahaan namun juga bagi laporan perpajakan,
Pembukuan yang baik sangatlah berguna bagi pelaksanaan manajemen pajak yang baik. 2.1.3
Pengendalian Pajak
Bagian ini yang sangat terpenting yaitu memastikan bahwa seluruh kewajiban pajak telah dilaksanakan dengan baik. Dalam strategi manajemen pajak, harus diutamakan arus kas perusahaan, dimana bila bisa menunda pembayaran tentunya menguntungkan perusahaan sepanjang penundaan itu tidak melanggar aturan perpajakan. Ketika perusahaan sudah membuat perencanaan pajak yang baik atas akun beban penyusutan dan beban gaji, yang meliputi kepantasan beban dan bukti yang dimiliki. Perusahaan juga telah melakukan pelaksanaan kewajiban pajak yang baik seperti mengadakan pembukuan yang sesuai dengan standar akuntansi dan peraturan pajak. Tibalah saatnya perusahaan membayar pajak. Pembayaran ini haruslah disesuaikan dengan kemampuan arus kas perusahaan dimana jangan sampai perusahaan membayar pajak yang bukan haknya dan tidak membayar pajak yang adalah kewajibannya. 2.2 Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung. Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya. Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang
No. 8 Tahun 1983 berikut perubahannya, yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 1994, Undang-Undang No. 18 Tahun 2000, dan Undang-Undang No. 42 Tahun 2009. 2.2.1 Karakteristik PPN
Karakteristik pajak pertambahan nilai antara lain :
Pajak tidak langsung, maksudnya pemikul beban pajak dan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kantor pelayanan pajak adalah subjek yang berbeda.
Multitahap, maksudnya pajak dikenakan di tiap mata rantai produksi dan distribusi.
Pajak objektif, maksudnya pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak.
Menghindari pengenaan pajak berganda.
Dihitung dengan metode pengurangan tidak langsung ( indirect subtraction), yaitu dengan memperhitungkan besaran pajak masukan dan pajak keluaran.
2.2.2
Subjek PPN
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah yang pajak dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang dan atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Atau pajak atas konsumsi barang dan jasa di daerah pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Adapun subjek dari PPN ini ada 2 (dua), yaitu : 1. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean. Dan Pengusaha Kena Pajak atau PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan undang-undang. 2. Bukan Pengusaha Kena Pajak (non PKP)
Bukan Pengusaha Kena Pajak atau bukan PKP adalah orang atau badan yang mengimpor BKP, memanfaatkan jasa atau BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean, dan yang melakukan kegiatan membangun sendiri.
2.2.3 Objek PPN
Berdasarkan UU No.42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atau selanjutnya disebut UU PPN 1984. Adapun objek PPN adalah sebagai berikut : (pasal 4 ayat 1) a) Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha; b) Impor Barang Kena Pajak; c) Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha; d) Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; e) Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; f) Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; g) Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; h) Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Pasal 16C :
PPN dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dalam keputusan menteri keuangan. Pasal 16D :
PPN dikenakan atas penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh PKP kecuali atas penyerahan aktiva yang pajak masukkannya tidak dapat dikreditkan sebagimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (8) huruf b dan c. Syarat Penyerahan Terutang PPN Pasal 16D
1. Yang melakukan penyerahan atau pemindahtanganan adalah Pengusaha Kena Pajak 2. Perolehan aktiva tersebut bukan untuk diperjualbelikan atau sebagai barang dagangan. 3. Perolehan aktiva tersebut berhubungan langsung dengan kegiatan usaha dan bukan jenis kendaraan sedan dan station wagon.
Yang dimaksud dengan pengeluaran yang secara langsung berhubungan dengan kegiatan usaha
adalah
pengeluaran yang
berhubungan
dengan kegiatan
produksi,
distribusi,
pemasaran dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha.
1. Penyerahan Barang Kena Pajak
Pasal 1A ayat (2) : a. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian; b. pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing); c. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang; d. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak; e. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan; f.
penyerahan
Barang
Kena
Pajak
dari
pusat
ke
cabang atau
sebaliknya
dan/ataupenyerahan Barang Kena Pajak antar cabang; g. penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan h. penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya Pengusaha
dianggap
langsung
dari
Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.
2. Bukan Penyerahan Barang Kena Pajak
Pasal 1A ayat (2) : a. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang; b. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang piutang; c. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak
melakukan pemusatan
tempat pajak
terutang; d. pengalihan
Barang Kena
Pajak dalam
pemekaran, pemecahan, dan
rangka penggabungan,
pengambilalihan usaha
dengan
peleburan,
syarat
pihak
yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak; e. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan
atas perolehannya
tidak
dapat
dikreditkan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
3. Syarat Penyerahan Kena Pajak
a. Barang Berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak. b. Barang Tidak Berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud. c. Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean. d. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya. e. Dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak.
4. Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
Pengenaan PPN atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud antara lain atas: a. penyerahan Barang Kena Pajak (Berwujud dan tidak Berwujud) didalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha; (Pasal 4 ayat (1) huruf a). b. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; (Pasal 4 ayat (1) huruf d). c. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak. (Pasal 4 ayat (1) huruf g).
5. Penyerahan Jasa Kena Pajak
Pasal 1 angka 5 dan 6 UU PPN 1984. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasu jasa yang dilakukan untuk
menghasilkan barang karena pesanan atau
permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini. Penyerahan Jasa Kena Pajak :
a) Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak. b) Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat- syarat sebagai berikut: 1) jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak. 2) penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean. 3) penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. 4) Dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak c) Termasuk dalam pengertian
penyerahan Jasa Kena Pajak adalah
Jasa
Kena
Pajak (JKP) yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan secara cuma-cuma.
2.2.2 Bukan Objek PPN
Pada dasarnya semua barang dan jasa merupakan barang kena pajak dan jasa kena pajak, sehingga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kecuali jenis barang dan jenis jasa sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4A Undang-Undang No. 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 18/2000 tidak dikenakan PPN, yaitu: 1. Barang tidak kena PPN
Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, meliputi: 1) minyak mentah (crude oil). 2) Gas bumi tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat. 3) Panas bumi. 4) asbes, batu tulis, batu setengah permata,batu kapur, batu apung, batu permata,bentonit,
dolomit,
felspar
(feldspar),
garam
batu
(halite),
grafit,granit/andesit, gips,kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat(phospat), talk, tanah serap (fullers earth),tanah diatome, tanah liat, tawas (alum),tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit.
5) Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara dan. 6) bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.
Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, meliputi: 1) beras 2) gabah 3) jagung 4) sagu 5) kedelai 6) garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium 7) daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan,dibekukan, dikemas atau tidak dikemas,digarami,dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus 8) telur,
yaitu
telur
yang
tidak
diolah,termasuk
telur
yang
dibersihkan,diasinkan, atau dikemas 9) susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas 10) buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas,dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas 11) sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah
makanan dan minuman yang disajikan di hotel,restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya,meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering.
Uang, emas batangan, dan surat berharga
2.
Jasa tidak kena PPN
jasa pelayanan kesehatan medis, meliputi: 1) Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi. 2) Jasa dokter hewan. 3) Jasa ahli kesehatan, seperti ahli akupunktur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli fisioterapi. 4) Jasa kebidanan dan dukun bayi. 5) Jasa paramedis dan perawat. 6) Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium. 7) Jasa psikolog dan psikiater. 8) Jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal.
jasa pelayanan sosial, meliputi: 1) Jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo. 2) Jasa pemadam kebakaran. 3) Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan. 4) Jasa lembaga rehabilitasi. 5) jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk krematorium. 6) jasa di bidang olah raga kecuali yang bersifat komersial.
jasa pengiriman surat dengan perangko meliputi jasa pengiriman surat dengan menggunakan perangko tempel danmenggunakan cara lain pengganti perangko tempel.
jasa keuangan, meliputi: 1) jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. 2) jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain dengan menggunakan surat,sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya.
3) jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa: a) sewa guna usaha dengan hak opsi; b) anjak piutang; c) usaha kartu kredit; dan/atau d) pembiayaan konsumen;. 1) jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia 2) jasa penjaminan
jasa asuransi
jasa keagamaan, meliputi: 1) Jasa pelayanan rumah ibadah. 2) Jasa pemberian khotbah atau dakwah. 3) jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan 4) Jasa lainnya di bidang keagamaan.
jasa pendidikan, meliputi: 1) Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional. 2) Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.
jasa kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan termasuk jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat komersial, seperti pementasan kesenian tradisional yang diselenggarakan secara cuma-cuma.
jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan
jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri.
jasa tenaga kerja, meliputi: 1) jasa tenaga kerja. 2) jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut. 3) Jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.
jasa perhotelan, meliputi: 1) Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap. 2) Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.
jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum
jasa penyediaan tempat parkir
jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam
jasa pengiriman uang dengan wesel pos
jasa boga atau katering
BAB III PEMBAHASAN
Makin pentingnya variabel pajak sebagai komponen yang harus diperhitungkan, membuat banyak perusahaan melakukan perencanaan pajak (Tax Planning). Meskipun Dirjen Pajak pernah mengungkapkan bahwa Tax Planning bagi perusahaan dianggap benar sepanjang tidak menyalahi peraturan perpajakan yang berlaku. Karena harus diakui t idak ada satu pasalpun dalam Undang-undang Perpajakan yang melarang dilakukannya perencanaan pajak. Perencanaan Pajak merupakan langkah awal dalam manajemen pajak. Manajemen pajak itu sendiri merupakan sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar, tetapi jumlah pajak yang dibayarkan dapat ditekan seminimal mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan. Langkah selanjutnya adalah pelaksanaan kewajiban perpajakan (tax implementation) dan pengendalian pajak (tax control). Pada tahap perencanaan pajak ini, dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan. Tujuannya adalah agar dapat dipilih jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan. Pada umumnya, penekanan perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk meminimimalisasi kewajiban pajak. Jadi perencanaan pajak tidak berarti penyelundupan pajak. Pada dasarnya usaha penghematan pajak berdasarkan the least and latest rule yaitu Wajib Pajak selalu berusaha menekan pajak sekecil mungkin dan menunda pembayaran selambat mungkin sebatas masih diperkenankan peraturan perpajakan. Perencanaan pajak adalah suatu langkah yang tepat untuk perusahaan, dalam melakukan penghematan pajak atau tax saving sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Terdapat tiga hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan pajak, yaitu : Tidak melanggar ketentuan perpajakan, Secara bisnis masuk akal dan bukti pendukung memadai. Sebagai contoh, ketika sebuah perusahaan hendak melakukan perencanaan pajak, maka ketiga hal diatas harus terpenuhi. Contoh, perusahaan memiliki akun beban penyusutan dan beban gaji, maka jumlah beban atas penyusutan haruslah sama dengan jumlah aktiva yang dimiliki. Seandainya jumlah aktiva tidak sesuai dalam artian sengaja melanggar aturan perpajakan dengan menimbulkan aktiva baru yang memang tidak dimiliki oleh perusahaan, maka akan timbul konsekuensi atas beban pajak dimasa depan. Seandainya perusahaan
diperiksa oleh petugas pajak, maka pasti akan segera diketahui pelanggaran yang telah dilakukan oleh perusahaan. Contoh lain adalah Perusahaan bergerak dibidang perdagangan, namun memiliki jumlah karyawan yang tidak masuk akal. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan perencanaan pajak yang baik. Hal terakhir adalah bukti selalu ada. Biaya gaji, sesuai dengan pembayaran terhadap jumlah karyawan yang dibuktikan dengan data absensi karyawan, slip pembayaran gaji ke bank atau pembayaran langsung pada karyawan.
3.1 Manajemen Perpajakan yang Ekonomis, Efisien, dan Efektif
Untuk dapat meminimalisasi kewajiban pajak, dapat dilakukan berbagai cara, baik yang masih memenuhi ketentuan perpajakan (lawful) maupun yang melanggar peraturan perpajakan (unlawful), seperti tax avoidance dan tax evasion. Perencanaan pajak umumnya selalu dimulai dengan meyakinkan apakah suatu transaksi atau kejadian mempunyai dampak perpajakan. Apabila kejadian tersebut mempunyai dampak pajak, apakah dampak tersebut dapat diupayakan untuk dikecualikan atau dikurangi jumlah pajaknya. Selanjutnya, apakah pembayaran pajak tersebut dapat ditunda. Pada dasarnya, perencanaan pajak harus memenuhi syarat-syarat berikut: (1) tidak melanggar ketentuan perpajakan, (2) secara bisnis dapat diterima, dan (3) bukti-bukti pendukungnya memadai.
3.2 Manfaat perencanaan pajak dapat dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Penghematan kas keluar. Perencanaan pajak dapat menghemat pajak yang merupakan biaya bagi perusahaan. 2. Mengatur aliran kas (cash flow). Perencanaan pajak dapat mengestimasi kebutuhan kas untuk pajak dan menentukan saat pembayaran sehingga perusahaan dapat menyusun anggaran kas secara lebih akurat.
3.3 Aspek-aspek dalam Tax Planning
A. Aspek Formal dan Administratif
Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok WajibPajak (NPWP) dan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP);
Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan;
Memotong dan/atau memungut pajak;
Membayar pajak;
MenyampaikanSurat Pemberitahuan.
