BAB II MEKANIKA RESERVOIR
2.1. Sifat Fisik Batuan Reservoir Reservoir
Batuan reservoir yang berisi minyak dan gas ternyata secara kuantiti terperangkap di dalam rongga – rongga batuan, kemampuan fluida untuk mengalir melewati batuan dan lainnya berhubungan dengan sifat fisik batuan ( Physical Properties).
Sifat fisik batuan reservoir merupakan sifat penting batuan reservoir
dan hubungannya dengan fluida reservoir yang mengisinya dalam kondisi statis dan dinamis (jika ada aliran). Berikut ini akan dibicarakan mengenai sifat fisik batuan reservoir baik yang tidak dipengaruhi fluida reservoir maupun yang dipengaruhi fluida reservoir yang meliputi porositas, kompressibilitas, tegangan permukaan, permukaan, wettabilitas, tekanan tekanan kapiler, kapiler, saturasi fluida, dan permeabilitas. permeabilitas. 2.1.1. Sifat Fisik Batuan 2.1.1.1. Porositas
Porositas ( ) didefinisikan sebagai fraksi atau persen dari volume ruang pori–pori terhadap volume batuan total (bulk volume). Besar–kecilnya porositas suatu batuan akan menentukan kapasitas penyimpanan fluida reservoir. Secara matematis porositas dapat dinyatakan sebagai :
Vb Vg
Vb
x100%
Vp
Vb
.................................................... ......... (2-1) x100% ...........................................
keterangan :
= porositas, (%)
Vb = volume batuan total (bulk (bulk volume) Vg = volume butir batuan (volume (volume grain) Vp = volume ruang pori–pori batuan.
4
5
2.1.1.1.1. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Porositas
Faktor yang mempengaruhi besarnya porositas pada batuan sedimen klastik adalah: 1. Keseragaman ukuran butiran Semakin seragam dan bundar butiran yang menyusun batuan sedimen klastik, maka porositasnya akan semakin besar. Jika terdapat partikel kecil dari silt atau clay bercampur di dalam butiran pasir yang berukuran besar, maka effective porosity (intercommunicating ) akan menurun. 2. Tingkat sementasi dan konsolidasi Tingkat semen yang tinggi pada batu pasir akan menurunkan porositas, dan batupasir lunak (unconsolidated sandstone) memiliki
porositas
yang tinggi. 3. Besarnya kompaksi selama dan setelah pengendapan Pada umumnya, porositas batuan akan semakin kecil apabila batuan terserbut terbentuk pada lingkungan pengendapan yang semakin dalam. 4. Metode packing Bentuk
packing
butiran
yang
membentuk
batupasir
sangat
mempengaruhi besarnya porositas. Ada dua jenis packing butiran yaitu cubic dan cubic dan rhombohedral . Packing cubic memiliki porositas yang lebih besar dibandingkan rhombohedral. rhombohedral.
Gambar 2.1. Faktor yang mempengaruhi besarnya porositas (Bigelow Ed. L, 1995, ”Introduction ”Introduction to Wireline Log Analysis”)
6
2.1.1.1.1.1. Porositas pada Batu Pasir
Porositas batu pasir dipengaruhi oleh packing, sorting, dan sementasi. Packing menggambarkan susunan butir – butir pasir relatif terhadap yang lain. Gambar 2.2 menunjukkan tiga tipe ideal packing untuk butir – butir pasir spherical dan porositasnya secara teori. Cubic packing memiliki porositas sebesar 47.6%; hexagonal packing memiliki porositas sebesar 39.5% dan rhombohedral packing memiliki memiliki porositas sebesar sebesar 25.9%.
Gambar 2.2. Pengaruh packing terhadap porositas pada butir – butir spherical yang seragam (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Batu pasir yang mempunyai well sorted terdiri dari butir – butir yang mempunyai ukuran yang sama sedangkan batu pasir yang mempunyai poorly sorted terdiri dari butir – butir yang mempunyai ukuran butir yang berbeda. Pemilahan yang buruk (poor sorting) menurunkan porositas batu pasir seperti yang terlihat pada Gambar 2.3. Tabel II-1 menunjukkan percobaan pengukuran porositas dengan berbagai variasi artificial sandpacks. Sebagai catatan bahwa secara umum penurunan porositas dengan pemilahan yang buruk berlaku untuk semua ukuran butir dan perkiraan porositas pada batu pasir extremely well sorted berlaku untuk semua ukuran butir.
7
Gambar 2.3. Pengaruh pemilahan terhadap porositas. (A) ukuran yang tidak seragam, (B) butir – butir spherical yang ideal (from Tiab and Donaldson, 2004) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Tabel IIII-1. Pengukuran porositas artificial sandpacks (from Beard and Weyl, 1973) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Pada batuan yang kompak, butir – butir pasir tersementasi bersama – sama biasanya dengan dengan kuarsa atau karbonat. Sementasi mengurangi porositas batu pasir seperti yang terlihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Pengaruh sementasi terhadap porositas (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
8
2.1.1.1.1.2. Porositas pada Batuan Karbonat
Pada batuan karbonat, porositas sekunder biasanya lebih penting dibandingkan porositas primer. Sumber utama porositas sekunder meliputi rekahan, larutan dan penggantian senyawa kimia. Rekahan membuat retakan dalam batuan. Gambar 2.5 menunjukkan rekahan formasi yang ideal dimana butir – butir yang keras dan rekahan membentuk ruang pori. Meskipun porositas rekahan pada umumnya kecil, seringkali 1-2%, rekahan sangat berguna dalam mengalirkan fluida untuk mengalir lebih mudah dalam batuan. Sehingga, rekahan dapat meningkatkan kapasitas aliran batuan.
Gambar 2.5. Batuan rekah ideal dengan porositas rekahan yang rendah (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Larutan merupakan reeaksi kimia dimana air dengan karbon dioksida terlarut bereaksi dengan kalsium karbonat untuk membentuk kalsium bikarbonat yang dapat dipecah. Reaksi ini meningkatkan porositas limestone. Reaksi kimia : CO2 + H2O = H2CO3 H2CO3 + CaCO3 = Ca(HCO3)2 Penggantian kimia adalah sebuah reaksi kimia dimana salah satu tipe dari ion mengganti ion – ion yang lainnya dengan menghasilkan penyusutan ukuran butir dalam batuan. Sebagai contoh adalah dolomitisasi dimana ion – ion kalsium dalam kalsium karbonat diganti oleh ion – ion magnesium untuk membentuk
9
kalsium magnesium karbonat (dolomit). Penggantian ini menyebabkan penyusutan penyusutan sekitar 12 sampai 13% volume butir, hal ini menyebabkan menyebabkan meningkatnya porositas sekunder. Reaksi kimia : 2CaCO3 + MgCl2 = CaMg(CO3)2 + CaCl2 2.1.1.1.2. Klasifikasi Porositas Porositas Berdasarkan Aspek Engineering
Ditinjau dari aspek engineering, porositas batuan reservoir dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: 1. Porositas absolut, adalah persen volume pori – – pori total terhadap volume batuan total (bulk volume).
Volume pori total ............................................... .... 100% ........................................... bulk volum volumee
(2-2)
2. Porositas efektif, adalah perbandingan volume pori – pori yang saling berhubungan terhadap volume volume batuan total (bulk volume).
Volume pori yang berhubungan ........................ 100% ........................ bulk volum volumee
(2-3)
Gambar 2.6 menunjukkan perbandingan antara porositas efektif, non efektif dan porositas total dari suatu batuan. Untuk selanjutnya, porositas efektif digunakan dalam perhitungan karena dianggap sebagai fraksi volume yang produktif.
Gambar 2.6. Porositas effektif, non effektif dan porositas total (Bigelow Ed. L, 1995, ”Introduction ”Introduction to Wireline Log Analysis”)
10
2.1.1.1.2. Klasifikasi Porositas Berdasarkan Aspek Geologi
Berdasarkan waktu terjadinya, cara terjadinya dan hubungan dari pori – pori batuan (aspek geologi), maka porositas dapat diklasifikasikan menjadi dua , yaitu : 1. Porositas primer, adalah porositas yang terbentuk pada waktu batuan sedimen diendapkan, seperti: Intercrystalline,
Intergranular
or
interparticle, Bedding planes, Miscellaneous ( Miscellaneous (vug, vug, cavernous dan cavernous dan pori pori yang disebabkan organisme). – pori 2. Porositas sekunder, adalah porositas batuan yang terjadi setelah proses pengendapan batuan, seperti akibat proses pelarutan, dolomitisasi, rekahan dan lain - lain.
Porositas larutan, adalah ruang pori – – pori yang terbentuk karena adanya proses pelarutan batuan.
Rekahan, celah, kekar, yaitu ruang pori – – pori yang terbentuk karena adanya kerusakan struktur batuan sebagai akibat dari variasi beban, seperti: lipatan, sesar, atau patahan. Porositas tipe ini sulit untuk dievaluasi atau ditentukan secara kuantitatif karena bentuknya tidak teratur.
Dolomitisasi,
dalam
proses
ini
batugamping
(CaCO 3)
ditransformasikan menjadi dolomit ( CaMg( CO 3 ) 2 ) atau menurut reaksi kimia : 2CaCO3 + MgCl2
CaMg (CO3)2 + CaCl2
Menurut para ahli, batugamping yang terdolomitasi mempunyai porositas yang lebih besar dari pada batu gampingnya gampingnya sendiri. Batuan sedimen klastik batupasir merupakan jenis batuan reservoir yang mempunyai porositas primer. Tipe Porositas sekunder biasanya terbentuk pada batuan karbonat.
11
2.1.1.2. Kompressibilitas Kompressibilitas
Kompressibilitas batuan didefinisikan sebagai perubahan volume yang disebabkan karena adanya perubahan tekanan. Menurut Geerstma (1957) ada tiga konsep tentang kompressibilitas batuan, antara lain : a. Kompressibilitas matriks batuan, yaitu fraksi perubahan volume material padatan (grains) terhadap satuan perubahan tekanan. b. Kompressibilitas bulk batuan, yaitu fraksi perubahan volume bulk batuan terhadap satuan perubahan tekanan. c. Kompressibilitas pori-pori batuan, yaitu fraksi perubahan volume pori pori batuan terhadap satuan perubahan tekanan. Kompressibilitas pori – – pori batuan dianggap yang paling penting dalam teknik reservoir khususnya. Batuan yang berada pada kedalaman tertentu akan mengalami dua macam tekanan, yaitu : a. Internal a. Internal Stress, Stress, yang berasal dari desakan fluida yang terkandung di dalam pori-pori batuan (tekanan hidrostatik fluida formasi). b. Eksternal b. Eksternal Stress, Stress, yang berasal dari pembebanan batuan yang ada di atasnya (tekanan overburden) Pengosongan
fluida
dari
ruang
pori-pori
batuan
reservoir
akan
mengakibatkan perubahan tekanan dalam batuan, sehingga resultan tekanan pada batuan akan mengalami perubahan pula. Adanya perubahan tekanan ini akan mengakibatkan perubahan pada butir-butir batuan, pori-pori dan volume total (bulk) batuan reservoir. Perubahan bentuk volume bulk batuan dapat dinyatakan sebagai kompressibilitas Cr atau atau :
C r
1 dVr . ……………………………………………………... (2-4) Vr dP
Sedangkan perubahan bentuk volume pori-pori batuan dapat dinyatakan sebagai kompressibilitas C p atau :
C p
1
.
dV p
V p dP *
keterangan :
…………………………………………………..…. (2-5)
12
Vr
= volume padatan batuan (grains)
V p
= volume pori-pori batuan
P
= tekanan hidrostatik fluida di dalam batuan
P
= tekanan luar (tekanan overburden).
2.1.1.2.1. Kompressibilitas Formasi
Fatt melaporkan melaporkan hasil percobaan percobaan terhadap jumlah terbatas terbatas dari beberapa beberapa sampel batuan yang kompak dan sandpack. Gambar 2.7 menunjukkan kompressibilitas volume pori sebagai fungsi net overburden pressure untuk batupasir yang mengandung butir – butir yang poorly sorted, 20% - 40% semen. Kompressibilitas tersebut lebih besar dibandingkan dengan yang diberikan pada Gambar 2.8, yang mana untuk batu pasir yang mengandung butir – butir yang well sorted dan hanya mengandung 10% - 30% semen. Brandt mendefinisikan bahwa net overburden pressure sebagai external pressure, σ, dikurangi 85% dari internal fluid pressure. Angka tersebut tergantung dari struktur batuan, berkisar antara 75% sampai 100% dengan rata – rata 85%.
Gambar 2.7. Pengaruh net overburden pressure terhadap kompressibilitas volume pori untuk batu pasir yang tidak kompak dengan poorly sorted, kurva A (Ф = 0.36) dan batu pasir, kurva B (Ф = 0.13), C (Ф = 0.15), E dan D (Ф = 0.12) (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
13
Gambar 2.8. Pengaruh net overburden pressure terhadap kompressibilitas volume pori untuk batu pasir dengan butir – butir well sorted (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
Gambar 2.9. Hubungan antara kompressibilitas efektif batuan dan porositas (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
14
Hasil percobaan Fatt menunjukkan hubungan korelasi antara data kompressibilitas dan porositas. Hasil ini berlawanan dengan kesimpulan yang dikemukakan oleh Hall, menyatakan bahwa, dengan turunnya tekanan reservoir, kompressibilitas pori setiap batuan reservoir adalah hasil dari dua faktor yang berbeda : ekspansi ekspansi butir – butir batuan secara secara individual dan penambahan penambahan kompasi kompasi formasi yang diakibatkan karena fluida reservoir kurang efektif dalam menahan berat dari overburden. Dari kedua faktor tersebut, berdasarkan Hall, kecenderungan kecenderungan penurunan porositas ditunjukkan pada Gambar 2.9. 2.1.1.2.2. Pengaruh Kompressibilitas Pori terhadap Perhitungan Cadangan
Pada saat reservoir pertama kali diproduksikan, volume cadangan minyak mula – mula adalah hal yang pertama dan parameter yang terpenting diperhitungkan oleh seorang reservoir engineer. Pada dasarnya, metode perkiraan cadangan minyak mula – mula (oil in place) dari data penurunan tekanan pada reservoir undersaturated diatas tekanan bubble point, mengasumsikan kondisi volumetric, yaitu : ………………………………………………………… (2-6) Keterangan : N
= initial oil in place, bbl
N p
= Produksi minyak selama penurununan tekanan ∆P, bbl
∆P
= Pi – P
P
= Tekanan reservoir
ce
= Kompressibilitas efektif reservoir, dalam bentuk : ce = ct/ So ………………………………………………… (2-7) ct = coSo + cgSg + cwSwc + cf …………………………….... (2-8)
Keterangan : c o, cg dan cw, merupakan kompressibilitas dari minyak, gas dan air, dan S o, Sg, dan Sw merupakan saturasi minyak, gas, water connate. C f merupakan kompressibilitas formasi, yang sama dengan kompressibilitas pori, c p dan ct adalah kompressibilitas total. Jika N dan N p dalam satuan Stock Tank Barrel (STB), maka persamaan (2 -6) menjadi :
15
……………………………………………………. (2-9) Dimana Bo dan Boi merupakan faktor volume formasi minyak pada tekanan P dan P i. Pada saat reservoir minyak undersaturated diproduksikan, tekanan pori menurun, memungkinkan fluida reservoir untuk ekspansi dan menyediakan energy untuk produksi. Sebagai tambahan, kompakasi formasi sebagai akibat meningkatnya net overburden pressure, menyediakan penambahan energi untuk mengalirkan fluida reservoir. Hall menunjukkan bahwa pengaruh kompressibilitas formasi tersebut, jika diabaikan, dalam beberapa kasus perhitungan oil in place akan berkisar antara 30% - 100% lebih besar dibandingkan oil in place yang sesungguhnya. 2.1.2. Sifat Fisik Batuan terhadap Fluida Reservoir 2.1.2.1. Tegangan Permukaan dan Antar Permukaan 2.1.2.1.1. Tegangan Permukaan
Tegangan permukaan merupakan kecenderungan zat cair untuk menegang sehingga pada permukaan zat cair seolah olah terdapat selaput atau lapisan yang tegang , sehingga dapat menahan benda. Hal ini terjadi karena adanya gaya tarik menarik antara partikel zat cair (kohesi). Kohesi adalah gaya tarik -menarik antar molekul yang sama. Salah satu aspek yang memengaruhi daya kohesi adalah kerapatan dan jarak antar molekul dalam suatu benda. Kohesi berbanding lurus dengan kerapatan suatu benda, sehingga bila kerapatan semakin besar maka kohesi yg akan didapatkan semakin besar. Dalam hal ini, benda berbentuk padat memiliki kohesi yang paling besar; dalam bentuk cair lebih lemah, dan dalam bentuk gas yang memiliki kohesi yang paling lemah. Sedangkan, adhesi adalah gaya tarik menarik antara partikel partikel yang tidak sejenis. Gaya adhesi akan mengakibatkan dua zat akan saling melekat bila dicampurkan. Ada 3 kondisi yg mungkin terjadi jika kita mencampurkan 2 macam zat:
16
Jika gaya kohesi antar partikel zat yang berbeda lebih besar daripada gaya adhesinya, kedua zat tidak akan bercampur.
Jika gaya adhesi antar partikel zat yang berbeda sama besar dengan gaya kohesinya, kedua zat akan bercampur merata.
Jika gaya adhesi antar partikel zat yang berbeda lebih besar daripada gaya kohesinya, kedua zat akan saling menempel. Gaya adhesi maupun kohesi disebabkan oleh ikatan kimia, yaitu ikatan
kovalen. Ikatan kovalen yaitu ikatan yang terjadi karena pemakaian pasangan electron secara bersama. Ikatan kovalen terbentuk antara sesama bukan logam (sama-sama ingin menangkap electron), yang meliputi fluida (cair dan gas) dan padatan. Ikatan kovalen dapat dibagi menjadi ikatan kovalen polar dan non - polar. polar. Pada ikatan kovalen polar, pasangan electron ikatan (PEI) tertarik lebih kuat ke salah satu atom, yaitu atom yang keelektronegatifannya lebih besar. Semakin besar selisih keelektronegatifan, keelektronegatifan, ikatan makin polar. polar. Dengan kata lain, pada ikatan kovalen polar, atom -atom pembentuknya mempunyai gaya tarik yang tidak sama terhadap elektron pasangan persekutuannya. Hal ini terjadi karena beda keelektronegatifan antara atom -atom penyusunnya. Akibatnya terjadi pemisahan kutub positif dan negatif. Sementara pada ikatan kovalen non - polar, polar, pasangan electron ikatan (PEI) tertarik sama kuat ke semua atom. Dengan kata lain, pada ikatan kovalen non - polar, polar, titik muatan negatif elekton persekutuan berhimpit karena beda keelektronegatifan keelektronegatifan yang kecil atau tidak ti dak ada. Tegangan permukaan merupakan gaya yang bekerja pada antarmuka liquid dan udara. Tegangan permukaan membuat permukaan liquid menurun bertindak seperti sebuah membrane. Gaya tersebut disebabkan oleh perilaku molekul yang tidak sama dari partikel – partikel fluida pada permukaan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.10. Gaya per unit panjang (σ = Force/ Length) yang cenderung untuk berkontraksi terhadap permukaan dari liquid merupakan sebuah pengukuran tegangan permukaan dari liquid. Satuannya sering dinyatakan dalam unit dynes/ cm.
17
Tegangan permukaan dari air murni pada 70 ᴼF adalah 72.5 dynes/ cm, dan pada 200 ᴼF adalah 60.1 dynes/ cm. Tegangan permukaan dari minyak mentah pada 70 ᴼF berkisar antara 24 sampai s ampai 38 dynes/ cm. Temperatur Temperatur yang tinggi dan gas terlarut cenderung untuk menurunkan tegangan permukaan dari minyak mentah. Tabel II -2 menunjukkan tegangan permukaan dari beberapa liquid.
Gambar 2.10. Kenampakan surface film disebabkan karena perilaku yang berbeda dari molekul – molekul permukaan dari liquid (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Tabel IIII-2. Tegangan permukaan dari beberapa liquid murni (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
18
Faktor – faktor yang mempengaruhi tegangan permukaan dari liquid meliputi tekanan, temperature dan konsentrasi larutan. Peningkatan tekanan menyebabkan turunnya tegangan permukaan dari liquid. Hal ini terjadi karena tekanan mendesak ketahanan/ compressive force pada permukaan yang menurunkan/ meregangkan ikatan dari permukaan. Peningkatan temperature menyebabkan
menurunnya
tegangan
permukaan
dari
liquid.
Dengan
meningkatnya temperature menyebabkan meningkatnya ketidakteraturan susunan molekul pada permukaan yang menyebabkan meningkatnya entropi permukaan. Hal ini dapat ditunjukkan dari themodinamika dimana tegangan tegangan permukaan yaitu : ……………......................................... ……………............................................................... .......................... (2 -10) Dimana Ss merupakan entropi permukaan dan T adalah temperature. Ini cukup jelas dari persamaan (2 -10) bahwa tegangan permukaan menurunkan akibat naiknya temperature. Gambar 2.11 menunjukkan variasi tegangan permukaan hidrokarbon dengan temperature.
Gambar 2.11. Variasi tegangan permukaan dari hidrokarbon dengan temperature (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
19
Pengaruh konsentrasi larutan pada tegangan permukaan dari liquid tergantung pada liquid dan kealamian dari larutan tersebut. Terdapat empat penyebab penyebab mumu yang dapat dapat diidentifikasi. 1.
Liquid mempunyai nilai tegangan permukaan yang mendekati baik. Umumnya, tegangan permukaan dari beberapa campuran diperkirakan dekat dengan komposisinya. Sebagai contoh, untuk campuran acetone dan kloroform pada 18 ᴼC, tegangan permukaan meningkat dengan komposisinya (mole % kloroform) dari 22 dynes/ cm untuk acetone murni sampai 27 dynes/ cm untuk kloroform murni.
2.
Liquid mempunyai nilai tegangan permukaan yang berbeda. Pada umumnya, tegangan permukaan dari liquid menurun cukup signifikan dengan ditambahnya liquid yang mempunyai tegangan permukaan yang rendah, tetapi hanya naik sedikit dengan penambahan liquid yang mempunyai tegangan permukaan yang tinggi. Sebagai contoh, penambahan etanol kedalam air meyebabkan penurunan secara cepat tegangan permukaan dari air dengan konsentrasi etanol. Sedangkan, Sedangkan, penambahan penambahan air kedalam benzene meningkatkan tegangan permukaannya dari 28.2 hanya sampai 29.3 dynes/ cm.
3.
Larutan elektrolit inorganic. Pada umumnya, tegangan permukaan menungkat dengan adanya konsentrasi larutan. Sebagai contoh, tegangan permukaan air pada 20 ᴼC akan meningkat dengan penambahan sodium klorit dari 72.8 dynes/ cm sampai 80 dynes/ cm pada konsentrasi 5 mole sodium klorit per liter larutan.
4.
Larutan elektrolit colloidal (rantai panjang). Pada umumnya, tegangan permukaan menurun dengan konsentrasi larutan. Sebagai contoh, tegangan permukaan air pada pada 25 ᴼC akan berkurang berkurang dengan dengan penmbahan penmbahan sodium lauryl sulfate dari 72 dynes/ cm ke 40 dynes cm pada konsentrasi 0.01 mole per liter larutan. Penggunaan persamaan empiric yang sering digunakan untuk menghitung
tegangan permukaan adalah konsep parachor . Persamaan parachor yaitu :
20
………………………………………………………… (2-11) Dimana Λ merupakan parachor , M adalah berat molekul liquid, σ adalah tegangan permukaan liquid dalam dynes/ cm, ρ L adalah densitas saturated liquid dalam g/ cm3 dan ρg adalah densitas vapor saturated dalam g/ cm 3. Parachor memiliki nilai untuk spesifik atom dan struktur. Parachor diprediksi dari struktur molekul atau dapat dihitung untuk zat murni dan campuran dari pengukuran tegangan permukaan pada tekanan atmosfer. Parachor untuk zat murni diberikan pada Tabel Tabel II-3. Korelasi untuk parachor dengan berat molekul ditunjukkan pada Gambar 2.12 dan 2.13. Densitas saturated liquid dan uap untuk berbagai macam liquid diberikan pada Gambar 2.14. Persamaan untuk menghitung tegangan permukaan yaitu yaitu : …………………………………………………... (2-12)
Tabel IIII-3. Parachor untuk menghitung tegangan permukaan dan antar permukaan (Katz et al., 1959) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
21
Gambar 2.12. Parachor untuk menghitung tegangan antar permukaan untuk hidrokarbon normal paraffin (Katz et al., 1959) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Gambar 2.13. Parachor untuk fraksi berat untuk menghitung tegangan antar permukaan reservoir liquid (Firoozabadi et al., 1988) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”)
22
Gambar 2.14. Densitas saturated saturated liquid dan uap untuk berbagai zat (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
2.1.2.1.2. Tegangan Antar Permukaan
Tegangan antar permukaan merupakan gaya per unit satuan panjang yang terdapat pada antarmuka dua fluida yng tidak saling campur (immiscible fluid) seperti minyak dan air (Gambar 2.15). Gaya yang bekerja pada permukaan molekul – molekul sama dengan system liquid – vapor. Energi bebas yang dibutuhkan untuk membentuk antar permukaan yang fresh diperoleh sebagai
23
energy bebas antarmuka berlebih. Spesifik energy bebas antarmuka berlebih adalah secara dimensional dan numeric sama dengan tegangan antar permukaan. Seperti tegangan permukaan, satuan untuk tegangan antar permukaan adalah dynes/ cm.
Gambar 2.15. Penampakan Penampakan surface film yang disebabkan oleh perilaku yang berbeda dari molekul – molekul pada antarmuka dua liquid (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Butanol (C4H9OH) dengan tegangan permukaan 24 dynes/ cm dalam kontak dengan air (H 2O) dengan tegangan antar permukaan 72 dynes/ cm. Dalam system ini, tegangan antar permukaannya adalah 1.8 dynes/ cm. Tegangan antar permukaan yang rendah mengindikasikan bahwa molekul – molekul butanol berpusat pada antarmuka, menurunkan kecenderungan kecenderungan berkontraksi antarmuka. Pada 20 ᴼC, tegangan permukaan ethanol adalah 22.39 dynes/ cm dan air sebesar 72.80 dynes/ cm. Tegangan antar permukaan antara ethanol dan air adalah nol karena ethanol dan air bercampur. Contoh ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang simple antara tegangan permukaan liquid dan tegangan antar permukaannya. permukaannya. Tabel Tabel II -4 menunjukkan tegangan antar permukaan untuk berbagai jenis liquid terhadap terhadap air. air. Terdapatnya komponen ketiga dapat mengurangi tegangan antar permukaan dua liquid. Sebagai contoh, tegangan antar permukaan air dan iso –
24
pentanol adalah 4.4 dynes/ cm. Jika etanol ditambahkan kedalam kedalam system, molekul – molekul etanol akan menyerab pada antarmuka, sehingga mengurangi tegangan antar permukaan antara air dan iso – pentanol. Jika 25% berat etanol ditambahkan, tegangan antar permukaan akan berkurang sampai nol. Sistem kemudian menjadi miscible dan membentuk satu fasa. Tabel IIII-4. Tegangan antar permukaan antara air dan liquid murni (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Tegangan antar permukaan fluida reservoir (air) dan minyak mentah telah diukur untuk sejumlah reservoir dan diperoleh nilai yang berkisar dari 15 sampai 35 dynes/ cm pada 70 ᴼF, 8 sampai 25 dynes/ cm pada 100 ᴼF, dan 8 sampai 19 dynes/ cm pada 130 ᴼF. Tabel II -5 menunjukkan hasil pengukuran tegangan antar permukaan untuk beberapa fluida. fluida. Tegangan antar permukaan antara minyak dan gas dapat dihitung menggunakan parachor : :
25
………………………………………….. (2-13) Dimana σ adalah tegangan antar permukaan antara minyak dan gas dalam dynes/ cm, Λ i adalah komponen ke -i parachor, x i adalah fraksi mol komponen ke-i dalam liquid, ML adalah berat molekul liquid, ρ L adalah densitas saturated liquid dalam g/ cm 3, yi adalah fraksi mol komponen ke -i dalam gas, M g adalah berat molekul gas, N adalah total jumlah komponen dalam campuran dan ρ g adalah densitas saturated gas dalam g/ cm 3. Tabel IIII-5. Tipe tegangan antar permukaan dan sudut kontak untuk beberapa fluida (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Banyak fenomena reservoir bergantung pada tegangan antar permukaan antara fluida reservoir dan batuan reservoir. Tegangan antar permukaan air dan minyak dapat dikurangi secara signifikan dengan penambahan surface active agent (surfactant) baik pada minyak ataupun air. Beberapa surfaktan ini terbentuk secara alami dalam minyak mentah. Saturasi minyak residual untuk pendesakan tak tercampur dalam media berpori adalah fungsi tegangan antar permukaan antara fluida – fluida, wettabilitas, viscositas fluida dan laju pendesakan. Sehingga dapat ditulis : ……………………………………………. (2-14)
26
Dengan menggunakan analisis dimensional dapat ditunjukkan bahwa urutan matriks dimensional diperoleh dari empat variable yaitu σ cos ϴ, μ nw, μw, dan v. Sehingga, dua kelompok dimensional tidak tergantung dapat diturunkan dari empat variable. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa :
….…………………………………… (2-15) Dengan menggunakan x 3 = -1, x4 = 0. Kelompok dimensionless diberikan diberikan : …………………………………………………………….. (2-16) Selanjutnya, dengan harga x 3 = x4 = 1. Kelompok dimensionless menjadi : ………………………………………………………… (2-17) Kelompok dimensionless dalam persamaan (2 -17),
atau
Dalam kasus pembasahan yang sempurna, dikenal sebagai capillary number. Capillary number merupakan ratio dari kekentalan gaya/ tekanan kapiler. Sehingga : ………………………………………………. (2-18) Hubungan fungsional antara saturasi minyak residual dan dua kelompok dimensionless dapat ditulis sebagai berikut : ……………………………………………… (2-19) Untuk ratio viskositas tetap : ………………………………………………….... (2-20) Oil recovery, yaitu : ………………………………………... (2-21)
27
Gambar 2.16 menunjukkan tipe – tipe korelasi untuk saturasi residual versus capillary number untuk fluida wetting mendesak fluida nonwetting dan untuk fluida nonwetting mendesak fluida wetting. Seperti korelasi yang biasanya diperoleh sebagai capillary desaturation curves (CDC). Pertimbangan bahwafluida wetting mendesak fluida nonwetting seperti injeksi air ( water flooding ) dalam suatu reservoir water wet. Ini dapat dilihat bahwa terdapat capillary number critical dibawah yang mana fluida nonwetting residual adalah konstan dan tidak tergantung terhadap capillary number. Normal waterflood biasanya tepat berada dalam kisaran capillary number. Diatas titik kritis capillary number, saturasi minyak residu menurun sebagai akibat meningkatnya capillary number. Sehingga, fasa nonwetting residu dapat bergerak dan dipindahkan dengan meningkatnya pergerakan pergerakan capillary number. number. Capillary number dapat ditingkatkan dengan meningkatkan μ w dan v. Sedangkan cara yang paling efektif untuk meningkatkan capillary number dengan menurunkan tegangan antar permukaan antara fasa wetting dan fasa nonwetting dengan menggunakan surfaktan. Tegangan antar permukaan kurang dari 0.1 dyne/ cm dapat diperoleh. Dalam batasannya, batasannya, jika tegangan antar permukaan dapat diturunkan sampai nol, fluida dapat menjadi miscible (tercampur) dan tidak ada saturasi residu. Tentu, dalam praktiknya memerlukan proses, tegangan antar permukaan tidak dapat dikurangi sampai nol kecual dalam proses miscible. Pertimbangan kasus fluida nonwetting mendesak fluida wetting, seperti waterflood dalam reservoir oil wet. Capillary desaturation curve (CDC) adalah sama untuk fluida nonwetting residu kecuali nilai kritis capillary number lebih tinggi. Ini dapat dicatat bahwa nilai numeric saturasi residu diberikan pada Gambar 2.16 untuk gambaran tujuan. Ini tidak dapat diasumsikan bahwa waterfolld selalu mempunyai saturasi minyak residu sebesar 30%, ataupun dilihat dari gambar bahwa ini lebih efisien untuk mendesak fluida wetting dengan fluida nonwetting. Saturasi minyak residu dapat lebih besar atau lebih kecil dari 30% tergantung pada faktor – faktor seperti mobilitas ratio dari pendesakan dan sifat – sifat dari media berpori seperti struktur pori, distribusi ukuran pori, permeabilitas dan wettabilitas. Dan juga, pada umunya lebih sulit untuk fluida nonwetting
28
mendesak fluida wetting dibandingkan fluida wetting mendesak fluida nonwetting.
Gambar 2.16. Tipe korelasi saturasi fasa residu nonwetting dan fasa wetting dengan capillary number (Lake, 1989) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Gambar 2.17 menunjukkan data percobaan capillary desaturation dari Abrams (1975) diperoleh pada sampel core yang sama tetapi ratio viskositas yang berbeda. Dengan jelas dapat dilihat bahwa penurunan saturasi minyak residu akibat meningkatnya capillary number. number. Gambar 2.18 menunjukkan plot data yang sama terhadap modified capillary number yang meliputi ratio viskositas, Terdapatnya ratio viskositas dapat memperbaiki korelasi.
29
Gambar 2.17. Capillary desaturation data (Abrams, 1975) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Gambar 2.18. Capillary desaturation data dengan pengaruh terdapatnya terdapatnya ratio viskositas (Abrams, 1975) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
30
2.1.2.1.3. Pengukuran Tegangan Permukaan dan Antar Permukaan 2.1.2.1.3.1. Capillary Rise Experiment
Ketika pipa kapiler dimasukkan liquid wetting, liquid secara spontan akan membentuk seperti cekungan seperti yang terlihat pada Gambar 2.19.
