Pengantar Hukum Indonesia
Pengantar Hukum Indonesia Ratna Artha Windari
RAJAWALI PERS Divisi Buku Perguruan Tinggi PT RajaGrafindo Persada DEPOK
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam terbitan (KDT) Windari, Ratna Artha Pengantar Hukum Indonesia/Ratna Artha Windari —Ed. 1, Cet. 1.—Depok: Rajawali Pers, 2017. xxxx, xxx hlm., 23 cm. Bibliografi: hlm. xx ISBN 978-602-425-xxx-xx
1. xxxxxxxx
I. Judul.
xxxx
Hak cipta 2017, pada penulis Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit 2017.xxxxx RAJ Ratna Artha windari PENGANTAR HUKUM INDONESIA Cetakan ke-1, April 2017 Hak penerbitan pada PT RajaGrafindo Persada, Depok Desain cover oleh
[email protected] Dicetak di Kharisma Putra Utama Offset PT RAJAGRAFINDO PERSADA Kantor Pusat: Jl. Raya Leuwinanggung, No.112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Kota Depok 16956 Tel/Fax : (021) 84311162 – (021) 84311163 E-mail :
[email protected] http: // www.rajagrafindo.co.id Perwakilan: Jakarta-14240, Jl. Pelepah Asri I Blok QJ2 No. 4 Kelapa Gading Permai Jakarta Utara Telp. 021-4527823. Bandung-40243, Jl. H. Kurdi Timur No. 8 Komplek Kurdi, Telp. 022-5206202. Yogyakarta-Perum. Pondok Soragan Indah Blok A1, Jl. Soragan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Telp. 0274-625093. Surabaya-60118, Jl. Rungkut Harapan Blok A No. 09, Telp. 031-8700819. Palembang-30137, Jl. Macan Kumbang III No. 10/4459 RT 78 Kel. Demang Lebar Daun, Telp. 0711-445062. Pekanbaru-28294, Perum De' Diandra Land Blok C 1 No. 1, Jl. Kartama Marpoyan Damai, Telp. 0761-65807. Medan-20144, Jl. Eka Rasmi Gg. Eka Rossa No. 3A Blok A Komplek Johor Residence Kec. Medan Johor, Telp. 061-7871546. Makassar-90221, Jl. Sultan Alauddin Komp. Bumi Permata Hijau Bumi 14 Blok A14 No. 3, Telp. 0411-861618. Banjarmasin-70114, Jl. Bali No. 31 Rt 05, Telp. 0511-3352060. Bali, Jl. Imam Bonjol Gg 100/V No. 2, Denpasar Telp. (0361) 8607995. Bandar Lampung-35115, Jl. P. Kemerdekaan No. 94 LK I RT 005 Kel. Tanjung Raya Kec. Tanjung Karang Timur, Hp. 082181950029.
PRAKATA
Segala puji syukur dan terima kasih tak terhingga penulis ucapkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya penulisan buku ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Buku ini diperuntukkan sebagai sumber bacaan bagi kalangan akademisi, mahasiswa Fakultas Hukum, praktisi di bidang hukum, dan masyarakat yang memiliki ketertarikan untuk mempelajari tatanan hukum di Indonesia beserta segala Hukum Positif (Ius Constitutum) yang berlaku dari masa ke masa. Uraian materi dalam buku ini ditata sedemikian rupa sehingga dapat dipelajari secara runtut dan terangkum dalam 13 (tiga belas) bab yang terdiri atas Pendahuluan berisi Konsep dasar/pengantar Tata Hukum Indonesia (Bab 1), Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Bab 2), Sejarah Tata Hukum dan Politik Hukum Indonesia (Bab 3), Sistem Hukum Dunia (Bab 4), Hukum Adat (Bab 5), Hukum Perdata (Bab 6), Hukum Pidana (Bab 7), Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (Bab 8), Hukum Dagang (Bab 9), Hukum Agraria (Bab 10), Hukum Internasional (Bab 11), Peradilan Tata Usaha Negara (Bab 12), dan Hukum Acara (Bab 13). Tersusunnya buku ini tentu tidak terlepas dari kontribusi dan dukungan lembaga baik bersifat material maupun imaterial, dan seluruh pihak yang telah memberikan dorongan motivasi serta sumbangsih pemikiran hingga terselesaikannya buku ini.
v
Penulis menyadari bahwa buku ini jauh dari sempurna, sehingga kritik dan saran sangat penulis harapkan guna perbaikan dan penyempurnaan substansi ke depannya. Akhir kata, penulis berharap mudah-mudahan kehadiran buku ini dapat membantu efektivitas dan efisiensi pemahaman seluruh pembaca terhadap tatanan hukum di Indonesia. Singaraja, Maret 2017 Ratna Artha Windari, S.H., M.H.
vi
Pengantar Hukum Indonesia
DAFTAR ISI
PRAKATA i DAFTAR ISI
iii
BAB 1 HUKUM DAN TATA HUKUM INDONESIA
1
A. Pendahuluan
1
3
B. Pengertian Hukum menurut Para Ahli
C. Pengertian Pengantar Hukum Indonesia dan Tata Hukum Indonesia 8
D. Tujuan Mempelajari Tata Hukum Indonesia
14
E. Hubungan Antara Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Hukum Indonesia 16 BAB 2 SEJARAH TATA HUKUM DAN POLITIK HUKUM INDONESIA 20 A. Pendahuluan
B. Sejarah Tata Hukum Indonesia
21
C. Pengertian Politik Hukum Indonesia
36
D. Bentuk dan Corak Hukum dalam Pembentukan Politik Hukum 39
vii
E. Politik Hukum Pemerintahan Hindia Belanda
40
F. Politik Hukum Setelah Kemerdekaan
46
G. Dasar Hukum Berlakunya Keanekaragaman Hukum di Indonesia 48 BAB 3 SISTEM HUKUM DUNIA
50
A. Pendahuluan
50
B. Pengertian Sistem Hukum
51
C. Sistem Hukum Eropa Kontinental/ Civil Law
51
D. Sistem Hukum Anglo Saxon/ Common Law
53
E. Sistem Hukum Adat
55
F. Sistem Hukum Islam
56
G. Sistem Hukum Masyarakat Eropa
58
BAB 4 HUKUM ADAT
62
A. Pendahuluan
62
B. Sejarah Berlakunya Hukum Adat
63
C. Pengertian dan Istilah Hukum Adat
70
D. Corak Hukum Adat Indonesia
75
E. Dasar Hukum dan Sumber Berlakunya Hukum Adat 76
F. Ruang Lingkup Hukum Adat
79
BAB 5 HUKUM PERDATA
82
A. Pendahuluan
82
B. Sejarah Hukum Perdata
82
C. Dasar Berlakunya Hukum Perdata di Indonesia
84
D. Pengertian Hukum Perdata
86
E. Sistematika Hukum Perdata
87
viii
Pengantar Hukum Indonesia
BAB 6 HUKUM PIDANA
123
A. Pendahuluan
123
B. Pengertian dan Tujuan Hukum Pidana
124
C. Sejarah Hukum Pidana Indonesia
125
D. Sumber-sumber Hukum Pidana di Indonesia
141
E. Asas-asas Hukum Pidana
142
F. Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana
143
G. Macam-macam Pembagian Delik
150
H. Sistem Hukuman
151
155
I.
Perkembangan Hukum Pidana Indonesia
BAB 7 HUKUM TATA NEGARA DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA 157 A. Pendahuluan
157
158
B. Hukum Tata Negara Indonesia
1. Pengertian Hukum Tata Negara Menurut Para Ahli 158 2. Hubungan Hukum Tata Negara dengan Ilmu Pengetahuan Lain 160
3. Sumber-sumber Hukum Tata Negara
161
4. Bentuk Produk Hukum di Indonesia
164
5. Struktur Lembaga Negara
165
C. Hukum Administrasi Negara
171
1. Pengertian Hukum Administrasi Negara
171
2. Ruang Lingkup Hukum Administrasi Negara
173
3. Hubungan Hukum Administrasi Negara Dengan Ilmu Pengetahuan Lain 174 4. Teori-teori dalam Hukum Administrasi Negara 176 5. Keputusan Tata Usaha Negara dan Perbuatan Pemerintah Lainnya 180
Daftar Isi
ix
BAB 8 HUKUM DAGANG
185
A. Pendahuluan
185
B. Sejarah Hukum Dagang
185
C. Pengertian Hukum Dagang
188
D. Sumber-sumber Hukum Dagang
190
E. Hukum Perusahaan
193
F. Surat Berharga
204
G. Hukum Pengangkutan
214
219
H. Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
I. Hukum Pertanggungan
230
BAB 9 HUKUM AGRARIA
245
A. Pendahuluan
245
B. Pengertian Hukum Agraria
246
C. Politik Agraria Menurut UUPA
248
D. Sejarah Pembentukan UUPA
250
E. Dasar-dasar Hukum Agraria
253
F. Hak Atas Tanah & Tata Cara Perolehannya
257
G. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
263
H. Pendaftaran Tanah
269
BAB 10 HUKUM INTERNASIONAL
272
A. Pendahuluan
272
B. Pengertian Hukum Internasional
272
C. Sumber-sumber Hukum Internasional
275
D. Subjek Hukum Internasional
280
E. Hukum Perdata Internasional
286
x
Pengantar Hukum Indonesia
BAB 11 PERADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN)
291
A. Pendahuluan
291
B. Pengertian dan Dasar Hukum PTUN
292
C. Subjek dan Objek PTUN
293
D. Asas-asas dalam PTUN
298
E. Kewenangan dan Susunan PTUN
299
F. Dasar Pengujian Keputusan Tata Usaha Negara
303
G. Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara
303
H. Pembuktian
307
I. Putusan
310
J. Upaya Hukum
315
BAB 12 HUKUM ACARA
321
A. Pendahuluan
321
322
B. Hukum Acara Perdata
1. Pengertian Hukum Acara Perdata
322
2. Sumber-sumber Hukum Acara Perdata
323
3. Asas-asas Hukum Acara Perdata
324
4. Susunan Badan Peradilan di Indonesia
327
5. Pemberian Kuasa (Lastgeving) 329
6. Proses dan Tata Cara Berperkara
331
7. Upaya Hukum
334
343
C. Hukum Acara Pidana
1. Pengertian Hukum Acara Pidana
343
2. Sumber-sumber Hukum Acara Pidana
345
3. Asas-asas Hukum Acara Pidana
348
4. Proses Penyelesaian Perkara Pidana
352
D. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
363
1. Pengertian Hukum Acara Mahkamah Konstitusi 363
Daftar Isi
xi
2. Asas-asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi 364 3. Dasar Hukum dan Karakteristik Hukum Acara Mahkamah Konstitusi 378 4. Pihak yang Berhak Mengajukan Permohonan (Legal Standing) 380
5. Beban Pembuktian dan Alat Bukti
382
6. Prosedur dan Tata Cara Berperkara
387
DAFTAR PUSTAKA
404
GLOSARIUM 408 INDEKS 0
xii
Pengantar Hukum Indonesia
BAB 1 HUKUM DAN TATA HUKUM INDONESIA
A. Pendahuluan Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam ilmu hukum, terdapat adagium yang berbunyi: “Ubi societas ibi ius” (di mana ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “perekat” atas berbagai komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai “perekat” tersebut adalah hukum. Secara etimologis, istilah “hukum” (Indonesia) disebut law (Inggris) dan recht (Belanda dan Jerman) atau droit (Prancis). Istilah recht berasal dari bahasa latin rectum berarti tuntunan atau bimbingan, perintah atau pemerintahan. Rectum dalam bahasa romawi adalah rex yang berarti raja atau perintah raja. Istilah-istilah tersebut (recht, rectum, rex) dalam bahasa Inggris menjadi right (hak atau adil) yang juga berarti “hukum”. Istilah hukum dalam bahasa Latin juga disebut ius dari kata iubere, artinya mengatur atau memerintah atau hukum. Perkataan mengatur dan memerintah bersumber pada kekuasaan Negara atau pemerintah. Istilah ius (hukum) sangat erat dengan tujuan hukum, yaitu keadilan atau iustitia. Iustitia atau justitia adalah “dewi keadilan” bangsa Yunani dan Romawi Kuno. Iuris atau juris (Belanda) berarti “hukum” atau “kewenangan” (hak), dan jurist (Inggris dan Belanda) adalah “ahli hukum” atau “hakim”. Istilah jurisprudence (Inggris) berasal
1
dari kata iuris merupakan bentuk jamak dari ius yang berarti “hukum” yang dibuat oleh masyarakat atau sebagai hukum kebiasaan, ataupun yang berarti “hak” dan “prudensi” berarti melihat ke depan atau mempunyai keahlian. Dengan demikian, jurisprudence mempunyai arti ilmu pengetahuan hukum, ilmu hukum, atau ilmu yang mempelajari hukum. Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan yang mengatur kehidupan bermasyarakat, dibuat oleh lembaga yang berwenang dan bersifat memaksa serta berisi perintah dan larangan yang apabila dilanggar akan mendapat sanksi. Hukum sangat dibutuhkan dalam pergaulan hidup, di mana fungsinya adalah memperoleh ketertiban dalam hubungan antar manusia, menjaga jangan sampai seseorang dapat dipaksa oleh orang lain untuk melakukan sesuatu yang tidak kehendaknya, dan lain-lain. Tetapi ada faktor lain selain tata tertib yang terdapat pada hukum yaitu keadilan, suatu sifat khas pada hukum yang tidak terdapat pada ketentuan-ketentuan lainnya yang bertujuan untuk mencapai tata tertib. Dalam hubungan hukum dan negara, baik hukum maupun negara muncul dari kehidupan manusia karena keinginan batinnya untuk memperoleh tata tertib. Dalam mencapai tata tertib demi keadilan maka aturan-aturan hukum mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan pergaulan hidup manusia. Perkembangan aturan-aturan hukum dalam pelaksanaannya menunjukkan adanya penggantian aturan hukum yang sedang berlaku (hukum positif). Hal ini disebabkan karena tidak sesuainya lagi aturan hukum yang ada dengan kebutuhan masyarakat sehingga diperlukan aturan-aturan hukum baru yang sejenis. Aturan-aturan hukum yang akan menggantikan hukum positif selama belum diberlakukan maka dinamakan sebagai hukum yang direncanakan atau dengan kata lain disebut ius constituendum (Djamali, 2012: 3). Aturan hukum baru sebagai hukum positif dan aturan hukum lama yang sudah tidak berlaku lagi dalam ilmu pengetahuan hukum dinamakan sebagai “tata hukum”. Tata hukum akan selalu ada serta bertambah sepanjang zaman selama ada kehidupan dan perkembangan pergaulan hidup masyarakat. Hal inilah yang selanjutnya dikenal sebagai sejarah tata hukum. Dalam konteks yang demikian, Indonesia termasuk salah satu Negara yang memiliki sejarah panjang dalam melaksanakan hukum. Perkembangan
2
Pengantar Hukum Indonesia
hukumnya pun bersifat sangat dinamis menyesuaikan perkembangan bangsa. Indonesia dalam hal ini menganut sistem hukum tertentu untuk memelihara tata tertib demi keadilan bernegara. Dengan demikian, sangat penting mempelajari hukum Indonesia dan hubungannya dengan hukum sebagai ilmu baik secara normatif maupun empiris dalam tataran tata hukum Indonesia.
B. Pengertian Hukum Menurut Para Ahli Pengertian hukum secara umum adalah himpunan peraturan-peraturan yang mengatur kehidupan bermasyarakat, dibuat oleh lembaga yang berwenang dan bersifat memaksa serta berisi perintah dan larangan yang apabila dilanggar akan mendapat sanksi. Pengertian hukum berdasarkan pendapat para ahli dapat dikemukakan sebagai berikut. 1. Hugo de Grotius (1583-1645): Hukum adalah perbuatan tentang moral yang menjamin keadilan. 2. Van Vollenhoven (1874-1933): Hukum adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergolak terus-menerus dalam keadaan berbenturan tanpa henti dari gejala-gejala lain. 3. Prof. Soedikno Mertokusumo (1924-2011): Hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan sanksi. 4. Mochtar Kusumaatmadja (1929): Hukum adalah keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur pergaulan hidup manusia dalam masyarakat, juga meliputi lembaga (institusi) dan proses yang mewujudkan kaidah tersebut dalam masyarakat. 5. Aristoteles (384-322 SM): Hukum adalah sesuatu yang berbeda dari sekadar mengatur dan mengekspresikan bentuk dari konstitusi dan hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku para hakim dan putusannya di pengadilan untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar.
Bab 1: Hukum dan Tata Hukum Indonesia
3
6. Leon Duguit (1859-1928): Hukum adalah semua aturan tingkah laku para angota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh anggota masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan jika yang dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu. 7. Immanuel Kant (1724-1804): Hukum adalah keseluruhan syaratsyarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang yang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan. 8. E. Utrecht (1922-1987): Hukum merupakan himpunan petunjukpetunjuk hidup tata tertib suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Apabila dilanggar akan menimbulkan tindakan tertentu dari pihak pemerintah. Hukum berfungsi sebagai alat penguasa yang memiliki kemampuan memberi atau memaksakan sanksi terhadap pelaku pelanggar hukum karena tindakan penegakan hukum saat terjadi pelanggaran merupakan monopoli penguasa. 9. Eugen Ehrlich (1862-1922): Hukum adalah sesuatu yang berkaitan dengan fungsi kemasyarakatan dan memandang sumber hukum hanya dari legal story and jurisprudence dan living law. 10. Roscoe Pound (1870-1964): Hukum sebagai tata hukum mempunyai pokok bahasan hubungan antara manusia dengan individu lainnya, dan hukum merupakan tingkah laku para individu yang memengaruhi individu lainnya. Adapun hukum sebagai kumpulan dasar-dasar kewenangan dari putusan-putusan pengadilan dan tindakan administratif Law as a tool of social engineering. 11. Hans Kelsen (1881-1973): Hukum adalah suatu perintah terhadap tingkah laku manusia. Hukum adalah kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi. 12. John Austin (1790-1859): Hukum adalah seperangkat perintah, baik langsung maupun tidak langsung dari pihak yang berkuasa kepada warga rakyatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen di mana pihak yang berkuasa memiliki otoritas yang tertinggi.
4
Pengantar Hukum Indonesia
13. Karl Von Savigny (1779-1861): Hukum merupakan aturan yang terbentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum berakar pada sejarah manusia, di mana akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan, dan kebiasaan warga masyarakat. 14. Karl Max (1818-1883): Hukum adalah suatu pencerminan dari hubungan hukum ekonomis dalam masyarakat pada suatu tahap perkembangan tertentu. 15. Paul Scholten (1875-1946): Hukum adalah suatu petunjuk tentang apa yang layak dilakukan dan apa yang tidak layak dilakukan, yang bersifat perintah. 16. Thomas Hobbes (1588-1679): Hukum adalah perintah-perintah dari orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah dan memaksakan perintahnya kepada orang lain. 17. Thomas Aquinas (1225-1274): Hukum berasal dari Tuhan, maka dari itu hukum tidak boleh dilanggar. 18. Tullius Cicero (Romawi) dalam De Legibus (106 SM 43 SM): Hukum adalah akal tertinggi yang ditanamkan oleh alam dalam diri manusia untuk menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak diperbolehkan. Secara umum hukum merupakan seluruh aturan tingkah laku berupa norma atau kaidah baik tertulis maupun tidak tertulis yang dapat mengatur tata tertib dalam masyarakat yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakatnya berdasarkan keyakinan dan kekuasaan hukum itu. Pengertian tersebut didasarkan pada penglihatan hukum dalam arti materiil, sedangkan dalam arti formal, hukum adalah kehendak ciptaan manusia berupa norma-norma yang berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dan dianjurkan untuk dilakukan. Oleh karena itu, hukum mengandung nilai-nilai keadilan, kegunaan, dan kepastian dalam masyarakat tempat hukum diciptakan. Dari beberapa definisi tentang hukum tersebut, tampaklah bahwa hukum meliputi kehidupan manusia dalam pergaulan masyarakat yang menyangkut hidup dan kehidupan manusia agar hidup teratur, serta Bab 1: Hukum dan Tata Hukum Indonesia
5
merupakan pedoman sikap tindakan atau perilaku yang pantas dalam pergaulan hidup antarmanusia. Bertitik-tolak dari beberapa definisi hukum tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukum terdiri atas beberapa unsur sebagai berikut. 1. Peraturan atau kaidah-kaidah tingkah laku manusia dalam pergaulan antar manusia (masyarakat); 2. Peraturan yang diadakan oleh badan-badan resmi atau pejabat berwenang; 3. Peraturan merupakan jalinan-jalinan nilai, merupakan konsepsi abstrak tentang adil dan tidak adil serta apa yang dianggap baik dan buruk; 4. Peraturan bersifat memaksa; 5. Peraturan mempunyai sanksi yang tegas dan nyata. Di samping itu, kita juga dapat melihat bahwa hukum ditandai oleh adanya perintah dan/atau larangan serta perintah dan/atau larangan itu harus dapat ditaati oleh setiap orang.
C. Pengertian Pengantar Hukum Indonesia dan Tata Hukum Indonesia 1. Pengertian Pengantar Hukum Indonesia Pengantar Hukum Indonesia terdiri dari tiga kata “Pengantar”, “Hukum”, dan “Indonesia”. Pengantar berarti mengantarkan pada tujuan tertentu. Pengantar dalam bahasa Belanda disebut inleiding atau introduction (bahasa Inggris) yang berarti memperkenalkan secara umum atau secara garis besar yang tidak mendalam atas sesuatu hal tertentu. Pada istilah Pengantar Hukum Indonesia yang diperkenalkan secara umum atau secara garis besar adalah hukum di Indonesia. Istilah “Hukum Indonesia” yang dimaksud adalah hukum yang berlaku di Negara Indonesia pada waktu sekarang. Hukum yang berlaku pada waktu sekarang disuatu tempat atau wilayah disebut “Hukum Positif”, artinya hukum yang (dipositifkan) berlaku untuk masyarakat tertentu dan dalam waktu tertentu. Hukum positif juga disebut ius constitutum, artinya hukum yang sudah ditetapkan untuk diberlakukan saat ini pada suatu tempat 6
Pengantar Hukum Indonesia
atau negara tertentu. Hukum positif atau stellingsrecht merupakan suatu kaidah yang berlaku sebenarnya, merumuskan suatu hubungan yang pantas antara fakta hukum dengan akibat hukum yang merupakan abstraksi dari keputusan-keputusan. J.J.H. Bruggink di dalam bukunya “Rechtsreflecties, Grondbegrippen uit de rechtstheorie” (Refleksi Hukum, Pengertian Dasar Teori Hukum) yang telah dialih bahasakan oleh Bernard Arief Sidharta dengan judul “Refleksi tentang Hukum” bahwa yang dimaksud “positivitas” kaidah hukum adalah hal ditetapkannya kaidah hukum dalam sebuah aturan hukum oleh pengemban kekuasaan hukum yang berwenang (bevoegde rechtsautoriteit). Dengan ini, maka aturan hukum itu disebut hukum positif. Unsur-unsur lain dari hukum positif, yaitu sebagai berikut. a. Hukum Positif Mengikat Secara Umum atau Khusus
Mengikat secara umum adalah aturan hukum yang berlaku umum yaitu peraturan perundang-undangan (UUD, UU, PP, Peraturan Daerah), hukum adat, hukum yurisprudensi, dan hukum agama yang dijadikan atau diakui sebagai hukum positif seperti hukum perkawinan (Undang-Undang Nomor l Tahun 1974). Mengikat secara khusus, adalah hukum yang mengikat subjek atau objek tertentu saja, yaitu yang secara keilmuan (Ilmu Hukum Administrasi Negara) dinamakan beschikking.
b. Hukum Positif Ditegakkan oleh atau Melalui Pemerintah atau Pengadilan
Manusia hidup dan diatur, serta tunduk pada berbagai aturan. Selain aturan umum atau khusus yang telah disebutkan, manusia juga diatur dan tunduk pada aturan adat-istiadat (hukum kebiasaan), hukum agama (sepanjang belum menjadi hukum positif), dan hukum moral. Hukum kebiasaan, hukum agama, hukum moral mempunyai daya ikat yang kuat bagi seseorang atau suatu kelompok tertentu. Ketaatan terhadap hukum kebiasaan, hukum agama, atau hukum moral tergantung pada sikap orang perorangan dan sikap kelompok masyarakat yang bersangkutan. Negara dalam hal ini pemerintah dan pengadilan tidak mempunyai kewajiban hukum untuk mempertahankan atau menegakkan hukum tersebut. Tetapi tidak
Bab 1: Hukum dan Tata Hukum Indonesia
7
berarti hukum kebiasaan, hukum agama, atau hukum moral tidak mempunyai kekuatan sebagai hukum positif. c. Hukum Positif Berlaku dan Ditegakkan di Indonesia
Unsur ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa, hukum positif adalah suatu aturan hukum yang bersifat nasional, bahkan mungkin lokal. Selain hukum positif Indonesia, akan didapati hukum positif Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, dan negara lainnya atau di suatu masyarakat hukum tertentu. Apakah mungkin ada hukum positif yang bersifat supranasional, misalnya dalam lingkungan ASEAN, Uni Eropa, dan lain-lain. Sangat mungkin, asal dipenuhi syarat ada badan pada tingkat supranasional yang bersangkutan yang menegakkan aturan hukum tersebut apabila ada pelanggaran.
Ius positum atau ius constitutum atau disebut juga ius operatum artinya, hukum yang telah ditetapkan atau dipositifkan (positum) atau dipilih atau ditentukan (constitutum) berlakunya sekarang (operatum) dalam masyarakat atau wilayah tertentu. Ius operatum mengandung arti bahwa hukum atau peraturan perundang-undangan telah berlaku dan dilaksanakan di masyarakat. Ius costituendum dapat menjadi ius constitutum atau ius positum atau ius operatum apabila sudah ditetapkan berlaku oleh penguasa yang berwenang dan pemberlakuannya memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan oleh hukum positif lainnya yang mengatur pemberlakuan suatu hukum (undang-undang), misalnya perundang-undangan harus telah disahkan oleh lembaga pembuat undang-undang dan diundangkan oleh lembaga yang berwenang. Pada hakikatnya hukum memiliki tujuan yang bersifat universal misalnya ketenteraman, ketertiban, kesejahteraan, kebahagiaan dan kedamaian. Dengan adanya hukum maka setiap masalah dapat diselesaikan melalui perantara hakim lewat proses pengadilan. Hal ini juga menjadi pencegah supaya setiap orang tidak main hakim sendiri atas orang lain atau dirinya sendiri
2. Hukum dalam Arti Tata Hukum Indonesia Hukum dalam arti tata hukum kerap kali disebut sebagai hukum positif, yaitu hukum yang berlaku disuatu tempat pada saat tertentu (sekarang
8
Pengantar Hukum Indonesia
misalnya di Indonesia). Hukum positif tersebut misalnya hukum publik (HTN, HAN, Pidana, internasional publik), hukum privat (perdata, dagang, dan lain-lain). Kata “Tata” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti aturan, susunan, cara menyusun, dan sistem. Tata hukum berarti peraturan dan cara atau tata tertib hukum di suatu negara atau lebih dikenal dengan tatanan. Tata hukum atau susunan hukum adalah hukum yang berlaku pada waktu tertentu dalam suatu wilayah negara tertentu yang disebut hukum positif, dalam bahasa latinnya Ius Constitutum lawannya adalah Ius Constituendum atau hukum yang dicita-citakan/hukum yang belum membawa akibat hukum. Dalam kaitannya di Indonesia, yang ditata itu adalah hukum positif yang berlaku di Indonesia. Hukum yang sedang berlaku artinya apabila ketentuan-ketentuan hukum itu dilanggar maka bagi si pelanggar akan dikenakan sanksi yang datangnya dari badan atau lembaga berwenang. Pengantar tata hukum di Indonesia merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan hukum, di samping pengantar ilmu hukum. Pengantar tata hukum Indonesia maupun pengantar ilmu hukum masing-masing mempunyai objek penyelidikan sendiri. Objek pengantar tata hukum Indonesia adalah hukum positif (hukum positif/Ius Constitutum). Tata hukum berasal dari bahasa Belanda recht orde artinya susunan hukum atau yang berarti memberikan tempat yang sebenarnya kepada hukum (R. Abdoel Djamali, SH). Yang dimaksud dengan “memberikan tempat yang sebenarnya kepada hukum”, yaitu menyusun dengan baik dan tertib aturan-aturan hukum dalam pergaulan hidup. Hal ini dilakukan agar ketentuan yang berlaku dengan mudah dapat diketahui dan digunakan untuk menyelesaikan setiap terjadi peristiwa hukum. Contoh tata hukum pidana yang sudah dikodifikasikan (KUHP), jika terjadi pelanggaran tehadap hukum pidana maka dapat dilihat dalam KUHPidana yang sudah dikodifikasikan tersebut. Dalam tata hukum ada aturan hukum yang berlaku pada saat tertentu, di tempat tertentu yang disebut juga hukum positif atau ius constitutum lawannya adalah Ius Constituendum atau hukum yang dicitacitakan/hukum yang belum membawa akibat hukum. Di samping itu, ada aturan-aturan hukum tertentu yang pernah berlaku dan sudah diganti
Bab 1: Hukum dan Tata Hukum Indonesia
9
dengan aturan hukum baru yang sejenis dan berlaku sebagai hukum positif baru. Contoh Buku I tentang perkawinan dalam KUHPerdata diganti dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan demikian, peraturan perkawinan dalam KUHPedata tidak berlaku lagi. Proses penggantian aturan-aturan hukum seperti itu akan terus dilakukan oleh manusia. Hal ini terjadi selama pergaulan hidup menghendaki adanya rasa adil sesuai kebutuhan akan ketertiban dan ketenteraman.
3. Tata Hukum Indonesia Pada dasarnya tata hukum sama dengan sistem hukum (Ridwan Halim) suatu cara atau sistem dan susunan yang membentuk keberlakukan suatu hukum disuatu wilayah tertentu dan pada waktu tertentu. Tata hukum suatu negara (ius constitutum) adalah tata hukum yang diterapkan atau disahkan oleh negara itu. Dalam kaitannya di Indonesia, yang ditata itu adalah hukum positif yang berlaku di Indonesia. Hukum yang sedang berlaku artinya apabila ketentuan-ketentuan hukum itu dilanggar maka bagi si pelanggar akan dikenakan sanksi yang datangnya dari badan atau lembaga berwenang. Dengan demikian dapat disimpulkan tata hukum Indonesia adalah hukum (peraturan-peraturan hukum) yang sekarang berlaku di Indonesia (Prof. Soediman Kartihadiprojo, SH). Dengan kata lain Tata Hukum Indonesia itu menata, menyusun, mengatur tertib kehidupan masyarakat Indonesia. Tata Hukum Indonesia diterapkan oleh masyarakat hukum Indonesia (Negara Republik Indonesia). Pengantar Tata Hukum Indonesia disebut juga dengan Pengantar Hukum Indonesia yang dalam bahasa Belanda yakni Inleiding tot het positiefrecht van Indonesie atau Introduction Indonesian of Law atau Introduction Indonesian Positive Law (bahasa Inggris). Sedangkan Pengantar Ilmu Hukum dalam bahasa Belanda ialah Inleiding tot de Rechtswetenschap atau Introduction science of Law.
D. Tujuan Mempelajari Pengantar Hukum Indonesia Objek studi Pengantar Hukum Indonesia (selanjutnya disingkat PHI) adalah “hukum” yang berlaku sekarang di Indonesia atau hukum positif di Indonesia. Adapun tujuan mempelajari hukum (positif) Indonesia ialah untuk mengetahui:
10
Pengantar Hukum Indonesia
1. peraturan-peraturan hukum yang berlaku saat ini di suatu wilayah negara atau hukum positif atau Ius Constitutum; 2. perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan yang diharuskan serta yang diperbolehkan menurut hukum Indonesia; 3. kedudukan, hak dan kewajiban setiap orang dalam masyarakat dan negara menurut hukum Indonesia; 4. macam-macam lembaga atau institusi pembentuk/pembuat dan pelaksana/penegak hukum menurut hukum Indonesia; 5. prosedur hukum (acara peradilan dan birokrasi hukum/pemerintahan), apabila menghadapi masalah hukum dengan setiap orang dan para pelaksana hukum Indonesia. Dalam hal ini yang ingin diketahui adalah bilamana terjadi atau penyelesaian sengketa hukum di pengadilan maupun di luar pengadilan menurut hukum positif Indonesia; 6. sanksi-sanksi apa yang diderita oleh seseorang bila orang tersebut melanggar peraturan yang berlaku. Dapat disimpulkan bahwa tujuan mempelajari PHI adalah agar mengerti dan memahami sistematika dan susunan hukum yang berlaku di Indonesia termasuk mempertahankan, memelihara, dan melaksanakan tata tertib di kalangan anggota masyarakat dan peraturan-peraturuan yang diadakan oleh negara. Dengan mempelajari hukum Indonesia (hukum positif Indonesia), dapat diketahui perbuatan atau tindakan apa yang memiliki akibat hukum dan perbuatan yang melawan hukum, juga bagaimana kedudukan seseorang dalam masyarakat, serta kewajiban dan wewenangnya menurut hukum Indonesia. Mempelajari hukum Indonesia adalah untuk mengetahui fungsi hukum Indonesia, yaitu ilmu yang mengajarkan dan menanamkan dasar-dasar pengetahuan serta pengertian tentang hukum di Indonesia. Tujuan mempelajari hukum Indonesia adalah mempelajari hukum yang berlaku di Indonesia sekarang, yang disebut sebagai hukum positif atau ius constitutum (Samidjo, 1985: 9).
Bab 1: Hukum dan Tata Hukum Indonesia
11
E. Hubungan Antara Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Hukum Indonesia Hubungan di antara Pengantar Ilmu Hukum (selanjutnya disingkat PIH) dengan PHI ialah bahwa PIH mendukung atau menunjang kepada setiap orang yang akan mempelajari hukum positif Indonesia. Sebagai suatu ilmu yang berstatus pengantar, keduanya adalah sama-sama sebagai mata kuliah dasar keahlian hukum karena itu, hubungan antara keduanya sangat erat. PIH perlu lebih dahulu dipelajari sebelum seseorang mempelajari tentang PHI, karena pengertian-pengertian dasar yang berhubungan dengan hukum diberikan di dalam PIH. Sebaliknya, pokokpokok bahasan PHI merupakan contoh konkret apa yang dibahas di dalam PIH. Jadi, secara garis besar hubungan itu dapat dikaji melalui beberapa faktor berikut ini, yaitu: 1. PIH dapat menunjang atau mendukung setiap orang yang akan mempelajari dasar hukum; 2. sebagai suatu ilmu yang berstatus pengantar; 3. merupakan mata kuliah dasar pengembangan ilmu hukum. Objek dari PIH, yaitu hukum pada umumnya yang tidak terbatas pada hukum positif negara tertentu, memiliki fungsi untuk mendasari dan menumbuhkan motivasi bagi setiap orang yang akan mempelajari hukum. Sedangkan PHI objeknya yaitu hukum positif Indonesia dan memiliki fungsi untuk mengantarkan setiap orang yang akan mempelajari hukum positif Indonesia. Hubungan antara PIH dan PHI terletak pada kondisi di mana pengantar ilmu hukum adalah dasar untuk mengetahui tata hukum yang ada di Indonesia. Dalam tataran keilmuan, terdapat beberapa persamaan dan perbedaan antara PHI dengan PIH, persamaan tersebut antara lain sebagai berikut. 1. PHI dan PIH sama-sama merupakan mata kuliah prasyarat dan pengantar atau sebagai mata kuliah dasar (basis leervakken) bagi mata kuliah atau studi lanjut tentang “hukum” (cabang-cabang hukum positif). Oleh karena itu, PIH dan PHI bukan mata kuliah pilihan.
12
Pengantar Hukum Indonesia
2. PIH dan PHI merupakan ilmu dasar bagi siapa saja yang ingin mempelajari ilmu hukum secara luas. 3. Objek studi PIH dan PHI adalah “hukum”. PIH dan PHI memperkenalkan konsep-konsep dasar, pengertian-pengertian hukum dan generalisasigeneralisasi tentang hukum dan teori hukum positif (dogmatis hukum) yang secara umum dapat diaplikasikan. 4. PIH dan PHI memperkenalkan hukum sebagai suatu kerangka yang menyeluruh yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu, sehingga orang dapat memperoleh suatu “overzicht” atau suatu pemahaman yang umum dan lengkap tentang hukum. PIH dan PHI menyajikan satu ringkasan yang komprehensif dari konsep atau teori hukum dalam keseluruhan. Adapun beberapa perbedaan antara PHI dengan PIH, antara lain sebagai berikut. 1. PHI mempelajari hukum positif yang berlaku secara khusus di Indonesia. Artinya, PHI menguraikan secara analisis dan deskriptif mengenai tatanan hukum dan aturan-aturan hukum, lembaga-lembaga hukum di Indonesia yang meliputi latar belakang sejarahnya, positif berlakunya, apakah sesuai dengan asas-asas hukum dan teori-teori hukum positif (dogmatik hukum). 2. PIH merupakan pengantar guna memperkenalkan dasar-dasar ajaran hukum umum (rechtslehre). 3. PIH mempelajari ilmu hukum secara umum dengan memperkenalkan pengertian-pengertian dan konsep-konsep dasar tentang hukum pada umumnya yang tidak hanya berlaku di Indonesia saja tetapi juga pada masyarakat hukum lainnya. 4. PIH mempelajari dan memperkenalkan pengertian-pengertian dan konsep-konsep dasar serta teori-teori hukum secara umum, termasuk mengenai sejarah terbentuknya lembaga-lembaga hukum maupun pengantar falsafahnya dalam arti kerohanian kemasyarakatan. 5. Objek dari mata kuliah ini berlainan, PHI berobjek pada hukum yang sedang berlaku di Indonesia sekarang ini, atau objeknya khusus mengenai hukum positif. Sedangkan objek PIH adalah aturan tentang
Bab 1: Hukum dan Tata Hukum Indonesia
13
hukum pada umumnya, tidak terbatas pada aturan hukum yang berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu (ius constitutum). Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa PIH membahas atau mempelajari dasar-dasar hukum secara umum atau yang berlaku secara universal, misalnya mengenai pengertian-pengertian, konsep-konsep dasar dan teori-teori hukum, serta sejarah terbentuknya hukum beserta lembaga-lembaga hukum dari sudut pandang falsafah kemasyarakatan. Sedangkan PHI mempelajari konsep-konsep, pengertianpengertian dasar dan sejarah terbentuknya hukum dan lembagalembaga hukum, aturan-aturan hukum serta teori hukum positif di Indonesia.
14
Pengantar Hukum Indonesia
BAB 2 SEJARAH TATA HUKUM DAN POLITIK HUKUM INDONESIA
A. Pendahuluan Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki sejarah panjang dalam melaksanakan hukum. Perkembangan hukumnya pun bersifat sangat dinamis menyesuaikan perkembangan bangsa. Dalam tataran sejarah, tata hukum Indonesia terbagi dalam beberapa periode dimulai pada zaman penjajahan Belanda yang terdiri atas masa berlakunya Vereenigde Oost Indische Compagnie (1602-1799); Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda (18001811) dan Raffles (1811-1814); Besluiten Regerings (1814-1855); Regerings Reglement (1855-1926), dan Indische Staatsregeling (1926-1942). Selanjutnya sejarah Tata Hukum Indonesia memasuki periode penjajahan Jepang (19421945) di mana pengaturan mengenai pemerintahan di wilayah Hindia Belanda dibuat dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei. Sejarah Tata Hukum Indonesia memasuki babak baru pada masa setelah kemerdekaan dengan diberlakukannya UUD 1945 yang terbagi dalam beberapa periode yakni masa tahun 1945-1949, masa tahun 1949-1950, masa tahun 19501959, masa tahun 1959 sampai dengan sebelum reformasi, dan masa setelah reformasi. Melalui pemahaman terhadap sejarah tatanan hukum di Indonesia, dapat diketahui bagaimana politik hukum Indonesia yang bertujuan agar negara dapat menentukan jenis-jenis atau macam-macam hukum, bentuk hukum, materi dan/atau sumber hukum yang diberlakukan dalam suatu
15
negara pada saat ini dan yang akan datang. Bentuk dan corak hukum dalam pembentukan politik hukum di Indonesia mengalami beberapa perubahan di setiap masanya yang terbagi atas politik hukum Hindia-Belanda pada masa Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (AB), politik hukum Hindia Belanda pada masa Regering Reglement (RR), politik hukum Hindia Belanda pada masa Indische Staatsregeling (IS), politik hukum Indonesia pada masa berlakunya UUD 1945; serta politik hukum Indonesia pada masa berlakunya UUDS 1950. Hal ini pulalah yang menjadi dasar berlakunya keanekaragaman hukum di Indonesia.
B. Sejarah Tata Hukum Indonesia Tata hukum selalu berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan masyarakat di tempat mana tata hukum itu berlaku. Oleh karena itu, aturan-aturan yang terkandung di dalamnya berubah pula menuruti kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, sejarah tata hukum Indonesia memuat kejadian-kejadian penting mengenai tata hukum Indonesia pada masa lalu yang dicatat dan diingat serta harus dipahami oleh bangsa Indonesia.
1. Zaman Penjajahan Belanda a. Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (1602-1799) Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) didirikan oleh para pedagang orang Belanda pada tahun 1602 dengan tujuan untuk menghindari terjadinya persaingan antara para pedagang yang membeli rempahrempah dari orang-orang pribumi dan untuk memperoleh keuntungan yang besar di pasar Eropa. Pada masa berdagang di Indonesia VOC diberi hak-hak istimewa oleh pemerintah Belanda. Hak istimewa tersebut adalah hak octrooi, yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian, dan mencetak uang. Karena hak istimewa tersebut, VOC semakin menjadi dengan memaksakan aturan-aturan yang dibawanya dari Belanda kepada penduduk pribumi. Ketentuan hukum tersebut sama dengan hukum Belanda Kuno yang sebagian besar merupakan hukum disiplin.
16
Pengantar Hukum Indonesia
Pada tahun 1610 pengurus pusat VOC di Belanda memberikan kewenangan kepada Gubernur Jenderal Pieter Both untuk membuat peraturan tentang penyelesaian perkara istimewa, termasuk di dalamnya penyelesaian perkara perdata dan pidana, yang harus disesuaikan dengan kebutuhan para pegawai VOC di daerah-daerah yang dikuasai. Peraturan tersebut kemudian berlaku berdampingan dengan peraturan yang dibuat dan ditetapkan sendiri oleh Direksi VOC di Belanda dengan nama “Heeren Zeventien” (Djamali, 2012: 11). Berlakunya setiap peraturan yang dibuat ini kemudian diumumkan melalui “plakat”. Dalam perkembangannya, berbagai plakat yang dikeluarkan semakin tidak jelas masa berlakunya, sehingga pada tahun 1642 plakat-plakat yang pada mulanya tidak disimpan dengan baik dikumpulkan kembali. Plakat yang masih berlaku disusun secara sistematis hingga akhirnya diberi nama Statuta Batavia (1642). Usaha serupa dilakukan lagi pada tahun 1766 dan menghasilkan Statuta Batavia Baru. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Freijer menghasilkan suatu Kitab Hukum (Kompedium) pada tahun 1760. Kitab hukum (Kompedium) Freijer di di dalamnya termuat aturan-aturan hukum perkawinan dan hukum waris Islam. Selain peraturan-peraturan hukum yang dibuat oleh VOC, pada masa ini pun kaidah-kaidah hukum adat Indonesia tetap dibiarkan berlaku bagi orang-orang Bumiputra (pribumi). Dari uraian tersebut dapat diketahi bahwa ketika masa VOC berakhir pada 31 Desember 1799 (karena VOC dibubarkan oleh pemerintah Belanda) tata hukum yang berlaku pada waktu itu terdiri atas aturan-aturan yang berasal dari negeri Belanda dan aturan-aturan yang diciptakan oleh gubernur jenderal yang saat itu berkuasa di daerah kekuasaan VOC. Serta aturan-aturan tidak tertulis maupun tertulis yang berlaku bagi orang-orang pribumi, yaitu hukum adatnya masing masing.
b. Masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda (1800-1811) dan Raffles (1811-1814) Sebelum memasuki masa Besluiten Regerings (1814-1855), terjadi dua kali pergantian kepemimpinan pada masa pemerintahan kolonial di Hindia Belanda pasca diambilalihnya kekuasaan VOC (1 Januari 1800) oleh pemerintah Bataafsche Republiek (selanjutnya menjadi Koninklijk Holand). Raja Belanda yang monarki absolut pada saat itu menunjuk
Bab 2: Sejarah Tata Hukum dan Politik Hukum Indonesia
17
Daendels sebagai Gubernur Jenderal yang bertugas mengurus daerah jajahan sekaligus mempertahankan tanah jajahan dari kemungkinan terjadinya serangan Inggris. Dalam pelaksanaannya, banyak penduduk di Pulau Jawa yang menjadi korban akibat dipaksa menjadi pekerja rodi dalam pembuatan jalan dari Anyer hingga Panarukan, Sumedang hingga Bandung, dan pembuatan pangkalan Angkatan Laut dengan bentengnya di daerah Banten. Di bidang pemerintahan, Daendels membagi Pulau Jawa menjadi Sembilan Karesidenan (prefektur). Para Bupati diangkat dan digaji oleh pemerintah Belanda. Pertanian diperketat dengan pajak untuk menambah kas negara. Di bidang hukum, Daendels tidak mengubah aturan hukum yang berlaku bagi masyarakat pribumi sepanjang tidak bertentangan dengan perintah yang diberikan dan dasar-dasar umum keadilan serta kepatuhan demi keamanan umum. Pada tahun 1811 Daendels digantikan oleh Jansens, namun tidak berlangsung lama akibat dikuasainya nusantara oleh Inggris. Selanjutnya, pemerintah Inggris mengangkat Thomas Stamford Raffles menjadi Letnan Gubernur (1811-1814). Dalam pemerintahannya prefektur yang ada dibagi menjadi 19 dan kekuasaan bupati mulai dikurangi. Di bidang ekonomi, Raffles mengeluarkan kebijakan landrete (sewa tanah/pajak bumi) bagi seluruh rakyat. Dalam bidang hukum Raffles mengutamakan pembentukan lembaga pengadilan yang terdiri atas: 1) Division’s Court
Berwenang mengadili perkara perdata kecil dengan pembatasan sampai 20 ropyen. Pelaksana terdiri atas beberapa pegawai pribumi, yaitu Wedana atau Demang dan pegawai bawahannya. Naik banding dalam perkara sipil dapat dilakukan melalui District’s Court
2) District’s Court atau Bupati’s Court
18
Berwenang mengadili perkara perdata pada umumnya (antara 20 sampai dengan kurang dari 50 ropyen). Terdiri dari Bupati sebagai ketua, Penghulu, Jaksa, dan beberapa pegawai Bumiputra di bawah perintah Bupati. Dalam memberikan putusan, Bupati meminta pertimbangan kepada Jaksa dan Penghulu. Apabila tidak menghasilkan kesepakatan, maka perkara diajukan kepada Resident’s Court.
Pengantar Hukum Indonesia
3) Resident ‘s Court
Berwenang mengadili perkara pidana dengan ancaman bukan hukuman mati dan perkara-perkara perdata besar hingga melebihi 50 ropyen. Terdiri dari residen, para bupati, hooft jaksa dan hooft penghulu.
4) Court of Circuit
Merupakan pengadilan keliling untuk menangani perkara pidana dengan ancaman hukuman mati. Terdiri dari seorang ketua dan seorang anggota. Dalam pengadilan ini dianut sistem juri yang terdiri dari lima hingga sembilan orang Bumiputra.
Era Raffles berakhir pada tahun 1814. Secara garis besar tidak ada perubahan dalam substansi hukum yang berlaku. Hakim diperintahkan untuk tetap memberlakukan ketentuan-ketentuan hukum Bumiputra dalam menyelesaikan perkara. Namun hukum Bumiputra tetap dianggap lebih rendah kedudukannya dari hukum Eropa. Pada tahun 1816 Inggris menyerahkan nusantara kepada Belanda sebagai hasil Konvensi London 1814.
c. Masa Besluiten Regerings (1814-1855) Pada tahun 1811-1814, negeri Belanda (dan negara-negara Eropa daratan/kontinental lainnya) mengalami aneksesi oleh Prancis (di bawah kekaisaran Napoleon). Sejak saat itu mulai diterapkan prinsip Rechtstaat (Negara Hukum). Pasca aneksesi Prancis tahun 1814, di Belanda mulai dibuat konstitusi dengan nama Nederlands Gronwet 1814. Pada masa Besluiten Regerings (BR) raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerahdaerah jajahan termasuk kekuasaan mutlak terhadap harta milik negara bagian yang lain (Pasal 36 Nederlands Gronwet, 1814). Kekuasaan mutlak raja tersebut diterapkan pula dalam membuat dan mengeluarkan peraturan yang berlaku umum dengan nama Algemene Verordening atau peraturan pusat. Peraturan pusat berupa keputusan raja maka dinamakan koninklijk besluit. Pengundangannya lewat selebaran yang dilakukan oleh gubernur jenderal. Ada dua macam keputusan raja sesuai dengan kebutuhannya. 1) Ketetapan raja, yaitu besluit sebagai tindakan eksekutif raja misalnya ketetapan pengangkatan gubernur jenderal.
Bab 2: Sejarah Tata Hukum dan Politik Hukum Indonesia
19
2) Ketetapan raja sebagai tindakan legislatif, misalnya berbentuk Algemene Verordening atau Algemene maatregel van bestuur di negeri Belanda. Raja mengangkat para komisaris jenderal yang ditugaskan untuk melaksanakan pemerintahan di Nederlands Indie (Hindia Belanda). Mereka yang diangkat ialah Elout Buyskes dan Van der Capellen. Para komisaris jenderal itu tidak membuat peraturan baru untuk mengatur pemerintahannya. Mereka tetap memberlakukan undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku pada masa Inggris berkuasa di Indonesia, yaitu mengenai Landrete dan susunan pengadilan buatan Raffles. Lembaga peradilan yang diperuntukkan bagi orang-orang pribumi tetap sama digunakan peradilan Inggris begitu pula pelaksanaannya. Dalam usaha untuk memenuhi kekosongan kas Negara Belanda, Gubernur Jendral Du Bus de Gisignes menerapkan Politik Agraria pada tahun 1826 dengan cara memperkerjakan orang-orang pribumi yang sedang menjalankan hukuman yang dikenal dengan kerja paksa (dwangsarbeid) berdasarkan S.1826: 16. Pada tahun 1830 pemerintah Belanda berhasil mengkodifikasikan hukum perdata. Pengundangan hukum yang sudah berhasil dikodifikasi itu baru dapat terlaksana pada tanggal 1 Oktober 1838. Setelah itu, timbul pemikiran tentang pengkodifikasian hukum perdata bagi orang-orang Belanda yang berada di Hindia Belanda. Pemikiran itu akan diwujudkan sehingga pada tanggal 15 Agustus 1839 menteri jajahan di Belanda mengangkat komisi undang-undang bagi Hindia Belanda yang terdiri dari Mr. Scholten van Out Haarlem (ketua) dan Mr. J. Schneither serta Mr. J. F. H. van Nes sebagai anggota. Beberapa peraturan yang berhasil ditangani oleh komisi itu dan disempurnakan oleh Mr. H. L. Whicer adalah sebagai berikut. 1) Reglement op de Rechterlijke Organisatie (RO) atau Peraturan Organisasi Peradilan; 2) Algemene Bepelingen van Wetgeving (AB) atau Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-undangan; 3) Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata; 4) Wetboek van Koopnhandel (WvK) atau KUHD; 5) Reglement of de Burgerlijke Rechtsvordering (RV) atau Peraturan tentang Acara Perdata.
20
Pengantar Hukum Indonesia
Dapat ditarik kesimpulan bahwa tata hukum pada masa Besluiten Regerings terdiri dari peraturan-peraturan tertulis yang dikodifikasikan. Peraturan tertulis yang tidak dikodifikasi, dan peraturan-peraturan tidak tertulis yang khusus berlaku bagi orang bukan golongan Eropa.
d. Masa Regerings Reglement (1855-1926) Pada tahun 1848 terjadi perubahan Grond Wet (UUD) di negeri Belanda. Perubahan UUD negeri Belanda ini mengakibatkan terjadinya pengurangan terhadap kekuasaan raja, karena Staten Generaal (Perlemen) campur tangan dalam pemerintahan dan perundang-undangan jajahan Belanda di Indonesia. Perubahan penting yang berkaitan dengan pemerintahan dan perundang-undangan, ialah dengan dicantumkannya Pasal 59 ayat I, II, dan IV Grond Wet yang isinya: Ayat I
: Raja mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah jajahan dan harta kerajaan di bagian dari dunia.
Ayat II dan IV : Aturan tentang kebijaksanaan pemerintah melalui undang-undang. Sistem keuangan ditetapkan melalui undang-undang. Hal-hal lain yang menyangkut mengenai daerah-daerah jajahan dan harta kalau diperlukan akan diatur dengan undang-undang. Peraturan-peraturan yang menata daerah jajahan tidak sematamata ditetapkan oleh raja dengan Koninklijk Besluit-nya, tetapi peraturan itu ditetapkan bersama oleh raja dan parlemen. Dengan demikian, sistem pemerintahannya berubah dari monarki konstitusional menjadi monarki konstitusional parlementer. Peraturan tersebut adalah Regerings Reglement (RR). Golongan penduduk ada tiga golongan, yaitu golongan Eropa, Timur Asing, dan Indonesia (pribumi). Pada masa berlakunya RR telah berhasil diundangkan kitab-kitab hukum, yaitu sebagai berikut. 1) Kitab hukum pidana untuk golongan Eropa melalui S.1866: 55; 2) Algemene Politie Strafeglement sebagai tambahan kitab hukum pidana untuk golongan Eropa; 3) Kitab hukum pidana bagi orang bukan Eropa melalui S.1872:85; 4) Politie Strafelegment bagi orang bukan Eropa;
Bab 2: Sejarah Tata Hukum dan Politik Hukum Indonesia
21
5) Wetboek van Strafrecht yang berlaku bagi semua golongan penduduk melalui S.1915: 732 mulai berlaku sejak 1 Januari 1918.
e. Masa Indische Staatsregeling (1926-1942) Indische Staatsregeling (IS) adalah RR yang sudah diperbaharui dan berlaku tanggal 1 Januari 1926 melalui S.1925: 415. Pembaruan RR atau perubahan RR menjadi IS ini karena berubahnya pemerintahan Hindia Belanda yang berawal dari perubahan Grond Wet negeri Belanda pada 1922. Pada masa berlakunya IS ini, bangsa Indonesia sudah turut membentuk undang-undang dan turut menentukan nasib bangsanya karena mereka turut dalam volksraad. Pada Pasal 131 IS dapat diketahui bahwa pemerintah Hindia Belanda membuka kemungkinan adanya usaha untuk unifikasi hukum bagi ketiga golongan penduduk Hindia Belanda pada waktu itu yang ditetapkan dalam Pasal 163 IS. Tujuan pembagian golongan penduduk sebenarnya untuk menentukan sistem-sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan. Sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan adalah sebagai berikut. 1) Hukum yang berlaku bagi golongan Eropa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 131 IS adalah hukum perdata, hukum pidana material, dan hukum acara. a) Hukum perdata yang berlaku bagi golongan Eropa adalah Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Koophandel dengan asas konkordansi; b) Hukum pidana material yang berlaku bagi golongan Eropa ialah Wetboek van Strafrecht; c) Hukum acara yang digunakan ialah Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering dan Reglement op de Strafvodering. Susunan peradilan yang digunakan bagi golongan Eropa di jawa dan Madura adalah: (1) Residentiegerecht; (2) Raad van Justitie Hooggerechtshof. 2) Hukum yang berlaku bagi golongan pribumi adalah hukum adat dalam bentuk tidak tertulis. Namun jika pemerintah Hindia Belanda
22
Pengantar Hukum Indonesia
menghendaki lain, hukum dapat diganti dengan ordonansi yang dikeluarkan olehnya. Dengan demikian, berlakunya hukum adat tidak mutlak. Keadaan demikian telah dibuktikan dengan dikeluarkannya berbagai ordonansi yang diberlakukan bagi semua golongan. Susunan peradilannya adalah: a) Districtsgerecht; b) Regentschapsgerecht; c) Landraad. 3) Hukum yang berlaku bagi golongan Timur Asing: a) Hukum perdata dan Hukum pidana adat mereka menurut ketentuan Pasal 11 AB; b) Hukum perdata golongan Eropa hanya bagi golongan Timur Asing Cina untuk wilayah Hindia Belanda; c) WvS yang berlaku sejak 1 Januari 1918, untuk hukum pidana material; d) Lembaga pengadilan: (1) Pengadilan Swapraja; (2) Pengadilan Agama; (3) Pengadilan Militer.
2. Zaman Penjajahan Jepang Pada masa penjajahan Jepang daerah Hindia Belanda dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut. a. Indonesia Timur di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang berkedudukan di Makassar. b. Indonesia Barat di bawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang berkedudukan di Jakarta. Peraturan-peraturan yang digunakan untuk mengatur pemerintahan di wilayah Hindia Belanda dibuat dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei. Dari ketentuan Pasal 3 Osamu Seirei No. 1/192 dapat
Bab 2: Sejarah Tata Hukum dan Politik Hukum Indonesia
23
diketahui bahwa hukum yang mengatur pemerintahan dan lain-lain tetap menggunakan Indische Staaregeling (IS). Hanya saja pemerintahan Jepang melakukan perubahan atas beberapa lembaga peradilan sehingga lembaga peradilan yang ada diberlakukan bagi semua golongan. Berdasarkan hal tersebut, maka lembaga peradilan meliputi (Asikin, 2012: 25): a. Hooggerrechtshof sebagai pengadilan tertinggi dengan nama Saiko Hoin; b. Raad van Justite, berubah menjadi Koto Hoy Hoin; c. Landraad, berubah nama menjadi Tiho Hoin; d. Landgerecht, berubah menjadi Keizai Hoin; e. Regentschapsgerecht, berubah menjadi Ken Hoin; f. Districtsgerecht, berubah nama menjadi Gun Hoi. Kemudian, pemerintah bala tentara Jepang mengelurkan Gun Seirei nomor istimewa 1942, Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 dan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942, untuk melengkapi peraturan yang telah ada sebelumnya. Gun Seirei nomor istimewa tahun 1942 dan Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 memuat aturan-aturan pidana yang umum dan aturan-aturan pidana yang khusus. Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di Hindia Belanda yang terdiri dari: a. Tihoo Hooin, berasal dari Landraad (Pengadilan Negeri); b. Keizai Hooin, berasal dari Landgerecht (Hakim Kepolisian); c.
Ken Hooin, berasal dari Regentschapgerecht (Pengadilan Kabupaten);
d. Gub Hooin, berasal dari Districtsgerecht (Pengadilan Kewedanaan); e.
Kaikyoo Kootoo Hooin, berasal dari Hof Voor Islamietische Zaken (Mahkamah Islam Tinggi);
f.
Sooyoo Hooin, berasal dari Priesterraad (Rapat Agama);
g. Gunsei Kensatu Kyoko, terdiri dari Tihoo Kensatu Kyoko (Kejaksaaan Pengadilan Negeri), berasal dari Paket voor de Landraden. Wewenang Raad van Justitie dialihkan kepada Tihoo Hooin dan Hooggerrechtshof tidak disebut-sebut dalam undang-undang itu. Dengan Gunseirei Nomor 34 Tahun 1942, Osamu Seire Nomor 3 Tahun 1942
24
Pengantar Hukum Indonesia
dinyatakan bahwa Gunsei Hooin ditambah dengan Saiko Hooin (Pengadilan Agung) dan Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi). Semua aturan hukum dan proses pengadilannya selama zaman penjajahan Jepang berlaku sampai Indonesia merdeka.
3. Zaman Kemerdekaan a. Masa 1945-1949 Setelah merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia menjadi bangsa yang bebas dan tidak tergantung pada bangsa lain. Sehingga Indonesia bebas menentukan nasibnya untuk mengatur negara dan menetapkan tata hukumnya. UUD 1945 ditetapkan sebagai Undang-Undang Dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan tata hukum yang berlaku adalah segala peraturan yang telah ada dan pernah berlaku pada masa penjajahan Belanda, masa Jepang berkuasa dan produk-produk peraturan baru yang dihasilkan oleh pemerintah Negara Republik Indonesia dari 1945-1949.
b. Masa 1949-1950 Masa ini adalah masa berlakunya konstitusi RIS. Pada masa tersebut tata hukum yang berlaku adalah tata hukum yang terdiri dari peraturanperaturan yang dinyatakan berlaku pada masa 1945-1949 dan produk peraturan baru yang dihasilkan oleh pemerintah negara yang berwenang untuk itu selama kurun waktu 27 Desember 1949 sampai dengan 16 Agustus 1950.
c. Masa 1950-1959 Tata hukum yang diberlakukan pada masa ini adalah tata hukum yang terdiri dari semua peraturan yang dinyatakan berlaku berdasarkan Pasal 142 UUDS 1950, kemudian ditambah dengan peraturan baru yang dibentuk oleh pemerintah negara selama kurun waktu dari 17 Agustus 1950 sampai dengan 04 Juli 1959.
d. Masa 1959-sebelum reformasi Tata hukum yang berlaku pada masa ini adalah tata hukum yang terdiri dari segala peraturan yang berlaku pada masa 1950-1959 dan yang Bab 2: Sejarah Tata Hukum dan Politik Hukum Indonesia
25
dinyatakan masih berlaku berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 ditambah dengan berbagai peraturan yang dibentuk setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
e. Masa setelah reformasi Bermula dari krisis ekonomi nasional yang terjadi pada tahun 19971998 yang melumpuhkan segala sendi kehidupan mulailah muncul ketidak kepercayaan terhadap pemerintahan orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Ketidakpercayaan ini mulai memunculkan keinginan suatu perubahan yang menyeluruh sehingga mulailah dielu-elukan suatu yang dinamakan reformasi. Adapun tokoh-tokoh reformasi yang menjadi pelopor gerakan ini di antaranya Amien Rais, Adnan Buyung Nasution, Andi Alfian Malaranggeng dan tokoh-tokoh lainnya yang didukung oleh gerakan besarbesaran mahasisiwa seluruh Indonesia serta berbagai lapisan masyarakat. Gerakan ini berhasil menumbangkan orde baru dan rezim kepemimpinan Soeharto. Pengangkatan BJ. Habibie dalam Sidang Istimewa MPR yang mengukuhkan Habibie sebagai Presiden, ditentang oleh gelombang demonstrasi dari puluhan ribu mahasiswa dan rakyat di Jakarta dan di kota-kota lain. Gelombang demonstrasi ini memuncak dalam peristiwa Tragedi Semanggi, yang menewaskan 18 orang. Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerja sama dengan Dana Moneter Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi. Kejadian penting dalam masa pemerintahan Habibie adalah keputusannya untuk mengizinkan Timor Timur untuk mengadakan referendum yang berakhir dengan berpisahnya wilayah tersebut dari Indonesia pada Oktober 1999. Keputusan tersebut terbukti tidak populer di mata masyarakat sehingga hingga kini pun masa pemerintahan Habibie sering dianggap sebagai salah satu masa kelam dalam sejarah Indonesia.
C. Pengertian Politik Hukum Indonesia Berlakunya hukum dalam suatu negara ditentukan oleh politik hukum negara yang bersangkutan, di samping kesadaran hukum masyarakat dalam 26
Pengantar Hukum Indonesia
negara itu. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan politik hukum hendaknya perlu diketahui terlebih dahulu arti politik hukum. Politik Hukum adalah suatu jalan (kemungkinan) untuk memberikan wujud sebenarnya kepada yang dicita-citakan. Adapun definisi politik hukum menurut beberapa ahli, antara lain sebagai berikut. 1. Bellefroid: Politik hukum adalah menyelidiki tuntutan-tuntutan sosial yang hendak diperhatikan oleh hukum sehingga isi ius constituendum ditunjuk oleh politik hukum supaya constitutum disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat; 2. W. Zevenbergen: Politik hukum adalah mempersoalkan hal-hal mana dan dengan cara bagaimana hukum itu harus diatur; 3. Sudiman Kartohadiprodjo: Politik hukum negara sebagai perhatian negara terhadap hukum tentang bentuk hukum apakah tertulis atau tidak tertulis, dikodifikasi atau tidak dikodifikasi, dan dapat pula terhadap isinya hukum. Politik hukum dapat ditujukan pula kepada perubahan-perubahan dalam arti perbaikan kesadaran hukum dalam pergaulan hidup; 4. Kusumadi Pudjosewojo: Membahas hal-hal tentang hukum yang akan datang dalam suatu negara merupakan lapangan “Politik Hukum; 5. Teuku Mohammad Radhie dalam sebuah tulisannya berjudul Pembaruan dan Politik dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional mendefinisikan politik hukum sebagai suatu “pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun” (Prisma Nomor 6 Thn II Desember 1973); 6. Satjipto Rahardjo: Politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Politik hukum merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya dinamika yang demikian itu, karena ia diarahkan kepada iure constituendo, hukum yang seharusnya berlaku; 7. Sunaryati Hartono: dalam bukunya Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional tidak menjelaskan secara eksplisit pengertian politik hukum. Namun, itu tidak berarti mengabaikan keberadaan politik hukum dari sisi praktisnya. Dalam hal ini, beliau melihat politik
Bab 2: Sejarah Tata Hukum dan Politik Hukum Indonesia
27
hukum sebagai suatu sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia. 8. Abdul Hakim Garuda Nusantara menyatakan bahwa, Politik Hukum Nasional secara harfiah dapat diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu. Politik Hukum Nasional bisa meliputi: (1) pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten; (2) pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan hukum yang telah ada dan yang dianggap usang, dan penciptaan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat; (3) penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan anggotanya; (4) meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok elit pengambil kebijakan. 9. Utrecht: Politik hukum adalah menyelidiki perubahan-perubahan yang harus diadakan dalam hukum yang sekarang berlaku supaya menjadi sesuai dengan kenyataan sosial. 10. Ridwan Syahrani: Politik hukum adalah suatu bidang studi hukum yang kegiatannya memilih atau menentukan hukum mana yang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai oleh masyarakat. Secara umum politik hukum merupakan policy atau kebijakan negara di bidang hukum yang sedang dan akan berlaku dalam suatu negara. Dengan adanya politik hukum, negara dapat menentukan jenis-jenis atau macammacam hukum, bentuk hukum, materi dan/atau sumber hukum yang diberlakukan dalam suatu negara pada saat ini dan yang akan datang. Oleh karena itu, berdasarkan pengertian tersebut suatu politik hukum memiliki tugasnya meneruskan perkembangan hukum dengan berusaha membuat suatu ius constituendum menjadi ius constitutum atau sebagai penganti ius constitutum yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu dapat diketahuinya lembaga-lembaga pembuat atau pencipta hukum (rechtsvorming), lembaga pelaksana dan penegak hukum, lembaga
28
Pengantar Hukum Indonesia
penemu atau penggali dan penafsir hukum (rechtsvinding) dalam suatu negara.
D. Bentuk dan Corak Hukum dalam Pembentukan Politik Hukum Politik hukum suatu negara biasanya dicantumkan dalam undangundang dasarnya tetapi dapat pula diatur dalam peraturan-peraturan lainnya. Politik hukum dilaksanakan melalui dua segi, yaitu dengan bentuk hukum dan corak hukum tertentu. Bentuk hukum tersebut dapat berupa: 1. Tertulis, yaitu aturan-aturan hukum yang ditulis dalam suatu undangundang dan berlaku sebagai hukum positif. Dalam bentuk tertulis ada dua macam, yakni: a
Kodifikasi ialah disusunnya ketentuan-ketentuan hukum dalam sebuah kitab secara sistematik dan teratur.
b
Tidak dikodifikasikan ialah sebagai undang-undang saja.
2. Tidak tertulis, yaitu aturan-aturan hukum yang berlaku sebagai hukum yang semula merupakan kebiasaan-kebiasaan dan hukum kebiasaan. Corak hukum dapat ditempuh dengan: 1. Unifikasi, yaitu berlakunya satu sistem hukum bagi setiap orang dalam kesatuan kelompok sosial atau suatu negara. 2. Dualistis, yaitu berlakunya dua sistem hukum bagi dua kelompok sosial yang berbeda di dalam kesatuan kelompok sosial atau suatu negara. 3. Pluralistis, yaitu berlakunya bermacam-macam sistem hukum bagi kelompok-kelompok sosial yang berbeda di dalam kesatuan kelompok sosial atau suatu negara.
E. Politik Hukum Pemerintahan Hindia Belanda Keberadaan Politik hukum Hindia Belanda dapat dilihat berdasarkan berlakunya 3 pokok peraturan Belanda, yaitu masa berlakunya AB, RR dan IS.
