MAKALAH MENYUSUN MENYUSUN PERSAMAAN PERSAMAA N DASAR AKUNTANSI AKUNTANSI
Mater Materii ini disusun disusun untuk untuk memenuh memenuhii Mata Mata Kul Kuliah Sosiologi Disusun Disusun Oleh Oleh
Dery Pr Prihat ihatii Butar Butar (2014161045 (2014161045)) Yosi Ariyadi
(2014161046)
Dosen Pembimbing Pembimbing
Supriantini Supriantini,, S.Pd., M.SI. M .SI.
UNIVERS UNIVERSIT ITAS AS PGRI PGR I PALEMBANG PALEMBANG Fakulta akultass Keguruan Keguruan dan dan Ilmu Pendidikan endidikan Thn. Akademik Akademik 2014/2015
i
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik mili k Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada
Rasulullah SAW.
Berkat
limpahan
dan rahmat-Nya penyusun
mampu
menyelesaikan tugas makalah ini. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi. Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber inf ormasi, referensi, dan berita. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa Universitas PGRI Palembang. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing saya meminta m eminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah saya di masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.
Team Penulis
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik mili k Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada
Rasulullah SAW.
Berkat
limpahan
dan rahmat-Nya penyusun
mampu
menyelesaikan tugas makalah ini. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi. Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber inf ormasi, referensi, dan berita. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa Universitas PGRI Palembang. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing saya meminta m eminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah saya di masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.
Team Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ............................................ ................................................................... ............................................ ................................... .............. Kata Pengantar ........................................... .................................................................. ............................................ ................................... .............. Daftar Isi ......................................... ............................................................... ............................................. ............................................. ........................ .. BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ............................................ ................................................................... ............................................. ........................ ..
i ii iii
1.2.
Rumusan Masalah .......................................... ................................................................. ........................................... ....................
2
1.3.
Tujuan Penulisan .......................................... ................................................................ ............................................ ........................ ..
2
BAB II. PEMBAHASAN 2.1. Pengertian Budaya dan Kebudayaan .......................................... .......................................................... ................
3
2.2.
Perubahan Sosial Budaya ........................................... .................................................................. ................................ .........
4
2.3.
Sosial Budaya Sulawesi Tengah ............................................ ................................................................. .....................
6
2.4.
Suku-Suku di Sulawesi Tengah .......................................... ............................................................... ........................ ...
10
2.5.
Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah ........................................... ........................................................ .............
25
1
BAB III. PENUTUP 3.1. Kesimpulan ............................................ .................................................................. ............................................ ................................ ..........
29
3.2. Saran .......................................... ................................................................ ............................................ ........................................... .....................
30
DAFTAR PUSTAKA ............................................ .................................................................. ............................................ ........................ ..
31
iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Beberapa ahli seperti Goodenough (1971), Spradley (1972), dan Geertz (1973) mendefinisikan arti kebudayaan di mana kebudayaan merupakan suatu sistem pengetahuan, gagasan dan ide yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat yang berfungsi sebagai landasan pijak dan pedoman bagi masyarakat itu dalam bersikap dan berperilaku dalam lingkungan alam dan sosial di tempat mereka berada (Sairin , 2002). Sebagai sistem pengetahuan dan gagasan, kebudayaan yang dimiliki suatu masyarakat merupakan kekuatan yang tidak tampak (invisble power), yang mampu menggiring dan mengarahkan manusia pendukung kebudayaan itu untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan pengetahuan dan gagasan yang menjadi milik masyarakat tersebut, baik di bidang ekonomi, sosial, politik, kesenian dan sebagainya. Sebagai suatu sistem, kebudayaan tidak diperoleh manusia dengan begitu saja secara ascribed, tetapi melalui proses belajar yang berlangsung tanpa henti, sejak dari manusia itu dilahirkan sampai dengan ajal menjemputnya. Proses belajar dalam konteks kebudayaan bukan hanya dalam bentuk internalisasi dari sistem “pengetahuan” yang diperoleh manusia melalui pewarisan atau transmisi dalam keluarga. Melalui pewarisan kebudayaan dan internalisasi pada setiap individu, pendidikan hadir dalam bentuk sosialisasi kebudayaan, berinteraksi dengan nilai-nilai masyarakat setempat dan memelihara hubungan timbal balik yang menentukan proses-proses perubahan tatanan sosio-kultur masyarakat dalam rangka mengembangkan kemajuan peradabannya. Sebaliknya,
dimensi-dimensi
sosial
yang
senantiasa
mengalami
dinamika
perkembangan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan faktor dominan yang telah membentuk eksistensi pendidikan manusia. Penggunaan alat dan sarana kebutuhan hidup yang modern telah memungkinkan pola pikir dan sikap manusia untuk memproduk nilai-nilai baru sesuai dengan intensitas pengaruh teknologi terhadap tatanan kehidupan sosial budaya. Berbicara tentang tatanan kehidupan sosial budaya, berbagai bidang kajian banyak dilakukan, termasuk upaya untuk meneliti tentang keanekaragaman makhluk manusia dan kebudayaannya di berbagai tempat di muka bumi, termasuk di Sulawesi Tengah.
1
Sulawesi Tengah merupakan salah satu provinsi yang memiliki berbagai macam ragam kebudayaan yang unik dan menarik untuk diketahui. Wujud dari keanekaragaman masyarakat itu di samping disebabkan oleh akibat dari sejarah mereka masing-masing; juga karena pengaruh lingkungan alam dan struktur internalnya. Oleh karenanya sesuatu unsur atau adat dalam suatu kebudayaan, tidak dapat dinilai dari pandangan kebudayaan lain, melainkan harus dari sistem nilai yang ada dalam kebudayaan itu sendiri (relativisme kebudayaan).
1.2. Rumusan Masalah
a) Bagaimana keberagaman kebudayaan di dalam suatu wilayah khususnya Sulawesi Tengah. b) Bagaimana hubungan sosial-budaya yang terjadi di dalam masyarakat di wilayah Sulawesi Tengah. c) Bagaimana hubungan sosial-budaya yang terjadi dengan lingkungan hidup masyarakat di Sulawesi Tengah.
1.3. Tujuan
a) Untuk mengetahui bagaimana keberagaman kebudayaan di dalam suatu wilayah khususnya Sulawesi Tengah. b) Untuk mengetahui bagaimana hubungan sosial-budaya yang terjadi di dalam masyarakat di wilayah Sulawesi Tengah. c) Untuk mengetahui bagaimana hubungan sosial-budaya yang terjadi dengan lingkungan hidup masyarakat di Sulawesi Tengah.
2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Budaya Dan Kebudayaan
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang yang diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang yang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda
budaya
dan menyesuaikan
perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu di pelajari. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat abstrak, kompleks, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosial-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dari definisi budaya : Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri. “Citra yang memaksa” itu mengambil bentuk- bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti “individualisme kasar” di Amerika, “keselarasan individu dengan alam” di Jepang dan “kepatuhan kolektif” di Cina. Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka. Dengan demikian, budayalah yang menyiapkan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. 3
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta seluruh struktur-struktur sosial, religius dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Dari berbagai pengertian menurut para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian dari kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
2.2. Perubahan Sosial Budaya
Masyarakat (manusia) di manapun tempatnya pasti mendambakan kemajuan dan peningkatan kesejahteraan yang optimal. Kondisi masyarakat secara obyektif merupakan hasil tali temali antara lingkungan alam, lingkungan sosial serta karakteristik individu. Ketiga-tiganya selalu berhubungan antara satu sama lain, sehingga membentuk sebuah bangunan masyarakat yang dapat dilihat sebagai sebuah realitas sosial. Perubahan sosial dapat dikatakan sebagai suatu perubahan dari gejala-gejala sosial yang ada pada masyarakat, dari yang bersifat individual sampai yang lebih kompleks. Perubahan sosial dapat dilihat dari segi terganggunya kesinambungan diantara kesatuan sosial walaupun keadaannya relatif kecil. Perubahan ini meliputi struktur, fungsi, nilai, norma, pranata, dan semua aspek yang dihasilkan dari interaksi antarmanusia, organisasi atau komunitas, termasuk perubahan dalam hal budaya. Jadi,
4
Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Apabila perubahan sosial dipahami sebagai suatu bentuk peradaban manusia akibat adanya ekskalasi perubahan alam, biologis maupun kondisi fisik maka pada dasarnya perubahan sosial merupakan sebuah keniscayaan yang terjadi sepanjang hidup. Ruang gerak perubahan itupun juga berlapis-lapis, dimulai dari kelompok terkecil seperti keluarga sampai pada kejadian yang paling lengkap mencakup tarikan kekuatan kelembagaan dalam masyarakat. Perubahan sosial sebagai “cetak biru” pemikiran, pada akhirnya akan memiliki manfaat untuk memahami kehidupan manusia dalam kaitan dengan lingkungan kebudayaannya. Kehidupan manusia adalah satuan sosial terkecil, dalam pola belajarnya akan berhadapan dengan tiga sistem aktivitas. Menurut Peter Senge, 2000 (dalam Salim, 2002) bahwa manusia akan menjumpai 3 lingkungan yakni; 1) ruang kelas dalam sekolah: manusia akan belajar dalam lingkungan kelas sehingga melibatkan unsur guru, orang tua dan murid. 2) Lingkungan sekolah: manusia akan belajar dalam lingkungan sekolah sehingga melibatkan unsur kepala sekolah, kelompok pengajar, murid di kelas lain dan pegawai administrasi. 3) Lingkungan komunitas masyarakat: manusia akan belajar dari lingkungan komunitasnya sehingga mencakup peran serta masyarakat, kelompok-kelompok belajar sepanjang hidup, birokrasi yang mendukung, sumber informasi yang luas dan beragam dll.