Gambar 2.19. Capillary rise experiment (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Ketinggian ditentukan dengan keseimbangan antara gaya isap kapiler dan tarikan gravitasi. Gaya kapiler bergerak ke atas dan untuk pipa kapiler sirkular berlaku : …………………………………. (2-22) Gaya gravitasi bekerja kebawah sesuai dengan persamaan : ………………………… (2-23) Gaya yang kebawah juga dapat dinyatakan dalam kondisi tekanan pada bagian yang yang berlawanan : ………………………………... (2-24)
31
Pada kesetimbangan, Gaya keatas sama dengan gaya kebawah. Persamaan (2-22) dan (2-23) memberikan : ………………………………………………... (2-25) Persamaan (2 -25) dapat disusun menjadi : ……………………………………………………... (2-26) Tegangan permukaan, σ, dapat diperkirakan dengan mengukur variable pada bagian kanan dari persamaan (2 -26) dalam capillary rise experiment. Percobaan Percobaan tersebut dapat disederhanakan dengan menggunakan udara sebagai fasa nonwetting dan menjaga pipa kapiler seperti pipa tersebut dibasahi sempurna oleh fluida wetting. Dalam hal ini, ρnw << ρ w, ϴ= 0 dan cos ϴ = 1. Persamaan (2 -26) menjadi : …………………………………………………………... (2-27) Dengan mengukur r, h dan ρ w, perkiraan tegangan permukaan dapat dengan mudah diperoleh dari persamaan (2 -27). Persamaan (2 -27) dapat digunakan untuk menjelaskan karakteristik skala panjang kapiler kapiler sebagai : ……………………………………………………… (2-28) Untuk air pada temperature 25 ᴼC, σ = 72 dynes/ cm, ρ w = g/ cm3dan g = 981 cm/ s2. Sehingga, untuk air :
Konstanta untuk capillary rise experiment : …………………………………………………………….. (2-29) Konstanta a2 adalah sifat fluida wetting. Untuk air pada 25 ᴼC, a 2 = 0.1468 cm2. Persamaan (2 -27) menjadi : a2 = rh ………………………………………………………………. (2-30) Beberapa peneliti telah melakukan studi tentang capillary rise experiment dan telah melakukan perbaikan persamaan untuk menjelaskan capillary rise
32
dibandingakan persamaan (2 -30). Jurin (1718) memberikan persamaan capillary rise sebagai berikut : …………………………………………………………. (2-31) dimana r/3 koreksi untuk volume liquid. Hagen dan Desains (19xx) mendesain : ……………………………………… (2-32) Rayleigh (1915) mendefinisikan lebih lanjut persamaan (2 -32) menjadi : ………………………………………. (2-33) Persamaan (2 -22), (2-23), (2-24) memberikan : ………………………………………… (2-34) Dapat diperhatikan dari persamaan (2 -34), perbedaan tekanan untuk capillary rise experiment bernilai positif, yang berarti bahwa tekanan fasa nonwetting lebih besar dibandingkan fasa wetting. Persamaan (2 -34) menjadi : …………………………………….. (2-35) 2.1.2.1.3.2. Sessile Drop Method
Sessile drop method menentukan tegangan permukaan liquid terbagi atas pengukuran pengukuran jumlah penurunan liquid yang jatuh dari akhir instrument i nstrument kapiler dan permukaan liquid dengan dengan nilainya diatur dari yang yang tertinggi ke nilai yang terendah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.20. Prinsip metoda ini berdasarkan fakta bahwa ukuran keluarnya liquid berbanding lurus terhadap tegangan permukaan liquid. Ukuran keluarnya liquid dijangkau ketika tegangan permukaan tidak sanggup lagi menahan beratnya. Untuk perkiraan pertama : ………………………………………………………. (2-36) Dimana Wideal adalah berat berat liquid yang turun, r adalah adalah radius external external pipa dan σ adalah tegangan permukaan. Gambar 2.21 menunjukkan rangkaian bentuk keluarnya yang terlepas dari bagian ujung. Terlepasnya keluarnya liquid meninggalkan beberapa liquid sisa dibelakangnya. Sehingga, berat actual dari keluarnya yang diukur lebih rendah dibandingkan berat idealnya. Untuk menghitung ini, persamaan (2 -36) dimodifikasi sebagai berikut : ……………………………………………… (2-37)
33
dimana f adalah faktor koreksi yang dapat dituliskan sebagai fungsi dari r/V1/3, dimana V adalah volume keluarnya liquid. Tabel II -6 menunjukkan faktor koreksi untuk berbagai r/V 1/3.
Gambar 2.20. Sessile drop method untuk mengukur tegangan permukaan (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Gambar 2.21. Rangkaian bentuk dari keluarnya liquid (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
34
Tabel IIII-6. Faktor koreksi untuk Sessile drop Method (Adamson, 1982) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
2.1.2.1.3.3. Pendant Drop Method
Pendant drop method mengukur tegangan permukaan atau antar permukaan tergantung pada densitas fluida dan dimensi dari keluarnya liquid. Gambar 2.22 menunjukkan pendant drop dan dimensi yang relevan.
Gambar 2.22. Pengukuran tegangan permukaan dengan pendant drop method (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
35
Tegangan permukaan atau antar permukaan dihitung dengan : …………………………………………………… (2-38) dimana σ adalah tegangan permukaan, d e adalah diameter maksimum keluarnya liquid, ρ L adalah densitas uap, H adalah konstanta sebagai fungsi dari de/ds dan g adalah kecepatan gravitasi. Pendant drop method dapat digunakan untuk mengukur tegangan permukaan atau antar permukaan. Ini juga dapat disesuaikan untuk mengukur pada tekanan dan temperature tinggi. 2.1.2.1.3.4. Ring Method
Ring method menentukan tegangan permukaan atau antar permukaan tergantung pada pengukuran gaya yang dibutuhkan untuk menarik cincin bebas antar permukaan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.23. Teorinya, tegangan permukaan atau atau antar permukaan permukaan ditentukan dengan dengan : ……………………………………………………………... (2-39) dimana σ adalah tegangan permukaan atau antar permukaan. F adalah gaya yang dibutuhkan untuk menarik cincin bebas dari antarmuka dan L adalah keliling dari cincin. Faktor 2 menandakan bahwa terdapat dua permukaan disekeliling cincin. Dalam praktiknya, koreksi dibutuhkan untuk menghitung massa liquid yang ditinggal oleh cincin yang keluar melewati antarmuka seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.24. Seperti koreksi diperoleh dengan instrument. Gambar 2.25 menunukkan tipe dari instrument, dikenal sebagai du Nouy tensiometer, yang menggunakan ring method untuk menentukan tegangan permukaan atau atau antar permukaan. permukaan.
36
Gambar 2.23. Pengukuran tegangan permukaan dengan ring method (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
37
Gambar 2.24. Kondisi permukaan liquid pada saat breaking point (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Gambar 2.25. Du Nouy tensiometer (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
38
2.1.2.1.3.5. Spinning Drop Method
Spinning drop method menentukan tegangan permukaan atau antar permukaan berdasarkan pada pengukuran bentuk dari keluarnya liquid atau gelembung gas dalam liquid yang lebih berat terkandung dalam pipa putar horizontal. Keluarnya atau gelembung adalah tipe rotasi pada kecepatan 1,200 sampai 24,000 revolution per minute (RPM). Dibawah rotasi, keluaran spherical yang asli atau gelembung menjadi lebih panjang kedalam bentuk silinder seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.26. Tegangan antar permukaan ditentukan dengan : ……………………………………………………….. (2-40) dimana σ adalah tegangan permukaan atau antar permukaan, dynes/cm, ∆ρ adalah perbedaan densitas antara dua fluida dalam g/ cm 3, ω adalah kecepatan anguler dalam radian/ s dan r adalah radius silinder dari keluaran dalam cm. Sebuah instrument/ alat berdasarkan spinning drop method telah didesain dan dipatenkan oleh Universitas Texas di Austin oleh Schechter dan Wade (Gambar 2.27). Alat ini terutama sesuai untuk mengukur tegangan antar permukaan yang rendah dan digunakan ekstensif untuk penelitian surfaktan. Tegangan antar permukaan dibawah 10 -6 dyne/ cm telah sukses diukur dengan menggunakan menggunakan alat ini. 2.1.2.2. Wettabilitas
Wettabilitas
didefinisikan
sebagai
suatu
ukuran
atau
kemampuan
permukaan batuan untuk cenderung dibasahi oleh fluida, jika diberikan dua fluida yang tak saling campur (immiscible ( immiscible). ). Wetabilitas merupakan bentuk yang digunakan untuk menggambarkan adhesi dari dua fluida atau suatu permukaan padatan. Salah satu fluida akan bersifat lebih membasahi batuan daripada fluida lainnya di dalam suatu reservoir kecenderungan suatu fluida untuk membasahi batuan disebabkan adanya gaya adhesi, yaitu gaya tarik-menarik partikel yang berlainan, yang merupakan faktor tegangan permukaan antara batuan dan fluida. Dalam sistem reservoir digambarkan sebagai air dan minyak (atau gas) yang ada diantara matrik batuan.
39
Gambar 2.26. Keluaran liquid dalam bentuk silinder dalam spinning drop apparatus. (A) benzenebenzene-water system pada 20,000 RPM, (B) octane -surfactant system pada 6,000 RPM (Cayias et al., 1975) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Gambar 2.27. Skema spinning drop tensiometer (Cayias et al., 1975) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
40
Gambar 2.28. Kesetimbangan Kesetimbangan Gaya-Gaya Pada Batas Air-Minyak-Padatan. (Amyx, J. W., “Petroleum Reservoir Engineering Engineering - physical physical Properties”, Properties”, 1960)
Wettabilitas ini penting peranannya dalam kinerja reservoir, sebab akan menimbulkan tekanan kapiler yang akan memberikan dorongan sehingga minyak atau gas dapat bergerak. Besaran wettabilitas ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1. Komposisi kimia batuan reservoir 2. Ukuran butir batuan, semakin halus ukuran butir batuan maka semakin besar gaya adhesi yang terjadi 3. Komposisi kimia hidrokarbon Hal ini seperti yang terlihat pada Gambar 2.29 dimana sudut yang terbentuk berbeda tergantung komposisi kimia batuan reservoir dan komposisi kimia hidrokarbon. Wettabilitas terbagi menjadi dua kategori berdasarkan pada jenis komponen yang mempengaruhi, yaitu : 1. Water wet Water wet terjadi jika suatu batuan mempunyai sudut kontak fluida (minyak dan air) terhadap batuan itu sendiri lebih kecil dari 90 o
(θ <
90o). Kejadian ini terjadi sebagai akibat dari gaya adhesi yang lebih besar pada sudut lancip yang dibentuk antara air dengan batuan
41
dibandingkan gaya adhesi pada sudut yang tumpul yang dibentuk antara minyak dan batuan. Selain itu disebabkan juga karena tegangan permukaan antara minyak dengan batuan lebih besar dibandingkan dengan tegangan permukaan antara air dengan batuan. 2. Oil wet Oil wet terjadi jika suatu batuan mempunyai sudut kontak antara fluida (minyak dan air) terhadap batuan itu sendiri dengan sudut lebih besar dari 900
(θ > 900). Selain itu disebabkan juga karena tegangan
permukaan antara minyak dengan batuan lebih kecil dibandingkan dengan tegangan permukaan antara air dengan batuan. Karakter oil wet pada
kondisi
batuan
reservoir
tidak
diharapkan
sebab
akan
menyebabkan jumlah minyak yang tertinggal pada batuan reservoir saat diproduksi lebih besar daripada water wet.
Gambar 2.29. Sudut Kontak Antara Air, Padatan dan Hidrokarbon (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
42
a . Oil Wet
b . Wa ter Wet
Pore spa ce oc c upied b y H O Roc k ma trix Pore spa ce oc c upied by Oil
Gambar 2.30. Pembasahan Fluida Dalam Pori-pori Batuan (Amyx, J. W., “Petroleum Reservoir “Petroleum Reservoir EngineeringEngineering- physical physical Properties”, Properties”, 1960)
Reservoir pada dasarnya mempunyai karakter water wet sehingga air akan lebih cenderung untuk melekat pada batuan, dimana posisi minyak akan berada diantara fasa cair. Posisi ini mengakibatkan minyak tidak mempunyai gaya tarik menarik dengan batuan sehingga akan lebih mudah untuk bergerak (mengalir). Fluida yang mempunyai sifat membasahi dapat dilihat dari besarnya sudut kontak yang terbentuk. Gaya yang mengakibatkan air lebih bersifat membasahi padatan (adhesi tension) tension) untuk sistem air-minyak dan padatan adalah : AT = so - sw = wo. cos wo .............................................. ............................................................ .............. (2-41) keterangan : AT = adhesi tension, dyne/cm so = tegangan permukaan minyak-benda padat, dyne/cm. sw = tegangan permukaan air-benda padat, dyne/cm. wo = tegangan permukaan minyak-air, dyne/cm. wo = sudut kontak minyak-air. Jika tabung gelas kapiler ditempatkan dalam suatu tempat yang terbuka besar yang berisi air, kombinasi dari tegangan permukaan dan wetabilitas dari tabung ke air akan menyebabkan air naik ke dalam tabung diatas level air yang terdapat diluar tabung, lihat Gambar 2.31.
43
Gambar 2.31. Hubungan tekanan dalam tabung kapiler. (Ahmed Tarek, 2000, ”Reservoir Engineering”) Engineering”)
Tinggi kenaikan fluida pembasah pada pipa kapiler tergantung pada adhesi tension, diameter pipa kapiler dan perbedaan densitas antar kedua sistem tersebut (air dan udara). Terdapat dua gaya yang bekerja pada sistem tersebut, yaitu gaya ke atas (akibat tegangan adhesi) dan gaya ga ya ke bawah (akibat berat kolom fluida). F up
F down
(2 r ) ( gw ) (cos ) .......................................... ........................................................... ................. (2-42)
( r 2 ) ( w a ) g h .......................................... .................................................... .......... (2-43)
Kesetimbangan terjadi bila gaya ke atas (Fup) sebanding dengan gaya ke bawah (Fdown). F up
F down
(2 r ) ( gw ) (cos ) ( r 2 ) ( w aw
r ( w a ) gh 2 cos
........................ (2-44) a ) g h) ........................
........................................... ............................................................ ................. (2-45)
Sedangkan untuk sistem minyak-air adalah sebagai berikut :
gw
r ( w g ) gh 2 cos
........................................... ............................................................ ................. (2-46)
44
Keterangan :
σgw = tegangan permukaan antara gas dan air, dyne/ cm σow = tegangan permukaan antara minyak dan air, dyne/ cm ρw
= densitas air, gr/cc
ρo
= densitas minyak, gr/cc
r
= jari-jari pipa kapiler, cm
θ
= sudut kontak, derajat
2.1.2.2.1. Penentuan Wettabilitas 2.1.2.2.1.1. Contact Angle Method
Sudut kontak merupakan salah satu parameter yang terpenting digunakan untuk mengevaluasi wettabilitas reservoir. Pengukuran sudut kontak pada dasarnya untuk membuktikan baik atau tidaknya reservoir minyak mengandung surfaktan yang dapat membuat secara alami permukaan mineral water wet menjadi oil wet. Pengukuran sudut kontak ditunjukkan dengan cell sudut kontak menggunakan alat yang disebut goniometer. Permukaan mineral dibenamkan dalam brine/ air asin (atau minyak) dan diizinkan sampai setimbang. Keluarnya minyak (atau air asin) lalu diketahui pada permukaan dengan hypodermic syringe seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.32. Sudut kontak kemudian diukur diakhir waktu. Pengujian dapat berlangsung beberapa minggu tergantung pada waktu yang dibutuhkan untuk menjangkau adsorpsi. Peralatan dapat disesuaikan untuk pengukuran sudut kontak pada tekanan dan temperature tinggi. Dua sudut kontak normalnya diukur : sudut kontak advancing dan receding . Sudut kontak advancing (ϴ A) adalah sudut
kontak yang diperoleh ketika
air menjadi setimbang dengan permukaan sebelumnya dalam kontak dengan minyak seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.33. Sudut kontak receding (ϴ R ) adalah sudut kontak yang diperoleh ketika minyak menjadi setimbang dengan permukaan sebelumnya dalam kontak dengan air. Sudut kontak advancing selalu lebih besar dibandingkan sudut kontak receding . Normalnya, sudut kontak advancing yang dilaporkan sebagai sudut kontak dalam uji wettabilitas.
45
Gambar 2.32. Sudut kontak cell (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Gambar 2.33. Sudut kontak advancing dan dan receding (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Gambar 2.34. menunjukkan hasil pengujian sudut kontak. Pada saat awal pengukuran pengukuran sudut kontak menunjukkan batuan adalah water wet. Namun, dengan berjalannya waktu, derajat kebasahan kebasahan batuan berkurang. Akhirnya, setelah kesetimbangan adsorpsi diperoleh batuan ditemukan menjadi oil wet. Sebagai catatan untuk pengujian ini, setelah 30 hari maka aging diperlukan untuk membuktikan kesetimbangan adsorpsi.
46
Gambar 2.34. Proses menjangkau sudut kontak yang setimbang (Craig, 1971) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
2.1.2.2.1.2. Amott Wettability Test
Amott wettability wett ability index diperoleh dengan mengkombinasikan imbibition – displacement test
pada sampel core reservoir menggunakan minyak hasil
penyulingan penyulingan dan brine sintetik. Setelah sampel core reservoir dijenuhi dengan brine untuk saturasi minyak residu dan untuk menghilangkan gas, berikut langkah – langkah dari dari pengujian ini : 1.
Core dicelupkan dalam minyak (seperti kerosene) dan volume brine didesak dengan imbibisi minyak diukur setelah 20 jam dalam cell imbibisi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.35.
2.
Core ditekan/ diberikan gaya centrifugal didalam kerosin dan penambahan penambahan brine yang didesak didesak oleh gaya gaya centrifugal diukur. diukur.
3.
Core dicelupkan dalam brine dan volume minyak min yak didesak oleh imbibisi brine diukur setelah setelah 20 jam
4.
Core diberikan gaya centrifugal dalam brine dan penambahan minyak yang didesak oleh gaya centrifugal diukur.
47
Gambar 2.35. Imbibition cell (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Index wettabilitas air (WI w) dan minyak (WIo) dihitung dengan : …………... (2-47) ………….. (2-48) Amott wettability index dan angka dimensionless berkisar dari 0 sampai 1. Jika batuan adalah water wet, WI o akan bernilai 0 dan WI w > 0. Semakin besarnya derajat kebasahan air batuan, maka WI w akan mendekati sampai 1. Sama halnya, jika batuan adalah oi wet, WI w akan bernilai 0 dan WI o > 0. Semakin besarnya derajat kebasahan minyak batuan, WI o akan mendekati harga 1. Untuk batuan yang wettabilitasnya intermediate atau netral, WI w dan WIo akan bernilai 0 atau mendekati 0. Terkadang, perbedaan harga WI w - WIo digunakan sebagai pengukuran pengukuran wettabilitas. Dalam hal ini, indeks wettabilitas berkisar berkisar dari -1 sampai +1. Indeks -1 mengindikasikan batuan strong oil wet sedangkan indeks +1 mengindikasikan mengindikasikan batuan strong water wet.
48
2.1.2.2.1.3. United States Bureau of Mines (USBM) Wettability Index
USBM wettability index diperoleh dengan menentukan total gaya percobaan pendesakan air dan minyak min yak menggunakan centrifuge. Hasilnya seperti percobaan yang ditunjukkan pada Gambar 2.36. Pada saat mula – mula sample disaturasi dengan air. Kemudian air didesak dengan minyak untuk membuat saturasi air tidak dapat bergerak (irreducible) menggunakan centrifuge. Proses ini ditandai dengan I dalam setiap gambar. Selanjutnya, sample yang mengandung saturasi minyak initial dan saturasi air irreducible diberikan gaya centrifugal dalam air untuk saturasi minyak residu. Proses ini ditandai dengan II dalam setiap gambar. Sample yang sekarang mengandung air dan saturasi minyak residu kemudian diberi gaya centrifugal dalam minyak untuk saturasi air irreducible. Proses ini ditandai dengan III dalam setiap gambar. USBM wettability index dihitung dengan sebagai berikut : …………………………………… (2-49) dimana A1 dan A2 merupakan area dibawah kurva tekanan kapiler ditunjukkan dalam setiap gambar. Area dibawah kurva tekanan kapiler mewakilkan kerja thermodinamik yang dibutuhkan untuk pendesakan. Pendesakan fasa nonwetting dengan fasa wetting membutuhkan sedikit kerja dibandingkan pendesakan fasa wetting dengan fasa nonwetting. Sehingga, ratio area dibawah kurva tekanan kapiler, (A 1/ A2), adalah suatu pengukuran derajat wettabilitas dari media berpori. Sehingga, USBM wettability index untuk water wet medium akan bernilai positif seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.36A, dan untuk oil wet medium akan bernilai negative seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.36B dan yang wettabilitas netral medium akan bernilai 0 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.36C. USBM wettability index berkisar antara -1 untuk batuan strongly oil wet sampai +1 untuk batuan strongly water wet. Nilai absolut indeks adalah suatu pengukuran derajat wettabilitas. Nilai wettabilitas index bernilai 0 mengindikasikan tidak ada pembahasan pembahasan oleh fluida. Gambar 2.37 membandingkan USBM wettability index dan Amott wettability index, (WIw – WIo), empat puluh tiga outcrop rock sample dan tiga
49
sample batuan reservoir. Terdapat korelasi yang kuat antara dua pengukuran wettabilitas. Terutama, kedua metode menunjukkan tiga sample batuan reservoir menjadi oil wet diindikasikan dengan nilai negative untuk kedua indeks wettabilitas.
Gambar 2.36. Penentuan USBM wettability index (Donaldson et al., 1969) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
50
Gambar 2.37. Perbandingan USBM wettability index dengan Amott wettability index untuk beberapa sample core (Donaldson et al., 1969) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
2.1.2.2.2. Pengaruh Wettabilitas terhadap Interaksi Batuan – Fluida 2.1.2.2.2.1. Pengaruh Wettabilitas terhadap Oil Recovery
Tahap produksi primer ( primary oil recovery) dipengaruhi oleh wettabilitas system karena system water wet akan memperbesar perolehan minyak pada tahap primer, tetapi hubungan antara primary recovery dan wettabilitas belum dikembangkan. Studi tentang pengaruh wettabilitas terhadap oil recovery dikembangkan untuk waterflooding dan analisis perilaku kurva permeabilitas relative. Perubahan dalam perilaku waterflood sebagai system wettabilitas ditunjukkan pada Gambar 2.38. Donaldson et al., mentreatment core cukup lama dengan berbagai jumlah organochlorosilane untuk perubahan secara progressive wettabilitas dari outcrop core dari water wet (USBM I u = 0.649) sampai strongly water wet (Iu = -1.333). Setelah menentukan wettabilitas, menggunakan bagian kecil dari core, sample tersebut disimulasikan dengan melakukan waterfloods, menggunakan minyak mentah. Hasilnya menunjukkan bahwa system menjadi lebih oil wet, sedikit minyak yang diperoleh pada setiap injeksi air. Hasil ini juga sama dengan percobaan percobaan yang dilakukan oleh Emercy et al. dan Kyre et al.
51
Gambar 2.39. Recovery efficiency sebagai efficiency sebagai fungsi injeksi air dan wettabilitas (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
Kurva permebilitas relative digunakan untuk evaluasi secara kuantitatif dari performance waterflood, dan pengaruh wettabilitas dapat dipelajari dalam perubahan yang terjadi pada kurva permeabilitas relative (Gambar 2.40). Dalam kasus wettabilitas tercampur, permeabilitas relative dari beberapa fasa sebagai fungsi distribusi saturasi dari dua fasa f asa dalam batuan. Terdapat faktor lain yang mempengaruhi/ mempengaruhi/ merusak trend normal dari kurva permeabilitas relative. Aliran relative dari fluida – fluida adalah sebagai fungsi distribusi ukuran pori, sehingga, setiap perubahan dari distribusi ini karena blocking
akan merubah kurva permeabilitas relative. Penggunaan tekanan
overburden untuk core dalam laboratorium mengubah ukuran pori dan distribusi ukuran pori, mengurangi ukuran dari pori – pori yang lebih besar, yang juga merubah porositas. Lebih lanjut, ukuran pori yang lebih kecil akan meningkatkan saturasi air irreducible dalam batuan water wet saturasi minyak residu, sehingga saturasi minyak mobile akan menurun. Peningkatan temperature menyebabkan wettabilitas untuk berubah menjadi lebih water wet system. Sehingga, core floods untuk penentuan permeabilitas relative harus disimulasikan pada kondisi reservoir terhadap tekanan overburden, tekanan pori, dan temperature untuk menghasilkan kurva permeabilitas relative untuk mewakilkan kondisi reservoir. reservoir.
52
Gambar 2.40. Tipe kurva permeabilitas relative untuk (a) water wet dan (b) oil wet system (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
Dalam system water wet, air terjebak pada pori – pori yang kecil dan yang terpenting melapisi pori – pori yang besar dengan lapisan tipis. Permeabilitas relative air sangat rendah, bahkan ketika saturasi minyak telah turun sampai s or , karena minyak residual dalam pori – pori yang besar tersisa sampai cukup efektif untuk menghadang aliran air (Gambar 2.40). Ketika core water wet diinjeksi air dari saturasi initial sama dengan saturasi irreducible (s iw), hanya minyak yang diproduksi sampai saturasi kritis air rata –rata dicapai dimana water breakthrough
53
dimulai. Water breakthrough mengindikasikan ketika air terproduksi pertama kali di sumur produksi. Sebelum terjadi water breakthrough, terjadi pendesakan terhadap minyak yaitu piston like displacement karena untuk setiap volume air yang diinjeksikan sama dengan volume minyak yang diproduksikan. Hanya setelah water breakthrough, ratio produksi air – minyak meningkat secara signifikan, menjangkau titik dimana produksi minyak hampir berhenti dan saturasi minyak residu tercapai. Untuk mencapai saturasi minyak residu yang sebenarnya (ultimate) membutuhkan waterflooding yang secara berkelanjutan sampai produksi minyak minyak seluruhnya berhenti. berhenti. Batas ini membutuhkan membutuhkan seratus volume volume pori yang diinjeksi air, sehingga batasan s or hanya diinvestigasi untuk aplikasi penelitian yang special. Untuk system strongly water wet dengan ratio viscositas minyak/ air moderate, ketiga saturasi rata -rata – saturasi breakthrough, s or , dan ultimate sor adalah adalah sama. Untuk intermediate atau system oil wet, ketiga saturasi dapat berbeda. Dalam system oil wet, secara teoritis, lokasi dari dua fluida dibalik. Bahkan pada saturasi air yang rendah, permeabilitas efektif minyak sangat rendah dibandingkan system water wet (pada setiap saturasi yang diberikan) karena air dalam pori – pori yang besar menghadang aliran minyak. Ini menjadi lebih berat sebagai meningkatnya saturasi air selama injeksi air., dan pada akhirnya menghasilkan saturasi saturasi minyak akhir lebih besar dibandingkan dalam system water wet (Gambar 2.40). Permeabilitas efektif air seharusnya lebih tinggi dalam system oil wet karena, secara teoritis, minyak terdapat dalam pori – pori yang kecil dan melapisi pori – pori yang besar dengan lapisan tipis dan tidak terlalu mengganggu aliran air. Permeabilitas relative dikontrol oleh distribusi fluida dalam pori – pori batuan. Permeabilitas relative fluida pada setiap saturasi adalah sebagai fungsi mobilitinya, dimana sejalan sebagai fungsi ukuran kapiler dan wettabilitas. Fasa wetting mempunyai mobilitas lebih rendah jika terdapat dalam pori pori yang kecil dan menempel pada permukaan batuan. Dalam system oil wet, water breakthrough terjadi pada saat permulaan flooding , pada faktanya, hal ini dapat terjadi sebelum minyak terproduksi jika ratio viskositas air/ minyak sangat
54
rendah. Setelah water breakthrough, produksi minyak berkelanjutan dengan meningkatnya meningkatnya ratio produksi air – minyak.
Gambar 2.41. Ultimate recovery sebagai fungsi wettabilitas. Perolehan minyak maksimum diperoleh pada saat batuan netral atau slightly oil wet (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
Pentingnya pengukuran wettabilitas digambarkan dengan performance waterflood untuk system pada berbagai variasi wettabilitas. Donaldson et al. mentreatment sample batu pasir sepanjang 30 cm dengan meningkatkan konsentrasi senyawa organosilane untuk membuat sample core lebih bersifat oil wet. Kemudian core disaturasi dengan brine dan mengurangi saturasi air irreducible dengan pendesakan brine oleh minyak. Bagian kecil dari beberapa core dihapus dan diuji untuk wettabilitas, dan waterflood dilakukan menggunakan sisa core yang sepanjang 25 cm (Gambar 2.39). Wettabilitas berkisar dari 0.649 (strongly water wet) sampai -1.333 (strongly water wet) diperoleh, dan waterflood menunjukkan bahwa system strongly water wet akan mengalami water breakthrough setelah produksi minyak telah diperoleh dan sangat sedikit produksi minyak akan diperoleh setelah water breakthrough. System menjadi lebih oil wet, water breakthrough terjadi pada permulaan flooding dan dan produksi berkelanjutan untuk periode yang cukup panjang setelah water breakthrough pada ratio produksi
55
air/ minyak yang cenderung konstan. Percobaan yang sama juga ditunjukkan oleh Emery et al., menggunakan oil wet sandpack dengan mengvariasikan waktu aging dari core, pada 71 ᴼC dan tekanan 7 MPa, dari 5 sampai 1000 jam (Gambar 2.42). Hasilnya juga menunjukkan bahwa untuk jumlah yang spesifik injeksi air, sedikit minyak diperoleh setelah water breakthrough karena system menjadi lebih bersifat oil wet.
Gambar 2.42. Pengaruh aging pada pada system batuan - air - minyak terhadap efisiensi perolehan minyak (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
2.1.2.2.2.2. Pengaruh Salinitas Air Asin terhadap Oil Recovery
Peningkatan perolehan minyak telah terjadi dalam beberapa kasus ketika salinitas air asin yang diinjeksikan diturunkan secara substansial. Tang dan Morrow menyimpulkan dari data percobaan bahwa beberapa kondisi dibutuhkan : 1.
Reservoir harus system wettabilitas tercampur dimana minyak residu sisa immobile dalam pori – pori oil wet yang besar dan water connate secara principal menjadi lebih lebih kecil, pori – pori water water wet.
2.
Batuan mengandung mengandung potensi partikel mobile clay dan mineral lainnya yang menempel pada dinding pori – pori.
56
3.
Distribusi ukuran partikel lebih sedikit dibandingkan distribusi ukuran pori. Sehingga, ketika partikel dikeluarkan sehingga dapat ditransportasi dalam batuan dengan injeksi air asin tanpa membahayakan porositas dan permeabilitas Dalam system wettabilitas tercampur, senyawa surfaktan dalam minyak
cenderung bermigrasi ke antar permukaan minyak – batuan dan melapisi permukaan partikel. Ketika injeksi brine mempunyai salinitas air yang sama dengan connate water, bagian oil wet yang muncul dari partikel – partikel menahan keluarnya minyak dari beberapa pori – pori dan lapisan dari minyak yang mengisi sebagian besar pori – pori. Ketika salinitas injeksi brine dirurunkan, keseimbangan lapisan double elektrikal (dalam air antara partikel – partikel) meningkat, menyebabkan ekspansi lapisan berlapis dan sehingga menghasilkan partikel – partikel dari dinding pori. Ketika minyak menghasilkan partikel – partikel pada lapisan, injeksi brine mendesak partikel – partikel dengan membawa membawa minyak (dan lapisan minyak mengisi pori – pori). Kumulatif mobilisasi partikel – partikel dan minyak dapat meningkatkan perolehan minyak secara signifikan. Penurunan sepuluh kali lipat salinitas injeksi brine menaikkan perolehan minyak pada saat water breakthrough dari 56.0% sampai 61.9% dan ultimate recovery waterflood dari 63.6% sampai 73.2%. 2.1.2.2.2.3. Pengaruh Wettabilitas terhadap Saturasi Air Irreducible
Ini telah dikaji bahwa saturasi air irreducible dalam batuan reservoir oil wet cenderung untuk lebih rendah dibandingkan batuan reservoir water wet. Craig rule-of -thumb saturasi air irreducible untuk reservoir water (1971) memberikan rule-
wet dan oil wet. Untuk reservoir water wet, saturasi air irreducible biasanya lebih besar dari 20% sampai 25% sedangkan untuk reservoir oil wet pada umumnya lebih rendah dibandingkan 15% dan frekuensinya lebih rendah dari 10% dari volume pori.
57
2.1.2.2.2.4. Pengaruh Wettabilitas terhadap Sifat Kelistrikan Batuan
Wettabilitas mempengaruhi eksponen saturasi, n, dalam persamaan indeks resistivitas Archie. Untuk batuan water wet, eksponen saturasi biasanya sekitar 2. Sedangkan, untuk batuan oil wet, eksponen saturasi dapat meningkat samapi nilai yang agak tinggi sebagai penurunan saturasi air. Tabel II -7 menunjukkan hasil laboratorium pengukuran n sebagai fungsi saturasi air dalam batu pasir oil wet. Ini dapat dipelajari bahwa dibawah saturasi air tertentu, eksponen saturasi meningkat diatas nilai yang biasanya yaitu 2. Eksponen saturasi meningkat sampai 9 yang diukur dalam percobaan. Tabel IIII-7. Eksponen saturasi Archie dalam batuan oil wet (Mungan and Moore, 1968) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Gambar 2.43 menunjukkan pengaruh wettabilitas terhadap indeks resistivitas core karbonat. Dalam studi ini, core dibuat sebagai water wet dengan memanaskan sampai 500 ᴼF dan oil wet yang dicuci dengan asam organic. Pengukuran juga dibuat pada core – core yang memiliki wettabilitas netral. Klasifikasi wettabilitas berdasarkan pada uji imbibisi. Persamaan menghubungkan indeks resistivitas dan saturasi air untuk core netral dan water wet yaitu I = = S w-1.92 dan I = = Sw-1.61, emberikan eksponen saturasi yaitu 1.92 dan 1.61. Data untuk core oil wet dipisahkan kedalam dua trend yang berbeda dijelaskan dengan persamaan I =
0.000027S w-12.27 untuk trend pertama dan I = 0.375Sw-8.09 untuk trend yang
kedua, memberikan eksponen saturasi 12.27 dan 8.09. Pemisahan data oil wet dilakukan untuk membedakan distribusi ukuran pori core.
58
Gambar 2.43. Pengaruh wettabilitas pada indeks resistivitas core karbonat (Sweeney and Jennings, 1960) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
2.1.2.3. Tekanan Kapiler
Tekanan kapiler didefinisikan sebagai perbedaan tekanan yang terjadi diantara permukaan dua fluida yang tidak saling bercampur (cairan-cairan atau cairan-gas) dimana keduanya dalam keadaan statis di dalam sistem kapiler. Perbedaan tekanan dua fluida ini adalah perbedaan tekanan antara fluida nonwetting (Pnw) dengan fluida wetting (Pw). Tekanan kapiler secara matematis dapat dituliskan : Pc = Pnw - Pw ……………………………………………………….. (2-50) Pada Gambar 2.44b, dua fluida membasahi dinding kapiler untuk luas yang sama, dan tekanan setiap fluida yang sama. Sehingga, antar permukaan
antara fluida tak tercampur yaitu tegak lurus (90ᴼ) dan tekanan kapiler sama
59
dengan nol. Jika tekanan dalam air lebih besar dibandingkan minyak, kurva antar permukaan diarahkan kepada minyak dan tekanan kapiler bernilai positif (Gambar 2.44c).
Gambar 2.44. Variasi kondisi pembasahan untuk air dan minyak dalam suatu kapiler, menggunakan metoda sudut kontak (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
2.1.2.3.1. Penurunan Persamaan Tekanan Kapiler
Tekanan permukaan fluida yang lebih rendah terjadi pada sisi pertemuan permukaan fluida immiscible yang cembung. Air pada umumnya merupakan me rupakan fasa yang membasahi (fasa wetting) di dalam suatu reservoir, sedangkan minyak dan gas sebagai fasa tak membasahi (fasa non-wetting).
