PRESENTASI KASUS Para 4 Abortus 0 Usia 50 Tahun dengan Vaginitis dan Cervicitis
Pembimbing dr. Aditiyono, Sp. OG Disusun oleh : Prasastie Gita Wulandari Rostikawaty Azizah Akhmad Ikhsan Prafita Putra
G4A013050 G4A013051 G4A013052
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PENDIDIKAN PROFESI KEDOKTERAN SMF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN RSUD PROF. DR MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO 2014
PRESENTASI KASUS
Para 4 Abortus 0 Usia 50 Tahun dengan Vaginitis dan Cervicitis
Disusun oleh : Prasastie Gita Wulandari Rostikawaty Azizah Akhmad Ikhsan Prafita Putra
G4A013050 G4A013051 G4A013052
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat di Kepaniteraan Klinik SMF Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
Disetujui dan disahkan Pada tanggal, September 2014 Pembimbing,
dr. Aditiyono, Sp. OG KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus yang berjudul “Para 4 Abortus 0 Usia 50 Tahun dengan Vaginitis dan Servicitis” ini. Terimakasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada dr. Aditiyono, Sp.OG selaku pembimbing penulis sehingga presentasi kasus ini dapat selesai dan tersusun paripurna. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan untuk segenap konsulen di bagian Ilmu Kebidanan dan Kandungan yang telah memberikan dukungan moriil dan keilmuan sehingga penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus ini. Penulis mengharapkan agar presentasi kasus ini
dapat bermanfaat bagi para dokter, dokter muda, ataupun para medis lainnnya, khususnya di bidang kedokteran. Purwokerto, September 2014 Penulis
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pap Smear atau tes Pap adalah suatu prosedur yang meliputi pengumpulan selsel dari lehserviks wanita dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop untuk mendeteksi lesi kanker atau prakanker. Tes Pap merupakan tes yang aman, murah dan telah dipakai bertahun-tahun lamanya untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang terjadi pada sel-sel leher rahim (Lestadi, 2009). Tujuan dan manfaat pap smear diantaranya: evaluasi sitohormonal, mendiagnosis peradangan, identifikasi organisme penyebab peradangan, mendiagnosis kelainan prakanker (displasia) dan kanker serviks dini atau lanjut (karsinoma/invasif), serta memantau hasil terapi (Karjani, 2012). Wanita yang dianjurkan untuk melakukan tes pap smear biasanya mereka yang tinggi aktifitas seksualnya. Namun tidak menjadi kemungkinan juga wanita yang tidak beraktifitas seksual tinggi atau yang tidak diindikasikan memeriksaan diri. Kanker yang paling sering terdiagnosis adalah kanker serviks yang merupakan tumor ganas primer yang berasal dari metaplasia epitel di daerah squamocolumnar junction yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan mukosa kanalis servikalis. Kanker serviks biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. Sebanyak 90% dari kanker leher rahim berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke rahim. Sebelum terjadinya kanker akan didahului oleh keadaan yang disebut lesi prakanker atau neoplasia intraepitel serviks (NIS). Insidensi kanker serviks di dunia mencapai 25-40 kasus per 100.000 wanita pertahun. Prevalensinya menurut Xiang (2011) mencakup 12% dari seluruh kanker pada wanita yang lebih sering dijumpai di negara berkembang yang mencakup 80% dari kasus kanker seviks di dunia. Mortalitas kanker serviks cukup tinggi. Menurut World Health Organization (WHO), setiap tahunnya lebih dari 270.000 wanita mati akibat kanker serviks dan 85% kematian berasal dari negara berkembang. Oleh sebab itu, WHO menetapkan kanker serviks kanker dengan prevalensi dan mortalitas tertinggi di dunia setelah kanker payudara. Vaginitis merupakan masalah ginekologis yang paling sering terjadi pada 90% wanita remaja di dunia, kondisi ini disebabkan oleh vaginosis bakterial (50%), kandidiasis vulvovaginal (75%), trikomoniasis (25%) (KESPRO INFO, 2009). Penelitian-penelitian sebelumnya telah melaporkan angka kejadian vaginitis di
beberapa negara, diantaranya Thailand 33 %, Afrika-Amerika 22,7 %, London 21 %, Indonesia 17 %, Jepang 14 %, Swedia 14 %, dan Helsinki 12 %. Vaginitis adalah suatu kondisi peradangan pada mukosa vagina yang dapat disebabkan oleh mekanisme infeksi maupun noninfeksi. Vaginitis ditandai dengan pengeluaran cairan abnormal yang sering disertai rasa ketidaknyamanan pada vulvovagina (Syed dan Braverman, 2004). Servisitis adalah peradangan jaringan serviks yang umumnya dianggap sebagai hasil infeksi secara seksual dari organisme, paling sering Neisseria gonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis. Hampir semua kasus servisitis disebabkan oleh penyakit menular seksual dan, bisa juga karena cedera pada jaringan serviks, kontrol jalan lahir yang berkurang seperti diafragma dan bahkan kanker (Marrazzo, 2006 Angka penderita servisitis di seluruh dunia dan Indonesia belum diketahui secara pasti, namun sebuah studi yang dilakukan di India menyebutkan bahwa 14,5 % dari 3.000 wanita di India terkena sindrom duh (discharge) vagina, dimana servisitis termasuk didalamnya (Patel, 2005). B. Tujuan 1. Tujuan Umum Mengetahui tentang pemeriksaan pap smear dan aplikasinya dalam deteksi neoplasia serviks. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui indikasi dan kontraindikasi melakukan pap smear b. Mengetahui prosedur yang dilakukan pada pemeriksaan pap smear sebagai pemeriksaan penunjang c. Mengetahui mengenai interpertasi hasil pap smear dan mengaplikasikannya pada kasus-kasus reproduksi wanita.
BAB II LAPORAN KASUS A. Identitas Pasien Nama Usia Agama Suku/bangsa Pekerjaan Alamat Nomor CM Tanggal/Jam Masuk
: Ny. SB : 50 tahun : Islam : Jawa : Ibu Rumah Tangga : Cilacap : 904167 : 29 september 2014 pukul 09.00 WIB
B. Anamnesis 1. Keluhan utama Keputihan berwarna putih kekuningan 2. Keluhan tambahan Agak panas dikemaluan, flek 3. Riwayat penyakit sekarang Pasien datang di Poli Klinik Kebidanan RSMS dengan keluhan keputihan. Keluhan tersebut sudah dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Keputihan berwarna putih kekuningan, cair, jumlah sedikit, dan barbau amis, tidak berbuih. Keputihan muncul setiap hari selama 2 bulan bulan dan keluar banyak setelah pasien berhubungan dengan suaminya. Selama keputihannya muncul pasien sudah 2 kali berobat ke RSMS untuk memperingan keluhannya. Selama pengobatan, pasien merasa keluhannya berkurang dalam hal jumlah namun masih keputihan. Selain keputihan, pasien mengeluhkan munculnya flek berwarna merah segar sampai cokelat yang menyertai keluhan keputihan. Jumlahnya bervariasi, terkadang hanya berupa flek cokelat atau sampai membuat pasien mengganti pembalut. Pasien juga menyangkal adanya nyeri pada perut bagian bawah. Keluhan lain yang dikeluhankan pasien adalah agak panas di area kemaluan. Keluhan nyeri dan berdarah saat berhubungan seksual juga disangkal oleh pasien. Buang air kecil lancar tidak ada keluhan. Riwayat menstruasi HPHT 10 September 2014, siklus teratur selama 7 hari, dismenore (+) Riwayat Obstetrik P4A0 : Anak 1 : Perempuan/stillbirth Anak 2 : laki-laki/ UK aterm/ spontan/ dukun/ 3200 gram/ sehat/ 32 tahun Anak 3 : perempuan/ UK aterm/ spontan/ bidan/ 3200 gram/ sehat / 31 tahun Anak 4 : laki-laki/ UK aterm/ spontan/ bidan/ 3200 gram/ sehat/ 27 tahun
Riwayat Pernikahan Menikah 1 kali/ 34 tahun Riwayat KB Pil Riwayat penyakit dahulu Riwayat hipertensi: Riwayat diabetes mellitus: + (terkontrol sejak 10 tahun yll) Riwayat Alergi Antibiotik, pasien tidak mengetahui jenis antibiotiknya Riwayat sosial ekonomi Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga, suami pasien seorang pedagang di pasar. Kesan ekonomi menengah ke bawah. Pasien memiliki kebiasaan menggunakan celana dalam ketat dan mengganti celana dalam sekali dalam sehari. Pasien tidak pernah membersihkan daerah kemaluannya dengan sabun pencuci khusus area kemaluan. C. Pemeriksaan Fisik Keadaan umum : Sedang Kesadaran : Compos mentis Tinggi badan : 151 cm Berat badan : 60 kg BMI : 22,34 Vital sign Tekanan darah : 150/80 mmHg Nadi : 80 kali/ menit, isi dan tegangan cukup Respirasi Rate : 20 kali/ menit, regular Suhu : 36,1o C Mata : conjungtiva mata kanan dan kiri anemis, tidak ada skela ikterik pada mata kanan dan kiri. tidak ada ottorhea. tidak keluar sekret mukosa bibir tidak sianosis tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
Telinga Hidung Mulut Leher
: : : :
Thorax Paru Inspeksi
: Bentuk dada simetris, pergerakan dada simetris (tidak ada gerakan
Palpasi Perkusi Auskultasi
nafas yang tertinggal), tidak ada retraksi spatium intercostalis. : Gerakan dada simetris, vocal fremitus kanan sama dengan kiri : Sonor pada seluruh lapang paru : Suara dasar nafas vesikuler, tidak terdapatronkhi basah kasar di parahiler dan ronkhi basah halus di basal pada kedua lapang paru, tidak ditemukan wheezing.
Jantung
Inspeksi
: Tidak tampak pulsasi ictus cordis pada dinding dada sebelah kiri
Palpasi
atas. : Teraba ictus cordis, tidak kuat angkat di SIC V, 2 jari medial LMC sinistra : Batas jantung kanan atas SIC II LPSD Batas jantung kanan bawah SIC IV LPSD Batas jantung kiri atas SIC II LPSS Batas jantung kiri bawah SIC V LMCS : S1>S2 reguler, tidak ditemukan murmur, tidak ditemukan gallop.
Perkusi
Auskultasi Abdomen Inspeksi Perkusi
: Cembung : Timpani
Palpasi
: Supel, nyeri tekan (-), massa (-)
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
Genitalia eksterna Inspeksi Mons pubis, labia mayor dan minor, introitus, perineum: warna tidak hiperemis, tidak tampak ada benjolan maupun edema, ukuran normal, tidak ada darah, tampak adanya keputihan berwarna putih kekuningan, encer, jumlah sedikit, dan berbau amis. Palpasi Tidak didapatkan nyeri tekan Genitalia interna (inspekulo) Cairan vagina : tampak cairan yang berada di sisi-sisi lateral vagina, berwarna putih keabuan, encer dan jumlah banyak. Setelah dibersihkan dengan menggunakan tampon tang dan kassa steril, tidak tampak adanya cairan atau sekret yang keluar dari serviks. Dinding vagina : warna tampak sedikit hiperemis, permukaan licin tidak berbenjol-benjol. Portio/ cervix : warna sedikit hiperemis, ukuran normal seukuran ibu jari kaki, permukaan licin tidak ada benjolan. OUE : tertutup D. Hasil pap smear (Tanggal 15 September) Diterima : 2 buah preparat kering pada tanggal 30 September 2014 Mikrosik : Pap Smear menunjukkan sel epitel intermedia, superficial, dan endocervik Sebaran difus leukosit PMN, limfosit, dan eritrosit. Tak tampak jamur dan Trichomonas vaginalis Tampak sel dysplasia ringan Tak tampak sel ganas Kualitas sediaan baik Kesan
:
Saran
:
Radang kronik non spesifik disertai dysplasia ringan
Keterangan Klasifikasi Diagnosis: Klas 0 : Sediaan tidak representatif Klas I : Normal Smear Klas II : Ditemukan sel-sel abnormal, tetapi tidak tersangka keganasan Klas III : Ditemukan sel-sel abnormal, yang meragukan untuk keganasan Klas IV: Ditemukan sel-sel abnormal, yang mencurigakan untuk keganasan Klas V : Ditemukan sel-sel ganas
E. Diagnosa dari Poliklinik P4A0 usia 50 tahun dengan Vaginitis dan Cervicitis F. Plan 1. Po. Clindamicin 2 x 150 mg 2. Neo gynoxa ovula 1x1
BAB III DISKUSI MASALAH Diagnosis masuk dari Poli Kebidanan dan Kandungan RSMS adalah Para 4 Abortus 0 Usia 50 Tahun dengan Vaginitis dan Cervicitis. Beberapa hal yang perlu dibahas mengenai kasus tersebut antara lain : 1. Apakah diagnosis saat masuk sudah tepat ? Diagnosis adalah proses penentuan jenis masalah kesehatan atau penyakit dengan cara meneliti atau memeriksa. Diagnosis klinis adalah diagnosis yang ditegakan melalui serangkaian proses anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang saling berkaitan satu sama lain. Dalam penegakan diagnosis sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain pasien, pelaku diagnosis, serta sarana dan prasarana penunjang diagnosis. Diagnosis pasien adalah para 4 abortus 0 usia 50 tahun dengan vaginitis. servicitis Diagnosis tersebut ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pasien mengalami keputihan yang sudah dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Keputihan berwarna putih kekuningan, cair, jumlah sedikit, dan barbau amis, tidak berbuih. Keputihan muncul setiap hari selama 2 bulan bulan dan keluar banyak setelah pasien berhubungan dengan suaminya. Selama keputihannya muncul pasien sudah 2 kali berobat ke RSMS untuk memperingan keluhannya. Selama pengobatan, pasien merasa keluhannya berkurang dalam hal jumlah namun masih keputihan. Selain keputihan, pasien mengeluhkan munculnya flek berwarna merah segar sampai cokelat yang menyertai keluhan keputihan. Jumlahnya bervariasi, terkadang hanya berupa flek cokelat atau sampai membuat pasien mengganti pembalut. Pasien juga menyangkal adanya nyeri pada perut bagian bawah. Keluhan lain yang dikeluhankan pasien adalah rasa agak panas didaerah kemaluan. Keluhan nyeri dan berdarah saat berhubungan seksual juga disangkal oleh pasien. Buang air kecil lancar tidak ada keluhan. Pemeriksaan genitalia eksterna dan interna (inspekulo) dikonfirmasi adanya sekret pada vagina yang berada di sisi-sisi lateral vagina, berwarna putih kekuningan, encer dan jumlah banyak. Setelah dibersihkan dengan menggunakan tampon tang dan kassa steril, tidak tampak adanya cairan atau sekret yang keluar dari serviks. Dinding vagina berwarna hiperemis, permukaan licin tidak berbenjol-benjol. Portio sedikit hiperemis, ukuran normal seukuran ibu jari kaki, permukaan licin tidak ada benjolan, dan ostium uteri eksterna tertutup.
Pasien vaginitis hampir selalu datang dengan keluhan keluarnya cairan vagina yang abnormal, meliputi jumlah yang berlebihan, keputihan yang lama, perubahan warna dan konsistensi sekret vagina serta cairan vagina yang berbau tidak sedap. Kadang dapat disertai dengan adanya rasa gatal dan terbakar pada vagina. Anamnesis yang diungkapkan pasien sesuai dengan gejala pada vaginitis. Diagnosa vaginitis dikonfirmasi dengan adanya sekret vagina yang berwarna putih di dinding-dinding lateral vagina, berbau tidak sedap dan dinding vagina yang hiperemis. Sedangkan diagnosis servicitis didapatkan dari pemeriksaan fisik pada saat melakukan inspekulo yakni didapatkan portio / servic berwarna hiperemis. Diagnosis vaginitis sudah tepat karena sesuai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang ditemukan pada pasien. Namun belum dapat dipastikan etiologi pasti dari vaginitis tersebut. Untuk mengetahui etiologi dari vaginitis, dibutuhkan beberapa pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan preparat basah dengan NaCl 0,9%, whiif test, pewarnaan gram, serta pemeriksaan pH dengan kertas lakmus. Pemeriksaan penunjang untuk mengetahui kuman penyebab vaginitis dibutuhkan agar dapat diberikan terapi yang sesuai dengan penyebab penyakit tersebut. Karena keluhan yang sama berulang dan tidak membaik dengan pengobatan, langkah selanjutnya yang diberikan kepada pasien ini adalah melakukan pemeriksaan sitologi vagina atau sering disebut Pap Smear test merupakan salah satu metode diagnosis dini pada karsinoma serviks uteri dan karsinoma korporis uteri yang dianjurkan dilakukan rutin (0,5 – 1 tahun sekali). Pada pemeriksaan ini bahan diambil dari dinding vagina atau dari serviks (endo- dan ektoserviks) dengan spatel Ayre (dari kayu atau plastik). Sel-sel yang diambil pada Pap Smear kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi pada sel. Pap Smear tidak hanya mampu mendeteksi kanker serviks stadium awal tetapi juga lesi prekanker. Berdasarkan hasil Pap Smear Test, terdapat adanya dysplasia ringan dan radang non spesifik pada serviks Ny. SB. Berdasarkan klasifikasi Bethesda 2001, dysplasia pada epitel serviks Ny. SB termasuk dalah CIN I atau low grade SIL. Diagnosis yang tepat untuk Ny. SB adalah: Ny. SB, Para 2 Abortus 1, usia 44 tahun, dengan servisitis, Pap Smear Test (+) CIN I. Diagnosis servisitis ditegakkan dengan adanya gejala keputihan yang terkadang disertai perdarahan dan flek kecokelatan serta hasil Pap Smear Test terdapat radang non spesifik pada epitel serviks.
Perubahan sel-sel abnormal pada leher rahim paling sering ditemukan pada usia 35-55 tahun dan memiliki resiko 2-3 kali lipat untuk menderita kanker serviks Lowgrade SIL (LSIL) berhubungan dengan infeksi HPV yang tidak merubah siklus sel secara signifikan. Sebagian besar LSIL mengalami regresi spontan dan jarang menjadi high-grade SIL (HSIL). Low-grade SIL tidak langsung berkembang menjadi kanker invasif. Oleh karena itu, LSIL tidak diterapi seperti lesi premaligna. 2.
