PENGANTAR NANOTEKNOLOGI
Editor: Prof. Mikrajuddin Abdullah Institut Teknologi Bandung
Bandung 2012
Daftar Isi Bab 1 Pendahulua
1
Mikrajuddin Abdullah Bab 2 Sistem Reverse Osmosis(RO) Menggunakan Membran Nano Filtrasi untuk Pengolahan Air
21
Abdul Rajak Bab 3 Memori berbasis Si/Ge/Si Quantum Dot MOSFET dengan High-k Material
39
Adha Sukma Aji Bab 4 Partikel Nano untuk Sunscreen menggunakan TiO 2
55
Alvina Kusumadewi K Bab 5 Nanorobotika untuk Sistem Deug Delivery yang Efisien
65
Donald Hary Pratama Bab 6 Organic Light Emitting Diode
77
R. Dunden Gilang Muharam Bab 7 Aplikasi Graphene Untuk Lithium Ion Battery
90
Fadli Rohman Bab 8 Biosintesis Nanopartikel Perak Menggunakan Air Rebusan Daun Bisbul (Diospyrosblancio)
103
Febri Berthalita Pujaningsih Bab 9 Titik Kuantum
116
Fitria Rahayu Bab 10 Divais Termoelektrik
132
Ganjar Kurniawan S Bab 11 SnO 2 untuk Aplikasi Sensor Gas
142
Herlin Pujiarti Bab 12 Karakterisasi Struktural dan Mekanis Lapisan Nanokomposit dalam Nanoscale
155
Idham Pribadi Muchammad Bab 13 Silikon Nanowire (SiNW) dan Aplikasinya
171
Irfan Firdaus S Bab 14 Karbon Nanofiber
183
Iskandar Bab 15 Nanoteknologi pada Pertanian
207
Khairiah Bab 16 Aplikasi Partikel Nano-Silika Pada Material Kontruksi
226
Mega Nurhanisa Bab 17 Indium Tin Oxide (ITO) untuk Aplikasi Solar Cell
238
Naily Ulya Bab 18 Aplikasi Nanoteknologi untuk Pembuatan Nano Fiber Pada Bidang Tekstil Menggunakan Alat Elektrospinning
247
Nety Fitrianingsih Bab 19 Aplikasi Carbon Nanotube sebagai Drug Delivery System untuk Terapi Kanker
255
Nila Prasetya Aryani Bab 20 Detektor Gas Etilen pada Buah dengan Carbon Nanotube
264
Nuha Bab 21 Hipertermia Magnetik: Terapi Kanker Menggunakan Nanopartikel Magnetik
272
Riri Murniati Bab 22 Nanocoating dan Pemanfaarannya Tri Siswandi Syahputra
291
Bab 23 Nanokomposit Polimer untuk Aplikasi Plastik Biodegradable (Ramah Lingkungan)
303
Yolla Sukma Handayani Bab 24 Karakterisasi Nanomaterial Menggunakan SEM, TEM dan AFM
325
Abdul Muid Bab 25 Blokade Coulomb (Coulomb Blockade)
355
Anggi Puspita Swardhani Bab 26 Graphene
375
Anton Prasetyo Bab 27 Karakterisasi Sifat Mekanik Nanokomposit Logam
407
Deny Hardiansyah Bab 28 Aplikasi Nanokristal ZnO pada Solar Cell
436
Dicky Anggoro Bab 29 Sintesis Nanomaterial
471
Ea Cahya Septia Mahen Bab 30 Carbon Nanotube
502
Elfi Yuliza Bab 31 Nanowire
538
Maria Ulfa Bab 32 Resonant Tunneling Diode
571
Rahmat Awaludin Salam Bab 33 Nanokomposit Polimer
593
Rahmat Firman Bab 34 Efek Ukuran Pada Sifat Kimia Nano
623
Ratna Dewi Syarifah Bab 35 Nanofluida Shanty Merissa
647
Bab 36 Quantum Dots
671
Siti Ala’a Bab 37 Sel Surya Quantum Dot Dui Yanto Rahman
697
Kata Pengantar Isi buku ini merupakan kumpulan tugas mahasiswa yang mengambil mata kuliah Fisika Material dan Divais Nano di Program Magister Fisika Institut Teknologi Bandung. Para mahsasiswa diminta membuat makalah review tentang nanoteknologi dengan bahasa yang lebih mudah dipahami. Agar tulisan tersebut bermanfaat bagi pembaca dari spektrum yang lebih luas, tulisan tersebut digabung menjadi satu draft monograf. Draft ini direncanakan akan diterbitkan secara resmi dalam bentuk monograf setelah dilakukan sejumlah koreksi. Para mahasiswa telah diminta untuk menghindari plagiarisme dalam membuat tulisan. Walaupun demikian, masih ada sejumlah gambar yang belum memiliki referensi. Sebelum diterbitkan secara resmi, gambar-gambar tersebut akan dilengkapi daftar rujukan sehingga tidak ada lagi penggunaan karya penulis lain yang tanpa dilengkapi rujukan. Sambil melakukan perbaikan, saya berinisiatif membagi tulisan ini kepada yang berminat. Saya sangat berharap ada saran, kritik, atau apa saja yang penting untuk memperbaiki draft ini. Juga, jika ada penerbit yang bersedia menerbitkannya, saya sangat berterima kasih.
Bandung, Desember 2012 Editor
Dr.Eng. Mikrajuddin Abdullah Profesor bidang Fisika Nanomaterial Institut Teknologi Bandung Email:
[email protected]
Bab 1 Pendahuluan Oleh : Mikrajuddin Abdullah Nanoteknologi adalah teknologi yang didasarkan pada rekayasa sifat-sifat material yang berukuran nanometer. Namun nanoteknologi tidak melulu bermakna pengecilan ukuran material atau piranti ke dalam skala nanometer. Misalkan material ukuran besar yang dimilling (ditumbuk) hingga mencapai ukuran nanometer. Langkah ini belumlah dikatakan nanoteknologi. Ketika ukuran material direduksi maka harus ada sifat-sifat baru yang diekploitasi atau diciptakan, dan eksploitasi sifat baru itulah yang digolongkan nanoteknologi. Pembedaaan antara nanomaterial/nanopartikel dengan material/partikel konvesional tidak hanya didasarkan pada ukuran di mana salah satu mempunyai ukuran yang sangat kecil dan yang lain memiliki ukuran besar. Pengelompokan tersebut juga didasarkan pada seberapa besar/jenis rekayasa atau manipulasi yang dilakukan pada material/partikel tersebut untuk menghasilkan sifat atau fungsi baru. Jadi, nanoteknologi juga harus menyangkut juga rekayasa sifat dalam ukuran tersebut. Sebagai ilustrasi sederhana, misalkan emas. Andaikan ketika emas diubah menjadi partikel dalam ukuran nanometer tidak mengubah sifat emas tersebut, atau sifat emas berukuran nanometer persis sama dengan sifat emas ukuran besar, maka nanopartikel emas tersebut tidak termasuk ranah nanoteknologi. Tetapi pengamatan menunjukkan bahwa emas dalam skala nanometer memperlihatkan sifat-sifat baru seperti menjadi sangat reaktif (dalam ukuran besar emas adalah logam inert/sulit mengalami reaksi kimia), memiliki titik leleh yang turun drastis ketika ukurannya makin kecil, memancarkan warna yang berbeda bergantung pada ukuran. Ini berarti bahwa aplikasi emas dalam skala nanometer masuk dalam ranah nanoteknologi. Nanoteknologi lebih banyak dibangun atas pendekatan bottom-up, yaitu menyusun material mulai dari atom menjadi nanopartikel atau nanostruktur lainnya. Dengan pendekatan ini maka jumlah atom, jenis atom, maupun cara penyusunan atom-atom tersebut dapat dikontrol yang berimplikasi pada pengontrolan/rekayasa sifat material yang dihasilkan. Dengan kata lain, kita dapat membuat material dengan sifat yang benar-benar baru. Pendekatan secara top-down tidak banyak menggenerasi sifat baru dari material tersebut. Sifat baru material skala nanometer yang diproduksi dengan pendekatan top-down biasanya akan dihasilklan setelah dilakukan proses tambahan, misalnya doping nanomaterial yang dihasilkan dengan atom jenis lain, atau memberi perlakuan fisis atau kimiawi tambahan. Hingga saat ini para ilmuwan masih mempercayai bahwa material dalam skala nanometer adalah material dengan dimensi di bawah 100 nm. Skala ini disepakati karena sudah ada material yang memperlihatkan sifat-sifat baru ketika ukuranya sekitar 100 nm. Namun, banyak juga material yang baru memperlihatkan sifat-sifat
1
yang baru kalau ukurannya lebih kecil lagi hingga di bawah 10 nm. Contohnya adalah penurunan titik leleh logam dapat diamati ketika ukurannya di bawah 10 nm dan penurunan yang signifikan diamati ketika ukurannya di bawah 5 nm. Logam emas yang semula adalah material inert (sulit mengalami reaksi kimia) berubah menjadi sangat reaktif ketika ukurannya di bawah 3 nm. Nanoteknologi mulai dieksploitasi sejak masuk tahun 2000-an. Namun, sebenarnya makhluk hidup telah memanfaatkan “nanoteknologi” ini sejak ribuan tahun yang lalu. Misalnya tokek yang bisa menempel sangat kuat di dinding. Totek dapat merayap di kaca dalam posisi terbalik (tubuh berada di bawah) yang mengindikasikan betapa kuatnya tempelan kaki tokek pada kaca. Di kaki tokek terdapat rambut-rambut yang sangat halus (Gambar 1.1). Rambut tersebut mengandung atom-atom dengan jumlah per satuan luas sangat banyak. Ingat, makin kecil ukuran material maka jumlah atom per satuan luas permukaan makin besar. Tiap atom di kaki tokek melakukan gaya van der Waals dengan atom di dinding. Tiap atom menghasilkan gaya tarik tertentu. Karena banyak sekali atom di rambut-rambut kaki tokek maka banyak sekali atom yang melakukan gaya van der Walls dengan atom di dinding sehingga dihasilkan gaya tarik yang sangat besar. Gambar 1.2 adalah ilustrasi gaya van der Walls antara molekul dengan dinding.
Gambar 1.1 Kaki tokek mengandung rambat-rambut yang sangat halus. Rambut yang sangat harus mengandung jumlah atom per luas permukaan yang sangat besar. Tiap atom melakukan gaya tarik van der Walls dengan atom di dinding. Karena banyak sekali atom pada rambut yang berikatan van der Walls maka gaya tarik yang dihasilkan menjadi sangat besar (sumber gambar: http://thebeautybrains.com). Dunia kosmetik juga telah memanfaatkan nanoteknologi walaupun dalam bentuk teknologi yang sangat sederhana. Contohnya adalah penggunaan nanopartikel dalam lotion, cream, atau sampo. Dalam lotion tabir surya (sunscreen) banyak digunakan nanopartikel seng oksida (ZnO) atau titanium dioksida (TiO 2 ). Material tersebut memiliki lebar pita energi yang sesuai dengan energi sinar ultraviolet. Ketika cahaya matahari mengenai material tersebut maka sinar ultraviolet diserap oleh
2
material tersebut dan spektrum cahaya tampak (visibel) diloloskan. Penggunaan material tersebut dalam lotion mencegah sinar ultraviolet mengenai kulit sehingga si pemakai terhindar dari kerusakan kulit atau kanker kulit.
Gambar 1.2 Molekul (atas) menempel di substrat (bawah) karena adanya gaya van der Waals antara atom pada molekul dengan atom pada substrat (sumber: http://amadm.unileoben.ac.at) Gambar 1.3 memperlihatkan spekturm absorpsi nanopartikel ZnO. Tampak bahwa nanopartikel tersebut memiliki kemampuan penyerapan sangat tinggi pada panjang gelombang kurang dari 370 nm (ultraviolet) dan hampir meloloskan semua panjang gelombang di atas 370 nm (cahaya tampak). Sifat inilah yang dimanfaatkan dalam lotion tabir surya.
Gambar 1.3 Spektrum absorbs nanopartikel ZnO (D. Sarkar, S. Tikku, V. Thapar, R. S. Srinivasa, and K. C. Khilar, Colloids and Surfaces A: Physicochemical and Engineering Aspects 381, 123–129 (2011)) 3
Dengan mengatur ukuran partikel maka material tersebut dapat memiliki sifat yang berbeda. Jika ukuran partikel sangat kecil (di bawah 10 nm) maka ZnO atau TiO 2 bersifat transparan terhadap cahaya tampak sehingga cream yang dihasilkan hanya menyerap ulytaviolet tetapi tidak mengganggu warna kulit. Warna kulit pemakai cream tetap alami (apa adanya). Jika ukuran partikel lebih besar maka partikel tersebut akan menghamburkan cahaya putih. Penggunaan partikel tersebut dalam lotion akan memiliki fungsi ganda: menyerap ultraviolet dan membangkitkan cahaya putih. Cream inilah yang berfungsi sebagai cream pemutih. Pemakai cream tersebut akan menampilkan warna kulit yang lebih putih. Gambar 1.4 adalah contoh cream pemutih sekaligus pelindung dari ultraviolet produksi Olay.
Gambar 1.4 Contoh cream pemutih sekaligus sebagai penyerap ultraviolet produksi Olay (sumber gambar: http://ebay.com.au). Aplikasi lain dari TiO 2 adalah pemanfaatan sifat fotokatalitik dari material tersebut. Katalis adalah material yang membantu proses reaksi kimia. Dengan adanya katalis maka zat yang semula tidak dapat bereaksi menjadi dapat bereaksi. Dengan adanya katalis maka reaksi yang semula lambat bisa menjadi cepat. Katalis hanya membantu terjadinya reaksi kimia atau membantu mempercepat reaksi kimia tanpa ikut habis bereaksi. Setelah reaksi berlangsung maka katalis tetap ada dalam jumlah yang sama dan siap untuk terlibat dalam reaksi selanjutnya. Jumlah katalis yang digunakan dalam reaksi juga tidak banyak. Hal ini memang karena secara teori katalis tidak pernah habis, berapa pun banyak zat yang bereaksi. Beberapa katalis dapat langsung berfungsi ketika dicampurkan ke dalam zat yang akan bereaksi. Namun sebagian katalis memerlukan kondisi atau lingkungan khusus agar dapat berperan dalam reaksi kimia. Contohnya adalah fotokatalis. Material ini hanya bisa menjadi katalis ketika dikenai cahaya. Jadi agar reaksi kimia dapat berlangsung di bawah pengaruh katalis tersebut maka katalis harus terusmenerus disinari cahaya. Contoh yang terkenal fotokatalis adalah TiO 2 . Dari sudut pandang fisika, fenomena ini dapat dijelaskan dengan mudah. Titanium dioksida adalah bahan semikonduktor dengan lebar celah pita energi sekitar 3,2 eV. Energi sebesar ini kira-kira sama dengan energi foton sinar ultraviolet. Praktis material ini mendekati sifat isolator karena celah pita ini sangat lebar. Ketika dikenai
4
cahaya tampak, sifat material tersebut tidak berubah. Namun, jika disinari dengan ultraviolet maka elektron yang berada di puncak pita valensi dapat menyerap foton tersebut dan loncat ke pita konduksi. Akibatnya terciptalah pasangan elektron (di pita konduksi) dan hole (di pita valensi). Jika ukuran partikel sangat kecil, misalnya dalam orde nanometer, maka elektron dan hole yang dihasilkan dengan mudah mencapai permukaan partikel karena jarak permukaan ke lokasi diciptakan pasangan elektronhole tersebut sangat kecil. Ketika bersentuhan dengan molekul-molekul yang ada di sekitar permukaan partikel maka elektron dan hole dapat meloncat ke molekulmolekul tersebut dan menghasilkan radikal di sekitar permukaan partikel. Dari sisi kimiawi, radikal adalah atom atau molekul atau gugus yang sangat reaktif. Ketika bertemu dengan molekul lain maka radikal tersebut dapat “menghancurkan” molekul yang dijumpainya melaui reaksi kimia. Sifat TiO 2 yang dapat menginduksi munculnya radikal sehingga menginisiasi reaksi kimia dimanfaatkan dalam sejumlah bidang. Salah satunya adalah pembuatan kaca yang dapat membersihkan dirinya sendiri (self cleaning). Prinsipnya cukup sederhana. Permukaan kaca dilapisi dengan nanopartikel TiO 2 . Lapisan dibuat sangat tipis. Karena nanopartikel TiO 2 transparan terhadap cahaya tampak maka pelapisan tersebut tidak mengganggu kebeningan kaca. Misalkan kotoran atau debu menempel di kaca. Biasanya kaca dibersihkan dengan cara mencuci kemudian melap. Kadang mencuci dengan air tidak sanggup menghilangkan kotoran tersebut.
