1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Teori pilihan rasional, kadang disebut teori pilihan atau teori tindakan rasional, adalah kerangka pemikiran untuk memahami dan merancang model perilaku sosial dan ekonomi. Asumsi dasar teori pilihan rasional adalah seluruh perilaku sosial disebabkan oleh perilaku individu yang masing-masing membuat keputusannya sendiri. Teori ini berfokus pada penentu pilihan individu (individualisme metodologis). Dalam teori pilihan rasional, individu didorong oleh keinginan atau tujuan yang mengungkapkan 'preferensi'. Mereka bertindak dengan spesifik, mengingat kendala dan atas dasar informasi yang mereka miliki tentang kondisi di mana mereka bertindak. Paling sederhana, hubungan antara preferensi dan kendala dapat dilihat dalam istilah-istilah teknis yang murni dari hubungan dari sebuah sarana untuk mencapai tujuan. Karena tidak mungkin bagi individu untuk mencapai semua dari berbagai hal-hal yang mereka inginkan, mereka juga harus membuat pilihan dalam kaitannya dengan tujuan mereka berdua dan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan ini. Teori pilihan rasional berpendapat bahwa individu harus mengantisipasi hasil alternatif tindakan dan menghitung bahwa yang terbaik untuk mereka. Rasional individu memilih alternatif yang akan memberi mereka kepuasan terbesar. Teori pilihan rasional memusatkan perhatian pada aktor dimana aktor dipandang sebagai menusia yang mempunyai tujuan atau mempunyai maksud
2
artinya aktor mempunyai tujuan dan tindakan tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan tersebut, aktor pun dipandang mempunyai pilihan atau nilai serta keperluan. Teori pilihan rasional tidak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi sumber pilihan aktor, yang penting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihan aktor.
B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penulisan Makalah
3
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Teori Pilihan Rasional Teori pilihan rasional pada dasarnya mempakan kristaliasi dan pemahaman perkembangan aliran pemikiran dan paham rasionalitas di Eropa Barat, yaitu paham teori yang muncul pada abad pertengahan, sebagal antitesis atas pemikiran paham naturalis. Pilihan rasional sebagai model penjelasan dan tindakan-tindakan manusia, dimaksudkan untuk memberikan analisa formal dan pengambilan keputusan rasional berdasarkan sejumlah kepercayaan dan tujuan, serta menggabungkan beberapa area teori ekonomi, teori kemungkinan, game theory, dan teori public goods. Prinsip dasar teori pilihan rasional berasal dari ekonomi neoklasik. Dalam sosiologi dipopulerkan oleh Coleman. Teori ini menjadi popular ketika Coleman mendirikan jurnal Rationality and Society pada 1989 yang dimaksudkan untuk menyebarkan pemikiran yang berasal dari perspektif pilihan rasional. Teori pilihan rasional merupakan tindakan rasional dari individu atau aktor untuk melakukan suatu tindakan berdasarkan tujuan tertentu dan tujuan itu ditentukan oleh nilai atau pilihan (prefensi). Tetapi, Coleman selanjutnya menyatakan bahwa untuk maksud yang sangat teoritis, ia memerlukan konsep yang lebih tepat mengenai aktor rasional yang berasal dari ilmu ekonomi, yang melihat aktor memilih
4
tindakan yang dapatmemaksimalkan kegunaan atau yang memuaskan kegiatan dan kebutuhan mereka.1 Teori pilihan rasional memusatkan perhatian pada aktor. Aktor dipandang sebagai manusia yang mempunyai tujuan atau mempunyai maksud. Artinya aktor mempunyai tujuan dan tindakannya tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan itu. Aktor pun dipandang mempunyai pilihan atau nilai, keperluan, yang penting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihannya. Teori ini dalam pandangan Coleman sebagai paradigma tindakan rasional yang merupakan integrasi berbagai paradigma sosiologi. Coleman dengan yakin menyebutkan bahwa pendekatannya beroperasi