Bab 2: Sejarah Tata Hukum dan Politik Hukum Indonesia
29
1. Masa Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (AB) Pada masa berlakunya AB politik hukum pemerintahan penjajahan Hindia Belanda dapat dilihat dalam pembagian golongan dan berlakunya hukum bagi masing-masing golongan tersebut. Pemerintahan Hindia Belanda berdasarkan Pasal 5 AB membagi kedalam dua golongan, pasal ini menyatakan bahwa penduduk Hindia Belanda dibedakan ke dalam Golongan Eropa (berserta mereka yang dipersamakan) dan Golongan Pribumi (berserta mereka yang dipersamakan dengannya). Sedangkan hukum yang berlaku bagi masing-asing golongan tersebut diatur di dalam Pasal 9 AB dan Pasal 11 AB. Adapun yang diatur di dalam kedua pasal tersebut adalah (di bawah ini bukan merupakan bunyi pasal melainkan kesimpulan dari bunyi pasal tersebut): Pasal 9 AB “Menyatakan bahwa Kitab Undang-undang Hukum perdata dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (yang diberlakukan di Hindia Belanda) hanya akan berlaku untuk orang Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan dengannya”. Pasal 11 AB “Menyatakan bahwa untuk golongan penduduk pribumi oleh hakim akan diterapkan hukum agama, pranata-pranata dan kebiasaan orangorang pribumi itu sendiri, sejauh hukum, pranata dan kebiasaan itu tidak berlawanan dengan asas-asas kepantasan dan keadilan yang diakui umum dan pula apabila terhadap orang-orang pribumi itu sendiri ditetapkan berlakunya hukum Eropa atau orang pribumi yang bersangkutan telah menundukkan diri pada hukum Eropa”. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka pemerintah penjajahan Belanda melaksanakan politik hukumnya dengan bentuk hukum tertulis dan tidak tertulis. Bentuk hukum perdata tertulis ada yang dikodifikasikan dan terdapat di dalam Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel (WvK), yang tidak dikodifikasi terdapat di dalam undang-undang dan peraturan lain yang dibuat sengaja untuk itu. Sedangkan yang tidak tertulis, yaitu hukum perdata adat dan berlaku bagi setiap orang di luar golongan
30
Pengantar Hukum Indonesia
Eropa. Corak hukumnya dilaksanakan dengan dualistis, yaitu satu sistem hukum perdata yang berlaku bagi golongan Eropa dan satu sistem hukum perdata lain yang berlaku bagi golongan pribumi. Membedakan golongan untuk memberlakukan hukum perdata berdasarkan sistem hukum dari masing-masing golongan menurut Pasal 11 AB itu sangat sulit dalam pelaksanaannya. Hal ini disebabkan tidak adanya asas pembedaan yang tegas walaupun ada ketentuan pembagian golongan berdasarkan Pasal 5. Dalam Pasal 5 hanya menyatakan orang Eropa, orang Bumiputra, orang yang disamakan dengan orang Eropa dan orang yang disamakan dengan orang Bumiputra. Pembagian golongan menurut Pasal 5 hanya berdasarkan kepada perbedaan agama, yaitu yang beragama Kristen selain orang Eropa disamakan dengan orang Eropa dan yang tidak beragama Kristen disamakan dengan orang pribumi. Karena itu dapat dikatakan bahwa bagi setiap orang yang beragama Kristen yang bukan orang Eropa kedudukan golongannya sama dengan orang Eropa, berarti bagi orang Indonesia Kristen termasuk orang yang disamakan dengan orang Eropa. Hal ini tentunya berlaku juga bagi orangorang Cina, Arab, India dan orang-orang lainnya yang beragama Kristen disamakan dengan orang Eropa. Sedangkan bagi orang-orang yang tidak beragama Kristen selain orang Indonesia dipersamakan kedudukannya dengan orang Bumiputra. Tetapi karena Pasal 10 AB memberikan wewenang kepada Gubernur Jenderal untuk menetapkan peraturan pengecualian bagi orang Indonesia Kristen, maka melalui S. 1848: 10, Pasal 3-nya Gubernur Jenderal menetapkan bahwa “orang Indonesia Kristen dalam lapangan hukum sipil dan hukum dagang juga mengenai perundang-undangan pidana dan peradilan pada umumnya tetap dalam kedudukan hukumnya yang lama”. Dengan demikian berarti bahwa bagi orang Indonesia Kristen tetap termasuk golongan orang Bumiputra dan tidak dipersamakan dengan orang Eropa.
2. Masa Regering Reglement (RR) Politik hukum pemerintah jajahan yang mengatur tentang pelaksanaan tata hukum pemerintah di Hindia Belanda itu dicantumkan dalam Pasal
Bab 2: Sejarah Tata Hukum dan Politik Hukum Indonesia
31
75 RR yang pada asasnya seperti tertera dalam Pasal 11 AB. Sedangkan pembagian penghuninya tetap dalam dua golongan, hanya saja tidak berdasarkan perbedaan agama lagi melainkan atas kedudukan “yang menjajah” dan “yang dijajah” dan ketentuan terhadap pembagian golongan ini dicantumkan dalam Pasal 109 RR. Adapun yang diatur dalam kedua pasal tersebut adalah (di bawah ini bukan merupakan bunyi pasal melainkan kesimpulan dari bunyi pasal tersebut): Pasal 109 RR “Pada pokoknya sama dengan Pasal 5 AB tetapi orang pribumi yang beragama Kristen tetap dianggap orang pribumi dan bagi orang Tionghoa, Arab serta India dipersamakan dengan Bumiputra”. Pasal 75 RR “Menyatakan tetap memberlakukan hukum Eropa bagi orang Eropa dan hukum adat bagi golongan lainnya”. Pada tahun 1920 RR itu mengalami perubahan terhadap beberapa pasal tertentu dan kemudian setelah diubah dikenal dengan sebutan RR (baru) dan berlaku sejak tanggal 1 Januari 1920 sampai 1926. Karena itu selama berlakunya dari tahun 1855 sampai 1926 dinamakan Masa Regerings Reglement. Sedangkan politik hukum dalam Pasal 75 RR (baru) mengalami perubahan asas terhadap penentuan penghuni menjadi “pendatang” dan “yang didatangi”. Sedangkan penggolongannya dibagi menjadi tiga golongan, yaitu golongan Eropa, Indonesia dan Timur Asing.
3. Masa Indische Staatsregeling (IS) Berlakunya IS dengan sendirinya telah menghapus berlakunya RR. Politik Hukum Pemerintahan Hindia Belanda pada saat berlakunya IS dapat dilihat dalam Pasal 163 IS dan 131 IS. Pada Pasal 163 IS mengatur pembagian golongan, yang pada intinya seluruh isinya dikutip dari Pasal 109 RR (baru). Sedangkan Pasal 131 IS mengatur hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan tersebut. Adapun yang diatur dalam kedua pasal tersebut adalah (di bawah ini bukan merupakan bunyi pasal melainkan kesimpulan dari bunyi pasal tersebut):
32
Pengantar Hukum Indonesia
Pasal 163 IS Penduduk Hindia Belanda dibedakan atas tiga golongan, yakni: a. Golongan Eropa b. Golongan Bumiputra c. Golongan Timur Asing. Pasal 131 IS menyatakan beberapa hal, yakni: a. Menghendaki supaya hukum itu ditulis tetap di dalam ordonansi. b. Memberlakukan hukum Belanda bagi warga Negara Belanda yang tinggal di Hindia Belanda berdasarkan asas konkordansi. c. Membuka kemungkinan untuk unifikasi hukum yakni menghendaki penundukan bagi golongan Bumiputra dan Timur Asing untuk tunduk kepada hukum Eropa. d. Memberlakukan dan menghormati hukum adat bagi golongan Bumiputra apabila masyarakat menghendaki demikian. Pembagian golongan penduduk berdasarkan Pasal 163 IS sebenarnya untuk menentukan sistem-sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan sebagaimana tercantum dalam Pasal 131 IS.
F. Politik Hukum Setelah Kemerdekaan Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memasuki era kemerdekaan. Setelah Indonesia merdeka, keberadaan politik hukum di Indonesia dapat dianalisa berdasarkan berlakunya Undang-Undang Dasar di Indonesia. Sebagai bangsa yang lepas dari penjajahan, maka dibentuklah UUD 1945 sebagai dasar negara yang mengatur kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia. Undang-Undang Dasar yang diberlakukan sampai sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar 1945 menurut Dekrit Presiden. Pada umumnya suatu negara mencantumkan politik hukum negaranya di dalam Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga negara yang mencantumkan politik hukumnya di luar Undang-Undang Dasar. Bagi negara yang tidak mencantumkan politik hukumnya di dalam Undang-Undang Dasar biasanya mencantumkan di dalam suatu bentuk ketentuan lain. UUD 1945 yang
Bab 2: Sejarah Tata Hukum dan Politik Hukum Indonesia
33
memiliki 37 pasal tidak mencantumkan tentang politik hukum negara. Hal ini berbeda dengan UUDS 1950 yang mencantumkan politik hukumnya di dalam Pasal 102, yang berbunyi: “Hukum perdata dan hukum dagang, hukum pidana sipil maupun militer, hukum acara perdata maupun hukum acara pidana, susunan dan kekuasaan pengadilan diatur dalam undang-undang dalam kitab hukum. Kecuali jika pengundang-undang menggap perlu untuk mengatur beberapa hal dalam undang-undang sendiri”. Berdasarkan Pasal 102 UUDS 1950 arah politik hukum yang dikehendaki membentuk suatu hukum tertulis yang dikodifikasi. Tetapi sebagaimana diketahui dasar negara yang digunakan adalah UUD 1945, maka politik hukum sebagaimana tercantum di dalam Pasal 102 tersebut tidaklah berlaku. UUD 1945 tidak mengatur politik hukum maka di dalam pelaksanaan hukum berlandasakan kepada Pasal II aturan peralihan UUD 1945. Di dalam Pasal II aturan peralihan UUD 1945 diatur bahwa “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undag Dasar ini”. Ketentuan Pasal II aturan peralihan ini bukan merupakan politik hukum hanya suatu ketentuan yang memiliki fungsi untuk mengisi kekosongan hukum. Fungsinya sama dengan Pasal 142 UUDS 1950 dan Pasal 192 UUD RIS yang menyatakan tetap berlakunya peraturan perundangan hukum dan tata usaha yang telah berlaku sebelum berlakunya UUD saat itu. Dengan adanya Pasal II Aturan Peralihan kekosongan hukum dapat diatasi yang berarti bahwa aturan-aturan hukum yang berlaku pada zaman penjajahan Belanda tetap berlaku selama belum adanya hukum yang baru. Berlakunya Pasal II aturan peralihan ini disebut dengan asas konkordansi. Tetapi, walaupun masih ada peraturan hukum Belanda yang berlaku setelah menjadi negara merdeka dewasa ini sebenarnya tidak bertujuan seperti penjajah Belanda pada zamannya, melainkan hanya sebagai alasan “jangan sampai terjadi kekosongan hukum” saja, sebab kekosongan hukum berarti tidak adanya suatu pegangan dalam tata tertib hidup. Hal ini akan sangat berbahaya dibanding melanjutkan berlakunya aturan hukum Belanda walaupun sudah banyak yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dalam pergaulan hukum di Indonesia. Karena itu pemerintah terus berusaha mewujudkan hukum nasional sebagai penggantinya yang dinyatakan secara berencana melalui 34
Pengantar Hukum Indonesia
politik hukumnya dalam haluan negara. Suatu perumusan politik hukum yang dinyatakan secara tegas dan bertahap dicantumkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
G. Dasar Hukum Berlakunya Keanekaragaman Hukum di Indonesia 1. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang berbunyi: Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini” 2. Pasal 142 Ketentuan Peralihan UUDS 1950: “Peraturan undangundang dan ketentuan-ketentuan tata usaha negara yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan RI sendiri, selama dan sekadar peraturanperaturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan tata usaha atas kuasa UUD ini” 3. Pasal 192 Ketentuan Peralihan Konstitusi RIS: “Peraturanperaturan dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat Konstitusi ini mulai berlaku tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia sendiri selama dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa konstitusi ini” 4. UUD 1945 Hasil Amandemen
Pasal 1 Aturan Peralihan
“Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Pasal II Aturan Peralihan
“Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Bab 2: Sejarah Tata Hukum dan Politik Hukum Indonesia
35
BAB 3 SISTEM HUKUM DUNIA
A. Pendahuluan Terbentuknya sistem hukum suatu negara tidak terlepas dari sejarah dan budaya hukum yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. Legal culture yang berkembang tersebut menyebabkan suatu negara menerapkan sistem hukum tertulis maupun tidak tertulis. Dalam masyarakat yang menerapkan sistem hukum tidak tertulis, praktik-praktik kebiasaan yang bersifat melembaga dalam suatu masyarakat selanjutnya menjelma dan dituangkan menjadi hukum. Apabila dalam suatu masyarakat tradisi dan budaya tata tulis dijadikan sebagai wujud kepastian hukumnya, maka sistem hukum yang berkembang adalah sistem hukum tertulis, baik terkodifikasi maupun tidak terkodifikasi. Berlakunya sistem hukum dipengaruhi oleh sub-sub sistem, yang dalam pandangan Friedman terdiri atas substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Ketiga subsistem tersebut menjadi indikator keberhasilan penerapan hukum di masyarakat. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terdapat beberapa sistem hukum yang berkembang dan diterapkan oleh setiap negara. Adapun sistem hukum yang akan dibahas dalam bab ini adalah sistem hukum Eropa Kontinental/civil law system, sistem hukum Anglo Saxon/common law system, sistem hukum adat, sistem hukum Islam, dan sistem hukum yang diterapkan pada masyarakat Eropa.
37
B. Pengertian Sistem Hukum Suatu sistem mempunyai ciri-ciri tertentu yaitu terdiri dari komponenkomponen yang satu sama lain saling ketergantungan dan dalam keutuhan organisasi yang teratur serta terintergrasi. Menurut Prof. Subekti sistem adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan. Dengan kata lain, sistem hukum adalah kumpulan unsur-unsur yang ada dalam interaksi satu sama lain yang merupakan satu kesatuan yang terorganisasi dan kerja sama ke arah tujuan kesatuan. Dengan kata lain, berjalannya sistem hukum dipengaruhi oleh subsub sistem hukum yang membentuk sistem tersebut secara komprehensif dan memiliki keterkaitan yang kuat antara satu dengan lainnya. Sub-sub sistem yang dimaksud di sini adalah substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Apabila salah satu subsistem hukum tidak dilaksanakan dengan baik, maka akan berdampak langsung kepada efektivitas hukum di masyarakat.
C. Sistem Hukum Eropa Kontinental/Civil Law Sistem hukum Eropa Kontinental muncul dan berkembang pertama kali di negara-negara Eropa daratan yang sering disebut sebagai Civil Law. Peraturan-peraturan hukumnya merupakan kumpulan dari berbagai kaidah hukum yang ada sebelum masa kekaisaran Romawi Justinianus yang kemudian disebut Corpus Juris Civilis. Dalam perkembangannya, Corpus Juris Civilis ini menjadi dasar perumusan dan kodifikasi hukum di negara-negara Eropa daratan, seperti Jerman, Belanda, Prancis dan Italia, juga Amerika Latin dan Asia termasuk Indonesia pada masa jajahan Belanda. Civil Law merupakan sistem yang dianut oleh negara-negara Eropa Kontitental yang berasal dari kodifikasi hukum Romawi. Prinsip dasar sistem hukum Eropa Kontinental ialah “Hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik di dalam kodifikasi atau kompilasi”. Pada mulanya civil law di perkenalkan di Indonesia bersamaan dengan kedatangan orang-orang 38
Pengantar Hukum Indonesia
Belanda untuk berdagang di nusantara ini. Hukum yang dimaksud civil law tadi di berlakukan bagi orang Belanda dan Eropa saja, tetapi kemudian melalui berbagai upaya peraturan perundang-undangan, pernyataan berlaku penundukan sukarela, pilihan hukum dan sebagainya. Hukum Barat itu dinyatakan berlaku bagi golongan Eropa, orang Timur Asing (terutama Cina) dan orang Indonesia. Saat kolonialisasi bangsa Belanda terhadap wilayah-wilayah nusantara, penjajah juga berusaha menancapkan pengaruhnya dengan menggunakan kebijakan penerapan hukum Belanda terhadap kolonial, bangsa Belanda menganggap sistem hukum civil law yang dia miliki merupakan suatu sistem hukum yang paling baik dan mapan, karena hukum mereka merupakan hukum yang tertulis dan telah terkodifikasi dengan baik. Bangsa Belanda menginginkan masyarakat jajahannya yang merupakan masyarakat tradisional dan diangkat tidak memiliki hukum dalam kehidupannya, harus dikenalkan pada hukum yang baik yaitu sistem hukum Belanda. Sehingga sampai sekarang pengaruh hukum Belanda tersebut masih sangat kuat karena bangsa ini merupakan bangsa yang dijajah oleh Belanda selama 350 tahun lamanya, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa sejak negara ini didirikan sebagian besar hukum yang kita gunakan adalah hasil dari mengadopsi sistem hukum penjajah (Belanda). Dari sanalah sistem hukum civil law berlaku hingga sekarang dan menjadi tumpuan hukum di Indonesia dan menambah keragamaan bangsa Indonesia di bidang hukum. Prinsip dasar ini dianut mengingat bahwa nilai utama yang merupakan tujuan hukum adalah “kepastian hukum”. Sumber hukum di dalam sistem hukum Eropa Kontinental adalah “undang-undang” yang dibentuk oleh Pemegang Kekuasaan Legislatif. Selain itu juga diakui peraturan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan eksekutif berdasarkan wewenang, yang telah ditetapkan oleh undang-undang (peraturan hukum administrasi negara) dan kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat selama tidak bertentangan dengan undangundang.
D. Sistem Hukum Anglo Saxon/Common Law Sistem hukum Anglo Saxon atau Anglo Amerika, mulai berkembang di Inggris pada abad XI yang sering disebut sebagai Sistem Common Law Bab 3: Sistem Hukum Dunia
39
dan sistem Unwritten Law (tidak tertulis). Dalam penerapan unwritten law dikenal pula adanya sumber-sumber hukum yang tertulis (statutes). Sumber hukum dalam sistem hukum Anglo Amerika ialah “putusan-putusan hakim/pengadilan” (judicial decisions). Di samping putusan hakim, maka kebiasaan-kebiasaan dan peraturan perundang-undangan serta peraturan administrasi negara juga diakui sebagai sumber hukum. Selain itu dalam sistem Anglo Amerika hakim diberikan fungsi khusus, yang mempunyai wewenang sangat luas untuk menafsirkan peraturan hukum yang berlaku dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang akan menjadi pegangan bagi hakim-hakim lain untuk memutuskan perkara yang sejenis. Sistem Anglo Amerika menganut suatu doktrin yaitu “the doctrine of precedent/stare decisis” yang pada prinsipnya menyatakan bahwa dalam memutuskan suatu perkara, seorang Hakim harus mendasarkan putusannya kepada prinsip hukum yang sudah ada di dalam putusan hakim lain dari perkara sejenis sebelumnya (preseden). Apabila tidak ditemukan putusan Hakim yang terdahulu atau ada tetapi tidak sesuai dengan perkembangan, maka Hakim dapat memutuskan perkara berdasarkan nilai-nilai keadilan, kebenaran dan akal sehat (common sense) yang dimiliki Hakim tersebut. Sehingga terlihat bahwa sistem hukum Anglo Saxon mendasarkan kepada pentingnya yurisprudensi, sementara sistem hukum Eropa Kontinental lebih mengutamakan perundang-undangan sebagai sumber hukumnya. Untuk itu hakim di pengadilan Anglo Saxon menggunakan prinsip “pembuat hukum sendiri” dengan melihat kasus-kasus dan faktafakta sebelumnya (judge made law), sehingga hakim dalam hal ini berarti hakim itu berfungsi sebagai legislatif atau pembuat undang-undang. Dalam sistem pengadilan di negara-negara Anglo Saxon menggunakan “sistem juri”. Hal ini berbeda dengan sistem hukum Eropa Kontinental yang menggunakan sistem peradilan berdasarkan “majelis hakim”. Penggunaan juri di dalam sistem ini berlaku baik untuk perkara perdata dan juga perkara pidana. Juri dipilih dari komunitas warga masyarakat (tokoh-tokoh masyarakat setempat) dan bukan ahli hukum atau sarjana hukum. Sebelum melaksanakan tugasnya juri terlebih dahulu diambil sumpahnya dan dipastikan bahwa para juri akan berlaku objektif. Jumlah juri genap dan pada umumnya 8 atau 12 orang dalam satu persidangan.
40
Pengantar Hukum Indonesia
E. Sistem Hukum Adat Sistem hukum adat sebagian besar terdapat dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya, seperti Cina, India, Jepang dan negara lain. Istilah hukum adat pertama kali dikemukakan oleh Snouck Hurgronje yakni “Adatrecht” (Belanda). Sumber hukum adat pada peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Dan hukum adat mempunyai tipe yang bersifat tradisional dengan berpangkal kepada kehendak nenek moyang, serta dapat menyesuaikan diri dan elastik. Perbedaan dari hukum adat dengan hukum-hukum yang lainya antara lain, hukumnya bergantung di daerah masing-masing ataupun berlaku di daerahnya masing-masing, dan memiliki berbagai macam hukum, contohnya Hukum Adat Jawa, Hukum Adat Bugis, Hukum Adat Aceh dan masih banyak lagi hukum adat yang lainya. Dan hukum adat biasanya, dalam menyelesaikan perkara mereka menggunakan metode musyawarah dengan orang tertua atau orang dituakan di daerah tersebut, dan orang yang dituakan atau orangtua menjadi penengah dalam suatu perkara, sehingga perkara tersebut diselesaikan oleh ketua adat ataupun orangtua di daerah lingkungan masyarakatnya, selain itu, hukumnya bersumber dari suatu kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan terus-menerus dan menjadi suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh masyarakat itu.
F. Sistem Hukum Islam Sistem hukum Islam berkembang dan diterapkan oleh masyarakat Arab sebagai awal penyebaran agama Islam. Sistem hukum ini selanjutnya berkembang di negara-negara lain, bahkan di beberapa negara Afrika dan Asia penerapan sistem hukum Islam disesuaikan dengan pembentukan negara yang bersumber pada ajaran Islam. Adapun sumber hukum dari sistem hukum Islam antara lain sebagai berikut. 1. Al-Qur'an, yaitu kitab suci dari umat muslim yang diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Rasul Allah Muhammad. 2. Sunnah nabi yaitu cara hidup dari Nabi Muhammad atau cerita-cerita (hadis) mengenai nabi Muhammad. Bab 3: Sistem Hukum Dunia
41
3. Ijma ialah kesepakatan para ulama besar tentang suatu hal dalam cara bekerja (berorganisasi). 4. Qiyas ialah analogi dalam mencari sebanyak mungkin persamaan antara dua kejadian. Cara ini dapat dijelmakan melalui metode ilmu hukum berdasarkan deduksi dengan menciptakan atau menarik suatu garis hukum baru dari garis hukum suatu keadaan karena persamaan yang ada di dalamnya. Sistem Hukum Islam dalam “Hukum Fikh” terdiri dari dua hukum pokok, ialah (Djamali, 2012: 76): 1. Hukum Rohaniah, umumnya disebut “ibadat”, yaitu cara-cara menjalankan upacara tentang kebaktian terhadap Allah, seperti sholat, puasa, zakat dan menjalankan haji. Kelima kegiatan menjalankan upacara kebaktian kepada Allah itu lazim disebut “Al-Arkanul Islam al-hamzah”. 2. Hukum Duniawi, terdiri dari: a. Muamalat yaitu tata tertib hukum dan peraturan mengenai hubungan antar manusia dalam bidang jual-beli, sewa-menyewa, perburuhan, hukum tanah, hukum perikatan, hak milik, hak kebendaan dan hubungan ekonomi pada umumnya. b. Nikah yaitu perkawinan dalam arti membentuk sebuah keluarga yang terdiri dari syarat-syarat dan rukun-rukunnya, hak dan kewajiban, dasar-dasar perkawinan monogami dan akibat-akibat hukum perkawinan. c. Jinayat yaitu hukum pidana yang meliputi ancaman hukuman terhadap hukum Allah dan tindak pidana kejahatan. Dalam perkembangannya hukum Islam, lahir cabang hukum lainnya. Hukum lainnnya itu meliputi sebagai berikut 1. Aqidyah, ialah peraturan hukum pengadilan, meliputi kesopanan hakim, saksi, beberapa hak peradilan, dan cara-cara memerdekakan budak belian (kalau masih ada) 2. Al-khilafah, ialah mengatur mengenai kehidupan bernegara, meliputi bentuk negara dan dasar-dasar pemerintahan, hak dan kewajiban
42
Pengantar Hukum Indonesia
negara, kepemimpinan dan pandangan Islam terhadap pemeluk agama lain.
G. Sistem Hukum Masyarakat Eropa Sistem hukum masyarakat Eropa atau Uni Eropa yang memiliki karakter yang khusus, tunggal yang lahir dari suatu entitas politik, sehingga melahirkan sebuah sistem hukum yang sui generic (memiliki kelasnya sendiri) yang terpisah dari rumpun sistem hukum Civil Law dan Common Law. Sehingga bersifat “supranasional”. Sistem hukum masyarakat Eropa yang didasari oleh lahirnya Perjanjian Paris Tahun 1951 dan Perjanjian Roma Tahun 1957 telah melahirkan suatu dasar bagi lahirnya “common law Eropa”, sebuah peraturan yang telah diimplementasikan baik oleh institusi yang merancang perjanjian maupun oleh agensi pembentukan dan penegakan hukum dari negara anggota, artinya hukum ini dapat diberlakukan jika memang diinginkan oleh para individu dari negara-negara anggota. Sistem hukum masyarakat Eropa menjadi sebuah peraturan tunggal bagi Uni Eropa setelah dilakukan beberapa kali amandemen Perjanjian Roma sehingga melahirkan “Single Europe Act 1986” (Undang-undang Eropa Tunggal) yang ditandatangani di Luxemburg dan mulai berlaku sejak 1 Juli 1987 yang sering disebut SEA (Single European Act). Sebagai suatu perjanjian internasional, hukum-hukum masyarakat Eropa (Uni Eropa) mulai berlaku apabila perjanjian tersebut telah diratifikasi oleh negara peserta, dan implementasinya disesuaikan pada sistem konstitusi yang dianut oleh negara peserta. Negara Eropa (Uni Eropa) pada umumnya menganut dua prinsip, yaitu: Monoisme dan Dualisme. Dalam konstitusi monoisme, kewajiban hukum internasional memiliki sifat superior terhadap kewajiban-kewajiban hukum nasional. Berdasarkan pendekatan ini, maka peraturan yang didasarkan pada kebiasaan internasional atau sebuah peraturan yang dibentuk atas dasar perjanjian internasional di mana negara tersebut telah menjadi pesertanya, maka secara otomatis hukum internasional itu menjadi bagian hukum nasional negara peserta. Negara yang menganut sistem ini adalah konstitusi Prancis dan Belanda.
Bab 3: Sistem Hukum Dunia
43
Dalam konstitusi dualis, hanya ada sejumlah status terbatas yang diberikan kepada peraturan internasional. Peraturan internasional baru akan berlaku di suatu negara apabila telah diimplementasikan ke dalam hukum nasional melalui proses legislasi (pengundangan nasional) atau melalui sebuah Ketetapan Parlemen. Negara yang menganut sistem ini adalah Inggris. Adapun lembaga legislatif dan yudikatif Uni Eropa terdiri atas empat institusi, yaitu (Asikin, 2012: 90):
1. Council of Minister (Dewan Menteri) Institusi ini terdiri dari para menteri dari pemerintah negara anggota yang bertugas memberi nasihat dan mengawasi Komisi Eropa dalam mengambil keputusan yang berkaitan perjanjian yang dibuat sebelumnya, dan melakukan persetujuan terhadap peraturan yang diajukan oleh Komisi Eropa. Dewan ini juga bertugas menandatangani bersama-sama negara-negara asing lainnya, dan bersama Parlemen Eropa menyusun dan menyetujui anggaran untuk Ekonomi Eropa. Para menteri yang tergabung dalam Dewan Menteri biasanya Menteri Luar Negeri atau menteri khusus yang menangani bidang tertentu.
2. European Commission (Komisi Eropa) Komisi ini terdari dari 17 negara yang bertugas mengusulkan kebijakan legislasi Masyarakat Eropa. Secara lebih teknis komisi bertugas sebagai berikut. a. Memastikan provinsi perjanjian, mendeteksi pelanggaran terhadap anggota dan mengambil tindakan hukum bagi anggota yang melanggar perjanjian, memberikan denda yang cukup besar kepada anggota yang melakukan pelanggaran persaingan; b. Merumuskan rekomendasi dan penyampaian pendapat masalahmasalah perjanjian. c. Merumuskan langkah-langkah yang akan digunakan oleh Dewan dan Majelis (Parlemen Eropa). 44
Pengantar Hukum Indonesia
3. European Parliament (Parlemen Eropa) Badan ini yang awalnya disebut Asembly (Majelis), merupakan lembaga yang anggotanya dipilih secara langsung dengan jumlah 518 anggota dan 81 di antaranya dari Inggris. Fungsi badan ini adalah sebagai fungsi konsulatif dan penasihat, tetapi tidak memiliki fungsi legislasi.
4. European Court of Justice (Mahkamah Peradilan Eropa) Institusi ini bertugas sebagai lembaga pengadilan internasional, pengadilan administrasi, peradilan perdata, tribunal administrasi dan pengadilan konstitusional internasional. Pengadilan terdiri dari 13 hakim dan 6 jaksa yang melalui kesepakatan bersama oleh negara peserta. Prinsip yang dianut dalam pengambilan keputusan ialah a. memberikan pertimbangan secara rahasia; b. pemungutan suara dilakukan dengan suara mayoritas; c. keputusan ditandatangani oleh semua majelis hakim meskipun terdapat perbedaan pendapat dalam pengambilan keputusan.
Bab 3: Sistem Hukum Dunia
45
BAB 4 HUKUM ADAT
A. Pendahuluan Sejarah berlakunya hukum adat diawali dari masa sebelum bangsa asing masuk ke Indonesia, yakni pada zaman pra-Hindu. Selanjutnya periode hukum adat pada masa penjajahan Belanda terbagi dalam tujuh zaman, yaitu zaman Daendels (1808-1811), zaman Raffles (1811-1816), zaman Komisi Jenderal (1816-1819), zaman Van der Capellan (1824), zaman Du Bush, zaman Van den Bosch, dan zaman Chr. Baud. Berbagai usaha telah dilakukan untuk memasukkan hukum adat ke dalam sistem hukum di Indonesia pada masa pemerintah kolonial Belanda. Sebagaimana telah dibahas pada bab terdahulu, bahwa suatu sistem merupakan keseluruhan yang terangkai, mencakup unsur-unsur, bagianbagian, konsistensi, kelengkapan dan konsepsi-konsepsi. Hukum adat sebagai bagian dari hukum secara keseluruhan, sehingga hukum adat merupakan suatu sistem. Menurut Soepomo, sistem hukum adat bersendi atas dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum Barat. Untuk dapat sadar akan sistem hukum adat, orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Untuk itu diperlukan pemahaman mengenai pengertian dan istilah hukum adat serta corak-corak hukum adat yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Penerapan hukum adat di Indonesia ditegaskan dalam berbagai peraturan yang menjadi dasar hukum dan sumber berlakunya hukum 47
adat baik berupa regulasi yang berlaku pada masa penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, hingga pada masa Indonesia merdeka. Dalam penerapan hukum adat di Indonesia, terdapat ruang lingkup berlakunya sebagaimana dikemukakan oleh berbagai pakar hukum adat seperti Van Vollenhoven, Ter Haar, Surojo Wignjodipuro, Iman Sudiyat, dan para ahli lainnya.
B. Sejarah Berlakunya Hukum Adat Peraturan adat istiadat kita ini, pada hakikatnya sudah terdapat pada zaman Kuno, zaman Pra-Hindu. Adat istiadat yang hidup dalam masyarakat Pra-Hindu tersebut menurut ahli-ahli hukum adat adalah merupakan adatadat Melayu Polinesia. Kemudian datang kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen yang masing-masing memengaruhi kultur asli tersebut yang sejak lama menguasai tata kehidupan masyarakat Indonesia sebagai suatu hukum adat, sehingga hukum adat yang kini hidup pada rakyat itu adalah hasil akulturasi antara peraturan-peraturan, adat-istiadat zaman Pra-Hindu dengan peraturan-peraturan hidup yang dibawa oleh kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen. Setelah terjadi akulturasi itu, maka hukum adat atau hukum pribumi atau “Inladsrecht” menurut Van Vollenhoven terdiri dari hukum adat yang tidak tertulis (ius non scriptum) dan hukum adat yang tertulis (ius scriptum). Sebelum bangsa Asing masuk ke Indonesia, terdapat hukum adat yang tumbuh dan berkembang serta diberlakukan di masyarakat, antara lain sebagai berikut. 1. Tahun 1000, pada zaman Hindu, Raja Dharmawangsa dari Jawa Timur dengan Kitabnya yang disebut Civacasana. 2. Tahun 1331-1364, Gajah Mada Patih Majapahit, membuat kitab yang disebut Kitab Gajah Mada. 3. Tahun 1413-1430, Kanaka Patih Majapahit, membuat Kitab Adigama. 4. Tahun 1350, di Bali ditemukan Kitab Hukum Kutaramanava. Di samping kitab-kitab hukum kuno tersebut yang mengatur kehidupan di lingkungan istana, ada juga kitab-kitab yang mengatur kehidupan masyarakat sebagai berikut.
48
Pengantar Hukum Indonesia
1. Daerah Tapanuli, Ruhut Parsaoran di Habatohan (Kehidupan Sosial di Tanah Batak), Patik Dohot Uhum ni Halak Batak (Undang-Undang dan Ketentuan-ketentuan Batak). 2. Daerah Jambi, terdapat peraturan berupa Undang-Undang Jambi. 3. Daerah Palembang, Undang-Undang Simbur Cahaya (Undang-Undang tentang Tanah di Dataran Tinggi Daerah Palembang). 4. Daerah Minangkabau, Undang-Undang Nan Dua Puluh (UndangUndang tentang Hukum Adat Delik di Minangkabau). 5. Daerah Sulawesi Selatan, Amana Gapa (Peraturan tentang Pelayaran dan Pengangkatan Laut bagi Orang-orang Wajo). 6. Daerah Bali, Awig-awig (peraturan Subak dan desa) dan Agama Desa (Peraturan Desa) yang ditulis di dalam daun lontar. Sebelum datang VOC belum ada penelitian tentang hukum adat, dan semasa VOC karena ada kepentingan atas negara jajahannya (menggunakan politik opportunity), maka Heren 17 (pejabat di Negeri Belanda yang mengurus negara-negara jajahan Belanda) mengeluarkan perintah kepada Jenderal yang memimpin daerah jajahannya masing-masing untuk menerapkan hukum Belanda di negara jajahan (Indonesia) tepatnya yaitu pada tanggal 1 Maret 1621 yang baru dilaksanakan pada tahun 1625 yaitu pada pemerintahan De Carventer yang sebelumnya mengadakan penelitian dulu dan akhirnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa di Indonesia masih ada hukum adat yang hidup. Oleh karena itu, Carventer memberikan tambahan bahwa hukum itu disesuaikan sehingga perlu 4 kodifikasi hukum adat yaitu sebagai berikut. 1. Tahun 1750, untuk keperluan Landraad (pengadilan) di Serang dengan kitab hukum “Mogharrar” yang mengatur khusus pidana adat (menurut Van Vollenhoven kitab tersebut berasal dari hukum adat). 2. Tahun 1759, Van Clost Wijck mengeluarkan kitab yaitu “Compedium” (pegangan/ikhtisar) yang terkenal dengan Compedium Van Clost Wijck mengenai Undang-Undang Bumiputra di lingkungan Keraton Bone dan Goa. 3. Compendium Freizer tentang Peraturan Hukum Islam mengenai nikah, talak, dan warisan.
Bab 4: Hukum Adat
49
4. Hasselaer, beliau berhasil mengumpulkan buku-buku hukum untuk para hakim di Cirebon yang terkenal dengan Papakem Cirebon. Pencatatan hukum adat oleh orang luar negeri di antaranya pernah dilakukan oleh Robert Padtbrugge (1679), ia seorang Gubernur Ternate yang mengeluarkan peraturan tentang adat istiadat Minahasa. Selanjutnya dilakukan oleh Francois Valetijn (1666-1727) yang menerbitkan suatu ensiklopedia tentang kesulitan-kesulitan hukum bagi masyarakat. Adapun periode hukum adat pada masa penjajahan Belanda terbagi dalam tujuh zaman, yaitu sebagai berikut. 1. Zaman Daendels (1808-1811)
Beranggapan bahwa memang ada hukum yang hidup dalam masyarakat adat tetapi derajatnya lebih rendah dari hukum Eropa, jadi tidak akan memengaruhi apa-apa sehingga hukum Eropa tidak akan mengalami perubahan karenanya.
2. Zaman Raffles (1811-1816)
Pada zaman ini Gubernur Jenderal dari Inggris membentuk komisi Mackenzie atau suatu panitia yang tugasnya mengkaji/meneliti peraturan-peraturan yang ada di masyarakat, untuk mengadakan perubahan-perubahan yang pasti dalam membentuk pemerintahan yang dipimpinnya. Setelah terkumpul hasil penelitian komisi ini yaitu pada tanggal 11 Februari 1814 dibuat peraturan yaitu regulation for the more effectual Administration of justice in the provincial court of Java yang isinya: a. Residen menjabat sekaligus sebagai Kepala Hakim b. Susunan pengadilan terdiri dari:
1) Residen’s court
2) Bupati’s court
3) Division court
c. Ada juga Circuit of court atau pengadilan keliling d. Yang berlaku adalah native law dan unchain costum untuk Bupati’s court dan untuk Residen (orang Inggris) memakai hukum Inggris.
50
Pengantar Hukum Indonesia
3. Zaman Komisi Jenderal (1816-1819)
Pada zaman ini tidak ada perubahan dalam perkembangan hukum adat dan tidak merusak tatanan yang sudah ada.
4. Zaman Van der Capellen (1824)
Pada zaman ini tidak ada perhatian hukum adat bahkan merusak tatanan yang sudah ada.
5. Zaman Du Bush
Pada zaman ini sudah ada sedikit perhatian pada hukum adat, yang utama dalam hukum adat ialah hukum Indonesia asli.
6. Zaman Van den Bosch
Pada zaman ini dikatakan bahwa hukum waris itu dilakukan menurut hukum Islam serta hak atas tanah adalah campuran antara peraturan Bramein dan Islam.
7. Zaman Chr. Baud.
Pada zaman ini sudah banyak perhatian pada hukum adat misalnya tentang melindungi hak-hak ulayat.
Pada tahun 1918 putra-putra Indonesia membuat disertasi mengenai hukum adat di Balai Perguruan Tinggi di Belanda, antara lain dilakukan oleh: 1. Kusumaatmadja tahun 1922 yang menulis tentang Wakaf 2. Soebroto tahun 1925 yang menulis tentang Sawah Vervavding (gadai sawah). 3. Endabumi tahun 1925 yang menulis tentang Bataks Grondenrecht (Hukum Tanah Suku Batak). 4. Soepomo tahun 1927 yang menulis tentang Vorstenlands Grondenrecht (Hak Tanah di Kerajaan-Kerajaan). Adapun penyelidikan tentang hukum adat di Indonesia dilakukan oleh: 1. Djojdioeno/Tirtawinata yang menulis tentang Hukum Adat Privat Jawa Tengah.
Bab 4: Hukum Adat
51
2. Soepomo yang menulis tentang Hukum Adat Jawa Barat 3. Hazairin yang membuat disertasinya tentang “Redjang”. Hukum adat menjadi masalah politik hukum pada saat pemerintah Hindia Belanda yang ketika itu hendak memberlakukan hukum Eropa atau hukum yang berlaku di Belanda menjadi hukum positif di Hindia Belanda (Indonesia) melalui asas konkordansi. Mengenai hukum adat timbullah masalah bagi pemerintah kolonial, sejauh mana hukum ini dapat digunakan bagi tujuan-tujuan Belanda serta kepentingan-kepentingan ekonominya, dan sejauh mana hukum adat itu dapat dimasukkan dalam rangka politik Belanda. Kepentingan atau kehendak bangsa Indonesia tidak masuk perhitungan pemerintah kolonial. Secara kronologis usaha-usaha yang telah dilakukan baik pemerintah Belanda di negerinya sendiri maupun pemerintah kolonial yang ada di Indonesia, untuk memasukkan hukum adat ke dalam sistem hukum perundang-undangan antara lain: 1. Mr. Wichers, Presiden Mahkamah Agung, ditugaskan untuk menyelidiki apakah hukum adat privat itu tidak dapat diganti dengan hukum kodifikasi Barat. Sayangnya rencana kodifikasi Wichers mengalami kegagalan. 2. Sekitar tahun 1870, Van der Putte, Menteri Jajahan Belanda, mengusulkan penggunaan hukum tanah Eropa bagi penduduk desa di Indonesia untuk kepentingan agraris pengusaha Belanda. Usaha ini pun gagal. 3. Pada tahun 1900, Cremer, Menteri Jajahan, menghendaki diadakan kodifikasi lokal untuk sebagian hukum adat dengan mendahulukan daerah-daerah yang penduduknya telah memeluk agama Kristen. Usaha ini belum terlaksana. 4. Kabinet Kuyper pada tahun 1904 mengusulkan suatu rencana undangundang untuk menggantikan hukum adat dengan hukum Eropa. Pemerintah Belanda menghendaki supaya seluruh penduduk asli tunduk pada unifikasi hukum secara Barat. Usaha ini gagal, sebab Parlemen Belanda menerima suatu amandemen yakni amandemen Van Idsinga.
52
Pengantar Hukum Indonesia
5. Pada tahun 1914 Pemerintah Belanda dengan tidak menghiraukan amandemen Idsinga, mengumumkan rencana KUHPerdata bagi seluruh golongan penduduk di Indonesia. Ditentang oleh Van Vollenhoven dan usaha ini gagal. 6. Pada tahun 1923 Mr. Cowan, Direktur Departemen Justitie di Jakarta membuat rencana baru KUHPerdata dalam tahun 1920, yang diumumkan Pemerintah Belanda sebagai rencana unifikasi dalam tahun 1923. Usaha ini gagal karena kritikan Van Vollenhoven. Pengganti Cowan, yaitu Mr. Rutgers memberitahu bahwa meneruskan pelaksanaan kitab undang-undang kesatuan itu tidak mungkin. Dan dalam tahun 1927 Pemerintahn Hindia Belanda mengubah haluannya, menolak penyatuan hukum (unifikasi). Sejak tahun 1927 selanjutnya politik Pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum adat mulai berganti haluan, yaitu dari “unifikasi” beralih ke “kodifikasi”.
C. Pengertian dan Istilah Hukum Adat Istilah adat berasal dari bahasa Arab, yang apabila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti “kebiasaan”. Adat atau kebiasaan telah meresap kedalam Bahasa Indonesia, sehingga hampir semua bahasa daerah di Indonesia telah mengenal dan menggunakan istilah tersebut. Adat atau kebiasaan dapat diartikan sebagai “tingkah laku seseoarang yang terusmenerus dilakukan dengan cara tertentu dan diikuti oleh masyarakat luar dalam waktu yang lama”. Dengan demikian unsur-unsur terciptanya adat adalah sebagai berikut. 1. Adanya tingkah laku seseorang 2. Dilakukan terus-menerus 3. Adanya dimensi waktu. 4. Diikuti oleh orang lain/ masyarakat. Pengertian adat-istiadat menyangkut sikap dan kelakuan seseorang yang diikuti oleh orang lain dalam suatu proses waktu yang cukup lama, ini menunjukkan begitu luasnya pengertian adat-iatiadat tersebut. Tiap-tiap masyarakat atau bangsa dan negara memiliki adat-istiadat sendiri-sendiri,
Bab 4: Hukum Adat
53
yang satu satu dengan yang lainnya pasti tidak sama. Adat-istiadat dapat mencerminkan jiwa suatu masyarakat atau bangsa dan merupakan suatu kepribadian dari suatu masyarakat atau bangsa. Tingkat peradaban, cara hidup yang modern seseorang tidak dapat menghilangkan tingkah laku atau adat-istiadat yang hidup dan berakar dalam masyarakat. Adat selalu menyesuaikan diri dengan keadaan dan kemajuan zaman, sehingga adat itu tetap kekal, karena adat selalu menyesuaikan diri dengan kemajuan masyarakat dan kehendak zaman. Adat-istiadat yang hidup di dalam masyarakat erat sekali kaitannya dengan tradisi-tradisi rakyat dan ini merupakan sumber pokok daripada hukum adat. Menurut Prof. Kusumadi Pudjosewojo, mengatakan bahwa “adat adalah tingkah laku yang oleh masyarakat diadatkan”. Adat ini ada yang tebal dan ada yang tipis dan senantiasa menebal dan menipis. Aturan-aturan tingkah laku di dalam masyarakat ini adalah aturan adat dan bukan merupakan aturan hukum. Istilah “Hukum Adat” dikemukakan pertama kalinya oleh Prof. Dr. Cristian Snouck Hurgronye dalam bukunya yang berjudul “De Acheers” (orang-orang Aceh), yang kemudian diikuti oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul “Het Adat Recht van Nederland Indie”. Dengan adanya istilah ini, maka Pemerintah Kolonial Belanda pada akhir tahun 1929 mulai menggunakan secara resmi dalam peraturan perundang-undangan Belanda. Istilah hukum adat sebenarnya tidak dikenal di dalam masyarakat, dan masyarakat hanya mengenal kata “adat” atau kebiasaan. Adat Recht yang diterjemahkan menjadi “Hukum Adat” dapat dialihkan menjadi Hukum Kebiasaan. Van Dijk tidak menyetujui istilah hukum kebiasaan sebagai terjemahan dari adat recht untuk menggantikan hukum adat dengan alasan tidaklah tepat menerjemahkan adat recht menjadi hukum kebiasaan untuk menggantikan hukum adat, karena yang dimaksud dengan hukum kebiasaan adalah kompleks peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan, artinya karena telah demikian lamanya orang biasa bertingkah laku menurut suatu cara tertentu sehingga timbullah suatu peraturan kelakuan yang diterima dan juga diinginkan oleh masyarakat, sedangkan apabila orang mencari sumber yang nyata dari mana peraturan itu berasal, maka hampir senantiasa akan dikemukakan suatu alat perlengkapan masyarakat tertentu dalam lingkungan besar atau kecil sebagai pangkalnya. Hukum adat pada
54
Pengantar Hukum Indonesia
dasarnya merupakan sebagian dari adat istiadat masyarakat. Adat-istiadat mencakup konsep yang luas. Sehubungan dengan itu dalam penelaahan hukum adat harus dibedakan antara adat-istiadat (non-hukum) dengan hukum adat, walaupun keduanya sulit sekali untuk dibedakan karena keduanya erat sekali kaitannya. Untuk mendapatkan gambaran apa yang dimaksud dengan hukum adat, maka perlu kita telaah beberapa pendapat yaitu: 1. Prof. Mr. B. Terhaar Bzn
Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan dari kepala-kepala adat dan berlaku secara spontan dalam masyarakat. Terhaar terkenal dengan teori “Keputusan” artinya bahwa untuk melihat apakah sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat dari sikap penguasa masyarakat hukum terhadap si pelanggar peraturan adat-istiadat. Apabila penguasa menjatuhkan putusan hukuman terhadap si pelanggar maka adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat.
2. Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven
Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku masyarakat yang berlaku dan mempunyai sanksi dan belum dikodifikasikan.
3. Dr. Sukanto, S.H.
Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang pada umumnya tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum.
4. Mr. J. H. P. Bellefroit
Hukum adat sebagai peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh penguasa, tetapi tetap dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.
5. Prof. M. M. Djojodigoeno, S.H.
Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturanperaturan.
Bab 4: Hukum Adat
55
6. Prof. Dr. Hazairin
Hukum adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat yaitu kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu.
7. Soeroyo Wignyodipuro, S.H.
Hukum adat adalah suatu ompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan seharihari dalam masyarakat, sebagaian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat karena mempunyai akibat hukum (sanksi).
8. Prof. Dr. Soepomo, S.H.
Hukum adat adalah hukum tidak tertulis di dalam peraturan tidak tertulis, meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
D. Corak-corak Hukum Adat Indonesia Hukum adat kita mempunyai corak-corak tertentu adapun corak-corak yang terpenting adalah: 1. Bercorak Religius-Magis
56
Menurut kepercayaan tradisionil Indonesia, tiap-tiap masyarakat diliputi oleh kekuatan gaib yang harus dipelihara agar masyarakat itu tetap aman tenteram bahagia dan lain-lain. Tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia gaib serta tidak ada pemisahan antara berbagai macam lapangan kehidupan, seperti kehidupan manusia, alam, arwah-arwah nenek moyang dan kehidupan makluk-makluk lainnya. Adanya pemujaan-pemujaan khususnya terhadap arwah-arwah nenek moyang sebagai pelindung adat-istiadat yang diperlukan bagi kebahagiaan masyarakat. Setiap kegiatan atau perbuatan-perbuatan bersama seperti membuka tanah, membangun rumah, menanam dan peristiwa-pristiwa penting lainnya selalu diadakan upacara-upacara
Pengantar Hukum Indonesia
religius yang bertujuan agar maksud dan tujuan mendapat berkah serta tidak ada halangan dan selalu berhasil dengan baik. 2. Bercorak Komunal atau Kemasyarakatan
Artinya bahwa kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu kesatuan yang utuh. Individu satu dengan yang lainnya tidak dapat hidup sendiri, manusia adalah makluk sosial, manusia selalu hidup bermasyarakatan, kepentingan bersama lebih diutamakan daripada kepentingan perseorangan.
3. Bercorak Demokrasi
Bahwa segala sesuatu selalu diselesaikan dengan rasa kebersamaan, kepentingan bersama lebih diutamakan daripada kepentingankepentingan pribadi sesuai dengan asas permusyawaratan dan perwakilan sebagai sistem pemerintahan. Adanya musyawarah di Balai Desa, setiap tindakan pamong desa berdasarkan hasil musyawarah dan lain sebagainya.
4. Bercorak Kontan
Pemindahan atau peralihan hak dan kewajiban harus dilakukan pada saat yang bersamaan yaitu peristiwa penyerahan dan penerimaan harus dilakukan secara serentak, ini dimaksudkan agar menjaga keseimbangan di dalam pergaulan bermasyarakat.
5. Bercorak Konkret
Artinya adanya tanda yang kelihatan yaitu tiap-tiap perbuatan atau keinginan dalam setiap hubungan-hubungan hukum tertentu harus dinyatakan dengan benda-benda yang berwujud. Tidak ada janji yang dibayar dengan janji, semuanya harus disertai tindakan nyata, tidak ada saling mencurigai satu dengan yang lainnya.
E. Dasar Hukum dan Sumber Berlakunya Hukum Adat Dalam UUD 1945, berlakunya kembali hukum adat tercantum secara implisit pada Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal II, yang berbunyi: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Aturan Peralihan Pasal II ini menjadi dasar hukum sah berlakunya hukum adat. Bab 4: Hukum Adat
57
Dalam UUDS 1950 Pasal 104 disebutkan bahwa segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan undang-undang dan aturan adat yang dijadikan dasar hukuman itu. Tetapi UUDS 1950 ini pelaksanaannya belum ada, maka kembali ke Aturan Peralihan UUD 1945. Selanjutnya dalam Pasal 131 ayat 2 sub b. I.S. menyebutkan bahwa bagi golongan hukum Indonesia asli dan Timur Asing berlaku hukum adat mereka, tetapi bila kepentingan sosial mereka membutuhkannya, maka pembuat undang-undang dapat menentukan bagi mereka: 1. Hukum Eropa; 2. Hukum Eropa yang telah diubah; 3. Hukum bagi beberapa golongan bersama; dan 4. Hukum baru yaitu hukum yang merupakan sintese antara adat dan hukum Eropa. Pasal 131 ini ditujukan pada undang-undangnya, bukan pada hakim yang menyelesaikan sengketa Eropa dan Bumiputra. Pasal 131 ayat (6) menyebutkan bahwa bila terjadi perselisihan sebelum terjadi kodifikasi maka yang berlaku adalah hukum adat mereka, dengan syarat bila berhubungan dengan Eropa maka yang berlaku adalah hukum Eropa. Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 Pasal 23 ayat (1) menyebutkan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat dasar-dasar dan alasan-alasan putusan itu juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 ini diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman karena dalam UndangUndang Nomor 19 tersebut tersirat adanya campur tangan presiden yang terlalu besar dalam kekuasaan yudikatif. Dalam Bagian Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hukum yang tidak tertulis itu adalah hukum adat. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Pasal 27 (1) ditegaskan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.
58
Pengantar Hukum Indonesia
Sedangkan sumber-sumber hukum yang menjadi pedoman atau acuan terbentuknya hukum adat di Indonesia antara lain: 1. Adat-istiadat atau kebiasaan yang merupakan tradisi rakyat; 2. Kebudayaan tradisionil rakyat; 3. Ugeran/ Kaidah dari kebudayaan Indonesia asli; 4. Perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat; 5. Pepatah adat; 6. Yurisprudensi adat; 7. Dokumen-dokumen yang hidup pada waktu itu, yang memuat ketentuan-ketentuan hukum yang hidup; 8. Kitab-kitab hukum yang pernah dikeluarkan oleh raja-raja; 9. Doktrin tentang hukum adat; 10. Hasil-hasil penelitian tentang hukum adat; 10. Nilai-nilai yang tumbuh dan berlaku dalam masyarakat.
F. Ruang Lingkup Hukum Adat M e n g e n a i r u a n g l i n g ku p h u ku m a d a t y a n g b e r l a ku d i Indonesia, terdapat berbagai pendapat, yang berusaha untuk mengiden tifikasikan kekhususan hukum adat bila dibandingkan dengan hukum Barat. Van Vollenhoven berpendapat, bahwa ruang lingkup hukum adat, adalah sebagai berikut: 1. Bentuk-bentuk Masyarakat Hukum Adat; 2. Tentang Pribadi; 3. Pemerintahan dan Peradilan; 4. Hukum Keluarga; 5. Hukum Perkawinan; 6. Hukum Waris; 7. Hukum Tanah; 8. Hukum Utang-Piutang;
Bab 4: Hukum Adat
59
9. Hukum Delik; 10. Sistem Sanksi. Soepomo memiliki pandangan yang sedikit berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Van Vollenhoven sebagai berikut: 1. Hukum Keluarga; 2. Hukum Perkawinan; 3. Hukum Waris; 4. Hukum Tanah; 5. Hukum Utang-Piutang; 6. Hukum Pelanggaran. Selanjutnya Ter Haar di dalam bukunya yang berjudul “Beginselen en stelsel van het Adat-recht”, mengemukakan ruang lingkup pengkajian hukum adat sebagai berikut: 1. Tata Masyarakat; 2. Hak-hak atas Tanah; 3. Transaksi-transaksi Tanah; 4. Transaksi-transaksi di Mana Tanah Tersangkut; 5. Hukum Utang-Piutang; 6. Lembaga/Yayasan; 7. Hukum Pribadi; 8. Hukum Keluarga; 9. Hukum Perkawinan; 10. Hukum Delik, 11. Pengaruh Lampau Waktu. Ruang lingkup hukum adat sebagaimana dikemukakan oleh para sarjana tersebut di atas, cenderung untuk diikuti oleh para ahli hukum adat pada dewasa ini. Surojo Wignjodipuro, misalnya, mengemukakan ruang lingkup hukum adat, sebagai berikut:
60
Pengantar Hukum Indonesia
1. Tata Susunan Rakyat Indonesia; 2. Hukum perseorangan; 3. Hukum Kekeluargaan; 4. Hukum Perkawinan; 5. Hukum Harta Perkawinan; 6. Hukum (Adat) Waris; 7. Hukum Tanah; 8. Hukum Utang-Piutang; 9. Hukum (Adat) Delik. Tidak jauh berbeda dengan ruang lingkup tersebut di atas, adalah dari Iman Sudiyat di dalam bukunya yang berjudul “Hukum Adat, Sketsa Asa” (1978), yang mengajukan pembidangan, sebagai berikut: 1. Hukum Tanah; 2. Transaksi Tanah; 3. Transaksi yang Bersangkutan dengan Tanah; 4. Hukum Perutangan; 5. Status Badan Pribadi; 6. Hukum Kekerabatan; 7. Hukum Perkawinan; 8. Hukum Waris; 9. Hukum Delik Adat.
Bab 4: Hukum Adat
61
BAB 5 HUKUM PERDATA
A. Pendahuluan Hukum perdata sebagai bagian dari hukum positif yang berlaku di Indonesia mengalami sejarah panjang yang dimulai sejak masa kolonial Belanda, di mana hukum perdata Belanda diberlakukan juga di Indonesia (Hindia Belanda) berdasarkan asas konkordansi. Perkembangan hukum perdata yang sebagian besar mengadopsi aturan hukum perdata Belanda terus berlanjut hingga masa setelah kemerdekaan. Kondisi demikian didukung oleh berbagai aturan hukum yang menjadi dasar berlakunya hukum perdata di Indonesia baik yang dibentuk pada masa penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, hingga masa kemerdekaan. Hukum perdata sendiri memiliki pengertian baik dalam arti luas maupun dalam arti sempit. Adapun sistematika hukum perdata menurut KUHPerdata dan menurut ilmu pengetahuan hukum secara garis besar memiliki persamaan, di mana ruang lingkup hukum perdata yang dibahas dalam bab ini adalah hukum tentang orang, hukum keluarga, hukum benda, hukum perikatan, serta hukum pembuktian dan daluarsa.
B. Sejarah Hukum Perdata 1. Hukum Perdata Belanda Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Prancis yang berinduk pada Code Civil Prancis pada zaman pemerintahan Napoleon 63
Bonaparte. Prancis pernah menjajah Belanda dan Code Civil diberlakukan pula di Belanda. Kemudian setelah Belanda merdeka dari kekuasaan Prancis, Belanda menginginkan pembentukan Kitab Undang-undang Hukum perdata sendiri yang lepas dari pengaruh kekuasaan Prancis. Keinginan Belanda tersebut direalisasikan dengan pembentukan kodifikasi hukum perdata Belanda. Pembuatan kodifikasi tersebut selesai pada tanggal 5 Juli 1830 dan direncanakan akan diberlakukan pada tanggal 1 Februari 1831. Tetapi, pada bulan Agustus 1830 terjadi pemberontakan di daerah bagian selatan kerajaan Belanda yang memisahkan diri dari kerajaan Belanda yang sekarang disebut Belgia. Karena pemisahan Belgia ini berlakunya kodifikasi ditangguhkan dan baru terlaksana pada tanggal 1 Oktober 1938. Meskipun hukum perdata Belanda itu adalah kodifikasi bentukan nasional Belanda, isi dan bentuknya sebagian besar serupa dengan Code Civil Prancis. Menurut Prof. Mr. J. Van Kan, Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disingkat BW) adalah bersumber dari Code Civil yang disalin dari bahasa Prancis ke dalam bahasa nasional Belanda.
2. Hukum Perdata di Indonesia Karena Belanda pernah menjajah Indonesia, maka hukum perdata Belanda ini diusahakan supaya dapat diberlakukan pula di Hindia Belanda pada waktu itu. Caranya ialah dibentuk hukum perdata Hindia Belanda yang susunan dan isinya serupa dengan hukum perdata Belanda. Dengan kata lain, hukum perdata Belanda diberlakukan juga di Hindia Belanda berdasarkan asas konkordansi (persamaan) hukum perdata Hindia Belanda ini disahkan oleh Raja pada tanggal 16 Mei 1846 yang diundangkan dalam staatsbald 1847-23 dan dinyatakan berlaku pada tanggal 1 Mei 1848. Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan aturan peralihan UUD 1945 maka hukum perdata Hindia Belanda dinyatakan berlaku sebelum digantikan oleh undang-undang baru berdasarkan Undang-Undang Dasar ini. Hukum perdata Hindia Belanda ini disebut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.
64
Pengantar Hukum Indonesia
C. Dasar Berlakunya Hukum Perdata di Indonesia Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa berdasarkan asas konkordansi maka BW sebagai aturan dasar hukum perdata berlaku di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda. Pedoman politik bagi pemerintah Hindia Belanda terhadap berlakunya hukum di Indonesia tertuang dalam ketentuan Pasal 131 Indische Staatsregeling (IS) yang menyatakan bahwa golongan bangsa Eropa dan orang-orang yang dipersamakan dengan golongan Eropa Barat berlaku aturan hukum Belanda. Sedangkan bagi golongan Indonesia asli atau Bumiputra sepanjang belum disusun hukum tertulis untuk bangsa Indonesia maka hukum adat akan tetap diberlakukan, kecuali jika kebutuhan masyarakat menghendakinya, dapat diberlakukan aturan hukum Eropa Barat baik seutuhnya maupun dengan perubahanperubahan. Pada tahun 1942 kedudukan Belanda di Indonesia digantikan oleh pemerintahan Jepang. Dasar berlakunya hukum perdata pada masa itu dituangkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 yang menyatakan berlakunya kembali semua perarturan perundangan Hindia Belanda sepanjang tidak bertentangan dengan kekuasaan Militer Jepang. Dasar hukum berlakunya hukum perdata di Indonesia pada zaman Kemerdekaan sampai dengan sekarang terdapat pada beberapa ketentuan antara lain: 1. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang berbunyi: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini” 2. Pasal 142 Ketentuan Peralihan UUDS 1950: “Peraturan undangundang dan ketentuan-ketentuan tata usaha negara yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan RI sendiri, selama dan sekadar peraturanperaturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan tata usaha atas kuasa UUD ini” 3. Pasal 192 Ketentuan Peralihan Konstitusi RIS: “Peraturanperaturan dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat Konstitusi ini mulai berlaku tetap berlaku dengan tidak berubah Bab 5: Hukum Perdata
65
sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia sendiri selama dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh Undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Konstitusi ini” 4. Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 Amandemen: “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. 5. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 Amandemen: “Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
D. Pengertian Hukum Perdata Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain di dalam masyarakat yang menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan/pribadi (private interest). Menurut Prof. Subekti, perkataan Hukum Perdata dapat diartikan dalam arti luas maupun sempit (Subekti, 1996: 9). Pengertian Hukum Perdata dalam arti luas, yakni hukum perdata dalam bentuk: 1. Hukum Perdata Materil; 2. Hukum Perdata Formil. Hukum Perdata Materiil adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam bidang hukum perdata (Hukum Perdata Materiil inilah yang lazim disebut Hukum Perdata saja). Sedangkan Hukum Perdata Formil adalah peraturan hukum yang mengatur tentang bagaimana cara mempertahankan Hukum Perdata Materiil tersebut (Hukum Perdata Formil merupakan materi Hukum Acara Perdata). Sedangkan perkataan hukum perdata dalam arti sempit digunakan sebagai lawan dari hukum dagang, sebagaimana tertuang dalam Pasal 102 UUDS yang memerintahkan pembukuan (kodifikasi) hukum di Indonesia terhadap Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Hukum Pidana Sipil maupun Hukum Pidana Militer, Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana, dan susunan serta kekuasaan pengadilan. 66
Pengantar Hukum Indonesia
E. Sistematika Hukum Perdata Sistematika hukum perdata apabila dilihat dari KUHPerdata (Burgerlijke Wetboek) sebagai sumber dari hukum perdata terdiri dari atas empat bagian yaitu. 1. Buku I : Tentang Orang (van personen); 2. Buku II : Tentang Benda (van zaken); 3. Buku III : Tentang Perikatan (van verbintenissen); 4. Buku IV : Tentang Pembuktian dan Daluwarsa (van bewijsen verjaring). Sementara menurut ilmu pengetahuan hukum, Hukum Perdata Materiil dibagi dalam empat bagian yaitu sebagai berikut. 1. Hukum Perorangan atau Hukum Pribadi (Personen Recht) ialah memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang seorang manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban (subjek hukum), tentang umur, kecakapan, untuk melakukan perbuatan hukum, tempat tinggal [domisili] dan sebagainya. 2. Hukum Keluarga (Familierecht) ialah memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum yang timbul karena hubungan keluarga/kekeluargaan seperti perkawinan, perceraian, hubungan orangtua dan anak, perwalian, pengampuan (curatele) dan sebagainya. 3. Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht) ialah memuat peraturanperaturan hukum yang mengatur hubungan hukum seseorang dalam lapangan harta kekayaan seperti, perjanjian, hak milik, gadai dan sebagainya. 4. Hukum Waris (Erfrecht) ialah memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang benda atau harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia. Dengan kata lain hukum waris adalah hukum yang mengatur peralihan benda dari orang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.
Bab 5: Hukum Perdata
67
1. Hukum Orang (Personenrecht) Subjek hukum adalah penyandang hak dan kewajiban terdiri dari orang atau manusia (naturlijke person) dan badan hukum (rechts person). Orang atau manusia dianggap sebagai subjek hukum sejak ia mampu menyandang hak dan kewajiban. Berkenaan itu bahwa “anak yang berada di dalam kandungan dianggap sebagai penyandang hak dan dianggap telah ada bilamana kepentingannya menghendaki”. Meskipun setiap orang dianggap menyandang hak, akan tetapi tidak setiap orang mampu melaksanakan haknya, dan tidak setiap orang berwenang melaksanakan haknya itu. Ketidakmampuan melaksanakan hak dan kewajibannya disebabkan oleh beberapa hal, karena akibat kesehatan mentalnya maupun akibat dari usia yang masih belum dewasa. Untuk itulah di dalam hukum perdata dikenal istilah “wenang” (bevoeg) dan “wenang berbuat” (bekwaam). Artinya banyak orang yang punya hak dan berwenang atas sesuatu objek hukum akan tetapi ia tidak mapu melakukan perbuatan hukum atas haknya itu. Ketidakmampuan berbuat hukum itu dikarenakan oleh beberapa sebab yaitu orang-orang yang menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah: a. Orang yang belum dewasa (minderjarige) yaitu mereka yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan (Pasal 1330 BW jo Pasal 47 UU No.1/1974). b. Orang-orang yang berada di bawah pengampuan yaitu orang dewasa yang selalu dalam keadaan dungu, gila, mata gelap dan pemboros (Pasal 1330 BW jo Pasal 433 BW). c. Orang-orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya orang yang dinyatakan pailit (Pasal 1330 BW jo UU Kepailitan).
2. Hukum Keluarga (Familierecht) Hukum Keluarga atau yang dalam bahasa Belanda disebut Familierecht, mengatur persoalan-persoalan: a. Perkawinan; b. Perceraian; 68
Pengantar Hukum Indonesia
c. Kekuasaan orangtua; d. Kedudukan anak; e. Perwalian (voogdij); f.
Pengampuan (curatele).
a. Perkawinan Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun syarat-syarat perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 6 sampai dengan Pasal 11, yaitu: 1) Adanya persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat 1); 2) Adanya izin kedua orangtua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun (Pasal 6 ayat 2 sampai dengan ayat 6); 3) Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan usia calon mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun (Pasal 7 ayat 1); 4) Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan darah/keluarga yang tidak boleh kawin (Pasal 8); 5) Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain (Pasal 9); 6) Bagi suami istri yang telah bercerai, lalu kawin lagi dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka kawin untuk ketiga kalinya (Pasal 10); 7) Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda (Pasal 11). Pemberitahuan (aangifte) akan dilangsungkannya perkawinan oleh calon mempelai baik secara lisan maupun tertulis kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan (Pasal 3 dan 4 PP No. 9/1975). Pengumuman (afkondiging) oleh Pegawai Pencatat dengan menempelkannya pada tempat yang disediakan di Kantor Bab 5: Hukum Perdata
69
Pencatatan Perkawinan. Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan kepada orang yang mempunyai pertalian dengan calon suami/istri itu atau pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan (misalnya kejaksaan) untuk menentang perkawinan itu kalau ada ketentuan UU yang dilanggar. Tata cara perkawinan dilakukan menurut masing-masing hukum agama dan kepercayaan orang yang melangsungkan perkawinan itu. Perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh 2 orang saksi. Sesaat sesudah dilangsungkan perkawinan, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan, maka perkawinan itu telah tercatat secara resmi. Pencegahan perkawinan merupakan hak yang diberikan oleh UU kepada orang-orang tertentu untuk atas dasar-dasar tertentu menyatakan keberatan terhadap dilangsungkannya perkawinan antara orang-orang tertentu. Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitaukannya kepada Pegawai Pencatat perkawinan. Perkawinan dapat dicegah apabila tidak memenuhi syarat materiil baik yang absolut dan salah seorang mempelai di bawah pengampuan. Selain pencegahan perkawinan, dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa “Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Dalam penjelasannya disebutkan pengertian “dapat” pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, yaitu: 1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri; 2) Suami atau istri; 3) Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; 4) Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. Adapun akibat Hukum Perkawinan yaitu adanya Hak dan Kewajiban Suami Istri (Pasal 30-34), diperolehnya Harta Benda dalam Perkawinan 70
Pengantar Hukum Indonesia
(Pasal 35-37), Kedudukan Anak (Pasal 42-44, 55), Hak dan Kewajiban antara orangtua dan anak (Pasal 45-49), serta Perwalian (Pasal 50-54).
b. Perceraian Putusnya Perkawinan menurut Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat disebabkan karena Kematian, Perceraian, dan atas keputusan Pengadilan. Alasan dari sebuah perceraian yaitu berdasarkan ketentuan dalam hukum perkawinan di Indonesia disebabkan karena beberapa hal, yaitu: 1) Perzinaan (overspel); 2) Ditinggalkan dengan sengaja; 3) Menjalani hukuman lebih dari 5 tahun; 4) Penganiayaan berat atau membahayakan jiwa; 5) Cacat badan/penyakit yang menyebabkan tidak mampu memenuhi kewajiban sebagai suami/istri; 6) Pertengkaran terus-menerus dan tidak ada harapan untuk rukun.
c. Kekuasaan Orangtua (Ouderlijke Macht) Menurut ketentuan Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, hanya orangtua yang dapat menjalankan kekuasaan orangtua. Syarat kekuasaan orangtua: 1) belum 18 tahun; 2) belum kawin. Isi/tugas kekuasaan orangtua: 1) mengurus kepentingan diri anak; 2) mengurus harta kekayaan anak. Berakhirnya kekuasaan orangtua: 1) pencabutan, dalam hal lalai dan berkelakuan buruk; 2) pembebasan.
Bab 5: Hukum Perdata
71
d. Kedudukan Anak 1) Anak sah merupakan dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah dalam Pasal 42 UU No. 1 Th. 1974, Pasal. 250 KUHPerdata. 2) Anak luar kawin yang terdiri dari Anak Luar Kawin yang diakui dan Anak Luar Kawin yang tidak diakui. 3) Anak zina merupakan anak yang dilahirkan dari hubungan kelamin di mana salah satu atau keduanya terikat dalam perkawinan yang sah kemudian tidak diakui hukum, tidak mempunyai hak waris. 4) Anak sumbang merupakan anak yang dilahirkan dari hubungan kelamin antara dua orang yang mempunyai hubungan kekerabatan yang terlalu dekat yang tidak diakui hukum dan tidak mempunyai hak waris.
e) Perwalian (Voogdij) Perwalian secara tegas diatur dalam ketentuan Pasal 50 sampai dengan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Adapun syarat perwalian adalah: 1) Belum 18 th. 2) Belum kawin. 3) Tidak berada dalam kekuasaan orangtua. 3 macam perwalian: 1) Bapak/ibu yang hidup terlama. 2) Dengan wasiat. 3) Diangkat oleh hakim. Isi/tugas perwalian: 1) Mengurus kepentingan diri anak. 2) Mengurus harta kekayaan anak. Kekuasaan wali dicabut dalam hal: 1) Lalai. 2) Berkelakuan buruk. 72
Pengantar Hukum Indonesia
3. Hukum Benda (Zakenrecht) Yang dimaksud dengan benda dalam konteks hukum perdata adalah segala sesuatu yang dapat diberikan/diletakkan suatu hak di atasnya, utamanya yang berupa hak milik. Dengan demikian, yang dapat memiliki sesuatu hak tersebut adalah Subjek Hukum, sedangkan sesuatu yang dibebani hak itu adalah Objek Hukum. Benda yang dalam hukum perdata diatur dalam Buku II BW, tidak sama dengan bidang disiplin ilmu fisika, di mana dikatakan bahwa bulan itu adalah benda (angkasa), sedangkan dalam pengertian hukum perdata bulan itu bukan (belum) dapat dikatakan sebagai benda, karena tidak/belum ada yang (dapat) memilikinya. Pengaturan tentang hukum benda dalam Buku II BW ini mempergunakan sistem tertutup, artinya orang tidak diperbolehkan mengadakan hakhak kebendaan selain dari yang telah diatur dalam undang undang ini. Selain itu, hukum benda bersifat memaksa (dwingen recht), artinya harus dipatuhi, tidak boleh disimpangi, termasuk membuat peraturan baru yang menyimpang dari yang telah ditetapkan. Keberadaan pengertian perihal hukum kebendaan atau hukum benda ini sendiri telah dikukuhkan dan diberlakukan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) pada Buku Kedua Bab I pada Bagian Barang pada umumnya yang mengena pada Pasal 499; Pasal 500; Pasal 501; dan 502. Selain itu pada masa kini, selain diatur di Buku II BW I, hukum benda juga diatur dalam: a. Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, di mana diatur hak-hak kebendaan yang berkaitan dengan bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. b. Undang-Undang Merek Nomor 21 Tahun 1961, yang mengatur tentang hak atas penggunaan merek perusahaan dan merek perniagaan. c. Undang-Undang Hak Cipta Nomor 6 Tahun 1982, yang mengatur tentang hak cipta sebagai benda tak berwujud, yang dapat dijadikan objek hak milik. d. Undang-Undang tentang Hak Tanggungan Tahun 1996, yang mengatur tentang hak atas tanah dan bangunan di atasnya sebagai pengganti hipotik dan crediet verband.