Gambar 1.5 Kaca yang dilapisi nanopartikel TiO 2 akan bersih dengan sendirinya dari kotoran ketika dikenai air hujan karena terjadinya reaksi kimia pada kotoran tersebut. Ini berkat sifat fotokatalitik yang dimiliki titanium TiO 2 . Dengan adanya TiO 2 yang dicoating di kaca maka pembersihan dalam berlangsung dengan sendirinya. Ketika cahaya matahari mengenai kaca maka nanopartikel TiO 2 menjadi aktif, menghasilkan pasangan elektron dan hole dan pada akhirnya menghasilkan radikal di sekelilingknya. Radikal tersebut menginduksi reaksi kimia di sekitar kotoran sehingga melemahkan tempelan kotoran pada kaca. Ketika turun hujan atau ketika kendaraan yang menggunakan kaca tersebut dihembus angin
5
saat dikendarai maka kotoran yang sudah terikat lemah akan lepas dengan mudah (Gambar 1.5). Pada akhirnya kaca akan bersih dengan sendirinya (tidak perlu kita bersihkan). Dengan pelapisan semacam ini maka dapat dikatakan pula bahwa kotoran sulit menempel di kaca. Setiap ada kotoran yang menempel maka kotoran tersebut akan dibersihkan dengan sendirinya. Ini berakibat kaca akan selalu bersih dan halus. Dengan kondisi kaca yang selalu bersih dan halus maka air yang jatuh di kaca dengan segera mengalir tanpa membentuk titik-titik air. Kaca semacam ini akan kelihatan selalu bening meskipun dalam kondisi hujan. Mobil-mobil mewah sekarang sudah dilengkapi kaca semacam ini. Dalam kondisi hujan pun kaca tetap benintg meskipun tidak menggunakan wiper. Ada masalah serius yang dihadapi industri mikroelektronika sekarang ketika ingin meningkatkan lebih jauh keadalan divasi yang dihasilkan. Dalam usaha meningkatkan kapasitas penyimpanan maupun meningkatkan kecepatan proses maka salah satu pilihan adalah mereduksi ukuran divais. Saat ini memang mikroprosessor telah dibuat dengan ukuran kanal di bawah 100 nm. Dari sisi dimensi, perancangan prosesor sudah memasuki dimensi nanometer. Prosesor Intel Prescott sudah menggunakan kanal dengan ukuran 90 nm. Jika ukuran komponen kecil maka kecepatan pemrosesan menjadi lebih cepat dan jumlah komponen menjadi lebih banyak. Keduanya akan berimplikasi pada makin besarnya konsumsi daya listrik untuk mengoperasikan prosessor tersebut. Makin besar listrik yang diperlukan akan makin meningkatkan panas yang dibuang prosessor. Prosessor akan menjadi lebih cepat panas. Lebih lanjut, jika ukuran kanal makin kecil maka hambatan ohmik kanal akan membesar. Teori menyatakan bahwa jika ukuran konduktor makin kecil (dalam orde nanometer) maka kondukstivitas listriknya makin kecil. Konduktivitas yang makin kecil berarti hambatan listrik yang makin besar. Jika hambatan makin besar maka makin banyak panas yang akan dihasilkan dalam rangkaian tersebut.
Gambar 1.6 Mula-mula electron berada di sebelah kanan isolator (balok hitam). (a) Elektron tidak dapat menembus bahan isolator, diindikasikan oleh fungsi gelombang menjadi nol dalam bahan isolator. (b) Elektron dapat menembus bahan isolator yang sangat tipis (proses penerobosan/tunneling), diindikasikan oleh fungsi gelombang yang tidak nol di luar bahan isolator.
6
Ukuran yang makin kecil juga menyebabkan kekuatan material makin kecil. Seperti telah dijelaskan, jika ukuran material masuk dalam orde nanometer maka titik lelehnya makin rendah. Jadi pengecilan ukuran divais menghasilkan sejumlah efek samping yang sama-sama menurunkan keandalan divais. Yang meningkat dari reduksi ukuran tersebut hanyalah kecepatan perosesan serta kapasitas komponen yang dapat dibuat. Tetapi implikasi lain yang tidak dikehendaki adalah daya listrik yang makin besar, panas yang terlalu tinggi, divais secara mekanik menjadi lemah, sehingga kerusakan divais akan makin cepat. Reduksi ukuran memiliki batas yang sulit untuk dilanjutkan lagi. Ketika ukuran divais makin kecil, misalnya saat membuat persambungan semikonduktor, maka proses penerobosan (tunneling) akan makin bersar peluang untuk terjadi (Gambar 1.6). Fenomena ini melahirkan arus kebocoran. Arus kebocoran yang besar akan mengurangi keandalan alat. Sebagai contoh, ketika membuat kapasitor maka antara dua elektroda disisipkan isolator (bahan dielektrik, Gambar 1.7). Tidak boleh ada muatan listrik yang melewati lapisan isolator tersebut agar muatan yang tersimpan dalam kapasitor tidak hilang. Jika lapisan isolator memiliki ketebalan dalam orde nanometer, maka fenomena terobosan electron dari elektroda negatif ke eletroda positi makin mudah terjadi. Akibatnya, muatan tidak bisa bertahan lama di dalam kapasitor. Penerobosan elektron dalam waktu yang tidak terlalu lama menyebabkan semua elektron pada elektroda negatif pindah ke eletroda positif. Kapasitor yang semula penuh berisi muatan menjadi kosong dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Gambar 1.7 Struktur kapasitor Diperkirakan pembuatan divais dengan mereduksi ukuran akan berhwnti tahun 2018 karena tidak mungkin lagi melakukan reduksi lebih lanjut. Di samping beberapa masalah yang disebutkan di atas, teknologi pencetakan (etching) sudah tidak dapat digunakan untuk membuat kanal-kanal yang lebih kecil lagi. Oleh karena itu, reduksi lebih lanjut ukuran divais harus menggunakan cara yang benar-benar benda. Dan pada akhirnya pada ahli harus membuat divais dengan prinsip kerja yang benar-benar berbeda dengan prinsip kerja divais yang ada saat ini. Tumpuan harapan adalah nanoteknologi. Dalam divais nanoteknologi, transistor tidak lagi berbentuk persambungan semikonduksot pnp atau npn tetapi hanya satu nanopartikel yang dihubungkan oleh kawat-kawat ukuran beberapa nanometer. Transistor ini dikenal
7
dengan single electron transistor (SET). Gambar 1.8 adalah perbedaan struktur transistor konvensional dan SET.
Gambar 1.8 (a) Struktur transistor konvesional dan (b) struktur single electron transistor Kapasitor bukan lagi dua konduktor yang dibatasi lapisan isolator tetapi berupa material dalam dimensi nanometer. Jumlah muatan yang disimpan bukan lagi dalam orde mikrocolumb atau nanocoulumb, tetapi hanya beberapa elektron. Satu elektron membawa muatan 1,6 x 10-19 C. Dapat dibayangkan betapa sedikit muatan yang disimpan kapasitor berbasis material nano. Peneliti IBM telah mengembangkan transistor dari CNT dengan kemampuan yang jauh melampauai transitor yang berbasis silikon. Dibuktikan dalam laboratorium bahwa transistor CNT dapat membawa arus listrik dua kali lebih benyak daripada transistor terbaik yang ada di pasar. Peneliti dari University of New South Wales berhasil membuat transistor secara bottom-up dengan cara menyusun atom satu per satu menggunakan alat yang bernama Scanning Tunneling Microscope (STM). Alat ini dapat mencabut atom dari suatu posisi dan menempatkan di posisi yang lainya. Transisor yang mereka buat 8
merupakan transistor terkecil yang pernah dibuat hingga saat ini dan mungkin menjadi transtor terkecil hingga beberapa dekade mendatang (Gambar 1.9). Keberhasilan pengembangan transistor ini menjadi awal yang baik dalam merealisasikan komputer super canggih yang bernama komputer kuantum. Komputer kuantum adalah komputer yang memiliki cara kerja benar-benar berbeda dengan komputer saat ini. Sistem pengolahan sinyal pada komputer saat ini masih menggunakan fisika klasik. Sebaliknya, komputer kuantum akan menggunakan teori fisika kuantum dalam pemrosesan sinyal dan diyakini lebih powerfull daripada pengolahan sinyal pada komputer yang ada saat ini. Yang masih menjadi kendala adalah transistor ini baru bisa bekerja jika suhu -391 fahrenheit. Sekarang para peneliti melakukan kajian bagaimana agar transistor ini dapat bekerja pada suhu yang lebih tinggi, yaitu di sekitar suhu kamar. Dengan suhu tersebut maha tidak diperlukan peralatan penidngin tambahan agar computer yang dibuat dapat beroperasi.
Gambar 1.9 Transisotr terkecil yang dibuat dengan STM oleh peneliti dari University of New South Wales. Satu atom fosfor ditempatkan di tengah-tengah dua elektroda. Ketika diberikan tegangan kecil antara dua elektroda maka diamati kurva srus tegangan yang menyerupai kurva Field Effect Transisort (FET) (sumber gambar: http:// www.circuitstoday.com). Hal yang juga penting untuk dikembangkan adalah piranti penyimpan energi dalam jumlah besar namun ukurannya kecil (kerapatan energi yang disimpan sangat tinggi). Salah satu piranti tersebut adalah kapasitor. Kapasitor yang dijual saat ini masing menyimpan energi dalam jumlah yang kecil. Kebocoran muatan juga menjadi masalah yang masih terus diselesaikan. Kebocoran muatan yang disimpan, meskipun cukup kecil tetap mengurangi efektivitas penyimpanan. Kebocoran menyebabkan divais tersebut tidak dapat digunakan untuk menyimpan energi dalam waktu yang cukup lama karena dalam selang waktu yang lama muatan yang disimpan bisa habis. Apa yang dikejar para peneliti adalah membuat kapasirot dengan kapasitas penyimpanan sangat tinggi dengan kebocoran seminimal mungkin. Salah satu jawaban pada permasalahan ini adalah pengembangan superkapasitor. Penyimpan energi listrik yang dikenal saat ini adalah baterei dan kapasitor. Baterei dapat menyimpan energi yang cukup banyak. Tetapi proses penyimpanan energi dalam baterei sangat lama. Menyimpan eenrgi dalam baterei artinya mengisi 9
(charge) baterei tersebut. Dan kita semua tahu bahwa diperlukan waktu berjam-jam untuk mengisi penuh baterei kecil sekalipun (baterei hp). Baterei hp yang baru dibeli perlu diidi sekitar 6 jam. Sebaliknya kapasitor dapat diisi dalam waktu yang sangat pendek. Untuk kapasitor kecil, waktu pengisian hanya dalam orde mikrodetik. Namun, energi yang disimpan dalam kapasitor sangat kecil. Diperlukan kapasitor yang luar biasa besar untuk menghasilkan eenrgi yang cukup untuk menjalankan peralatan elektronik dalam beberapa jam. Para ahli mencari piranti yangh menggabungkan kelebihan baterei (menyimpan eenrgi dalam jumlah besar) dan kemapuan kapasitor (dapat diisi dalam waktu yang sangat pendek). Jawaban dari masalah ini adalah superkapasitor. Superkapasitor adalah kapasitor yang dapat menyimpan energi ratusan sampai ribuan kali kemapuan kapasitor yang ada saat ini. Jadi yang dilakukan adalah desain kaapsitor jenis baru dengan kapasitas penyimpanan yang tinggi. Bagaimana ide ini dapat dilakukan. Energi disimpan dalam kapasitor dalam bentuk muatan listrik. Makin besar muatan listrik maka makin besar eenrgi yang disimpan. Jumlah muatan listri yang disimpan sebanding dengan kapasitansi kapasitor. Dengan dmeikian, agar kapasitor dapat menyimpan eenrgi dalam jumlah besar maka kapasitansi kapasitor harus besar. Bagaimana memeprbesar kapasitansi kapasitor? Kita ingat rumus
C = κ ε 0 A/d dengan κ adalah konstanta dielektrin isolator antar dua elektroda kaapsitor, ε 0 adalah permitivitas ruang hampa, A luas penampang kapasitor, dan d adalah jarak antar elektroda. Untuk memperbesar kapasitansi maka jarak antar pelat kapasitor (tebal isolator) harus sekecil mungkin. Tetapi ini ada batasnya. Jika isolator terlalu tipis maka terjadi kebocoran electron dari pelat bermuatan negative ke pelat bermuatan positif serhingga lama-kelamaan muatan dalam kapasitor hilang (saling menetralkan). Cara lain adalah menaikkan konstanta dielektrik isolator antara dua pelat. Yang menjadi problem lagi adalah ketika ketebalan isolator (dielektrik) tersebut diperkecil dalam orde nanometer maka nilai constant dielektrik mengecil. Konstanta dielektrik material berkurang jika ketebalan material makin kecil. Cara lain adalah memperbesar luas penampang elektroda kapasitor. Ini berimplikasi pada pembesaran ukuran kapasitor yang jelas tidak sesuai dengan keinginan membuat kapasitor dengan kapasitansi besar tetapi ukuran tetap kecil. Hal di atas dapat dijawab dengan nanoteknologi. Suatu permukaan bahan bisa diperbesar tanpa mengubah dimensi (panjang, lebar, maupun tinggi) dengan membuat permukaan bahan tersebut berpori. Makin kecil ukuran pori maka makin besar luas permukaan bahan tersebut. Luas permukana di sini adalah luas permukaan tempat electron bisa keluar. Jadi, kalau pori dibuat dalam ukuran nanometer maka luas permukaan menjadi sangat besar dan bisa meningkat hingga ratusan atau ribuan kali lebih besar daripada luas permukaan yang halus (tanpa pori). Para ahli membuat superkapasitor dengan menggunakan elektroda yang mengandung nanopori (Gambar 1.10). Peneliti dari Drexel University menggunakan elektroda karbon dengan bentuk seperti bawang, di mana satu partikel disusun oleh
10
sejumlah atom karbon dalam pola konsentris, serupa dengan lapisan-lapisan pada bawang. Diameter tiap partikel yang dibuat antara 6 – 7 nm. Tebal total kapasitor yang dibuat sekitar 0,000001 meter (1 mikrometer).
Gambar 1.10 Contoh struktur superkapasitor yang memiliki elektroda berpori (sumber gambar: http://eetimes.com) Teknologi display yang ada saat ini memang sudah mencapai kemajuan luar biasa. Kita bisa menonton televisi atau video pada display yang ukurannya sangat besar dengan gambar yang sangat tajam menyerupai foto. Tetapi ada sisi lain yang masih membatasi kepuasan orang. Ukuran display yang sangat besar membuat display sangat kaku dan sulit dipindahkan. Walaupun display yang dibuat saat ini sudah cukup tipis, seperti display LED terbaru, namun ukuran yang sangat besar menyulitkan pemindahan. Hanya posisi tertentu di rumah yang mungkin bagi penempatan display tersebut. Tidak semua bagian rumah cukup luas untuk menempatkan display berukuran besar. Bayangakan andaikata ada display yang bisa dilekuk-lekukkan atau bisa digulung ketika tidak digunakan. Karena bisa digulung maka display tersebut akan mudah dipindahkan tanpa merusak display. Saat tidak digunakan display tersebut dapat digulung sehingga tidak memakan tempat. Ketika ruang tidak terlalu besar maka display tersebut dapat dipasang dalam posisi melengkung. Untuk mewujudkan display semacam ini maka satu-satunya harapan adalah nanoteknologi. Salah satu harapan adalah Organic Light Emitting Diodes (or OLEDs) berbasis materal dalam skala nanometer. OLEDs adalah LED yang berbasis bahan organik (polimer). Display OLED lebih murah dari display LED anorganik (seperti LED bebasis bahan semikonduktor kristal). OLED terbuat dari lapisan polimer dengan ketebalan sekitar 100 nm. Salah satu keunggulan OLED adalah film polimer dapat dibuat di semua bentuk material
11
dengan proses yang sangat sederhana serupa dengan proses pencetakan pada kertas menggunakan printer ink-jet. Kelemahan OLED saat ini adalah umur pakai yang lebih pendek dan lebih redup daripada LED anorganik. Saat ini OLED banyak digunakan pada display kecil yang dilihat dari jarak dekat seperti telepon genggam maupun layar laptop. Namun, perusahaan elektronik besar seperti Samsung dan LG memngembangkan OLED untuk display ukuran besar (Gambar 1.11). Kelebihan lain OLED yang tidak dimiliki display lain adalah dapat digulung karena merupakan lapisan tipis polimer sehingga sangat fleksibel.
Gambar 1.11 Contoh OLED yang digunakan pada perlatan elektronik saat ini. (atas) TV 155 inci yang terbuat dari OLED dan (bawah) display OLED yang dapat digulung. Peneliti dari Massachussect Institute of Technology (MIT) sedang mengembangkan quantum dot-OLED. Quantum dot memancarkan cahaya di mana panjang gelombangnya bergantung pada ukuranya. Dengan memanupulasi ukuran maka hampir semua warna dapat dihasilkan oleg quantum dot dari bahan yang sama. Jika ukuran diperkecil maka quantum dot akan memancarkan cahaya di daerah biru dan jika ukurannya sangat besar cahaya yang dipancarkan berada di daerah merah. Harapan untuk membuat display generasi baru adalah menggunakan carbon nanotube (CNT). CNT adalah material yang sangat ringan dan sangat kuat di dunia. CNT juga dapat dilipat dengan sudut lipatan yang sangat besar tetapi dapat kembali ke kondisi semula. CNT dapat digunakan sebagai display karena sifat CNT yang
12
memancarkan pendaran warna yang berbeda ketika dimensinya berbeda. CNT dengan diameter sangat kecil memancarkan pendaran biru. CNT dengan diameter lebih besar memancarkan pendaran hijau dan diameter lebih besar lagi memancarkan pendaran merah (Gambar 1.12). Tiga warna tersebut: biru, hijau, dan merah merupakan dasar untuk memproduksi semua warna. Jadi display dibuat dengan menggunakan CNT dengan tiga ukuran diameter, yang disusun secara teratur. Tiga ukuran CNT membentuk satu pixel. Karena ukuran CNT hanya beberapa nanometer maka ukuran pixel yang dihasilkan juga dalam orde nanometer. Dengan demikian, display dengan resolusi yang sangat tinggi (kerapatan pixel sangat besar) dapat dihasilkan.
