MAKALAH
PAJAK INTERNASIONAL
TAX HAVEN COUNTRY & CONTROLLED FOREIGN CORPORATION
Disusun Oleh:
Aditya Pradirga M 135030400111043
Nur M Ikhwanudin 135030400111044
Dwi Fitri Kurniawati 135030401111075
Arief Hendrawan 135030401111063
Nurhadi Handono 135030401111065
Fita Nurul Farida 135030401111069
Muhamad Afriyanto 135030401111072
Radias Pratama 135030407111034
ADMINISTRASI PERPAJAKAN
JURUSAN ADMINISTRASI BISNIS
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Akhir-akhir ini fokus pengambil kebijakan dan pelaku pasar tertuju pada
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang merupakan
organisasi internasional beranggotakan 30 negara maju yang bertugas
membantu negara anggotanya dalam menghadapi tantangan ekonomi, sosial, dan
tata pemerintahan dalam ekonomi global.
Yang menjadi salah satu tantangan OECD adalah masalah tax havens. Menurut
Sekretaris Jenderal OECD Jose Angel Gurria, jumlah uang yang disembunyikan
oleh perseorangan dan korporasi di negara atau wilayah tax havens untuk
menghindari pajak atau menghindar dari ketidakstabilan politik berkisar
antara USD5-7 triliun. Pada awal April 2009 ini OECD mengadakan pertemuan
dan mengumumkan laporan perkembangan negara-negara surga perpajakan atau
tax havens.
Salah satu tantangan yang dihadapi OECD adalah banyaknya tax havens
countries atau territories yang dapat mengganggu negara lain. Pada tax
havens country atau territory biasanya undang-undang dan kebijakannya dapat
dipergunakan untuk menghindari atau mengelabui ketentuan pajak dari negara
lain. Pada Desember 2008 The United States Government Accountability Office
menggunakan beberapa kriteria untuk menentukan tax havens, yaitu (1) tidak
ada pajak atau pajak hanya nominal saja, (2) tidak adanya pertukaran
informasi perpajakan dengan negara lain, (3) tidak ada transparansi dalam
pelaksanaan undang-undang dan peraturan pelaksanaannya, (4) tidak ada
kewajiban bagi badan usaha asing untuk berada secara fisik pada negara itu,
(5) mempromosikan negara atau wilayahnya sebagai offshore financial center.
Tax havens merupakan kenyataan yang sudah berlangsung berabad-abad.
Fenomena tax havens timbul sebagai reaksi manusia sebagai homo ekonomikus
terhadap ketentuan pajak di negara tempatnya tinggal yang lebih tinggi
dibandingkan dengan tarif pajak di negara tax havens. Oleh karena itu,
mereka memindahkan uangnya ke negara tax havens. Negara/wilayah tax havens
banyak yang merupakan negara kecil yang keadaan politik dan ekonominya
stabil serta didukung oleh prasarana yang baik. Misalnya Swiss,
Singapura,dan Hong Kong. Sebagian negara tax havens merupakan atau memiliki
suatu offshore financial center seperti yang dimiliki Malaysia di Labuan.
Banyak negara tax havens ini yang kurang transparan dan ketentuan rahasia
banknya ketat sehingga mempersulit kerja sama internasional dalam bentuk
pertukaran informasi. Oleh karena itulah pada 2004 OECD dengan dukungan
negara G-20 dan UN Committee of Experts on International Cooperation in Tax
Matters menyepakati Internationally Agreed Tax Standard. Ini standar
internasional yang mensyaratkan adanya pertukaran informasi atas dasar
permintaan mengenai segala masalah yang terkait dengan perpajakan untuk
kepentingan administrasi dan penegakan hukum perpajakan. Kesepakatan ini
mengabaikan kepentingan perpajakan domestik dan ketentuan rahasia bank dari
negara yang diminta. Kesepakatan itu juga memberikan perlindungan yang
ketat terhadap informasi yang dipertukarkan.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimana pengertian dan konsep dari Tax Haven Country?
