FISIOTERAPI PADA TOTAL KNEE ARTHROPLASTY Tim ILOMPT
Sejak dikembangkan sekitar 40 tahun yang lalu, Total Knee Replacement (TKR) atau Total Knee Arthroplasty (TKA) telah menjadi salah satu terobosan spektakuler di dunia dunia kedokt kedoktera eran n khusus khususnya nya bagi bagi penderi penderita ta osteoa osteoartr rtriti itiss (OA) (OA) sendi sendi lutut. lutut. Dengan Dengan semakin meningkatnya usia harapan hidup, jumlah penderita OA juga semakin banyak yang kemudian kemudian berimplikasi berimplikasi pada peningkatan jumlah jumlah tindakan tindakan TKA, Pada tahun 2007, lebih lebih dari dari 450.000 450.000 tindakan tindakan TKA dilak dilakuka ukan n di Ameri Amerika ka Serika Serikatt (Mei (Meier er et al, al, 2008). 2008). Jumlah ini meningkat menjadi lebih dari 687.000 pada tahun 2010 dan diperkirakan akan mencap mencapai ai 3,48 juta pada tahun tahun 2030 (Steven(Steven-Laps Lapsley ley et al, 2011). 2011). Prevalen Prevalensi si tindak tindakan an TKA di Kanada, Kanada, menyentuh menyentuh angka 106,9/100.000 106,9/100.000 penduduk pada tahun 2006 (Desmeul (Desmeules es et al, 2009). Sedangkan di Rumah Sakit Ortopedi Prof.Dr.R. Soeharso Surakarta, pada tahun 2018 antara 3 – 8 pasien menjalani operasi artroplasi tiap minggunya.. Meskipu Meskipun n diangg dianggap ap sebaga sebagaii metode metode yang yang efekti efektiff mengata mengatasi si probl problem em nyeri nyeri dan ganggua gangguan n fungsi fungsional onal penderi penderita ta OA, terny ternyata ata 15 – 30% penderi penderita ta pasca pasca TKA masih masih mengalami problem nyeri dan gangguan fungsional (Mins Lowe et al, 2011). Problem lain yang cukup banyak ditemukan adalah penurunan kekuatan dan atrofi otot quadriceps sert sertaa peme pemend ndek ekan an otot otot ham hamstri string ng (Ste (Steve ven n Laps Lapsle ley y 2012 2012;; Mei Meier 2006 2006). ). Untu Untuk k meme memeca cahk hkan an masa masala lah h ters terseb ebut ut tela telah h bany banyak ak dila dilakuk kukan an pene peneli liti tian an yang yang hasi hasiln lnya ya dihara diharapka pkan n dapat dapat membant membantu u lebi lebih h memaham memahamii osteoar osteoartr triti itiss dan TKA. TKA. Hal ini ini sangat sangat penting karena salah satu penyebab munculnya masalah ini adalah kurangnya pemahaman terhadap problematika penderita OA yang ternyata sangat kompleks, baik pra maupun maup un pasca TKA. SEKILAS OSTEOARTRITIS Osteo Osteoar artr trit itis is seri sering ng dide didefi fini nisi sikan kan seba sebagai gai gangg ganggua uan n
send sendii akiba akibatt degen degener eras asii
kartilago kartilago artikularis artikularis yang ditandai ditandai dengan nyeri dan gangguan gangguan fungsi fungsi sendi. sendi. Beberapa Beberapa metode metode interv intervensi ensi dikem dikembangk bangkan an dengan dengan menjad menjadika ikan n degener degenerasi asi karti kartilag lago o ini sebaga sebagaii objek utama. Namun pemahaman yang sangat sempit ini yang membuat banyak metode intervensi menjadi tidak efektif karena sesungguhnya problematika osteoartritis tidaklah sesederhana itu. Degenerasi kartilago hanyalah awal dari suatu rangkaian masalah yang dialami penderita osteoartritis. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk memahami problematika osteoartritis osteo artritis adalah sebagai berikut.