Gambar 1.12 Pendaran warna CNT bergantung pada diameternya (seumber gambar: http://www.ece.rice.edu/~irlabs/aqw.htm) Karena CNT merupakan material yang sangat kuat maka display yang dibuat juga akan sangat kuat. CNT memiliki kekuatan sekitar 100 kali baja. Karena hanya merupakan gulungan beberapa lapis atom karbon, sebagian besar ruang dalam CNT adalah ruang kosong. Akibatnya CNT merupakan material yang sangat ringan. Dengan sifat ini maka display yang dibuat dari CNT akan memiliki kekuatan yang sangat tinggi tetapi sangat ringan. Perusaan Rosster dari Cyprus telah membuat display CNT yang dikomersialkan. Nanoteknologi juga diharapkan akan mempercepat transfer data dalam piranti elektronik. Transfer data yang ada saat ini dilakukan melaui aliran pulsa listrik di dalam jalur konduktor seperti kawat tembaga, emas, aluminium atau timah solder yang digunakan untuk membuat persambungan antar komponen. Dengan berkembanganya teknologi fiber optik terbukti bahwa transfer data menggunakan gelombang cahaya jauh lebih cepat. Lebih cepat di sini bukan karena aliran pulsa cahaya yang jauh lebih cepat daripada aliran pulsa listrik (aliran pulsa cahaya dan pulsa listrik sama cepatnya), namun karena dengan cahaya, informasi yang dibawa per satuan detik lebih banyak. Dengan menggunakan pulsa listrik maka ada batas miminimum waktu untuk merepresentasikan satu data. Dengan gelombang cahaya maka batas minimum waktu untuk merepresentasikan satu data jauh lebih pendek.
13
Dengan kata lain, jika menggunakan cahaya maka lebar satu data lebih kecil daripada jika menggunakan gelombang listrik. Akibatnya untuk selang waktu yang sama, jumlah data yang dibawa gelombang cahaya lebih banyak. Teknologi fiber optik telah membuktikan ini. Satu fiber optik dapat tersambung ke lebih banyak telepon daripada satu kabel tembaga yang digunakan pada jalur telepon konvensional Atas dasar pemikiran ini maka para ahli mencoba membangun piranti yang dapat mentransfer data dengan kecepatan yang sama dengan aliran data pada fiber optic. Kata kuncinya adalah data dalam piranti tidak lagi merambat dalam bentuk pulsa listrik seperti yang ada sekarang, tetapi merambat dalam bentuk pulsa cahaya. Untuk merealisasikan ide tersebut, maka komponen-komponen dalam divais harus merupakan komponen optik. Jalan ke arah ini tampaknya akan terbuka. Salah satu tanda keberhasilan adalah para ahli sanggup membuat laser dalam ukuran nanometer maupun detector optik dalam ukuran nanometer dengan merekayasa nanopartikel. Laser titik kuantum sebagai pemancar data dan detektor titik kuantum sebagai penerima data tersebut. Gambar 1.13 adalah ilusrrasi bagaimana data dipindahkan dari satu komponen ke komponen lain melalui pulsa cahaya. Dalam komponen itu pun data merambat dalam bentuk pulsa cahaya. Kalaupun ada rangkaian elektronik yang masih diperlukan, jumlahnya tidak terlalu banyak dan tidak memiliki efek langsung pada kecepatan transmisi data.
Gambar 1.13 Data dalam divais ditrasfer melalui pulsa cahaya Makin lama, piranti elektonik yang digunakan membutuhkan media penyimpnatan (memori) dengan kapasitas yang makin besar. Saat ini kita sudah terbiasa dengan flash memori dalam ukuran puluhan gigabyte. Namun untuk aplikasi masa depan di mana kapasitas penyimpanan akan lebih tinggi lagi, maka para ahli harus memikirkan cara lain untuk membuat memori. Salah satu yang diyakini akan menjawab pertanyaan tersebut adalah penggunaan nanodot magnetik. Nanodot adalah kata lain dari nanipartikel. Satu nanopartikel menyimpan salah satu momen dari dua momen magnetic. Satu momen magnetic mereprsentasikan satu bit data dan momen lainnya merepsentasikan bit yang lainnya. Misalkan momen magnetic yang menhadap ke atas merepresentasikan bit “0” dan yang menghadap ke bawah merepresentasikan bit “1”.
14
Memori nanti merupakan sususan teratur dari nanodot magnetik tersebut (Gambar 1.14). Jarak antar nanodot bisa sangat kecil sehingga kerapan nanodot (kerapatan data) menjadi sangat tinggi. Nanti memori dengan kapasitas hingga beberapa terabite akan dibuat (1 tera bite = 1000 gigabite). Namun, masih dibutuhkan riset insentif untuk mewujudkan jenis memori ini sehingga memori tersebut kompatibel dengan teknologi mikroleketronika yang berbasis silicon saat ini.
Gambar 1.14 Susunan nanodot magnetic yang membentuk memori. Satu nanodot menyimpan satu data. Di masa mendatang, pengontrolan kesehatan akan dilakukan selamat 365 setahun, 24 jam se sehari. Kondisi kesehatan pasiaen dapat diupdate tiap satu hari atau bahkan tiap satu jam. Berbagai kemungkinan kelainan yang terjadi dalam tubuh, seperti ketidakseimbangan kimiawi, adanya bakteri atau virus berbahaya yang masuk, gula darah, asam urat, denyut jantung, dan sejumlah pneyakit lainnya dengan cepat dapat dideteksi. Untuk maksud tersebut maka di tubuh harus dipasang sensor yang sanggup mendeteksi semua kondisi tersebut. Karena satu sensor pada umumnya hanya efektif untuk mendetekasi satu keadaan maka diperlukan puluhan atau bahkan ratusan sensor yang harus dipasang di tubuh di mana tiap sensor mendeteksi tiap jenis keadaan. Satu sensor hanya untuk mendeteksi gula darah, sensor lain untuk mendteksi asam urat, dan sebagainya. Bagaimana mungkin puluhan sensor dipasang ti tubuh manusia sementara manusia sendiri tetap beraktivitas seperti biasa tanpa diganggu oleh sejumlah alat yang terpasang di tubuh? Salah satu jawabnnya adalah sensor yang dipasang harus dalam ukuran nanometer. Berapa banyak pun sensor yang dipasang, maka ukuran total sensor tersebut tetap sangat kecil. Sensor semacam ini memanfaatkan sifat nanopartikel yang memberikan respons ketika dikenai zat tertentu. Tiap penyakit membawa sifat kimia yang berneda.
15
Ketika sifat tersebut mengenai nanopartikel tertentu maka nanopartikel tersebut memberikan respons fisis. Salah satu resnpos yang mudah untuk ditangkap adalah pendaran cahaya. Jadi perlu didesain material ukuran nanometer yang memancarkan cahaya ketika dikenai suatu zat pembawa penyakit tertentu. Satu jenis partikel dirancang sensitif terhadap penyakit tertentu dan memancarkan pendaran pada panjang gelombang tertentu. Partikel lain didesain sensitif terhadap penyakit lain dan memancarkan pendaran wakrna lainnya. Berdasarkan pendaran warna yang dipancarkan (panjang gelombang) maka dapat diketahui penyakit apa yang mulai ada dalam tubuh manusia sehingga dapat segera diobati sebelum penyakit tersebut menyerang. Pertanyaan, bagaimana memasang puluhan sensor nanopartikel tersebut dalam tubuh? Profesor Heather Clark, dari Northeastern University mengusulkan penggunaan sensor tattoo (Gambar 1.15). Tatto pada dasarnya adalah memasukkan zat tertentu (semacam tinta) di bawah lapisan kulit. Clark mengusulkan pembuatan semacam zat tattoo yang berisi sejumlah nanopartikel sensor. Cairan yang berisi nanopartikel sensor di “tattoo” di bawah lapisan kulit. Partikel tersebut memendarkan cahaya yang khas ketika dalam tubuh terjadi perubahan dari kondisi normalnya. Cahaya yang dipendarkan ditangpak pada detektor yang ada di luar tubuh. Detektor tersebut dapat disimpan di saku baju atau celata, atau dalam bentuk jam tangan yang merekam kondisi tubuh berdasaran informasi yang dibaca sensor pada posisi tattoo. Informasi yang diperoleh dapat ditampilkan di layar tiap saat, sehingga tiap saat kondisi tubuh dapat dipantau.
Gambar 1.15 Suatu saat nanti sensor kesehatan tubuh ditempatkan dalam bentuk tattoo. Bahan tattoo tersebut berupa titik kuantum (nanopartikel) yang memancarkan cahaya tersentu ketika mendeteksi adanya masalah/penyakit dalam tubuh. Dalam alat display juga dilengkapi dengan instruksi-instruksi apa yang harus dilakukan jika ada kondisi tertentu yang menyimpang dari normal. Misalkan orang 16
tersebut disarankan minum obat tertentu, atau menemui dokter, atau lainnya. Dengan cdara demikian maka diharapkan bahwa jumlah orang yang bersangkutan kecil kemungkinan untuk sakit karena kondisi badan sudah diketauhui sejak kondisi awal penyakit tersebut muncul dan pengobatan di tahap paling awal dapat dikalukan. Molekul sensor yang akan mendeksi kelainan dalam tubuh dicantelkan pada permukaan nanopartikel (Gambar 1.16). Molekul tersebut akan memberikan respons warna yang berbeda jika beinterksi dengan molekul tertentu dalam tumbuh yang mengindikasikan penyakit. Lokasi “tattoo” kemudian disinari dengan cahaya tertentu (misalnya cahaya biru) sehingga muncul warna-warna pendaran pada lokasi tattoo. Jenis warna yang muncul member indikasi jenis penyakit apa yang ada dalam tubuh. Foto diambil dengan kamera atau semacam telepon genggam canggih yang sekaligus mengolah gambar yang diperoleh dan hasil olahan dimunculkan dalam bentuk data kondisi kesehatan tubuh serta instruksi untuk melakukan diagnosis atau pengobatan.
Gambar 1.16 Molekul aktif dicantelkan di permukaan nanopartikel. Nanopatikel yang dibungkus zat aktif ini yang digunakan sebagai bahan tattoo. Sejumlah nanomaterial tidak hanya digunakan dalam lotion sebagai tabir cahaya. Sebagian nanopaetikel yang dapat membunuh bakteri juga dicampurkan pada lotion atau dimasukkan dalam semacam bedak gosok tubuh atau dalam sabun mandi. Ketika digosokkan di permukaan tubuh maka material tersebut membunuh bakteri yang ada di kulit. Sebagian nanopartikel dikembangkan dengan menempelkan molekul tertentu yang dapat mengenal bakteri atau virus dalam aliran darah. Ketika mertemu dengan bakteri atau virus maka molekul pada permukaan nanopartikel mengikat bakteri atau virus. Nanopartikel itu sendiri merupakan material yang dapat mendekomposisi bakteri atau virus. Dengan demikian, ketika dalam darah ada bakteri, molekul pada permukaan nanopartikel menempel pada bakteri dan nanopartikel membunuh bakteri tersebut. Pada akhirnya darah manusia selalu bebas dari bakteri atau virus penyebab menyakit. Penelitian yang sedang dikembangkan oleh Institute of Bioengineering and Nanotechnology and IBM difokuskan untuk menghancurkan bakteri yang banyak dijumpai di tempat keramaian seperti sekolah, kantor, rumah sakit, dan lain-lain. Contoh bakteri tersebut adalah Methicillin-resistant Staphylococcus Aureus (MRSA). 17
Data dari sejumlah laporan menunjukkan bahwa sekitar satu juta orang meninggal tiap tahun akibat bakteri ini. Pernyataan menarik dari Doctor James Hedrick dari Advanced Organic Materials Scientist di IBM, Almaden bahwa jumlah bakteri di tekapak tangan manusia lebih besar daripada total populasi manusia. Jadi, apa yang ada di tangan bisa menjadi sumber penyakit bagi tubuh. Tidak mungkin bakteri tersebut dihilangkan seluruhnya dari tangan. Langkah prefentif yang dilakukan adalah membunuh sebanyak maungkin bakteri penyebab penyakit yang ada di tangan. Dan kalau bakteri tersebut terlanjur masuk ke dalam tubuh maka bakteri tersebut harus bisa dihancurkan dalam tubuh. Nanopartikel yang dibuat tersebut bersifat seperti magnet bagi bakteri. Nanopartikel seolah ditarik ke arah bakteri dan tidak ditarik ke arah sel sehat. Ketika menyentuh bakteri penariknya maka nanopartikel tersebut menghancurkan bakteri bersangkutan (mendekomposisi material penyusun bakteri). Nanomaterial dapat dibuat sangat ringan, sangat kuat, dan berumur sangat panjang, melebihi material yang dikenal selama ini. Sifat yang ringan dan kekuatan yang tinggi sanggat potensial untuk membuat alloy aluminium untuk digunakan sebagai bahan pembuatan body pesawat. Penggunaan material seperti itu akan mereduksi bobot pesawat hingga mendekati setengah bobot mula-mula. Bobot yang ringan menyebabkan pengematan yang luar biasa konsumsi bahan bakar.
Gambar 1.17 Walaupun dengan lekukan seperti ini, CNT masih bisa kembali lurus seperti semula (sumber: http://lce.hut.fi) Keunggulan lain penggunaan nanokomposit sebagai pembuatan bodi pesawat atau kendaraan lainnya adalah keselamatan saat terjadi kecelakaan. Jika terjadi tabrakan maka bodi dari alloy aluminium langsung penyok (rusak) yang berimpilkasi pada kerusakan fatal pada penumpang atau bagian yang ada di dalam pesawat/kendaraan. Nanokomposit dapat dibuat sedemikin rupa sehingga bersifat elastis. Jika terjadi benturan atau tabrakan maka mula-mula bodi mengalami deformasi seperti plastik lalu kembali ke bentuk semula. Dengan sifat seperti ini maka apa yang ada di dalam kabin/bodi tidak mengalami kerusakan yang berarti. Ini dapat dianalogikan dengan benturan bola aluminium dan bola karet (bola basket) pada dinding. Setelah benturan yang cukup keras maka bentuk bola aluminium langsung penyok secara permanen. Tetapi bentuk bola karet hanya berubah sebentar saat benturan dan kembali ke bentuk semula setelah benturan hilang.
18
Untuk membuat nanokomposit yang sangat kuat dan freksibel terhadap benturan maka penggunkaan carbon nanotube merupakan pilihan yang utama. Material ini sangat ringan dan lebih kuat daripada baja. Material ini pun tahan terhadap bengkokan. Walaupun lekukan yang diberikan cukup besar di mana material alin sudah patah, CNT masih kembali ke kondisi semula (Gambar 1.17). Beberapa percobaan awal telah menunjukkan hasil yang diharapkan. Model pesawat yang dibuat dengan nanokomposit memiliki performance dan keselamatan yang lebih baik dibandingkan dengan peswaat yang dibuat dengan material alloy aluminium. Industri tekstil juga akan banyak memanfaatkan nanoteknologi untuk mengembangkan tekstil masa depan. Tekstil jenis baru akan muncul di pasarakan dengan berbagai kegunaan seperti tekstil yang bisa membersihkan dirinya sendiri (self cleaning), tekstil tahan api, tekstil yang bisa melindungi dari ultraviolet, dan sejumlah sifat luar biasa lainnya. Riset untuk mewujudkan tekstil semacam ini sedang gencar dilakukan oleh universitas maupunperusahaan di seluruh dunia. Tektil baru tersebut akan mengisi sejumlah bidang aplikasi seperti teknologi luar angkasa, otomotof, konstruksi, olah raga, dan kesehatan. Nanopartikel perak mempunyai sifat antibacterial dan nanopartikel palladium dan platina dapat mendekomposisi gas beracun atau bahan kimia beracun. Beberapa tektil yang dapat memonitor kondisi kesahatan pemakai juga mulai dikembangngkan. Peraih medali emas olimpiade Michael Phelps menggunakan baju merah yang memiliki sifat seperti kulit ikan hiu. Pakaian ini dirancang dengan memanfaatkan teknologi, di mana di permukaan pakaian dibangkitkan lapisan plasma yang menolak molekul air sehingga perenang dapat meluncur di air tanpa hambatan yang berarti.
Gambar 1.18 Mesin cuci super Samsung melepas ion perak untuk membersihak kotoran hingga ke pori-pori kain yang paling dalam.