Dengan begitu kehidupan manusia tidak dapat dilepas dari peran ketiga lingkungan sistem aktivitas belajar dan mencermati dirinya, terbentuknya kesadaran, pengalaman yang menggelitas dan keberanian untuk mulai menapak menggunakan potensi yang dimilikinya. Perubahan Sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan kebudayaan asing. Adanya perubahan sosial budaya secara langsung atau tidak langsung akan memberikan dampak positif dan negatif. Akibat Positif :
Perubahan
dapat
terjadi
jika
masyarakat
dengan
kebudayaan
mampu
menyesuaikan diri dengan perubahan. Keadaan masyarakat yang memiliki kemampuan
5
dalam menyesuaikan diri disebut adjusment, sedangkan bentuk penyesuaian dengan gerak perubahan disebut integrasi. Akibat Negatif :
Akibat negatif terjadi apabila masyarakat dengan kebudayaannya tidak mampu menyesuaikan diri dengan gerak perubahan. Ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan disebut maladjusment. Maladjusment akan menimbulkan disintegrasi. Penerimaan masyarakat terhadap perubahan sosial budaya dapat dilihat dari perilaku masyarakat yang bersangkutan.
Apabila perubahan sosial budaya tersebut tidak berpengaruh pada keberadaan atau pelaksanaan nilai dan norma maka perilaku masyarakat akan positif. Namun, jika perubahan sosial budaya tersebut menyimpang atau berpengaruh pada nilai dan norma maka perilaku masyarakat akan negatif.
2.3. Sosial Budaya Sulawesi Tengah
Ibukota Sulawesi Tengah adalah Palu. Kota ini terletak di Teluk Palu dan terbagi dua oleh Sungai Palu yang membujur dari Lembah Palu dan bermuara di laut. Penduduk asli Sulawesi Tengah terdiri atas 19 kelompok etnis atau suku, yaitu: 1) Etnis Kaili berdiam di kabupaten Donggala dan kota Palu 2) Etnis Kulawi berdiam di kabupaten Donggala 3) Etnis Lore berdiam di kabupaten Poso 4) Etnis Pamona berdiam di kabupaten Poso 5) Etnis Mori berdiam di kabupaten Morowali 6) Etnis Bungku berdiam di kabupaten Morowali 7) Etnis Saluan atau Loinang berdiam di kabupaten Banggai 8) Etnis Balantak berdiam di kabupaten Banggai 9) Etnis Mamasa berdiam di kabupaten Banggai 10) Etnis Taa berdiam di kabupaten Banggai 11) Etnis Bare'e berdiam di kabupaten Touna 12) Etnis Banggai berdiam di Banggai Kepulauan 13) Etnis Buol mendiami kabupaten Buol 14) Etnis Tolitoli berdiam di kabupaten Tolitoli 15) Etnis Tomini mendiami kabupaten Parigi Moutong 16) Etnis Dampal berdiam di Dampal, kabupaten Tolitoli 6
17) Etnis Dondo berdiam di Dondo, kabupaten Tolitoli 18) Etnis Pendau berdiam di kabupaten Tolitoli 19) Etnis Dampelas berdiam di kabupaten Donggala
Dari 19 kelompok/ etnis tersebut, Jumlah tokoh pemangku adat adalah sebanyak 216 orang. Di samping 12 kelompok etnis, ada beberapa suku terasing hidup di daerah pegunungan seperti suku Da'a di Donggala, suku Wana di Morowali, suku Seasea di Banggai dan suku Daya di Buol Tolitoli. Meskipun masyarakat Sulawesi Tengah memiliki sekitar 22 bahasa yang saling berbeda antara suku yang satu dengan yang lainnya, namun masyarakat dapat berkomunikasi satu sama lain menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa pengantar sehari-hari. Selain penduduk asli, Sulawesi Tengah dihuni pula oleh transmigran seperti dari Bali, Jawa, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur dengan masyarakat Bugis dan Makasar serta etnis lainnya di Indonesia sejak awal abad ke 19 dan sudah membaur. Jumlah penduduk di daerah ini sekitar 2.128.000 jiwa yang mayoritas beragama islam, lainnya Kristen, Hindu dan Buddha. Tingkat toleransi beragama sangat tinggi dan semangat gotong-royong yang kuat merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan diketuai oleh ketua adat disamping pimpinan pemerintahan seperti Kepala Desa. Ketua adat menetapkan hukum adat dan denda berupa kerbau bagi yang melanggar. Umumnya masyarakat yang jujur dan ramah sering mengadakan upacara untuk menyambut para tamu seperti persembahan ayam putih, beras, telur dan tuak yang difermentasikan dan disimpan dalam bambu. Secara tradisional, masyarakat Sulawesi Tengah memiliki seperangkat pakaian adat yang dibuat dari kulit kayu ivo (sejenis pohon beringin) yang halus dan tinggi mutunya. Pakaian adat ini dibedakan untuk kaum pria dan kaum wanita. Unsur-unsur adat dan budaya yang masih dimiliki antara lain: 1) Pakaian adat terbuat dari kulit kayu ivo 2) Rumah adat yang disebut tambi 3) Upacara adat 4) Kesenian (Modero/ tari pesta menyambut panen, Vaino/ pembacaan syair-syair yang dilagukan pada saat kedugaan, Dadendate, Kakula, Lumense dan PeuleCinde/ tari untuk menyambut tamu terhormat, Mamosa/ tarian perang, Morego/ tari
7
menyambut pahlawan, Pajoge/ tarian dalam pelantikan raja/ pejabat dan Balia/ tarian yang berkaitan dengan kepercayaan animisme).
Selain mempunyai adat dan budaya yang merupakan ciri khas daerah, di Sulawesi Tengah juga memiliki kerajinan-kerajinan yang unik juga yaitu: 1) Kerajinan kayu hitam (ebony) 2) Kerajinan anyaman 3) Kerajinan kain tenun Donggala dan 4) Kerajinan pakaian dari kulit ivo. Secara Umum kondisi keberagamaan agama yang dianut oleh masyarakat pada tahun 2005 terdiri dari: 1) Masyarakat penganut Agama Islam dengan tingkat persentase sebesar 78,9% 2) Masyarakat penganut Agama Kristen Protestan dengan tingkat persentase sebesar 16,29% 3) Masyarakat penganut Agama Kristen Katolik dengan tingkat persentase sebesar 1,47% 4) Masyarakat penganut Agama Hindu dengan tingkat persentase sebesar 3,07% 5) Masyarakat penganut Agama Buddha dengan tingkat persentase sebesar 0,68%.
Keberagaman pemeluk agama di Sulawesi Tengah di komunikasikan melalui Forum Komunikasi Antar Umat Beragama yang berfungsi mendinamisir kerukunan kehidupan antar umat beragama, intern umat beragama dan kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah, dengan pola saling menghargai antar satu sama lainnya. Pertanian merupakan sumber utama mata pencaharian penduduk dengan padi sebagai tanaman utama. Kopi, kelapa, kakao dan cengkeh merupakan tanaman perdagangan unggulan daerah ini dan hasil hutan berupa rotan, beberapa macam kayu seperti agatis, ebony dan meranti yang merupakan andalan Sulawesi Tengah.