Nyeri pada osteoartritis
Nyeri yang dialami penderita osteoartritis masih mengundang kontroversi di dunia medis. Pada awalnya diduga sumber utama nyeri adalah inflamasi akibat degenerasi kartilago. Namun hal dibantahkan oleh adanya fakta bahwa kartilago tidak memiliki nerve ending. Beberapa penelitian radiologis mengungkapkan rendahnya korelasi
perubahan radiologis sendi penderita osteoartritis dengan nyeri (Downie 1996, Haslett et al 2000; Braunwald et al 2001; O’Sullivan & Schmitz 2001). Hubungan nyeri dengan penurunan kekuatan otot juga masih diragukan karena beberapa pasien dengan nyeri hebat ternyata memiliki kekuatan otot dan kebugaran kardiovaskuler yang bagus (Slemenda C et al 2004). Nyeri pada penderita osteoartritis muncul akibat aktivasi sensory nerve ending pada jaringan peka nyeri di sekitar persendian seperti membran
sinovial, meniskus, ligamen, kapsul sendi, lapisan sub-kondral dan otot. Karena nyeri merupakan fenomena subjektif maka persepsi nyeri dapat mengalami perubahan sesuai kondisi psikologis (pengalaman hidup dan harapan) penderita (Bishop 1980, Kaur N & Verma SK 2005). Dari sini jelas bahwa intervensi nyeri pada osteoartritis tidak dapat dilakukan secara terpisah-pisah namun harus dilakukan secara multi-task approach. Perubahan hard tissue Perubahan hard tissue berawal dari proses degenerasi kartilago artikularis yang sampai saat ini belum diketahui apa penyebab pastinya. Faktor pemicu degenerasi kartilago antara lain usia, jenis kelamin, obesitas, riwayat cidera dan beberapa penyakit tertentu. Degenerasi kartilago terjadi akibat tidak seimbangnya proses perbaikan dan kerusakan jaringan. Sebagai jaringan yang avaskuler, sangat sulit bagi kartilago untuk mengalami regenerasi. Dampaknya akan terjadi degenerasi kartilago yang progresif sehingga lama kelamaan akan mengalami penipisan bahkan sampai habis. Pembebanan pada sendi yang kartilago artikularisnya sudah habis berpotensi menimbulkan mikrofraktur di lapisan sub-kondral. Secara natural tubuh akan bereaksi untuk menyembuhkan mikro-fraktur ini lewat proses kalsifikasi dengan penebalan dan pelebaran lapisan tulang di bawah kartilago, yang oleh beberapa peneliti dianggap berguna karena memperluas area kontak untuk distribusi beban. Perubahan hard tissue dapat diamati dengan pemeriksaan
radiologis
yang
berupa
penyempitan
celah
sendi
dan
formasi
“spur/osteophyt”. Perubahan inilah yang akan menimbulkan varus/valgus & flexion deformity.
Perubahan soft tissue Perubahan pada soft tissue di sekitar sendi yang pertama adalah inflamasi membran sinovial (sinovitis) yang berdampak pada penurunan produksi cairan sinovial. Penurunan produksi cairan sinovial akan mengganggu proses nutrisi dan lubrikasi sendi yang pada
akhirnya akan memperberat degenerasi kartilago artikularis. Prevalensi sinovitis cukup tinggi yaitu mencapai 50% dari total populasi penderita osteoartritis (Attur et al 2010). Penipisan celah sendi akan menyebabkan laxity ligamen sekitar sendi yang memicu munculnya instabilitas sendi. Hasil penelitian Rudolph KS 2007 menunjukkan laxity lebih dominan terjadi pada sisi medial sendi lutut. Joint laxity ini akan semakin berkurang seiring dengan bertambah beratnya osteoartritis dimana sendi mulai mengalami keterbatasan gerak dan kekakuan (Wada M et al 1996) Cyriax menyatakan bahwa artritis erat kaitannya dengan pemendekan kapsul sendi atau adhesive capsulitis yang menyebabkan keterbatasan gerak ke segala arah. Teori capsular pattern Cyriax sering dijadikan acuan dalam diagnosis keterbatasan gerak sendi. Capsular pattern pada sendi lutut dan hinge joint lainnya adalah fleksi lebih terbatas
daripada ekstensi Perubahan soft tissue yang cukup banyak dibicarakan adalah sistem otot. Problem otot yang sering dijumpai pada penderita osteoartritis adalah penurunan kekuatan dan atrofi. Pada bulan pertama pasca TKA dapat terjadi penurunan kekuatan 50 – 60% dibandingkan sebelum operasi (Lapsley et al, 2012). Hasil penelitian Meier et al (2008) menyebutkan bahwa penurunan kekuatan otot quadriceps dan hamstring masih tetap ada pasca TKA bahkan masih belum pulih sampai beberapa tahun kemudian. Defisit muscle torque dan kekuatan otot ekstensor lutut masih terjadi 10 bulan pasca TKA (Valtonen et
al, 2009).