1.2.2. Bagaimana pengertian dan konsep dari Controlled Foreign
Corporation?
1.3. Tujuan Penulisan
1.3.1. Untuk mengetahui pengertian dan konsep dari Tax Haven Country.
1.3.2. Untuk mengetahui pengertian dan konsep dari Controlled Foreign
Corporation.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. Tax Haven Country
2.1.1 Pengertian Tax Haven Country
Tax Haven Country (Negara Surga Pajak) adalah merupakan suatu istilah
yang menyatakan bahwa sebuah negara atau teritori yang menjadi tempat
berlindung bagi para pembayar pajak sehingga para pembayar pajak ini dapat
menghindarkan pembayaran pajaknya.
Dalam UU PPh terbaru, tax haven disebut-sebut sebagai alat menghindari
pajak yakni dalam pasal 18 (3c) UU PPh tahun 2008 sebagai berikut
"Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau
special purpose company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara
yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country) yang mempunyai
hubungan istimewa dengan badan
yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha
tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham
badan yang
didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di
Indonesia." Pengertian tax haven ini sesungguhnya harus diterangkan dalam
Peraturan Menteri Keuangan seperti diamanatkan dalam pasal 18 (3e) tapi
sampai saat ini belum ada peraturan tersebut.
Sejumlah negara di dunia memberikan tarif pajak rendah bahkan sampai
nol persen demi menarik perusahaan-perusahaan asing untuk menyimpan uangnya
di negara tersebut. Beberapa negara yang termasuk Tax Haven Countries
antara lain: Andorra, Antigua and Barbuda, the Bahamas, Cayman Islands,
Costa Rica, British Virgin Islands, Isle of Man, Guernsey, Samoa, Bermuda,
Cyprus, Gibraltar, Dominica, Belize, Hongkong, Singapura, dan Vanuatu.
Kebanyakan negara-negara tersebut merupakan negara kepulauan kecil
sehingga sering juga dijuluki sebagai offshore financial centres karena
kebaradaannya yang jauh di tengah lautan. Meskipun demikian, tidak sedikit
pula negara daratan yang dikategorikan negara tax haven seperti Swiss,
Monaco, Panama dan sebagainya.
2.1.2 Ciri-Ciri Tax Haven Country
Ciri-ciri tax haven country antara lain:
1. Sebuah negara, negara bagian atau yurisdiksi dalam suatu negara yang:
Menerapkan tariff pajak rendah bahkan 0%,
Tidak transparan dalam pemberian pelayanan admisnitratif dan
legislative, terutama menyangkut masalah keuangan,
Memberikan struktur pajak istimewa hanya kepada perusahaan asing saja,
tetapi tidak memberikannya kepada penduduk dan usaha lokal,
Menerapkan peraturan yang tidak memungkinkan pertukaran data keuangan
dengan pemerintah negara lain; serta dimaksudkan semata untuk menarik
investasi asing.
2. Sebuah negara yang menerapkan tingkat pajak yang relative lebih rendah
dibandingkan negara lainnya,
3. Suatu negara dengan tarif pajak rendah bahkan 0%, disertai layanan jasa
keuangan dan hukum dengan kerahasiaan tinggi bagi bagi warga dan perusahaan
asing.
Keberadaan negara-negara tax haven jelas merupakan isu penting bagi
negara lain yang berusaha mengamankan penerimaan negaranya demi mendukung
pembangunan. Selain itu, Financial Action Tax Force – FATF (semacam Satgas
Anti Pencucian Uang) negara-negara tax haven ditengarai sebagai tempat
menyalurkan dana yang diperoleh dari berbagai kejahatan seperti terorisme,
perdagangan illegal, penyelundupan, kejahatan terorganisir dan sebagainya.
Tax Justice Network (TJN) dalam sebuah laporannya menyoroti keberadaan
negara-negara tax haven sebagai salah satu penyebab kemiskinan dan
menurunnya kesejahteraan banyak negara. Hal ini disebabkan karena peran
sentral negara-negara tax haven untuk melakukan pencucian uang (money
laundering) dengan menampung dana hasil korupsi, perdagangan narkoba dan
pelarian modal.