2.3.1. Budaya Sulawesi Tengah Secara Umum
Sulawesi Tengah kaya akan budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Tradisi yang menyangkut aspek kehidupan dipelihara dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kepercayaan lama adalah warisan budaya yang tetap terpelihara dan dilakukan dalam beberapa bentuk dengan berbagai pengaruh modern serta pengaruh agama. Karena banyak kelompok etnis mendiami Sulawesi Tengah, maka terdapat pula 8
banyak perbedaan di antara etnis tersebut yang merupakan kekhasan yang harmonis dalam masyarakat. Mereka yang tinggal di pantai bagian barat kabupaten Donggala telah bercampur dengan masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan dan masyarakat Gorontalo. Di bagian timur pulau Sulawesi, juga terdapat pengaruh kuat Gorontalo dan Manado, terlihat dari dialek daerah Luwuk dan sebaran suku Gorontalo di kecamatan Bualemo yang cukup dominan. Ada juga pengaruh dari Sumatera Barat seperti nampak dalam dekorasi upacara perkawinan. Kabupaten Donggala memiliki tradisi menenun kain warisan zaman Hindu. Pusat-pusat penenunan terdapat di Donggala Kodi, Watusampu, Palu, Tawaeli dan Banawa. Sistem tenun ikat ganda yang merupakan teknik spesial yang bermotif Bali, India dan Jepang masih dapat ditemukan. Sementara masyarakat pegunungan memiliki budaya tersendiri yang banyak dipengaruhi suku Toraja, Sulawesi Selatan. Meski demikian, tradisi, adat, model pakaian dan arsitektur rumah berbeda dengan Toraja, seperti contohnya ialah mereka menggunakan kulit beringin sebagai pakaian penghangat badan. Rumah tradisional Sulawesi Tengah terbuat dari tiang dan dinding kayu yang beratap ilalang dan hanya memiliki satu ruang besar. Lobo atau duhunga merupakan ruang bersama atau aula yang digunakan untuk festival atau upacara, sedangkan Tambi merupakan rumah tempat tinggal. Selain rumah, ada pula lumbung padi yang disebut Gampiri. Buya atau sarung seperti model Eropa hingga sepanjang pinggang dan keraba semacam blus yang dilengkapi dengan benang emas. Tali atau mahkota pada kepala diduga merupakan pengaruh kerajaan Eropa. Baju banjara yang disulam dengan benang emas merupakan baju laki-laki yang panjangnya hingga lutut. Daster atau sarung sutra yang membujur sepanjang dada hingga bahu, mahkota kepala yang berwarna-warni dan parang yang diselip di pinggang melengkapi pakaian adat.
2.3.2. Kesenian
Musik dan tarian di Sulawesi Tengah bervariasi antara daerah yang satu dengan lainnya. Musik tradisional memiliki instrumen seperti suling, gong dan gendang. Alat musik ini lebih berfungsi sebagai hiburan dan bukan sebagai bagian ritual keagamaan. Di wilayah beretnis Kaili sekitar pantai barat - waino - musik tradisional - ditampilkan ketika ada upacara kematian. Kesenian ini telah dikembangkan dalam bentuk yang lebih populer bagi para pemuda sebagai sarana mencari pasangan di suatu keramaian. Banyak tarian yang berasal dari kepercayaan keagamaan dan ditampilkan ketika festival. 9
Tari masyarakat yang terkenal adalah Dero yang berasal dari masyarakat Pamona, kabupaten Poso dan kemudian diikuti masyarakat Kulawi, kabupaten Donggala. Tarian dero khusus ditampilkan ketika musim panen, upacara penyambutan tamu, syukuran dan hari-hari besar tertentu. Dero adalah salah satu tarian dimana laki-laki dan perempuan berpegangan tangan dan membentuk lingkaran. Tarian ini bukan warisan leluhur tetapi merupakan kebiasaan selama pendudukan jepang di Indonesia ketika Perang Dunia II. Di Sulawesi Tengah terdapat suku yang berbeda-beda. Suku-suku tersebut juga memiliki budaya yang berbeda-beda.
2.4. Suku-Suku Di Sulawesi Tengah 2.4.1. Suku Kaili
Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang secara turun-temurun tersebar mendiami sebagian besar dari Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya wilayah Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kota Palu, di seluruh daerah di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung Raranggonau. Mereka juga menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah, meliputi Kabupaten Parigi-Moutong, Kabupaten Tojo-Una Una dan Kabupaten Poso. Masyarakat suku Kaili mendiami kampung/desa di Teluk Tomini yaitu Tinombo,Moutong,Parigi, Sausu, Ampana, Tojo dan Una Una, sedang di Kabupaten Poso mereka mendiami daerah Mapane, Uekuli dan pesisir Pantai Poso. Untuk menyatakan "orang Kaili" disebut dalam bahasa Kaili dengan menggunakan prefix "To" yaitu To Kaili. Ada beberapa pendapat yang mengemukakan etimologi dari kata Kaili, salah satunya menyebutkan bahwa kata yang menjadi nama suku Kaili ini berasal dari nama pohon dan buah Kaili yang umumnya tumbuh di hutan-hutan dikawasan daerah ini, terutama di tepi Sungai Palu dan Teluk Palu. Pada zaman dulu, tepi pantai Teluk Palu letaknya menjorok l.k. 34 km dari letak pantai sekarang, yaitu di Kampung Bangga. Sebagai buktinya, di daerah Bobo sampai ke Bangga banyak ditemukan karang dan rerumputan pantai/laut. Bahkan di sana ada sebuah sumur yang airnya pasang pada saat air di laut sedang pasang demikian juga akan surut pada saat air laut surut. Menurut cerita (tutura), dahulu kala, di tepi pantai dekat Kampung Bangga tumbuh sebatang pohon kaili yang tumbuh menjulang tinggi. Pohon ini menjadi arah atau panduan bagi pelaut atau nelayan yang memasuki Teluk Palu untuk menuju pelabuhan pada saat itu.
10
1) Bahasa
Suku Kaili mengenal lebih dari dua puluh bahasa yang masih hidup dan dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Uniknya, di antara kampung yang hanya berjarak 2 km kita bisa menemukan bahasa yang berbeda satu dengan lainnya. Namun demikian, suku Kaili memiliki lingua franca, yang dikenal sebagai bahasa Ledo. Kata "Ledo" ini berarti "tidak". Bahasa Ledo ini dapat digunakan berkomunikasi dengan bahasa-bahasa Kaili lainnya. Bahasa Ledo yang asli (belum dipengaruhi bahasa para pendatang) masih ditemukan di sekitar Raranggonau dan Tompu. Sementara, bahasa Ledo yang dipakai di daerah kota Palu, Biromaru, dan sekitarnya sudah terasimilasi dan terkontaminasi dengan beberapa bahasa para pendatang terutama bahasa Bugis dan bahasa Melayu. Bahasa-bahasa yang masih dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, yaitu bahasa Tara (Talise, Lasoani, Kavatuna dan Parigi), bahasa Rai (Tavaili sampai ke Tompe), bahasa Doi (Pantoloan dan Kayumalue); bahasa Unde (Ganti, Banawa, Loli, Dalaka, Limboro, Tovale dan Kabonga), bahasa Ado (Sibalaya, Sibovi dan Pandere), bahasa Edo (Pakuli, Tuva), bahasa Ija (Bora, Vatunonju), bahsa Da'a (Jono'oge), bahasa Moma (Kulavi), dan bahasa Bare'e (Tojo, Unauna dan Poso). Uniknya, semua kata dasar bahasa tersebut berarti "tidak".
2) Sosial Budaya
Sebagaimana suku-suku lainnya di wilayah persada Nusantara, Suku Kaili juga mempunyai adat istiadat sebagai bagian kekayaan budaya di dalam kehidupan sosial, memiliki Hukum Adat sebagai aturan dan norma yang harus dipatuhi, serta mempunyai aturan sanksi dalam hukum adat. Penyelenggaraan upacara adat biasanya dilaksanakan pada saat pesta perkawinan (no-Rano, no-Raego, kesenian berpantun muda/i),pada upacara kematian (no-Vaino,menuturkan kebaikan orang yg meninggal), pada upacara panen (no-Vunja, penyerahan sesaji kepada Dewa Kesuburan), dan upacara penyembuhan penyakit (no-Balia, memasukkan ruh untuk mengobati orang yg sakit); pada masa sebelum masuknya agama Islam dan Kristen, upacara-upacara adat seperti ini masih dilakuan dengan mantera-mantera yang mengandung animisme. Setelah masuknya agama Islam dan Kristen, pesta perkawinan dan kematian sudah disesuaikan antara upacara adat setempat dengan upacara menurut agama penganutnya. Demikian juga upacara yang mengikuti ajaran Islam seperti: Khitan 11
(Posuna), Khatam (Popatama) dan gunting rambut bayi usia 40 hari (Niore ritoya), penyelenggaraannya berdasarkan ajaran agama Islam. Selain itu terdapat alat musik kaili. Beberapa instrumen musik yang dikenal dalam kesenian suku Kaili antara lain : Kakula (disebut juga gulintang, sejenis gamelan pentatonis), Lalove (serunai), nggeso-nggeso (rebab berdawai dua), gimba (gendang), gamba-gamba (gamelan datar/kecil), goo (gong), suli (suling). Salah satu kerajinan masyarakat suku Kaili adalah menenun sarung. Ini merupakan kegiatan para wanita didaerah Wani, Tavaili, Palu, Tipo dan Donggala. Sarung tenun ini dalam bahasa Kaili disebut Buya Sabe, tetapi oleh masyarakat umum sekarang dikenal dengan Sarung Donggala. Jenis Buya Sabe ini pun mempunyai nama-nama tersendiri berdasarkan motif tenunannya, seperti Bomba, Subi atau Kumbaja. Demikian juga sebutan warna sarung Donggala didasarkan pada warna alam, seperti warna Sesempalola / kembang terong (ungu), LeiKangaro/merah betet (merah-jingga), Lei-pompanga (merah ludah sirih). Di daerah Kulawi masih ditemukan adanya pembuatan bahan pakaian yang diproses dari kulit kayu yang disebut Katevu. Pakaian dari kulit Kayu Katevu ini sebagian besar dipakai oleh para wanita dalam bentuk rok dan baju adat. Sebelum masuknya agama ke Tanah Kaili, masyarakat suku Kaili masih menganut animisme, pemujaan kepada roh nenek moyang dan dewa sang Pencipta (Tomanuru), dewa Kesuburan (Buke/Buriro) dan dewa Penyembuhan (Tampilangi). Agama Islam masuk ke Tanah kaili, setelah datangnya seorang Ulama Islam, keturunan Datuk/Raja yang berasal dari Minangkabau bernama Abdul Raqi. Ia beserta pengikutnya datang ke Tanah Kaili setelah bertahun-tahun bermukim belajar agama di Mekkah. Di Tanah kaili, Abdul Raqi dikenal dengan nama Dato Karama (Datuk Keramat), karena masyarakat sering melihat kemampuan beliau yang berada diluar kemampuan manusia pada umumnya. Makam Dato Karama sekarang merupakan salah satu cagar budaya yang dibawah pengawasan Pemerintah Daerah. Hubungan kekerabatan masyarakat suku Kaili sangat nampak kerjasama pada kegiatan-kegiatan pesta adat, kematian, perkawinan dan kegiatan bertani yang disebut SINTUVU (kebersamaan/gotong royong).