Apakah tindakan dan terapi yang diberikan sudah tepat ? Terapi yang diberikan pada pasien adalah clindamycin 3 x 300 mg dan metronidazol 3x 500 mg, masing-masing diberikan selama 7 hari. Pemberian terapi idealnya dilakukan sesuai dengan etiologi dari penyakitnya. Namun, karena pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang, etiologi dari penyakit belum dapat dipastikan. Akan tetapi, dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang kami lakukan etiologi dari penyakit pada kasus ini lebih mengarah kepada vaginosis bakterialis. Terapi yang diberikan sudah sesuai dengan terapi pada vaginosis bakteriali. Clindamycin merupakan salah satu antibiotik yang aktif terhadap bakteri anaerob. Mekanisme kerjanya menghambat sintesa protein dengan cara mengikat pada gugus 50 S sub unit ribosomal bakteri, sehingga menghambat langkah translokasi sintesa protein bakteri. Metronidazole yang merupakan sitotoksik terhadap bakteri anaerob seperti misalnya Gardnerella vaginalis, salah satu mikroorganisme penyebab vaginosis bakterialis. Metronidazole bekerja dengan menghasilkan radikal bebas yang bersifat toksik bagi sel bakteri (Gerald et al., 2010). Penanganan lesi prakanker serviks menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) tahun 2008, dengan hasil Pap Smear Test terklasifikasi CIN I maka ada 3 pilihan penanganan yaitu obervasi, destruksi menggunakan krioterapi elektrokoagulasi laser, laser kombinasi 5 FU, atau eksisi diatermi loop. Karena tidak ada penanganan khusus untuk LSIL, maka pasien disarankan untuk mengulang pemeriksaan Pap Smear Test antara 3 bulan sampai 6 tahun dan apabila hasilnya normal maka ditinjau kembali setelah 3 tahun. Namun, apabila hasilnya tetap LSIL atau Atypical Squamous Cells Undetermined Significance (ASC-US) maka disarankan untuk pemeriksaan colposcopy dan biopsy. Tindakan observasi dilakukan jika Pap Smear Test memiliki hasil HPV (+), atipia, CIN I yang termasuk LSIL. Terapi CIN dengan destruksi dan eksisi dapat dilakukan pada LSIL dan HSIL. Perbedaan destruksi dan eksisi terletak pada ada/tidaknya spesimen yang diangkat.
BAB IV TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi dan Histologi 1. Anatomi Serviks Serviks adalah bagian uterus yang terendah dan menonjol ke vagina bagian atas. Terbagi menjadi dua bagian, bagian atas disebut bagian supravaginal dan bagian bawah disebut bagian vaginal (portio). Serviks merupakan bagian yang terpisah dari badan uterus dan biasanya membentuk silinder, panjangnya 2,5-3 cm, mengarah ke belakang bawah. Bagian luar dari serviks pars vaginalis disebut ektoserviks dan berwarna merah muda. Di bagian tengah portio terdapat satu lubang yang disebut ostium uteri eksternum yang berbentuk bundar pada wanita yang belum pernah melahirkan dan berbentuk bulan sabit bagi wanita yang pernah melahirkan (Randall et al,. 2005).
Gambar 4.1. Anatomi serviks (Ferenczy, 1997).
Ostium uteri internum dan ostium uteri eksternum dihubungkan oleh kanalis servikalis yang dilapisi oleh epitel endoserviks. Biasanya panjang kanalis servikalis adalah 2,5 cm, berbentuk lonjong, lebarnya kira-kira 8 mm dan mempunyai lipatan mukosa yang memanjang. Serviks sendiri disusun oleh sedikit otot polos (terutama pada endoserviks), jaringan elastik, dan banyak jaringan ikat sehingga kanalis servikalis mudah dilebarkan dengan dilator. Jika terjadi infeksi pada kanalis servikalis, dapat terjadi perlekatan dan pembengkakan lipatan-lipatan mukosa sehingga spekulum endoserviks sulit ataupun tidak mungkin dimasukkan sehingga tidak dapat dilakukan penilaian kanalis servikalis (Randall et al,. 2005).
Pembuluh darah serviks berada pada bagian kanan kirinya. Arteri terutama berasal dari cabang servikovaginalis arteri uterina, dari arteri vaginalis, dan secara langsung dari arteri uterina. Serviks diinervasi oleh susunan saraf otonom baik susunan saraf simpatis maupun saraf parasimpatis. Susunan saraf simpatis berasal dari daerah T5-L2 yang mengirimkan serat-serat yang bersinaps pada satu atau beberapa pleksus yang terdapat pada dinding abdomen belakang atau di dalam pelvis sehingga yang sampai di serviks adalah serat post ganglionik. Serat parasimpatis berasal dari daerah S2-S4 dan bersinaps dalam pleksus dekat atau dinding uterus. Karena otot lebih banyak terdapat di sekitar ostium uteri internum, maka inervasi di daerah tersebut lebih banyak daripada di ostium uteri eksternum (Ferenczy, 1997). Saraf sensorik serviks sangat erat hubungannya dengan saraf otonom dan memasuki susunan saraf pusat melalui daerah torakolumbal dan daerah sakral. Seratserat dalam stroma terlihat berjalan sejajar dengan serat otot walaupun ujung-ujung saraf sensorik belum pernah ditemukan (Ferenczy, 1997). 2. Histologi Serviks Secara histologi serviks terdiri dari epitelium dan jaringan stroma yang dipisahkan oleh membrana basalis.
Gambar 4.2. Histologi serviks (Kurman, 1994).
Epitelium serviks terdiri dari dua macam epitel : bagian ektoserviks dilapisi oleh sel-sel yang sama dengan sel-sel pada vagina yaitu epitel skuamosa, berwarna merah muda dan tampak mengkilat. Bagian endoserviks atau kanalis servikalis dilapisi oleh epitel kolumner, yang berbentuk kolom atau lajur, tersusun selapis dan terlihat berwarna kemerahan. Batas kedua epitel tersebut disebut squamocolumner junction (SCJ). Pada masa kehidupan wanita terjadi perubahan fisiologik pada epitel serviks, dimana epitel kolumnar akan digantikan oleh epitel skuamosa yang disebut proses metaplasia. Metaplasia terjadi karena pH vagina yang rendah. Pada proses metaplasia terjadi proliferasi sel-sel cadangan yang terletak di bawah sel epitel kolumnar endoserviks yang secara perlahan-lahan mengalami pematangan menjadi epitel skuamosa (Kumar, 2007).
Gambar 4.3. Epitel skuamosa ektoservik (kanan), epitel kolumnar (kiri)
Gambar 4.4. Sel metaplasia Kanalis servisis uteri dilapisi epitel kolumnar penyekresi mukus. Epitel ini berbeda dengan epitel uterus yang merupakan kelanjutannya. Epitel serupa juga melapisi banyak kelenjar serviks tubular dan bercabang tersusum serong terhadap kanalis serviks uteri di bagian dalam lamina propia yang lebar. Ujung bawah serviks, yaitu ostium uteri menonjol ke dalam lumen liang vagina. Epitel kolumner servisis uteri pada ujung bawah langsung berubah menjadi epitel skuamos non keratin. Epitel ini melapisi bagian vagina pada serviks yang disebut portio vaginalis dan permukaan luar forniks vagina. Pada dasar forniks, epitel serviks vagina membalik menjadi epitel dinding vagina. Sebuah penonjolan SCJ ke ektoserviks disebut sebagai "ectropion" atau "erosi." (Kumar, 2007).
Gambar 4.4. Ektropion B. Kelainan Seluler
Onkogenik HPV merupakan faktor terpenting pada onkogenesis kanker serviks. Onkogenik HPV. Faktor risiko kanker serviks berhubungan dengan faktor pejamu dan karakteristik virus seperti paparan HPV, onkogenitas virus, inefisien respon imun, dan ko-karsinogen. Faktor tersebut adalah: a. Partner seksual b. Berhubungan seksual usia muda c. Paritas d. Infeksi persisten HPV 16 dan 18 e. Kondisi imun yang lemah f. Subtipe HLA g. Penggunaan kontrasepsi oral h. Paparan nikotin
Gambar 4.5. Perjalanan Penyakit Kanker Serviks
Infeksi HPV genital bersifat asimptomatik dan tidak menyebabkan perubahan jaringan, dan tidak terdeteksi oleh Pap Smear. Lesi prekanker pada serviks menurut klasifikasi yang lama dibagi menjadi 4 yaitu; displasia ringan, displasia sedang, dan displasia berat, serta karsinoma in situ. Klasifikasi ini kemudian berubah berdasarkan cervical intraepithelial neoplasia (CIN) yang terbagi menjadi 3 klasifikasi yaitu CIN I (displasia ringan), CIN II (displasia sedang), dan CIN III ( displasia berat dan karsinoma in situ). Klasifikasi CIN kemudian diubah karena perbedaan penanganan dan kaitannya dengan terapi bedah. Klasifikasi yang sekarang dipakai adalah berdasarkan squamous intraepithelial lesion (SIL) yang terdiri dari: low-grade SIL (CIN I) dan high-grade SIL (CIN II & CIN III).
Gambar 4.6. Spektrum Neoplasia Intraepitelial Serviks
Low-grade SIL (LSIL) berhubungan dengan infeksi HPV yang tidak merubah siklus sel secara signifikan. Sebagian besar LSIL mengalami regresi spontan dan jarang menjadi high-grade SIL (HSIL). Low-grade SIL tidak langsung berkembang menjadi kanker invasif. Oleh karena itu, LSIL tidak diterapi seperti lesi premaligna. Sementara pada HSIL, terjadi perubahan siklus sel oleh HPV sehingga terjadi peningkatan proliferasi sel, penurunan maturitas sel, dan penurunan replikasi virus. Sebanyak 10% LSIL akan berkembang menjadi HSIL dan 10% HSIL akan berkembang menjadi karsinoma dalam 2 hingga 10 tahun. Tabel 1. Klasifikasi Pap Class dan System Bethesda 2001 (Ries et al., 2009) Pap Classes
Description
Bethesda 2001
I
Normal
Normal and variants
II
Reactive Changes
Reactive Changes
Atypi Koilocytosis
ASC, ASG Low Grade SIL
Displasia ringan
Low Grade SIL
III CIN I
III CIN II
Displasia sedang
High Grade SIL
III CIN III
Displasia berat
High Grade SIL
IV
Karsinoma in situ
High Grade SIL
V
Invasif
Mikroinvasif (<3mm ) Frankly invasif (>3mm)
Human papillomavirus adalah virus DNA-circular dengan genome 7800-8000 pasang. Virus ini ada lebih dari 70 jenis yang tidak dapat diidentifikasi secara serologis, tetapi dengan DNA-hybridization dan PCR-spesifik primer dapat teridentifikasi. Genome HPV terdiri dari the early region (E) yang mengkode protein yang berperan pada replikasi genome, mengkrontrol transkripsi dan replikasi serta transformasi sel. The late region (L) berisi L-genes yang mengkode protein kapsid. Definisi tipe HPV yang terbaru tidak lebih dari 90% terlihat adanya homologi pada sequence DNA E6, E7, dan L1. Protein E6 (oncoprotein) high-risk HPV (tipe 16 dan 18) mempunyai peran dalam proliferasi sel yang dihubungkan dengan tumor supressor gene (TSG) p53. Protein E6 HPV 16 and 18 akan mengakibatkan inaktivasi gen p53 melalui mekanisme pengikatan yang disebut ubiquitin-dependent proteolytic pathway (E6AP). Jadi dengan penurunan kadar protein p53 dalam sel akan berakibat pada kegagalan pengendalian pertumbuhan sel, karena tidak terjadinya hambatan aktivasi sel. Protein E7 berperan dalam proliferasi sel yang dihubungkan dengan TSG Rb. Protein E7 akan mengikat gen Rb. Ikatan tersebut menyebabkan tidak terikatnya gen E2F (faktor transkripsi) oleh protein Rb, sehingga gen E2F menjadi aktif dan akan membantu c-myc (faktor transkripsi) untuk terjadinya replikasi DNA dan menstimuli siklus sel. Protein c-myc (protooncogene) adalah protein yang disandi oleh gen c-myc, yang berfungsi sebagai protein inti sel untuk transkripsi dan replikasi sel dalam siklus sel, sehingga dikelompokkan dalam gen-gen pemicu terjadinya tumor. Gen ras adalah famili proto-oncogenes juga yang merupakan second major class dari GTP-binding proteins, dimana dalam banyak penelitian protein ini berperan dalam mitogenic signal transduction pada siklus sel. Gen p53 adalah gen yang mengkode fosfoprotein inti sel seberat 53 kDa, dan bertindak sebagai negatif regulator dalam siklus sel, sehingga dikelompokkan dalam gen-gen penekan tumor. Gen Rb adalah gen yang ditemukan bertanggung jawab pada tumor retina-mata (retinoblastoma) dan merupakan prototipe dari gen-gen penekan tumor.
Perbedaan potensi berbagai tipe HPV terhadap karsinogenesis tergantung affinitas protein-E6 dalam mengikat gen p53 dan protein-E7 dalam mengikat gen Rb. yang mempunyai arti yang penting dalam karsinogenesis kanker serviks uteri. Hal tersebut diatas bukan merupakan proses mutasi akibat pengaruh karsinogen. Klasifikasi Internasional untuk stadium malignansi serviks yang dikemukakan oleh Morehead (1965) sebagai berikut berdasarkan International classification of the cervical cancer: a. b. c. d. e.
Stage 0 : Intra epithelial carcinoma Stage 1 : Carcinoma in situ Stage 2 : The carcinoma extends beyond the cervix but not reached the pelvic wall Stage 3 : The carcinoma has reached the pelvic wall Stage 4 : The carcinoma has invaded another organ Berdasarkan klasifikasi dari International Federation of Gynecologists and
Obstetricians Staging System for Cervical Cancer (FIGO) tahun 2000 menetapkan stadium kanker serviks sebagai berikut: Tabel 2. Stadium Kanker Serviks menurut FIGO Tahun 2000
C. Pap Smear 1. Definisi Pap Smear atau tes Pap adalah suatu prosedur untuk memeriksa kanker serviks pada wanita. Pap Smear meliputi pengumpulan sel-sel dari leher rahim dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop untuk mendeteksi lesi kanker atau prakanker. Tes Pap merupakan tes yang aman, murah dan telah dipakai bertahun-tahun lamanya untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang terjadi pada sel-sel leher rahim (Lestadi, 2009). Skrining utama dari kanker serviks selama 60 tahun terakhir adalah tes Papanicolaou. Tes Papanicolaou, juga dikenal sebagai tes Pap atau Pap smear, dikembangkan pada 1940-an oleh Georgios Papanikolaou. Pap smear mengambil nama dari Papanikolau, yang merupakan seorang dokter yang meneliti, mengumumkan serta mempopulerkan tentang teknik tersebut. Berkas penelitian yang dilakukan dengan ahli
patologi Dr Herbert Traut mempunyai dampak yang luar biasa pada pengurangan jumlah kematian akibat kanker rahim di seluruh dunia. Pada awalnya diharapkan untuk mendeteksi kanker leher rahim pada tahap awal, tetapi seiring waktu bahkan lesi prakanker juga dapat terdeteksi (Lestadi, 2009). 2. Tujuan dan Manfaat Tujuan dan manfaat pap smear, yaitu: a. Evaluasi sitohormonal Penilaian hormonal pada seorang wanita dapat dievaluasi melalui pemeriksaan pap smear yang bahan pemeriksaannya adalah sekret vagina yang berasal dari dinding lateral vagina satu per tiga bagian atas (Karjani, 2012). b. Mendiagnosis peradangan Peradangan pada vagina dan serviks pada umumnya dapat didiagnosa dengan pemeriksaan pap smear. Baik peradangan akut maupun kronis. Sebagian besar akan memberi gambaran perubahan sel yang khas pada sediaan pap smear sesuai dengan organisme penyebabnya. Walaupun terkadang ada pula organisme yang tidak menimbulkan reaksi yang khas pada sediaan pap smear (Karjani, 2012). c. Identifikasi organisme penyebab peradangan Dalam vagina ditemukan beberapa macam organisme/kuman yang sebagian merupakan flora normal vagina yang bermanfaat bagi organ tersebut. Pada umumnya organisme penyebab peradangan pada vagina dan serviks sulit diidentifikasi dengan pap smear, sehingga berdasarkan perubahan yang ada pada sel tersebut, dapat diperkirakan organisme penyebabnya (Karjani, 2012). d. Mendiagnosis kelainan prakanker (displasia) leher rahim dan kanker leher rahim dini atau lanjut (karsinoma/invasif). Pap smear paling banyak dikenal dan digunakan adalah sebagai alat pemeriksaan untuk mendiagnosis lesi prakanker atau kanker leher rahim. Pap smear yang semula dinyatakan hanya sebagai alat skrining deteksi kanker mulut rahim, kini telah diakui sebagai alat diagnostik prakanker dan kanker leher rahim yang ampuh dengan ketepatan diagnostik yang tinggi, yaitu 96% terapi didiagnostik sitologi tidak dapat menggantikan diagnostik histopatologik sebagai alat pemasti diagnosis. Hal itu berarti setiap diagnosik sitologi kanker leher rahim harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi jaringan biopsi leher rahim, sebelum dilakukan tindakan selanjutnya (Karjani, 2012). e. Memantau hasil terapi Memantau hasil terapi hormonal, misalnya infertilitas atau gangguan endokrin. Memantau hasil terapi radiasi pada kasus kanker leher rahim yang telah diobati dengan radiasi, memantau adanya kekambuhan pada kasus kanker yang telah
dioperasi, memantau hasil terapi lesi prakanker atau kanker leher rahim yang telah diobati dengan elekrokauter kriosurgeri, atau konisasi (Karjani, 2012). 3. Indikasi Tes Pap Smear diindikasikan untuk skrining lesi kanker dan lesi prakanker dari serviks. Wanita yang dianjurkan untuk melakukan tes pap smear biasanya mereka yang tinggi aktifitas seksualnya. Namun tidak menjadi kemungkinan juga wanita yang tidak mengalami aktivitas seksualnya memeriksakan diri (Karjani, 2012). Rekomendasi skrining Wanita yang perlu melakukan pap smear adalah : (a) wanita menikah atau melakukan hubungan seksual pada usia < 20 tahun, (b) wanita muda memiliki mulut rahim yang belum matang, ketika melakukan hubungan seksual terjadi gesekan yang dapat menimbulkan luka kecil, yang dapat mengundang masuknya virus, (c) wanita sering berganti-ganti pasangan seks, akan menderita infeksi di daerah kelamin, sehingga dapat mengundang virus HPV dan herves genitalis, (d) wanita yang sering melahirkan, kanker serviks banyak dijumpai pada wanita yang sering melahirkan disebabkan oleh trauma persalinan, perubahan hormonal dan nutrisi selama kehamilan, (e) wanita perokok, memiliki risiko dibandingkan dengan wanita tidak merokok, karena rokok akan menghasilkan zat karsinogen yang menyebabkan turunnya daya tahan di daerah serviks (Depkes, 2007; Aziz, 2002). Rekomendasi terbaru dari American Collage of Obstetricions and gynecologist adalah melakukan pemeriksaan pelvis dan penapisan pulasan pap setiap tahun bagi semua perempuan yang telah aktif secara seksual atau telah berumur 21 tahun. Setelah tiga kali atau lebih secara berturut-turut hasil pemeriksaan tahunan ternyata normal, uji pap dapat dilakukan dengan frekuensi yang lebih jarang atas kebijakan dokter (Price, 2006). Menurut The American Cancer Society 2004 (dalam Depkes 2007) pap smear dapat dilakukan secara rutin pada seorang wanita 3 tahun sesudah melakukan hubungan seksual pertama kali atau tidak melebihi 21 tahun. Pemeriksaan dilakukan setiap tahun (peralatan pap smear konvensional) atau setiap 2 tahun (dengan peralatan liquid-based) sampai umur 30 tahun. Pemeriksaan dilakukan setiap 2-3 tahun, bila 3 kali berturut-turut hasil normal pemeriksaan dapat dilakukan dengan frekuensi yang lebih jarang. Menurut Tjokronegoro (2002), Pap smear pada wanita yang berumur 35-40 tahun minimal dilakukan sekali, kalau fasilitas tersedia dilakukan setiap 10 tahun pada umur 35-55 tahun, bila fasilitas tersedia lebih maka dapat dilakukan setiap 5 tahun
pada wanita berumur 35-55 tahun. Idealnya atau jadwal yang optimal setiap 3 tahun pada wanita yang berumur 25-60 tahun. Sasaran skrining ditentukan oleh Departemen Kesehatan masing-masing negara, WHO (2002 dalam Wilopo 2010) merekomendasikan agar program skrining pada wanita dengan beberapa persyaratan sebagai berikut : 1) Usia 30 tahun ke atas dan hanya mereka yang berusia lebih muda manakala program telah mencakup seluruh sasaran vaksinasi. 2) Skrining tidak perlu dilakukan pada perempuan usia kurang 25 tahun. 3) Apabila setiap wanita hanya dapat dilakukan pemeriksaan sekali selama umur hidupnya (misalnya karena keterbatasan sumber dana yang dimiliki pemerintah atau swasta), maka usia paling ideal untuk melakukan skrining adalah pada usia 35-45 tahun. 4) Pada perempuan berusia diatas 50 tahun tindakan skrining perlu dilakukan setiap 5 tahun sekali. 5) Pada perempuan berusia 25-49 tahun tindakan skrining dilakukan setiap 3 tahun sekali. 6) Pada usia berapapun skrining setiap tahun tidak dianjurkan. 7) Bagi mereka yang berusia diatas 65 tahun tidak perlu melakukan skrining apabila 2 kali skrining sebelumnya hasilnya negatif. Abnormal sitologi serviks paling sering pada wanita muda dan hampir seluruh kelainan sitologi pada remaja terselesaikan tanpa pengobatan. Wanita di bawah usia 21 tahun terhitung hanya 0,1% yang mengidap kanker serviks dan tidak ada bukti yang kuat bahwa skrining kanker serviks pada kelompok usia tersebut dapat menurunkan insidensi, morbiditas atau mortalitas dari kanker serviks. Menyadari fakta tersebut dan kemungkinan skrining kanker serviks menyebabkan evaluasi tidak perlu dan berpotensi berbahaya pada wanita berisiko sangat rendah untuk keganasan, ACOG merevisi pedoman skrining kanker serviks, yaitu dimulai saat usia 21 tahun, tanpa mempertimbangkan riwayat seksual sebelumnya (Karjani, 2012). Tabel 3. Summary of 2012 Screening Guidelines from the American Cancer Society, American Society for Colposcopy and Cervical Pathology, and American Society for Clinical Pathology Parameter ACS Rekomendasi Usia memulai Mulai skrining sitologi pada usia 21 tahun, tanpa mempertimbangkan skrining riwayat seksual sebelumnya. Skrining antara Skrining dengan sitologi saja setiap 3 tahun. * Pemeriksaan HPV tidak usia 21–29 harus dilakukan pada kelompok umur ini. Skrining
antara Skrining dengan kombinasi sitologi dan pemeriksaan HPV setiap 5 tahun
usia 30-65 Usia skrining
(dianjurkan) atau sitologi saja setiap 3 tahun. * Skrining HPV saja secara umum tidak direkomendasikan.. berhenti Usia 65 tahun, jika wanita memiliki skrining awal negatif dan tidak dinyatakan risiko tinggi kanker serviks.