Suatu negara/wilayah dapat dikategorikan sebagai Tax Haven Country,
menurut Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (Organisation for
Economic Co-operation Development/OECD), jika memenuhi salah satu faktor:
1. Pajaknya sangat rendah, bahkan tidak ada pajak yang dikenakan, dengan
tujuan untuk menyediakan negara/wilayahnya sebagai negara/wilayah
tempat pelarian warga asing yang akan menghindarkan pajak.
2. Memiliki fasilitas perlindungan yang sangat ketat terhadap informasi
nasabah.
3. Tidak adanya transparansi dalam operasi tax haven tersebut.
Berikut daftar negara tax haven berdasarkan KMK No. 650/KMK.04/1994:
Argentina, Bahama, Bahrain Balize, Bermuda, British Isle, British Virgin
Island, Cayman Island, Channel Island Greensey, Channel Island Jersey,
Cook Island, El Savador, Estoni, Hongkong, Liechtenstein, Lithuania,
Makau, Mauritius, Meksiko, Nederland Antiles, Nikaragua, Panama,
Paraguay, Peru, Qatar, St. Lucia, Saudi Arabia, Uruguay, Venezuela,
Vanuatu, Yunani, Zambia.
Dalam konteks perpajakan Internasional, ada berbagai skema yang biasa
dilakukam oleh PMA untuk melakukan penghematan pajak yaitu dengan skema
seperti:
1. Transfer pricing
2. Thin capitalization
3. Treaty shopping
4. Controlled foreign corporation (CFC)
Menarik mencermati euphoria perang terhadap tax haven akhir-akhir ini.
Awalnya dari publikasi OECD (Organisation for Economic Cooperation and
Development) pada pertemuan G-20 di London, April 2009, yang mengumumkan
daftar negara yang merupakan tax haven dan financial center. Kemudian,
Presiden Prancis Nicolas Sarkozy, Kanselir Jerman Angela Merkel, dan
Perdana Menteri Inggris Gordon Brown menjadi sebagian dari banyak tokoh
yang mendukung adanya pengendalian atas tax haven. Dukungan demi dukungan
membangkitkan optimisme akan segera berakhirnya rezim surga pajak.
Pertemuan G-20 itu seperti menjadi lonceng kematian bagi tax haven. Ada
beberapa kendala pada bangsa ini yang akan memperlambat berakhirnya
pemanfaatan rezim tax haven sebagai sarana penghindaran dan penggelapan
pajak.
Pertama, terkait dengan identifikasi tax haven. Definisi tax haven dalam
regulasi kita dapat ditemui pada UU Nomor.36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan. Pasal 18 ayat (3c) UU ini menyebutkan bahwa tax haven country
adalah negara yang memberikan perlindungan pajak. Sementara Surat Edaran
Dirjen Pajak Nomor SE-04/PJ.7/1993 menyebutkan criteria tax haven, yaitu:
(a) Negara yang tidak memungut pajak, atau (b) memungut pajak lebih rendah
dari Indonesia. Sudah begitu, kita sendiri tidak memiliki daftar negara
yang masuk kategori tax haven.
Kendala kedua terkait dengan program dan perlakuan atas tax haven. Sejauh
ini, pemerintah belum pernah mengumumkan adanya program yang komprehensif
dan terarah untuk menangani tax haven dan masalah yang ditimbulkannya.
Jangan-jangan pemerintah tidak tahu bahwa masalah tersebut besar dan harus
ditangani segera. Lawan yang tangguh Di samping masalah tersebut, memerangi
tax haven bukanlah masalah ringan.
Pertama, perang ini adalah perang lama. Upaya memberantas tax haven sudah
lama dilakukan dan melibatkan banyak pihak. Tapi, tax haven tetap hidup,
bahkan berkembang. Kongres Amerika Serikat (AS), misalnya, telah berupaya
melenyapkan penggelapan pajak melalui tax haven sejak 1983. Tapi, sampai
saat ini, Stop Tax Haven Abuse Act masih merupakan draf (Levin: 2009).
