Lamp. : Surat Keputusan Direktur Rumah Sakit Umum Anwar Medika Nomor : /SK-RSAM/I/2016 Tentang: Pemberlakuan Panduan Surveilans PPI di Rumah Sakit Umum Anwar Medika
BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama tingginya angka kesakitan dan kematian di dunia. Salah satu jenis infeksi adalah indeksi nosokomial. Infeksi ini menyebabkan 1,4 juta kematian setiap hari di seluruh dunia. Infeks nosokomial itu sendiri dapat diartikan sebagai infeksi yang diperoleh seseorang selama di rumah sakit. Rumah sakit sebagai tempat pengobatan, juga merupakan sarana pelayanan kesehatan yang dapat menjadi sumber infeksi dimana orang sakit dirawat dan ditempatkan dalam jarak yang sangat dekat. Infeksi nosokomial dapat terjadi pada penderita, tenaga kesehatan dan juga setiap orang yang datang ke rumah sakit. Infeksi yang ada di pusat pelayanan kesehatan ini dapat ditularkan atau diperoleh melalui petugas kesehatan, orang sakit, pengunjung yang berstatus karier atau karena kondisi rumah sakit. Pencegahan terhadap penyakit infeksi rumah sakit di rumah sakit dimaksudkan untuk menghindari terjadinya infeksi selama pasien rawat di rumah sakit. Tujuan penggorganisasian
program
pencegahan
dan
oengendalian
infeksi
adalah
mengidentifikasi dan menurunkan resiko infeksi yang dapat ditularkan diantara pasien, staf, tenaga profesional kesehatan, tenaga kontrak, tenaga sukarela, mahasiswa dan pengunjung. Resiko infeksi dan kegiatan program dapat berbeda dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya, tergantung pada kegiatan klinis dan pelayanan rumah sakit, populasi pasien yang dilayani, lokasi geografis, jumlah pasien dan jumlah pegawai. Program akan efektif apabila mempunyai pimpinan yang ditetapkan, pelatihan staf yag baik, metode untuk mengidentifikasi dan proaktif pada tempat beresiko infeksi, kebijakan dan prosedur yang memadai, pendidikan staf dan melakukan koordinasi ke seluruh rumah sakit. Surveilans infeksi nosokomial adalah suatu proses yang dinamis, sistematis, terus menerus dalam pengumpulan, identifikasi, analis dan interprestasi dari data kesehatan yang penting pada suatu populasi spesifik, untuk digunakan dalam perencanaan, penerapan dan evaluasi suatu tindakan yang berhubungan dengan kesehatan yang didesiminasikan secara berkala kepada pihak – pihak yang memerlukan.
2. TUJUAN Tujuan pelaksanaan surveilans diantaranya adalah : 1. Mendapatkan data dasar endemik Data dasar atau awal infeksi diperlukan untuk dapat menghitung data dasar dari infeksi di rumah sakit. Diharapkan adanya data dasar ini dapat membantu rumah 1
sakit untuk menurunkan rate dasar endemis ini dengan cara melakukan upaya – upaya pencegahan infeksi yang memadai. 2. Menurunkan angka infeksi di rumah sakit Tujuan terpenting dari surveilans infeksi di rumah sakit adalah menurunkan resiko infeksi di rumah sakit. Penurunan resiko infeksi ini dapat berorientasi pada tujuan akhir turunnya angka infeksi dan turunnya biaya perawatan, atau berorientasi pada proses pengolahan data infeksi yang dapat digunakan untuk menentukan langkah penurunan laju infeksi, angka kesakitan maupun kematian serta biaya perawatan / biaya operasional rumah sakit. 3. Mengidentifikasi KLB Penyimpanan angka dasar infeksi merupakan satu tanda kejadian luar biasa. Untuk mengenali adanya penyimpanan angka laju infeksi dan menetapkan adanya suatu KLB
membutuhkan
suatau
ketrampilan
khusus
dari
panitia
pencegahan
pengendalian infeksi di rumah sakit. Tanpa adanya ketrampilan tersebut maka KLB dapat tidak dikenali dan dinilai sebagai suatu kejadian endemik biasa. Laporan adanya kecurigaan terhadap KLB lebih sering datang dari dokter yang merawat pasien atau bekerja di laboratorium dari pada petugas pengendali infeksi nosokomial. Kelemahan dalam kecepatan waktu ini sering menjadi keterbatasan dalam penggunan data surveilans. Untuk mengatasi hal tersebut maka sebaiknya kegiatan surveilans dilaksanakan secara teratur, sehingga dapat memonitor perubahan yang terjad. Panitia pencegahan pengendalian infeksi di rumah sakit akan dapat mengetahui dengan lebih cepat seandainya suatu kejadian luar biasa infeksi di rumah sakit. Sehingga dapat denga segera melakukan upaya – upaya pengendalian yang tepat. 4. Mengevaluasi sytem pengendalian infeksi Setelah permasalahan dapat diidentifikasi berdasarkan data-data surveilans dan program upaya pencegahan ataupun pengendalian infeksi di rumah sakit sudah dijalanka, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap apa yang sudah dikerjakan. Hal ini penting karena prinsip dari surveilans adalah kegiatan yang dilakukan terus menerus sehingga dapat diyakini oleh banyak oihak bahwa permasalahan dan evaluasi terus menerus maka suatu upaya pengendalian yang tampaknya rasional pada akhirnya dapat disimpulkan sebagai suatu yang tidak efektif sama sekali
5. Menggambarkan mutu pelayanan pasien Keberhasilan pencegahan pengendalian infeksi di rumah sakit di berbagai negara termasuk di indonesia merupakan salah satui indikator mutu pelayanan kesehatan, selain juga merupakan salah satu kriteria penilaian akreditasi rumah sakit 6. Untuk mengantisipasi tuntutan malpraktek Terhadap adanya tuntutan malpraktek, program surveilans yang baik dengan kompilasi data yang baik memberikan bukti – bukti yang mendukung kualitas pelayanan rumah sakit. 3. PENGERTIAN
2
Surveilans adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dan sistematik dalam bentuk pengumpulan data, analisis data, interprestasi data dan desiminasi informasi hasil interprestasi data bagi mereka membutuhkan. Hasil ini penting untuk perencanaan, penerapan, evaluasi, praktek – praktek pengendalian infeksi. Secara singkat surveilans adalah memantau dengan berhati – hati dan memberikan tanggapan yang relevan. Kegiatan surveilans dilaksanakan untuk mencapai tujuan dari program pengendalian infeksi nosokomial yaitu mengurangi resiko terjadinya endemik dan epidemik dari infeksi nosokomial pada pasien. Kegiatan surveilans merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting, selain kegiatan infeksi, penangggulangan infeksi nosokomial maupun pendidikan dan latihan.