2.4.2. Suku Kulawi
Kulawi terletak di pegunungan bagian selatan 17 km dari Palu. Yang dikenal dengan budayanya yang unik. Kulawi merupakan kawasan pegunungan yang 12
dikelilingi oleh ladang padi, sayuran dan cengkeh. Masyarakat beragama Kristen dengan Kulawi sebagai pusatnya. Bala keselamatan menyebar di bagian timur Indonesia termasuk di Kulawi dan mereka memiliki gereja dan rumah sakit. Akan tetapi budaya tradisional tetap berakar kokoh di masyarakat. Dan festival dilaksanakan menurut tradisi lama. Pakaian wanita Kulawi cukup menarik yang dipakai ketika upacara atau bergereja di hari Minggu. Disana terdapat penginapan untuk menginap milik Pemerintah. Musik Bambu-Orkestra Tradisional merupakan kebanggaan masyarakat dataran Lindu, Kulawi dan Poso. Suku-suku tersebut berdiam di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah sebagai bagian dari khasanah kebudayaan yang saat ini masih bertahan. Tahun 1905 di Bulu Momi terjadi perang antara masyarakat Kulawi melawan kolonial Belanda dibawah pimpinan seorang pahlawan Kulawi yaitu Towualangi yang juga disebut Taentorengke. Ketika perang berlangsung, pada saat itu pula kolonial Belanda mulai berkuasa di Kulawi untuk menjadikan Kulawi sebagai daerah kerajaan, maka pada tahun 1906 Kolonial Belanda mengangkat Towualangi menjadi raja Kulawi yang pertama. Dan oleh kolonial Belanda wilayah dataran Lindu masuk kedalam wilayah administrasi Kerajaan Kulawi. Sejarah menunjukkan bahwa pada mulanya penduduk Lindu terdiri atas 7 pemukiman yang disebut Pitu Ngata. Dan untuk mengatur tatanan hidup masyarakat Pitu Ngata itu, ada sebuah lembaga yang disebut Maradika Ngata yang terdiri dari empat orang lembaga dengan sebutan 1. Jogugu, 2. Kapita, 3. Pabisara dan 4. Galara. Keempat Lembaga ini berfungsi sebagai Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Ketika kolonial Belanda berkuasa di Kulawi, maka pada tahun 1908 dataran Lindu yang terdiri dari Pitu Ngata diresetlement menjadi 3 pemukiman yaitu menjadikan : 1) Penduduk yang bermukim di Langko dan Wongkodono dikumpulkan menjadi satu di Langko. 2) Penduduk yang bermukim di Olu, Luo, Palili dikumpulkan menjadi satu tempat pemukiman di Tomado. 3) Penduduk yang bermukim di Paku Anca, dikumpulkan menjadi satu tempat pemukiman di Anca.
Untuk Mengatur tempat pemukiman baru tersebut, maka pemerintah kolonial Belanda menunjuk Lakese menjadi Kepala Kampung yang pertama di tiga tempat 13
pemukiman baru itu, dengan tugas pokok yaitu : membangun rumah tinggal penduduk di tempat pemukiman yang baru dan membuka areal persawahan penduduk di sekitar wilayah Langko. Sesudah penunjukan kepala kampung yang pertama Lakese, sesuai tuntutan perkembangan dari ketiga wilayah pemukiman tersebut, berdasarkan perencanaan pemerintah kolonial Belanda maka pemukiman baru menjadi 3 desa, yaitu desa Langko, Tomado dan Anca, sebagaimana yang ada sampai sekarang ini. Pada tahun 1960 sesuai dengan perkembangan penduduk di kecamatan Kulawi, sebagian penduduk desa Lonca dan Winatu kecamatan Kulawi diresetlemen ke wilayah bagian selatan desa Langko yang disebut Puroo. Atas kebijakan pemerintah kecamatan Kulawi pada waktu itu, sehingga memicu berbagai reaksi keras dari masyarakat Lindu karena merasa integritas wilayahnya terganggu. Masalah yang memicu keadaan pada waktu itu terjadi penembakan hewan kerbau dan sapi secara brutal yang dilakukan oleh Londora Kodu, mantan Tentara KNIL sebagai pejabat kepala kampung Langko, yang ditempatkan oleh pemerintah kecamatan Kulawi yang dijabat oleh Ibrahim Bandu B.A. Akibat masalah tersebut diatas, maka masyarakat 3 desa itu semakin sulit dikendalikan oleh pemerintah kecamatan Kulawi sehingga masyarakat Lindu diembargo perekonomiannya oleh pemerintah kecamatan Kulawi selama 3 bulan. Akibat embargo tersebut, masyarakat Lindu mengeluarkan ancaman untuk bergabung dengan kecamatan Sigi Biromaru. Ancaman masyarakat Lindu ditanggapi dengan serius pemerintah kecamatan Kulawi dengan mencabut kembali sanksi ekonomi tersebut. Setelah keadaaan masyarakat Lindu menjadi tenang, mulai saat itu pula desa Puroo sudah menjadi satu kesatuan wilayah dataran Lindu sehingga sampai saat ini, desa-desa dataran Lindu menjadi empat desa terdiri dari : Desa Puroo, Langko, Tomado dan Anca yang disingkat dengan PLTA. Dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan ketertiban masyarakat adat Lindu, kepala desa dibantu oleh lembaga adat desa. Dan diatas lembaga masing-masing desa dibentuk Lembaga Masyarakat Adat Dataran Lindu. Masyarakat adat Lindu telah mengenal pembagian zona pemanfaatan dan perlindungan yang ditetapkan oleh nenek moyang mereka yaitu ; a) Suaka Ngata. Suaka Ngata adalah keseluruhan wilayah adat yang dibatasi puncak bulu/gunung yang disebut diatas.
14
b) Suaka Ntodea. Suaka Ntodea adalah wilayah pemanfaatan yang dapat dikonversi menjadi sawah atau tempat pemukiman. Hak pemanfaatan di Suaka Ntodea dibatasi oleh hak-hak perorangan (privat individual), seperti Ombo dan ketentuan lainnya, misalnya larangan menebang pohon enau.
Lahirnya hak perorangan (privat individual) dimulai ketika seseorang membuka Pangale (hutan perawan) untuk dijadikan ladang. Dahulu masyarakat Lindu masih menggunakan sistim perladangan berotasi. Masyarakat mengelolah lahan selama dua atau tiga musim, kemudian diistirahatkan dan membuka ladang di tempat lain, misalnya membuka hutan perawan yang baru atau mengolah ladang yang telah diistirahatkan. Ladang yang diistirahatkan disebut dengan Ngura. Jika seseorang membuka pangale dan menjadikan ladang, tetapi orang itu mengurunkan pengolahannya karena sesuatu pertimbangan, maka Ladang ini sebut Taluboo. Namun tanah itu sudah merupakan milik si pembuka Pangale tersebut.
c) Suaka Nu Maradika. Suaka Nu Maradika atau diberi nama lain yaitu Lambara adalah tempat perburuan dan melepaskan hewan ternak kerbau. Dan terdapat beberapa lambara Nu Maradika, seperti di Walatana (dekat Langko), Bulu Jara (dekat Tomado), Tongombone (dekat Olu), Kana (dekat Luo/Palili), Bamba (dekat Paku), Malapi (dekat Anca), dan Keratambe (dekat Tomado).
d) Suaka Nuwiata. Wiata dalam bahasa Lindu berarti roh makhluk yang sudah meninggal atau makhluk “halus”. Di kalangan orang Lindu yang masih memegang teguh tradisinya terdapat kepercayaan kuat yang meyakini bahwa roh orang yang sudah meninggal dunia sebenarnya mendiami daerah-daerah tertentu. Roh itu pada waktu-waktu khusus datang ke tempat sanak keluarganya yang masih hidup. Misalnya pada saat upacara adat panen.