Bab 5: Hukum Perdata
73
Lebih lanjut dalam hukum perdata, yang namanya benda itu bukanlah segala sesuatu yang berwujud atau dapat diraba oleh pancaindra saja, melainkan termasuk juga pengertian benda yang tidak berwujud, seperti misalnya kekayaan seseorang. Selain itu terdapat pula perbedaan benda bertubuh dan tidak bertubuh serta benda bergerak yang dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan (habis terpakai). Istilah benda yang dipakai untuk pengertian kekayaan, termasuk di dalamnya tagihan/piutang, atau hak-hak lainnya, misalnya bunga atas deposito. Hal-hal di atas telah diatur dalam Pasal 503 hingga 505 KUHPerdata terangkum dalam Buku ke-2 BW dalam bagian II mengenai pembagian barang atau benda.
a. Macam-macam Hukum Benda Hukum benda bukanlah sekadar dari benda yang dapat dirasakan oleh pancaindra saja, melainkan benda yang memiliki hak dalam kepemilikannya sekaligus yang tidak dapat dirasa oleh pancaindra sekalipun. Berikut merupakan macam-macam benda yang dapat dikatakan sebagai ruang lingkup dalam hukum benda dilihat dari segi sifatnya yaitu:
1. Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak Sifat ini menjadi dua sifat benda yang paling mendasar dalam hukum kebendaan. Benda Tidak Bergerak dapat dibedakan menjadi tiga yaitu: a) Tidak bergerak menurut sifatnya yang tidak dapat dipindah yaitu dengan contoh tanah, termasuk segala sesuatu yang secara langsung atau tidak langsung, karena perbuatan alam atau perbuatan manusia, digabungkan secara erat menjadi satu dengan tanah itu. Jadi, misalnya sebidang pekarangan, beserta dengan apa yang terdapat di dalam tanah itu dan segala apa yang dibangun di situ secara tetap (rumah) dan yang ditanam di situ (pohon), terhitung buah-buahan di pohon yang belum diambil. Diatur dalam KUHPerdata Bagian 4 tentang Benda Tak Bergerak pada Pasal 506. b) Tidak bergerak karena tujuan pemakaiannya, ialah segala apa yang meskipun tidak secara sungguh-sungguh digabungkan dengan tanah atau bangunan, dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan itu untuk waktu yang agak lama, yaitu misalnya mesin-mesin dalam
74
Pengantar Hukum Indonesia
suatu pabrik. yang telah diatur dalam KUHPerdata Bagian 4 tentang barang tak bergerak Pasal 507. c) Selanjutnya, ialah tidak bergerak karena memang demikian ditentukan oleh undang-undang, segala hak atau penagihan yang mengenai suatu benda yang tidak bergerak. Telah diatur sedemikian rupa dalam Pasal 509 KUHPerdata Buku Ke-2 Bagian 4 tentang barang tak bergerak. Sedangkan benda bergerak ialah barang yang mampu bergerak atau dapat dipindahkan dari tempat satu ke tempat yang lain menurut sifatnya, dengan contoh ayam, bebek dan lainnya serta perahu, kapal, kincir dan kendaraan bermotor yang dapat dipindahkan tidak terlepas dari hal seperti itu. Hal ini telah diatur dalam KUHPerdata Buku Ke-2 Bagian 4 mengenai benda bergerak, Pasal 509-510 dan Pasal 512-518 yang mengatur dalam aksesoris rumah atau kantor yang dapat dipindahkan dari tempat satu ke tempat yang lain. Menurut ketentuan undang-undang yang dimaksud dengan bergerak ialah a. Hak pakai hasil dan hak pakai atas benda-benda bergerak; b. Hak atas bunga-bunga yang diperjanjikan; c. Penagihanpenagihan atau piutang-piutang; d. Saham-saham atau andil-andil dalam persekutuan dagang, dan lain-lain. Ketentuan-ketentuan ini telah diatur dalam Pasal 511 dan 512 KUHPerdata Buku Ke-2 Bagian 4 mengenai benda bergerak. Manfaat pembedaan benda bergerak dan benda tidak bergerak akan terlihat dalam hal cara penyerahan benda tersebut, cara meletakkan jaminan di atas benda tersebut, dan beberapa hal lainnya. maksud 2. Benda Berwujud dan Benda Tidak Berwujud kalimat Benda berwujud adalah kebendaan atau benda yang dapat dilihat ini apa ya pak??? dengan mata dan diraba. Sistem penyerahan kebendaan ini tergolong
bergerak dari satu orang ke orang lain. Dikatakan benda berwujud karena merupakan hasil alam yang diatur mengkhusus pada Pasal 500 KUHPerdata yang timbul dari: a. tumbuh timbul dari tanah atau natuurlijke vruchten (Pasal 502 ayat 1) b. hasil dari usaha sendiri, seperti buah-buahan yang berasal dari pohon atau dilahirkan oleh binatang-binatang, seperti telur, susu sapi, milik sendiri atau 2). Hasil pekerjaan atau kerajinan dan hasil dari binatang-binatang yang melahirkan keturunannya, yang diatur dalam Pasal 502 ayat 2 KUHPerdata. Bab 5: Hukum Perdata
75
Benda Tidak Berwujud merupakan benda yang timbul dari suatu hubungan. Benda tidak berwujud dalam hukum tertentu atau hasil perdata (burgerlijke vruchten) yang terdiri utang-piutang (penagihan-penagihan/ vordering) yang belum dapat ditagih (diatur dalam Pasal 501 KUHPerdata), berupa piutang atas nama (aan naam), piutang atas bawa (aan tonder) atau piutang atas unjuk (aan order); Penagihan-penagihan lainnya (Pasal 502 ayat 2 KUHPerdata) berupa uang sewa, uang upeti, uang angsuran, atau uang bunga. Selain itu ada beberapa benda yang tidak berwujud beserta hukum yang mengaturnya yaitu Hak Cipta, diatur dalam Lembaran Negara Tahun 1912 Nomor 600; Hak Oktroi, diatur dalam Lembaran Negara Tahun 1922 Nomor 52; dan Hak Merek, diatur dalam Lembaran Negara Tahun 1912 Nomor 545. Arti penting pembedaan ini adalah pada saat proses pemindah tangan benda tersebut. Jika benda itu dapat bergerak dan berwujud maka pemindahannya harus secara nyata dari tangan ke tangan. Dan apabila benda tersebut berwujud dan tidak bergerak, maka pemindah tanganannya harus dilakukan dengan balik nama. Sedangkan penyerahan benda tidak berwujud dalam bentuk berbagai piutang. Piutang atas nama (op naam) dengan cara Cessie yaitu dilakukan dengan piutang atas tunjuk (an toonder) dengan cara penyerahan surat dokumen Piutang atas pengganti (yang bersangkutan dari tangan ke tangan order) dengan cara endosemen serta penyerahan dokumen yang bersangkutan dari tangan ke tangan.
b. Kekuasaan Hukum akan Benda (Bezit) Bezit berasal dari kata zitten yang berarti menduduki. Dari itu bezit diartikan dengan kedudukan berkuasa atau hak menguasai atas suatu kebendaan Menurut 529 BW, Bezit diterjemahkan dengan kedudukan berkuasa, yaitu kedudukan seseorang yang menguasai suatu kebendaan, baik dengan diri sendiri maupun dengan perantaraan orang lain, dan yang mempertahankan atau menikmatinya selaku orang yang memiliki kebendaan itu (Pasal 529 BW). Menurut Prof. Subekti, S.H. Bezit ialah suatu keadaan lahir, di mana seorang menguasai suatu benda seolah-olah kepunyaannya sendiri, yang oleh hukum dilindungi dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda itu sebenarnya ada pada siapa. Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchoen
76
Pengantar Hukum Indonesia
Sofwan, S.H. dengan mengacu pada Pasal 529 BW, maka bezit ialah keadaan memegang atau menikmati sesuatu benda di mana seseorang menguasainya baik sendiri ataupun dengan perantaraan orang lain, seolah-olah itu adalah kepunyaannya sendiri. C.S.T Kansil. Bezit ialah menguasai atau mengambil manfaat atas suatu benda yang langsung atau tidak langsung, dengan perantaraan orang lain yang di bawah kekuatannya untuk bertindak seolah-olah benda itu kepunyaannya. Ada pula yang mengatakan bahwa Bezit ialah suatu keadaan lahir, di mana seorang menguasai suatu benda seolah-olah kepunyaannya sendiri, yang oleh hukum dilindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda itu sebenarnya ada pada siapa. Untuk bezit diharuskan adanya dua anasir, yaitu kekuasaan atas suatu benda dan kemauan untuk memiliki benda tersebut. Berdasarkan para pendapat di atas maka istilah “seolah-olah” kepunyaannya, menunjukkan bahwa benda tersebut bukanlah haknya sendiri. Tetapi walaupun benda itu bukan haknya sendiri, ia mendapat kekuatan yang dilindungi untuk menguasai, bahkan dapat mengambil manfaatnya benda tersebut, seperti bendanya sendiri. Fungsi dan hak yang timbul dari keberlakuan Bezit atau kekuasaan terhadap suatu benda yang bukan hak milik di antaranya. Bezit mempunyai 2 macam fungsi yaitu sebagai berikut. 1) Fungsi polisionil adalah bahwa bezit itu mendapat perlindungan hukum, tanpa mempersoalkan siapa sebenarnya pemilik sejati benda itu. Siapa pun yang mem-bezit benda, meskipun dia pencuri, ia mendapat perlindungan hukum, sampai terbukti di depan pengadilan bahwa ia sebenarnya tidak berhak. 2) Fungsi zakenrechtelijk adalah bahwa setelah bezit itu berjalan beberapa waktu tanpa adanya protes dari pemilik yang sebelumnya, bezit itu berubah menjadi eigendom. Hak- hak atas kebendaan yang dikuasai bezitter yang te goeder trouw didapatkan menurut ketentuan dalam Pasal 548 KUHPerdata yaitu sebagai berikut. 1. Bezitter yang bersangkutan tetap dianggap sebagai pemilik kebendaan untuk sementara waktu sampai pada saat kebendaan itu dituntut kembali di muka hakim pengadilan.
Bab 5: Hukum Perdata
77
2. Bezitter yang bersangkutan dapat memperoleh hak milik atas kebendaan itu karena lampau waktu. 3. Bezitter yang bersangkutan tetap berhak menikmati segala hasilnya dari kebendaan itu sampai pada saat penuntutan kembali akan kebendaannya di muka hakim pengadilan. 4. Kedudukannya sebagai bezitter tetap harus dipertahankan atau dipulihkan bilamana saat mendudukinya mendapatkan gangguan dalam memangkunya atau kehilangan kedudukannya. Demikian pula bezitter yang te kwader trouw mendapatkan perlindungan dari hukum, namun perlindungan hukum tidak seperti bezitter yang te goeder trouw. Sesuai dengan ketentuan Pasal 549 KUHPerdata, yaitu sebagai berikut. 1. Bezitter yang bersangkutan tetap dianggap sebagai pemilik kebendaan untuk sementara waktu sampai pada saat kebendaan itu dituntut kembali di muka hakim pengadilan. 2. Bezitter yang bersangkutan tetap dapat menikmati segala hasil dari kebendaan yang dikuasainya, namun dengan kewajiban untuk mengembalikannya kepada yang berhak. 3. Kedudukannya sebagai bezitter tetap harus dipertahankan dan dipulihkan dalam kedudukannya bilamana pada waktu mendudukinya mendapatkan gangguan atau kehilangan kedudukannya Pada ketentuan Pasal 548 dan Pasal 549 KUHPerdata dapat diketahui, bahwa bilamana terdapat gangguan-gangguan atas bezitnya, maka seseorang pemegang bezit dapat mengajukan gugatan di muka hakim pengadilan, yang dinamakan dengan gugat bezit. Gugat bezit hanya diperuntukkan terhadap gangguan gangguan atas bezit itu sendiri, di mana tidak meliputi karena kecurian, sehingga hakim pengadilan dapat menghentikan gangguangangguan atas bezit dan sekaligus mempertahankan kedudukan bezitter dalam kedudukannya semula serta memberikan penggantian kerugian. Jika dikaitkan dengan jenis kebendaan yang dikuasai, dibedakan atas dua macam: Pertama, bezit benda ialah bezit mengenai benda-benda yang berwujud. Kedua, bezit hak ialah bezit mengenai benda-benda yang tidak berwujud ataupun hak. Dan apabila dikaitkan dengan pemegangnya, bezit
78
Pengantar Hukum Indonesia
dibedakan atas dua macam, pertama, bezit yang diperoleh dengan cara jujur, yang melahirkan bezitter te goeder trouw. Pada Pasal 531 bahwa bezit adalah to goeder trouw, bilamana bezitter memperoleh suatu kebendaannya di antara cara untuk memperoleh hak milik, di mana dia tidak mengetahui hal akan cacat yang terkandung di dalamnya. Artinya bezitter yang jujur adalah bezitter yang memang menyangka dirinya adalah pemilik yang sesungguhnya atas kebendaan yang dikuasai atau didudukinya tersebut. Kedua, bezit yang diperoleh secara tidak jujur yang melahirkan bezitter te kwader trouw. Pada Pasal 532 bahwa bezit adalah te kwarder trouw bilamana bezitter mengetahui bahwa dirinya bukan pemilik yang sesungguhnya atas kebendaan yang dikuasai atau didudukinya itu, tetapi tetap dikuasai atau didudukinya. Artinya bezitter yang tidak jujur atau beriktikad buruk adalah bezitter yang memang mengetahui bahwa dirinya bukan pemilik sejati atas kebendaan yang dikuasainya itu, melainkan kebendaannya itu milik orang lain. Perolehan bezit atas sesuatu kebendaan terjadi dengan cara: a. Melakukan “suatu perbuatan menarik atau menempatkan”, artinya adanya tindakan aktif yang dapat dilakukan oleh diri sendiri maupun dilakukan dengan perantaraan orang lain untuk dan atas nama; b. Yang di tempatkan itu adalah “suatu kebendaan”, yang dapat meliputi kebendaan bergerak dan kebendaan tidak bergerak. Kebendaan bergerak dimaksud meliputi benda yang sudah ada pemiliknya atau benda yang belum ada pemiliknya; c. Kebendaan yang ditarik tersebut haruslah “berada dalam kekuasaan” daripada bezitter, artinya menunjukkan keharusan adanya hubungan langsung antara orang yang menguasai dengan benda yang dikuasai; d. Terdapatnya niat untuk “menguasai atau mempertahankan untuk diri sendiri”, yang menunjukkan adanya animus, yaitu kehendak menguasai kebendaan itu untuk memiliknya sendiri. Bezit akan berakhir karena hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 543, 544, 545, 546 dan 547 KUHPerdata yaitu sebagai berikut. 1). Karena bendanya diserahkan sendiri oleh bezitter kepada orang lain.
Bab 5: Hukum Perdata
79
2) Karena bendanya diambil oleh orang lain dari kekuasaan bezitter dan kemudian selama satu tahun menikmatinya tidak ada gangguan apa pun juga; 3) Karena bendanya telah dibuang (dihilangkan) oleh bezitter; 4) Karena bendanya tidak diketahui lagi di mana adanya; 5) Karena bendanya musnah oleh sebab peristiwa yang luar biasa atau karena alam.
c. Hak Kepemilikan Benda (Hak Milik) Dalam Buku II KUHPerdata Pasal 570 s.d. Pasal 624 dan diatur juga dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disingkat menjadi UUPA). Pengertian hak milik menurut ketentuan KUHPerdata adalah hak untuk menikmati kegunaan suatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak mengganggu hak orang lain (Pasal 570 KUHPerdata). Pengertian hak milik dalam Pasal 570 adalah dalam arti luas, karena benda yang dapat menjadi objek hak milik, tidak hanya benda tidak bergerak, tetapi juga benda bergerak. Lain halnya dengan rumusan yang tercantum dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, di mana dalam rumusannya itu hanya mengenai benda tidak bergerak, khususnya atas tanah. Adapun ciri-ciri yang dimiliki oleh hak milik di antaranya sebagai berikut. 1) Hak milik merupakan hak pokok terhadap hak-hak kebendaan lain yang bersifat terbatas, sebab dari hak milik itu dapat lahir sejumlah hak-hak yang lain; 2) Hak milik merupakan hak yang paling sempurna; 3) Bersifat tetap artinya tidak dapat hilang karena adanya hak-hak lain yang timbul di atas hak milik itu; 4) Merupakan inti dari hak-hak kebendaan yang lain.
80
Pengantar Hukum Indonesia
Mengenai cara memperoleh hak milik dalam BW diatur dalam Pasal 584 yang menyebutkan secara limitatif bagaimana cara-cara memperoleh hak milik, seakan-akan tidak ada cara lain untuk memperoleh hak milik tersebut di luar Pasal 584. Padahal macam-macam cara memperoleh hak milik yang disebutkan dalam Pasal 584 BW tersebut hanyalah sebagian saja, dan masih ada cara-cara lain yang tidak disebut Pasal 584 BW. Cara memperoleh hak milik yang disebutkan dalam Pasal 584 BW: 1) Pengambilan (toegening atau occupatio)
Yaitu cara memperoleh hak milik dengan mengambil benda-benda bergerak yang sebelumnya tidak ada pemiliknya (res nullius), seperti binatang di hutan, ikan di sungai, dan sebagainya.
2) Penarikan oleh benda lain (natrekking atau accessio)
Yaitu cara memperoleh hak milik di mana benda (pokok) yang dimiliki sebelumnya karena alam bertambah besar atau bertambah banyak. Misalnya pohon yang berbuah.
3) Lewat waktu/daluarsa (verjaring)
Yaitu cara memperoleh hak milik karena lampaunya waktu 20 tahun dalam hal ada alas hak yang sah atau 30 tahun dalam hal tidak ada alas hak. Lewat waktu ini diatur dalam Pasal 610 BW dan pasal-pasal Buku IV BW tentang pembuktian dan daluarsa.
4. Hukum Perikatan Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “verbintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual-beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi “akibat hukum”. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum. Bab 5: Hukum Perdata
81
Jika dirumuskan, perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi (personal law). Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
a. Macam-macam Hukum Perikatan Selayaknya hukum benda yang memiliki macam-macam hukum benda. Hukum perikatan juga memiliki macam-macam perikatan, yang dibagi menurut dengan ilmu yang dikaji, di antaranya: 1) Perikatan bersyarat (voorwaardelijk)
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau terjadi. Mungkin untuk memperjanjikan bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu timbul itu. Suatu perjanjian yang demikian itu, menggantungkan adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertangguhkan (opschortende voorwaarde). Menurut Pasal 1253 KUHPerdata tentang perikatan bersyarat “suatu perikatan adalah bersyarat manakala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut”.
2) Perikatan Dengan ketetapan Waktu (tidjsbepaling)
82
Maksud syarat “ketetapan waktu” ialah bahwa pelaksanaan perikatan itu digantungkan pada waktu yang ditetapkan. Waktu yang ditetapkan
Pengantar Hukum Indonesia
itu adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan terjadinya sudah pasti, atau berupa tanggal yang sudah tetap.
Menurut KUHPerdata Pasal 1268 tentang perikatan-perikatan ketetapan waktu, berbunyi “suatu ketetapan waktu tidak, menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaanya”. Pasal ini menegaskan bahwa ketetapan waktu tidak menangguhkan lahirnya perikatan, tetapi hanya menangguhkan pelaksanaanya. Ini berarti bahwa perjajian dengan waktu ini pada dasarnya perikatan telah lahir, hanya saja pelaksanaanya yang tertunda sampai waktu yang ditentukan.
Perbedaan antara suatu syarat dengan ketetapan waktu ialah yang pertama, berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana. Sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun belum dapat ditentukan kapan datangnya. Misalnya meninggalnya seseorang. Contoh-contoh suatu perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu, banyak sekali dalam praktik seperti perjanjian perburuhan, suatu utang wesel yang dapat ditagih suatu waktu setelahnya dipertunjukan dan lain sebagainya.
3) Perikatan mana suka (alternatif)
Pada perikatan mana suka objek prestasinya ada dua macam benda. Dikatakan perikatan mana suka karena debitur boleh memenuhi prestasi dengan memilih salah satu dari dua benda yang dijadikan objek perikatan. Namun, debitur tidak dapat memaksakan kreditur untuk menerima sebagian benda yang satu dan sebagian benda yang lainnya. Jika debitur telah memenuhi salah satu dari dua benda yang ditentukan dalam perikatan, dia dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak milik prestasi itu ada pada debitur jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada kreditur.
Menurut Pasal 1272 KUHPerdata mengenai perikatan-perikatan mana suka (alternatif) berbunyi, “tentang perikatan-perikatan mana suka debitur dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perikatan, tetapi ia tidak dapat memaksa kreditur untuk menerima kreditur untuk sebagian dari barang yang satu dan sebagian dari barang yang lainnya”. Dalam perikatan alternatif ini debitur dinyatakan bebas jika telah menyerahkan salah satu dari dua atau lebih barang yang Bab 5: Hukum Perdata
83
dijadikan alternatif pembayaran. Walaupun demikian, debitur tidak dapat memaksakan kepada kreditur untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian barang lainnya. Jadi, debitur tidak dapat memaksa kreditur untuk menerima seekor sapi dan seekor kerbau. 4) Perikatan tanggung-menanggung atau tanggung renteng (hoofdelijk atau solidair)
Ini adalah suatu perikatan di mana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berutang berhadapan dengan satu orang yang mengutangkan atau sebaliknya. Beberapa orang bersama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam yang belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam praktik. Beberapa orang yang bersama-sama menghadapi orang berpiutang atau penagih utang, masing-masing dapat dituntut untuk membayar utang itu seluruhnya. Tetapi jika salah satu membayar, maka pembayaran ini juga membebaskan semua teman-teman yang berutang. Itulah yang dimaksud suatu perikatan tanggung-menanggung.
5) Perikatan yang dapat dibagi dan perikatan yang tidak dapat dibagi
Suatu perikatan dapat dikatakan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi jika benda yang menjadi objek perikatan dapat atau tidak dapat dibagi menurut imbangan lagi pula pembagian itu tidak boleh mengurangi hakikat dari prestasi tersebut. Jadi, sifat dapat atau tidak dapat dibagi itu berdasarkan pada: a. Sifat benda yang menjadi objek perikatan b. Maksud perikatannya, apakah itu dapat atau tidak dapat dibagi.
Persoalan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi itu mempunyai arti apabila dalam perikatan itu terdapat lebih dari seorang debitor atau lebih dari sorang kreditur. Jika hanya seorang kreditur perikatan itu dianggap sebagai tidak dapat dibagi.
6) Perikatan dengan penetapan hukuman (strabeding)
84
Untuk mencegah jangan sampai si berutang dengan mudah saja melaikan kewajibannya dalam praktik banyak dipakai perjanjian di mana si berutang dikenakan suatu hukuman apabila ia tidak menepati janjinya. Hukuman itu, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang Pengantar Hukum Indonesia
tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu. Menurut Pasal 1304 tentang mengenai perikatanperikatan dengan ancaman hukuman, berbunyi “anman hukuman adalah suatu ketentuan sedemikian rupa dengan mana seorang untuk imbalan jaminan pelaksanaan suatu perikatan diwajibkan melakukan sesuatu manakala perikatan itu tidak dipenuhi”. Ketentuan di atas sebenarnya merupakan pendorong bagi debitur untuk memenuhi perikatannya karena apabila ia lalai dalam melaksanakannya dia dikenai suatu hukuman tertentu, yang tentu saja akan membawa kerugian baginya karena dengan hukuman tersebut kewajiban akan semakin besar.
b. Hapusnya Hukum Perikatan Dalam Pasal 1381 KUHPerdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan. Cara-cara hapusnya perikatan itu adalah sebagai berikut: 1) Pembayaran
Nama “Pembayaran” dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara suka rela. Pembayaran harus dilakukan kepada si berpiutang (kreditur) atau kepada seseorang yang dikuasakan olehnya atau juga kepada seorang yang dikuasakan hakim atau oleh UU untuk menerima pemabayaran bagi si berpiutang. Mengenai tempatnya pembayaran, Pasal 1393 KUHPerdata menerangkan sebagai berikut: “Pembayaran harus dilakukan di tempat yang ditetapkan dalam perjanjian, jika dalam perjanjian tidak ditetapkan suatu tempat, maka pembayaran yang mengenai suatu barang tertentu harus dilakukan di tempat di mana barang itu sewaktu perjanjian dibuat”.
2) Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Penyimpanan Atau Penitipan
Ini adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran. Caranya sebagai berikut: barang atau uang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang Notaris atau seorang juru sita pengadilan. Notaris atau juru sita membuat suatu perincian dari barang atau uang yang akan dibayarkan dan pergi ke tempat tinggal kreditur untuk membayar utangnya debitur terebut dengan menyerahkan barang atau uang Bab 5: Hukum Perdata
85
yang telah terperinci. Notaris sudah menyediakan suatu proses verbal. Apabila kreditur suka menerima barang atau uang yang ditawarkan maka selesailah perkara pembayaran tersebut. Apabila menolak Notaris akan mempersilahkan kreditur menandatangani proses verbal tersebut, dengan demikian terdapatlah suatu bukti resmi bahwa si berpiutang telah menolak pembayaran. Langkah berikutnya ialah: si berutang (debitur) di muka pengadilan negeri dengan permohonan kepada pengadilan mengesahkan penawaran pembayaran yang telah dilakukan itu. Setelah disahkan maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu disimpan atau dititipkan kepada panitera Pengadilan Negeri atas tanggungan atau risiko si berutang dengan demikian terhapuslah utang-piutang itu. 3) Pembaruan Utang Atau Novasi
Menurut Pasal 1413 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada tiga macam jalan untuk melaksanakan suatu pembaruan utang atau novasi yaitu: a) Apabila seorang yang berutang mebuat suatu perikatan utang baru guna orang yang akan mengutangkan kepadanya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya. Novasi ini dinamakan novasi objektif karena yang diperbaharui adalah objeknya perjanjian. b) Apabila seorang berutang baru ditunjuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya. Novasi ini dinamakan subjektif pasif karena yang diperbaharui adalah subjeknya debitur. c) Apabila sebagai akibat dari suatu perjanjian baru kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur yang lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya. Novasi ini dinamakan subjektif akhir karena yang diperbaharui adalah subjeknya kreditur.
4) Perjumpaan Utang atau Kompensasi
86
Ini adalah suatu cara penghapusan utang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang-piutang secara timbal-balik kreditur dan debitur. Jika dua orang saling berutang maka terjadilah antara
Pengantar Hukum Indonesia
mereka satu perjumpaan dengan mana antara kedua orang tersebut dihapuskan. Diterangkan Pasal 1424 KUHPerdata bahwa perjumpaan itu terjadi demi hukum, bahkan dengan setidak tahunya orang yang bersangkutan dan kedua utang itu yang satu menghapuskan yang lain dan sebaliknya pada saat utang itu bersama-sama ada, timbal-balik untuk suatu jumlah yang sama. Agar dua utang dapat diperjumpakan maka perlulah bahwa dua utang itu seketika dapat ditetapkan besarnya atau jumlahnya dan seketika dapat ditagih. 5) Percampuran Utang
Apabila kedudukan sebagai orang berutang (kreditur) dan orang yang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu bercampuran utang dengan mana utang piutang itu dihapuskan. Percampuran utang yang terjadi pada dirinya si berutang utama berlaku juga untuk keuntungan para Penanggung utangnya (borg) sebaliknya percampuran yang terjadi pada seorang Penanggung utang (borg) tidak sekali-kali mengakibatkan hapusnya utang pokok.
6) Pembebasan Utang
Teranglah bahwa apabila si berpiutang dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari si berutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka perikatan yaitu hubungan utang-piutang hapus, perikatan ini hapus karena pembebasan. Pembebasan sesuatu utang tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. Penggembalian sepucuk tanda piutang suka rela oleh si berpiutang kepada si berutang merupakan suatu bukti tentang pembebasan utangnya.
7) Musnahnya Barang Yang Terutang
Jika barang tertentu yang menjadi objek dari perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan atau hilang hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada maka hapuslah perikatannya asal barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
8) Kebatalan/Pembatalan
Yang diatur Pasal 1446 KUHPerdata adalah pembatalan perjanjianperjanjian yang dapat dimintakan pembatalan (vernietigbaar atau Bab 5: Hukum Perdata
87
voidable). Meminta pembatalan perjanjian yang kekurangan syarat subjektifnya itu dapat dilakukan dengan dua cara: pertama, secara aktif menurut pembatalan perjanjian yang demikian itu di muka hakim. Kedua, secara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat di muka hakim untuk memenuhi perjanjian dan di sanalah baru mengajukan tentang kekurangan perjanjian itu. 9) Berlakunya Suatu Syarat Batal
Dalam hukum perjanjian pada asasnya syarat batal selamanya berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjiannya dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula seolaholah tidak pernah ada suatu perjanjian, demikianlah Pasal 1265 KUHPerdata. Dengan demikian maka syarat batal itu mewajibkan si berutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi.
10) Lewatnya Waktu
Menurut Pasal 1946 KUHPerdata, yang dinamakan “daluarsa” atau “lewat waktu” ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat yang ditentukan oleh UU. Dengan lewatnya waktu tersebut hapuslah setiap perikatan hukum dan tinggallah pada suatu “perikatan bebas” artinya kalau dibayar boleh tetapi tidak dapat dituntut di muka hakim.
5. Hukum Pembuktian dan Daluarsa Pembuktian merupakan bagian yang sangat penting dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana. Tujuan pemeriksaan perkara pidana adalah untuk menemukan suatu kebenaran materiil, kebenaran yang dikatakan dengan logika hukum. Pembuktian adalah salah satu cara untuk meyakinkan hakim agar ia dapat menemukan dan menetapkan terwujudnya kebenaran yang sesungguhnya ada dalam putusannya, bila hasil pembuktian dengan menggunakan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang ternyata tidak cukup untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada Terdakwa, maka Terdakwa harus dibebaskan dari
88
Pengantar Hukum Indonesia
dakwaan, sebaliknya kalau kesalahan Terdakwa dapat dibuktikan (dengan alat-alat bukti yang disebut dalam undang-undang yakni dalam Pasal 184 KUHAP) maka harus dinyatakan bersalah dan dihukum. Masalah beban pembuktian merupakan salah satu bagian hal pokok yang berkaitan dengan pembuktian di samping hal pokok yang lainnya, yaitu alat-alat pembuktian (bewijsmiddelen), penguraian pembuktian (bewijsvoering), kekuatan pembuktian (bewijskracht), dan dasar pembuktian (bewijsgrond). Dari pengalaman selama ini ternyata dalam pemeriksaan khusus berindikasi Tindak Pidana Korupsi banyak mengalami kesulitan dalam pembuktian hal ini menunjukkan bahwa salah satu tujuan pemberlakuan undang-undang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum tercapai yang penyebabnya adalah sama dengan penyebab 30 tahun yang lalu (UU No.24/Prp/1960 juga Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971) yaitu kesulitan dalam pembuktian. Jadi dapat disimpulkan pembuktian merupakan suatu kegiatan atau perilaku pembenaran diri yang diajukan disertai dengan keberadaan buktibukti yang ada sehingga memperkuat sanggahan dan dapat diyakini pula keberadaannya. Daluwarsa ialah suatu sarana hukum untuk memperoleh sesuatu atau suatu alasan untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya waktu tertentu dan dengan terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang. Seseorang tidak boleh melepaskan daluwarsa sebelum tiba waktunya, tetapi boleh melepaskan suatu daluwarsa yang telah diperolehnya. Pelepasan daluwarsa dapat dilakukan secara tegas atau secara diam-diam. Pelepasan secara diam-diam disimpulkan dari suatu perbuatan yang menimbulkan dugaan bahwa seseorang tak hendak menggunakan suatu hak yang telah diperolehnya. Barangsiapa tidak diperbolehkan memindahtangankan sesuatu juga tidak boleh melepaskan daluwarsa yang diperolehnya. Hakim, karena jabatannya, tidak boleh mempergunakan daluwarsa. Pada setiap tingkat pemeriksaan perkara, dapat diajukan adanya daluwarsa, bahkan pada tingkat banding pun. Kreditur atau orang lain yang berkepentingan dapat melawan pelepasan daluwarsa yang dilakukan oleh debitur yang secara curang bermaksud mengurangi hak kreditur atau orang yang lain tersebut. Seseorang tidak dapat menggunakan daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas barang-barang yang tidak beredar dalam perdagangan. Bab 5: Hukum Perdata
89
Untuk memperoleh hak milik atas sesuatu dengan upaya daluwarsa, seseorang harus bertindak sebagai pemilik sesuatu itu dengan menguasainya secara terus-menerus dan tidak terputus-putus, secara terbuka di hadapan umum dan secara tegas. Perbuatan memaksa, perbuatan sewenang-wenang, atau perbuatan membiarkan begitu saja tidaklah menimbulkan suatu bezit yang dapat membuahkan daluwarsa. Seseorang yang sekarang menguasai suatu barang, yang membuktikan bahwa ia menguasai sejak dulu, dianggap juga telah menguasainya selama selang waktu antara dulu dan sekarang, tanpa mengurangi pembuktian hal yang sebaliknya. Untuk memenuhi waktu yang diperlukan untuk daluwarsa, dapatlah seseorang menambah waktu selama ia berkuasa dengan waktu selama berkuasanya orang yang lebih dahulu berkuasa dari siapa ia telah memperoleh barangnya, tak peduli bagaimana ia menggantikan orang itu, baik dengan alas hak umum maupun dengan alas hak khusus, baik dengan cuma-cuma maupun atas beban. Orang yang menguasai suatu barang untuk orang lain, begitu pula ahli warisnya, sekali-kali tidak dapat memperoleh sesuatu dengan jalan daluwarsa, berapa lama pun waktu yang telah lewat. Demikian pula seorang penyewa, seorang penyimpan, seorang penikmat hasil, dan semua orang lain yang memegang suatu barang berdasarkan suatu persetujuan dengan pemiliknya tak dapat memperoleh barang itu. Mereka dapat memperoleh hak milik dengan jalan daluwarsa, jika alas hak bezit mereka telah berganti, baik karena suatu sebab yang berasal dari pihak ketiga maupun karena pembantahan yang mereka lakukan terhadap hak milik. Mereka yang telah menerima suatu barang yang diserahkan dengan alas hak yang dapat memindahkan hak milik oleh penyewa, penyimpan, dan orang-orang lain yang menguasai barang itu berdasarkan suatu persetujuan dengan pemiliknya dapat memperoleh barang tersebut dengan jalan daluwarsa. Daluwarsa dihitung menurut hari, bukan menurut jam. Daluwarsa itu diperoleh bila hari terakhir dari jangka waktu yang diperlukan telah lewat. Daluarsa dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1967-1977. Daluwarsa berlaku terhadap siapa saja, kecuali terhadap mereka yang dikecualikan oleh undang-undang. Daluwarsa tidak dapat mulai berlaku atau berlangsung terhadap anak-anak yang belum dewasa dan orang-orang yang ada di bawah pengampuan, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang. Daluwarsa tidak dapat terjadi di antara suami-istri. Hal
90
Pengantar Hukum Indonesia
ini diatur dalam KUHPerdata Pasal 1986-1992 mengenai penangguhan lewat waktu atau daluwarsa. Daluwarsa dicegah bila pemanfaatan barang itu dirampas selama lebih dari satu tahun dari tangan orang yang menguasainya, baik oleh pemiliknya semula maupun oleh pihak ketiga. Daluwarsa itu dicegah pula oleh suatu peringatan, suatu gugatan, dan tiap perbuatan-perbuatan berupa tuntutan hukum, masing-masing dengan pemberitahuan dalam bentuk yang telah ditentukan, ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dalam hal itu atas nama pihak yang berhak, dan disampaikan kepada orang yang berhak dicegah memperoleh daluwarsa itu. Gugatan di muka hakim yang tidak berkuasa, juga mencegah daluwarsa. Namun daluwarsa tidak dicegah bila peringatan atau gugatan dicabut atau dinyatakan batal, entah karena Penggugat menggugurkan tuntutannya, entah karena tuntutan itu dinyatakan gugur akibat daluwarsanya. Pengakuan akan hak seseorang yang terhadapnya daluwarsa berjalan, yang diberikan dengan kata-kata atau dengan perbuatan oleh orang yang menguasainya atau debitur juga mencegah daluwarsa. Diperkukuh pada KHUPerdata Pasal 1978-1985 mengenai pencegahan lewat waktu atau daluwarsa. Pemberitahuan kepada salah seorang debitur dalam perikatan tanggung-menanggung, atau pengakuan orang tersebut, mencegah daluwarsa terhadap para debitur lain, bahkan terhadap para ahli waris mereka pula. Pemberitahuan kepada ahli waris salah seorang debitur dalam perikatan tanggung-menanggung, atau pengakuan ahli waris tersebut tidaklah mencegah daluwarsa terhadap para ahli waris debitur lainnya, bahkan juga dalam hal suatu utang hipotek, kecuali untuk bagian ahli waris tersebut. Dengan pemberitahuan atau pengakuan itu maka daluwarsa terhadap para debitur lain tidak dicegah lebih lanjut, kecuali untuk bagian ahli waris tersebut. Untuk mencegah daluwarsa seluruh utang terhadap para debitur lainnya, perlu ada suatu pemberitahuan kepada semua ahli waris atau suatu pengakuan dari semua ahli waris itu. Pemberitahuan yang dilakukan kepada debitur utama atau pengakuan yang diberikan oleh debitur utama mencegah daluwarsa terhadap Penanggung utang. Pencegahan daluwarsa yang dilakukan oleh salah seorang kreditur dalam suatu perikatan tanggung-menanggung berlaku bagi semua kreditur lainnya.
Bab 5: Hukum Perdata
91
BAB 6 HUKUM PIDANA
A. Pendahuluan Hukum pidana sebagai aturan hukum yang mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum pada dasarnya memiliki beberapa pengertian sebagaimana dikemukakan oleh para ahli. Istilah “hukum pidana” mulai dipergunakan pada zaman pendudukan Jepang untuk pengertian strafrecht dari bahasa Belanda, dan untuk membedakannya dari istilah “hukum perdata” untuk pengertian burgerlijk recht atau privaatrecht dari bahasa Belanda (Prodjodikoro, 2014: 2). Melalui berbagai pengertian tentang hukum pidana, dapat dirumuskan tujuan dibentuknya hukum pidana bagi kepentingan umum. Berlakunya hukum pidana di Indonesia mengalami sejarah panjang yang dimulai sejak masa sebelum Belanda datang ke Indonesia. Selanjutnya perkembangan hukum pidana di Indonesia berlanjut pada masa kolonial Belanda, di mana hukum pidana Belanda diberlakukan juga di Indonesia (Hindia Belanda) berdasarkan asas konkordansi. Perkembangan hukum pidana yang sebagian besar mengadopsi aturan hukum pidana Belanda terus berlanjut hingga masa setelah kemerdekaan. Kondisi demikian didukung oleh berbagai aturan hukum yang menjadi dasar berlakunya hukum pidana di Indonesia baik yang dibentuk pada masa penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, hingga masa kemerdekaan.
93
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai berbagai sumber hukum yang melandasi berlakunya hukum pidana di Indonesia. Penerapan hukum pidana tidak dapat dilepaskan dari berbagai asas yang menyebabkan efektivitas berlakunya hukum pidana. Melalui asas-asas dalam hukum pidana dapat ditentukan ruang lingkup berlakunya hukum pidana menurut ruang tempat dan berkaitan pula dengan orang atau subjek. Hukum pidana sebagai suatu sistem yang sangat penting dalam tatanan sistem sosial, di mana dalam lingkaran interaksi sosial terkadang muncul pelanggaran terhadap hak-hak sosial. Melalui pemahaman terhadap hukum pidana, dapat digambarkan macam-macam delik yang diatur dalam ketentuan hukum pidana serta sistem hukuman yang diterapkan dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia.
B. Pengertian dan Tujuan Hukum Pidana Hukum Pidana merupakan keseluruhan aturan yang menentukan perbuatan yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan hukuman yang dapat dijatuhkan. Hukum Pidana dibagi menjadi 2 yaitu sebagai berikut. 1. Hukum Pidana Materiil merupakan aturan tertulis yang memuat tindakan-tindakan apa saja yang dilarang dan apa yang dikerjakan. 2. Hukum Pidana Formil merupakan aturan yang digunakan untuk mempertahankan Hukum Pidana Materiil dan pelaksana dari Hukum Pidana Materiil. Tujuan hukum pidana ini sebenarnya mengandung makna pencegahan terhadap gejala-gejala sosial yang kurang sehat. Di samping itu juga sebagai sarana pengobatan bagi yang telah terlanjur berbuat tidak baik. Adapun tujuan dari hukum pidana yaitu: a. menegakkan nilai kemanusiaan; b. memberikan sanksi kenestapaan bagi manusia yang melanggarnya; c. untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik; dan
94
Pengantar Hukum Indonesia
d. untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan yang tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkungannya. Dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat. Dengan harapan apabila seseorang takut untuk dipidana maka semua orang dalam masyarakat akan merasa tentram dan aman.
C. Sejarah Hukum Pidana Indonesia 1. Masa Sebelum Penjajahan Belanda Sebelum kedatangan bangsa Belanda yang dimulai oleh Vasco da Gamma pada tahun 1596, orang Indonesia telah mengenal dan memberlakukan hukum pidana adat. Hukum pidana adat yang mayoritas tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti hanya diberlakukan di wilayah adat tertentu. Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam Antara hukum pidana dengan hukum perdata (privaat). Pemisahan yang tegas antara hukum perdata yang bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat publik bersumber dari sistem Eropa yang kemudian berkembang di Indonesia. Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan seharihari masyarakat adat ditentukan oleh aturan-aturan yang diwariskan secara turun-temurun dan bercampur menjadi satu. Di beberapa wilayah tertentu, hukum adat sangat kental dengan agama yang dijadikan agama resmi atau secara mayoritas dianut oleh masyarakatnya. Sebagai contoh, hukum pidana adat Aceh, Palembang, dan Makassar yang sangat kental dengan nilai-nilai hukum Islamnya. Begitu juga hukum pidana adat Bali yang sangat terpengaruh oleh ajaran-ajaran Hindu. Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya hukum pidana adat tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana ini dijaga secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan, dan kadang-kadang pelaksanaan hukum pidana di wilayah yang bersangkutan. Namun, di beberapa wilayah adat di Nusantara, hukum adat yang terjaga ini telah
Bab 6: Hukum Pidana
95
diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dibaca oleh khalayak umum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang berisi hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana adat Sumatera Selatan, dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat Bali.
2. Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda a. Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Tahun 16021799 Masa pemberlakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa Belanda datang ke wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya beberapa peraturan pidana oleh VOC (Vereenigde OostIndische Compagnie). VOC sebenarnya adalah kongsi dagang Belanda yang diberikan “kekuasaaan wilayah” di Nusantara oleh pemerintah Belanda. Hak keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten General yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang. Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa VOC memperluas daerah jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam usahanya untuk memperbesar keuntungan, VOC memaksakan aturan-aturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi. Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk plakat, tetapi pengumuman itu tidak disimpan dalam arsip. Sesudah diumumkan, plakat peraturan itu kemudian dilepas tanpa disimpan sehingga tidak dapat diketahui peraturan mana yang masih berlaku dan yang sudah tidak berlaku lagi. Keadaan demikian menimbulkan keinginan VOC untuk mengumpulkan kembali peraturan-peraturan itu. Kumpulan peraturan-peraturan itu disebut sebagai Statuten van Batavia (Statuta Betawi) yang dibuat pada tahun 1642. Pada tahun 1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan Statuta Batavia Baru. Statuta itu berlaku sebagai hukum positif baik bagi orang pribumi maupun bagi orang asing, dengan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan peraturan-peraturan lain. Walaupun statuta tersebut berisi kumpulan peraturan-peraturan, namun belum dapat disebut sebagai kodifikasi hukum karena belum tersusun secara sistematis.
96
Pengantar Hukum Indonesia
Dalam perkembangannya, salah seorang Gubernur Jenderal VOC, yaitu Pieter Both juga diberikan kewenangan untuk memutuskan perkara pidana yang terjadi di peradilan-peradilan adat. Alasan VOC mencampuri urusan peradilan pidana adat ini disebabkan beberapa hal, antara lain: a) sistem pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana adat tidak memadai untuk dapat memaksakan kepada penduduknya agar mentaati peraturanperaturan; b) sistem peradilan pidana adat terkadang tidak mampu menyelesaikan perkara pidana yang terjadi karena permasalahan alat bukti; dan c) adanya perbedaan pemahaman mengenai kejahatan dan pelanggaran antara hukum pidana adat dengan hukum pidana yang dibawa VOC. Sebagai contoh adalah suatu perbuatan yang menurut hukum pidana adat bukanlah dianggap sebagai kejahatan, namun menurut pendapat VOC perbuatan tersebut dianggap kejahatan, sehingga perlu dipidana yang setimpal. Bentuk campur tangan VOC dalam hukum pidana adat adalah terbentuknya Pepakem Cirebon yang digunakan para hakim dalam peradilan pidana adat. Pepakem Cirebon itu berisi antara lain mengenai sistem pemidanaan seperti pemukulan, cap bakar, dirantai, dan lain sebagainya. Pada tahun 1750 VOC juga menghimpun dan mengeluarkan Kitab Hukum Muchtaraer yang berisi himpunan hukum pidana Islam. Pada tanggal 31 Desember 1799, Vereenigde Oost Indische Compagnie dibubarkan oleh pemerintah Belanda dan pendudukan wilayah Nusantara digantikan oleh Inggris. Gubernur Jenderal Raffles yang dianggap sebagai gubernur jenderal terbesar dalam sejarah koloni Inggris di Nusantara tidak mengadakan perubahan-perubahan terhadap hukum yang telah berlaku. Dia bahkan dianggap sangat menghormati hukum adat.
b. Masa Besluiten Regering (Tahun 1814-1855) Setelah Inggris meninggalkan Nusantara pada tahun 1810, Belanda menduduki kembali wilayah Nusantara. Pada masa ini, peraturan terhadap koloni diserahkan kepada raja sepenuhnya sebagai penguasa mutlak, bukan kepada kongsi dagang sebagaimana terjadi pada masa VOC. Dengan dasar Besluiten Regering, yaitu berdasarkan Pasal 36 UUD Negeri Belanda, raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerah-daerah jajahan. Dengan demikian Negara Belanda pada masa itu menggunakan sistem pemerintahan monarki konstitusional. Raja berkuasa
Bab 6: Hukum Pidana
97
mutlak, namun kekuasaannya diatur dalam sebuah konstitusi. Untuk mengimplementasikannya, raja kemudian mengangkat komisaris jenderal yang ditugaskan untuk melaksanakan pemerintahan di Netherlands Indie (Hindia Belanda). Mereka adalah Elout, Buyskes, dan Vandr Capellen. Mereka tetap memberlakukan peraturan-peraturan yang yang berlaku pada masa Inggris dan tidak mengadakan perubahan peraturan karena menunggu terbentuknya kodifikasi hukum. Dalam usaha untuk mengisi kekosongan kas negara, maka Gubernur Jendral Du bus de Gisignes menerapkan politik agraria dengan cara napi yang sedang menjalani hukuman dipaksakan untuk kerja paksa (dwang arbeid). Dengan adanya keterangan ini maka praktis masa Besluiten Regering (BR) tidak memberlakukan hukum pidana baru. Namun demikian, beberapa peraturan perundang-undangan di luar hukum pidana ditetapkan pada masa ini, seperti Reglement op de Rechtilijke Organisatie (RO) atau Peraturan Organisasi Pengadilan (POP), Algemen Bepalingen van Wetgeving (AB) atau Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-undangan, Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Wetboek van Koopenhandel (WvK) atau Kitab Undang-undang Hukum Dagang, dan Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (RV) atau Peraturan tentang Acara Perdata.
c. Masa Regering Reglement (1855-1926) Masa Regering Reglement dimulai karena adanya perubahan sistem pemerintahan di Negara Belanda, dari monarki konstitusional menjadi monarki parlementer. Perubahan ini terjadi pada tahun 1848 dengan adanya perubahan dalam Grond Wet (UUD) Belanda. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya pengurangan kekuasaan raja, karena parlemen (Staten Generaal) mulai campur tangan dalam pemerintahan dan perundangundangan di wilayah jajahan Negara Belanda. Perubahan penting ini adalah dicantumkannya Pasal 59 ayat (1), (2), dan (4) yang berisi bahwa “Raja mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah jajahan dan harta kerajaan dibagian dari dunia. Aturan tentang kebijakan pemerintah ditetapkan melalui undang-undang. Sistem keuangan ditetapkan melalui undang-undang. Hal-hal lain yang menyangkut mengenai daerah-daerah jajahan dan harta, kalau diperlukan akan diatur dengan undang-undang”. Dengan ketentuan seperti ini tampak jelas bahwa kekuasaan
98
Pengantar Hukum Indonesia
Raja Belanda terhadap daerah jajahan di Indonesia berkurang. Peraturanperaturan yang menata daerah jajahan tidak semata-mata ditetapkan raja dengan Koninklijk Besluit, namun harus melalui mekanisme perundangundangan di tingkat parlemen. Peraturan dasar yang dibuat bersama oleh raja dan parlemen untuk mengatur pemerintahan negara jajahan adalah Regeling Reglement (RR). RR ini berbentuk undang-undang dan diundangkan dengan Staatblad Nomor 2 Tahun 1855. Selanjutnya RR disebut sebagai UUD Pemerintah Jajahan Belanda. Pada masa berlakunya Regeling Reglement ini, beberapa kodifikasi hukum pidana berhasil diundangkan, yaitu sebagai berikut. 1) Wetboek van Strafrecht voor Europeanen atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa yang diundangkan dengan Staatblad Nomor 55 Tahun 1866. 2) Algemene Politie Strafreglement atau tambahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa. 3) Wetboek van Strafrecht voor Inlander atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pribumi yang diundangkan denbgan Staatblad Nomor 85 Tahun 1872. 4) Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa. 5) Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Hindia Belanda yang diundangkan dengan Staatblad Nomor 732 Tahun 1915 dan mulai berlaku 1 Januari 1918.
d. Masa Indische Staatregeling (1926-1942) Indische Staatregeling (IS) adalah pembaruan dari Regeling Reglement (RR) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1926 dengan diundangkan melaui Staatblad Nomor 415 Tahun 1925. Perubahan ini diakibatkan oleh perubahan pemerintahan Hindia Belanda yang berawal dari perubahan Grond Wet Negara Belanda pada tahun 1922. Perubahan Grond Wet tahun 1922 ini mengakibatkan perubahan pada pemerintahan di Hindia Belanda. Berdasarkan Pasal 61 ayat (1) dan (2) IS, susunan negara Hindia Belanda akan ditentukan dengan undang-undang. Pada masa ini, keberadaan sistem hukum di Indonesia semakin jelas khususnya dalam Pasal 131 jo. Pasal 163 IS yang menyebutkan pembagian Bab 6: Hukum Pidana
99
golongan penduduk Indonesia beserta hukum yang berlaku. Dengan dasar ini maka hukum pidana Belanda (Wetboek van Strafrecht voor NetherlandsIndie) tetap diberlakukan kepada seluruh penduduk Indonesia. Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische Staatregeling ini mempertegas pemberlakuan hukum pidana Belanda semenjak diberlakukan 1 Januari 1918.
e. Masa Pendudukan Jepang (1942-1945) Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakikatnya hukum pidana yang berlaku di wilayah Indonesia tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintahan bala tentara Jepang (Dai Nippon) memberlakukan kembali peraturan zaman Belanda dahulu dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei. Pertama kali, pemerintahan militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942. Pasal 3 undangundang tersebut menyebutkan bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asalkan tidak bertentangan dengan pemerintahan militer. Dengan dasar ini maka dapat diketahui bahwa hukum yang mengatur pemerintahan dan lain-lain, termasuk hukum pidananya, masih tetap menggunakan hukum pidana Belanda yang didasarkan pada Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische Staatregeling. Dengan demikian, hukum pidana yang diberlakukan bagi semua golongan penduduk sama yang ditentukan dalam Pasal 131 Indische Staatregeling, dan golongan-golongan penduduk yang ada dalam Pasal 163 Indische Staatregeling. Untuk melengkapi hukum pidana yang telah ada sebelumnya, pemerintahan militer Jepang di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei nomor istimewa 1942, Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 dan GunSeirei Nomor 14 Tahun 1942. Gun Seirei Nomor Istimewa Tahun 1942 dan Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 berisi tentang hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Sedangkan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di Hindia Belanda. Pada masa ini, Indonesia telah mengenal dualisme hukum pidana karena wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian wilayah dengan penguasa militer yang tidak saling membawahi. Wilayah Indonesia Timur di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang yang berkedudukan di Makassar, dan wilayah Indonesia Barat di bawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang
100
Pengantar Hukum Indonesia
yang berkedudukan di Jakarta. Akibatnya, dalam berbagai hal terdapat perbedaan peraturan yang berlaku di masing-masing wilayah.
3. Masa Setelah Kemerdekaan Masa pemberlakukan hukum pidana di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dibagi menjadi empat masa sebagaimana dalam sejarah tata hukum Indonesia yang didasarkan pada berlakunya empat konstitusi Indonesia, yaitu pertama masa pasca kemerdekaan dengan konstitusi UUD 1945, kedua masa setelah Indonesia menggunakan konstitusi negara serikat (Konstitusi Republik Indonesia Serikat), ketiga masa Indonesia menggunakan konstitusi sementara (UUDS 1950), dan keempat masa Indonesia kembali kepada UUD 1945.
a. Tahun 1945-1949 Dengan diproklamirkannya negara Indonesia sebagai negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bebas dan berdaulat. Selain itu, proklamasi kemerdekaan dijadikan tonggak awal mendobrak sistem hukum kolonial menjadi sistem hukum nasional yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bebas dalam menentukan nasibnya, mengatur negaranya, dan menetapkan tata hukumnya. Konstitusi yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan negara kemudian ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Konstitusi tersebut adalah Undang Undang Dasar 1945. Mewujudkan cita-cita bahwa proklamasi adalah awal pendobrakan sistem tata hukum kolonial menjadi sistem tata hukum nasional bukanlah hal yang mudah dan secara cepat dapat diwujudkan. Ini berarti bahwa membentuk sistem tata hukum nasional perlu pembicaraan yang lebih matang dan membutuhkan waktu yang lebih lama daripada sekadar memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka. Oleh karena itu, untuk mengisi kekosongan hukum (rechts vacuum) karena hukum nasional belum dapat diwujudkan, maka UUD 1945 mengamanatkan dalam Pasal II Aturan Peralihan agar segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini. Ketentuan ini menjelaskan
Bab 6: Hukum Pidana
101
bahwa hukum yang dikehendaki untuk mengatur penyelenggaraan negara adalah peraturan-peraturan yang telah ada dan berlaku sejak masa Indonesia belum merdeka. Sambil menunggu adanya tata hukum nasional yang baru, segala peraturan hukum yang telah diterapkan di Indonesia sebelum kemerdekaan diberlakukan sementara. Presiden Sukarno selaku presiden pertama kali mengeluarkan kembali Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 tangal 10 Oktober 1945 yang terdiri dari dua pasal, yaitu Pasal 1: Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, sebelum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar, masih tetap berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tersebut. Pasal 2: Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945. Sebagai dasar yuridis pemberlakuan hukum pidana warisan kolonial sebagai hukum pidana positif di Indonesia, keluarlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal 1 undangundang tersebut secara tegas menyatakan, “Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 Nomor 2 menetapkan bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang berlaku sekarang adalah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942”. Dengan titik tonggak waktu penyerahan kekuasaan Belanda kepada Jepang atas wilayah Indonesia ini berarti semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh pemerintahan militer Jepang dan yang dikeluarkan oleh panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda (NICA) setelah tanggal 8 Maret 1942 dengan sendirinya tidak berlaku. Pasal 2 undang-undang tersebut juga dinyatakan bahwa semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda dicabut. Pasal 2 ini diperlukan karena sebelum tanggal 8 Maret 1942 panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda mengeluarkan Verordeningen van hetmiliter gezag. Secara lengkap bunyi Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 adalah sebagai berikut. Semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda dulu (Verordeningen van het militer gezag) dicabut. Pemberlakuan hukum pidana Indonesia dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana ternyata belum menjawab persoalan.
102
Pengantar Hukum Indonesia
Kenyataan ini disebabkan karena perjuangan fisik bangsa Indonesia atas penjahahan Belanda belum selesai. Secara de jure memang Indonesia telah memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka, namun secara de facto penjajahan Belanda atas Indonesia masih saja berkelanjutan. Melalui aksi teror yang dilancarkan oleh NICA Belanda maupun negara-negara boneka yang berhasil dibentuknya, Belanda sebenarnya belum selesai atas aksi kolonialismenya di Indonesia. Bahkan pada tanggal 22 September 1945, Belanda mengeluarkan kembali aturan pidana yang berjudul Tijdelijke Biutengewonge Bepalingen van Strafrecht (Ketentuan-ketentuan Sementara yang Luar Biasa Mengenai Hukum Pidana) dengan Staatblad Nomor 135 Tahun 1945 yang mulai berlaku tanggal 7 Oktober 1945. Ketentuan ini antara lain mengatur tentang diperberatnya ancaman pidana untuk tindak pidana yang menyangkut ketatanegaraan, keamanan dan ketertiban, perluasan daerah berlakunya pasal-pasal tertentu dalam KUHP, serta dibekukannya Pasal 1 KUHP agar peraturan ini dapat berlaku surut. Tampak jelas bahwa maksud ketentuan ini untuk memerangi pejuang kemerdekaan. Dengan adanya dua peraturan hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia oleh dua “penguasa” yang bermusuhan ini, maka munculah dua hukum pidana yang diberlakukan bersama-sama di Indonesia. Oleh para ahli hukum pidana, adanya dua hukum pidana ini disebut masa dualisme KUHP.
b. Tahun 1949-1950 Tahun 1949-1950 negara Indonesia menjadi negara serikat, sebagai konsekuensi atas syarat pengakuan kemerdekaan dari Negara Belanda. Dengan perubahan bentuk negara ini, maka UUD 1945 tidak berlaku lagi dan diganti dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Sebagai aturan peralihannya, Pasal 192 Konstitusi RIS menyebutkan: “Peraturanperaturan, undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat Konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia Serikat sendiri, selama dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Konstitusi ini”. Dengan adanya ketentuan ini maka praktis hukum pidana yang berlaku pun masih tetap sama dengan dahulu, yaitu Wetboek
Bab 6: Hukum Pidana
103
van Strafrecht yang berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Namun demikian, permasalahan dualisme KUHP yang muncul setelah Belanda datang kembali ke Indonesia setelah kemerdekaan masih tetap berlangsung pada masa ini.
c. Tahun 1950-1959 Setelah Indonesia menjadi negara yang berbentuk negara serikat selama 7 bulan 16 hari, sebagai trik politik agar Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, maka pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi negara republik kesatuan. Dengan perubahan ini, maka konstitusi yang berlaku pun berubah yakni diganti dengan UUD Sementara. Sebagai peraturan peralihan yang tetap memberlakukan hukum pidana masa sebelumnya pada masa UUD Sementara ini, Pasal 142 UUD Sementara menyebutkan: “Peraturan-peraturan, undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1050, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuanketentuan Republik Indonesia sendiri, selama dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang Undang Dasar ini”. Dengan adanya ketentuan Pasal 142 UUD Sementara ini maka hukum pidana yang berlaku pun masih tetap sama dengan masa-masa sebelumnya, yaitu Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Namun demikian, permasalahan dualisme KUHP yang muncul pada tahun 1945 sampai akhir masa berlakunya UUD Sementara ini diselesaikan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 yang menyatakan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan mengubah Undang-undang Hukum Pidana. Dalam penjelasan undang-undang tersebut dinyatakan: “adalah dirasakan sangat ganjil bahwa hingga kini di Indonesia masih berlaku dua jenis Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dan Wetboek Strafrecht voor Indonesia (Staatblad 1915 Nomor 732 seperti beberapa kali diubah), yang sama sekali tidak beralasan. Dengan adanya undang-undang ini maka keganjilan itu ditiadakan.
104
Pengantar Hukum Indonesia
Dalam Pasal 1 ditentukan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia. Dengan demikian, permasalahan dualisme KUHP yang diberlakukan di Indonesia dianggap telah selesai dengan ketetapan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.
d. Tahun 1959-sekarang Setelah keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang salah satunya berisi mengenai berlakunya kembali UUD 1945, maka sejak itu Indonesia menjadi negara kesatuan yang berbentuk republik dengan UUD1945 sebagai konstitusinya. Oleh karena itu, Pasal II Aturan Peralihan yang memberlakukan kembali aturan lama berlaku kembali, termasuk di sini hukum pidananya. Pemberlakuan hukum pidana Indonesia dengan dasar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 pun kemudian berlanjut sampai sekarang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa walaupun Indonesia telah mengalami empat pergantian mengenai bentuk negara dan konstitusi, ternyata sumber utama hukum pidana tidak mengalami perubahan, yaitu tetap pada Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) walaupun pemberlakuannya tetap mendasarkan diri pada ketentuan peralihan pada masing-masing konstitusi.
D. Sumber-sumber Hukum Pidana di Indonesia Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum yang tidak tertulis. Di Indonesia belum memiliki Kitab Undang-undang Hukum Pidana Nasional, sehingga masih diberlakukan Kitab Undang-undang Hukum Pidana warisan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Adapun sistematika Kitab Undang-undang Hukum Pidana antara lain: 1. Buku I tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103). 2. Buku II tentang Kejahatan (Pasal 104-488). 3. Buku III tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).
Bab 6: Hukum Pidana
105
Dan juga ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat setelah kemerdekaan antara lain: 1. Undang-Undang Nomor 8 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi. 2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1967 tentang Norkoba. 3. Undang-Undang Nomor 16 Tahun Tahun 2003 tentang Anti Terorisme. Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana, selain termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana maupun UU Khusus, juga terdapat dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan lainnya, seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dan sebagainya.
E. Asas-asas Hukum Pidana Dalam pelaksanaan hukum pidana di Indonesia, terdapat beberapa asas yang menjadi pedoman atau dasar berlakunya aturan-aturan hukum pidana, antara lain sebagai berikut. 1. Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali) terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundangundangan yang telah ada terlebih dahulu. Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam Peraturan Perundang-Undangan, maka yang dipakai adalah aturan yang paling ringan sanksinya bagi Terdakwa (Pasal 1 Ayat (2) KUHP). Dalam perkembangannya amandemen ke-2 UUD 1945 dalam Pasal 28 ayat (1) berbunyi dan berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban
106
Pengantar Hukum Indonesia
umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Karenanya asas ini dapat pula dinyatakan sebagai asas konstitusional. 2. Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, artinya untuk menjatuhkan pidana kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, harus dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang tersebut. 3. Asas Teritorial, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku atas semua peristiwa pidana yang terjadi di daerah yang menjadi wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk pula kapal berbendera Indonesia, pesawat terbang Indonesia, dan gedung kedutaan dan konsul Indonesia di negara asing. 4. Asas Nasionalitas Aktif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua WNI yang melakukan tindak pidana di mana pun ia berada. 5. Asas Nasionalitas Pasif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua tindak pidana yang merugikan kepentingan negara
F. Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana Pada bagian ini, akan diuraikan berlakunya hukum pidana menurut ruang tempat dan berkaitan pula dengan orang atau subjek. Dalam hal ini asas-asas hukum pidana menurut tempat yaitu:
a. Asas Teritorial Asas ini diatur juga dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu dalam Pasal 2 KUHP yang menyatakan: “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia”. Pasal ini dengan tegas menyatakan asas teritorial, dan ketentuan ini sudah sewajarnya berlaku bagi negara yang berdaulat. Asas teritorial lebih menitik beratkan pada terjadinya perbuatan pidana di dalam wilayah negara tidak mempermasalahkan siapa pelakunya, warga negara atau orang asing. Sedang dalam asas kedua (asas personal atau asas nasional yang aktif) menitikberatkan pada orang yang melakukan perbuatan pidana, tidak mempermasalahkan tempat terjadinya perbuatan pidana. Asas teritorial yang pada saat ini banyak diikuti oleh NegaraBab 6: Hukum Pidana
107
negara di dunia termasuk Indonesia. Hal ini adalah wajar karena tiap-tiap orang yang berada dalam wilayah suatu negara harus tunduk dan patuh kepada peraturan-peraturan hukum negara di mana yang bersangkutan berada. Perluasan dari Asas Teritorialitas diatur dalam Pasal 3 KUHP yang menyatakan: “Ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”. Ketentuan ini memperluas berlakunya Pasal 2 KUHP, tetapi tidak berarti bahwa perahu (kendaraan air) dan pesawat terbang lalu dianggap bagian wilayah Indonesia. Tujuan dari pasal ini adalah supaya perbuatan pidana yang terjadi di dalam kapal atau pesawat terbang yang berada di perairan bebas atau berada di wilayah udara bebas, tidak termasuk wilayah teritorial suatu Negara, sehingga ada yang mengadili apabila terjadi suatu perbuatan pidana. Setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di atas alat pelayaran Indonesia di luar wilayah Indonesia. Alat pelayaran pengertian lebih luas dari kapal. Kapal merupakan bentuk khusus dari alat pelayaran. Di luar Indonesia atau di laut bebas dan laut wilayah negara lain.
2. Asas Personal (Nasional Aktif) Asas Personal atau Asas Nasional yang aktif tidak mungkin digunakan sepenuhnya terhadap warga negara yang sedang berada dalam wilayah negara lain yang kedudukannya sama-sama berdaulat. Apabila ada warga negara asing yang berada dalam suatu wilayah negara telah melakukan tindak pidana dan tindak pidana dan tidak diadili menurut hukum negara tersebut maka berarti bertentangan dengan kedaulatan negara tersebut. Pasal 5 KUHP hukum Pidana Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesa di luar Indonesia yang melakukan perbuatan pidana tertentu kejahatan terhadap keamanan negara, martabat kepala Negara, penghasutan, dan lain-lain. Selanjutnya dalam Pasal 5 KUHP menyatakan bahwa, ketetentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga negara yang di luar Indonesia melakukan: salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan Bab II Buku Kedua dan Pasal-pasal 160, 161, 240, 279,
108
Pengantar Hukum Indonesia
450 dan 451. Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara di mana perbuatan itu dilakukan diancam dengan pidana. Selanjutnya menyatakan bahwa, penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika Terdakwa menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan”. Sekalipun rumusan Pasal 5 ini memuat perkataan “diterapkan bagi warga negara Indonesia yang di luar wilayah Indonesia”, sehingga seolah-olah mengandung asas personal, akan tetapi sesungguhnya Pasal 5 KUHP memuat asas melindungi kepentingan nasional (asas nasional pasif) karena ketentuan pidana yang diberlakukan bagi warga negara di luar wilayah teritorial wilyah Indonesia tersebut hanya pasal-pasal tertentu saja, yang dianggap penting sebagai perlindungan terhadap kepentingan nasional. Sedangkan untuk asas personal, harus diberlakukan seluruh perundangundangan hukum pidana bagi warga negara yang melakukan kejahatan di luar teritorial wilayah Negara. Ketentuan Pasal 5 ayat (2) adalah untuk mencegah agar supaya warga negara asing yang berbuat kejahatan di negara asing tersebut, dengan jalan menjadi warga negara Indonesia (naturalisasi). Bagi Jaksa maupun hakim Tindak Pidana yang dilakukan di negara asing tersebut, apakah menurut undang-undang di sana merupakan kejahatan atau pelanggaran, tidak menjadi permasalahan, karena mungkin pembagian tindak pidananya berbeda dengan di Indonesia, yang penting adalah bahwa tindak pidana tersebut di negara asing tempat perbuatan dilakukan diancam dengan pidana, sedangkan menurut KUHP Indonesia merupakan kejahatan, bukan pelanggaran. Ketentuan Pasal 6 KUHP yang berbunyi, “Berlakunya Pasal 5 ayat (1) butir 2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jika menurut perundang-undangan negara di mana perbuatan dilakukan terhadapnya tidak diancamkan pidana mati”. Latar belakang ketentuan Pasal 6 ayat (1) butir 2 KUHP adalah untuk melindungi kepentingan nasional timbal-balik (mutual legal assistance).
Bab 6: Hukum Pidana
109
3. Asas Perlindungan (Nasional Pasif) Sekalipun asas personal tidak lagi digunakan sepenuhnya tetapi ada asas lain yang memungkinkan diberlakukannya hukum pidana nasional terhadap perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayah negara. Pasal 4 KUHP (seteleh diubah dan ditambah berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976), Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia: a. Salah satu kejahatan berdasarkan Pasal-pasal 104, 106, 107, 108 dan 131; b. Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia; c. Pemalsuan surat utang atau sertifikat utang atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda deviden atau tanda bunga yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak palsu; d. Salah satu kejahatan yang disebut dalam Pasal-Pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang Pembajakan Laut dan Pasal 447 tentang Penyerahan Kendaraan Air Kepada Kekuasaan Bajak Laut dan Pasal 479 huruf j tentang Penguasaan Pesawat Udara secara melawan hukum, Pasal 479 l, m, n dan o tentang Kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil. Dalam Pasal 4 KUHP ini terkandung asas melindungi kepentingan yaitu melindungi kepentingan nasional dan melindungi kepentingan internasional (universal). Pasal ini menentukan berlakunya hukum pidana nasional bagi setiap orang (baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing) yang di luar Indonesia melakukan kejahatan yang disebutkan dalam pasal tersebut. Dikatakan melindungi kepentingan nasional karena Pasal 4 KUHP ini memberlakukan perundang-undangan pidana Indonesia bagi setiap orang yang di luar wilayah Negara Indonesia melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan kepentingan nasional, yaitu sebagai berikut.