Skrining setelah tidak diindikasikan untuk wanita tanpa leher rahim dan tanpa riwayat lesi histerektomi prakanker grade tinggi (misalnya, CIN2 atau CIN3) dalam 20 tahun terakhir atau kanker serviks. Wanita yang Skrining dengan rekomendasi yang sama dengan wanita tanpa vaksin HPV. vaksin HPV Pedoman ini tidak ditujukan pada populasi spesial (seperti, wanita dengan riwayat kanker serviks, wanita yang rahimnya terpapar dietilstilbestrol, wanita yang immunocompromised) yang mungkin membutuhkan skrining lebih intensif atau alternatif lain.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pap smear, yaitu : a. Umur Perubahan sel-sel abnormal pada leher rahim paling sering ditemukan pada usia 35-55 tahun dan memiliki resiko 2-3 kali lipat untuk menderita kanker leher rahim. Semakin tua umur seseorang akan mengalami proses kemunduran, sebenarnya proses kemunduran itu tidak terjadi pada suatu alat saja, tetapi pada seluruh organ tubuh. Semua bagian tubuh mengalami kemunduran, sehingga pada usia lebih lama kemungkinan jatuh sakit. b. Sosial ekonomi Golongan sosial ekonomi yang rendah sering kali terjadi keganasan pada selsel mulut rahim, hal ini karena ketidak mampuan melakukan pap smear secara rutin. c. Paritas Paritas adalah seseorang yang sudah pernah melahirkan bayi yang dapat hidup. Paritas dengan jumlah anak lebih dari 2 orang atau jarak persalinan terlampau dekat mempunyai resiko terhadap timbulnya perubahan sel-sel abnormal pada leher rahim. Jika jumlah anak menyebabkan perubahan sel abnormal dari epitel pada mulut rahim yang dapat berkembang pada keganasan. d. Usia wanita saat nikah Usia menikah <20 tahun mempunyai resiko lebih besar mengalami perubahan sel-sel mulut rahim. Hal ini karena pada saat usia muda sel-sel rahim masih belum matang, maka sel-sel tersebut tidak rentan terhadap zat-zat kimia yang dibawa oleh sperma dan segala macam perubahanya, jika belum matang, bisa saja ketika ada rangsangan sel yang tumbuh tidak seimbang dan sel yang mati, sehingga kelebihan sel ini bisa merubah sifat menjadi sel kanker.
5. Jenis pap smear Ada 2 cara pemeriksaan Pap Smear: a. Pemeriksaan Sitologi Konvensional Keterbatasan pemeriksaan Sitologi Konvensional : 1) Sampel tidak memadai karena sebagian sel tertinggal pada brus (sikat untuk pengambilan
sampel),
sehingga
sampel
tidak
representatif
dan
tidak
menggambarkan kondisi pasien sebenarnya 2) Subyektif dan bervariasi, dimana kualitas preparat yang dihasilkan tergantung pada operator yang membuat usapan pada kaca benda 3) Kemampuan deteksi terbatas (karena sebagian sel tidak terbawa dan preparat yang bertumpuk dan kabur karena kotoran/faktor pengganggu)(Lestadi, 2009). b. Pemeriksaan Sitologi Berbasis cairan atau Liquid Merupakan metode baru untuk meningkatkan keakuratan deteksi kelainan selsel leher rahim. Dengan metode ini, sampel (cara pengambilan sama seperti pengambilan untuk sampel sitologi biasa/Pap Smear) dimasukkan ke dalam cairan khusus sehingga sel atau faktor pengganggu lainnya dapat dieliminasi. Selanjutnya, sampel diproses dengan alat otomatis lalu dilekatkan pada kaca benda kemudian diwarnai lalu dilihat di bawah mikroskop oleh seorang dokter ahli Patologi Anatomi. Keungulan pemeriksaan sitologi berbasis cairan/Liquid : 1) Sampel memadai karena hampir 100 % sel yang terambil dimasukkan ke dalam cairan dalam tabung sampel 2) Proses terstandardisasi karena menggunakan prosesor otomatis, sehingga preparat (usapan sel pada kaca benda) representatif, lapisan sel tipis, serta bebas dari kotoran/pengganggu 3) Meningkatkan kemampuan/keakuratan deteksi awal adanya kelainan sel leher rahim 4) Sampel dapat digunakan untuk pemeriksaan HPV-DNA(Lestadi, 2009).
Gambar 4.7. Gambaran Pemeriksaan Sitologi Konvensional dan berbasis Cairan
6. Syarat Pengambilan Bahan Penggunaan pap smear untuk mendeteksi dan mendiagnosis lesi prakanker dan kanker leher rahim, dapat menghasilkan interpretasi sitologi yang akurat bila memenuhi syarat yaitu: a. Bahan pemeriksaan harus berasal dari porsio leher rahim. b. Pengambilan pap smear dapat dilakukan setiap waktu diluar masa haid, yaitu sesudah hari siklus haid ketujuh sampai dengan masa pramenstruasi. c. Apabila klien mengalami gejala perdarahan diluar masa haid dan dicurigai penyebabnya kanker leher rahim, sediaan pap smear harus dibuat saat itu walaupun ada perdarahan. d. Pada peradangan berat, pengambilan sediaan ditunda sampai selesai pengobatan. e. Klien dianjurkan untuk tidak melakukan irigasi vagina (pembersihan vagina dengan zat lain), memasukkan obat melalui vagina atau melakukan hubungan seks sekurang-kurangnya 24 jam, sebaiknya 48 jam. f. Klien yang sudah menopause, pap smear dapat dilakukan kapan saja (Lestadi, 2009). 7. Prosedur Pemeriksaan Alat-alat dan Bahan: a. spekulum cocor bebek b. spatula ayre
c. cytobrush d. kaca objek e. alcohol 95%(Lestadi, 2009). Prosedur pemeriksaan Pap Smear adalah: a. Beri label nama pada ujung kaca objek
b. Masukkan spekulum, dapat diberikan air atau salin jika perlu. c. Lihat adanya abnormalitas serviks d. Identifikasi zone transformasi e. Pilih ujung spatula yang paling cocok dengan mulut serviks dan zona transformasi. f. Putar spatula 360º disekitar mulut serviks sambil mempertahankan kontak dengan permukaan epithelial. g. Dengan putaran searah jarum jam diawali dan diakhiri pada jam 9, hasil yang terkumpul dipertahankan horizontal pada permukaan atasnya ketika instrument dikeluarkan. h. Jangan memulas sample pada saat ini jika belum akan fiksasi. Pegang spatula antara jari dari tangan yang tidak mengambil sample, sementara sample dari cytobrush dikumpulkan. i. Cytobrush mempunyai bulu sikat sirkumferen yang dapat kontak dengan seluruh permukaan mulut serviks ketika dimasukkan. j. Cytobrush hanya perlu diputar ¼ putaran searah jarum jam.
k. Pulas sampel pada spatula pada kaca obyek dengan satu gerakan halus.
l. Kemudian pulas cytobrush tepat diatas sampel sebelumnya dengan memutar gagangnya berlawanan dengan arah jarum jam. m. Pulasan harus rata dan terdiri dari satu lapisan, hindari gumpalan besar sebisanya tapi juga hindari manipulasi berlebihan yang dapat merusak sel, pindahkan sampel dari kedua instrument ke kaca objek dalam beberapa detik.
n. Fiksasi specimen secepatnya untuk menghindari artefak karena pengeringan dengan merendam kaca objek dalam tempat tertutup yang berisi larutan ethanol 95% selama 20 menit.
o. Keringkan dan kirimkan ke Bagian Sitologi Patologi Anatomi. f. Hasil pemeriksaan dibaca dengan system Bethesda (Lestadi, 2009). 8. Interpretasi Terdapat banyak sistem dalam menginterpretasikan hasil pemeriksaan Pap Smear, sistem Papanicolaou, sistem Cervical Intraepithelial Neoplasma (CIN), dan sistem Bethesda. Klasifikasi Papanicolaou membagi hasil pemeriksaan menjadi 5 kelas (Saviano, 1993), yaitu: a. Kelas I : tidak ada sel abnormal. b. Kelas II : terdapat gambaran sitologi atipik, namun tidak ada indikasi adanya c.
keganasan. Kelas III : gambaran sitologi yang dicurigai keganasan, displasia ringan sampai
d. e.
sedang. Kelas IV : gambaran sitologi dijumpai displasia berat. Kelas V : keganasan. Sistem CIN pertama kali dipublikasikan oleh Richart RM tahun 1973 di Amerika
Serikat. Pengelompokan hasil uji Pap Smear menurut sistem ini terdiri dari:
a.
CIN I merupakan displasia ringan dimana ditemukan sel neoplasma pada kurang
b. c.
dari sepertiga lapisan epitelium. CIN II merupakan displasia sedang dimana melibatkan dua pertiga epitelium. CIN III merupakan displasia berat atau karsinoma in situ yang dimana telah melibatkan sampai ke basement membrane dari epitelium. Klasifikasi Bethesda pertama kali diperkenalkan pada tahun 1988. Setelah
melalui beberapa kali pembaharuan, maka saat ini digunakan klasifikasi Bethesda 2001. Klasifikasi Bethesda 2001 adalah sebagai berikut (Marquardt, 2002): a. Sel skuamosa 1) Atypical Squamous Cells Undetermined Significance (ASC-US) 2) Low Grade Squamous Intraepithelial Lesion (LSIL) 3) High Grade Squamous Intraepithelial Lesion (HSIL) 4) Squamous Cells Carcinoma b. Sel glandular 1) Atypical Endocervical Cells 2) Atypical Endometrial Cells 3) Atypical Glandular Cells 4) Adenokarsinoma Endoservikal In situ 5) Adenokarsinoma Endoserviks 6) Adenokarsinoma Endometrium 7) Adenokarsinoma Ekstrauterin 8) Adenokarsinoma yang tidak dapat ditentukan asalnya (NOS) 9. Cara Penulisan Laporan Pap Smear Item pertama pada laporan Pap Smear adalah untuk tujuan identifikasi. Laporan ini diharapkan memiliki nama wanita, nama dan patologi atau cytotechnologist yang membaca kotor, sumber spesimen (dalam hal ini adalah serviks), dan tanggal periode menstruasi terakhir wanita. Laporan Pap Smear juga harus mencakup sebagai berikut: a. Sebuah gambaran status menstruasi wanita (misalnya, “menopause” (tidak lagi b. c.
haid) atau “periode menstruasi yang teratur”) Relevan Sejarah wanita medis (misalnya, “sejarah kutil kelamin”) Jumlah slide (baik satu atau dua, tergantung pada praktek rutin perawatan
d.
kesehatan praktisi) Sebuah deskripsi kecukupan spesimen (apakah sampel memuaskan untuk
e. f.
interpretasi) Diagnosis akhir (misalnya, “dalam batas normal”) Rekomendasi untuk tindak lanjut (misalnya, “merekomendasikan rutin follow-up”
atau “merekomendasikan Pap ulangi”) 10. Alur Penatalaksanaan Hasil Pap Smear Diagnosis definitif kanker serviks harus didasarkan pada konfirmasi histopatologi dari hasil biopsi lesi sebelum pemeriksaan dan tatalaksana lebih lanjut dilakukan. Tindakan penunjang diagnostic dapat berupa pap smear, kolposkopi, biopsi terarah, dan kuretase endoservikal. Alur penatalaksaan hasil pap smear dalam uji tapis adalah sebagai berikut:
Gambar 4.8. Penatalaksaan Hasil Pap Smear pada Uji Tapis Penatalaksanaan lesi prakanker serviks yang pada umumnya tergolong CIN dapat dilakukan denan observasi saja, medikamentosa, terapi destruktif, dan atau terapi eksisi. Tindakan observasi dilakukan jika Pap Smear memiliki hasil HPV, atipia, CIN I yang termasuk LSIL. Terapi CIN dengan destruksi dan eksisi dapat dilakukan pada LSIL dan HSIL. Perbedaan destruksi dan eksisi terletak pada ada/tidaknya spesimen yang diangkat. Secara garis besar, penanganan lesi prakanker serviks adalah sebagai berikut: Tabel 4.9 Penanganan Lesi Prakanker Serviks
D. Vaginitis a. Definisi Vaginitis adalah suatu kondisi peradangan pada mukosa vagina yang dapat disebabkan oleh mekanisme infeksi maupun noninfeksi. Vaginitis ditandai dengan pengeluaran cairan abnormal yang sering disertai rasa ketidaknyamanan pada vulvovagina (Syed dan Braverman, 2004). b. Epidemiologi Vaginitis merupakan masalah ginekologis yang paling sering terjadi pada 90% wanita remaja di dunia, kondisi ini disebabkan oleh vaginosis bakterial (50%), kandidiasis vulvovaginal (75%), trikomoniasis (25%) (KESPRO INFO, 2009). Penelitian-penelitian sebelumnya telah melaporkan angka kejadian vaginitis di beberapa negara, diantaranya Thailand 33 %, Afrika-Amerika 22,7 %, London 21 %, Indonesia 17 %, Jepang 14 %, Swedia 14 %, dan Helsinki 12 %. Vaginosis bakterial menyerang lebih dari 30% populasi. Dari penelitian pada wanita berusia 14-49 tahun, 29% diantaranya didiagnosis mengalami vaginosis bakterial. Wanita dengan riwayat aktivitas seksual beresiko lebih besar mengalami penyakit ini. Douching diketahui juga dapat meningkatkan resiko vaginosis bakterial. Prevalensi meningkat pada wanita perokok, karena diketahui bahwa kandungan rokok dapat menghambat produksi hidrogen peroksida oleh Lactobacillus. c. Faktor resiko 1. Ras 2. Promiskuitas 3. Stabilitas marital 4. Penggunaan kontrasepsi IUD 5. Riwayat kehamilan d. Etiologi 1. Bakterial vaginosis a) Definisi Bakterial vaginosis merupakan suatu keadaan dimana terjadi perubahan eksosistem vagina yang ditandai oleh peningkatan pertumbuhan bakteri anaerob dan penurunan jumlah Lactobacillus spp (Sessa et al.,
2013).
Penyakit ini ditandai dengan perubahan secara kompleks baik jumlah dan fungsi dari flora normal pada vagina(Lamont et al., 2011). Bakterial vaginosis dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme diantaranya adalah Gardnerella vaginalis, Prevotella spp, Mobiluncus spp, Corynebacterium
spp,
Viridans
streptococci,
Enterococcus
faecalis,
Atopobium vaginalis dan Mycoplasma hominis. Dari semua jenis mikrobakteri tersebut, Gardnerella vaginalis menjadi penyebab tersering dari bakterial vaginosis.
b) Epidemiologi Bakterial vaginosis merupakan penyebab tersering dari vaginitis. Frekuensi tergantung pada tingkatan sosial ekonomi dan aktivitas seksual. Penelitian sebelumnya telah melaporkan angka kejadian BV di beberapa negara, diantaranya Thailand 33%, Afrika-Amerika 22,7 %, London 21 %, Indonesia 17 %, Jepang 14%, Swedia 14%, dan Helsinki 12%. c) Faktor resiko Pada umumnya BV ditemukan pada wanita usia reproduktif dengan aktifitas seksual yang tinggi dan promiskuitas. Penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim,usia menopause,vaginal douching, sosial ekonomi rendah, dan wanita hamil juga merupakan faktor resiko terjadinya. Tabel 5. Faktor resiko bakterial vaginosis
d)
Etilogi Mikroorganisme yang dapat
menyebabkan
terjadinya bakterial vaginosis adalah: 1) Gardnerella vaginalis Bakteri yang tidak memilki kapsul, tidak bergerak, dan berbentuk batang gram negatif. Kuman bersifat anaerob fakultatif, memproduksi asam asetat dari hasil fermentasi. 2) Mobilincus spp dan Bacteriodes spp Merupakan bakteri anaerob berbentuk batang lengkung. Perannya dalam menimbulkan bakterial vaginosis lebih jarang dibandingkan dengan Gardnerella vaginalis. 3) Mycoplasma hominis e) Penegakan diagnosis 1) Anamnesis a) Dapat asimptomatis b) Rasa tidak nyaman sekitar vulvavagina (rasa terbakar, gatal), biasanya lebih ringan daripada yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis dan Candida albicans. c) Dispareunia d) Keputihan berbau amis “fishy odor” yang semakin parah setelah berhubungan seksual dan menstruasi (vagina dalam keadaan basa). Cairan vagina yang basa menimbulkan terlepasnya amin dari
perlekatannya pada protein dan amin yang menguap tersebut menimbulkan bau amis. e) Tidak ditemukan inflamasi pada vulva dan vagina. f) RP.Sos: Perlu ditanyakan kebiasaan douching, aktivitas seksual. 2) Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan genitalia eksterna: tidak didapatkan tanda iritasi pada vulva. Pada pemeriksaan inspekulo : didapatkan sekret vagina berwarna putih-abu abu, tipis, viskositas rendah. Setelah secret dibersihkan, tampak dinding vagina yang hiperemis.