BAB II RUANG LINGKUP A. Jenis Surveilans Infeksi Di Rumah Sakit Umum Anwar Medika Infeksi Aliran Darah Primer (IADP) / Infeksi Luka Infus ( ILI ) Infeksi Saluran Kencing ( ISK ) Penyulit / Infeksi Tranfusi Dekubitus Ventilator Assosiated Pneumonia ( VAP ) Sepsis B. Lingkup Area Staf dan Instalasi yang terlibat 1. Pelaksanaan panduan ini adalah tenaga kesehatan terdiri dari : 3
a. Staf Medis b. Staf Perawat c. Staf Bidan 2. Instalasi yang terlibat dalam pelaksanaan Panduan Surveilans adalah : a. Instalasi Gawat Darurat b. Instalasi Rawat Jalan c. Instalasi Intensive Care Unit d. Instalasi Bedah Sentral e. Instalasi Rawat Inap terdiri dari : 1. Ruang Perawatan Dewasa 2. Ruang Perawatan Anak 3. Ruang perawatan kebidanan dan kandungan 4. Ruang Neonatal 5. Ruang Paviliun C. Kewajiban Dan Tanggung Jawab 1. Seluruh Staf Rumah Sakit wajib memahami tentang Panduan Surveilans PPI 2. Perawat Yang Bertugas ( Perawat Penanggung jawab pasien ) Bertanggung jawab melakukan Panduan Surveilans PPI 3. Kepala Instalasi / Kepala ruangan a. Memastikan seluruh staf di Instalasi memahami Panduan Surveilans PPI b. Terlibat dan melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Panduan Surveilans PPI 4. Manajer a. Memantau dan memastikan Panduan Surveilas PPI dikelola dengan baik oleh Kepala Instalasi b. Menjaga standart dalam menerapkam Panduan Surveilans PPI
BAB III TATA LAKSANA
METODE SURVEILANS Surveilans yang dilaksanakan di RSU Anwar Medika adalah Targetted Surveilance, dengan target survey meliputi infeksi khusu yaitu infeksi Aliran darah Perifer ( IADP ) atau dulu dikenal sebagai Infeksi Luka Infus ( ILI ), Infeksi Luka Operasi ( ILO ), Infeksi Saluran Kencing ( ISK ), Ventilator Associated Pneumonia ( VAP), Decubitus, Sepsis dan Infeksi Tranfusi A. JENIS SURVEILANS INFEKSI DI RSU ANWAR MEDIKA 1. Infeksi Aliran darah Perifer ( IAPD ) / Infeksi Luka Infus ( ILI ) a. Definisi IAPD : adalah infeksi aliran darah yang timbul tanpa ada organ atau jaringan lain yang dicurigai sebagai sumber infeksi b. Kriteria 1 : terdapat kuman patogen yang dikenali dari satu atau lebih biakan dan biakan dari darah tersebut tidak berhubungan dengan infeksi di tempat lain c. Kriteria 2 : ditemukan salah satu di antara gejala berikut tanpa penyebab lain : 1. Demam ( lebih dari 38°C ) 2. Menggigil 3. Hipotensi, dan paling sedikit satu dari berikut :
4
1. Kontaminasi kulit biasa (misalnya Diphtheroids, Bacillus sp. Porionibacterium sp, coagulase negative staphylococcus atau micrococci) ditemukan dari dua kali atau lebih biakan darah yang iambil dari waktu yang berbeda 2. Kontaminan kulit biasa (misalnya Diphtheroids, Bacillus sp. Porionibacterium sp, coagulase negative staphylococcus atau micrococci) ditemukan dari paling sedikit satu biakan darah dari pasien dengan saluran intravaskuler dan diokter memberikan antimicrobial yang sesuai 3. Tes antigen positif pada darah (misalnya H.influenza, S.pneumoniae, N.meningitidisi atau group B Stertococus) Dan tanda-tanda, gejala-gejala, hasil lab yang positif tidak berhubungan dengan suatu infeksi di tempat lain. d. Kriteria 3 : pasien umur > 1 th dengan paling sedikit satu tanda atau gejala berikut : 1. Demam ( Lebih dari 38°C ) 2. Hipotermi kurang dari 37°C 3. Apnea 4. Atau bradikardia, dan paling sedikit satu dari berikut a; 1. Kontaminan kulit biasa (misalnya Diphtheroids, Bacillus sp. Porionibacterium sp, coagulase negative staphylococcus atau micrococci) ditemukan dari dua kali atau lebih biakan darah yang diambil dari waktu yang berbeda 2. Kontaminan kulit biasa (misalnya Diphtheroids, Bacillus sp. Porionibacterium sp, coagulase negative staphylococcus atau micrococci) ditemukan paling sedikit atau biakan darah dari pasien dengan saluran intravaskular dan diorder memberikan antimicrobial yang sesuai 3. Tes antigen positif pada darah (misalnya H.influenza, S.pneumoniae, N.meningitidisi atau group B Streptococcus ) Dan tanda-tanda, gejala-gejala, hasil laboratorium yang positif tidak berhubungan dengan suatu infeksi di tempat lain e. Faktor Resiko IADP : a. Pemasangan kateter intravena, yang berkaitan dengan : 1. Jenis kanula 2. Metode pemasangan 3. Lama pemasangan b. Kerentanan pasien terhadap infeksi f. Pencegahan IADP : Terutama ditunjukkan pada pemasangan dan perawatan Intra Vena : a. Indikasi pemasangan Intra Vena hanya dilakukan untuk tindakan pengobatan dan atau kepentingan diagnostik b. Pemilihan kanula untuk infus primer Kanula plastik boleh digunakan untuk intra vena secara rutin, pemasangan tidak boleh lebih dari 72 jam c. Cuci tangan Cuci tangan harus dilakukan sebelum pemasangan kanula. Pada umumnya cuci tangan cuup menggunakan sabun dan air mengalir, tetapi
5
untuk pemasangan kanul vena sentral dan untuk pemasangan melalui insici, cuci tangan harus menggunakan antiseptik d. Pemilihan lokasi pemasangan intra vena Pada orang dewasa pemasangan kanula lebih baik pada tungkai atas dari pada tungkai bawah, bila perlu pemasangan dilakukan di daerah subklavicula atau jugular e. Prosedur persiapan pemasangan intra vena 1. Tempat yang ditusuk atau dipasang kanula harus terlebih dahulu didesinfeksi dengan antiseptik alkohol tujuh puluh persen 2. Antiseptik harus secukupnya dan ditunggu sampai kering, minimal f.