Dalam tradisi orang Lindu, Suaka Nu Wiata adalah wilayah konservasi yang mutlak. Di tempat ini, seseorang tidak dibolehkan masuk apalagi sampai melakukan kegiatan menebang kayu atau kegiatan yang sifatnya merusak hutan. Pelanggaran 15
terhadap ketentuan ini akan memperoleh sanksi adat yang Suaka Nu Wiata tidak hanya terletak di tempat yang jauh dari pemukiman penduduk, tetapi juga terdapat di tempat yang dekat dengan perkampungan. Sehingga di tepi jalan antara desa Langko, Tomado dan Anca terdapat hutan yang cukup lebat. Hutan-hutan ini terletak jauh dari tapal batas Taman Nasional yang ditetapkan pemerintah. Dalam wilayah Suaka Nu Wiata ini pula berdasarkan pengamatan, ternyata terdapat fokus keong. Dalam istilah kesehatan disebut penyakit Schistosomiasis. Sehingga keadaan ini patut menjadi perhatian pemerintah, dalam hal ini instansi Dinas Kesehatan Kabupaten Donggala dalam upaya pemberantasan penyakit endemik Schistosomiasis dimasa mendatang. Aturan adat kami sangat sejalan dengan konservasi dan penduduk asli di Lindu tidak ada yang merambah hutan. Babirusa, Babi hutan, bahkan Rusa tidak kami buru dan makan, karena menurut kepercayaan setelah meninggal orang jadi rusa sehingga kami ada semacam rasa jijik untuk memakannya. Dengan datangnya pendatang seperti melalui program transmigrasi lokal tahun 1960an awal yang jadi kini desa P uro‟o, atau orang Puroo yang pindah ke Kangkuro, saat itu banyak hutan yang dirambah dan satwa semacam rusa sudah susah dijumpai, padahal dulu banyak sekali. Dengan adanya KKM sekarang ini mudah bagi kami untuk memberikan pengertian bagi pendatang tentang adat dan budaya Lindu. Adanya KKM juga lebih menguatkan aturan Adat Lindu, karena wilayah KKM adalah bagian dari wana ngkiki atau suaka wiata yang harus kami jaga keberadaan dan kelestariannya demi menghormati leluhur.
2.4.3. Suku Pamona
Suku Pamona, atau sering juga disebut suku Poso, mendiami hampir seluruh wilayah kabupaten Poso, Kabupaten Tojo Una-Una, Morowali,bahkan Propinsi Sulawesi Selatan (Luwu Utara). Sedangkan sebagian kecil hidup merantau di berbagai daerah di Indonesia. Jika di suatu daerah terdapat suku Pamona, biasanya selalu ada Rukun Poso, yaitu wadah perkumpulan orang-orang sesuku untuk melakukan sesuatu kegiatan di daerah tersebut. Agama yang dianut hampir seluruh anggota suku ini adalah Kristen. Agama Kristen masuk daerah sekitar 100 tahun yang lalu dan sampai sekarang diterima sebagai agama rakyat. Sekarang semua gereja-gereja yang sealiran dengan gereja ini bernaung dibawah naungan organisasi Gereja Kristen Sulawesi tengah (GKST) yang berpusat di Tentena, kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Sebagian besar masyarakat sehari-hari menggunakan bahasa Pamona (Bare'e) dan 16
bahasa Indonesia dengan gaya bahasa setempat. Mereka berprofesi sebagai Petani, Pegawai Negeri, Pendeta, Wiraswasta, dan lain-lain. Sesungguhnya suku Pamona tidak identik dengan suku Poso, Karena pada prinsipnya suku Poso tidak ada. Yang ada adalah daerah yang bernama Poso, didiami oleh suku Pamona. Kata "Poso" sendiri dalam bahasa Pamona berarti "pecah" . Asal nama Poso yang berarti pecah, konon dimulai dari terbentuknya Danau Poso. Konon, danau Poso terbentuk dari sebuah lempengan tanah berbukit, dimana dibawah lempengan bukit tersebut terdapat mata air. Disekeliling bukit merupakan dataran rendah, sehingga aliran air dari pegunungan terkumpul disekeliling bukit tersebut. Genangan air tersebut menggerus tanah disekeliling bukit sehingga makin lama air yang menyisip kedalam tanah, bertemu dengan air yang di dalam perut bumi. Akibatnya terjadi abrasi yang menjadi penyebab labilnya struktur tanah yang memang agak berpasir. Lambat laun pinggiran bukit tidak kuat lagi menahan beban bukit yang diatasnya, sehingga mengakibatkan pecahnya bukit yang terbawah masuk, jatuh kedalam kubangan mata air dibawah bukit, sehingga membentuk danau kecil. Bagi masyarakat suku Pamona zaman tersebut kejadian tersebut dituturkan sebagai pecahnya gunung yang membentuk danau tersebut, sehingga dinanai "Danau Poso" Danau yang baru terbentuk tersebut, kian lama kian membesar, karena sumber mata air di pegunungan sekelilingnya mengalir kearah danau baru tersebut. Akibatnya debit air danau dari waktu ke waktu terus naik, sehingga luas permukaannya menjadi demikian lebar. sesuai dengan sifat air yang selalu mencari dataran rendah, maka pada ketinggian permukaan tertentu, tebentuklah sebua sungai yang mengarah ke pantai laut akibat danau tidak mampu lagi menampung debit air. Karena sungai tersebut berasal dari danau Poso, maka sungai baru tersebut, dinamai dengan nama yang sama, yakni Poso (sungai Poso). Muara sungai baru yang terbentuk itu kemudian didiami oleh sejumlah penduduk, karena di sungai baru tersebut ternyata terdapat banyak ikan. Kumpulan penduduk pemukim baru itu kemudian menamai kampung tersebut dengan sebutan yang sama, yakni Poso. Tarian Dero, atau madero merupakan tarian populer di kalangan Suku Pamona. Tarian ini diadakan pada pesta-pesta rakyat. Biasanya dilakukan oleh orang-orang muda. Tarian melingkar dilakukan dengan saling bergandengan tangan, sambil berbalas pantun diringi musik ceria. Beberapa daerah di Palu melarang kegiatan tarian dero atau madero karena sering menjadi pemicu perkelahian antar pemuda yang saling berebut perhatian gadis-gadis. 17
Mengikuti kebiasaan orang Eropa yang mempunyai nama keluarga atau marga atau fam, maka orang Pamona juga mempunyai marga-marga seperti berikut : Banumbu, Bali'e, Baloga, Betalino, Beto, Botilangi, Bulinde, Bungkundapu, Bungu, Buntinge, Gilirante, Gimbaro, Gugu, Gundo, Kampindo, Kalembiro, Kalengke, Karebungu, Kayori, Kayupa, Kogege, Kolombuto, Kuko, Langgari, Lambangasi, Labiro, Liante, Lu'o, Lumaya, Manganti, Meringgi, Mossepe, Mowose, Nyolo-nyolo, Nggau, Nggo'u, Nua, Nyaua, Pakuli, Palaburu, Parimo, Paroda, Pasunu, Patara, Pebadja, Penina, Penyami, Pesudo, Poa, Pobonde, Podala, Purasongka, Pusuloka, Rampalino, Rampalodji, Rantelangi, Rare'a, Ruagadi, Rubo, Ruutana, Sancu'u, Sawiri, Sigilipu, So'e, Sowolino, Tabanci, Tadalangingi, Talasa, Tarante, Tasiabe, Tawuku, Tawurisi, Tekora, Tepara, Tiladuru, Tobondo, Tolimba, Toumbo, Ule, Ululai, Warara, Werokila nce'i to mori, Wuri,Wutabisu, dll. Jika mengunjungi Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), terdapat suatu Gua Pamona. Gua tersebut terletak persis di sebelah Danau Poso, kawasan yang sudah terkenal keindahannya sehingga telah menjadi salah satu tujuan wisata mistis dan unik karena letak sebagian Gua tersebut berada di bawah Danau Poso. Gua yang namanya sama dengan suku asli orang Poso tersebut terletak di Desa Sangele, Kecamatan Pamona Utara, 56 kilometer dari Kota Poso. Mulut Gua Pamona menghadap ke selatan dengan lebar dua meter. Dulunya, gua tersebut memiliki panjang lebih dari 200 meter. Karena perubahan kondisi alam dan adanya beberapa reruntuhan, akhirnya panjangnya hanya sebatas itu. Letak gua yang dalam menyebabkan oksigen di dalamnya relatif sedikit. Hal itu membuat pengunjung merasa gerah dan cepat lelah saat menyusuri jalan dalam gua. Pencahayaan di gua tersebut juga sangat minim, hanya mengandalkan cahaya matahari yang berasal dari celah-celah bebatuan di atasnya. Suasana di dalam menjadi remang-remang dan menambah miris orang yang percaya pada cerita mistis. Menurut cerita masyarakat setempat, selama ratusan tahun silam gua tersebut berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan jenazah raja atau kaum bangsawan suku Pamona dan keluarganya. Hal itu dapat dibuktikan dengan adanya kerangka manusia dan keranda yang masih ada di dalamnya. Banyak warga setempat meyakini gua tersebut merupakan salah satu tempat asal-usul leluhur mereka. Sampai kini gua tersebut banyak dikunjungi masyarakat dari luar Poso, terutama pada akhir pekan atau hari libur. Setelah puas menyusuri gua tersebut, biasanya pengunjung menyempatkan untuk mandi di Danau Poso yang airnya selalu jernih. 18
Dalam gua tersebut juga terdapat delapan kamar atau ruang yang sangat gelap dan lembap. Ruang tersebut dahulunya berfungsi menyimpan jenazah suku Pamona yang disesuaikan dengan status sosialnya. Jenazah yang disemayamkan tersebut biasanya disertai perangkat kubur, seperti pakaian atau barang-barang berharga milik jenazah semasa hidupnya. Namun seiring banyaknya pengunjung, tidak jarang ada yang usil dengan mengambil kerangka atau bagian goa yang sangat tinggi nilai sejarahnya itu. Pemerintah setempat juga telah menetapkan gua tersebut sebagai situs sejarah yang dilindungi, selain beberapa gua lain, seperti Gua Tangkaboba dan Gua Latea. Kepala Bagian Infokom Kabupaten Poso Amir Kiat mengatakan keberadaan gua tersebut menjadi salah satu paket kunjungan wisata yang menarik bersama Danau Poso. "Setelah mengunjungi Danau Poso, kalau tidak mengunjungi Gua Pamona rasanya kurang lengkap," ujarnya. Di sekitar lokasi wisata tersebut juga terdapat penginapan untuk memanjakan wisatawan. Selain itu, terdapat beberapa rumah makan yang menyediakan menu khas Tentena, seperti ikan sogili atau sidat. Sogili merupakan ikan endemik di Danau Poso yang bentuknya mirip ikan lele. Sogili dapat dimasak dengan berbagai cara seperti direbus, dibakar atau digoreng. Tapi masyarakat setempat biasanya lebih menyukai sogili bakar. Rasanya sangat gurih dan dagingnya kesat.