Gambar 4.10. Sekret vagina
pada bakterial vaginosis
3) Pemeriksaan penunjang a) Pemeriksaan preparat basah Dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes NaCl 0,9% pada sekret vagina diatas objek glass kemudian ditutup dengan coverglass. Diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 400x untuk melihat Clue cells yang merupakan sel epitel vagina yang diselubungi dengan bakteri sehingga tepinya tidak terlihat jelas. Pemeriksaan ini memilki sensivitas 60% dan spesifitas 98%. b) Whiff test Dinyatakan positif jika bau amis timbul setelah penambahan satu tetes KOH 10-20% pada sekret vagina. Bau amis muncul sebagai akibat pelepasan amin dan asam organik hasil dari bakteri anaerob. c) Tes lakmus Kertas lakmus ditempatkan pada dinding lateral vagina. Ditemukan kadar pH > 4,5. d) Pewarnaan gram Ditemukan penurunan jumlah Lactobacillus dan peningkatan jumlah bakteri anaerob. e) Kultur vagina
Kultur Gardnerella vaginalis kurang bermanfaat untuk diagnosis bakterial vaginosis karena bakteri ini ditemukan hampir 50% pada perempuan normal. f) Tes proline aminopeptidase yang dihasilkan oleh bakteri anaerob, karena Lactobacillus tidak menghasilkan zat tersebut. Terdapat beberapa kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis bakterial vaginosis, diantaranya adalah: a) Kriteria Amsel Kriteria ini memiliki tingkat spresifitas yang lebih tinggi daripada pewarnaan gram. Kriteria ini paling sering digunakan untuk mendiagnosis vaginitis bakterial. Diagnosis dapat ditegakkan jika didapatkan minimal tiga dari empat kriteria. 1) Secret vagina yang homogen, putih, dan tipis melekat pada vagina 2) pH vagina > 4,5. Peningkatan pH dapat menyebabkan terlepasnya amin (trimetilamin). 3) Secret vagina yang berbau amis setelah penambahan KOH 10 % (tes whiff). Tes trimetilamin atau tes whiff positif jika didapatkan bau amis setelah menambahkan satu tetes 10-20% KOH (potasium hidroxide) pada sekret vagina. 4) Ditemukannya sel Clue pada pemeriksaan mikroskopis menggunakan preparat salin basah. Pada pemeriksaan sampel pasien vaginitis bakterial didapatkan adanya peningkatan jumlah kuman Gardnerella. Sel squamosa normal memiliki ciri selnya runcing diujungnya, jernih, tepi yang lurus, sedangkan sel Clue memiliki ciri granular, tidak jernih, dan pinggir yang kasar. Sel Clue adalah sel epitel vagina yang batas tepinya sudah tidak terlihat jelas karena terdapat banyak bakteri yang menempel pada permukaan sel tersebut. Ditemukannya sel Clue pada pemeriksaan mikroskopis memiliki sensivitas 98% dan spesifitas 94,3%.
Gambar 4.11. Sel Clue pada larutan salin dengan perbesaran 400x. Batas yang kasar, warna yang suram, dan tepi yang ireguler adalah sel Clue (sel ketiga dan keempat dari kiri)
Gambar 4.12 Pemeriksaan mikroskopis dengan larutan saline. A. Single clue cell B. Sel-sel squamosa yang dikelilingi oleh bakteri. Batas sel tidak jelas. b) Skor dari pewarnaan Gram (kriteria Nugent) : Pemeriksaan ini memiliki sensivitas yang lebih tinggi dari kriteria Amsel. Sekret vagina dibuat apusan kemudian difiksasi menggunakan penangas atau dengan metanol. Gram positif atau negatif dapat dibedakan berdasarkan kandungan lipopolisakarida di dinding sel. Gambar 4.11. Pewarnaan gram c) normal d) vaginitis bakterial dengan
perbesaran 1000x Kriteria yang digunakan dalam pemeriksaan ini adalah morfologi dan perubahan warna. Lactobacillus ditandai dengan batang gram positif berukuran besar, G vaginalis atau Bacteroides sp ditandai dengan batang gram positif berukuran kecil, sedangkan Mobiluncus spp ditandai dengan batang gram positif dengan bentuk yang melengkung. Tabel 6. Kriteria Nugent
f) Patofisiologi Bakterial vaginosis disebabkan oleh faktor-faktor yang mengubah lingkungan asam normal di vagina menjadi keadaan basa sehingga terjadi pertumbuhan dari bakteri anaerob secara berlebihan. Faktor-faktor yang dapat mengubah pH vagina diantaranya adalah mukus serviks, semen, darah menstruasi, douching, pemakaian antibiotik, dan perubahan hormonal saat kehamilan dan menopause. Metabolisme bakteri anaerob yang meningkat menyebabkan lingkungan asam di vagina berubah menjadi basa dan dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen yang oportunistik. Pada bakterial vaginosis terjadi simbiosis antara Gardnerella vaginalis sebagai pembentuk asam amino dan kuman anaerob yang mengubah asam amino menjadi amin, sehingga pH vagina meningkat (basa) optimal untuk pertumbuhan bakteri anaerob. beberapa amin diketahui menyebabkan iritasi kulit, mempercepat pelepasan sel epitel, dan menimbulkan bau busuk pada sekret vagina. Gardnerella vaginalis melekat pada sel-sel epitel vagina, menimbulkan deskuamasi sel epitel sehingga terjadi perlekatan duh tubuh pada dinding vagina. Organisme ini tidak invasif dan respon inflamasi lokal yang terbatas, hal ini dapat dibuktikan dengan sedikitnya jumlah leukosit dalam sekret vagina atau dengan pemeriksaan histopatologis. Bakterial vaginosis yang berulang dapat disebabkan oleh hal-hal berikut ini:
1) Infeksi berulang dari pasangan yang menderita bakterial vaginosis. Seorang wanita yang terinfeksi G. vaginalis akan menyebarkan bakteri tersebut pada suaminya, namun tidak menimbulkan uretritis (asimptomatis). Saat berhubungan seksual, wanita yang sudah menjalani pengobatan akan terinfeksi kembali jika tidak menggunakan pelindung. 2) Kekambuhan dapat desebabkan oleh mikroorganisme yang hanya dihambat pertumbuhannya namun tidak dibunuh. 3) Kegagalan pengobatan untuk mengembalikan Lactobacillus sebagai flora normal. 4) Menetapnya mikroorganisme lain yang bersifat patogen.
Gambar 4.12. Patofisiologi Bakterial Vaginosis g) Penatalaksanaan 1) Terapi sistemik a) Metronidazol Wanita normal : 2x500 mg selama 7 hari Wanita hamil : 3x200-250 mg selama 7 hari b) Clindamycin Wanita normal : 2x300 mg selama 7 hari 2) Terapi topikal a) Metronidazol gel intravagina (0,75%) 5 gram, 2 kali sehari selama 5 hari b) Clindamycin krim (2%) 5 gram intravagina, malam hari selama 7 hari 2. Candidiasis a. Definisi Kandidiasis (atau kandidosis, monoliasis, trush) merupakan berbagai macam penyakit infeksi yang disebabkan oleh Candida albicans dan anggota
genus
kandida
lainnya.Kandidiasis
vulvovaginalis
atau
kandidosis
vulvovaginalis/ kandida vulvovaginitis adalah infeksi vagina dan atau vulva oleh genus candida. b. Epidemiologi Diperkirakan lebih dari 75% wanita di sini akan mengalami sedikitnya satu kali episode vaginitis yang disebabkan oleh kandida, 40-45% mengalami dua atau lebih episode candidiasis vulvovaginal bahkan sebagian kecil dari wanita yang mengalami infeksi candidiasis vulvovaginalini (< 5%) akan mengalami rekurensi yang akhirnya dapat mengurangi kualitas hidupnya (Szumigala et al., 2009). Sebuah penelitian internasional oleh Foxman (2013) menunjukkan tingkat insidensi candidiasis yang tinggi di 5 negara Eropa dan Amerika Serikat yaitu sebesar 29-49%. Banyak studi mengindikasikan candidiasis vulvovaginal merupakan diagnosis paling banyak diantara wanita muda, mempengaruhi sebanyak 1530% wanita yang bersifat simptomatik yang mengunjungi dokter. Pada Amerika serikat, candidiasis vulvovaginal merupakan penyebab infeksi vagina tersering kedua setelah vaginosis bakteri (Sobel, 2008). c. Faktor Resiko 1) Faktor endogen a) Kehamilan b) Kegemukan c) Iatrogenik, missal kateter saluran kemih d) Endokrinopati: diabetes mellitus e) Penyakit kronik: tuberculosis, lupus eritomatosus f) Usia g) Imunodefisiensi 2) Faktor eksogen a) Pemberian antimikroba yang intensif b) Kontrasepsi oral c) Terapi kortikosteroid d) Iklim panas dan kelembaban e) Higienitas buruk d. Etiologi Sebagian besar penyebab candidiasis vulvovaginal adalah candida albicans. Antara 85-90% ragi yang berhasil diisolasi dari vagina adalah spesies C.albicans sedangkan penyebab yang lainnya dari jenis candida glabrata (torulopsis glabrata). Spesies selain C. albicans yang menyebabkan
candidiasis vulvovaginal sering lebih resisten terhadap terapi konvensional (Hay dan Moore, 2005). Candidasp adalah jamur sel tunggal, berbentuk bulat sampai oval. Jumlahnya sekitar 80 spesies dan 17 diantaranya ditemukan pada manusia. Dari semua spesies yang ditemukan pada manusia, C.albicans lah yang paling pathogen. Candidasp memperbanyak diri dengan membentuk blastospora (budding cell). Blastospora akan saling bersambung dan bertambah panjang sehingga membentuk pseudohifa. Bentuk pseudohifa lebih virulen dan invasif daripada spora. Hal itu dikarenakan pseudohifa berukuran lebih besar sehingga lebih sulit difagositosis oleh makrofag. Selain itu, pseudohifa mempunyai titiktitik blastokonidia multipel pada satu filamennya sehingga jumlah elemen infeksius yang ada lebih besar. Faktor virulensi lain pada Candida adalah dinding sel. Dinding sel Candida sp mengandung turunan mannoprotein yang bersifat imunosupresif sehingga mempertinggi pertahanan jamur terhadap imunitas pejamu, dan proteinase aspartil yang menyebabkan Candidasp dapat melakukan penetrasi ke lapisan mukosa. Dalam menghadapi invasi dari Candida, tubuh mengerahkan sel fagosit untuk mengeliminasinya. Interferon (IFN)-gamma akan memblok proses transformasi dari bentuk spora menjadi hifa. Maka bisa disimpulkan, pada seorang wanita dengan defek imunitas humoral, Candida lebih mudah membentuk diri menjadi hifa yang lebih virulen dan mudah menimbulkan vaginitis. .Kandida adalah organisme yang dimorfik yaitu bisa ditemukan dalam 2 fase fenotipe yang berbeda di dalam tubuh manusia. Pada umumnya blastospora (blastokonidia) adalah bentuk fenotipe yang bertanggung jawab terhadap penyebaran atau transimisinya termasuk ketika menyebar mengikuti aliran darah maupun ketika dalam bentuk kolonisasi asimtomatik di vagina. Sebaliknya ragi yang sedang bertunas dan membentuk miselia adalah bentuk invasif terhadap jaringan serta sering teridentifikasi pada kondisi yang simtomatik.
Gambar 4.13. Candida albicans e. Patofisiologi Candida albicans merupakan organisme normal dari saluran cerna tetapi dapat menimbulkan infeksi oportunistik. Terdapat dua faktor virulensi jamur kandida yaitu dinding sel dan sifat dismorfik kandida. Dinding sel berperan penting dalam virulensi karena merupakan bagian yang berinteraksi langsung dengan sel pejamu. Dinding sel kandida mengandung 80-90% karbohidrat, yang terdiri dari b-glukan, khitin, mannoprotein, 6-25% protein dan 1-7% lemak. Salah satu komponen dinding sel yaitu mannoprotein mempunyai sifat imunosupresif sehingga mempertinggi pertahanan jamur terhadap imunitas pejamu (Calderone, 2001). Kandida tidak hanya menempel, namun juga penetrasi ke dalam mukosa. Enzim proteinase aspartil membantu kandida pada tahap awal invasi jaringan untuk menembus lapisan mukokutan yang berkeratin. Faktor virulensi lain berupa sifat dismorfik kandida yaitu kemampuan kandida berubah bentuk menjadi pseudohifa. Bentuk utama kandida adalah bentuk ragi (spora) dan bentuk pseudohifa (hifa, miselium, filamen). Dalam keadaan patogen bentuk hifa mempunyai virulensi lebih tinggi dibandingkan bentuk spora karena ukurannya lebih besar dan lebih sulit difagositosis oleh sel makrofag. Selain itu, terdapat titik-titik blastokonidia multipel pada satu filamen sehingga jumlah elemen infeksius yang ada lebih besar. Perubahan dari komensal menjadi patogen merupakan adaptasi terhadap perubahan lingkungan sekitarnya. Pertumbuhan dan perubahan bentuk dari ragi menjadi hifa yang lebih invasif juga dipengaruhi imunitas seluler. IFN-γ memblok transisi bentuk sel ragi menjadi bentuk pseudohifa (Hay dan Moore, 2004). Kandida adalah sel jamur yang bersifat parasit dan menginvasi sel pejamu dengan cara imunomodulasi dan adhesi. Imunomodulasi adalah kemampuan potensial sel kandida dalam memodulasi sistem imunologi pejamu berupa rangsangan untuk meningkatkan atau menurunkan reaksi imun pejamu. Zat seperti khitin, glukan, dan mannoprotein adalah kandungan yang terdapat dalam dinding sel yang berperan dalam proses imunomodulasi. Respon
imunomodulasi menyebabkan diproduksinya sejumlah protein yang disebut sebagai heat shock protein (hsp) yang berperan dalam proses perangsangan respon imun dan proses pertumbuhan kandida. Adhesi merupakan langkah awal untuk terjadinya kolonisasi. Dengan adhesi, kandida melekat pada sel pejamu melalui interaksi hidrofobik. Hal ini menurunkan kadar pembersihan jamur dari tubuh melalui regulasi imun normal. Ketika Candida albicans penetrasi ke permukaan mukosa pejamu terjadi perubahan bentuk jamur dari spora ke pseudohifa sehingga membantu jamur menginvasi jaringan perjamu melalui pelepasan beberapa enzim degradatif seperti berbagai proteinase, proteinase aspartil dan fosfolipase (Hay dan Moore, 2004).