Selain AS, OECD juga merupakan lembaga yang sibuk memberantas tax haven,
baik dengan Harmful Tax Competition Report yang dimulai sejak 1998, maupun
mempromosikan standar internasional dengan laporan Tax Co-operation:
Towards a Level Playing Field sejak 2001.
Kedua, keragaman daftar dan kriteria. Itu terjadi karena banyak pihak
yang berkepentingan atas tax haven. Banyak ide dan program pemberantasannya
yang terkadang terkesan sporadis dan tidak berkoordinasi. Misalnya masalah
daftar, OECD, Bank Dunia, Tax Justice Network, dan masing-masing negara
memiliki daftar tax haven yang berbeda-beda. Hal ini menimbulkan
ketidakpastian tentang siapa yang harus diperlakukan sebagai tax haven.
Ketiga, inkonsistensi pencitraan tax haven yang merugikan ekonomi global
atau justru menguntungkan investasi. Salah satu daftar tax haven adalah
yang diterbitkan oleh Financial Stability Forum (FSF) – Forum hasil
kerjasama IMF dan World Bank. FSF dalam Report on the Warking Group on
Offshore Centres (FSF,2000) memasukkan 46 negara dalam daftar tax haven.
Dalam laporan Doing Business 2010, lembaga riset di bawah World Bank,
beberapa negara tersebut justru dimasukkan pada peringkat tinggi dalam
kriteria Paying Taxes, antara lain Hong Kong (nomor 3), Singapura (5), dan
Maurittius (12). Adapun Indonesia di 126 dan Jepang di 123. Keempat,
laporan "The Price of Offshore" oleh Tax Justice Network (TJN-2005)
memperkirakan bahwa besaran aset yang disimpan investor individual pada tax
haven mencapai US$ 11,5 triliun. Laporan Kongres AS (US GAO: 2006)
menunjukkan keterlibatan banyak pihak dalam pemanfaatan tax haven. Misalkan
saja, akuntan publik, penasehat hukum, bank, konsultan pajak, dan lembaga
amal. Besaran angka dan banyaknya pihak yang terlibat menunjukkan bahwa tax
haven adalah lawan yang tangguh. Daftar hambatan dalam menghadapi tax haven
bisa panjang atau pendek, tergantung pemahaman kita akan masalah ini.
Berikut ini adalah apa yang dapat kita lakukan untuk mengurangi hambatan
itu. Pertama, harus disadari bahwa tax haven adalah masalah yang terlalu
besar utuk ditangani sendiri oleh Dirjen Pajak. Pemerintah, DPR, dan duia
usaha harus berkoalisi memperhatikan masalah tersebut. Lakukan upaya apa
pun untuk meminimalkan besaran pendapatan negara yang lenyap karena tax
haven. Salah satunya, pemerintah dapat melarang pengusaha yang menggunakan
tax haven untuk berinvestasi pada pertambangan dan kehutanan. Kedua,
melakukan evaluasi atas semua Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
(P3B). Hal ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa P3B yang berlaku
tersebut bersifat saling menguntungkan. Di samping itu, kita juga harus
memastikan bahwa terdapat mekanisme pertukaran informasi yang efektif dan
efisien. Ketiga, menyusun daftar dan kriteria tax haven. Dari hasil
evaluasi P3B dan memperhatikan perkembangan daftar tax haven yang secara
internasional diterima, pemerintah dapat menyusun kriteria daftar dan
daftar siapa saja yang dianggap tax haven. Pemerintah juga dapat memberikan
diskresi kepada Dirjen Pajak untuk menambah atau mengurangi daftar tersebut
sesuai dengan kriteria ang ditetapkan. Keempat, pemerintah harus menyusun
aturan dan program untuk memberikan disinsentif pemanfaatan tax haven dalam
rangka penggelapan dan penghindaran pajak. Jika keempat langkah di atas
telah diambil, harapan kita akan lenyapnya tax haven akan besar.