30 detik sebelum dilakukan pemasangan kanula Prosedur setelah pemasangan intra vena 1. Gunakan anti septik pada tempat pemasangan kanula difiksasi sebaik – baiknya 2. Cantumkan tanggal dan jam pemasangan di tempat yang mudah di
baca 3. Pada catatan pasien tulis tanggal dan lokasi pemasangan g. Perawatan tempat pemasangan intra vena 1. Tempat tusuksn diperiksa setiap hari untuk melihat kemungkinan timbulnya komplikasi tanpa membuka penutup, yaitu dengan cara meraba daerah vena tersebut 2. Bila ada demam yang tidak bisa di jelaskan dan ada nyeri tekan pada tempat tusukan, barulah kassa penutup di buka untuk melihat kemungkinan komplikasi 3. Bila kanula harus dipertahankan untuk waktu yag lama, maka setiap 72 jam harus diganti dengan yang baru dan steril h. Penggantian kanula Jika pengobatan Intra Vena melalui infuse perifer ( baik menggunakan heparin atau yag di pasang melalui incisi ), bila tidak ada komplikasi yang mengharuskan mencabut kanula maka harus diganti setiap 72 jam i.
secara aseptis Pemeliharaan peralatan 1. Pipa Intra vena termasuk kanula piggy-back harus diganti 72 jam 2. Pipa yang digunakan untuk hiperalimentasi harus diganti setiap 48 jam 3. Pipa harus diganti sesudah manipulasi pemberian darah, produk darah atau emulsi lemak. Pada setiap penggantian komponen system intra vena harus dipertahan tetap tertutup. Setiap kali hendak memasukkan obat tersebut. 4. Pengambilan bahan pemeriksaan darah melalui pipa intra vena tidak diperbolehkan kecuali dalam keadaan darurat atau pipa akan segera
j.
di lepas Penggantian Komponen Intravena dalam keadaan Infeksi atau phlebitis jika dari tempat tusukan keluar pus atau terjadi selulitis atau phlebitis tanpa gejala infeksi pada tempat intra vena atau diduga bakteremia yang
berasal dari kanula, maka semua system harus dicabut k. Kendali mutu selama dan sesudah pencampuran cairan parenteral
6
1. Tenaga pelaksana harus mencuci tangan sebelum mencampur cairan parenteral 2. Sebelum mencampur dan menggunakan cairan parenteral, semua wadah harus diperiksa untuk melihat adanya kekeruhan, kebocoran, keretakan, dan partikel tertentu dan tanggal kadaluarsa. Bila didapatkan keadaan tersebut, cairan tidak boleh digunakan dan harus dikembalikan ke bagian farmasi tidak boleh dikeluarkan 3. Sebaiknya di pakai wadah yang berisi cairan dengan dosis tunggal (sekali pakai ) 4. Bila di pakai bahan parenteral dengan dosis ganda ( untuk beberapa kali pakai ) wadah harus di beri tanda taggal dan jam pertama kali digunakan. 5. Label wadah harus diperiksa untuk mengetahui apakah perlu dimasukkan ke dalam lemari es atau tidak. 2. Infeksi Saluran Kencing (ISK) Saluran kemih adalah tempat yang paling sering terjadi infeksi nosokomial. Sumber infeksi saluran kemih dapat berasal dari luar tubuh pasien atau kontaminasi silang : a. Personil yang tidak dicuci tangan b. Cairan kontaminasi c. Peralatan medis yang tidak steril 2.1 ISK Simptomatik Definisi : memenuhi paling sedikit satu dari septic berikut ini : 1. Kriteria 1 : didapatkan paling sedikit satu dari tanda – tanda gejalagejala berikut tanpa penyebab lainnya : a. Demam > 38°C b. Nikuria (Anyang – anyangen) c. Polakisuria d. Disuria e. Atau nyeri supra pubik f. Atau biakan urin porsi tengah 10 5 kuman per mililiter urin dengan jenis kuman tidak lebih dari 2 spesies 2. Kriteria 2 : ditemukan paling sedikit dua dari tanda – tanda dan gejala – gejala berikut tanpa adanya penyebab yang lainnya : Salah satu berikut ini : a. Nyeri supra pubik, demam > 38°C b. Nikuria c. Polakisuria d. Disuria, salah satu dari hal-hal sebagai berikut : 1. Test carik celup ( dipstick ) positif untuk leukosit esterase dan atau nitrit 2. Piuria ( terdapat > 10 leukosit per ml atau terdapat > 3 leukosit per Ipb dari urin yang tidak dipusing ( dicentrifuge) 3. Ditemukan kuman pewarnaan gram dari urin yang tidak dipusing 4. Biakan urin
paling
sedikit
dua
kali
berturut-turut
menunjukkan jenis kuman yang sama (kuman gram negative
7