Gambar 4.14. Patogenesis Candidiasis f. Penegakan diagnosis 1) Anamnesis a) Pruritus berat b) Discharge vagina seperti keju lembut,dapat bervariasi dari berair sampai tebal secara homogeni, berbau. c) Nyeri pada vaginal, iritasi, rasa terbakar, d) Dispareunia,dan disuria eksternal biasanya ada. 2) Pemeriksaan Fisik a) Inspeksi: labia eritematosa dapat menyebar hingga perineum b) Inspekulo: Terdapat plak keputih-putihan pada dinding vagina dengan dasar eritema dan dikelilingi edema yang dapat menyebar ke labia dan perineum.Terdapat erosi pada serviks, vesikel kecil pada permukaannya. Gambar 4.15.Candidiasis vulvovaginal
3) Pemeriksaan Penunjang a) Pemeriksaan miroskopik langsung Dengan menggunakan KOH 10-20%, tampak adanya sel ragi yang polimorfik, berbentuk lonjong, atau bulat berukuran 2-6 x 4-9 µm, blastospora (sel ragi yang sedang bertunas), sel budding yang khas, hifa bersekat atau pseudohifa, kadang-kadang ditemukan klamidiospora. b) Pewarnaan Gram Elemen jamur (budding yeast cell/ blastospora/ blastokonidia/ pseudohifa/ hifa) tampak sebagai Gram positif dan sporanya lebih besar dari bakteri yang dapat diamati dengan pewarnaan Gram c) Pemeriksaan sediaan basah Pemeriksaan sediaan basah juga dapat melihat bentuk hifa dan budding yeast dari kandida, dengan cara sediaan cairan vagina diletakkan pada objek glas kemudian ditetesi 1-2 tetes larutan 0,9% isotonik sodium klorida dan diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran 400 x. d) Pemeriksaan pH pH kandidiasis vaginal kurang dari 4,5 dapat dibuktikan dengan menggunakan kertas lakmus e) Kultur Kultur memiliki nilai sensitivitas yang tinggi sampai 90%. Medium kultur yang dipakai adalah agar dekstrose Sabouraud dan modifikasi agar Sabouraud. Pada modifikasi agar Sabouraud, komposisinya ditambahkan antibiotik kloramfenikol yang digunakan untuk menekan pertumbuhan bakteri. Media ini merupakan media selektif untuk mengisolasi kandida. Kandida umumnya mudah tumbuh pada suhu kamar 25-30°C, dan pertumbuhan dapat terjadi 2-5 hari setelah biakan. Koloni tampak berwarna krem atau putih kekuningan, permukaan koloni halus, licin, lama kelamaan berkeriput dan berbau ragi. Biakan dinyatakan negatif bila dalam waktu 4 minggu tidak tumbuh. Untuk melakukan identifikasi spesies perlu dilakukan subkultur untuk mendapatkan koloni yang murni, kemudian koloni baru dapat diidentifikasi. f) Tes fermentasi Tes fermentasi dilakukan untuk menentukan
spesies
kandida,
menggunakan tes gula-gula yang mengandung indikator warna glukosa, maltosa, sukrosa, dan laktosa , dikatakan positif bila dapat disertai atau tanpa pembentukan gas. g. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
candidiasis
vulvovaginal
dilakukan
berdasarkan
klasifikasinya yaitu tanpa komplikasi dan dengan komplikasi . Untuk candidiasis vulvovaginal tanpa komplikasi dipilih pengobatan topikal. Derivat azole dinyatakan lebih efektif daripada nistatin, namun hargannya jauh lebih mahal. Pengobatan dengan golongan azole dapat menghilangkan gejala dan kultur negatif pada 80-90% kasus (Workhowski, 2006). Tabel 7. Macam obat antijamur yang digunakan untuk terapi candidiasis vulvovaginal tanpa komplikasi (Workhowski, 2006). Nama Obat Ketokonazole Itrakonazole
Formulasi 200 mg oral tablet 100 mg oral kapsul
Flukonazole
150 mg oral tablet 50 mg oral tablet 1% krim intravagina 2% krim intravagina 100 mg tab vag 500 mg tab vag 2% krim 200 mg tab vag 100000 U tab vag 50 mg tab vag 100 mg cap
Klotrimazole
Mikonazole Nistatin Amphoterisin B+ Tetrasiklin
Dosis 2x1 tab, 5 hari 2x1 cap, 2 hari 2x2 cap, 1 hari selang 8 jam Dosis tunggal 1x1 tab, 7 hari 5 g, 7-14 hari 5 g, 3 hari 2x1 tab vag, 3 hari 1 tab vag, 1 hari 5 g, 1-7 hari 1 tab vag, 1-7 hari 1x1 tab, 12-14 hari 1x1 tab, 7-12 hari 1x1 tab, 7-12 hari
Candidiasis vulvovaginaldengan komplikasi seperti infeksi rekuren, candidiasis vulvovaginalberat, candidiasis vulvovaginaldengan penyebab Candida
non-albicans,
candidiasis
vulvovaginalpada
penderita
imunokompromis, candidiasis vulvovaginalpada wanita hamil, dan candidiasis vulvovaginalpada penderita HIV. Untuk infeksi rekuren perlu dilakukan biakan jamur untuk mencari spesies penyebab. Dapat diberikan flukonazole 150 mg selama 3 hari atau topikal golongan azole selama 7-14 hari. Untuk pengobatan dosis pemeliharaan diberikan tablet ketokonazole 100 mg/hari, kapsul flukonazole 100-150 mg/minggu atau itrakonazole 400 mg/bulan atau 100 mg/hari atau topikal tablet vagina klotrimazole 500 mg. Pengobatan dosis pemeliharaan ini diberikan selama 6 bulan. candidiasis vulvovaginalberat ditanda dengan vulva eritem, edema,ekskoriasi dan fisura. Terapi dapat diberikan flukonazole 150 mg dengan 2 dosis selang waktu pemberian 72 jam atau obat topikal golongan azole selama 7-14 hari. Pada candidiasis
vulvovaginaldengan penyebab Candida non-albicans, dengan pemberian obat golongan azole tetap dianjurkan selama 7-14 hari, kecuali flukonazole karena banyak Candida non-albicans yang resisten. Jika terjadi kekambuhan dapat diberikan asam borak 600 mg dalam kapsul gelatin sekali sehari selama 2 minggu. Jika masih terjadi kekambuhan dianjurkan pemberian nistatin tablet vagina 100000 U per hari sebagai pengobatan dosis pemeliharaan. candidiasis vulvovaginalpada penderita imunokompromis diberikan obat antijamur konvensional selama 7-14 hari. candidiasis vulvovaginalpada wanita hamil, dianjurkan pengobatan dengan preparat azole topikal, yakni mikonazole krim 2%, 5 g intravagina selama 7 hari atau 100 mg tabet vagina tiap malam selama 7 hari atau mikonazol 200 mg tablet vagina selama 3 hari. Dan juga klotrimazole krim 1 % sebanyak 5 g tiap malam selama 7-14 hari atau 200 mg tablet vagina tiap malam selama 3 hari atau 500 mg tablet vagina selama 1 hari. Pengobatan candidiasis vulvovaginalsimtomatis pada wanita dengan HIV positif sama dengan pada wanita dengan HIV negatif. candidiasis vulvovaginal tanpa komplikasi dapat diterapi dengan flukonazole 150 mg dosis tunggal jangka pendek, atau topikal azole jangka pendek. Terapi pada candidiasis vulvovaginal komplikata, sebaiknya diberikan obat sistemik oral atau topikal salam jangka lama dan dilanjutkan terapi dosis pemeliharaan dengan flukonazole dosis mingguan untuk kasus candidiasis vulvovaginalatau ketokonazole dosis 100 mg/hari selama 6 bulan. Pengobatan untuk penderita kandidiasis asimtomatik masih kontroversi. Pada wanita dengan HIV negatif tidak dianjurkan pemberian terapi antijamur. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
pengobatan
candidiasis vulvovaginalyang dianjurkan adalah klotrimazole 200 mg intravagina setiap hari selama 3 hari atau klotrimazole 500 mg intravagina dalam dosis tunggal atau flukoazole 150 mg/oral dalam dosis tunggal atau itrakonazole 200 mg/oral 2 kali sehari dosis tunggal atau nistatin 100000 IU intravagina setiap hari selama 14 hari. 3. Trikomoniasis a. Definisi Trikomoniasis
merupakan
penyakit
menular
seksual
(PMS)
yangdisebabkan parasit uniselluler Trichomonas vaginalis (T.vaginalis). Penyakit ini mempunyai hubungan dengan peningkatan serokonversi virus
HIV pada wanita. T.vaginalisbiasanya ditularkan melalui hubungan seksual dan sering menyerang traktus urogenitalis bagian bawah, baik pada wanita maupun laki-laki. Parasit ini dapat ditemukan pada vagina, urethra, kantong kemih atau saluran parauretral(Van der Pol, 2007). b. Epidemiologi Prevalensi trikomoniasis di seluuh dunia setiap tahunnya berkisar antara 170 juta hingga 180 juta. Menurut WHO, insidemsi trikomoniasis di seluruh dunia
mencapai 170 juta setiap tahunnya (WHO, 2001). Penelitian yang
dilakukan pada populasi beresiko tinggi di Inggris menunjukan prevalensi trikomoniasis di klinik penyakit menular seksual berisar antara 15%-54% (Sobel, 2005). Trikomoniasis sering ditemukan pada usia remaja dan dewasa yang aktif secara seksual (Hupert, 2009). Menurut National Longitudinal Study of Adolescent Health Study prevalensi trikomoniasis pada usia 18-24 tahun adalah 2,3%, usia 25 tahun keatas adalah 4% (Danesh, 1995). Trikomoniasis simptomatik lebih sering terjadi diabandingkan
pria.
Namun,
wanita
juga
dapat
pada
menjadi
wanita pembawa
trikomoniasis asimptomatik. Menurut penelitian NHANES 2001-2004 yang dilakukan pada perempuan usia 14-49 tahun menemukan bahwa 85% wanita yang mengalami trikomoniasis melaporkan tidak memimiliki gejala (Sutton et al., 2007). Transmisi vertikal saat persalinan mungkin terjadi dan dapat bertahan hingga 1 tahun. Sebanyak 2-17% anak yang dilahirkan dari perempuan yang terinfeksi trikomoniasis mengalami infeksi serupa (Danesh, 1995). c. Faktor Resiko Faktor resiko trikomoniasis meliputi: 1) Wanita beresiko lebih tinggi dibandingkan pria 2) Berganti-ganti pasangan 3) Riwayat dan atau sedang mengalami penyakit menular seksual 4) Tidak menggunakan barier kontrasepsi d. Etiologi Penyebab trikomoniasis ialah Trichomonas vaginalis yang merupakan satu-satunya spesies Trichomonas yang bersifat patogen pada manusia dan dapat dijumpai pada traktus urogenital (Djajakusumah, 2009). T. vaginalis merupakan
flagelata
berbentuk
filiformis,
berukuran
15-18
mikron,
mempunyai 4 flagela, dan bergerak seperti gelombang (Djuanda, 2009).
Gambar 4.16. Tropozoit Trichomonas vaginalis
e. Patofisiologi T. vaginalis mampu menimbulkan peradangan pada dinding saluran urogenital dengan cara invasi sampai mencapai jaringan epitel dan subepitel. T. vaginalis ditemukan pada lumen dan mukosa traktur urinarius, flagellanya menyebabkan tropozoit berpindah ke vagina dan jaringan uretra.T.vaginalis akan lebih lekat pada mukosa epitel vagina atau urethra dan menyebabkan lesi superficial dan sering menginfeksi epital skuamous. Parasit ini akan menyebabkan degenerasi dan deskuamasi epitel vagina. T.vaginalis merusakkan sel epitel dengan kontak langsung dan produksi bahan sitotoksik. Parasit ini juga akan berkombinasi dengan protein plasma hostnya maka ia akan terlepas dari reaksi lytik pathway complemen dan proteinase host (Parija, 2004). T. vaginalis adalah organisme anaerobik maka energi diproduksi melalui fermentasi gula dalam strukturnya yang dikenal sebagai hydrogenosome. T. vaginalis
memperoleh
makanan
melalui
osmosis
dan
fagositosis.
Perkembangbiakannya adalah melalui pembelahan diri (binary fision) dan intinya membelah secara mitosis yang dilakukan dalam 8 hingga 12 jam pada kondisi yang optimum. Trichomanas ini cepat mati pada suhu 50°C dan jika pada 0°C dapat bertahan sampai 5 hari. Masa inkubasi 4 – 28 hari serta pertumbuhannya baik pada pH 4,9 – 7,5. Parasit ini bersifat obligat maka sukar untuk hidup di luar kondisi yang optimalnya dan perlu jaringan vagina, urethra atau prostat untuk berkembangbiak (Parija, 2004). Trikomoniasis mempunyai beberapa faktor virulensi yaitu: 1) Cairan protein dan protease yang membantu trofozoi adhere pada sel epital traktus genitourinaria 2) Asam laktat dan asetat di mana akan menurunkan pH vagina lebih rendah dan sekresi vagina dengan pH rendah adalah sitotoksik terhadap sel epital
3) Enzim cysteine proteases yang menyebabkan aktivitas haemolitik parasit
Gambar 4.17. T. vaginalis f.
Siklus hidup Penegakan
Diagnosis 1) Anamnesis Pada wanita yang simptomatik sering ditemukan gejala sebagai berikut (Adriyani, 2006): a) Discharge vagina berwarna kuning kehijauan berbuih, berbau busuk berjumlah banyak b) Gatal-gatal atau rasa panas pada vagina c) Rasa sakit dan perdarahan sewaktu berhubungan seksual d) Jika terjadi urethritis maka gejala yang timbul adalah disuria dan frekuensi berkemih meningkat e) Sakit perut bagian bawah 2) Pemeriksaan Fisik (Swygard et al., 2004). Pada pemeriksaan dengan menggunakan speculum ditemukan: a) Colpitis macularis atau strawberry cervix, yaitu merupakan lesi berupa bintik makula eritematosa yang difus pada serviks. Namun, lesi ini hanya terlihat pada 1-2% kasus tanpa menggunakan kolposkopi. Dengan menggunakan kolposkopi lesi ini terdeteksi sampai dengan 45% kasus. b) Discharge purulen berwarna kuning kehijauan berbuih, berbau busuk berjumlah banyak. Colpitis macularis dan keputihan yang berbusa bersama-sama memiliki spesifisitas 99% dan secara sendiri-sendiri
memiliki nilai prediksi positif (positive predictive value) 90% dan 62%. c) Erithema pada vagina, dan serviks. Serviks terkadang rapuh.
Gambar 4.18.Colpitis macularis 3) Pemeriksaan Penunjang a) pH vagina Penentuan pH vagina dengan cara menempelkan swab dengan sekresi vagina pada kertas pH. pH vagina normal secara praktis menunjukkan diagnosis trikomoniasis negatif. pH lebih dari 4.5 ditemukan pada trikomoniasis dan vaginosis bacterial. b) Tes Whiff Tes ini berguna untuk menyingkirkan kemungkinan vaginosis bakterial. c) Sediaan Basah (Wet mount) Pemeriksaan dengan sediaan garam basah melalui mikrokoskop terhadap secret vagina yang diusapkan pada objek glass dapat mengidentifikasi protozoa yang berbentuk seperti tetesan air, berflagela, dan bergerak. Pemeriksaan ini juga dapat menemukan clue cells (tanda adanya penyakit vaginosis bacterial). Sensitivitas pemeriksaan ini mencapai 40-60%. Sedangkan spesifisitas dapat mencapai 100% jika sediaan garam basah segera dilihat di bawah mikroskop. d) Pap smear e) Pemeriksaan lain Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya trikomoniasis yaitu pemeriksaan biakan (kultur) secret vagina, direct immunofluorescence assay, dan Polymerase chain reaction (PCR) g. Penatalaksanaan Terapi definitif untuk trikomoniasis adalah dengan menggunakan nitroimidazole.
Pada
penelitian
metaanalisis
dengan
menggunakan
nitroimidazole (mayoritas menggunakan metronidazole atau tinidazole) untuk terapi trikomoniasis jangka pendek atau panjang, tingkat kesembuhan secara parasitologis mencapai 90% kasus (Swygard et al., 2004)
Gambar 4.20. Algoritma terapi nitroimidazole untuk trikomoniasis Tabel 7. Perbedaan Vaginitis bacterial, Candidiasis dan Trikomoniasis pH Keputihan
Normal <4,5 Putih, jelas,
Kandidiasis Variase ; normal Seperti keju
jumlah Mikroskopis
Vaginosis Bakteri >4,5 Homogen, banyak,
Trikomoniasis 4,5 Berbusa,
putih keabu-abuan
banyak, kuning
sedikit Sel epitel
Budding pada
Clue cell, Gram
kehijauan Sel darah putih
dengan batas
pewarnaan Gram
negatif pada
banyak, adanya
jelas,
atau kerokan
pewarnaan Gram,
motile
lactobasilus
KOH, sel darah
jumlah bakteri banyak
trikomonad
Gram (+)
putih banyak, sel batas jelas Rasa gatal pada
+ Keputihan bau
Variasi Keputihan,
vagina, iritasi,
sepertiikan,dispanuria,
pruritus pada
keputihan
nyeri
vulva
epitel dengan KOH “Whiff” Gejala
Tidak ada
abdomenbag.Bawah
G. Komplikasi 1. Ketuban pecah dini 2. Korioamniositis 3. Postpartum endometritis 4. Pelvic inflamatory disease 5. Cervical intraepitelial neoplasia G. Prognosis
Prognosis vaginitis oleh bakterial vaginosis berprognosis baik dengan angka kesembuhan spontan mencapai 84-96% menggunakan metronidazol dan clindamicin. Trokomoniasis yang diterapi dengan regimen yang direkomendasikan yaitu metronidazole memiliki angka kesembuhan 86 – 100% (CDC, 2010). Infeksi rekuren sering ditemukan pada pasien yang aktif secara seksual. Sebuah penelitian menunjukkan sebanyak 17% pasien trikomoniasis yang aktif secara seksual mengalami reinfeksi setelah 3 bulan follow up (Peterman et al., 2006). Sebagian besar wanita yang mengalami vulvovaginal candidiasis berespon cepat terhadap terapi. Tetapi vuvovaginal candidiasis rekuren yang didefinisikan sebagai 4 atau lebih episode infeksi dalam setahun terjadi pada sekitar kurang dari 5% pada wanita sehat. E. Servicitis 1. Definisi Servisitis Servisitis adalah peradangan jaringan serviks yang umumnya dianggap sebagai hasil infeksi secara seksual dari organisme, paling sering Neisseria gonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis. Hampir semua kasus servisitis disebabkan oleh penyakit menular seksual dan, bisa juga karena cedera pada jaringan serviks, kontrol jalan lahir yang berkurang seperti diafragma dan bahkan kanker (Marrazzo, 2006). 2. Epidemiologi Servisitis Angka penderita servisitis di seluruh dunia dan Indonesia belum diketahui secara pasti, namun sebuah studi yang dilakukan di India menyebutkan bahwa 14,5 % dari 3.000 wanita di India terkena sindrom duh (discharge) vagina, dimana servisitis termasuk didalamnya (Patel, 2005). 3. Patofisiologi Servisitis Serviks mempunyai beberapa fungsi yang penting bagi wanita, antara lain melalui keadaannya antara rahim dan vagina, ia mempertahankan posisi normal dari organ panggul. Serviks juga berperan penting dalam kehamilan dimana berfungsi sebagai penghalang antara vagina dan rahim, selain itu serviks juga berperan sebagai indikator dalam proses melahirkan (Sarwono, 2008). Serviks mempunyai fungsi yang penting tetapi epitel selaput lendir servikalis hanya terdiri dari satu lapisan sel silindris oleh karena itu mudah terkena infeksi dibandingkan dengan selaput lendir vagina. Risiko servisitis meningkat saat seorang wanita menderita diabetes, vaginitis akut dan servisitis berulang atau memiliki banyak pasangan seksual. Servisitis juga dapat dipicu penggunaan kondom wanita (cervical cap dan diafragma), penyangga uterus, alergi spermisida pada kondom pria, dan paparan terhadap bahan kimia. Serviks yang mengalami perlukaan dapat berakibat
pada infeksi. Infeksi ini menyebabkan deskuamasi pada epitel gepeng dan perubahan inflamasi kronik dalam jaringan serviks yang mengalami trauma (Sarwono, 2008). 4. Terapi Servisitis Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan RI telah berusaha untuk perduli dengan fenomena banyaknya jumlah penderita penderita servisitis dengan mengeluarkan pedoman nasional mengenai penanganan IMS pada tahun 2011. Pedoman nasional tersebut menyebutkan bahwa servisitis bisa diobati sebagai berikut (Kemenkes, 2011): Pengobatan Servisitis Gonokokus
Pengobatan Servisitis Non-Gonokokus
Sefiksim 400 mg, dosis tunggal, per oral Azitromisin 1 g, dosis tunggal, per oral ATAU ATAU Levofloksasin* 500 mg, dosis tunggal, Doksisiklin* 2x100 mg/hari, per oral, 7 per oral
hari Pilihan Pengobatan Lain
Kanamisin 2 g, injeksi IM, dosis Eritromisin 4x500 mg/hari, per oral, 7 tunggal ATAU
hari
Tiamfenikol 3,5 g, per oral, dosis tunggal ATAU Seftriakson 250 mg, injeksi IM, dosis tunggal * Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui, atau anak di bawah 12 tahun Tabel 8. Pengobatan servisitis gonore/non-gonore. Terapi untuk servisitis selain memakai obat-obatan antara lain melalui pembedahan. Pembedahan dilakukan pada hari-hari pertama setelah menstruasi, agar dapat memberikan waktu penyembuhan untuk bekas luka setelah pembedahan sampai haid berikutnya sehingga dapat mencegah infeksi. Sebelum melakukan pembedahan terlebih dahulu dibutuhkan pemeriksaan ginekologi. Prosedur ini tidak boleh dilakukan pada keadaan peradangan akut serviks, pada keadaan ini prosedur pembedahan harus ditunda, karena beresiko memperparah peradangan. Pasca operasi, pasien dilarang melakukan hubungan seksual dahulu dengan pasangannya (Marrazzo, 2007). F. Kanker Serviks
a. Definisi Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari metaplasia epitel di daerah squamocolumnar junction yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan mukosa kanalis servikalis. Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks atau leher rahim, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dan liang senggama atau vagina. Kanker leher rahim biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. Sebanyak 90% dari kanker leher rahim berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke rahim. Kanker seviks uteri adalah tumor ganas primer yang berasal dari sel epitel skuamosa. Sebelum terjadinya kanker akan didahului oleh keadaan yang disebut lesi prakanker atau neoplasia intraepitel serviks(NIS). b. Epidemiologi Insidensi kanker serviks di dunia mencapai 25-40 kasus per 100.000 wanita pertahun. Prevalensinya menurut Xiang (2011) mencakup 12% dari seluruh kanker pada wanita yang lebih sering dijumpai di negara berkembang yang mencakup 80% dari kasus kanker seviks di dunia. Mortalitas kanker serviks cukup tinggi. Menurut World Health Organization (WHO), setiap tahunnya lebih dari 270.000 wanita mati akibat kanker serviks dan 85% kematian berasal dari negara berkembang. Oleh sebab itu, WHO menetapkan kanker serviks kanker dengan prevalensi dan mortalitas tertinggi di dunia setelah kanker payudara. c. Klasifikasi Secara histopatologi, kanker serviks terdiri atas berbagai jenis. Dua bentuk yang sering dijumpai adalah karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma. Sekitar 85% merupakan
karsinoma
serviks
jenis
skuamosa
(epidermoid),
10%
jenis
adenokarsinoma, serta 5% adalah jenis adenoskuamosa, clear cell, small cell, verucous,dan lain-lain. d. Etiologi dan Faktor Predisposisi 1. Etiologi Infeksi Human papillomavirus (HPV) merupakan penyebab utama kanker serviks. Menurut American Social Health Association (ASHA) sekitar 6.2 juta orang di Amerika Serikat (AS) terinfeksi HPV setiap tahunnya. Globocan (2008) menunjukkan bahwa 31% populasi wanita di Indonesia telah terinfeksi HPV. Data infeksi HPV dan kanker serviks di Indonesia dapat dilihat pada gambar berikut:
Tabel 8. Data Statistik HPV dan Kanker Serviks di Indonesia
Human papillomavirus genitalia adalah penyebab infeksi paling sering yang ditularkan melalui hubungan seksual (sexually transmitted infection) di dunia. Infeksi persisten HPV, khususnya HPV tipe high risk, dapat menimbulkan kanker serviks pada wanita dan kanker anogenital lainnya (vulva, vagina, penis, dan anus), sedangkan infeksi HPV tipe low risk dapat menimbulkan kutil kelamin (condyloma acuminatum), baik pada wanita maupun pria. Manusia adalah reservoar utama bagi HPV dan setiap individu dapat terinfeksi oleh lebih dari satu tipe HPV (infeksi multipel). Lebih dari 100 genotipe HPV telah teridentifikasi, 40 di antaranya menginfeksi sistem genitalia. Tipe HPV genitalia digolongkan berdasarkan asosiasi epidemiologis dengan kanker serviks. Infeksi HPV tipe low risk dapat menyebabkan perubahan sel-sel serviks yang bersifat benign atau low-grade, kutil kelamin, dan papillomatosis. HPV tipe high riskbersifat karsinogenik, cenderung berkembang menjadi kanker serviks atau kanker anogenital lainnya. HPV tipe high risk, meliputi tipe 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 69, 73, dan 82, dapat menyebabkan abnormalitas low-grade hingga high-grade pada sel-sel serviks yang merupakan prekursor kanker. HPV adalah jenis virus dari keluarga Papillomaviridae dengan materi inti DNA untai ganda (double-stranded DNA) dan tidak memiliki selubung (envelope). HPV terdiri dari Early protein (E6 dan E7, yang diekspresikan pada
awal infeksi) dan Late protein(L1 dan L2, yang berfungsi menghasilkan kapsid untuk virion baru). Genotipe HPV ditentukan oleh adanya variasi genetik di protein kapsid L1 dan L2, sedangkan yang bersifat onkogenik adalah E6 dan E7. Aktivasi protein onkogenik pada HPV tipe high riskmenyebabkan terjadinya perubahan epigenetik pada beberapa promoter tumor suppressor gene (TSG) sehingga dapat menimbulkan kanker. Siklus HPV dapat dilihat pada gambar 2. Beberapa studi menunjukkan protein E6 dan E7 pada HPV tipe low risk memiliki afinitas yang rendah terhadap TSG dibandingkan tipe high risksehingga HPV tipe low risk tidak berpotensi menimbulkan kanker. Protein E6 dan E7 pada HPV tipe low risk hanya berfungsi untuk menjaga stabilitas episom genomnya.