60
Gambar 2.45. Kenaikan permukaan fluida akibat tegangan permukaan pada pipa kapiler (Amyx, J. W., “Petroleum Reservoir Engineering Engineering - physical physical Properties”, Properties”, 1960)
Gaya-gaya yang bekerja pada sistem minyak-air tersebut adalah : 1. Besar gaya tarik keatas adalah 2 2rσow(cosϴ),
dimana r adalah jari -jari
pipa kapiler. 2. Sedangkan besarnya gaya dorong ke bawah adalah r 2hg( hg(w-o). Pada kesetimbangan yang tercapai kemudian, gaya ke atas akan sama dengan gaya ke bawah yang menahannya yaitu gaya berat cairan. Secara matematis dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut : 2 r ow cos
r 2 h g ( w
o ) ...................................... ...................................... (2-51)
atau :
h
2 ow cos
r ( w o ) g
........................................... ................................................................. ............................ ...... (2-52)
Sedangkan untuk sistem udara-air, dapat dinyatakan dalam persamaan berikut:
h
2 gw cos
r ( g o ) g
........................................... ................................................................. ............................ ...... (2-53)
Keterangan : h
= ketinggian cairan di dalam pipa kapiler, cm
r
= jari-jari pipa kapiler, cm.
w = massa jenis air, gr/cc
61
o = massa jenis minyak, gr/cc g
= percepatan gravitasi, cm/dt2
Dengan memperlihatkan permukaan fasa minyak dan air dalam pipa kapiler maka akan terdapat perbedaan tekanan yang dikenal dengan tekanan kapiler (Pc). Besarnya Pc sama dengan selisih antara tekanan fasa air dengan tekanan fasa minyak, sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut : Pc = Po – P Pw = ( (o - w) g h ......................................... .............................................................. ..................... (2-54) Tekanan kapiler dinyatakan berdasarkan sudut kontak dalam hubungan sebagai berikut :
P c
2. . cos
r
. g .
.............................................................. ..................... (2-55) h .........................................
Keterangan : Pc = tekanan kapiler = tegangan permukaan minyak-air = sudut kontak permukaan minyak-air r
= jari-jari pipa kapiler
ρ = perbedaan densitas dua fluida, gr/cc. g = percepatan gravitasi, cm/sec2. h = tinggi kolom fluida, cm. Sedangkan tekanan kapiler pada pori batuan untuk sistem butiran yang teratur dan seragam, Plateau Plateau menyatakan bahwa tekanan kapiler merupakan fungsi tegangan antar muka dan jari-jari lengkungan bidang antar muka seperti yang terlihat pada gambar 2.46. Persamaan tekanan kapiler dapat dinyatakan sebagai berikut : Pc
1 R 1
.................................... .......................................................... .................................... .............. (2-56) R 2 1
Keterangan : R 1 dan R 2 = jari-jari dari lengkungan bidang antar muka dalam sistem fluida dalam pori batuan, inch
σ
= tegangan permukaan, lb/inch
62
Ganbar 2.46. Kontak Ideal Antara Wetting phase dan Grain (Amyx, J. W., “Petroleum Reservoir Engineering - physical physical Properties”, Properties”, 1960)
Penentuan harga R 1 dan
R 2, dilakukan dengan perhitungan jari-jari
kelengkungan rata-rata (R m), yang didapatkan dari perbandingan persamaan 2-55 dengan persamaan 2-56. Dari perbandingan tersebut didapatkan persamaan perhitungan jari-jari kelengkungan rata-rata sebagai berikut :
1 R m
1 1 R 1 R 2
2 cos r t
g h
......................................... ......................................... (2-57)
Dari Persamaan (2-57) ditunjukkan bahwa h akan bertambah jika perbedaan densitas fluida berkurang, sementara faktor lainnya tetap. Hal ini berarti bahwa reservoir gas yang terdapat kontak gas-air, perbedaan densitas fluidanya bertambah besar sehingga akan mempunyai zona transisi minimum.
2.1.2.3.2. Capil Capil lar y Rise Rise
Ketika pipa kapiler dimasukkan system dua fasa, bentuk fluida tak tercampur dalam kapiler akan :
63
1. Berbentuk cekung, yang akan naik diatas antar permukaan antara dua liquid diluar kapiler 2. Berbentuk lurus dan level dengan antar permukaan fluida total 3. Berbentuk cekung dan dibawah antar permukaan fluida total sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 2.47.
Gambar 2.47. Bentuk dari kapiler mempunyai perbedaan wettabilitas (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
Bentuk dan tinggi dari body kapiler tergantung dari pengaruh yang relatif gaya kohesif molekul dan gaya adesif molekul antara liquid dan dinding kapiler. Liquid yang lebih berat membasahi batuan ketika sudut kontak kurang dari 90 o (Gambar 2.47a). Ketika sudut kontak adalah 0 o, gaya molekul seimbang dan dua fluida sama – sama membasahi dinding (Gambar 2.47b). Ketika sudut kontak lebih besar dari 90 o, fluida yang lebih berat membasahi dinding kapiler ke bagian yang lebih sedikit dibandingkan fluida yang lebih r ingan (Gambar 2.47c). Fluida yang lebih berat akan nail dalam kapiler sampai berat kolom fluida menyeimbangkan perbedaan tekanan sepanjang tubuh atau body kapiler. Gaya tekan kebawah (W), dinyatakan dalam dynes (1 dyne adalah 1.019716 x 10 -3 g x cm/ s2) karena gravitasi adalah : .......................................... .................................................... .......... (2-58)
64
Keterangan :
ρw = densitas air dalam g/ cm3 ρo = densitas minyak dalam g/ cm 3 gc = kecepatan gravitasi = 981 cm/ s 2
Gaya tekan kebawah ini dilawan oleh gaya karena tekanan kapiler : ............................................ ................................................................. ..................... (2-59) Menyamakan kedua gaya tersebut menghasilkan persamaan (2-60) : ........................................... ................................................................. ............................... ......... (2-60) Dimana Pc dinyatakan dalam dyne/ cm 2 = mN/ m2 = Pa (10-1).
2.1.2.3.3. Capil lar y Press Pressur e J – F unction unction
Leverett mengemukakan J menjelaskan
karakteristik
– Function untuk spesifik reservoir yang
heterogenitas
batuan,
lebih
cukup
dengan
mengkombinasikan porositas dan permeabilitas dalam suatu parameter untuk korelasi. J
– Function menghitung perubahan permeabilitas, porositas, dan
wettabilitas reservoir selama sisa geometri porinya secara umum konstan. Sehingga, perbedaan tipe batuan menggambarkan perbedaan korelasi J-Function. Semua data tekanan kapiler dari spesifik formasi biasanya dapat dikurangi untuk single J-Function versus kurva saturasi. Ini diilustrasikan pada Gambar 2.48, dimana Rose dan Bruce menyiapkan korelasi J-Function untuk enam formasi dan membandingkannya ke data yang diperoleh dari sebuah core alundum dan korelasi Leverett untuk unconsolidated sand. J-Function dapat diturunkan dengan analisa dimensional atau dengan substitusi persamaan tekanan kapiler kedalam persamaan Carman-Kozeny. Permeabilitas mempunyai dimensi L2 dan porositas adalah dimensionless.
Sehingga, (k/ Ф) 1/2 disubstitusi untuk radius dalam persamaan tekanan kapiler (Persamaan 2.55) dan disusun kembali sebagai berikut : ........................................... ................................................................. ........................................... ..................... (2-61) Atau .......................................... ................................................................ ........................................... ..................... (2-62)
65
Secara alternatif, ini dapat diturunkan dari persamaan Carman – Kozeny Kozeny : ............................................ .................................................................. ........................ .. (2-63) Keterangan : K z = Konstanta Kozeny L
= panjang media berpori, cm
Lc = panjang aliran fluida sepanjang media berpori, cm P
= tekanan, g/ cm2
r H
= jarak rata – rata rata hydraulic, cm
u
= kecepatan, cm/ s
μ
= viskositas, dyne x s/ cm2 = g/ cm x s = Pa x s
Disusun kembali : ............................................ .................................................................. ........................ .. (2-64) Keterangan : As = area permukaan batuan d
= diameter pori rata – rata rata
Gambar 2.48. Tipe perilaku dimensionless J-Function versus saturasi untuk core batupasir (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
66
Radius rata – rata hydraulic (r H) didefinisikan sebagai area permukaan
dibagi dengan porositas per cubic centimeter sample. Mensubstitusi Ф/ A s untuk r H, persamaan Darcy untuk kecepatan fluida, dan disusun sebagai berikut : ......................................... ............................................................... ................................ .......... (2-65) dimana k adalah permeabilitas ansolut media berpori. Mensubstitusi persamaan tekanan kapiler untuk diameter pori rata – rata dan disusun sebagai berikut : ......................................... ............................................................... ................................ .......... (2-66) atau ........................................... ................................................................. ........................................... ..................... (2-67)
2.1.2.3.4. Hubungan Tekanan Kapiler – Kapiler – Saturasi Saturasi dalam Media Berpori
Sebelum mempelajari hubungan antara tekanan kapiler versus saturasi dalam media berpori, penting untuk dipelajari hubungan untuk media ideal yang terdiri dari gabungan tabung kapiler berbagai variasi radius atau jari-jari. Dalam hal ini, hubungan tekanan kapiler versus saturasi fasa wetting dapat dihitung. Biarkan gabungan media tabung kapiler dicelupkan kedalam fasa wetting dan mencapai kesetimbangan kapiler seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.49. Fluida wetting akan naik untuk beberapa elevasi (z) diatas free wetting fluid level dalam beberapa tabung tergantung pada radiusnya seperti yang ditunjukkan pada gambar. Model tersebut terbagi atas sepuluh tabung kapiler dengan radiusnya masing – masing yang ditunjukkan pada Tabel II-8. Fluida wetting menjadi air dengan tegangan permukaan 72 dynes/cm dan memiliki sudut kontak 0 dengan padatan. Fasa non-wetting adalah udara. Ketinggian equilibrium air dalam setiap tabung kapiler dapat dihitung dengan persamaan (2-68) yaitu : ........................................... ................................................................. ............................ ...... (2-68) Tekanan kapiler di setiap tabung dihitung dengan persamaan Laplace, yaitu : ......................................... .............................................................. ..................... (2-69) Saturasi fasa wetting sebagai fungsi elevasi z dihitung dari dimensi tabung kapiler dan ditunjukkan pada Tabel 2.8.
67
Gambar 2.49. Capillary rise experiment untuk gabungan media tabung kapiler (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Tabel II-8. Tekanan Kapiler versus Saturasi fasa wetting untuk gabungan model tabung kapiler (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
68
Gambar 2.50 dan 2.51 menunjukkan tekanan kapiler versus saturasi fasa wetting untuk media ideal. Pada Gambar 2.50, tekanan kapiler ditunjukkan sebagai ketinggian dalam cm diatas free water level sedangkan pada Gambar 2.51, tekanan kapiler diberikan dalam psi. Keduanya valid dan dapat digunakan untuk tujuan yang berbeda. Penjelasan pada Gambar 2.50 yaitu distribusi saturasi air sebagai fungsi ketinggian diatas free water level. Penjelasan tipe ini dapat digunakan untuk menentukan distribusi saturasi air dalam reservoir minyak yang mulai dari free water level atau dibawah oil water contact sampai ke atas reservoir. Penjelasan pada Gambar 2.51 adalah penggunaan untuk menghitung distribusi ukuran pori.
Gambar 2.50. Tekanan kapiler dinyatakan sebagai ketinggian air diatas free water level versus saturasi fasa wetting (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
69
Gambar 2.51. Tekanan kapiler dalam psi versus saturasi fasa wetting (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Gambar 2.52 menunjukkan percobaan kenaikan kapiler untuk dua media berpori yang mempunyai mempunyai perbedaan ukuran butir (ukuran pori). Fasa wetting akan meningkat lebih cepat dalam media berpori yang memiliki butiran halus dibandingkan media yang berbutir kasar. Seperti percobaan - percobaan percobaan yang lebih luas digunakan dalam ilmu tanah untuk menentukan kurva tekanan kapiler untuk tanah yang tidak kompak. Tanah yang dikemas dalam tabung decelupkan kedalam air dan dibiarkan sampai beberapa hari atau minggu untuk mencapai kesetimbangan kapiler. Tabung sering diinstrumentasikan untuk mengukur resistivitas media dalam hal menghitung saturasi air sepanjang kolom dengan menggunakan persamaan Archie. Tekanan kapiler dihitung sebagai ketinggian air diatas free water level .
70
Gambar 2.52. Percobaan Percobaan kenaikan kapiler untuk dua media berpori yang memiliki perbedaan ukuran butir (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Dalam media berpori yang sesungguhnya, seperti pada batuan reservoir, kompleksitas struktur pori dan susunan antarpermukaan fluida mencegah penggunaan penggunaan persamaan Laplace untuk menghitung tekanan kapiler. kapiler. Selanjutnya, kompleksitas ini juga mencegah perhitungan saturasi fasa wetting dari susunan antarpermukaan fluida yang telah diterapkan untuk gabungan percobaan tabung kapiler. Padahal, hubungan tekanan kapiler versus saturasi fasa wetting diukur dengan percobaan. Gambar 2.53 mendemostrasikan percobaan untuk media berpori menggunakan media pori yang ideal. Biarkan air menjadi fasa pembasah dan udara sebagai fasa non - pembasah pembasah dalam percobaan. percobaan. Media berpori terdiri dari satu pori, yaitu tabung kapiler dengan 3 jari - jari jari seperti yang ditunjukkan pada gambar. Jari - jari jari dan panjang setiap bagian dari pori ditunjukkan pada Tabel Tabel II I I -9. Media, yang merupakan merupakan strongly water wet (θ = 0 o), mula-mula disaturasi oleh air. Media diletakkan pada tempat yang semi - permeable permeable dibawah rangkaian atau
71
apparatus. Tempat semi - permeable permeable ini dibuat seperti bahwasanya bahwasanya sangat halus dan pori- pori pori yang seragam. Ini strongly water wet dan sepenuhnya disaturasi disaturasi oleh air. air. Ini akan mengizinkan air untuk mengalir melewatinya tetapi karena pori - porinya porinya yang halus akan mencegah udara mengalir melewatinya. Mula -mula, Apparatus dibuka sehingga air dalam core, semi - permeable permeable plate dan bejanapenghubung bejanapenghubung dibawah plate semi - permeable permeable berada pada tekanan atmosferik. Gas dimasukkan ke dalam apparatus pada tekanan rendah (P g). Jika Pg lebih rendah dibandingkan 2σcosθ/r 1, tidak akan terjadi apa -apa. Tekanan gas tidak cukup tinggi agar gas mendorong air dari pori yang terbesar. Tekanan gas kemudian dinaikkan menjadi Pg1 sampai sama dengan 2σcosθ/r 1 dan bagian dari pori dengan radius r 1 akan terkuras airnya. Pengurasan air akan berhenti setelah menguras pori yang terbesar karena Pg1 tidak cukup tinggi untuk menguras pori dengan radius r 2. Selanjutnya, Tekanan gas ditingkatkan menjadi P g2 sama dengan 2σcosθ/r 2 dan bagian dari pori dengan radius r 2 akan dikuras. Akhirnya, tekanan gas ditingkatkan menjadi P g3 sama dengan 2σcosθ/r 3 dan bagian dari pori dengan radius r 3 akan dikuras. dik uras. Volume Volume air yang dikuras pada setiap tekanan kapiler diukur dan digunakan untuk menghitung saturasi air dalam media. Grafik P gi versus saturasi air memberikan memberikan kurva tekanan kapiler dari media berpori. Untuk media berpori yang simple, kurva tekanan kapiler dapat dihitung menggunakan persamaan Laplace dan dimensi pori ditunjukkan pada Gambar 2.54. Sebagai catatan bahwa bentuk kurva tekanan kapiler menggambarkan distribusi ukuran pori dari media berpori. Ini merupakan dasar untuk menghitung distribusi ukuran pori media berpori dari kurva tekanan kapiler pengurasannya (drainage). Gambar 2.55 menunjukkan pengaruh wettabilitas pada kurva tekanan kapiler untuk media berpori yang ideal. Ini membandingkan membandingkan kurva tekanan kapiler untuk sudut kontak 0 o dan sudut kontak 75 o. Sehingga, jika media adalah kurang water wet, pengaruh tekanan kapiler akan berkurang pada setiap saturasi fasa wetting dibandingkan ketika medianya lebih water wet.
72
Gambar 2.53. Pengukuran tekanan kapiler untuk media berpori ideal (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Tabel IIII-9. Kurva tekanan kapiler untuk media berpori ideal (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
73
Gambar 2.54. Kurva tekanan kapiler untuk media berpori ideal (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Gambar 2.55. Pengaruh wettabilitas pada kurva tekanan kapiler untuk media berpori ideal (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
74
2.1.2.3.5. Kurva Drainage Tekanan Kapiler
Gambar 2.56 menunjukkan kurva tekanan kapiler, yaitu kurva drainage tekanan kapiler diperoleh dengan pendorongan fasa wetting dari media berpori dengan fasa non -wetting. Proses dimana saturasi fasa wetting menurun disebit drainage sedangkan proses kebalikannya dimana saturasi fasa wetting meningkat disebut imbibition. Kurva drainage tekanan kapiler mempunyai beberapa karakteristik. Kurva menunjukkan bahwa tekanan positif minimum (P d) harus digunakan untuk fasa non -wetting dalam hal untuk kondisi mula -mula drainage. Tekanan minimum ini, yang disebut sebagai displacement pressure, batasan tekanan atau tekanan masuk, ditentukan dengan ukuran pori yang terbesar berhubungan berhubungan ke permukaan media. Ini dapat diperkirakan dengan persamaan Laplace dimana r adalah radius pori yang terbesar berhubungan ke permukaan. Jika batuan tidak mempunyai wettabilitas yang kuat untuk mensaturasi fluida mula-mula, lalu displacement pressure pressure akan bernilai nol. Jika batuan batuan mempunyai mempunyai wettabilitas yang kuat untuk menorong fluida, lalu tidak ada tekanan yang dibutuhkan mula-mula untuk pendorongan karena ini akan terjadi secara spontan. Dalam hal ini, tekanan kapiler akan mulai pada saturasi fluida mula -mula kurang dari 1. Semakin meningkatnya tekanan fasa non -wetting, pori- pori pori yang terkecil terinvasi oleh fluida non -wetting. Akhirnya, fasa wetting menjadi diskontinu dan tidak dapat lama -lama didorong dari media dengan meningkatnya tekanan kapiler. kapiler. Sehingga, saturasi fasa wetting irreducible diperoleh untuk media berpori pada tekanan kapiler yang tinggi. Pada saturasi fasa wetting irreducible, kurva tekanan kapiler menjadi sedikit vertikal. Saturasi fasa wetting irreducible adalah fungsi ukuran butir (ukuran pori), wettabilitas dari media dan tegangan antarpermukaan antara fluida wetting dan non -wetting.
75
Gambar 2.56. Tipe kurva drainage tekanan kapiler (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Jika suatu batuan reservoir mempunyai permeabilitas yang lebih tinggi dibandingkan yang lain, kita tahu bahwa batuan yang mempunyai permeabilitas yang lebih tinggi akan mengizinkan fluida mengalir dengan cepat, dibandingkan dengan batuan yang memiliki permeabilitas yang lebih kecil. Sehingga, batuan dengan permeabilitas yang lebih tinggi akan lebih diinginkan sebagai batuan reservoir dibandingkan batuan dengan permeabilitas yang lebih kecil. Jika suatu reservoir mempunyai porositas yang lebih tinggi dibandingkan dibandingkan yang lain, kita kit a tahu bahwa batuan yang memiliki porositas yang lebih besar akan menyimpan cadangan yang lebih dibandingkan batuan dengan porositas yang lebih kecil. Sehingga, batuan yang memiliki porositas yang lebih tinggi akan lebih diinginkan sebagai batuan reservoir dibandingkan batuan dengan porositas yang lebih kecil.
76
2.1.2.3.6. Konversi Data Laboratorium Tekanan Kapiler ke Kondisi Reservoir
Pada dasarnya, kurva tekanan kapiler diukur di laboratorium menggunakan fluida-fluida lain dibandingkan fluida reservoir. Hal ini tidak biasa untuk mengukur kurva tekanan kapiler untuk digunakan dalam menganalisis reservoir minyak -air menggunakan udara dan air atau merkuri dan udara di laboratorium. Ketika ini telah dilakukan, ini menjadi dibutuhkan untuk mengkonversi data laboratorium ke kondisi reservoir. Konversi ini dilakukan menggunakan persamaan Laplace Laplace dibawah dibawah ini. ………………………………………………… (2-70) …………………………………………. (2-71) Dimana r m merupakan radius rata -rata kurva antarmuka dalam batuan pada saturasi fluida. Mengeliminasi r m dari persamaan (2 -70) dan (2-71) memberikan: …………………………………….. (2-72) 2.1.2.3.7. PerataPerata -rataan Data Tekanan Kapiler
Kurva tekanan kapiler untuk sample batuan dari reservoir yang sama yang mempunyai permeabilitas yang berbeda akan berbeda. Ini sering membutuhkan untuk perata-rataan data tekanan kapiler untuk core dari reservoir yang sama untuk mempunyai struktur pori yang sama dalam hal memperoleh satu kurva tekanan kapiler yang dapat digunakan untuk analisis perilaku reservoir. Perata rataan ini dapat dilakukan dengan menggunakan Leverett J -Function, dimana merupakan fungsi dimensionless tekanan kapiler (Leverett, 1941). Leverett J-Function dapat diturunkan dengan analisis dimensional sebagai berikut. Kurva tekanan kapiler sebuah media berpori merupakan fungsi dari beberapa variable variable seperti yang yang ditunjukkan pada pada persamaa (2 -73). ………………………………….. (2-74)
77
Dimana Pc merupakan tekanan kapiler, Sw adalah saturasi fasa wetting, merupakan fungsi dimensionless struktur pori yang dihitung dari distribusi ukuran pori., tortuosity, tortuosity, sementasi, Ф merupakan porositas, σ merupakan tegangan antarpermukaan, θ merupakan sudut kontak, k adalah permeabilitas absolut dari media berpori, ρ w adalah densitas fasa wetting, ρ nw adalah densitas fasa nonwetting dan g adalah kecepatan gravitasi. Saturasi fasawetting (Sw) dan fungsi f ungsi struktur struktur pori pori ( ) merupaka merupakann dimension dimensionless less dan dan harus harus diset diset dari analisi analisiss dimensional sampai akhir. Kita membentuk hasil dimensionless dengan variable tersisa yaitu sebagai berikut : ………….. (2-75) Dengan pendekatan analisis dimensional berikut dibawah ini solusi permasalahan permasalahan analisis dimensional dimensional : …………………………………. (2-76)
Dengan memasukkan nilai x 3 = 1 dan x 4 = 0. Maka hasil dari kelompok dimensionless yaitu : ………………………………………………. (2-77) Selanjutnya, dengan harga x 3 = 0 dan x 4 = 1. Kelompok dimensionless yaitu : ………………………………………………………... (2-78) Dari analisis dimensional, kita dapat menulis : ……………………………….. (2-79) Kelompok dimensionless yang diberikan sebagai π 2 dalam persamaan (2 77) merupakan ratio gaya gravitasi terhadap gaya kapiler pada skala pori. Pada skala pori, gaya kapiler mendominasi gaya gravitasi. Sehingga, π 2 akan bernilai
78
kecil dan dapat diabaikan. Sebagai contoh, untuk kurva tekanan kapiler udara -air, σ = 72 dynes/ cm, ρw = 1 g/ cm 3, θ = 0o, g = 981 cm/ s 2. Untuk media berpori dengan permeabilitas 1 darcy dan porositas sebesar 25%, π 2 adalah 10 -7. Untuk kurva tekanan kapiler merkuri -udara, sama dengan 10 -6. Persamaan (2 -79) menjadi : …………………………………….... (2-80) Dimana J(Sw, J(Sw,
) merupakan fungsi dimensionless tekanan kapiler yang
diketahui sebagai Leverett J -Function. Persamaan (2 -80) mengindikasikan bahwa media yang mempunyai struktur porositas yang sama tetapi berbeda permeabilitas dan porositas akan mempunyai Leverett J -Function yang sama. Sehingga, jika perbedaan kurva tekanan kapiler dari media berpori diskalakan kembali sebagai Leverett J-Function, maka harus diplot sebagai satu kurva. Kurva tersebut berarti bahwa adalah adalah data tekanan tekanan kapiler rata -rata. Gambar 2.57 menunjukkan Leverett J -Function untuk Sembilan batupasir yang tidak kompak dengan perbedaan permeabilitas berkisar dari 0.057 sampai 2160 darcy. darcy. Ini sangat kompleks bahwa data diplot pada satu kurva. Gambar 2.58 menunjukkan J -Function untuk batuan karbonat. Jika media berpori mempunyai struktur pori yang berbeda, lalu Leverett J -Function untuk batuan yang berbeda akan berbeda dan tidak akan diplot pada satu kurva seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.59.
79
Gambar 2.57. Leverett JJ -Function untuk batupasir tidak kompak (Leverett, 1941) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
80
Gambar 2.58. Leverett JJ -Function untuk batuan karbonat; (a) semua core; (b) limestone core; (c) dolomite core; (d) microgranular limestone core; (e) coarse -grained limestone core (Brown, 1951) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
81
Gambar 2.59. Leverett JJ -Function untuk tipe batuan yang berbeda (Rose and Bruce, 1949) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
2.1.2.3.8. Capillary Pressure Hysteresis
Gambar 2.60 menunjukkan tipe kurva drainage dan imbibisi kurva tekanan kapiler untuk media berpori yang sama. Pada setiap saturasi fasa wetting, drainage tekanan kapiler lebih tinggi dibandingkan imbibisi tekanan kapiler. Pada tekanan kapiler sama dengan nol, kurva imbibisi berakhir pada saturasi fasa wetting yang mungkin atau tidak mungkin sama untuk saturasi fasa non -wetting residual yang sebenarnya tergantung pada wettabilitas batuan. Jika batuan mempunyai
82
preferensi yang kuat untuk fasa wetting, lalu saturasi fasa wetting dimana kurva imbibisi berakhir akan mendekati saturasi fasa non -wetting residual yang sebenarnya, Sor, dimana sama dengan (1 -Swro). Hal ini ditunjukkan dit unjukkan pada Gambar 2.60. Jika batuan tidak mempunyai preferensi yang kuat untuk fasa wetting, kemudian saturasi fasa wetting pada tekanan kapiler sama dengan nol pada kurva imbibisi tidak akan sama untuk saturasi fasa non -wetting residual yang sebenarnya. Ini berarti bahwa (1 -Swro) akan lebih besar dibandingkan Sor. Penambahan minyak dapat didesak dari batuan, dapat dikatakan proses centrifuge sample dalam air. Ini ditunjukkan pada Gambar 2.61. Cabang dari kurva imbibisi ditandai 3 pada gambar yaitu gaya imbibisi kurva tekanan kapiler batuan. b atuan. Sebagai catatan bahwa cabang ini merupakan tekanan kapiler negative. Catatan juga bahwa saturasi fasa non -wetting residual yang sebenarnya (Sor) dalam hal ini hanya dapat ditentukan dengan gaya pendesakan bukan dengan imbibisi yang spontan. Gambar 2.62 menunjukkan beberapa siklus pengukuran tekanan kapiler pada batuan yang sama. Kurva drainaige yang utama ditandai 1 yang bergerak pertama, diikuti dengan kurva imbibisi spontan dengan label 2. Kurva drainage yang kedua ditandai 3 bergerak setelah pengukuran imbibisi spontan. Sebagai catatan bahwa kurva drainage yang kedua akan lebih sedikit dibandingkan kurva drainage yang pertama di setiap saturasi fasa wetting. Ini aspek lain dari capillary pressure hysteresis. Jika percobaan imbibisi spontan dihentikan dan pengukuran dibalik, kemudian perbedaan kurva drainage akan seperti yang ditunjukkan kurva 4. Jika percobaan drainage dihentikan dan dibalik, kemudian perbedaan kurva imbibisi akan seperti yang ditunjukkan kurva 5. Kurva 4 dan 5 membentuk loop yang dikenal sebagai scanning curve . Sebagai catatan bahwa area dibawah kurva drainage kedua merupakan salah satu area yang digunakan untuk mendefinisikan USBM wettability index.
83
Gambar 2.60. Kurva tekanan kapiler drainage dan imbibisi. (1) kurva drainage, (2) kurva imbibisi (Killins et al., 1953) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Capillary pressure hysteresis dapat dijelaskan dalam berbagai cara. Dari pertimbangan energy bahwa kerja yang lebih dibutuhkan oleh fasa non -wetting untuk mendesak fasa wetting dibandingkanoleh fasa wetting untuk mendesak fasa non-wetting. Ini berarti bahwa pada setiap level saturasi, kerja yang lebih dibutuhkan selama pengukuran drainage tekanan kapiler dibandingkan selama pengukuran pengukuran imbibisi. Karena kerja selama pengukuran tekanan kapiler adalah Pc∆V, dimana ∆V merupakan volume fluida yang didorong pada tekanan kapiler, tekanan kapiler pada siklus drainage akan lebih besar dibandingkan siklus imbibisi untuk mendorong volume fluida yang sama.
84
Gambar 2.61. Kurva tekanan kapiler drainage dan imbibisi. (1) kurva drainage, (2) kurva imbibisi, (3) kurva gaya imbibisi (Killins et al., 1953) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Sudut kontak hysteresis merupakan bagian dari capillary pressure hysteresis. Selama drainage, fasa wetting menyusut dari media berpori dan sudut kontak adalah sudut kontak yang surut, θ R . Selama proses imbibisi, fasa wetting mengembang ke dalam media berpori dan sudut kontak adalah sudut kontak yang mengembang, θ A. Karena θ R lebih lebih kecil dibandingkan θ A, 2σcos θR / r m, drainage tekanan kapiler, lebih besar dibandingkan 2σcos θ A/ r m, imbibisi tekanan kapiler pada setiap saturasi.
85
Gambar 2.62. Siklus pengukuran tekanan kapiler. (1) primary drainage, (2) spontaneous imbibition, (3) secondary drainage, (4(4 -5) scanning curve (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Gambar 2.63 menunjukan bagaiman kurva imbibisi tekanan kapiler dapat digunakan dengan kurva drainage untuk menentukan tipe fluida yang akan diproduksi pada berbagai kedalaman reservoir. Jika sumur diperforasi diatas zona transisi, hanya minyak bersih (minyak tanpa air) akan diproduksi pertama. Jika sumur diproduksi dalam bagian teratas zona transisi, minyak dan air akan diproduksi dari hari pertama. Jika sumur diperforasi di dalam bagian bawah zona transisi, hanya air yang akan diproduksi meskipun zona mengandung saturasi minyak. Saturasi minyak dalam zona ini merupakan saturasi minyak sisa.
86
Gambar 2.63. Kurva drainage dan imbibisi tekanan kapiler menunjukkan menunjukkan kedalaman produksi minyak tanpa air (Archer and Wall, 1986) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
2.1.2.3.9. Capillary Imbibition
Mempertimbangkan suatu reservoir terbagi atas dua lapisan dengan perbedaan permeabilitas dan kurva tekanan kapiler yang ditunjukkan pada Gambar 2.64 (a) dan (b). Mula -mula, kedua lapisan pada keseimbangan kapiler pada masing-masing saturasi air irreducible. Sampai keseimbangan ini diganggu oleh waterflooding. Air yang diinjeksikan akan lebih lanjut ke lapisan yang lenih permeable (Gambar 2.64 (c)). Tekanan minyak dan air secara berkelanjutan melewati batas antara dua lapisan. Sehingga, pada batas atau boundary, Po1 = Po2 …………………………………………………………… (2-81) Dan Pw1 = Pw2 …………………………………………………………… (2-82)
87
Mengurangi persamaan (2 -82) dari (2-81) memberikan kondisi setimbang, yaitu : Pc1 = Pc2 ……………………………………………………………. (2-83) Sehingga, pada kesetimbangan, tekanan kapiler dalam dua media berpori akan sama pada boundary -nya. Pada Gambar 2.64c, section A dan D dan C dan F merupakan kesetimbangan kapiler, jadi tidak ada perpindahan fluida yang akan terjadi antara section-section tersebut. Section B dan E bukan berada pada kesetimbangan kapiler, jadi perpindahan fluida akan terjadi dalam usaha untuk mencapai kesetimbangan kapiler. Section E akan kehilangan air ke section B dan memperoleh minyak dari B sedangkan section B akan memperoleh air dari E dan kehilangan minyak ke E sampai kesetimbangan kapiler yang baru tercapai. Sehingga, air akan terimbibisi kedalam lapisan kurang permeable ke lapisan yang lebih permeable dan minyak akan dikeluarkan dari lapisan yang kurang permeable ke lapisan yang lebih permeable untuk pendesakan pendesakan berikutnya. Perpindahan fluida ini menguntungkan dalam proses perolehan minyak. Sedangkan, proses imbibisi sangat lambat. Sehingga, laju injeksi air harus cukup lambat agar imbibisi membantu dalam waterflooding pada lapisan dengan permeabilitas rendah.
88
Gambar 2.64. Capillary imbibition; (a) reservoir reservoir sebelum waterflooding; (b) kurva tekanan kapiler untuk kedua lapisan; (c) reservoir setelah waterflooding (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
2.1.2.3.10. Pengukuran Tekanan Kapiler 2.1.2.3.10.1. Metode Restored State (Porous Plate Method)
Pada metode ini, tekanan kapiler diukur dengan menempatkan sample, disaturasi mula-mula dengan fluida wetting, dalam sebuah bejana yang diisi dengan fluida non -wetting. Bagian bawah bejana terbagi atas semi - permeable permeable plate, yang memungkinkan pendesakan pendesakan fasa wetting dari sample. Perpanjangan dari porous plate adalah sebuah pipa yang memungkinkan volume dari pendesakan pendesakan fasa wetting diukur seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.65. Dengan sample yang ditempatkan, tekanan fluida non -wetting dinaikkan secara bertahap dan system diizinkan untuk mencapai mencapai kesetimbangan kesetimbangan setelah tekanan diubah. Volume dari fasa wetting yang didesak pada setiap tekanan yang diukur. Tekanan kapiler adalah tekanan fasa non -wetting dikurangi tekanan fasa wetting pada setiap tahap. Saturasi fasa wetting dari sample ditentukan dari volume fasa
89
wetting yang didesak pada setiap tekanan untuk memperoleh hubungan antara tekanan kapiler versus saturasi.