dari dasar metodologi individualisme. Dengan menggunakan teori pilihan rasional sebagai landasan tingkat mikro, umtuk menjelaskan fenomena tingkat makro. tersebut. Aktor pun dipandang mempunyai pilihan atau nilai serta Teori pilihan rasional memusatkan perhatian pada aktor, dimana aktor dipandang sebagai mampunyai tujuan dan mempunyai maksud. Artinya aktor yang mempunyai tujuan, tindakannya tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan keperluan. Teori pilihan rasional tidak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi sumber pilihan aktor, yang penting adalahkenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkat pilihan aktor.2
1 Pratama, Edwin Rizky. 2015. Mobilitas Sosial Pengusaha Industri Kecil Tempe Di Desa Sepande Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo. Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya Hal 33
5
Sedangkan Bouffard and et al (2010) memperspektifkan teori pilihan rasional sebagai identifikasi dari berbagai penjelasan tentang cost and benefit atau diinterpretasikan sebagai tingkat nilai dan keuntungan. Oleh karena itu teori pilihan rasional erat kaitan dengan teori pengambilan keputusan. Sebelumnya, disampaikan oleh Koppl dan Whitman (2004) bahwa terjadi selisih paham para ilmun'an sosial di Viena antara historicism dengan positivism. Ketika mengkaji hermenetik (tafsir) teori pilihan rasional mereka bersaing dalam metode antara ilmu ekonomi dan sosial. Kemudian mereka menccba mengkombinasikan elemenelemen terbaik diantara keduanya. Lebih lanjut Koppl dan Whitman (2004) mengatakan bahwa teori pilihan rasional adalah model manusia sebagai pelaku yang selalu memecahkan persoalannya secara optimasi matematik sesuai dengan pilihannya. Dalam kajian hermenetik menunjukkan kesamaan dengan teori neoklasik yaitu perilaku memilih bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan, sehingga tindakan rasional disebut tindakan ekonomi.3 Etzioni (1986) mengatakan bahwa rasionalitas diindikasikan terdapatnya pikiran-pikiran untuk memilih. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dari sisi pendekatan tujuan yaitu untuk melihat skala prioritas dari yang kurang sampai yang lebih penting sesuai dengan tujuan yang dicapai. Sedangkan March (1978) mendefinisikan dengan pendekatan lain yaitu kemampuan untuk mengumpulkan 2 Upe, Ambo. 2010. Tradisi Aliran dalam Sosiologi. Jakarta: PT Raja Grafindo, Hal : 193. 3 Hardiwinoto. 2011. Perilaku Rasional Para manajer Dalam Pengambilan Keputusan Pembiayaan Melalui Bank Syariah. Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang hal: 92
6
dan menginterpretasikan informasi serta mampu menyelesaikan secara benar. Informasi yang dimaksud Etzioni (1986) adalah cost information sebagai pertimbangan pengambilan keputusan rasional.4 Friedman dan Hechter mengemukakan dua gagasan lain yang menjadi dasar teori pilihan rasional. Pertama adalah kumpulan mekanisme atau proses yang “menggabungkan tindakan aktor individual yang terpisah untuk menghasilkan akibat sosial”. Kedua adalah bertambahnya pengertian tentang pentingnya informasi dalam membuat pilihan rasional. Suatu ketika diasumsikan bahwa aktor mempunyai informasi yang cukup untuk membuat pilihan diantara berbagai peluang tindakan yang terbuka untuk mereka. Sementara menurut pandangan Heckathorn aktor pun makin mengenal bahwa kuantitas dan kualitas informasi yang tersedia sangat berubah-ubah dan perubahan itu sangat mempengaruhi pilihan aktor.5 Dalam tataran aplikasinya teori pilihan rasional sangat erat kaitannya dengan masyarakat pemilih, partai politik, politisi, birokrat dan kelompok kepentingan. Pilihan individu dalam pasar dikonversi menjadi pilihan sosial dalam pasar politik dan agregasi preferensi individu untuk memaksimalkan fungsi kesejahteraan sosial atau memuaskan seperangkat kriteria normatif yang dimilikinya secara individu bersama individu lainnya.