Gambar 4.19. Infeksi dan Siklus HPV pada Sel Epitel Serviks (a) Serviks yang normal memiliki zona transfomasi (atau TZ) yang tiba-tiba bertransisi dari epitel kolumnar menjadi epitel skuamosa. (b) HPV mendapatkan akses ke sel-sel epitel basal serviks via vagina (selama berhubungan seksual) dan bereplikasi secara episomal (siklus lisogenik) dan mengekspresikan early gen (E1, E2, E4, E5, E6, dan E7). (c) Sel-sel basal yang rusak akibat infeksi HPV, terus berdiferensiasi dan bermigrasi ke permukaan epitel, tempat sel-sel skuamosa mulai mengekspresikan late gen (L1 dan L2). Partikel virus baru akan menyebar ke dalam lumen vagina. (e) Infeksi HPV (terutama tipe high risk) dapat berkembang menjadi: 1. displasia ringan, 2. cervical intraepithelial neoplasia stadium akhir (CIN3), dan 3. invasive cervical cancer (CaCx);
bila dasar membran rusak, akan terjadi penyebaran lokal dan metastasis. (f ) Pada sel-sel epitel yang bertransformasi, gen HPV berintegrasi dengan kromosom inang dan mengekspresikan protein onkogenik (E6 dan E7) yang berikatan dengan tumor suppressor protein (p53 dan Rb).
Kurang lebih 90% kasus kanker serviks disebabkan oleh infeksi HPV tipe high risk. Meskipun infeksi HPV tipe high risk dapat menyebabkan kanker serviks, mayoritas infeksi yang terjadi bersifat self-limiting. Hasil penelitian di tiga kota di Indonesia (Jakarta, Tasikmalaya, dan Bali) tahun 2004-2006, pada 2.686 wanita yang sudah menikah, menunjukkan bahwa prevalensi HPV tipe high risk adalah sekitar 7,9%. Prevalensi HPV tipe high risk pada 118 sampel dari beberapa rumah sakit rujukan di laboratorium KalGen adalah 6,8%, yaitu tipe 16 , 51 , 52 , 68 dan 58 dan tipe low riskyang terdeteksi adalah tipe 6, 43 dan 44. 2.
Faktor Risiko Rasjidi (2009) membagi factor risiko kanker cerviks menjadi 2 yaitu faktor resiko yang telah dibuktikan dan faktor resiko yang diperkirakan. a) Fakor Resiko Telah Dibuktikan 1) Hubungan Seksual Kanker serviks diperkirakan sebagai penyakit yang ditularkan secara seksual. Beberapa bukti menunjukkan adanya hubungan antara riwayat hubungan seksual dan risiko penyakit ini. Sesuai dengan etiologi infeksinya, wanita dengan partner seksual yang banyak dan wanita yang memulai hubungan seksual pada usia muda akan meningkatkan risiko terkena kanker serviks. Karena sel kolumnar serviks lebih peka terhadap metaplasia selama usia dewasa maka wanita yang berhubungan seksual sebelum usia 18 tahun akan berisiko terkena kanker serviks lima kali lipat. Keduanya, baik usia saat pertama berhubungan maupun jumlah partner seksual, adalah faktor risiko kuat untuk terjadinya kanker serviks. 2) Karakteristik Partner Sirkumsisi pernah dipertimbangkan menjadi faktor pelindung, tetapi sekarang hanya dihubungkan dengan penurunan faktor risiko. Studi kasus kontrol menunjukkan bahwa pasien dengan kanker serviks lebih sering menjalani seks aktif dengan partner yang melakukan seks berulang kali. Selain itu, partner dari pria dengan kanker penis atau partner dari pria yang istrinya meninggal terkena kanker serviks juga akan meningkatkan risiko kanker serviks. 3) Riwayat Ginekologis
Walaupun usia menarke atau menopause tidak mempengaruhi risiko kanker serviks, hamil di usia muda dan jumlah kehamilan atau manajemen persalinan yang tidak tepat dapat pula meningkatkan risiko. 4) Dietilstilbestrol (DES) Hubungan antara clear cell adenocarcinoma serviks dan paparan DES in utero telah dibuktikan. 5) Agen Infeksius Mutagen pada umumnya berasal dari agen-agen yang ditularkan melalui hubungan seksual seperti HPV dan Herpes Simpleks Virus Tipe 2 (HSV 2). 6) Human papillomavirus Terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa HPV sebagai penyebab neoplasia servikal. Karsinogenesis pada kanker serviks sudah dimulai sejak seseorang terinfeksi HPV yang merupakan faktor inisiator dari kanker serviks yang menyebabkan terjadinya gangguan sel serviks. Ada bukti lain yaitu onkogenitas virus papiloma hewan; hubungan infeksi HPV serviks dengan kondiloma dan atipik koilositotik yang menunjukkan displasia ringan atau sedang; serta deteksi antigen HPV dan DNA dengan lesi servikal. HPV tipe 6 dan 11 berhubungan erat dengan diplasia ringan yang sering regresi. HPV tipe 16 dan 18 dihubungkan dengan diplasia berat yang jarang regresi dan seringkali progresif menjadi karsinoma insitu. Infeksi HPV persisten dapat berkembang menjadi neoplasia intraepitel serviks (NIS). Seorang wanita dengan seksual aktif dapat terinfeksi oleh HPV risiko-tinggi dan 80% akan menjadi transien dan tidak akan berkembang menjadi NIS. HPV akan hilang dalam waktu 6-8 bulan. Dalam hal ini, respons antibodi terhadap HPV risiko-tinggi yang berperan. Dua puluh persen sisanya berkembang menjadi NID dan sebagian besar, yaitu 80%, virus menghilang, kemudian lesi juga menghilang. Oleh karena itu, yang berperan adalah cytotoxic T-cell. Sebanyak 20% dari yang terinfeksi virus tidak menghilang dan terjadi infeksi yang persisten. NIS akan bertahan atau NIS 1 akan berkembang menjadi NIS 3, dan pada akhirnya sebagiannya lagi menjadi kanker invasif. HPV risiko rendah tidak berkembang menjadi NIS 3 atau kanker invasif, tetapi menjadi NIS 1 dan beberapa menjadi NIS 2. Infeksi HPV risiko-rendah sendirian tidak pernah ditemukan pada NIS 3 atau karsinoma invasif. Berdasarkan hasil program skrining berbasis populasi
di Belanda, interval antara NIS 1 dan kanker invasive diperkirakan 12,7 tahun dan kalau dihitung dari infeksi HPV risiko-tinggi sampai terjadinya kanker adalah 15 tahun. Waktu yang panjang ini, di samping terkait dengan infeksi HPV risiko-tinggi persisten dan faktor imunologi (respons HPV-specific T-cell, presentasi antigen), juga diperlukan untuk terjadinya perubahan genom dari sel yang terinfeksi. Dalam hal, ini faktor onkogen E6 dan E7 dari HPV berperan dalam ketidakstabilan genetic sehingga terjadi perubahan fenotipe ganas. Oncoprotein E6 dan E7 yang berasal dari HPV merupakan penyebab terjadinya degenerasi keganasan. Oncoprotein E6 akan mengikat p53 sehingga TSG p53 akan kehilangan fungsinya. Sementara itu, oncoprotein E7 akan mengikat TSG Rb. Ikatan ini menyebabkan terlepasnya E2F yang merupakan faktor transkripsi sehingga siklus sel berjalan tanpa kontrol. 7) Virus Herpes Simpleks Walaupun semua virus herpes simpleks tipe 2 (HPV-2) belum didemonstrasikan pada sel tumor, teknik hibridisasi insitu telah menunjukkan bahwa terdapat HSV RNA spesifik pada sampel jaringan wanita dengan displasia serviks. DNA sekuens juga telah diidentifikasi pada sel tumor dengan menggunakan DNA rekombinan. Diperkirakan, 90% pasien dengan kanker serviks invasive dan lebih dari 60% pasien dengan neoplasia intraepithelial serviks (CIN) mempunyai antibodi terhadap virus. 8) Lain-lain Infeksi trikomonas, sifilis, dan gonokokus ditemukan berhubungan dengan kanker serviks. Namun, infeksi ini dipercaya muncul akibat hubungan seksual dengan multipel partner dan tidak dipertimbangkan sebagai faktor risiko kanker serviks secara langsung. 9) Merokok Saat ini terdapat data yang mendukung bahwa rokok sebagai penyebab kanker serviks dan hubungan antara merokok dengan kanker sel skuamosa pada serviks (bukan adenoskuamosa atau adenokarsinoma). Mekanisme kerja bisa langsung (aktivitas mutasi mukus serviks telah ditunjukkan pada perokok) atau melalui efek imunosupresif dari merokok. Bahan karsinogenik spesifik dari tembakau dapat dijumpai dalam lendir dari mulut rahim pada wanita perokok. Bahan karsinogenik ini dapat merusak
DNA sel epitel skuamosa dan bersama infeksi HPV dapat mencetuskan transformasi keganasan. b) Faktor Risiko Diperkirakan 1) Kontrasepsi Oral Risiko noninvasif dan invasif kanker serviks telah menunjukkan hubungan dengan kontrasepsi oral. Bagaimanapun, penemuan ini hasilnya tidak selalu konsisten dan tidak semua studi dapat membenarkan perkiraan risiko dengan mengontrol pengaruh kegiatan seksual. Beberapa studi gagal dalam menunjukkan beberapa hubungan dari salah satu studi, bahkan melaporkan proteksi terhadap penyakit yang invasif. Hubungan yang terakhir ini mungkin palsu dan menunjukkan deteksi adanya bias karena peningkatan skrining terhadap pengguna kontrasepsi. Beberapa studi lebih lanjut kemudian memerlukan konfirmasi atau menyangkal observasi ini mengenai kontrasepsi oral. 2) Diet Diet rendah karotenoid dan defisiensi asam folat juga dimasukkan dalam faktor risiko kanker serviks. 3) Etnis dan Faktor Sosial Wanita di kelas sosioekonomi yang paling rendah memiliki faktor risiko lima kali lebih besar daripada wanita di kelas yang paling tinggi. Hubungan ini mungkin dikacaukan oleh hubungan seksual dan akses ke system pelayanan kesehatan. Amerika Serikat, ras negro, hispanik, dan wanita Asia memiliki insiden kanker serviks yang lebih tinggi daripada wanita ras kulit putih. Perbedaan ini mungkin mencerminkan pengaruh sosioekonomi. 4) Pekerjaan Sekarang ini, ketertarikan difokuskan pada pria yang pasangannya menderita kanker serviks. Diperkirakan bahwa paparan bahan tertentu dari suatu pekerjaan (debu, logam, bahan kimia, tar, atau oli mesin) dapat menjadi faktor risiko kanker serviks 6. Patofisiologi Petanda tumor atau kanker adalah pembelahan sel yang tidak dapat dikontrol sehingga membentuk jaringan tumor. Mekanisme pembelahan sel yang terdiri dari 4 fase yaitu G1, S, G2 dan M harus dijaga dengan baik. Selama fase S, terjadi replikasi DNA dan pada fase M terjadi pembelahan sel atau mitosis. Sedangkan fase G (Gap) berada sebelum fase S (Sintesis) dan fase M (Mitosis). Dalam siklus sel p53 dan pRb
berperan penting, dimana p53 memiliki kemampuan untuk mengadakan apoptosis dan pRb memiliki
kontrol untuk proses proliferasi sel itu sendiri (American Cancer
Society, 2012). Infeksi dimulai dari virus yang masuk kedalam sel melalui mikro abrasi jaringan permukaan epitel, sehingga dimungkinkan virus masuk ke dalam sel basal. Sel basal terutama sel stem terus membelah, bermigrasi mengisi sel bagian atas, berdiferensiasi dan mensintesis keratin. Pada HPV yang menyebabkan keganasan, protein yang berperan banyak adalah E6 dan E7. mekanisme utama protein E6 dan E7 dari HPV dalam proses perkembangan kanker serviks adalah melalui interaksi dengan protein p53 dan retinoblastoma (Rb). Protein E6 mengikat p 53 yang merupakan suatu gen supresor tumor sehingga sel kehilangan kemampuan untuk mengadakan apoptosis. Sementara itu, E7 berikatan dengan Rb yang juga merupakan suatu gen supresor tumor sehingga sel kehilangan sistem kontrol untuk proses proliferasi sel itu sendiri. Protein E6 dan E7 pada HPV jenis yang resiko tinggi mempunyai daya ikat yang lebih besar terhadap p53 dan protein Rb, jika dibandingkan dengan HPV yang tergolong resiko rendah. Protein virus pada infeksi HPV mengambil alih perkembangan siklus sel dan mengikuti deferensiasi sel (American Cancer Society, 2012). Karsinoma serviks umumnya terbatas pada daerah panggul saja. Tergantung dari kondisi immunologik tubuh penderita KIS akan berkembang menjadi mikro invasif dengan menembus membrana basalis dengan kedalaman invasi <1mm dan sel tumor masih belum terlihat dalam pembuluh limfa atau darah. Jika sel tumor sudah terdapat >1mm dari membrana basalis, atau <1mm tetapi sudah tampak dalam pembuluh limfa atau darah, maka prosesnya sudah invasif. Tumor mungkin sudah menginfiltrasi stroma serviks, akan tetapi secara klinis belum tampak sebagai karsinoma. Tumor yang demikian disebut sebagai ganas praklinik (tingkat IB-occult). Sesudah tumor menjadi invasif, penyebaran secara limfogen melalui kelenjar limfa regional dan secara perkontinuitatum (menjalar) menuju fornices vagina, korpus uterus, rektum, dan kandung kemih, yang pada tingkat akhir (terminal stage) dapat menimbulkan fistula rektum atau kandung kemih. Penyebaran limfogen ke parametrium akan menuju kelenjar limfa regional melalui ligamentum latum, kelenjar-kelenjar iliak, obturator, hipogastrika, prasakral, praaorta, dan seterusnya secara teoritis dapat lanjut melalui trunkus limfatikus di kanan dan vena subklavia di kiri mencapai paru-paru, hati , ginjal, tulang dan otak (American Cancer Society, 2012).