Gangguan sistem otot tidak hanya terjadi area sendi lutut namun juga di
pinggang, sendi panggul dan pergelangan kaki. Penurunan kekuatan otot gluteus maximus, gluteus medius dan eksternal rotator sendi panggul banyak dijumpai pada osteoartritis sendi lutut (Rozen, 2009). Problem pada otot ini diakibatkan oleh terhambatnya aktivasi neuromuskuler dan atrofi otot (Slemenda et al 2004, Meier et al 2008). Untuk
mengantisipasi
penurunan
kekuatan otot,
penderita
akan berusaha
meningkatkan aktivitas otot saat terjadi pembebanan pada sendi. Hasil pengukuran EMG menunjukkan peningkatan aktivitas listrik dalam otot yang cukup signifikan (Rudolph KS et al 2007). Peningkatan ini jelas akan menguras energi lebih besar sehingga otot lebih cepat mengalami kelelahan. Dampak jangka panjang akan mempengaruhi kebugaran fisik dan kardiovaskuler penderita osteoartritis.
Gambar 1. Perbandingan EMG otot penderita osteoartritis dan normal
Varus/valgus dan flexion deformity
Deformitas varus dan valgus dapat dijumpai pada penderita derajat berat. Namun karena prevalensinya sangat tinggi menyebabkan deformitas varus identik dengan osteoartritis. Pada kondisi normal, sendi lutut bagian medial menyangga 70% beban dan sisi lateral 30% disebabkan oleh proyeksi ground reactive force yang melalui sisi medial dan posterior sendi. Untuk mengkompensasi gaya ini terjadilah flexion and adduction moment yang nilainya sangat tinggi pada penderita osteoartritis sendi lutut.. Dampaknya
potensi degenerasi kartilago dan penyempitan celah sendi akan jauh lebih besar pada sisi medial yang kemudian menimbulkan joint laxity and instability . Sebagai respon terhadap kondisi ini, otot-otot di sekitarnya akan mengadopsi bracing mechanism untuk meningkatkan stabilitas sendi. Namun kondisi ini justru semakin meningkatkan tekanan dan degenerasi kartilago sisi medial sehingga pada akhirnya muncul deformitas varus dan fleksi.
Gambar 2. Knee adduction moment dan varus deformity
Perubahan pola jalan Perubahan-perubahan pada hard and soft tissue dan problem nyeri yang dialami penderita osteoartritis akan berdampak pada perubahan pola jalannya. Pada tahap awal dimana baru rasa nyeri yang dominan akan muncul antalgic gait yang ditandai dengan percepatan fase stance. Pada tahap lanjut dimana sudah terjadi kelemahan otot, deformitas, gangguan neuromuskuler dan habitual adaptation maka dapat muncul waddling gait . Analisa biomekanik Astephen et al 2008 menemukan : “Gait differences that progressed with OA severity included decreased stance phase knee flexion angles, decreased early stance knee extension moments, decreased peak stance phase hip internal rotation moments, and decreased peak ankle dorsiflexion moments”. Perubahan
pola jalan ini selain semakin memperberat kerusakan sendi lutut juga akan berdampak pada struktur di sekitarnya. Dalam sebuah penelitian terhadap 1389 penderita osteoartritis lutut, 57,4% responden menyatakan juga menderita nyeri pinggang (Suri et al, 2010). TOTAL KNEE ARTHROPLASTY
Berkat kemajuan IPTEK, implan TKA telah mengalami banyak perkembangan. Saat ini sedikitnya ada 5 tipe implan yang telah dikembangkan untuk mengakomodir kebutuhan penderita akan TKA yang tepat. 1. Posterior cruciate retaining (PCR) Desain ini digunakan bila posterior cruciate ligament (PCL)
dianggap masih layak untuk mempertahankan
stabilitas sendi saat gerak fleksi. Kelebihan tipe ini adalah mendekati kinematik sendi lutut normal dan propriosepsi yang lebih baik karena PCL tidak dibuang. Kelemahannya adalah kerusakan komponen polietilene yang lebih cepat apabila ada pemendekan PCL dan instabilitas fleksi serta subluksasi bila terjadi ruptur PCL. 2. Posterior stabilized/cruciate substitution (PS) Pada tipe ini, implan dilengkapi dengan tonjolan yang disebut cam & post (cam pada komponen femoral, post pada tibial) untuk menggantikan PCL yang dibuang. Desain ini dianggap menghasilkan keseimbangan dan LGS fleksi yang lebih baik serta prosedur operasi yang lebih mudah. Perbedaan dengan tipe PCR dapat dilihat pada haasil radiologi dimana pada PS akan nampak adanya bangunan kotak di tengah komponen femoral.