2.1.3 Potensi Masalah dan Alternatif Pemecahanya
Ada beberapa cara bagi seseorang atau suatu perusahaan memelihara
keamanan dan kenyamanan kekayaannya dengan memanfaatkan keberadaan tax
havens. Menurut buku Tolleys Tax Havens (2000) ada empat cara untuk
melakukannya.
Pertama, personal residency, yaitu dengan memindahkan domisili ke negara
tax havens. Sejak abad ke-20 banyak orang kaya yang berpindah dari negara
yang tinggi pajaknya ke negara yang pajaknya rendah karena di banyak negara
dasar pengenaan pajak adalah tempat tinggal wajib pajak. Para pengusaha
Indonesia pun ada yang memindahkan domisili perseorangan dan perusahaannya
ke Singapura atau negara lain.
Kedua, trading and other business activity, yaitu dengan mendirikan
perusahaan lokal atau special purpose vehicle company (SPV) di negara
tersebut. Keberadaan perusahaan lokal ini biasanya tidak ada secara fisik
atau tidak membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Perusahaan asing ini dapat
memudahkan terjadinya transfer pricing untuk menghindari pajak di dalam
negeri.
Ketiga, asset holding, yaitu dengan menggunakan trust company untuk
mengelola kekayaannya di luar. Misalnya yang dilakukan oleh salah satu
tersangka kasus Bank Century.
Keempat, financial intermediary, yaitu dana yang dihimpun di negara
rendah pajak kemudian disalurkan ke berbagai negara yang pajaknya lebih
tinggi. Hal ini berhasil dilakukan Cayman Island, wilayah kecil dengan
penduduk tidak lebih dari 60.000 orang, tetapi memiliki sekitar 350
offshore bank. Pada negara atau wilayah tax havens tindak pidana perpajakan
biasanya bukan merupakan tindak pidana asal (predicate crime) dari tindak
pidana pencucian uang seperti di Malaysia, Singapura, dan Swiss. Di
Indonesia tindak pidana di bidang perpajakan merupakan salah satu predicate
crime dari tindak pidana pencucian uang. Biasanya pertukaran informasi
terkait dengan tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak pidana
perpajakan sangat sulit dilakukan. Mengingat beberapa ciri negara tax
havens sebagaimana disebutkan di atas, negara tax havens biasanya juga
dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana untuk melakukan pencucian uang.
Indonesia tidak termasuk di dalam daftar OECD tersebut. Ada beberapa hal
yang menjadi penyebabnya. Pertama, Indonesia bukanlah tax havens.
Sebaliknya Indonesia merupakan korban yang uangnya banyak dilarikan ke
negara tax havens. Misalnya berdasarkan penelitian dari perusahaan Merril
Lynch dan Capgemini beberapa tahun yang lalu dapat diketahui bahwa
sepertiga dari orang kaya (high networth individual) yang ada di Singapura
berasal dari Indonesia. Kekayaan yang ditanamkan di Singapura diperkirakan
sekitar USD70 miliar. Untuk mengejar uang yang ditanam di luar negeri
seperti di Singapura bukanlah perkara mudah karena negara yang menerima
penempatan dana tersebut sering tidak kooperatif. Di samping itu, Indonesia
juga tidak memiliki offshore financial center atau offshore bank karena
dalam sistem perbankan di Indonesia tidak dikenal adanya offshore bank.
Offshore bank adalah bank yang hanya boleh menghimpun dana dari luar
negeri, kemudian menyalurkannya ke luar negeri saja (out-out offshore bank)
atau di wilayah tertentu diperbolehkan juga menyalurkan dananya ke dalam
negeri tempat bank itu berada. Di samping itu, tindak pidana perpajakan
merupakan salah satu tindak pidana asal dari tindak pidana pencucian uang.
Inilah yang harus dicari solusinya agar Indonesia tak selalu menjadi korban
dari skema adanya tax havens dalam sistem keuangan internasional.