4 Ibid 5 Marten. 2012. Hubungan Antara Penguasa Dengan Pengusaha Di Daerah (Studi Kasus Bupati Terpilih Kabupaten Toraja Utara Tahun 2011). Makasar : UNHAS Hal :22
7
Melihat teoritis di atas, sangat jelas inti atau akar dari pandangan teori pilihan rasional yang menelaah perilaku aktor pada pendekatan pilihan rasional dipusatkan pada individu bahwa pada dasarnya tujuan aktor adalah bagaimana memaksimalkan pencapaian kepentinganya. Inti dari teori pilihan rasional adalah bagaimana aktor memaksimalkan pencapaian tujuan-tujuan kepentinganya. Sedangkan fokus utama teori pilihan rasional dipusatkan pada aktor, seorang aktor dipandang sebagai manusia yang mempunyai tujuan maupun maksud. Oleh karena aktor tersebut mempunyai tujuan, maka tindakannya pun terpengaruh pada upaya pencapaian kepentingan tersebut. Menurut James S. Coleman pilihan rasional adalah tindakan perseorangan yang mengarah kepada suatu tujuan dan tindakan ditentukan oleh nilai atau (preferensi) pilihan. Menurut Friedman dan Hechter ada tiga kelebihan yang dimiliki oleh teori pilihan rasional, yaitu; (1) memiliki kontribusi pada area pengukuran, (2) sebagai pendekatan pertikaian dalam institusi sosial (seperti: dalam hukum, peraturanperaturan, norma, dan nilai-nilai budaya) dan (3) memberikan kemungkinan tentang cara untuk menjawab pilihan tujuan individu. Adanya kesempatan untuk pengukuran, yang dapat dilakukan oleh pilihan rasional adalah pada proses pembuatan keputusan (decision making processes) individu dalam agregasi (aggregation).
8
Sekalipun berbagai penganut Rational Choice mempunyai penjelasan yang berbeda-beda, substansi dasar dari doktrin ini telah dirumuskan oleh James B. Rule, sebagai berikut:6 1. Tindakan manusia pada dasarnya adalah “instrumen” (dalam arti: alat bantu), agar perilaku manusia dapat dijelaskan sebagai usaha untuk mencapai suatu tujuan yang sedikit banyak jarak jauh. Untuk manusia, atau utnuk kesatuan yang lebih besar, tujuan atau nilai tersusun secara hirarkis yang mencerminkan preferensinya mengenai apa yang diinginkan atau diperlukannya. Hirarki preferensi ini relatif stabil. 2. Para Aktor merumuskan perilakunya melalui perhitungan rasional mengenai aksi mana yang akan memaksimalkan keuntungannya. Informasi relevan yang dimiliki oleh aktor sangat memengaruhi hasil dari perhitungannya. 3. Proses-proses sosial berskala besar termasuk hal-hal seperti rating, institusi dan praktik-praktik merupakan hasil dari kalkulasi seperti itu. Mungkin akibat dari pilihan kedua, pilihan ketiga atau pilihan N perlu dilacak. Seperti teori-teori lain dalam ilmu sosial, teori pilihan rasional tidak muncul dalam ruang hampa, tetapi kemunculannya dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa kemunculan teori pilihan rasional dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran atau teori-teori lain yang ada saat itu. Atas dasar demikian, keberadaan teori pilihan rasional dalam khazanah teoriteori ilmu sosial ternyata masih berkaitan dengan teori pertukaran sosial yang muncul terlebih dahulu dan memusatkan perhatiannya pada pelaku (aktor) yang 6 Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Hal : 93
9