2.4.4. Suku Banggai
Suku Banggai adalah Suku di Kabupaten Banggai Kepulauan - Sulawesi Tengah. Kabupaten Banggai Kepulauan terbentuk dari hasil pemekaran berdasarkan UU No. 51 tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali dan Kabupaten Banggai Kepulauan serta diresmikan tanggal 3 November 1999. Suku Banggai dengan bahasa Banggai adalah suku asli yang mendiami Kepulauan Banggai. Di Kepulaun Banggai ini memang cuma satu suku asli yaitu Suku Banggai. Sedangkan yang tinggal di Kab Banggai Kepulauan ini banyak sukunya, dari berbagai suku di indonesia. Mungkin tak ada yang mengira bahwa gugusan kepulauan dengan pulau terbesarnya Peling, menyimpan sejuta catatan yang mengagumkan. Suku Banggai, merupakan suku yang mendiami Kepulauan Banggai, yang sebelumnya bernama asli Suku Sea-sea, yang awalnya dari kerajaan-kerajaan kecil, kemudian utuh yang kini bernama Kerajaan Banggai, kerajaan ini mempunyai kekuasaan yang cukup luas, bahkan hampir setengah dari wilayah Sulawesi Tengah, namun hingga kini setelah 19
berdirinya Pemerintahan RI, cakupan wilayah Kerajaan Banggai hanya pada Kabupaten Banggai Kepulauan dan Kabupaten Banggai, dengan menaungi tiga suku, yaitu Suku Banggai, Saluan, dan Balantak . yang meninggalkan bukti sejarah antara lain Keraton Kerajaan di kota Banggai. walaupun satu kerajaan, namun ketiga dari suku ini mempunyai Adat Istiadat yang sangat berbeda. Kerajaan yang berada di sebelah timur Pulau Sulawesi, atau juga di sebelah Barat Laut dari Laut Banda, Suku Banggai yang merupakan suku terbesarnya, yang juga mendiami Kepulauan Banggai, seperti suku-suku besar yang lainnya, adat istiadat yang tumbuh dan berkembang dalam suku Banggai sangatlah banyak dan beragam, mulai dari penggunaan bahasa tradisional (Banggai) sebagai bahasa seharihari hingga adat pernikahanpun tak lepas dari tradisi yang berkembang. Walau kini tradisi banyak tradisi yang punah dan mulai di gali kembali, namun cukup banyak tradisi yang masih melekat dalam masyarakat, terutama kesenian tradisionalnya. Seba Adat atau dalam bahasa indonesianya adalah musyawarah adat, merupakan wadah untuk program adat yang bertujuan di antaranya untuk mempertahankan adat istiadat yang ada pada masing-masing suku di keraja an Banggai, karena memang Seba Adat di adakan oleh Perangkat Adat atau Kerajaan Banggai oleh Raja, atau Tomundo dalam bahasa Banggai, yang di hadiri oleh Basalo, yaitu sejenis kepala adat dalam cakupan kedaerahan kecamatan atau desa yang dari suku banggai, sedangkan dari Saluan dan Balantak bernama Bosano dan Bosanyo. Selain Basalo, masih banyak perangkat adat lainnya yang membantu kegiatan Basalo, misalnya Kapitan. Dalam perangkat kerajaan juga ada yang di sebut Mian Tuu, dan masih banyak lagi jabatan jabatan adat yang membantu dalam kepengurusan kerajaan Banggai, yang mana kegiatan Seba ini di adakan setiap tahunnya untuk Evaluasi hasil kerja atau P Kembali pada tradisi Banggai, ada sangat banyak dari tradisi yang melekat dalam masyarakat yang memang sangat menarik, musik yang di antaranya; batongan, kanjar, libul dan lain sebagainya, juga ada tarian, yang termasuk Onsulen, Balatindak, Ridan dll, juga cerita rakyat atau legenda yang sangat banyak yang di kenal dengan nama Banunut , lagu atau puisi yaitu Baode, Paupe dan masih banyak lagi kesenian tradisional lainnya, ada beberapa tradisi ini yang masih dipegang secara menyeluruh dari suku Banggai, misalnya pada saat perayaan Maulid Nabi Besar Muhammad saw, para masyarakat suku Banggai akan membuat sejenis kue yang di beri nama Kalakalas, ada juga yang menyebutnya kaakaras. Kue ini tebuat dari tepung beras yang bentuk jadinya di goreng, dan kue ini sangat unik sekali, bahkan hanya akan di jumpai 20
pada saat perayaan Maulid Nabi saw saja. Selain itu, masih banyak tradisi lainnya, Upacara Adat misalnya, upacara pelantikan Tomundo, upacara pelantikan Basalo, dan lain sebagainya. Tradisi-tradisi dalam masyarakat pun bahkan beragam, masyarakat yang tinggal di tepian pantai dengan masyarakat yang tinggal di pedalaman akan memberikan suatu gambaran yang jauh berbeda, kesenian, upacara adat, bahkan kehidupan adat sehari-haripun tidak banyak menunjukan kesamaan, contohnya, ada sebuah upacara adat atau perayaan ketika para nelayan telah menangkap ikan, yang cara menangkapnya di kenal dengan nama sero, sedangkan di pedalaman akan ada penanaman sejenis Umbi yang memang satu-satunya di dunia ini hanya terdapat dan berasal dari Banggai, sehingga di kenal dengan nama Ubi Banggai, ini akan memberikan suatu cerita tersendiri yang sangat menakjubkan, yang di mulai dari proses hingga selesai, akan banyak sisi-sisi kehidupan tradisi yang memberikan gaya artistik yang sangat berharga.rogram dan perencanaan yang baru dalam setiap gerak masyarakat adat Banggai. Berburu merupakan salah satu kegiatan yang dari zaman pra kerajaan Banggai, namun hingga kini, berburu atau yang dalam bahasa Banggai dikenal dengan nama Baasu itu masih sering di jumpai di daerah pedalaman, terutama di kawasan Pulau Peling. Masih sangat banyak tradisi yang melekat pada masyarakat adat maupun yang sudah mulai memudar seiring pekembangan zaman, namun di balik itu semua, masih menyimpan sejuta makna dan sejuta misteri untuk di gali dan di kembangkan. yang pasti, marilah kita sama-sama menjaga adat dan istiadat kita, karena inilah harga diri suku dan kerajaan kita.