2.1.4 Contoh Kasus:
"X Ltd. Yang didirikan dan berkedudukan di negara A, sebuah negara
yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country), memiliki 95% saham
PT X yang didirikan dan bertempat kedudukan diindonesia. X Ltd. Ini adalah
suatu perusahaan antara (conduit company) yang didirikan dan dimiliki
sepebuhnya oleh Y Co., sebuah perusahaan di negara B, dengan tujuan sebagai
perusahaan antara dalam kepemilikannya atas mayoritas saham PT X."
2.2. Controlled Foreign Corporation (CFC)
2.2.1 Pengertian Controlled Foreign Corporation (CFC)
Controlled Foreign Company (CFC) adalah perusahaan terkendali yang
dimiliki oleh Wajib Pajak dalam negeri yang berada di negara-negara yang
mengenakan pajak rendah atau tidak mengenakan pajak sama sekali (tax haven
country) yang dibentuk dengan maksud untuk menunda pengakuan penghasilan
dalam rangka penghindaran pajak (tax avoidance).
Penghindaran pajak oleh Wajib Pajak dalam negeri ini dilakukan dengan
mengalihkan penghasilan dari luar negeri ke perusahaan CFC yang sengaja
dibentuk di negara tax haven country. Agar tidak dikenakan pajak, laba dari
perusahaan CFC ini tidak dibagikan kepada pemegang sahamnya, yaitu Wajib
Pajak dalam negeri. Dengan kata lain, Wajib Pajak dalam negeri ini tidak
meminta haknya atas laba yang diperoleh CFC.
Untuk mengantisipasi penghindaran pajak jenis ini, Undang-undang Pajak
Penghasilan telah memuat ketentuan dalam Pasal 18 ayat (2). Ketentuan ini
sebagaimana, ketentuan lain dalam Pasal 18, adalah ketentuan anti
penghindaran pajak (anti avoidance rule). Selengkapnya bunyi dari Pasal 18
ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut :
Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib
Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri
selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan
sebagai berikut:
besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling
rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki
penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah
saham yang disetor.
Berdasarkan ketentuan di atas, apabila ada Wajib Pajak dalam negeri yang
memiliki CFC, maka Menteri Keuangan dapat menetapkan saat diperolehnya
dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri tersebut sehingga tidak ada celah
untuk menunda pengakuan laba agar tidak dikenakan pajak di Indonesia.
Sebagai peraturan pelaksanaan dari Pasal 18 Ayat (2) UU PPh ini, Menteri
Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2008
tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Oleh Wajib Pajak Dalam Negeri
Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha Di Luar Negeri Selain Badan Usaha
Yang Menjual Sahamnya Di Bursa Efek.
Peraturan Menteri Keuangan ini mencabut ketentuan sebelumnya yaitu
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 650/KMK.04/1994 tentang Penetapan Saat
Diperolehnya Dividen Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha Di Luar Negeri
Yang Sahamnya Tidak Diperdagangkan Di Bursa Efek.
2.2.2 Pengertian Special Purpose Vehicle (SPV)
Special Purpose Vehicle (SPV) adalah sebuah perusahaan dengan tujuan
atau fokus yang terbatas. Perusahaan ini dibentuk oleh suatu badan hukum
untuk melakukan aktivitas khusus atau bersifat sementara. Perusahaan ini
biasanya, walaupun tidak perlu, dikuasai hampir sepenuhnya oleh badan hukum
yang menjadi sponsornya. Oleh sebab itu SPV ini harus dijauhkan dari
sponsor baik dalam bidang manajemennya maupun pemilikannya (tidak 100%),
karena jika SPV sudah dikuasai atau diatur oleh sponsor, maka tidak akan
ada perbedaan antara cabang perusahaan dan SPV. Berdasarkan definisi
tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa secara badan hukum SPV harus berdiri
independen. SPV tidak boleh mengalami kerugian dalam menjalankan
kegiatannya. Karena semua biaya yang dikeluarkan oleh SPV ditanggung oleh
pihak-pihak yang terkait didalamnya seperti bank, lembaga keuangan,
investor dan lain-lain. Atas semua kegiatan yang dilakukan SPV secara
keuangan dan perdagangan mendapat garansi dari lembaga-lembaga keuangan
independen yang terlibat seperti Finance Consultant, Appraisal, Tax
Consultant dan lain-lain.