dipandang sebagai manusia yang memiliki tujuan. Oleh karena terdorong oleh adanya beberapa kritik dan pertanyaan yang dialamatkan kepada sejumlah kerangka teori pertukaran sosial, Coleman dan beberapa teoretisi pilihan rasional lainnya berupaya membangun sebuah teori yang diperuntukkan sebagai jawaban atas kritikan-kritikan tersebut. Berdasarkan kajian Linda Molm, setidaknya terdapat dua hal yang menjadi sasaran kritik terhadap teori pertukaran (Homans) yang menjadi dasar pengembangan teori pilihan rasional yang dilakukan oleh Coleman dan kelompoknya. Pertama, terkait dengan adanya preposisi rasionalitas apakah orang secara aktual menghitung adanya untung rugi dalam suatu cara yang rasional, dan kedua, menyangkut beberapa prinsip behavioral berupa pemaksaan, diskriminasi, stimulus dan satiasi.7 Aspek lainnya yang menciptakan keterkaitan teori pilihan rasional dengan teori pertukaran sosial adalah terkait beberapa tema instrumentalnya. Hal ini sebagaimana terlihat pada adanya teori operan (reinforcement) yang dalam pandangan teori pertukaran sosial aktor diasumsikan selalu melihat ke belakang karena orientasi perilakunya berlandaskan pada pengalaman yang dialaminya di masa lalu, sedangkan berdasarkan perspektif teori pilihan rasional, aktornya selalu berorientasi ke depan atau berlandaskan pada capaian tujuan atau kondisi yang diinginkannya. Di samping keterkaitannya dengan teori pertukaran sosial, teori pilihan rasional juga berasal dari ilmu ekonomi dengan asumsi dasar bahwa masyarakat bertindak secara rasional. Hal ini berasal dari pandangan ekonomi klasik yang 7 https://pahrudinhm.wordpress.com/tag/pilihan-rasional/ Dikutip Tanggal 30 Maret 2016 pukul 20:45
10
mengansumsikan bahwa aktor memiliki sifat-sifat rasional yang berakar pada pengandaian Adam Smith mengenai bekerjanya sistem ekonomi dalam masyarakat melalui mekanisme the invisible hand yang disebutnya sebagai syarat yang mampu menciptakan masyarakat yang paling adil. Rasionalitas diasumsikan sebagai syarat manusia modern karena seseorang yang rasional dianggap memiliki seperangkat preferensi yang berhubungan dengan pilihan yang ada di depannya. Seorang yang rasional cenderung menjatuhkan pilihannya pada sesuatu yang memuaskan kehendaknya, tidak pada sesuatu yang justru mengurangi kehendaknya, serta pada sesuatu yang memiliki kemungkinan pencapaian yang lebih besar.
B. Metodologi Teori Pilihan Rasional Sebagai upaya menyusun aturan mainnya, teori pilihan rasional memiliki postulat-postulat atau seperangkat asumsi yang berfungsi sebagai penuntun dalam kajian-kajian sosial, yaitu: 1)Suatu fenomena sosial adalah dampak dari keputusan-keputusan, tindakan-tindakan, sikap-sikap, dan lain sebagainya yang dilakukan oleh individu; 2)
Setidaknya pada prinsipnya, suatu tindakan dapat dipahami;
3)
Setiap tindakan disebabkan oleh alasan-alasan yang ada di benak individu (postulat rasionalitas);
4)
Alasan-alasan ini berasal dari pertimbangan oleh aktor tentang konsekuensi-konsekuensi yang bakal timbul dari tindakannya
11
sebagaimana dipahaminya sendiri (postulat konsekuensialisme atau instrumentalisme); 5)
Aktor-aktor menaruh perhatian terutama pada konsekuensikonsekuensi yang ditimbulkan oleh tindakan-tindakannya sendiri terhadap dirinya sendiri;
6)
Aktor-aktor mampu membedakan untung ruginya alur-alur tindakan alternatif dan memilih alur tindakan yang memiliki keseimbangan yang paling baik atau positif (maksimalisasi atau optimisasi).