Gambar 2.65. Perangkat porous plate tekanan kapiler (Welge and Bruce, 1947) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
2.1.2.3.10.2. Metode Injeksi Merkuri
Pada metode ini, tekanan kapiler diukur dengan menginjeksikan merkuri, yaitu sebagai fasa non -wetting, kedalam sample. Perangkat yang digunakan dalam pengukuran pengukuran ditunjukkan pada Gambar 2.66. Alat tersebut t ersebut terbagi atas sample cell dan sebuah pompa injeksi merkuri. Sebuah sample kering dimasukkan kedalam cell merkuri yang selevel dengan batas yang ditentukan pada gelas kapiler bertekanan tinggi diatas sample chamber. Tekanan Tekanan nitrogen kemudian digunakan dalam setiap langkah, merkuri diinjeksikan untuk menjaga level merkuri pada kapiler. Dari volume cell dan volume merkuri dibutuhkan untuk mengisi cell dengan sample sebelum merkuri diinjeksikan kedalam sample, volume bulk
90
sample dapat ditentukan. Hubungan tekanan kapiler merkuri -udara versus saturasi dihitung dari volume merkuri yang ditekan kedalam ruang pori sample sebagai fungsi penggunaan tekanan nitrogen.
Gambar 2.66. Cell tekanan kapiler untuk injeksi merkuri (Purcell, (Purcell, 1949) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Metode injeksi merkuri sangat cepat. Kurva tekanan kapiler dapat diperoleh dalam beberapa jam. Kurva imbibisi dapat diperoleh sangat mudah dengan menurunkan tekanan nitrogen dan menarik merkuri dari system. Gambar 2.67 menunjukkan tipe kurva tekanan kapiler yang diperoleh dari injeksi merkuri, penarikan merkuri merkuri dan penginjeksian penginjeksian kembali merkuri. merkuri.
91
Gambar 2.67. Kurva tekanan kapiler merkurimerkuri -udara (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Brown (1951) telah menunjukkan bahwa metode injeksi merkuri dapat memberikan kurva tekanan tekanan kapiler yang yang sama dengan metode restored state kecuali untuk scaling factor. Gambar 2.68 dan 2.69 membandingkan kurva tekanan kapiler yang diperoleh dengan injeksi merkuri dan metode restored state untuk core batupasir dan limestone. Scaling factor untuk batupasir dan limestone yaitu masing -masing 7.5 dan 5.5. Kelemahan utama dari metode injeksi merkuri yaitu bahwa core tidak dapat digunakan lebih lama untuk test lainnya setelah merkuri diinjeksikan. Metode ini juga tidak bisa digunakan untuk menentukan saturasi fasa wetting irreducible.
92
Gambar 2.68. Perbandingan kurva tekanan kapiler airair -nitrogen dan merkurimerkuri -udara untuk core batupasir (Brown, 1951) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
93
Gambar 2.69. Perbandingan kurva tekanan kapiler airair -nitrogen dan merkurimerkuri -udara untuk core limestone (Brown, 1951) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
2.1.2.3.10.3. Metode Centrifuge
Pada metode ini, sample disaturasi dengan fluida wetting yang ditempatkan dalam centrifuge cup yang mengandung fluida non -wetting seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.70 dan 2.71. Sample dirotasi pada rangkaian kecepatan angular konstan dan jumlah dari fluida wetting yang didesak pada kesetimbangan kesetimbangan di setiap kecepatan diukur dengan bantuan stroboscopic light. li ght. Data yang diukur secara langsung dengan metode ini adalah volume fluida wetting yang didesak dan kecepatan rotasi centrifuge. Data tersebut dapat digunakan untuk memperoleh hubungan tekanan kapiler versus saturasi dari media berpori.
94
Gambar 2.70. Posisi core dan graduated tube dalam centrifuge untuk mengukur kurva tekanan kapiler minyak -mendesak -air (Donaldson et al., 1980) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
95
Gambar 2.71. Posisi core dan graduated tube dalam centrifuge untuk mengukur kurva tekanan kapiler airair -mendesak -minyak (Donaldson et al., 1980) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Metode centrifuge cukup cepat dan memungkinkan penukuran tekanan kapiler dapat diselesaikan dalam sehari atau kurang. Metode ini bagus untuk menentukan saturasi air irreducible. Gambar 2.72 menunjukkan perbandingan kurva tekanan kapiler dengan sample yang sama dari pengukuran dengan centrifuge dan dengan metode restored state yang diperoleh oleh Hassler dan Brunner (1945). Gambar 2.73 menunjukkan perbandingan kurva tekanan kapiler untuk sample yang sama yang diukur dengan metode restored state (diaphragm), injeksi merkuri dan centrifuge.
96
Gambar 2.72. Perbandingan tekanan kapiler yang diperoleh dengan metode centrifuge dan restored state (Hassler and Brunner, 1945) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
97
Gambar 2.73. Perbandingan tekanan kapiler yang diperoleh dengan metode centrifuge, injeksi merkuri, dan restored state (Hermansen et al., 1991) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
2.1.2.3.11. Model Empirik Tekanan Kapiler 2.1.2.3.11.1. Model Tekanan Kapiler BrooksBrooks -Corey
Model tekanan kapiler yang popular dalam industry perminyakan dan ilmu tanah adalah model Brooks -Corey (Brooks and Corey, 1966). Berdasarkan evaluasi dari beberapa kurva drainage tekanan kapiler untuk media berpori yang kompak, Brooks dan Corey mengamati bahwa semua kurva drainage tekanan kapiler dapat direpresentasikan sebagai fungsi linear, yaitu : …………………………………………………. (2-84) ………………………………………………….. (2-85) Dengan pilihan yang tepat dari saturasi fasa wetting irreducible, dimana Sw* adalah saturasi fasa wetting yang didefinisikan sebagai ………………………………………………………… (2-86)
98
Persamaan(2-84) dan (2-85) memberikan model drainage tekanan kapiler dalam bentuk …………………………………………………………. (2-87) Brooks dan Corey juga merumuskan model imbibisi tekanan kapiler dalam bentuk …………………………………………………….. (2-88) Dimana Se adalah saturasi efektif fasa wetting yang didefinisikan sebagai sebagai ……………………………………………………... (2-89) Dimana Snwr merupakan saturasi fasa non -wetting residual. Untuk melengkapi model ini untuk mengukur data drainage tekanan kapiler, dibuat log log plot data drainage tekanan kapiler yaitu ln Sw* versus ln Pc atau sebagai ln Pc versus ln Sw*. Jika plot nonlinear, kemudian Swirr diatur sampai plot linear. Pc ditentukan dari plot log -log linear pada Sw* = 1 dan λ ditentukan dari kemiringan garis lurus. Dua parameter tersebut kemudian disubstitusi ke dalam persamaan (2 87) dan (2-88) untuk menghitung kurva drainage dan imbibisi tekanan kapiler. kapiler. 2.1.2.3.11.2. Model Tekanan Kapiler Van Genuchten
Model empiric tekanan kapiler yang merupakan bentuk kurva tekanan kapiler pada saturasi fasa wetting yang tinggi dirumuskan oleh van Genuchten (1980). Model ini lebih luas digunakan dalam ilmu tanah dan hidrologi. Model tersebut yaitu ……………………………………………………... (2-90)
2.1.2.3.12. Capillary Trapping dalam dalam Media Berpori
Capillary trapping memastikan bahwa pendesakan immiscible pada tegangan antarmuka dan laju yang normal tidak akan sempurna. Selalu ada fasa residual yang terjebak. Beberapa model telah dirumuskan untuk menjelaskan
99
capillary trapping. Disisni akan dijelaskan dua model yaitu: model pore doublet dan model snap -off. 2.1.2.3.12.1. Model Capillary Trapping Pore Doublet
Gambar 2.74 menunjukkan model pore doublet, yang terbagi atas dua pori yang tergabung pada akhir dari inlet dan outlet, dengan satu pori yang lebih besar dibandingkan yang lain. Pore doublet mula -mula diisi dengan fasa non -wetting. Suatu fasa wetting lalu diinjeksikan dengan rate q untuk mendesak fasa non wetting dari kedua cabang pore doublet. Masalahnya adalah untuk menentukan yang mana dua antarpermukaan dalam pipa kapiler akan sampai terlebih dahulu pada outlet (Point B). Kita akan mengasumsikan bahwa satu antarpermukaan dalam suatu pipa kapiler telah sampai di B, fasa non -wetting dalam pipa yang lain akan terjebak. Untuk menentukan antarmuka yang mana akan sampai di B pertama kali, kita perlu untuk menurunkan kecepatan antarmuka sebagai fungsi parameter relevan dari model. Meskipun ini tidak dibutuhkan untuk melakukannya, mari kita asumsikan bahwa fasa wetting dan non -wetting mempunyai mempunyai viskositas yang sama untuk analisis.
Gambar 2.74. Model Pore Doublet. (a) dalam media berpori; (b) pipa kapiler (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
100
Kehilangan tekanan disepanjang pipa kapiler, yaitu : ……………………………………….. (2-91) Dimana Pw dan Pnw merupakan tekanan disetiap bagian dari antarmuka. Dari hokum Hagen -Poisseuille, …………………………………………………….. (2-92) …………………………………………………….. (2-93) Dimana L1 adalah jarak antarmuka dari akhir inlet dan L adalah total panjang pore doublet dari A ke B. Mensubstitusikan persamaan (2 -92) dan (2-93) ke persamaan (2 -91) dan (Pnw – Pw) adalah tekanan kapiler, menghasilkan: menghasilkan: …………………………………………………… (2-94) Hal yang sama, untuk pipa kapiler yang kedua, …………………………………………………... (2-95) Menyamakan persamaan (2 -94) dan (2-95) dan disusun kembali, menghasilkan: ………………………... (2-96) Dimana persamaan Laplace telah digunakan untuk menggantikan tekanan kapiler. kapiler. Mengamsusikan fluida incompressible, q1 + q2 = q ………………………………………………………….. (2-97) Persamaan (2 -96) dan (2-97) merupakan dua persamaan linear yang simultan dalam q 1 dan q2, yang dapat dengan mudah diselesaikan untuk memperoleh: …………………………………………. (2-98)
101
………………………………………….. (2-99)
Membagi persamaan (2 -99) dengan (2 -98) menghasilkan: menghasilkan: ……………………………………..... (2-100)
Kecepatan antarmuka, yaitu: …………………………………………………………… (2-101) …………………………………………………………... (2-102) Kemudian, …………………………………………………………… (2-103) ……………………………………………………... (2-104) Mensubstitusikan persamaan (2 -101) sampai (2 -104) ke (2-100) menghasilan rasio kecepatan antarmuka, yaitu: ………………………………………………. (2-105)
Persamaan (2 -105) dapat digunakan untuk menentukan kondisi dibawah dibawah fasa non -wetting akan terjebak dalam pori yang lebih kecil atau pori yang lebih besar. Jika ……………………………………………………………..... (2-106) fasa non -wetting akan terjebak dalam pori yang lebih kecil. Mensubstitusi persamaan (2-105) ke (2-106) menghasilkan kondisi untuk terjebak dalam pori yang lebih kecil, yaitu:
102
…………………………………………………….. (2-107) Jika …………………………………………………...…………. (2-108) fasa non-wetting akan terjebak dalam pori yang lebih besar. Mensubstitusikan persamaan (2 -105) ke (2 -108) menghasilkan kondisi untuk fasa non -wetting yang terjebak dalam pori yang lebih besar, yaitu: …………………………………………………….. (2-109) Nilai kritis Nvcap untuk penjebakan di pori yang lain, yaitu: ………………………………………………. (2-110) Untuk nilai tetap dari r 1, r 2, σcosθ, μ dan L, N vcap akan tergantung pada rate q. Jika q bernilai rendah, pendesakan akan didominasi oleh gaya kapiler dan fasa non wetting akan terjebak dalam pori yang lebih besar menghasilkan efisisensi pendesakan pendesakan yang rendah. Jika q bernilai tinggi, pendesakan akan didominasi oleh gaya viscous dan fasa non -wetting akan terjebak dalam pori yang lebih kecil menghasilkan efisiensi pendesakan pendesakan yang tinggi. Pengamatan ini merupakan secara kualitatif dengan observasi makroskopik dalam coreflood. Gambar 2.75 menunjukkan breakthrough oil recovery sebagai fungsi vμL yang diperoleh oleh Rapport dan Leas (1953). Breakthrough oil recovery disini adalah perolehan minyak pada waktu dimana air sampai pada akhir outlet dari core. Sebagai contoh, dalam suatu pengukuran efisiensi pendesakan. Harus diamati bahwa vμL berbanding lurus dengan versi makroskopik N vcap. Sehingga, efisiensi pendesakan meningkat dengan meningkatnya vμL atau N vcap dalam penyesuaian dengan prediksi model pore pore doublet.
103
Gambar 2.75. Breakthrough oil recovery versus Rapaport and Leas scaling coefficient, vμL (Rapoport and Leas, 1953) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
2.1.2.3.12.2. Model Capillary Trapping SnapSnap -Off
Gambar 2.76 menunjukkan minyak sedang didesak dalam dua pori, satu dengan rasio aspek yang rendah dan yang lain dengan rasio aspek yang tinggi. Aspek rasio didefinisikan sebagai: ……………………………………..…………… (2-111) Dimana D1 dan D2 merupakan diameter tubuh pori dan diameter saluran pori. Pada Gambar 2.76a, aspek rasio adalah rendah dan minyak didesak sepanjang pori tanpa penjebakan. Pada Gambar 2.76b, aspek rasio adalah tinggi dan ketidakstabilan kapiler minyak yang terdesak dan terpisah pada saluran pori dan terjebak.
104
Gambar 2.76. Capillary trapping dengan mekanisme snap off dalam single pore. (a) aspek rasio rendah; (b) aspek rasio tinggi (Chatzis et al., 1983) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Gambar 2.77 menunjukkan penurunan fluida non -wetting disepanjang penyempitan pori pori yang seragam. Penurunan Penurunan akan menjadi tidak stabil stabil dan terpisak ketika tekanan kapiler pada leher pori melebihi tekanan kapiler pada bagian pinggir yang turun. Kondisi untuk snap snap off, yaitu: yaitu: ……………………………………...………… (2-112) Gambar 2.78 menunjukkan injeksi merkuri yang sekuen dan tertarik ke dalam system pori. Gambar 2.78A menunjukkan tekanan kapiler hysteresis loop sedangkan sedangkan Gambar 2.78B menunjukkan penjebakan penjebakan merkuri oleh snap off.
105
Gambar 2.77. SnapSnap-off dalam media berpori (Stegemeier, 1976) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
2.1.2.3.12.3. Mobilisasi Fasa NonNon -wetting residual
Ketika suatu fasa telah terperangkap, gradient tekanan dibutuhkan untuk mnggerakkannya secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan yang dihasilkan kondisi flooding. Perhitungan gradient tekanan yang dibutuhkan untuk menggerakkan gumpalan minyak yang terperangkap dalam waterflood ditunjukkan pada Gambar 2.79. Untuk gumpalan agar keluar melalui saluran pori, penurunan tekanan disepanjang pinggiran harus melebihi tekanan yang masuk atau tekanan pendesakan dari saluran pori. Sehingga, kondisi untuk gumpalan minyak keluar melalui saluran pori, yaitu: …………………………………………………….. (2-113) Dari persamaan Laplace, …………………………………………………….. (2-114)
106
Gambar 2.78. SnapSnap-off dalam injeksi merkuri. A: capillary pressure scanning curve; B; corresponding mercury trapping by snapsnap -off (Stegemeier, 1976) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
107
Mengurangi persamaan (2 -114) dari (2-113) menghasilkan: …………………………..………. (2-115) atau ………………………...…………. (2-116) Karena PB = PA, persamaan (2 -116) menjadi: …………………...………………………. (2-117) Gradien tekanan yang dibutuhkan untuk menggerakkan gumpalan minyak, yaitu: ……………………...…………………… (2-118)
Gambar 2.79. Gumpalan minyak yang terperangkap terperangkap (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Berikut estimasi gradient tekanan yang dibutuhkan untuk menggerakkan gumpalan minyak yang terperangkap dalam suatu normal waterflood pada suatu reservoir menggunakan menggunakan tipe nilai dari parameter yang relevan. r 1 = 10 μm r 2 = 50 μm L = 50 μm Σ = 30 dyne/ cm
108
θ=0 k w = 500 mD μw = 1 cp vw = 1 ft/ day Gradien tekanan yang dibutuhkan untuk menggerakkan gumpalan minyak, yaitu:
atau
Ini merupakan gradient tekanan yang dibutuhkan. Gradien tekanan yang dihasilkan dari waterflood dihitung dengan hokum Darcy, yaitu:
Dapat dilihat bahwa gradient tekanan yang dihasilkan dengan waterflood tidak cukup untuk menggerakkan gumpalan minyak. Sehingga, minyak tersebut tetap terperangkap. 2.1.2.3.12.4. Oil migration
Gambar 2.80 menunjukkan migrasi gelembung minyak dari batuan induk ke reservoir yang mula -mula disaturasi penuh oleh air. Perpindahan gelembung minyak telah sampai batasan pada saluran pori yaitu radius r H. Dalam hal agar migrasi terus berlanjut, ujung kepala gelembung (A) harus menekan sepanjang saluran pori. Asumsi bahwa ujung A dan B dari gelembung adalah hemispherical dengan B mempunyai radius r B, satu dapat menghitung panjang dari gelembung minyak yang dibituhkan untuk gelembung agar keluar melalui batasan atau restriksi dan selanjutnya migrasi keatasnya. Untuk keluar melalui restriksi, tekanan kapiler pada ujung pinggir dari gelembung harus melebihi tekanan
109
pendesakan pendesakan dari restriksi. Sehingga, kondisi untuk migrasi keatas melalui restriksi yaitu: ……………………………………………………… (2-119) Persamaan Laplace ……………………………………………………… (2-120) Dari hidrostatik melalui air, ……………………………………………………… (2-121)
Gambar 2.80. Migrasi lapisan minyak (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
110
Dari hidrostatik melalui minyak, …………………………………………………….... (2-122) Mengurangi persamaan (2 -121) dari (2-122) menghasilkan ……………………...……………... (2-123) Mensubstitusi persamaan (2 -120) ke (2-123) dan disusun kembali, sehingga: ………………………………………… (2-124) Mensubstitusi persamaan (2 -124) ke (2-119) menghasilkan kondisi untuk migrasi keatas, yaitu: ……………………………………………….. (2-125) atau ………………………………………………. (2-126) Contoh: r H = 10 μm r B = 50 μm σ = 30 dyne/ cm ρw = 1.00 g/ cm 3 ρo = 0.70 g/ cm 3 Panjang minimum gelembung minyak untuk selanjutnya migrasi ketasa yaitu:
2.1.2.3.13. Pengaruh Wettabilitas dan Tegangan Antarmuka pada Kurva Tekanan Kapiler
Pengaruh wettabilitas dan tegangan antarmuka pada kurva tekanan kapiler dapat dengan mudah diketahui dari persamaan Laplace. Pengaruh wettabilitas pada kurva tekanan kapiler ditunjukkan secara kualitatif pada Gambar 2.81.
111 111
Derajat wettabilitas yang dikurangi, kurva tekanan kapiler akan menurun. Pengaruh tegangan antarmuka pada tekanan kapiler ditunjukkan secara kualitatif pada Gambar 2.82. Penurunan tekanan kapiler sebagai akibat turunnya tegangan antarmuka fluida.
Gambar 2.81. Pengaruh wettabilitas pada kurva tekanan kapiler (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
112
Gambar 2.82. Pengaruh tegangan antarmuka pada kurva tekanan kapiler (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
2.1.2.4. Saturasi Fluida
Saturasi fluida batuan didefinisikan sebagai perbandingan antara volume pori-pori batuan yang ditempati oleh suatu fluida tertentu dengan volume pori pori total pada suatu batuan berpori. Batuan reservoir pada umumnya terdapat lebih dari satu macam fluida, kemungkinan terdapat air, minyak, dan gas yang tersebar ke seluruh bagian reservoir. Secara matematis, besarnya saturasi untuk masing-masing fluida dituliskan dalam persamaan berikut : a. Saturasi minyak (So) adalah :
So
volume pori pori yang diisi oleh minyak .......................... .......................... (2-127) volume pori pori total
b. Saturasi air (Sw) adalah :
Sw
volume pori pori yang diisi oleh air air volume pori pori total
................................. ................................. (2-128)
113
c. Saturasi gas (Sg) adalah :
Sg
volume pori pori yang diisi oleh gas gas
volume pori pori total
................................ ................................ (2-129)
Jika pori-pori batuan diisi oleh gas-minyak-air maka berlaku hubungan : Sg + So + Sw = 1 ............................................ .................................................................. ................................... ............. (2-130) Sedangkan jika pori-pori batuan hanya terisi minyak dan air, maka : So + Sw = 1 ...................................................... ............................................................................ ................................ .......... (2-131) Faktor-faktor penting yang harus diperhatikan dalam mempelajari saturasi fluida antara lain adalah : 1. Saturasi fluida akan bervariasi dari satu tempat ke tempat lain dalam reservoir, saturasi air cenderung untuk lebih besar dalam bagian batuan yang kurang porous. Bagian struktur reservoir yang lebih r endah relatif akan mempunyai S w yang tinggi dan S g yang relatif rendah, demikian juga untuk bagian atas dari struktur reservoir berlaku sebaliknya. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan densitas dari masing-masing fluida. 2. Saturasi fluida akan bervariasi dengan kumulatif produksi minyak. Jika minyak diproduksikan maka tempatnya di reservoir akan digantikan oleh air dan atau gas bebas, sehingga pada lapangan yang memproduksikan minyak, saturasi fluida berubah secara kontinyu. 3. Saturasi minyak dan saturasi gas sering dinyatakan dalam istilah pori pori yang diisi oleh hidrokarbon. Jika Ji ka volume batuan adalah V, ruang pori-porinya adalah .V, maka ruang pori-pori yang diisi oleh hidrokarbon adalah : So V + Sg V = (1 – S Sw ) V ................................................ ................................................ (2-132) Sebagian fluida hidrokarbon masih tertinggal di dalam reservoir ketika fluida hidrokarbon diproduksikan ke permukaan, hal ini akibat adanya volume fluida yang terdapat dalam pori-pori batuan tidak dapat bergerak lagi. Saturasi minimum dimana fluida sudah tidak mampu lagi bergerak disebut saturasi sisa (residual saturation). saturation).
114
Hubungan saturasi fluida dalam batuan reservoir dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu disamping tekanan dan temperatur reservoir juga dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik batuan dan fluida reservoir. Saturasi air yang merupakan fluida pembasah akan semakin besar pada harga porositas yang kecil karena terjadinya gaya kapiler. Tekanan kapiler berhubungan dengan ketinggian di atas permukaan air bebas (oil-water contact), contact) , sehingga data tekanan kapiler dapat dinyatakan menjadi plot antara h versus saturasi air (Sw), seperti pada Gambar 2.83. Perubahan ukuran pori-pori dan densitas fluida akan mempengaruhi bentuk kurva tekanan kapiler dan ketebalan zona transisi. Ketinggian atau h akan bertambah jika perbedaan densitas fluida berkurang, sementara faktor lainnya tetap. Hal ini berarti bahwa reservoir gas yang terdapat kontak gas-air, perbedaan densitas fluidanya bertambah besar sehingga akan mempunyai zona transisi minimum. Demikian juga untuk reservoir minyak yang mempunyai API gravity rendah maka kontak minyak-air akan mempunyai zona transisi yang panjang. Ukuran pori-pori batuan reservoir sering dihubungkan dengan besaran permeabilitas yang besar akan mempunyai tekanan kapiler yang rendah dan ketebalan zona transisinya lebih tipis dari pada reservoir dengan permeabilitas yang rendah. Ukuran pori – pori reservoir sering dihubungkan dengan permeabilitas. Batuan reservoir yang memiliki permeabilitas yang tinggi akan mempunyai zona transisi yang lebih pendek dari pada reservoir yang memiliki permeabilitas yang rendah. Lihat gambar 2.84, no 1 adalah Sandstone (k : 100-200 mD), no 2 adalah Limestone (k : 15-25 mD), no 3 adalah Dolomit (k : 10 mD).
115
Gambar 2.83. Kurva Tekanan Kapiler (Cole, F.W., “Reservoir Engineering Manual”, -Texas, 1969.)
Gambar 2.84. Kurva distribusi fluida reservoir (Ahmed Tarek, 2000, ”Reservoir Engineering”) Engineering”)
Leverett (1941) mendiskripsikan hubungan antara tekanan kapiler, porositas dan permeabilitas melalui J-function. J-function dapat lebih baik menggambarkan karakteristik heterogenitas batuan suatu reservoir, dari pada kombinasi porositas dan permeabilitas dalam suatu parameter untuk korelasi.
116
J-function memiliki nilai yang berubah – ubah ubah jika porositas, permeabilitas dan wetabilitas dari suatu reservoir berubah, sepanjang geometri pori – pori pori yang tersisa konstan. Oleh karena itu, perbedaan jenis batuan akan menunjukkan bentuk korelasi J-function yang berbeda. Data tekanan kapiler dari suatu formasi bisa diturunkan ke suatu kurva single J-function versus saturasi. Pada gambar 2.85, dimana Rose dan Bruce (1949) memperbaiki korelasi J-function untuk enam formasi dan mereka membandingkan data yang didapat dari suatu alundum core
dan korelasi Leverett’s untuk batupasir uncosolidated.
Gambar 2.85. Tipe J-function versus Saturasi untuk Core dari Batupasir (Amyx James. W, JR. Daniel M. Bass, and Whiting Robert L, 1960, ”Petroleum Engineering, Physical Properties”)
J-function dapat diperoleh dari analisa dimensional atau dari penurunan persamaan tekanan kapiler ke dalam persamaan Carman-Konzeny. Sehingga diperoleh persamaan J-function :
117
J ( Sw)
0.21645
Pc
k
................................................ ................................................................. ................. (2-133)
Keterangan : Pc = tekanan tekanan kapiler, psi psi k
= Permeabilitas, md
= tegangan permukaan minyak-air, dyne/cm
= sudut kontak permukaan minyak-air,( 0 )
ϕ = porositas, % 2.1.2.4.1. Hubungan Saturasi Fluida dengan Tekanan Kapiler
Untuk membuat suatu harga rata -rata kurva tekanan kapiler dari data pengukuran pengukuran laboratorium pada beberapa sampel batuan dapat digunakan metode Leverett J-Function. Ini adalah fungsi dimensi yang mengkolerasikan tekanan kapiler dengan parameter reservoir lainnya termasuk permeabilitas, porositas, tegangan antarmuka dan sudut kontak. Karena masing -masing grafik tekanan kapiler berhubungan dengan nilai spesifik dari Swc, maka nilai saturasi harus dinormalisasi terlebih dahulu, yaitu: Sw* =
− …………………………………...……………….. (2-134) 1−
Dimana Sw* adalah normalisasi saturasi air (Gambar 2.86).
Gambar 2.86. Grafik J-Function versus Normalisasi Sw (Gomaa,E.E., 2009)
118
2.1.2.4.2. Analisa Zona Transisi
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, pada reservoir minyak dan gas menunjukkan zona transisi saturasi air diatas OWC. Luasan dan bentuk dari zona ini bervariasi dari satu reservoir dengan reservoir lainnya dan berhubungan dengan grafik drainase tekanan kapiler dari batuan reservoir. reservoir. Nilai saturasi air dari log harus merefleksikan fenomena ini dan mengindikasikan konsisten dengan pengukuran pengukuran tekanan kapiler kapiler pada core di di laboratorium. Hubungan antara zona transisi dan drainase tekanan kapiler minyak -air ditunjukkan oleh persamaan (2 -135), yaitu: Pc = h(ρ w – ρo)g ………………………………………………...… (2-135) Keterangan: Pc = Tekanan kapiler, Pa h = Tinggi diatas OWC, m ρw = densitas air formasi, kg/ m 3 ρo = densitas minyak, kg/ m 3 g = gravitasi, m/ s2 Jika disubstitusikan ke dalam persamaan Leverett J -Function maka akan diperoleh persamaan: J=
ℎ(− ………………………………………………… (2-136) Ф
Adapun prosedur untuk melakukan analisa zona transisi adalah: 1.
Menghitung nilai Swc dengan Swc transform
2.
Setelah itu dibuat pula plot antara Sw* vs J -Function
3.
Selanjutnya dibuat cross - plot plot (Jσcosθ) versus Sw*. Plot ini harus menunjukkan kesamaan bentuk dengan plot J -Function dan Sw versus kedalaman
4.
Gunakan nilai (σ cosθ) untuk mengestimasi besarnya sudut kontak θ yang dapat mewakili indikasi dari wettabilitas batuan. Nilai ini juga dapat digunakan digunakan untuk menghitung kurva tekanan kapiler pada kondisi reservoir dan J -Function dibutuhkan untuk mengestimasi penyebaran Sw pada model geologi 3 -D.
119
2.1.2.5. Permeabilitas
Selain porous, suatu batuan reservoir harus memiliki kemampuan untuk mengijinkan fluida hydrocarbon mengalir melalui pori
– pori yang saling
berhubungan (interconnected (interconnected ). ). Permeabilitas didefinisikan sebagai suatu bilangan yang menunjukkan kemampuan dari suatu batuan untuk mengalirkan fluida. Permeabilitas batuan tergantung dari porositas effektif. Oleh karena itu, besarnnya permeabilitas dipengaruhi oleh ukuran butir, bentuk butiran, kebundaran, packing butiran dan tingkat sementasi dan konsolidasinya. konsolidasinya. Henry Darcy (1856, french engineer) mengembangkan persamaan aliran fluida dalam media berpori dengan bentuk differensial.
V
q
Ac
k dP
dL
.......................................... ................................................................ .............................. ........ (2-137)
dimana : V
= kecepatan aliran, cm / sec
Q
= lajur alir, cm3/s
Ac
= Cross-sectional Area dari batuan, cm2
= viskositas fluida yang mengalir, cp
dP / dL = gradien tekanan dalam arah aliran, atm / cm k
= permeabilitas media berpori.
Tanda negatif dalam persamaan 2-137 menunjukkan bahwa bila tekanan bertambah dalam satu arah, maka arah alirannya berlawanan dengan arah pertambahan tekanan tersebut. Beberapa anggapan yang digunakan oleh Henry Darcy dalam persamaan 2-137 yaitu: 1. Alirannya mantap ( steady state) state) 2. Fluida yang mengalir satu fasa 3. Viskositas fluida yang mengalir konstan 4. Kondisi aliran isothermal 5. Formasinya homogen dan arah alirannya mendatar (horizontal ( horizontal ) 6. Fluidanya incompressible
120
Penentuan permeabilitas batuan adalah hasil percobaan yang dilakukan oleh Henry Darcy. Dia menggunakan batu pasir tidak kompak yang dialiri air. Batu pasir silindris yang porous ini 100 % dijenuhi cairan dengan viskositas , dengan luas penampang A, dan panjangnya L. Kemudian dengan memberikan tekanan masuk P1 pada salah satu ujungnya maka terjadi aliran dengan laju sebesar Q, sedangkan P2 adalah tekanan keluar. Hasil percobaan menunjukkan bahwa
Q L A ( P 1 P 2 )
adalah konstan dan akan sama dengan harga permeabilitas
batuan yang tidak t idak tergantung dari cairan, perbedaan tekanan dan dimensi batuan yang digunakan. Gambar skema dari percobaan Darcy ditunjukkan Darcy ditunjukkan pada Gambar 2.87.
Gambar 2.87. Gambar Skema Percobaan Pengukuran Permeabilitas (Amyx, J. W., “Petroleum Reservoir Engineering Engineering - physical physical Properties”, Properties”, 1960)
121
Hasil percobaan Darcy dapat dirumuskan K
Q. . L
A.( P 1 P 2 )
........................................ ............................................................... ...................................... ............... (2-138)
Dimana : K
= Darcy
Q
= cm3/sec
= cp (centipoise (centipoise))
L
= cm
A
= cm2
P
= atm
Persamaan di atas dapat dikembangkan untuk berbagai kondisi aliran yaitu aliran linier dan radial, masing – masing masing untuk fluida yang kompresibel dan inkompresibel. Berdasarkan persamaan (2-138), maka dapat didefinisikan 1 Darcy adalah dimana fluida dengan kekentalan (viskositas) sebesar 1 centipoise mengalir dengan laju sebesar 1 cm 3/detik melalui sebuah penampang sebesar 1 cm 2 dengan gradien tekanan sebesar 1 atm per cm.
Dari persamaan (2-138) (2-138) dapat
dikembangkan untuk berbagai kondisi aliran yaitu aliran linier dan radial, masingmasing untuk fluida yang compressible dan incompressible. Permeabilitas yang diperoleh dari persamaan (2-137) dan (2-138) adalah permeabilitas absolute. Pori-pori batuan reservoir umumnya terisi teris i oleh lebih dari satu fluida sehingga permeabilitas dibedakan menjadi tiga, yaitu : 1. Permeabilitas absolut, adalah permeabilitas dimana fluida yang mengalir melalui media berpori tersebut hanya satu fasa, misal hanya minyak atau gas saja. 2. Permeabilitas efektif, adalah permeabilitas batuan dimana fluida yang mengalir lebih dari satu fasa, misalnya minyak dan air, air dan gas, gas dan minyak atau ketiga – tiganya. tiganya. 3. Permeabilitas relatif, adalah perbandingan antara permeabilitas efektif dengan permeabilitas absolut. Contoh , k rg rg = k g /k, atau k ro ro = k o /k.
122
Reservoir
hydrocarbon
mempunyai
primary
permeability
(matrix
permeability) dan secondary permeability. Primary permeability terbentuk pada waktu pengendapan dan litifikasi dari batuan sedimen. Secondary permeability dihasilkan dari alterasi matrik batuan yang disebabkan oleh kompaksi, sementasi, perekahan, dan pelarutan. Berdasarkan arah aliran, permeabilitas dalam batuan terbagi dua jenis, yaitu permeabilitas vertikal (k v) dan permeabilitas horizontal (k H). Pada umumnya, permeabilitas horizontal (k H) lebih besar dibandingkan permeabilitas vertikal (k v). Besarnya perbandingannya tersebut dipengaruhi oleh lingkungan pengendapan dari batuan reservoirnya. Hubungan antara permeabilitas dengan porositas adalah kualitatif dan secara tidak langsung kuantitatif dimanapun (lihat gambar 2.88). Porositas yang besar mungkin memiliki zero permeabilitas, hal ini terjadi pada batu Apung (pumice), Clay, dan Shale (porositas effektif mendekati nol). Jadi besarnya permeabilitas sangat dipengaruhi oleh porositas effektif (lihat gambar 2.89). Menurut Konzeny hubungan antara permeabilitas dan porositas dapat ditunjukkan dengan persamaan sebagai berikut (dengan asumsi ukuran butir batuan sama):
k
r 2
8
.................................................. ........................................................................ ....................................... ................. (2-139)
atau
1 3 ................................................................. k ......................... (2-140) 2 1 2 .......................................... 5 svgr 8 Dimana : K
= permeabilitas, mD
Ø
= porositas, %
r
= jari – jari jari pori, cm
svgr
= specific surface are of a porous material, cm-1
123
Gambar 2.88. Hubungan antara Permeabilitas dengan Porositas (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
Gambar 2.89. Hubungan antara Permeabilitas dengan Porositas di beberapa jenis batuan (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
124
Hubungan antara harga permeabilitas efektif minyak dan air terhadap harga saturasinya digambarkan oleh suatu kurva grafik yang ditunjukkan gambar 2.90.