Gambar 4.20. Patofisiologi Ca cervix(American Cancer Society, 2012) 1. Penegakan Diagnosis Diagnosis kanker serviks dapat ditegakan dengan cara pengenalan gejala dan tanda, pengenalan faktor-faktor risiko dan metode deteksi dini. a. Gejala dan tanda 1) Pada awal penyakit umumnya tanpa gejala. 2) Keputihan, keputihan berbau busuk dari vagina. Umumnya cairan vagina seperti cairan cucian daging. 3) Contact bleeding 4) Nyeri daerah panggul infiltrasi tumor pada syaraf atau adanya radang panggul. 5) Adanya perdarahan campur air seni atau lewat anus, dapat terjadi pada keadaan tumor telah menginfiltrasi kandung kemih atau ektum b. Metode deteksi dini 1) Sitologi konvensional (Pap’s smear)/ tes PAP Pemeriksaan diawali dengan evaluasi visual untuk mengamati adanya servisitis, leukorea, polip, ulkus dan sebagainya secara inspekulo. Kemudian pap
smear sampel diambil dengan menggunakan spatula Ayre,
kemudian apusan
sampel difiksasi dengan etanol selama 30 menit (Jeronimo, et al., 2005). Pap smear dapat mendeteksi sampai 90% kasus kanker serviks secara akurat dan dengan biaya yang tidak terlalu mahal. Akibatnya angka kematian akibat kanker serviks pun menurun sampai lebih dari 50%. Setiap wanita yang telah aktif secara seksual atau usianya telah mencapai 18 tahun, sebaiknya menjalani Pap smear secara teratur yaitu 1 kali/tahun.Jikaselama 3 kali berturutturut menunjukkan hasil yang normal, Pap smear bias dilakukan 1 kali/2-3 tahun (Jeronimo, et al., 2005). Hasilpemeriksaan Pap smear menunjukkan stadium darikankerserviks: a) Normal. b) Displasia ringan (perubahan dini yang belum bersifat ganas). c) Displasia berat (perubahan lanjut yang belum bersifat ganas). d) Karsinoma in situ (kanker yang terbatas pada lapisan serviks paling luar). e) Kanker invasif (kanker telah menyebar ke lapisan serviks yang lebih dalam atau ke organ tubuh lainnya). 2) Inspeksi visual dengan asam asetat/ IVA Prosedur screening
dengan inspeksi visual asam asetat memiliki banyak
kelebihan, yaitu sebagai berikut: a)
Inspeksi visual serviks dengan menggunakan asam asetat atau cairan Lugol untuk mewarnai lesi prekanker sehingga lesi tersebut dapat dilihat dengan mata telanjang, sehingga identifikasi prekanker dapat dilakukan secara klinis.
b)
Prosedur tersebut mengurangi kebutuhan adanya laboratorium dan transportasi specimen, sehingga hanya membutuhkansedikit peralatan dan hasil tesnya dapat diketahui secara cepat oleh pasien.
c)
Hampir semua petugas pelayanan kesehatan (dokter, perawat dan bidan professional) bisa melakukan prosedur ini secara efektif, dengan syarat telah mendapatkan pelatihan dan supervise yang adekuat.
d)
Sebagai uji screening, IVA menghasilkan hasil yang lebih akurat dalam mengidentifikasi lesi prekanker dibandingkan sitologi serviks. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan IVA, dari wanita yang berisiko tinggi mengalami karsinoma serviks, 45-79% dia antaranya teridentifikasi adanya lesi prekanker, namun spesifitasnya lebih rendah dan terdapat risiko
overtreatment. Sedangkan tingkat sensitivitas pemeriksaaan sitologi sebesar 47-62%.2,4 Namun sama seperti pemeriksaan sitologi, salah satu kekurangan pemeriksaan IVA adalah bahwa hasilnya sangat bergantung pada tingkat akurasi dari interpretasi individu. Oleh karena itu, pelatihan dan system pengontrolan kualitas merupakan hal yang sangat penting.4 IVA memiliki banyak kelebihan yang signifikan dibandingkan Pap smear untuk kondisi dengan sarana dan prasarana terbatas, terutama dari segi peningkatan jangkauan screening, perbaikan dalam perawatan dan follow up, serta kualitas program secara umum. Pemeriksaan IVA dengan tingkat kebutuhan personil, pelatihan, infrastruktur, dan peralatannya yang rendah, menjadikan sistem pelayanan kesehatan masyarakat dapat menyediakan program screening karsinoma serviks pada tempat yang terpencil dengan peralatan terbatas sehingga dapat meliputi cakupan area yang lebih luas. Selain itu, penyedia layanan kesehatan dapat mendiskusikan hasil pemeriksaan IVA dengan pasien secara langsung sehingga memungkinkan untuk melakukan screening sekaligus pengobatan dalam satu kali kunjungan.Hal ini menjamin sistem follow up dapat dilaksanakan langsung di tempat dan mengurangi jumlah wanita yang tidak terobati karena mereka tidak dapat melakukan kunjungan berikutnya. 4 Pada negara dengan sumber daya terbatas, metode IVA merupakan pilihan terbaik untuk screening karsinoma serviks. Syarat mengikuti tes IVA adalah :2 a) Sudah pernah melakukan hubungan seksual b) Tidak sedang datang bulan/haid c) Tidak sedang hamil d) 24 jam sebelumnya tidak melakukan hubungan seksual Klasifikasi IVA berdasarkan temuan klinis (SEE AND TRET,2007) a) Hasil tes – Positif : ditemukan Plak putih yang tebal atau epitel acetowhite, biasanya dekat SCJ b) Hasil Tes Negatif : Ditemukan pertemuan polos dan halus, berwarna merah jambu: ectropion, polyp,cervicitis, inflammantion, Nabothian cysts c) Kanker : ditemukan secara klinis massa mirip kembang kol atau bisul Orang-Orang yang dirujuk untuk kelanjutan Tes IVA bila Ditemukan: a) Diduga Kanker Cervix b) Lesi > 75%
c) Lesi > 2 mm melebihi cryoprobe d) Lesi meluas sampai dinding vagina e) Hamil (> 20 minggu) Pelaksanaan IVA a) Ruangan tertutup, karena pasien diperiksa dengan posisi litotomi. b) Meja/tempat tidur periksa yang memungkinkan pasien berada pada posisi litotomi. c) Terdapat sumber cahaya untuk melihat serviks d) Spekulum vagina. e) Asam asetat (3-5%) f) Swab-lidi berkapas g) Sarung tangan h) Teknik Pengambilan Sampel Dengan spekulum melihat serviks yang dipulas dengan asam asetat 35%. Pada lesi prakanker akan menampilkan warna bercak putih yang disebut aceto white epithelum Dengan tampilnya porsio dan bercak putih dapat disimpulkan bahwa tes IVA positif, sebagai tindak lanjut dapat dilakukan biopsi. Andaikata penemuan tes IVA positif oleh bidan, maka di beberapa negara bidan tersebut dapat langsung melakukan terapi dengan cryosergury. Hal ini tentu mengandung kelemahan-kelemahan dalam menyingkirkan lesi invasif. Kategori pemeriksaan IVA a) IVA negatif = Serviks normal. b) IVA radang = Serviks dengan radang (servisitis), atau kelainan jinak lainnya (polip serviks). c) IVA positif = ditemukan bercak putih (aceto white epithelium)
Gambar 4.21. Hasil Pemeriksaan IVA Untuk mensukseskan pendeteksian dini Ca. Cervix ini sudah seharusnya setiap orang ikut berpartisipasi dalam pensosialisasian pelaksanaan program IVA srining test ini, dengan harapan setiap wanita mewaspadai akan kesehatan diri sendiri. ”Mencegah adalah tidakan bijaksana untuk kelaksungan hidup sehat, ini lebih baik daripada mengobati.” 3) Uji HPV DNA Tes HPV DNA dapat mendeteksi adanya tipe virus HPV penyebab kanker pada sel serviks atau vagina yang mengindikasikan apakah wanita tersebut baru terinfeksi. Sebagian besar infeksi HPV dapat sembuh secara spontan dan tidak mengarah ke karsinoma serviks, hal yang banyak terjadi pada wanita remaja dan berumur 20 tahun. Namun apabila virus HPV penyebab kanker ditemukan pada wanita berusia ≥ 30 tahun, terdapat kemungkinan virus tersebut menetap dalam tubuh dan wanita tersebut berisiko tinggi untuk menderita karsinoma serviks, baik pada saat virus HPV dideteksi atau di masa mendatang.
Gambar 4.22. Prosedur Uji HPV-DNA Walaupun sangat efektif, uji HPV yang selama ini digunakan tidak didesain untuk digunakan pada kondisi dengan sumber daya yang rendah. Uji HPV hanya digunakan secara terbatas di negara berpenghasilan perkapita rendah, karena membutuhkan infrastuktur laboratorium, teknisi yang terlatih, dan fasilitas penyimpanan. yang biasanya ditemukan hanya di daerah perkotaan dengan sumber daya yang memadai. Selain itu, prosedur uji HPV membutuhkan waktu sekitar 4,5 jam, yang artinya hasil interpretasinya tidak akan langsung dapat diterima pasien dalam sekali kunjungan. Kelebihannya, uji HPV memberikan profil hasil tes yang lebih reprodusibel bagi wanita yang berisiko tinggi menderita lesi kanker atau prekanker. Apabila digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan IVA, ujia HPV DNA memberikan hasil yang sangat menjanjikan. Suatu uji HPV yang sederhana, akurat, cepat, terjangkau dan dapat diterima secara luas akan berpotensi besar untuk mengurangi karsinoma serviks di negaranegara berkembang dan akan lebih hemat biaya pada kondisi dengan sumber daya terbatas. Suatu asosiasi yang dinamakan Program for Appropriate Technology in Health (PATH) telah meluncurkan suatu proyek yang diberi nama Screening Techologies to Advance Rapid Testing for Cervical Cancer Prevention Project (START Project), yang bertujuan untuk memajukan strategi pencegahan karsinoma serviks di negara-negara dengan sumber daya terbatas, dengan cara memfasilitasi pengembangan dan validasi format uji biokimia yang tepat, terjangkau, dan efektif untuk mendeteksi CIN dan karsinoma serviks tahap awal dengan deteksi HPV tipe onkogenik. 3) Spekuloskopi
4) Cervicography 5) Downstaging Down staging yaitu skrining kanker serviks dengan cara melakukan inspekulo, melihat serviks dengan mata telanjang. 6) Tes Schiller Serviks diolesi dengan lauran yodium, sel yang sehat warnanya akan berubah menjadi coklat, sedangkan sel yang abnormal warnanya menjadi putih atau kuning. 2. Pencegahan Karena pada umumnya kanker serviks berkembang dari sebuah kondisi prakanker, maka tindakan pencegahan terpenting harus segera dilakukan. a. Pencegahan Primer - Menghindari faktor-faktor risiko yang sudah diuraikan di atas. Misalnya: Tidak berhubungan seksual dengan lebih dari satu pasangan, penggunaan kondom (untuk mencegah penularan infkesi HPV), tidak merokok, selalu menjaga kebersihan, menjalani pola hidup sehat, melindungi tubuh dari paparan bahan kimia (untuk mencegah faktor-faktor lain yang memperkuat munculnya penyakit kanker ini). - Vaksinasi Vaksin merupakan cara terbaik dan langkah perlindungan paling aman bagi wanita dari infeksi HPV tipe 16 dan 18. Vaksin akan meningkatkan kemampuan system kekebalan tubuh untuk mengenali dan menghancurkan virus ketika masuk kedalam
tubuh,
sebelumterjadiinfeksi.
Vaksin
dibuat
dengan
teknologi
rekombinan, vaksin berisi VLP (virus like protein) yang merupakan hasil cloning dari L1 (viral capsid gene) yang mempunyai sifat imunogenik kuat. Dalam hal ini dikembangkan 2 jenis vaksin: - Vaksin pencegahan untuk memicu kekebalan tubuh humoral agar dapat terlindung dari infeksi HPV. - Vaksin Pengobatan untuk menstimulasi kekebalan tubuh seluler agar sel yang terinfeksi HPV dapat dimusnahkan. Respon imun yang benar pada infeksi HPV memiliki karakteristik yang kuat, bersifat lokal dan selalu dihubungkan dengan pengurangan lesi dan bersifat melindungi terhadap infeksi HPV genotif yang sama . Dalam hal ini, antibodi
humoral sangat berperan besar dan antibodi ini adalah suatu virus neutralising antibodi yang bisa mencegah infeksi HPV dalam percobaan invitro maupun invivo. Kadar serum neutralising hanya setelah fase seroconversion dan kemudian menurun. Kadar yang rendah ini berhubungan dengan infeksi dari virus. HPV yang bersifat intraepitelial dan tidak adanya fase keberadaan virus di darah pada infeksi ini. Selanjutnya protein L1 diekspresikan selama infeksi produktif dari virus HPV dan partikel virus tersebut akan terkumpul pada permukaan sel epitel tanpa ada proses kerusakan sel dan proses radang dan tidak terdeteksi oleh antigen presenting cell dan makropag. Oleh karena itu partikel virus dan kapsidnya terdapat dalam kadar yang rendah pada kelenjar limfe dan limpa, di mana kedua organ tersebut adalah organ yang sangat berperan dalam proses kekebalan tubuh. Meskipun dalam kadar yang rendah, antibodi tersebut bersifat protektif terhadap infeksi virus HPV. Terdapat dua jenis vaksin HPV L1 VLP yang sudah dipasarkan melalui uji klinis, yakni Cervarik dan Gardasil : - Cervarix Adalah jenis vaksin bivalen HPV 16/18 L1 VLP vaksin yang diproduksi oleh Glaxo Smith Kline Biological, Rixensart, Belgium. Pada preparat ini, Protein L1 dari HPV diekspresikan oleh recombinant baculovirus vector dan VLP dari kedua tipe ini diproduksi dan kemudian dikombinasikan sehingga menghasilkan suatu vaksin yang sangat merangsang sistem imun . Preparat ini diberikan secara intramuskuler dalam tiga kali pemberian yaitu pada bulan ke 0, kemudian diteruskan bulan ke 1 dan ke 6 masing-masing 0,5 ml. - Gardasil Adalah vaksin quadrivalent 40 μg protein HPV 11 L1 HPV ( GARDASIL yang diproduksi oleh Merck) Protein L1 dari VLP HPV tipe 6/11/16/18 diekspresikan lewat suatu rekombinant vektor Saccharomyces cerevisiae (yeast). Tiap 0,5 cc mengandung 20μg protein HPV 6 L1, 40 μgprotein HPV 11 L1, 20 μg protein HPV18 L1. Tiap 0,5 ml mengandung 225 amorph aluminium hidroksiphosphatase sulfat. Formula tersebut juga mengandung sodium borat. Vaksin ini tidak mengandung timerasol dan antibiotika. Vaksin ini seharusnya disimpan pada suhu 20 – 80 C.
Yang sebaiknya dimiliki oleh vaksin HPV pencegah kanker serviks adalah 1) Memberikan perlindungan yang adekuat terhadap infeksi HPV penyebab kanker serviks. - Melawan virus tersering dan agresif penyebab kanker - Memberikan perlindungan tambahan dari tipe virus HPVlain yang juga menyebabkan kanker. 2) Respon imun tubuh yang baik akan menghasilkan neutralizing antibodies yang tinggi. 3) Dapat memberikan perlindungan yang jangka panjang. 4) Memberikan perlindungan tinggi hingga ke lokasi infeksi (serviks). 5) Profil keamanan yang baik 6) Affordable (Terjangkau lebih banyak perempuan). Rekomendasi pemberian vaksin Vaksin profilaksis akan bekerja efisien bila vaksin tersebut diberikan sebelum individu terpapar infeksi HPV. Vaksin mulai dapat diberikan pada wanita usia 10 tahun. Berdasarkan pustaka vaksin dapt diberikan pada wanita usia 10-26 tahun (rekomendasi FDA-US), penelitian memperlihatkan vaksin dapat diberikan sampai usia 55 tahun Dosis dan cara pemberian vaksin: Vaksin ini diberikan intramuskuler 0,5 cc diulang tiga kali, produk Cervarix diberikan bulan ke 0,1 dan 6 sedangkan Gardasil bulan ke 0, 2 dan 6 (Dianjurkan pemberian tidak melebihi waktu 1 tahun). Pemberian booster (vaksin ulangan), respon antibodi pada pemberian vaksin sampai 42 bulan, untuk menilai efektifitas vaksin diperlukan deteksi respon antibodi. Bila respon antibodi rendah dan tidak mempunyai efek penangkalan maka diperlukan pemberian Booster. Vaksin dikocok terlebih dahulu sebelum dipakai dan diberikan secara muskuler sebanyak 0,5 dan sebaiknya disuntikkan pada lengan (otot deltoid) Contoh : 1. Penyuntikan 1 : Januari 2. Penyuntikan 2 : Februari / Maret 3. Penyuntikan 3 : Juli b.
Pencegahan sekunder Pencegahan sekunder kanker serviks dilakukan dengan deteksi dini dan skrining kanker serviks yang bertujuan untuk menemukan kasus-kasus kanker serviks secara
dini sehingga kemungkinan penyembuhan dapat ditingkatkan. Perkembangan kanker serviks memerlukan waktu yang lama. Dari prainvasif ke invasive memerlukan waktu sekitar 10 tahun atau lebih. Pemeriksaan sitologi merupakan metode sederhana dan sensitif untuk mendeteksi karsinoma prakanker. Bila diobati dengan baik, karsinoma prakanker mempunyai tingkat penyembuhan mendekati 100%. Diagnosa kasus pada fase invasif hanya memiliki tingkat ketahanan sekitar 35%. Program skrining dengan pemeriksaan sitologi dikenal dengan Pap mear test dan telah dilakukan di Negaranegara maju. Pencegahan dengan pap smear terbuki mampu menurunkan tingkat kematian akibat kanker serviks 50-60% dalam kurun waktu 20 tahun (WHO,1986). 3. Penatalaksanaan Terapi karsinoma serviks dilakukan bilamana diagnosis telah dipastikan secara histologik dan sesudah dikerjakan perencanaan yang matang oleh tim yang sanggup melakukan rehabilitasi dan pengamatan lanjutan (tim kanker / tim onkologi) (Wiknjosastro, 1997). Tindakan pengobatan atau terapi sangat bergantung pada stadium kanker serviks saat didiagnosis. Dikenal beberapa tindakan (modalitas) dalam tata laksana kanker serviks antara lain: a. Terapi Lesi Prakanker Serviks Penatalaksanaan lesi prakanker serviks yng pada umunya tergolong NIS (Neoplasia
Intraepital
Serviks)
dapat
dilakukan
dengan
observasi
saja,
medikamentosa, terapi destruksi dan terapi eksisi. Tindakan observasi dilakukan pada tes Pap dengan hasil HPV, atipia, NIS 1 yang termasuk dalam lesi intraepitelial skuamosa derajad rendah (LISDR). Terapi nis dengan destruksi dapat dilakukan pada LISDR dan LISDT (Lesi intraeoitelial serviks derajat tinggi). Demikian juga terapi eksisi dapat ditujukan untuk LISDR dan LISDT. Perbedaan antara terapi destruksi dan terapi eksisi adalah pada terapi destruksi tidak mengangkat lesi tetapi pada terapi eksisi ada spesimen lesi yang diangkat.