Lalu, bagaimana teori pilihan rasional menganalisis suatu fenomena sosial dalam masyarakat? Menurut Coleman, seseorang yang akan melakukan analisis menggunakan teori pilihan rasional dapat terlebih dahulu menganalisis tindakan dan relasi-relasi sosial elementer yang terdapat di dalamnya. Seperti yang dinyatakan dalam teori pertukaran klasik bahwa aktor pada hakekatnya mempunyai kepentingan (interest) dan mereka mengontrol sumberdaya dan persaingan, akan tetapi pengontrolan mereka terhadap sumberdaya dan persaingan tersebut tidak secara penuh sehingga mereka melakukan pertukaran sumberdaya yang mereka miliki tersebut. Atas dasar demikian, Coleman mengembangkan teori pilihan rasional dengan menekankan pada kajian seputar struktur tindakan dengan menitikberatkan studinya pada kewenangan, sistem kepercayaan, tindakan kolektif dan juga norma-norma. Bagi Coleman, kewenangan merupakan hak untuk mengontrol tindakan aktor lainnya yang dapat dijalankan karena adanya pemberian hak individu lain
12
yang digolongkan sebagai tindakan rasional untuk mengontrol tindakannya. Pengalihan hak kontrol oleh individu (resiprositas) yang merupakan konsekuensi kehidupan kolektif (redistribusi) tersebut disertai asumsi bahwa pengalihan hakhak akan dilakukan sedemikian rupa sehingga menguntungkan individu tersebut dibandingkan jika hak-hak tersebut mereka pegang sendiri. Meskipun pada awalnya, masing-masing individu memegang sendiri hak-haknya, namun secara berlahan kemudian dialihkan kepada orang lain. Pertanyaannya kemudian adalah, kenapa orang secara sepihak mengalihkan hak kontrol atas tindakannya kepada orang lain? Berdasarkan teori pilihan rasional, hal ini karena masing-masing individu ingin mengoptimalkan atau memaksimalkan kepentingan mereka. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kewenangan merupakan sebuah pertukaran ketika hak untuk mengontrol tindakan orang lain dipertukarkan dengan beberapa jasa (seperti berupa pemberian perlindungan) atau kompensasi moneter dalam sebuah organisasi. Setelah menganalisis fenomena pengalihan hak individu kepada orang lain yang menghasilkan wewenang dan memunculkan sistem kepercayaan, maka langkah berikutnya adalah tindakan kolektif. Pada tahap ini, seorang aktor tidak boleh bertindak menurut kepentingannya sendiri, tetapi harus bertindak berdasarkan kepentingan bersama (kolektivitas). Meskipun demikian, pada kenyataannya tidak selalu para aktor melakukan kegiatan sebagaimana yang dikehendaki secara kolektif. Hal ini karena terdapat kondisi-kondisi yang membuat para aktor mengalami tiga dilema, yaitu terkait dengan kepercayaan, persaingan, dan koordinasi.
13
Pertama, Dilema Tahanan/Tawanan (prisoner’s dilemma) yang terkait dengan isu kepercayaan yang dianalogikan dari gambaran dua tersangka kriminal yang diinterogasi secara terpisah mengenai tindakan kejahatan yang mereka lakukan. Prisoner’s Dilemma dicirikan oleh ketiadaan komunikasi yang efektif antara dua orang yang masing-masing sebisa mungkin berusaha menghindari hasil yang buruk, meskipun mereka secara kolektif gagal untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Adapun penjelasan dari dilema semacam ini adalah sebagaimana berikut ini: 1.
Salah satu tahanan akan mendapatkan insentif dari pengakuan
kejahatan yang dilakukannya di saat tahanan lainnya bungkam (Kelemahan Sepihak=Bujukan). Kondisi seperti ini juga lazim dikenal sebagai unilateral defection (temptation); 2.
Kedua tahanan sama-sama tidak mengakui kejahatan yang
dilakukannya sehingga akan mendapatkan vonis ringan di pengadilan atau Kerjasama Universal (universal cooperation); 3.
Kedua tahanan secara bersama-sama mengakui kejahatan yang
telah mereka lakukan sehingga mendapatkan hukuman yang berat dari pengadilan atau Pembelotan Universal (universal defection); 4.