B. Aspek Material Basis
penghitungan
pajak
adalah
objek
pajak.
Dalam
rangka
optimalisasialokasi sumber dana, manajemen akan merencanakan pembayaran pajakyang tidak lebih dan tidak kurang. Untuk itu, objek pajak harus dilaporkansecara benar dan lengkap.
3.4 Tahapan Tax Planning
a. Menganalisis informasi yang ada (analyzing the existing data base) b. Membuat satu atau lebih model kemungkinan jumlah pajak (designing one or more possible tax plans)
c. Mengevaluasi pelaksanaan perencanaan pajak (evaluating a tax plan) d. Mencari kelemahan dan memperbaiki kembali rencana pajak (debugging the tax plans)
e. Memutakhirkan rencana pajak (updating the tax plan)
3.5 Strategi Umum Perencanaan Pajak
a)
.Tax saving Tax saving merupakan upaya efisiensi beban pajak melaluipemilihan
alternatif pengenaan pajak dengan tarifyang lebih rendah.Misalnya, perusahaanyang memiliki penghasilan kena pajak lebih dari Rp. 100 juta
dapat melakukan perubahan pemberian natura kepada karyawanmenjadi tunjangan dalam bentuk uang. b)
Tax avoidance Tax avoidance merupakan upaya efisiensi beban pajak denganmenghindari
pengenaan pajak melalui transaksiyang bukan merupakan objekpajak. Misalnya, perusahaanyang masih mengalami kerugian,perlu mengubah tunjangan karyawan dalam bentuk uang menjadi pemberian natura karena natura bukan merupakan objek pajak PPh P asal21. c)
Menghindari pelanggaran atas peraturan perpajakan Dengan
menguasai
peraturan
pajakyang
berlaku,
perusahaan
dapatmenghindari timbulnya sanksi perpajakan berupa:
d)
Sanksi administrasi: denda, bunga, atau kenaikan;
Sanksi pidana: pidana atau kurungan.
Menunda pembayaran kewajiban pajak Menunda pembayaran kewajiban pajak tanpa melanggar peraturanyang berlaku dapat dilakukan melalui penundaan pembayaran PPN. Penundaan ini dilakukan dengan menunda penerbitan faktur pajak keluaran hingga batas waktuyang diperkenankan, khususnya untuk penjualankredit. Dalam hal ini, penjual dapat menerbitkan faktur pajak pada akhirbulan berikutnya setelah bulan penyerahan barang.
e) Mengoptimalkan kredit pajak yang diperkenankan Wajib Pajak sering kurang memperoleh informasi mengenai pembayaran pajak yang dapat dikreditkan yang merupakan pajakdibayar dimuka. Misalnya, PPh Pasal22 atas pembeliansolar dan/atau impor dan Fiskal Luar Negeri atas perjalanan dinas pegawai. Dalam kredit pajak PPN (Pajak Masukan), Pengusaha Kena Pajak dapat menggunakan pajakstandar,
dokumenlain seperti
yang
SPPB
fungsinya atauSurat
sama
dengan
Perintah
faktur
Pengiriman
Barang( delivery order ) yang dikeluarkan oleh Bulog untuk penyaluran tepung terigu, PNBP(Faktur NotaBon Penyerahan)yang dikeluarkan oleh
Pertamina untukpenyerahan BBM dan/atau bukan BBM, dan tanda pembayaran ataukuitansi telepon.
3.6 Perencanaan Pajak Untuk Mengefisienkan Beban Pajak
Beberapa strategi yang digunakan dalan mengefisienkan beban pajak adalah : b) Pemilihan Bentuk Badan Usaha antara pemilihan bentuk PT atau CV. c) Memilih lokasi perusahaan atau melakukan penanaman modal di bidang usaha tertentu dan atau di bidang tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional dapat diberikan fasilitas perpajakan. d) Mengambil keuntungan yg sebesar-besarnya dari pengecualian atau pengurangan atas Penghasilan Kena Pajak. Seperti apabila diketahui bahwa Penghasilan Kena Pajak perusahaan besar dan akan mengakibatkan pajak terhutang besar, sebaiknya perusahaan membelanjakan sebagian laba perusahaan untuk penelitian dan pengembangan, biaya pendidikan, biaya training yang boleh dikurangi dari penghasilan kena pajak. e) Penempatan modal perusahan kepada perseroan terbatas lebih menguntungkan kalau besarnya modal yang disetor paling rendah 25 %. Apabila modal yang ditempatkan kurang dari 25 % maka dividen yang dibagi dari perusahan akan dikenakan pajak. f) Memberikan tunjangan kepada karyawan dalam bentuk uang atau natura / kenikmatan dapat dipilih sebagai alternatif untuk mengefisienkan pajak. g) Pemilihan metode penilaian persediaan dengan metode Average daripada FIFO. Karena pada kondisi perekonomian yg cenderung mengalami inflasi, penetapan metode Average akan menghasilkan HPP lebih tinggi dari pada FIFO. Dengan HPP lebih tinggi, akan mengakibatkan laba kena pajak akan semakin rendah. h) Untuk pendanaan aktiva tetap lebih menguntungkan secara leasing dengan hak opsi dibandingkan pembelian langsung. i) Pemilihan metode penyusutan jika prediksi laba cukup besar sebaiknya menggunakan metode saldo menurun. Tapi jika pada awal investasi tidak dapat memberikan keuntungan, maka metode garis lurus lebih menguntungkan. j) Menghindari pengenaan pajak dengan cara mengarahkan transaksi pada yang bukan objek pajak.
k) Mengoptimalkan kredit pajak. Jangan sampai kredit pajak tersebut menjadi biaya pajak karena akan merugikan.Apabila pajak yang telah dibayar dimuka, dikreditkan, maka kredit pajak akan dapat kembali 100 %. Tetapi apabila pajak yang telah dibayar dimuka dibiayakan, maka pajak yang sudah dibayar hanya kembali 75 %. l) Penundaan pembayaran kewajiban pajak sampai akhir batas jatuh tempo. m)Menghindari lebih bayar untuk menghindari kerugian finansil dan menghindari pemeriksaan pajak
3.7 Upaya-upaya efisiensi pada PPN
1. Memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau non-PKP pada pengusaha kecil. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai, yang dimaksud sebagai Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Dengan kata lain, sebagai pengusaha kecil dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP atau tidak. Pemilihan sebagai PKP atau tidak, dapat dilihat melalui transaksi yang ia lakukan. Contoh: a. Apabila sebagai PKP, dalam membeli bahan baku merupakan objek PM dan pada saat menjual Barang Kena Pajak (BKP) merupakan objek PK. Sedangkan apabila sebagai Non PKP membeli bahan baku, bukan merupakan objek PM. Begitupula dalam menjual BKP bukan merupakan objek PK.