Tabel 9. Klasifikasi lesi prakanker serviks dan penanganannya
b. Terapi NIS dengan destruksi lokal Tujuannya metode ini untuk memusnahkan daerah-daerah terpilih yang mengandung epitel abnormal yang nkelak akan digantikan dengan epitel skuamosa yang baru. Krioterapi adalah suatu cara penyembuhan penyakit dengan cara mendinginkan
bagian yang sakit sampai dengan suhu 0 0 C. Pada suhu
sekurang-kurangnya 250Csel-sel jaringan termasuk NIS akan mengalami nekrosis. Sebagai akibat dari pembekuan sel-sel tersebut, terjadi perubahan tingkat seluller dan vaskular, yaitu: 1. sel-sel mengalami dehidrasi dan mengkerut; 2.konsentrasi elektrolit dalam sel terganggu; 3. Syok termal dan denaturasi kompleks lipid protein; dan 4. Status umum sistem mikrovaskular. Pada saat ini hampir semua alat menggunakan N20. Elektrokauter memungkinkan
untuk pemusnahan jaringan dengan
kedalaman 2-3mm. Lesi NIS 1 yang kecil di lokasi yang keseluruhannya terlihat pada umumnya dapat disembuhkan dengan efektif. Diatermi Elektroagulasi Radikal dapat memusnahkan jaringan lebih luas (sampai kedalaman 1cm) dan efektif dibandingkan elektrokauter tapi harus
dilakukan dengan anestesia umum. Tetapi fisiologi serviks dapat dipengaruhi, dianjurkan hanya terbatas pada NIS1/2 dengan batas lesi yang dapat ditentukan. CO2 Laser adalah muatan listrik yang berisi campuran gas helium, nitrogen dan gas CO2 yang menimbulkan sinar laser dengan gelombang 10,6 u. Perbedaan patologis dapat dibedakan dalam 2 bagian, yaitu penguapan dan nekrosis. c. Terapi NIS dengan eksisi Konisasi (cone biopsy) adalah pembuatan sayatan berbentuk kerucut pada serviks dan kanal serviks untuk diteliti oleh ahli patologi. Digunakan untuk diagnosa ataupun pengobatan pra-kanker serviks
Gambar 4.23. Cone biopsi Punch Biopsi yaitu menggunakan alat yang tajam untuk menjumput sampel kecil jaringan serviks
Gambar 4.24. Punch biopsi
Loop electrosurgical excision procedure (LEEP): menggunakan arus listrik yang dilewati pada kawat tipis untuk memotong jaringan abnormal kanker serviks
Gambar 4.25. Loop electrosurgical excision procedure (LEEP): Trakelektomi radikal (radical trachelectomy) : Dokter bedah mengambil leher rahim, bagian dari vagina, dan kelenjar getah bening di panggul. Pilihan ini dilakukanuntuk wanita dengan tumor kecil yang ingin mencoba untuk hamil di kemudian hari
Gambar 4.26. Tratelektomi
Histerektomi adalah suatu tindakan pembedahan yang bertujuan untuk mengangkat uterus dan serviks (total) ataupun salah satunya (subtotal). Biasanya dilakukan pada stadium klinik IA sampai IIA (klasifikasi FIGO). Umur pasien sebaiknya sebelum menopause, atau bila keadaan umum baik, dapat juga pada pasien yang berumur kurang dari 65 tahun. Pasien juga harus bebas dari penyakit umum (resiko tinggi) seperti: penyakit jantung, ginjal dan hepar. Ada 2 histerektomi : a. Total Histerektomi: pengangkatan seluruh rahim dan serviks b. Radikal Histerektomi: pengangkatan seluruh rahim dan serviks, indung telur, tuba falopi maupun kelenjar getah bening di dekatnya
Gambar 4.27. Histerektomi 2. Terapi Kanker Serviks Invasif a. Pembedahan b. Radioterapi Terapi ini menggunakan sinar ionisasi (sinar X) untuk merusak sel-sel kanker. Terapi radiasi bertujuan untuk merusak sel tumor pada serviks serta mematikan parametrial dan nodus limpa pada pelvik. Kanker serviks stadium II B, III, IV diobati dengan radiasi. Metoda radioterapi disesuaikan dengan tujuannya yaitu tujuan pengobatan kuratif atau paliatif. Pengobatan kuratif ialah mematikan sel kanker serta sel yang telah menjalar ke sekitarnya dan atau
bermetastasis
ke
kelenjar
getah
bening
panggul,
dengan
tetap
mempertahankan sebanyak mungkin kebutuhan jaringan sehat di sekitar seperti rektum, vesika urinaria, usus halus, ureter. Radioterapi dengan dosis kuratif hanya akan diberikan pada stadium I sampai III B. Bila sel kanker sudah keluar rongga panggul, maka radioterapi hanya bersifat paliatif yang diberikan secara selektif pada stadium IV A. Ada 2 macam radioterapi, yaitu : 1) Radiasi
eksternal
:
sinar
berasar
dari
sebuah
mesin
besar
Penderita tidak perlu dirawat di rumah sakit, penyinaran biasanya dilakukan sebanyak 5 hari/minggu selama 5-6 minggu. 2) Radiasi internal : zat radioaktif terdapat di dalam sebuah kapsul dimasukkan langsung ke dalam serviks. Kapsul ini dibiarkan selama 1-3 hari dan selama itu penderita dirawat di rumah sakit. Pengobatan ini bisa diulang beberapa kali selama 1-2 minggu. Efek samping dari terapi penyinaran adalah : a. Iritasi rektum dan vagina b. Kerusakan kandung kemih dan rektum c. Ovarium berhenti berfungsi. Biasanya, selama menjalani radioterapi penderita tidak boleh melakukan hubungan seksual. Kadang setelah radiasi internal, vagina menjadi lebh sempit dan kurang lentur, sehingga bisa menyebabkan nyeri ketika melakukan hubungan seksual. Untuk mengatasi hal ini, penderita diajari untuk menggunakan dilator dan pelumas dengan bahan dasar air. Pada radioterapi juga bisa timbul diare dan sering berkemih. 3) Kemoterapi Kemoterapi adalah penatalaksanaan kanker dengan pemberian obat melalui infus, tablet, atau intramuskuler. Obat kemoterapi digunakan utamanya untuk membunuh sel kanker dan menghambat perkembangannya. Tujuan pengobatan kemoterapi tegantung pada jenis kanker dan fasenya saat didiagnosis.
Beberapa
kanker
mempunyai
penyembuhan
yang
dapat
diperkirakan atau dapat sembuh dengan pengobatan kemoterapi. Dalam hal lain, pengobatan mungkin hanya diberikan untuk mencegah kanker
yang
kambuh,
ini
disebut
pengobatan
adjuvant. Dalam beberapa kasus, kemoterapi diberikan untuk mengontrol penyakit dalam periode waktu yang lama walaupun tidak mungkin sembuh. Jika kanker menyebar luas dan dalam fase akhir, kemoterapi digunakan sebagai
paliatif untuk memberikan kualitas hidup yang lebih baik. Kemoterapi kombinasi telah digunakan untuk penyakit metastase karena terapi dengan agenagen dosis tunggal belum memberikan keuntungan yang memuaskan Contoh obat yang digunakan pada kasus kanker serviks antara lain CAP (Cyclophopamide Adremycin Platamin), PVB (Platamin Veble Bleomycin) dan lain – lain. Cara pemberian kemoterapi dapat bsecara ditelan, disuntikkan dan diinfus Obat kemoterapi yang paling sering digunakan sebagai terapi awal / bersama terapi radiasi pada stage IIA, IIB, IIIA, IIIB, and IVA adalah cisplatin, flurouracil. Sedangkan Obat kemoterapi yang paling sering digunakan untuk kanker
serviks
stage
IVB
/
recurrent
adalah
:
mitomycin.
pacitaxel, ifosamide.topotecan telah disetujui untuk digunakan bersama dengan cisplastin untuk kanker serviks stage lanjut, dapat digunakan ketika operasi / radiasi tidak dapat dilakukan atau tidak menampakkan hasil; kanker serviks yang timbul kembali / menyebar ke organ lain. Kemoterapi dapat digunakan sebagai : 1) Terapi utama pada kanker stadium lanjut 2) Terapi adjuvant/tambahan – setelah pembedahan untuk meningkatkan hasil
pembedahan dengan menghancurkan sel kanker yang mungkin tertinggal dan mengurangi resiko kekambuhan kanker. 3) Terapi neoadjuvan – sebelum pembedahan untuk mengurangi ukuran tumor 4) Untuk
mengurangi
gejala
terkait
kanker
yang
menyebabkan
ketidaknyamanan dan memperbaiki kehidupan pasien (stadium lanjut / kanker yang kambuh) 5) Memperpanjang masa hidup pasien (stadium lanjut / kanker yang kambuh)
Efek samping dari kemoterapi adalah : 1) Lemas Timbulnya mendadak atau perlahan dan tidak langsung menghilang saat beristirahat, kadang berlangsung terus sampai akhir pengobatan. 2) Mual dan muntah Mual dan muntah berlangsung singkat atau lama. Dapat diberikan obat anti mual sebelum, selama, dan sesudah pengobatan. 3) Gangguan pencernaan
Beberapa obat kemoterapi dapat menyebabkan diare, bahkan ada yang diare sampai dehidrasi berat dan harus dirawat. Kadang sampai terjadi sembelit. Bila terjadi diare : kurangi makan-makanan yang mengandung serat, buah dan sayur. Harus minum air yang hilang untuk mengatasi kehilangan cairan. Bila susah BAB : makan-makanan yang berserat, dan jika memungkinkan olahraga. 4) Sariawan 5) Rambut rontok Kerontokan rambut bersifat sementara, biasanya terjadi dua atau tiga minggu setelah kemoterapi dimulai. Dapat juga menyebabkan rambut patah didekat kulit kepala. Dapat terjadi seminggu setelah kemoterapi. 6) Otot dan saraf Beberapa obat kemoterapi menyebabkan kesemutan dan mati rasa pada jari tangan dan kaki. Serta kelemahan pada otot kaki. 7) Efek pada darah Beberapa jenis obat kemoterapi ada yang berpengaruh pada kerja sumsum tulang yang merupakan pabrik pembuat sel darah merah, sehingga jumlah sel darah merah menurun. Yang paling sering adalah penurunan sel darah putih (leukosit). Penurunan sel darah terjadi setiap kemoterapi, dan test darah biasanya dilakukan sebelum kemoterapi berikutnya untuk memastikan jumlah sel darah telah kembali normal. Penurunan jumlah sel darah dapat menyebabkan: c. Mudah terkena infeksi Hal ini disebabkan oleh penurunan leukosit, karena leukosit adalah sel darah yang memberikan perlindungan infeksi. Ada juga beberapa obat kemoterapi yang menyebabkan peningkatkan leukosit. d. Perdarahan Keping darah (trombosit) berperan pada proses pembekuan darah, apabila jumlah trombosit rendah dapat menyebabkan pendarahan, ruam, dan bercak merah pada kulit. e. Anemia Anemia adalah penurunan sel darah merah yang ditandai dengan penurunan Hb (Hemoglobin). Karena Hb letaknya didalam sel darah merah. Penurunan sel darah merah dapat menyebabkan lemah, mudah lelah, tampak pucat.
1) Kulit menjadi kering dan berubah warna 2) Lebih sensitive terhadap sinar matahari. 3) Kuku tumbuh lebih lambat dan terdapat garis putih melintang c. Terapi paliatif (supportive care) yang lebih difokuskan pada peningkatan kualitas hidup pasien. Contohnya: Makan makanan yang mengandung nutrisi, pengontrol sakit
(pain
control). Manajemen Nyeri KankerBerdasarkan
kekuatan obat anti nyeri kanker, dikenal 3 tingkatan obat, yaitu : - Nyeri ringan (VAS 1-4) : obat yang dianjurkan antara lain Asetaminofen, OAINS (Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid) - Nyeri sedang (VAS 5-6) : obat kelompok pertama ditambah kelompok opioid ringan seperti kodein dan tramadol - Nyeri berat (VAS 7-10) : obat yang dianjurkan adalah kelompok opioid kuat seperti morfin dan fentanil 4. Prognosis Faktor-faktor yang menentukan prognosis adalah : a. Umurpenderita b. Keadaanumum c. Tingkat klinikkeganasan d. Sitopatologisel tumor e. Kemampuan ahli atau tim ahli yang menanganinya f.Sarana pengobatan yang ada Tabel 9. Prognosis kanker serviks Stadium
Penyebaran kanker serviks
% Harapan Hidup 5 Tahun 100
0
Karsinoma insitu
I
Terbatas pada uterus
85
II
Menyerang luar uterus tetapi meluas
60
III
ke dinding pelvis Meluas ke dinding pelvis dan atau
33
sepertiga bawah vagina atau IV
hidronefrosis Menyerang mukosa kandung kemih atau rektum atau meluas keluar pelvis sebenarnya
7
Ciri-ciri karsinoma serviks yang tidak diobati atau tidak memberikan respon terhadap pengobatan, 95 % pasien akan mengalami kematian dalam 2 tahun setelah timbul gejala. Pasien yang menjalani histerektomi dan memiliki resiko tinggi terjadinya rekurensi haus terus diawasi karena lewat deteksi dini dapat diobati dengan radioterapi. Setelah histerektomi radikal, terjadi 80% rekurensi dalam 2 tahun.
BAB V KESIMPULAN 1. Diagnosis pasien ini adalah para 4 abortus 0 usia 50 tahun dengan vaginitis dan cervicitis. 2. Pap Smear atau tes Pap adalah suatu prosedur yang meliputi pengumpulan sel-sel dari leher rahimwanita dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop untuk mendeteksi lesi kanker atau prakanker. 3. Tujuan dan manfaat pap smear diantaranya ; evaluasi sitohormonal, mendiagnosis peradangan, identifikasi organisme penyebab peradangan, Mendiagnosis kelainan prakanker (displasia) leher rahim dan kanker leher rahim dini atau lanjut (karsinoma/invasif).Memantau hasil terapi 4. Tes Pap Smear diindikasikan untuk skrining lesi kanker dan lesi prakanker dari serviks. 5. Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari metaplasia epitel di daerah squamocolumnar junction yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan mukosa kanalis servikalis.
DAFTAR PUSTAKA American Cancer Society. 2012. Cervical Cancer. At lanta. American Cancer Society. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi kedokteran. Edisi 1. Jakarta: Salemba Medika, 2005. Calderone, R.A., and Fonzi, W.A. (2001). Virulence factors of Candida albicans. Trends in Microbiology, 9(7): 327-35. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Skrining Kanker Leher Rahim dengan Metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Skrining Kanker Leher Rahim dengan Metode Pap Smear. Elit, L., W. Jimenez, J. Mc Alpine, P. Ghatage, D. Miller, and M. Plante. 2011. SOGC-GOCSCC Joint Policy Statement: Cervical Cancer Prevention in Low Resource Setting. Journal of Obstetrician and Gynaecologists of Canada. 33 (3): 272-279. Foxman B, Muraglia R, Dietz JP, Sobel JD, Wagner J. Prevalence of recurrent vulvovaginal candidiasis in 5 European countries and the United States: results from an internet panel survey. J Low Genit Tract Dis. Jul 2013;17(3):340-5. Gerald L, Mandell. Principles and Practice of Infectious Disease Seventh Edition. Elsevier. 2010. Gizelka, DW., Davis A., Pereira E., & Shirazian T. 2014. Assessing Patient Understanding of the ACOG Abnormal Pap Smear Pamphplet: A Randomized Controlled Trial. Journal of Women Health Care, 3(2):1-3 Jena, A., Bharathi T., Siva KR., Manilal B., Rashm P., & Phaneendra BV. 2012. Papanicolaou (Pap) Test Screening of Staff Members of a Tertiary Care Teaching Hospital in South India. Journal of Clinical Sciences & Research, 1:174-7 Jeronimo, J., O. Morales, J. Horna, J. Pariona, J. Manrique, J. Rubinos and R. Takahashi. 2005. Visual Inspection with Acetic Acid for Cervical Cancer Screening Outside of Low-Resource Setting. Rev PanamSaludPublica. 17 (1): 1-5. Hay RJ, Moore MK. Mycology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths, editors. Rook’s textbook of dermatology. 7th ed. Massachusets: Blackwell Publishing; 2004; p. 31.60-75. Huppert JS. Trichomoniasis in teens: an update. Curr Opin Obstet Gynecol. Oct 2009;21(5):371-8 Karjane NW, Chelmow D. Pap Smear. Medscape Medical News; 2012. (http://emedicine.medscape.com/article/1947979-overview#showall diakses 23 September 2014). Kemenkes, 2011. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual. Jakarta: Dirjen PPL
Kim, S., Dong-Soo S., Ki-Hyung K., Man-Soo Y., & Kyung-Un C. 2013. Clinicopathological Significance of Atypical Glandular Cells on Pap Smear. Obstetrics & Gynecology Science, 56(2): 76-83 Lestadi, Julisar. 2009. Sitologi Pap Smear : Alat Pencegahan & Deteksi Dini Kanker Leher Rahim. Jakarta : EGC. Massad, LS., Mark HE., Warner KH., Hormuzd AK., Walter KK., Mark S., Diane S., Nicolas W., & Herschel WL. 2013. 2012 Updated Consensus Guidlines for the Management Abnormal Cervical Cancer Screening Tests and Cancer Precursors. Journal of Lower Genital Tract Disease, 17(5): S1-7 Marrazzo, Jean M. et al. 2006. Risk Factors for Cervicitis among Women with Bacterial Vaginosis. The Journal of Infectious Diseases; 193: 617–24. Marrazzo, Jean M. et al. 2007. Management of Women with Cervicitis. Clinical Infectious Diseases; 44: S102–10. Noviana, H. 2012. Human Papillomavirus dan Kanker Serviks. Cermin Dunia Kedokteran, 39(1): 65-6 Parija, Subash C., 2004. Textbook of Medical Parasitology: Protozoology and Helminthology. 2nd ed. Intestinal, Oral and Genital Flagellates. India: All India Publishers and Distributors, 73 – 78. Peterman TA, Tian LH, Metcalf CA, et al. High incidence of new sexually transmitted infections in the year following a sexually transmitted infection: a case for rescreening. Ann Intern Med. Oct 17 2006;145(8):564-72 Patel, MM., Amrish NP. & Jigna M. 2011. Cervical Pap Smear Study and Its Utility in Cancer Screening, to Specify the Strategy for Cervical Cancer Control. National Journal of Community Medicine, 2(1): 49-51 Patel, Vikram et al. 2005. Why do women complain of vaginal discharge? A population survey of infectious and pyschosocial risk factors in a South Asian community. International Journal of Epidemiology; 34: 853–862 Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohadjo. Prayitno, A., Ruben D., Istar Y., & Ambar M. 2005. Ekspresi Protein p53, Rb, dan c-myc pada Kanker Serviks Uteri dengan Pengecatan Immunohistokimia. Biodiversitas, 6(3): 157-9 Randall, M. E., Michael, H., Ver Morken, J., & Stehman, F. Uterine cervix. Hoskins, W. J., Perez, C. A., & Young, R. C., et al. (Eds.). (2005). Principles and Practice of Gynecologic Oncology. (4th Edition). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 22: pp. 743-822.
Rasjidi, I. 2009. Epidemiologi Kanker Serviks. Indonesian Journal of Cancer, 3(3): 103-8 Ries LA, Melbert D, Krapcho M, Stinchcomb DG, Howlander N, Horner MJ, et al. 2009. SEER cancer statistics review. Bethesda (MD): National Cancer Institute. RJ Kurman. 1994. Blaustein’s Pathology of the Female Genital Tract / Fourth Edition. Ed. Springer-Verlag, New York. Romadhoni, Noor Y., & Dian A. 2012. Penyerapan Pengetahuan Tentang Kanker Serviks Sebelum dan Sesudah Penyuluhan. Jurnal Kedokteran Muhammadiyah, 1(1): 38-42 Srivastava, S., Sadhana G., & Jagat KR. 2012. High Prevalence of Oncogenic HPV-16 in Cervical Smears of Asymptomatic Women of Eastern Uttar Pradesh, India: A Population-based Study. Journal of Biosciences, 37(1):63-72 Swygard, A. C. Sena, M.M. Hobbs. Trichomoniasis: clinical manifestations, diagnosis and management. Sex Transm Infect. 2004. 80: 91-95. Szumigala JA, Alveredo R. Vulvovaginitis. In: Ferri. Ferri's Clinical Advisor 2009. Mosby; Elsevier; 2009:155, 1008-1012. Workowshi KA, Berman SM. Sexually Transmitted Diseases Treatment guidelines 2006. US Department of Health and Human Services. Centers For Disease Control and Prevention (CDC). Morbidity and MortalityWeekly Report; 2006. 55 : p. 54-6. World Health Organization. Global Prevalence and Incidence of Selected Curable Sexually Transmitted Infections: Overviews and Estimates. WHO/HIV_AIDS/2001.02. Geneva: World Health Organization. 2001 World Health Organization. 2013. Comprehensive Cervical Cancer Prevention and Control: a Healthier Future for Girls and Women