3. Constrained non-hinged Istilah constrained dikaitkan dengan stabilitas varus-valgus serta fleksi-ekstensi. Tipe ini memiiki tibial post yang lebih besar dan femoral cam yang lebih dalam sehingga diharapkan mampu memperbaiki stabilits sendi. 4. Constraind hinged Desain ini digunakan pada sendi yang stabilitasnya jelek karena dilengkapi dengan engsel yang menghubungkan komponen femoral – tibial. 5. Mobile bearing design Pada tipe ini, polietilen dapat rotasi di atas tibial base-plate sehingga mengurangi pembebanan pada komponen polietilen yang secara teori mampu memperlambat ausnya polietilen.
Constrained non-hinged
Constrained hinged
Mobile bearing
Program Fisioterapi
Dalam mendesain program intervensi untuk TKA/TKR, seorang fisioterapis harus ingat bahwa problem yang dihadapi berbeda dengan kasus operasi ortopedi (fraktur) pada umunya. Pada operasi fraktur secara umum dapat diasumsikan bahwa penderita tidak memiliki problematika fisik dan fungsional sebelumnya. Jadi permasalahan baru muncul setelah fraktur dan tindakan operasi. Hal berbeda terjadi pada TKA/TKR dimana penderita sudah memiliki problematika yang cukup kompleks sebelumnya dan problem ini berpotensi bertambah pasca operasi. Idealnya program fisioterapi sudah dilakukan sebelum penderita menjalani operasi sehingga hasil yang diperoleh lebih maksimal. Program pre-operasi
Program pre-operasi dapat dimulai jauh hari sebelum hari-H operasi. Salah satu hal terpenting dalam program ini adalah menyamakan persepsi dan ekspektasi antara penderita dengan tim medis. Problem ketidak puasan penderita pasca operasi sering
muncul akibat perbedaan ini yang diantaranya adalah kurangnya pemahaman penderita sehingga mereka mempunyai ekspektasi yang terlalu tinggi. Program pre-operasi diawali dengan pemeriksaan untuk mengetahui kondisi umum penderita. Pemeriksaan yang perlu dilakukan meliputi kekuatan otot, lingkup gerak sendi, atrofi otot, kemampuan fungsional dan status mental. Pemeriksaan nyeri pada tahap ini bersifat opsional karena persepsi nyeri kemungkinan besar berubah pasca operasi. Dari pemeriksaan ini diharapkan dapat disusun program fisioterapi yang perlu dilakukan untuk meminimalkan problem dan memaksimalkan kapasitas fisik dan kemampuan fungsional pasca operasi. Penderita dengan fungsional pre-operatif yang rendah membutuhkan intervensi fisioterapi pasca operasi yang lebih intensif untuk mencapai level fungsional yang sama dengan penderita dengan disfungsi minimal (Jones CA et al, 2003). Penelitian G Evgeniadis et al 2008 menunjukkan bahwa program general strengthening exercise selama 3 minggu sebelum TKA dapat meningkatkan kemampuan fungsional, kesehatan mental dan mengakomodir ekspektasi penderita pasca operasi. Program fisioterapi pada tahap pre-operasi antara lain :
Aerobic exercise untuk meningkatkan kebugaran fisik dan kardiovaskuler dengan static cycle
Strengthening exercise untuk otot-otot anggota gerak atas dan bawah
Core stabilization exercise untuk otot-otot pinggang.