2.2.3 Kriteria Badan Usaha Luar Negeri
Tidak ada pasal khusus yang mengatur tentang kriteria atau definisi
dari badan usaha luar negeri atau CFC dalam Peraturan Menkeu Nomor
256/PMK.03/2008. Namun demikian, Pasal 1 memberikan petunjuk tentang hal
ini di mana terdapat frasa "penyertaan modal pada badan usaha di luar
negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek"
Dengan demikian, kriteria CFC ini hanyalah badan usaha di luar negeri
selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek. Artinya batas
antara badan usaha luar negei yang merupakan CFC dan bukan hanya terletak
pada apakah badan usaha tersebut menjual sahamnya di bursa efek atau tidak.
Dengan ketentuan ini maka bisa saja sebenarnya Wajib Pajak dalam negeri
yang tidak bermaksud untuk menghindari pajak dengan memiliki perusahaan di
luar negeri dan tidak membagikan dividen dengan tujuan lain, dapat terkena
dampak ketentuan ini sehingga dianggap mendapatkan dividen dari
investasinya tersebut.
Hal yang berbeda diatur dalam ketentuan sebelumnya yaitu Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 650/KMK.04/1994. Dalam ketentuan ini diatur bahwa Badan
usaha di luar negeri adalah badan usaha yang bertempat kedudukan di negara
atau tempat seperti tersebut dalam lampiran Keputusan ini. Perhatikan bahwa
tambahan kriteria CFC dalam ketentuan ini adalah badan usaha yang
berkedudukan atau bertempat di negara-negara yang sudah ditentukan.
Kriteria Wajib Pajak Dalam Negeri
Kriteria Wajib Pajak dalam negeri yang dianggap memperoleh dividen dari
badan usaha di luar negeri adalah Wajib Pajak dalam negeri yang :
memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari
jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri; atau
secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki
penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah
saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri.
Ketentuan tentang hal di atas diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 256/PMK.03/2008.
Saat Diperolehnya Dividen
Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2008, saat
diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal
pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di
bursa efek adalah:
pada bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban
penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan badan usaha di luar negeri
tersebut untuk tahun pajak yang bersangkutan; atau
pada bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir apabila badan usaha di
luar negeri tersebut tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan SPT
Tahunan Pajak Penghasilan atau tidak ada ketentuan batas waktu
penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan.
Besarnya Dividen
Besarnya dividen yang wajib dihitung sebagai penghasilan dividen oleh Wajib
Pajak dalam negeri memenuhi syarat dan memiliki penyertaan pada badan usaha
di luar negeri yang memenuhi syarat adalah sebesar jumlah dividen yang
menjadi haknya terhadap laba setelah pajak yang sebanding dengan
penyertaannya pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang
menjual sahamnya di bursa efek.
Misal laba setelah pajak pada badan usaha di luar negeri adalah $1.000.000
dan besarnya penyertaan yang dimiliki oleh Wajib Pajak dalam negeri adalah
50%, maka Wajib Pajak dalam negeri dianggap memperoleh dividen sebesar 50%
x $1.000.000 sama dengan $500.000.
2.2.4 Contoh kasus:
Contoh SPV
X Ltd. yang didirikan dan berkedudukan di negara A, sebuah negara yang
memberikan perlindungan pajak (tax haven country), memiliki 95% saham PT X
yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia. X Ltd. ini adalah
suatu perusahaan antara (conduit company) yang didirikan dan dimiliki
sepenuhnya oleh Y Co., sebuah perusahaan di negara B, dengan tujuan sebagai
perusahaan antara dalam kepemilikannya atas mayoritas saham PT X. Apabila Y
Co. menjual seluruh kepemilikannya atas saham X Ltd. kepada PT Z yang
merupakan Wajib Pajak dalam negeri, secara legal formal transaksi di atas
merupakan pengalihan saham perusahaan luar negeri oleh Wajib Pajak luar
negeri.