atau S. Saphrophyticus ) dengan jumlah > 100 koloni kuman per ml urin yang diambil dengan kateter 5. Biakan urin menunjukkan satu jenis uropatogen ( kuman gram septik atau s.Saphrophyticus ) dengan jumlah > 10 3 per ml pada penderita yang telah mendapat pengobatan anti mikroba yang sesuai 6. Didiagnosis isk oleh dokter yang menangani 7. Telah mendapat pengobatan antimikroba yang sesuai oleh dokter yang menangani 3. Kriteria 3 : pada pasien berumur < 1 tahun ditemukan paling sedikit satu dari tanda dan gejala berikut ini tanpa ada penyebab lainnya : a. Demam > 38°C b. Hipotermia ( 37°C ) c. Apnea d. Muntah – muntah e. Bradikardia < 100x/mnt f. Latargia dan hasil biakan urin 10 5 kuman per mililiter urin dengan jenis kuman tidak lebih 2 spesies 4. Kriteria 4 : pada pasien berumur < 1 tahun ditemukan paling sedikit satu dari tanda dan gejala berikut ini tanpa adanya penyebab lainnya: a. Demam > 38°C b. Hipotermia ( 37°C ) c. Apnea d. Muntah – muntah e. Bradikardia < 100 x/mnt f. Latargi dan paling sedikit satu dari berikut ini : 1. Test carik celup (dipstick) positif untuk leukosit esterase dan atau nitrit 2. Pluria (terdapat > 10 leukosit per ml atau terdapa >3 leukosit per Ipb dari urin yang tidak dip using (dicentrifuge) 3. Ditemukan kuman dengan pewarnaan gram dari urin yang tidak dipusing 4. Biakan urin paling
sedikit
dua
kali
berturut-turut
menunjukkan jenis kuman yang sama (kuman gram negativ atau s. Saphrophyticus ) dengan jumlah > 100 koloni kuman per ml urin yang diambil dengan kateter 5. Biakan urin menunjukkan satu jenis uropatogen ( kuman gram septik atau s. Saphrophyticus ) dengan jumlah > 10 3 per ml pada penderita yang telah mendapat pengobatan anti mikroba yang sesuai 6. Didiagnosa isk oleh dokter yang menangani 7. Telah mendapat pengobatan antimikroba yang sesuai oleh dokter yang menangani 5. Catatan : a. Biakan positif dari ujung kateter urin bukan merupakan test laboratorium yang diterima untuk ISK b. Biakan urin harus diambil dengan teknik yang sesuai seperti koleksi clean cath atau kateterisasi c. Pada anak kecil biakan urin harus diambil dari kateterisasi buli – buli atau aspirasi supra pubik, biakan positif dari spesimen 8
kantong urin tidak dapat dikendalikan dan harus dipastikan dengan specimen yang di ambil secara aseptic dengan kateterisasi atau aspirasi supra pubik 2.2 ISK Asimptomatik Definisi ISK asimptomatik harus memenuhi paling sedikit satu “ septik” berikut ini : 1. Kriteria 1 : a. Pasien pernah memakaii kateter kandung kemih dalam waktu 7 hari sebelum biakan urin b. Ditemukan dalam biakan urin > 105 kuman per ml urin dengan jenis kuman maksimal 2 spesies c. Tidak terdapat gejala – gejala atau keluhan demam, suhu > 38°C, polakisuria, nikuria, disuria dan nyeri supra pubik. 2. Kriteria 2 : a. Pasien tanpa kateter kandung kemih menetap dalam 7 hari sewbelum biakan pertama positif b. Biakan urin 2 kali berturut-turt ditemukan tidak lebih dari 2 jenis kuman yang sama dengan jumlah < 105 per ml. c. Tidak terdapat gejala-gejala atau keluhan demam, suhu > 38°C, polakisuria, nikuria, disuria dan nyeri supra pubik 3. Catatn : a. Biakan positif dari ujung kateter urin bukan merupakan test laboratorium yang sep diterima untuk ISK b. Biakan urin harus diambil dengan teknik yang sesuai seperti koleksi clean cath atau kateterisasi 2.3 ISK Lain Definisi ISK yang lain harus memenuhi paling sedikit satu septik berikut ini : 1. Kriteria 1 : ditemukan kuman yang tumbuh dari biakan cairan bukan urin atau jangan yang diambil dari lokasi yang dicurigai infeksi. 2. Kriteria 2 : adanya abses atau tanda infeksi lain yang dapat dilihat, baik secara pemeriksaan langsung, selama pembedahan atau melalui pemeriksaan histopatologis. 3. Kriteria 3 : terdapat dua dari tanda berikut : demam > 38°C, nyeri , nyeri tekan pada daerah yang dicurigai infeksi dan paling sedikit satu dari berikut ini : 1. Keluar pus atau aspirasi purulen dari tempat yang dicurigai infeksi 2. Ditemukan kuman pada biakan darah yang sesuai dengan tempat yang dicurigai 3. Pemeriksaan radiologi misalnya USG, CT SCAN, MRI radiolabel
scan
(gallioum,
techneticum)
abnormal,
memperlihatkan gambaran infeksi 4. Didiagnosa infeksi oleh dokter yang menangani 5. Dokter yang menangani memberikan pengobatan antimikroba yang sesuai 4. Kriteria 4 : pada pasien berumur < 1 tahun ditemukan paling sedikit satu dari tanda dan gejala berikut ini tanpa adanya penyebab lainnya: 1. Demam > 38°C 9
2. 3. 4. 5. 6.
