BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Definisi
2.2
Anantomi dan Fisiologi
2.3
Etiologi
2.4
Patofisiologi Umum Gagal Ginjal Kronik Terdapat dua pendekatan teoritis yang umumnya diajukan untuk menjelaskan
gangguan fungsi ginjal pada gagal ginjal kronik.Sudut pandangan tradisional mengatakan bahwa semua unit nefron telah terserang penyakit namun dalam stadium yang berbeda beda,dan bagian-bagian bagian-bagian spesifik dari nefron yang berkaitan dengan dengan fungsi tertentu dapat saja benar-benar rusak atau berubah strukturnya.Misalnya strukturnya.Misalnya,lesi ,lesi organic pada medulla akan merusak susunan anatomic pada lengkung Henle dan Vasa rekta,atau pompa klorida pada pars asendens lengkung lengkung Henle yang yang akan mengganggu mengganggu proses aliran balik balik pemekat pemekat dan aliran balik penukar.Pendeka penukar.Pendekatan tan kedua dikenal dikenal dengan hipotesis hipotesis Bricker Bricker atau hipotesis hipotesis nefron yang utuh,yang berpendapat bahwa bila nefron terserang penyakit,maka seluruh untinya akan hancur,namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal.Uremia akan terjadi bila jumlah nefron sudah sangat kurang sehingga keseimbangan keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi.Hipotesis Nefron yang utuh ini sangat berguna untuk menjelaskan pola adaptasi fungsionalpada penyakit ginjal progresif ,yaitu kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan air dan elektrolit tubuh kendati GFR sangat menurun. Urutan peristiwa dalam patofisiologi gagal ginjal progresif dapat diuraikan dari segi hipotesis nefron yang utuh.Meskipun penyakit ginjal kronik terus berlanjut,namun jumlah zat terlarut yang harus diekskresikan oleh ginjal untuk mempertahankan hemeostatis tidaklah berubah,kendati berubah,kendati jumlah nefron yang bertugas melakukan melakukan fungsi tersebut sudah menurun secara progresif.Dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.Sisa elektrolit.Sis a nefron yang ada mengalami hipertrofi hipertro fi dalam
usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja ginjal (Gbr.46-2).Terjadi peningkatan kecepatan filtrasi,beban zat terlarut dan reabsorbsi tubulus dalam setiap nefron meskipun GFR untuk seluruh
massa nefron yang
terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai
normal.Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi ginjal yang sangat rendah.Namun akhirnya kalau sekitar 75% massa nefron sudah hancur,,maka kesepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap nefron demikian tinggi sehingga keseimbangan glomerulu-tubulus(keseimbangan antara peningkatan filtrasi dan peningkatan reabsorbsi oleh tubulus )tidak dapat lagi di pertahankan (perhatikan Gbr.46-2,bahwa 6 dari 8 buah nefron telah hancur). Fleksibilitas baik pada proses ekskresi maupun proses konservasi zat terlarut dan air menjadi kurang.Sedikit perubahan pada makanan
dapat mengubah keseimbangan yang rawan
tersebut,Karena makin rendah GFR (yang berarti makin sedikit nefron yang ada) semakin besar perubahan kecepatan ekskresi per nefron.Hilangnya kemampuan memekatkan atau mengencerkan urine menyebabkan berat jenis urine tetap pada nilai 1,010 atau 285 mOsm( yaitu sama dengan konsentrasi plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria dan nokturia.Sebagai contoh seseorang dengan makanan normalmengekskresikan zat terlarut sekitar 600 mOsm /hari.Kalau orang itu tidak dapat lagi memekatkan urinenya dari osmolalitas plasma normal sebesar 285mOsm, maka tanpa memandang banyaknya asupan air akan terdapat kehilangan obligatorik 2 liter untuk ekskresi zat terlarut 600 mOsm (285mOsm/liter).Sebagai respon terhadap beban zat terlarut yang sama dengan keadaan kekurangan cairan, orang normal dapat memekatkan urine sampai 4 kali lipat konsentrasi plama dan dengan demikian hanya akan sedikit mengekskresiksedikit urine yang pekat. Bila GFR terus turun sam pai akhirnya mencapai nol,maka semakin perlu mengatur asupan cairan dan zat terlarut secara tepat untuk mampu mengakomodasikan penurunan fleksibilitas funsi ginjal. Hipotesis nefron yang utuh ini didukung beberapa pengamatan eksperimental.Briker dan Fine (1969)memperlihatkan bahwa pada pasien pielonefritis dan anjing-anjing yang ginjalnya dirusak pada percobaan,nefron yang masih bertahan akan mengalami hipertrofi dan akan menjadi lebih aktif dari keadaan normal.Jika diketahui bahwa bila satu ginjal seseorang dibuang,maka ginjal yang tersisa akan mengalami hipertrofi dan fungsi ginjal ini mendekati kemampuan yang sebelumnya dimiliki oleh kedua ginjal itu secara bersama — sama