Transaksi
Sebagai PKP
Sebagai Non PKP
Membeli bahan Baku
PM
Non PM
Menjual BKP
PK
Non PK
b. Apabila suatu perusahaan non PKP membeli BKP dari PKP, hal tersebut merupakan objek PM yang dapat dikreditkan pada SPT PPh Badannya. Sedangkan pada saat menjual BKP tersebut kepada pengusaha yang juga non PKP bukan merupakan objek PK.
c. Apabila dalam kondisi laba perusahaan besar sebaiknya non PKP. Karena Pmnya dapat dikreditkan yang mengakibatkan PPh Badannya kecil. d. Apabila dalam kondisi laba perusahaan kecil sebaiknya menjadi PKP. e. Perusahaan yang non PKP mempertahankan peredaran brutonya di bawah Rp. 600.000.000,-.
2. Mendahulukan penerbitan performa invoice sebelum menerbitkan invoice. Porforma invoice merupakan faktur ringkasan atau perkiraan yang dikirim oleh penjual kepada pembeli (biasanya perusahaan jasa) sebelum pengiriman atau pengiriman barang. Mengenai catatan jenis dan jumlah barang, nilai, dan informasi penting lainnya seperti beban berat dan transportasi. Faktur proforma biasanya digunakan sebagai faktur awal dengan kutipan, atau untuk keperluan pabean dalam importasi. Mereka berbeda dari faktur normal tidak digunakan untuk permintaan atau permintaan untuk membayar. Dalam hal efisiensi PPN dalam penerbitan performa invoice diperhatikan terlebih dahulu kapan terhutang PPN. Dalam UU No.42 tahun 2009 dikatakan bahwa terhutangnya PPN saat pemanfaatan jasa kena pajak. Namun dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan maka saat terutang pajakialah saat pembayaran. Penerbitan performa invoice penting dilakukan karena sering terjadi invoice sudah keluar namun belum dilakukan pembayaran.
3. Melakukan pengelolaan faktur pajak dengan baik Agar pengelolaan faktur pajak dilakukan dengan baik maka diperlukan koordinasi bagian pajak dengan bagian-bagian lain yang terkait dengan penerbitan dan penerimaan faktur pajak. Pengelolaan faktur pajak dapat dilakukan dengan cara memastikan atau menjaga Faktur Pajak tidak cacat. Jika melakukan pembelian barang atau pemakaian jasa maka terdapat Pajak Masukan, sehingga menerima Faktur Pajak. Faktur Pajak yang diterima tersebut harus diteliti, apabila cacat maka faktur pajak masukan tersebut tidak dapat dikreditkan. Untuk mengatasi hal ini, dapat dilakukan dengan cara apabila menerima faktur pajak yang cacat, sesegera mungkin untuk dikembalikan agar dapat diganti dengan faktur pajak yang tidak cacat. Dalam hal melakukan penjualan barang atau pemberian jasa maka terdapat Pajak Keluaran, sehingga menerbitkan Faktur Paja. Faktur Pajak yang diterbitkan harus dihindari dari kecacatan karena apabila cacat maka dikenakan sanksi sebesar 2% dari DPP. Untuk mengatasi hal apabila menerbitkan faktur pajak yang cacat, sesegera
mungkin untuk menerbitkan faktur pajak pengganti. Karenanya untuk menghindari hal tesebut harus dilakukan koordinasi dengan divisidivisi yang terkait dalam perusahaan, diantaranya adalah dengan divisi pembelian dan penjualan. Bentuk koordinasinya ialah dengan menginformasikan apa saja yang harus dimuat dalam faktur pajak, antara lain: a. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak; b. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak; c. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga; d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut; e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut; f.
kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
Dalam hal pembeli BKP atau pengguna JKP diketahui FP yang telah diterima dari pihak lain ternyata cacat segera dikembalikan kepada pihak pemberi FP. Sedangkan dalam hal penjual BKP atau pemberi JKP ternyata telah menerbitkan FP cacat apabila belum dilaporkan segera melakukan penggantian FP.
4. Mengajukan permohonan sentralisasi PPN dalam hal perusahaan memiliki banyak cabang. Cabang
Cabang
Cabang
KP
Cabang
Cabang
Hal yang dapat dilakukan apabila sebuah perusahaan memiliki banyak cabang ialah : a. Mengajukan sentralisasi PPN b. Apabila sentralisasi PPN telah dilakukan, maka pastikan di cabang-cabang tidak melakukan transaksi penjualan yang menerbitkan invoice. Sehingga seolah-olah hanya sebagai gudang (conventional).
5. Penanganan pengajuan restitusi PPN dengan baik. Dalam pengajuan restitusi PPN, beberapa hal yang harus diperhatikan : 1. Penyerahan dokumen selambat lambatnya 1 bulan setelah pengajuan restitusi Yakinkan semua dokumen terkait lengkap,selebihnya tidak diperhitungkan dan tidak dapat diajukan restitusi lagi 2. Pengecekan Faktur Pajak Pastikan kembali Faktur Pajak Masukan atau Faktur Pajak Keluaran tidak cacat (lakukan tax review) 3. Yakinkan bahwa lawan transaksi telah membayarkan PPN yang dipungut. Dalam hal ini diperlukan konfirmasi kepada pihak lawan transaksi dengan cara meminta fotocopy SSP dan SPM terkait transaksi yang diajukan restitusi. Hal tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi tanggung renteng. 4. Sebelum mengajukan restitusi PPN, lakukan tax review dan tax review idealnya dilakukan setiap bulan masa pajak yang bersangkutan.
6. Mengupayakan agar PM dan PK terjadi pada masa yang sama. Contoh:
2 maret
28 maret
Beli bahan baku
Jual BKP
PM = 10% x 200 juta
PK = 10% x 200 juta
20 juta
20 juta
Produksi
Biasanya perusahaan industri, sehingga dapat langsung offset dan uang tidak keluar
7. Memanfaatkan fasilitas-fasilitas PPN. Pemanfaatan fasilitas PPN dikawasan berikat dan di luar kawasan berikat : Kawasan Berikat
Luar Kawasan Berikat
Beli Bahan Baku Impor
Beli Bahan Baku Impor
Ekspor Barang Jadi
Ekspor Barang Jadi
Dalam pembelian bahan baku,
Dalam pembelian bahan baku terdapat
mendapatkan fasilitas PPN tidak
Pajak Masukan.
dipungut.
Misal pembelian bahan baku sebesar 100,
PM = tidak dipungut
maka terdapat PM 10.