Gambar 2.90. Hubungan antara Permeabilitas Efektif Minyak dan Air dengan Saturasinya (Pirson, S.J.,” Oil Reservoir Engineering”,1958) Engineering”,1958)
Gambar tersebut dapat menguraikan beberapa hal penting berkenaan dengan kedua besaran tersebut, yaitu : 1. Harga ko pada Sw = 0 dan So = 1 serta kw pada Sw = 1 dan So = 0 besarnya
akan
sama
dengan
permeabilitas
absolutnya,
yang
dikonotasikan pada titik A dan titik B. 2. Harga ko akan turun dengan bertambahnya nilai Sw dari 0 demikian pula sebaliknya untuk kw akan turun dengan berkurangnya Sw dari satu. Laju aliran minyak akan berkurang untuk So yang kecil karena mempunyai harga ko yang kecil, demikian halnya dengan air. 3. Harga keff suatu fluida mencapai nol, saturasi fluida dalam batuan masih ada (titik C dan D) namun dalam hal ini sudah tidak mampu bergerak lagi. Saturasi ini sering disebut saturasi sisa s isa suatu fluida, untuk minyak dikonotasikan dengan Sor (residual ( residual oil saturation) saturation) dan air dikonotasikan Swirr (irreducible ( irreducible water saturation). saturation).
125
4. Besarnya harga keff suatu fluida akan selalu lebih kecil dibandingkan permeabilitas absolut (kecuali pada kondisi titik A dan B) sehingga
berlaku hubungan hubungan ko + kw ≤ k. 2.1.2.5.1. Klinkenberg Effect
Penelitian Klinkenberg pada pengukuran permeabilitas terjadi perbedaan antara pengukuran menggunakan udara dengan pengukuran permeabilitas menggunakan cairan, hasilnya pengukuran permeabilitas dengan menggunakan udara memberikan hasil yang berbeda dibandingkan dengan menggunakan cairan, berdasarkan berdasarkan pengukuran laboratorium hal ini disebabkan pada cairan memberikan kecepatan aliran nol pada permukaan butiran pasir. Pengukuran tekanan ini didefinisikan sebagai penjumlahan antara aliran upstream dan downstream P m = (P1 + P2)/ 2, jika plotting antara 1/ P m dimana kita ekstrapolasi 1/ P m = 0, yang berarti P m = infinity yang berarti sama dengan permeabilitas cairan, lihat Gambar 2.91.
Gambar 2.91. Effect Klinkenberg pada pengukuran gas permeability (Tarek Ahmed, Third Edition, 2006)
126
2.1.2.5.2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Permeabilitas 2.1.2.5.2.1. Kompaksi
Seperti halnya kompaksi mengurangi porositas, ini juga berlaku pada permeabilitas. Semakin besar kompaksi, permeabilitas batuan cenderung untuk menurun dengan kedalaman yang semakin dalam. 2.1.2.5.2.2. Bentuk dan Ukuran Pori
Secara umum, untuk batupasir, permeabilitas berbanding lurus dengan rata-rata ukuran pori. Untuk batupasir dengan pemilahan yang baik, ukuran pori akan berbanding lurus dengan ukuran butir. Sehingga, untuk batupasir dengan pemilahan yang baik, permeabilitas akan berbanding lurus dengan ukuran butir. butir. Maka, untuk batupasir dengan pemilahan yang baik dengan ukuran butir yang terbesar akan mempunyai permeabilitas yang lebih tinggi dibandingkan batupasir yang pemilahan baik dengan ukuran butir yang lebih kecil (Tabel (Tabel II -10). Tabel IIII-10. Pengukuran porositas porositas dan permeabilitas dari artificial sandpack (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Untuk melihat mengapa ukuran butir mempengaruhi permeabilitas suatu media, mari kita bandingkan area permukaan yang basah per unit bulk volume (spesifik surface area) untuk aliran melalui sebuah pipa tanpa butir - butiran butiran dan melalui media dengan dua ukuran butir. Gambar 2.92 menunjukkan sebuah kubus dari beberapa media dengan volume L 3 meter 3. Media berpori terbagi atas butiran
127
pasir spherical yang seragam dengan radius r meter dan porositas Ф. Area permukaan yang yang basah yaitu yaitu pipa per unit bulk bulk volume (S), yaitu: yaitu: ………………………………….… (2-141)
Gambar 2.92. Perbandingan aliran dalam sebuah pipa dengan aliran dalam suatu media berpori (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Untuk media berpori, jumlah butiran, N, terkandung dalam L 3 meter 3 bulk volume, yaitu: …………………………………... (2-142) Area permukaan yang basah, yaitu: ………………….. (2-143) Area basah per unit bulk volume (specific surface area), yaitu: …………………………………… (2-144) Jika batuan yang besar dan butiran mendatar seragam disusun dengan dimensi horizontal yang memanjang, seperrti yang diillustrasikan pada Gambar 2.93, permeabilitas horizontalnya (k H) akan sangat tinggi, sedangkan permeabilitas vertikal (k v) akan bernilai sedang sampai besar. Jika batuan yang
128
besar dan dan butiran membulat, permeabilitasnya permeabilitasnya akan tinggi dan berpengaruh yang sama dalam arah keduanya, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.94. Permeabilitas batuan reservoir secara umum lebih rendah, khususnya arah vertikal, jika butiran pasir berukuran kecil dan bentuknya tidak teratur (Gambar 2.95). Banyak batuan reservoir masuk dalam kategori ini. Reservoir dengan permeabilitas berarah disebut dengan anisotropi. Anisotropi berpengaruh berpengaruh besar terhadap karakteristik aliran fluida dalam batuan.
Gambar 2.93. Pengaruh butiran besar mendatar terhadap permeabilitas (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
Gambar 2.94. Pengaruh butiran besar membulat terhadap permeabilitas (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
129
Gambar 2.95. Pengaruh butiran yang kecil dan tidak beraturan terhadap permeabilitas permeabilitas (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
2.1.2.5.2.3. Pemilahan
Pemilahan yang buruk akan menurunkan ukuran pori dan sebagai akibatnya mengurangi permeabilitas batuan (Tabel 2.10). 2.1.2.5.2.4. Sementasi
Sementasi mengurangi ukuran pori dan akibatnya mengurangi permeabilitas batuan. Walaupun kompaksi dan sementasi mengurangi permeabilitas, seperti yang ditunjukkan Gambar 2.96, rekahan dan pelarutan cenderung untuk menaikkan permeabilitas. Pada beberapa reservoir, terutama karbonat dengan porositas yang rendah, terdapatnya porositas sekunder menyediakan saluran untuk mingrasi fluida, seperti di Lapangan Ellenburger, Texas.
130
Gambar 2.96. Pengaruh material cementing clay terhadap porositas dan permeabilitas (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
2.1.2.5.2.5. Perlapisan
Permeabilitas dapat berbeda dalam arah yang berbeda. Karena perlapisan dalam batuan sedimen, permeabilitas horizontal dalam batuan reservoir cenderung untuk lebih besar dibandingkan permeabilitas dalam hal tidak terdapatnya rekahan secara vertikal. 2.1.2.5.2.6. Clay Swelling
Banyak batupasir yang kompak mengandung clay dan silt, seperti arkose dan greywacke. Karena tipe clay montmorillonite mengasorbsi fresh water dan mengembang, permeabilitas seperti batupasir akan menurun besar ketika diukur dengan fresh water. Penambahan salt, seperti sadium klorida atau potassium klorida, mencegah pengembangan clay. 2.1.2.5.3. Tipe Harga Permeabilitas Reservoir
Permeabilitas reservoir memiliki harga yang bervariasi, dari 0.001 mD untuk tight gas sand di East Texas sampai 4000 mD untuk unconsolidated sand di Delta Nigeria.
131
Berikut kisaran harga permeabilitas reservoir: Very low: k < 1 mD Low: 1 mD < k < 10 mD Fair: 10 mD < k < 50 mD Average: 50 mD < k < 200 mD Good: 200 mD < k < 500 mD Excellent: k > 500 mD Karena viskositas gas yang rendah, reservoir gas dengan permeabilitas kurang dari 1 mD masih dapat diproduksi pada laju ekonomis jika reservoir tersebut dilakukan hydraulic fracturing. Karena viskositas minyak yang lebih tinggi dibandingkan viskositas gas, reservoir minyak dengan permeabilitas yang kurang dari 1 mD tidak dapat diproduksi pada laju ekonomis walaupun dilakukan hydraulic fracturing. 2.1.2.5.4. Perhitungan Permeabilitas dari Kurva Drainage Tekanan Kapiler 2.1.2.5.4.1. Perhitungan Permeabilitas Absolut dari Kurva Drainage Tekanan Kapiler
Tujuan dari perhitungan ini adalah untuk memperkirakan permeabilitas suatu media berpori dari kurva drainage tekanan kapiler berdasarkan model pipa kapiler dari media berpori. Disini, kita mengestimasi permeabilitas absolut dari media media berpori berdasarkan fungsi probabilitas densitas untuk radius saluran pori yang diperoleh diperoleh dari injeksi merkuri merkuri porosimetri. Jika fungsi probabilitas densitas untuk radius saluran pori yaitu δ(R), dimana R adalah radius saluran pori. Kemudian, untuk media berpori, ………………………………………………………… (2-145) Total fraksional dari pori dengan jarak antara R dan R+dR adalah δ(R)dR. Total pori dengan jarak antara R dan R+dR adalah N δ(R)dR, dimana N adalah jumlah cross- sectional sectional pori dengan total dari pori yang membuat media berpori. Area cross-
jarak antara R dan R+dR, yaitu: yaitu:
132
…………………………………………………… (2-146) Area cross-sectional dibentuk oleh semua pori yang dapat diperoleh dari mengintegralkan mengintegralkan persamaan (2 -146), sehingga diperoleh: ……………………………………………... (2-147) Dimana AT adalah area cross -sectional dari media berpori dan Ф adalah porositas dari media berpori. Kemudian, ……………………………………….. (2-148) Persamaan (2 -148) dapat ditulis sebagai: ………………………………………………...….. (2-149) Laju aliran volumetric untuk pori - pori pori dengan radius antara R dan R+dR dihitung dengan hokum Hagen -Poiseuille, yaitu: …………………………………... (2-150) dimana г(R) adalah tortuosity dari media berpori dan L adalah pangang dari media. Sebagai catatan bahwa tortuosity adalah fungsi dari ukuran saluran pori, R. Fasa wetting terdapat pada pori dengan radius kurang dari R. Laju aliran volumetric fasa wetting diperoleh dari mengintegralkan persamaan (2 -150), yaitu sebagai berikut: ………………………………………….…… (2-151) Permeabilitas efektif untuk fasa wetting dihitung berdasarkan hokum Darcy, yaitu: ………………………………………….. (2-152) Volume pori dari media berpori, yaitu: ……………………………………. (2-153)
133
Pada kesetimbangan kapiler, kapiler, fasa wetting terdapat pada semua pori dengan radius kurang dari R yang diperoleh dari tekanan kapiler, kapiler, yaitu: …………………………………………………..… (2-154) Volume fasa wetting, yaitu: …………………………………………………. (2-155) Saturasi fasa wetting, yaitu: ……………………………………... (2-156) Persamaan (2 -156) dapat disusun kembali sebagai berikut: …………………………………………. (2-157) dimana R merupakan variable integral tergantung, yang dipengaruhi oleh radius saluran pori R, batas atas dari integral. Menurunkan persamaan (2 -157), menghasilkan: ………………………………………………… (2-158) Bagian kanan dari persamaan (2 -158) dapat dievaluasi menggunakan aturan Leibnitz untuk menurunkan definite integral, sebagai berikut: ……………………..... (2-159) Hasil dari integral pada bagian kanan dari persamaan (2 -159) adalah nol. Sehingga, persamaan (2 -159) dapat disederhanakan menjadi: ……………………………………………….. (2-160) Mensubstitusikan persamaan (2 -160) ke (2-158) menghasilkan: menghasilkan: …………………………………………………….. (2-161)
134
Mensubstitusikan persamaan (2 -149) dan (2 -161) kedalam persamaan (2 -152) menghasilkan permeabilitas efektif untuk fasa wetting, sebagai berikut: …………………………………………………….. (2-162) R dalam persamaan (2 -162) adalah ukuran pori yang terbesar yang diisi oleh fasa wetting. Ini dapat diperoleh dari kurva tekanan kapiler, yaitu: ……………………………………………………….. (2-163) Berikut perkiraan tortuosity dalam bentuk fungsi: …………………………………………………………… (2-164) Dimana a dan ɑ merupakan konstanta numeric. Fungsi ini memiliki persyaratan bahwa peningkatan tortuosity karena menurunnya ukuran pori. Mensubstitusikan persamaan (2 -163) dan (2-164) ke dalam persamaan ((2 -162) menghasilkan permeabilitas efektif efektif untuk fasa wetting sebagai berikut: ……………………………...……………... (2-165) Permeabilitas absolut dari media berpori dapat diperoleh dari persamaan (2 -165) untuk media yang disaturasi penuh oleh fasa wetting, yaitu: ……………………………………………... (2-166) Harga ɑ = 0 dan 1/ a = F 1. Mensubstitusi nilai tersebut ke persamaan (2 -166) menghasilkan permeabilitas absolut dari media berpori, yaitu: ………………………………………………. (2-167) Jika tekanan kapiler dalam psi, permeabilitas dalam milidarcy dan tegangan permukaan dalam dyne/ cm, persamaan persamaan (2 -167) menjadi (setelah konversi satuan): ……………………………...………….. (2-168) Dalam hal ini injeksi merkuri, σ = 480 dyne/ cm dan θ = 140 o. Mensubstitusikan nilai tersebut ke dalam persamaan (2 -168) menghasilkan permeabilitas:
135
……………………………………..…………. (2-169) Persamaan (2 -169) merupakan persamaan Purcell dimana F 1 adalah faktor litologi untuk menghitung tortuosity dari media berpori. Purcell (1949) menunjukkan pengukuran pada sample core dan menghitung faktor litologi yang membuat pengukuran permeabilitas sama dengan pengukuran permeabilitas dari kurva drainage tekanan kapiler dari sample. Hasilnya ditunjukka pada Tabel Tabel II -11. Permeabilitas dari sampel 17 dan 18 sangat rendah untuk diukur tapi diperkirakan kurang dari 0.1 mD. Faktor litologi yang dihitung berkisar dari 0.085 sampai 0.363, dengan niai rata -rata 0.216. Dia menyarankan untuk menggunakan nilai rata-rata 0.216 untuk memperkirakan permeabilitas batuan dari kurva drainage tekanan kapilernya. Sedangkan, sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 2.97, terdapat korelasi positif antara faktor litologi dan permeabilitas. Lebih jelasnya, permeabilitas yang lebih tingi, faktor litologi yang lebih tinggi pula. Sama halnya, semakin rendah permeabilitas, faktor litologi yang juga semakin rendah. Sehingga, korelasi positif antara faktor litologi dan permeabilitas sangat diharapkan. Karena dari korelasi ini, penggunaan rata -rata faktor litologi yaitu 0.216 untuk menghitung permeabilitas dari semua media berpori dapat untuk perkiraan permeabilitas dari yang terbagus sampai terjelek. Gambar 2.98 membandingkan pengukuran permeabilitas dengan pengukuran permeabilitas menggunakan rata -rata faktor litologi 0.216 yang diplot pada skala log. Korelasi antara dua set data terlihat sangat kuat. Sedangkan, ketika data yang sama diplot pada skala linear ditunjukkan pada Gambar 2.99, korelasi ini lebih lemah dibandingkan pada Gambar 2.98.
136
Tabel IIII-11. Faktor litologi untuk berbagai macam sampel core (Purcell, 1949) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
137
Gambar 2.97. Korelasi antara faktor litologi dan permeabilitas (Purcell, 1949) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
Gambar 2.98. Perbandingan pengukuran pengukuran permeabilitas dan perhitungan permeabilitas menggunakan ratarata-rata faktor litologi yaitu 0.216 yang diplot pada skala log (Purcell, 1949) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
138
Gambar 2.99. Perbandingan pengukuran pengukuran permeabilitas dan perhitungan permeabilitas menggunakan ratarata-rata faktor litologi yaitu 0.216 yang diplot pada skala linear (Purcell, 1949) (J.Peters Ekwere, “Petrophysics”) “Petrophysics”)
2.1.2.5.4.2. Perhitungan Permeabilitas Relatif dari Kurva Drainage Tekanan Kapiler
Permeabilitas relative untuk fasa wetting, yaitu: ………………………………………………... (2-170) Permeabilitas relative untuk fasa non -wetting, yaitu: ……………………………………………… (2-171) Jika ɑ = 0, persamaan (2 -170) dan (2-171) menjadi: ………………………………………………… (2-172)
139
dan ……………………………………………….. (2-173)
Kelemahan dari model permeabilitas relative diatas yaitu bahwa (k rw + k rnw rnw) = 1, yang tidak sesuai dengan percobaan experimental dari fungsi permeabilitas relative. Percobaan menunjukkan bahwa, secara umum, (k rw + k rnw rnw) < 1. Kekurangan ini tidak sesuai dengan percobaan karena tortuosity dari media berpori diabaikan. Kenyataannya, Kenyataannya, tortuosity dari media dalam hadirnya fasa multifasa adalah sebagai fungsi saturasi. Lebih lanjut, model tersebut tidak mengizinkan untuk saturasi residual dari fasa wetting dan non -wetting. 2.1.3. Hubungan antara Permeabilitas dan Porositas
Gambar 2.100 menunjukkan plot permeabilitas versus porositas yang diperoleh dari total sejumlah sampel dari formasi batupasir. Meskipun formasi ini secara umum mempertimbangkan kesamaan dan homogeny, ini tidak secara spesifik mendefinisikan trendline antara nilai permeabilitas dan porositas. Dalam hal ini, hubungan antara permeabilitas dan porositas adalah secara kualitatif dan bukan secara secara kuantitatif baik langsung langsung maupun tidak langsung. Seringkali Seringkali terdapat korelasi antara permeabilitas dan porositas dalam satu formasi, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.101. Chilingarian menunjukkan bahwa komposisi granulometrik dari batupasir mempengaruhi hubungan antara permeabilitas dan porositas. Gambar 2.102 adalah plot semilog dari permeabilitas versus porositas untuk (1) butiran sangat kasar (very-coarsed), (2) butiran kasar dan sedang, (3) butiran halus, (4) silt, dan (5) clayey sandstone. Gambar 2.103 menunjukkan tipe trend permeabilitas dan porositas untuk berbagai jenis batuan. Hubungan ini sangat berguna dalam memahami aliran fluida dalam media berpori.
140
Gambar 2.100. Hubungan permeabilitas - porositas (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
Gambar 2.101. Hubungan permeabilitas - porositas (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
141
Gambar 2.102. Pengaruh ukuran butir terhadap hubungan antara permeabilitas dan porositas (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”) ”Petrophysics”)
Gambar 2.103. Tipe hubungan permeabilitaspermeabilitas-porositas untuk berbagai jenis batuan (courtesy of Core Laboratories) Laboratories) (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”) ”Petrophysics”)
142
2.1.3.1. Korelasi Kozeny
Penurunan Kozeny salah satu korelasi yang popular dalam menghasilkan permeabilitas sebagai fungsi porpsitas dan spesifik area permukaan. Mempertimbangkan sampel batuan yang porous dengan area cross -sectional A dan panjang L dalam total, n, pipa kapiler yang lurus disusun parallel, dengan ruang r uang antara penjepit pipa dengan material semen. Jika semua pipa kapiler mempunyai radius yang sama r (cm) dan panjang L (cm), laju alir q (cm 3/ s) sepanjang pipa, berdasarkan berdasarkan persamaan Poiseuille, Poiseuille, yaitu: …………………………………………………. (2-174) Dimana kehilangan tekanan ∆P dengan panjang L dinyatakan dalam dyne/ cm 2. Hukum Darcy juga dapat emperkirakan aliran fluida sepanjang pipa kapiler tersebut, yaitu: …………………………………………………... (2-175) Dimana Ac adalah total dari area cross -sectional, meliputi zona semen, kumpulan dari pipa kapiler. Persamaan (2 -174) dan (2 -175) diselesaikan dan diperoleh harga k: ………………………………………………………. (2-176) Dengan mendefinisikan porositas: ……………………………………………………. (2-177) Mensubstitusi Ac = nπr 2/ Ф dari persamaan (2 -177) kedalam persamaan (2 -176), diperoleh hubungan yang sederhana antara permeabilitas dan porositas untuk pori pori yang memiliki ukuran ukuran yang sama dan radius yang yang sama untuk r: …………………………………………………………… (2-178) Dimana k = adalah dalam cm 2 (1 cm2 = 1.013 x 10 8 darcy) atau dalam μm 2 (1 mD = 9.871 x 10 -4 μm2) dan Ф dalam fraksi.
143
Svp merupakan area permukaan internal per satuan volume pori, dimana area As untuk n pipa kapiler adalah n(2πrL) dan volume pori Vp adalah n(πr 2L): ……………………………………………. (2-179) SVgr merupakan area spesifik permukaan dari material berpori atau total area yang nampak dalam ruang pori per unit volume butiran. Untuk rangkaian pipa kapiler, total area yang Nampak, A t, adalah ekivalen dengan area permukaan internal A s; dan volume butiran, V gr adalah adalah sama dengan AcL(1 – Ф). Sehingga: ……………………. (2-180) Mengkombinasikan Mengkombinasikan persamaan (2 -179) dan (2-180) menghasilkan: menghasilkan: …………………………………………………... (2-181) Persamaan (2 -178) dapat ditulis menjadi: ………………………………………… (2-182) Mensubstitusi s Vp dari persamaan (2 -182) menghasilkan: ……………………………………………….. (2-183) Setelah area spesifik permukaan per satuan volume pori, s Vp, ditentukan dari data kapiler atau petrographic image analysis (PIA), kemudian persamaan (2 -181) digunakan untuk memperoleh s Vgr . 2.1.3.2. Konsep Flow Unit
Dari beberapa definisi, Flow Unit memiliki karakteristik sebagai berikut: 1.
Flow Unit merupakan volume spesifik reservoir, tersusun dari satu atau lebih litologikualitas li tologikualitas reservoir. reservoir.
2.
Flow Unit bersifat korelatif dan dapat dipetakan pada skala interval.
3.
Penzonaan Flow Unit dapat dikembangkan pada wire -line log.
4.
Flow Unit merupakan komunikasi dengan unit aliran lainnya.
144
Gunter et al, memperkenalkan memperkenalkan metode secara grafis untuk mengidentifikasi flow unit suatu reservoir berdasarkan kerangka geologi, sifat fisik batuan, kapasitas penyimpanan, kapasitas alira, kecepatan proses reservoir. Berdasarkan parameter tersebut, berikut lima langkah untuk mengidentifikasi dan mengkarakterisasi mengkarakterisasi flow unit: 1.
Mengidentifikasi batuan dan mengilustrasikan dengan cross plot porositas- permeabilitas permeabilitas Withland (Gambar (Gambar 2.104).
2.
Membuat stratigraphic modified Lorenz plot (SMLP) dengan menghitung pada dasar kaki -kaki persen kapasitas aliran (ketebalan permeabilitas) dan persen penyimpanan penyimpanan aliran (ketebalan porositas) (Gambar 2.105).
3.
Memilih interval flow unit berdasarkan titik infleksi dari SMLP. Langkah ini harus diverifikasi menggunakan kurva SFP geologic framework R35 (menghitung radius saluran pori pada 35% saturasi merkuri) dan rasio K/ Ф.
4.
Mempersiapkan final stratigraphic flow profile (SFP) dengan kurva korelasi, porositas - permeabilitas permeabilitas rasio k/ Ф, R35, persen penyimpanan, dan persen kapasitas.
5.
Merekonstruksi MLP (modified Lorenz Plot) dengan menggunakan final flow unit dalam menurunkan unit kecepatan (FUS).
Gambar 2.104. Sketsa plot permeabilitaspermeabilitas-porositas Withland (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
145
Gambar 2.105. Sketsa stratigraphic modified Lorenz plot (SMLP) (SMLP) (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
2.1.3.3. Teori Matematis Flow Unit
Konsep hydraulic flow unit didefinisikan sebagai volume yang mewakili volume total batuan reservoir yang termasuk sifat -sifat geologi, dimana sifat ini mengontrol aliran fluida yang secara internal berbeda dan dapat diperkirakan perbedaan tersebut dengan sifat fisik batuan lainnya. Jadi, flow unit dibedakan berdasarkan berdasarkan sifat petrofisika dan parameter geologi tertentu. Hydraulic unit berhubungan berhubungan dengan penyebaran penyebaran fasies geologi akan tetapi tidak selalu bertepatan dengan batas fasies. Bagaimanapun juga hydraulic unit fapat terdiri dari beberapa tipe lithofacies batuan tertentu, tergantung dari tekstur pengendapan dan kandungan mineraloginya. Pengelompokan batuan berdasar pada prinsip geologi dalam atribut aliran merupakan dasar dari klasifikasi hydraulic h ydraulic unit. Parameter utama yang mempengaruhi aliran fluida adalah atribut geometri pori. Pada gilirannya, gilir annya, geometri pori dipengaruhi oleh mineraloginya (tipe, lokasi dan pelimpahan) serta tekstur dari batuannya (ukuran butir, bentuk butir, sorting, dan packing). Pendekatan dengan menggunakan konsep jari - jari jari hidrolik rata-rata (mean hydraulic radius , r mh mh) menjadi model untuk mengkorelasi porositas, permeabilitas, dan dan tekanan kapiler kapiler dengan persamaan persamaan (2 -184) sebagai berikut: r mh mh =
= ……………………... (2-184) ℎ ℎ
146
Untuk saluran pori model tabung silinder digunakan persamaan: r mh mh =
…………………………………………………………….. (2-185) 2
Dengan mengambil konsep r mh mh ini, Kozeny dan Carman menganggap bahwa pori reservoir sebagai kumpulan pipa - pipa pipa kapiler. kapiler. Mereka menggunakan menggunakan Hukum Poisseuille dan darcy untuk menurunkan hubungan antara porositas dan permeabilitas. Asumsi utama yang dipakai adalah bahwa waktu tempuh elemen fluida di dalam pipa kapiler sama dengan waktu tempuh elemen fluida dalam satuan elemen volume di reservoir, serta porositas yang dipakai adalah porositas efektif, yang dinyatakan dalam persamaan: k = Фer 2 / 8r 2 = (Фe / 2r 2) x (r/ 2)2 = (Фermh2) / 2r 2 ………………. (2-186) Substitusi persamaan (2 -186) ke dalam persamaan (2 -185), Kozeny dan Carman memperoleh persamaan (2 -187). k = [Фe2 / (1- Фe)2] x [(1/ 2τ2Sgv2)] ………………………………... (2-187) Secara umum persamaan Kozeny – Carman ditulis sebagai berikut: k = [Фe2 / (1- Фe)2] x [(1/ Fsτ2Sgv2)] …………………………….. (2-188) Dimana Fs adalah faktor bentuk ( shape factor ) yang bernilai 2 untuk model silinder. Suku F sτ2 disebut dengan Konstanta Cozeny, yang dalam kenyataannya merupakan konstanta yang jadi variable, konstan pada unit yang sama tetapi berubah pada unit yang berbeda. Variabilitas konstanta Cozeny ini bervariasi mulai dari dari 5 hingga 100 pada batuan di di reservoir. reservoir. 2.1.3.4. Specific 2.1.3.4. Specific Surface Surface Area Area
Specific surface area dapat
diperkirakan setidaknya dengan tiga cara:
metode adsorpsi gas, petrographic image analysis (PIA), dan nuclear magnetic resonance (NMR).
Metoda dasar untuk mengukur area permukaan ( surface area)
dari teknik adsorpsi gas melibatkan penentuan kuantitas gas inert, seperti nitrogen, argon, atau krypton, dibutuhkan untuk membentuk ketebalan lapisan satu molekul
147
pada permukaan dari suatu sampel pada temperature kriogenik. Area dari sampel kemudian dihitung dengan menggunakan area yang diketahui, dari pertimabangan lainnya, terdapat beberapa molekul gas pada kondisi tersebut. Metode adsorpsi gas lebih luas digunakan dalam penentuan specific surface area suatu material. Sedangkan, terbatas untuk media berpori yang tidak mempunyai spesifik permukaan yang besar, besar, dan dimana butiran matriksnya halus dan teratur, seperti sphericity > 0.7 dan roundness > 0.5, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.106.
Gambar 2.106. Perbedaan bentuk roundness dan roundness dan sphericity (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
Metode
petrographyc
image
analysis
(PIA)
digunakan
untuk
mengkarakterisasi pori - pori pori batuan jika ketersediaan sampel lengkap. Spesifik permukaan pori dapat ditentukan dari: ………………………………………………………….. (2-189) Dimana Lp dan Ap merupakan pori perimeter dan pori cross -section. Menggunakan PIA, planar pore shape factor f f ps dapat ditentukan sebagai berikut: ……………………………………………………….… (2-190)
148
Faktor f ps ditunjukkan dalam Tabel II -12. Kisaran harga f ps ps adalah 3.75 sampai 5.84. Tidak terdapat hubungan praktis antara faktor bentuk pori 2D f ps ps, dan faktor bentuk pori 3D K ps. Untuk ideal pori spherical f ps = 1 dan K ps = 6. Tabel IIII-12. Faktor bentuk pori 2D PIA (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
Pendekatan metode nuclear magnetic resonance atau NMR saat sekarang ini merupakan metode yang paling akurat untuk memgestimasi specific surface area. Dalam hal ini, specific surface area s Vgr dan dan s pv diperoleh dari: SVgr = A NMR ρm ……………………………………………………. (2-191) S pv =
1−ФФ) A
NMR ρm ……………………………...……………… (2-192)
Keterangan: A NMR = NMR surface area dari material kering, m 2/ g ρm
= densitas butiran matrix, g/ cm 3
SVgr = specific surface area per unit volue butiran, m 2/ cm3 Nilai s pv dan sVgr yang diperoleh dari NMR secara umum lebih tinggi dibandingkan nilai yang diperoleh dari PIA atau metode adsorpsi gas. Beberapa
149
kajian menemukan bahwa bahwa specific surface area, yang diukur dengan ketiga metode tersebut, berhubungan dengan saturasi air irreducible atau saturasi air dengan hubungannya secara umum, yaitu: S pv = ae bsw ………………………………………………………… (2-193) Dimana a dan b merupakan konstanta korelasi. Zemanek menginvestigasi reservoir batupasir yang memiliki resistivitas rendah dan menemukan area permukaan yang diukur dengan metode NMR secara kuantitatif tepat dengan sayurasi air irreducible dari data kurva tekanan kapiler. Gambar 2.107 dan 2.108 menunjukkan korelasi yang baik antara s pv dan s w dan s wi, masing -masing: S pv = 66.894e0.0224swi ……………………………………………... (2-194) S pv = 66.493e0.0339swi ……………………………………………... (2-195) Dimana Sw dan Swi dinyatakan dalam persen dan Spv dalam m 2/ cm3. Nilai dari Spv yang digunakan dalam Gambar 2.107 dan 2.108 yang diperoleh dari persamaan (2-192).