Stretching untuk otot-otot yang mengalami pemendekan
Joint mobilization dengan traksi dan translasi
Manual lymph drainage untuk kontrol odema serta nyeri pre dan pasca operasi
Under water gait retraining exercise untuk memperbaiki pola jalan dan propriosepsi
Neuromuskuler electrical stimulation untuk memfasilitasi kontraksi otot yang mengalami hambatan aktivasi neuromuskuler
Cognitive behavioural therapy bekerja sama dengan psikolog untuk membantu penderita merubah persepsinya tentang nyeri. Dosis dan bentuk latihan disesuaikan dengan masing-masing penderita, yang harus
diperhatikan adalah agar program fisioterapi jangan sampai memperberat problem penderita. Bila ditemukan adanya peningkatan tanda dan gejala maka dosis latihan harus dikurangi atau bila perlu dirubah. Program pasca operasi
Program pasca operasi sebaiknya dimulai sedini mungkin. Intervensi fisioterapi sejak 24 jam pertama pasca operasi TKA terbukti mampu meningkatkan kemandirian dalam melakukan ADL, keseimbangan dan pola jalan serta mempercepat masa rawat inap
bila dibandingkan dengan aplikasi setelah 48 – 72 jam pasca operasi (Labraca et al 2011). Program spesific strengthening exercise selama 8 minggu pasca TKA mampu meningkatkan LGS aktif dan mempercepat pemulihan kemandirian fungsional penderita (G Evgeniadis et al 2008). Saat ini ada 2 kelompok program pasca operasi yaitu Standart dan Fast Track Protocol.
Standart Protocol
Program Fisioterapi pasca TKA dapat dikelompokkan menjadi 3 fase yaitu Immediate Post-Operative, Progressive Function dan Advance Function. Masing-masing fase memiliki target tersendiri dan peningkatan ke fase selanjutnya harus dievaluasi secara individual. Peningkatan ini dapat terjadi lebih cepat apabila target sudah tercapai (O’Connor, 2008)
Fase I : Immediate Post-Operative (minggu pertama) Target :
Mampu transfer dari tempat tidur dan kursi secara aman dan mandiri
Mampu ambulasi dengan alat bantu secara aman dan mandiri
Menguasai active & dynamic balance dengan alat bantu
Menguasai home exercise program
Quadriceps control
ROM knee (S) 0 – 0 – 900
Kontrol pembengkakan, inflamasi dan perdarahan
POD #0
Aplikasi
CPM
bila
diperlukan
dengan target ROM 0 – 90 derajat atau sesuai toleransi pasien, minimal 8 jam per hari
Kompres dingin 20 menit per jam
Jangan memberi ganjal di bawah lutut karena berpotensi menimbulkan flexion deformity
POD #1
Penambahan CPM 10 derajat atau sesuai toleransi pasien sampai tercapai 90 derajat fleksi knee aktif
Latihan fleksi knee aktif sampai 60 derajat
Latihan duduk di tepi tempat tidur atau kursi selama 20 menit atau sesuai toleransi (bila memungkinkan)
Ambulasi WBAT (weight bearing as tolerated) dengan walker atau 2 kruk sejauh 5 – 6 m atau sesuai toleransi)
Bed exercise : ankle pumps, heel slide, gluteal & quadriceps sets
POD #2
Melanjutkan program hari pertama
Bed exercise mandiri 5 x sehari
Straight leg raise & terminal knee extension
Bed mobility & transfer mandiri
Ambulasi 25 – 30 m dengan walker dan dibawah pengawasan
Ambulasi ke kamar mandi & transfet ke toilet
Duduk di kursi 30 menit, 2 x sehari
Gerak aktif fleksi knee sampai 70 derajat
POD #3
Melanjutkan latihan hari ke 2
Ambulasi sampai 50 m dengan walker dan di bawah pengawasan