PK = 0
PM = 10
Maka tidak ada cash flow dalam transaksi
PK = 0 Sehingga PM > PK Lebih bayar 10 Atas lebih bayar tersebut dapat dilakukan restitusi.
Dari segi non-pajak yang harus diperhitungkan: a. Akses: Akses jalan yang mudah ditempuh untuk sampai ke Batam/Cengkareng b. Buruh/Pekerja: Upah buruh yang lebih rendah Batam atau Cengkareng c. Perizinan Usaha: Perizinan yang akan dilakukan lebih mudah di Batam atau Cengkareng.
Syarat melakukan manajemen PPN adalah : a. Tidak melanggar Peraturan yang berlaku baik Peraturan Pajak maupun Peraturan lain b. Secara bisnis reasonable, dapat diperhitungkan keuntungan dan kerugiannya c. Didukung oleh bukti – bukti yang kuat dan diakui oleh pihak lain Selain itu dalam melakukan manajemen PPN maka harus mengetahui :
a. Kewajiban Pengusaha Kena Pajak b. Hal-hal yang harus diperhatikan terkait dengan saat pembuataan faktur pajak, dan tata cara pembuatan faktur pajak c.
Hal-hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan objek dan subjek PPN dan atau PPnBM
d. Berbagai sanksi/denda terkait dengan PPn dan/ atau PPn Bm e. Pemanfaatan berbagai fasilitas di bidang PPN dan/atau PPnBM Penjelasan
A. Kewajiban Pengusaha Kena Pajak :
Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN 1984 dan perubahannya. Jika telah dikukuhkan sebgai pengusaha kena pajak maka harus melaporkan usahanya tersebut. maka dari itu harus pula diketahui tentang: * Kapan harus melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP? Yaitu WP yang sudah memenuhi ketentuan sebagai PKP, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP sebelum melakukan penyerahan BKP/JKP. * Kemana harus melapor? Ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan pengusaha, dan tempat kegiatan usaha di lakukan. * Apa resikonya jika tidak melakukan kewajiban tersebut? Direktorat Jendral Pajak (DJP) dapat mengukuhkan PKP secara jabatan apabila PKP tidak melaksanankan kewajiban pelaporan tersebut. B. Hal-hal yang harus diperhatikan terkait dengan saat pembuatan faktur pajak, dan tata cara pembuatan faktur pajak.
Saat pembuatan faktur pajak : 1. Pada akhir bulan berikutnya setelah penyerahan BKP/JKP, kecuali pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya--- dibuat pada saat penerimaan pembayaran; atau 2. Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan BBKP/JKP; atau 3. Pada saat penerimaan pembayaran termijn dalam hal penyerahan sebagian tahap pembayaran; atau 4. Pada saat PKP rekanan menyampaikan tagihan kepada pemungut PPN
Syarat Faktur Pajak (FP) standar, karena merupakan sarana untuk mengkreditkan pajak masukan. Paling sedikit FP memuat:
dan tanggal pembuatan FP
Tax planning atas FP:
1. Perhatikan syarat sah-nya FP standar agar dapat dikreditkan 2. Terbitkan FP selama mungkin (dalam kurun waktu yang diperbolehkan) 3. Perketat term of payment untuk mencegah wp nalangin PPN pembeli
C. Hal-hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan objek PPN dan atau PPnBM
1. Identifikasi item mana yang : * Terutang PPN * Terutang tapi tidak dipungut PPN * Tidak dikenakan PPN * Dibebaskan dari PPN 2. Rekonsiliasi omzet PPN dengan peredaran usaha dalam SPT PPH Badan 3. Laporkan Faktur Pajak sesuai masanya
D. Mengetahui dengan jelas apa saja sanksi/ denda terkait dengan PPN dan atau PPnBM, sebagai berikut:
1.
Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP, tetapi tidak membuat FP, Atau
2. Pengusaha yang telah dikukuhakan sebagai PKP, membuat FP, tetapi tidak tepat waktu. 3. Pengusaha kena pajak melaporkan FP tidak sesuai dengan penerbitan FP 4. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP yang tidak mengisi FP secara lengkap, selain: Identitas pembeli atau identitas pembeli serta nama dan tandatangan dalam hal penyerahan dilakukan oleh PKP pedagang eceran. Terhadap hal-hal tersebut diatas akan dikenakan sanksi 2% x DPP
5. Pengusaha kena pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan (PM) Sanksi : 2% per bulan dari jumlah pajak yang ditagih kembali , dihitung dari tanggal peneribatan surat keputusan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sampai dengan tanggal penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP), bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan. E. Memanfaatkan berbagai fasilitas di bidang PPN dan/atau PPnBM
Fasilitas ppn terhutang tidak dipungut
Kawasan berikat
KAPET
EPTE
Fasilitas PPN dibebaskan; Impor dan atau penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis (PP no. 7 tahun 2007)
PERENCANAAN PAJAK UNTUK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Perencanaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dapat dilakukan sebagai berikut : 1. Memaksimalkan PPN masukan yang dapat dikreditkan; perusahaan sebaiknya memperoleh Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP) dari Pengusaha Kena Pajak (PKP), supaya pajak masukannya dapat dikreditkan. Perusahaan perlu mengamati dengan cermat jangan sampai terdapat pajak masukan yang belum dikreditkan lagi. 2. Dalam hal penjualan BKP/JKP yang pembayarannya belum diterima, pembuatan faktur pajak bisa ditunda sampai akhir bulan berikutnya setelah penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak.
PPN dikenakan atas : 1) Penyerahan BKP/JKP yang dilakukan oleh PKP. 2) Impor BKP. 3) Pemanfaatan BKP tidak berwujud/JKP luar daerah pabean di dalam daerah pabean. 4) Ekspor BKP oleh PKP.
Pajak masukan yang dapat dikreditkan adalah pajak masukan yang berhubungan langsung dengan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen atas BKP/JKP dan faktur pajaknya
adalah faktur pajak standar atau dokumen yang disamakan dengan faktur pajak standar. Pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan apabila : 1. Perusahaan sebelum dikukuhkan menjadi PKP. 2. Faktur pajak sederhana. 3. Faktur pajak cacat. 4. Tidak diisi lengkap dan terdapat coretan atau hapusan. 5. Pajak masukan atas pembelian mobil sedan, jeep, station wagon, van, dan combi. 6. Pajak masukan berkaitan dengan produksi BKP/JKP. 7. Pajak masukan yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan kegiatan usaha atas BKP. 8. Pajak masukan yang dilaporkan pada SPT Masa PPN, yang ditemukan pada saat pemeriksaan/yang ditagih melalui SKP.