2.4.5. Suku Tomini Suku Tomini berdiam di sebelah barat laut Pulau Sulawesi. Mereka
menggunakan bahasa Tomini, namun berbagai sub-suku Tomini ini memakai bahasa yang berbeda-beda, akibat interaksi dengan berbagai suku, melalui perdagangan. 1) Sosial budaya Pada jaman dahulu, Tomini diperintah oleh Kesultanan, yang berarti setiap suku dikepalai oleh seorang pemimpin secara turun temurun beserta dengan para pembantunya. Pada waktu itu ada 4 kelas dalam masyarakat : kelompok raja, kaum bangsawan, orang awam, dan budak. Suku Tomini di pesisir bercocok tanam menghasilkan cengkeh dan kopra. Beberapa di antara mereka mencari 21
nafkah sebagai pedagang, penebangan kayu atau pelaut. Orang Tomini di pegunungan bertanam padi dan jagung. Mereka juga mengumpulkan rotan untuk dijual di daerah pesisir. Perkampungan Tomini terdiri dari rumah-rumah kecil yang dibangun di atas tiang-tiang (rumah panggung), yang berlokasi di sepanjang garis pantai pulau ini. Pola perkawinan mereka mengikuti pola perkawinan Islam. Seorang perantara merundingkan mas kawin untuk mempelai wanita yang tergantung dari status sosial gadis tersebut. Pernikahan antar sepupu bida diterima; dan poligami diijinkan walau tidak banyak dilakukan. Setelah menikah, pasangan pengantin biasanya tinggal dengan keluarga besar mereka, sampai anak pertama lahir. Orang Tomini penganut Islam Sunni, suatu aliran agama Islam yang berpegang pada tradisi ortodoks. Di daerah-daerah pedalaman di pegunungan, ada juga kelompokkelompok orang Tomini yang mempraktekkan animisme. Mereka mempercayai bahwa alam dan benda-benda mati itu mempunyai roh. Orang Tomini yang menganut animisme ini dikenal sebagai suku terasing.
2.4.6. Suku Bugis
Adat istiadat suku bugis adalah salah satu suku yang dikenal piawai mengarungi lautan sangat menentang asimilasi budaya luar. Dalam budaya suku bugis terdapat tradisi ade‟atau adat dan konsep spiritual. Konsep ade ini menjadi tema utama dalam catatan-catatan hokum. Masyarakat tradisional suku bugis mengacu kepada konsep pang‟ade reng atau adat istiadat merupakan norma yang saling terkait satu sama lain. Kehidupan sehari-hari masyarakat bugis sangat memprhatikan adat istiadat, misalnya memperhatikan hubungan harmonis antar sesame manusia. Hal-hal ersebut dapat diperhatikan dalam kehidipan sehari-hari seperti mengucapkan tabe yang artinya permisi. Ucapan ini dilakukan dengan posisi badan, ucapan tabe dilakukan saat lewat didepan sekelompok orang-orang yang lebih tua. Kemudian mengucapakan „iye‟ atau jawaban iya yang halus dan ramah. Selain itu diajarkan menghormati ornag yang lebih tua dan menyayangi yang muda.
22
2.4.7. Suku Bali
Selain penduduk asli, Sulawesi Tengah dihuni pula oleh transmigran seperti dari Bali.
Kebudayaan Bali mendapat pengaruh kuat kebudayaan India. Bahasa Bali dan Bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling luas pemakaiannya di Bali dan sebagaimana penduduk Indonesia lainnya, sebagian besar masyarakat Bali adalah bilingual atau bahkan trilingual. Meskipun terdapat beberapa dialek dalam bahasa Bali, umumnya masyarakat Bali menggunakan sebentuk bahasa Bali pergaulan sebagai pilihan dalam berkomunikasi. Secara tradisi, penggunaan berbagai dialek bahasa Bali ditentukan berdasarkan sistem catur warna dalam agama Hindu Dharma dan keanggotan klan (istilah Bali: soroh, gotra); meskipun pelaksanaan tradisi tersebut cenderung berkurang. Musik tradisional Bali memiliki kesamaan dengan musik tradisional di banyak daerah lainnya di Indonesia, misalnya dalam penggunaan gamelan dan berbagai alat musik tabuh lainnya. Meskipun demikian, terdapat kekhasan dala m teknik memainkan dan gubahannya, misalnya dalam bentuk kecak, yaitu sebentuk nyanyian yang konon menirukan suara kera. Demikian pula beragam gamelan yang dimainkan pun memiliki keunikan, misalnya gamelan jegog , gamelan gong gede, gamelan gambang , gamelan selunding dan gamelan Semar Pegulingan. Ada pula musik Angklung dimainkan untuk upacara ngaben serta musik Bebonangan dimainkan dalam berbagai upacara lainnya. Terdapat bentuk modern dari musik tradisional Bali, misalnya Gamelan Gong Kebyar yang merupakan musik tarian yang dikembangkan pada masa penjajahan Belanda serta Joged Bumbung yang mulai populer di Bali sejak era tahun 1950-an. Umumnya musik Bali merupakan kombinasi dari berbagai alat musik perkusi metal (metalofon), gong dan perkusi kayu ( xilofon). Karena hubungan sosial, politik dan budaya, musik tradisional Bali atau permainan gamelan gaya Bali memberikan pengaruh atau saling memengaruhi daerah budaya di sekitarnya. Seni tari Bali pada umumnya dapat dikatagorikan menjadi tiga kelompok, yaitu wali atau seni tari pertunjukan sakral, bebali atau seni tari pertunjukan untuk upacara
dan juga untuk pengunjung dan balih-balihan atau seni ta tarian Bali tersebut; antara lain yang tergolong ke dalam wali misalnya Berutuk , Sang Hyang Dedari, Rejang dan Baris Gede, bebali antara lain ialah Gambuh, Topeng Pajegan dan Wayang Wong ,
23
sedangkan balih-balihan antara lain ialah Legong , Parwa, Arja, Prembon dan Joged serta berbagai koreografi tari modern lainnya.
Pakaian daerah Pakaian daerah Bali sesungguhnya sangat bervariasi, meskipun secara selintas kelihatannya sama. Masing-masing daerah di Bali mempunyai ciri khas simbolik dan ornamen, berdasarkan kegiatan/upacara, jenis kelamin dan umur penggunanya. Status sosial dan ekonomi seseorang dapat diketahui berdasarkan corak busana dan ornamen perhiasan yang dipakainya.
-
Pria Anak-anak Ubud mengenakan udeng, kemeja putih dan kain.
Busana
tradisional pria umumnya terdiri dari:
-
o
Udeng (ikat kepala)
o
Kain kampuh
o
Umpal (selendang pengikat)
o
Kain wastra (kemben)
o
Sabuk
o
Keris
o
Beragam ornamen perhiasan
o
Sering pula dikenakan baju kemeja, jas dan alas kaki sebagai pelengkap.
Wanita Para penari cilik mengenakan gelung, songket dan kain prada. Busana tradisional wanita umumnya terdiri dari: o
Gelung (sanggul)
o
Sesenteng (kemben songket)
o
Kain wastra
o
Sabuk prada (stagen), membelit pinggul dan dada
o
Selendang songket bahu ke bawah
o
Kain tapih atau sinjang, di sebelah dalam
o
Beragam ornamen perhiasan
o
Sering pula dikenakan kebaya, kain penutup dada, dan alas kaki sebagai pelengkap.
Menurut filosofi masyarakat Bali, kedinamisan dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara aspek pawongan, palemahan dan parahyangan. Untuk itu pembangunan sebuah rumah harus meliputi aspek-aspek 24
tersebut atau yang biasa disebut Tri Hita Karana. Pawongan merupakan para penghuni rumah. Palemahan berarti harus ada hubungan yang baik antara penghuni rumah dan lingkungannya.Pada umumnya bangunan atau arsitektur tradisional daerah Bali selalu dipenuhi hiasan, berupa ukiran, peralatan serta pemberian warna. Ragam hias tersebut mengandung arti tertentu sebagai ungkapan keindahan simbol-simbol dan penyampaian komunikasi. Bentuk-bentuk ragam hias dari jenis fauna juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam patung. Selain itu suku bali memiliki beragam upacara-upacara keagamaan. Salah satunya adalah ngaben. Ngaben adalah penyucian atma / roh yang sudah meninggal yang dipercayai agar sang roh dapat menyatu dengan Brahman/tuhan.