19
Mesin cuci super dari Samsung telah menggunakan nanoteknologi. Selama proses pencucian, mesin cuci tersebut mengelektrolisis nanopartikel perak untuk menghasilkan sekitar 400 miliar ion perak (Gambar 1.18). Ion perak tersebut measuk ke dalam celah-celah kain yang memungkinkan dilakukan pembersihan hingga ke bagian paling dalam dari kain dan dalam skala molekul sehingga terjadi pemersihan yang luar biasa. Pada saat bersamaan, partikel perak yang nanti tersisa dalam pakaian akan mebunuh bakteri yang menempel di pakaian. Dalam waktu sekitar 1 bulan, partikel perak dapat membunuh hampir semua bakteri yang ada di pakaian. Masih banyak aplikasi nanoteknologi dalam kehidupan manusia yang tidak dapat disebutkan di sini. Sebagian aplikasi tersebut sudah dikomersialkan dan sebagian besar lainnya masih dalam tahap pengembangan. Pada akhirnya, kehidupan manusia dalam beberapa dekade mendatang akan bergantung total pada nanoteknologi.
20
BAB 2 Sistem Reverse Osmosis(RO) Menggunakan Membran Nano Filtrasi Untuk Pengolahan Air Oleh : Abdul Rajak
2.1 PERMASALAHAN KETERSEDIAAN AIR BERSIH DI INDONESIA Air adalah kebutuhan pokok makhluk hidup maupun industri, sehingga keberadaannya mutlak harus ada. Ketersediaan air di muka bumi ini sangat melimpah, tetapi tidak mudah untuk mendapatkan air bersih. Hal ini dikarenakan aktivitas manusia yang seringkali tidak bertanggung jawab, seperti membuang limbah industri rumah tangga yang saat ini mulai berkembang di selokan atau sungai, sehingga terjadi pencemaran air dan penurunan kualitas air. Dengan adanya penurunan kualitas ini menyebabkan air tidak memenuhi persyaratan baik fisik, kimia, maupun biologis untuk dikonsumsi oleh makhluk hidup maupun industri. Penyediaan air bersih untuk masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan kesehatan lingkungan atau masyarakat, yakni mempunyai peranan dalam menurunkan angka penderita penyakit, khususnya yang berhubungan dengan air, dan berperan dalam meningkatkan standar atau taraf/kualitas hidup masyarakat. Sampai saat ini, penyediaan air bersih untuk masyarakat di Indonesia masih dihadapkan pada beberapa permasalahan yang cukup kompleks dan sampai saat ini belum dapat diatasi sepenuhnya. Salah satu masalah yang masih dihadapi sampai saat ini yakni masih rendahnya tingkat pelayanan air bersih untuk masyarakat. Beberapa permasalahan pokok yang masih dihadapi dalam penyediaan air bersih di Indonesia antara lain adalah: masalah tingkat pelayanan air bersih yang masih rendah, masalah kualitas air baku dan kuantitas yang sangat fluktuatif pada musim hujan dan musim kemarau, serta masalah teknologi yang digunakan untuk proses pengolahan kurang sesuai dengan kondisi air baku yang kualitasnya makin menurun. Perusahaan pengolahan air di Indonesia seperti yang kita ketahui adalah PDAM (perusahaan daerah air minum), banyak mengalami permasalahan baik internal maupun eksternal. Dengan permasalahan yang dihadapi saat ini, PDAM tetap diharapkan untuk memberikan pelayanan yang baik. Tetapi ironisnya di pihak lain yakni masalah pengembangannya yang sangat lambat dan kelihatannya kurang dianggap penting. Ditambah lagi dengan perkembangan jumlah penduduk yang sangat pesat dan laju pembangunan di Indonesia telah mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan khususnya kualitas air permukaan atau air tanah. Hal ini terutama terjadi di kawasan perkotaan yang jumlah penduduknya besar. Permasalahan di atas menjadi tantangan berat bagi kita untuk mengatasinya, seiring dengan perkembangan teknologi, para ilmuwan berlomba untuk mengembangkan alat pengolahan air yang dapat secara efektif mengurangi semua kadar 21
yang berbahaya yang terdapat di air seperti bakteri, virus dan zat berbahaya lainnya. Seperti saat ini telah ditemukan teknologi membran untuk pengolahan airdan limbah, salah satunya nanofiltrasi (NF). Teknologi NF saat ini menjadi populer untuk pengolahan air minum karena NF dapat mengontrol mikroorganisme pathogen kecil seperti virus dengan sangat efektif danmengurangi kekeruhan air. Keuntungan menggunakan teknologi membran antara lain energi yang dibutuhkan rendah, dapat beroperasi secara batch maupun kontinyu, tidak ada penambahan produk buangan, dapat digabungkan dengan proses pemisahan lainnya, mudah di scale-up, pemisahan dapat dilakukan dalam kondisi yang mudah diciptakan. Hal yang menjadi tantangan terberat jika menggunakan teknologi membran adalah terbentuknya fouling (penyumbatan). Fouling ini menyebabkan penurunan fluks dan mengurangi efektivitas membran dalam penyaringan. Salah satu metode untuk mengurangi terbentuknya fouling adalah dengan aliran balik atau automatic backwash. Selain itu pencucian membran juga efektif dalam membersihkan membran dari fouling. Oleh karenanya, untuk mengatasi hal tersebutmembran nanofiltrasi dikombinasikan dengan sistem osmosis balik (reverse osmosis) yang bertujuan untuk mengurangi penyumbatan pada membran, sehingga membran yang digunakan dapat tahan lama.
2.2 TINJAUAN TEORI TENTANG MEMBRAN 2.2.1 Sejarah Singkat dan Pengenalan Membran Teknologi membran merupakan teknologi pengolahan air yang sedang berkembang dewasa ini. Teknologi ini telah tumbuh dan berkembang secara dinamis sejak pertama kali dikomersialkan oleh Sartorius-Werke di Jerman pada tahun 1927, khususnya untuk membran mikrofiltrasi (Edward, 2009). Istilah membran didefinisikan sebagai lapisan tipis, pembatas antara dua fasayang bersifat semipermeabel. Teknologi membran banyak dikembangkan, karenamempunyai beberapa keunggulan dibanding proses pemisahan yang lain. Prinsip kerja membran adalah memisahkan zat terlarut dengan berat molekul kecil dan memisahkan larutan cair yang mengandung zat organik dalam jumlah yang kecil. Pada proses ini, membran akan permeable terhadap air tetapi tidak terhadap garam dan senyawa dengan berat molekul besar. Akibatnya membran hanya dilalui oleh pelarut, sedangkan zat terlarut berupa garam maupun zat organik akan ditolak. umpan
residu
Larutan yang lolos
Gambar 2.1 : Prinsip dasar proses filtrasi (Johannes , 2001)
22
Beberapa keunggulan membran yakni pemisahan (separation) dapat berlangsung secara kontinyu, energi yang digunakan umumnya rendah, proses membran dapat dikombinasikandengan proses pemisahan yang lain, sifat-sifat dan variabel membran dapatdisesuaikan, zat aditif yang digunakan tidak terlalu banyak, pemisahan larutanlarutanyang peka terhadap suhu (misalnya larutan biologis dan organik), energinya tergolonghemat dan bersih, serta relatif tidak menimbulkan limbah (Nunes, 2001). Dengankeunggulannya tersebut teknologi membran digunakan dalam aplikasi yang makinluas, misalnya desalinasi air laut dan air payau, pemisahan dan pemekatan air limbahindustri (waste water treatment), penjernihan dan sterilisasi air minum, pemisahangas, pemisahan darah untuk penderita ginjal, serta bioteknologi. Dengan banyak keunggulan, penggunaan membran juga mempunyaiketerbatasan yaitu terjadinya fouling(penyumbatan) atau polarisasi konsentrasi pada membran, danjangka hidup membran yang relatif singkat (Suprihatin, 2007). Di Indonesia, teknologi membran belum berkembang begitu pesat seperti di negara maju karena membran belum banyak diproduksi di Indonesia. Industri yangakan menggunakan teknologi ini harus mengimpor membran beserta modul dansistemnya sehingga harganya relatif lebih mahal.
2.2.2 Klasifikasi Membran Perkembangan teknologi dalam pengolahan air telah berkembang demikian pesatnya, yang mana diharapkan dapat menjadi jawaban untuk sebagian dari permasalahan yang ada dalam pengolahan air bersih. Salah satu teknologi yang dikembangkan adalah teknologi penyaringan atau filtrasi dengan menggunakan membran.Membran diklasifikasikan menjadi beberapa golongan sebagai berikut : a. Jenis membran berdasarkan bahan dasar pembuatan b. Jenis membran berdasarkan fungsi c. Jenis membran berdasarkan morfologi d. Jenis membran berdasarkan prinsip pemisahannya a. Jenis membran berdasarkan bahan dasar pembuatan Berdasarkan bahan dasar pembuatannya, membran dapat dibagi menjadi duajenis, yaitu : 1) Membran Biologis Merupakan membran yang sangat kompleks pada struktur dan fungsinya.Banyak dijumpai dalam sel makhluk hidup yang terdiri atas struktur dasar dari dualapisan lemak. Contoh : sel kulit, ginjal, jantung, dan lain sebagainya (Wenten, 1996). 2) Membran Sintesis Membran sintesis merupakan membran buatan yang sengaja dibuat untukkepentingan tertentu. Membran sintesis dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: membranorganik dan membran anorganik. Membran organik adalah membranyang bahan penyusun utamanya polimer dan makromolekul dengan bahan bakusenyawa organik yang dibuat pada suhu rendah (suhu kamar). Contoh : membranselulosa asetat, PAN, PA, dan lain sebagainya. Membran anorganiktersusun dari senyawa anorganik Contoh : membran keramik (seperti ZrO 2 dan γ-Al-2O 3 ), membran gelas (seperti SiO 2 ). (Mulder, 1996).
23
b. Jenis Membran Berdasarkan Fungsi Berdasarkan fungsinya, membran terbagi menjadi empat jenis, yaitu:membran mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, nanofiltrasi, dan reverse osmosis (Nusa, 2009).Ciri-ciri khusus seperti ukuran pori, tekanan, dan fungsi masing-masing membran ditunjukkan pada tabel 2.1 berikut : Tabel 2.1 : Jenis membran berdasarkan fungsi Jenis No. Ukuran Pori Tekanan Fungsi Membran 1. Mikrofiltrasi 0,05 – 10 µm < 2 bar Memisahkan suspensi dan kolid 2. Ultrafiltrasi 1 – 1000 nm 1 – 10 bar Memisahkan makromolekul 3. Nanofiltrasi < 2 nm 5 – 25 bar Memisahkan komponen terlarut yang mempunyai berat molekul rendah 4. Reverse < 2 nm Air payau : 15 – 25 bar Memisahkan Osmosis Air laut : 40 – 80 bar komponen terlarut dengan berat molekul rendah Sumber : (Eka, 2012) Sedangkan distribusi jenis partikel yang dapat dipisahkan sesuai dengan tingkatan proses filtrasi ditunjukkan pada gambar berikut : Air
ion ion virus Monovalen multivalen
bakteri
padatan tersuspensi
Air
ion ion virus Monovalen multivalen
bakteri
padatan tersuspensi
Air
ion ion virus Monovalen multivalen
bakteri
padatan tersuspensi
Air
ion ion virus Monovalen multivalen
bakteri
padatan tersuspensi
Mikrofiltrasi
Ultrafiltrasi
Nanofiltrasi
Reverse Osmosis
Gambar 2.2: Distribusi ukuran partikel yang dapat dipisahkan sesuai dengan tingkatan proses filtrasi (Wenten, 1996)
24
Selain ukuran pori, membran juga dikelompokkan berdasarkan besarnya berat molekul partikel kotoran yang dapat dipisahkan oleh suatu membran disebut batas berat molekul membran seperti yang diperlihatkan pada tabel 2 berikut : Tabel 2: Ukuran diameter pori dan batas berat molekul yang dapat dipisahkan oleh beberapa jenis membran. Tipe Filtrasi Diameter Pori (nm) Berat Molekul Tertangkap(Dalton) Mikro Filtrasi 50 – 5000 ≥ 500.000 Ultra Filtrasi 5 – 50 1.000 – 500.000 Nano Filtrasi 0,6 – 5 100 – 1.000 Reverse Osmosis < 0,6 ≤ 100 (Sumber: Nusa, 2009) Sesuai dengan nama dan tingkatan dari tipe filtrasi diharapkan akan didapatkan air olahan dengan tingkat kualitas tertentu pula. Misalnya dengan menggunakan proses penyaringan nano filtrasi (NF) dengan derajat penyaringan 0,001 – 0,01 micron, diharapkan sebagian besar dari padatan tersuspensi (suspended material) akan tersaring. Dengan menggunakan proses penyaringan osmosis balik (reverse osmosis, RO) dapat digunakan untuk mengolah air laut menjadi air tawar. Pada makalah ini akan fokus membahas tipe penyaringan reverse osmosis yang dikombinasikan dengan menggunakan penyaringan nano filtrasi. c. Jenis Membran Berdasarkan Morfologi Berdasarkan morfologinya, membran dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu : 1) Membran simetri adalah membran yang mempunyai ukuran pori-pori yanghomogen baik sisi dalam maupun sisi luarnya. Ketebalannya berkisar antara 10-200μm. Berikut membran simetri disajikan dalam gambar 3 :
Gambar 3: Membran simetri (Mulder, 1996)
25
2) Membran asimetri adalah membran dengan ukuran pori-pori sisi luar lebih rapatdengan ketebalan antara 0,1-0,5 μm, sedangkan ukuran pori sisi dalam lebih renggang dengan ketebalan antara 50-200 μm. Membran asimetri divisualkan pada gambar 4 dibawah ini.
Gambar 4: Membran asimetri (Mulder, 1996) d. Jenis Membran Berdasarkan Prinsip Pemisahannya Berdasarkan prinsip pemisahannya, membran terbagi menjadi tiga jenis, yaitu: 1) Membran berpori Adalah membran dengan prinsip pemisahan berdasarkan pada ukuran partikel zat,yang akan divisualkan pada gambar 5 :
Gambar 5 : Membran Berpori (Eka,2012) 2) Membran tak berpori Adalah membran dengan prinsip pemisahan berdasarkan atas perbedaan kelarutandan kemampuan berdifusi. Serta tingkat selektivitas danpermeabilitasnyaditentukan dari sifat intrinsik bahan polimer membran. Membran ini seringdigunakan untuk gas separation dan pervaporasi. Pada gambar 6 akan disajikanvisual dari membran tak berpori.
Gambar 6: Membran tak berpori (Eka, 2012)
26
3) Membran cair Adalah membran yang prinsip pemisahannya tidak ditentukan oleh membran ataupun bahan pembentuk membran tersebut, tetapi oleh molekul pembawa yangspesifik. Teknik pemisahan dengan membran cair merupakanmetode pemisahan dengan selektivitas tinggi untuk pemisahan ion logammaupun senyawa organik atau anorganik. (Eka, 2012)
2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Membran Pembuatan membran mempunyai spesifikasi khusus tergantung untuk apa membran tersebut digunakan dan spesifikasi apa produk yang diharapkan. Beberapa faktor yang mempengaruhi dalam penggunaan membran diantaranya sebagai berikut : a. Ukuran molekul Ukuran molekul membran sangat mempengaruhi kinerja membran. Pada pembuatan mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi mempunyai spesifikasi khusus. Sebagai contoh untuk membran protein kedele yang dihidrolisis menggunakan ukuran membrane 5000 MWCO, 10.000 MWCO dan 50.000 MWCO. b. Bentuk Molekul Bentuk dan konfigurasi macromolekul mempunyai efek pada kekuatan ion, temperature dan interaksi antar komponen. Perbedaan bentuk ini khusus padakondisi dibawah permukaan membrane. Hal ini dapat terlihat dalam penggunaan membrane pada protein dan dextrin. c. Bahan Membran Perbedaan bahan membran akan berpengaruh pada hasil rejection dan distribusi ukuran pori. Sebagai contoh membrane dari polysulfone dan membrane dari selulosa asetat, kedua membran ini menunjukkan rendahnya deviasi antara kedua membran dan ini mempunyai efek pada tekanan membran. Selain itu mempunyai efek pada tingkat penyumbatan (fouling) pada membrane. d. Karakteristik larutan Pada umumnya berat molekul larutan garam dan gula mempunyai berat molekul yang kecil dari ukuran pori membran. Karakteristik larutan ini mempunyai efek pada permeability membran. e. Parameter operasional Jenis parameter yang digunakan pada operasional umumnya terdiri dari tekanan membran, permukaan membran, temperature dan konsentrasi. Dan parameter tambahan adalah : pH, ion strength dan polarisasi.
2.2.4 Karakterisasi Membran Kriteria yang penting dalam menentukan kinerja membran dapat dilihat dariparameter fluks (permeabilitas), rejeksi (permselektivitas), ketebalan, morfologi dansifat mekanik membran (Eka, 2012). Lebih lanjut akandijelaskan secara singkat dibawah ini. a. Fluks Kriteria penting dalam menentukan kinerja membran sebagai alat pemisahadalah fluks dan rejeksi (Radiman dkk, 2002). Permeabilitas atau fluks yang mengalirmelalui membran didefinisikan dengan jumlah volume permeat yang melewatimembran per satuan luas permukaan per satuan waktu. V J= ..........(1) A.t
27
dengan : J = nilai fluks (Lm-2jam-1) V = volume permeat /air olahan (Liter) A = luas permukaan membran (m2) t = waktu (jam) Harga fluks menunjukkan kecepatan alir permeat saat melewati membran. Hargafluks ini sangat tergantung pada jumlah dan ukuran pori-pori membran. b. Rejeksi Rejeksi membran adalah kemampuan suatu membran untuk menahan komponen tertentu yang terdapat dalam larutan umpan.Rejeksi (R) ditunjukkan dengan hargafraksi konsentrasi zat terlarut yang tertahan oleh membran. (Sapta, 2009) R = �1 −
Cp Cf
� × 100%
...........(2)
Dengan : R = koefisien rejeksi (%) Cp = konsentrasi zat terlarut dalam permeat Cf = konsentrasi zat terlarut dalam umpan. Nilai rejeksi sangat bervariasi antara 100 % (di mana zat terlarut tertahan olehmembran, sehingga diperoleh membran semipermeabel yang ideal), dan 0 % (di manazat terlarut dan pelarut mengalir bebas melalui membran). Oleh karenaitu, harga efisiensi rejeksi sangat ditentukan oleh ukuran pori-pori membran. Harga koefisien rejeksi bisa juga kita katakan sebagai efisiensi dari membran yang digunakan (Suprihatin, 2007) .