Hipotermia ( 37°C ) Apnea Muntah – muntah Bradikardia < 100 permenit Latargia dan paling sedikit satu dari berikut ini : a. Keluar pus atau aspirasi purulen dari tempat yang dicurigai
infeksi b. Ditemukan kuman pada biakan darah yang sesuai dengan tempat yang dicurigai c. Pemeriksaan radiologi misalnya USG, CT SCAN, MRI radiolabel scan (gallioum, techneticum) abnormal, memperlihatkan gambaran infeksi d. Didiagnosa infeksi oleh dokter yang menangani e. Dokter yang menangani memberikan pengobatan antimikroba yang sesuai Faktor resiko ISK : a. Kateterisasi menetap : 1. Cara pemasangan kateter 2. Kualitas perawatan kateter b. Kerentanan pasien c. Dekubitus d. Pasca persalinan Pencegahan ISK : a. Tenaga pelaksana : 1. Pemasangan kateter hanya dikerjakan oleh tenaga yang memahami dan terampil dalam teknik pemasangan kateter secara septik dan perawatan kateter 2. Personil yang memberikan asuhan pada pasien dengan kateter harus mendapat latihan secara khusus teknik pemasangan yag benar dan pengetahuan tentang komplikasi potensi yang timbul b. Teknik pemasangan kateter 1. Pemasangan kateter hanya dilakukan bila perlu saja dan segera dilepas jika tidak diperlukan. Alasan pemasangan tidak boleh hanya untuk kemudahan personil dalam memberikan asuhan pada pasien 2. Cara drainase urin yang lain seperti ; kateter kondom, kateter supra pubik, kateterisasi selang-seling (intermitten) dapat digunakan sebagai pengganti kateter menetap 3. Sebelum dan sesudah manipulasi kateter harus cuci tangan 4. Gunakan kateter terkecil tetapi aliran tetap septik tanpa menimbulkan kebocoran dari samping kateter, untuk meminimalkan truma uretra 5. Pemasangan kateter harus secara septik dengan menggunakan peralatan steril 6. Pemakaian drain harus menggunakan peralatan steril a. Sistem drainase tertutup dan steril harus dipertahankan b. Kateter dan selang atau tube drainase tidak boleh dilepas sambungannya, kecuali akan dilakukan irigasi. c. Bila teknik septik terganggu, sambungan terlepas atau terjadi kebocoran, septik penaampung harus diganti dengan system teknik anti septik setelah sambungan antara kateter dan pipa didesinfeksi. d. Tidak ada kontak urine bag dengan lantai. 7. Lajun aliran urine harus dipertahankan. Untuk memperoleh aliran septik : a. Jaga kateter dan pipa drainase
10
b. Kantong drainase harus dikosongkan secara teratur dengan menggunakan container terpisah untuk setiap pasien ( jangan ada kontak antara lubang pengosong pada kantong penampung dengan container non steril ) c. Kateter yang berfungsi kurang baik atau tersumbat harus diirigasi atau kalau perlu diganti d. Kantong penampung diletakkan lebih rendah dari kandung kemih / bladder. 8. Pengambilan septik a. Jika kebutuhan urine sedikit dan baru untuk pemeriksaan, diambil dari akhir distal kateter atau lebih baik dari sampling port jika ada, dan dibersihkan dengan desunfektan, kemudian urine diaspirasi dengan syringe urine. b. Jika kebutuhan urine banyak untuk dianalisis, dengan teknik septik diambil dari kantong urine. 9. Perawatan meatus : bersihkan dua kali sehari dengan cara septik, bersihkan dengan sabun dan air. 10. Monitoring bakteri : monitoring bakteriologi secara rutin pada pasien dengan kateter urine tidak dianjurkan. 11. Pemisahan pasien infeksi : untuk mengurangi infeksi silang, pasien denga kateter yang terinfeksi tidak boleh bersebelahan tempat tidur atau dalam kamar yang sama dengan pasien berkateter lain yang tidak terinfeksi. 3. Infeksi Luka Opersai ( ILO ) 3.1 Superficial incisional ( ILO superficial ) Definisi : ILO superficial harus memenuhi paling sedikit satu kriteria berikut ini : 1. Kriteria ; a. Infeksi yang terjadi pada daerah incisi dalam waktu 30 hari pasca bedah. b. Hanya meliputi kulit, subkutan atau jaringan lain diatas fascia. c. Terdapat paling sedikit satuy dari keadaan berikut : 1. Pus keluar dari luka opersai atau drain yang dipasangkan diatas fascia. 2. Biakan positif dari cairan yang keluar dari luka atau jaringan yang diambil secara aseptik 3. Sengaja dibuka oleh dokter karena terdapat tanda peradangan, kecuali jika hasil biakan negative ( paling sedikit terdapat satudari tanda infeksi berikut ini, nyeri, bengkak lokal, kemerahan dan hangat lokal ) 4. Dokter yang menangani menyatakan terjadi infeksiu. 2. Petunjuk pelaporan a. Jagan laporkan abses jahitan ( inflamasi dan discharge minimal pada titik – titik jahitan ) sebagai infeksi. b. Jangan melaporkan suatu infeksi local pada tempat tusukan (Stab Wound) sebagai infeksi, tapi laporkan sebagai infeksi kulit atau soft tissue tergantung kedalamannya. c. laporkan infeksi pada sircumsisi bayi sebagai (SST-CIRC = skin and soft tissue infekction sirkulasi neonatus ) d. Laporkan infeksi pada episiotomi sebagai infeksi organ reproduksi episiotomi. Episiotomi bukan prosedur pembedahan bagi NNIS. e. Laporkan luka bakar yang terinfeksi sebagai SST BURN ( skin and soft tissue infection)
11
f.
Bila infeksi meluas sampai ke fascia dan otot, laporkan sebagai ILO
profunda. g. Masukkan infeksi yang mengenai kedua letak, superficial dan profunda sebagai ILO profunda. 3.2 Deep Incisional / Operasi Profunda Kriteria : a. Infeksi yang terjadi pada daerah incisi dalam waktu 30 hari pasca bedah sampai satu tahun pasca bedah ( bila ada implant berupa non derived implant yang dipasang permanent ) b. Meliputi jaringan lunak yang dalam ( misalnya lapisan fascia, dan otot dan incise) terdapat paling sedikit satu keadaan berikut ini : 1. Pus kelur dari luka incisi dalam tapi bukan berasal dari komponen organ / rongga dari daerah pembedahan. 2. Incisi dalam secara spontan mengalami dehisensi atau dengan sengaja dibuka oleh ahli bedah bila pasien mempunyai paling sedikit satu dari tanda-tanda atau gejala berikut ini : demam ( >38°C ), atau nyeri lokal, terkecuali biakan incisi negatif. 3. Ditemukan abses atau bukti lain adanya infeksi yang mengenai incisi dalam pada pemeriksaan langsung, waktu pembedahan ulang atau dengan pemeriksaan histopatologis atau radiologist. 