Gambar 2.107. Saturasi air irreducible sebagai fungsi surface area (s area (spv) dalam formasi batupasir (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
150
Gambar 2.108. Saturasi air sebagai fungsi surface area (s area (spv) dalam formasi batupasir (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
2.1.3.5. Faktor – Faktor Karakteristik Flow Unit 2.1.3.5.1. Reservoir 2.1.3.5.1. Reservoir Quality Quality Index (RQI) (RQI)
Amaefule et al. juga memperkenalkan konsep indeks kualitas reservoir (RQI), (k/ Ф)1/2, mempertimbangkan saluran pori, distribusi pori dan butiran, dan skala makroskopik lainnya. Membagi kedua bagian persamaan (2 -196) dengan porositas dan mengakarkan mengakarkan kedua kedua bagian persamaan, persamaan, menghasilkan menghasilkan persamaan (2 197). ……………………………………….. (2-196) Keterangan: K
= permeabilitas, μm2
Фe
= porositas efektif
sVgr
= specific surface area per satuan volume butiran
τ
= tortuosity dari alur aliran
K T
= efektif zoning faktor
151
………………………………………... (2-197) Jika permeabilitas dinyatakan dalam milidarcy dan porositas dalam fraksi, maka persamaan (2 -197) dapat menghasilkan parameter baru, yang didefinisikan sebagai reservoir quality index (RQI), RQI yang merupakan parameter yang ditulis dalam persamaan (2 -198) mendefinisikan derajat kualitas batuan reservoir berdasarkan berdasarkan nilai permeabilitas dan porositas batuannya. batuannya. ……………………………………………...… (2-198) 2.1.3.5.2. Flow Zone Indicator (FZI) (FZI)
Indikator zona aliran (FZI) didefinisikan sari persamaan p ersamaan (2 -197) sebagai: ……………………………………………………. (2-199) Sehingga persamaan (2 -197) dapat ditulis menjadi: RQI = FZI(Фz) ………………………………………………...…. (2-200) Dimana Фz merupakan rasio volume pori terhadap volume butiran : ……………………………………………………….. (2-201) Dengan menggolaritmakan persamaan (2 -200) di kedua bagiannya menghasilkan: Log (RQI) = log (Ф z) + log (FZI) ………………………………... (2-202) Persamaan (2 -202) menghasilkan garis lurus pada plot log -log dari RQI versus Ф z dengan suatu slope atau kemiringan. Intersepsi dari garis lurus ini pada Ф z = 1 merupakan indicator zona aliran. Slope yang lebih besar dari satu mengindikasikan dormasi shaly. 2.1.3.5.3. Tiab Flow Unit Characterization Factor (H (HT)
Sneider dan King menunjukkan bahwa sifat fisik batuan dari batupasir dan konglomerat dapat berhubungan dengan ukuran butir dan pemilahan, derajat kekompakan batuan, sementasi, ukuran pori, dan pori yang berhubungan. Persamaan (2 -196) dapat ditulis menjadi:
152
………………………………………….. (2-203) HT disebut sebagai Tiab Flow Unit Characterization Factor. Mensubstitusi untuk K T = τK ps dan sVgr (persamaan (persamaan 2 -189), HT menjadi: …………………………………………………... (2-204) Tortuosity dapat diperkirakan dari: τ = Ф1-m ………………………………………………………….... (2-205) Mensubtitusi τ ke dalam persamaan (2 -204) menghasilkan persamaan umum untuk Tiab Flow Unit Characterization Factor : ………………………………………………... (2-206) Faktor karakteristik Tiab Flow Unit mengkombinasikan semua sifat -sifat petrofisik dan geologi yang disebutkan diatas oleh Snyder dan King. Sebagai catatan bahwa H T dan FZI dihubungkan dengan persamaan berikut: …………………………………………………………... (2-207) Bagian kanan dari persamaan (2 -203) juga disebut sebagai H T, yaitu: …………………………………………………………….. (2-208) HT yang diperoleh dari persamaan (2 -206) merefleksikan sifat mikroskopik petrofisik, sedangkan sedangkan H T yang dihitung dar persamaan (2 -208) merefleksikan flow unit pada skala makroskopik. Jika parameter petrofisik dalam persamaan (2 -206) dapat diukur dengan akurat, kemudian plot log -log dua parameter H T dapat digunakan untuk menormalisasi data. Mensubstitusi H T (persamaan 2 -206) ke dalam persamaan (2 -203) dan penyelesaian untuk permeabilitas adalah: ……………………………………….. (2-209)
153
2.1.3.5.3. Free Fluid Index (FFI) (FFI)
Volume bulk air biasanya digunakan untuk mengindikasikan baik atau tidaknya saturasi air irreducible suatu reservoir. Ini sama dengan hasil total porositas dan saturasi air, air, Sw: BVW = ФSw ……………………………………………………… (2-210) Reservoir dengan saturasi air sama dengan saturasi air irreducible atau connate memproduksi air – bebas hidrokarbon karea air terdapat pada pori yang kecil dan disebabkan disebabkan oleh tegangan t egangan permukaan permukaan dan tekanan t ekanan kapiler. kapiler. Dalam hal bulk volume air didefinisikan sebagai bulk water volume irreducible (BVI) dan diperkirakan dengan: BVI = ФSwir ……………………………………………………… (2-211) Indeks fluida bebas (FFI) didefinisikan sebagai hasil dari saturasi hidrokarbon dan porositas. Ini merupakan suatu pengukuran movable liquid, minyak dan/ atau air, sehingga ini dihubungkan dengan flow unit. Ini diperoleh dari peralatan MNL. Secara matematika, dinyatakan: FFI = Ф (1 – Swir) ………………………………………………... (2-212) Coates dan Denoo menghubungkan permeabilitas dengan FFI sebagai berikut: ……………………………………………… (2-213)
2.1.3.6. Pengaruh Packing Pengaruh Packing terhadap terhadap Permeabilitas
Slichter merupakan yang pertama dalam mendemonstrasikan bentuk matematis dari pengaruh packing dan ukuran butir terhadap permeabilitas. Persamaan semi -empirik nya, yaitu: ………………………………………………...……… (2-214)
154
Dimana k merupakan permeabilitas dalam Darcy, d gr merupakan merupakan diameter butiran spherical dalam mm, dan a p merupakan konstanta packing, yang dapat diestimasikan dari: a p = 0.97Ф-3.3 ……………………………………………………... (2-215) Mensubstitusikan persamaan (2 -215) ke dalam persamaan (2 -214) menghasilkan: k = 10.5dgr Ф-3.3 …………………………………………………… (2-216) Korelasi ini berlaku terutama t erutama untuk formasi batupasir. batupasir. 2.1.3.7. Pengaruh Saturasi Air terhadap Permeabilitas
Wylline dan Rose menginvestigasi pengaruh saturasi air irreducible dan porositas terhadap permeabilitas absolut, dan mengembangkan mengembangkan korelasi empiric berikut: ……………………………………………………... (2-217) Dimana awr merupakan konstanta yang tergantung pada densitas hidrokarbon. Untuk berat medium minyak a wr = = 250 dan untuk gas kering a wr = = 79, k dalam Darcy, dan Ф dan Swi dalam fraksi. Dengan 250 2 ≈ 10 x 79 2, persamaan (2-217) mengindikasikan bahwa, untuk harga Ф dan Swi yang sama, k o ≈ 10 k g. Persamaan (2 -217) hanya digunakan dalam terdapatnya sedimen klastik. Persamaan yang sama yang diturunkan oleh Timur, yaitu: …………………………………………………….... (2-218) Dimana permeabikitas dalam mD dan Swi dan Ф dinyatakan dalam persen. Persamaan (2 -218) tidak tergantung pada tipe atau jenis hidrokarbon dalam media berpori. Persamaan (2 -214) sampai (2-218) biasanya digunakan untuk memperoleh estimasi distribusi permeabilitas dari well log data. Jika porositas dan saturasi air irreducible digunakan dalam bentuk fraksi, persamaan (2 -218) menjadi: …………………………………………………….… (2-219)
155
2.1.3.8. Hubungan Permeabilitas – Porositas dalam Batuan Karbonat
Hubungan antara permeabulitas dan porositas dalam formasi batuan karbonat berhubungan berhubungan dengan ukuran butir dari matriks m atriks batuan, ukuran dari ruang intergranular pori, jumlah dari unconsolidated vug (rekahan dan larutan), dan ada atau tidak adanya connected vug. Gambar 2.109 merupakan plot log -log dari hibungan permeabilitas – porositas untuk berbagai kelompok ukuran partikel dalam batuan uniformly cemented nonvuggy . Plot ini mengindikasikan bahwa terdapat alasan yang bagus mengenai hubungan hubungan antara 3 buah parameter para meter sifat fisik batuan dan, sehingga, jika ukuran partikel dan matriks porositas diketahui, permeabilitas (dalam milidarcy) dari bagian nonvuggy batuan karbonat dapat diestimasi dari: ………………………………………………..….. (2-220a) Keterangan: Фma
= matriks porositas, fraksi
Agr
= koefisien ukuran butir, dimensionless
Amcp
= koefisien sementasi – kompaksi, dimensionless
Nilai dari koefisien – koefisien tersebut berhubungan dengan diameter rata-rata partikel d gr , sebagai berikut: 1.
Untuk dgr kurang dari 20 μm, nilai dari Agr dan Amcp adalah 1.5 x 10 3 dan 4.18
2.
Untuk dgr dalam n yang berkisar dari 20 sampai 100, Agr = 2.60 x 10 5 dan Amcp = 5.68
3.
Untuk dgr lebih besar dari 100 μm, nilai dari Agr dan Amcp adalah 8.25 x 108 dan 8.18
Jika distribusi dari sementasi atau kompaksi tidak seragam, konstanta Amcp akan terpengaruh. Sementasi Patchy cemderung untuk menghasilkan nilai yang lebih tinggi dari Amcp, sehingga menurunkan permeabilitas. Untuk mengetahui pengaruh rekanan yang tidak kompak dan rongga rongga pada porositas inter - partikel, partikel, Lucia menguji jumlah yang besar dari batuan
156
karbonat dan mengukur secara visual fraksi dari total matriks porositas berdasarkan berdasarkan tipe dari vug nya. Dia menemukan bahwa pengaruhnya adalah meningkatkan inter - partikel partikel matriks porositas dengan sedikit atau tidak meningkatkan permeabilitas matriks. Berikut dibawah ini prosedur untuk memperkirakan permeabilitas dalam batuan karbonat yang mengandung unconnected vug: 1.
Mengukur total porositas (inter - partikel partikel dan unconnected unconnected vug), Ф t, dari well log atau core analysis
2.
Memperkirakan secara visual porositas unconnected vug, Ф u
3.
Menghitung intergranular porosity matriks (Ф ma), yaitu: ………………………………..………………. (2-220b)
4.
Memperkirakan ukuran rata -rata partikel, dgr , mengguakan kompaktor atau micrometer
5.
Menghitung permeabilitas dari matriks nonvuggy, k ma, menggunakan persamaan (2-220).
Craze dan Bagrintseva mendemonstrasikan pengaruh litologi terhadap hubungan porositas dan permeabilitas. Berdasarkan data core dari cretaceous Edward limestone (Gambar 2.110), Craze mencatat bahwa akibat perubahan tekstur dari mikrogranular ke butiran kasar, permeabilitas meningkatkan porositas. Chilingarian et al. menggunakan data Bagrintseva dan menurunkan beberapa korelasi korelasi antara permeabilitas permeabilitas dan porositas dengan dengan mempertimbangkan mempertimbangkan 2 variable tambahan, yaitu saturasi fluida irreducible dan specific surface area. Persamaan umum dari korelasi tersebut, yaitu: ……………..… (2-221) Keterangan: K
= permeabilitas, mD
Swr
= saturasi air residual, %
Svp
= specific surface area
Фo
= porositas terbuka, %
157
Gambar 2.109. Pengaruh ukuran partikel terhadap hubungan permeabilitas – porositas dalam uniformly cemented nonvuggy carbonate (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
158
Gambar 2.110. Hubungan antara porositas dan permeabilitas untuk berbagai jenis cretaceous cretaceous Edward limestone (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
2.1.3.8.1. Perkiraan Permeabilitas pada Batuan Karbonat
Meskipun porositas absolut yang disediakan oleh rekahan alami diabaikan (< 3%), porositas efektif dipertimbangkan karena rekahan berhubungan dengan volume pori yang ada. Akibatnya, permeabilitas reservoir dan perolehan minyak akan meningkat. Banyak metode yang dikembangkan untuk mengestimasi permeabilitas rekahan, meliputi model parallel plate, electric analog system, core analysis, well logging, analisa tekanan transien. Persamaan untuk laju alir volumetric antara dua plate, dikombinasikan dengan hokum Darcy, menghasilkan pendekatan mendasar untuk memperkirakan permeabilitas rekahan dan pengaruhnya pengaruhnya terhadap aliran fluida dalam batuan rekah alam. Parson menggunakan pendekatan ini untuk menyatakan permeabilitas total dari system rekahan matriks dimana rekahan vertikal terdapat dalam ruang yang khusus dan mendasar secara relative pada gradient tekanan secara keseluruhan. Murray menggunakan model parallel plate dan pendekatan geometric untuk melipat batuan untuk mendemonstrasikan bahwa, dalam lipatan dengan rekahan
159
normal sampai bedding dan parallel sampai lipatan axis, porositas rekahan dan permeabilitas merupakan fungsi dari ketebalan dasar (bed) dan curvature. Dia mengasumsikan bahwa perpanjangan rekahan dari dalam sampai luar lapisan. Murray mengaplikasikan pendekatan ini di sebuah kolam Spanish di McKenzie Country, North Dakota, dan mendemonstrasikan hubungan antara area maksimum curvature dan area productivity yang tinggi. Aliran fluida melalui media berpori secara langsung analog dengan aliran listrik. McGuire dan Sikora menggunakan analog ini dan menunjukkan bahwa lebar dari rekahan buatan lebih penting dibandingkan panjangnya dalam mempengaruhi mempengaruhi komunikasi disepanjang rekahan alami. Permeabilitas rekahan tidak dapat diperkirakan secara langsung dari well log. Cara modern adalah mengkombinasikan parameter core dengan data log hasil pemrosesan pemrosesan computer untuk membuktikan hubungan statistic antara permeabilitas dari system rekahan matriks dan berbagai parameter, melipiti distribusi permeabilitas, dapat ditarik dari data log sumur dalam sumur -sumur atau zona tanpa data core. Dalam formasi karbonat, dimana strukturnya heterogenitas dan perubahan structural merupakan hal yang biasa, dan hanya sedikit dari sumur sumur yang dilakukan analisa core karena sulit dan biayanya yang mahal, aplikasi korelasi penurunan statistik sangat terbatas. Watfa dan Youssef mengembangkan model teoritis yang berhubungan secara langsung terhadap panjang arah aliran (tortuosity), perubahan jari - jari jari pori, porositas, dan faktor sementasi m. Model mengasumsikan bahwa: 1.
Suatu media berpori dapat direpresentasikan sebagai rangkaian pipa pipa, yang ditunjukkan ditunjukkan pada Gambar 2.111 2.111
2.
Area cross – sectional disetiap pipa, A a, adalah konstan
3.
Arah aliran dan arah listrik sama dan konduktivitas yang sebenarnya, yaitu resistivitas, dari rangkaian pipa adalah: Ctr = = CwФm …………………………………………………… (2-222) Dimana Cw adalah konduktivitas air dan m adalah faktor sementasi.
160
Gambar 2.111. Model rangkaian pipapipa-pipa (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
Karena konduktivitas apparent Ca yaitu sebuah blok yang mempunyai area cross sectional A dan panjang L yang berhubungan dengan konduktivitas yang sebenarnya sebenarnya Ctr dinyatakan dalam: …………………………………………………………… (2-223) Dimana A merupakan area cross -sectional dari semua pipa, kemudian: ………………………………………………………. (2-224) Mengasumsikan bahwa model rangkaian pipa - pipa pipa mengandung n pipa, konduktivitas pipa (Ci) dapat didefinisikan sebagai: ………………………………………………………… (2-225) dimana Li merupakan panjang dari pipa. Porositas dari pipa adalah seragam. Konduktivitas apparent dari blok adalah total dari konduktivitas masing -masing yang dimiliki oleh semua pipa, sehingga: …………………………………………………... (2-226) Dengan mengasumsikan A 2 adalah konstan: …………………………………………………………. (2-227)
161
Dengan definisi: …………………………………………………….... (2-228) Mengkombinasikan Mengkombinasikan persamaan (2 -222) dan (2-225) menghasilkan: menghasilkan: …………………………………………… (2-229) Dan tortuosity adalah: τ = Ф1-m ………………………………………………………….... (2-230) Menggunakan pendekatan yang sama, pengaruh arah aliran terhadap permeabilitas dapat dapat dievaluasi. Mengaplikasikan Mengaplikasikan persamaan Poiseiulle untuk pipa, pipa, laju aliran dalam pipa, q i, sama dengan: ………………………………………………….... (2-231) Dimana r pai, μ, dan ∆P masing – masing, merupakan jari - jari jari pipa, viskositas fluida, dan penurunan tekanan sepanjang unit blok. Untuk n pipa, laju total aliran q adalah: …………………………………………………. (2-232) Dan, mengasumsikan A 2 adalah konstan, laju alir adalah: ………………………………………………... (2-234) Mengaplikasikan Mengaplikasikan hukum Darcy untuk unit blok, laju alir sama dengan: ……………………………………………………... (2-235) Mengkombinasikan persamaan (2 -228), (2-229). (2-231), (2-232), dan (2-233), sehingga diperoleh permeabilitas apparent apparent dari blok, bl ok, k a: ……………………………………………………. (2-236) Mengkombinasikan Mengkombinasikan persamaan (2 -236) dan (2-228) menghasilkan: menghasilkan: ………………………………………………………. (2-237)
162
Mengasumsikan τ = (ФF R )2, dimana FR adalah faktor resistivitas formasi, persamaan (2-237) menjadi: …………………………………………………….. (2-238) Dan, untuk τ = Ф(F R )2, persamaan (2 -237) menjadi: ………………………………………………………. (2-239) Persamaan ini dengan jelas mengindikasikan bahwa tidak ada korelasi tunggal yang dapat digunakan untuk menentukan permeabilitas formasi hanya dari log. Jika k a dinyatakan dalam mD, r pa pa dalam μm, persamaan (2-237) menjadi: …………………………………………………..… (2-240) Gambar 2.112 merupakan plot semilog dari hubungan ini. Axis Cartesian pada plot ini adalah Ф m. Hal yang penting meliputi dimensi dari flow channel dalam mengembangkan hubungan k – Ф untuk karbonat dengan jelas didemonstrasikan dari plot ini. Persamaan (2 -240) juga dapat diterapkan untuk batupasir, batupasir, diturunkan pada dasar bahwa jari - jari jari pori rata-rata dari flow channel adalah konstan sepanjang unit blok. Sperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.113(A), sedangkan, jari - jari jari pori yang sebenarnya berubah sepanjang arah aliran. Pengaruh perubahan area cross -sectional sepanjang arah aliran dapat dievaluasi dengan mempertimbangkan system dari Gambar 2.113(B) sebagai dua resistor dalam rangkaian. Konduktivitas total C dari system ini berhubungan dengan dua konduktivitas C 1 dan C2 dengan konduktivitas parallel, persamaannya: ………………………………………………………. (2-241) Mensubstitusi persamaan (2 -225) ke dalam persamaan diatas, ini dapat menunjukkan bahwa perubahan konduktivitas disebabkan oleh perubahan jari - jari jari pori, yaitu sebagao sebagao berikut: ………………………………….. (2-242)
163
Gambar 2.112. Variasi k a, Ф , dan rpa untuk system ideal rangkaian pipa m
(Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
Gambar 2.113. Variasi A dan B dalam panjang arah aliran dan jarijari - jari jari pori dengan dengan variasi ukuran butir (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
Dimana Lr = L1/ L (Gambar (2.113B), A r = 1 – A1/ Aa, dan C a adalah konduktivitas apparent dari blok. Mengkombinasikan persamaan Darcy dan Poiseuille, ini dapat menunjukkan bahwa pengaruh perubahan jari - jari jari pori pada permeabilitas yang yang sebenarnya sebenarnya k adalah: …………………………………… (2-243)
164
Dimana k R R merupakan rasio permeabilitas apparent terhadap permeabilitas absolut. Mengasumsikan ∆P = ∆P 1 + ∆P2 dan AaL = A 1L1 + A2L2, persamaan (2 240) menjadi: …………………………………………………….. (2-244)
√ R , persamaan (2-244)
Menambahkan r pe, jari- jari jari pori efektif, sama dengan r pa menjadi:
……………………………………………………... (2-245) Nilai dari r pe dapat berbagai pertimbangan dari nilai jari - jari jari rata-rata, tergantung tergantung pada tekstur dan heterogenitas dalam system. Mempertimbangkan dua system dengan perbedaan ukuran butir dan tidak ada vug atau rekahan (Gambar 2.114). Karena: 1.
Arah yang muncul menunjukkan tortuosity inter -matrix yang sebenarnya s ebenarnya
2.
Tortuosity merupakan fungsi ukuran butir dan biasanya menurun dengan menurunnya ukuran butir
3.
Harga r pe bervariasi dengan variasi ukuran butir
4.
Hubungan antara τ dan r pe pe harus terdapat untuk formasi yang utama. Menggunakan data eksperimental r pa pa, m, Ф, dan k, Wafta dan Youssef menunjukkan r pe dan τ berhubungan seperti yang ditunjukkan berikut: …………………………………………………. (2-246)
Gambar 2.114. Dua system dengan perbedaan ukuran butir dan jari - jari jari pori (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
165
Dimana koefisien a 1 dan a2 dapat ditentukan berdasarkan prosedur berikut: a)
Memperoleh nilai m dan 0 dari log sumur dan k dari analisa core
b)
Menentukan faktor sementasi dari matriks m m dari: …………………………………………….. (2-247) Dimana IS2 merupakan indeks porositas sekunder, SPI, yaitu, Ф t – Ф SL, dimana Фt dan ФSL merupakan porositas total dan porositas log sonig. Gambar 2.115 menunjukkan bagaimana untuk memperoleh m m dari plot sementasi m versus versus SPL. Untuk mengganti mengganti pengaruh rekahan, rekahan, data point untuk IS2 < 1% tidak digunakan untuk memperoleh m m. Dalam bentuk kurva yang tidak linear, linear, dibutuhkan ketelitian ketika mengekstrapolasi kurva untuk harga I S2 = 1 untuk memperoleh m m pada axis m.
c)
Menentukan harga dari jari - jari jari pori efektif r pe dari persamaan (2 -245).
d)
Menghitung tortuosity
e)
Membuktikan data bank untuk r pe pe dan τ, dan plot log r pe pe versus
f)
Menggambar garis lurus yang tepat. Bentuk umum dari garis ini
√ .
diberikan dari persamaan (2 -247). g)
Menentukan koefisien korelasi a 2 dari r pe log l og-axis pada dari axis pada r pe = 1.
√
√ = 0 dan a
1
Gambar 2.115. Estimasi harga faktor interinter -matriks Archie (mm) dari cross plot faktor Archie (m) dan indeks porositas sekunder (I S2) (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
166
2.1.3.9. Permeabilitas Berarah
Dalam reservoir yang homogeny, permeabilitas diasumsikan sama untuk setiap arahnya. Sedangkan, dalam reservoir yang heterogen, permeabilitas dalam arah horizontal dipertimbangkan berbeda dengan permeabilitas dalam arah y dan z. Akibatnya adalah perubahan permeabilitas dalam arah yang berbeda pada perolehan alami suatu reservoir dan efisiensi dari proyek waterflood sangat penting secara signifikan. Analisa Analisa horizontal uji sumur dan pemilihan teknik zona uji sumur menyediakan menyediakan perkiraan permeabilitas absolut. 2.1.3.9.1. Anisotropi
Permeabilitas berarah sering digunakan untuk menunjukkan derajat heterogenitas dalam formasi. Dari sudut engineering, pengaruh anisotropi menurunkan atau menaiikan permeabilitas efektif suatu batuan reservoir. Seperti turun atau naiknya permeabilitas efektif terjadi karena meningkatnya permeabilitas dalam satu arah dan turunnya permeabilitas dalam arah yang lain; dengan demikian menghasilkan permeabilitas rata -rata selalu kurang dari permeabilitas yang lebih tinggi dalam setiap arah dalam suatu reservoir. reservoir. Sebagai contoh, reservoir dengan rekahan vertikal mempunyai permeabilitas rekahan yang lebih tinggi dalam arah vertikal dan permeabilitas matriks yang rendah dalam arah horizontal. Sebagai variasi dalam permeabilitas disebut sebagai anisotropi. …………………………………………………………….. (2-248) Permeabilitas horizontal (k H) dan permeabilitas vertikal (k V) ditentukan dari anlisa core. k H dan k V dapat lebih akurat ditentukan dari uji interference. Pemilihan anlisis zona uji sumur dalam lubang sumur yang sama digunakan untuk memperkirakan permeabilitas vertikal. Untuk menembus sumur, secara instan, biasanya dikembangkan aliran spherical; yang dapat dianalisa untuk memperkirakan permeabilitas vertikal dan horizontal seperti yang ditunjukkan Gambar 2.116. Hubungan antara perbedaan sifat -sifat fisik batuan dan saturasi fluida dengan jelas ditunjukkan untuk batuan clean sandstone. Beberapa model empiric
167
telah dikembangkan untuk menghitung saturasi air, dan semua parameter yang dibutuhkan untuk evaluasi clean reservoir. Permeabilitas vertikal dalam formasi normalnya berbeda dari permeabilitas horizontal, bahkan ketika sistemnya homogeny. Sebagai anisotropi vertikal mempengaruhi secara umum hasil pengendapan pengendapan lingkungan dan sejarah kompaksi setelah pengendapan pengendapan dari formasi. Seperti yang didiskusikan diawal, dalam formasi batupasir tanpa shale ukuran butir, faktor bentuk, dan orientasi partikel merupakan faktor yang paling penting dalam hubungan k V – k H (Gambar 2.117).
Gambar 2.116. Kurva tekanan dan derivative tekanan mengindikasikan aliran spherical dari penentuan permeabilitas vertikal (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
168
Gambar 2.117. Orientasi atau core plug yang digunakan untuk mengukur permeabilitas horizontal dan vertikal (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
2.1.3.9.2. Hubungan antara K H dan K V 2.1.3.9.2.1. Formasi Clean Sandstone
Tiab et al. mengkorelasikan permeabilitas horizontal dan permeabilitas vertikal untuk lower Devonian sandstone dari Cekungan Illizi, Algeria, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.118, dan memperoleh korelasi berikut: ………………………………………….. (2-249) Keterangan: k V
= permeabilitas vertikal, mD
k H
= permeabilitas horizontal, mD
Фe
= porositas efektif, fraksi
Persamaan ini mengindikasikan hubungan yang kuat antara jari - jari jari hydraulic rata-rata dan permeabilitas vertikal. Gambar 2.119 mengindikasikna korelasi yang
169
sangat bagus antara perhitungan harga k V, menggunakan persamaa (2 -249), dan pengukuran pengukuran core k V. Gambar 2.120 menunjukkan plot dari harga permeabilitas vertikal versus hasil diameter rata -rata butiran dan radius rata -rata hydraulic. Kurva antara dua parameter tersebut, tersebut, yaitu sebagai sebagai berikut: …………………………………….… (2-250) Model Coated an Denoo memasukkan dalam perhitungan porositas dan saturasi air irreducible dalam perkiraan permeabilitas horizontal. Korelasi tersebut untuk memperkirakan permeabilitas horizontal dari porositas dan saturasi air irreducible, yaitu: ……………………………………………. (2-251) Mensubstitusi persamaan (2 -251) ke dalam persamaan (2 -249) menghasilkan: ……………………………….. (2-252) Persamaan (2 -252) dapat digunakan untuk mengembangkan profile permeabilitas vertikal dalam sumur, menggunakan Swi dan Ф dari log dalam batuan clean sandstone.
Gambar 2.118. Hubungan antara radius ratarata -rata hydraulic dan permeabilitas vertikal dalam lower Devonian sanstone dari sanstone dari Cekungan Illizi, Algeria (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
170
Gambar 2.119. Hubungan antara pengukuran permeabilitas vertikal pada sample core dan prediksi permeabilitas permeabilitas vertikal dari persamaan (2(2 -249) (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
Gambar 2.120. Hubungan antara permeabilitas vertikal dan hasil diameter rata -rata butiran dan radius ratarata -rata hydraulic dalam lower Devonina sandstone dari sandstone dari Cekungan Illizi, Algeria (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
171
2.1.3.9.2.2. Formasi Shaly Formasi Shaly Sandstone
Permeabilitas dalam dalam formasi shale shale heterogen heterogen dipengaruhi oleh oleh distribusi shale secara alami dalam batuan. Shale terdapat dalam bentuk dispersi dan laminasi. Secara keseluruhan kualitas reservoir dalam batuan heterogen dikontrol oleh diagenesis, dissolusi feldspar dan karbonat, crystal feeding, redistribusi mineralogy dari clay, variasi proses sementasi. Tiab dan Zahaf menghubungkan permeabilitas vertikal dengan radius rata -rata hydraulic. Mereka mendefinisikan tiga bentuk umum korelasi antara permeabilitas vertikal dan permeabilitas horizontal sebagai berikut: a)
Permeabilitas vertikal sebagai fungsi radius rata -rata hydraulic: …………………………………………….. (2-253)
b)
Permeabilitas vertikal sebagai fungsi clay content: …………………………………… (2-254)
c)
Permeabilitas vertikal sebagai fungsi ukuran butir rata -rata: ………………………………………….… (2-255)
Dimana A1, A2, A3, B 1, dan B3 merupakan koefisien dan harus ditentukan untuk formasi yang spesifik. 2.1.3.10. Heterogenitas Reservoir
Heterogenitas reservoir dapat terjadi pada suatu reservoir, dimana kondisi seperti ini paling ideal dan paling banyak didapatkan di reservoir. Variasi parameter reservoir dapat diidentifikasikan antara lain dengan cara interpretasi log. 2.1.3.10.1. Pengertian Heterogenitas Reservoir
Heterogenitas reservoir adalah tingkat ketidakseragaman suatu reservoir dalam hal karakteristik batuan dan fluida reservoir dari suatu tempat dengan tempat lain dalam reservoir yang sama.
172
Heterogenitas reservoir dapat terjadi dalam skala ukuran pori ataupun ukuran daerah regional reservoir. Perubahan tersebut dapat terjadi baik secara alamiah maupun buatan akibat adanya invasi lumpur bor, stimulasi atau akibat oleh adanya penginjeksian fluida dari permukaan.
2.1.3.10.2. Klasifikasi Heterogenitas Reservoir
Berdasarkan skala atau ukuran dari ketidakseragaman yang terdapat di dalam reservoir, maka heterogenitas reservoir dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu : 2.1.3.10.2.1. Heterogenitas Heterogenitas Reservoir Skala Mikroskopis
Heterogenitas reservoir skala mikroskopis merupakan pencerminan dari ukuran pori – pori, bentuk dan ukuran butiran material penyusun batuan serta distribusinya. Pengendapan primer dikontrol oleh adanya besar butir, pemilahan, kandungan material clay, derajat sementasi dan kompaksi batuannya. Pada batuan reservoir sedimen klastik yang dangkal terlihat tekstur pengendapan primer dan dipakai untuk mengontrol karakteristik pori – pori. pori. Diagenesa merupakan proses perubahan dalam batuan sedimen pada temperatur rendah setelah litifikasi. Litifikasi merupakan proses perubahan depossisi sedimen menjadi batuan keras. Adapun faktor
– faktor pengontrol
heterogenitas reservoir skala mikroskopis, adalah sebagai berikut : 1. Pelarutan CaCO3 CaCO3 + H2O + CO2 Ca(HCO3 )2 + H2O Air yang melalui celah batuan (terutama batuan karbonat), akan melarutkan limestone dan meningkatkan porositas porositas batuan. 2. Kristalisasi Ca(HCO3)2 Pembentukan kristal Ca(HCO3 )2 dari CO2 dan H2O pada temperature tinggi akan mengakibatkan turunnya porositas porositas batuan. 3. Dolomitasi CaCO3 + MgCl2 CaMg(CO3 )2 + Cl2 Pembentukan dolomite CaMg(CO3 )2 dari CaCO3 mengakibatkan pengkerutan ( shrinkage), shrinkage), sehingga meningkatkan porositas batuan.
173
4. Fracturing Bila rekahan tak disertai oleh sementasi, maka dapat menaikkan porositas batuan. 5. Kompaksi Kompaks dapat mengakibatkan pengkerutan mineral dan secara langsung akan menurunkan porositas. Heterogenitas skala mikro penting dalam menentukan distribusi saturasi minyak sisa (residual oil saturation ) dan mempengaruhi distribusi saturasi minyak yang terlampaui ( by passed ) atau yang tidak ikut terdesak.
2.1.3.10.2.2. Heterogenitas Heterogenitas Reservoir Skala Makroskopis
Heterogenitas skala makroskopis ini meliputi susunan lithologi antar beberapa sumur yang diidentifikasikan dengan adanya tekstur primer dalam struktur sedimen yang terdapat dalam batuan reservoir. Heterogenitas skala makroskopis dipengaruhi oleh adanya besar butir, pemilihan dan perlapisan. Meskipun pada perlapisan (cross bedding ) aliran fluida telah dianalisa maka distribusi minyak sisa pada struktur sedimen sangat sulit untuk diidentifikasi. Dalam hal korelasi antar sumur, sifat batuan maupun lithologi serupa dipakai dasar korelasi antar sumur, selama masih dalam reservoir yang sama. Dipandang dari sudut mekanika, heterogenitas skala makroskopis dipengaruhi gaya viscous-capillary-gravity regime regime dalam menentukan perilaku dinamik aliran fluida multifasa. Heterogenitas skala makro sangat berperan dalam menentukan recovery, recovery, sebab berpengaruh pada efisiensi penyapuan vertical. Adapun contoh heterogenitas skala makro adalah variasi porositas dan permeabilitas pada tubuh batupasir endapan pantai (non marine fluviatile sandstone) sandstone) dan delta (bar (bar sand, channel sand ). ).
2.1.3.10.2.3. Heterogenitas Heterogenitas Reservoir Skala Megaskropis
Heterogenitas reservoir skala megaskropis merupakan heterogenitas dengan skala terbesar dan deskripsinya melalui lithologi, stratigrafi, dan
174
lingkungan pengendapan. Heterogenitas ini merupakan akibat dari gaya
– gaya
geologi yang telah bekerja padanya, selama ataupun setelah proses pengendapan berlangsung
dilingkungan
pengendapan
tertentu.
Proses
tersebut
akan
menghasilkan distribusi material pembentuk batuan reservoir, yang pada tahap berikutnya menunjukkan sifat – sifat sifat batuan tersebut. Mr. Robinson (1971) memberikan gambaran aliran dalam reservoir dan faktor pengontrolnya, sebagai berikut : 1. Permeabilitas rata- rata digunakan untuk melakukan peramalan perilaku reservoir. Dan tingkat perbedaan harga permeabilitas yang diakibatkan oleh tingkat pengendapan yang berbeda. 2. Ketidakseragaman permeabilitas mempengaruhi aliran antar lapisan, dan adanya daya dorong air pada saat injeksi air dilakukan. 3. Lapisan shale mempengaruhi ulah kerja reservoir, akibat sifatnya mudah mengembang bila terkena air, maka dapat menurunkan mobilitas fluida yang dikandung.
2.1.3.10.3. Faktor – Faktor – Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Heterogenitas Reservoir
Faktor – faktor yang mengontrol adanya heterogenitas reservoir, antara lain sedimentasi tektonik regional, komposisi dan tekstur batuan serta geometri pori – pori. pori. 2.1.3.10.3.1. Sedimentasi Tektonik Regional
Sedimentasi tektonik regional menyebabkan terjadinya ketidakseragaman, karena dalam suatu reservoir dimungkinkan adanya bermacam
– macam
lingkungan pengendapan, misalnya laut, transisi, dan darat. ketidakseragaman ini didukung oleh proses diagenesa yang menyertainya. Proses diagenesa tersebut terjadi setelah pengendapan sehingga menyebabkan perubahan terhadap porositas maupun permeabilitas. Proses tektonik antara lain patahan, pengangkatan dan ketidakselarasan yang menyebabkan perubahan struktur reservoir. Dengan demikian faktor sedimentasi tektonik regional, diagenesa, dan struktur merupakan kontrol geologi untuk mengetahui adanya ketidakseragaman secara regional (megaskropis).
175
2.1.3.10.3.2. Komposisi Dan Tekstur Batuan
Komposisi dan tekstur batuan merupakan pengontrol geologi untuk mengontrol ketidakseragaman reservoir, terutama antara batuan penyusun reservoir (makro), karena perubahan yang terjadi merupakan perubahan komposisi lithologi dan mineralogi yang mempengaruhi besar ukuran butir maupun batuan reservoir sebelumnya sehingga menimbulkan ketidakseragaman parameter reservoir. Demikian pula dengan tekstur batuan, karena tekstur batuan yang terdiri dari ukuran butir, sortasi, dan kekompakkan yang berpengaruh terhadap volume maupun ukuran pori yang akan mempengaruhi terhadap besar kecilnya kemampuan batuan untuk mengalirkan kembali fluida yang dikandungnya. Hal tersebut dapat dipakai sebagai pengontrol heterogenitas dalam skala makroskopis.
2.1.3.10.3.3. Geometri Pori – Pori – Pori Pori
Geometri dapat berupa ukuran rongga pori, ukuran tubuh pori, peretakan dan kekasaran butir matrik, akan mempengaruhi terhadap besarnya porositas maupun permeabilitas batuan reservoir, dan sekaligus parameter di atas menunujukkan besarnya cadangan yang dapat ditampung dan diproduksikan. Oleh karena itu, geometri pori – pori dapat digunakan sebagai pengontrol heterogenitas reservoir dalam skala mikroskopis.