2.3 PENGOLAHAN AIR BERSIH MENGGUNAKAN MEMBRAN NANO FILTRASI PADA SISTEM REVERSE OSMOSIS 2.3.1 Sistem Osmosis Balik (Reverse Osmosis, RO) Apabila dua buah larutan dengan konsentarsi encer dan konsentrasi pekat dipisahkan oleh membran semi-permeable, maka larutan dengan konsentrasi yang encer akan terdifusi melalui membran tersebut masukke dalam larutan yang pekat sampai sampai terjadi kesetimbangan konsentrasi. Fenomena tersebut dikenal sebagai proses osmosis. Jika air tawar dan air asin dipisahkan dengan membran semipermeable, maka air tawar akan terdifusi ke dalam air asin melalui membran tersebut sampai terjadi kesetimbangan. Pada proses osmosis balik, peristiwa yang terjadi adalah sebaliknya, yakni pelarut mengalir/berpindah dari larutan yang pekat/konsentrasi tinggi ke larutan yang konsentrasinya rendah. Akan tetapi proses osmosis balik akan terjadi apabila diberi tekanan yang arahnya berlawanan dengan tekanan osmosis seperti yang ditunjukkan pada gambar 7 berikut ini :
28
Gambar 7 : Skema proses Reverse Osmosis (RO). (Edward, 2009) Keunggulan proses osmosis balik antara lain pengoperasiannya dilakukan pada suhu kamar, tanpa instalasi pembangkit uap, mudah untuk memperbesar kapasitas, serta pengoperasian alat relatif mudah. Teknologi ini sangat cocok untuk digunakan di wilayah dimana tidak terdapat atau sedikit sekali sumber air tawar misalnya untuk daerah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sistem RO umumnya digunakan untukmemisahkan bahan-bahan dengan berat molekulrendah atau garam-garam organik dari larutan. Teknologi RO merupakan teknologidesalinasi yang ramah lingkungan dan tidakmemerlukan lahan yang luas. Contoh penerapan ROdapat dilihat pada desalinasi air laut. Pada prosesini, membran RO akan menahan komponen-komponen lain selain pelarut. Atau dengan kata lain,membran ini bersifat permeabel terhadap air, tetapitidak untuk garam dan senyawa yang memiliki beratmolekul yang lebih besar. Proses RO dikenal juga sebagai proseshiperfiltrasi, sebab tekanan yang dibutuhkan untukmelewatkan pelarut ke larutan yang konsentrasinya rendah lebih tinggi daripada tekanan osmosisnya. Umumnya tekanan operasi yangdiperlukan minimal tiga kali lipat dari tekananosmosis larutannya, yakni berkisar antara 10100 bardengan batasan fluks sebesar 0,05-1,4 L/m2jam(Khalik, 2000). Membran ini memiliki suatu lapisantidak berpori yang tidak terdeteksi oleh SEM.Dengan kata lain struktur model membran yangdigunakan bersifat dense skin layer. Teknologi pengolahan air sistem osmosa balik (reverse osmosis) banyak dipakai dibeberapa negara seperti Amerika, Jepang, Jerman dan Arab. Teknologi ini banyak dipakai untuk memasok kebutuhan air tawar bagi kota-kota tepi pantai yang langka sumber air tawarnya. Keunggulan teknologi membran osmosa balik adalah kecepatannya dalam memproduksi air, karena menggunakan tenaga pompa, sedangkan kelemahannya adalah penyumbatan pada selaput membran oleh bakteri dan kerak kapur atau fosfat yang umum terdapat dalam air payau. Untuk mengatasi kelemahan pada unit pengolah air osmosa balik selalu dilengkapi dengan unit anti pengerakkan dan anti penyumbatan oleh bakteri. Sistem membran reverse yang dipakai dapat berupa spiral wound. Membran ini mampu menurunkan kadar garam hingga 95-98%. Air hasil olahan sudah bebas dari bakteri dan dapat langsung diminum. Dengan menggunakan kombinasi proses nanofiltrasi dan reverse osmosis untuk mengolah air dapat dihasilkan air olahan siap minum dengan kualitas yang sangat baik tanpa menggunakan bahan kimia untuk proses koagulasi-flokulasi dengan biaya operasional yang relatif rendah.
29
2.3.2 MembranNanoFiltrasi Nano berarti satu per milyar. Satu nanometer (1 nm) sama dengan 10-9m = 103 µm (mikron). Nanofiltration (NF) adalah filtrasi membran cross-flow. Dalam air yang mengandung campuran beberapa jenis ion, ion monovalen cenderung menembus (melewati) membran sedangkan jenis ion divalen atau multivalent sangat mungkin akan dipisahkan pada antar muka (interface) membran. Oleh karena beberapa jenis ion, yakni ion monovalen dapat masuk melalui membran, perbedaan potensial kimia antara kedua larutan lebih kecil maka memerlukan daya pendorong yang lebih rendah. Oleh karena itu, tekanan operasi Nano Filtrasi (NF) hanya berkisar antara 7 – 40 bar. Membran NF umumnya dicirikan oleh kemampuan untuk memisahkan jenis ion divalen, umumnya magnesium sulfat (MgSO 4 ) atau kalsium klorida (CaCl 2 ). Oleh karena terdapat banyak variabilitas di dalam aplikasi NF, retensi MgSO 4 umumnya berkisar antara 80% hingga 98%. Nanofiltrasi umumnya dipilih untuk pemisahan apabila aplikasi reverse osmosis(RO) dan ultrafiltrasi bukanlah pilihan yang tepat. Nanofiltration dapat digunakan untuk aplikasi pemisahan mineral (demineralization), penghilangan warna, dan desalinasi. Selain digunakan dalam pengolahan air, membran nano filtrasi juga dapat dimanfaatkan untuk bidang lain, seperti yang ditunjukkan pada tabel 3 berikut : Tabel 3 : Aplikasi nano membran filtrasi untuk kebutuhan industri Industri Aplikasi Makanan Demineralisasi air dadih Demineralisasi larutan gula Daur ulang nutrisi dalam proses fermentasi Pemisahan minyak bunga matahari dari pelarut Pemurnian asam organik Tekstil Penghapusan pewarna yang berasal dari air limbah Kimia Pemisahan asam amino Pemulihan larutan pemutih Produksi NaOH Pemulihan larutan kaustik pada selulosa dan produksi viskosin Industri logam, elektronik dan optik Pemisahan logam berat dari larutan asam Pengurangan logam sulfat dari air limbah Filtrasi nikel Pemulihan ion Cu dari cairan ekstrak Produksi air Penghilangan desinfektan dan pestisida pada air Pelepasan bahan organik alami Pengolahan air payau Pertanian Membasmi racun alga Mengurangi selenium dari air drainase (Sumber : Jeff Adams, 2007) Proses filtrasi banyak dipakai di industri pada pengolahan air, baik air proses,air utilitas, maupun air limbah. Air industri (khususnya air proses) mempunyaispesifikasi yang tinggi karena nantinya dapat mempengaruhi produk yang 30
dihasilkan.Spesifikasi tersebut antara lain, rendah mineral, tidak beracun, dan bebas darimikroba. Air dengan spesifikasi tersebut bisa diperoleh dengan menggunakanmedium yang dapat memisahkan partikel-pertikel yang sangat kecil ukurannya.Proses yang banyak dipilih adalah nanofiltrasi dan RO. Proses nanofiltrasi dipilih karena mempunyai beberapa keuntungan, antaralain : a. Biaya operasi murah b. Energi yang diperlukan rendah c. Perawatan mudah d. Efisiensi ruang e. Jika ada salah satu modul yang rusak, dapat diperbaiki secara parsial(tidak akan mempengaruhi kerja secara keseluruhan ) f. Ramah lingkungan g. Mampu memisahkan partikel sampai ukuran nanometer Disamping kelebihan proses nanofiltrasi juga memiliki kekurangan antara lain : a. Biaya investasi awal cukup tinggi b. Lebih mudah mengalami fouling c. Perhitungan terhadap variabel yang mempengaruhi performansi membran harus cermat d. Tidak bisa memisahkan partikel solute dengan ukuran lebih kecil dari 1nm
2.3.3 Membran Nano Filtrasi Modul Spiral Wound(Lilit Spiral) Pada penelitian yang dilakukan membran nano filtrasi yang digunakan adalah model spiral wound. Membran dengan modul spiral wound terdiridari dua lembar membran datar, penjarak umpan danbahan berpori pengumpul permeat yang digulungmembentuk silinder. Pada bagian tengah silinderterdapat pipa pengumpul permeat yang berfungsiuntuk menampung aliran permeat danmengalirkannya sebagai produk. Penjarak umpanmerupakan suatu ayakan yang berfungsi untukmeningkatkan turbulensi aliran umpan padapermukaan membran. Dua lembar membran danbahan berpori pengumpul permeat disatukan denganlem, sedangkan penjarak umpan dibiarkan terbukaagar aliran umpan dapat masuk. Larutan umpanmengalir aksial sepanjang modul dalam celah yangterbentuk antara spacer dan membran. Skematikmodul lilit spiral dapat dilihat pada gambar 8.
Gambar 8: Desain modul spiral wound dari membran nano filtrasi (Thor, 2006)
31
Pada gambar di bawah ini ditunjukkan beberapa hasil scan dengan mikroskop elektron (SEM) dari polimer yang digunakan dalam membran nano filtrasi :
Gambar 9: Hasil SEM polimer membran: a) permukaan, b) penampang melintang, c) perbesaran penampang melintang(Johannes, 2001) saluran konsentrasi larutan
molekul dan partikel
pompa umpan
produk
membran penyaring permeat
Gambar 10 : Ilustrasi penyaringan menggunakan membran modul spiral wound. (Thor, 2006)
2.3.4 Prinsip Kerja Sistem Reverse Osmosis Menggunakan Membran Nano Filtrasi Reverse osmosis merupakan proses yang terjadi akibat perbedaan tekanan untukmemisahkan solut berukuran lebih besar dari larutan dengan menggunakan membransemipermeable. Proses ini dilakukan dengan cara mengalirkan larutan sepanjangpermukaan membran dengan memanfaatkan beda tekanan. Filtrasi membran alirancrossflow menggunakan laju alir yang besar untuk meningkatkan laju permeate danmengurangi kemungkinan terjadinya fouling. Partikel solut yang terejeksi (misal :garam terlarut) terpisah bersama dengan arus aliran yang keluar dan tidakterakumulasi di permukaan membran (Norman dkk, 2008). Sistem reverse osmosis merupakan proses yang menggunakan tekanan sebagai gaya dorong (driving force) untuk melawan tekanan osmosis yang terjadi pada kedua larutan yang memiliki beda konsentrasi. Sehingga secara logika tekanan yang diberikan haruslah lebih besar dari tekanan osmosisnya agar arah aliran pelarut menuju ke larutan yang konsentrasinya rendah. Secara umum prinsip kerja reverse osmosis dapat dilihat pada gambar berikut :
32
Air bersih
Air bersih
Air garam
Air garam
Tekanan osmostik
Membran semipermeabel
Membran semipermeabel
Tekanan yang diberikan untuk melawan tekanan osmostik Air bersih
Air garam
Membran semipermeabel
Gambar 11 : Prinsip kerja reverse osmosis : a) dan b) proses osmosis secara alami, c) osmosis balik dengan pemberian tekanan pada larutan pekat. (Wenten, 1996) Daya pengggerak (driving force) yang menyebabkan terjadinya aliran difusi air tawar ke dalam air asin melalui membran semi-permeabletersebut dinamakan tekanan osmosis. Besarnya tekanan osmosis tersebut tergantung dari karakteristik membran, temperatur air, dan konsentarsi garam yang terlarut dalam air. Tekanan osmotik normal air laut yang mengandung TDS 35.000 ppm dan suhu 25oC adalah kira-kira 26,7 kg/cm2, dan untuk air laut di daerah timur tengah atau laut Merah yang mengandung TDS 42,000 ppm , dan suhu 30 oC, tekanan osmotik adalah 32,7 kg /m2. Apabila pada suatu sistem osmosis tersebut, diberikan tekanan yang lebih besar dari tekanan osmosisnya, maka aliran air tawar akan berbalik yakni dari dari air asin ke air tawar melalui membran semi-permeable, sedangkan garamnya tetap tertinggal di dalam larutan garammya sehingga menjadi lebih pekat. Proses tersebut dinamakan osmosis balik (reverse osmosis). Membran nano filtrasi pada sistem osmosis balik berfungsi untuk menyaring semua partikel-partikel yang terdapat pada air, sehingga air yang bersih dapat dialirkan ke suatu tempat penampungan air. Proses pemberian tekanan (driving force) dilakukan selama selang waktu tertentu dan kemudian untuk beberapa saat, dibiarkan sehingga terjadi kembali tekanan osmosis pada kedua larutan, hal ini bertujuan untuk melepaskan kotoran-kotoran yang melekat pada membran. Untuk lebih jelasnya, diagram alat osmosis balik diperlihatkan pada gambar berikut :
33
Gambar 12 : Skema alat reverse osmosis dengan satu buah modul membran (Edward, 2009)
2.4 PENELITIAN YANG PERNAH DILAKUKAN 2.4.1 Bahan dan Alat yang Digunakan Sebagai larutan umpan air payau sintetis digunakanserbuk natrium klorida (NaCl) p.a yang dilarutkandalam akuades. Larutan NaCl dibuat padakonsentrasi 2.000, 2.250, 2.500, 2.750 dan 3.000mg/L. Percobaan dilakukan dengan menggunakanseperangkat unit RO, beaker glass 2 L, gelas ukur50 mL, stopwatch dan tabung penyimpanan sampel.Unit RO yang digunakan terdiri dari sebuah modulmembran spiral wound, sebuah pompa, dua buahpressure gauge, sebuah retentate throttle valve yangberfungsi untuk mengatur beda tekanan dalammembran, speed control dan satu unit alat pengukurkonduktivitas tipe Orion 125 Aplus. Membran ROyang digunakan merk Filmtec USA model TW30-1812-100. Bahan membran adalah Polyamide Thin-Film Composite dengan luas penampang 5,5 ft2. Sampel air yang diuji : • Air permukaan yang keruh, misalnya air sungai, air danau, air genangan hujan dll. • Air tanah misalnya air sumur, mata air, air yang mengandung zat besi, mangan, zat kapur, magnesium dll. Adapun persyaratan air baku yang dapat diolah dengan membran adalah sebagai berikut : • Air baku adalah air tawar atau air payau (TDS maksimum 1000 mg/l). • Air baku bukan air limbah. • Air baku tidak tercemar oleh limbah industri atau limbah B3 Kapasitas alat yang dioperasikandalam pengolahan air : • Air siap minum : 15 liter /menit = 25.000 liter per hari. • Air bersih : 125 m3/hari. (Sumber : Edward, 2009)
34
2.4.2 Teknis Analisis Data Pada umpan air payau sintetis dilakukan analisaawal yaitu analisa Total Dissolved Solid (TDS) yaitu padatan yang menyebabkan kekeruhan pada air yang sifatnya terlarut dalam air. Sebelum melakukanpercobaan utama, terlebih dahulu dilakukan forward flushing dengan menggunakan akuades padamembran. Setelah forward flushing selama 30menit, maka percobaan utama dapat dilakukan.Umpan larutan NaCl dilewatkan melalui membran,dengan variasi konsentrasi 2.000, 2.250, 2.500,2.750 dan 3.000 mg/L dan variasi tekanan 0,5-7 bar.Fluks untuk masing-masing tekanan diukur setiapsepuluh menit percobaan. Penelitian dengan menggunakan membran ROtekanan rendah ini dilakukan pada skalalaboratorium. Umpan larutan sintetis NaCl yangdigunakan dianggap dapat mewakili karakteristik airpayau. Metode analisa data yang digunakan padapenelitian ini adalah dengan metode curve fitting,yang meliputi grafik antara tekanan terhadap flukspermeat dan faktor rejeksi membran.