110
Pengantar Hukum Indonesia
a. Kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan terhadap martabat/ kehormatan Presiden Republik Indonesia dan Wakil Presiden Republik Indonesia (Pasal 4 ke-1). b. Kejahatan mengenai pemalsuan mata uang atau uang kertas Indonesia atau segel/materai dan merek yang digunakan oleh pemerintah Indonesia (Pasal 4 ke-2). c. Kejahatan mengenai pemalsuan surat-surat utang atau sertifkatsertifikat utang yang dikeluarkan oleh Negara Indonesia atau bagianbagiannya (Pasal 4 ke-3). d. Kejahatan mengenai pembajakan kapal laut Indonesia dan pembajakan pesawat udara Indonesia (Pasal 4 ke-4).
4. Asas Universal Berlakunya Pasal 2 sampai dengan Pasal 5 dan Pasal 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian dalam hukum internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional (asas universal) adalah dilandasi pemikiran bahwa setiap negara di dunia wajib turut melaksanakan tata hukum sedunia (hukum internasional). Dikatakan melindungi kepentingan internasional (kepentingan universal) karena rumusan Pasal 4 ke-2 KUHP (mengenai kejahatan pemalsuan mata uang atau uang kertas) dan Pasal 4 ke-4 KUHP (mengenai pembajakan kapal laut dan pembajakan pesawat udara) tidak menyebutkan mata uang atau uang kertas negara mana yang dipalsukan atau kapal laut dan pesawat terbang negara mana yang dibajak. Pemalsuan mata uang atau uang kertas yang dimaksud dalam Pasal 4 ke-2 KUHP menyangkut mata uang atau uang kertas Negara Indonesia, akan tetapi juga mungkin menyangkut mata uang atau uang kertas negara asing. Pembajakan kapal laut atau pesawat terbang yang dimaksud dalam Pasal 4 ke-4 KUHP dapat menyangkut kapal laut Indonesia atau pesawat terbang Indonesia, dan mungkin juga menyangkut kapal laut atau pesawat terbang negara asing. Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal, laut atau pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan Indonesia, maka asas yang berlaku diterapkan adalah asas melindungi kepentingan nasional (asas
Bab 6: Hukum Pidana
111
nasional pasif). Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal laut atau pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan negara asing, maka asas yang berlaku adalah asas melindungi kepentingan internasional (asas universal).
G. Macam-macam Pembagian Delik Dalam hukum pidana dikenal macam-macam pembagian delik yaitu sebagai berikut (Samidjo, 1985: 156). 1. Menurut cara penuntutannya a. Delik aduan (klacht delict) yaitu suatu delik yang dapat diadili apabila pihak yang dirugikan/berkepentingan mengadukan kejadian tersebut. b. Delik biasa, yaitu suatu delik yang dapat diadili tanpa adanya pengaduan terlebih dahulu. 2. Menurut jumlahnya b. Delik tunggal (enkelvouding delict) yaitu delik yang terdiri dari satu perbuatan saja. c. Delik jamak (samengesteld delict) yaitu delik yang terdiri dari beberapa perbuatan pidana. 3. Menurut tindakan/akibatnya a. Delik materiil, yaitu suatu delik yang dilarang oleh undang-undang karena akibat yang ditimbulkan, misalnya delik pembunuhan Pasal 338 KUHP. b. Delik formil, yaitu suatu delik dinyatakan selesai apabila perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam peraturan pidana telah dilakukan, misalnya delik pencurian Pasal 363 KUHP. Berdasarkan ketentuan KUHP, macam-macam delik terdiri atas: 1. Delik Kejahatan dan Delik Pelanggaran 2. Delik Materiil dan Delik Formil 3. Delik Komisi dan Delik Omisi 4. Delik Dolus dan Delik Culpa
112
Pengantar Hukum Indonesia
5. Delik Biasa dan Delik Aduan 6. Delik yang Berdiri Sendiri dan Delik Berlanjut 7. Delik Selesai dan Delik yang Diteruskan 8. Delik Tunggal dan Delik Berangkai 9. Delik Sederhana dan Delik Berkualifikasi; Delik Ber-privilege 10. Delik Politik dan Delik Komun (Umum) 11. Pembagian delik menurut kepentingan yang dilindungi. Di samping itu, delik dapat pula dibedakan dalam bentuk kejahatan (misdrijf) yang diatur dalam buku II KUHP dan pelanggaran (overtreding) yang diatur dalam buku III KUHP.
H. Sistem Hukuman Sistem hukuman yang dicantumkan dalam Pasal 10 menyatakan bahwa hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang pelaku tindak pidana sebagai berikut: 1. Hukuman pokok(Hoofd straffen). a. Hukuman mati; b. Hukuman penjara; c. Hukuman kurungan; d. Hukuman denda. 2. Hukuman tambahan (Bijkomende straffen) a. pencabutan beberapa hak yang tertentu; b. perampasan barang yang tertentu; c. pengumuman keputusan hakim.
1. Hukuman Pokok (Hoofd straffen) a. Hukuman mati Sejak hukum pidana dicantumkan di Indonesia yang kemudian dicantumkan sebagai Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie, tujuan diadakan dan dilaksanakan hukuman mati supaya masyarakat Bab 6: Hukum Pidana
113
memerhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan terhadap ketenteraman yang sangat ditakuti umum. Dengan suatu putusan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana pembunuhan dan kejahatan yang lain yang diancam dengan hukuman yang sama diharapkan masyarakat menjadi takut. Di samping itu suatu pendirian “dalam mempertahankan tertib hukum dengan mempidana mati seseorang yang karena tingkah lakunya yang dianggap membahayakan” ada di tangan pemerintah. Oleh karena itu, hukuman mati menurut pemerintah adalah yang sesuai dengan rasa keadilannya. Di Negara Belanda sendiri hukuman mati itu sejak tahun 1870 dihapuskan. Hukuman itu hanya berlaku dalam Peradilan Militer untuk kejahatan berat yang dilakukan oleh anggota militer dan dalam sidang menurut pendapat hakim perlu dijatuhkan (diputus) hukuman mati. Dalam perkembangannya pada tahun 1952, hukuman mati berlaku hanya sebagai tindak pidana perang yang dilaksanakan kalau majelis hakim mempunyai keyakinan sama. Di Indonesia sistem hukumnya masih mempertahankan hukuman mati, tentu mempunyai pertimbangan tersendiri. Walaupun pada tahun 1981 pernah dipermasalahkan oleh para ahli hukum sarjana hukum, sampai sekarang hukuman mati masih tetap dilaksanakan. Hal ini tidak berarti di Indonesia ada gejala “homo homini lupus”, pelaksanaan hukuman mati dicantumkan dalam Pasal 11 yang menyatakan bahwa pidana mati dijalankan oleh algojo atas penggantungan dengan mengikat leher si terhukum dengan sebuah jerat pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan dari bawah kakinya.”. Ketentuan pasal ini mengalami perubahan yang ditentukan dalam S. 1945: 123 dan mulai berlaku sejak tanggal 25 Agustus 1945. Pasal 1 itu menyatakan bahwa “Menyimpang dari apa yang tentang hal ini yang ditentukan dalam undang-undang lain, hukuman mati yang dijatuhkan pada orang-orang sipil (bukan militer), sepanjang tidak ditentukan lain oleh Gubernur Jendral dilakukan secara menembak mati”.
b. Hukuman Penjara Penjara adalah suatu tempat yang khusus dibuat dan digunakan para terhukum dalam menjalankan hukumannya sesuai dengan putusan hakim. Tempat terhukum yang digunakan sampai sekarang merupakan tempat
114
Pengantar Hukum Indonesia
peninggalan dari penjajah. Pemerintah Indonesia mengubah fungsi penjara menjadi lembaga pemasyarakatan artinya para terhukum ditempatkan bersama dan proses penempatannya serta kegiatannya sesuai jadwal sejak terhukum masuk lembaga, di samping lamanya menjalani hukuman itu. Kegiatan sehari-hari dilakukan secara terstruktur seperti kewajiban mengikuti bimbingan mental rohaniah dan keterampilan. Terhukum selama menjalani hukuman ada yang seumur hidup dan ada yang terbatas (Pasal 12). Hukum terbatas itu sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya lima belas tahun dan tidak kurang dari dua puluh tahun sebagai akibat dari tindak pidana yang dilakukan diancam dengan hukuman mati, seumur hidup atau ada hukuman tambahan karena rangkaian kejahatan yang dilakukan (Pasal 52).
c. Hukuman Kurungan Hukuman kurungan hampir sama dengan hukuman penjara, hanya perbedaannya terletak pada sifat hukuman yang ringan dan ancam hukumannya pun ringan. Dalam Pasal 18 dinyatakan bahwa “lamanya kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan tidak lebih dari satu tahun empat bulan”.
d. Hukuman Denda Ketentuan yang mengatur hukuman denda ini dicantumkan dalam Pasal 30-33. Pembayaran denda tidak ditentukan harus terpidana. Dengan begitu dapat dilakukan oleh setiap orang yang sanggup membayarnya. Dilihat dari pelaksanaan pembayarannya, hal demikian akan mengaburkan sifat hukumannya.
2. Hukuman Tambahan Sifat hukuman tambahan ini hanya sebagai penambah hukuman pokok kalau dalam putusan hakim ditetapkan hukuman tambahannya. Misalnya, seorang warga Indonesia yang melakukan tindak pidana tertentu. Oleh hakim, ia harus menjalankan hukuman penjara dan dicabut hak pilihnya dalam pemilihan umum yang akan datang.
Bab 6: Hukum Pidana
115
I. Perkembangan Hukum Pidana Indonesia Sejak Indonesia merdeka sampai sekarang, aturan-aturan hukum pidana yang berlaku tidak saja yang termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Aturan-aturan itu juga terdapat di dalam undang-undang lain sebagai hukum tertulis tidak dikodifikasi dan yang dikodifikasi. Undangundang itu merupakan hasil produk pemerintah dalam menasionalisasikan hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Mengembangkan aturan hukum pidana mempunyai dasar hukum yang dicantumkan dalam Pasal 103 KUHP. Ketentuan pasal ini menyatakan bahwa “ketentuan-ketentuan dari kedelapan Bab I dalam Buku I berlaku juga atas peristiwa yang padanya ditentukan pidana menurut ketentuan perundangan lainnya kecuali kalau dalam undangundang atau peraturan pemerintah ditentukan lain”. Berdasarkan ketentuan ini, dimungkinkan dibuat aturan hukum pidana di luar KUHP dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, asalkan tidak bertentangan dengan aturan hukum pidana yang telah dikodifikasikan dalam KUHP. Beberapa aturan hukum pidana Indonesia yang perlu diketahui sebagai perkembangan aturan hukum adalah sebagai berikut. 1. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diatur di dalam UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971; diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999; diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. 2. Penertiban Perjudian, diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974. 3.
Pemberantasan Narkotika, diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976; diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.
4.
Pemberantasan Psikotropika, diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997.
5. Perbankan dengan Sanksi Pidana, diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. 6. Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. 7. Cyber Crime melalui Informasi dan Transaksi Elektronik, UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008.
116
Pengantar Hukum Indonesia
8. Perlindungan Anak, diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang selanjutnya dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. 9. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, diatur dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004. j. Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.
Bab 6: Hukum Pidana
117
BAB 7 HUKUM TATA NEGARA DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
A. Pendahuluan Dalam suatu kehidupan bernegara sangat diperlukan sistem yang mampu menunjang hidup bernegara guna tercapainya tujuan bersama. Sistem yang dimaksud adalah sistem ketatanegaraan yang di dalamnya berisi aturan-aturan penyelenggaraan kehidupan bernegara yang dikenal dengan hukum tata negara. Terdapat berbagai pengertian hukum tata negara menurut para ahli, yang selanjutnya mampu menjelaskan hubungan antara hukum tata negara dengan ilmu pengetahuan lainnya. Pemahaman terhadap hukum tata negara didasarkan pula kepada sumber-sumber hukum yang menggambarkan rekam jejak bentuk produk hukum ketatanegaraa di Indonesia. Di samping produk hukum, terdapat pemahaman komprehensif terhadap struktur lembaga negara di Indonesia sebelum maupun setelah Amandemen UUD 1945. Dalam bab ini juga dijelaskan mengenai pengertian Hukum Administrasi Negara menurut para ahli termasuk ruang lingkup dari hukum administrasi negara. Selain itu, terdapat hubungan-hubungan antara hukum administrasi negara dengan ilmu pengetahuan lainnya. Keberadaan hukum administrasi negara tidak terlepas dari teori-teori dalam hukum administrasi, serta berbagai keputusan tata usaha negara dan perbuatan pemerintah lainnya.
119
B. Hukum Tata Negara Indonesia 1. Pengertian Hukum Tata Negara Menurut Para Ahli Dalam perkembangan hukum, terdapat berbagai pandangan yang mengemukakan pengertian Hukum Tata Negara (selanjutnya disebut HTN). Berbagai pengertian menurut para ahli antara lain sebagai berikut. a. Paul Scholten: HTN adalah hukum yang mengatur mengenai tata organisasi negara (het recht dat regelt de staatsorganisatie). b. Van Der Pot: HTN adalah peraturan-peraturan yang menentukan badan-badan beserta kewenangannya, hubungannya satu sama lain serta hubungannya dengan individu warga negara dalam kegiatannya. c. A.V. Dicey: HTN adalah semua peraturan yang secara langsung atau tidak langsung memengaruhi distribusi atau pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat dalam negara. d. J.C.H. Logemann: HTN adalah hukum yang mengatur organisasi negara. e. Moh Kusnardi & Harmaily Ibrahim: HTN adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengatur organisasi daripada negara, hubungan antar alat perlengkapan negara dalam garis vertikal dan horizontal, serta kedudukan warga negara dan hak asasi. f.
Kusumadi Pudjosewojo: HTN adalah hukum yang mengatur bentuk negara dan bentuk pemerintahan yang menunjukkan masyarakat hukum yang atasan maupun yang bawahan, beserta tingkatantingkatannya yang selanjutnya menegaskan wilayah dan lingkungan rakyat dari masyarakat-masyarakat hukum itu dan akhirnya menunjukkan alat-alat perlengkapan yang memegang kekuasaan penguasa dari masyarakat hukum itu, beserta susunan, wewenang, tingkatan imbangan dari dan antara alat perlengkapan itu.
Istilah lain yang digunakan untuk hukum tata negara dalam kepustakaan Indonesia adalah Hukum Negara, yang merupakan terjemahan dari Staats Recht (bahasa Belanda). Di Inggris pada umumnya digunakan istilah Constitutional Law, untuk menunjukkan arti yang sama dengan hukum tata negara. Penggunaan istilah ini didasarkan pada alasan
120
Pengantar Hukum Indonesia
bahwa di dalam hukum tata negara unsur konstitusi lebih ditekankan. Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa “Hukum Tata Negara tidak hanya merupakan recht (hukum) atau wet (norma hukum tertulis), tetapi juga lehre atau teori, sehingga pengertiannya mencakup verfassungrecht (hukum konstitusi) sekaligus verfassunglehre (teori konstitusi)”. Berdasarkan berbagai pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa Hukum Tata Negara adalah salah satu cabang ilmu hukum kenegaraan yang berada pada ranah publik, mencakup kajian tentang organ-organ negara, fungsi dan mekanisme hubungan antar organ negara, serta persoalanpersoalan yang muncul dalam mekanisme hubungan antar organ negara.
2. Hubungan Hukum Tata Negara dengan Ilmu Pengetahuan Lain Hukum tata negara berkedudukan sebagai ilmu dasar hukum (juridische basic wetenschapt) yang artinya bahwa hukum tata negara mendasari ilmuilmu hukum lainnya. Terdapat keterkaitan atau hubungan antara hukum tata negara dengan berbagai bidang hukum lainnya. a. Hubungan Hukum Tata Negara dengan Ilmu politik
Hukum tata negara diumpamakan sebagai kerangka tulang belulangnya, sedangkan ilmu politik ibarat daging-dagingnya. Organisasi negara sebagai hasil dari konstruksi sosial sehingga tidak dapat lepas dari peri kehidupan bermasyarakat. Ilmu sosial (Sosiologi, Ilmu Sejarah, Ilmu ekonomi, Antropologi, dan sebagainya) sebagai penunjang bagi hukum tata negara.
b. Hubungan Hukum Tata Negara dengan Ilmu Negara
Ilmu negara (staatsleer/staatslehre) adalah menyelidiki asas-asas pokok dan pengertian-pengertian pokok mengenai negara dan hukum tata negara. Ilmu negara merupakan ilmu pengantar bagi Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara serta Hukum Internasional. Ilmu negara yang diutamakan adalah nilai teoretis ilmiah (seins wissenschapt). Sedangkan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara adalah nilai praktis terkait dengan norma hukumnya dalam arti positif (normativen wissenschapt).
Bab 7: Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
121
c. Hubungan Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi Negara
Di berbagai negara, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara sering disebutkan secara berangkai, misalnya: Staats en Administratief Recht (Belanda), Constitutional and Administrative Law (USA dan UK), dan Verfassungsrecht und Verwaltungsrecht (Jerman). Hukum Administrasi Negara merupakan bagian dari pengertian Hukum Tata Negara dalam arti luas. Perbedaannya terletak pada objek kajiannya. Hukum Tata Negara objeknya negara dalam keadaan statis dan Hukum Administrasi Negara dalam keadaan dinamis
d. Hubungan Hukum Tata Negara dengan Hukum Internasional
Kedua bidang hukum ini berada pada cabang ilmu hukum publik. Hukum Tata Negara mempelajari negara dari struktur internalnya dan Hukum Internasional mempelajari hubungan-hubungan hukum antar negara secara eksternal
3. Sumber-sumber Hukum Tata Negara Sumber hukum adalah segala sesuatu yang berupa tulisan, dokumen, naskah, dan sebagainya, yang dipergunakan oleh suatu bangsa sebagai pedoman hidup pada masa tertentu. Sumber yang bersifat hukum merupakan sumber yang diakui oleh hukum sendiri sehingga secara langsung dapat melahirkan atau menciptakan hukum (Asikin, 2012: 155). Menurut Edward Jenk, terdapat tiga sumber hukum tata negara, yaitu: (1) Statutory, (2) Judiciary, dan (3) Literaty. Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo, sumber hukum terdiri atas, sumber hukum materiil, yaitu tempat dari mana materi itu diambil, dan sumber hukum formal, yaitu tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Adapun sumber-sumber hukum tata negara secara umum terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar 1945
122
UUD 1945 sebagai sumber hukum yang merupakan dasar tertulis yang mengatur masalah kenegaraan dan merupakan dasar ketentuanketentuan lainnya.
Pengantar Hukum Indonesia
b. Ketetapan MPR
Dalam Pasal 3 UUD 1945 ditentukan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan UUD. Dengan istilah menetapkan tersebut maka orang yang berkesimpulan, bahwa produk hukum yang dibentuk oleh MPR disebut Ketetapan MPR
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Undang-Undang mengandung dua pengertian yaitu: a. Undang-undang dalam arti materiil yaitu peraturan yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa, baik pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah b. Undang-undang dalam arti formal yaitu keputusan tertulis yang dibentuk dalam arti formal sebagai sumber hukum dapat dilihat pada Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 d. Peraturan Pemerintah
Untuk melaksanakan peraturan pemerintah yang dibentuk oleh presiden dengan DPR, oleh UUD 1945 kepada presiden diberikan kewenangan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah guna melaksanakan undang-undang sebagaimana mestinya. Dalam hal ini berarti tidak mungkin bagi presiden menetapkan peraturan pemerintah sebelum ada undang-undangnya, sebaliknya suatu undang-undang tidak berlaku efektif tanpa adanya peraturan pemerintah.
e. Keputusan Presiden
UUD 1945 menemukan Keputusan Presiden sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan. Bentuk peraturan ini baru dikenal tahun 1959 berdasarkan Surat Presiden Nomor 2262/HK/1959 yang ditunjukkan pada DPR, yakni sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh sumber-sumber Hukum Tata Negara presiden untuk melaksanakan Penetapan Presiden. Kemudian melalui Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, Keputusan Presiden resmi ditetapkan sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan menurut UUD 1945. Keputusan Presiden berisi peraturan yang bersifat khusus (einmalig) adalah untuk melaksanakan UUD 1945, Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif dan Peraturan Pemerintah. Bab 7: Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
123
f. Peraturan pelaksana lainnya (Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lain)
Peraturan Pemerintah lainnya merupakan peraturan menteri, Instruksi menteri dan lain-lainnya yang harus dengan tegas berdasarkan dan bersumber pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
g. Convention (Konvensi Ketatanegaraan)
Konvensi Ketatanegaraan adalah perbuatan kehidupan ketatanegaraan yang dilakukan berulang-ulang sehingga ia diterima dan ditaati dalam praktik ketatanegaraan. Konvensi ketatanegaraan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan undang-undang, karena diterima dan dijalankan bahkan sering kebiasaan (konvensi) ketatanegaraan menggeser peraturan-peraturan hukum yang tertulis.
h. Traktat
Traktat atau perjanjian yaitu perjanjian yang diadakan dua orang atau lebih. Dilihat dari perjanjian internasional terdapat 3 tahapan yaitu perundingan (negotiation), penandatangan (signature), dan pengesahan (ratification). Di samping itu ada pula yang dilakukan hanya dua tahapan yakni perundingan (negotiation) dan penandatangan (signature).
4. Bentuk Produk Hukum di Indonesia Dalam ilmu hukum dikenal beberapa bentuk penuangan norma atau produk hukum, yaitu: a. keputusan hukum yang bersifat mengatur (regeling) yang menghasilkan produk hukum peraturan (reges); b. keputusan hukum yang bersifat menentukan atau menetapkan sesuatu secara administratif yang melahirkan sebuah keputusan (beschikkings); c. keputusan yang bersifat menghakimi sebagai hasil proses peradilan (adjudication) menghasilkan putusan (vonis); d. beleidregel/aturan kebijakan (policy rules) atau peraturan yang berisi petunjuk pelaksanaan, surat edaran, instruksi, dan lain-lain. Produk hukum ketatanegaraan yang terdapat di Indonesia diberlakukan berdasarkan tata urutan perundang-undangan, yang diawali dengan
124
Pengantar Hukum Indonesia
lahirnya Ketetapan No. XIX/MPRS/1966 jo. Ketetapan No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Perundangan RI. Selanjutnya di tahun 2000 MPR mengeluarkan Ketetapan No.III/MPR/2000 tentang Tata Urutan Perundang-undangan. Tata urutan sebagaimana tercantum dalam Ketetapan No. III/MPR/2000 tersebut di atas, mengalami perubahan susunan berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dan diperbaharui oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
5. Struktur Lembaga Negara Struktur Pemerintahan di Indonesia sebelum Amandemen UUD 1945 adalah terdiri dari MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), Presiden, Dewan Pertimbangan Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksaan Keuangan, dan Mahkamah Agung. Selanjutnya setelah amandemen UUD 1945 maka struktur pemerintahan telah berubah dengan bertambahnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Dengan melihat perubahan itu maka akan terlihat bagaimana komposisi dan keanggotaan dan tugas masing-masing lembaga itu sebagai berikut.
a. Struktur Organisasi, Fungsi, dan Kewenangan MPR Sebelum dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 maka komposisi keanggotaan MPR terdiri dari anggota DPR hasil Pemilu ditambah dengan anggota utusan daerah dan utusan golongan bukan hasil Pemilu. Namun, setelah amandemen maka keanggotaan MPR berasal dari anggota DPR, dan DPD yang seluruhnya hasil Pemilu. Fungsi dan Kewenangan MPR sebelum amandemen adalah 1) Pemegang kedaulatan dan kekuasaan tertinggi; 2) Menetapan UUD dan GBHN Pasal 3; 3) Mengganti UUD Pasal 37; 4) Memilih Presiden dan wakil Presiden Pasal 6 (2); 5) Meminta pertanggung jawaban presiden.
Bab 7: Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
125
Namun setelah amandemen MPR bukan lagi pemegang kekuasaan tertinggi, MPR menjadi lembaga tinggi biasa yang bertugas: 1) Menetapkan dan mengubah UUD; 2) Melantik presiden dan wakil presiden; 3) Memberhentikan presiden dan wakil presiden; 4) Memilih wanpres atau calon yang diusulkan presiden apabila terjadi kekosongan jabatan wapres.
b. Kedudukan, Fungsi dan Kewenangan DPR Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menurutut UUD 1945 sebelum dilakukan amandemen, memiliki kewenangan menyetujui Undang-Undang dan berhak mengajukan rancangan undang-undang (hak inisiatif). Akan tetapi setelah dilakukan amandemen UUD 1945 tugas dan fungsi DPR demikian luas yaitu di samping memiliki fungsi legislasi, juga memiliki fungsi anggaran, dan pengawasan (Pasal 20 A ayat 1 UUD 1945). Di samping itu DPR memiliki hak interplasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat (Pasal 20A ayat 2). Bahkan lebih dari itu bahwa anggota DPR memiliki hak menyampaikan usul, pernyataan dan hak imunitas (Pasal 20 A ayat 3).
c. Fungsi, kedudukan dan Kewenangan DPD Dewan Perwakilan Daerah sebagai suatu lembaga baru dalam UUD 1945 hasil amandemen berwenang mengajukan RUU kepada DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan antara pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah Pasal 22 D (1) Dewan Perwakilan Daerah berhak ikut dalam pembahasan RUU tentang hal-hal di atas Pasal 22 D (2) serta berhak memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU tentang: APBN, pajak, pendidikan, dan agama Pasal 22 D (2).
126
Pengantar Hukum Indonesia
Melakukan pengawasan atau pelaksanaan UU tentang semua hal di atas, dan menyampaikan hasil pengawasan tersebut kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti Pasal 22D (3).
d. Kedudukan, Fungsi dan Kewenangan Presiden Sebelum dilakukan amandemen maka presiden dan wakilnya dipilih oleh MPR Pasal 6 (2), serta presiden sebagai (mandataris MPR). Penjelasan UUD 45 tentang “Sistem Pemerintahan Negara” bag III). Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif) (Pasal 4), pemegang kekuasaan legislatif dengan persetujuan DPR, (Pasal 5), menetapkan Peraturan Pemerintah (PP), (Pasal 5 ayat 2); menetapkan Perpu (Pasal 22 (1)), dan pemegang kekuasaan tertinggi angkatan bersenjata (Pasal 10). Masa jabatan Presiden sebelum amandemen adalah lima tahun dan dapat dipilih kembali tanpa dibatasi periodenya (Pasal 7). Dengan persetujuan DPR berhak menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain Pasal 13 (1) & (2). Memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi (Pasal 14). Namun setelah dilakukan amandemen maka kedudukan dan fungsi presiden dan wakil presiden adalah sebagai berikut. 1) Presiden dan wakil presiden dipilih sebagai suatu pasangan secara langsung oleh rakyat (Pasal 6A (1)). 2) Masa jabatan presiden dan wakil presiden selama lima tahun, serta dibatasi maksimal dua periode (Pasal 7). 3) Presiden hanya berhak mengajukan RUU ke DPR Pasal 5(1). 4) Tidak bisa membekukan dan membubarkan DPR Pasal 7C. Mengangkat duta dan menerima duta dari negara lain, dengan pertimbangan DPR Pasal 13(2) dan (3), Memberi grasi dan rehabilitasi dengan pertimbangan MA Pasal 14(1), memberi amnesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR Pasal 14(2).
e. Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Kedudukan, fungsi, dan kewenangan DPA sebelum amandemen berhak mengajukan usul kepada pemerintah dan bertugas memberi
Bab 7: Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
127
jawaban atas pertanyaan presiden. Selain itu, berfungsi sebagai lembaga pertimbangan/badan penasihat bagi pemerintah. Pasca amandemen “presiden berhak membentuk Dewan Pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden”, sehingga menghilangkan kedudukan Dewan Pertimbangan Agung.
f. Badan Pengawasan Keuangan (BPK) Kedudukan, fungsi dan kewenangan BPK sebelum amandemen adalah memeriksa tanggung jawab keuangan negara. Hasil pemeriksaan tersebut diberitahukan kepada DPR Pasal 23(5). Pasca amandemen dalam Pasal 23 E ditetapkan sebagai berikut. 1) Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri. 2) Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan kewenangannya. 3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang.
g. Mahkamah Agung (MA) Kedudukan MA sebelum amandemen adalah pemegang dan pelaksana tunggal kekuasaann yudisial Pasal 24 (1). Namun, setelah amandemen: pemegang dan pelaksana kekuasaan yudisial dilakukan bersama dengan Mahkamah Konstitusi Pasal 24(2). Mahkamah Agung juga melakukan pengelolaan lembaga-lembaga peradilan: umum, agama, militer dan Tata Usaha Negara (Pasal 24(2)). Pengadilan pada tingkat kasasi dan berhak melakukan Judicial review atas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap UU.
h. Komisi Yudisial (KY) Kedudukan, fungsi, dan kewenangan Komisi Yudiasial dengan amandemen dalam Pasal 24.
128
Pengantar Hukum Indonesia
1) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR Pasal 24B (3). 2) Berwenang mengusulkan calon pengangkatan hakim agung kepada DPR, dan mempunyai kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim Pasal 24A (3) Jo. Pasal 24B (1). Jumlah anggota 9 orang, terdiri dari: 3 orang mantan hakim agung, 2 orang advokat, 2 orang tokoh masyarakat/agama, 2 orang akademisi
i. Mahkamah Konstitusi (MK) Sebagai lembaga baru dalam sistem ketatanegaaran di Indonesia, maka MK memiliki kewenangan sebagai berikut. 1) Melakukan judicial review atas UU terhadap UUD Pasal 24 C (1). 2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannnya diberikan oleh UUD Pasal 24 C (1). 3) Memutus pembubaran parpol Pasal 24 C (1) 4) Memutus perselisihan tentang hasil Pemilu Pasal 24 C (1) 5) memberikan putusan atas pendapat DPR atas dugaan pelanggaran oleh presiden dan wakil presiden Pasal 24 C(2) Judicial review itu dilakukan karena undang-undang itu bertentangan dengan UUD, atau bertentangan dengan undang-undang jika peraturan itu di bawah undang-undang. Peraturan dikeluarkan/ditetapkan oleh institusi atau pejabat yang tidak berwenang. Peraturan ditetapkan dengan cara menyimpang dari tata cara pembuatan yang lazim. Peraturan terbukti dibuat dengan maksud yang bertentangan dengan hukum dan kepatutan.
B. Hukum Administrasi Negara 1. Pengertian Hukum Administrasi Negara Hukum Administrasi menurut J. M. Baron de Gerando, adalah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan timbal-balik antara pemerintah dan rakyat. Menurut J. H. A. Logemann, Hukum Administrasi
Bab 7: Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
129
Negara merupakan peraturan-peraturan khusus, yang mengatur caracara organisasi negara ikut serta dalam lalu lintas masyarakat. Hukum administrasi mengatur saran bagi penguasa untuk mengatur dan mengendalikan masyarakat, mengatur cara-cara partisipasi warga negara dalam proses pengaturan dan pengendalian tersebut. Menetapkan normanorma fundamental bagi penguasa untuk pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur). Di Belanda Hukum Admnistrasi Negara disebut sebagai Staat en administratief recht. Terdapat dua istilah: administratief recht (dari kata dasar administratie) dan bestuursrecht (kata dasar bestuur) Administatie diterjemahkan sebagai tata usaha, tata pemerintahan, tata usaha negara dan administrasi. Kata bestuur diterjemahkan pemerintahan. Dari berbagai pengertian sebagaimana tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Hukum Administrasi Negara yaitu sebagai berikut. a. Peraturan hukum yang mengatur administrasi, yaitu hubungan antara warga negara dan pemerintahnya yang menjadi sebab hingga negara itu berfungsi (Abdoel Djamali) b. Keseluruhan aturan yang harus diperhatikan oleh para penguasa yang diserahi tugas pemerintah dalam menjalankan tugasnya (Van Apeldoorn)
2. Ruang Lingkup Hukum Administrasi Negara Ruang lingkup Hukum Administrasi Negara menurut Van Vollenhoven dalam bukunya yang berjudul: Omtrek van het administratiefrecht, memberikan skema tentang hukum administrasi negara di dalam kerangka hukum seluruhnya sebagai berikut. a. Hukum Tata Negara/Staatsrecht meliputi: 1. Pemerintah/Bestuur; 2. Peradilan/Rechtopraak; 3. Polisi/Politie; 4. Perundang-undangan/Regeling.
130
Pengantar Hukum Indonesia
b. Hukum Perdata/Burgerlijk; c. Hukum Pidana/Strafrecht; d. Hukum Administarsi Negara/administratief recht yang meliputi: 1. Hukum Pemerintah/Bestuurrecht; 2. Hukum Peradilan yang meliputi: a. Hukum Acara Pidana; b. Hukum Acara Perdata; c. Hukum Peradilan Administrasi Negara; 3. Hukum Kepolisian; 4. Hukum Proses Perundang-undangan/Regelaarsrecht. Prajudi Atmosudirdjo mengatakan bahwa ruang lingkup Hukum Administrasi Negara adalah: a. Hukum tentang dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum daripada Administrasi Negara; b. Hukum tentang organisasi dari Administrasi Negara; c. Hukum tentang aktivitas-aktivitas dari Administrasi Negara yang bersifat yuridis; d. Hukum tentang sarana-sarana dari Administrasi Negara terutama mengenai kepegawaian negara dan keuangan negara.
3. Hubungan Hukum Administrasi Negara dengan Ilmu Pengetahuan Lain a. Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Tata Negara Mr. W.F Prins menyatakan bahwa “hukum administrasi negara merupakan aanhangsel (embel-embel atau tambahan) dari hukum tata negara”. Sementara Mr. Dr. Romeyn menyatakan bahwa “hukum tata negara menyinggung dasar-dasar daripada negara, sedangkan hukum administrasi negara adalah mengenai pelaksanaan tekniknya”. Pendapat Romeyn ini dapat diartikan bahwa hukum administrasi negara adalah
Bab 7: Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
131
sejenis hukum yang dapat melaksanakan apa yang telah ditentukan oleh hukum administrasi negara dan sejalan dengan Teori Dwi Prajadari Donner, maka hukum tata negara itu menetapkan tugas (taakstelling), sedangkan hukum administrasi negara itu melaksanakan apa yang telah ditentukan oleh hukum tata negara (taakverwezenlijking).
b. Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Pidana Romeyn berpendapat bahwa hukum pidana dapat dipandang sebagai bahan pembantu atau “hulprecht” bagi hukum administrasi negara, karena penetapan sanksi pidana merupakan satu sarana untuk menegakkan hukum tata pemerintahan, dan sebaliknya peraturan-peraturan hukum di dalam perundang-undangan administratif dapat dimasukkan dalam lingkungan hukum pidana. Sedangkan, E. Utrecht mengatakan bahwa hukum pidana memberi sanksi istimewa baik atas pelanggaran kaidah hukum privat, maupun atas pelanggaran hukum publik yang telah ada. Pendapat lain dikemukakan oleh Victor Situmorang bahwa apabila ada kaidah hukum administrasi negara yang diulang lagi menjadi kaidah hukum pidana, atau dengan perkataan lain apabila ada pelanggaran kaidah hukum administrasi negara, maka sanksinya terdapat dalam hukum pidana.
c. Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Perdata Menurut Paul Scholten bagaimana dikutip oleh Victor Situmorang bahwa hukum admninstrasi negara itu merupakan hukum khusus, hukum tentang organisasi negara dan hukum perdata sebagai hukum umum. Pandangan ini mempunyai dua asas yaitu pertama, negara dan badan hukum publik lainnya dapat menggunakan peraturan-peraturan dari hukum perjanjian. Kedua, adalah asas Lex Specialis de rogaat Lexgeneralis, artinya bahwa hukum khusus mengesampingkan hukum umum, yaitu apabila suatu peristiwa hukum diatur baik oleh hukum administrasi negara maupun oleh hukum perdata, maka peristiwa itu diselesaikan berdasarkan hukum administrasi negara sebagai hukum khusus, tidak diselesaikan berdasarkan hukum perdata sebagai hukum umum.
132
Pengantar Hukum Indonesia
4. Teori-teori dalam Hukum Administrasi Negara a. Teori Ekapraja (Ekatantra) Teori ini ada dalam negara yang berbentuk sistem pemerintahan monarki absolut, di mana seluruh kekuasaan negara berada di tangan satu orang yaitu raja. Raja dalam sistem pemerintahan yang monarki absolut memiliki kekuasaan untuk membuat peraturan (legislatif), menjalankan (eksekutif) dan mempertahankan dalam arti mengawasi (yudikatif). Dalam negara yang berbentuk monarki absolut ini hukum administrasi negara berbentuk instruksi-instruksi yang harus dilaksanakan oleh aparat negara (sistem pemerintahan yang sentralisasi dan konsentrasi). Lapangan pekerjaan administrasi negara atau hukum administrasi negara hanya terbatas pada mempertahankan peraturan-peraturan dan keputusankeputusan yang dibuat oleh raja.
b. Teori Dwipraja (Dwitantra) Hans Kelsen membagi seluruh kekuasaan negara menjadi dua bidang yaitu: 1) Legis Latio, yang meliputi “Law Creating Function”. 2) Legis Executio, yang meliputi: a) Legislative power. b) Judicial power. Legis Executio ini bersifat luas, yakni melaksanakan “The Constitution” beserta seluruh undang-undang yang ditetapkan oleh kekuasaan legislatif, maka mencakup selain kekuasaan administratif juga seluruh judicial power. Lebih lanjut lagi Hans Kelsen kemudian membagi kekuasaan administratif tersebut menjadi dua bidang yang disebut sebagai Dikotomi atau Dwipraja atau Dwitantra, yaitu: 1) Political Function (yang disebut Government). 2) Administrative Function (dalam bahasa Jerman “Verwaltung” sedangkan dalam bahasa Belanda disebut “Bestuur”). Teori yang membagi fungsi pemerintahan dalam dua fungsi seperti tersebut di atas disebut dengan Teori Dwipraja. Bab 7: Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
133
c. Teori Tripraja (Trias Politica) John Locke dalam bukunya “Two Treatises on Civil Government”, membagi tiga kekuasaan dalam negara yang berdiri sendiri dan terlepas satu sama lain, yaitu: 1) Kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat peraturan perundangan. 2) Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan, termasuk di dalamnya juga kekuasaan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundangan, yaitu kekuasaan pengadilan (yudikatif). 3) Kekuasaan federatif, yaitu kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain seperti membuat alliansi dan sebagainya atau misalnya kekuasaan untuk mengadakan hubungan antara alat-alat negara baik intern maupun ekstern. Pada tahun 1748, Filsuf Prancis Montesquieu memperkembangkan lebih lanjut pemikiran John Locke dalam bukunya “L’Esprit des Lois (The Spirit of the Law). Montesquieu juga membagi kekuasaan negara menjadi tiga yaitu: 1) Kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat undang-undang, dijalankan oleh parlemen. b) Kekuasaan eksekutif, yaitu meliputi penyelenggaraan undang-undang (terutama tindakan di bidang luar negeri). c) Kekuasaan yudikatif, yaitu kekuasaan mengadili pelanggaran atas undang-undang. Berbeda dengan John Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif, Montesquieu justru memandang kekuasaan pengadilan (yudikatif) sebagai kekuasaan yang harusnya berdiri sendiri, dan sebaliknya kekuasaan hubungan luar negeri yang disebut John Locke sebagai kekuasaan federatif, dimasukkan ke dalam kekuasaan eksekutif. Sistem pemerintahan di mana kekuasaan yang ada dalam suatu negara dipisahkan menjadi tiga kekuasaan tersebut di atas dikenal dengan Teori Tripraja.
134
Pengantar Hukum Indonesia
d. Teori Catur Praja Teori keempat yaitu teori residu dari Van Vollenhoven dalam bukunya “Omtrek Van Het Administratief Recht”, membagi kekuasaan/fungsi pemerintah menjadi empat yang dikenal dengan teori catur praja yaitu: 1) Fungsi memerintah (bestuur)
Dalam negara yang modern fungsi bestuur yaitu mempunyai tugas yang sangat luas, tidak hanya terbatas pada pelaksanaan undang-undang saja. Pemerintah banyak mencampuri urusan kehidupan masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya maupun politik.
2) Fungsi polisi (politie)
Merupakan fungsi untuk melaksanakan pengawasan secara preventif yakni memaksa penduduk suatu wilayah untuk mentaati ketertiban hukum serta mengadakan penjagaan sebelumnya (preventif), agar tata tertib dalam masyarakat tersebut tetap terpelihara.
3) Fungsi mengadili (justitie)
Adalah fungsi pengawasan yang represif sifatnya yang berarti fungsi ini melaksanakan yang konkret, supaya perselisihan tersebut dapat diselesaikan berdasarkan peraturan hukum dengan seadil-adilnya.
4) Fungsi mengatur (regelaar)
Yaitu suatu tugas perundangan untuk mendapatkan atau memperoleh seluruh hasil legislatif dalam arti material. Adapun hasil dari fungsi pengaturan ini tidaklah undang-undang dalam arti formil (yang dibuat oleh presiden dan DPR), melainkan undang-undang dalam arti material yaitu setiap peraturan dan ketetapan yang dibuat oleh pemerintah mempunyai daya ikat terhadap semua atau sebagian penduduk wilayah dari suatu negara.
e. Teori Panca Praja Dr. JR. Stellinga dalam bukunya yang berjudul “Grondtreken Van Het Nederlands Administratiegerecht”, membagi fungsi pemerintahan menjadi lima fungsi yaitu: 1) Fungsi perundang-undangan (wetgeving), 2) Fungsi pemerintahan (Bestuur), 3) Fungsi Kepolisian (Politie), 4) Fungsi Peradilan (Rechtspraak), 5) Fungsi Kewarganegaraan (Burgers). Lemaire Bab 7: Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
135
juga membagi fungsi pemerintahan menjadi lima, yaitu: 1) Bestuurszorg (kekuasaan menyelenggarakan kesejahteraan umum), 2) Bestuur (kekuasaan pemerintahan dalam arti sempit), 3) politie (kekuasaan polisi), 4) Justitie (kekuasaan mengadili), dan 5) reglaar (kekuasaan mengatur).
f. Teori Sad Praja Teori Sad Praja ini dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro, bahwa kekuasaan pemerintahan dibagi menjadi 6 kekuasaan, yaitu: 1) Kekuasaan Pemerintah 2) Kekuasaan Perundangan 3) Kekuasaan Pengadilan 4) Kekuasaan Keuangan 5) kekuasaan Hubungan luar negeri 6) Kekuasaan Pertahanan dan Keamanan umum
5. Keputusan Tata Usaha Negara dan Perbuatan Pemerintah Lainnya a. Keputusan Tata Usaha Negara Keputusan Tata Usaha Negara pertama kali diperkenalkan oleh Otton Meyer, seorang sarjana asal Jerman dengan istilah verwaltungsakt dan kemudian di Belanda dikenal dengan istilah beschikking oleh Van Vollenhoven dan C.W. van der Pot. Di Indonesia, para pakar banyak yang mengartikan istilah beschikking dengan dua asal kata terjemahan, yaitu “keputusan” serta “ketetapan”. Menurut Pasal 1 Angka (3) UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986, yang berisi kompetensi absolut peradilan tata usaha negara, menyatakan pengertian dari keputusan tata usaha negara, yaitu “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”. Berdasarkan pengertian keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986,
136
Pengantar Hukum Indonesia
jika diuraikan apa yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut, akan ditemukan unsur-unsurnya sebagai berikut. 1) Penetapan tertulis. 2) Dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. 3) Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan. 4) Bersifat konkret, individual dan final. 5) Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Berdasarkan definisi dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 di atas, maka dapat dijelaskan sebagai berikut. 1) Konkret
Bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan.
2) Bersifat individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan. 3) Final Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan. Pasal 2 UU PTUN, menetapkan adanya Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak termasuk sebagai Keputusan Tata usaha Negara, yaitu: 1. Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan hukum perdata/merupakan perbuatan hukum perdata. 2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum/berlaku umum. 3. Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan KUHP atau perundangan yang bersifat pidana (KUHAP).
Bab 7: Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
137
4. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan pihak lainnya. 5. Keputusan Tata Usaha Negara berdasar hasil pemeriksaan badan peradilan. 6. Keputusan Tata Usaha Negara Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (sekarang TNI) 7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di tingkat pusat maupun daerah tentang hasil pemilihan umum.
b. Perbuatan Pemerintah Lainnya Di samping ketetapan atau keputusan tata usaha negara di atas dijumpai pula beberapa perbuatan pemerintahan lainnya sebagai berikut. 1) Dispensasi
adalah suatu ketetapan yang menghapuskan akibat daya mengikatkan suatu peraturan perundang-undangan, Prajudi Atmosudirdjo mengatakan: “Dispensasi merupakan suatu pernyataan alat pemerintahan yang berwenang bahwa kekuatan undang-undang tertentu tidak berlaku terhadap masalah/kasus yang diajukan oleh seseorang”.
Van Der Pot mengatakan: “Dispensasi adalah keputusan alat pemerintah yang membebaskan suatu perbuatan dari cengkraman dari suatu peraturan yang melarang perbuatan itu.
2) Izin/Vergunning
Izin adalah ketetapan yang menguntungkan, misalnya memberi izin untuk menjalankan perusahaan. Ada dasarnya izin diberikan karena ada peraturan perundang-undangan.
3) Lisensi
Merupakan izin untuk menjalankan suatu perusahaan, lisensi untuk impor barang-barang atau ekspor hasil bumi.
4) Konsensi
138
Merupakan suatu perjanjian bersyarat antara pemerintah dengan
Pengantar Hukum Indonesia
seorang/swasta untuk melakukan suatu tugas pemerintah. Van Vollen Hoven mengatakan: Bilamana pihak swasta atas izin pemerintah melakukan suatu usaha besar yang menyangkut kepentingan masyarakat, misalnya: konsensi pertambangan, kehutanan. 5) Perintah
Prins mengatakan: “Perintah ialah pernyataan kehendak pemerintah yang tugasnya disebutkan siapa-siapa dan bagi orang-orang itu melahirkan kewajiban tertentu yang sebelumnya bukan kewajiban. Misalnya, perintah untuk membubarkan orang-orang tertentu yang berkumpul dengan bermaksud jahat berdasarkan Pasal 218 KUHPidana, perintah pengosongan rumah, pembokaran bangunan.
6) Panggilan
Menurut Prins mengatakan: “Panggilan memberikan kesan adanya atau timbulnya kewajiban, hal ini berarti bahwa apabila panggilan itu tidak dipenuhi akan dikenakan sanksi. Misalnya, panggilan jaksa kepada seseorang tertentu untuk didengar keterangannya atau panggilan polisi bagi seseorang untuk dimintai keterangannya.
7) Undangan
Menurut Prins: “Undangan dapat dan/atau tidak menimbulkan kewajiban dan tidak mempunyai akibat hukum, hanya mempuyai kewajiban moral”.
Bab 7: Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
139
BAB 8 HUKUM DAGANG
A. Pendahuluan Hukum dagang sebagai suatu rangkaian norma yang diberlakukan khusus dalam dunia usaha atau kegiatan-kegiatan perniagaan. Sejarah berlakunya hukum dagang di Indonesia tidak terlepas dari masuknya kolonial Belanda ke Indonesia yang menerapkan aturan hukum dagang negeri Belanda berdasarkan asas konkordansi. Terdapat berbagai pengertian hukum dagang baik oleh para ahli maupun dari peraturan perundangundangan yang berlaku. Sumber berlakunya hukum dagang terdiri atas sumber hukum yang bersifat tertulis dan tidak terkodifikasi serta sumber hukum yang bersifat tertulis dan terkodifikasi. Pembahasan mengenai hukum dagang terdiri atas hukum perusahaan, jenis-jenis surat berharga menurut KUHD maupun di luar KUHD, hukum pengangkutan, berbagai ketentuan umum tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI), pengertian dan dasar hukum asuransi, serta tujuan dilaksanakannya asuransi.
B. Sejarah Hukum Dagang Pada abad pertengahan ketika bangsa Romawi sedang mengalami masa kejayaan, hukum Romawi pada waktu itu dianggap paling sempurna, dan banyak digunakan di berbagai Negara. Dalam perniagaan yang semakin
141
ramai timbullah hal-hal yang tidak dapat lagi diselesaikan dengan hukum Romawi, persoalan dagang dan perselisihan antara para pedagang terpaksa harus diselesaikan oleh mereka sendiri. Oleh karena itu, mereka membentuk badan-badan yang harus mengadili sengketa antara para pedagang. Badan-badan tersebut juga bertugas membuat berbagai ketentuan yang mengatur hubungan antar pedagang. Lambat laun lahirlah peraturan-peraturan khusus mengenai dagang. Hukum yang berlaku bagi pedagang berdasarkan perintah Napoleon dibukukan dalam sebuah buku Code de Commerce (tahun 1807). Selanjutnya disusunlah kitab-kitab lainnya, yakni: 1. Code Civil adalah yang mengatur hukum sipil/hukum perdata. 2. Code Penal ialah yang menentukan hukum pidana. Kedua buku tersebut dibawa serta berlaku di negeri Belanda dan akhirnya diterapkan di Indonesia. Pada tanggal 1 Januari 1809 Code de Commerce (Hukum Dagang) berlaku di negeri Belanda yang pada waktu itu menjadi jajahannya. Kitab Undang-undang Hukum Dagang dibagi dalam 2 (dua) buku, yaitu buku pertama tentang dagang pada umumnya dan buku kedua tentang hak-hak dan kewajiban yang terbit dari pelayaran. Jika dicermati secara seksama, dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang tidak ada definisi apa yang dimaksud dengan hukum dagang. Pembentuk undang-undang pada masa itu merumuskan definisi hukum dagang yang mengacu pada pendapat doktrin dari para sarjana. Untuk memahami makna hukum dagang, berikut dikutip rumusan Hukum Dagang yang dikemukakan oleh para sarjana, yaitu sebagai berikut (Hasyim, 2013: 7). 1. Hukum Dagang adalah hukum yang mengatur soal-soal perdagangan, yaitu soal-soal yang timbul karena tingkah laku manusia dalam perdagangan. 2. Hukum Dagang adalah bagian dari hukum perdata pada umumnya, yakni yang mengatur masalah perjanjian dan perikatan-perikatan yang diatur dalam Buku III BW. Dengan kata lain, Hukum Dagang adalah
142
Pengantar Hukum Indonesia
himpunan peraturan-peraturan yang mengatur seseorang dengan orang lain dalam kegiatan perusahaan yang terutama terdapat dalam kodifikasi Kitab Undang-undang Hukum Dagang Dan Kitab Undangundang Hukum Perdata.
Hukum Dagang dapat pula dirumuskan sebagai serangkaian kaidah yang mengatur tentang dunia usaha atau bisnis dan dalam lalu lintas perdagangan.
3. Hukum Dagang (Handelsrecht) adalah keseluruhan dari aturan hukum mengenai perusahaan dalam lalu lintas perdagangan, sejauh mana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan beberapa undang-undang tambahan. Di Belanda Hukum Dagang dan Hukum Perdata dijadikan dalam 1 (satu) buku, yaitu Buku II dalam BW baru Belanda. 4. Hukum Dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan. 5. Hukum Dagang adalah hukum bagi para pedagang untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-sebesarnya. Setelah mereka kembali pada tanggal 1 Oktober 1938, Belanda berhasil mengubah Code de Commerce menjadi Wetbook van Koophandel (WvK). Pada tahun 1847 berlaku pula di Indonesia atas dasar concordantie (persamaan) yang disebut Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD).
C. Pengertian Hukum Dagang Hukum dagang ialah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan untuk memperoleh keuntungan, atau hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia dan badan-badan hukum satu sama lainnya dalam lapangan perdagangan. Sistem hukum dagang menurut arti luas dibagi 2: tertulis dan tidak tertulis tentang aturan perdagangan. Adapun hubungan antara hukum dagang dan hukum perdata tercantum dalam KUHD (Pasal 1 KUHD). Prof. Subeki berpendapat bahwa terdapatnya KUHD di samping KUHS sekarang ini dianggap tidak pada tempatnya. Hal ini dikarenakan hukum dagang relatif sama dengan hukum perdata.
Bab 8: Hukum Dagang
143
Selain itu, pengertian “dagang” bukanlah suatu pengertian dalam hukum melainkan suatu pengertian perekonomian. Pembagian Hukum Sipil ke dalam KUHD hanyalah berdasarkan sejarah saja, yaitu karena dalam hukum Romawi belum terkenal peraturan-peraturan seperti yang sekarang termuat dalam KUHD, sebab perdagangan antar negara baru berkembang dalam abad pertengahan. Pada beberapa negara, misalnya di Amerika Serikat dan Swiss, tidak terdapat suatu Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang terpisah dari KUHS. Dahulu memang peraturan-peraturan yang termuat dalam KUHD dimaksudkan hanya berlaku bagi kalangan pedagang saja. Akan tetapi sekarang ini KUHD berlaku bagi setiap orang, termasuk yang bukan pedagang. Dapat dikatakan bahwa sumber yang terpenting dari Hukum Dagang adalah KUHS. Hal ini memang dinyatakan dalam Pasal 1 KUHS yang berbunyi “KUHS dapat juga berlaku dalam hal-hal yang diatur dalam KUHD sekadar KUHD itu tidak khusus menyimpang dari KUHS”. Hal ini berarti bahwa untuk hal-hal yang diatur dalam KUHD, sepanjang tidak terdapat peraturan-peraturan khusus yang berlainan, juga berlaku peraturanperaturan dalam KUHS. Dengan demikian sudahlah diakui bahwa kedudukan KUHD terhadap KUHS adalah sebagai hukum khusus terhadap Hukum umum. Menurut Prof. Sudiman Kartohadiprojo, KUHD meru pakan suatu Lex Specialis terhadap KUHS yang sebagai Lex Generalis. Maka sebagai Lex Specialis apabila dalam KUHD terdapat ketentuan mengenai soal yang terdapat pula pada KUHS, maka ketentuan dalam KUHD itulah yang berlaku. Beberapa pendapat sarjana hukum lainnya tentang hubungan kedua hukum ini di antaranya: 1. Van Kan beranggapan bahwa “Hukum Dagang adalah suatu tambahan Hukum Perdata”. Dengan kata lain hukum dagang merupakan suatu tambahan yang mengatur hal-hal yang khusus. KUHS menurut hukum perdata dalam arti sempit, sedangkan KUHD memuat penambahan yang mengatur hal-hal khusus hukum perdata dalam arti sempit itu. 2. Van Apeldoorn menganggap “Hukum Dagang adalah suatu bagian istimewa dari lapangan Hukum Perikatan yang tidak dapat ditetapkan dalam Kitab III KUHS”.
144
Pengantar Hukum Indonesia
3. Sukzardono mengatakan bahwa Pasal 1 KUHD “memelihara kesatuan antara Hukum Perdata Umum dengan Hukum Dagang sekadar KUHD itu tidak khusus menyimpang dari KUHS”. 4. Tirtamijaya menyatakan bahwa “Hukum Dagang adalah suatu Hukum Sipil yang istimewa”. Dalam hubungan hukum dagang dan hukum perdata ini dapat pula dibandingkan dengan sistem hukum negara di Swiss. Seperti juga Indonesia, negara Swiss juga berlaku dua buah kodifikasi yang juga mengatur bersama hukum perdata, yaitu: a. Schweizeriches Zivil Gesetzbuch dari tanggal 10 Desember 1907 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1912. b. Schweizeriches Obligationrecht dari tanggal 30 Maret 1911, yang mulai berlaku juga pada 1 Januari 1912. Kodifikasi yang kedua ini mengatur seluruh hukum perikatan yang di Indonesia diatur dalam KUHS (Buku III)
D. Sumber-sumber Hukum Dagang Hukum dagang Indonesia terutama bersumber atau diatur dalam: 1. Hukum Tertulis yang dikodifikasikan a. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) atau wetbook van Koophandel (WvK). b. Kitab Undang-undang Hukum Sipil (KUHS) atau Burgelijk Wetbook (BW). 2. Hukum Tertulis yang belum dikodifikasikan
Yakni peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan.
1. Kitab Undang-undang Hukum Dagang Kitab Undang-undang Hukum dagang (KUHD) merupakan sumber hukum tertulis yang mengatur masalah perdagangan/perniagaan. KUHD terdiri atas dua buku, yaitu: Buku Pertama, yang terbagi dalam 9 tittle, yaitu sebagai berikut.
Bab 8: Hukum Dagang
145
a. Tentang pembukuan. b. Tentang beberapa macam persekutuan dagang. c. Tentang bursa, makelar. d. Tentang komisioner, ekspeditur, dan pengangkutan melalui sungai dan perairan di darat. e. Surat wesel. f. Tentang cheque, promes, kuitansi bawa (aan toonder). g. Tentang hak reklame atau tuntutan kembali suatu kepailitan. h. Tentang asuransi seumumnya. i.
Tentang asuransi kebakaran, asuransi pertanian, dan jiwa. (pembahasan lebih lanjut dalam subbab KUHD tersendiri).
Buku Kedua, tentang hak dan kewajiban yang timbul dari pelayaran yaitu sebagai berikut: a. Kapal Laut dan muatannya. b. Orang yang menyewakan kapal dan tempat sewaan kapal. c. Kapten, anak buah kapal dan penumpang kapal. d. Perjanjian buruh kapal. e. Pemuatan kapal. f. Tubrukan. g. Kecelakaan kapal, kandas, barang-barang yang terdampar ombak. h. Asuransi bahaya pengangkutan di darat. i.
Kapal-kapal dan perahu-perahu dalam perairan di darat.
j.
Asuransi bahaya kapal.
k. Kecelakaan. l.
Hapusnya perjanjian dalam perdagangan.
2. Kitab Undang-undang Hukum Sipil (KUHS)/BW Kitab Undang-undang Hukum Sipil/BW terbagi menjadi empat bagian yaitu sebagai berikut.
146
Pengantar Hukum Indonesia
a. Hukum Perorang (Personenrecht). b. Hukum Kebendaan (Zakenrecht). c. Hukum Perikatan (Verbintenissenrecht). d. Pembuktian dan Daluwarsa. Di dalam hukum perikatan, masalah perdagangan atau perniagaan diatur lebih rinci. Hukum Perikatan adalah hukum yang mengatur akibat hukum, yakni suatu hubungan hukum, yang terletak dalam bidang hukum harta kekayaan, antara dua pihak yang masing-masing berdiri sendiri (Zelfstandige rechtssubjecten).
c. Di luar KUHD dan KUHS Sumber dari hukum dagang atau hukum perdata di luar KUHD dan KUHS, yaitu sebagai berikut. 1) Kebiasaan, berdasarkan Pasal 1339 dan 1347 BW yang berbunyi: Untuk apa yang sudah menjadi kebiasaan (Asumsi) dan hal yang sudah lazimnya harus dianggap sebagai termasuk juga dalam suatu perjanjian. 2) Peraturan Kepailitan (S. 1905-No. 217). 3) Undang-Undang Hak Cipta (Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 –LN. 1982 No. 15). 4) Peraturan Oktroi (S. 1911-No. 136, S. 1922-No.25). 5) Peraturan tentang Pabrik dan Merk Dagang (S. 1912 No. 545). 6) Peraturan tentang Hasil Bumi (oogstverband) (S. 1886-No. 57). 7) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi. 8) Ordonansi Balik Nama (staatsblad 1834-No. 27).
E. Hukum Perusahaan 1. Perbuatan Perniagaan Pedagang adalah mereka yang melakukan perbuatan perniagaan sebagai pekerjaannya sehari-hari. Kemudian oleh Pasal 3 KUHD (lama) disebutkan lagi bahwa perbuatan perniagaan pada umumnya adalah Bab 8: Hukum Dagang
147
perbuatan pembelian barang-barang untuk dijual kembali. Dari ketentuan Pasal 3 KHUD (sudah dicabut) tersebut, H.M.N. Purwosutjipto mencatat: 1. Perbuatan perniagaan hanya perbuatan pembelian saja, sedangkan perbuatan penjualan tidak termasuk di dalamnya karena penjualan merupakan tujuan pembelian itu; dan 2. Pengertian barang di sini berarti barang bergerak. Jadi, tidak termasuk barang tetap. Pasal 4 KUHD (sudah dicabut) kemudian lebih merinci lagi beberapa kegiatan termasuk dalam kategori perbuatan perniagaan, yaitu: a) perusahaan komisi; b) perniagaan wesel; c) pedagang, bankir, kasir, makelar, dan yang sejenis; d) pembangunan, perbaikan, dan perlengkapan kapal untuk pelayaran di laut; e) ekspedisi dan pengangkutan barang; f) jual-beli perlengkapan dan keperluan kapal; g) rederij, carter kapal, bordemerij, dan perjanjian lain tentang perniagaan laut; h) mempekerjakan nahkoda dan anak buah kapal untuk keperluan kapal niaga; i) perantara (makelar) laut, cargadoor, convoilopers, pembantu-pembantu pengusaha perniagaan, dan lain-lain; j) perusahaan asuransi. Pasal 5 KUHD (sudah dicabut) menambahkan lagi kegiatan yang termasuk dalam kategori perbuatan perniagaan, yaitu perbuatan-perbuatan yang timbul dari kewajiban-kewajiban menjalankan kapal untuk melayari laut, kewajiban-kewajiban mengenai tubrukan kapal, tolong-menolong dan menyimpan barang-barang di laut yang berasal dari kapal karam atau terdampar, begitu pula penemuan barang-barang di laut, pembuangan barang-barang di laut ketika terjadi avarai (avarij).
148
Pengantar Hukum Indonesia
Pasal 2 sampai dengan Pasal 5 tersebut telah dicabut oleh Stb.1938276 yang mulai berlaku sejak tanggal 17 Juli 1936. Ketentuan ini juga mengganti istilah perbuatan perniagaan istilah perusahaan.
2. Perusahaan dan Menjalankan Perusahaan Berbeda dengan istilah perbuatan perniagaan yang terdapat dalam Pasal 2 sampai 5 KUHD (sudah dicabut) yang secara rinci menjelaskan makna perbuatan perniagaan tersebut, istilah perusahaan dan menjalankan perusahaan yang dianut KUHD sekarang tidak ada penjelasan atau perinciannya. Menurut H.M.N. Purwosutjipto, hal tersebut rupanya memang disengaja oleh pembentuk undang-undang, agar pengertian perusahaan berkembang baik dengan gerak langkah dalam lalu lintas perusahaan sendiri. Pengembangan makna tersebut diserahkan kepada dunia ilmiah dan yurisprudensi. Dalam perkembangannya, definisi otentik perusahaan dapat pula ditemukan di dalam beberapa undang-undang. Menurut Pemerintah Belanda ketika membacakan Memorie van Toelichting (Penjelasan) Rencana Undang-Undang Wetboek van Koophandel di muka parlemen menyebutkan, bahwa perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus, dengan terang-terangan dalam kedudukan tertentu, dan untuk mencari laba bagi dirinya sendiri. Menurut Molengraaf, perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus, bertindak ke luar untuk mendapatkan penghasilan, dengan cara memperniagakan barang-barang atau mengadakan perjanjian perdagangan. Polak berpendapat bahwa “baru ada perusahaan jika diperlukan adanya perhitungan laba-rugi yang dapat diperkirakan dan segala sesuatu dicatat dalam pembukuan”. Perkembangan pengertian perusahaan dapat dijumpai dalam UndangUndang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Wajib Daftar Perusahaan, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan. Menurut Pasal 1 Huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982, perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang bersifat tetap dan terusmenerus dan didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Republik Indonesia untuk tujuan memperoleh keuntungan atau laba.
Bab 8: Hukum Dagang
149
Pasal 1 Butir 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 mendefinisikan perusahaan sebagai bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus-menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba baik yang diselenggarakan oleh orang perseorangan maupun badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sesuatu dapat dikatakan sebagai perusahaan jika memenuhi unsur-unsur di bawah ini: a. Bentuk usaha, baik yang dijalankan secara orang perseorangan atau badan usaha; b. Melakukan kegiatan secara tetap dan terus-menerus; dan c. Tujuannya adalah untuk mencari keuntungan atau laba.
3. Organisasi Perusahaan Perusahaan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan dengan terusmenerus dengan tujuan untuk mencari keuntungan. Kegiatan tersebut memerlukan suatu wadah untuk dalam mengelola bisnis tersebut. Wadah tersebut adalah badan usaha atau organisasi perusahaan (business organization). Ada beberapa macam badan usaha yang diuraikan di bawah ini.
a. Perusahaan Perseorangan Perusahaan perseorangan adalah perusahaan yang dilakukan oleh satu orang pengusaha. Di dalam perusahaan perseorangan ini yang menjadi pengusaha hanya satu orang. Dengan demikian modal perusahaan tersebut hanya dimiliki satu orang pula. Jika di dalam perusahaan tersebut banyak orang bekerja, mereka hanyalah pembantu pengusaha dalam perusahaan berdasarkan perjanjian kerja atau pemberian kuasa. Di dalam KUHD maupun peraturan perundang-undangan lainnya tidak dijumpai adanya pengaturan khusus mengenai perusahaan perseorangan sebagaimana halnya bentuk usaha lainnya seperti Perseroan Terbatas (PT), Persekutuan Komanditer (CV), atau juga Koperasi. Menurut H.M.N. Purwosutjipto, bentuk perusahaan perseorangan secara resmi tidak ada.
150
Pengantar Hukum Indonesia
Di dalam dunia bisnis, masyarakat telah mengenal dan menerima bentuk perusahaan perseorangan yang disebut Perusahaan Dagang (PD) atau Usaha Dagang (UD).
b. Badan Usaha yang Berbentuk Persekutuan 1) Persekutuan Perdata (Burgerlijk Maatschap, Partnership); 2) Persekutuan dengan Firma (Firm); 3) Persekutuan Komanditer (Limited Partnership).
c. Badan Usaha Berbadan Hukum (Korporasi) 1) Perseroan Terbatas (PT), termasuk Perusahaan Perseroan (Persero); 2) Koperasi; 3) Perusahaan Umum (Perum); dan 4) Perusahaan Daerah.
4. Persekutuan Perdata Persekutuan perdata adalah padanan dan terjemahan dari burgerlijk maatschap. Di dalam common law system dikenal dengan istilah partnership. Kemudian di dalam hukum Islam dikenal dengan istilah sharikah atau shirkah. Persekutuan adalah suatu bentuk dasar bisnis atau organisasi bisnis. Persekutuan perdata menurut Pasal 1618 KUHPerdata ada perjanjian antara dua orang atau lebih mengikat diri untuk memasukkan sesuatu (inbrengen) ke dalam persekutuan dengan maksud membagi keuntungan yang diperoleh karenanya. Dari ketentuan Pasal 1618 KUHPerdata tersebut, dapat ditarik beberapa unsur yang terdapat di dalam persekutuan perdata, yaitu: a. adanya suatu perjanjian kerja sama antara dua orang atau lebih; b.
masing-masing pihak harus memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan (inbreng);
c. bermaksud membagi keuntungan bersama. Di Inggris, menurut Pasal 1 Partnership Act 1890 persekutuan perdata adalah hubungan antara orang yang menjalankan kegiatan bisnis dengan Bab 8: Hukum Dagang
151
tujuan untuk mendapatkan keuntungan (partnership is relation which subsists between persons carrying a business in common with a view to profit). Dengan demikian, bahwa persekutuan perdata baik dalam sistem hukum Indonesia maupun dalam sistem common law memiliki kesamaan. Kesamaan itu terletak pada hubungan para sekutu didasarkan perjanjian. Dengan perkataan lain, persekutuan perdata tunduk ada hukum perjanjian. Orang (person) yang melakukan kerja sama di dalam persekutuan tersebut dapat berupa perorangan, persekutuan perdata, perusahaan yang berbadan hukum, atau bentuk persekutuan lainnya. Makna bisnis (business) di dalam definisi persekutuan di atas mencakup setiap aktivitas atau kegiatan dalam bidang perdagangan dan pekerjaan (occupation) atau profesi (profession). Dengan demikian, persekutuan perdata dapat merupakan suatu wadah untuk menjalankan kegiatan yang bersifat komersial dan profesi seperti pengacara (advokat) dan akuntan.
5. Hubungan Persekutuan Perdata dengan Firma dan Persekutuan Komanditer Persekutuan perdata adalah genus dari bentuk kerja sama dalam bentuk persekutuan. Bentuk khusus (species) perjanjian persekutuan perdata ini adalah firma dan persekutuan komanditer. Genusnya diatur dalam Buku III KUHPerdata sebagai perjanjian bernama, sedangkan species-nya diatur dalam KUHD. Pengaturan tentang firma dan persekutuan komanditer di dalam KUHD sangat singkat. Ini berlainan dengan persekutuan perdata yang diatur secara rinci di dalam KUHPerdata. Pengaturan yang demikian dapat dipahami. Ketentuan persekutuan perdata di dalam KUHPerdata menjadi ketentuan umum yang dapat berlaku baik bagi persekutuan perdata sendiri maupun firma dan persekutuan komanditer yang merupakan persekutuan perdata. Ketentuan yang berkaitan dengan firma dan persekutuan komanditer dalam KUHD adalah aturan yang bersifat khusus. Sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan khusus, maka ketentuan umum persekutuan perdata berlaku juga bagi firma dan persekutuan komanditer. Dalam hubungan antara firma dan persekutuan komanditer, firma dikatakan sebagai bentuk umum (genus) dan persekutuan komanditer adalah khusus (species) dari firma.
152
Pengantar Hukum Indonesia
6. Perantara dalam Hukum Dagang Pada zaman modern ini perdagangan dapat diartikan sebagai pemberian perantaraan dari produsen kepada konsumen dalam hal pembelian dan penjualan. Pemberian perantaraan produsen kepada konsumen dapat meliputi aneka macam pekerjaan, misalnya sebagai berikut. a. Pekerjaan perantaraan sebagai makelar, komisioner, perdagangan dan sebagainya. b. Pengangkutan untuk kepentingan lalu lintas baik di darat, laut dan udara. c. Pertanggungan (asuransi) yang berhubungan dengan pengangkutan, supaya pedagang dapat menutup risiko pengangkutan dengan asuransi.
a. Makelar (Broker) Menurut undang-undang, makelar adalah perantara dagang yang disumpah, yang mengadakan perjanjian-perjanjian atas perintah dan atas nama orang lain dan untuk mendapat upah yang disebut provisi atau courtage. Menurut Pasal 62 KUHD Makelar adalah seorang pedagang perantara yang diangkat oleh gubernur jendral (sekarang Presiden) atau oleh pembesar yang oleh gubernur jenderal yang dinyatakan berwenang untuk itu. Dengan demikian, makelar adalah orang yang menjalankan perusahan yang menghubungkan pengusaha dengan pihak ketiga. Pengaturan tentang makelar dalap dilihat pada KUHD, Buku I, Pasal 62 sampai dengan Pasal 73. Ciri-Ciri seorang Makelar: 1) Makelar harus mendapat pengangkatan resmi dari pemerintah (C.Q. Menteri kehakiman) (Pasal 62 (ayat 2). 2) Sebelum menjalankan tugas, makelar harus disumpah di muka Ketua Pengadilan bahwa dia akan menjalankan kewajiban dengan baik (Pasal 62 ayat 2). Pasal 65 KUHD ayat (1) pengangkat seorang makelar ada dua macam yaitu: a. Pengangkatan yang bersifat umum yaitu untuk segala jenis lapangan/ cabang perniagaan. Bab 8: Hukum Dagang
153
b. Pengangkatan yang bersifat terbatas yakni bahwa dalam aktanya ditentukan untuk jenis atau jenis-jenis lapangan/cabang perniagaan apa mereka diperbolehkan menyelengarakan pemakelaran mereka, misalnya untuk wesel, efek-efek, asuransi, pembuatan kapal, dan lain-lain. Apabila pengangkatan bersifat terbatas, maka menurut Pasal 65 ayat 2 KUHD, makelar tidak boleh/dilarang berdagang untuk kepentingan sendiri dalam cabang atau cabang-cabang perniagaan yang dikerjakan, baik secara bekerja sendiri atau bersama-sama dengan orang lain ataupun menjadi Penanggung (orang) bagi perbuatan-perbuatan yang ditutup dengan perantaraannya.