2.1.3.10.4. Penyebaran Heterogenitas Reservoir
Berdasarkan arah penyebarannya, heterogenitas reservoir dapat dibedakan menjadi : 2.1.3.10.4.1. Heterogenitas Heterogenitas Reservoir Vertikal
Untuk mengetahui heterogenitas arah vertikal, maka perlu diperhatikan parameter – parameter penentu heterogenitas skala megaskropis, makroskopis, dan mikroskopis. Tipe vertikal pada skala megaskropis dicirikan adanya lingkungan
pengendapan
yang
berbeda,
diagenesa
dan
struktur
yang
mempengaruhi komposisi, mineralogi (butiran, matriks, dan semen), serta tekstur
176
seperti butir, sortasi, kekompakan dan kemas di dalam batuan akan menyebabkan reservoir menjadi heterogen. Ukuran butir pada channel dari atas ke bawah semakin besar dan untuk deltaic bar terjadi sebaliknya, kemudian untuk porositasnya semakin ke atas semakin kecil dan ukuran pori – pori semakin ke atas semakin halus, sehingga permeabilitasnya semakin ke atas semakin rendah. Sedangkan untuk saturasi airnya semakin ke atas semakin besar, hal ini disebabkan karena kontinuitasnya semakin ke atas semakin buruk. Untuk lingkungan pengendapan deltaic bars akan bars akan terjadi kebalikan dari channel, baik ukuran butir, sortasi, porositas, ukuran pori, permeabilitas dan saturasi air maupun kontinuitasnya. Pengaruh heterogenitas vertikal disamping mempengaruhi harga porositas, permeabilitas dan saturasi air secara mikroskopis, juga mempengaruhi bentuk kurva tekanan kapiler (Pc) versus saturasi air (Sw). Pada gilirannya tekanan kapiler yang dikombinasikan dengan saturasi air tersebut akan mempengaruhi ketinggian Water Oil Contact (WOC), sehingga perbedaannya akan mengakibatkan miringnya WOC. Pada permeabilitas tinggi akan didapatkan zona transisi (h) yang sempit, sedangkan pada permeabilitas rendah akan terjadi sebaliknya, seperti terlihat pada Gambar 2.121. Demikian juga bila formasi yang ditembus sumur pemboran yang dipengaruhi oleh adanya perlapisan. Dimana setiap lapisan mempunyai tekanan kapiler, sehingga didapatkan kurva tekanan kapiler atau ketebalan zona transisi versus saturasi air yang berbeda untuk setiap lapisan. Heterogenitas vertikal ini akan mempengaruhi kurva tekanan kapiler versus saturasi air, dan akan mempengaruhi zona transisi sehingga mempengaruhi produksi dan komplesinya. komplesinya.
177
Gambar 2.121. Kemiringan Water Oil Contac (WOC) Dikarenakan Perbedaan Permeabilitas (Amyx, J.W., D.M. Bass, Jr. and R.L. Whiting, 1960)
2.1.3.10.4.2. Heterogenitas Heterogenitas Reservoir Horizontal
Heterogenitas jenis ini dapat terjadi baik dalam skala megaskropis, makroskopis maupun mikroskopis. Dalam skala megaskropis, terlihat bahwa reservoir terbatas luasnya, strukturnya dan akibat diagenesa mengakibatkan heterogenitas secara horizontal dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya. Heterogenitas tersebut dapat berupa porositas, permeabilitas, atau kontinuitas, sehingga akan mempengaruhi perilaku reservoir yang bersangkutan. Bila dilihat dalam skala makroskopis, baik untuk komposisi dan tekstur yang terdiri dari lithologi, mineralogi, dan tekstur yang terdiri dari ukuran butir, sortasi, kekompakan dan fabrik akan berpengaruh secara horizontal.
2.1.3.10.5. Penentuan Heterogenitas Reservoir ver ti cal cal heter heter ogeni ogeni ty 2.1.3.10.5.1. Heterogenitas Heterogenitas Vertikal (ver )
Derajat
heterogenitas
properti
reservoir
adalah
suatu
jumlah
penyimpangan karakteristik karakteris tik batuan dari keseragaman atau konstansi yang diukur
178
pada suatu ketebalan reservoir tertentu. Suatu formasi dikatakan mempunyai keseragaman (homogen) apabila keseragaman properties reservoir konstan melewati suatu ketebalan reservoir (koefisien keseragamannya nol). Jika koefisien keseragaman menunjukkan besaran tertentu diantara nol dan satu, maka reservoir tersebut dideskripsikan sebagai reservoir yang heterogen. Terdapat dua metode pendeskripsian heterogenitas vertikal formasi yang sering digunakan, yaitu : 1. Dykstra-Parsons permeability variation (V) 2. Lorenz Coefficient (L)
2.1.3.10.5.1.1. Dykstra-Parsons perm perm eabil it y vari vari ation (V )
Dykstra-Parsons (1950) memperkenalkan konsep koefisient variasi permeabilitas
(V)
yang
merupakan
suatu
pengukuran
secara
statistik
ketidakseragaman suatu set data. Melalui pendiskripasian koefisien variasi permeabilitas (V) tersebut dapat ditentukan koefisien keseragaman formasi pada interval tertentu. Metode Dykstra-Parsons permeability permeability variation (V), diukur dengan menggunakan log normal. Penentuan koefisien (V) dalam metode ini, memerlukan beberapa tahap, yaitu : Tahap 1
: Menyusun data permeabilitas dari besar kekecil yang diperoleh dari sample core.
Tahap 2
: Menghitung persen (%) ketebalan data permeabilitas dari sample.
Tahap 3
: Memplot Memplot nilai permeabilitas dalam skala log (y) dan persen (%) ketebalan dalam skala probabilitas (x), menggunakan kertas grafik log-probabilitas.
Tahap 4
: Menggambar trend line dari data yang di plot.
Tahap 5
: Membaca nilai permeabilitas permeabilitas pada 84.1 % dan 50 % dari ketebalan. Dua angka ini merupakan nilai dari k 84.1 84.1 dan k 50 50.
Tahap 6
: Menghitung Menghitung nilai dari Dykstra-Parsons permeability permeability variation (V), dengan menggunkan persaman dibawah ini.
179
........................................... ................................................................. ........................... ..... (2-256) Contoh : Berikut ini merupakan data hasil analisa konvensional core yang tersedia dari 3 well, yaitu :
Tabel II-13. Hasil Analisa Pengukuran Pengukuran Core (Ahmed Tarek., 2001, Reservoir Engineering Handbook)
Penyelesaian : Tahap 1
: Menyusun data permeabilitas yang yang diperoleh dari sample core, dari besar ke kecil, dan menghitung % perbandingan ketebalan disetiap harga permeabilitas dengan harga ketebalan total.
180
Tabel II-14. Susunan Data Permeabilitas (Ahmed Tarek., 2001, Reservoir Engineering Handbook) Handbook)
Tahap 2
: Plot permeabilitas versus % ketebalan dalam skala log – probabilitas probabilitas yang ditunjukkan gambar 2.122 , dan baca harga : k 50 = 68 md k 84,5 = 29.5 md
181
Gambar 2.122. Plot Permeabilitas Versus Ketebalan (Ahmed Tarek , 2001, ”Reservoir ”Reservoir Engineering Handbook” )
Tahap 3
: Menghitung harga V, dengan menggunakan persamaan 2-256.
Harga v akan nol (0) apabila harga permeabilitas di setiap ketebalan reservoir sama. Hal tersebut menu
njukkan sifat reservoir yang homogen. Hasil
perhitungan diatas menunjukkan bahwa bahwa reservoir bersifat heterogen.
orenz Coe Coeff icient (L ) 2.1.3.10.5.1.2. L orenz
Schmalz dan Rahme (1950) memperkenalkan suatu single parameter yang dapat menggambarkan derajat heterogenitas reservoir di dalam suatu bagian pay zone. Parameter tersebut dinamakan sebagai Lorenz sebagai Lorenz Coefficient (L), (L), dan harganya
182
berkisar antara nol (0) sampai dengan 1. Jika berharga nol (0), maka reservoir tersebut di definisikan sebagai reservoir yang homogen, sedangkan jika L nya berharga 1, maka reservoir tersebut seluruhnya heterogen. Metode perhitungan Lorenz Coefficient (L) (L) dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu : Tahap 1
: Menyusun data permeabilitas dari besar kekecil yang diperoleh dari sample core.
Tahap 2
: Menghitung kumulatif kumulatif kapasitas permebilitas permebilitas
Σkh dan kumulatif
kapasitas volume ΣФh. Tahap 3
: Menormalisasi kedua kumulatif kapasitas (0 – 1). 1).
Tahap 4
: Plot kumulatif kapasitas permeabilitas permeabilitas yang sudah dinormalisasi dinormalisasi versus kumulatif kapasitas volume yang telah dinormalisasi pada suatu grafik kartesian.
Lihat gambar 2.123, menunjukkan menunjukkan suatu distribusi kapasitas aliran. Suatu reservoir yang homogen yang memiliki permeabilitas yang sama diseluruh bagian reservoir akan memberikan plot garis lurus ( straight line). line). Semakin menyimpang plot yang dihasilkan dari garis lurus (lengkungan dipojok atas), maka akan semakin tinggi tingkat heterogenitas reservoir. Plot tersebut dapat digunakan untuk
menggambarkan
heterogenitas
reservoir
secara
kuantitatif
melalui
penghitungan Lorenz Coefficient (L). (L). Persamaan Lorenz Coefficient (L), (L), sebagi berikut :
………………………………... (2 -257) Keterangan : 0 = completely homogeneous 1 = completely heterogeneous
183
Gambar 2.123. Plot Metode Lorenz (Ahmed Tarek , 2001, ”Reservoir ”Reservoir Engineering Handbook” )
Waren dan Price (1960) menggambarkan log-normal hubungan antara variasi permeabilitas (V) dengan Lorenz Coefficient (L) (L) (lihat Gambar 2.124). Hubungan tersebut juga dapat di gambarkan melalui persamaan matematika sebagai berikut.
…… (2-258) …… (2-259)
184
Gambar 2.124. Variasi Permeabilitas dengan Lorenz Coefficient (Ahmed Tarek , 2001, ”Reservoir ”Reservoir Engineering Handbook” Handbook” )
Contoh : Melalui data tabel pada contoh, maka hitunglah Lorenz Coefficient (L) dengan asumsi harga porositasnya sama. Penyelesaian : Tahap 1
: Tabulasi data permeabilitas dari besar ke kecil yang diperoleh dari sample core, hitung kumulatif kapasitas permebilitas kumulatif kapasitas volume tabel berikut :
Σkh dan
Σh yang telah dinormalisasi. Lihat pada
185
Tabel II-15. Hasil Perhitungan Σkh Σkh dan Σh (Ahmed Tarek., 2001, Reservoir Engineering Handbook)
Tahap 2
: Plot kumulatif kapasitas permebilitas volume
Σkh dan kumulatif kapasitas
Σh yang telah dinormalisasi ke dalam skala kartesian (lihat
gambar 2.125). Tahap 3
: Menghitung harga Lorenz harga Lorenz Coefficient (L), melalui perbandingan luas diatas garis lurus (A) dengan luas dibawah garis lurus (B). Menghasilkan Lorenz Menghasilkan Lorenz Coefficient (L) sebesar 0.42
186
Gambar 2.125. Lorenz Chart (Ahmed Tarek , 2001, ”Reservoir ”Reservoir Engineering Handbook” )
Plot
Σkh versus Σh tanpa dinormalisasi biasanya dilakukan untuk
memperhitungkan permeabilitas rata
– rata untuk suatu layer reservoir. Jika
interval ketebalan telah ditetapkan untuk suatu layer reservoir, maka dapat dihitung permeabilitas rata
– rata dari masing – masing layer reservoir.
Perhitungan tersebut dilakukan dengan membandingkan penambahan
Σkh dengan
penambahan ketebalan Σh. Lihat gambar 2.126 berikut.
Gambar 2.126. Penentuan Harga Permeabilitas Rata – Rata – rata rata Sebagai Fungsi dari Ketebalan (Ahmed Tarek, 2001, ”Reservoir Engineering Handbook” )
187
2.1.3.10.5.2. Heterogenitas Heterogenitas Areal
Tingkat heterogenitas secara lateral sangat dipengaruhi oleh lingkungan pengendapan batuan reservoir. Seperti bar pada delta, semakin mendekati laut, maka permeabilitas dan porositasnya semakin besar. Penentuan harga porositas dan permeabilitas reservoir secara lateral sulit untuk didapatkan melalui pengukuran langsung di lapangan. Hal tersebut disebabkan karena setiap lubang bor yang merupakan tempat pengkuran sifat fisik batuan reservoir tidak tersebar dikedalaman setiap feet reservoir. Teknik penentuan distribusi properties reservoir (porositas dan permeabilitas) secara geostatistik telah dikembangkan. Salah satu metode geostatistik yang terbaik dalam penentuan distribusi properties properties reservoir adalah metode interpolasi dan ekstrapolasi. Interpolasi dan ekstrapolasi diantara data yang yang diketahui dilakukan untuk mengetahui harga data disekitarnya. Terdapat beberapa metode iterpolasi dan ekstrapolasi konvensional yang bisa di terapkan untuk menentukan nilai pada posisi lokasi yang berbeda. Sebagian besar metode ini menggunakan persamaan berikut ini:
............................................ ................................................................ .................... (2-260) Dengan
........................................... .................................................................. ....................................... ................ (2-261)
Keterangan : Z* (x)
: perkiraan nilai dari variabel pada lokasi x
Z (xi)
: nilai yang telah diukur disuatu daerah variable pada posisi xi
λi
: weight factor
n
: jumlah dari data disekitar
Tiga metode sederhana interpolasi dan atau ekstrapolasi yang sering digunakan dalam menentukan harga disekitar disekitar data yang diketahui, meliputi :
188
1. Metode Polygon (The ( The Polygon Method ) Teknik ini pada dasarnya, dalam penentukan harga suatu titik yang belum diketahui harganya, tergantung pada nilai yang telah diukur didekatnya. Ini berarti semua weighting factor (λi) di set nol nol kecuali weighting factor (λi) yang dekat dengan titik data (diset 1). Persamaan weighting factor (λi)
dapat dilihat
sebagai berikut. Sehingga hal tersebut menyebabkan harga yang diperoleh akan sama dengan data yang terdapat didekat titiknya. 2. Metode Inverse Distance (The (The Inverse Distance Method ) Interpolasi dengan menggunakan metode inverse distance distance dipengaruhi dari suatu relatif titik data pada penurunan lain dengan jarak dari lokasi yang dimaksud. Metode inverse distance distance ditandai dengan suatu weighting factor
(λi)
untuk mengukur tiap variable yang telah diketahui melalui inverse distance antara nilai yang telah diukur dengan titik yang diperkirakan, atau
............................................ .................................................................. ............................ ...... (2-262)
Keterangan : di = jarak antara nilai yang telah diukur dengan lokasi yang diselidiki n = nilai data dari titik yang paling dekat 3. Metode Inverse Distance Squared (The ( The Inverse Distance Square Method ) Metode inverse distance square ditandai dengan suatu weighting factor
(λi) untuk mengukur tiap variable yang telah diketahui melalui inverse distance square antara nilai yang telah diukur dengan titik yang diperkirakan, yaitu :
.......................................... ................................................................. ......................... (2-263)
Saat metode ini memperhitungkan untuk semua properties disekitar well, ini akan memberikan suatu nilai yang lebih tepat di sekitar well dari pada metode lainnya.
189
2.1.3.11. Distribusi Permeabilitas dan Porositas Porositas 2.1.3.11.1. Koefisien Lorenz (L K )
Percobaan pertama untuk menganalisa statistic fluktuasi sifat -sifat batuan dilakukan oleh Law. Dia mendemostrasikan bahwa porositas memiliki frekuensi distribusi yang normal dan bahwa permeabilitas memiliki distribusi frekuensi log normal. Menggunakan Gambar 2.127, Schmalz dan Rahme merumuskan koefisien Lorenz, LK , untuk mengkarakterisasi distribusi permeabilitas: …………………………………………………… (2-264) Harga LK berkisar berkisar dari nol sampai satu. Reservoir dipertimbangkan mempunyai keseragaman distribusi permeabilitas jika L K ≈ 1. Koefisien ini, sedangkan, merupakan tidak unik untuk reservoir yang utama karena perbedaan perbedaan permeabilitas dapat menghasilkan harga L K yang sama.
Gambar 2.127. Distribusi flow Distribusi flow capacity (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
190
2.1.3.11.2. Koefisien Dykstra – Parsons (V K )
Dykstra dan Parsons menggunakan distribusi log -normal permeabilitas untuk mendefinisikan koefisien variasi permeabilitas, V K . ……………………………………………………………. (2-265) Dimana s dan ḱ adalah standart deviasi dan harga rata -rata k. Standart deviasi untuk kelompok n data point adalah: ………………………………………………….. (2-266) Dimana ḱ adalah permeabilitas rata -rata aritmetik, n merupakan jumlah data point, dan k i permeabilitas dari sampel core individu. Dalam suatu distribusi yang normal, harga k yaitu 84.1% permeabilitas kurang dari ḱ + s dan 15.9% dari harga k kurang dari ḱ - s. Koefisien variasi permeabilitas Dykstra – Parsons, V K , dapat diperoleh secara grafik dengan memplot harga permeabilitas pada kertas log, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.128, dan kemudian menggunakan persamaan berikut: …………………………………………………… (2-267) Keterangan: K 5500
= harga permeabilitas dengan kemungkinan 50%
K 84.1 84.1 = permeabilitas pada 84.1% dari kumulatif sampel. Koefisien Dykstra – Parsons adalah cara yang sangat baik untuk mengkarakterisasi derajat heterogenitas reservoir. Pengertian V K juga disebut sebagai Reservoir Heterogenity Index. Kisaran dari index ini yaitu 0 < V K < < 1:
VK = 0, Reservoir homogen ideal
0 < VK < 0.25, Slightly heterogen, dapat diperkirakan dengan model homogeny dalam simulasi reservoir dengan error minimal
191
0.25 < VK < 0.50, reservoir heterogen, teknik perata -rataan geometric dapat dilakukan. Jika index mendekati 0.50 run numerical simulator dengan model heterogen
0.5 < VK < 0.75, reservoir sangat heterogen, dibutuhkan suatu kombinasi teknik perata-rataan geometric dan harmonic
0.75 < V K < 1, reservoir extremely heterogen, tidak ada teknik perata rataan konvensional (aritmetik, geometric, dan harmonic) dapat dilakukan dalam kisaran ini
VK = 1, reservoir heterogen dengan sempurna ( perfectly heterogeneous reservoir ). ).
Gambar 2.128. Log - normal permeability distribution normal - (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
2.1.3.11.3. Teknik PerataPerata-rataan
Tiga metode permeabilitas rata -rata yang digunakan dalam pendekatan di Average Absolute Permeability dalam system homogeny, diantaranya adalah Weight average permeability, Harmonic average permeability dan Geometric average permeability.
192
2.1.3.11.3.1. Weight Average Permeability
Metode ini digunakan untuk merata -ratakan permeabilitas dalam system lapisan parallel yang mempunyai permeabilitas yang berbeda - beda beda seperti terlihat pada Gambar 2.129, aliran tiap lapisan dapat dihitung menggunakan menggunakan persamaan persamaan Darcy dengan didasarkan pada persamaan linier.
Gambar 2.129. Aliran untuk lapisan parallel (Tarek Ahmed, Third Edition, 2006)
Lapisan 1 ………………………………………………... (2-268) Lapisan 2 ……………………………………………….. (2-269) Lapisan 3 ……………………………………………….. (2-270)
193
Total aliran untuk setiap system adalah: ………………………………………………. (2-271) Keterangan: qt
= total laju alir
K avg avg
= permeabilitas rata -rata untuk setiap model
W
= ketebalan formasi
∆P
= P1 – P2
ht
= total ketebalan
Total laju alir qt adalah sama dengan jumlah laju alir untuk masing – masing lapisan: qt = q1 + q2 + q3 …………………………………………………... (2-272) Kombinasi persamaan tersebut: ……… (2-273) Atau ………………………………….. (2-274) ……………………………………... (2-275) Permeabilitas absolut rata -rata untuk system lapisan parallel dapat dinyatakan dalam persamaan: ………………………………………………….. (2-276)
Persamaan (2 -276) diatas digunakan untuk mendefinisikan permeabilitas rata-rata dari data analisa core. Gambar 2.130 memperlihatkan system lapisan dengan variable ketebalan lapisan, asumsi yang digunakan tidak ada cross flow antara lapisan, permeabilitas rata -rata dapat dinyatakan dengan persamaan:
194
…………………………………………………. (2-277)
Keterangan: A j
= hjwj
A j
= cross sectional area lapisan j
W j
= ketebalan setiap lapisan j
Gambar 2.130. Aliran setiap lapisan dengan variable area (Tarek Ahmed, Third Edition, 2006)
195
2.1.3.11.3.2. Harmonic 2.1.3.11.3.2. Harmonic Average Permeability Permeability
Variasi permeabilitas dapat terjadi secara lateral dalam reservoir, dimana dapt diilustrasikan dalam Gambar 2.131. Aliran fluida merupakan kombinasi dari lapisan – lapisan dengan permeabilitas yang berbeda. Untuk aliran steady state, dimana aliran konstan dan total penurunan tekanan. …………………………………………... (2-278) Persamaan yang digunakan dalam metode ini yaitu: ………………………………. (2-279) …………………...………… (2-280)
……………………………………………….. (2-281)
Keterangan: Li
= panjang masing – masing lapisan
K i
= permeabilitas absolut masing – masing lapisan l apisan
Untuk system radial (Gambar 2.132) maka besarnya permeabilitas dapat ditentukan menggunakan persamaan: ………………………………………. (2-282)
196
Gambar 2.131. Aliran untuk lapisan seri (Tarek Ahmed, Third Edition, 2006)
Gambar 2.132. Aliran untuk system radial (Tarek Ahmed, Third Edition, 2006)
197
2.1.3.11.3.3. Geomteric Average Permeability
Metode ini digunakan untuk kondisi heterogen, dimana system mempunyai mempunyai permeabilitas p ermeabilitas sama dengan geometric average, didefinisikan: …………………………………… (2-283)
Keterangan: k i
= permeabilitas sampel batuan i
hi
= ketebalan sampel batuan i
n
= total jumlah sampel
Jika ketebalan (h i) untuk semua contoh batuan adalah sama, maka: ……………………………………….. (2-284)
2.1.4. Pengaruh Stress terhadap Sifat Fisik Batuan Reservoir 2.1.4.1. Pengaruh Stress terhadap Data Core 2.1.4.1.1. Pengaruh Stress terhadap Porositas
Data hasil percobaan yang dilakukan oleh Dobrynin terhadap sejumlah besar sampel batupasir (Gambar 2.133) memperlihatkan bahwa antara tekanan minimum tertentu Pm dan suatu tekanan maksimum tertentu P M, hubungan antara kompressibilitas pori dan tekanan pori logaritma dapat diperkirakan dengan garis lurus, yang dapat dinyatakan dalam bentuk matematik sebagai berikut: ……………………………………... (2-285) Kompressibiliti pori maksimum c pM dapat ditentukan dengan mengekstrapolasi kurva eksperimen sampai tekanan nol menggunakan koordinat Cartesian. Tekanan minimum pm ditentukan dengan mengasumsikan bahwa tidak terdapat perubahan dalam kompressibilitas pori dengan kisaran yang kecil tekanan dari 0 sampai p m. Sebenarnya, p m, berarti bahwa data pertama dimana kurva c p memulai sampai
198
decline dengan meningkatkan tekanan net overburden seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.133. Harga p M diperoleh dari mengekstrapolasi grais lurus sampai c p = 0. Untuk tujuan tertentu, p M merupakan tekanan diatas yang mengubah kompressibilitas pori yang dapat diabaikan. Dobrynin menemukan bahwa p m adalah antara 150 dan 300 psi, dan p M adalah antara 25,000 dan 30,000 psi.
Gambar 2.133. Kompressibilitas Kompressibilitas pori sebagai fungsi net overburden pressure (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
Kombinasi hubungan antara c b, cr , dan c p: C b = Фcp + (1 – Ф) cr ……………………………………………... ……………………………………………... (2-286) Perubahan relatif porositas terhadap tekanan overburden dapat dinyatakan sebagai berikut: ……………………………….. (2-287) Dimana ∆V p/ V p dan ∆V b/ V b merupakan perubahan relative volume pori dan volume bulk. Kompressibilitas matriks batuan diasumsikan untuk tidak tergantung tekanan dalam kisaran 0 sampai 20,000 psi, yaitu 0 < p < p m, perubahan relative volume bulk secara esensial linear dengan perubahan relative volume pori:
199
………………………………………………………. (2-288) Mengkombinasikan Mengkombinasikan persamaan (2 -287) dan (2-288) menghasilkan: menghasilkan: ……………………………… (2-289) Dengan kisaran tekanan 0 < p < p m, perubahan relative volume pori dapat ditentukan: ……………………………………... (2-290) Mensubstitusi c p dari persamaan (2 -285), diperoleh: ………………….... (2-291) Yang dapat ditulis, setelah integral, sebagai berikut: ………………………………………………….... (2-292) Dimana Dobrynin fungsi tekanan D(p p) adalah: …... (2-293) Mensubstitusi persamaan (2 -292) ke dalam persamaan (2 -289) menghasilkan: ……………………………………………… (2-294) Gambar 2.134 memperlihatkan data experimental yang mengilustrasikan pengaruh net overburden pressure terhadap rasio ∆Ф/ Ф untuk lima nilai yang berbeda dari c pM, dan nilai porositas 5%, 10%, dan 20%. Ini membuktikan bahwa data experimental sesuai dengan kurva yang dihitung menggunakan persamaan (2 294). Nilai rata-rata pm dan pM yaitu 200 dan 25,000 psi.
200
Gambar 2.134. Pengaruh net overburden pressure terhadap pressure terhadap perubahan porositas untuk lima masingmasing-masing kompressibilitas pori (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
2.1.4.1.2. Pengaruh Stress terhadap Permeabilitas
Mengasumsikan bahwa perubahan permeabilitas karena perubahan tekanan pori tergantung terutama dari kontraksi channel pori, Dobrynin menurunkan persamaan semi -empirical berikut: ……………………………………………... (2-295) Dimana f ps merupakan faktor bentuk pori. Gambar 2.135 memperlihatkan perbandingan perbandingan data eksperimental dengan kurva yang dihitung menggunakan menggunakan bentuk praktis lain lain dari persamaan (2 -295): …………………………………………. (2-296) Dimana k p adalah permeabilitas actual terhadap tekanan, yaitu k - ∆k, dan k adalah permeabilitas terhadap nol tekanan. Hubungan perkiraan berikut antara koefisien bentuk pori f ps ps dan kompressibilitas pori maksimum c pM untuk batupasir dengan pemilahan buruk yang diperoleh dari data eksperimental: ………………………………………………… (2-297)
201
Untuk distribusi ukuran pori yang seragam atau untuk kompressibilitas pori yang sangat tinggi, f ps = 0.33. Ini dapat dilihat dengan jelas bahwa permeabilitas formasi menurun dengan meningkatnya nilai stress. Fakta ini seharusnya dimasukkan kedalam perhitungan ketika mengintepretasi hasil test tekanan transien, drawdown, atau build up. Sebagai contoh, stress pada pengaruh yang maksimum disekitar sumur, karena deplesi fluida reservoir dan mempengaruhi penurunan tekanan dengan cepat dan menurunkan permeabilitas dalam zona yang sama, dapat menghitung untuk efek skin, yang tidak sesuai disebabkan oleh invasi mud filtrate. Gambar 2.136 memperlihatkan bahwa penurunan permeabilitas dengan cepat pada stress yang rendah dan stabilisasi dengan meningkatnya overburden stress.
Gambar 2.135. Perbandingan data eksperimental dan perhitungan menunjukkan perubahan permeabilitas batupasir sebagai fungsi net overburden pressure (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
202
Gambar 2.136. Kurva data permeabilitas vs net stress (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
2.1.4.1.3. Pengaruh Stress terhadap Resistivitas
Untuk menginvestigasi hubungan antara resistivitas dan tekanan, Dobrynin menggunakan persamaan Archie berkaitan dengan faktor formasi F dan porositas Ф (asumsi a = 1): ……………………………………………………………. (2-298) Dimana m adalah eksponen sementasi. Mengasumsikan (a) merubah resistivitas batuan berpori, ketika dikenai stress, terutama tergantung tergantung dari penyusutan channel channel pori yang terkecil, yang terutama diisi dengan air irreducible, dan (b) material baik yang terdapat dalam pori – pori atau channel yang kecil, persamaan (2 -298) menjadi:
203
…………………………………………………. (2-299) Membagi persamaan (2 -299) dengan persamaan (2 -298) dan mengasumsikan bahwa ∆m dan dan ∆Ф sangat kecil kecil seperti bahwa (Ф - ∆Ф)∆m = Ф∆m ………………………………………………... (2-300) Jika eksponen sementasi diperkirakan 2, seperti dalam batupasir low - porosity porosity dan limestone, yang cenderung untuk mempunyai sementasi yang tinggi, lalu (∆Ф/Ф) 2 = 0 dan persamaan (2 -300) menjadi: ……………………………………………….. (2-301) Mensubstitusi persamaan (2 -294) ke dalam persamaan (2 -301) menghasilkan: …………………………... (2-302) Gambar 2.137 mengilustrasikan pengaruh net overburden pressure terhadap ∆m. Gambar ini membuktikan bahwa kurva dengan karakter k arakter yang sama, akibatnya, ini memungkinkan untuk membedakannya dengan perubahan maksimum ∆m. Mengasumsikan (1) perubahan maksimum ini, ∆m M, tergantung dari total flow channel, dan (2) persentasi clay content control dari flow channel. Dobrynin membuat secara eksperimen, dua grafik pada Gambar 2.138. Grafik tersebut memperlihatkan tipe F RP/ FR sebagai fungsi net overburden pressure, porositas, relative clay content. Kesimpulannya, Kesimpulannya, perubahan sifat -sifat fisik dari batupasir terhadap tekanan overburden ditentukan oleh kompressibilitas pori, yang dapat dicirikan dengan c pM, dan net overburden pressure (p p) dalam kisaran 0 sampai 20,000 psi.
204
Gambar 2.137. Pengaruh net overburden pressure terhadap pressure terhadap eksponen m (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
Gambar 2.138. Faktor Formasi Relative sebagai fungsi net overburden pressure, porositas, dan relative clay content (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
205
2.1.4.2. Hubungan antara Porositas – Permeabilitas – Stress
Menggunakan uji core laboratorium terhadap sampel batupasir, batubara, clay, dan granite, McKee et al. menemukan bahwa kurva teoritical untuk permeabilitas dan porositas sebagai fungsi stress, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.139, 2.140, dan 2.141. Gambar 2.141 memperlihatkan plot data pengukuran pengukuran laboratorium void ratio versus efektif stress untuk sampel pasir dan clay dari sebuah Lapangan Minyak di Venezuela. Ini dapat dilihat dari gambar tersebut bahwa kurva teoritis sesuai dengan data eksperimental sumur dengan tingkat akurasi yang baik.
Gambar 2.139. Pengukuran laboratorium Permeabilitas vs efektif stress dan teoritical match menggunakan variable kompressibilitas kompressibilitas untuk sampel batubara dari kedalaman 2,767 ft (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
206
Gambar 2.140. Pengukuran laboratorium Permeabilitas vs efektif stress dan teoritical match menggunakan variable kompressibilitas untuk sampel batupasir (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
Gambar 2.141. Pengukuran laboratorium void ratio vs efektif stress untuk sampel core pasir dan clay (Tiab D. and Donaldson Erle. C, 2004, ”Petrophysics”)
207
2.2. Fluida Reservoir
Fluida reservoir merupakan komponen reservoir yang mengisi pori-pori batuan berupa air, minyak, dan gas yang memiliki sifat dan komposisi tertentu. Fluida yang terdapat dalam reservoir pada tekanan dan temperatur tertentu, secara alamiah merupakan campuran yang kompleks dalam komposisi kimianya. Sifatsifat dari fluida hidrokarbon perlu dipelajari untuk memperkirakan cadangan akumulasi hidrokarbon, menentukan laju aliran minyak atau gas dari reservoir menuju dasar sumur, mengontrol gerakan fluida dalam reservoir dan lain-lain. 2.2.1. Komposisi Kimia Fluida Reservoir
Fluida reservoir terdiri atas hidrokarbon dan air formasi. Hidrokarbon terbentuk di alam, dapat berupa gas, zat cair atau zat padat. Sedangkan air formasi merupakan air yang dijumpai bersama-sama dengan minyak. Sedangkan hidrokarbon sendiri, selain mengandung hidrogen (H) dan karbon (C) juga mengandung unsur-unsur senyawa lain, terutama belerang, nitrogen dan oksigen. Hidrokarbon merupakan senyawa alamiah, dapat berupa gas, cair atau padatan tergantung dari komposisinya serta tekanan dan temperatur yang mempengaruhinya. Hidrokarbon yang berbentuk cair dikenal sebagai minyak bumi, sedangkan yang berbentuk gas dikenal sebagai gas bumi. Hidrokarbon adalah senyawa yang terdiri atas atom karbon dan hidrogen. Senyawa karbon dan hidrogen mempunyai banyak variasi, yang berdasarkan jenis rantai ikatannya dibagi menjadi dua golongan, yaitu: 2.2.1.1. Golongan Parafin (Asiklik)
Hidrokarbon jenis ini mempunyai rantai ikatan antar atom yang terbuka, terdiri atas hidrokarbon jenuh dan hidrokarbon tak jenuh. Golongan asiklis atau alifat disebut juga alkan atau parafin. Golongan asilklis dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu golongan hidrokarbon jenuh dan tak jenuh. 2.2.1.1.1. Hidrokarbon Jenuh
Seri homolog dari hidrokarbon ini mempunyai rumus umum C nH2n+2 dan mempunyai ciri dimana atom-atom karbon diatur menurut rantai terbuka dan masing-masing atom dihubungkan oleh ikatan tunggal, dimana tiap-tiap valensi dari satu atom C berhubungan dengan atom C disebelahnya. Seri homolog
208
hidrokarbon ini biasanya dikenal dengan nama alkana (Inggris: alkene) dimana penamaan anggota seri homolog ini disesuaikan dengan jumlah atom karbon
dalam sebutan Yunani dan diakhiri dengan akhiran “ana” (Inggris : “ane”). Contoh dari senyawa hidrokarbon golongan alkana dapat dilihat pada Gambar 2.142.
Gambar 2.142. Contoh Seri Homolog Alkana (Clark, J.C.,”Elements of Petroleum Reservoirs”, 1969)
Senyawa hidrokarbon sering dijumpai molekul yang berlainan susunannya, tetapi rumus kimianya sama, atau dengan kata lain senyawa hidrokarbon dapat mempunyai rumus molekul sama tetapi rumus bangun berbeda. Keadaan semacam ini disebut sebagai isomeri, sedangkan masing-masing senyawa hidrokarbon yang mempunyai sifat tersebut dikenal dengan isomer . Seri n-alkana yang diberikan pada Tabel II-16 memperlihatkan gradasi sifat-sifat fisik yang tidak begitu tajam.
209
Tabel II-16. Sifat – – sifat sifat Fisik n-Alkana (McCain, Jr., W.D., “The Properties of Petroleum Fluids”,1973)
Pada tekanan dan temperatur normal (60 oF, 14.7 psia) empat alkana yang pertama (C1 sampai C4) berbentuk gas. Sebagai hasil meningkatnya titik didih (boiling point ) karena penambahan jumlah atom karbon maka mulai pentana (C5H12) sampai hepta dekana (C17H36) merupakan cairan. Sedangkan alkana yang mengandung 18 atom karbon atau lebih merupakan padatan (solid). (solid). Alkana dengan rantai bercabang memperlihatkan gradasi sifat-sifat fisik yang berlainan dengan n-alkana, dimana untuk rantai bercabang memperlihatkan sifat-sifat fisik yang kurang beraturan. Perubahan dalam struktur menyebabkan perubahan didalam gaya antar molekul (inter ( inter molekuler force) force) yang menghasilkan perbedaan pada titik lebur dan titik didih diantara isomer-isomer alkana.