Latihan ambulasi dengan wide base quad cane (WBQC) sekitar 4 langkah
Latihan fleksi hip, knee, abduksi/adduksi hip dalam posisi berdiri
Latihan aktifitas di kamar mandi dengan pengawasan
Perbanyak aktifitas duduk (kurang dari 45 menit tiap sesi)
Fleksi knee aktif sampai 90 derajat
Pulang dari rumah sakit jika sudah mampu ambulasi mandiri
POD #4
Melanjutkan latihan hari ke 3
Ambulasi 70 m dengan walker & pengawasan
Latihan jalan dengan WBQC, 4 – 6 langkah dalam pengawasan
ROM aktif 0 – 90 derajat
Perbanyak aktifitas di luar tempat tidur, duduk dan jalan
POD #5
Melanjutkan latihan hari ke 4
Ambulasi 80 m dengan walker, mandiri
Latihan jalan dengan WBQC 6 – 8 langkah
Home exercise mandiri
ROM aktif 0 – 90 derajat
Fase II : Progressive Function, minggu ke 2 – 5 Goals :
Meningkatkan strength, endurance, ROM & proprioception
Meningkatkan static & dynamic balance
Gerak aktif knee 0 – 110 derajat
Meningkatkan kemampuan fungsional di rumah
Kontrol bengkak dan inflamasi
Minggu 2 – 3
Home exercise lanjut
Menambah jarak tempuh ambulasi dengan WBQC
Static cycle 5 – 10 menit dengan pengawasan
Static & dynamic balance exercise
Standing wall slides ( lutut jangan sampai melampaui jari kaki)
ROM aktif 0 – 100 derajat
Minggu 3 – 4
Latihan berdiri satu kaki pada sisi yang sait, melangkah ke samping
Latihan jalan dengan tongkat
Static cycle 10 – 15 menit, 2x sehari
Peningkatan ROM aktif 0 – 105 derajat
Minggu 4 – 5
Jalan dengan tongkat
Static cycle 15 menit atau lebih, 2x sehari
Peningkatan ROM aktif 0 – 110 derajat
Fase III Advanced Function Goals :
Ambulasi tanpa alat bantu
Static & dynamic balance exercise tanpa alat bantu
Peningkatan ROM aktif 0 – 125 derajat
Terampil melakukan aktifitas fungsional di rumah
Minggu 6 – 7
Ambulasi tanpa alat bantu di dalam ruangan
Fokus pada strength & eccentric control otot latihan beban bila diperlukan
Latihan ROM aktif 0 – 135 derajat
Minggu 7 – 8
Home exercise program untuk peningkatan strength & endurance
Ambulasi tanpa alat bantu
Fast Track Protocol
POD #0
: dimulai 3 jam post-op, ankle pump exercise, quadriceps isometric, postural positioning, transfer ke duduk dan berdiri, jalan 10-15 menit dengan walker, aplikasi CPM dengan derajat gerak sesuai toleransi pasien
POD #1
: SLR exercise untuk melatih kontrol quadriceps, fleksi – ekstensi aktif, latihan jalan dengan double crutches, aplikasi CPM
POD #2
: latihan sama dengan POD 1, latihan jalan ditingkatkan sampai 60-70 m
POD #3
: peningkatan latihan dari POD 2, simulasi persiapan untuk latihan ADL di rumah termasuk teknik naik-turun tangga.
Kriteria pemulangan pasien : LGS Lutut 0-0-90, mampu melakukan ADL mandiri termasuk transfer dan jalan 70 meter dengan double crutches
Protokol di atas dapat diubah sesuai kondisi penderita dan instruksi dokter spesialis bedah ortopedi. Pada beberapa kasus ada kemungkinan fase weight bearing saat latihan jalan atau bahkan ROM exercise akan mengalami penundaan. Jadi pastikan bahwa fisioterapis mempunyai akses langsung dengan spesialis bedah ortopedi.
Berikut ini bentuk-bentuk intervensi fisioterapi yang dapat diaplikasikan pasca TKA. Beberapa intervensi sudah didukung oleh hasil penelitian. 1.