2) Komisioner Komisioner adalah perantara yang berbuat atas perintah dan atas tanggungan orang lain dan juga mendapatkan upah, namun bedanya dengan makelar ia bertindak atas namanya sendiri. Suatu perjanjian yang dibuat oleh komisioner mengikat dirinya sendiri terhadap pihak ketiga. ???? Dalam Pasal 76 KUHD disebutkan Komisioner adalah seorang yang menyelenggarakan perusahannya dengan melakukan perbuatan-perbuatan menutup persetujuan atas nama atau firma dia sendiri, tetapi a) Ciri-ciri Komisioner (1) Tidak ada syarat pengangkatan resmi dan penyumpahan sebagaimana makelar. (2) Komisioner menghubungkan komiten dengan pihak ketiga atas nama sendiri (Pasal 76). (3) Komisioner tidak berkewajiban untuk menyebutkan nama komiten (Pasal 77 ayat 1). Dalam hal ini komisioner menjadi pihak dalam perjanjian (Pasal 77 ayat 2). (4) Tetapi komisioner juga dapat bertindak atas nama pemberi kuasa (Pasal 1979 KUHPer) dalam hal ini maka ia tunduk pada Buku III KUHPer tentang pemberi kuasa. b) Hak-hak Khusus Komisioner 1) Hak retensi yaitu hak komisioner untuk menahan barang-barang komiten, bila provisi dan biaya-biaya lain belum dibayar (Pasal 85 154
Pengantar Hukum Indonesia
KUHD dan 1812 KHUPer) ini adalah juga hal pemegang kuasa yang diberikan pada Pasal 1812 KUHPer. Hak ini mengenai semua barang-barang komiten yang ada ditangan komisioner., 2) Hak istimewa (hak Privilege) yang diatur dalam Pasal 80 KUHD sedangkan pelaksanan diatur dalam Pasal 81,82.83 KUHD. Dalam Pasal 80 KUHD dinyatakan bahwa semua penagihan komisioner mengenai provisi, uang yang telah dikeluarkan untuk memberi voorschot, biaya-biaya dan bunga, biaya-biaya untuk perikatan yang sedang berjalan, maka komisioner mempunyai hak istimewa pada barang komiten yang ada di tangan komisioner: a) untuk dijualkan. b) untuk ditahan bagi kepentingan lain yang akan datang. c) yang dibeli dan diterimanya untuk kepentingan komiten.
3) Ekspeditur Ekspeditur adalah barang siapa yang menyuruh menyelenggarakan pengangkutan barang dagangan, melalui daratan atau perairan (Pasal 86 KUHD). Kewajibannya diatur dalam Pasal 87, 88, dan 89 KUHD, oleh karena seorang ekspeditur menyuruh menyelenggarakan pengangkutan kepada orang lain, maka ia bertanggung jawab terhadap perbuatanperbuatan orang lain itu. Biasanya orang lain itu adalah pengangkut dan mengenai pengangkutan ini terdapat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 466 KUHD dan seterusnya. Ekspeditur bertanggung jawab terhadap pengiriman dari saat penerimaan barang-barang hingga penyerahannya pada yang berhak menerimanya. Pengangkut bertanggung jawab juga dari saat penerimaan barang-barang hingga penyerahannya terhadap ekspeditur.
4) Agency Jenis ini sama dengan Makelar dan Komisioner, namun pengaturannya tidak ada dalam KUHD maupun KUHPerdata, akan tetapi agency saat ini sangat banyak berdiri dan diakui oleh masyarakat. Sehingga dalam praktiknya memakai aturan dalam Pasal 1338 KUH Perdata, Pemberian Kuasa (Pasal 1792–1819 KUHPerdata), Pasal 62–64 KUHD, dan Kebiasaan Dagang, serta Keputusan Menteri Perdagangan tentang Agen Tunggal.
Bab 8: Hukum Dagang
155
F. Surat Berharga Surat berharga adalah sebuah dokumen yang diterbitkan oleh penerbitnya sebagai pemenuhan suatu prestasi berupa pembayaran sejumlah uang sehingga berfungsi sebagai alat bayar kepada pihak-pihak yang memegang surat tersebut, baik pihak yang diberikan surat berharga oleh penerbitnya ataupun pihak ketiga kepada siapa surat berharga tersebut dialihkan. Berdasarkan refrensi yang ada, surat berharga dapat didefinisikan sebagai surat yang: (a) memiliki nilai, (b) negotiable, dan (c) mudah dialihkan, yang oleh penerbitnya sengaja diterbitkan sebagai pelaksanaan pemenuhan suatu prestasi berupa pembayaran sejumlah uang. Dalam bab 6 dan 7 KUHD, fungsi surat berharga secara umum dibedakan dalam: 1. Surat sanggup membayar atau janji untuk membayar. Dalam surat ini penandatanganan berjanji untuk menyanggupi membayar sejumlah uang kepada pemegang atau orang yang menggantikannya. Termasuk bentuk ini adalah surat sanggup. 2. Surat perintah membayar. Dalam surat ini penerbit memerintahkan kepada penarik untuk membayar sejumlah uang kepada pemegang atau penggantinya. Termasuk dalam bentuk surat ini adalah surat wesel dan cek. 3. Surat pembebasan utang. Dalam surat ini penerbit memberi perintah kepada pihak ketiga untuk membayar sejumlah uang kepada pemegang yang menunjukkan dan menyerahkan surat ini. Termasuk dalam bentuk ini adalah kwitansi atas unjuk. Khusus bagi surat berharga yang berfungsi sebagai surat sanggup membayar atau janji untuk membayar, kemudian dikelompokkan berdasarkan jangka waktu utangnya yaitu: 1. Surat utang jangka pendek (+ 1 tahun). Contoh: certificate of deposit, SBI, promissory notes, dan commercial paper. 2. Surat untuk jangka menengah (1 – 5 tahun). Contoh: medium term notes dan floating rate notes. 3. Surat untuk jangka panjang (> 5 tahun). Contoh: obligasi atau bonds, moergage backed securities (MBS), dan asset backed securities (ABS).
156
Pengantar Hukum Indonesia
Penerbitan surat berharga didasarkan pada fungsi surat berharga itu sendiri, apakah untuk alat pembayaran atau untuk keperluan investasi, yang mana secara umum diterbitkan oleh: 1. Pihak yang berutang, seperti dalam cek dan promes; 2. Pihak yang berpiutang, seperti dalam wesel dagang (merchant’s draf/ bill of exchange); 3. Pihak lainnya yang ditunjuk, seperti dalam wesel (bank draf). Pihak-pihak yang terkait dengan surat berharga adalah 1. Penarik (drawee), merupakan pihak pemilik dana pada rekening yang memerintahkan tertarik, yaitu bank untuk membayar kepada pemegang; 2. Penerbit (issuer, penandatangan, debitur), merupakan pihak yang menerbitkan surat berharga; 3. Pemegang (kreditur, holder, investor, beneficiary), adalah pemegang surat berharga yang memiliki hak tagih; 4. Tertarik (payee), merupakan pihak lain yang disebutkan dalam surat berharga sebagai pihak yang akan melakukan pembayaran; 5. Endosant (indorser), adalah pemegang surat berharga sebelumnya, yang memindahkan haknya atas surat berrharga tersebut kepada pihak yang menerima pengalihan; 6. Akseptan (acceptor), adalah pihak yang melakukan akseptasi menerima, yaitu mengakui setiap tagihan yang ternyata dalam warkat surat berharga yang diaksep serta berjanji melakukan pembayaran pada waktu yang ditentukan; 7. Avalist (guarantor) adalah penjamin dari penerbit. Sedangkan fungsi dari surat berharga itu sendiri yaitu: 1. Sebagai alat pembayaran (alat tukar uang); 2. Sebagai alat untuk memindahkan hal tagih (diperjualbelikan dengan mudah dan sederhana); 3. Sebagai surat bukti hak tagih.
Bab 8: Hukum Dagang
157
Surat berharga terbagi menjadi dua, yaitu: 1. Surat berharga (warde papier/ negonable instrument) a. Merupakan alat pembayaran (Surat Berharga); b. Alat pemindahan hak tagih, dalam surat berharga ada cara pemindahannya atau pembawa hak; c.
Surat bukti hak tagih (dengan memperlihatkan hak tersebut orang dapat menerima haknya).
Fungsi ini disebut juga legitimasi, artinya pemegang surat tersebut diberi pengakuan oleh surat tersebut sebagai yang berhak.
2. Surat yang berharga (papier van warda/letter of velue) a. Bukan alat pembayaran karena alat tersebut tidak berpindah; b. Bukan alat atau surat bukti hak tagih; c. Surat bukti diri.
1. Jenis-Jenis Surat Berharga Menurut KUHD Ketentuan-ketentuan mengenai surat berharga diatur dalam Buku I titel 6 dan titel 7 KUHD yang berisi tentang: a. Wesel:
surat berharga yang memuat kata wesel di dalamnya, diberikan tanggal dan ditandatangi di suatu tempat, dalam mana si penerbit memberi perintah tanpa syarat kepada pengangkut untuk pada hari bayarmembayar sejumlah uang kepada orang (penerima) yang ditunjuk oleh penerbit atau penggantinya di suatu tempat tertentu.
b. Surat sanggup:
158
surat berharga yang memuat kata “aksep”atau promes dalam mana penerbit menyanggupi untuk membayar sejumlah uang kepada orang yang disebut dalam surat sanggup itu atau penggantinya atau pembawanya pada hari bayar. Ada dua macam surat sanggup, yaitu surat sanggup kepada pengganti dan surat sanggup kepada pembawa atau untuk memudahkan menyebutkan surat sanggup kepada pengganti dengan “surat sanggup” saja, sedangkan surat sanggup kepada pembawa disebutnya “surat promes”. Pengantar Hukum Indonesia
c. Cek:
surat berharga yang memuat kata cek/cheque dalam mana penerbitannya memerintahkan kepada bank tertentu untuk membayar sejumlah uang kepada orang yang namanya disebut dalam cek, penggantinya, pembawanya pada saat dijatunjukkan. Dalam Pasal 178 KUHD ditentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suatu cek dan kalau salah satu syarat dalam pasal, tersebut tidak dipenuhi maka kertas itu tidak dapat diperlakukan sebagai cek.
d. Kwitansi-kwitansi:
surat yang ditanggali, diterbitkan oleh penandatanganannya terhadap orang lain untuk suatu pembayaran sejumlah uang yang ditentukan di dalamnya kepada penunjuk (atas tunjuk) pada waktu diperlihatkan. Dalam kwitansi atas tunjuk tersebut tidak diisyaratkan tentang selalu adanya klausula atas tunjuk.
e. Saham:
Saham diatur dalam Pasal 40 KUHD dengan kata-kata bahwa modal perseroan dibagi atas saham-saham atau sero-sero atas nama atau blanko. Pemegang saham atau sero tidak bertanggung jawab lebih daripada jumlah penuh saham-saham itu. Saham dapat didefinisikan tanda penyertaan atau kepemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas. Wujud saham adalah selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas tersebut adalah pemilik perusahaan yang menerbitkan surat berharga tersebut.
f. Konosemen/Bill of Lading:
Berdasarkan Pasal 506 KUHD, konosemen adalah surat yang bertanggal yang dibuat oleh pengangkut (dalam hal ini perusahaan pelayaran), yang menerangkan bahwa ia telah menerima barang-barang (dari pengirim) untuk diangkut ke suatu tenpat tertentu yang selanjutnya menyerahkan kepada orang tertentu (penerima), surat mana di dalamnya menerangkan mengenai penyerahan barang-barang yang dimaksud.
g. Delivery Order (DO):
Pasal 510 KUHD menentukan bahwa pemegang yang sah berhak menuntut penyerahan barang di tempat tujuan sesuai dengan Bab 8: Hukum Dagang
159
konosemennya, kecuali bila ia menjadi pemegang tidak sah menurut hukum.
2. Surat Berharga di Luar KUHD Ada beberapa jenis surat berharga yang dikenal dan diatur di luar KUHD itu antara lain: a. Bilyet Giro:
Bilyet Giro adalah surat perintah tak bersyarat dari nasabah yang telah dibakukan bentuknya kepada bank penyimpan dana untuk memindahkan sejumlah dana dari rekening giro yang bersangkutan kepada pihak penerima yang disebutkan namanya, kepada bank yang sama atau kepada bank yang lainnya.
b. Travels Cheque:
Travels Cheque atau cek perjalanan adalah surat berharga yang dikeluarkan oleh bank, yang mengandung nilai di mana bank penerbit sanggup membayar sejumlah uang sebesar nilai nominalnya kepada orang yang tanda tangannya tertera ada cek perjalanan itu.
c. Credit Card:
Credit Card atau kartu kredit adalah kartu plastik yang dikeluarkan oleh issuer yaitu bank atau lembaga atau keuangan lainnya, yang fungsinya adalah sebagai pengganti uang. Perjanjian kartu kredit adalah salah satu bentuk perjanjian yang tunduk kepada ketentuan Buku III KUHPerdata. Sumber hukum utama kartu kredit adalah perjanjian pinjam-pakai habis dan perjanjian jual-beli bersyarat yang diatur dalam Buku III KUHPerdata.
d. Miscellaneous Charges Order (MCO):
160
MCO adalah satu dokumen yang dikeluarkan oleh masing- masing maskapai penerbangan yang beroperasi secara internasional, sebagai alat perintah membayar, untuk mengisi kembali ticket balance pembayaran, dan lain-lain. Tujuan mengeluarkan MCO tersebut adalah untuk penukaran, pemberian service kepada orang yang memanfaatkan pesawat udara dan merupakan pengamanan keuangan
Pengantar Hukum Indonesia
orang perorangan/group yang menggunakan fasilitas angkatan udara itu. e. Letter of Credit:
L/C merupakan janji membayar dari Issuing Bank kepada Beneficiary/ Eksportir/penjual yang mana pembayarannya hanya dapat dilakukan oleh Issuing Bank jika Beneficiary menyerahkan kepada Issuing Bank dokumen-dokumen yang sesuai dengan persyaratan L/C.
f.
Sertifikat Deposito atau CoD: Berdasarkan UU Perbankan sertifikat deposito adalah deposito berjangka yang bukti simpanannya dapat diperdagangkan. Sedangkan menurut Blacks Law Dictionary yaitu: pengakuan tertulis dari bank kepada penyimpan (deposan) dengan janji untuk membayar kepada penyimpan, atau penggantinya.
g. Sertifikat Bank Indonesia (SBI):
SBI adalah sertifikat yang diterbitkan BI dengan sistem true discount, yang dibeli melalui lelang (primary market) atau melalui pasar uang (secondary market).
h. Sertifikat Reksadana:
Sertifikat Reksadana atau juga lazim disebut Unit Penyertaan yang dibuat atas unjuk, adalah bukti yang menjelaskan jumlah dana yang berhasil dikumpulkan oleh perusahaan reksa dana untuk kemudian akan dikelola dalam bentuk pembelian surat berharga seperti saham, obligasi, atau disimpan dalam bentuk deposito berjangka.
i.
Commercial Paper (CP):
Dalam Black’s Law Dictionary didefinisikan bahwa CP merupakan negotiable instrument untuk pembayaran uang, seperti cek, wesel, promissory notes. Selanjutnya dijelaskan juga bahwa CP adalah short term, unsecured promissory notes, yang lazim diterbitkan oleh large, well-known corporations dan finance companies. j.
Obligasi (Bonds):
Dalam Black’s Law Dictionary obligasi didefinsikan sebagai: a) suatu sertifikat bukti utang, yang mana perusahaan penerbit atau badan pemerintah berjanji untuk membayar sejumlah bunga untuk satu jangka waktu panjang tertentu kepada pemegang, dan untuk membayar Bab 8: Hukum Dagang
161
kembali utangnya pada saat jatuh tempo; b) instrumen utang jangka panjang yang berisikan janji untuk membayar kepada kreditur sejumlah bunga secara periodik dan membayar utang pokok pada saat jatuh tempo. k. Floating Rate Note (FRN)/Medium Term Note (“MTN”):
Pada dasarnya FRN dan MTN merupakan obligasi dengan jangka menengah. FRN adalah notes dengan bunga floated, yang lazim diterbitkan dan dipasarkan di luar negeri, sedangkan atas MTN berlaku tingkat suku bunga fixed yang lazim dipasarkan di Indonesia.
l. Warrant: Warrant atau stocks warrant dalam Black’s Law Dictionary didefinisikan sebagai Sertifikat yang membuktikan kepemilikan hak untuk membeli saham dalam jumlah, waktu, dan pada harga tertentu.
G. Hukum Pengangkutan Hukum Pengangkutan adalah hukum yang mengatur bisnis pengangkutan baik pengangkutan di laut, udara, darat, dan perairan pedalaman.
1. Sumber Hukum Pengangkutan Secara umum sumber hukum diartikan sebagai tempat dapat menemukan hukum atau tempat mengenali hukum. Sumber hukum dibagi menjadi dua, yaitu sumber hukum material (a material sources of law) dan sumber hukum dalam arti formal (a formal sources of law). Sedangkan jenis-jenis pengangkutan yang ada sekarang ini ada beberapa macam, yaitu pengangkutan darat, pengangkutan laut, dan pengangkutan udara.
2. Ketentuan Umum Ketentuan-ketentuan umum mengenai pengangkutan dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang dapat ditemukan di dalam beberapa pasal, yaitu sebagai berikut. 162
Pengantar Hukum Indonesia
a. Buku 1 Bab V bagian 2 dan 3, mulai dari Pasal 90 sampai dengan Pasal 98 tentang Pengangkutan darat dan Pengangkutan Perairan Darat; b. Buku II Bab V Pasal 453 sampai dengan Pasal 465 tentang Pencarteran Kapal, Buku II Bab V A Pasal 466 sampai dengan Pasal 520 tentang Pengangkutan Barang, dan Buku II Bab V B Pasal 521 sampai Pasal 544a tentang Pengangkutan Orang; c. Buku I Bab V Bagian II Pasal 86 sampai dengan Pasal 90 mengenai Kedudukan Para Ekspeditur sebagai Pengusaha Perantara; d. Buku I Bab XIII Pasal 748 sampai dengan Pasal 754 mengenai KapalKapal yang melalui perairan darat.
3. Ketentuan Khusus Sedangkan ketentuan-ketentuan tentang pengangkutan di luar KUHDagang terdapat dalam sumber-sumber khusus, yaitu antara lain: a. Konvensi-konvensi internasional; b. Perjanjian bilateral atau perjanjian multilateral; c. Peraturan perundang-undangan nasional; d. Yurisprudensi; e. Perjanjian-perjanjian antara: 1) Pemerintah-Perusahaan Angkutan 2) Perusahaan Angkutan–Perusahaan Angkutan 3) Perusahaan Angkutan–Pribadi/Swasta Sedangkan peraturan-peraturan khusus untuk tiap-tiap jenis pengangkutan tersebut, yaitu diatur di dalam: a.
Pengangkutan Darat, diatur di dalam: 1) Pasal 91 sampai dengan Pasal 98 tentang Surat Angkutan dan tentang Pengangkut dan Juragan Perahu Melalui Sungai dan Perairan Darat. 2) Ketentuan di luar KUHDagang/KUHPerdata, terdapat di dalam: a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos.
Bab 8: Hukum Dagang
163
b) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkere taapian. c) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. b. Pengangkutan Laut, diatur di dalam: 1) KUHDagang yaitu pada: a) Buku II Bab V tentang perjanjian Carter Kapal; b) Buku II Bab VA Tentang Pengangkutan Barang-barang; c) Buku II Bab V B tentang Pengangkutan Orang. 2) Ketentuan lainnya dapat ditemukan pada: a) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1992 tentang Pelayaran; b) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan; c) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang kepelabuhan; d) Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 33 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan dan Penguasaan Angkutan Laut. c. Pengangkutan Udara; ketentuan peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur tentang angkutan udara, antara lain: 1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan; 2) Ordonansi Pengangkutan Udara 1939 (luchtervoerordonanntie) tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara; 3) Peraturan pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara. Beberapa sumber hukum angkutan udara yang bersifat internasional, (konvensi-konvensi internasional dalam bidang angkutan udara) yaitu sebagai berikut. a. Konvensi Warsawa (Warsaw Convention) 1929; b. Konvensi Geneva; 164
Pengantar Hukum Indonesia
c. Konvensi Roma 1952; d. Protokol Hague 1955; maksud kalimat ini apa ya bu??
e. Konvensi Guadalajara 1961; f.
Protokol Guatemala.
Dalam pengangkut terdapat tiga prinsip atau ajaran dalam menentukan tanggung jawab pengangkut, yaitu sebagai berikut: Dalam hukum pengangkutan dikenal adanya lima prinsip tanggung jawab pengangkut yaitu: a. Prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan (the based on fault atau liability based on fault printciple). b. Prinsip tanggung jawab atas dasar praduga bersalah (rebuttable presumption of liability principle). c. Prinsip tanggung jawab mutlak (no fault, atau strict liabilty, absolute liability principle). Hukum pengangkutan di Indonesia menerapkan prinsip tanggung jawab karena kesalahan dan karena praduga bersalah. Tetapi prinsip tanggung jawab karena kesalahan adalah asas, sedangkan prinsip tanggung jawab karena praduga adalah pengecualian, artinya pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam penyelenggaraan pengangkutan, tetapi jika pengangkut berhasil membuktikan bahwa dia tidak bersalah atau lalai, maka dia dibebaskan dari tanggung jawab. Beberapa pasal dalam Undang-undang Pengangkutan Tahun 1992 yang mengatur tentang Prinsip Tanggung Jawab Praduga Bersalah adalah: a. Pasal 45 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Angukutan Lalu Lintas Jalan. b. Pasal 28 ayat 1, 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkereta Apian. c. Pasal 43 ayat 1b dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Bagi usaha pengangkutan diwajibkan memiliki izin usaha dengan syarat-syarat sebagai berikut.
Bab 8: Hukum Dagang
165
1) Memiliki NPWP; 2) Memiliki akta pendirian perusahaan/akta pendirian koperasi; 3) Memiliki keterangan domisili perusahaan; 4) Memiliki surat izin temapt usaha; 5) Pernyataan kesanggupan untuk menyelenggarakan usahanya secara berkala baik itu dalam hal penyediaan maupun perawatan dari alat angkut-angkut tersebut, serta kesanggupan menyediakan fasilitas penyimpanan kendaraan. Pernyataan kesanggupan untuk memiliki alat angkut tersebut. Izin usaha dapat dikeluarkan oleh bupati, walikota madya dan gubernur. Sedangkan bagi badan usaha yang berbentuk koperasi diberikan oleh Dirjen Perhubungan Darat.
H. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Hak Kekayaan Intelektual, disingkat “HKI” atau akronim “HaKI”, adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR), yakni hak yang timbul bagi hasil olah pikir yang menghasikan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia pada intinya HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam HKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau juga dikenal dengan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) merupakan padanan atas istilah Intellectual Property Right (IPR). Istilah tersebut terdiri dari tiga kata kunci, yaitu Hak, Kekayaan, dan Intelektual. Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun dijual. Adapun kekayaan intelektual merupakan kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi, pengetahuan, seni, sastra, gubahan lagu, karya tulis, karikatur, dan seterusnya. Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) merupakan hak-hak (wewenang/kekuasaan) untuk berbuat sesuatu atas kekayaan intelektual tersebut, yang diatur oleh norma-norma atau hukum-hukum yang berlaku.
166
Pengantar Hukum Indonesia
World Trade Organization (WTO) mendefinisikan hak kekayaan intelektual adalah hak yang diberikan kepada seseorang sebagai hasil kreasi dari pikirannya atau hasil dari intelektualnya. Hak tersebut memberikan kepada kreatornya penggunaan hak eksklusif yang dapat dipergunakan dalam jangka waktu tertentu. Hak kekayaan intelektual pertama kali diperkenalkan di dalam dua konvensi internasional, yaitu Paris Convention for the Protection of Industrial Property di tahun 1883 dan the Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works di tahun 1886. Kedua konvensi tersebut kemudian diadministrasikan oleh WIPO (World Intellectual Property Organization). Sejak tahun 1886, di kalangan negara-negara di kawasan barat Eropa telah diberlakukan Konvensi Bern, yang ditujukan bagi perlindungan ciptaan-ciptaan di bidang sastra dan seni. Kecenderungan negara-negara Eropa Barat untuk menjadi peserta pada konvensi ini, hal ini yang mendorong kerajaan Belanda untuk memperbaharui undang-undang hak ciptanya yang sudah berlaku sejak 1881. Secara yuridis formal Indonesia diperkenalkan dengan masalah hak cipta pada tahun 1912, yaitu pada saat diundangkannya Auteurswet (Wet van 23 September 1912, Staatblad 1912 Nomor 600), yang mulai berlaku 23 September 1912. Dengan suatu undang-undang hak cipta baru pada tanggal 1 November Tahun 1912, yang dikenal dengan Auteurswet 1912. Tidak lama setelah pemeberlakuan undang-undang ini, kerajaan Belanda mengikatkan diri pada Konvensi Bern 1886. Setelah Indonesia merdeka, ketentuan Auteurswet 1912 ini kemudian masih dinyatakan berlaku sesuai dengan ketentuan peralihan yang terdapat dalam Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 192 Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat dan Pasal 142 UndangUndang Dasar Sementara 1950. Pemberlakuan Auteurswet 1912 ini sudah barang tentu bersifat sementara. Pada tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda menyatakan Indonesia keluar dari Konvensi Bern dan menyatakan semua ketentuan hukum tentang hak cipta tidak berlaku lagi, agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karya asing tanpa harus membayar royalti. Dengan pertimbangan agar tidak menyulitkan Indonesia dalam pergaulan masyarakat internasional, sikap
Bab 8: Hukum Dagang
167
itu ditinjau kembali setelah Orde Baru berkuasa. Ketentuan lama zaman Belanda tentang hak cipta, yakni Auteurswet 1912 berlaku lagi. Dalam pelaksanaannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 ini ternyata banyak dijumpai terjadinya pelanggaran terutama dalam bentuk tindak pidana pembajakan terhadap hak cipta, yang telah berlangsung dari waktu ke waktu dengan semakin meluas dan sudah mencapai tingkat yang membahayakan dan merugikan kreativitas untuk mencipta, yang dalam pengertian yang lebih luas juga akan membahayakan sendi kehidupan dalam arti seluas-luasnya. Setelah 37 tahun Indonesia merdeka, Indonesia sebagai negara berdaulat mengundangkan suatu Undang-Undang Nasional tentang Hak Cipta, tepatnya tanggal 12 April 1982, pemerintah Indonesia memutuskan untuk mencabut Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 Tahun 1912 dan sekaligus mengundangkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta yang dimuat dalam Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15. Undang-undang ini pada prinsipnya peraturannya sama dengan Auteurswet 1912 namun disesuaikan dengan keadaan Indonesia pada saat itu. Dalam pelaksanaannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 ini ternyata banyak dijumpai terjadinya pelanggaran terutama dalam bentuk tindak pidana pembajakan terhadap hak cipta, yang telah berlangsung dari waktu ke waktu dengan semakin meluas dan sudah mencapai tingkat yang membahayakan dan merugikan kreatifitas untuk mencipta, yang dalam pengertian yang lebih luas juga akan membahayakan sendi kehidupan dalam arti seluas-luasnya. Perkembangan kegiatan pelanggaran hak cipta tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor. Sebab-sebab timbulnya keadaan tersebut bersumber kepada: 1. Masih belum memasyarakatnya etika untuk menghargai karya cipta seseorang; 2. Kurangnya pemahaman terhadap arti dan fungsi hak cipta, serta ketentuan undang-undang hak cipta pada umumnya, yang disebabkan karena masih kurangnya penyuluhan mengenai hal tersebut; 3. Terlalu ringannya ancaman yang ditentukan dalam undang-undang hak cipta terhadap pembajakan hak cipta.
168
Pengantar Hukum Indonesia
Namun di luar faktor di atas, pengamatan terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 itu sendiri ternyata juga menunjukkan masih perlunya dilakukan beberapa penyempurnaan sehingga mampu menangkal pelanggaran tersebut. Dalam memenuhi tuntutan penyempurnaan atas Undang-Undang Hak Cipta 1982 tersebut, maka pada tanggal 23 September 1987 Pemerintah atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, diundangkanlah Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Di dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1987 skala perlindungan pun diperluas, di antara perubahan mendasar yang terjadi di dalamnya adalah masa berlaku perlindungan karya cipta diperpanjang menjadi 50 tahun setelah meninggalnya si pencipta. Karya-karya seperti rekaman dan video dikategorikan sebagai karya-karya yang dilindungi. Selain itu salah satu kelemahan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 dalam menanggulangi pelanggaran hak cipta karena peraturan pidananya sebagai delik aduan. Penyidik baru dapat melakukan penangkapan terhadap pelakunya setelah adanya pengaduan dari pihak korban. Oleh karena itu, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 peraturan pidananya diubah menjadi delik biasa. Warga masyarakat dapat melaporkan adanya peristiwa pelanggaran hak cipta tanpa perlu ada pengaduan dari korban, penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap pelakunya. Kemudian setelah berjalan selama 10 Tahun Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 jo. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta yang telah diubah UndangUndang Nomor 7 Tahun 1987. Perubahan undang-undang ini dikarenakan negara kita ikut serta dalam Persetujuan tentang Aspek-Aspek Dagang Hak Atas Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights, Including Trade Counterfeit Goods/ TRIPs) yang merupakan bagian dari Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing the World Trade Organization). Dengan keterkaitan tersebut negara kita telah meratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 dan melanjutkan dengan menerapkan dalam undang-undang yang salah satunya adalah Undang-Undang Hak Cipta. Selain itu, Indonesia juga meratifikasi Berne Convention for the Protection of Arstistic and Literary Works (Konvensi Berne tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra) Bab 8: Hukum Dagang
169
melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty (Perjanjian Hak Cipta WIPO) dengan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997. Walaupun perubahan pengaturan Hak Cipta melalui UUHC 1997 telah memuat beberapa penyesuaian pasal yang sesuai dengan Perjanjian TRIPs, masih terdapat beberapa hal yang perlu disempurnakan untuk memberi perlindungan bagi karya-karya intelektual di bidang hak cipta, termasuk upaya umtuk memajukan perkembangan karya intelektual yang berasal dari keanekaragaman seni dan budaya bangsa Indonesia. Dengan memerhatikan hal tersebut dipandang perlu untuk mengganti UUHC dengan UndangUndang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Lalu disadari karena kekayaan seni dan budaya, serta pengembangan kemampuan intelektual masyarakat Indonesia memerlukan perlindungan hukum yang memadai agar terdapat iklim persaingan usaha yang sehat yang diperlukan dalam melaksanakan pembangunan nasional, maka dibentuklah UUHC yang baru, yakni Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta agar sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat. Hak cipta secara harfiah berasal dari dua kata yaitu hak dan cipta. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “hak” berarti suatu kewenangan yang diberikan kepada pihak tertentu yang sifatnya bebas untuk digunakan atau tidak. Sedangkan kata “cipta” atau “ciptaan” tertuju pada hasil karya manusia dengan menggunakan akal pikiran, perasaan, pengetahuan, imajinasi dan pengalaman. Sehingga dapat diartikan bahwa hak cipta berkaitan erat dengan intelektual manusia. Istilah hak cipta diusulkan pertama kalinya oleh Sultan Mohammad Syah, SH pada Kongres Kebudayaan di Bandung pada tahun 1951 (yang kemudian di terima di kongres itu) sebagai pengganti istilah hak pengarang yang dianggap kurang luas cakupan pengertiannya, karena istilah hak pengarang itu memberikan kesan “penyempitan” arti, seolah-olah yang dicakup oleh pengarang itu hanyalah hak dari pengarang saja, atau yang ada sangkut-pautnya dengan karang-mengarang saja, padahal tidak demikian. Istilah hak pengarang itu sendiri merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda Auteurs Rechts. Hak cipta adalah hak eksklusif atau yang hanya dimiliki si Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur penggunaan hasil karya atau hasil
170
Pengantar Hukum Indonesia
olah gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan “hak untuk menyalin suatu ciptaan” atau hak untuk menikmati suatu karya. Hak cipta juga sekaligus memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi pemanfaatan, dan mencegah pemanfaatan secara tidak sah atas suatu ciptaan. Mengingat hak eksklusif itu mengandung nilai ekonomis yang tidak semua orang bisa membayarnya, maka untuk adilnya hak eksklusif dalam hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas. Secara yuridis, istilah Hak Cipta telah dipergunakan dalam UndangUndang Nomor 6 Tahun 1982 sebagai pengganti istilah hak pengarang yang dipergunakan dalam Auteurswet 1912. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, berbunyi: “Hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Pada dasarnya, hak cipta adalah sejenis kepemilikan pribadi atas suatu ciptaan yang berupa perwujudan dari suatu ide pencipta di bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Ketika Anda membeli sebuah buku, Anda hanya membeli hak untuk meminjamkan dan menyimpan buku tersebut sesuai keinginan Anda. Buku tersebut adalah milik Anda pribadi dalam bentuknya yang nyata atau dalam wujud benda berupa buku. Namun, ketika Anda membeli buku ini, Anda tidak membeli Hak Cipta karya tulis yang ada dalam buku yang dimiliki oleh si pengarang ciptaan karya tulis yang diterbitkan sebagai buku. Dengan kerangka berpikir tentang sifat dasar hak cipta yang demikian, Anda tidak memperoleh hak untuk mengkopi ataupun memperbanyak buku tanpa seizin dari pengarang. Apalagi menjual secara komersial hasil perbanyakan buku yang dibeli tanpa seizin dari pengarang. Hak memperbanyak karya tulis adalah hak eksklusif pengarang atau seseorang kepada siapa pengarang mengalihkan hak perbanyak dengan cara memberikan lisensi. Pasal 40 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta telah memberikan beberapa kriteria mengenai hasil ciptaan yang diberikan perlindungan oleh hak cipta sebagai berikut. 1. Dalam undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup: Bab 8: Hukum Dagang
171
a. Buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain; b. Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu; c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; d. Lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks; e. Drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; f. Karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, kolase; g. Karya seni terapan; h. Karya arsitektur; i. Peta; j.
Karya seni batik atau seni motif lain;
k. Karya fotografi; l. Potret; m. Karya sinematografi; n. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi; o. Terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi budaya tradisional; p. Kompilasi ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan program komputer maupun media lainnya; q. Kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli; r.
Program komputer.
2. Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat l dilindungi sebagai ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli. 3. Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2, termasuk perlindungan terhadap ciptaan yang tidak atau belum dilakukan
172
Pengantar Hukum Indonesia
pengumuman tetapi sudah diwujudkan dalam bentuk nyata yang memungkinkan penggandaan ciptaan tersebut. Hal-hal yang tidak termasuk hak cipta adalah hasil rapat terbuka lembaga negara, peraturan perundang-undangan, pidato kenegaraan atau pidato pejabat pemerintah, putusan pengadilan atau penetapan hakim, dan kitab suci atau simbol keagamaan. 1. hasil karya yang belum diwujudkan dalam bentuk nyata; 2. setiap ide, prosedur, sistem, metode, konsep, prinsip, temuan atau data walaupun telah diungkapkan, dinyatakan, digambarkan, dijelaskan, atau digabungkan dalam sebuah ciptaan; dan 3. alat, benda, atau produk yang diciptakan hanya untuk menyelesaikan masalah teknis atau yang bentuknya hanya ditujukan untuk kebutuhan fungsional. Hal-hal yang tidak dapat didaftarkan sebagai ciptaan adalah: 1. Ciptaan di luar bidang ilmu pengetahuan, seni, dan satra; 2. Ciptaan yang tidak orisinil; 3. Ciptaan yang bersifat abstrak; 4. Ciptaan yang sudah merupakan milik umum; 5. Ciptaan yang tidak sesuai dengan ketentuan pada undang-undang hak cipta. Masa berlaku suatu hak cipta bergantung pada jenis ciptaan atau “objek” hak ciptanya, serta apakah objek itu diterbitkan atau tidak diterbitkan. Hak cipta berlaku dalam jangka waktu terbatas, dan lamanya berbeda-beda tiap negara. Sebagai suatu hak yang mempunyai fungsi sosial, maka hak cipta mempunyai masa berlaku tertentu. Hal ini untuk menghindarkan adanya monopoli secara berlebihan dari si Pencipta. Mengenai pemindahtanganan hak cipta bahwa benda ini dapat beralih atau dialihkan oleh pemegangnya. Berdasarkan Pasal 16 ayat (2) UndangUndang Hak Cipta 2014 telah diatur tentang hal tersebut, bahwa hak cipta dapat beralih atau dialihkan baik sebagian atau seluruhnya karena: pewarisan, hibah, wakaf, wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab lain yang dibenarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bab 8: Hukum Dagang
173
Yang dapat beralih atau dialihkan hanya hak ekonomi saja, sedangkan hak moral tetap melekat pada diri penciptanya. Pengalihan hak cipta ini harus dilakukan secara jelas dan tertulis baik dengan atau tanpa akta notaris.
I. Hukum Pertanggungan 1. Pengertian dan Dasar Hukum Asuransi Konsep pengalihan risiko (risk transfering) dan pembagian risiko (risk sharing) inilah yang melahirkan lembaga pertanggungan, atau yang lebih dikenal dengan asuransi. Dalam konteks Indonesia, mengenai lembaga pertanggungan (asuransi) sudah diatur sejak sebelum kemerdekaan, yaitu dalam Burgerlijke Wetboek (BW) atau lebih kita kenal dengan Kitab Undangundang Hukum Perdata (KUH Perdata). Kemudian secara khusus mengenai pertanggungan, diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). Asuransi dalam bahasa Belanda disebut verzekering yang berarti pertanggungan atau asuransi dalam bahasa inggris disebut inssurance. Asuransi berasal dari bahasa inggris “assure” yang berarti menanggung dan “assurance” yang berarti tanggungan. Dalam hukum asuransi kita mengenal berbagai macam istilah, ada yang mempergunakan istilah hukum pertanggungan, dalam bahasa Belanda disebut Verzekering Recht, dan dalam istilah bahasa Inggris disebut Insurance Law, sedangkan dalam praktik-praktik sejak zaman Hindia Belanda sampai sekarang banyak dipakai orang istilah Asuransi (Asurantie). Ada dua pihak yang terlibat dalam asuransi, yaitu Penanggung sebagai pihak yang sanggup menjamin serta menanggung pihak lain yang akan mendapat suatu penggantian kerugian yang mungkin akan dideritanya sebagai suatu akibat dari suatu perististiwa yang belum tentu terjadi dan pihak Tertanggung akan menerima ganti kerugian, yang mana pihak Tertanggung diwajibkan membayar sejumlah uang kepada pihak Penanggung. Dalam perjanjian asuransi terdapat dua pihak yang mana pihak pertama sanggup menanggung atau menjamin bahwa pihak kedua atau pihak lainnya akan mendapat penggantian suatu kerugian yang bisa saja akan diderita akibat adanya suatu peristiwa yang semula belum tentu terjadi atau belum dapat ditentukan kapan terjadinya. Pihak kedua atau pihak 174
Pengantar Hukum Indonesia
yang ditanggung tersebut wajib membayar sejumlah uang kepada pihak pertama. Uang akan tetap menjadi milik Penanggung apabila dikemudian hari ternyata kejadian yang dimaksud itu terjadi. Menurut Subekti, dalam bukunya memberikan definisi mengenai asuransi yaitu, asuransi atau pertanggungan sebagai suatu perjanjian yang termasuk dalam golongan perjanjian untung-untungan (kansovereenkomst). Suatu perjanjian untung-untungan ialah suatu perjanjian yang dengan sengaja digantungkan pada suatu kejadian yang belum tentu terjadi, kejadian mana akan menentukan untung-ruginya salah satu pihak. Bu paragraf ini sama dengan paragraf yang dibawah
Akan tetapi pengaturan yang memasukkan asuransi ke dalam kategori perjanjian untung-untungan dirasa kurang tepat, karena dalam suatu perjanjian untung-untungan pihak-pihak secara sadar dan sengaja melakukan atau menjalani suatu kesempatan untung-untungan di mana prestasi timbal balik tidak seimbang, sedangkan dalam asuransi hal tersebut tidak ada. Namun demikian ada juga sarjana yang mengatakan bahwa pengaturan tersebut sudah sesuai. Hal ini Perjanjian asuransi diatur dalam Pasal 1774 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Di dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa suatu persetujuan untunguntungan ialah suatu perbuatan yang hasilnya, yaitu mengenai untungruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, tergantung pada suatu kejadian yang belum pasti. Yaitu persetujuan pertanggungan, bunga cagak hidup, perjudian dan pertaruhan. Jika kita kembali memerhatikan bunyi Pasal 1774 Kitab Undangundang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek, dapat disimpulkan bahwa perjanjian asuransi ini dikategorikan sebagai perjanjian untung-untungan (kansovereenkomst). Menurut Pasal 1774 tersebut selain perjanjian asuransi yang termasuk dalam perjanjian untung-untungan, juga adalah bunga cagak hidup (liferente) dan perjudian serta pertaruhan (spel en weddingschap). Akan tetapi pengaturan yang memasukkan asuransi ke dalam kategori perjanjian untung-untungan dirasa kurang tepat, karena dalam suatu perjanjian untung-untungan pihak-pihak secara sadar dan sengaja melakukan atau menjalani suatu kesempatan untung-untungan di mana prestasi timbal balik tidak seimbang, sedangkan dalam asuransi hal tersebut tidak ada. Namun demikian ada juga sarjana yang mengatakan bahwa pengaturan tersebut sudah sesuai. Hal ini dikarenakan pembayaran uang Bab 8: Hukum Dagang
175
asuransi selalu digantungkan kepada peristiwa yang tidak pasti (onzekker voorval), dengan terjadinya hal tersebut itu maka dibayar uang asuransi. Hanya saja dengan perkembangan asuransi saat ini walaupun tidak terjadi onzekker voorval, pihak Penanggung wajib membayar uang asuransi sesuai dengan persetujuan atau kesepakatan mereka yang telah dituangkan ke dalam perjanjian. Hal tersebut dimungkinkan dengan adanya kebebasan berkontrak para pihak yang dianut dalam hukum perdata, maka dari itu asuransi tersebut sudah mengandung unsur menabung (saving) di mana Tertanggung memperoleh kembali premi yang sudah dibayarnya dengan persetujuan yang mereka lakukan baik sebagai Penanggung maupun sebagai Tertanggung. Pengaturan asuransi yang umum dan luas terdapat dalam Kitab Undang- Undang Hukum Dagang. Dalam Pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang atau Wetboek van Koophandel dijumpai suatu pengertian atau definisi resmi dari asuransi, Pasal tersebut menyatakan bahwa “asuransi pada umumnya adalah suatu persetujuan di mana Penanggung dengan menikmati suatu premi mengikat dirinya terhadap Tertanggung untuk membebaskannya dari kerugian karena kehilangan, kerugian, atau ketiadaan keuntungan yang diharapkan, yang akan dapat diterima olehnya karena kejadian yang tidak pasti”. Berdasaarkan pengertian Pasal 246 KUHD dapat disimpulkan ada tiga unsur dalam asuransi, yaitu: a.
Pihak Tertanggung, yakni yang mempunyai kewajiban membayar uang premi kepada pihak Penanggung baik sekaligus atau berangsurangsur;
b. Pihak Penanggung, mempunyai kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada pihak Tertanggung, sekaligus atau berangsur-angsur apabila unsur ketiga berhasil; c. Suatu kejadian yang semula belum jelas akan terjadi. Berdasarkan definisi tersebut dapat diuraikan unsur-unsur asuransi atau pertanggungan yaitu sebagai berikut. a. Pihak-pihak
176
Subjek asuransi adalah pihak-pihak dalam asuransi, yaitu Penanggung dan Tertanggung adalah pendukung kewajiban dan hak. Pemegang wajib Pengantar Hukum Indonesia
memikul risiko yang dialihkan kepadanya dan berhak memperoleh pembayaran premi, sedangkan Tertanggung wajib membayar premi dan berhak memperoleh penggantian jika timbul kerugian atas harta miliknya yang diasuransikan. b. Status pihak-pihak
Penanggung harus berstatus sebagai perusahaan badan hukum, dapat berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Perusahaan Perseroan (Persero) atau Koperasi. Sedangkan Tertanggung dapat berstatus sebagai perseorangan, persekutuan atau badan hukum dan harus pihak yang berkepentingan atas objek yang diasuransikan.
c. Objek asuransi
Objek asuransi dapat berupa benda, hak atau kepentingan yang melekat kepada benda dan sejumlah uang yang disebut premi atau ganti kerugian. Melalui objek asuransi tersebut ada tujuan yang ingin dicapai oleh pihak-pihak. Penanggung bertujuan memperoleh pembayaran sejumlah premi sebagai imbalan pengalihan risiko, sedangkan Tertanggung bertujuan bebas dari risiko dan memperoleh penggantian jika timbul kerugian atas harta miliknya.
d. Peristiwa asuransi
Peristiwa asuransi adalah merupakan perbuatan hukum (legal act) berupa persetujuan atau kesepakatan bebas antara Penanggung dengan Tertanggung mengenai objek asuransi, peristiwa tidak pasti (evenement) yang mengancam objek asuransi, dan syarat-syarat yang berlaku dalam asuransi. Persetujuan atau kesepakatan bebas tersebut dibuat dalam bentuk tertulis berupa akta yang disebut polis, polis ini merupakan satu-satunya alat bukti yang dipakai untuk membuktikan telah terjadi asuransi.
e. Hubungan Asuransi
Hubungan asuransi yang terjadi antara Penanggung dengan Tertanggung adalah keterikatan (legally bound) yang timbul karena adanya persetujuan atau kesepakatan bebas untuk memenuhi hak dan kewajiban masing-masing. Apabila terjadi kondisi yang menimbulkan kerugian atas benda asuransi, Penanggung wajib membayar ganti kerugian sesuai dengan polis asuransi sedangkan apabila tidak terjadi, Bab 8: Hukum Dagang
177
maka premi yang sudah dibayar oleh Tertanggung tetap menjadi milik Penanggung. Dasar hukum asuransi banyak tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan. Pengaturan mengenai asuransi ini sangat penting karena menjadi suatu dasar pelaksanaan usaha asuransi di Indonesia. Berikut beberapa pengaturan mengenai asuransi:
a. Pengaturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) terdapat dua cara pengaturan mengenai Hukum Pertanggungan, yaitu pengaturan yang bersifat umum dan yang bersifat khusus. Pengaturan yang bersifat umum terdapat dalam Buku I Bab IX dan pengaturan yang bersifat khusus terdapat dalam Buku I Bab X, Buku II Bab IX dan X. Rincian isi bab-bab tersebut adalah sebagai berikut. 1) Buku I titel IX (sembilan): mengatur tentang asuransi pada umumnya, 2) Buku I titel X (sepuluh) ini dibagi dalam bebearapa bagian, yaitu: a) Bagian pertama: mengatur asuransi terhadap bahaya kebakaran diatur dalam Pasal 287-298 KUHD; b) Bagian kedua: mengatur asuransi terhadap bahaya-bahaya yang mengancam hasil-hasil pertanian di sawah di atur dalam Pasal 299-301 KUHD; c) Bagian ketiga: mengatur asuransi jiwa diatur dalam Pasal 302-308 KUHD. 3) Buku II titel IX (sembilan): mengatur asuransi terhadap bahaya-bahaya laut dan bahaya-bahaya perbudakan. Diatur dalam Pasal 592-685 KUHD, 4) Buku II titel IX (sembilan) ini dibagi dalam beberapa bagian yaitu: a) Bagian pertama: mengatur tentang bentuk dan isi asuransi; b) Bagian kedua: mengatur tentang anggaran dari barang-barang yang diasuransikan; c) Bagian ketiga: mengatur tentang awal dan akhir bahaya;
178
Pengantar Hukum Indonesia
d) Bagian keempat: mengatur tentang hak dan kewajiban-kewajiban Penanggung dan Tertanggung; e) Bagian kelima: mengatur tentang abandonnemen; f) Bagian keenam: mengatur tentang kewajiban-kewajiban dan hakhak makelar di dalam asuransi laut. 5) Buku II titel X (sepuluh): mengatur tentang asuransi terhadap bahayabahaya pengangkutan di darat dan sungai-sungai serta perairan pedalaman diatur dalam Pasal 689-695 KUHD. 6) Buku I titel X (sepuluh) dan buku II titel X (sepuluh) pengaturannya bersifat secara ringkas saja, tidak seperti yang diatur dalam buku I titel IX (sembilan) yang pengaturannya cukup luas. Pengaturan asuransi dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) meliputi substansi sebagai berikut:
Jika KUHD mengutamakan pengaturan asuransi dari segi keperdataan maka Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dalam Lembaran Negara Nomor 13 Tahun 1992 Tanggal 11 Februari 1992, a) Asas-asas asuransi; b) Perjanjian asuransi; c) Unsur-unsur asuransi; d) Syarat-syarat (klausula) asuransi; e) Jenis-jenis asuransi.
b. Pengaturan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian Jika KUHD mengutamakan pengaturan asuransi dari segi keperdataan maka Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dalam Lembaran Negara Nomor 13 Tahun 1992 Tanggal 11 Februari 1992, mengutamakan pengaturan asuransi dari segi bisnis dan publik administratif yang jika dilanggar mengakibatkan sanksi pidana dan administratif. Pengaturan dari segi bisnis artinya menjalankan usaha perasuransian harus sesuai dengan aturan hukum perasuransian dan perusahaan yang berlaku. Dari segi publik administratif artinya kepentingan masyarakat Bab 8: Hukum Dagang
179
dan negara tidak boleh dirugikan. Jika hal ini dilanggar, maka pelanggaran tersebut diancam dengan sanksi pidana dan sanksi administratif menurut undang-undang perasuransian. Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian dalam Lembaran Negara Nomor 120 Tahun 1992.
2. Tujuan Dilaksanakannya Asuransi a. Pengalihan Risiko Tertanggung menyadari bahwa ada ancaman bahaya terhadap harta kekayaan miliknya dan terhadap jiwanya. Jika bahaya tersebut menimpa harta kekayaan atau jiwanya, dia akan menderita kerugian material atau korban jiwa atau cacat raganya. Secara ekonomi kerugian material atau korban jiwa atau cacat raganya akan memengaruhi perjalanan hidup seseorang atau ahli warisnya. Tertanggung sebagai pihak yang terancam bahaya merasa berat memikul beban risiko yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Asuransi sebagai alat pengalihan risiko artinya asuransi dapat dipakai sebagai salah satu wahana unik mengadakan pengalihan risiko, di mana risiko pihak yang satu (Tertanggung) dialihkan kepada pihak lain (Penanggung) yang peralihannya dilakukan dengan suatu perjanjian. Untuk mengurangi atau menghilangkan beban risiko tersebut, pihak Tertanggung berupaya mencari jalan kalau ada pihak lain yang bersedia mengambil-alih beban risiko (ancaman bahaya) dan dia sanggup membayar kontra prestasi yang disebut premi. Dalam dunia bisnis perusahaan asuransi selalu siap menerima tawaran dari pihak Tertanggung untuk mengambil risiko dengan imbalan pembayaran premi. Tertanggung mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan risiko yang mengancam harta kekayaannya atau jiwanya. Dengan membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi (Penanggung) sejak itu pula risiko beralih kepada Penanggung. Apabila sampai berakhirnya jangka waktu asuransi tidak terjadi peristiwa yang merugikan Penanggung beruntung memiliki dan menikmati premi yang telah diterimanya dari Tertanggung. Dalam hal tidak terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, maka tidak ada masalah
180
Pengantar Hukum Indonesia
terhadap risiko yang ditanggung oleh Penanggung. Dalam praktiknya tidak senantiasa bahaya yang mengancam itu sungguh-sungguh.
b. Pembayaran Ganti Kerugian Dalam hal tidak terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, maka tidak ada masalah terhadap risiko yang ditanggung oleh Penanggung. Dalam praktiknya tidak senantiasa bahaya yang mengancam itu sungguh-sungguh terjadi. Ini merupakan kesempatan baik bagi Penanggung mengumpulkan premi yang dibayar oleh beberapa Tertanggung yang mengikatkan diri kepadanya. Jika pada suatu ketika sungguh-sungguh terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian (risiko berubah menjadi kerugian), maka kepada Tertanggung yang bersangkutan akan dibayarkan ganti kerugian.
c. Pembayaran Santunan Asuransi kerugian dan asuransi jiwa diadakan berdasarkan perjanjian bebas (sukarela) antara Penanggung dan Tertanggung (voluntary insurance), tetapi undang-undang mengatur asuransi yang bersifat wajib (compulsory insurance), artinya Tertanggung terikat dengan Penanggung karena perintah undang-undang bukan karena perjanjian, asuransi ini disebut asuransi sosial (social security insurance). Asuransi ini bertujuan melindungi masyarakat dari ancaman bahaya kecelakaan yang mengakibatkan kematian atau cacat tubuh, dengan membayar sejumlah kontribusi (semacam premi), Tertanggung berhak memperoleh perlindungan dari ancaman bahaya. Tertanggung yang membayar kontribusi tersebut adalah mereka yang terikat pada suatu hukum tertentu yang ditetapkan undang-undang, misalnya hubungan kerja, penumpang angkutan umum. Apabila mereka mendapat musibah kecelakaan dalam pekerjaannya atau selama angkutan berlangsung. Mereka (ahli warisnya) akan memperoleh pembayaran santunan dari Penanggung (BUMN) yang jumlahnya telah ditetapkan oleh undang-undang adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat, dan mereka yang terkena musibah diberi santunan sejumlah uang.
d. Kesejahteraan Anggota Apabila beberapa orang berhimpun dalam suatu perkumpulan dan membayar kontribusi (iuran) kepada perkumpulan, maka perkumpulan Bab 8: Hukum Dagang
181
itu berkedudukan sebagai Penanggung. Jika terjadi peristiwa yang mengakibatkan kerugian atau kematian bagi anggota (Tertanggung), perkumpulan akan membayar sejumlah uang kepada anggota (Tertanggung) yang bersangkutan. Wirjono Projodikoro menyebut asuransi seperti ini mirip dengan (perkumpulan koperasi). Asuransi ini merupakan asuransi saling menanggung (omderlinge verzekering) atau asuransi usaha bersama (mutual insurance) yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan anggota. Asuransi saling menanggung tidak dapat digolongkan ke dalam asuransi murni, melainkan hanya mempunyai unsur-unsur yang mirip dengan asuransi kerugian atau asuransi jumlah. Penyetoran uang iuran oleh anggota perkumpulan (semacam premi oleh Tertanggung) merupakan pengumpulan dana untuk kesejahteraan anggotanya atau untuk mengurus kepentingan anggotanya misalnya bantuan upacara bagi anggotanya yang mengadakan selamatan, bantuan biaya penguburan bagi anggota yang meninggal dunia dan biaya perawatan bagi anggota yang mengalami kecelakaan atau sakit, serta cacat tetap. Pada dasarnya setiap perjanjian pasti membutuhkan adanya suatu dokumen. Setiap dokumen secara umum mempunyai arti yang sangat penting karena berfungsi sebagai alat bukti. Arti pentingnya dokumen sebagai alat bukti tidak hanya bagi para pihak saja, tetapi juga bagi pihak ketiga yang mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan perjanjian yang bersangkutan. Undang-undang menentukan bahwa perjanjian asuransi harus ditutup dengan suatu akta yang disebut (Pasal 255 KUHD). Menurut Pasal 255 “Suatu tanggungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis”. Sesuai dengan uraian di atas bahwa perjanijian asuransi harus dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis. Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 bahwa “polis atau bentuk perjanjian asuransi dengan nama apa pun, berikut lampiran yang merupakan satu kesatuan dengannya, tidak boleh mengandung kata atau kalimat yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda mengenai risiko yang ditutup asuransinya, kewajiban Tertanggung, atau mempersulit Tertanggung mengurus haknya”. Berdasarkan ketentuan 2 (dua) pasal tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa polis berfungsi sebagai alat bukti tertulis yang menyatakan
182
Pengantar Hukum Indonesia
bahwa telah terjadi perjanjian asuransi antara Tertanggung dan Penanggung. Sebagai alat bukti tertulis, isi yang tercantum dalam polis harus jelas, tidak boleh mengandung kata-kata atau kalimat-kalimat yang memungkinkan perbedaan interpretasi, sehingga mempersulit Tertanggung dan Penanggung merealisasikan hak dan kewajiban mereka dalam pelaksanaan asuransi. Di samping itu, polis juga memuat kesepakatan mengenai syarat-syarat khusus dan janji-janji khusus yang menjadi dasar pemenuhan hak dan kewajiban untuk mencapai tujuan asuransi. Sedang syarat-syarat formal polis diatur lebih lanjut pada Pasal 256 KUHD. Agar suatu akta dapat disebut sebagai suatu polis. Pasal 257, selanjutnya mengatur tentang saat kapan perjanjian asuransi itu mulai dianggap ada, yaitu sejak adanya kata sepakat/sejak saat ditutup, bahkan sebelum polis ditandatangani. Pada umumnya syarat-syarat tambahan/khusus itu dibagi dalam dua jenis, adalah sebagai berikut. a. Syarat-syarat yang bersifat larangan merupakan syarat-syarat di mana dinyatakan bahwa pihak Tertanggung dilarang melakukan suatu perbuatan tertentu dengan ancaman bila mana larangan tersebut dilanggar oleh Tertanggung, maka perjanjian pertanggungan menjadi batal. b. Syarat-syarat lain adalah semua syarat-syarat yang tidak mengandung ancaman-ancaman batalnya perjanjian pertanggungan syarat untuk melanjutkan pertanggungan dan sebagainya. Misalnya ada ketentuan sebagai berikut: “Selesainya jangka waktu yang tersebut dalam polis ini, dan sehabisnya tiap-tiap jangka waktu yang berikut, maka perjanjian pertanggungan ini dianggap menurut hukum telah diperpanjang untuk jangka waktu yang sama, bilamana sekurang-kurangnya satu bulan di muka tidak menyatakan penghentian pertanggungan ini oleh salah satu pihak yang bersangkutan kepada pihak lain dengan surat tercatat”. Dengan syarat ini diberi kesempatan kepada pihak Tertanggung atau Penanggung untuk melanjutkan pertanggungan secara otomatis dengan memberi kelonggaran membatalkan pertanggungan itu pada tanggal tersebut dalam polis di mana harus diberitahukan maksud itu oleh pihak yang menghendaki kepada pihak yang lain.
Bab 8: Hukum Dagang
183
BAB 9 HUKUM AGRARIA
A. Pendahuluan Masalah tanah sejak dahulu sampai sekarang merupakan suatu masalah yang paling sering dibahas baik perseorangan maupun kelompok. Sebagai salah satu faktor produksi tanah menduduki tempat utama yang selalu dijadikan tujuan manusia dalam hidup dan kehidupannya. Hal demikian, sudah menjadi kewajaran karena sejak manusia lahir di dunia sampai menutup mata untuk yang terakhir kalinya pasti memerlukan tanah. Lebih-lebih dengan semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk, maka kebutuhan manusia akan tanah juga semakin meningkat. Namun, pada sisi lain jumlah tanah yang tersedia terbatas (kalaupun tidak tidak dapat dikatakan tetap), sehingga dengan adanya dua antinomi ini tidak mustahil akan melahirkan konflik/persengketaan yang berobjek tanah (land conflicts). Dalam bab ini akan dijelaskan berbagai pengertian Hukum Agraria menurut para ahli, pengertian Hukum Agraria dalam arti luas dan dalam arti sempit sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, pengertian politik agraria pada masa kolonial Belanda, politik agraria menurut UUPA, sejarah pembentukan UUPA hingga terbentuknya berbagai sumber hukum pertanahan di Indonesia. Dalam penerapan hukum agraria nasional terdapat asas-asas yang menjadi dasar terlaksananya hukum agraria nasional, selanjutnya
185
memunculkan berbagai hak atas tanah serta tata cara perolehannya. Sesuai jiwa Pasal 33 UUD 1945, maka terdapat ruang bagi terlaksananya pengadaan tanah untuk kepentingan umum dengan mengacu pada asasasas hukum pengadaan tanah di Indonesia, termasuk dalam hal sistem/ cara pengadaan tanah dan pemberian ganti kerugian.
B. Pengertian Hukum Agraria Untuk dapat memperoleh gambaran mengenai apa yang disebut “Hukum Agraria” dan/atau ruang lingkup Hukum Agraria, maka pertamatama yang perlu dikemukakan adalah definisi dari Hukum Agraria (Harsono, 1997: 14). Adapun definisi Hukum Agraria sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa sarjana hukum sebagai berikut.
1. Prof. E. Utrecht, S.H. Beliau mengatakan bahwa “Hukum Agraria (hukum tanah) adalah menjadi bagian dari Hukum Administrasi Negara yang mengkaji hubunganhubungan hukum terutama yang memungkinkan para pejabat yang bertugas mengurus soal-soal agraria”. Bagi Negara kita Republik Indonesia yang masih bercorak negara agraria, sangatlah penting sekali mengurus secara baik hal-hal yang bersifat agraris. Dengan demikian maka menurut Prof E. Utrech, S.H hukum agraria dimaksud masih merupakan bagian hukum administrasi. Selanjutnya dikatakan bahwa hukum administrasi Negara mengurus bagian-bagian kemasyarakatan yang menjadi perhatian hukum publik.
2. Prof. Dr. Subekti, S.H. dan Tjitrosubono, S.H. Dikatakan bahwa “Hukum Agraria” adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan yang lainnya, termasuk badan hukum dengan bumi, air, dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah serta mengatur pula wewenang yang bersumber pada hubungan tersebut.
186
Pengantar Hukum Indonesia
3. Prof. Budi Harsono, S.H. Beliau mengatakan bahwa “Hukum Agraria menurut pengertian undang-undang pokok agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah baik yang tertulis yang mengatur agrarian”. Sedangkan pengertian “Agraria” menurut UUPA meliputi bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bahkan dalam batasbatas tertentu juga ruang angkasa. Dengan demikian maka hukum agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur bumi, air, dan ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), maka pengertian agraria dapat berarti luas dan/atau sempit sebagai berikut. a. Dalam arti luas “Agraria” mengandung pengertian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat 2 UUPA yang meliputi bumi, air, dan ruang angkasa. b. Sedang pengertian Agraria dalam arti sempit diatur dalam Pasal 4 ayat 1 UUPA yaitu tanah. Dalam Pasal 4 ayat 1 antara lain ditentukan bahwa adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah tersebut. Jadi pengertian Agraria dalam arti sempit adalah permukaan bumi yang disebut tanah.
C. Politik Agraria Menurut UUPA Yang dimaksud Politik Agraria, adalah suatu kebijaksanaan yang dianut oleh suatu pemerintahan negara dengan ruang lingkup tanah itu akan dipergunakan untuk apa atau tanah itu akan diapakan. Artinya apakah tanah itu harus mewujudkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat ataukah tanah itu dipandang sebagai faktor produksi semata-mata tanpa menghiraukan kesengsaraan yang diderita oleh rakyat suatu negara. Politik agraria yang dianut di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, dan Undang-Undang Pokok Agraria dan dengan berlandaskan Filsafat Pancasila, maka bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
Bab 9: Hukum Agraria
187
kemakmuran rakyat. Dasar hukum berlakunya politik hukum agraria di Indonesia antara lain: 1. Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menentukan: “Bumi, air dan kekayaan yang terkandunng di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.” 2. Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria, menentukan:
Ayat 1: “atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang dasar dan Hak-hak sebagai dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan rakyat.”
Ayat 2: “Hak menguasai dari negara dalam ayat 1 pasal ini, memberi wewenang untuk: a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut. b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Ayat 3: “wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat 2 pasal ini, digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur”.
Ayat 4: “Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah”. •
188
Dari salah satu konsideran dalam undang-undang pokok agraria diwajibkan untuk mengatur pemilikan dan penggunaan tanah, sehingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, baik dipergunakan secara perorangan maupun secara gotongroyong.
Pengantar Hukum Indonesia
Jadi wujud politik agraria ini tidak lain adalah kewenangan atau kekuasaan negara untuk mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan unsur-unsur agraria yang meliputi bumi, air dan ruang angkasa (dalam batas-batas tertentu) yang dituangkan dalam policy atau kebijakan yang dalam kenyataannya tertuang dalam kaidah-kaidah hukum. Politik agraria Indonesia dilihat dari aspek kesejahteraan ternyata melalui perkembangan yang panjang jauh sebelum berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Masa penjajahan tersebut adalah masa penjajahan Belanda (babak I), masa penjajahan Inggris, masa penjajahan Belanda (babak II), masa sebelum diundangkannya UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), masa diberlakukannya UUPA (Periode Orde Lama), masa diberlakukannya UUPA (Periode Orde Baru) dan masa diberlakukannya UUPA (Periode Reformasi).
D. Sejarah Pembentukan UUPA Sesungguhnya hasrat dan tekad untuk mengatur masalah agraria dalam hukum nasional sudah ada sejak bangsa Indonesia memproklamasikan sebagai suatu Negara yang merdeka. Namun, karena situasi dan kondisi belum memungkinkan untuk mewujudkan hasrat tersebut. Hal itu disebabkan karena Negara masih menghadapi agresi penjajah maupun rongrongan dari dalam negeri sehingga baru pada tahun 1948 rencana tersebut dimulai. 1. Diawali dengan dibentuknya Panitia Agraria Yogya yang didasarkan pada Penetapan Presiden Nomor 16 Tahun 1948 Tanggal 21 Mei 1948 yang diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo. Hasil panitia adalah merekomendasikan tujuh poin usulan yang penting dalam penghapusan prinsip domein ini mengandung makna bahwa tanah-tanah yang tidak ada hak yang melekat di atasnya, secara otomatis menjadi milik atau domein Negara. Hal demikian tentunya sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila maupun Hak Asasi Manusia. Sedangkan hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh kesatuan masyarakat kesatuan adat terhadap lingkungan agrarian di sekitarnya dengan sifat kedaulatan ke dalam dan ke luar. 2. Panitia Agraria Jakarta yang mendasarkan diri pada Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang diketuai oleh Singgih Praptodihardjo Bab 9: Hukum Agraria
189
karena panitia agrarian Yogya dibubarkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1955 dan menghasilkan naskah rancangan undang-undang. Panitia ini dibentuk mengusulkan lima poin untuk melakukan penguatan hak ulayat sesuai dengan dasar negara Pancasila. 3. Panitia Soewahjo dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1955 dan menghasilkan naskah rancangan undang-undang. Panitia ini dibentuk menyusul dibubarkannya panitia agraria Jakarta berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1956 tanggal 14 Januari 1956. Panitia ini menghasilkan delapan rekomendasi dalam rancangan naskah undang-undang. 4. Rancangan Soenarjo disebut demikian karena mengajukan usul hasil panitia Soewahyo, menyusul dibubarkannya panitia Soewahyo pada 6 Mei 1958 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 97 Tahun 1958. Naskah ini sebenarnya telah disetujui oleh Dewan Menteri dan diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat melalui amanat Presiden Soekarno tanggal 24 April 1958. 5. Rancangan Sadjarwa menyusul perubahan politik ketatanegaraan serta Konstitusi Republik Indonesia dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 rancangan Sadjarwo ini hakikatnya menyempurnakan rancangan Soenarjo. Melalui tiga kali persidangan tanggal 12-14 September 1960 berhasil diundangkan Undang-Undang tentang peraturan dasar pokokpokok Agraria (UUPA) Tepat pada tanggal 24 September 1960 Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berhasil diundangkan dimuat di dalam Lembaran Negara Nomor 104 Tahun 1960. Undang-undang Pokok Agraria memang merupakan Undang-undang yang dicita-citakan untuk merombak seluruh sistem dan falsafah Agraria warisan Kolonial Belanda. Undang-undang ini dikenal dengan UUPA (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960). Dengan diundangkannya UUPA ini, maka sumber hukum pertanahan nasional, adalah sebagai berikut. 1. Sumber hukum tertulis: a. UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3),
190
Pengantar Hukum Indonesia
b. UUPA (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960), c. Peraturan perundang-undangan lain: 1) sepanjang mengenai bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, 2) yang merupakan pelaksanaan UUPA, 3) yang berkaitan dengan keagrariaan, 4) peraturan lama, yang menurut peraturan peralihan, untuk sementara masih berlaku. 2. Sumber hukum tidak tertulis: a. Hukum adat dengan segala persyaratannya. b. Hukum kebiasaan baru (praktik tata usaha negara, yurisprudensi, dan kebiasaan-kebiasaan profesional).
E. Dasar-Dasar Hukum Agraria Nasional Sebagai suatu produk politik, maka Undang-undang ini memiliki sesuatu yang dijadikan basis atau landasan/fundamen yang nantinya akan dituangkan dalam peraturan organik/peraturan perundang-undangan pelaksanaan undang-undang tersebut. Dasar-dasar yang dimaksud oleh undang-undang ini sebagai berikut: 1. Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai suatu bangsa Indonesia sebagaimana diatur Pasal 1 ayat (1) dan (2) UUPA. Artinya seluruh bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya menjadi hak seluruh bangsa Indonesia dalam hubungan yang abadi ayat (3). 2. Dasar dikuasai oleh Negara (Pasal 2 ayat (1) UUP, dikuasai bukan diartikan sebagai domain/dimiliki oleh Negara atas bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, melainkan pengertiannya adalah: a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaanya.
Bab 9: Hukum Agraria
191
b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang timbul dari hubungan kepentingan orang dan unsur agrarian itu. c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, sebenarnya fungsi dan tugas negara sebagi organisasi kekuasaan seluruh rakyat adalah untuk mengatur upaya pencapaian kemakmuran bersama dan negara memiliki peran yang kuat untuk mendistribusikan kemakmuran kepada seluruh rakyat sesuai dengan prinsip keadilan dan pemihakan kepada kepentingan rakyat.