2.2.1.1.2. Hidrokarbon Tak Jenuh
Hidrokarbon ada yang mempunyai ikatan rangkap dua ataupun rangkap tiga (triple), yang digunakan untuk mengikat dua atom C yang berdekatan. Oleh karena itu, valensi yang semula tersedia untuk mengikat atom hidrokarbon telah digunakan untuk mengikat atom C yang berdekatan. Hidrokarbon yang mempunyai ikatan rangkap dua atau rangkap tiga yang mengikat dua atom C, maka hidrokarbon seperti ini disebut hidrokarbon tak jenuh atau disebut juga sebagai keluarga alkena (Inggris: alkene) dengan rumus umum CnH2n. Hidrokarbon tak jenuh dapat menjadi jenuh dengan penambahan atomatom hidrokarbon pada rantai ikatan tersebut.
210
Secara kimiawi, karena alkena merupakan ikatan rangkap, maka alkena lebih reaktif bila dibandingkan dengan alkana. Selain ikatan ganda, senyawa hidrokarbon tak jenuh ada juga yang mempunyai ikatan rangkap tiga (triple bond) yang dikenal sebagai deretan asetilen. Rumus umum deretan asetilen adalah CnH2n-2, dimana dalam tiap molekul terdapat ikatan rangkap tiga yang mengikat dua atom karbon yang berdekatan. Pemberian nama untuk deret ini sama dengan
untuk deret alkena dengan memberi akhiran “una” (Inggris : “une”). Secara garis besar, sifat-sifat fisik alkena sama seperti sifat-sifat fisik alkana, sifat-sifat fisik alkena dapat dilihat pada Tabel II-7. Sebagaimana pada alkana, maka untuk alkena terjadi juga peningkatan titik didih dengan bertambahnya kandungan atom karbon, dimana peningkatannya mendekati 20-30 o
C untuk setiap penambahan atom karbon.
Tabel II-17. Sifat-sifat Fisik Alkena (McCain, Jr., W.D., “The Properties of Petroleum Fluids”,1973)
2.2.1.1.3. Golongan Siklik
Hidrokarbon golongan siklis mempunyai rantai tertutup (susunan cincin). Golongan ini terdiri atas naftena dan aromatik. Keluarga hidrokarbon dikenal sebagai seri homolog, anggota dari seri homolog ini mempunyai struktur kimia dan sifat-sifat fisiknya dapat diketahui dari hubungan dengan anggota deret lain yang sifat fisiknya sudah diketahui. Sedangkan pembagian tingkat dari seri
211
homolog tersebut didasarkan pada jumlah atom karbon pada struktur kimianya. Golongan siklis dibagi menjadi dua golongan, yaitu golongan naftena dan golongan aromatik. 2.2.1.1.3.1.Golongan 2.2.1.1.3.1.Golongan Naftena
Golongan naftena sering disebut golongan sikloparafin atau golongan sikloalkana, yang mempunyai rumus umum C nH2n. Golongan ini dicirikan oleh adanya atom C yang diatur menurut rantai tertutup (berbentuk cincin) dan masingmasing atom dihubungkan dengan ikatan tunggal. Contoh dari senyawa hodrokarbon golongan naftena dapat dilihat pada Gambar 2.143.
Gambar 2.143. Contoh Seri Homolog Naftena (Amyx,James W., Petroleum Reservoir Engineering-Physical Engineering-Physical Properties, 1960)
Naftena mempunyai sifat yang mirip dengan parafin, sebagaimana terlihat pada Tabel II-18.
212
Tabel II-18. Sifat-Sifat Fisik Hidrokarbon Naftena (McCain, Jr., W.D., “The Properties of Petroleum Fluids”, 1973)
2.2.1.1.3.2.Golongan 2.2.1.1.3.2.Golongan Aromatik
Deret ini hanya terdiri atas benzena dan senyawa-senyawa hidrokarbon lainnya yang mengandung benzena. Rumus umum dari golongan ini adalah C nH2n6,
dimana cincin benzena merupakan bentuk segi enam dengan tiga ikatan tunggal
dan tiga ikatan rangkap dua secara berselang-seling, sebagai berikut :
Gambar 2.144. n-Benzena (Amyx, J.ames W., ”Petroleum Reservoir Engineering Reservoir Engineering –Physical Properties”, Properties”, 1960)
213
Adanya tiga ikatan rangkap pada cincin benzena seolah-olah memberi petunjuk bahwa golongan ini sangat reaktif. Tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian, golongan ini tidak sestabil golongan parafin. Jadi deretan benzena tidak menunjukkan sifat reaktif yang tinggi seperti olefin. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sifat benzena ini pertengahan antara golongan parafin dan olefin. Ikatan-ikatan dari deret hidrokarbon aromatik terdapat dalam minyak mentah yang merupakan sumber utamanya. Pada suatu suhu dan tekanan standar, hidrokarbon aromatik ini dapat berada dalam bentuk cairan atau padatan. Benzena merupakan zat cair cai r yang tidak berwarna dan mendidih pada temperatur 176 oF. Nama hidrokarbon aromatik diberikan karena anggota deret ini banyak yang memberikan bau harum.
2.2.1.2. Komposisi Kimia Air Formasi
Air formasi atau disebut “connate water” mempunyai komposisi kimia yang berbeda-beda antara reservoir yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu analisa kimia pada air formasi perlu sekali dilakukan untuk menentukan jenis dan sifat-sifatnya. Air formasi rata-rata memiliki kadar garam lebih tinggi daripada air laut, sehingga studi mengenai ion-ion air formasi dan sifat-sifat fisiknya ini menjadi penting artinya karena kedua hal tersebut sangat berhubungan dengan terjadinya penyumbatan pada formasi dan korosi pada peralatan di bawah dan di atas permukaan. Komposisi ion-ion penyusun air formasi terdiri dari kation-kation Ca, Mg, Fe, Ba, dan anion-anion chlorida, CO 3, HCO3, dan SO 4. Tabel II-19 memperlihatkan contoh hasil analisa air formasi suatu reservoir. Air formasi tersebut terdiri dari bahan-bahan mineral, misalnya kombinasi metal-metal alkali dan alkali tanah, belerang, oksida besi, dan aluminium serta bahan-bahan organis seperti asam nafta dan asam gemuk.
214
Tabel II-19. Komposisi Kimia Air Formasi (Burcik, EJ., “Properties of Petroleum Reservoir Fluids”, 1979)
2.2.2. Sifat Fisik Fluida Reservoir Reservoir
Fluida reservoir terdiri atas fluida hidrokarbon dan air formasi. Hidrokarbon sendiri terdiri atas fasa cair (minyak bumi) maupun fasa gas, yang tergantung dari kondisi (tekanan dan temperatur) reservoir yang ditempati. Perubahan kondisi reservoir akan mengakibatkan perubahan fasa serta sifat fisik fluida reservoir. 2.2.2.1. Sifat Fisik Minyak
Pengetahuan tentang sifat fisik minyak sangat penting untuk mengetahui karakteristik reservoirnya. Minyak bumi dijumpai dalam bentuk cair, sehingga sesuai dengan sifat cairan pada umumnya, pada fasa cair jarak antara molekulmolekulnya relatif lebih kecil daripada gas. Sifat-sifat minyak bumi yang akan dibahas adalah densitas, viskositas, faktor volume formasi, kelarutan gas dalam minyak, dan kompressibilitas. 2.2.2.1.1. Densitas Minyak
Densitas minyak ( ρo) didefinisikan sebagai perbandingan berat minyak (lb) terhadap volume minyak (cuft). Densitas minyak biasanya dinyatakan dalam specific gravity minyak (γo), yang didefinisikan sebagai perbandingan densitas minyak terhadap densitas air. Penulisannya secara matematis adalah sebagai berikut :
215
o
o
........................................... ................................................................. ............................................ ........................ .. (2-303)
w
keterangan : o
= specific gravity minyak
o
= densitas minyak, lb/cuft
w
= densitas air, lb/cuft
Industri perminyakan seringkali menyatakan specific gravity minyak dalam satuan o
API, yang dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut : o
API =
141 141,5
131,5 131
............................................. ................................................................... ........................ .. (2-304)
o
Minyak bumi biasanya mempunyai 0API sekitar 47 untuk minyak ringan dan mempunyai 0API 10 untuk minyak berat.
2.2.2.1.2. Faktor Volume Formasi Minyak
Faktor volume formasi minyak (B o) didefinisikan sebagai banyaknya minyak termasuk gas yang terlarut dalam barrel pada kondisi reservoir untuk mendapat satu stock tank barrel (STB) minyak pada kondisi standar (60 oF dan 14,7 psia) di permukaan. Harga B o dipengaruhi oleh tekanan, temperatur, jumlah gas yang terlarut, specific terlarut, specific gravity gas, gravity gas, oAPI minyak, dan temperatur. Hubungan antara faktor volume formasi minyak dengan tekanan ditunjukkan pada Gambar 2.145. Gambar tersebut menerangkan bahwa pada kondisi tekanan reservoir berada diatas tekanan gelembung (P b), harga Bo mulamula naik seiring dengan turunnya tekanan sampai mencapai P b, sehingga volume sistem cairan menjadi bertambah sebagai akibat terjadinya pengembangan minyak. Harga B o turun seiring dengan turunnya tekanan setelah Pb tercapai. Penurunan harga B o ini disebabkan semakin banyaknya gas yang terbebaskan dari larutannya selama terjadi penurunan tekanan dibawah P b.
216
Gambar 2.145. Hubungan Faktor Volume Formasi Minyak Terhadap Tekanan (Ahmed, Tarek H., “Reservoir Engineering Handbook”, 2001)
2.2.2.1.3. Kelarutan Gas dalam Minyak
Kelarutan gas dalam minyak didefinisikan sebagai banyaknya gas dalam satuan standart satuan standart cubic feet (SCF) (SCF) yang berada di dalam minyak mentah sebanyak 1 stock tank barrel (STB) ketika minyak dan gas tersebut masih berada dalam keadaan tekanan dan temperatur reservoir. Kelarutan gas dalam minyak dipengaruhi oleh tekanan, temperatur, 0API gravity API gravity,, dan gas gravity gas gravity.. Prosedur pengukurannya, diambil volume gas dalam keadaan standar (60 O
F dan 14,7 psi) dan volume minyak mentah dalam tangki pengumpul sebanyak 1
barrel, juga j uga pada tekanan t ekanan dan temperatur temperat ur standar. s tandar. Gambar 2.146 2. 146 memperlihatkan me mperlihatkan kurva kelarutan gas sebagai fungsi tekanan, untuk minyak tak jenuh. Gambar tersebut menunjukkan bahwa apabila penurunan tekanan sampai tekanan tertentu dimana masih diatas tekanan gelembung, maka kelarutan gas besarnya tetap sebesar R sisi, sedangkan pada tekanan di bawah tekanan gelembung, kelarutan gas akan menurun karena gas secara perlahan-lahan akan membebaskan diri dari minyak.
217
Gambar 2.146. Grafik Hubungan Kelarutan Gas dalam Minyak dengan Tekanan (Ahmed, Tarek H., “Reservoir Engineering Handbook”, 2001)
Banyaknya gas yang keluar dari larutan akan tergantung dari keadaan pembebasan (liberation), liberation), dimana terdapat dua jenis pembebasan, yaitu pembebasan kilat ( flash liberation) liberation) dan pembebasan diferensial (differential (differential liberation liberation). ).
Gambar 2.147. Harga Kelarutan Gas dalam Minyak dari Pembebasan Kilat dan Pembebasan Diferensial (Amyx, J. W., “Petroleum Reservoir Engineering - physical physical Properties”, Properties”, 1960)
218
Pengurangan tekanan dengan jumlah tertentu terjadi pada pembebasan kilat, dimana gas dibebaskan setelah tercapai sehingga komposisi sistem berubah. Proses yang terjadi pada pembebasan diferensial adalah gas yang membebaskan diri dari larutan dipindahkan secara kontinu agar tidak berhubungan dengan minyak sehingga komposisi sistem berubah. Pembebasan gas di reservoir lebih mendekati proses pembebasan diferensial, sedangkan pada tubing dan permukaan lebih mendekati pembebasan kilat. Harga R s yang diperoleh dengan dua tipe pembebasan gas ini diperlihatkan pada gambar 2.147. Gambar di atas menunjukkan bahwa kedua cairan pembebasan ini memberikan hasil yang berlainan untuk kelarutan gasnya (R s). Harga R s untuk pembebasan kilat ternyata lebih kecil dari harga R s hasil pembebasan diferensial pada suatu tekanan tertentu. Pengaruh tekanan untuk temperatur tetap pada kelarutan gas adalah meningkatnya tekanan akan menyebabkan kenaikan pada harga harga R s, sedangkan pada temperatur dan tekanan tertentu, kenaikan specific gravity gravity gas akan memperbesar harga R s. Pengaruh komposisi minyak adalah pada tekanan dan temperatur tertentu, yaitu harga R s meningkat dengan kenaikan oAPI minyak.
2.2.2.1.4. Kompresibilitas Minyak
Kompressibilitas minyak didefinisikan sebagai perubahan volume minyak akibat adanya perubahan tekanan, secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:
Co
1 V
…….……………………………………… (2-305) dV dP
Persamaan (2-305) dapat dinyatakan dalam bentuk yang lebih mudah dipahami, sesuai dengan aplikasi di lapangan, yaitu : Co
Bob
Boi Pi
Boi
Pb
….....………………………………………… (2-306)
keterangan: Bob = faktor volume formasi pada tekanan bubble point Boi
= faktor volume formasi pada tekanan reservoir
Pi
= tekanan reservoir
P b
= tekanan bubble point.
219
Fluida formasi pada tekanan di atas tekanan gelembung berada dalam sistem satu fasa. Jika tekanan diperbesar maka akan terjadi pengurangan volume fluida secara tidak linier, tergantung pada temperatur dan komposisinya. Apabila tekanan diperkecil sampai gas pertama kali muncul (P b), maka akan terjadi pengurangan volume. Hal ini dapat terjadi karena sifat kompressibilitas fluida. Pengaruh kompressibilitas minyak hanya dominan pada tekanan di atas tekanan gelembung, faktor yang dominan adalah adanya gas bebas. Penurunan tekanan di bawah tekanan gelembung akan memperkecil volume minyak karena adanya sejumlah gas yang dibebaskan.
2.2.2.1.5. Viskositas Minyak
Viskositas minyak ( (o) didefinisikan sebagai ukuran ketahanan minyak terhadap aliran, atau dengan kata lain viskositas minyak adalah suatu ukuran tentang besarnya keengganan minyak untuk mengalir, dengan satuan centi poise (cp) atau gr/100 detik/1cm. Viskositas minyak tergantung dari tekanan, temperatur, gravity minyak dan kelarutan gas dala m minyak. Kenaikan temperatur akan menurunkan viskositas minyak, dan dengan bertambahnya gas yang terlarut dalam minyak maka viskositas minyak juga akan turun. Gambar 2.148 menunjukkan hubungan antara viskositas minyak dan tekanan reservoir pada temperatur tetap, kurva tersebut menjelaskan bahwa pada saat tekanan reservoir berada diatas bubble point (P b) viskositas minyak akan mengalami penurunan dari P i ke P b. Saat tekanan reservoir di bawah bubble point viskositas minyak mengalami kenaikan yang disebabkan gas yang terlarut membebaskan diri dari minyak pada saat penurunan tekanan.
220
Gambar 2.148. Hubungan antara Viskositas Minyak vs Tekanan Reservoir (McCain, Jr., W.D., “The Properties of Petroleum Fluids”, 1973)
Korelasi penentuan viskositas minyak pada tekanan atmosfer dan temperatur reservoir pada berbagai gravity minyak dapat ditentukan dengan Gambar 2.149.
Gambar 2.149. Viskositas Minyak pada Tekanan 1 Atmosfer dan Temperatur Reservoir (McCain, Jr., W.D., “The Properties of Petroleum Fluids”, 1973)
221
Hubungan antara viskositas minyak pada tekanan bubble point dan viskositas minyak pada tekanan atmosfer dengan berbagai harga GOR dapat dilihat pada Gambar 2.150.
Gambar 2.150. Viskositas Minyak pada Tekanan Saturasi ( P b ) dan Temperatur Reservoir (McCain, Jr., W.D., “The Properties of Petroleum Fluids”, 1973)
2.2.2.2.
Sifat Fisik Gas
Gas merupakan suatu fluida yang homogen dengan densitas dan viskositas rendah, tidak tergantung pada bentuk dan volumenya, sehingga dapat mengisi semua ruangan yang ada. Gas yang terdapat pada suatu reservoir mungkin merupakan gas bebas, gas yang terlarut dalam minyak, gas yang terlarut dalam air atau sebagian merupakan gas cair (liquid ( liquid gas). gas ). Sifat fisik gas yang akan dibahas antara lain adalah densitas, viskositas, faktor volume formasi, kompresibilitas gas dan faktor kompresibilitas
222
2.2.2.2.1. Densitas Gas
Densitas gas (ρg) didefinisikan sebagai perbandingan berat gas per unit volume, yang secara matematis dituliskan :
ρg= mV = PR MT
g
..............………………………………………… (2-307)
Persamaan 2-31 merupakan persamaan densitas untuk gas ideal, sedangkan untuk gas nyata, adalah :
ρg = mV =
P Mg Z R T
.............……………………………………… (2-308)
Densitas gas biasanya dinyatakan dalam specific dalam specific gravity gas gravity gas (γg), yang merupakan perbandingan densitas gas pada kondisi tekanan dan temperatur tertentu terhadap densitas udara kering pada tekanan dan temperatur yang sama, yang secara matematis dituliskan : P Mg
γg =
ρg
=
ρu
Mg Mg R T = = P Mu Mu 28,97 R T
.....................………………… (2-309)
Rumus diatas hanya berlaku untuk gas berkomponen tunggal, sedangkan dalam dunia perminyakan gas dijumpai dalam bentuk campuran. Campuran gas berisi molekul dengan berbagai ukuran, sehingga berat molekul campuran gas dinyatakan sebagai berat molekul tampak (M a), serta berlaku hukum gas nyata sebagai berikut : Ma = Σ Yi Mi .....…………....……………………………………. .....…………....……………………………………..... (2-310) keterangan: Ma
= berat molekul tampak
Yi
= fraksi mol komponen ke-i dalam suatu campuran gas
Mi
= berat molekul untuk komponen ke-i
Perhitungan campuran gas adalah sebagai berikut :
ρg =
P Ma Z R T
...........………………………………….…………… (2-311)
223
dan M γg = 28,97 ...........………………………………………………... (2-312) a
keterangan:
γg
= specific gravity gas gravity gas
ρg
= densitas gas, lb/cuft
ρu
= densitas udara kering, lb/cuft
Mg
= berat molekul gas, lb/lb-mol
Mu
= berat molekul udara kering, lb/lb-mol = 28,97 lb/lb-mol
Ma
= berat molekul tampak, lb/lb-mol
2.2.2.2.2. Faktor Volume Formasi Gas
Faktor volume formasi gas dapat dinyatakan sebagai perbandingan antara volume yang ditempati oleh gas pada kondisi reservoir dengan jumlah gas yang sama pada kondisi standar ( 14.7 psi, 60 oF ). Faktor volume formasi gas secara matematis dapat ditulis : Vr
Bg =
Vsc
...............………………………………………………... (2-313)
keterangan: Bg = faktor volume formasi gas, Cuft / scf Vr = volume volume gas pada kondisi kondisi reservoir, cuft Vsc = volume gas pada kondisi standar , scf Volume n mol gas pada kondisi standar, V sc adalah :
V sc
Z sc n R T sc P sc
......................................... ............................................................... ..................................... ............... (2-314)
Volume n mol gas pada kondisi reservoir , V r adalah :
V r
Z r n R T r P r
............................................ .................................................................. ..................................... ............... (2-315)
Harga Bg dari hasil pensubstitusian persamaan (2-313) dan (2-314) ke dalam persamaan (2-315) adalah :
224
Bg = 0.02829
Bg= 0.00504
Z r T r P r Z r T r P r
, Cuft / Scf ......................................... .................................................... ........... (2-316)
, Bbl / Scf .......................................... ....................................................... ............. (2-317)
keterangan: Psc = tekanan pada kondisi standart, psi (
14.7 psi )
Pr = tekanan pada kondisi reservoir , psi Tsc = temperatur pada kondisi standart, oR ( 520 oR)
Tr = temperatur pada kondisi reservoir , oR Zsc = faktor kompresibilitas gas pada kondisi standart ( 1 )
Zr = faktor kompresibilitas gas pada kondisi reservoir
2.2.2.2.3. Kompresibilitas Gas
Kompressibilitas gas didefinisikan sebagai fraksi perubahan volume per unit perubahan tekanan, atau dapat dinyatakan dengan persamaan :
Cg
1 V
( dV dP ) ....………………………………………….... (2-318)
Kompressibilitas isothermal dari gas diukur dari perubahan volume per unit volume dengan perubahan tekanan pada temperatur konstan. Atau dalam persamaan dapat ditulis menjadi : C
1 V ................................................................. ................................... ............. (2-319) T ........................................... V P
Untuk gas ideal,
V
n. R.T P
maka (
V P
)T = -
n. R.T p 2
........................................... ................................................ ..... (2-320)
sehingga C
P n. R.T 1 ............................................................. ................. (2-321) ............................................ n. R.T P 2 P
Sedangkan untuk gas nyata,
V
Z .n. R.T ........................................... .................................................................. ......................................... .................. (2-322) P
225
dimana Z = f(P), maka akan didapat
1
C
Harga (
Z P
(
P
1
(
Z
............................................................... ................................... ............. (2-323) ) .........................................
Z P
) dapat ditentukan secara analitis, yaitu :
Z P
) (
Z 1
Z 2 ) P 1 P 2
Sehingga menjadi: Cr = = C P pc ....................................... ............................................................. ............................................ ............................ ...... (2-324) Dimana :
C r
1
P pr
Z )T pr ........................................... ................................................................. ........................ .. (2-325) Z P pr 1
(
keterangan: V = Volume gas, cuft T
= Temperatur, R
n
= Jumlah mol gas
R = Konstanta, harganya 10.732 psia cuft/lb-mol R Z
= Faktor Faktor deviasi gas, dimana untuk gas ideal harga Z = 1
2.2.2.2.4. Faktor Kompresibilitas Gas
Faktor Kompresibilitas atau Z faktor merupakan perbandingan antara volume sebenarnya (aktual) yang ditempati suatu massa gas pada tekanan dan temperatur tertentu terhadap volume idealnya pada kondisi tekanan dan temperatur yang sama, sehingga :
z
V actual
V ideal
........................................... ................................................................. ....................................... ................. (2-326)
Faktor kompresibilitas tidak berharga konstan namun akan bervariasi dengan perubahan komposisi gas, temperatur dan tekanan. Untuk gas ideal, faktor kompresibilitasnya ( z z faktor ) berharga 1, sedangkan untuk gas nyata z berharga lebih kecil atau lebih besar dari 1 namun dapat juga berharga 1 tergantung dari tekanan dan suhu yang mempengaruhinya. Gambar 2.151 menunjukkan z sebagai
226
fungsi tekanan pada suhu tetap.Harga z dapat dicari dengan cara menghitung harga P pr ( ( Pseudo Reduced-Pressure) dan Reduced-Pressure) dan T pr ( ( Pseudo Reduced-Temperature). Reduced-Temperature ). P pr dan T pr dapat dapat dicari dengan menggunakan persamaan (2-327) dan (2-328). P pr
T pr
P P pc T T pc
.......................................... ................................................................ ............................................ ........................ .. (2-327)
........................................... ................................................................. ............................................ ........................ .. (2-328)
Dimana: Tpc y j T cj Ppc y j P cj
Gambar 2.151. Faktor Kompresibilitas Gas Alam (Ahmed, Tarek H., “Reservoir Engineering Handbook” , 2001)
227
2.2.2.2.5. Viskositas Gas
Viskositas gas (μg) didefinisikan sebagai ukuran ketahanan gas terhadap aliran, dengan satuan centipoise (cp) atau gr/100 detik/1 cm. Viskositas gas sulit diukur secara teliti, terutama pada kondisi tekanan dan temperatur reservoir. Viskositas secara umum dicari dengan menggunakan korelasi seperti yang dikemukakan oleh Bicher dan Katz, viskositas gas merupakan fungsi dari tekanan, temperatur dan berat molekul gas. Bertambahnya tekanan dan temperatur menyebabkan naiknya harga viskositas. Kenaikan tekanan menyebabkan jarak antara molekul-molekul semakin kecil, sehingga tumbukan antar molekul s emakin sering terjadi. Kenaikan temperatur juga menyebabkan tumbukan antar molekul menjadi sering terjadi. Grafik korelasi yang dihasilkan oleh Bicher dan Katz terlihat pada Gambar 2.152 dan Gambar 2.153.
Gambar 2.152. Viskositas Gas Alam pada suhu 60 0 F & 1000 F (Amyx, J. W., “Petroleum Reservoir Engineering Engineering - physical physical Properties”, Properties”, 1960)
228
Gambar 2.153. Viskositas Gas Alam pada suhu 200 0 F & 3000 F (Amyx, J. W., “Petroleum Reservoir Engineering - physical physical Properties”, Properties”, 1960)
Viskositas untuk campuran gas dapat dicari melalui hubungan matematis yang dikemukakan oleh Herning dan Zipperer (1936) sebagai berikut :
μ1g=
Σ μ i Yi M i Σ Yi M i
…………………..…………...............…………... …………………..…………...............………… ... (2-329)
keterangan:
μ1g
= viskositas gas campuran pada tekanan 1 atm, cp
μi
= viskositas komponen ke-i, cp
Yi
= fraksi mol komponen ke-i
Mi
= berat molekul komponen ke-i
229
2.2.2.3.
Sifat Fisik Air Formasi
Fluida reservoir selain minyak dan gas juga mengandung air formasi yang akan selalu ditemukan baik dalam reservoir minyak, reservoir gas ataupun keduanya. Air formasi merupakan suatu unsur penting yang harus diperhatikan baik dalam bidang pemboran, reservoir dan produksi. Lapisan reservoir selalu terisi oleh air dan hampir tidak pernah ada lapisan yang tanpa air. Air formasi yang terdapat dalam reservoir minyak disebut juga air konat (connate ( connate water ). ). Sifat-sifat air formasi penting untuk diketahui karena air sering menimbulkan problem produksi. Sifat fisik minyak yang akan dibahas adalah densitas, viskositas, kelarutan gas dalam air formasi, faktor volume air formasi, dan kompressibilitas air formasi. 2.2.2.3.1. Densitas Air Formasi
Densitas air formasi dinyatakan dalam massa dalam massa per volume, volume , specific volume yang dinyatakan dalam volume per satuan massa dan specific gravity, gravity, yaitu perbandingan antara densitas zat yang diukur dengan densitas zat tertentu pada suatu kondisi tertentu yaitu pada tekanan 14,7 psi dan temperatur 60 F. Persamaan specific Persamaan specific gravity air gravity air formasi dituliskan : ρ 1 = γw = 62,34 62,34 V w
= 0.01604
ρw =
0.01604
w
Vw
........……….. (2-330)
keterangan:
γw
= specific gravity air gravity air formasi
ρw
= densitas air formasi, lb/cuft
Vw
= specific volume air volume air formasi, cuft/lb
Densitas air formasi dapat ditentukan dengan cara membandingkannya dengan densitas air muni pada kondisi tertentu (tekanan 14,7 psi dan temperatur 60 0 F) yaitu dengan menngunakan persamaan di bawah ini: vw v wb
wb
Bw
............................................ .................................................................. ................................... ............. (2-331)
w
keterangan: vwb = specific volume air pada kondisi dasar (14,7 psi & 60 0 F), lb/cuft
230
wb = density dari air pada kondisi dasar (14,7 psi & 60 0), lb/cuft Bw = faktor volume formasi air
Oleh karena itu, jika densitas air pada kondisi dasar (standard) dan faktor volume formasi ada harganya (dari pengukuran langsung), maka densitas air formasi dapat ditentukan. Faktor yang sangat mempengaruhi densitas air formasi adalah kadar garam dan temperatur reservoir. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 2.154 di bawah ini
Gambar 2.154. Pengaruh Konsentrasi Garam dan Temperatur Pada Densitas Air Formasi (Amyx, J. W., “Petroleum Reservoir Engineering Engineering - physical physical Properties”, Properties”, 1960)
2.2.2.3.2. Faktor Volume Formasi Air Formasi
Faktor volume air formasi (B w) menunjukkan perubahan volume air formasi dari kondisi reservoir ke kondisi permukaan. Faktor volume formasi air formasi ini dipengaruhi oleh tekanan dan temperatur, yang berkaitan dengan pembebasan gas dan air dengan turunnya tekanan, pengembangan air dengan turunnya tekanan dan penyusutan air dengan turunnya temperatur. Hubungan faktor faktor volume air formasi dengan tekanan dan temperatur ditunjukkan dengan Tabel II-20 dan Tabel II-21 serta Gambar 2.155.
231
1,07
b
1,06
ot
1,05
b/l
b
l b ,r c
1,04
m
1,03
V
o
1,02 1,01
oF
mr
a
oit
1,00
e
aF ul n
o
250 F
o
200 F
o
150 F o
r
100 F 0,99
W
0,98
a
et
pure water pure water and na tural tural gas g as 0
1000
2000
3000
4000
5000
Pressure, psia
Gambar 2.155. Faktor Volume Air Formasi Sebagai Fungsi dari Tekanan dan Temperatur (Amyx, J. W., “Petroleum Reservoir Engineering Engineering - physical physical Properties”, Properties”, 1960)
Tabel II-20. Faktor Volume Air Formasi dengan Kandungan Gas (Amyx, J. W., “Petroleum Reservoir Engineering Engineering -physical Properties”, -physical Properties”, 1960) 1960)
Tekanan
Faktor Volume Air Formasi, bbl/bbl (pada temperatur, oF)
Saturasi, psia 100
150
200
250
1000
1,0045
1,0183
1,0361
1,0584
2000
1,0031
1,0168
1,0345
1,0568
3000
1,0017
1,0154
1,0330
1,0552
4000
1,0003
1,0140
1,0316
1,0537
5000
0,9989
1,0126
1,0301
1,0522
Tabel II-21. Faktor Volume Air Formasi tanpa Kandungan Gas (Amyx, J. W., “Petroleum Reservoir Engineering Engineering - physical physical Properties”, Properties”, 1960)
Tekanan
Faktor Volume Air Formasi, bbl/bbl (pada temperatur, oF)
Saturasi, psia
100
150
200
250
1000
1,0025
1,0153
1,0335
1,0560
2000
0,9995
1,0125
1,0304
1,0523
3000
0,9966
1,0095
1,0271
1,0487
4000
0,9938
1,0067
1,0240
1,0452
5000
0,9910
1,0039
1,0210
1,0418
6000
0,9884
1,0031
1,0178
1,0402
232
2.2.2.3.3. Kelarutan Gas dalam Air Formasi
Kelarutan gas dalam air formasi didefinisikan sebagai volume gas yang terlarut dalam air formasi dengan volume air formasi itu sendiri. Sifat kelarutan air formasi (dalam gas) akan berpengaruh pada penanganan, pemrosesan, dan pengangkutan gas alam. Kelarutan gas dalam air formasi tergantung pada tekanan, temperatur, dan komposisi air formasi dan gas. Kelarutan gas dalam air formasi adalah lebih kecil dibandingkan dengan kelarutan gas dalam minyak di reservoir pada kondisi reservoir yang sama. Pada temperatur tetap kelarutan gas dalam air formasi akan naik dengan naiknya tekanan, sedangkan pada tekanan yang tetap kelarutan gas mula-mula menurun sampai harga minimum kemudian naik lagi terhadap naiknya suhu, dan kelarutan gas dalam air berkurang dengan bertambahnya kadar garam (diperlihatkan oleh Gambar 2.156)
Gambar 2.156. Kelarutan Gas Dalam Air Formasi Sebagai Fungsi Temperatur dan Tekanan (Amyx, J. W., “Petroleum Reservoir Engineering Engineering - physical physical Properties”, Properties”, 1960)
233
2.2.2.3.4. Kompresibilitas Air Formasi
Kompresibilitas air formasi didefinisikan sebagai perubahan volume yang disebabkan oleh adanya perubahan tekanan yang mempengaruhinya. Besarnya kompressibilitas air murni (C pw) tergantung pada tekanan, temperatur dan kadar gas terlarut dalam air murni, sebagaimana terlihat pada Gambar 2.157. Secara matematik, besarnya kompressibilitas air murni dapat ditulis sebagai berikut :
C wp
V .................................................................. .............................. ........ (2-332) ............................................ V P T 1
keterangan: Cwp
= kompressibilitas air murni, psi – 1
V
= volume air murni, bbl
V; P = perubahan perubahan volume volume (bbl) dan tekanan (psi) air murni Subscript T menunjukkan bahwa temperatur dianggap konstan. Sedangkan pada air formasi yang mengandung gas, hasil perhitungan harga kompressibilitas air formasi, harus dikoreksi dengan adanya pengaruh gas yang terlarut dalam air murni. Koreksi terhadap harga kompressibilitas air dapat dilakukan dengan menggunakan Gambar 2.158.
Gambar 2.157. Kompresibilitas Air murni berdasarkan Tekanan dan Temperatur (Amyx, J. W., “Petroleum Reservoir Engineering Engineering - physical physical Properties”, Properties”, 1960)
234
Gambar 2.158. Koreksi Harga Kompresibilitas Air Formasi terhadap kandungan Gas Terlarut (Amyx, J. W., “Petroleum Reservoir Engineering Engineering - physical physical Properties”, Properties”, 1960)
Secara matematik, koreksi terhadap harga kompressibilitas air (C w) dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
Cw
C wp (1 0,0088 R sw ) ............................................ ......................................................... ............. (2-333)
keterangan: Cw
= kompresibilitas air formasi, psi-1
Cwp = kompressibilitas air murni, psi-1 R sw sw = kelarutan gas dalam air, cu ft/bbl
2.2.2.3.5. Viskositas Air Formasi
Viskositas air formasi (μw) akan bervariasi terhadap tekanan, temperatur dan salinitas. Harga
μw semakin turun dengan semakin naiknya tekanan dan
temperatur, sedangkan dengan semakin besarnya pengaruh salinitas dalam air formasi, maka harga
μw akan semakin tinggi. Hubungan ini ditunjukkan pada
gambar 2.159. Gambar 2.159. menunjukkan hubungan antara viskositas air formasi terhadap temperatur pada berbagai tekanan, yang dapat digunakan untuk menentukan viskositas air formasi tanpa menunjukkan tekanan dan salinitas air formasi.
235
Wa ter salinity salinity : 60000 p p m
1,8
a t 14,7 p sia pressure a t 14,2 p sia pressure
1,6
a t 710 0 p sia
p ress ressure
p
a t va po ur p ressure ure
1,4
c , yt i
1,2
s o c si
1,0
V t lu
0,8
o s b A
0,6 0,4 0,2 0
0
50
1 00
1 50
2 00
Te mp era tur, tur,
2 50
30 0
3 50
o
F
Gambar 2.159. Grafik μw vs T Pada Berbagai Tekanan (Amyx, J. W., “Petroleum Reservoir Engineering Engineering - physical physical Properties”, Properties”, 1960)