Continuous Passive Motion (CPM) . Nyeri hebat pasca operasi akan membuat penderita kesulitan bergerak aktif secara
optimal sehingga berpotensi menimbulkan keterbatasa gerak. Pemakaian CPM jelas sangat membantu program mobilisasi sendi sedini mungkin. Namun hasil penelitian ternyata menunjukkan tidak ada manfaat tambahan yang signifikan dari pemakaian CPM untuk penderita TKA. CPM tidak terbukti mampu mengurangi impairment and dissability serta masa rawat inap (Denis et al, 2006). The use of CPM as an adjunct should be questioned as the curretnt research generally does not support its use (Grella RJ, 2008).
Meskipun pemakaian CPM memiliki efek jangka pendek terhadap LGS namun pemakaian dalam waktu lama perlu dipertimbangkan kembali karena tidak ditemukan efek jangka panjang terhadap LGS maupun fungsional penderita (Lenssen et al, 2008)
2.
Neuromuskular Electrical Stimulation Penelitian Lapsley et al (2012) : NMES diberikan
48 jam pasca operasi dengan parameter : arus bifasik simetris, 50 pps selama 15 detik, durasi pulsa 250µs, interval 45 detik, 15 kali repetisi per sesi, 2 sesi per hari selama
6
minggu.
Parameter
evaluasi
meliputi
isometric quadriceps & hamstring muscle torque
(diukur dengan electromechanical dyanamometer ), kemampuan fungsional (diukur dengan TUG test, StairClimbing Test, 6 Minute Walk Test, nyeri dengan 11- point verbal numeric pain rating scale, ROM (dengan goniometer) dan kuesioner kesehatan umum. Kesimpulan : aplikasi
NMES sejak 48 jam pasca TKA efektif menghambat penurunan kekuatan otot dan meningkatkan kemampuan fungsional. Hasil positif juga didapatkan Lewek et al (2001) dengan menggunakan parameter NMES : alternating current 2500 Hz, 10 second on, 50 second off, 3 second ramp time for 10 contraction. 3.
Proprioception in Open chain exercise Latihan propriosepsi sangat penting bagi penderita pasca TKA karena problem
propriosepsi mungkin sudah terjadi sejak sebelum operasi. Problem akan semakin berat karena ada sebagian proprioseptor yang dibuang saat operasi (ligamen, meniskus). Keberadaan proprioseptor membuat kita mampu mengetahui posisi anggota gerak. Propriosepsi yang baik sangat dibutuhkan dalam koordinasi gerak, keseimbangan dan aktifitas fungsional.
4.
Proprioception in Close chain exercise Pada penderita pasca TKA program latihan ini baru dapat dilakukan apabila sudah
ada kontrol kontraksi otot khususnya quadriceps dan hamstring serta sudah diperbolehkan weight bearing. Latihan dimulai dengan pembebanan ringan yang kemudian secara
bertahap ditingkatkan sesuai toleransi penderita. Latihan close chain memiliki kelebihan dibandingkan open chain yaitu menyerupai aktifitas fungsional, mengaktifkan lebih banyak otot dan memperbaiki stabilitas sendi.
5.
Core stabilization exercise Kualitas core muscle sangat penting terutama dalam melakukan aktifitas fungsional
karena berperan sebagai penghubung anggota gerak bawah dengan badan dan anggota gerak atas.. Core muscle yang terlatih akan mampu menghasikan stabilitas dan mobilitas yang baik. Pada mayoritas penderita nyeri kronik, otot-otot ini akan mengalami disfungsi. Tapi dalam praktek klinis masalah ini sering terlupakan, khususnya pada penerita osteoartritis sendi lutut. Langkah pertama dalam core stabilization exercise adalah re-
aktifasi
dan
transversus
re-edukasi abdominis
otot dan
multifidus dengan 3 teknik dasar yaitu abdominal
hollowing,
abdominal bracing dan pelvic tilt exercise (Kisner, 2007) Apabila
teknik dasar ini sudah dikuasai maka latihan dapat ditingkatkan dengan melibatkan otot-otot di sekitarnya, peningkatan beban dan repetisi
untuk
meningkatkan
strength dan endurance serta aplikasi dalam latihan fungsional.
6.