Kewenangan Negara yang dimaksud terhadap bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya baik yang sudah dihaki oleh perseorangan maupun badan hukum. Kewenangan Negara ini dalam banyak hal atau kasus berhadap-hadapan dengan kewenangan atau hak perseorangan yang apabila tidak diselesaikan secara bijak dan adil akan membawa akibat kerawanan sosial.
3. Hukum adat sebagai dasar hukum agraria. Pasal 5 UUPA merumuskan, bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang memenuhi beberapa persyaratan yakni tidak bertentangan dengan: a. kepentingan nasional, yang berdasar atas persatuan bangsa; b. peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUD; c.
192
peraturan perundang-undangan lainnya, dan dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Hukum adat yang dimaksud di sini adalah hukum yang asli di kalangan golongan rakyat Indonesia yang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Budi Harsono berpendapat, bahwa dengan adanya berbagai persyaratan itu, maka yang digunakan sebagai dasar hukum agraria bukanlah hukum adat secara keseluruhan, tetapi hukum adat yang sudah dibersihkan dari berbagai cacat dan kelemahannya (antara lain, yang terlalu mengutamakan wilayah masyarakat hukum adatnya,
Pengantar Hukum Indonesia
dan sifat tidak tertulis yang kurang memberikan kepastian hukum). Singkatnya, hukum adat yang telah “disaner”. 4. Pengakuan hak ulayat atau hak yang serupa sepanjang kenyataannya masih ada dan pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan nasional dan negara berdasarkan persatuan bangsa dan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (lihat Pasal 3 UUPA).
Dalam banyak kasus ternyata hak ulayat ini mengalami proses yang disebut dengan pemusnahan. Berhadapan dengan hak menguasai negara seperti dapat dilihat dalam kasus-kasus: Freeport di Papua, pengusaha pemegang hak usaha hutan melawan suku Dayak di Kalimantan. Konsisten dengan apa yang diatur dalam Pasal 5 jo. Pasal 3 UUPA semua kalangan perlu memahami dengan baik dan konsisten dalam pelaksanaannya.
5. Semua hak atas tanah berfungsi secara sosial, artinya semua penggunaan hak atas tanah harus memerhatikan kepentingan umum sebagaimana kenyataan manusia Indonesia yang dwitunggal (monodualis) Pasal 6, Pasal 2 ayat 3 dan 15 UUPA.
Oleh karena itu, penggunaan tanah haruslah disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya, serta penggunaannya jangan sampai menimbulkan kerugian bagi masyarakat (penjelasan Pasal 6).
6. Tanah untuk kepentingan warga negara Indonesia artinya hanya WNI yang mempunyai hak tertentu atas BARA Pasal 9 ayat 1 UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah, yang dikenal sebagai prinsip nasionalitas. Periksa pula Pasal 21 ayat 1 dan Pasal 26 ayat 2 UUPA. 7. Persamaan kedudukan laki-laki dan wanita atas BARA (Bumi, Air, dan Ruang Angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya). Hal tersebut sesuai dengan Pasal 9 ayat 2 UUPA, adanya hak yang sepadan antara pria dan wanita terhadap BARA dan menikmati hasil-hasil daripadanya. 8. Asas perlidungan sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat 2 dan 3 dan Pasal 26 ayat 1 UUPA yaitu memberikan perlindungan bagi golongan ekonomi lemah dari tindakan monopoli.
Bab 9: Hukum Agraria
193
9. Asas tanah untuk petani sesuai dengan ketentuan Pasal 10 UUPA. Tanah harus diusahakan secara aktif oleh pemegang atau pemiliknya sendiri tanpa adanya unsur pemerasan. Demikian pula terhadap tanah yang tidak digunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya. (periksa konsideran huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar). 10. Dasar perencanaan tata guna tanah mengharuskan adanya planning atau perencanaan terhadap peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan BARA dalam perencanaan nasional sesuai dengan Pasal 14 UUPA dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
F. Hak Atas Tanah dan Tata Cara Perolehannya 1. Hak Atas Tanah Hak atas tanah merupakan hak yang diterima oleh perseorangan atau badan hukum selaku pemegang kuasa atas tanah. Hak atas tanah memberi wewenang kepada yang mempunyainya untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan. Pengaturan terkait hak-hak atas tanah terdapat dalam Pasal 16 UUPA, yaitu: a. Hak Milik: Hak milik menurut Pasal 20 UUPA adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh. b. Hak Guna Usaha (HGU): Hak guna usaha (HGU) ialah hak untuk mengusahakan tanah negara minimal 5 hektar dalam jangka waktu yang terbatas dan tertentu, yaitu maksimal 25 atau 35 tahun yang dapat di perpanjang dengan maksimal 25 tahun di bidang pertanian, perikanan atau peternakan (Pasal 28). c. Hak Guna Bangunan (HGB): Hak guna bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri yang jangka waktunya juga terbatas dan tertentu, yaitu maksimal 30 tahun yang dapat di perpanjang dengan maksimal 20 tahun (Pasal 35). d. Hak Pakai: Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau akan memungut hasil dari tanah negara atau tanah milik orang lain yang 194
Pengantar Hukum Indonesia
memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan atau perjanjian pemberiannya (Pasal 41), tapi tidak bersumber pada hubungan sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah. e. Hak sewa: Hak sewa ialah hak mempergunakan tanah milik orang lain untuk sesuatu keperluan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa (Pasal 44). f.
Hak Membuka Tanah,
g. Hak Memungut Hasil Hutan. Antara hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak sewa terdapat kesamaan, yaitu hak yang memberi wewenang untuk memakai/ menggunakan tanah yang bukan miliknya sendiri dan dapat dikelompokkan sebagai hak pakai. Terhadap hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan bukanlah hak atas tanah dalam arti yang sebenarnya, karena kedua hak ini tidak memberi wewenang untuk mempergunakan atau mengusahakan tanah tertentu. Dimasukkannya ke dalam kelompok hak-hak atas tanah lebih bersifat penyelarasan terhadap sistematika hukum adat yang menggolongkan hak-hak tersebut sebagai hak-hak atas tanah. Subjek hukum yang berhak atas perolehan hak-hak atas tanah dalam UUPA yaitu: a. WNI secara perorangan dapat memiliki semua hak atas tanah, demikian juga badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Hanya saja untuk dapat mempunyai hak milik atas tanah badan hukum yang diperbolehkan hanyalah badan hukum tertentu seperti: Bank pemerintah, Koperasi pertanian, yayasan sosial, dan Yayasan keagamaan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963. b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia hanya dapat mempunyai hak pakai (Pasal 42) dan hak sewa untuk bangunan, serta tidak diperbolehkan mempunyai hak milik (Pasal 21 ayat (1)). c. Badan hukum yang hanya untuk sebagian atau seluruhnya bermodal asing dapat diberikan hak guna usaha dan hak guna bangunan berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Bab 9: Hukum Agraria
195
Hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain (Pasal 20 ayat (2), Pasal 28 ayat (3), dan Pasal 35 ayat (3)), serta dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan (Pasal 25, 33, dan 39). Mengenai hak-hak atas tanah yang diberikan atas tanah negara pada umumnya terjadi/diperoleh atas penetapan pemerintah, baik terhadap hak milik (Pasal 22 ayat (2a)), hak guna usaha (Pasal 31), hak guna bangunan (Pasal 37a), maupun hak pakai (Pasal 43 ayat (1)). Untuk hak milik dapat pula terjadi menurut hukum adat (Pasal 22 ayat (1)) dan karena ketentuan undang-undang (Pasal 22 ayat (26)). Hak guna bangunan serta hak pakai dapat terjadi karena perjanjian dengan subjek hukum yang mempunyai hak milik atas tanahnya. Hapusnya hak atas tanah pada umumnya dapat terjadi karena tanahnya musnah atau tanahnya jatuh kepada negara karena pencabutan hak atau karena ditelantarkan. Selain itu, masing-masing hak atas tanah dapat hapus karena alasan khusus. Hak milik dapat hapus karena penyerahan dengan sukarela dan karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2). Sedangkan hak guna usaha dan hak guna bangunan dapat hapus karena jangka waktunya berakhir, dihentikan karena suatu syarat yang tidak dipenuhi atau dilepaskan oleh pemegang haknya, atau juga karena ketentuan pasal yang khusus, Pasal 38 ayat (2) untuk hak guna usaha dan Pasal 36 ayat (2) untuk hak guna bangunan.
2. Tata Cara Perolehan Hak Atas Tanah Tata cara perolehan hak atas tanah diartikan sebagai pemberian, perpanjangan, pembaruan, penghentian serta pembatalan hak-hak atas tanah dan mengawasi mutasi/perpindahan atas tanah-tanah tersebut. Hak-hak atas tanah yang dimaksudkan di sini adalah hak-hak sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 6 UUPA. Pemberian hak atas tanah adalah pemberian hak atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara kepada seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau kepada suatu badan hukum. Perpanjangan hak adalah pemberian perpanjangan jangka waktu berlakunya suatu hak atas tanah yang sudah ada dengan kemungkinan mengubah, menambah atau membiarkan tetap berlakunya syarat-syarat pemberian hak yang lama. Pembaruan hak atas tanah adalah pemberian hak baru atas suatu 196
Pengantar Hukum Indonesia
bidang tanah dengan hak baru yang mungkin berbeda dengan hak yang lama dan dengan syarat-syarat yang sama sekali baru. Penghentian hak adalah pemutusan berlakunya suatu hak atas tanah sebelum berakhirnya waktu yang telah ditetapkan dalam surat keputusan pemberian haknya. Sedangkan pembatalan hak atas tanah adalah penghapusan berlakunya suatu hak atas tanah. Terhadap pemberian, perpanjangan dan pembaruan hak dapat diberikan atas permohonan pihak yang bersangkutan. Untuk penghentian ataupun pembatalan hak dapat dilakukan atas permintaan yang bersangkutan ataupun atas kebijakan pemerintah, karena pemegang hak telah melanggar syarat-syarat dalam pemberian haknya atau melanggar peraturan perundangan yang berlaku. Adapun tujuan pengurusan hak atas tanah adalah untuk memberikan legalitas pada penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah, serta mutasi tanah sehingga terjamin adanya kepastian dan perlindungan hukum, baik bagi pihak yang bersangkutan maupun bagi masyarakat dan negara. Mekanisme yang harus dilalui untuk memperoleh hak atas tanah adalah sebagai berikut. a. Surat permohonan hak milik, hak guna bangunan, hak pakai, hak pengelolaan. b. Penanganan di kantor pertanahan setempat. c.
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional atas nama gubernur setempat mengeluarkan keputusan pemberian hak atas tanah yang dimohonkan atau menolak permohonan tersebut.
d. Atas surat keputusan pemberian hak tersebut, kantor pertanahan kabupaten/kotamadya memberitahukan hal itu kepada Pemohon, agar mereka memenuhi kewajiban-kewajiban yang disyaratkan dalam surat keputusan itu. e. Permohonan bagi hak guna usaha diajukan tidak ke kantor pertanahan kabupaten/kotamadya, tetapi ke Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional di provinsi. f.
Membayar biaya pengurusan.
Bab 9: Hukum Agraria
197
G. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Demi kepentingan umum, pemerintah berdasarkan hak menguasai negara memiliki kewenangan konstitusional untuk memperoleh tanah dari masyarakat pemilik tanah. Melalui Pasal 33 UUD 1945 pemerintah dapat mengambil alih atau melakukan pengadaan tanah. Adapun prinsipprinsip yang mendasari pengadaan tanah oleh pemerintah mengacu pada adagium “necessitas publica major est quam privata” (kepentingan umum lebih besar daripada kepentingan pribadi), dan “princeps et respublica ex justa causa possunt rem meam auferre” (penguasa dan negara, dengan alasan yang layak/ memadai, dapat mengambil alih kepentingan pribadi). Pengadaan tanah (acquisition of land) terdiri atas pengadaan tanah secara sukarela (voluntary acquisition of land) dan pengadaan tanah secara wajib (compulsory acquisition of land). Pembebasan hak atas tanah merupakan bentuk dari pengadaan tanah secara sukarela, sedangkan yang termasuk pengadaan tanah secara wajib adalah pencabutan hak atas tanah. Secara umum dikenal dua jenis pengadaan tanah, yaitu: pengadaan tanah untuk keperluan pemerintah dan pengadaan tanah untuk keperluan swasta. Pengadaan tanah untuk keperluan pemerintah dibagi atas pengadaan tanah bagi kepentingan umum dan bukan kepentingan umum (misal: untuk kepentingan komersial). Selanjutnya pengadaan tanah bagi kepentingan swasta bisa digolongkan atas kepentingan komersial dan nonkomersial, yakni yang bersifat menunjang kepentingan umum atau termasuk dalam pembangunan sarana umum dan fasilitas-fasilitas sosial. Salah satu asas hukum dalam pengadaan tanah menyebutkan bahwa cara memperoleh tanah yang sudah dihaki seseorang harus melalui kata sepakat antara para pihak. Tegasnya bahwa pengadaan tanah dalam keadaan biasa tidak bisa dilakukan secara paksa, sehingga dengan kata lain pencabutan hak atas tanah sebagai cara paksa pengadaan tanah hanya dilakukan dalam keadaan memaksa. Oleh karena itu sebelum dilakukan pencabutan hak atas tanah terlebih dahulu dilakukan pengadaan tanah dengan cara sukarela berdasarkan tata cara yang telah tercantum dalam Kepres Nomor 55 Tahun 1993 yang diganti dengan Perpres Nomor 36 Tahun 2005. Berdasar Pasal 21 Kepres Nomor 55 Tahun 1993 disebutkan bahwa usul pencabutan hak atas tanah baru dilakukan jika acara pelepasan hak
198
Pengantar Hukum Indonesia
benar-benar gagal, sementara lokasi pembangunan yang akan dilaksanakan tidak bisa dipindahkan. Hal ini menandakan bahwa produk hukum terkait pengadaan tanah baik Perpres Nomor 36 Tahun 2005 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 keduanya menitikberatkan pada pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan bagi kepentingan umum. Maria S.W. Sumardjono mengusulkan agar konsep kepentingan umum, selain harus memenuhi unsur peruntukkannya, juga harus dapat dirasakan kemanfaatannya (socially profitable). Yang dimaksud kepentingan umum menurut Perpres Nomor 36 Tahun 2005 adalah: 1. Kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat (Pasal 1 angka 5); 2. Pembangunan untuk kepentingan umum dibatasi untuk kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak untuk mencari keuntungan (Pasal 5).
1. Asas-asas Hukum Pengadaan Tanah Berdasarkan konsepsi hukum tanah nasional yang menekankan pada sifat komunalistik religius atas kepemilikan tanah, di mana hal ini berarti bahwa dimungkinkan adanya penguasaan tanah secara individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, namun tanpa mengabaikan unsur kebersamaan. Adapun asas-asas hukum pengadaan tanah di Indonesia antara lain: a. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapa pun dan untuk keperluan apa pun harus ada landasan haknya. b. Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa. c. Cara memperoleh tanah yang sudah dihaki seseorang harus melalui kata sepakat antara pihak yang bersangkutan, menurut ketentuan yang berlaku. d. Dalam keadaan yang memaksa, jika jalan musyawarah tidak dapat menghasilkan kata sepakat maka untuk kepentingan umum, penguasa (Presiden) diberi kewenangan oleh hukum untuk mengambil tanah tersebut secara “paksa” melalui acara pencabutan hak atas tanah.
Bab 9: Hukum Agraria
199
e. Baik dalam acara perolehan hak atas tanah berdasar kata sepakat maupun dalam pencabutan hak atas tanah, kepada pihak yang menyerahkan tanahnya wajib diberi imbalan yang layak berupa uang, fasilitas atau tanah pengganti sehingga keadaan sosial dan ekonominya tidak mengalami kemunduran. f.
Rakyat yang diminta menyerahkan tanah untuk proyek pembangunan berhak memperoleh pengayoman dari para pejabat pamong praja dan pamong desa.
2. Sistem (Cara) Pengadaan Tanah Dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) Perpres Nomor 36 Tahun 2005 menyatakan bahwa cara pengadaan tanah yang berlaku di negara kita adalah: a. pelepasan atau penyerahan hak; b. pencabutan hak atas tanah (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961); c.
jual beli, tukar-menukar, dan cara lain yang disepakati secara sukarela.
Beberapa cara yang digunakan dalam pengadaan tanah tersebut di atas pada prinsipnya juga tergantung pada: a. status (hukum) tanah yang diperlukan; b. status hukum pihak yang memerlukan tanah; e. peruntukan tanah yang diperlukan; d. ada atau tidak adanya kesediaan pemilik tanah untuk menyerahkan tanah yang bersangkutan. Jika tanah yang diperlukan berstatus tanah negara, maka cara yang harus digunakan adalah melalui cara permohonan dan pemberian hak atas tanah. Jika tanah yang tersedia berstatus tanah ulayat, maka caranya adalah meminta kesediaan Penguasa Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan untuk melepaskan hak ulayatnya, dengan pemberian ganti rugi atas tanam tumbuh rakyat yang ada di atasnya. Jika tanah yang dimohon berstatus tanah hak, maka cara yang akan digunakan tergantung pada ada atau tidak adanya kesediaan pemilik tanah untuk menyerahkan kepada yang memerlukan, dengan ketentuan:
200
Pengantar Hukum Indonesia
a. jika ada kesediaan untuk menyerahkan dengan sukarela, maka ditempuh: 1) acara pemindahan hak, melalui jual beli, tukar menukar atau hibah, yaitu jika yang memerlukan memenuhi syarat sebagai subjek hak tanah yang dipindahkan itu; 2) acara pelepasan hak (pembebasan hak), diikuti dengan permohonan hak baru yang sesuai, yaitu jika pihak yang memerlukan tidak memenuhi syarat sebagai subjek hak yang semula menentukan status tanah tersebut. b. jika pemilik tanah tidak bersedia untuk menyerahkan dengan suka rela, dan ternyata syarat-syarat telah terpenuhi, maka dapat ditempuh acara pencabutan hak.
3. Pemberian Ganti Kerugian Pemberian ganti kerugian dalam pelepasan atau penyerahan hak atas tanah (pembebasan hak atas tanah) merupakan wujud konkret dari penghormatan terhadap hak atas tanah, sebagai bagian dari hak asasi manusia di bidang ekonomi (property right) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 Perpres Nomor 36 Tahun 2005. Bentuk ganti kerugian menurut Pasal 13 Perpres Nomor 36 Tahun 2005 dapat berupa: a. uang; b. tanah pengganti; c. pemukiman kembali; d. gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti rugi di atas; serta e. bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Perlu diingat, bahwa penggantian terhadap bidang tanah yang dikuasai dengan hak ulayat menurut Pasal 14 Perpres Nomor 36 Tahun 2005 ini diberikan dalam bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi masyarakat setempat. Dasar dan cara perhitungan ganti kerugian dalam pembebasan hak atas tanah dapat dilihat dalam Pasal 15 Perpres Nomor 36 Tahun 2005, Bab 9: Hukum Agraria
201
yang menyatakan dasar dan cara perhitungan ganti kerugian ditetapkan atas dasar: a. harga tanah yang didasarkan atas nilai nyata dengan memerhatikan nilai jual objek PBB yang terakhir untuk tanah bersangkutan; b. nilai jual bangunan yang ditaksir oleh instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan; c. nilai jual tanaman yang ditaksir oleh instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian. Berdasarkan ketentuan yang ada, bahwa usul pencabutan hak atas tanah tersebut di atas bisa dilakukan jika: a. lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan; atau b. sekurang-kurangnya 75% dari luas tanah yang diperlukan atau 75% dari jumlah pemegang hak telah dibayarkan ganti kerugian.
H. Pendaftaran Tanah Pendaftaran tanah berasal dari kata cadastre (Belanda: Kadaster), yang berarti record/ rekaman yang menunjuk pada luas, nilai dan kepemilikan terhadap suatu bidang tanah. Berdasarkan ketentuan Pasal 19 UUPA, pendaftaran tanah meliputi pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah, pendaftaran dan peralihan hak-hak atas tanah, pemberian surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Pengertian pendaftaran tanah menurut Pasal 1 PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah serangkaian kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan pengujian serta pemeliharaan data fisik dan yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Dasar hukum yang digunakan dalam mekanisme pendaftaran tanah di Indonesia adalah UUPA Pasal 19, 23, 32, dan Pasal 38, serta Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang selanjutnya diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
202
Pengantar Hukum Indonesia
Asas yang melandasi dilaksanakannya pendaftaran tanah, yaitu asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka. 1. Asas sederhana dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokok maupun prosedur pendaftaran tanah dengan mudah dapat dipahami oleh pihakpihak yang berkepentingan terutama para pemegang hak. 2. Asas aman dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan dengan teliti dan cermat, sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai dengan tujuannya. 3. Asas terjangkau dimaksudkan agar pihak-pihak yang memerlukannya, terutama golongan ekonomi lemah, dapat terjangkau pemberian layanan pendaftaran tanah. 4. Asas mutakhir dimaksudkan bahwa perlu adanya kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaan dan pemeliharaan data dilakukan secara berkesinambungan. Asas ini menuntut dipeliharanya data pendaftaran tanah secara terus-menerus dan berkesinambungan sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu “up to date”, sesuai dengan kenyataan di lapangan. Tujuan pendaftaran tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yaitu 1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hakhak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. 2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidangbidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang mudah terdaftar. 3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Penyeleng garaan pendaftaran tanah dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional. Tugas pelaksanaan dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan dan dibantu oleh PPAT serta pejabat lain yang ditugaskan. Pendaftaran tanah dilaksanakan melalui 2 (dua) sistem yaitu sebagai berikut.
Bab 9: Hukum Agraria
203
a. Pendaftaran tanah secara sistematik.
Merupakan kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum di daftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan. Pendaftaran tanah secara sistematik diselenggarakan atas prakarsa pemerintah berdasarkan suatu rencana kerja jangka panjang dan tahunan serta dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri/Kepala BPN.
b. Pendaftaran tanah secara sporadik.
204
Merupakan kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individu atau massal. Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan, yaitu pihak yang berhak atas objek pendaftaran tanah yang bersangkutan atau kuasanya.
Pengantar Hukum Indonesia
BAB 10 HUKUM INTERNASIONAL
A. Pendahuluan Hukum Internasional sebagai pranata hukum yang mengatur hubungan antar negara-negara di dunia memiliki berbagai pengertian sebagaimana dikemukakan oleh para ahli. Dalam kedudukannya sebagai pranata hukum, terdapat hubungan dan perbedaan antara Hukum Internasional sebagai hukum publik dengan Hukum Perdata Internasional. Dalam penerapannya terdapat berbagai sumber Hukum Internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam Mahkamah Internasional. Bab ini akan menjelaskan pengertian dari pengertian subjek Hukum Internasional beserta bagian-bagiannya. Di samping uraian tentang Hukum Internasional sebagai hukum publik, akan dijelaskan pula perihal istilah dan pengertian Hukum Perdata Internasional, sumber-sumber Hukum Perdata Internasional, serta asas-asas Hukum Perdata Internasional di Indonesia.
B. Pengertian Hukum Internasional Hukum Internasional merupakan hukum yang telah tua usianya. Semenjak zaman Romawi dahulu kala telah ada satu jenis hukum yang kini disebut “hukum internasional”. Adapun istilah yang tertua tentang penyebutan hal itu ialah “volkerrecht” dalam bahasa Jerman, “droit de gens” dalam bahasa Prancis, dan “law of nations” dalam bahasa Inggris.
205
Pengertian “volkerrecht” dan “ius gentium” sebenarnya tidak sama. Dalam hukum Romawi istilah ius gentium dipergunakan untuk menyatakan dua pengertian yang berlainan: 1. Ius gentium itu hukum yang mengatur hubungan antara dua orang warga kota Roma dengan orang asing, yakni orang yang bukan warga kota Roma. 2. Ius gentium adalah hukum yang diturunkan dari tata tertib alam yang mengatur masyarakat segala bangsa, yakni hukum alam (naturrecht). Perlu diketahui, bahwa hukum alam itu menjadi dasar perkembangan hukum internasional di Eropa dari abad ke-15 sampai dengan abad ke-19. Jadi hukum yang diadakan untuk mengatur pergaulan antara negaranegara yang berdaulat dan merdeka dinamakan “hukum antar negara” atau hukum internasional” (law of nation, droit internasional publique). Yang dimaksud hukum internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batasbatas negara yang bukan bersifat perdata. Di mana hukum internasional yang dimaksud ialah hukum internasional publik. Dalam pandangan J.G. Strake dalam bukunya An Introdaction to International Law, memberikan definisi hukum internasional adalah sekumpulan hukum yang sebagain besar terdiri dari asas-asas dan peraturan-peraturan tingkah laku yang mengikat negara-negara, dan karena itu ditaati dalam hubungan negaranegara. Disebutkan pula apa yang sudah didefinisikan oleh Prof. Hyde dalam bukunya International Law dengan merumuskan: 1. Peraturan-peraturan hukum mengenai pelaksanaan fungsi lembagalembaga dan organisasi-organisasi internasional, hubunganhubungan lembaga-lembaga dan organisasi itu masing-masing, serta hubungannya dengan negara-negara dan individu-individu; dan 2. Peraturan-peraturan hukum tertentu mengenai individu-individu dan kesatuan-kesatuan bukan negara, sepanjang hak-hak dan kewajiban individu dan kesatuan itu merupakan masalah persekutuan internasional. Dalam pengertian tersebut di atas, menunjukkan bahwa untuk membedakan antara hukum internasional publik dan hukum perdata 206
Pengantar Hukum Indonesia
internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, yang dimaksud hukum perdata internasional ialah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan perdata antar pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata nasional yang berbeda. Atau dengan kata lain, hukum perdata internasional, yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum antara warga negara-warga negara sesuatu negara dengan warga negara-warga negara dari negara lain dalam hubungan internasional (hubungan antar bangsa). Sedangkan hukum pidana internasional yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara yang satu dengan negaranegara yang lain dalam hubungan internasional (hubungan antar negara). Jadi dapat dikatakan bahwa dalam percaturan internasional dewasa ini terdapat hukum yang mengatur kepentingan negara dan warga negaranya yaitu: (1) hukum internasional publik yang lazim disebut hukum internasional (HI), (2) hukum internasional privat yang dinamakan hukum perdata internasional (HPI). Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa perbedaan antara hukum internasional dan hukum perdata internasional akan tampak lebih jelas bila ditinjau dari masing-masing subjek hukumnya. Subjek hukum internasional adalah negara atau badan hukum publik, subjek hukum perdata internasional ialah perseorangan (individu) atau badan hukum perdata. Hukum internasional publik mengatur hubungan hubungan antar negara, hukum perdata internasional mengatur hubungan antar warga negara, misalnya mengatur hubungan antar warga negara Indonesia dan warga negara Malaysia. Persamaan antara hukum internasional publik dan hukum perdata internasional ialah bahwa kedua hukum internasional tersebut sama-sama mengatur hubungan subjek hukum yang melintasi batas-batas negara (mengatur hubungan internasional). Oleh sebab itu, kedua hukum tersebut selalu mengandung unsur-unsur asing di dalamnya, yaitu hubungan hukum yang terjadi berkenaan dengan sebuah negara dan negara lain dan/atau warga negara dengan orang asing atau orang asing dengan orang asing dalam sebuah negara.
C. Sumber-sumber Hukum Internasional Sumber hukum internasional terdapat pada Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional, yaitu sebagai berikut: Bab 10: Hukum Internasional
207
1. Traktat internasional (internasional convention); 2. Kebiasaan-kebiasaan internasional (international custom) yang diakui sebagai hukum oleh negara-negara di dunia; 3. Asas hukum umum (general principle of law) yang diakui oleh bangsabangsa beradab (civilized nations); 4. Yurisprudensi internasional.
1. Traktat Internasional (International Convention) Traktat internasional merupakan bentuk perjanjian yang dilakukan oleh negara-negara yang berhubungan dengan masalah internasional. Dengan begitu, perjanjian internasional adalah salah satu ikatan hukum yang terjadi berdasarkan kata sepakat antar negara-negara sebagai anggota organisasi bangsa-bangsa dengan tujuan melaksanakan hukum tertentu yang mempunyai akibat hukum tertentu pula. Dalam perjanjian itu deperlukan adanya: a. Negara-negara yang bergabung dalam organisasi b. Bersedia mengadakan ikatan hukum tertentu c. Kata sepakat untuk melakukan sesuatu, dan d. Bersedia menanggung akibat-akibat hukum yang terjadi. Subjek-subjek hukumnya yang terdiri dari negara-negara sebagai anggota organisasi bangsa-bangsa akan terikat kepada kata sepakat yang diperjanjikan. Suatu perjanjian internasional yang terjadi akan membuat hukum yaitu sebagai hukum antar negara yang mengikatkan diri. Walaupun pada dasarnya perjanjian internasional mengikat negara-negara yang melakukan perjanjian, tetapi dalam perkembangan sering menjadi penting karena dijadikan ukuran oleh negara-negara lain yang tidak mengikatkan diri sebagai pedoman dalam pergaulan hukum internasional, sehingga ciri dari traktat internasional adalah: a. Perjanjian yang diciptakan semua negara yang mengadakan perjanjianperjanjian kolektif atau multilateral, seperti, Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa. b. Perjanjian yang diadakan oleh dua negara saja (perjanjian bilateral) atau tiga negara (trilateral) saja. 208
Pengantar Hukum Indonesia
2. Kebiasan Internasional Kebiasaan internasional merupakan hukum kebiasaan yang berlaku antar negara-negara dalam mengadakan hubungan hukum dapat diketahui dari praktik pelaksanaan pergaulan negara-negara itu. Dengan demikian, kebiasaan internasional ialah peraturan-peraturan, yang dapat diketahui dari diulanginya perbuatan-perbuatan yang diakui oleh keyakinan dan kesadaran tentang kukum dan yang berlaku dalam hubangan internasional. Oleh sebab itu peraturannya sampai sekarang sebagian besar masih merupakan bagian dari kumpulan peraturan hukum internasional. Tetapi walaupun demikian keadaannya itu menjadi suatu hal yang pentiang ialah karena diterimanya suatu kebiasaan sebagai hukum yang bersifat umum dan kemudian menjadi kebiasaan hukum internasional. Misalnya, peraturan yang mengatur cara-cara mengadakan perjanjian internasional. Dalam hal ini menurut Mochtar Kusumaatmadja memberikan tahapan yang sudah menjadi kebiasaan internasional dalam melakukan perjanian, tahapan itu meliputi: a. Perundingan (negotiation); b. Penandatanganan (signature); dan c.
Pengesahan (ratification).
3. Asas-asas Hukum Umum Asas-asas hukum umum yang dimaksud ialah prinsip-prinsip hukum yang mendasari sistem hukum modern. Sistem hukum modern ialah sistem hukum positif yang mendasarkan atas asas-asas dan lembagalembaga hukum negara Barat yang sebagian besar berasal dari asas-asas dan lembaga-lembaga hukum Romawi. Seperti asas-asas hukum yang terkandung di dalam Pasal 38 ayat (1) Mahkamah Internasional adalah asas-asas hukum umum yang tidak terbatas pada asas-asas yang terkandung pada hukum perdata; misalkan, asas “pacta sunt sevanda”, asas “itikad baik”, asas “penyalagunaan hak”, dan asas “adimplenti non est adimplendum” dalam hukum perjanjian, termasuk juga di dalamnya adalah asas “non intervensi” dan sebagainya. Menurut Sri Setianingsih Ningsih Suwardi, fungsi dan prinsip-prinsip hukum umum ini ada tiga, yaitu:
Bab 10: Hukum Internasional
209
a. Sebagai pelengkap dari hukum kebiasaan dan perjanjian internasional; b. Sebagai alat penafsiran bagi perjanjian internasional dan hukum kebiasaan. Maksudnya kedua sumber hukum itu harus sesuai dengan asas-asas hukum umum. c. Sebagai pembatasan bagi perjanjian internasional dan hukum kebiasaan.
4. Yurisprudensi Internasional Yurisprudensi internasional adalah putusan-putusan hakim dan ajaranajaran dari para sarjana hukum internasional yang ternama mengenai peristiwa-peristiwa yang tertentu dalam hubungan internasional (judicial decisions and the teaching of the highly qualified publicists). Di mana sumber hukum ini ialah sumber hukum tambahan, artinya hanya dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai suatu masalah yang didasarkan atas sumber-sumber hukum primer (traktat dan kebiasaan internasional.). Oleh karena itu, keputusan-keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana tidak mengikat, karena tidak dapat menimbukan kaidah hukum. Dalam sistem peradilan, Mahkamah Internasional tidak mengikat bagi pihak ketiga (Pasal 59 MI). Dari ketentuan ini jelas bahwa keputusan pengadilan lain pun tidak akan mengikat pihak ketiga. Namun demikian, keputusan Mahkamah Internasional dan keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional tetap berpengaruh besar dalam perkembangan hukum internasional. Pendapat para sarjana terkemuka (dengan melalui hasil penelitian dan tulisan-tulisannya) sering dipakai sebagai pegangan atau pedoman untuk menemukan apa yang menjadi hukum internasional. Dengan demikian, meskipun sumber hukum tambahan tersebut tidak mengikat dan tidak menimbulkan kaidah hukum tetapi besar peranannya dalam perkembangan hukum internasional.
D. Subjek Hukum Internasional Subjek hukum internasional adalah pemegang hak dan kewajiban menurut hukum internasional. Di mana subjek hukum internasional demikian disebut subjek hukum internasional penuh. Artinya, yang
210
Pengantar Hukum Indonesia
dimaksud subjek hukum internasional ialah setiap negara, badan hukum (internasional), atau manusia yang memiliki hak dan kewajiban dalam hubungan hukum internasional. Namun bila di tafsir lebih luwes, pengertian subjek hukum internasional mencakup pula keadan-keadaan di mana yang memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terbatas sifatnya misalnya kewenangan untuk mengadakan penuntutan hak yang diberikan oleh hukum internasional di muka pengadilan berdasarkan satu konvensi. Contoh subjek hukum yang demikian adalah orang perorangan (individu). Berdasarkan dua pandangan tersebut di atas, yang termasuk subjek-subjek hukum internasioanal adalah:
1. Negara Negara sebagai subjek hukum internasional yaitu negara yang merdeka, berdaulat dan tidak merupakan bagian dari suatu negara. Negara yang berdaulat artinya negara yang mempunyai pemerintahan sendiri secara penuh yaitu kekuasaan penuh terhadap warga negara dalam lingkungan kewenangan negara itu. Sehingga negara yang dimaksud dalam subjek hukum internasional adalah negara dalam arti yang klasik dan dikenal sejak lahirnya hukum internasional. Hal tersebut sejalan dengan anggapan yang masih berlaku hingga sekarang bahwa hukum internasional adalah hukum antar negara. Apabila negara itu negara federal, pemerintah negara federal itulah yang menjadi subjek hukum internasional. Tetapi dalam keadaan tertentu, misalnya konstitusi negara federal itu memungkinkan negara bagian mempunyai hak-hak dan kewajiban tertentu atau dapat melaksanakan hal yang biasa dilaksanakan pemerintah federal. Negara bagian tersebut merupakan subjek hukum internasional dalam pengertian terbatas, bukan subjek hukum internasional yang penuh seperti negara. Contoh: dominion-dominion Inggris. Berdasarkan Pasal 1 Montevideo, The Convention on Rights and Duties of State of 1933, Negara sebagai subjek hukum internasional yang terpenting haruslah memiliki penduduk tetap, wilayah tertentu, pemerintahan, dan kapasitas untuk berhubungan dengan negara lain.
Bab 10: Hukum Internasional
211
2. Tahta Suci (Vatikan) Tahta suci memiliki kedudukan yang sejajar dengan negara (dalam artian menjadi subjek hukum internasional penuh). Tahta suci (helige stoel) yang menjadi subjek hukum internasional ialah gereja katolik Roma yang diwakili oleh Paus di Vatikan. Walaupun Vatikan bukan sebuah negara sebagai yang disyaratkan negara pada umumnya, tetapi Tahta Suci itu mempunyai kedudukan sama dengan sebuah Negara sebagai subjek hukum internasional. Hal itu sudah diakui sejak dulu bahwa kelahirannya Tahta Suci (Vatikan) sebagai subjek hukum internasional. Sebab Vatikan merupakan peninggalan zaman dulu ketika Paus bukan hanya sebagai kepala Gereja Roma, tetapi memiliki juga kekuasaan dunia. Hingga sekarang Tahta Suci mempunyai perwakilan-perwakilan diplomatik di berbagai ibu kota Negara seperti Jakarta, dan kedudukannya sejajar dengan perwakilan-perwakin diplomatik negara-negara lain. Hal itu terjadi setelah diadakannya perjanjian Tahta Suci dan Italia pada tanggal 11 Februari 1929 (lateran treaty) yang mengembalikan sebidang tanah di Roma kepada Tahta Suci untuk mendirikan Negara Vatikan yang pada saat itu juga dibentuk dan diakui. Dalam kategori yang sama yaitu subjek hukum internasional karena sejarah, walaupun dalam arti yang jauh lebih terbatas, dapat pula disebut sebagai satu kesatuan yang bernama “order of the knights of malta”. Tetapi himpunan ini hanya diakui sebagai subjek hukum internasional oleh beberapa Negara saja.
3. Palang Merah Internasional Palang Merah Internasional atau International Committee of the Red Cross (ICRC) yang berkedudukan di Jenewa-Swiss memiliki tempat tersendiri dalam sejarah hukum internasional. Organisasi ini merupakan subjek hukum internasional (terbatas), lahir disebabkan faktor sejarah. Kemudian statusnya diperkuat dalam perjanjian-perjanjian dan konvensikonvensi Palang Merah, terutama dalam Konvensi Geneva 1949 tentang Perlindungan Korban Perang. Dewasa ini Palang Merah Internasional secara umum diakui sebagai subjek hukum internasional meskipun dalam ruang lingkup terbatas.
212
Pengantar Hukum Indonesia
4. Organisasi Internasional Dalam pergaulan internasional yang menyangkut mengenai hubungan antar negara-negara, maka banyak sekali organisasi yang diadakan (dibentuk) oleh negara-negara itu. Bahkan sekarang dapat dikatakan telah menjadi lembaga negara. Menurut perkembangannya, suatu organisasi internasional timbul pada tahun 1815 dan menjadi lembaga internasional sejak adanya Kongres Wina. Seperti pada tahun 1929 didirikannya Liga Bangsa-Bangsa (LBB) yang benar-benar merupakan organisasi internasional dan anggota-anggotanya sanggup menjamin suatu perdamaian dunia. Tetapi jaminan itu tidak berhasil. Oleh sebab itu kedudukan organisasai internasional sebagai subjek hukum internasional tidak diragukan. Di mana organisasi internasional itu pada jenisnya ada yang bertujuan untuk kepentingan sosial dan ada juga organisasi untuk memperbaiki dan mempertinggi pengajaran, pemberantasan kelaparan, pemberantasan penyakit dan sebagainya. Organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mempunyai hak-hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi internasional. Melalui keterangan atau pernyataan “advisory opinion”, kedudukan PBB dengan organisasi internasional khusus lainnya (specialized agencies) sebagai subjek hukum internasional tidak diragukan lagi. Berkaitan dengan hal tersebut, organisasi internasional yang menjadi subjek hukum internasional adalah: a. PBB (United Nations); b. ILO (International Labour Organization); c. UPU (Universal Postal Union); d. World Bank; e. IMF (International Monetary Fund); f.
FAO (Food and Agriculture Organization);
g. ICAO (Internatianal Civil Aviation Organization); h. UNESCO (United Nation Education, scientific and Cultural Organization); i.
WHO (World Health Organization);
j.
WMO (World Meteorological Organization);
Bab 10: Hukum Internasional
213
k. IMCO (International Maritime Consultative Organization) l.
IAFA (International Atomic Energy Authority)
5. Individu Orang perorangan (individu) diakui sebagai subjek hukum internasional, karena kepadanya diberikan hak untuk menuntut di pengadilan internasional berdasarkan konvensi atau perjanjian. Artinya, manusia sebagai individu dianggap merupakan subjek hukum internasional apabila dalam tindakan atau kegiatan yang dilakukannya memperoleh penilaian positif atau negatif sesuai dengan kehendak damai dari kehidupan masyarakat dunia. Sebagai contoh adalah perjanjian perdamaian Versailles tahun 1919; perjanjian antara Jerman dan Polandia 1922 tentang Silesia Atas yang memberikan peluang bagi individu untuk mengajukan perkara kehadapan Mahkamah Arbitrase Internasional; dan keputusan Mahkamah Internasional Permanen (Permanent Court of International Justice) yang menyatakan bahwa, apabila perjanjian internasional memberikan hak tertentu kepada individu, maka hak tersebut harus diakui dan memiliki daya laku dalam hukum internasional. Peristiwa lain yang memperkuat status individu sebagai subjek hukum internasioanal adalah dituntutnya penjahat-penjahat perang di muka Mahkamah Internasional di Nurnburg dan Tokyo. Mereka yang dituntut bekas pemimpin perang Jerman dan Jepang, karena perbuatannya dikualifikasikan sebagai: 1. kejahatan terhadap perdamaian; 2. kejahatan terhadap perikemanusiaan; 3. kejahatan-kejahatan perang (pelanggaran terhadap hukum perang). Di samping itu, dalam Genocida Convention tahun 1948 menyatakan bahwa orang perorangan yang terbukti telah melakukan tindakan yang terbukti telah melakukan tindakan genocida harus dihukum, baik atas nama orang per orang, pejabat pemerintah, atau pimpinan pemerintah atau negara.
214
Pengantar Hukum Indonesia
6. Pemberontak dan Pihak dalam Sengketa (Belligerent) Menurut hukum perang, pemberontak dapat memperoleh hak dan kedudukan sebagai pihak yang bersengketa (belligerent) dalam keadaan tertentu. Bahkan akhir-akhir ini gerakan pembebasan diakui pula sebagai subjek hukum internasional. Contoh: Gerakan Pembebasan Palestina (PLO), mungkin juga dapat dikatakan Gerakan Aceh Merdeka atau yang disingkat (GAM) (sebelum adanya perjanjian damai antara GAM dengan Pemerintah RI). Adapun unsur-unsur suatu kelompok dikategorikan sebagai kaum Belligerensi antara lain sebagai berikut. 1. Terorganisasi dan teratur di bawah pemimpinnya yang jelas; 2. Memiliki tanda pengenal atau uniform yang jelas yang menunjukkan identitasnya; 3. Telah menguasai sebagian wilayah secara efektif sehingga benar-benar wilayah itu berada di bawah kekuasaannya; 4. Harus memperoleh dukungan dari rakyat di wilayah yang didudukinya. Sebagai dasar pengalaman tersebut, maka pada prinsipnya bangsabangsa di dunia ini mempunyai hak-hak asasi yang perlu dilindungi, seperti hak menentukan nasib sendiri, hak bebas untuk menentukan sistem ekonomi, politik, dan sosial sendiri, dan hak untuk menguasai sumber alam dari wilayah yang didudukinya.
E. Hukum Perdata Internasional 1. Istilah dan Pengertian Hukum Perdata Internasional Istilah Hukum Perdata Internasional (HPI) yang digunakan di Indonesia sekarang ini merupakan terjemahan dari istilah: a. Private Internasional Law; b. International Private Law; c. Internationales Privaatrecht; d. Droit International Prive; e. Diritto Internzionale Privato.
Bab 10: Hukum Internasional
215
Pembahasan istilah dan pengertian HPI ini erat kaitannya dengan istilah dan pengertian hukum internasional (publik) karena selain samasama menyebut internasional, keduanya juga sering kali dipertentangkan, yakni antara hukum publik dan hukum perdata. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Perdata Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintas batas Negara. Dengan kata lain HPI adalah hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berbeda. Adapun Hukum Internasional Publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintas batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata. Dengan demikian, antara HPI dan HI (publik) terdapat persamaan yaitu sama-sama mengatur hubungan atau persoalan yang melintas batas negara (internasional). Sedangkan perbedaannya terletak pasa sifat hukum hubungan atau persoalan yang diaturnya (objeknya). Cara membedakan yang demikian itu lebih tepat daripada membedakan berdasarkan pelakunya (subjek hukum) dengan menyatakan bahwa HI (publik) mengatur dengan antar negara, sedangkan HPI antar orang perseorangan. Karena suatu negara (atau badan hukum publik lainnya) adakalanya melakukan hubungan perdata, sedangkan orang perseorangan menurut hukum internasional modern adakalanya dianggap mempunyai hak dan kewajiban menurut hukum internasional.
2. Sumber Hukum Perdata Internasional Sumber hukum HPI adalah hukum nasional. Oleh karena sumbernya tidak bersifat internasional, maka istilah HPI tersebut dikatakan kurang tepat. Walaupun istilah tersebut banyak mendapatkan kecaman atau kritik karena dianggap kurang tepat, namun tetap digunakan karena telah berkembang lama dan lazim dipergunakan. Menurut R. H. Graveson, HPI merupakan bidang hukum yang berkaitan dengan perkara-perkara yang di dalamnya mengandung fakta yang relevan yang berhubungan dengan suatu sistem hukum lain, baik karena teritorialitasnya atau personalitasnya yang dapat menimbulkan masalah pemberlakuan hukum sendiri atau hukum
216
Pengantar Hukum Indonesia
asing untuk memutuskan perkara atau menimbulkan masalah pelaksanaan yurisdiksi pengadilan sendiri atau asing. Sudargo Gautama mendefinisikan HPI sebagai suatu keseluruhan peraturan dan keputusan umum yang menunjukan stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubunganhubungan atau peristiwa antara warga negara pada sewaktu waktu tertentu memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih negara yang berbeda lingkungan kuasa tempat, pribadi dan soal-soal. Sedangkan Sauveeplanne berpendapat bahwa HPI adalah keseluruhan aturan-aturan yang mengatur hubungan-hubungan hukum yang memiliki kaitan dengan negara-negara asing, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah penundukan langsung ke arah hukum nasional dapat selalu dibenarkan. Berdasarkan uraian di atas, maka istilah internasional di dalam HPI tidaklah merujuk kepada sumbernya, tetapi menunjuk kepada fakta-fakta atau materinya, yaitu hubungan-hubungan atau peristiwa-peristiwa yang bersifat internasional (objeknyalah yang internasional). Jadi, internasional itu adalah hubungan-hubungannya, sedangkan kaidah-kaidah HPI hukum perdata nasional. Dengan demikian, masing-masing negara yang ada di dunia ini memiliki HPI sendiri, sehingga akan dikenal HPI Indonesia, HPI Jerman, HPI Inggris, HPI Belanda, dan sebagainya.
3. Asas-asas Hukum Perdata Internasional di Indonesia Dalam hal terjadi peristiwa hukum perdata yang menyangkut unsur asing di dalamnya, maka sifat peraturan hukum akan berubah menjadi internasional. Penyelesaian terhadap peristiwa hukum yang demikian tetap dilakukan menggunakan peraturan hukum perdata yang berlaku di negara tersebut. Dalam perundang-undangan Indonesia ketentuan tentang hukum perdata internasional sangat dipengaruhi oleh peraturan hukum yang berlaku pada masa penjajahan Belanda. Asas-asas yang menjadi sumber hukum dari hukum perdata internasional di Indonesia terdapat dalam Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB) yang tercantum di Pasal 16, 17 dan 18. Ketiga pasal tersebut merupakan sisa dari ajaran (teori) statuta yang diciptakan oleh Bartolus de Saxofeerato (1314-1357).
Bab 10: Hukum Internasional
217
Adapun asas-asas hukum perdata internasional di Indonesia antara lain: a. Pasal 16 AB yang berbunyi: “Ketentuan perundang-undangan mengenai status dan wewenang subjek hukum tetap berlaku bagi warga negara Indonesia yang berada di luar negeri”. Hal ini berarti bahwa, hukum Indonesia mengikuti warga negara Indonesia ke luar negeri (asas lex origins atau statuta personalia). b. Pasal 17 AB yang berbunyi: “Mengenai benda-benda tidak bergerak berlaku undang-undang dari negara atau tempat di mana benda-benda itu berada”. Hal ini berarti bahwa, apabila terjadi peristiwa hukum perdata yang menyangkut tentang tanah sebagai benda tetap dan letaknya di salah satu wilayah Indonesia, hukum yang digunakan adalah peraturan Hukum Agraria Indonesia (asas lex situs atau statuta realita). c. Pasal 18 AB yang berbunyi: “Bentuk tiap perbuatan ditentukan oleh undang-undang negara, di mana perbuatan itu diadakan”. Ini berarti bahwa, jika dalam suatu peristiwa hukum bertemu dua corak hukum yang berlainan di dalam satu wilayah tertentu, maka aturan hukum tempat itulah yang berlaku (asas locus regit actus atau statuta mixta).
218
Pengantar Hukum Indonesia
BAB 11 PERADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN)
A. Pendahuluan Dalam mewujudkan tatanan kehidupan bernegara yang sejahtera, aman, tenteram, tertib, serta menjamin persamaan kedudukan masyarakat dalam hukum maka diperlukan usaha pembinaan, penyempurnaan, dan penertiban aparatur tata usaha negara agar menjadi alat negara yang efisien, efektif, bersih, serta berwibawa, selalu mengacu kepada hukum dalam melaksanakan tugasnya dengan dilandasi semangat dan sikap pengabdian untuk masyarakat (Kansil, 1988: 10). Dalam pelaksanaannya kemungkinan timbul benturan kepentingan atau sengketa antara badan atau pejabat tata usaha negara dengan warga masyarakat. Untuk itu diperlukan perangkat hukum yang mampu menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum melalui Peradilan Tata Usaha Negara. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pengertian Peradilan Tata Usaha Negara, dasar hukum yang digunakan, subjek hukum dan objek dalam Peradilan Tata Usaha Negara. Guna efektivitas penerapan hukumnya, maka terdapat asas-asas yang menjadi acuan pelaksanaan Peradilan Tata Usaha Negara, termasuk di dalamnya berbagai kewenangan baik absolut maupun relatif serta susunan dalam Peradilan Tata Usaha Negara. Bab ini juga menjelaskan dasar yang digunakan dalam pengujian Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), upaya administratif dalam penyelesaian sengketa TUN, berbagai alat bukti yang
219
dapat digunakan dalam perkara tata usaha negara, beban pembuktian dalam perkara tata usaha negara, mekanisme pengambilan putusan dalam Peradilan Tata Usaha Negara, serta mekanisme upaya hukum yang dapat ditempuh dalam Peradilan Tata Usaha Negara.
B. Pengertian dan Dasar Hukum Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) 1. Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara Peradilan berasal dari kata dasar “adil” artinya tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, berpegang pada kebenaran. Mendapat imbuhan (affix) “per” dan “an”. Peradilan yang berarti lembaga hukum yang berfungsi menegakkan hukum yang berintikan keadilan. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 (Pasal 4) “Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara.” dan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 (Pasal 4) “Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha Negara”.
2. Dasar Hukum Peradilan Tata Usaha Negara Dasar hukum peradilan dalam UUD 1945 dapat ditemukan dalam Pasal 24. Sebagai pelaksanaan dalam Pasal 24 UUD 1945, dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang diubah dengan UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 dan selanjutnya digantikan oleh UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman. Kekuasan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan: 1. Peradilan Umum; 2. Peradilan Agama; 3. Peradilan Militer; 4. Peradilan Tata Usaha Negara.
220
Pengantar Hukum Indonesia
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN), maka dewasa ini perlindungan hukum terhadap warga masyarakat atas perbuatan yang dilakukan oleh penguasa dapat dilakukan melalui badan yakni: a. Badan Tata Usaha Negara, dengan melalui upaya administratif. b. Peradilan Tata Usaha Negara, berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN. c. Peradilan Umum, melalui Pasal 1365 KUHPerdata.
C. Subjek dan Objek Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) 1. Subjek Hukum Peradilan Tata Usaha Negara Subjek hukum dalam Peradilan Tata Usaha Negara sering pula disebut dengan para pihak, yaitu:
a. Penggugat Penggugat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1) UndangUndang Nomor 9 Tahun 2004 adalah “Setiap Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara”. Pihak-pihak yang dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara adalah: a. Orang yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN); b. Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Jadi, pada pemeriksaan di sidang pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara tidak dimungkinkan badan atau pejabat tata usaha negara bertindak sebagai Penggugat. Namun terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dimungkinkan bertindak sebagai Penggugat dalam Sengketa Tata Usaha Negara khusus tentang sertifikat tanah, karena alas hak dari gugatan adalah hak keperdataan dari BUMN tersebut. Dalam hal Bab 11: Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
221
ini, BUMN tersebut tidak bertindak sebagai Badan Tata Usaha Negara, tetapi sebagai Badan Hukum Perdata.
b. Tergugat Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Yang dapat digugat adalah jabatan yang ada pada Badan Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) berdasarkan wewenang dari Badan Tata Usaha Negara itu atau wewenang yang dilimpahkan kepadanya. Hal ini mengandung arti bahwa bukanlah orangnya secara pribadi yang digugat tetapi jabatan yang melekat kepada orang tersebut. Misalnya; Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Buleleng, Bupati Buleleng dan lain-lain, sehingga tidak akan menjadi masalah ketika terjadi pergantian orang pada jabatan tersebut. Sebagai jabatan Tata Usaha Negara yang memiliki kewenangan pemerintahan, sehingga dapat menjadi pihak Tergugat dalam Sengketa Tata Usaha Negara dapat dikelompokkan menjadi: a. Instansi resmi pemerintah yang berada di bawah Presiden sebagai Kepala eksekutif. b. Instansi-instansi dalam lingkungan kekuasaan negara di luar lingkungan eksekutif yang berdasarkan peraturan perundangundangan, melaksanakan suatu urusan pemerintahan. c. Badan-badan hukum privat yang didirikan dengan maksud untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. d. Instansi-instansi yang merupakan kerja sama antara pemerintahan dan pihak swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. e. Lembaga-lembaga hukum swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Untuk dapat menentukan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menjadi Tergugat dalam Sengketa Tata Usaha Negara, perlu lebih dahulu diperhatikan jenis dari wewenang Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut pada waktu mengeluarkan KTUN. Jenis wewenang yang dimaksud adalah: 222
Pengantar Hukum Indonesia
1. Atribusi, adalah wewenang yang langsung diberikan atau langsung ditentukan oleh peraturan perundang-undangan kepada badan atau pejabat tata usaha negara. Dalam hal ini, yang menjadi Tergugat apabila terjadi Sengketa Tata Usaha Negara adalah yang menerima wewenang secara atribusi ini. 2. Mandat, adalah wewenang yang diberikan kepada mandataris (penerima mandat) dari mandans (pemberi mandat) melaksanakan wewenang untuk dan atas nama mandans. Pada wewenang yang diberikan dengan mandat, mandataris hanya diberikan kewenangan untuk mengeluarkan KTUN untuk dan atas nama mandans, dengan demikian tidak sampai ada pengalihan wewenang dari mandans kepada mandataris. Oleh karena itu, tanggung jawab atas dikeluarkannya KTUN tersebut masih tetap ada pada mandans, sehingga yang menjadi Tergugat apabila terjadi Sengketa Tata Usaha Negara adalah mandans (Pemberi Mandat). 3. Delegasi, adalah wewenang yang diberikan dengan penyerahan wewenang dari delegans (pemberi delegasi) kepada delegataris (penerima delegasi). Dalam hal ini, delegataris telah diberikan tanggung jawab untuk mengeluarkan KTUN untuk dan atas nama delegataris sendiri, sehingga yang menjadi Tergugat apabila terjadi Sengketa Tata Usaha Negara adalah delegataris (Penerima Delegasi).
2. Objek dalam Peradilan Tata Usaha Negara Yang menjadi objek dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Keputusan Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dari pengertian Keputusan TUN tersebut di atas dapat diambil unsur-unsurnya sebagai berikut. 1. Penetapan Tertulis. 2. Dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN. 3. Berisi tindakan hukum TUN. Bab 11: Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
223
4. Berdasarkan Peraturan perundang-undangan yang berlaku. 5. Bersifat konkret, individual dan final. 6. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Syarat-syarat untuk sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut. 1. Syarat Materiil: a. Keputusan harus dibuat oleh alat negara (organ) yang berwenang; b. Karena keputusan itu suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring), maka pembentukan kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis; c. Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan dasarnya dan pembuatnya harus memerhatikan cara (prosedur) membuat keputusan itu, bilamana hal ini ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut; d. Isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar. 2. Syarat Formil: a. Syarat-syarat yang ditentukan yang berhubungan dengan persiapan dibuatnya keputusan dan yang berhubungan dengan cara dibuatnya keputusan, harus dipenuhi; b. Keputusan harus diberi bentuk yang ditentukan; c. Syarat-syarat yang ditentukan yang berhubungan dengan dilakukannya keputusan, harus dipenuhi; d. Jangka waktu yang ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya keputusan dan diumumkannya kepu tusan itu tidak boleh dilewati.
D. Asas-asas dalam Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) 1. Asas Praduga Rechtmatig (Pasal 67 ayat 1 UU PTUN): setiap tindakan pemerintahan selalu dianggap rechtmatig sampai ada pembatalan.
224
Pengantar Hukum Indonesia
2.
Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan KTUN, kecuali ada kepentingan yang mendesak dari Penggugat (Pasal 67 ayat 1 dan ayat 4 huruf a).
3. Audi et alteram partem: para pihak mempunyai kedudukan yang sama dan harus diperlakukan dan diperhatikan secara adil. 4. Asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 2 ayat 4 UU 48/2009). Sederhana adalah hukum acara yang mudah dipahami, tidak berbelit-belit. Dengan demikian hukum acara akan mudah dipahami peradilan akan berjalan dalam waktu yang relatif cepat, otomatis biaya perkara juga menjadi ringan. 5. Asas hakim aktif: sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa, hakim melakukan rapat permusyawaratan apakah gugatan diterima atau tidak berdasar Pasal 62 UU PTUN. Melakukan Pemeriksaan Persiapan/mengetahui apakah gugatan Penggugat kurang jelas sehingga Penggugat perlu melengkapinya (Pasal 63 UU PTUN). Sehingga hakim berperan mencari kebenaran materiil. 6. Asas pembuktian bebas: hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, dan penilaian pembuktian (Pasal 107 UU PTUN).
E. Kewenangan dan Susunan Peradilan Tata Usaha Negara 1. Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara Menurut Friedrich Julius Stahl, bahwa di negara hukum segala perbuatan yang merugikan setiap orang ataupun hak-hak setiap orang dapat diawasi pengadilan, sedangkan review-nya (peninjauan kembali) dapat disalurkan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam hal ini, Peradilan Tata Usaha Negara merupakan sarana control on the administration. Pasal 47 UU PTUN menyebutkan bahwa: “Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara”. Dengan demikian, maka wewenang PTUN dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu: 1. Memeriksa;
Bab 11: Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
225
2. Memutus; dan 3. Menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara. Ketiga kewenangan ini merupakan Kekuasaan Absolut (Kompetensi Absolut) dari pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Namun tidak semua Sengketa Tata Usaha Negara menjadi tugas dan wewenang PTUN untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikannya, karena dari ketentuan Pasal 49 UU PTUN dapat diketahui bahwa PTUN tidak mempunyai wewenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan: a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Susunan Peradilan Tata Usaha Negara Susunan Pengadilan Tata Usaha Negara terdiri dari Pimpinan (Ketua PTUN dan Wakil Ketua PTUN), Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris. Susunan pengadilan terdiri atas (Pasal 11 UU PTUN): a) Pimpinan
Pimpinan pengadilan terdiri dari seorang ketua dan wakil ketua, baik di Pengadilan Tata Usaha Negara maupun Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UU PTUN, untuk dapat diangkat menjadi ketua dan wakil ketua Pengadilan Tata Usaha Negara diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya 10 tahun sebagai hakim dalam Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, atau sekurang-kurangnya 5 tahun sebagai hakim yang pernah menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara. Sedangkan untuk dapat diangkat menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara diperlukan pengalaman sekurangkurangnya 8 tahun sebagai hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
226
Pengantar Hukum Indonesia
atau sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bagi yang pernah menjabat Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara.
Menurut Pasal 16 Ayat (2) UU PTUN, ketua dan wakil ketua pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara diangkat dan diberhentikan oleh menteri kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung. Sebelum memangku jabatannya ketua dan wakil ketua pengadilan di lingkungan peradilan Tata Usaha Negara mengucap sumpah menurut agama dan kepercayaan masing-masing (Pasal 17 UU PTUN).
b) Hakim anggota
Seorang Hakim dalam Pengadilan Tata Usaha Negara disebut “Hakim” dan seorang Hakim dalam Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara disebut “hakim tinggi”. Hakim pada pengadilan di lingkungan peradilan Tata Usaha Negara merupakan seorang pejabat yang berfungsi sebagai pelaksana tugas di bidang kekuasaan kehakiman (yudikatif).
Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan hakim tinggi pada Pengadilan Tata Usaha Negara diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul menteri kehakiman berdasarkan persetujuan ketua Mahkamah Agung (Pasal 16 UU PTUN).
Alasan pemberhentian seorang hakim dan hakim tinggi baik dengan hormat maupun dengan tidak hormat sama dengan alasan pemberhentian ketua dan wakil ketua pengadilan, ditambah dengan melanggar larangan.
c) Panitera
Pada setiap pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara ada lembaga kepaniteraan yang dipimpin oleh seorang panitera. Dalam pelaksanaan tugasnya panitera dibantu oleh seorang wakil panitera, beberapa orang panitera muda dan panitera pengganti (Pasal 27 UU PTUN). Panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh menteri kehakiman. Mengenai syarat-syarat yang harus terpenuhi untuk dapat diangkat menjadi panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera
Bab 11: Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
227
pengganti diatur dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 35 UU PTUN tentang Peradilan Tata Usaha Negara. d) Sekretaris
Pada pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara terdapat lembaga kesekretariatan, dipimpin oleh seorang sekretaris yang dirangkap oleh panitera dan dibantu oleh seorang wakil sekretaris (Pasal 40 UU PTUN). Wakil sekretaris diangkat dan diberhentikan oleh menteri kehakiman dengan syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 42 dan Pasal 43 UU PTUN.
F. Dasar Pengujian Keputusan Tata Usaha Negara Dasar pengujian yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan sama dengan dasar gugatan yang diajukan oleh Penggugat. Menurut Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, ditentukan alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan, yaitu sebagai berikut. 1. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
G. Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara 1. Upaya Adminstratif Upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara (Penjelasan Pasal 48 ayat (1)). Upaya administratif ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu sebagai berikut. a. Keberatan, yaitu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata yang tidak puas terhadap Keputusan Tata Usaha Negara, yang penyelesaiannya dilakukan sendiri oleh badan atau
228
Pengantar Hukum Indonesia
pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut. b. Banding Administratif, yaitu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata yang tidak puas terhadap Keputusan Tata Usaha Negara, yang penyelesaiannya dilakukan oleh instansi atasan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut atau instansi lain dari badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut.
2. Upaya Peradilan a) Pemeriksaan Acara Biasa a. Penelitian Administratif. Yang berhak melakukan penelitian administratif adalah panitera, wakil panitera, dan panitera muda perkara sesuai dengan pembagian tugas yang diberikan. Adapun yang menjadi objek penelitian administratif adalah hanya segi formalnya saja, tidak sampai menyangkut segi meteriil gugatan. b. Bentuk formal yang isinya meliputi: 1) Siapa subjek gugatan dan apakah Penggugat maju sendiri ataukah diwakili oleh kuasa. 2) Apa yang menjadi objek gugatan dan objek gugatan tersebut termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara yang memenuhi unsur-unsur Pasal 1 butir 3. 3) Apakah yang menjadi alasan-alasan gugatan dan apakah alasan tersebut memenuhi unsur Pasal 53 ayat (2) butir a dan b. 4) Apakah yang menjadi petitum, yaitu hanya pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara saja, ataukah ditambah pula dengan tuntutan ganti rugi/rehabilitasi. 5) Setelah gugatan beserta resume gugatan diterima oleh ketua pengadilan dari panitera, maka oleh ketua pengadilan gugatan tersebut diperiksa dalam rapat musayawarah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) yang menentukan. Bab 11: Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
229
c. Pemerikasaan dalam rapat musyawarah hanya terpusat apakah gugatan memenuhi salah satu atau beberapa/semua ketentuan sebagaimana dimaksud huruf a, b, c, d, dan e Pasal 62 ayat (1) saja, yaitu sebagai berikut. 1) Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara. 2) Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh Penggugat sekalipun telah diberitahu dan diperingatkan. 3) Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak. 4) Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat. 5) Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya. b) Pemeriksaan Acara Singkat
Jika hasil dari pemeriksaan yang dilakukan oleh ketua pengadilan tersebut gugatan memenuhi salah satu atau beberapa atau semua ketentuan sebagaimana dimaksud huruf a, b, c, d, dan e Pasal 62 ayat (1), Ketua pengadilan mengeluarkan penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan, yang menyatakan bahwa gugatan tidak diterima atau tidak berdasar yang ditanda tangani oleh Ketua Pengadilan Panitera Kepala/Wakil panitera.
c) Pemeriksaan Acara Cepat
Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara memungkinkan untuk menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara dengan Acara Pemeriksaan Cepat, hal ini dituangkan dalam Pasal 98, yang menyatakan bahwa: 1) Apabila terdapat kepentingan Penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya, Penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada pengadilan supaya sengketa dipercepat. 2) Ketua Pengadilan dalam jangka waktu empat belas hari setelah diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat
230
Pengantar Hukum Indonesia
(1) mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.
Dalam Pemeriksaan Pokok Sengketa perlu diperhatikan hal-hal sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 99 UU PTUN, yang menyatakan bahwa: 1) Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan Hakim Tunggal. 2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan dalam jangka waktu tujuh hari setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) menentukan hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63. 3) Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi empat belas hari.
H. Pembuktian 1. Alat-alat bukti Menurut Pasal 100 UU PTUN alat-alat bukti yang dapat digunakan dalam proses pemeriksaan Sengketa Tata Usaha Negara adalah: a) Surat atau tulisan
Sengketa Tata Usaha Negara selalu dikaitkan dengan adanya suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Untuk memudahkan suatu pembuktian di persidangan secara umum ditentukan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat di gugat di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah keputusan tertulis atau dalam bentuk surat, Pasal 101 UU PTUN.
Surat sebagai alat bukti terdiri dari tiga jenis, yaitu sebagai berikut. 1) Akta otentik, yaitu akta yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk digunakan sebagai alat bukti tentang suatu peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya. Akta otentik merupakan alat bukti sempurna, hakim mempercayai apa yang tercantum dalam Bab 11: Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
231
akta tersebut, sepanjang tidak ada bukti lain yang menyatakan kebenarannya. 2) Akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk digunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya. Kekuatan pembuktiannya hampir sama dengan akta otentik, asal saja isi dan tanda tangan yang tercantum di dalamnya diakui para pihak. 3) Surat lain yang bukan akta adalah alat bukti bebas di mana hakim tidak diharuskan menerima dan mempercayainya. b) Keterangan ahli
Menurut Pasal 102 UU PTUN, yang dimaksud dengan keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuan. Semua ketentuan mengenai larangan menjadi saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 88 UU PTUN, juga berlaku bagi seseorang yang akan memberikan pendapatnya sebagai keterangan ahli.
c) Keterangan saksi
Menurut Pasal 104 UU PTUN keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dalam hal yang dialami, dilihat atau didengar oleh saksi sendiri. Kehadiran seorang saksi di persidangan adalah atas permintaan salah satu pihak atau karena jabatannya ketua sidang dapat memerintahkan seorang saksi untuk didengar di persidangan.
d) Pengakuan para pihak
232
Menurut Pasal 105 UU PTUN, pengakuan para pihak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim. Pengakuan yang diberikan di muka hakim memberikan suatu bukti yang sempurna terhadap siapa yang melakukannya, baik sendiri maupun dengan perantara seseorang yang khusus dikuasakan tentang itu.
Pengantar Hukum Indonesia
e) Pengetahuan hakim
Menurut Pasal 108 UU PTUN yang dimaksud dengan pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Pengertian pengetahuan hakim menurut R. Wirjono Prodjodokoro adalah hal yang dialami oleh hakim sendiri selama pemeriksaan perkara dalam sidang. Jadi dalam hal ini tidak termasuk pengetahuan hakim, yaitu hal-hal yang diberitahukan kepada hakim oleh para pihak. Dalam hal yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan lagi di muka persidangan.
2. Beban Pembuktian Suatu masalah yang sangat penting dalam hukum pembuktian adalah beban pembuktian. Pembagian beban pembuktian itu harus dilakukan dengan adil dan tidak berat sebelah, karena suatu pembagian beban pembuktian yang berat sebelah berarti apriori menjerumuskan pihak yang menerima beban yang terlampau berat dalam jurang kekalahan. Menurut Pasal 107 UU PTUN, hakim memutuskan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim.
I. Putusan 1. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Putusan pengadilan harus diucapkan dalam sidang dinyatakan terbuka untuk umum. Bila putusan pengadilan yang tidak diucapkan dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum, maka putusan itu menjadi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum, Pasal 108 UU PTUN. Menurut Pasal 109 UU PTUN, putusan pengadilan harus memuat: a) Kepala putusan berbunyi “demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa”; b) Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat kedudukan para pihak yang bersangkutan;
Bab 11: Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
233
c) Ringkasan gugatan dan jawaban Tergugat yang jelas; d) Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa; e) Alasan hukum yang menjadi dasar putusan; f) Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara; g) Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak. Suatu putusan yang tidak memuat hal-hal tersebut di atas dapat menyebabkan batalnya putusan tersebut. Selanjutnya dalam amar putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat berupa: 1) Gugatan dinyatakan gugur apabila Penggugat tidak hadir pada waktu sidang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, walaupun telah dipanggil secara patut; 2) Gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, karena adanya suatu eksepsi yang diterima oleh majelis hakim; 3) Gugatan dinyatakan ditolak, setelah diperiksa ternyata tidak terbukti; atau 4) Gugatan dinyatakan dikabulkan.