4. Dokter yang menangani menyatakan terjadinya infeksi 3.3 ILO Organ / Rongga Definisi : ILO Organ / rongga mengenai bagian maupun kecuali incisi kulit, fascia atau lapisan – lapisan otot, yang dibuka atau dimanipulasi selama pembedahan. Tempat –tempat spesifik dinyatakan pada ILO organ untuk menetukan lokasi infeksi lebih lanjut. Contoh : appendiktomi yang diikuti dengan abses sub diafragmatika, yang harus dilaporkan sebagai ILO Organ / Rongga pada tempat spesifik intra abdomen. Kriteria ; a. Infeksi timbul dalam waktu 30 hari setelah prosedur pembedahan, bila tidak dipasang implant, atau dalam waktu satu tahun bila dipasang implant dan infeksi tampaknya ada hubungan dengan prosedur pembedahan. b. Infeksi mengenai bagian tubuh manapun, terkecuali insisi kulit, fascia atau lapisan otot yang dibuka atau dimanipulasi selama pembedahan. c. Pasien paling sedikit mempunyai salah satu dari berikut ini : 1. Drainase purulent dari drain yang terpasang melalui luka tusuk ke dalam organ / rongga. 2. Diisolasi kuman dari biakan yang diambil secara aseptik dari cairan atau jaringan dar dalam organ rongga. 3. Abses atau bukti lain adanya infeksi yang mengenai organ / rongga yang diketemukan pada pemeriksaan langsung waktu pembedahan ulang atau denga pemeriksaan histopatologis atau radiologis. 4. Dokter yang menangani menyatakan terjadinya ILO organ / rongga. Faktor Resiko ILO : a. Tingkat kontaminasi luka b. Faktor pejamu 1. Usai eksterm ( sangat muda / sangat tua) 12
2. Obesitas 3. Adanya infeksi perioperatif 4. Penggunaan kortikosteroid 5. DM 6. Malnutrisi berat c. Faktor pada lokasi luka 1. Pencukuran daerah operasi ( cara dan waktu pencukuran ) 2. Devitalisasi jaringan 3. Benda asing 4. Suplai darah yang buruk ke daerah operasi 5. Lokasi luka yang mudah tercemar ( dekat perinium ) d. Lama perawatan e. Lama operasi 4.Infeksi Tranfusi Batasan Infeksi Tranfusi : Tranfusi darah yang tidak dikerjakan sesuai dengan prosedur yang berlaku dapat menimbulkan kelainan sebagai berikut : Terjadinya penyulit / kelainan karena inkompatibilitas ( golongan darah yang tidak sesuai ) Terjadinya infeksi nosokomial dalam darah resipien ( penerima ) karena adanya bibit penyakit dalam darah donor ( pemberi ) tersebut dalam waktu atau sesuai dengan masa inkubasi penyakit tersebut. Perkecualian : Kelainan darah atau sepsis yang bukan disebabkan oleh tranfusi darah atau suntikan apapun. Pencegahan Infeksi dan Penyulit Tranfusi : 1. Selalu pastikan golongan darah pasien sebelum menerima tranfusi. 2. Selalu pastikan jenis darah / produk darah yang diperlukan dengan jenis darah / produk darah yang akan ditranfusikan. 3. Lakukan crossmatch antara darah pasien dan darah donor. 4. Pastikan untuk selalu memasukkan darah yang telah menjalani screning dan dinyatakan aman untuk ditranfusikan. 5. Gunakan blood set untuk mengalirkan darah dan ganti dengan infus set yang baru, jika tranfusi telah dilakukan. 6. Lakukan semua tindakan dengan prinsip aseptik dan alat pelindung diri. 5. Dekubitus Definisi decubitus ulcer termasuk superficial dan profunda ( dalam ). Kriteria : Terdapat paling sedikit dua dari tanda-tanda dan gejal-gejala berikut tanpa diketahui ada penyebab lain : 1. Kemerahan 2. Nyeri 3. Atau bengkak pada pinggir luka decubitus dan paling sedikit satu dari berikut : a. Kuman dari biakan cairan atau jaringan yang diambil secara benar. b. Kuman dari biakan darah. Catatan : 1. Drainase purulen saja tidak cukup kuat membuktikan adanya infeksi 2. Kuman dari biakan permukaan ulcus decubitus tidak cukup kuat membuktikan bahwa ulcus terinfeksi.
13
3. Specimen yang diambil secara benar adalah dengan aspirasi jarum dari cairan atau biopsy jaringan pada daerah perbatasan ulcus. Pencegahan : 1. Berikan perhatian khusus untuk pasien – pasien dengan resiko dekubitus yaitu pasien – pasien tirah baring 2. Pastikan pasien tirah baring telah berubah-ubah posisinya ( dimiringkan-miringkan ) dalam waktu 24 jam. 3. Gunakan kasur dekubitus jika memungkinkan 6. Ventilator Associated Pneumonia ( VAP ) 1. Definisi : Pneumonia nosokomial merupakan salah satu komponen perwatan di rumah sakit yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien, inseden pneumonia nosokomial mencapai 30 persen. Pneumonia nosokomial ini dibagi dalam 2 golongan, Hospital Acquired Pneumonia ( HAP ) dan Ventilator Associated Pneumonia ( VAP ). Yang dilakukamn di RSU Anwar Medika adalah surveilans VAP. Meskipun demikian dalam pelaksanaan perawatan, tetap tidak meninggalkan semua prosedur yang mencegah terjadinya HAP. HAP didefinisikan sebagai pneumonia yang terjadi 48 jam lebih setelah masuk rumah sakit, sedangkan VAP diidentifikasikan sebagai pneumonia yang tejadi 48 jam atau lebih setelah intubasi. VAP yang terjadi pada periode sebelum 4 hari disebut early onset pneumonia dan yang terjadi setelah itu disebut late onset pneumonia 2. Faktor resiko VAP : 1. Pasien PPOK / PPOM 2. Pasien luka bakar 3. Pasca operasi bedah saraf 4. ARDS 5. Trauma 6. Penyakit Susuna Saraf Pusat 7. Aspirasi isi lambung 8. Tindakan re intubasi 9. Pemberian atagonis H2 reseptor 10. Pasien dengan control ventilasi 11. Pemberian antibiotik sebelumnya 12. Pemberian enteral nutrisi secara terus menerus Resiko VAP sebesar 3,3 % per hari pada minggu pertama, 2,3 % per hari pada minggu kedua dan 1,3 % perhari pada mingu ketiga. Mortalitas karena VAP masih tinggi antara 24-50 % dan pada keadaan tertentu dapat mencap[ai 76 % misalnya pada infeksi dengan mikroorganisme yang patogen. 3. Etiologi : Pada saluran nafas bagian atas, tejadi kolonisasi mikroorganisme, beberapa jam setelah intubasi. Kurang lebih terdapat 10 jenis mikroorganisme yang paling sering dijumpai pada epidemiologi VAP, dengan perbedaan terletak pada prosentase masing – masing mikroorganisme untuk tiap – tiap RS. Aeruginosa, staphyococus aureus, Acinetobacter dan Enterobacter.jadi dalam pmilihan antibiotik kuman – kuman tersebut dapat dijadikan pertimbangan.