2.4.3 Hasil Penelitian Adapun beberapa data yang diperoleh dari penelitian sistem reverse osmosismenggunakan membran nano filtrasi disajikan sebagai berikut : a. Pengukuran TDS (Total Dissolved Solid) sebelum dan sesudah penyaringan Tabel 4 : Hasil pengukuran TDS sebelum dan sesudah penyaringan Parameter, units Total karbon organik, (mg/L) UV254 absorbance Rata-rata potensial formasi TTHM Rata-rata potensial formasi HAA5 (Sumber : Jeff Adams, 2007)
Nilai awal 15 0,52 544
Nilai akhir 0,7 0,012 31
Reduksi 95 % 97 % 94%
405
6,7
98%
b. Pengukuran Fluks dan Tekanan 1) Hubungan tekanan dan fluks
Gambar 13 : Grafik hubungan antara tekanan dan fluks membran(Edward, 2009)
35
Grafik di atas menunjukkan adanya peningkatanfluks seiring dengan peningkatan tekanan operasi.Pada umpan dengan konsentrasi NaCl 2.000 ppmdan tekanan operasi 0,5 bar diperoleh fluks sebesar4,78 L/m2jam. Sedangkan pada konsentrasi yangsama dengan tekanan operasi 7 bar diperoleh fluks44,08 L/m2jam. Fenomena yang sama juga ditemuioleh Winduwati dkk (2000). Dengan menggunakanvariabel tekanan 40 sampai 120 psi dan konsentrasiNaCl 20 hingga 100 mg/L, didapatkan adanyakenaikan fluks permeat akibat dari kenaikan tekananoperasi. 2) Hubungan tekanan terhadap rejeksi garam.
Gambar 14 : Grafik hubungan antara tekanan dan rejeksi garam.(Edward, 2009) Grafik di atas menunjukkan pengaruh tekananumpan terhadap rejeksi garam. Pada umpan dengankonsentrasi NaCl 2.000 ppm dan tekanan 0,5 bardiperoleh rejeksi NaCl sebesar 83%. Sedangkanpada umpan dengan konsentrasi yang sama dantekanan 7 bar diperoleh rejeksi 92%. Pada umpandengan 2.250 ppm hingga 3.000 ppm terjadipenurunan rejeksi setelah tekanan 6,5 bar. Rejeksimaksimum rata-rata membran pada range tekanan0,5 bar hingga 7 bar diperoleh pada larutan umpandengan konsentrasi 2.000 mg/L yaitu sebesar 90%.
36
3) Hubungan tekanan terhadap konsentrasi NaCl
Gambar 15 : Grafik hubungan antara tekanan dan konsentrasi NaCl. (Edward, 2009) Grafik pada gambar 15 di atas memperlihatkan bahwa, semakin besar tekanan yang diberikan pada osmosis balik, maka konsentrasi garam NaCl yang terdapat pada air olahan akan semakin berkurang.
2.5 Kesimpulan dan Saran 2.5.1 Kesimpulan 1. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap sistem osmosis balik dengan menggunakan membran nano filtrasi, diperoleh bahwa metode ini sangat efektif dalam pengolahan air untuk jumlah yang sangat besar. 2. Penggunaan proses reverse osmosis menggunakan nano filtrasi dapat menghilangkan senyawa polutan yang tidak bisa dihilangkan dengan proses konvensional misalnya, zat organik, amoniak, deterjen, pestisida, dll. 3. Beberapa keunggulan RO dengan membran nano filtrasi : • Mudah dalam pengoperasian • Energi yang diperlukan rendah • Efisiensi ruang • Ramah lingkungan • Membran tahan lama karena selalu dibersihkan melalui aliran balik (backwash)pada sistem RO 4. Selain memiliki keunggulan, juga memiliki kelemahan antara lain : • Biaya investasi awal cukup tinggi terutama untuk membran nano filtrasi • Lebih mudah mengalami fouling(penyumbatan), sehingga perlu dilakukan perawatan ekstra
2.5.2 Saran Dengan membutuhkan dana dan kerjasama antar masyarakat dan pemerintah, diharapkan sistem pengolahan air menggunakan osmosis balik dengan nano filtrasi segera dikembangkan di Indonesia khususnya di daerah yang sulit mendapatkan air bersih.
37
DAFTAR PUSTAKA Cahya, Eka.,Pembuatan dan Karakterisasi Membran Nanofiltrasi untuk Pengolahan Air.,Tesishal: 14 -21, Universitas Diponegoro (2012) Edward,dkk.,Kinerja Membran Reverse Osmosis Terhadap Rejeksi Sintesis., Jurnal Sains dan Teknologi ,8 (1), 1-5(2009) Idaman, Nusa., (2009).Uji Kinerja Pengolahan Air Siap Minum dengan Proses Biofiltrasi, Ultrafiltrasi dan Reverse Osmosis (RO) dengan Air Baku Air Sungai.,Jurnal pusat teknologi lingkungan, BPPT teknologi Jakarta Pusat, 5 (2), 144-161 (2009) Jeff Adams, et al.,Nanofiltration for Removal of Drinking Water Disinfection By-Product Precursors. Artikel agen perlindungan lingkungan hidup Amerika Serikat hal: 2 (2007) J. Radjenovic,dkk., Rejection of Pharmaceuticals in Nanofiltration and Reverse Osmosis Membrane Drinking Water Treatment.,Jurnal Internasional Elsevier ,Water Research, 42, 3601-3610 (2008) Khalik, Agus., Praptowidodo., Nanofiltration for Drinking Water Production From Deep Well Water.,Jurnal Internasional Elsevier, Desalination, 132 , 287-292 (2000) Martinus, Johannes., Properties of Nanofiltration Membranes; Model Development and Industrial Application., Eindhoven , Technische Universiteit Eindhoven (2001) Mulder, M.,Basics Principle of Membrane Technology. London, Kluwer Academic Publisher (1996) Norman L.N,dkk.,Advanced Membrane Technology and Applications. New Jersey.,John Willey & Sons Inc (2008) Nunes, P.S., Membrane Technology in the chemical industry. New York : JonWilley & Sons Inc (2001) Radiman., Perkembangan Sains dan Teknologi. ProsedingSeminar Kimia bersama UKM-IIB ke-5, hal 15-22, Malaysia (2002) Suprihatin., Penjernihan Nira Tebu Menggunakan Membran Ultrafiltasi dengan Sistem Aliran Silang., Jurnal ilmu pertanian Indonesia, 12 (2), 93-99 (2007) Thorsen, Thor., Nanofiltration in Drinking Water Treatment., Literature Review of Techneau No. D5.3.4B (2006) Wenten, I. G,. Ultrafiltration in Water Treatment and Its Evaluation as Pretreatment for Reverse Osmosis System. Bandung, Dept. Of Chemical Engineering ITB (1996)
38
Bab 3 Memori Berbasis Si/Ge/Si Quantum Dot MOSFET dengan High-k Material Oleh: Adha Sukma Aji
3.1 Memory Divais Saat Ini Seiring kebutuhan akan teknologi informasi, kebutuhan akan divais elektronik juga perlu dikembangkan. Salah satu cara perkembangan adalah menurunnya ukuran divais hingga ukuran nanometer. Perkembangan dan kemajuan diatas diperoleh dari kemampuan memanfaatkan komputer dan devais elektronik yang setiap tahunnya mengalami peningkatan kinerja. Salah satu keuntungan pengecilan ukuran divais diantara lain adalah penurunan waktu switching dan menghasilkan frekuensi clock yang lebih tinggi. Prosesor komputer saat ini didalamnya terdapat jutaan hingga milyaran transistor. Hal ini diperoleh karena transistor terkecil saat ini yang dapat dibuat dalam skala laboraturium memiliki panjang gateoxide sebesar 1,4 nanometer berkat meningkatnya kemampuan fabrikasi. Pengecilan dari CMOS (Complementary Metal Oxide Semiconductor) transistor yang digunakan pada prosesor menyebabkan lapisan silikon dioksida digunakan sebagai gerbang dielektrik menjadi begitu tipis (1.4 nm) dan menyebabkan arus kebocoran yang terlalu besar hingga melebihi 1 A/cm2 pada 1 V (Gambar 3.1). Salah satu hambatan lainnya adalah sangat sulit membuat tunnel oxide yang hanya memiliki ketebalan 1,2 nanometer. Diperlukan penggantian tunnel oxide yang berbasis SiO 2 dengan tunnel oxide yang memiliki ketebalan nyata yang lebih besar dan konstanta dielektrik (κ) yang lebih besar dari SiO 2 . Salah satu solusinya adalah dengan menggunakan high-κ seperti hafnium dioksida (HfO 2 ), zirkonium dioksida (ZrO 2 ), dan irdium oksida (Y 2 O 3 )(Robertson, 2004). Media penyimpanan digital sekarang seperti flashdisk dan solid-state disk biasanya berbasis Floating Gate MOSFET.Floating Gate MOSFET adalah transistor efek medan yang strukturnya mirip seperti MOSFET konvensional, perbedaanya adalah terdapat gerbang dibawah control gate. Cara kerjanya adalah dengan menyimpan muatan pada gerbang untuk menyimpan data (Sze, 1985). Pada era digital sekarang dibutuhkan media penyimpan data (flash memory) yang tidak hanya berkapasitas besar, namun juga berkecepatan besar. Untuk mendapatkan memori berkapasitas besar dibutuhkan Floating Gate MOSFET yang banyak didalam sebuah chip, namun untuk mendapatkan memori berkecepatan besar tidak semudah memperbanyak kapasitas. Sejak lima tahun yang lalu sudah banyak riset mengenai
39
memori menggunakan Si quantum dots untuk menggantikan memori konvensional. Masalah yang dimiliki oleh memori jenis ini adalah hubungan antara waktu retensi (retention time) dengan kecepatan penulisan (writing time) dan kecepatan penghapusan (erasing time). Yang menjadi masalah dihubungan ini adalah waktu retensi yang lebih lama harus dibayar dengan penurunan kecepatan operasi. Devais memori berbasis Si/Ge/Si menghasilkan retensi waktu yang lebih lama dan kecepatan operasi yang tinggi. Salah satu kendala dalam pengecilanFloating Gate MOSFET dengan mode fabrikasi 22 nanometer dibutuhkan SiO 2 yang berfungsi sebagai gate oxide setipis 1.4 nanometer yang sangat sulit direalisasikan. Oleh karena itu penggunaan High-κ material sebagai pengganti gate oxide dibutuhkan untuk memudahkan fabrikasi dan mengurangi arus kebocoran. Oleh karena itu, struktur ini sangat ideal apabila diimplemetasikan didalam divais memori.
Gambar 3.1.Arus kebocoran dengan tegangan gerbang pada berbagai ketebalan gerbang oksida SiO 2 , Lo et al.
3.2 Elektron Dalam Struktur Kuantum, Arus Kebocoran, dan HIGH-κ MATERIAL 3.2.1
Struktur Quantum Dot Struktur quantum dot adalah salah satu struktur kuantum yang diterapkan pada semikonduktor. Struktur ini mempunyai banyak keuntungan yang dapat dimanfaatkan didalam divais elektronik. Strukturquatum dot ini berdimensi nol yang berarti bahwa struktur ini memiliki sifat pengurungan pada semua arah (Gambar 3.2). Muatan yang tersimpan pada struktur quantum dot ini hampir tidak memiliki struktur kebebasan pada sumbu x, y, dan z. Pengurungan ini terjadi karena struktur quantum dot dikelilingi oleh potensial tak hingga pada ketiga sumbu. Potensial pada quantum dot ini dapat ditulisakan sebagai berikut.
40
Gambar 3.2. Illustrasi pengurungan pada struktur quantum dot.
(2.1) Terdapat perbedaan persamaan Schrodinger pada struktur quantum dot
(2.2) solusi dari persamaan Schrodinger diatas menjadi (2.3)
(2.4)
(2.5)
(2.6) dengan Dari persamaan-persamaan diatas diperoleh fungsi gelombang untuk bound state-nya sebagai berikut
(2.7) Energi terkuatisasi terdiri dari tiga bilangan kuantum, masing-masing untuk sumbu x, y, dan z.
, rapat keadaan quantum dot dapat dituliskan seperti berikut
41
(2.8)
(2.9)
(2.10) Dari persamaan (2.10) tersebut diketahui bahwa fungsi rapat keadaan quantum dot berbentuk delta Dirac. Rapat keadaan tersebut bersifat diskrit, ditunjukan pada Gambar 3, sehingga sangat cocok digunakan untuk devais yang memanfaatkan efek pengurungan pada quantum dot. Devais memori adalah devais yang memanfaatkan efek pengurungan ini dan memiliki prinsip dasar penyimpanan muatan. Devais memori menggunkan quantum dot ini akan memanfaatkan karakteristik rapat keadaan diskrit ini untuk menyimpan dan mengurung muatan pada dot.
Gambar 3.3. Plot rapat keadaan pada struktur quantum dot.
3.2.2 3.2.2.1
Arus Kebocoran Sumber Arus Kebocoran Pada Gambar 3.4 terpampang sumber-sumber arus kebocoran yang akan timbul pada MOSFET.Sub-threshold Leakage Current saja yang akan dibahas karena arus kebocoran ini merupakan penyumbang kebocoran terbesar pada devais memori. Hal ini senada dengan yang dikerjakan oleh Fallah (2005) tentang sumber-sumber arus kebocoran.Selanjutnya, Arus kebocoran yang disebabkan berpindahnya pembuatan muatan yang berpindah menuju substrat silikon karena adanya pengaruh dari gerbang metal disebut Gate-Induced Drain Leakage(I GIDL ). Arus kebocoran yang sebabkan oleh adanya pembawa muatan yang berpindah menuju substrat silikon karena perbedaan konsentrasi muatan disebut Junction Leakage (I REV ). Arus kebocoran yang disebabkan perbedaan konsentrasi sehingga ada arus yang menerobos dari gerbang melewati potensial penghalang menuju daerah deplesi, arus kebocoran ini disebut Gate Direct Tunneling Leakage(I G ). Terakhir, arus kebocoran karena adanya permbawa arus yang mengalir didaerah deplesi dari source ke drain dan sebaliknya, arus kebocoran ini disebut Sub-threshold Leakage Current(I SUB ).
42
Gambar 3.4. Sumber dari arus kebocoran pada struktur floating gate MOSFET. 3.2.2.2
Sub-threshold Leakage Current Karena adanya fenomena ini, devais akan membutuhkan daya lebih untuk benar-benar dinyalakan dan akan ada arus kebocoran yang tidak diinginkan mengalir di daerah deplesi dari source ke drain dan sebaliknya.Penyebab utama Sub-threshold Leakage Current (selanjutnya akan disingkat menjadi “I SUB ”)adalah semakin kecilnya threshold voltage (V T )pada devais yang diminitiarusasi. Karena semakin kecil nilai V T , maka devais akan seolah-olah aktif karena adanya potensial bawaan (dipengurahi oleh temperatur) dari devais Dampak dari adanya arus kebocoran ini dapat menyebabkan adanya arus yang mengalir juga masuk dan keluar menerobos floating gate sehingga muatan yang terdapat didalamnya dapat bertambah dan berkurang sehingga apabila dibaca dapat menyebabkan data menjadi hilang atau bertambah dan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Arus kebocoran dapat dihitung melalui persamaan berikut
(2.11) dimana W dan L adalah adalah lebar dan tinggi dari transistor, μ adalah mobilitas pembawa muatan, v th =kT/q adalah thermal voltage pada temperatur T, C sth adalah nilai gabungan dari kapasitansi dari daerah deplesi dan kapasitansi dari interface trap dari MOS devais, dan η adalah koefisien drain-induced barrier lowering (DBIL). n adalah slope shape factor yang dapat dihitung dari persamaan dibawah ini
(2.12) dimana C ox adalah kapasitansi gerbang oksida dari devais MOS. Ketika V ds semakin membesar atau nilai v th menuju nol, persamaan arus kebocoran I SUB menjadi
(2.13)
43
dengan
(2.14) dan S menunjukan koefisien swing parameter dari kurva I-V karakteristik devais MOS. Persamaan swing parameter telah diturunkan oleh Roy (2003) sebagai berikut:
(2.15)
3.2.3 Material high-κ Material high-κ telah digunakan sebagai tunnel oxide semenjak tahun 2007 ketika Intel mengeluarkan prosessor Core 2 Duo. Penggunaan teknologi material high-κ pada prosesor Intel terbukti dapat mengurangi arus kebocoran, disipasi daya, dan meningkatkan kinerja prosesor. Dalam hal ini, material high-κ akan diimplementasikan ke devais memori berbasis quantum dot floating gate MOSFET. Penggunaan material high-κ pada devais memori ini diharapkan dapat meningkatkan kinerja prosesor dan mengurangi arus kebocoran. 3.2.3.1
Equivalent Oxide Thickness (EOT) Dalam teknologi CMOS, terdapat tiga buah gabungan kapasitansi untuk mendapatkan kapasitansi total dari CMOS. Pertama adalah kapasitansi oksida, kedua adalah kapasitansi daerah deplesi, dan yang ketiga adalah kapasitansi yang dihasilkan oleh pembawa muatan pada substrat MOS. Untuk mengganti komponen material dari devais MOS diwajibkan untuk menjaga nilai kapasitansi agar devais dapat bekerja. Penggantian tunnel oxideakan dibahas kali ini sehingga kapasitansi oksida gerbang terobosan perlu dihitung kembali. EOTadalah nilai dari kapasitansi baru dari oxida gerbang terobosan yang harus memiliki karakteristik yang sama dengan gerbang oksida sebelumnya yang dibentuk oleh SiO 2 (Robertson, 2004). Pertama, gabungan dari daerah deplesi, oksida gerbang, dan daerah floating gate dianggap sebagai dua buah plat (daerah deplesi dan daerah floating gate) dengan satu buah bahan dielektrik (oksida gerbang). Nilai kapasitansi dari dua buah plat diberikan sebagai berikut (2.16) dengan A adalah luas penampang plat, ε 0 adalah permitivitas pada ruang hampa, t adalah tebal dielektrik. K adalah konstanta dielektrik. Karena kapasitansi berbanding terbalik dengan ketebalan dielektrik (oksida gerbang terobosan) maka dibutuhkan material lain yang memiliki konstanta dielektrik yang lebih tinggi. EOT yang terbentuk mempunyai nilai sebagai berikut.