Juga terbukti bahwa ginjal normal dengan beban zat terlarut meningkat akan bertindak sama seperti ginjal yang mengalami gagal ginjal progresif.Hal ini medukung hipotesis nefron yang utuh.Data ekspresi mental memperlihatkan bahwa dalam meningkatnya jumlah beban zat terlarut secara progresif,maka kemampuan pemekatan urine dalam keadaan kekurangan air atau kemampuan pengencer urine dalam keadaan asupan air yang banyak akan menghilang secara progresif. Kedua kurva medekati berat jenis 1,010 sampai urine menjadi isoosmotik dengan plasma pada 285 mOsm sehingga terjadi berat berat jenis yang tetap. Perkembangan terbaru dalam pemahaman mekanisme gagal ginjal progresif melalui hipotesis hiperfiltrasi menyebabkan dokter lebih memusatkan perhatian pada pengobatan pencegahan cedera glomerulus sekunder daripada menitiberatkan pada penyakit ginjal primer.Percobaan klinis besar yang sekarang sedang di lakukan adalah pembatasan protein pada makanan dan terapi antihipertensi yang dimaksudkan untuk memperlambat perkembangan gagal ginjal kronik. 2.5
Manifestasi Klinik
2.6
Komplikasi
2.7
Penatalaksanaan
Pengobatan gagal kronik dapat dibagi menjadi dua tahap .Tahap pertama terdiri dari tindakan konservatif dan ditujukan untuk
meredakan atau memperlambat perburukan
progresif gangguan fungsi ginjal.Tindakan Konservatif dimulai bila penderita mengalami azotemia.Dokter akan berusaha sedapt mungkin untuk menentukan penyebab utama gagal ginjal dan menyelidiki setiap factor yang masih reversible seperti: 1. Penurunan Volume cairan ekstrasel yang disebabkan oleh penggunaan diuretic berlebihan atau pembatasan garam yang terlalu ketat. 2. Obstruksi saluran kemih akibat batu, pembesaran prostat, atau fibrosis retro peritoneal. 3. Infeksi, terutama infeksi saluran kemih. 4. Obat-obatan yang memperberat penyakit ginjal amionoglikosida,obat antitumor,obat antiinflamasi nonsteroid,bahan radiokontrans.
5. Hipertensi berat atau maligna. Faktor-faktor ini kemungkinan menyebabkan pemburukan funsi ginjal mendadak pada penderita gagal ginjal kronik(Schier,1997). Pengobatan factor-faktor reversible dapat menstabilkan dan mencegah gangguan fungsi ginjal lebih lanjut.Selain koreksi factor-faktor yang reversible,metode keterlambatan perkembangan gagal ginjal kronik disebabkan oleh cedera glomerulus sekunder dari hiperfiltrasi pada nefron intak masih dalam penelitian yang intensif.Pembatasan protein dalam diet dan terapi antihipertensi(terutama dengan penggunaan penghambat enzim pengubah angiotensin) merupakan dua intervensi utama yang sedang diteliti. Penatalaksanaan Konservatif :
Penentuan dan pengobatan penyebab
Pengoptimalan dan rumatan keseimbangan garam dan air.
Kreksi obstruksi saluran kemih
Deteksi awal dan pengobatan infeksi
Pengendalian hipertensi
Diet rendah protein,tinggi kalori
Pengendalian keseimbangan elektrolit
Pencegahan dan pengobatan penyakit tulang ginjal
Modifikasi terapi obat dengan perubahan fungsi ginjal
Deteksi dan pengobatan komplikasi.
Tahap kedua pengobatan dimulai ketika tindakan
konservatif tidak lagi efektif dalam
mempertahankan kehidupan.Pada keadaan ini terjadi penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) atau gagal ginjal terminal (Laju filtrasi glomerulur (GFR) biasanyan kurang dari 2 ml/menit), dan satu-satunya pengobatan yang efektif adalah dialysis intermiten atau transplantasi ginjal.Namun,sebelum tercapainya keadaan ini, terjadi beberapa perubahan fisiologik, beberapa merupakan detrimental.Oleh Karena itu dialysis biasanya dimulai sebelum tercapai ESRD. Terapi Penggantian Ginjal :
Hemodialisis
Dialisis Peritoneal
Transplantasi ginjal.
2.8
Pemeriksaan Diagnostik
2.9
Patoflow