2. Pelaksanaan putusan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu suatu putusan yang tidak dapat diubah lagi melalui upaya hukum (Pasal 115 UU PTUN). Dalam pelaksanaan putusan peradilan Tata Usaha Negara tidak dimungkinkan adanya upaya paksa dengan menggunakan aparat keamanan, seperti halnya dalam pelaksanaan putusan peradilan pidana dan peradilan perdata. Tetapi istimewanya dalam pelaksanaan Peradilan Tata Usaha Negara dimungkinkan adanya campur tangan presiden sebagai kepala pemerintahan. Dalam hal ini presiden sebagai kepala pemerintahan bertanggung jawab dalam pembinaan pegawai negeri atau aparatur pemerintahan. Presiden sebagai kepala pemerintahan bertanggung jawab dalam pembinaan aparatur pemerintahan, tentunya juga bertanggung
234
Pengantar Hukum Indonesia
jawab agar setiap aparatur pemerintahan dapat mentaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk mentaati putusan pengadilan sesuai dengan prinsip negara hukum yang kita anut. Dalam putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang bersifat condemnatoir, berisi penghukuman kepada Tergugat dalam hal ini badan atau pejabat tata usaha negara untuk melaksanakan suatu kewajiban yang berupa: a) Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan; b) Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan memberikan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; c) Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3 UU PTUN; d) Membayar ganti rugi; e) Memberikan rehabilitasi. Langkah pertama yang ditempuh dalam pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, yaitu penyampaian salinan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap oleh panitera atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya pada tingkat pertama kepada para pihak dengan surat tercatat selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari. Setelah 4 bulan sejak salinan putusan pengadilan tersebut dikirimkan kepada Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a yaitu mencabut KTUN yang disengketakan, maka KTUN yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Para Tergugat yang tidak mampu untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap maka akan dikonversi.
3. Ganti rugi Dalam hal putusan pengadilan berisi kewajiban membayar ganti rugi, 3 hari sesudah putusan memperoleh kekuasaan hukum tetap, salinan putusan tersebut dikirimkan kepada Penggugat dan Tergugat. Dalam waktu yang sama salinan putusan dikirimkan kepada badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani membayar ganti rugi tersebut.
Bab 11: Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
235
Peraturan pemerintah yang mengatur tentang ganti rugi, adalah Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991. Di dalam peraturan pemerintah tersebut ditetapkan besarnya ganti rugi yang dapat diberikan paling kecil Rp250.000; dan paling besar Rp5.000.000; ganti rugi yang dibebankan kepada badan-badan Tata Usaha Negara Pusat, dibayar melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sedangkan ganti rugi yang dibebankan kepada badan-badan Tata Usaha Daerah, dibayar melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
4. Rehabilitasi Rehabilitasi ini diberikan dengan tujuan untuk memulihkan hak Penggugat dalam kemampuan, harkat dan martabatnya sebagai pegawai negeri seperti semula dan dalam hal ini termasuk hak yang menyangkut suatu jabatan (Pasal 121 UU PTUN). Kalau jabatannya semula telah diisi oleh orang lain, yang bersangkutan dapat diangkat dalam jabatan lain yang setingkat dengan jabatannya semula dan kalau hal itu tidak mungkin yang bersangkutan akan diberi prioritas pertama untuk menduduki jabatan yang lowong yang setingkat dengan jabatannya semula. Apabila Tergugat tidak dapat melaksanakan atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan rehabilitasi tersebut, karena terjadinya perubahan keadaan setelah putusan pengadilan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap, Tergugat wajib memberitahukan hal tersebut kepada ketua pengadilan yang mengadili perkara tersebut pada tingkat pertama dan kepada Penggugat. Dalam waktu 30 hari sesudah menerima pemberitahuan tersebut, Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan yang bersangkutan, agar Tergugat dibebani kewajiban membayar sejumlah uang atau kompensasi lain yang diinginkannya. Setelah menerima permohonan ketua pengadilan memanggil para pihak untuk mengusahakan tercapainya persetujuan tentang jumlah uang atau kompensasi lain yang harus dibebankan kepada Tergugat. Apabila telah diusahakan untuk mencapai persetujuan, tetapi tidak diperoleh kata sepakat mengenai jumlah uang pengganti atau kompensasi lain tersebut, dapat mengajukan lagi ke mahkamah agung untuk ditetapkan kembali.
236
Pengantar Hukum Indonesia
J. Upaya Hukum 1. Banding Terhadap para pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang diberikan pada tingkat pertama (PTUN), berdasarkan ketentuan Pasal 122 terhadap putusan PTUN tersebut dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh Penggugat atau Tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh Pemohon atau kuasanya yang khusus diberi kuasa untuk itu, kepada PTUN yang menjatuhkan putusan tersebut, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan diberitahukan kepada yang bersangkutan secara patut. Selanjutnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sesudah permohonan pemeriksaan banding dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat melihat berkas perkara di Kantor Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mereka menerima pemberitahuan tersebut. Para pihak dapat menyerahkan memori atau kontra memori banding, disertai surat-surat dan bukti kepada Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa salinan memori dan kontra memori banding diberikan kepada pihak lawan dengan perantara Panitera Pengadilan (Pasal 126). Pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi TUN dilakukan sekurangkurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang hakim. Dalam hal Pengadilan Tinggi TUN berpendapat bahwa pemeriksaan Pengadilan Tata Usaha Negara kurang lengkap, maka pengadilan tinggi tersebut dapat mengadakan sendiri untuk pemeriksaan tambahan atau memerintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan pemeriksaan tambahan. Setelah pemeriksaan di tingkat banding selesai dan telah diputus oleh Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan, maka Panitera Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari mengirimkan salinan putusan pengadilan tinggi tersebut beserta surat-surat pemeriksaan dan surat-surat lain kepada Pengadilan TUN yang memutus dalam pemeriksaan tingkat pertama, dan selanjutnya meneruskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 127). Bab 11: Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
237
Mengenai pencabutan kembali suatu permohonan banding dapat dilakukan setiap saat sebelum sengketa yang dimohonkan banding itu diputus oleh Pengadilan Tinggi TUN. Setelah diadakannya pencabutan tersebut permohonan pemeriksaan banding tidak dapat diajukan oleh yang bersangkutan, walaupun tenggang waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum lampau (Pasal 129).
2. Kasasi Terhadap putusan pengadilan tingkat banding dapat dilakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan di tingkat kasasi diatur dalam Pasal 131, yang menyebutkan bahwa pemeriksaan tingkat terakhir di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung. Untuk acara pemeriksaan ini dilakukan menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Menurut Pasal 55 ayat (1) UU Mahkamah Agung, pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus oleh Pengadilan dilingkungan Pengadilan Agama atau oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan menurut ketentuan UU ini. Dengan demikian sama halnya dengan ketiga peradilan yang lain, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer, maka Peradilan Tata Usaha Negara juga berpuncak pada Mahkamah Agung. Untuk dapat mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi, Pasal 143 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 menentukan bahwa permohonan kasasi dapat diajukan jika Pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Menurut Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi harus diajukan dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara diberitahukan kepada Pemohon. Apabila tenggang waktu 14 hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak yang berperkara, maka menurut Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 ditentukan bahwa pihak yang berperkara dianggap telah menerima putusan. Mengingat pemberitahuan adanya putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara itu dilakukan dengan menyampaikan salinan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dengan surat tercatat
238
Pengantar Hukum Indonesia
oleh Panitera kepada Penggugat atau Tergugat, maka perhitungan 14 hari itu dimulai esok harinya setelah Penggugat atau Tergugat menerima surat tercatat yang dikirim oleh Panitera yang isinya salinan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Alasan pengajuan kasasi sebagaimana tertuang dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 (UU MA) yang menyatakan bahwa Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan, karena: a) tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; b) salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; c) lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
3. Peninjauan Kembali Sementara itu apabila masih ada di antara para pihak masih belum puas terhadap putusan Hakim Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi, maka dapat ditempuh upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan Peninjauan Kembali diatur dalam Pasal 132, yang menyebutkan bahwa: Ayat (1): “Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung.” Ayat (2): “Acara pemeriksaan Peninjauan Kembali ini dilakukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) UU MA.” Dengan mengikuti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 67 UU MA, dapat diketahui bahwa permohonan peninjauan kembali terhadap putusan perkara sengketa TUN yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut. 1) Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan Bab 11: Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
239
pada bukti-bukti baru yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu; 2) Apabila perkara setelah diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan; 3) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut; 4) Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya; 5) Apabila antara pihak-pihak yang sama, mengenai suatu hal yang sama, atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain; 6) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
240
Pengantar Hukum Indonesia
BAB 12 HUKUM ACARA
A. Pendahuluan Kekuasaan untuk mempertahankan peraturan perundang-undangan atau kekuasaan peradilan (kekuasaan yudikatif) sebagaimana dikemukakan oleh Montesquieu, berada di tangan badan peradilan yang independen dan bebas dari segala campur tangan kekuasaan legislatif maupun eksekutif. Untuk menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya, diperlukan peraturanperaturan hukum yang mengatur tata cara mengenai apa dan bagaimana apabila terjadi pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku di masyarakat. Bidang hukum tersebut dinamakan Hukum Acara atau Hukum Formal. Hukum Acara atau Hukum Formal adalah peraturan hukum yang mengatur tentang bagaimana mempertahankan dan menjalankan peraturan hukum material. Hukum acara merupakan alat penegak dari aturan hukum material yang tidak membebankan kewajiban sosial dalam kehidupan manusia. Dalam bab ini secara garis besar terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama adalah Hukum Acara Perdata, yang terdiri atas pengertian, sumber hukum, susunan dalam badan peradilan di Indonesia, pemberian kuasa (lastgeving), proses dan tahapan berperkara perdata, serta upaya hukum yang dapat ditempuh dalam hukum acara perdata. Bagian kedua adalah Hukum Acara Pidana, yang terdiri atas pengertian, sumber hukum, asas-asas hukum acara
241
pidana, serta proses penyelesaian dalam perkara pidana. Bagian ketiga adalah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, yang terdiri dari pengertian, asas-asas, dasar hukum, pihak yang berhak mengajukan permohonan (Legal Standing), beban pembuktian dan alat bukti dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, serta prosedur dan tata cara berperkara dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.
B. Hukum Acara Perdata 1. Pengertian Hukum Acara Perdata Hukum Acara Perdata mempunyai ketentuan-ketentuan pokok yang bersifat umum dan dalam penerapannya hukum acara perdata mempunyai fungsi untuk mempertahankan, memelihara, dan menegakkan ketentuanketentuan hukum perdata materiil. Oleh karena itu, eksistensi hukum perdata sangat penting dalam kelangsungan ketentuan hukum perdata materiil. Adapun beberapa pengertian hukum acara perdata menurut beberapa pakar hukum sebagai berikut: Wirjono Prodjodikoro: Hukum Acara Perdata merupakan rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum perdata. Prof. Dr. Sudikno Mertukusumo, S.H.: Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. R. Supomo: Hukum Acara Perdata tanpa memberikan suatu batasan tertentu, tetapi melalui visi tugas dan peranan hakim menjelaskannya bahwa dalam peradilan perdata tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum perdata (burgerlijk rechtsorde) menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara. Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan di atas serta dengan bertitik tolak kepada aspek teoretis dalam praktik peradilan, maka hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur dan menyelenggarakan bagaimana proses seseorang mengajukan pekara perdata kepada hakim/pengadilan. Dalam konteks ini, pengajuan perkara perdata
242
Pengantar Hukum Indonesia
timbul karena adanya orang yang merasa haknya dilanggar orang lain, kemudian dibuatlah surat gugatan sesuai syarat peraturan perundangundangan.
2. Sumber-sumber Hukum Acara Perdata Dalam praktik peradilan di Indonesia saat ini, sumber-sumber hukum acara perdata terdapat berbagai peraturan perundang-undangan. a. HIR (Herziene Indonesische Reglement) di dalam Stb.1941: 44 Pasal 118245, berlaku bagi Gol. Bumiputra daerah Jawa & Madura; b. RBg (Rechtsreglement voor de Buitenwesten) di dalam Stb.1927: 227 Pasal 142-314, berlaku bagi Gol. Bumiputra daerah luar Jawa & Madura; c. BRv (Reglement opde Burgerlijke Rechtvordering) di dalam Stb.1847: 52, berlaku bagi Gol. Eropa & yang dipersamakan. Sekarang sebagai Pedoman; d. UU Kekuasaan Kehakiman, 48 tahun 2009; e. UU Mahkamah Agung, 5 Tahun 2004; f.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum jo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;
g. Yurisprudensi; h. Perjanjian Internasional; i.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Kitab Undang-undang Hukum Dagang;
j.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman;
k. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum; l.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama;
m. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan beserta peraturan pelaksanaan; n. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Bab 12: Hukum Acara
243
3. Asas-asas Hukum Acara Perdata Adapun asas-asas yang menjadi landasan pelaksanaan hukum acara perdata yaitu sebagai berikut. a. Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pada kepala Putusan hakim); Fungsinya memberi kekuatan eksekutorial pada putusan hakim. Kekuatan eksekutorial adalah kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat negara. b. Peradilan dilakukan dengan: sederhana (mudah dipahami dan tidak berbelit-belit), cepat (tidak banyak formalitas), biaya ringan (terjangkau oleh rakyat). c. Hakim bersifat menunggu: inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak dan pembuktian diserahkan sepenuhnya kepada pihak yang berkepentingan; d. Hakim bersifat pasif: pokok sengketa yang diajukan kepada hakim ditentukan oleh pihak yang berperkara, bukan hakim. Ultra Petita Partium (Hakim hanya mengadili apa yang dituntut, dilarang memvonis atas perkara yang tidak dituntut atau menjatuhkan vonis lebih dari yang dituntut). Pembuktian diserahkan kepada para pihak, pihak yang berperkara bebas mengajukan upaya hukum. e. Beracara/berperkara memerlukan biaya yang meliputi: biaya kepaniteraan, pemanggilan, pemberitahuan para pihak dan bea materai. f. Biaya perkara dibebankan kepada: pihak Penggugat, karena ia mengajukan gugatan. Jika gugatan dikabulkan, maka biaya perkara dibebankan kepada pihak yang kalah (Tergugat). Jika gugatan ditolak, biaya dibebankan kepada Penggugat (Penggugat kalah). Apabila para pihak tidak mampu, maka beracara secara gratis (prodeo), biaya dibebankan kepada negara (Pasal 237 HIR atau 273 RBg). g. Asas Hakim Majelis, sekurang-kurangnya 3 orang hakim yaitu maksud dan tujuannya untuk menjamin pemeriksaan yang seobjektifnya dan memberikan perlindungan HAM di bidang peradilan. Namun dalam praktiknya dapat ditemui pemeriksaan dengan hakim tunggal (Unus
244
Pengantar Hukum Indonesia
Judex) untuk mempercepat jalannya proses. Contoh: pelanggaran lalu lintas. h. Hakim harus mendengarkan kedua pihak (Audi et Alteram Partem) yaitu hakim tidak memihak, para pihak diperlakukan sama. i.
Asas sidang terbuka untuk umum, kecuali ditentukan lain oleh undangundang artinya setiap orang diperbolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Tujuan asas ini adalah menjamin objektifitas peradilan, sebagai sosial kontrol oleh masyarakat. Pada pembacaan putusan harus diawali dengan kata sidang terbuka untuk umum, apabila putusan diucapkan dalam sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti putusan tersebut tidak sah, tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengakibatkan batalnya putusan menurut hukum.
j.
Putusan hakim harus disertai dengan alasan-alasan, dengan tujuan dicantumkan alasan-alasan tersebut sebagai pertanggungjawaban hakim dan objektifitas atas putusan kepada masyarakat. Putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup pertimbangan (Onvoldoende Gemotiveerd) merupakan alasan untuk mengajukan kasasi dan harus dibatalkan. Alasan-alasan hakim dalam penjatuhan putusan yaitu, perundang-undangan, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat, jurisprudensi, dan doktrin.
4. Susunan Badan Peradilan di Indonesia Menurut UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya. Jenis dan dasar badan peradilan di Indonesia terdapat dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, dikenal 4 lingkungan peradilan di Indonesia yaitu sebagai berikut. a. Peradilan Umum (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004); b. Peradilan Agama (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006); c. Peradilan Militer (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997); d. Peradilan Tata Usaha Negara (Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004).
Bab 12: Hukum Acara
245
Keempat badan peradilan tersebut berada di bawah Mahkamah Agung RI. Berdasarkan Pasal 11 (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. Mahkamah Agung RI merupakan pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan sebagaimana disebutkan di atas. Selanjutnya pada ayat 2 disebutkan, kewenangan Mahkamah Agung RI adalah: 1. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di mana semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. 2. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. 3. Kewenangan lain yang diberikan undang-undang. Peradilan umum adalah peradilan rakyat pada umumnya mengenai perkara perdata maupun perkara pidana yang dijalankan oleh pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Di dalam peradilan umum dibentuk beberapa pengadilan khusus yang berada di lingkungan pengadilan negeri, yaitu sebagai berikut. 1. Pengadilan Niaga (Pasal 280 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan). 2. Pengadilan Anak (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak). 3. Pengadilan Hak Asasi Manusia (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM). 4. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. 5. Pengadilan Hubungan Industrial (Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Industrial). Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus karena mengadili perkara tertentu. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama, kewenangan Pengadilan Agama diperluas sebagaimana diatur dalam Pasal 49 yaitu: pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, infaq, zakat, dan ekonomi syariah.
246
Pengantar Hukum Indonesia
5. Pemberian Kuasa (Lastgeving) a. Pengertian Kuasa Secara umum, surat kuasa tunduk pada prinsip hukum yang diatur dalam bab keenam belas, Buku III KUHPerdata tentang perikatan. Sedangkan aturan khususnya diatur dan tunduk pada ketentuan hukum acara yang digariskan HIR dan Rbg. Untuk memahami arti dari pengertian kuasa secara umum dapat dirujuk pada Pasal 1792 KUHPerdata yang berbunyi “Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”. Bertitik tolak dari Pasal 1792 KUHPerdata tersebut di atas, dalam perjanjian kuasa terdapat dua pihak terdiri dari pemberi kuasa atau letsgever (Instruction, Mandate), penerima kuasa yang diberi perintah atau mandate melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.
b. Berakhirnya Kuasa Berdasarkan Pasal 1813 KUHPerdata, hal-hal yang dapat mengakhiri pemberian kuasa adalah sebagai berikut. 1) Pemberi kuasa menarik kembali secara sepihak .
Ketentuan pencabutan kembali kuasa oleh pemberi kuasa, diatur lebih lanjut dalam Pasal 1814 KUHPerdata dengan acuan: pencabutan tanpa melakukan persetujuan dari penerima kuasa. Pencabutan dapat dilakukan secara tegas dalam bentuk mencabut secara tegas dan tertulis atau meminta kembali surat kuasa dari penerima kuasa. Pencabutan secara diam-diam berdasarkan Pasal 1816 KUHPerdata.
2) Salah satu pihak meninggal dunia dengan sendirinya pemberian kuasa berakhir demi hukum. 3) Penerima kuasa melepas kuasa. Pasal 1817 KUHPerdata memberi hak secara sepihak kepada kuasa untuk melepas kuasa yang diterimanya dengan syarat: a) Harus memberitahu kehendak pelepasan itu kepada pemberi kuasa;
Bab 12: Hukum Acara
247
b) Pelepasan tidak boleh dilakukan pada saat yang tidak layak. Ukuran tentang hal ini didasarkan pada perkiraan objektif, apakah pelepasan itu dapat menimbulkan kerugian kepada pemberi kuasa.
c. Jenis-jenis Kuasa 1) Kuasa Umum (Pasal 1795 KUHPerdata). 2) Kuasa Khusus (Pasal 1795 KUHPerdata). 3) Kuasa Istimewa (Pasal 1796 KUHPerdata). 4) Kuasa Perantara (Pasal 1792 KUHPerdata dan Pasal 62 KUHD).
d. Kuasa Menurut Hukum Kuasa menurut hukum disebut juga Wettelijke Vertegnwoording atau Legal Mandatory. Maksudnya undang-undang sendiri telah menetapkan seseorang atau suatu badan untuk dengan sendirinya bertindak mewakili. Beberapa kuasa hukum adalah sebagai berikut: 1) Wali terhadap anak di bawah umur (Pasal 51 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). 2) Kurator atas orang tidak waras. 3) Orangtua terhadap anak yang belum dewasa (Pasal 45(2) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974). 4) BPH sebagai kurator kepailitan. 5) Direksi atau pengurus badan hukum. 6) Direksi perusahaan perseroan (persero). 7) Pimpinan perwakilan perusahaan asing. 8) Pimpinan cabang perusahaan domestik.
6. Proses dan Tata cara Berperkara Untuk memberikan putusan dalam perkara perdata, maka proses dan tata cara berperkara wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Adapun proses jalannya pemeriksaan perdata di Indonesia adalah sebagai berikut.
248
Pengantar Hukum Indonesia
a. Penggugat (orang yang merasa dirugikan haknya) mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri di wilayah hukum tempat berdomisili pihak yang dianggap merugikan haknya (Tergugat). Dalam permohonan yang diajukan (surat gugatan), Penggugat harus mencantumkan antara lain: 1) Identitas Penggugat dan Tergugat; 2) Domisili Penggugat dan Tergugat; 3) Apa yang menjadi gugatan (objek gugatan); 4) Alasan-alasan diajukannya gugatan (fundamental petendi); dan 5) Hal-hal yang dimintakan kepada pengadilan untuk diputuskan (Petitum).
Dalam pengajuan gugatan, Penggugat diwajibkan membayar biaya administrasi, panggilan dan pemberitahuan kepada kedua belah pihak, serta biaya materai. Selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri menetapkan hari persidangan dengan perintah memanggil kedua belah pihak untuk menghadap ke persidangan pada hari dan jam yang telah ditentukan.
b. Pada waktu persidangan terdapat tiga kemungkinan keadaan: 1) Penggugat atau kuasa hukumnya tidak hadir
Berdasarkan ketentuan Pasal 124 RIB (Reglement Indonesia Baru) maka gugatan dinyatakan gugur dan segala biaya perkara menjadi beban Penggugat. Dalam hal ini yang bersangkutan masih diberi kesempatan untuk mengajukan permohonan gugatan sekali lagi.
2) Tergugat atau kuasa hukumnya tidak hadir
Gugatan dikabulkan dan keputusan yang dijatuhkan adalah putusan verstek (putusan yang dijatuhkan tanpa hadirnya Tergugat). Putusan verstek diberitahukan kepada Tergugat serta dalam batas waktu 14 hari Tergugat diberikan hak untuk mengajukan perlawanan (verset).
3) Penggugat dan Tergugat atau kuasa hukum masing-masing pihak hadir
Pertama-tama hakim mengusahakan perdamaian. Apabila perdamaian terjadi maka dibuatkan akta perdamaian antara para
Bab 12: Hukum Acara
249
pihak yang berperkara berdasarkan perintah hakim, agar para phak menaati dan menepati isi akta perdamaian tersebut. Akta perdamaian ini memiliki kekuatan hukum layaknya putusan hakim. Terhadap akta perdamaian tidak dapat diajukan banding. Jika tidak terjadi perdamaian di antara para pihak, maka diberikan kesempatan bagi Tergugat untuk menyampaikan jawaban gugatan. Selanjutnya setiap sidang secara berturut-turut Penggugat mengajukan replik, kemudian duplik dari Tergugat. Setelah itu dapat diajukan saksi-saksi dan bukti-bukti dari para pihak yang berperkara. Alat bukti menurut Pasal 1866 KUHPerdata terdiri terdiri atas bukti surat/tulisan, saksi-saksi, persangkaan, pengakuan salah satu pihak, dan sumpah. c.
Setelah proses tersebut dilalui, para pihak diberikan kesempatan untuk menyampaikan kesimpulan.
d. Dalam sidang terakhir, hakim mengajukan pertimbangan hukumnya yang ditutup dengan putusan. Proses perkara perdata bersifat terbuka untuk umum, kecuali terhadap perkara-perkara perceraian, tentunya memerlukan biaya yang akan dipikul oleh para pihak. Besarnya biaya perkara akan dibebankan kepada kedua belah pihak atau salah satu pihak, tergantung pada putusan hakim. Dalam hal salah satu pihak benar-benar tidak mampu membayar biaya perkara, maka dapat dimintakan agar biaya perkara ditanggung oleh negara.
7. Upaya Hukum Dalam suatu perkara setelah proses pemeriksaan pengadilan selesai maka hakim akan menjatuhkan putusan terhadap perkara yang diajukan oleh para pihak, terhadap putusan dari majelis hakim tersebut terkadang tidak cukup memuaskan para pihak baik pihak Penggugat maupun pihak Tergugat, terkadang juga suatu putusan hakim tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan terkadang juga bersifat memihak maka oleh karena itu demi kebenaran dan keadilan setiap putusan hakim dimungkinkan untuk diperiksa ulang melalui upaya hukum tersebut. Walaupun hakim dikatakan sebagai wakil Tuhan di dunia, namun hakim juga seorang manusia yang tidak mungkin luput dari kekeliruan/kekhilafan,
250
Pengantar Hukum Indonesia
dan bahkan bisa bersifat memihak dalam memberi putusan, maka demi keadilan setiap putusan Hakim dapat diperiksa ulang. Pemeriksaan ulang ini dikenal dengan istilah upaya hukum, yang mana upaya hukum harus diajukan oleh pihak yang tidak puas dengan putusan Hakim yang memutus perkaranya. Ini berarti bahwa upaya hukum hanya akan terlaksana apabila diajukan. Sifat dan berlakunya upaya hukum berbeda, tergantung apakah merupakan upaya hukum biasa atau upaya hukum luar biasa.
a. Upaya Hukum Biasa Upaya hukum biasa pada dasarnya berlaku untuk setiap putusan selama tenggang waktu yang ditentukan undang-undang yakni 14 hari setelah perkara tersebut di putus, apabila para pihak menerima putusan hakim, maka hak untuk mengajukan upaya hukum hapus, upaya hukum biasa bersifat menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara, upaya hukum biasa adalah perlawanan (verzet), banding, dan kasasi.
1) Perlawanan (Verzet) Perlawanan (verzet) adalah upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan pengadilan terhadap putusan tanpa hadirnya pihak Tergugat (Putusan Verstek), hal ini sejalan dengan ketentuan undang-undang, Pasal 125 ayat (3) jo. Pasal 129 HIR, Pasal 149 ayat (3) jo 153 Rbg, pada asasnya perlawanan ini disediakan bagi pihak Tergugat yang dikalahkan. Apabila setelah dilakukan verzet ternyata Pemohon/Tergugat sekali lagi dikalahkan dengan verstek, karena tidak hadir mengikuti sidang maka ia tidak dapat lagi melakukan verzet, melainkan harus mengajukan banding atas putusan itu. Dalam perkara verzet maka gugatan awal diperiksa kembali seperti perkara semula, artinya di sini akan ada jawaban, replik, duplik dan konklusi, tetapi dalam banding hal itu tidak ada melainkan hanya memori banding. Verzet dapat diajukan dalam tenggang waktu sebagai berikut. a) Perlawanan dapat diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak pemberitahuan putusan verstek diterima Tergugat secara pribadi. b) Jika putusan verstek itu tidak diberitahukan kepada Tergugat pribadi, maka perlawanan masih dapat diajukan sampai hari ke-8 (delapan) setelah teguran untuk melaksanakan putusan verstek itu. Bab 12: Hukum Acara
251
c) Atau apabila Tergugat tidak datang menghadap ketika ditegur, perlawanan Tergugat dapat diajukan sampai hari ke-8 (Pasal 129 ayat (2) HIR, sampai hari ke – 14 (Pasal 153 ayat (2) Rbg sesudah putusan verstek dijalankan). Perlawanan terhadap putusan verstek diajukan seperti mengajukan surat gugatan biasa. (Pasal 129 ayat (3) HIR dan Pasal 153 ayat (3) Rbg). Ketika perlawanan telah diajukan maka tertundalah putusan verstek dijalankan.
2) Banding Upaya hukum banding dilakukan apabila salah satu pihak baik pihak Penggugat atau pihak Tergugat tidak menerima suatu putusan pengadilan karena merasa hak-haknya terserang oleh akibat adanya putusan itu. Upaya hukum banding diadakan oleh pembuat undang-undang karena dikhawatirkan hakim adalah manusia biasa yang bisa saja membuat kesalahan dalam menjatuhkan putusan, maka dibukalah kemungkinan bagi orang yang dikalahkan untuk mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi. Yang dapat mengajukan permohonan banding adalah yang bersangkutan (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947, Pasal 199 Rbg, Pasal 19 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970), banding ini hanya diperuntukkan bagi pihak yang dikalahkan. Yurisprudensi menentukan bahwa putusan banding hanya dapat menguntungkan pihak yang mengajukan banding, artinya pihak yang tidak mengajukan banding dianggap telah menerima putusan Pengadilan Negeri. Banding harus diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak putusan didengar, apabila para pihak hadir pada saat diucapkan putusan oleh majelis Hakim, atau 14 (empat belas) hari sejak pemberitahuan putusan apabila para pihak tidak hadir saat putusan dibacakan. Permohonan banding harus diajukan kepada Panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan, dalam waktu 14 hari terhitung mulai hari berikutnya pengumuman putusan kepada yang bersangkutan, setelah permohonan banding diterima oleh Panitera, maka pihak lawan diberitahukan oleh Panitera tentang permintaan banding itu selambat-lambatnya 14 hari setelah permintaan banding itu diterima dan kedua belah pihak diberi kesempatan untuk memeriksa berkasnya di Pengadilan Negeri selama 14 hari (Pasal 11 ayat (1) UndangUndang Nomor 20 Tahun 1947, Pasal 202 Rbg, kedua belah pihak boleh memasukkan bukti-bukti baru sebagai bagian dari alasan permohonan 252
Pengantar Hukum Indonesia
banding untuk mengajukan banding diperlukan adanya memori banding yang dikirimkan kepada Panitera Pengadilan Negeri, sedang terbanding dapat menjawab memori banding tersebut dengan memasukkan Kontra Memori Banding, kemudian salinan putusan serta surat-surat pemeriksaan harus dikirimkan oleh Pengadilan Negeri ke Pengadilan Tinggi yang bersangkutan. Dalam permohonan banding pembuatan memori banding tidaklah merupakan keharusan atau kewajiban, undang-undang tidak mewajibkan pembanding untuk mengajukan memori bandingnya artinya walaupun tidak dibuat memori banding oleh Pembanding hal tersebut tetap dibenarkan, dan juga tidak ada batas waktu kapan memori banding harus diserahkan kepada Pengadilan, selama putusan belum diambil oleh pengadilan Tinggi memori banding masih bisa diserahkan.
3) Kasasi Kasasi adalah suatu alat hukum yang merupakan wewenang dari Mahkamah Agung untuk memeriksa kembali putusan-putusan pengadilan terdahulu dan ini merupakan peradilan yang terakhir. Tugas Pengadilan Kasasi adalah menguji putusan pengadilan-pengadilan bawahan tentang sudah tepat atau tidaknya penerapan hukum yang dilakukan terhadap kasus yang bersangkutan yang duduk perkaranya telah ditetapkan oleh pengadilan-pengadilan bawahan tersebut. Untuk mengajukan kasasi bagi seorang kuasa diperlukan surat kuasa khusus, permohonan kasasi harus diajukan kepada panitera pengadilan tempat pertama sekali putusan itu dijatuhkan, permohonan kasasi dapat diajukan baik secara lisan maupun tertulis, namun dalam praktik sekarang ini permohonan kasasi selalu diajukan secara tertulis. Tenggang waktu untuk mengajukan kasasi adalah 14 hari sejak putusan Pengadilan Tinggi disampaikan kepada yang bersangkutan, dan 14 hari terhitung sejak menyatakan kasasi Pemohon Kasasi harus menyerahkan memori kasasi. Berbeda dengan banding di mana memori banding bukanlah menjadi kewajiban bagi Pemohon banding, akan tetapi dalam kasasi, Memori Kasasi merupakan kewajiban bagi Pemohon Kasasi untuk diserahkan, artinya apabila memori kasasi tersebut tidak dibuat maka permohonan kasasi akan ditolak, terhadap memori kasasi Termohon kasasi dapat menyampaikan kontra memori kasasi dalam tenggang waktu 14 hari sejak memori kasasi disampaikan
Bab 12: Hukum Acara
253
kepadanya. Kontra memori kasasi yang disampaikan melebihi tenggang waktu tersebut tidak dapat dipertimbangkan lagi. Untuk melakukan kasasi harus ada alasan-alasan yang digunakan sebagai dasar dalam melakukan kasasi, alasan-alasan tersebut yaitu sebagai berikut. a) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang. b) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. c) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Dari alasan-alasan tersebut di atas dapatlah kita ketahui bahwa dalam tingkat kasasi tidaklah diperiksa lagi tentang duduknya perkara atau faktanya tetapi tentang hukumnya, sehingga tentang terbukti tidaknya peristiwa tidak akan diperiksa. Penilaian tentang hasil pembuktian tidak dapat di pertimbangkan dalam pemeriksaan di tingkat kasasi. Pemeriksaan permohonan kasasi meliputi seluruh putusan hakim yang mengenai hukumnya, baik yang meliputi bagian daripada putusan yang merugikan Pemohon kasasi maupun bagian yang menguntungkan Pemohon kasasi. Oleh karena pada tingkat kasasi tidak diperiksa ulang duduk perkara atau peristiwanya, maka pemeriksaan tingkat kasasi umumnya tidak dianggap sebagai pemeriksaan tingkat ketiga.
b. Upaya Hukum Luar Biasa Suatu putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Inkracht) maka tidak bisa lagi ditempuh upaya hukum biasa, maka dengan diperolehnya kekuatan hukum yang pasti sebuah putusan tidak dapat lagi diubah. Suatu putusan akan memperoleh kekuatan hukum yang pasti apabila tidak tersedia lagi upaya hukum biasa. Untuk putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti ini, tersedia upaya hukum istimewa. Upaya hukum istimewa ini hanyalah dibolehkan dalam hal-hal tertentu yang disebut dalam undang-undang saja, termasuk upaya hukum luar biasa adalah peninjauan kembali dan perlawanan dari pihak ketiga.
254
Pengantar Hukum Indonesia
1) Peninjauan Kembali Putusan yang dijatuhkan dalam tingkat terakhir dan putusan yang dijatuhkan di luar hadir Tergugat (Verstek) dan yang tidak lagi terbuka kemungkinan untuk mengajukan perlawanan, dapat ditinjau kembali atas permohonan orang yang pernah menjadi salah satu pihak di dalam perkara yang telah diputus dan dimintakan peninjauan kembali. Peninjauan kembali adalah suatu upaya untuk memeriksa dan mementahkan kembali suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, guna membatalkannya. Permohonan peninjauan kembali tidak menghalangi jalannya eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. HIR tidak mengatur masalah peninjauan kembali ini, meskipun demikian dalam praktik diterima oleh Pengadilan Negeri dengan memakai ketentuan Rv sebagai Pedoman. Untuk melakukan peninjauan kembali harus didasarkan pada alasan-alasan, yaitu sebagai berikut. a) Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat, pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus, atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim dinyatakan palsu. b) Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan. c) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada dituntut. d) Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya. e) Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain. f) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh Pemohon kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara itu dalam tingkat pertama dengan membayar biaya perkara yang diperlukan. Bab 12: Hukum Acara
255
Mahkamah Agung akan memutuskan perkara tersebut pada tingkat pertama dan yang terakhir. Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh Pemohon secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas alasan-alasan yang dijadikan dasar permohonan itu dan dimasukkan ke Paniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkata pada tingkat pertama. Setelah Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama menerima permohonan peninjauan kembali maka panitera berkewajiban untuk paling lama dalam waktu 14 hari mengirimkan salinan permohonan kepada pihak lawan Pemohon hal ini dilakukan dengan maksud pihak lawan mengetahuinya dan punya kesempatan untuk mengajukan jawabannya. Tenggang waktu bagi pihak lawan untuk mengajukan jawabannya adalah 30 hari setelah tanggal diterimanya salinan permohonan peninjauan kembali tersebut. Dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kembali tersebut, maka Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut dan selanjutnya memeriksa dan memutus sendiri perkaranya apabila permohanan peninjauan kembali itu tidak beralasan maka Mahkamah Agung akan menolak permohonan tersebut.
2) Perlawanan Pihak Ketiga (derdenverzet) Perlawanan Pihak Ketiga atau derdenverzet adalah suatu perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang tadinya tidak ada sangkut pautnya dengan perkara akan tetapi putusan itu telah merugikan pihak ketiga tersebut, berdasarkan Pasal 207 HIR, maka pihak ketiga yang melakukan perlawanan atau bantahan harus mengajukan perlawanan tersebut secara tertulis atau secara lisan. Dalam praktik terdapat 2 (dua) macam perlawanan pihak ketiga yaitu sebagai berikut. a) Perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekusi, yaitu perlawanan pihak ketiga terhadap suatu penyitaan terhadap suatu benda atau barang karena putusan sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. b) Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan yaitu perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga terhadap putusan pengadilan yang belum mempunyai keputusan hukum yang tetap. Perlawanan diajukan kepada Hakim yang menjatuhkan putusan yang dilawan itu dengan menggugat para pihak yang bersangkutan dengan cara biasa. Pihak ketiga yang hendak mengajukan perlawanan terhadap suatu putusan tidak cukup
256
Pengantar Hukum Indonesia
hanya mempunyai kepentingan saja akan tetapi harus nyata-nyata telah dirugikan hak-haknya. Apabila perlawanan itu dikabulkan maka putusan yang dilawan itu akan diperbaiki sepanjang merugikan pihak ketiga.
C. Hukum Acara Pidana 1. Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana ialah rangkaian peraturan hukum yang menentukan bagaimana cara-cara mengajukan ke depan pengadilan, perihal perkara-perkara kepidanaan dan bagaimana cara menjatuhkan hukum oleh hakim. Terdapat beberapa pengertian hukum acara pidana menurut para ahli antara lain sebagai berikut. a. S.M. Amin: Hukum Acara Pidana adalah sederet aturan dan peraturan yang dibuat dengan tujuan memberikan sebuah pedoman dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan bila terjadi tindak pidana pemerkosaan atau pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang bersifat materiil. b. Mochtar Kusuma Atmadja: Hukum Acara Pidana adalah suatu peraturan hukum yang berhubungan dengan tindak pidana yang mengatur bagaimana cara mempertahankan berlakunya suatu hukum materiil. Hukum pidana formil sendiri memproses suatu proses hukum menghukum seseorang yang telah dituduh melakukan tindak pidana. c. Wirjono Prodjodikoro: Hukum Acara Pidana adalah sederet aturan yang memuat peraturan dan tata cara bagaimana badan-badan pemerintahan berkuasa, seperti pihak kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan wajib mengadakan tindakan hukum pidana sebagai tujuan negara. d. L.J. Van Apeldoorn: Hukum acara pidana adalah mengatur cara pemerintah menjaga kelangsungan pelaksanaan hukum pidana material. e. Van Hattum: HAP/hukum pidana formil adalah memuat peraturanperaturan yang mengatur tentang bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara nyata.
Bab 12: Hukum Acara
257
f.
D. Simon: HAP/hukum pidana formil adalah suatu hukum yang mengatur tata cara negara dengan alat-alat negara menggunakan hak kekuasaan untuk memberikan hukuman serta menjatuhkan hukuman.
Dengan kata lain, Hukum Acara Pidana ialah hukum yang mengatur tata cara bagaimana alat-alat negara (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan) harus bertindak jika terjadi perbuatan pidana. Hukum acara pidana disebut juga sebagai hukum pidana formal yang mengatur cara pemerintah menjaga kelangsungan pelaksanaan hukum pidana material. Tujuan diadakannya hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran material, yakni kebenaran yang selengkapnya dari suatu perkara pidana. Berdasarkan tujuan tersebut, maka fungsi dari ditegakkannya hukum acara pidana antara lain sebagai berikut. a. Mencari dan menemukan kebenaran b. Memberikan putusan oleh hakim c. Pelaksanaan putusan
2. Sumber-sumber Hukum Acara Pidana Secara umum sumber-sumber hukum acara pidana terdiri atas: a. UUD 1945 b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum jo. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. d. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA jo. UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA jo. Perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.
258
Pengantar Hukum Indonesia
e. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pada saat UU ini berlaku, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. f.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 5 April 2003.
g. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. h. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. i. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok Perbankan, khususnya Pasal 37 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. j.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU ini mengatur acara pidana khusus untuk delik korupsi. Kaitannya dengan KUHAP ialah dalam Pasal 284 KUHAP. UU tersebut diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
k. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1970 tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian terhadap anggota MPRS dan DPR Gotong-Royong. UU ini masih berlaku dan kata MPRS seharusnya dibaca MPR, sedangkan DPR seharusnya tanpa Gotong-Royong. l. Undang-Undang Nomor 5 (PNPS) Tahun 1959 tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana tertentu. m. Undang-Undang Nomor 7 (drt) Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. n. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. o. Beberapa Keputusan Presiden yang mengatur tentang acara pidana yaitu sebagai berikut.
Bab 12: Hukum Acara
259
1) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1967 tentang Pemberian Wewenang Kepada Jaksa Agung Melakukan Pengusutan, Pemeriksaan Pendahuluan terhadap mereka yang melakukan Tindakan Penyelundupan. 2) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228 Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. 3) Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1974 tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian Terhadap Pimpinan/ Anggota DPRD Tingkat II dan II. 4) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974 tentang Organisasi Polri. 5) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia. Sumber hukum utama yang digunakan dalam pelaksanaan hukum acara pidana adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Ketentuan mengenai hukum acara pidana ini tersusun secara sistematis dan terkodifikasi dalam sebuah Kitab Undang-undang Hukum yakni Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP diundangkan dan mulai berlaku di Indonesia sejak tanggal 31 Desember 1981 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209. Terkodifikasikannya ketentuan hukum acara pidana bertujuan untuk menggantikan Reglemen Indonesia Baru (RIB) yang penerapannya dirasa tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Ketentuan KUHAP terdiri atas 286 pasal, yang di dalam Pasal 2 menyebutkan bahwa KUHAP berlaku untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum.
3. Asas-asas Hukum Acara Pidana Ruang lingkup berlakunya KUHAP haruslah mengikuti asas-asas hukum pidana dan yang berwenang mengadili tindak pidana berdasarkan KUHAP hanyalah Peradilan Umum, kecuali ditentukan lain oleh undang-
260
Pengantar Hukum Indonesia
undang tersebut. Dalam melaksanakan hukum acara pidana, terdapat beberapa asas yang harus diperhatikan yakni sebagai berikut. a. Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan
Hal ini tertuang dalam KUHAP dengan istilah “segera, tenggang waktu atau batas waktu” Contoh dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 28 KUHAP, Pasal 50 KUHAP. Asas tersebut merupakan penjabaran dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang diubah menjadi UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
b. Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence)
Asas praduga tak bersalah, telah dirumuskan dalam Pasal 8 UndangUndang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970, yang berbunyi: “Setiap orang yang sudah disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.
c. Asas Legalitas dan Oportunitas
Dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP menyatakan “tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada” (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Previa Lege Poenali). Selanjutnya dalam asas oportunitas, berdasarkan Pasal 32 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan menyebutkan bahwa, seseorang tidak dapat dituntut oleh Jaksa karena dengan alasan dan pertimbangan demi kepentingan umum. Walaupun asas ini dianggap bertolak belakang dengan asas legalitas, namun dalam UU Pokok Kejaksaan Agung memberi wewenang kepada Kejaksaan Agung untuk mengesampingkan suatu perkara “Demi Kepentingan Umum”. Hal ini dipertegas lagi dalam penjelasan KUHAP Pasal 77 yang menyatakan bahwa, penghentian penuntutan tidak termasuk dalam mengesampingkan perkara demi kepentingan umum sebagaimana wewenang Jaksa Agung.
d. Asas Inquisitor dan Accusatoir Asas inquisitor tidak berlaku di masa sekarang dan hanya berlaku pada masa HIR yang memandang bahwa pengakuan tersangka merupakan alat bukti terpenting, sehingga untuk mencapai maksud Bab 12: Hukum Acara
261
tersebut pemeriksa sering kali melakukan tindakan kekerasan atau penganiayaan. Berbeda dengan asas accusatoir yang menempatkan kedudukan tersangka/Terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan sebagai subjek bukan sebagai objek pemeriksaan. Oleh karena itu tersangka/Terdakwa harus diperlakukan secara manusiawi sesuai harkat dan martabat harga diri. Yang menjadi objek pemeriksaan dalam asas ini adalah unsur kesalahan (tindak pidana) yang dilakukan oleh tersangka/Terdakwa. e. Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum
Diatur dalam Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP yang menyatakan “untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau Terdakwanya adalah anak-anak”.
f. Asas Semua Orang Diberlakukan Sama di Depan Hukum (Equality Before the Law)
Asas ini sesuai dengan UU Pokok Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Terdapat pula dalam penjelasan umum KUHAP butir 3a yang menyatakan bahwa “perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan”.
g. Asas Tersangka atau Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
Dalam KUHAP Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 diatur perihal kebebasan yang sangat luas bagi tersangka atau Terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum. Asas ini telah menjadi ketentuan yang bersifat universal di negara-negara demokrasi.
h. Asas Pemeriksaan Hakim secara Langsung dan Lisan
262
Pemeriksaan secara langsung artinya langsung kepada Terdakwa dan para saksi. Berbeda dengan acara perdata di mana Tergugat dapat diwakilkan oleh kuasanya. Pengecualian dari asas ini adalah dalam kasus pelanggaran lalu lintas dan tindak pidana khusus lainnya. Putusan atau peradilan yang dilakukan tanpa hadirnya Terdakwa dikenal dengan sebutan pengadilan in absensia.
Pengantar Hukum Indonesia
i. Asas Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, dan Penyitaan Dilakukan Berdasarkan Perintah Tertulis Pejabat yang Berwenang
Asas ini terdapat dalam penjelasan umum KUHAP butir 3b. Penangkapan diatur secara rinci dalam Pasal 15 sampai Pasal 19 KUHAP. Dalam peradilan Militer diatur dalam Pasal 75 sampai 77 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997. Penahanan diatur dalam Pasal 20 sampai 31 KUHAP. Dalam peradilan Militer diatur dalam Pasal 78 sampai 80, dan Pasal 137 dan Pasal 138 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997. Dalam KUHAP dan Peradilan Militer juga mengatur mengenai Pembatasan penahanan. Penggeledahan diatur dalam Pasal 32 sampai Pasal 37 KUHAP. Dalam peradilan Militer diatur dalam Pasal 82 sampai Pasal 86 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997. Tentang Penyitaan diatur dalam Pasal 38 sampai Pasal 46 KUHAP. Dalam peradilan Militer diatur dalam Pasal 87 sampai Pasal 95 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997.
4. Proses Penyelesaian Perkara Pidana Proses pelaksanaan acara pidana di Indonesia mengacu pada KUHAP, terdiri dari tiga tingkatan yakni:
a. Pemeriksaan Pendahuluan (Vooronderzoek) Pemeriksaan pendahuluan ialah suatu tindakan pengusutan dan penyelidikan perihal adanya suatu sangkaan yang benar-benar beralasan atau memiliki dasar-dasar yang dapat dibuktikan kebenarannya atau tidak. Dalam tingkat pemeriksaan ini, penyelidikan dilakukan terhadap pelanggaran suatu ketentuan pidana, serta berusaha untuk menemukan para pelaku dan saksi-saksi dalam peristiwa tersebut. Jadi dalam pemeriksaan ini dikumpulkan bahan-bahan yang mungkin dapat dijadikan bukti. Jumlah dan sifat bahan ini menentukan apakah tersangka akan dituntut atau tidak. Dalam kegiatan pemeriksaan pendahuluan terdapat tiga pekerjaan yang harus dilaksanakan yaitu:
Bab 12: Hukum Acara
263
1) Pekerjaan Pengusutan (Opsporing) Pengusutan bertujuan untuk mencari dan menyelidiki kejahatan dan pelanggaran yang terjadi. Agar penyidik (polisi) bisa melakukan tindakan (melakukan penyidikan) tentang tindak pidana maka ada 3 sumber untuk mengetahuinya yaitu: a) Laporan yaitu pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang tentang sedang atau telah atau diduga terjadi tindak pidana (Pasal 1 KUHAP) b) Pengaduan yaitu pemberitahuan disertai permintaan dari pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang (dalam hal ini polisi) untuk menindak secara hukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikan c) Tertangkap tangan yaitu tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu. Benda tersebut menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya, turut melakukan, atau membantu melakukan tindak pidana itu. Setelah menerima laporan, pengaduan atau tertangkap tangannya pelaku tindak pidana maka penyelidik (pejabat kepolisian) menyelidiki tentang ada atau tidak terjadinya tindak pidana dalam hal ini disebut tindakan penyelidikan. Dalam KUHAP Pasal 1 menyebutkan bahwa, penyelidikan adalah tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan Penyidikan menurut ketentuan KUHAP.
2) Penyelesaian Pemeriksaan Pendahuluan (Nasporing) Merupakan peninjauan secara yuridis dalam hal mengumpulkan bukti-bukti dan menetapkan ketentuan pidana apa yang dilanggar. Apabila penyelidik berkeyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana maka dilanjutkan dengan penyidikan. Tugas-tugas seorang penyelidik berdasarkan Pasal 5 KUHAP yaitu sebagai berikut.
264
Pengantar Hukum Indonesia
a) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang terjadinya tindak pidana b) Mencari keterangan dan barang bukti c) Menyuruh berhenti seseorang (memeriksa) yang dicurigai dan menanyakan identitasnya d) Tindakan yang lain yang bertanggung jawab e) Membuat dan menyampaikan laporan hasil tindakan-tindakan yang telah dilakukan f) Atas perintah penyidik melakukan tindakan berupa: 1) penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penahanan, 2) pemeriksaan dan penyitaan surat, 3) mengambil sidik jari dan memotret, 4) membawa seseorang kepada penyidik. Penyelidik juga berwenang untuk melakukan penangkapan atas perintah dari penyidik. Apabila tindakan penyelidikan yang dilakukan penyelidik telah dilakukan maka proses selanjutnya adalah melakukan tindakan penyidikan. Dalam KUHAP Pasal 1 Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Penyidik dalam hal ini adalah Pejabat kepolisian atau pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang melakukan penyidikan. Dalam melaksanakan tugasnya untuk mencari dan mengumpulkan bukti maka penyidik mempunyai wewenang sebagai berikut. a) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang terjadinya tindak pidana; b) Mencari keterangan dan barang bukti; c) Menyuruh berhenti seseorang (memeriksa) yang dicurigai dan menanyakan identitasnya; d) Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; e) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; Bab 12: Hukum Acara
265
f) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; g) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; h) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; i)
Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
j) Mengadakan penghentian penyidikan; k) Tindakan lain yang bertanggung jawab; l) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; m) Membuat dan menyampaikan laporan hasil tindakan-tindakan yang telah dilakukan. Penyidik dapat memberikan status kepada seseorang sebagai tersangka, kalau terdapat bukti permulaan yang cukup dan memberikan petunjuk bahwa orang tersebut patut disangkakan sebagai orang yang melakukan tindak pidana itu. Bukti Permulaan yang dimaksud adalah benda-benda, keterangan saksi, petunjuk surat dan lainnya yang dapat memberikan petunjuk pelaku tindak pidana. Dalam upaya mengumpulkan bukti-bukti dan keterangan yang cukup oleh penyidik maka dia berwenang untuk melakukan penangkapan, dan penahanan terhadap seseorang. Penangkapan adalah pengekangan sementara waktu tersangka guna kepentingan penyidikan. Penangkapan ini dilakukan bila ada bukti permulaan yang cukup sehingga patut disangkakan seseorang melakukan tindak pidana. Hal ini untuk menghindari pihak penyidik melakukan penangkapan secara “membabi buta” tanpa alasan yang jelas. Ketentuan-ketentuan lain mengenai penangkapan yaitu sebagai berikut. a) Penangkapan dilakukan bila ada bukti permulaan yang cukup kecuali dalam hal tertangkap tangan; b) Ada surat penangkapan yang memuat jelas identitas orang yang akan ditangkap. Kecuali dalam hal tertangkap tangan; c) Lamanya penangkapan paling lama sehari (24 jam).
266
Pengantar Hukum Indonesia
Penyidik berwenang pula melakukan penahanan kepada tersangka jika penyidik merasa masih membutuhkan keterangan dari tersangka. Penahanan terhadap tersangka atau Terdakwa bertujuan (pertimbangan subjektif): a) Agar tersangka/Terdakwa tidak melarikan diri; b) Agar tersangka/Terdakwa tidak menghilangkan barang bukti; c) Agar tersangka/Terdakwa tidak mengulangi tindak pidana; d) Memudahkan penyidik/penuntut umum melakukan pemeriksaan. Dengan alasan-alasan seperti yang disebutkan maka penyidik (di tingkat penyidikan) atau penuntut umum (di tingkat penuntutan) berhak melakukan penahanan. Namun tersangka atau Terdakwa bisa melakukan penangguhan penahanan apabila dapat meyakinkan penyidik atau penuntut umum kalau alasan/tujuan penahanan seperti yang disebutkan dapat dihindari.
3) Pekerjaan Penuntutan (Vervolging) Dalam Pasal 1 ayat (7) KUHAP menyatakan bahwa penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan agar diperiksa dan diputus oleh hakim pada sidang di pengadilan. Berdasarkan definisi penuntutan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penuntutan dalam proses penyelesaian perkara pidana dilakukan untuk mendapat penetapan dari penuntut umum tentang adanya argumen yang cukup dan valid untuk menuntut seorang Terdakwa di muka hakim. Suatu penuntutan dianggap telah dilaksanakan dalam hal: a) Apabila jaksa telah mengirimkan daftar perkara kepada hakim disertai surat tuntutannya untuk mengadili perkara tersebut. b) Apabila Terdakwa ditahan dan terhadap waktu penahanan dimintakan perpanjangan kepada hakim, karena jika telah lima puluh hari waktu tahanan masih dimintakan perpanjangan maka secara moril dapat dianggap bahwa jaksa sudah menganggap cukup alasan untuk menuntut.
Bab 12: Hukum Acara
267
c) Apabila dengan salah satu jalan jaksa memberitahukan kepada hakim bahwa ada perkara yang akan diajukan kepadanya.
b. Pemeriksaan dalam Sidang Pengadilan (Eindonderzoek) Pemeriksaan dalam sidang pengadilan bertujuan untuk meneliti dan menyaring apakah suatu tindak pidana benar terjadi atau tidak, sah tidaknya bukti-bukti yang diajukan, kesesuaian antara pasal dalam KUHP yang dilanggar dengan tindak pidana yang telah terjadi. Pemeriksaan dalam sidang pengadilan bersifat akusator, di mana seorang tersangka dianggap sebagai subjek berhadap-hadapan dengan kepolisian atau kejaksaan, sedemikian rupa sehingga masing-masing pihak memiliki hak-hak yang sama, dan hakim berada untuk menyelesaikan perkara pidana yang diajukan berdasarkan aturan hukum pidana yang berlaku. Pemeriksaan dalam sidang pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum, kecuali peraturan menentukan lain, misalnya dalam hal pemeriksaan kejahatan kesusilaan dan lain-lain (Pasal 153 ayat (3) KUHP). Setelah semua surat pemeriksaan pendahuluan selesai, Kepala Kejaksaan akan menyerahkan berkas-berkas beserta bukti-bukti dalam perkara yang bersangkutan kepada Ketua Pengadilan Negeri (KPN) sesuai wilayah hukumnya. Selanjutnya KPN mempelajari tentang berwenang tidaknya pengadilan negeri yang dipimpinnya memeriksa perkara tersebut. Untuk menentukan kewenangan melakukan persidangan terhadap suatu perkara, haruslah dikeluarkan surat penetapan oleh KPN. Penuntut Umum dapat mengajukan keberatan dalam bentuk perlawanan (verzet) apabila KPN mengeluarkan surat penetapan yang menyatakan tidak berwenang mengadili. Verzet ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi (KPT). Jangka waktu pengajuan adalah 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat penetapan dari KPN. Pihak pengadilan negeri juga dapat mengajukan perlawanan kepada Pengadilan Tinggi dengan tenggang waktu 7 (tujuh) hari. Dasar bagi pengadilan negeri untuk memutuskan berwenang atau tidaknya mengadili pelaku suatu tindak pidana tercantum dalam Pasal 84 KUHAP, yakni: 1. Forum delicti commisi: berdasarkan tempat dilakukannya tindak pidana tersebut.
268
Pengantar Hukum Indonesia
2. Forum domicilie: berdasarkan tempat tinggal si pelaku dan tempat tinggal sebagian besar saksi dalam perkara tersebut. 3. Forum opprehensionis: menentukan bahwa semua pengadilan negeri berwenang mengadili tindak pidana sehubungan dengan tempat dilakukannya tindak pidana. Terdapat tiga macam acara pemeriksaan di persidangan. Pertama, berdasarkan Pasal 152 sampai dengan Pasal 202 KUHAP pemeriksaan dapat dilakukan menggunakan acara pemeriksaan biasa. Hal ini dilakukan untuk suatu perkara yang sulit pembuktiannya dan sulit penerapan hukumnya. Prosesnya adalah pihak Penuntut Umum mengajukan surat pelimpahan perkara (surat dakwaan dan berkas perkara). Kedua, berdasarkan Pasal 203 sampai dengan Pasal 204 KUHAP pemeriksaan dapat dilakukan dengan acara pemeriksaan singkat/sumir. Hal ini dilakukan apabila pembuktiannya mudah, penerapan hukumnya mudah dan sifat perkaranya sederhana. Prosesnya adalah Penuntut Umum menghadapkan Terdakwa, saksi, barang bukti ke sidang pengadilan. Surat dakwaannya tidak dibuat secara tertulis, cukup Penuntut Umum membacakan secara lisan. Jika dalam proses persidangan ternyata pembuktiannya sulit, maka hakim menyatakan untuk dilakukan pemeriksaan tambahan oleh pihak Penuntut Umum dengan tenggang waktu 14 hari. Apabila dengan tenggang waktu tersebut pihak Penuntut Umum tidak berhasil maka kriteria perkara tidak lagi bersifat sederhana melainkan dapat dilakukan pemeriksaan biasa. Ketiga, berdasarkan Pasal 205 sampai dengan Pasal 209 KUHAP pemeriksaan dapat dilakukan dengan acara pemeriksaan cepat. Terdapat dua jenis tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan cepat yakni tindak pidana ringan dan tindak pidana pelanggaran lalu lintas. Prosesnya adalah pihak penyidik atas kuasa Penuntut Umum dalam waktu 3 hari setelah Berita Acara Pemeriksaan (BAP) selesai dapat langsung menghadapkan Terdakwa, saksi dan barang bukti ke pengadilan. Pemeriksaan ini ditangani oleh hakim tunggal dan Pengadilan Negeri merupakan pengadilan tingkat pertama sekaligus terakhir kecuali putusannya adalah pidana perampasan kemerdekaan. Dalam pemeriksaan cepat saksi tidak disumpah, tidak ada surat dakwaan, tidak ada surat putusan Pengadilan Negeri. Semua hanya tercatat pada buku register panitera dan tidak perlu dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan.
Bab 12: Hukum Acara
269
c. Pelaksanaan Hukuman (Strafexecutie) Setelah pemeriksaan selesai maka Penuntut Umum membacakan tuntutannya dan menyerahkan tuntutan tersebut kepada hakim. Setelah hakim memperoleh keyakinan dengan alat-alat bukti yang sah terkait kebenaran perkara tersebut, maka hakim akan mempertimbangkan hukuman yang tepat untuk dijatuhkan. Hakim menyatakan pemeriksaan persidangan ditutup. Namun jika diperlukan untuk memperoleh data tambahan, pemeriksaan dapat dibuka kembali hanya sebanyak satu kali saja. Tahap selanjutnya adalah musyawarah hakim (Pasal 182 KUHAP). Materi yang dimusyawarahkan adalah surat dakwaan Penuntut Umum. Musyawarah dipimpin oleh hakim ketua majelis. Musyawarah semaksimal mungkin harus dicapai mufakat, dan apabila gagal maka dimungkinkan adanya voting. Apabila tetap gagal maka diambil putusan yang paling menguntungkan bagi Terdakwa. Selanjutnya sidang dinyatakan dibuka kembali untuk umum. Terdapat tiga jenis putusan pengadilan antara lain sebagai berikut. 1. Putusan bebas/putusan vrigspraak (Pasal 191 ayat (1) KUHAP)
Putusan ini dijatuhkan apabila dari hasil pemeriksaan di persidangan kesalahan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Hal ini terjadi apabila tidak memenuhi ketentuan minimal dua alat bukti, serta tidak terbukti salah satu unsur atau lebih dari pertanggungjawaban Terdakwa. Apabila Terdakwa telah berada di tahanan maka harus segera dibebaskan.
2. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum/oonslag van alle recht vervolglging (Pasal 191 ayat (2) KUHAP
Putusan ini dijatuhkan apabila apa yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti tetapi perbuatan tersebut bukanlah tindak pidana.
3. Putusan pemidanaan (Pasal 193 KUHAP)
270
Putusan ini dijatuhkan apabila kesalahan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan. Ada kemungkinan setelah putusan dibacakan, Terdakwa yang telah ditahan kemudian dibebaskan. Hal ini disebabkan karena jumlah penahanan melebihi masa tahanan dalam putusan.
Pengantar Hukum Indonesia
Kriteria suatu putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap adalah apabila putusan tersebut diterima oleh semua pihak, dan semua upaya hukum telah selesai ditempuh baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Format putusan pengadilan diatur dalam KUHAP secara limitatif dalam Pasal 197 KUHAP.
D. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi 1. Pengertian Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Hukum acara menentukan berjalan tidaknya proses penegakan hukum dan pelaksanaan kewenangan berdasarkan hukum dari suatu lembaga. Hukum materiil tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik tanpa adanya hukum acara yang dipahami dan dilaksanakan oleh semua pihak yang terkait dalam suatu proses hukum. Hukum acara Mahkamah Konstitusi meliputi materi-materi terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi, kedudukan hukum Pemohon, dan proses persidangan mulai dari pengajuan permohonan, pembuktian, hingga putusan. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi sebagai ilmu yang mempelajari Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, yaitu ilmu hukum acara yang berkaitan langsung dengan kewenangan-kewenangan dan kewajiban-kewajiban konstitusional Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman di Indonesia, di samping Mahkamah Agung. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi sebagai hukum positif (positieverecht), yaitu hukum yang mengatur dan menegakkan hukum materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (1) dan 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi merupakan contentieus procesrecht – hukum acara sengketa/perselisihan yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah badan peradilan tata negara yang berwenang untuk memutuskan sengketa (nemo index in causa sua) melalui kegiatan hakim (peradilan) untuk menerapkan hukum (rechtstoepassing) dan menemukan hukum (rechtsvinding) in concreto, sehingga berfungsi untuk menjamin ditaatinya hukum materiil.
Bab 12: Hukum Acara
271
2. Asas-asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Dalam konteks Hukum Acara Mahkamah Konstitusi yang dimaksud dengan asas dalam hal ini adalah prinsip-prinsip dasar yang bersifat umum sebagai panduan atau bahkan ruh dalam penyelenggaraan peradilan konstitusi. Asas diperlukan untuk mencapai tujuan penyelenggaraan peradilan itu sendiri, yaitu tegaknya hukum dan keadilan, khususnya supremasi konstitusi dan perlindungan hak konstitusional warga negara. Asas-asas tersebut harus dijabarkan dan dimanifestasikan baik di dalam peraturan maupun praktik hukum acara. Dengan sendirinya asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi menjadi pedoman dan prinsip yang memandu hakim dalam menyelenggarakan peradilan serta harus pula menjadi pedoman dan prinsip yang dipatuhi oleh pihak-pihak dalam proses peradilan. Mengingat sifatnya yang umum dan tidak merujuk pada tindakan atau kasus tertentu, setiap asas memiliki pengecualian. Asas peradilan terbuka untuk umum misalnya memiliki pengecualian untuk perkara-perkara tertentu dapat ditetapkan bersifat tertutup. Sebagaimana proses peradilan pada umumnya, di dalam peradilan Mahkamah Konstitusi terdapat asasasas baik yang bersifat umum untuk semua peradilan maupun yang khusus sesuai dengan karakteristik peradilan Mahkamah Konstitusi. Maruarar Siahaan, salah satu hakim konstitusi periode pertama, mengemukakan 6 (enam) asas dalam peradilan MK yaitu (a) ius curia novit; (b) Persidangan terbuka untuk umum; (c) Independen dan imparsial; (d) Peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan; (e) Hak untuk didengar secara seimbang (audi et alteram partem); dan (f) Hakim aktif dan juga pasif dalam persidangan. Selain itu perlu ditambahkan lagi satu asas yaitu asas (g) Praduga Keabsahan (praesumptio iustae causa).
a. Ius Curia Novit Asas ius curia novit adalah asas bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, sebaliknya hakim harus memeriksa dan mengadilinya. Asas tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 16 UU Kekuasaan Kehakiman. Asas ini berlaku dalam peradilan
272
Pengantar Hukum Indonesia
Mahkamah Konstitusi sepanjang masih dalam batas wewenang Mahkamah Konstitusi yang telah diberikan secara limitatif oleh UUD 1945, yaitu pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, pembubaran partai politik, perselisihan tentang hasil Pemilu, serta pendapat DPR tentang pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sepanjang suatu perkara diajukan dalam bingkai salah satu wewenang tersebut, Mahkamah Konstitusi harus menerima, memeriksa, mengadili, dan memutuskan. Terdapat beberapa perkara yang secara substansi sesungguhnya tidak termasuk ke dalam salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi namun diajukan dalam bingkai salah satu wewenangnya sehingga Mahkamah Konstitusi harus memeriksa dan memutusnya. Perkara tersebut antara lain adalah Perkara No. 001/PUU-IV/2006 yang pada hakikatnya mengajukan pengujian Putusan MA No. 01/PK/Pilkada/2005 dengan konstruksi pengujian undang-undang dengan mendalilkan bahwa Putusan MA yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut kedudukannya sama dengan undang-undang. Dalam perkara ini MK memutuskan permohonan tidak dapat diterima karena Putusan Peninjauan Kembali MA tidak masuk dalam kategori undang-undang yang menjadi wewenang MK untuk mengujinya. Terhadap permohonan pengujian Perpu dalam Putusan No. 138/PUUVII/2009 Mahkamah Konstitusi dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) walaupun tidak ada ketentuan yang secara tegas tentang hal tersebut. Pertimbangan putusan bahwa MK berwenang menguji Perppu antara lain adalah: pertama, bahwa Perppu dimaksudkan untuk mengganti ketentuan suatu UU sehingga materi muatan Perppu merupakan materi muatan UU; Kedua, Perppu dibuat dan berlaku tanpa menunggu persetujuan DPR sehingga norma yang diatur di dalam Perppu yang seharusnya menjadi materi muatan UU berlaku sebagai norma hukum yang mengikat seperti halnya norma dalam suatu UU; dan ketiga, dalam keberlakuan norma itu dapat melanggar hak konstitusional warga negara dan bertentangan dengan UUD 1945.
Bab 12: Hukum Acara
273
b. Persidangan terbuka untuk umum Asas bahwa persidangan pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum merupakan asas yang berlaku untuk semua jenis pengadilan, kecuali dalam hal tertentu yang ditentukan lain oleh undang-undang. Hal ini tertuang di dalam Pasal 13, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta juga ditegaskan dalam Pasal 40 ayat (1) UU MK, bahwa sidang MK terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim. Persidangan terbuka untuk umum dimaksudkan agar proses persidangan dapat diikuti oleh publik sehingga hakim dalam memutus perkara akan objektif berdasarkan alat bukti dan argumentasi yang dikemukakan di dalam persidangan. Melalui persidangan yang terbuka untuk umum, publik juga dapat menilai dan pada akhirnya menerima putusan hakim. Namun demikian, dalam hal tertentu dapat diputuskan oleh hakim konstitusi bahwa persidangan dilakukan secara tertutup. Hal itu misalnya terjadi pada saat sidang pemeriksaan alat bukti dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, khususnya tentang sensor film. Dalam pemeriksaan perkara No. 29/PUU-V/2007 ini pernah dilakukan pemeriksaan persidangan secara tertutup untuk melihat alat bukti berupa potongan-potongan adegan film yang disensor. Sidang dilakukan secara tertutup karena alasan kesusilaan. Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dilakukan secara tertutup karena dalam rapat tersebut hakim konstitusi menyampaikan pendapat untuk pengambilan putusan suatu perkara. Di dalam rapat tersebut terjadi perdebatan antar hakim konstitusi yang dapat berlangsung dalam tensi tinggi. RPH dilakukan secara tertutup untuk menjaga kerahasiaan putusan hakim sampai diucapkan dalam Sidang Pleno yang terbuka. Jika RPH tidak dilakukan secara tertutup akan membuka peluang pihak-pihak tertentu untuk memperjualbelikan informasi kecenderungan putusan atau putusan itu sendiri karena terdapat rentang waktu antara pengambilan putusan dan pengucapan putusan. Untuk menjaga kerahasiaan putusan, RPH hanya diikuti oleh para hakim konstitusi, panitera, panitera pengganti, dan beberapa petugas persidangan yang telah disumpah untuk tidak membocorkan apa pun yang terjadi dan diputuskan dalam RPH. 274
Pengantar Hukum Indonesia
c. Independen dan Imparsial Untuk dapat memeriksa dan mengadili suatu perkara secara objektif serta memutus dengan adil, hakim dan lembaga peradilan harus independen dalam arti tidak dapat diintervensi oleh lembaga dan kepentingan apa pun, serta tidak memihak kepada salah satu pihak yang berperkara atau imparsial. Hal ini berlaku untuk semua peradilan yang dirumuskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang ditegaskan dalam Pasal 2 UU MK. Sedangkan dalam Pasal 3 UU Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan. Independensi dan imparsialitas tersebut memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi fungsional, struktural atau kelembagaan, dan personal. Dimensi fungsional mengandung pengertian larangan terhadap lembaga negara lain dan semua pihak untuk memengaruhi atau melakukan intervensi dalam proses memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Dimensi fungsional itu harus didukung dengan independensi dan imparsialitas dari dimensi struktural dan personal hakim. Dari sisi struktural, kelembagaan peradilan juga harus bersifat independen dan imparsial sepanjang diperlukan agar dalam menjalankan peradilan tidak dapat dipengaruhi atau diintervensi serta tidak memihak. Sedangkan dari sisi personal, hakim memiliki kebebasan atas dasar kemampuan yang dimiliki (expertise), pertanggungjawaban, dan ketaatan kepada kode etik dan pedoman perilaku. Untuk mendukung independensi dan imparsialitas hakim konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, telah ditetapkan PMK No. 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Penerapan dari prinsip independensi tersebut sebagai berikut. 1) Hakim harus menjalankan fungsi judisialnya secara independen atas dasar penilaian terhadap fakta-fakta, menolak pengaruh dari luar berupa bujukan, iming-iming, tekanan, ancaman atau campur tangan, baik langsung maupun tidak langsung, dari siapa pun atau dengan alasan apa pun, sesuai dengan penguasaannya yang saksama atas hukum.