(2.17)
44
dimana 3,9 adalah konstanta dielektrik dari SiO 2 , t high-K adalah tebal oksida yang diharapkan, t ox adalah tebal oksida yang baru, K adalah nilai konstanta dielektrik dari material high-κ. 3.2.3.2
Pemilihan high-k material Material high-κ yang sesuai untuk menggantikan SiO 2 tunnel oxide terpampang pada Tabel 1. Ada beberapa kriteria yang dibutuhkan agar material tersebut dapat digunakan sebagai tunnel oxide pada divais memori.
Memiliki konstanta dielektrik antara 10 sampai dengan 30 agar memiliki nilai EOT yang mendekati, Memiliki conduction band offset diatas 1 eV agar dapat bertindak sebagai insulator, dan Memiliki stabilitas apabila digabungkan dengan silikon agar dapat bekerja dengan baik. Tabel 1. Material high-κ yang memenuhi kriteria dan disimulasikan.
Material
Konstanta Dielektrik
Band Gap
Vb Offset
Cb Offset
SiO 2
3,9
9
4.4
3,2
HfO 2
25
5,8
3.4
1,4
ZrO 2
25,2
5,8
3.3
1,5
Y2O3
15
6
3.6
2,3
45
3.3 Simulasi Arus Kebocoran dan Performa Memori 3.3.1
Simulasi Arus Kebocoran pada floating gate Si/Ge/Si quantum dot MOSFET Ada beberapa step untuk menghitung dan melakukan simulasi arus kebocoran pada floating gate MOSFET. Pertama, threshold voltage akan dihitung. Dari threshold voltage ini akan diketahui arus kebocoran yang akan terjadi pada MOSFET. Threshold voltage adalah tegangan yang dibutuhkan agar ada arus yang mengalir dari source ke drain melalui daerah inversi. Karena divais kita semakin diperkecil, maka besar threshold voltage dari divais juga berubah sesuai dengan persamaan dibawah ini
(3.1) dengan V fb adalah potensial flat band, N a adalah densitas doping pada substrat silikon, q adalah muatan elektron, ε si adalah permitivitas silikon, C ox adalah kapasitansi dari gerbang oksida, dan ψ b adalah perbedaan dari tegangan Fermi dan tegangan intristik dari substrat yang dijelaskan oleh persamaan berikut
(3.2) dengan kedua persamaan diatas dan dari persamaan (2.54) dan (2.56) maka kita dapat menetukan hubungan arus bocor dengan fungsi ketebalan oksida dan tempertatur (Sze, 1985).
3.3.2 Simulasi Performa Memori floating gate Si/Ge/Si quantum dot MOSFET 3.3.2.1
Simulasi probabilitas tunneling Proses penulisan data adalah proses pengisian muatan pada quantum dot. Sedangkan proses penghapusan data adalah proses penghilang muatan pada quantum dot. Kecepatan dari penulisan dan penghapusan data dipengaruhi pula oleh proses tunneling. Proses pengisian muatan adalah proses tunneling muatan (elektron/hole) dari substrat silikon ke floating gate quantum dot menerobos tunnel oxide (oksida gerbang) pada divais. Kedua proses ini akan menjadi penentu akan kecepatan dan performa memori divais yang akan disimulasikan. Metoda multistep potential intinya adalah membagi-bagi potensial penghalang menjadi beberapa potensial kotak agar dapat dihitung dengan mudah. Karena potensial kotak merupakan bentuk yang paling sederhana sehingga tidak diperlukan model matematika yang terlalu rumit. Matriks transfer diaplikasikan pada N buah partisi sehingga didapatkan amplitudo transmisi dan selanjutnya diperoleh
46
probabilitas tunneling-nya.Fungsi gelombang elektron yang datang pada potensial U j dituliskan sebagai berikut (3.3) Quantum dot floating gate MOSFET adalah modifikasi dari MOSFET biasa, oleh karena itu proses tunneling pada devais ini hampir sama dengan MOSFET biasa. Elektron dari substrat yang terakumulasi pada keadaan inversi dengan energi tertentu melakukan tunneling melewati potensial penghalang berupa dilektrik SiO 2 , dengan tinggi potensial dari pita konduksi Si sebesar 3,15 eV. SiO 2 akan diganti dengan material high-K yaitu HfO 2 , ZrO 2 , dan Y 2 O 3 dengan masing-masing tinggi potensial 1,4 eV; 1,5 eV; dan 2,3 eV.
Gambar 3.5. Illustrasi pendekatan multistep potential. dengan (3.4) dengan memenuhi syarat kontinuitas dan syarat batas untuk setiap daerah, (3.5)
(3.6) kemudian, koefisien A j dan B j dapat dituliskan dengan matrix 2x2
(3.7) dimana
47
(3.8) dan (3.9) (3.10) (3.11) (3.12) dimana
(3.13) selanjutnya didefinisikan matriks transfer sebagai berikut,
(3.14) dengan mengambil nilai A o = 1 dan B n+1 = 0 (tidak ada gelombang datang elektron dari arah lain) maka didapatkan koefisien A n+1 adalah
(3.15) dan akhirnya diperoleh probebilitias transmisi D(E)
(3.16) Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, potensial trapesium tersebut harus dibagi lagi menjadi lebih banyak bagian. Hal ini dikarenakan semakin banyak jumlah partisi maka potensial yang didekati akan menyerupai potensial sebenarnya dan menghasilkan probabilitas tunneling yang lebih halus. 3.3.2.2
Simulasi Kecepatan Operasi Kecepatan penulisan dan penghapusan t dapat didefinisikan dengan persamaan dibawah ini (Zhao et.al., 2006), (3.17) dengan q, J, dan L adalah muatan elektron, rapat arus tunneling, dan panjang nanokristal.
48
Rapat arus terobosan dapat didefinisikan dengan persamaan dibawah ini. Dimana nilai D(E) yang diperoleh adalah nilai yang dihasilkan dengna metode multistep potensial.
(3.18) Dengan f(E) adalah frekuensi impact, ρ(E) adalah rapat keadaan elektron untuk 2 derajat kebebasan, F(E) adalah distribusi Fermi-Dirac orde ½, dan D(E) adalah probabilitas tunneling.
(3.19)
(3.20)
49
3.4 Arus Kebocoran dan Performa Memori Si/Ge/Si Quantum Dot MOSFET 3.4.1
Arus kebocoran sebagai fungsi dari tebal oksida. Dari gambar dibawah diketahui apabila semakin kecil tebal oksida maka arus kebocoran akan meningkat secara eksponensial.Arus kebocoran akan berkurang dengan menggantinya dengan oksida high-κ. HfO 2 dan ZrO 2 memiliki arus kebocoran yang hampir sama, karena memiliki konstanta dielektrik sebesar 25 dan 25,2. Y 2 O 3 memiliki arus kebocoran lebih kecil dibandingkan dengan kedua material sebelumnya walaupun mempunyai konstanta dielektrik yang lebih kecil yaitu sebesar 15. Hal ini disebabkan karena nilai kapasitansi pada daerah deplesi meningkat dan menyebabkan nilai arus kebocoran menjadi lebih kecil.Hasil pada Gambar 6juga menunjukan bahwa silikon dengan ketebalan dibawah 0,5 nanometer tidak akan berfungsi karena kebocorannya melebihi limit yang ditunjukkan pada Gambar 1yaitu diatas 10-8 A/cm2.
Gambar 3.6. Arus kebocoran sebagai fungsi dari tebal oksida.
3.4.2
Arus kebocoran sebagai fungsi dari temperatur. Pada Gambar 3.7 dapat disimpulkan bahwa pada temperatur yang sangat tinggi, arus kebocoran akan semakin membesar. Arus kebocoran sebesar 10-5 A/cm2 dapat ada kemungkinan menyebabkan devais menjadi rusak. Hal ini disebabkan karena bertambahnya tegangan threshold sehingga menyebabkan daerah dibawah threshold menjadi membesar dan menyebabkan arus kebocorannya menjadi membesar pula. Gambar 3.7 menunjukan arus kebocoran sebagai fungsi dari temperatur dari rentang 0 oC sampai dengan 300 oC. Simulasi ini dilakukan dengan EOT sebesar 1,2 nanometer.
50
Gambar 3.7. Arus kebocoran sebagai fungsi dari temperatur dari 0 oC sampai dengan 300 o C. Gambar 3.8 sengaja dibuat untuk melihat arus kebocoran pada keadaan nyata. Komputer biasa beroperasi dengan suhu diatas 25 oC sampai dengan 100 oC. Biasanya pada saat menyentuh temperatur 100 oC, komputer dianggap overheating. Pada Gambar 8 menunjukan arus kebocoran sebagai fungsi dari temperatur dari rentang 25 o C sampai dengan 100 oC. Dilihat pada inset Gambar 8terlihat arus kebocoran masih dibawah 10-8 A/cm2 baik untuk SiO 2 dan oksida high-κ lainnya. Namun apabila divais dipaksa bekerja lebih keras temperatur akan bertambah, sehingga ada kemungkinan arus bocor pada SiO 2 akan melibihi limit.
Gambar 3.8. Arus kebocoran sebagai fungsi dari temperatur dari 25 oC sampai dengan 100 oC.
51
3.4.3 Kecepatan Penulisan Floating Gate Si/Ge/Si Quantum Dot MOSFET Hasil simulasi yang diperoleh ditunjukan oleh Gambar 3.9 dengan hubungan waktu operasi penulisan sebagai fungsi ketebelan oksida high-κ. Plot tersebut dimulai dari ketebalan high-κ oksida 6 nanometer sampai dengan 8 nanometer yang memiliki nilai EOT 0.9 nanometer sampai 1.2 nanometer. Kecepatan penulisan memori akan berkurang, dikarenakan waktu yang diperlukan bertambah, seiring bertambahnya tebal oksida. Dengan semakin tebalnya lapisan oksida, maka pembawa muatan hole untuk penulisan akan lebih sulit menerobos potensial penghalang. Pada grafik tersebut telihat bahwa waktu penulisan dengan HfO 2 dan ZrO 2 jauh lebih cepat dibandingkan dengan Y 2 O 3 . Hal ini disebabkan karena HfO 2 dan ZrO 2 memiliki valence band offset terhadap silikon yang lebih kecil dibandingkan Y 2 O 3 . Semakin tinggi potensial penghalang menyebabkan pembawa muatan semakin sulit untuk menerobos oksida. Valence band offset terhadap silikon akan berperan sebagai potensial penghalang. HfO 2 , ZrO 2 , dan Y 2 O 3 memiliki valence band offset sebesar 3,4 eV, 3,3 eV, dan 3,6 eV yang dapat dilihat pada Tabel 1. Performa penulisan dapat dikatakan semakin cepat apabila memiliki waktu operasi yang semakin kecil. Hasil simulasi ini membandingkan kecepatan operasi antara tiga buah material high-κ sebagai oksida yaitu HfO 2 , ZrO 2, dan Y 2 O 3 .
Gambar 3.9 Kecepatan penulisan sebagai fungsi dari tebal oksida.
52
3.4.4 Kecepatan Penghapusan Floating Gate Si/Ge/Si Quantum Dot MOSFET Gambar 3.10 menunjukan hasil simulasi kecepatan penghapusan sebagai fungsi dari tebal oksida. Dari Gambar 3.10 dapat disimpulkan bahwa ZrO 2 dan HfO 2 memiliki kecepatan penulisan yang lebih cepat dibandingkan Y 2 O 3 .Plot tersebut dimulai dari ketebalan high-κ oksida 6 nanometer sampai dengan 8 nanometer yang memiliki nilai EOT 0.9 nanometer sampai 1.2 nanometer. Hal ini disimpulkan dari waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penghapusan yang paling kecil. ZrO 2 dan HfO 2 memiliki kecepatan penghapusan yang besar karena memiliki potensial penghalang paling kecil yaitu 1,5 eV dan 1,4 eV. Sedangkan Y 2 O 3 memiliki kecepatan penghapusan yang lebih lambat memiliki potensial penghalang 2,3 eV. Sama halnya dengan kecepatan penulisan, kecepatan penghapusan HfO 2 kecepatannya lebih besar dari ZrO 2 yang memiliki tinggi potensial lebih kecil. Hal ini disebabkan karena plot hasil rapat arus probabilitas bergelombang, sehingga ada nilai HfO 2 yang lebih besar dibandingkan ZrO 2 pada tingkat energi tertentu.
Gambar 3.10. Kecepatan penghapusan sebagai fungsi dari tebal oksida.
53
DAFTAR PUSTAKA A.S. Aji and Y. Darma, AIP Conf. Proc. 1454, 195 (2012). D. Zhao, Y. Zhu, R. Li, J.Liu, IEEE Trans. on Nanotech., vol. 5, No. 1, pp. 37-41, 2006. D. Zhao, Y. Zhu, R. Li, J.Liu, IEEE Trans. on Nanotech., vol. 5, No. 1, pp. 37-41, 2006. F. Fallah and M. Pedram, “Standby and Active Leakage Current Control and Minimization in CMOS VLSI Circuits.” Special Low-Power LSI Issue of IEICE Trans. on Fundamentals of Electronics, Communications and Computer Sciences, Apr. 2005. Housa, M., High-κ Gate Dielectrics, London: IOP Publishing, 2004. J. D. Carperson, L. D. Bell, H. A. Atwater, J. Appl. Phys., 91., pp. 261-267, 2002. J. Robertson, Eur. Phys. J. Appl. Phys. 28, 265–291, 2004 K. Roy and S, Mukhipadhyay. Proceedings of The IEEE, 91, No. 2, February 2003. Mitin, V. V., Viatcheslav A.K., Michael A.S., Quantum Heterostructure: Microelectronics and Optoelectronics, UK: Cambridge, 1999. S. Chung and C.-T Li, “An Analytical threshold-voltage model of trench-isolated MOS devices with nonuniformly doped substrates”, IEEE Trans. Electron Devices, 39, March, 61-622.1992. Schimd, G, Nanoparticle: From Theory to Application, Weinhem: WILEY-VCH Verlag GmbH & Co. KgaA, 2010. Sze, S.M., Kwok K. N., Physics of Semiconductor Devices 3rd edition, New Jersey: John Willey and Sons, 2007. Sze, S.M., Semiconductor Devices: Physics and Technology, New York: John Willey, 1985. Y. Ando and T. Itoh, J. Appl. Phys. 61 (4), 15 February 1987. Y. Darma, H Murakami and SMiyazaki,Jpn. J. Appl. Phys. 42.4129-4133.2003 Y. Darma, R. Takaoka, H. Murakami and S. Miyazaki,Nanotech. 14, no. 4, pp. 413415, 2003. Y. Darma, T. Fattirahman, and R. Kurniadi, Solid States Sciences and Technology,16, 160-167.2008
54
Bab 4 Partikel Nano untuk Sunscreen menggunakan TiO2 Oleh : Alvina Kusumadewi K
4.1 Pendahuluan Aktivitas di bawah sinar matahari seringkali mengganggu kesehatan. Sinar matahari yang terlalu terik dapat membuat kulit manusia terbakar dan menjadi lebih gelap. Kebutuhan akan perlindungan dari sinar matahari semakin meningkat. Dibutuhkan cara perlindungan yang praktis agar aktivitas yang dilakukan tidak terganggu. Pada umumnya, beberapa orang menggunakan pakaian dengan lengan panjang dan celana panjang agar kulitnya terlindungi dari sinar matahari tetapi dengan berpakaian seperti itu seringkali mengganggu aktivitas karena suhu badan menjadi lebih panas dan lebih mudah berkeringat. Beberapa orang memilih topi atau penutup kepala untuk melindungi wajahnya dari sinar terik matahari agar tidak terbakar dan menjadi lebih gelap. Tetapi cara seperti ini juga tidak praktis mengingat topi atau penutup kepala harus dibawa kemanapun berada. Salah satu solusi yang ditemukan oleh para peneliti adalah dengan menggunakan cairan atau krim ( lotion ) yang dapat diaplikasikan secara langsung ke kulit dan dapat bertahan dalam waktu yang cukup lama. Beberapa material yang digunakan dalam kandungan krim diujicoba agar diperoleh krim dengan kandungan material yang aman untuk tubuh dan dapat melindungi kulit dari sinar matahari. Umumnya material-material yang digunakan dalam sunscreen adalah titanium dioxide, TiO 2 , zinc oxide, ZnO, dan ferro oxide.
4.1.1 Sinar Ultraviolet Sinar matahari terbagi dalam beberapa panjang gelombang. Sinar ultraviolet merupakan sinar dari radiasi matahari dengan panjang gelombang yang pendek (skala nano meter). Berdasarkan panjang gelombangnya, sinar ultraviolet dibagi menjadi 3 yaitu UVA dengan panjang gelombang 320-400 nm, UVB dengan panjang gelombang 290-320 nm, dan UVC dengan panjang gelombang 100-290 nm.