Pajak masukan yang belum dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa pajak yang sama, dapat dikreditkan pada masa pajak berikutnya, selambat-lambatnya pada bulan ketiga setelah berakhirnya tahun buku yang bersangkutan, sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan. Membangun sendiri tidak dalam kegiatan usaha membangun sendiri untuk tempat tinggal/tempat usaha oleh Orang Pribadi/Badan dikenakan PPN, apabila : -
Luas bangunan 400 meter persegi atau lebih.
-
Bangunan permanen.
-
Tarif 10% x 40% x biaya bangunan (tanpa harga tanah).
-
Disetor tiap bulan, pada tanggal 15 bulan berikutnya sejak pembangunan dimulai.
Penyerahan aset yang menurut tujuan semula tidak untuk dijual. Penyerahan aset yang tujuan semula tidak diperjualbelikan dikenakan PPN, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan. -
Pajak keluaran disetor dengan menggunakan SSP tersendiri, disetor paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.
-
Dapat dibuatkan faktur pajak tetapi tidak perlu dimasukkan ke Formulir 1195.
-
Dalam hal aset tersebut juga mendapatkan fasilitas penundaan, atas penyerahan aset dimaksud juga dikenakan PPN.
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) : - Harga Jual - Nilai Penggantian - Nilai Impor - Nilai Ekspor - Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak
1. Pemakaian sendiri dan cuma-cuma BKP/JKP: 10% x harga jual dikurangi laba kotor. 2. Penyerahan media rekaman suara/gambar/film cerita: 10% x harga jual rata-rata. 3. Persediaan BKP pada saat pembubaran perusahaan: Harga pasar yang wajar. 4. Aset yang menurut tujuan semula tidak untuk dijual: Harga pasar yang wajar. 5. Penyerahan jasa biro perjalanan wisata dan jasa pengiriman paket: 10% x 10% jumlah tagihan. 6. Penyerahan jasa anjak piutang: 10% x 5% jumlah imbalan (dapat berupa provisi, ongkos jasa, diskon). 7. Pedagang eceran: 10% x 20% Jumlah penyerahan barang dan PPN masukan tidak dapat dikreditkan. 8. Jasa persewaan ruangan: Sewa ruangan: 10% dari sewa yang ditagih Ongkos jasa: 10% x 40% ongkos jasa yang ditagih.
Tarif PPN : - Tarif umum adalah 10% - Tarif ekspor 0%
Satu hal yang perlu diingat adalah perencanaan pajak yang telah dibuat dan dilaksanakan jangan sampai melanggar peraturan perpajakan, hal ini penting untuk menghindari sanksi perpajakan. Setelah perencanaan pajak selesai disusun dan diimplementasikan, masih ada satu tahap lagi yang harus dilakukan, yaitu pengendalian pajak. Pengendalian pajak perlu dilakukan untuk mengetahui apakah semua perencanaan pajak telah dilaksanakan sesuai dengan rencana. Pengendalian pajak dapat dilakukan melalui penelaahan pajak.
Contoh Perhitungan PPN Atas Pemberian Cuma-Cuma
a. PT. Aditya Makmur Sejahtera adalah perusahaan yang memproduksi kompor gas, dalam rangka promosi produk barunya PT. Aditya Makmur Sejahtera memberikan secara gratis
kepada CV. Mawar Merah (usaha dibidang perdagangan kompor gas) 1 buah kompor gas dengan harga pokok penjualan sebesar Rp 500.000,-.
Maka PT. Aditya Makmur Sejahtera harus menerbitkan faktur pajak sebagai pajak keluaran dengan perincian : Dasar Pengenaan Pajak : 500.000 PPN
: 50.000 (500.000 x 10 %)
Bagi CV. Mawar Merah faktur pajak yang diterima dari PT. Aditya Makmur Sejahtera atas pemberian kompor gas tersebut merupakan pajak masukan yang dapat dikreditkan sepanjang memenuhi syarat sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang No.42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM.
b. PT. Gunung Makmur Sentosa produsen mie kering dalam r angka membantu korban bencana alam di daerah Purwokerto memberikan mie kering dengan harga pokok penjualan sebesar Rp 2.000.000,-. Maka PT. Gunung Makmur Sentosa harus menerbitkan faktur pajak sebagai pajak keluaran dengan perincian : Dasar Pengenaan Pajak : 2.000.000 PPN
: 200.000 (2.000.000 x 10 %)
Dasar hukum : 1. Undang-undang No.42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM. 2. Keputusan Direktorat Jenderal Pajak No.KEP-87/PJ./2002 tentang Pengenaan PPN dan PPnBM atas Pemakaian Sendiri dan Pemberian Cuma-Cuma. 3. Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak No.SE-04/PJ.51/2002 tentang Pengenaan PPN dan PPnBM atas Pemakaian Sendiri dan Pemberian Cuma-Cuma. 4. Peraturan Pemerintah No.1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU no.42 tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM.
Contoh Perhitungan PPN atas Penyerahan Jasa Konstruksi Kepada Pemungut PPN (Bendahara Pemerintah) Oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
PT. ABC (Pengusaha Kena Pajak di bidang Jasa Konstruksi) dalam bulan Januari 2012 mempunyai transaksi sebagai berikut :
a. PT. ABC terdaftar di KPP Pratama Purwokerto (bukan data sebenarnya) dengan identitas sebagai berikut : a) Nama PKP
: PT. ABC
b) NPWP
: 01.345.565.5-521.000
c) Alamat
: Jl. Nanas No. 1 Purwokerto
d) Direktur
: Aditya
b. Tanggal 05 Januari 2012 membeli besi dengan faktur pajak : a) No.Faktur Pajak
: 010.000.12.00000008
b) Tanggal Faktur Pajak
: 05 Januari 2012
c) PKP Penjual
: PT. ADDA
d) NPWP Penjual
: 01.253.565.5-521.000
e) Alamat
: Jl. Markisa No. 5 Purwokerto
f) DPP PPN Masukan
: 500.000.000
g) PPN Masukan
: 50.000.000
h) Jenis Barang
: Besi
c. Tanggal 29 Januari 2012 menyerahkan Jasa Konstruksi (pembuatan gedung kantor) kepada bendahara pemerintah dengan data sebagai berikut : a) Nama Penerima Jasa Konstruksi : Bendahara X b) NPWP
: 00.125.564.5-521.000
c) Alamat
: Jl. Mawar No. 5 Purwokerto
d) No.Faktur Pajak
: 020.000.12.00000001
e) Tanggal Faktur Pajak
: 29 Januari 2012
f) Nilai Kontrak
: 880.000.000
g) DPP PPN Keluaran
: 800.000.000
h) PPN Keluaran
:
i) SSP disetor oleh pemungut
: 30 Januari 2012
j) Jenis barang/Jasa
: Bangunan Gedung Kantor
80.000.000
Perhitungan PPN : Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
: 800.000.000
Pajak Keluaran (10 % x 800.000.000)
: 80.000.000
Dikurangi :
Pajak Masukan
:
50.000.000
Dikurangi yang dipungut Pemungut
:
80.000.000 –
PPN Kurang / Lebih Bayar
: (50.000.000)
Jadi untuk SPT Masa PPN Masa Januari 2012 lebih bayar sebesar 50.000.000. Atas lebih bayar tersebut dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya/masa lainnya atau diminta kembali atau restitusi.