Bab 12: Hukum Acara
275
2) Hakim harus bersikap independen dari tekanan masyarakat, media massa, dan para pihak dalam suatu sengketa yang harus diadilinya. 3) Hakim harus menjaga independensi dari pengaruh lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan lembaga-lembaga negara lainnya. 4) Dalam melaksanakan tugas peradilan, hakim harus independen dari pengaruh rekan sejawat dalam pengambilan keputusan. 5) Hakim harus mendorong, menegakkan, dan meningkatkan jaminan independensi dalam pelaksanaan tugas peradilan baik secara perorangan maupun kelembagaan. 6) Hakim harus menjaga dan menunjukkan citra independen serta memajukan standar perilaku yang tinggi guna memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap peradilan. Pelaksanaan prinsip ketidakberpihakan atau imparsial tersebut adalah: 1) Hakim harus melaksanakan tugas peradilan tanpa prasangka (prejudice), melenceng (bias), dan tidak condong pada salah satu pihak. 2) Hakim harus menampilkan perilaku, baik di dalam maupun di luar pengadilan, untuk tetap menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, profesi hukum, dan para pihak yang berperkara terhadap ketakberpihakan hakim dan peradilan. 3) Hakim harus berusaha untuk meminimalisasi hal-hal yang dapat mengakibatkan hakim tidak memenuhi syarat untuk memeriksa perkara dan mengambil keputusan atas suatu perkara. 4) Hakim dilarang memberikan komentar terbuka atas perkara yang akan, sedang diperiksa, atau sudah diputus, baik oleh hakim yang bersangkutan atau hakim lain, kecuali dalam hal-hal tertentu dan hanya dimaksudkan untuk memperjelas putusan. 5) Hakim – kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya korum – harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena alasan-alasan di bawah ini: a) hakim tersebut nyata-nyata mempunyai prasangka terhadap salah satu pihak; dan/atau 276
Pengantar Hukum Indonesia
b) hakim tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan.
d. Peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan Prinsip peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan dimaksudkan agar proses peradilan dan keadilan itu sendiri dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Prinsip ini sangat terkait dengan upaya mewujudkan salah satu unsur negara hukum, yaitu equality before the law. Jika pengadilan berjalan dengan rumit dan kompleks, berbelit-belit, serta membutuhkan biaya yang mahal, maka hanya sekelompok orang tertentu yang memiliki kemampuan berperkara di pengadilan, dan hanya orang-orang inilah yang pada akhirnya dapat menikmati keadilan. Prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman. Dalam UU MK sendiri sama sekali tidak disebutkan mengenai biaya perkara. Hal ini berbeda dengan beberapa perkara peradilan di bawah MA. Pasal 81A ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa untuk penyelesaian perkara perdata dan tata usaha negara, biaya kepaniteraan dan biaya proses penyelesaian perkara dibebankan kepada pihak atau para pihak yang berperkara. Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 menyatakan bahwa biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan Penggugat atau Pemohon. Pasal 59 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 menyatakan bahwa untuk mengajukan gugatan, Penggugat membayar uang muka biaya perkara yang besarnya ditaksir oleh panitera pengadilan. Dalam proses pembahasan UU MK, pada awalnya terdapat ketentuan tentang biaya perkara. Namun dalam perkembangannya ketentuan tersebut dihilangkan sehingga dapat dimaknai bahwa maksud dari pembentuk undang-undang adalah memang menghapuskan biaya perkara dalam proses peradilan MK. Hal inilah yang menjadi salah satu dasar keputusan Bab 12: Hukum Acara
277
hakim konstitusi untuk menghilangkan biaya perkara dalam peradilan MK. Dengan demikian salah satu prinsip peradilan MK yang lebih tepat adalah cepat, sederhana dan bebas biaya. Dengan tidak adanya biaya perkara tersebut, pembiayaan penanganan perkara di MK sepenuhnya dibebankan kepada anggaran negara. Pembebanan ini rasional karena perkara-perkara di MK menyangkut masalah konstitusional yang di dalamnya kepentingan umum lebih mewarnai dibanding dengan kepentingan individual. Salah satu contoh penerapan prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan berbiaya ringan adalah penggabungan perkara yang memiliki substansi sama, khususnya untuk perkara pengujian UU. Dalam Pasal 11 ayat (6) PMK Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang dinyatakan bahwa penggabungan perkara dapat dilakukan berdasarkan usulan panel hakim terhadap perkara yang (a) memiliki kesamaan pokok permohonan; (b) memiliki keterkaitan materi permohonan; atau (c) pertimbangan atas permintaan Pemohon. Dengan adanya penggabungan perkara maka sidang pemeriksaan terhadap perkara-perkara yang digabungkan dilakukan sekaligus dalam suatu persidangan serta diputus dalam satu putusan. Hal ini akan mempercepat dan menyederhanakan proses persidangan, serta dapat mencegah adanya putusan yang bertentangan dengan materi permohonan yang sama.
e. Hak untuk didengar secara seimbang (audi et alteram partem) Pada pengadilan biasa, para pihak memiliki hak untuk didengar secara seimbang. Para pihak dalam hal ini adalah pihak-pihak yang saling berhadap-hadapan, baik sebagai Tergugat-Penggugat, Pemohon-Termohon, maupun Penuntut-Terdakwa. Dalam peradilan MK tidak selalu terdapat pihak-pihak yang saling berhadapan (adversarial). Untuk perkara pengujian undang-undang misalnya, hanya terdapat Pemohon. Pembentuk undangundang, pemerintah dan DPR tidak berkedudukan sebagai Termohon. Dalam peradilan MK, hak untuk didengar secara seimbang, berlaku tidak hanya untuk pihak-pihak yang saling berhadapan, misalnya partai politik peserta Pemilu dan KPU dalam perkara perselisihan hasil Pemilu, melainkan juga berlaku untuk semua pihak yang terkait dan memiliki 278
Pengantar Hukum Indonesia
kepentingan dengan perkara yang sedang disidangkan. Untuk perkara pengujian undang-undang, selain Pemohon pihak terkait langsung yaitu DPR dan Pemerintah sebagai pembentuk undang-undang juga memiliki hak untuk didengar keterangannya. Bahkan, pihak terkait lain yang berkepentingan secara tidak langsung terhadap undang-undang yang sedang diuji juga akan diberi kesempatan menyampaikan keterangannya. Misalnya, pada saat pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, KPU akan diberikan hak menyampaikan keterangan. Demikian pula pada saat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat diuji, maka organisasi advokat dapat memberikan keterangan. Demikian pula halnya dalam perkara konstitusi yang di dalamnya terhadap pihak yang saling berhadapan, misalnya PHPU, hak menyampaikan keterangan tidak hanya diberikan kepada Pemohon (peserta Pemilu) dan Termohon (KPU), tetapi juga kepada pihak terkait yang berkepentingan, yaitu peserta Pemilu lain yang walaupun tidak ikut berperkara tetapi berkepentingan dengan putusan atas perkara dimaksud. Untuk menjadi pihak terkait dan menyampaikan keterangan dalam persidangan konstitusi, dapat dilakukan dengan mengajukan diri sebagai pihak terkait, atau atas undangan MK.
f. Hakim aktif dalam persidangan Maruarar Siahaan menyebut asas ini “Hakim pasif dan juga aktif dalam proses persidangan”. Hakim pasif dalam arti tidak mencari-cari perkara. Hakim tidak akan memeriksa, mengadili, dan memutus sesuatu sebelum disampaikan oleh Pemohon ke pengadilan. Hal ini merupakan prinsip universal lembaga peradilan. Pada saat suatu perkara sudah masuk ke pengadilan, hakim dapat bertindak pasif atau aktif bergantung dari jenis kepentingan yang diperkarakan. Dalam perkara-perkara yang menyangkut kepentingan individual, hakim cenderung pasif. Sebaliknya, dalam perkara yang banyak menyangkut kepentingan umum, hakim cenderung aktif. Hakim dapat bertindak aktif dalam persidangan karena hakim dipandang mengetahui hukum dari suatu perkara. Hal ini juga sesuai dengan asas ius curia novit, yang juga dapat diterjemahkan bahwa hakim mengetahui hukum dari suatu
Bab 12: Hukum Acara
279
perkara. Oleh karena itu pengadilan tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada hukumnya, dan hakim di pengadilan itu dapat aktif dalam persidangan. Sesuai dengan sifat perkara konstitusi yang selalu lebih banyak menyangkut kepentingan umum dan tegaknya konstitusi, maka hakim konstitusi dalam persidangan selalu aktif menggali keterangan dan data baik dari alat bukti, saksi, ahli, maupun pihak terkait (pemeriksaan inquisitorial). Hakim tidak hanya berpaku kepada alat bukti dan keterangan yang disampaikan oleh Pemohon dan pihak terkait maupun dari keterangan saksi dan ahli yang diajukan oleh pihak-pihak tersebut. Hakim konstitusi untuk keperluan memeriksa suatu perkara dapat memanggil saksi dan/ atau ahli sendiri bahkan memerintahkan suatu alat bukti diajukan ke MK. Hakim konstitusi juga dapat mengundang para pakar yang didengar keterangannya dalam forum diskusi tertutup.
g. Asas Praduga Keabsahan (praesumtio iustae causa) Asas praduga keabsahan adalah bahwa tindakan penguasa dianggap sah sesuai aturan hukum sampai dinyatakan sebaliknya. Berdasarkan asas ini, semua tindakan penguasa baik berupa produk hukum maupun tindakan konkret harus dianggap sah sampai ada pembatalan. Sah dalam hal ini berarti sesuai dengan asas dan ketentuan hukum baik dari sisi materi maupun prosedur yang harus ditempuh. Untuk menyatakan tidak sah tindakan tersebut dapat dilakukan oleh lembaga yang melakukan tindakan itu sendiri maupun oleh lembaga lain yang diberi kewenangan berdasarkan aturan hukum. Sebagai konsekuensi dari asas ini, apabila ada upaya hukum untuk melakukan pengujian terhadap tindakan dimaksud, maka tindakan itu tetap berlaku walaupun sedang dalam proses pengujian. Perwujudan dari asas ini dalam wewenang MK dapat dilihat pada kekuatan mengikat putusan MK sejak selesai dibacakan dalam Sidang Pleno pengucapan putusan terbuka untuk umum. Sebelum adanya putusan MK, maka tindakan penguasa yang dimohonkan tetap berlaku dan dapat dilaksanakan. Hal ini secara khusus dapat dilihat dari wewenang MK memutus pengujian UU, sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, dan perselisihan tentang hasil Pemilu. Suatu ketentuan UU yang sedang diuji oleh MK tetap berlaku dan harus dianggap sah
280
Pengantar Hukum Indonesia
(tidak bertentangan dengan UUD 1945) sebelum ada putusan MK yang menyatakan ketentuan UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara juga demikian, tindakan Termohon harus dianggap sah dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 sebelum ada putusan MK yang menyatakan sebaliknya. Pada perkara perselisihan hasil Pemilu, keputusan KPU tentang penetapan hasil Pemilu yang dimohonkan keberatan oleh peserta Pemilu harus dianggap benar dan dapat dijalankan sebelum ada putusan MK yang membatalkan keputusan KPU itu.
3. Dasar Hukum dan Karakteristik Hukum Acara Mahkamah Konstitusi a. Dasar Hukum 1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (Pasal 7B); 2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Pasal 28 - Pasal 85); 3) Peraturan Mahkamah Konstitusi RI (PMK No. 16/PMK/2009 tentang Pedoman Beracara dalam PHPU, No. 05/PMK/2004 tentang Prosedur Pengajuan Keberatan Atas Penetapan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004, No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, No. 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara), No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, No. 16 Tahun 2009 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, No. 17 /PMK/2009 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, No. 19/PMK/2009 tentang Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filing) dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video Conference), dan No. 19/PMK/2009 tentang Tata Tertib Persidangan.
Bab 12: Hukum Acara
281
b. Karakteristik Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi memiliki karakteristik yang berbeda dengan hukum acara perdata maupun pidana. Karakteristik yang dimaksud adalah sebagai berikut. 1) Perselisihan yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi memiliki karakter tersendiri dan berbeda dengan perselisihan yang dihadapi sehari-hari oleh peradilan biasa. 2) Putusan yang diminta oleh Pemohon dan diberikan oleh Mahkamah Konstitusi akan membawa akibat hukum yang tidak hanya mengenai orang seorang, tetapi juga orang lain, lembaga negara dan aparatur pemerintah atau masyarakat pada umumnya, terutama sekali dalam hal pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (Judicial Review). 3) Nuansa public interest yang melekat pada perkara-perkara semacam itu akan menjadi pembeda yang jelas dengan perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara yang pada umumnya menyangkut kepentingan pribadi dan individu berhadapan dengan individu lain ataupun dengan pemerintah. Ciri inilah yang akan membedakan penerapan hukum acara di Mahkamah Konstitusi dengan hukum acara di pengadilanpengadilan lainnya. 4) Praktik hukum acara yang merujuk pada undang-undang hukum acara yang lain timbul karena kebutuhan yang kadang-kadang dihadapkan kepada Mahkamah Konstitusi, maka ketentuan yang memberlakukan aturan hukum acara pidana, perdata, dan tata usaha negara secara mutatis mutandis dapat diberlakukan dengan menyesuaikan aturan dimaksud dalam praktik hukum acaranya. 5) Jika terjadi pertentangan dalam praktik hukum acara pidana, acara TUN dan acara perdata maka secara mutatis mutandis tidak akan diberlakukan. Aturan ini meskipun tidak dimuat dalam UU Mahkamah Konstitusi, akan tetapi telah diadopsi dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), baik sebelum maupun sesudah praktik yang merujuk undang-undang hukum acara lain itu digunakan dalam praktiknya.
282
Pengantar Hukum Indonesia
4. Pihak yang Berhak Mengajukan Permohonan (Legal Standing) Tidak semua orang diperbolehkan mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi dan menjadi Pemohon. Hanya orang-orang yang memiliki kepentingan hukum sajalah yang dapat mengajukan permohonan. Yang dimaksud dengan standing atau personae standi in judicio adalah hak atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan atau permohonan di depan pengadilan (standing to sue). Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi, yang boleh mengajukan permohonan untuk beracara di Mahkamah Konstitusi untuk pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu sebagai berikut. a. Perorangan warga negara Indonesia; b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang; c. Badan hukum publik atau privat; atau d. Lembaga negara. Selanjutnya Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara No.006/ PUU-III/2005 dan 010/PUU-III/2005 merumuskan secara lebih ketat adanya persyaratan legal standing berdasar hak konstitusional Pemohon, yaitu sebagai berikut: a. Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945. b. Bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji. c. Bahwa kerugian yang dimaksud bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji.
Bab 12: Hukum Acara
283
5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan akan atau tidak lagi terjadi.
5. Beban Pembuktian dan Alat Bukti a. Beban Pembuktian Secara umum terdapat beberapa teori pembuktian terkait dengan beban pembuktian dalam proses peradilan, antara lain teori affirmatif, teori hak, teori hukum objektif, teori kepatutan, dan teori pembebanan berdasarkan kaidah yang bersangkutan. Teori affirmatif adalah teori yang menyatakan bahwa beban pembuktian dibebankan kepada pihak yang mendalilkan sesuatu, bukan kepada pihak yang mengingkari atau membantah sesuatu (pembuktian negatif). Pembuktian secara negatif harus dihindarkan karena dipandang tidak adil berdasarkan asumsi bahwa dalam hukum yang diberikan bukti khusus adalah terhadap suatu hak atau peristiwa, bukan terhadap tidak adanya hak atau peristiwa. Teori hak pada hakikatnya sama dengan teori affirmatif, yaitu siapa yang mengemukakan suatu hak harus membuktikan hak tersebut. Namun teori ini hanya terkait dengan adanya suatu hak, bukan peristiwa atau keadaan tertentu. Teori hukum objektif menyatakan bahwa pihak yang mendalilkan adanya norma hukum tertentu harus membuktikan adanya hukum objektif yang menjadi dasar norma hukum tersebut. Dalam pengujian undang-undang misalnya, pihak yang menyatakan haknya telah dilanggar oleh suatu undang-undang harus membuktikan adanya aturan hukum positif yang secara objektif mengakibatkan haknya dilanggar. Teori kepatutan menyatakan bahwa beban pembuktian diberikan kepada pihak yang lebih ringan untuk membuktikannya. Namun kelemahan dari teori ini adalah tidak mudah untuk menentukan secara pasti pihak mana yang dianggap paling ringan memikul beban pembuktian. Sedangkan teori pembebanan berdasar kaidah yang bersangkutan menentukan bahwa beban pembuktian ditentukan oleh kaidah hukum tertentu. Dalam hukum acara memang terdapat ketentuan undang-undang tertentu yang mengatur siapa yang harus membuktikan, namun ada pula yang tidak menentukannya.
284
Pengantar Hukum Indonesia
Di antara berbagai teori tersebut, tentu masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan dan tidak ada satu pun yang sesuai untuk semua perkara. Oleh karena itu harus dilihat karakteristik perkara atau kasusnya. Di dalam UU Mahkamah Konstitusi tidak ditentukan secara khusus tentang beban pembuktian ini. UU Mahkamah Konstitusi hanya menyatakan bahwa untuk memutus perkara konstitusi, harus didasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti, baik yang diajukan oleh Pemohon, Termohon, atau pihak terkait. Tidak ditentukan siapa yang harus membuktikan sesuatu. Oleh karena itu berlaku prinsip umum hukum acara bahwa barang siapa mendalilkan sesuatu, maka dia wajib membuktikan. Walaupun demikian, karena perkara konstitusi yang sangat terkait dengan kepentingan umum, hakim dalam persidangan Mahkamah Konstitusi dapat aktif memerintahkan kepada saksi atau ahli tertentu yang diperlukan. Oleh karena itu pembuktian dalam peradilan MK dapat disebut menerapkan “ajaran pembuktian bebas yang terbatas”. Dikatakan sebagai bebas karena hakim dapat menentukan secara bebas kepada beban pembuktian suatu hal akan diberikan. Tentu saja dalam menentukan hal tersebut hakim dapat menggunakan salah satu atau beberapa teori dan ajaran pembuktian yang ada. Namun dalam kebebasan tersebut hakim juga masih dalam batasan tertentu. Paling tidak pihak Pemohon yang mendalilkan memiliki kedudukan hukum untuk suatu perkara, harus membuktikan dalil tersebut. Beban pembuktian terkait kedudukan hukum ini tentu saja tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Ketentuan tentang pembuktian “bebas yang terbatas” dapat dijumpai dalam PMK yang mengatur pedoman beracara untuk setiap wewenang MK. Pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (3) PMK No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang menyatakan: 1. Pembuktian dibebankan kepada Pemohon. 2. Apabila dipandang perlu, Hakim dapat pula membebankan pembuktian kepada Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, dan/atau Pihak Terkait. 3. Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, dan/atau Pihak Terkait dapat mengajukan bukti sebaliknya (tegen-bewijs).
Bab 12: Hukum Acara
285
Untuk perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara, Pasal 16 PMK No. 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara menyatakan: 1. Beban pembuktian berada pada pihak Pemohon. 2. Dalam hal terdapat alasan cukup kuat, Majelis Hakim dapat membebankan pembuktian kepada pihak Termohon. 3. Majelis Hakim dapat meminta pihak terkait untuk memberikan keterangan dan/atau mengajukan alat bukti lainnya. Untuk perkara perselisihan hasil Pemilu, setiap pihak diberikan kesempatan untuk melakukan pembuktian apa yang didalilkan. Namun untuk kepentingan pembuktian Mahkamah Konstitusi dapat memanggil KPU provinsi, kabupaten, dan/atau kota untuk hadir dan memberi keterangan dalam persidangan. Sedangkan untuk pembuktian perkara impeachment dibebankan kepada DPR sebagai pihak yang mengajukan pendapat dan Presiden dan/atau Wakil Presiden berhak memberikan bantahan terhadap alat bukti DPR serta mengajukan alat bukti sendiri.
b. Alat Bukti Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 menentukan alat bukti meliputi: a. b. c. d. e. f.
surat atau tulisan; keterangan saksi; keterangan ahli; keterangan para pihak; petunjuk; dan alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu.
Alat-alat bukti yang diajukan ke peradilan Mahkamah Konstitusi, baik yang diajukan oleh Pemohon maupun yang diajukan oleh Termohon dan/ atau pihak terkait, perolehannya atau cara mendapatkannya harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Alat bukti yang didapatkan atau diperoleh dengan cara yang bertentangan dengan hukum (illegally obtained evidence) tidak dapat disahkan oleh hakim konstitusi sebagai alat bukti. Oleh karena itu setiap Pemohon dan/atau pihak lainnya mengajukan alat 286
Pengantar Hukum Indonesia
bukti kepada hakim konstitusi, selalu diperiksa cara memperoleh atau mendapatkan alat bukti tersebut. Untuk alat bukti dari Pemohon, biasanya dilakukan dalam sidang pendahuluan. Alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 memiliki perbedaan dengan alat bukti yang lazim dalam proses peradilan lain. Menurut Maruarar Siahaan, perbedaan tersebut antara lain, tidak dikenal alat bukti pengakuan para pihak dan pengetahuan hakim yang berlaku pada hukum acara PTUN, atau yang dalam hukum acara perdata disebut dengan “persangkaan”, pengakuan, dan sumpah, serta dalam hukum acara pidana disebut dengan keterangan Terdakwa. Pengakuan pihak yang berperkara dipandang tidak relevan dalam Hukum Acara Konstitusi karena hal itu tidak menghilangkan kewajiban hakim konstitusi mencari kebenaran mengingat perkara yang diperiksa dan akan diputus terkait dengan kepentingan umum dan akan mengikat semua warga negara, bukan hanya pihak yang berperkara. Namun demikian, ada pula hal yang tidak termasuk dalam alat bukti namun dalam proses berpekara ternyata memengaruhi pemeriksaan, yaitu “pengetahuan hakim”. Hal ini terjadi terutama dalam perkara pengujian undang-undang di mana salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui makna ketentuan dalam konstitusi adalah dengan mencari maksud dari pembentuk Undang-Undang Dasar (original intent). Di antara hakim periode pertama, terdapat beberapa hakim konstitusi yang mengetahui bahkan terlibat dalam proses pembahasan suatu ketentuan dalam UUD 1945 karena pada saat itu menjadi anggota PAH BP MPR yang merumuskan Perubahan UUD 1945. Bahkan pengetahuan hakim konstitusi dimaksud lebih dalam dan tidak terekam dengan baik dalam risalah rapat Perubahan UUD 1945.
6. Prosedur dan Tata Cara Berperkara a. Permohonan Sebagai lembaga peradilan, Mahkamah Konstitusi menjalankan wewenang yang dimiliki berdasarkan permohonan yang diterima. Istilah yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 adalah “permohonan” bukan “gugatan” seperti dalam hukum acara perdata. Istilah
Bab 12: Hukum Acara
287
“permohonan” memang seolah-olah menunjukkan bahwa perkara yang diajukan bersifat satu pihak (ex parte atau voluntair), padahal dalam kelima wewenang yang dimiliki Mahkamah Konstitusi dapat dikatakan empat di antaranya terdapat pihak Termohon. Istilah “permohonan” digunakan, menurut Maruarar Siahaan, adalah karena nuansa kepentingan umum yang dominan dalam setiap perkara yang ditangani Mahkamah Konstitusi. Walaupun suatu perkara diajukan oleh individu warga negara, namun putusannya berlaku umum dan memengaruhi hukum dan ketatanegaraan. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh Pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian setiap permohonan harus ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya, serta dibuat 12 rangkap. Di dalam permohonan harus diuraikan secara jelas perkara yang dimohonkan terkait dengan salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi. Permohonan harus disertai dengan alat bukti yang mendukung permohonan dimaksud, walaupun tidak menutup kemungkinan Pemohon atau pihak terkait mengajukan bukti tambahan dalam proses persidangan. Selain itu, Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 menentukan bahwa permohonan sekurang-kurangnya harus memuat: a. nama dan alamat Pemohon; b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan sesuai dengan perkara yang dimohonkan; c. hal-hal yang diminta untuk diputus.
b. Pendaftaran Permohonan dan Jadwal Sidang Permohonan yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi diterima oleh petugas penerima permohonan untuk disampaikan kepada Panitera Mahkamah Konstitusi yang akan melakukan pemeriksaan kelengkapan permohonan. Selain berkas permohonan perkara (hard copy) dalam praktik Pemohon juga diminta untuk menyerahkan permohonan dalam bentuk soft copy atau file. Pemeriksaan yang dilakukan oleh panitera ini bersifat kelengkapan administratif, bukan terhadap substansi permohonan. Pemeriksaan administrasi ini misalnya meliputi jumlah rangkap permohonan, surat kuasa, kejelasan identitas, serta daftar alat bukti
288
Pengantar Hukum Indonesia
sebagaimana disyaratkan pada Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003. Permohonan yang dinyatakan belum lengkap belum dapat dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK). Pemohon wajib melengkapi dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak pemberitahuan kekuranglengkapan tersebut diterima Pemohon. Hanya permohonan yang telah dinyatakan lengkap yang dicatat dalam BRPK yang memuat antara lain catatan tentang kelengkapan administrasi disertai dengan pencantuman nomor perkara, tanggal penerimaan berkas permohonan, nama Pemohon, dan pokok perkara. Setelah permohonan dinyatakan lengkap dan diregistrasi dalam BRPK, Mahkamah Konstitusi akan menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu paling lambat 14 hari kerja. Artinya, penetapan jadwal sidang pertama dimaksud adalah paling lambat 14 hari kerja sejak diregistrasi, sedangkan sidang pertama itu sendiri dapat dilakukan lebih dari 14 hari kerja. Penetapan jadwal sidang pertama ini harus diberitahukan kepada para pihak dan diumumkan kepada masyarakat. Pengumuman ini dilakukan dengan cara menempelkan salinan pemberitahuan di papan pengumuman Mahkamah Konstitusi yang khusus disediakan untuk itu. Dalam praktik, pengumuman jadwal sidang juga dilakukan dengan memuat di dalam laman Mahkamah Konstitusi, yaitu, www.mahkamahkonstitusi.go.id. Setiap permohonan yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi dapat ditarik kembali, baik sebelum maupun selama sidang pemeriksaan oleh Mahkamah Konstitusi. Pada saat suatu permohonan ditarik kembali, Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan dimaksud, kecuali dengan alasan konstitusional yang berbeda. Di samping permohonan yang disampaikan secara fisik ke kantor Mahkamah Konstitusi, permohonan juga dapat dilakukan secara online melalui sistem informasi yang dikembangkan dan menjadi satu dengan laman Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, pengajuan perkara secara online harus tetap diikuti dengan penyampaian berkas perkara secara fisik. Permohonan perkara online diatur dalam PMK Nomor 18 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filing) dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video Conference). Untuk mengajukan permohonan secara online, Pemohon harus melakukan registrasi, baik secara Bab 12: Hukum Acara
289
online maupun offline, guna mendapatkan nama identifikasi (user name) dan kode akses (password) untuk dapat mengakses program Sistem Informasi Manajemen Permohonan Elektronik (SIMPEL). Melalui SIMPEL, dapat diajukan permohonan, alat bukti, penambahan dokumen, serta daftar saksi dan ahli yang diajukan. Username dan password tersebut juga akan berfungsi sebagai tanda tangan elektronik (electronic signature) dalam proses perkara di Mahkamah Konstitusi. Permohonan dianggap diterima apabila permohonan dimaksud sudah masuk dalam jaringan komputer Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Apabila permohonan dimaksud telah masuk, Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi menyampaikan konfirmasi kepada Pemohon dan/ atau kuasanya dalam waktu 1 hari setelah dokumen permohonan masuk dalam SIMPEL. Pemohon atau kuasanya harus menjawab konfirmasi itu secara tertulis kepada Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi dalam waktu selambat-lambatnya 3 hari sejak permintaan konfirmasi disampaikan oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Jawaban atas konfirmasi tersebut disertai dengan penyerahan 12 rangkap dokumen asli (hard copy) permohonan. Proses pemeriksaan kelengkapan permohonan dan pemberitahuan dilakukan melalui e-mail. Permohonan online yang telah memenuhi syarat didokumentasikan dan disimpan oleh Panitera disertai dengan penomoran perkara. Panitera mengirimkan Akta Registrasi Perkara kepada Pemohon melalui e-mail dalam waktu 7 hari sejak diregistrasi.
c. Proses Persidangan Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dilakukan dalam Sidang Pleno yang terdiri atas 9 (sembilan) orang hakim konstitusi dan dipimpin oleh ketua. Dalam keadaan luar biasa, sidang dapat dilakukan dengan 7 (tujuh) orang hakim. Secara praktikal, hal ini terjadi apabila ada kematian anggota keluarga dekat, sakit yang dialami hakim yang bersangkutan. Juga apabila salah satu hakim anggota meninggal dunia atau sudah berhenti karena berakhir masa jabatannya, sementara hakim yang menggantikannya belum diangkat dan diambil sumpahnya. Mahkamah Konstitusi dapat membentuk panel hakim yang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga orang hakim yang diberi tugas memeriksa 290
Pengantar Hukum Indonesia
permohonan dalam tahap tertentu, yakni dalam melakukan sidang pemeriksaan pendahuluan, dan untuk memeriksa serta mendengar pembuktian dari pihak-pihak berperkara. Seluruh tugas tersebut selanjutnya akan dilaporkan kepada pleno untuk dibahas sebelum diambil putusan. Dilihat dari materi persidangan terkait dengan proses suatu perkara, sidang Mahkamah Konstitusi dapat dibagi menjadi 4 (empat), yaitu Pemeriksaan Pendahuluan, Pemeriksaan Persidangan, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), dan Pengucapan Putusan. Keempat jenis persidangan tersebut memang dapat dilihat sebagai tahapan persidangan suatu perkara, namun dalam perkara-perkara tertentu dapat terjadi tidak semua jenis persidangan itu dibutuhkan. Terdapat perkara-perkara tertentu yang hanya memerlukan pemeriksaan pendahuluan dan setelah panel hakim konstitusi melaporkan kepada pleno hakim, perkara dimaksud sudah dapat diputuskan. Hal itu dapat terjadi dalam perkara-perkara sebagai berikut: 1) Perkara yang dari sisi Pemohon sudah dapat ditentukan bahwa Pemohon tidak memiliki hak mengajukan permohonan (legal standing) atau materi permohonan bukan merupakan wewenang MK. Untuk perkara demikian dapat langsung diputus dengan amar putusan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Dalam praktik, beberapa perkara yang diputus. 2) Pemohon memiliki legal standing dan materi permohonannya merupakan wewenang MK serta sudah sangat jelas dan dapat segera diputus untuk dikabulkan. Putusan dengan amar dikabulkan yang dilakukan tanpa melalui Pemeriksaan Persidangan, misalnya adalah Putusan No. 102/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Seperti tertuang dalam pertimbangan putusan menyatakan bahwa Pasal 54 UU MK tidak mewajibkan MK meminta keterangan pihak terkait untuk memutus suatu perkara. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa MK dapat meminta keterangan kepada pihak terkait, yang berarti boleh dilakukan dan boleh tidak, bergantung dari perkara dan urgensi keterangan yang diperlukan. Pasal 40 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim. Bab 12: Hukum Acara
291
Dengan demikian, dari 4 (empat) jenis persidangan, semuanya dilakukan secara terbuka untuk umum kecuali rapat permusyawaratan hakim (RPH). Ketentuan itu juga menunjukkan bahwa RPH merupakan rapat tertutup yang bersifat rahasia. Namun dalam praktinya pemeriksaan persidangan dapat dilakukan tertutup berdasarkan keputusan majelis hakim konstitusi.
1) Pemeriksaan Pendahuluan Sidang pertama harus ditetapkan dalam jangka waktu 14 hari setelah permohonan dicatat dalam buku register sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Sidang pertama ini adalah sidang pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh hakim panel terhadap kelengkapan dan kejelasan Pemohon. Dalam praktik pemeriksaan pendahuluan melihat pada dasar legal standing Pemohon dan uraian posita atau petitum. Umumnya hakim memberi saran yang boleh digunakan atau tidak yang kemudian akan memberi waktu bagi Pemohon untuk melakukan perbaikan. Pemeriksaan pendahuluan dapat dilakukan lebih dari satu kali berdasar kebutuhan hakim (panel). Sejumlah hal yang harus dipersiapkan dengan baik oleh pemeriksaan pendahuluan antara lain, sebagai berikut. a) Pemeriksaan kualifikasi Pemohon, kewenangan bertindak, dan suratsurat kuasa. b) Kedudukan hukum atau legal standing Pemohon berdasarkan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. c) Penyederhanaan masalah yang diajukan. d) Kebutuhan perubahan permohonan, sesuai ketentuan undang-undang baik atas saran hakim maupun keinginan Pemohon sendiri. e) Statement of constitutional issues (masalah konstitusi yang diajukan). f) Alat-alat bukti yang diajukan secara full disclosure. g) Saksi dan ahli yang pokok-pokok pernyataannya mendukung permohonan yang diajukan. h) Jumlah saksi dan ahli yang relevan harus dibatasi. i) Pengaturan jadwal persidangan dan tata tertib persidangan.
292
Pengantar Hukum Indonesia
Selanjutnya, perbaikan permohonan disarankan hakim atau yang diinginkan Pemohon serta kelengkapan bukti-bukti lain diajukan tanpa harus menunggu jangka waktu selambat-lambatnya 14 hari sebagaimana diatur dalam undang-undang. Panel kemudian menyampaikan laporan kepada pleno Mahkamah Konstitusi yang isinya pendapat atau rekomendasi bahwa perkara yang diajukan dari segi kewenangan maupun legal standing telah memenuhi syarat dan cukup layak untuk didengar di depan Sidang Pleno dengan menghadirkan pemerintah, DPR, atau pihak terkait.
2) Pemeriksaan Persidangan Berdasarkan asas audi et alteram partem, maka pihak-pihak yang berperkara harus diberi kesempatan untuk memberi keterangan dan menyatakan pendapatnya tentang permohonan dari Pemohon tersebut. Hal ini dilakukan dengan pemberitahuan pada pemerintah, DPR maupun pihak terkait dengan disertai salinan permohonan yang telah diperbaiki dalam pemeriksaan pendahuluan. Pemeriksaan persidangan adalah jenis persidangan yang dilakukan untuk memeriksa permohonan, alat bukti, keterangan Termohon (jika ada), keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan pihak terkait. Untuk kepentingan pemeriksaan persidangan, hakim konstitusi wajib memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan. Lembaga negara dimaksud wajib memberi keterangan yang diminta dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari. Meskipun undang-undang tidak menyebut secara tegas tenggang waktu perihal sahnya pemberitahuan atau panggilan, tetapi secara umum panggilan paling lambat/sekurang-kurangnya tiga hari. Bahkan karena pembuatan keterangan memerlukan koordinasi, Mahkamah Konstitusi mengirimkan pemberitahuan 2 (dua) minggu sebelumnya. Lembaga yang dimaksud dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari wajib memberikan keterangan yang diminta. Dalam praktik, pada persidangan awal diminta kehadiran Menteri Hukum dan HAM sebagai kuasa tetap Presiden/Pemerintah dan Menteri yang menangani secara teknis, minimal harus hadir satu kali. Keterangan yang diberikan adalah keterangan lisan dengan menyatakan keterangan lisan tersebut akan disusul dengan keterangan secara tertulis.
Bab 12: Hukum Acara
293
Hal ini diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No.001/PMK/ 2005. Sebagai salah satu sidang pengadilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dan tunduk pada asas-asas hukum acara yang berlaku, maka persidangan selalu terbuka untuk umum. Selanjutnya sidang dibuka oleh ketua sidang dengan memeriksa kehadiran pihak-pihak melalui perkenalan diri yang dilakukan kuasa Pemohon dan pendamping serta pihak lainnya, yaitu pemerintah, DPR atau pihak terkait, beserta kuasa maupun pendampingnya. Tanggapan terhadap permohonan Pemohon dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi tidak disebut sebagai jawaban Termohon melainkan keterangan pemerintah, DPR, atau pihak terkait. Tahapan pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut: a) Penyampaian pokok-pokok permohonan secara lisan. b) Penyampaian pokok-pokok jawaban Termohon atau keterangan pihakpihak terkait secara lisan. c) Pemeriksaan alat bukti dari Pemohon maupun dari Termohon dan pihak terkait. d) Penyampaian dan pemeriksaan keterangan saksi dan/atau ahli yang diajukan Pemohon. e) Penyampaian dan pemeriksaan keterangan saksi dan/atau ahli yang diajukan oleh Termohon atau pihak terkait. f) Penyampaian kesimpulan oleh Pemohon. g) Penyampaian kesimpulan oleh Termohon dan/atau pihak terkait. Dalam persidangan Mahkamah Konstitusi, selain permohonan, jawaban Termohon dan keterangan pihak terkait serta keterangan ahli juga disampaikan secara tertulis. Oleh karena itu dalam forum persidangan, penyampaian secara lisan dilakukan tidak dengan membaca dokumen tertulis yang telah disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi, melainkan hanya menyampaikan hal-hal pokok yang dipandang penting. Setelah itu dilanjutkan dengan pemeriksaan berupa tanya jawab baik dengan PemohonTermohon, pihak terkait, maupun dengan hakim konstitusi Setelah adanya pertanyaan klarifikasi dari hakim, Pemohon tetap diberi kesempatan untuk menambahkan sesuatu pada permohonannya,
294
Pengantar Hukum Indonesia
sebagai satu tanggapan atas keterangan tertulis atau lisan dari Pemerintah/ DPR. Selanjutnya diberi kesempatan oral argument kepada para pihak secara seimbang dan dibatasi oleh waktu. Pengaturan pembagian waktu maksimum 30 menit yang dapat ditambahkan apabila sangat diperlukan. Klarifikasi juga diatur alokasi waktu secara adil misalnya pertanyaan hakim hanya 2 (dua) menit. Pihak terakhir yang memberi tanggapan haruslah Pemohon.
3) Rapat Permusyawaratan Hakim Di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 hanya terdapat satu ketentuan yang terkait dengan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 menyatakan bahwa sidang MK terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim. Tidak terdapat penjelasan yang dimaksud dengan RPH tersebut. Ketentuan tentang RPH juga tidak diatur dalam PMK. RPH merupakan salah satu jenis dari Sidang Pleno, yang sifatnya tertutup. RPH yang membahas perkara bersifat rahasia yang hanya diikuti oleh para hakim konstitusi, panitera, dan panitera pengganti. Di dalam RPH ini dibahas perkembangan suatu perkara, putusan, serta ketetapan yang terkait dengan suatu perkara. Khusus untuk RPH pengambilan putusan perkara, diatur dalam Pasal 45 ayat (4) sampai dengan ayat (10) UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003.
4) Pengucapan Putusan Sidang pengucapan putusan pada hakikatnya adalah Sidang Pleno, namun berbeda dengan Sidang Pleno pemeriksaan persidangan. Dalam Sidang Pleno pengucapan putusan agendanya adalah pembacaan putusan atau ketetapan Mahkamah Konstitusi untuk suatu perkara yang telah diperiksa dan diadili. Putusan biasanya dibacakan secara bergantian oleh majelis hakim konstitusi, diawali oleh ketua sidang, dilanjutkan oleh hakim konstitusi yang lain, dan pada bagian kesimpulan, amar putusan dan penutup dibacakan oleh ketua sidang lagi. Setiap hakim konstitusi akan mendapatkan bagian tertentu dari putusan untuk dibacakan secara berurutan, kecuali hakim konstitusi yang dalam posisi mengajukan pendapat yang berbeda (dissenting Bab 12: Hukum Acara
295
opinion). Hakim yang mengajukan dissenting opinion atau concuring opinion membacakan pendapatnya sendiri setelah ketua sidang membacakan amar putusan. Sidang Pleno pengucapan putusan harus dilakukan secara terbuka untuk umum. Hal ini merupakan keharusan karena apabila putusan diucapkan dalam persidangan yang tertutup, akan berakibat putusan Mahkamah Konstitusi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam Sidang Pleno pengucapan putusan yang terbuka untuk umum. Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat tetap dan mengikat sejak setelah sidang pengucapan putusan selesai. Terdapat dua jenis putusan hakim dalam suatu proses peradilan, yaitu putusan yang mengakhiri perkara atau sengketa yang diadili atau putusan akhir dan putusan yang dibuat dalam dan menjadi bagian dari proses peradilan yang belum mengakhiri perkara atau sengketa yang disebut dengan putusan sela atau putusan provisi. Putusan sela atau putusan provisi adalah putusan yang diberikan oleh majelis hakim atas permohonan pihak yang bersengketa terkait dengan suatu hal yang berhubungan dengan perkara yang diperiksa. Putusan sela dapat berupa permintaan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau terkait dengan status hukum tertentu sebelum putusan akhir dijatuhkan. Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi, putusan provisi pada awalnya hanya terdapat dalam perkara Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara. Pasal 63 UU Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada Pemohon dan/atau Termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi. Pada perkembangannya, putusan sela juga dikenal dalam perkara pengujian UU dan perselisihan hasil Pemilu. Putusan sela dalam perkara pengujian UU pertama kali dijatuhkan dalam proses pengujian UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), perkara No. 133/PUU-VII/2009. Dalam proses persidangan perkara tersebut atas permohonan dari Pemohon Mahkamah Konstitusi memberikan putusan sela yang pada intinya
296
Pengantar Hukum Indonesia
menyatakan bahwa ketentuan Pasal 30 UU KPK mengenai pemberhentian pimpinan KPK yang menjadi Terdakwa tidak dapat dilaksanakan terlebih dahulu sebelum ada putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian pasal dimaksud. Untuk perkara perselisihan hasil Pemilu, putusan sela diatur dalam PMK Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah; PMK Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan PMK Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Putusan Sela dalam PMK Nomor 16 dan PMK Nomor 17 diartikan sebagai putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum putusan akhir berupa putusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu berkaitan dengan objek yang dipersengketakan yang hasilnya akan dipertimbangkan dalam putusan akhir. Dilihat dari amar dan akibat hukumnya, putusan dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu declaratoir, constitutief, dan condemnatoir. Putusan declaratoir adalah putusan hakim yang menyatakan apa yang menjadi hukum. Misalnya pada saat hakim memutuskan pihak yang memiliki hak atas suatu benda atau menyatakan suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum. Putusan constitutief adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum dan/atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. Sedangkan putusan condemnatoir adalah putusan yang berisi penghukuman Tergugat atau Termohon untuk melakukan suatu prestasi. Misalnya, putusan yang menghukum Tergugat membayar sejumlah uang ganti rugi. Secara umum putusan Mahkamah Konstitusi bersifat declaratoir dan constitutief. Putusan Mahkamah Konstitusi berisi pernyataan apa yang menjadi hukumnya dan sekaligus dapat meniadakan keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru. Dalam perkara pengujian UU, putusan yang mengabulkan bersifat declaratoir karena menyatakan apa yang menjadi hukum dari suatu norma undang-undang, yaitu bertentangan dengan UUD 1945. Pada saat yang bersamaan, putusan tersebut meniadakan keadaan hukum berdasarkan norma yang dibatalkan dan menciptakan keadaan hukum baru. Demikian pula dalam putusan perselisihan hasil Pemilu, putusan
Bab 12: Hukum Acara
297
Mahkamah Konstitusi menyatakan hukum dari penetapan KPU tentang hasil Pemilu apakah benar atau tidak. Apabila permohonan dikabulkan, Mahkamah Konstitusi membatalkan penetapan KPU itu yang berarti meniadaan keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru. Putusan diambil dalam rapat permusyawaratan hakim. Dalam proses pengambilan putusan, setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan. Putusan harus diupayakan semaksimal mungkin diambil dengan cara musyawarah untuk mufakat. Apabila tidak dapat dicapai mufakat, musyawarah ditunda sampai RPH berikutnya. Apabila tetap tidak dapat dicapai mufakat, putusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Di dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 ditentukan bahwa dalam sidang permusyawaratan pengambilan putusan tidak ada suara abstain. RPH pengambilan putusan adalah bagian dari proses memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Oleh karena itu RPH harus diikuti ke-9 hakim konstitusi, kecuali dalam kondisi luar biasa putusan dapat diambil oleh 7 hakim konstitusi. Putusan MK dibuat berdasarkan UUD 1945 sesuai dengan alat bukti yang diperiksa di persidangan dan keyakinan hakim. Putusan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 alat bukti. Putusan yang telah dicapai dalam RPH dapat diucapkan dalam Sidang Pleno pengucapan putusan hari itu juga, atau dapat ditunda pada hari lain. Jadwal sidang pengucapan putusan harus diberitahukan kepada para pihak. Putusan ditandatangani oleh hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus, serta oleh panitera. Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum. Hal ini merupakan konsekuensi dari sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang ditentukan oleh UUD 1945 sebagai final. Dengan demikian Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan pertama dan terakhir yang terhadap putusannya tidak dapat dilakukan upaya hukum. Setelah putusan dibacakan, Mahkamah Konstitusi wajib mengirimkan salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu paling lambat 7 hari kerja sejak putusan diucapkan.
298
Pengantar Hukum Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Abdoel, Djamali. Pengantar Hukum Indonesia Edisi Revisi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012. Abdullah, Rozali. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013. Achmad, Chomzah H. Ali. Hukum Agraria (Pertanahan) Indonesia. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2004. Adolf, Huala. Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional. Bandung: PT Refika Aditama, 2006. Asikin, Zaenal. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012. Asshiddiqie, Jimly. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: BIP Gramedia, 2008. CST. Aknsil, S.H. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 2003. Daliyo, J. B. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Prenhalindo, 2001. De Cruz, Peter. Perbandingan Sistem Hukum (Common Law, Civil Law dan Socialist Law). Jakarta: Nusa Media, 2010. Fuady, Munir. Hukum Kontrak: Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007. Hadjon, Philipus M. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005. 299
Harahap, M.Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2015. —————. Hukum Acara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2015. Harsono, Budi. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Edisi Revisi Cetakan Ketujuh. Jakarta: Djambatan, 1997. Hasyim, Farida. Hukum Dagang. Jakarta: Sinar Grafika, 2012. Ishaq. Pengantar Hukum Indonesia (PHI). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014. Isnaeni, Moch. Perkembangan Hukum Perdata di Indonesia. Yogyakarta: Laksbang Grafika, 2013. Kansil, C.S.T. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Pradnya Paramita, 1988. Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Penerbit Alumni, 2003. Kuswahyono Imam, Anshari S.N. Tunggul. Bunga Rampai Politik dan Hukum Agraria di Indonesia. Malang: UM Pres, 2000. Lubis, Yamin dan Rahim Lubis. Hukum Pendaftaran Tanah. Bandung: Mandar Maju, 2008. Marzuki, Peter Mahmud. Pengantar hukum Indonesia (Civil Law dan Common Law). Jakarta: Kencana Prenada, 2008. Masrriani, Yulies Tiena. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2004. —————. Hukum Kontrak Perancangan Kontrak. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007. Miru, Ahmadi. Hukum Perikatan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011. Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005. Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2014.
300
Pengantar Hukum Indonesia
Ridwan, HR. Hukum Administrasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006. Saidin, OK. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010. Salim H.S,. Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika, 2003. Samidjo. Pengantar Hukum Indonesia. Bandung: Armico, 1985. Siahaan, Maruar. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2015. Siti Soetami, A. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Refika Aditama, 2005. Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1986. Starke. Pengantar Hukum Internasional, edisi kesepuluh. Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 1996. Sutedi, Adrian. Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Triwulan, Tutik. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006. Windari, Ratna Artha. Hukum Perjanjian. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014.
Daftar Pustaka
301
GLOSARIUM
Acara Pemeriksaan Singkat: Acara pemeriksaan terhadap suatu perkara yang diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan, kecuali perkara pelanggaran lalu lintas (Hukum Pidana). Acquisition of land: Pengadaan Tanah, terdiri atas pengadaan tanah secara sukarela (voluntary acquisition of land) dan pengadaan tanah secara wajib (compulsory acquisition of land). Adagium: Pepatah hukum yang berisikan ajaran dari orang terkenal atau ahli; Pedoman ilmiah; Semboyan. Adagium nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali: Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu. Adat: Kebiasaan yang masih dipertahankan dan masih dilakukan sejak dahulu kala oleh masyarakat, apabila tidak dilaksanakan maka masyarakat yang masih mempertahankan kebiasan tersebut akan bereaksi (Hukum Adat). Adat istiadat: Aturan atau tata kelakuan yang diwariskan secara turun temurun, yaitu aturan yang dibuat oleh pemuka adat yang selanjutnya diturunkan hingga sekarang (Hukum Adat) Adatrecht: Hukum adat; segala aturan tingkah laku yang tidak dikodifikasi dan memiliki upaya paksa yang berlaku bagi orang pribumi dan Timur Asing (Hukum Adat). 303
Adjudication: Keputusan yang bersifat menghakimi sebagai hasil proses peradilan. Agraria: Segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah tanah, baik yang berada di dalam tanah maupun di permukaan tanah (Hukum Agraria). Agreement: Suatu perjanjian internasional yang lebih memiliki sifat teknis atau administratif (Hukum Internasional). Ahli waris: Orang yang memiliki hak mendapatkan atau menerima harta waris atau harta peninggalan dari seseorang yang telah meninggal (pewaris); Seseorang atau beberapa orang yang menggantikan kedudukan hukum dari orang yang telah meninggal dunia dalam kedudukan hukum harta kekayaan (Hukum Perdata). Akseptan: Orang yang membuat pernyataan akseptasi pada surat wesel. Akseptasi: Suatu pernyataan kesanggupan membayar dari pihak pembayar yang ditulis di atas surat wesel serta ditandatangani oleh pihak pembayar (Hukum Dagang) Akta: Sebuah tulisan yang dibuat dengan unsur kesengajaan menurut peraturan yang berlaku dan disaksikan serta disahkan oleh pejabat resmi untuk dijadikan sebagai bukti tentang suatu peristiwa hukum dan ditandatangani oleh pembuatnya. Akta otentik: yaitu akta yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk digunakan sebagai alat bukti tentang suatu peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya. Alas hak: Dasar hukum yang sah sebagai hak yang mendasari suatu penyerahan atau pemindahan hak milik; peristiwa hukum yang merupakan dasar penyerahan suatu barang. Alat bukti: Alat yang telah ditentukan dalam hukum formal sebagai pembuktian dalam sebuah persidangan. Algemene Bepelingen: Ketentuan-ketentuan umum tentang perundangundangan. Amar: Perintah atau diktum dari suatu putusan.
304
Pengantar Hukum Indonesia
Arbitrase Internasional: Suatu cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan antara berbagai pihak yang berbeda kewarganegaraan. Asas audi et alteram partem: Asas yang menyatakan bahwa kedua belah pihak harus didengar. Asas lex origins: Asas yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan perundang-undangan mengenai status dan kekuasan subjek hukum tetap berlaku bagi warga negara Indonesia yang tinggal di luar negeri (Hukum Internasional). Asas Lex Specialis de rogaat Lex generalis: Asas yang menyatakan bahwa jika terjadi konflik atau pertentangan antara undang-undang yang khusus dengan umum maka yang khusus yang berlaku. Asas Ultra Petita Partium: Asas yang menyatakan Hakim hanya mengadili apa yang dituntut, dilarang memvonis atas perkara yang tidak dituntut atau menjatuhkan vonis lebih dari yang dituntut. Auteurswet: Undang-undang hak cipta; Undang-undang yang mengatur semua bentuk hasil ciptaan seorang pengarang yang menciptakan karangan tentang kesusastraan, ilmu pengetahuan dan kesenian, diatur dan dilindungi dari usaha-usaha pencurian, penjiplakan atau pembajakan. Badan hukum: Organisasi, perkumpulan di mana pendiriannya dilakukan dengan akte otentik dan oleh hukum diperlakukan sebagai personal atau sebagai orang; Suatu badan yang dapat memiliki harta kekayaan, hak serta kewajiban seperti orang pribadi. Banding: Upaya hukum banding dilakukan apabila salah satu pihak baik pihak Penggugat atau pihak Tergugat tidak menerima suatu putusan pengadilan karena merasa hak-hak nya terserang oleh akibat adanya putusan itu. Banding Administratif: Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara secara administratif yang dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan (Hukum Tata Usaha Negara). Bantuan hukum: Bantuan yang diberikan oleh seorang ahli atau penasihat hukum kepada seorang Terdakwa di pengadilan.
Glosarium
305
Berita Acara Pemeriksaan (BAP): Catatan atau tulisan bersifat otentik dalam bentuk tertentu yang memuat uraian tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang dipersangkakan dengan menyebut waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, identitas pemeriksa dan yang diperiksa, serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara. Bekwaam: Cakap; Mampu menurut hukum; Syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah di antaranya yaitu harus dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Beleidregel: Keputusan-keputusan yang berisi peraturan kebijakan (Hukum Tata Negara). Beschikkings: Keputusan hukum yang bersifat menentukan atau menetapkan sesuatu secara administratif yang melahirkan sebuah keputusan (Hukum Administrasi Negara). Besluit: Surat yang berisi pernyataan pengangkatan seseorang menjadi pegawai negeri tetap, setelah melalui masa percobaan enam bulan sampai satu tahun lamanya. Bestuursrecht: Hukum administrasi negara; Hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban aparat pemerintahan, alatperlengkapan pemerintahan beserta lembaga-lembaganya agar terjadi keserasian dalam menyelenggarakan fungsinya. Bezit: Suatu keadaan di mana seseorang mengusai suatu kebendaan, baik dengan diri sendiri maupun dengan perantaraan orang lain, dan yang mempertahankan atau menikmatinya selaku orang yang memiliki kebendaan itu. Bill of exchange: Surat tanda bukti utang yang ditarik oleh kreditur dan diterima oleh debitur yang berbentuk badan hukum bukan bank. Bill of lading: Tanda bahwa barang sudah diapalkan sesuai dengan persyaratan dalam L/C dan sesuai dengan prinsip incoterm. Bilyet Giro: Surat perintah tak bersyarat dari nasabah kepada bank penyimpan dana untuk memindahkan sejumlah dana dari rekening giro yang bersangkutan kepada pihak penerima yang disebutkan namanya.
306
Pengantar Hukum Indonesia
Bukti permulaan: Keadaan, perbuataan dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana. Burgerlijk Wetboek: Kitab Undang-undang Hukum Perdata; Kodifikasi hukum perdata yang disusun di negeri Belanda. Cadastre: Rekaman yang menunjuk pada luas, nilai dan kepemilikan terhadap suatu bidang tanah (Hukum Agraria). Cek: Surat perintah yang ditujukan kepada bank untuk membayar sejumlah uang yang tertulis dalam surat itu dan merupakan alat pembayaran. Cessie: Suatu akte yang harus dibuat dalam rangka penyerahan piutang yang didapat atas nama seseorang atau badan hukum. Civil law: Hukum sipil berdasarkan kode sipil terkodifikasi yang berakar dari hukum Romawi yang dipraktikkan oleh negara-negara Eropa kontinental, termasuk bekas jajahannya. Common law: Hukum yang berdasarkan kebiasaan berdasarkan preseden atau judge made law. Conventie: Suatu persetujuan antar negara atau bangsa yang bersumber pada adat kebiasaan dalam ketatanegaraan. Creditverband: Bentuk lain dari hipotek yang diperuntukkan bagi tanah hak milik adat orang Indonesia asli (Hukum Agraria). Culpa: Kealpaan; kekhilafan; ketidaksengajaan (Hukum Pidana). Daluwarsa: Lewatnya tenggang waktu yang ditetapkan undang-undang, sehingga mengakibatkan orang yang menguasai barang memperoleh hak milik (Hukum Perdata). Dapat dibatalkan: Suatu perbuatan baru batal setelah ada putusan hakim yang membatalkan perbuatan tersebut, sebelum ada putusan maka perbuatan hukum yang bersangkutan tetap berlaku. Delik: Tindak pidana; Perbuatan melanggar undang-undang atau hukum yang diancam dengan hukuman. Delik aduan: Tindak pidana yang hanya dapat dituntut karena adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan.
Glosarium
307
Derdenverzet: Suatu perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang tadinya tidak ada sangkut pautnya dengan perkara akan tetapi putusan itu telah merugikan pihak ketiga tersebut. Domein verklaring: Suatu surat yang berisi pernyataan bahwa tanah atau siapa pun yang tidak dapat dibuktikan bahwa tanah itu milik seseorang atau perseorangan maka tanah itu menjadi milik negara. Duplik: Jawaban kedua Tergugat terhadap replik yang diajukan Penggugat. Eigendom: Milik mutlak; Barang yang ada dalam keadaan penguasaan mutlak menurut hukum yang berlaku; Hak yang dimiliki seseorang di mana dengan hak tersebut orang itu dapat berbuat apa saja dengan benda yang dimilikinya. Eksekusi: Pelaksanaan terhadap suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Eksepsi: Surat jawaban yang digunakan untuk mengemukakan pembelaan. Ganti rugi: Sanksi yang dapat dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi prestasi dalam suatu perikatan untuk memberikan pengganti berupa biaya, rugi, dan bunga. Gugatan Tata Usaha Negara: Permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat tata usaha negara dan diajukan ke pengadilan Tata Usaha Negara. Hak atas tanah: Hak yang memeberikan kewenangan untuk menggunakan tanah, demikian pula tubuh bui dan air serta ruang yang ada di atasnya, sekadar diperlukan untuk kepentingan yang berhubungan dengan penggunaan tanah tersebut. Hak guna usaha: Hak untuk mengusahakan tanah negara minimal 5 hektar dalam jangka waktu yang terbatas dan tertentu, yaitu maksimal 25 atau 35 tahun yang dapat di perpanjang dengan maksimal 25 tahun di bidang pertanian, perikanan atau peternakan. Hak guna bangunan: Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunanbangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri yang jangka waktunya juga terbatas dan tertentu, yaitu maksimal 30 tahun yang dapat di perpanjang dengan maksimal 20 tahun.
308
Pengantar Hukum Indonesia
Hak kebendaan: Suatu kekuasaan absolut yang diberikan hukum kepada subjek hukum agar ia dapat langsung menguasai suatu benda di manapun benda itu berada. Hak pakai: Hak untuk menggunakan dan/atau akan memungut hasil dari tanah negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan atau perjanjian pemberiannya. Hukum acara perdata: Hukum yang mengatur cara berproses atau berperkara dalam sidang pengadilan untuk mendapatkan suatu putusan dari pengadilan perdata. Hukum acara pidana: Suatu hukum yang mengatur cara untuk menegakkan dan melaksanakan tertib hukum pidana dalam hal terjadinya suatu pelanggaran, dan dengan cara bagaimana negara harus menunaikan hak pidana atau hak menghukum kepada pelanggar hukum jika terjadi pelanggaran. Hukum adat: Dulu disebut volksrecht atau hukum rakyat; Hukum yang benar-benar hidup dalam kesadaran hati nurani rakyat sebagai pencerminan dari adat yang telah melembaga. Inbreng: Harta kekayaan bawaan; hibah yang wajib diperhitungkan. Inkracht: Suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Issuing bank: Bank penerbit; Bank yang membuka atau menerbitkan L/C (Hukum Dagang). Ius constituendum: Hukum yang masih harus ditetapkan; Hukum yang dicita-citakan. Ius constitutum: Hukum yang berlaku saat ini bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu. Ius curia novit: Pendapat yang menyatakan bahwa hakim tahu akan hukumnya sehingga hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu tuntutan hak dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Ius gentium: Hukum yang diturunkan dari tata tertib alam yang mengatur masyarakat segala bangsa yaitu hukum alam.
Glosarium
309
Judge made law: Putusan hakim yang berdasarkan jurisprudensi, yaitu peradilan mengenai perkara yang sama dengan putusan yang sama; Hukum yang timbul karena putusan-putusan hakim. Judicial decisions: Putusan-putusan hakim. Judicial review: Usaha pengujian oleh lembaga yudisial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan legislatif, eksekutif ataupun yudikatif. Jurisprudence: Suatu pengetahuan hukum yang sistematis dan terorganisasikan tentang gejala hukum, struktur kekuasaan, normanorma, hak-hak dan kewajiban. Kekuatan eksekutorial: Kekuatan untuk melaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan secara paksa oleh alat-alat negara. Kurator: Orang yang bertugas mengawasi orang yang berada di bawah pengampuan. Kurator kepailitan: Balai harta peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah pengawasan hakim pengawas. Kwade trouw: Dengan hati tidak jujur, dengan itikad jahat. Legal standing: Pihak yang berhak mengajukan permohonan dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi. Legalitas: Mengenai atau dalam keadaan sah; Keabsahan. Memori banding: Penjelasan secara tertulis yang diajukan oleh pembanding yang akan menguatkan permohonan bandingnya. Memori kasasi: Penjelasan secara tertulis yang memuat alasan-alasan atau keberatan-keberatan yang diajukan terhadap keputusan yang dimohonkan kasasi yaitu keputusan hakim banding. Nebis in idem: Asas yang menyatakan bahwa tidak boleh satu perkara yang sama yang sudah diputus, diperiksa dan diputus lagi untuk kedua kalinya oleh Pengadilan. Nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali: Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu. Jika sesudah
310
Pengantar Hukum Indonesia
perbuatan dilakukan ada perubahan dalam Peraturan PerundangUndangan, maka yang dipakai adalah aturan yang paling ringan sanksinya bagi Terdakwa. Oktroi: Hak paten; Hak khusus yang diberikan pemerintah kepada orang atau badan yang menghasilkan suatu penemuan baru yang berfungsi untuk melindungi penemuan tersebut dari peniruan oleh pihak lain. Onrechtmatige daad: Gugatan berisi tuntutan penggantian kerugian karena perbuatan melawan hukum. Pacta sunt sevanda: Suatu perjanjian mengikat layaknya undang-undang bagi para pihak. Parate executie: Pelaksanaan yang langsung tanpa melewati proses pengadilan atau hakim. Pelanggaran: Tindak pidana yang ancaman hukumannya lebih ringan daripada kejahatan. Pembuktian: Suatu usaha untuk menunjukkan benar atau salahnya Terdakwa dalam sidang pengadilan. Personae standi in judicio: Hak atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan atau permohonan di depan pengadilan. Privilege: Hak istimewa yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang yang kedudukan peminjamnya lebih tinggi daripada peminjam lainnya. Raad van Justitie: Pengadilan pada zaman penjajahan Belanda yang saat ini adalah pengadilan negeri. Ratifikasi: Pengesahan satu perjanjian antara negara atau secara internasional menjadi undang-undang; Pernyataan resmi negara untuk diikat oleh ketentuan-ketentuan traktat. Rechtstaat: Negara hukum; Negara di mana hukum merupakan dasar kekuasaan atau sumber segala kekuasaan untuk mengatur dan menegakkan negara itu. Rechtsvinding: Penemuan hukum; Mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkret. Res nullius: Tidak adanya kepemilikan atas suatu benda.
Glosarium
311
Risiko: Kewajiban menanggung suatu kerugian akibat dari suatu kejadian yang tidak terduga dan terjadi di luar kesalahan atas barang yang diperjanjikan. Saksi: Orang yang terlibat atau dianggap mengetahui terjadinya suatu tindak pidana, kejahatan atau suatu peristiwa. Samengesteld: Delik gabungan; Delik yang terdiri dari beberapa perbuatan pidana. Sanksi: Ancaman hukuman; Alat pemaksa guna ditaatinya suatu kaidah, undang-undang, norma hukum. Staatsrecht: Hukum Tata Negara: Keseluruhan norma hukum yang mengatur bagaimana suatu negara harus disusun atau dibentuk, bagaimana pemerintahan negara diselenggarakan dengan menciptakan badan-badan pemerintahan. Traktat: Perjanjian antar bangsa; Persetujuan antara dua negara atau lebih. Tuntutan hak: Tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah eigenrichting. Ubi societas ibi ius: Di mana ada masyarakat, disana ada hukum. Uit voerbaar bij voorraad: Tuntutan agar putusan dinyatakan dapat dilaksanakan lebih dulu. Verjaren: Mendapatkan atau memperoleh sesuatu karena lewat waktu atau daluwarsa. Verstek: Gugatan Penggugat dikabulkan dengan putusan di luar hadirnya Tergugat, karena Tergugat tidak datang setelah dipanggil dengan patut. Verset: Upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya Tergugat. Voidable: Pembatalan perjanjian yang disebabkan karena tidak terpenuhinya syarat subjektif sahnya perjanjian. Vonis: Putusan hakim yang belum memiliki kekuatan hukum tetap sehingga masih tersedia upaya hukum biasa. Wetboek van Strafrecht: Kitab Undang-undang Hukum Pidana Wetboek van Koophandel: Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
312
Pengantar Hukum Indonesia
Wilayah hukum: Daerah kekuasaan dari suatu badan pengadilan untuk menerima pengaduan dan mengadili sesuatu kasus perkara yang menjadi tanggung jawab suatu badan pengadilan tersebut. Yuridis: Menurut hukum; Dari segi hukum. Yurisdiksi: Kekuatan mengadili; Kekuasaan hukum. Zakenrecht: Hukum benda; Keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara subjek hukum dengan benda dan hak kebendaan.
Glosarium
313
INDEKS
A Acquisition 263 Adat 9, 10, 23, 31, 42, 44, 45, 50, 55, 56, 57, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 80, 81, 84, 125, 126, 128, 129, 249, 251, 253, 255, 259, 260, 266, 282, 381 Adjudication 165 Advisory opinion 283 Adversarial 374 Affirmatif 382 Afrika 56 Agraria 27, 96, 105, 130, 141, 245, 246, 247, 248, 249, 250, 251, 252, 253, 254, 255, 290 Agreement 224 Akseptasi 207 Akta 275, 276, 277,279, 287, 288, 308, 332, 333,339, 369, 391 Algemene 21, 26, 28, 29, 41, 130, 131, 172, 289 Amar 311, 393, 399, 401 Amerika 52, 53, 54, 188 Anglo Saxon 50, 53, 54, 55 Arbitrase 279, 284
Asia 6, 27, 52, 55, 56, 61, 94, 170, 230, 328, 368, 398 Audi et alteram partem 298, 326, 365, 374, 395 Auteurswet 220, 221, 222, 226 B Banding 25, 48, 79, 119, 190, 304, 315, 316, 333, 335, 336, 337, 338, 373 Belligerent 285 Bekwaam 89 Beleidregel 165 Beschikkings 10, 165, 180 Besluit 20, 23, 26, 28, 29, 129, 130, 131 Bestuursrecht 172 Bezit 100, 101, 102, 103, 104, 105, 119, 120 Bilyet giro 210 Burgerlijk Wetboek 28, 30, 42, 83, 130, 233 C Cadastre 269 Cessie 100 315
Cremer 69 Civil law 50, 51, 52, 53, 58 Common law 50, 53, 58, 198, 199 Corak hukum 21, 39, 40, 42, 62, 75, 297 Condemnatoir 312, 401 Constitutief 401, 402 Culpa 151 D De acheers 72 Declaratoir 401, 402 Derdenverset 342 Delik 64, 79, 80, 81, 124, 150, 151, 223, 346 Delik aduan 150, 151, 223 Delik biasa 150, 151, 223 Domein 251, 254 Duplik 333, 335 E Enkelvouding 150 Eigendom 102 Eropa kontinental 50, 51, 52, 53, 54, 55 Eksekusi 340, 342 Eksepsi 311 Eksekutorial 324 F Freijer 23 G Gugatan 103, 121, 294, 298, 299, 303, 304, 305, 306, 311, 312, 323, 325, 331, 332, 333, 335, 336, 372, 380, 387 H Hans Kelsen 6, 176 Hindia Belanda 20, 21, 23, 27, 30, 31, 32, 33, 40, 41, 43, 44, 45, 68, 70, 316
Pengantar Hukum Indonesia
82, 83, 84, 85, 123, 129, 132, 134, 136, 137, 141, 231 I Inbreng 198 Inkracht 339 Issuing bank 212 Ius constitutum 9, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 19, 39 Ius constituendum 3, 12, 13, 36, 39 Ius curia novit 365, 375 Ius gentium 272, 273 J Judge made law 55 Judicial review 170, 171, 379 Jurisprudence 2, 5 K Kompedium 23 Kurator 331 L Legal standing 322, 380, 381, 392, 393, 394, 395 Legalitas 142, 262, 349 Lex origins 289 Lex Specialis de rogaat Lex generalis
M Mahkamah Agung 69, 166, 170, 301, 302, 315, 317, 318, 319, 324, 327, 338, 341, 342, 363, 372 Mahkamah Konstitusi Memori banding 316, 335, 337, 338, Memori kasasi 338 N Nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali 142, 349,
O Oktroi 100, 193 Ordonansi 31, 45, 193, 217, Ouderlijke Macht 93 Overspel 93, 151, 177, 232, 233, P Pacta sunt servanda 278 Pembuktian 82, 87, 107, 117, 118, 119, 192, 269, 292, 299, 307, 308, 310, 322, 325, 339, 360, 363, 382, 383, 384, 385, 392 Personae standi in judicio Perdata 12, 13, 22, 24, 25, 27, 28, 30, 31, 41, 42, 46, 55, 61, 70, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 89, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 103, 105, 108, 109, 112, 113, 115, 116, 120, 121, 126, 130, 173, 175, 181, 186, 187, 189, 190, 197, 198, 200, 204, 215, 231, 238, 272, 274, 275, 287, 288,294, 297, 321, 328, 330, 372, 379, 380, 386, 387 Pidana 25, 29, 30, 31, 33, 43, 55, 58, 87, 117, 123, 124, 126, 127, 128, 130, 131, 136, 137, 141, 142, 143, 147, 155, 156, 184, 186, 223, 238, 274, 319, 321, 328, 343, 345, 347, 348, 350, 351, 352, 353, 356, 357, 360, 361, 380, 386, 400 Politik hukum 20, 21, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 46, 47, 48, 68, 248, praesumptio iustae causa 365 Privilege R Raad van justitie 31, 32, 33, Ratifikasi 59, 224 Recht 1, 5, 9, 12, 14, 18, 26, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 38, 39, 55, 63, 68, 72,
80, 87, 88, 89, 95, 102, 123, 130, 131, 132, 135, 137, 138, 139, 140, 152, 158, 159, 161, 172, 173, 174, 175, 178, 179, 180, 187, 190, 226, 231, 246, 172, 273, 323, 324, 362, 364 Rechtstaat 26 Rechtsvinding 39, 364 Res nullius 107 S Samengesteld 150 Sanksi 2, 4, 5, 6, 8, 12, 14, 15, 73, 74, 79, 125, 142, 156, 174, 175, 184, 238, 239 Staatsrecht T Thomas Aquinas 7 Traktat 164, 275, 276, 277, 279 Treaty 224, 282 Tullius Cicero 7 U Ubi societas ibi ius 1 Ultra Petita Partium 325 V Van vollenhoven 4, 63, 65, 70, 79, 173, 178, 180 Verstek 332, 335, 336, 340 Verset 332 Voidable 116 W Wilsverklaring 297 Wetboek van Strafrecht 29, 131, 132, 138, 139, 140, 152 Wetboek van Koophandel 28, 30, 42, 130, 195, 234
Indeks
317
Y Yuridis 136, 174, 220, 226, 269, 297, 354 Yudisial 166, 170
318
Pengantar Hukum Indonesia
Z Zakenrecht 95, 102, 192
BIODATA PENULIS
319