2.5. Masyarakat Adat Di Sulawesi Tengah
Masyarakat Adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh Hukum adat dan Lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya. Di Indonesia ada 1163 komunitas Masyarakat Adat yang tercatat sebagai anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada Rapat Kerja AMAN tahun 2009 di Sukabumi dan di Sulawesi Tengah hingga tahun 2011 ini, ada 201 komunitas Masyarakat Adat yang masuk anggota AMAN Sulawesi Tengah yang tersebar di 11 Kabupaten Kota yang menempati daerah pegunungan dan pesisir laut dengan beragam adat istiadat dan pengetahuan lokal untuk mengelola sumber daya hutan yang ada di wilayah adat mereka. Hingga saat ini, Masyarakat Adat masih menjadi bagian dari masyarakat yang paling rentan terhadap berbagai dampak negatif pembangunan. Kondisi ini merupakan kelanjutan dari sejarah panjang diskriminasi dan marjinalisasi yang sudah berlangsung sebelum masa kolonial. Oleh karena itu, perjuangan Masyarakat Adat di Indonesia untuk memperbaiki kehidupan sendiri maupun dengan dukungan dari pihak-pihak lain yang peduli dengan kemajuan hak-hak asasi masyarakat adat terus digalakkan. Cukup banyak hasil positif dari perjuangan ini di berbagai daerah di Indonesia, tetapi masih banyak lagi daerah yang belum menunjukan perubahan kearah yang lebih baik. Demikian juga perubahan di tingkat nasional, beberapa kebijakan sektoral mulai berubah dengan mengakui dan menyediakan perlindungan hukum terhadap hak-hak Masyarakat Adat. 25
Masyarakat Adat Dan Pengelolaan Hutan Di Sulawesi Tengah Di Sulawesi Tengah, secara umum Masyarakat Adat memandang hutan sangat erat hubungannya dengan kehidupan mereka yaitu; 1) Secara sosial-ekologi, disamping sebagai penopang siklus air dan karbon dunia serta memiliki kemampuan mengatur iklim planet bumi, hutan merupakan ruang hidup bagi masyarakat adat; 2) Secara sosial-ekonomi; keberlangsungan hidup Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah sangat bergantung dari Sumber Daya Hutan untuk dikelola secara arif dan berkelanjutan; 3) Secara sosial-budaya, hutan sudah menjadi bagian dari kehidupan Masyarakat Adat, untuk digunakan sebagai tempat ritual adat; 4) Secara ilmu dan teknologi, masyarakat adat memiliki kearifan lokal dalam mengelola Sumber Daya Hutan yang sarat dengan etika dan konservasi lokal yang berlaku dikomunitasnya.
Dalam praktek pengelolaan hutan, Masyarakat Adat mempunyai kearifan lokal, menerapkan sanksi adat dan kelembagaan lokal yang dipraktekkan dalam pengelolaan hutan secara arif dan berkelanjutan. Di komunitas Masyarakat Adat Sulawesi Tengah, praktek pengelolaan hutan yang diatur oleh kelembagaan adat masih terus dilakukan dan menjadi tatanan sosial masyarakat adat dan sangat dipatuhi oleh masyarakatnya maupun orang luar yang masuk dikomunitas Masyarakat Adat. Contoh konkrit pengelolaan hutan yang dilakukan berdasarkan zonasi adat (tata kelola), berdasarkan kearifan lokal, sanksi adat yangdiatur oleh kelembagaan adat adalah di Masyarakat Adat Ngata Toro, Marena, Bada, Behoa, Katu, Taa Wana untuk Masyarakat Adat yang tinggal di daerah pegunungan dan Masyarakat Adat yang tinggal diwilayah pesisir.
Perspektif Sulawesi Tengah Komunitas Masyarakat Adat di wilayah Sulawesi Tengah secara riil masih ada, seperti masyarakat Tau Ta’a di kabupaten Tojo Una-Una, kabupaten Banggai dan kabupaten Morowali melalui kekerabatan herois dibawah pimpinan seseorang telenga’. Begitu juga masyarakat Kulawi, Sigi dan Pipikoro sub etnik yang menggunakan bahasa „ Ija, Moma dan Oma. Di kabupaten Sigi juga masih kuat intensitas norma hukum adat. Tercatat dalam sejarah seperti yang tertulis dalam 26
“van Poso naar Parigi, Sigi en Lindoe” hasil investigasi dan renungan N. Adrian dan Albert C. kruyt (1898) menyebutkan, bahwa orang-orang sigi itu ramah tamah dan bijaksana (scherpzinning), terutama ketika berada di Bora (Ibukota Kerajaan Sigi). Orang-orang Sigi belum tersentuh oleh tabiat pedagang. Meskipun peradaban yang lebih maju lainnya sudah ada, namun mereka masih kuat memegang teguh adat istiadat mereka, seperti “Baliya” dalam rangka upacara penyembuhan orang sakit (wurake). Masyarakat
Adat
di
Sulawesi
Tengah
membutuhkan
pengakuan
perlindungan dalam bentuk peraturan daerah. Akan tetapi, bukan berarti setiap perda yang ada di Sulawesi Tengah yang mengatur tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat itu mengatur secara rinci semua norma-norma hukum adat. Perda dimaksud hanya bermateri muatan ( hetonderwerp) pengakuan dan perlindungannya saja, khususnya meregulasi hubungan masayarakat adat dengan hutan, air dan lingkungan hidup, dengan tetap memperhatikan normanorma yang didelegasikan (delegatie van wetgevings).
Sedangkan
yang
bersangkut paut dengan norma-norma teknis diserahkan pada masyarakat hukum adat itu sendiri yang mengapresiasinya melalui lembaga adat. Misalnya pelanggaran-pelanggaran norma adat yang dapat di Givu, dll. Semuanya harus di kembalikan pada konsepsiemic, yaitu mereka sendiri mempersiapkan hak dan tanggung jawab menurut hukum adat masing-masing komunitas. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 perihal kehutanan ditegaskan bahwa masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaanya berhak: pertama, melakukan pemugutan hasil hutan untuk
pemenuhan
kebutuhan
hidup
sehari-hari
masyarakat
adat
yang
bersangkutan. Kedua, melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertetangan dengan undang-undang. Ketiga, mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Dari ketiga hak tersebut, harus di kukuhkan melalui pembentukan perda tentang hutan adat. Yang ingin di tegaskan di sini adalah perda tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di wilayah Sulawesi Tengah. Apabila tidak ada, maka hak-hak (akses) masyarakat tradisional atas sumber daya alam menjadi hilang, padahal SDA secara subtansial merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat adat yang tradisional. Hal-hal tersebut merupakan refleksi dari gulatan kearifan tradisional dengan keserakahan modern, yang selama ini masih 27
dalam episode termarginalkan dan masih menjadi fragment kehidupan tradisional masyarakat Indonesia yang pada umumnya tidak terlihat, namun dapat di rasakan. Kehidupan masyarakat modern yang di atur oleh hukum modern yang di dasari oleh pemikiran-pemikiran rasional, logis dan sekaligus dapat di pelintir merupakan benteng yang kokoh dalam melegalisir dan memberikan legitimasi atas keserakahan-keserakahan berikutnya yang lebih mutakhir.
28
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Adapun yang menjadi kesimpulan dari makalah ini, adalah sebagai berikut : Beragamnya kebudayaan yang ada di Indonesia khususnya di provinsi Sulawesi Tengah memperlihatkan bahwa betapa kayanya Negara ini. Dengan berbagai perbedaan yang ada, namun tidak membuat perpecahan antar masyarakat. Penduduk asli di provinsi Sulawesi Tengah terdiri atas 19 kelompok etnis atau suku, yaitu :
Etnis Kaili berdiam di kabupaten Donggala dan kota Palu
Etnis Kulawi berdiam di kabupaten Donggala
Etnis Lore berdiam di kabupaten Poso
Etnis Pamona berdiam di kabupaten Poso
Etnis Mori berdiam di kabupaten Morowali
Etnis Bungku berdiam di kabupaten Morowali
Etnis Saluan atau Loinang berdiam di kabupaten Banggai
Etnis Balantak berdiam di kabupaten Banggai
Etnis Mamasa berdiam di kabupaten Banggai
Etnis Taa berdiam di kabupaten Banggai
Etnis Bare'e berdiam di kabupaten Touna
Etnis Banggai berdiam di Banggai Kepulauan
Etnis Buol mendiami kabupaten Buol
Etnis Tolitoli berdiam di kabupaten Tolitoli
Etnis Tomini mendiami kabupaten Parigi Moutong
Etnis Dampal berdiam di Dampal, kabupaten Tolitoli
Etnis Dondo berdiam di Dondo, kabupaten Tolitoli
Etnis Pendau berdiam di kabupaten Tolitoli
Etnis Dampelas berdiam di kabupaten Donggala Di Sulawesi Tengah, secara umum Masyarakat Adat memandang hutan sangat
erat hubungannya dengan kehidupan mereka, karena secara sosial-budaya hutan sudah menjadi bagian dari kehidupan Masyarakat Adat, digunakan sebagai tempat ritual adat.
29
3.2. Saran
Dengan semakin berkembangnya zaman, serta pengaruh globalisasi dan juga pengaruh budaya-budaya asing. Kebudayaan-kebudayaan yang ada semakin tergeser dan hampir punah. Untuk mencegah punahnya kebudayaan tersebut perlu dilakukan berbagai tindakan. Berbagai kebudayaan yang beragam yang ada di provinsi Sulawesi Tengah seharusnya tetap dijaga dan dilestarikan. Para generasi penerus harus tetap mempertahankan kebudayaan-kebudayaan yang telah ada. Pemerintah setempat juga harus terlibat dalam proses pelestarian kebudayaan dengan melakukan upaya-upaya berupa pembentukan lembaga-lembaga, sosialisasi dan lain-lain.
30