Namun, pada hakikatnya transaksi ini merupakan pengalihan kepemilikan
(saham) perseroan Wajib Pajak dalam negeri oleh Wajib Pajak luar negeri
sehingga atas penghasilan dari pengalihan ini terutang Pajak Penghasilan.
Indikator untuk menetapkan Wajib Pajak dalam negeri sebagai pihak yang
sebenarnya melakukan pembelian, hanya dua yaitu apabila Wajib Pajak dalam
negeri tersebut mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak atau badan yang
dibentuk untuk maksud melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan
(special purpose company); dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga
pembelian.
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Tax Haven Country (Negara Surga Pajak) adalah merupakan suatu istilah
yang menyatakan bahwa sebuah negara atau teritori yang menjadi tempat
berlindung bagi para pembayar pajak sehingga para pembayar pajak ini dapat
menghindarkan pembayaran pajaknya. Ciri-ciri tax haven adalah sebagai
berikut:
1. Sebuah negara dengan ketentuan yang sudah disepakati.
2. Sebuah negara yang menerapkan tingkat pajak yang relative lebih rendah
dibandingkan negara lainnya,
3. Suatu negara dengan tarif pajak rendah bahkan 0%, disertai layanan jasa
keuangan dan hukum dengan kerahasiaan tinggi bagi bagi warga dan perusahaan
asing.
Controlled Foreign Company (CFC) adalah perusahaan terkendali yang
dimiliki oleh Wajib Pajak dalam negeri yang berada di negara-negara yang
mengenakan pajak rendah atau tidak mengenakan pajak sama sekali (tax haven
country) yang dibentuk dengan maksud untuk menunda pengakuan penghasilan
dalam rangka penghindaran pajak (tax avoidance). Kriteria Wajib Pajak dalam
negeri yang dianggap memperoleh dividen dari badan usaha di luar negeri
adalah Wajib Pajak dalam negeri yang :
memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari
jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri; atau
secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki
penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah
saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri.
Special Purpose Vehicle (SPV) adalah sebuah perusahaan dengan tujuan
atau fokus yang terbatas. Perusahaan ini dibentuk oleh suatu badan hukum
untuk melakukan aktivitas khusus atau bersifat sementara.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-indang Nomor 36 Tahun 2008.
Wahyudi Dedi. 2010. Controlled Foreign Corporation.
(http://dudiwahyudi.com/pajak/pajak-penghasilan/controlled-foreign-company-
cfc.html). Diakses pada tanggal 4 Desember 2015 pukul 16.13 WIB.
2014. Tax Haven Country. ( http://howmoneyindonesia.com/2014/01/12/tax-
haven-surga-bagi-para-pengemplang-pajak/). Diakses pada tanggal 4 Desember
2015 pukul 16.24 WIB.
Syafrianto. 2009. Daftar Tax Haven Country.
(http://syafrianto.blogspot.co.id/2009/04/daftar-tax-heaven-country-
berdasarkan.html). Diakses pada tanggal 4 Desember 2015 pukul 16.39 WIB.
www.ortax.org. (http://ortax.org/ortax/?mod=forum&page=show&idtopik=5075).
Diakses pada tanggal 4 Desember 2015 pukul 16.50 WIB.
Bayu Rahmat Rahayu . 2009. (http://www.kompasiana.com/finedu/mengharapkan-
tax-heaven-tidak-ada-adalah-sebuah-mimpi_54ff385fa33311124550fded). Diakses
pada tanggal 5 Desember 2015 pukul 09.12 WIB.
2013. (http://edwardconsulting.blogspot.co.id/2013/02/oecd-dan-tax-havens-
country.html). Diakses pada tanggal 5 Desember 2015 pukul 09.21 WIB.
Surahmat Rachmanto . 2004. (https://groups.yahoo.com/neo/groups/forum-
pajak/conversations/messages/10322). Diakses pada tanggal 5 Desember 2015
pukul 09.47 WIB.