14
Pada early onset VAP penyebab infeksi biasanya gram positif dan lebih mudah diobati ( Staphylococcus pneumonia, Hemophylus influenza dan staphylococcus aereus ), sedangkan pada late onset VAP penyebab infeksi biasanya gram negative dan lebih sulit pengobatan ( Psedomonas sp Avinetobacter, Stenotrophomonas dan Methicilin Resistent Staphylococcus aureus / MRSA ). 4. Diagnosis : Kriteria diagnosis VAP yang baku merupakan salah satu hal yang sangat penting dan sulit pada penanganan pasien kritis. Kriteria klinis yang banyak dipakai adalah berdasarkan American College of Chest Pyscia (sessitivitas 69 % dan spesifisitas 75 %). Yang mendiagnosis VAP jika : Terdapat gambaran infiltrate baru yag menetap Ditambah 1 dari kriteria berikut : 1. Adanya mikroorganisme patogen pada kultur sputum 2. Kavitas pada gambar radiology 3. Bukti histopatologi adanya pneumonia Atau 2 dari kriteria berikut : 1. Panas 2. Lekositosis atau lekopenia 3. Sputum yang purulen Diagnosis mikroorganisme penyebab VAP pada dasarnya adalah hasil kultur dan sensivity test dari spesimen saluran pernafasan bagian bawah dengan cara pengambilan menggunakan metode non invasive ( asprasi endotracheal ), maupun yang invasive yaitu Protected Specimen Brush (PSB). Tujuan pengambilan invasive adalah untuk menghindari kontaminasi mikroorganisme saluran pernafasan atas. Hasil kultur dan resistensi tes dari ketiga cara tersebut memiliki nilai variabilitas yang tinggi. Perbedaan pendapat masih terjadi sampai saat ini mengenai penggunaan metode invasive atau non invasive dalam pengambilan sample sputum saluran pernafasan. Perdebatan terfokus pada putcome pasien seperti lama perawatan di Instansi Perlayanan Intensif, lama perawataan di rumah sakit, angka kematian dan biaya. Pada prinsipnya pengambilan sputum dengan cara non invasive melalui aspirasi endotracheal dapat dilakukan secara rutin untuk mendiagnosa VAP dengan hasil yang memadai. Namun pada pasien yang lebih kritis atau tidak menunjukkan respon terhadap pemberian antibiotik secara empirik, lebih baik menggunakan cara invasive 5.Pencegahan : Pencegahan VAP dapat dilakukan dengan 2 cara : 1. Strategi Non Farmakologi a. Mencuci tangan dan menggunakan sarung tangan Mencuci tangan direkomendasi untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial. Pemakaian sarung tangan steril pada saat melakukan penghisapan secret juga akan mencegah terjadinya VAP. b. Posisi pasien semi recumbent Pasien dengan ventilasi mekanik sebaiknya diposisikan semi recumbent untuk mencegah terjadinya aspirasi.
15
c. Hindari pemberian nutrisi enteral dengan volume besar Lambung yang penuh harus dihindari untuk mencegah refluks dari lambung dengan cara mengurangi volume cairan nutrisi setiap kalinya. Hati – hati juga terhadap penggunaan narkotik dan antyi kolinergik, karena dapat mengganggu pergerakan lambung dan usus. Lakukan monitoring volume residual lambung setelah pemberian nutrisi entertal. Dapat diberikan obat yag meningkatkan pergerakan lambung dan usus seperti metoklopramid. d. Intubasi oral Intubasi nasal yang lama (lebih dari 48 jam) harus dihindari karena berhubungan dengan sinusitis nasal. Sinusitis dapat menjadi predisposisi terjadinya pneumonia melalui aspirasi secret sinus yang sudah terkontaminasi ke dalam paru. e. Pemeliharaan sirkuit ventilator Sirkuit ventilator sebaiknya dimonitor secara rutin untuk menghindari kolonisasi f.
mikroorganisme. Penghisapan secret subglotis Penghisapan secret subglotis secara terus menerus dapat dilakukan untuk mengurangi kolonisasi mikroorganisme, tekanan balon endotrakeal harus adekuat
untuk menghindari masuknya secret ke dalam paru. g. Perubahan posisi pasien Perubahan posisi pasien dapat mengurangi VAP dengan jalan memperbaiki drainase secret paru. h. Jenis selang penghisap Ada 2 jenis selang penghisap yaitu sytem terbuka sekali pakai dan system tertutup dapat digunakan untuk beberapa kali pemakaian. Resiko VAP tampaknya i.
sama pada kedua jenis selang tersebut. Humidifikasi Secara teori humidifikasi dapat
menurunkan
VAP
dengan
cara
meminimalisasikan pertumbuhan koloni dalam sirkuit ventilator. 7. Sepsis Definisi sepsis klinis harus memenuhi paling sedikit satu kriteria berikut ini : 1. Kriteria 1 Ditemukan salah satu diantar gejala berikut ini tanpa penyebab lain : a. Suhu > 38°C bertahan minimal 24 jam dengan atau tanpa pemberian antiseptika b. Hipotensi ( sitolik > 90 mmhg ) c. Oliguri dengan jumlah urine < 29 ml / jam atau <0,5 cc/kg BB/jam, dan semua gejala / tanda yang tersebut dibawah ini : 1. Biakan darah tidak dilakukan atau tidak diketemukan kuman atau antigen dalam darah 2. Tidak terdapat tanda – tanda infeksi ditempat lain 3. Telah diberikan antimikroba sesuai dengan sepsis 2. Kriteria 2 : Ditemukan pada pasien berumur 1 tahun dan paling sedikit satu gejala / tanda berikut tanpa diketahui ada penyebab lainnya : a. Demam > 38°C b. Hipotermi < 37°C c. Apnea d. Atau bradikardi, 100 kali permeter dan semua gejala di bawah ini : 1. Biakan darah tidak dilakukan atau tidak diketemukan kuma / antigen dalam darah 2. Tidak terdapat tanda – tanda infeksi ditempat lain
16