3.7 Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia Realisasi Penerimaan Negara (milyar rupiah), 2007-2012
Sumber Penerimaan
1)
2008
1)
2009
1)
2010
1)
2011
2)
2012
3)
490,988
658,701
619,922
723,307
878,685
1,019,333
470,052
622,359
601,252
694,392
831,745
976,900
Pajak Penghasilan
238,431
327,498
317,615
357,045
431,977
512,835
Pajak Pertambahan Nilai
154,527
209,647
193,067
230,605
298,441
350,343
23,724
25,354
24,270
28,581
29,058
35,647
5,953
5,573
6,465
8,026
-
-
44,679
51,252
56,719
66,166
68,075
72,443
2,738
3,035
3,116
3,969
4,194
5,632
20,936
36,342
18,670
28,915
46,940
42,433
16,699
22,764
18,105
20,017
21,501
23,534
4,237
13,578
565
8,898
25,439
18,899
215,120
320,604
227,174
268,942
286,568
272,720
132,893
224,463
138,959
168,825
191,976
172,871
23,223
29,088
26,050
30,097
28,836
25,590
56,873
63,319
53,796
59,429
50,340
54,398
2,131
3,734
8,369
10,591
15,416
17,861
706,108
979,305
847,096
992,249
1,165,253
1,292,053
Penerimaan Perpajakan Pajak Dalam Negeri
Pajak Bumi dan Bangunan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Cukai Pajak Lainnya Pajak Perdagangan Internasional Bea Masuk Pajak Ekspor
Penerimaan Bukan Pajak Penerimaan Sumber Daya Alam Bagian laba BUMN Penerimaan Bukan Pajak Lainnya Pendapatan Badan Layanan Umum
Jumlah
2007
Catatan : Perbedaan satu digit dibelakang terhadap angka penjumlahan karena pembulatan 1) LKPP 2) APBN-P 3) RAPBN Sumber
: Departemen Keuangan
Penerimaan pajak Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara yang tingkat ekonominya setara. Rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya berkisar 12%. Padahal rata-rata penerimaan pajak negara-negara yang termasuk dalam kelompok menengah bawah (lower middle income) seperti Indonesia mencapai 19%. Rasio pajak Indonesia bahkan di bawah rata-rata negara miskin (low income) yang sudah mencapai 14,3%. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012, penerimaan pajak Indonesia diproyeksikan mencapai Rp 1.033 triliun. Berdasarkan kategori negara berpendapatan menengah, dengan jumlah tersebut negara ini sebenarnya kehilangan potensi pajak sekitar Rp 512 triliun atau hampir 50%. Perkiraan konservatif International Monetary Fund (IMF), potensi pajak yang hilang juga lebih dari 40%. Ketidakmampuan mengoptimalkan penerimaan pajak menyebabkan utang terus “berkelanjutan”. Jumlah utang baru, hampir selalu lebih besar cicilan utang. Akumulasi utang akan mencapai Rp 1.937 triliun tahun ini, artinya setiap penduduk Indonesia menanggung utang Rp 8 juta. Rasio utang terhadap PDB di bawah 30% bukan berarti aman apabila rasio pajak terus rendah. Akumulasi utang dan pendapatan rendah akan membawa Indonesia terjebak dalam perangkap utang (debt trap). Rasio Pajak Rendah
Pajak adalah sumber penerimaan terbesar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada tahun 2012 proyeksi penerimaan pajak berkontribusi sebesar Rp 1.033 triliun atau hampir empatperlima penerimaan negara. Meski terlihat besar, penerimaan tersebut sebenarnya masih rendah ditinjau dari nilai rasio pajak terhadap PDB. Rasio pajak adalah ukuran untuk menilai kemampuan pemerintah memungut pajak. Pada umumnya, negara yang lebih maju memiliki rasio pajak lebih tinggi. Rasio pajak Indonesia masih berkisar 12% terhadap PDB. Rasio ini termasuk dalam kategori rendah, apabila dibandingkan dengan negara-negara setara. Indonesia kini termasuk dalam kategori negara pendapatan menengah bawah (lower middle income) dan rata-rata rasio pajak
pada negara dalam kategori ini adalah sebesar 19%.1 Kapasitas penggalian pajak di Indonesia bahkan masih lebih buruk dibandingkan rata-rata rasio pajak negara miskin (low income) yang mencapai 14,3% (lihat grafik 1). Rasio penerimaan pajak Indonesia yang lebih rendah dari rata-rata negara miskin ini mengindikasikan adanya persoalan mendasar dalam kapasitas pemungutan pajak. Akan tetapi ditinjau dari sudut pandang positif, bila persoalan tersebut dibenahi maka potensi penerimaan pajak di Indonesia sangatlah tinggi. Berdasarkan kalkulasi IMF, kapasitas penerimaan pajak Indonesia kini hanya mendekati 60%.2 Artinya, potensi penerimaan
pajak
yang
hilang
mencapai 40% atau sekitar Rp 413 triliun pada tahun 2012. Padahal IMF dikenal
sebagai
lembaga
yang
konservatif. Artinya kalkulasi dari potensi
ini
pun
masih
tergolong
minimal. Merujuk rata-rata rasio pajak negara pendapatan menengah-bawah seperti Indonesia, maka potensi pajak yang masih bisa digali sebenarnya bisa mencapai Rp 512 triliun. Naiknya tingkat pendapatan Indonesia sebagai negara dengan kategori “negara pendapatan menengah”, seharusnya diikuti secara proporsional dengan tingkat kemampuan penerimaan pajak. Apabila “selisih pajak” (tax gap) yaitu perbandingan antara potensi dan penerimaan pajak sangat besar, maka pembenahan sistem, institusi dan kebocoran adalah kebutuhan mendesak.3 Utang Menumpuk dan Rasio Pajak
Konsekuensi penerimaan pajak yang rendah adalah kian bertambahnya utang untuk membiayai pembangunan. Dari tahun ke tahun, utang Indonesia nyaris selalu lebih besar dari pembayaran utang sehingga jumlahnya makin menumpuk. Pada tahun 2012 jumlah utang Indonesia akan mencapai Rp 1.937 triliun (lihat grafik 2). Ini berarti, tiap warga negara Indonesia akan memikul beban utang sekitar Rp 8 juta.