Stretching Stretching dapat dilakukan secara aktif, pasif, PNF atau dengan pendekatan
neuromuskuler. Tiffany PY Chow dan Gabriel YF Ng (2010) menyimpulkan bahwa stretching aktif, pasif dan PNF mampu memperbaiki LGS fleksi sendi lutut pasca TKA namun tidak ditemukan perbedaan signifikan di antara ketiganya. Stretching dengan pendekatan neuromuskuler didasari oleh teori resiprocal inhibition yaitu kontraksi antagonis akan menimbulkan relaksasi agonis. Teknik ini sangat efektif dalam mengatasi keterbatasan gerak sendi akibat spasme protektif yang muncul pasca TKA.
Referensi
Astephen et al; Biomechanical changes at the hip, knee, and ankle joints during gait are associated with knee osteoarthritis severity; J Orthop Res, 2008:26(3) Chow TPY, Ng GFY ; Active, Passive and Proprioceptive Neuromuscular Facilitation Stretching are Comparable in Improving The Knee Flexion Range in Patient with Total Knee Replacement, Clinial Rehabilitation; 2010; 24: 910-918 Denis M et al; Effectiveness of Continuous Passive Motion and and Conventional Physical Therapy After Total Knee Arthroplasty; Phys Ther; 2006 Desmeules et al, Waiting for TKR surgery : Factors Associated With Pain, Stiffness, Function and Quality of Life; BMC Muskuloskeletal Disorders, 2009, 10:52
G Evgeniadis et al; Effect of Pre or Postoperative Therapeuti Exercise on The Quality of Life Before and After Total Knee Arthroplasty for Osteoartritis; Journal of Back and Muskuloskeletal Rehabilitation; 2008:21:161-169 Grella RJ; Continuous passive motion following total knee arthroplasty : a usefull adjunct to early mobilisation Jones CA et al, Determinant of Function After Total Knee Arthroplasty; Phys Ther; Aug 2003;83:8 Kaur N & Verma SK; Quadriceps Strength of Patients of Osteoartritis Knee : Relationship to Pain and Disability; Journl of Exercise Science & Physiotherapy 1:1&2:38-45, 2005 Kisner C & Colby LA, Therapeutic Exercise Foundations and Techniques, FA Davis Company, 2007 Labraca NS et al; Benefits of Starting Rehabilitation Within 24 hours of Primary Total Knee Arthroplasty : randomized clinical trial; Clinical Rehabilitation; 2011:25(6) Lenssen AF et al ; Effectiveness of Prolonged use of CPM as an adjunct to Physiotherapy after Total Knee Arthroplasty; BMC Muskuloskeletal Disorder; 2008, 9:60 Lewek M et al; The Use of Electrical Stimulation to Increase Quadriceps Femoris Muscle Force in an Elderly Patient Following a Total Knee Arthroplasty; Phys Ther 2001;81:1565 – 1571 M Attur et al; Targeting The Synovial Tissue for Treating OA, Where Is The Evidence ?, Elsevier, 2009 Meier W et al; Total Knee Arthroplasty : Muscle Impairment, Functional Limitations and Recommended Rehabilitation Approaches; Journal of Orthopaedic & Sport Physical Therapy 2008; 38:5 Mins Lowe et al, Comparison of Post-discharge Physiotherapy versus Usual Care Following Primary TKA for Osteoarthritis; Clinical Rehabiitation 2011;26:7 Rozen Nimrod, Biomechanical Aspect of Knee Osteoartritis and APOS Therapy; APOS 2009 Rudolph KS et al; Age-Related Changes in Strength, Joint laxity and Walking Pattern; Phys Ther, 2007;87 Slemenda C et al; Quadriceps Weakness and Osteoartritis of The Knee; American College of Physicians, 2004 Stevens-Lapsley et al, Early Neuromuscular Electrical Stimulation to Improve Quadriceps Muscle Strength After Total Knee Arthroplasty, Phys Ther, 2012;92
Suri P et al; Low back pain and other musculoskeletal pain comorbidities in individuals with symptomatic osteoarthritis of the knee: Data from the osteoarthritis initiative. Arthritis Care & Research , 2010 Valtonen A et al; Muscle Deficits Persist After Unilateral Knee Repalcement and Have Implication for Rehabilitation; Phys Ther 2009:89 Wada M et al; Knee Laxity in Patients With Osteoartritis and Rheumatoid Arthritis; British Journal of Rheumatology; 1996:35