Satu tahanan mengakui perbuatan jahatnya sehingga tahanan yang
tidak mengaku mendapatkan hukuman berat oleh pengadilan atau Kerjasama Sepihak (universal cooperation). Berdasarkan kondisi-kondisi yang mungkin terjadi dalam Dilema Tahanan di atas, maka kondisi yang terakhir menjadi kondisi yang paling parah. Hal ini
14
karena ketidaan kepercayaan di antara kedua tahanan tersebut. Jika para tersangka dapat saling mempercayai dan sama-sama diam, maka mereka akan lolos dari dakwaan dan mendapatkan hukuman yang ringan. Salah satu indikator dari dilema semacam ini adalah potensi hipokrisi, dimana kapan pun individu melakukan sesuatu yang mereka pikir orang lain tidak melakukannya, maka di sanalah memungkinkan terjadinya dilema tahanan. Dilema Kedua yang muncul adalah Permainan Pengecut atau dikenal juga dengan istilah Chicken Game yang berkaitan dengan persaingan memperebutkan sumberdaya yang langka. Dilema ini muncul dari permainan untuk menguji keberanian mengemudikan mobil secara berhadap-hadapan. Dalam permainan ini setiap pemain memilih di antara dua strategi: chicken (berbelok untuk menghindari tabrakan) atau daredevil (tidak berbelok) yang berarti kemungkinan terjadinnya tabrakan. Dalam permainan ini terdapat tawar menawar yang menjelaskan bagaimana aktor menilai kekuatan posisi strategisnya untuk memutuskan berapa banyak konsesi yang memungkinkan terjadinya kesepakan, serta sumber-sumber konflik apabila tidak tercapai kesepakatan. Sedangkan Dilema Ketiga adalah Permainan Jaminan (Assurance Game) yang muncul ketika diperlukan koordinasi untuk usaha gabungan. Dalam permainan ini setiap pemain termotivasi untuk bekerjasama dengan jaminan bahwa orang lain akan melakukan tindakan yang sama. Di samping ketiga dilema tersebut di atas, para aktor yang terlibat dalam suatu hubungan sosial dalam perspektif teori pilihan rasional juga memunculkan aktor-aktor yang mengejar kepentingan pribadi yang mungkin saja berbeda
15
dengan tujuan kolektif mereka. Fenomena semacam ini disebut Coleman sebagai free-rider atau penunggang/pembonceng bebas yang memanfaatkan sarana atau fasilitas kolektif untuk kepentingan pribadi yang bukan tidak mungkin berbeda dengan tujuan bersama. Sebagai upaya mencapai tujuan kolektif, para pembonceng bebas ini harus diatasi, atau paling tidak diminimalisasi, dengan cara paling awal adalah rekruitmen anggota kelompok secara selektif dan berikutnya melalui insentif yang menarik bagi mereka yang taat aturan serta dapat pula dengan jalan pemaksaan. Hal ini karena jika terlalu banyak kelompok semacam ini maka kebaikan kolektif tidak akan tersedia sama sekali. Beberapa kajian mengenai masalah ini mengungkapkan bahwa bahkan jika semua anggota satu kelompok sama-sama berminat terhadap kebaikan tersebut, hal itu bukan berarti mereka akan selalu mengorganisasikan diri untuk mengejarnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tindakan kolektif akan menjadi kenyataan jika problem pembonceng bebas dapat diatasi. Sebagai upaya mengatasi kondisi-kondisi di atas, maka diperlukan kelembagaan. Adapun bentuk-bentuk lembaga atau institusi tersebut adalah Norma, Pasar, Hierarki, Pemilihan. Pertama, Norma, menurut Coleman, muncul karena karena inisiatif individu-individu tertentu yang melihat adanya keuntungan yang akan diperoleh akibat ditaatinya suatu aturan dan dampak negatif kalau aturan yang ada tidak diindahkan oleh mereka yang berinteraksi di dalamnya. Dengan kata lain, orang ingin melepaskan pengendalian terhadap perilaku mereka, tetapi dalam prosesnya, mereka memperoleh pengendalian melalui norma
16