Rasio utang Indonesia seringkali dikatakan aman karena masih di bawah 30% dari PDB. Pernyataan ini mesti disampaikan lebih hatihati,
karena
besarnya
utang
seharusnya perlu dikaitkan pula dengan
kemampuan
perolehan
pendapatan. Logika sederhananya, meski utang relatif tidak besar namun apabila tingkat pendapatan atau rendah
kemampuan tentu
membayar saja
tetap
mengkhawatirkan. Inilah yang menjelaskan mengapa negara-negara maju mempunyai peringkat utang lebih baik dari Indonesia, meskipun terkadang rasio utang mereka bahkan melampauiTak perlu jauh-jauh ke Eropa, negara tetangga seperti Malaysiadan Thailandmempunyai peringkat yang lebih baik dari Indonesia yaitu A- dan BBB+. Padahal, utang Malaysia mencapai 54% dan Thailand 44% terhadap PDB.6 Lebih jauh ditelisik, rasio penerimaan pajak kedua negara tersebut berada di kisaran 19%, jauh lebih besar dari Indonesia.7 Inilah salah satu penyebab peringkat Indonesia masih kalah dibanding kedua negara tetangga tersebut.
Meski tingkat rasio pajak bukan satu-satunya ukuran menentukan peringkat peminjam, ukuran tersebut sangat vital mengindikasikan kemampuan pembayaran pinjaman. Tentu saja, uraian di atas tidak dimaksudkan agar Indonesia harus meningkatkan rasio pajak untuk mengejar utang yang lebih besar. Ini hanya untuk menunjukkan satu hal yang sering luput dari analisis sekaligus membuktikan bahwa rasio utang terhadap PDB yang relatif kecil belum tentu aman apabila rasio pajak tetap rendah. Tentu saja yang ideal adalah rasio utang terhadap PDB rendah dan rasio pajak tinggi. Dalam rangka mengamankan penerimaan PPN dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak, khususnya penyelesaian restitusi PPN berdasarkan urat Edaran Nomor SE-01/PJ.52/2006 10 Februari 2006 tentang Perekaman SPT Masa PPN Dan Konfirmasi Faktur Pajak maka perlu diperhatikan hal-hal sbb.:
1) Konfirmasi
Faktur
Pajak
merupakan
salah
satu
prosedur
administrasi
yang
dilakukan untuk mengawasi pemenuhan kewajiban PPN. Oleh karena itu Konfirmasi Faktur Pajak tidak hanya dilakukan dalam rangka tindakan pemeriksaan. 2) Dalam
setiap
pelaksanaan
pemeriksaan
pajak,
konfirmasi
Faktur
Pajak
merupakan prosedur yang wajib dilakukan khususnya yang menyangkut pembelian dan penjualan dan harus dilakukan bersamaan dengan prosedur-prosedur dan/atau pengujian pemeriksaan lainnya. 3) Salah
satu
aplikasi
yang
terdapat
dalam
program
SIP
adalah
konfirmasi
PM-PK Pajak Pertambahan Nilai. Dengan aplikasi dimaksud dapat dihasilkan informasi untuk konfirmasi PM-PK antara PKP Penjual dengan PKP Pembeli, baik PKP tsb terdaftar pada satu KPP, pada KPP dalam satu Kantor Wilayah, ataupun pada KPP yang berbeda Kantor Wilayah Sehubungan dengan sesuatu hal, maka sistem aplikasi konfirmasi Faktur Pajak pada intranet Direktorat Jenderal Pajak sedang dilakukan penyempurnaan sehingga tidak dapat diakses sampai dengan pemberitahuan lebih lanjut. 4) Oleh
karena
sistem
aplikasi
konfirmasi
Faktur
Pajak
pada
intranet
Direktorat Jenderal Pajak tidak dapat diakses, maka dengan ini diwajibkan untuk melakukan konfirmasi secara manual terhadap seluruh faktur pajak yang dapat diperhitungkan. 5) Perlu
ditegaskan
bahwa
yang
dimaksud
dengan
Faktur
Pajak
yang
dapat
diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Faktur Pajak yang memenuhi syarat sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-754/PJ./2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Konfirmasi
Faktur
Pajak
dengan
Aplikasi
Sistem
Informasi
Perpajakan. Dengan demikian walaupun berdasarkan hasil konfirmasi dan atau klarifikasi Pajak Keluaran sudah dipertanggungjawabkan oleh PKP Penjual apabila berdasarkan ketentuan Faktur Pajak tsb tidak memenuhi syarat sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan maka Faktur Pajak tsb tetap tidak dapat diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. 6) Meskipun demikian, kewajiban untuk melakukan perekaman SPT Masa PPN di masing-masing KPP sebagaimana ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal pajak No. SE-06/PJ.9/1997 tanggal 23 Juli 1997 tentang Perekaman SPT Masa PPN tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yaitu untuk perekaman SPT Masa PPN induk berserta lampiran-lampirannya untuk suatu Masa Pajak harus sudah dapat
diselesaikan selambat-lambatnya pada tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan dilaporkannya SPT Masa PPN yang bersangkutan. 7) Dengan berlakunya Surat Edaran Dirjen Pajak ini, maka Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-07/PJ.54/1994 tentang Konfirmasi Faktur Pajak yang berjumlah Rp 2 juta kebawah dinyatakan tidak berlaku.
BAB IV KESIMPULAN
Pajak pertambahan nilai (PPN) merupakan termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung. Pengenaan PPN sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat yang merupakan objek dari PPN tersebut. Jadi pengawasan terhadap pemungutan PPN harus terus diawasi. Sementara itu perencanaan pajak adalah proses pengelolaan kewajiban perpajakan sehingga hutang pajaknya baik pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya, berada dalam posisi yang minimal, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan atau dilakukan secara legal yang dapat diterima oleh aparat perpajakan. Adapun hal-hal yang dapat dilakukan dalam enghindaran PPN adalah 1. Memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau non-PKP pada pengusaha kecil. 2. Mendahulukan penerbitan performa invoice sebelum menerbitkan invoice. 3.
Melakukan pengelolaan faktur pajak dengan baik
4.
Mengajukan permohonan sentralisasi PPN dalam hal perusahaan memiliki banyak cabang.
5.
Penanganan pengajuan restitusi PPN dengan baik.
6.
Mengupayakan agar PM dan PK terjadi pada masa yang sama.
7.
Memanfaatkan fasilitas-fasilitas PPN.
DAFTAR PUSTAKA