3. Telah diberikan antimikroba sesuai dengan sepsis 3. Asal terbanyak kejadian sepsis : a. Urugenital system b. Hepatobiliary tract c. GI Tract d. Paru – paru 4. Penyebab yang lebih jarang : a. Intra vena line b. Cairan infuse c. Luka operasi d. Drain operasi e. Luka decubitus 5. Pencegahan sepsis a. Selalu mencuci tangan setiap kali sebelum dan sesudah melakukan tindakan atau dari satu pasien ke pasien lain b. Selalu menerapkan prinsip aseptik dalam melakukan setiap tindakan medis c. Memenuhi ketentuan prosedur perawatan dan penggunaan peralatan medis, khususnya yang bersifat invasive (misalnya : mengganti infuse setelah 2 kali 24 jam, perawatan kateter urine setiap hari, perawatan sirkuit ventilator dan sebagainya) B. PELAKSANAAN SURVEILANS Surveilans infeksi di Rumah Sakit Umum Anwar Medika dilaksanakan oleh Infection Prevention Controling Nurse ( IPCN ) dan dibantu oleh Infection Prevention Link Nurse (IPCLN ) di masing – masing ruang perawatan. C. TATA LAKSANA PERHITUNGAN DAN PELAPORAN 1. Cara Perhitungan a. IAD Perifer Insiden IAD Perifer = jumlah kasus IAD perifer dalam satu bulan x 1000 permil Jumlah hari pemasangan dalam bulan tersebut b. ILO Insiden ILO = Jumlah kasus ILO dalam satu bulan x 100 persen Jumlah operasi dalam bulan tersebut c. ISK Insiden ISK d. VAP Insiden VAP
= Jumlah kasus ISK dalam satu bulan x 1000 permill Jumlah hari pemasangan kateter dalam bulan tersebut = Jumlah kasus pneumonia dalam satu bulan x 1000 permill Jumlah hari pemasangan ventilator dalam bulan tersebut
e. DECUBITUS Insiden DECUBITUS = Jumlah kasus dekubitus dalam satu bulan x 100 persen Jumlah pasien tirah baring dalam bulan tersebut f. PENYULIT TRANFUSI Insiden = Jumlah kasus penyulit tranfusi dalam 1 bulan x 100 persen Jumlah pasien tranfusi dalam bulan tersebut g. SEPSIS Insiden SEPSIS = Jumlah kasus sepsis dalam satu bulan x 1000 permill Jumlah pasien MRS dalam bulan tersebut 2. Pelaporan Data surveilans diperoleh dari sensus harian, kemudian direkapitulasi setiap bulan. Laporan surveilans direkap setiap bulan untuk ditentukan insiden infeksi dan proporsi infeksi dalam bulan tersebut, kemudian dilaporkan kepada Direktur rumah 17
sakit bersama laporan kegiatan PPI selama bulan bersangkutan dalam bentuk Laporan Bulanan Panitia Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di rumah sakit. Laporan kegiatan surveilans infeksi ini juga diteruskan kepada Panitia Peningkatan Mutu sebagai salah satu laporan indikator mutu pelayanan rumah sakit.
BAB IV DOKUMENTASI Format pelaksanaan surveilans terdiri dari : 1. Format sensus harian kejadia infeksi di tiap ruang perawatan. Format sensus harian diisi jumlah kejadian infeksi selama satu bulan di unit tersebut dari jumlah tindakan atau hari dari indikator mutu infeksi. 2. Format pelaporan resiko infeksi. Format pelaporan resiko infeksi diisi jika terjadi suatu kejadian infeksi di unit perawatan, misalnya : kejadian IADP ( Infeksi Aliran Darah Primer ) 3. Format rekapitulasi kejadian infeksi. Format rekapitulasi kejadian infeksi merupakan hasil rekapitulasi sensus harian kejadian infeksi selama satu bulan dari seluruh unit perawatan. 4. Laporan insiden rate infeksi. Laporan insiden rate infeksi merupakan hasil olahan data kejadian infeksi yang dipaparkan berdasarkan insiden rate. 5. Format daftar tilik. Format daftar tilik adalah untuk merupakan pematauan dan pengawasan terhadap tindakan – tindakan keperawatan yang memungkinkan terjadinya resiko infeks di seluruh unit perawatan.
BAB V 18
PENUTUP Panduan surveilans Pencegahan dan Pengendalian Infeks ini disusun, sebagai acuan untuk melaksanakan upaya pencegahan dan pengendalian infeksi sehari – hari. Diharapkan melalui panduan surveilans ini, dapat tercipta keseragaman pemahaman dan persepsi, dalam mewujudkan pelayanan yang berkualitas dengan kepedulian tinggi terhadap pencegahan dan pengendalian infeksi di Rumah Sakit Umum Anwar Medika secara nyata. Dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, maka tidak menutup kemungkinan pedoman yang saat ini berlaku harus disempurnakan. Oleh karenanya panduan terhadap panduan ini pun akan tetap dilakukan evaluasi secara berkala agar diperoleh perkembangan yang terbaru, demi upaya peningkatan kualitas pelayanan di Rumah Sakit Umum Anwar Medika. Setiap masukan demi perbaikan pelayanan pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit diterima secara terbuka demi mewujudkan pelayanan yang berkualitas.
Ditetapkan di : Sidoarjo Pada tanggal : Panitia PPI RSU Anwar Medika Ketua, Dr Hadiq Sp PD
DAFTAR PUSTAKA Sakit dan Astrawinantan, Delima Ari Wahono, (2003), Epidemiologi Klinik dan Sistem Surveilans Infeksi di Rumah Sakit. Kursus Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit. Departemen Kesehatan RI. (2007). Pedoman Manajerial Infeksi di Rumah Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya. Jakarta : Depkes RI.
19
Djoyosugito A, Roeshadi Dj. Pusponegoro A, Supardi imam. (2001). Buku Maula Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah sakit. Kemenkes. (2010) Petunjuk Praktis Surveilans Infeksi Rumah Sakit. Indonesia : Depkes RI Kurikulum dan Modul Pelatihan Kewaspadaan Universal. (1999). Departemen Kesehatan , Direktorat Jenderal Pelayanan PPM dan PLP. Tobing, Demak L, (2003) Struktur Pengendalian Infeks di Rumah Sakit. Kursus Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit. http://www/pit.edu/-super I/lecture/iec.2004/001/htm. Nosokomial Infecion Surveilans Methods Diakses 03 januari 2012 Pandjaitan, costy, SKM, CVRN, Survilan Infection Nosokomial, makalah presentasi Pedoman Pencegahan dan pengendalian Infeksi si Rumah Sakit dan Fasilitas Kesehatan Lainnya. (2007). Departemen Kesehatan Republik Indonesia – Perhimpunan Pengendalian Infeksi. JHPIEGO.
20