terhadap perilaku orang lain. Dalam ungkapan lain dapat dikatakan bahwa orang akan memaksimalkan keuntungan yang mereka peroleh dengan menyerahkan sebagian hak kontrol atas orang lain dan mendapatkan kontrol parsial atas orang lain sehingga memunculkan keseimbangan. Sebuah norma yang berkaitan dengan tindakan tertentu akan mengemuka di saat hak yang ditetapkan secara sosial untuk mengontrol tindakan tersebut dipegang bukan oleh pelakunya, melainkan oleh pelaku-pelaku lainnya. Hal ini sejalan dengan konsensus dalam sistem sosial yang menyatakan bahwa untuk mengontrol tindakan dipegang oleh pelaku-pelaku lain. Norma yang sudah dibentuk secara bersama-sama harus ditaati oleh masing-masing individu, meskipun tidak jarang bertentangan atau berbeda dengan kepentingan para pelaku yang ada di dalamnya. Bagi individu yang selalu mengindahkan norma yang sudah terbentuk tentu akan mendapatkan insentif, sedangkan bagi yang melanggar akan mendapatkan sanksi. Berdasarkan paparan di atas maka dapat dikatakan bahwa teori pilihan rasional yang diketengahkan Coleman sangat bernuansa relasi mikro-makromikro. Hal ini mengemuka pada hubungan antara tindakan individual berupa pengalihan wewenang kepada orang lain yang menghadirkan tindakan kolektif dan kemudian memunculkan norma yang pada akhirnya akan kembali kepada individu lagi. Fenomena ini sebagaimana terlihat dalam gambar berikut ini. Kedua, Pasar didasarkan pada kumpulan pertukaran di antara para pelaku tunggal (seperti pasar tani), campuran (seperti pembelian korporasi), dan korporat (seperti pasar modal). Dengan demikian pasar tidak hanya dipahami sebagai arena
17
transaksi moneter seperti dalam ekonomi, tetapi juga fenomena sosiologis tradisional di dalamnya. Seperti Pasar Pernikahan yang bergantung pada macammacam faktor, seperti prospek pekerjaan, daya tarik dan lain sebagainya. Dalam konteks ini, yang menjadi fokus adalah upaya untuk berlahan-lahan membangkitkan atribut-atribut yang akan menaikkan nilai seseorang dalam pasar pernikahan. Ketika upayanya untuk menaikkan daya nilainya tersebut berhasil, maka ia tidak akan mengalami dilema sebagaimana yang mengemuka di atas. Akan tetapi sebaliknya, ketika ia gagal memenuhi keinginan pasar (kolektif), maka salah satu dari ketiga dilema tersebut akan dialaminya. Institusi ketiga adalah Hierarki, yaitu prinsip fundamental yang diperuntukkan bagi aktor tunggal untuk melaksanakan kekuasaan atau pengaruh atas sekumpulan aktor rendahan. Dalam konteks ini, terdapat dua pihak yang terlibat di dalamnya, yaitu atasan yang berfungsi sebagai superordinat dan bawahan yang berperan sebagai subordinat. Teori Agensi merupakan suatu teori pilihan rasional yang dipakai menganalisis hubungan hirarki dan memfokuskan pada ketidaksimetrisan informasi antara para individu yang mendapat layanan (principals) dan individu yang mempekerjakan mereka (agents). Berdasarkan teori ini, terdapat dua masalah yang mengemuka, yaitu terjadi secara ex ante dimana agen yang sebenarnya memiliki insentif dan kesempatan terbesar untuk memberikan pelayanan kepada atasannya cenderung menjadi pihak yang tidak termotivasi (seperti kesulitan memenuhi kualifikasi pendidikan untuk lowongan pekerjaan tertentu), dan terjadi secara ex post, setelah pelayanan dipertahankan. Jika para atasan tidak memiliki sarana untuk memonitor kinerja agen, para agen
18
mungkin akan bertindak dengan cara mereka sendiri guna memenuhi kepentingannya. Terakhir, adalah Pemilihan, dimana para aktor kelompok melakukan suatu kegiatan yang dapat memengaruhi kolektivitas. Satu persatu dilema sosial di atas akan muncul kalau para aktor memilih pilihan aktivitas yang tidak baik, di luar yang dikehendaki secara kolektif, terhadap suatu kegiatan. Adapun contoh dari hal ini adalah pemilihan umum yang diperuntukkan untuk memilih wakil rakyat yang baik, tetapi dilakukan dengan cara-cara tidak baik, seperti curang dan kampanye hitam. Hal ini berakibat pada terjadinya dilema sosial di kalangan para anggota yang tergabung dalam kelompok tersebut.8
8 Ibid