55
Gambar 4.1. Beberapa Panjang Gelombang pada Sinar UV
( http://anath.hubpages.com/hub/Sun-protection ) Sinar UVC memiliki panjang gelombang yang paling pendek sehingga UVC tidak menembus lapisan ozon. Akibatnya, panjang gelombang UVC tidak sampai ke permukaan bumi dan tidak memberikan pengaruh pada kulit sedangkan UVB dan UVA memiliki panjang gelombang yang lebih panjang sehingga dapat menembus lapisan ozon. Sinar UVB dapat menembus lapisan kulit manusia sampai ke lapisan epidermis sedangkan sinar UVA memiliki panjang gelombang paling panjang sehingga dapat menembus lapisan kulit manusia hingga ke lapisan dermis. Tembusnya sinar UV ini menyebabkan kerusakan kulit dan beberapa penyakit. Efek dari tembusnya sinar UVB ke dalam kulit adalah kulit terbakar ( sel-sel kulit menjadi mati ), keriput, dan penuaan kulit. Efek dari sinar UVA memiliki panjang gelombang yang lebih panjang dan menembus kulit hingga bagian dermis sehingga sinar ini dapat menyebabkan kerusakan DNA pada jaringan kulit dan menimbulkan penyakit kanker kulit dan lupus.
56
Gambar 4.2. Sinar UV yang menembus kulit (http://www.natural-organic-sunscreen.com/image-files/skin-uv.jpg)
4.1.2 Sunscreen Agar kulit terhindar dari kerusakan akibat sinar UV, maka dibutuhkan suatu produk untuk melindungi kulit. Salah satunya adalah sunscreen. Sunscreen berbentuk cairan ( lotion ) yang dapat diaplikasikan secara langsung ke kulit. Pada umumnya, sunscreen digunakan ketika melakukan aktivitas di siang hari seperti berenang, mendaki gunung, ke pantai, dan kegiatan lain yang dilakukan secara langsung di bawah sinar matahari. Dengan menggunakan sunscreen, sinar UV dapat dipantulkan, dihamburkan, dan diserap sehingga sinar UV tidak langsung menyentuh kulit. Untuk menperoleh sunscreen yang dapat melindungi kulit dengan baik maka dibutuhkan beberapa kandungan partikel di dalam sunscreen yang dapat menyerap, memantulkan, dan menghamburkan sinar UV. Partikel yang bisa digunakan untuk sunscreen adalah titanium dioxide, zinc oxide, dan ferro oxide. Pada laporan ini, partikel yang akan ditinjau adalah titanium dioxide.
4.1.3 Sun Protection Factor Sun Protection Factor merupakan besaran nilai faktor pelindung dari sinar matahari yang terkandung dalam sunscreen. Angka yang ditunjukan pada SPF menunjukan rentang waktu daya perlindungan sunscreen pada kulit agar tidak terbakar sinar UV. Jika rentang waktu kulit tidak terbakar oleh matahari tanpa penggunaan sunscreen adalah 4 menit untuk kulit berwarna terang dan SPF yag digunakan adalah SPF 15 maka rentang waktu kulit tidak terbakar matahari menjadi 4 menit dikalikan dengan 15 atau rentang waktunya adalah 60 menit dan jika
57
menggunakan SPF 30 maka rentang waktu kulit tidak terbakar matahari menjadi 4 dikalikan dengan 30 atau 120 menit. Maka angka yag ditunjukkan pada SPF adalah angka yang tertera pada SPF dikalikan rentang waktu kulit tidak terbakar matahari tanpa sunscreen. Hal ini berlaku untuk seluruh angka yang tertera pada SPF dan bergantung pada jenis kulit. Semakin gelap warna kulitnya maka rentang waktu kulit tidak terbakar matahari tanpa menggunakan sunscreen akan lebih lama karena warna kulit gelap memiliki kandungan pigmen melanin yang lebih banyak. Pigmen melanin berfungsi sebagai pelindung agar sinar UV tidak mengenai lapisan di bawahnya.
Gambar 4.3. Sun Protection Factor untuk Berbagai Jenis Kulit (www.fhm.com)
4.2 Partikel Nano Partikel nano adalah partikel dengan ukuran nanometer. Pada umumnya suatu partikel disebut partikel nano jika partikel tersebut memiliki dimensi kurang dari seribu nanometer. Partikel nano memiliki sifat lebih reaktif dan memiliki sifat fisis dimana ukuran partikel menentukan energi bandgap yang dimilikinya.
58
4.2.1 TiO 2 Elemen titanium pertama kali ditemukan oleh William Gregor pada tahun 1971 di Inggris ketika William Gregor mendapatkan pasir hitam di tempat tetangganya. Setelah diteliti, William Gregor mengetahui bahwa elemen tersebut adalah mineral yang kemudian dinamakan menachanite. Empat tahun kemudian Martin H Klaproth menemukan kandungan elemin kimia baru di dalam elemen ini dan dinamakan titanium. Titanium dioxide sudah dimanfaatkan secara luas dalam berbagai jenis nanomaterial baik nanoparticle, nanorods, nanowires, nanotubes, nanoporous pada TiO 2 yang mengandung material lain. TiO 2 memiliki kemampuan fotokatalis dimana dengan material ini suatu reaksi dapat terjadi dengan bantuan gelombang cahaya. Kelebihan lainya adalah titanium dioxide memiliki permukaan yang dapat bereaksi dengan molekul-molekul biologis. Titanium banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari diantaranya adalah pasta gigi, cat tembok, dunia otomotif, produk makanan, dan produk kecantikan. Salah satu aplikasi yang digunakan dalam dunia kecantikan adalah krim pelindung dari sinar matahari ( sunscreen ). TiO 2 merupakan partikel berukuran 20-50 nm yang terdiri dari titanium dan oxide. Di alam titanium dioxide bisa ditemukan dalam 3 fasa, fasa anatase, rutile, atau brookite dengan ukuran yang berbeda-beda. TiO 2 memiliki energi band-gap sekitar 3.2 eV untuk fasa anatase dan 3.0 eV untuk fasa rutilenya. Pada umumnya TiO 2 yang digunakan pada sunscreen adalah TiO 2 pada fasa anatase tetapi fasa anatase lebih fotoaktif dibandingkan fasa rutile. Hal ini menyebabkan rekombinasi elektron dan hole menjadi lebih sedikit dan efisiensi absorpsi oksigen menjadi lebih tinggi sehingga seharusnya fasa rutile menjadi pilihan pada TiO 2 untuk digunakan dalam sunscreen. Dengan energi band-gap ini, sinar yang diserap oleh TiO 2 hanya sinar dengan rentang panjang gelombang sinar UV saja sedangkan sinar dengan panjang gelombang lain tidak diserap seperti cahaya tampak. Kelebihan dari partikel titanium dioxide adalah partikel ini memiliki luas permukaan yang lebih lebar dan dapat meresap dengan mudah ke dalam lapisan kulit, lebih mudah bereaksi dengan oksigen, membuat kulit muka menjadi lebih putih karena sinar UV yang mengenai TiO 2 berpendar, juga dapat menyerap sebanyak 70% dari sinar UV yang menyentuh lapisan kulit.
Gambar 4.4. Material Titanium Dioxide ( www.koboproducts.com )
59
(a)
(b)
Gambar 4.5. (a) Fasa Anatase dan (b) Fasa Rutile ( www.koboproducts.com)
4.2.2 Reaksi antara TiO 2 dan Sunscreen Panjang gelombang di bawah panjang gelombang sinar UVA dan UVB yang mengenai lapisan sunscreen di atas permukaan kulit akan membuat elektron yang terdapat pada pita valensi akan tereksitasi ke pita konduksi. Karena energi pada panjang gelombang UVA dan UVB lebih besar dari energi band gap titanium dioxide. Sehingga energi dari sinar UV yang seharusnya digunakan untuk merusak lapisan kulit jika tidak memakai sunscreen dialihkan untuk proses eksitasi elektron pada titanium dioxide jika memakai sunscreen. Hasil eksitasi berupa elektron di pita konduksi dan hole di pita valensi. Kemudian elektron dan hole akan ditransfer di seluruh permukaaan volume TiO 2 . Proses ini menyebabkan timbulnya reaksi reduksi dan oksidasi. Elektron akan mereduksi oksigen di lingkungan dan menghasilkan super oxide dan hole akan mengoksidasi molekul air sehingga menghasilkan molekul hidroksil yang bersifat radikal bebas. TiO 2 + UV TiO 2 ( e- + h+ ) e- + O 2 O 2 h+ + OH- OH h+ + H 2 O OH + H+ Daya perlindungan sunscreen bergantung pada banyaknya krim yang diaplikasikan di kulit dan konsentrasi juga dispersi partikel TiO 2 di dalam krim. Jika krim yang digunakan pada kulit sedikit maka jumlah partikel TiO 2 di dalam krim juga akan sedikit sehingga jumlah sinar UV yang diserap dan dihamburkan hanya sedikit. Jika konsentrasi partikel TiO 2 tinggi tetapi dispersinya rendah maka akan terdapat banyak celah pada krim sehingga sinar UV dapat tembus ke permukaan kulit. Untuk konsentrasi partikel TiO 2 rendah tetapi dispersinya tinggi, konsentrasi sinar UV yang diserap oleh partikel tidak terlalu tinggi. Dengan konsentrasi partikel TiO 2 tinggi dan dispersi tinggi, sinar UV akan diserap dan dihamburkan dengan sangat baik sehingga kulit dapat 60
terlindungi dengan baik. Pengaplikasian sunscreen yang terlalu banyak tidak dianjurkan karena keberadaan unsur kimia di lapisan kulit dalam kandungan terlalu besar dapat membahayakan kulit dan permukaan kulit menjadi licin.
Gambar 4.6. Proses Reaksi Titanium Dioxide di Dalam Sunscreen
4.2.3 Pelapisan TiO 2 Karena reaksi antara hole dengan dengan molekul air di udara menghasilkan radikal bebas pada panjang gelombang tertentu ( lebih dari 300nm ) sehingga partikel radikal bebas tersebut merusak lapisan kulit, maka partikel TiO 2 pada sunscreen harus dilapisi oleh material lain. Beberapa material yang digunakan untuk melapisi TiO 2 diantaranya adalah alumina Al 2 O 3, magnesium, silica, zirconium, dan zinc dengan dimethicone. Pelapisan pada umumnya tersusun dari hidroksida dan oksida dari material yang digunakan. Untuk kasus-kasus tertentu, titanium oksida dan titanium hidroksida dapat muncul di permukaan lapisan. Material yang digunakan untuk melapisi TiO 2 adalah material yang tidak merubah secara signifikan energi bandgap yang dimiliki oleh TiO 2 .
61
Al2O3
Gambar 4.7. Pelapisan TiO 2 dengan Alumina
(www.koboproducts.com) Karena pelapisan ini, reaktivitas dengan sinar UV akan berkurang dan partikel radikal bebas yang ada terperangkap di dalam lapisan alumina atau silica dan akan terbawa air ketika mandi atau membersihkan badan. Keuntungan lain dari pelapisan TiO 2 ini adalah meningkatnya kemampuan dispersi, stabilitas dispersi, transparansi, daya tahan, dan permukaan lapisan yang lebih halus (IARC). Pada umumnya untuk fasa rutile, permukaan titanium dioxide dilapisi sebanyak 1-15% dan untuk fase anatase dilapisi sebanyak 1-5%. Pelapisan dilakukan secara merata di seluruh permukaan.
4.3 Kesimpulan Sinar UV terbagi menjadi 3 jenis berdasarkan panjang gelombangnya, UVA, UVB, dan UVC. Sinar UV yang membahayakan kulit adalah sinar UVB dan UVA. Untuk melindungi kulit dari sinar UV yang membahayakan digunakan sunscreen yang mengandung partikel nano. Partikel nano yang diteliti adalah titanium dioxide. Titanium dioxide memiliki beberapa kelebihan yaitu memiliki energi band-gap yang sesuai dengan energi UV sehingga gelombang cahaya tampak tidak diserap, membuat warna kulit menjadi lebih terang, memiliki luas permukaan yang lebih lebar dan lebih mudah menyerap ke dalam kulit, dan dapat menyerap sinar UV mencapai 70%. Sinar UV dengan panjang gelombang tertentu dapat menyebabkan terbentuknya partikel radikal bebas sehingga partikel titanium dioxide perlu dilapisi. Pelapisan titanium dioxide menggunakan alumina atau silica sehingga partikel radikal bebas tidak bereaksi dengan lapisan kulit.
62
DAFTAR PUSTAKA Arora, H., Doty. Ye, Y., Boyle, J., Petras, K., Rabatic, B., Paunesku, T., Woloschak, G. Titanium Dioxide Nanocomposites. Nanomaterials for the Life Sciences, 8 (2010) http://www.wiley-vch.de/books/sample/3527321683_c01.pdf Bunhu, T., Kindness, A., and Martincigh, B.S., Determination of Titanium Dioxide in Commercial Sunscreens by Inductively Coupled Plasma–Optical Emission Spectrometry. S. Afr. J. Chem., 64, 139–143 (2011) Chapman, M.S. MD,. Sunscreens: The Importance of UVA Protection. http://fp.arizona.edu/kkh/nats101gc/PDFs06/medscape.today.uva.pdf Eastern Research Group. Final Report. State of the Science Literature. Review: Nano Titanium Dioxide Environmental Matters. Scientific, Technical, Research, Engineering and Modeling Support (STREAMS). U.S Environmental Protection Agency Office of Research and Development. Washington, DC 20460. www.epa.gov/nanoscience/files/NanoPaper2.pdf Graham, A., Kent, P. Titanium Dioxide and Zinc Oxide Nanoparticles in Sunscreen Formulations: A Study of The Post Production Particle Size Distribution of Particles in A Range of Commercial Emulsion Variants. Hamilton Laboratories. Adelaide, South Australia. http://anath.hubpages.com/hub/Sun-protection How
Sunscreen Block : The Absorption of UV Light. http://nanosense.org/.../clearsunscreen/absorption/CS_Lesson3Teacher.pdf
Johannes, F.J., Poel, I., Osseweijer, P. Sunscreens with Titanium Dioxide (TiO2) NanoParticles: A Societal Experiment. Nanoethics, 4, 103-113 (2010) Klaessig, F. TiO 2 : Production Methods and Characterization. California DTSC Presentation, 8 March 2010. www.dtsc.ca.gov/.../upload/Klaessig_TiO2_Mfr_and_Char.pdf Renner, G., Colipa. Nano-Titanium Dioxide in Sunscreen. Safety for Success Dialogue, Brussels, 3 November 2009. Shao,
Yun., Bartholomey, Ed. Formulating Natural Sunscreens. Kobo. www.koboproductsinc.com/Downloads/Formulating_natural_sunscreenMarch2009.pdf
Titanium Dioxide. http://monographs.iarc.fr/ENG/Monographs/vol93/mono937.pdf
63
Therapeutic Goods Administration. A Review of The Scientific Literature on The Safety of Nanoparticulate Titanium Dioxide or Zinc Oxide in Sunscreen. Australian Government. Departement of Health and Ageing (2009) www.fhm.com
64
Bab 6 Organic Light Emitting Diode Oleh : R. Dunden Gilang Muharam
6.1 Organic Light Emitting Diode Organic Light Emitting Diode (OLED) adalah suatu divais yang dapat digunakan sebagai display ataupun lampu. Prinsip OLED berdasarkan proses elektroluminesensi. Proses tersebut yaitu proses konversi dari energi listrik menjadi radiasi elektromagnetik. Radiasi elektromagnetik yang diemisikan oleh OLED biasanya dalam rentang cahaya tampak. Berdasarkan prinsip elektroluminisensi maka OLED terdiri dari dua buah elektroda yang disusun beserta bahan emisif diantara kedua elektroda tersebut. Gambar struktur OLED dapat dilihat pada Gambar 6.1
Gambar 6.1 OLED (a) Struktur (b) Jenis OLED bersarkan penggunaan (Robles, Raquel Ovalle, Dissertation: Physical Process in OLED with Transparant CNT Sheets as Electrode 2008) OLED terdiri dari beberapa komponen yaitu : 1.
Substrat Substrat yang dapat digunakan pada OLED yaitu plastik, glass, plastik dengan dilapisi ITO dan glass yang dilapisi ITO. Beberapa persyaratan substrat yang dapat digunakan yaitu bahan tersebut harus transparan sehingga ketika radiasi 77
elektromagnetik yang keluar dari bahan emisif tidak terhalang ataupun terhambur. Selain itu pula bahan tersebut harus memiliki indeks bias yang kecil. 2.
Elektroda Elektroda pada OLED terdiri dari dua bagian yaitu elektroda positif atau dikenal dengan anoda dan elektroda negatif atau katoda. Anoda pada OLED terbuat dari bahan Indium Thin Oxide (ITO), sedangkan katoda terbuat dari bahan metal tipis. Biasanya kedua bahan elektroda transparan tetapi tergantung pada jenis OLED yang dibuat.
3.
Bahan Organik OLED terdiri dari satu atau beberapa lapis bahan organik. Setiap lapis bahan organik memiliki fungsi yang spesifik seperti untuk menginjeksi muatan positif atau muatan negatif, kemudian muatan tersebut dihantarkan menuju layar emisif. OLED berdasarkan bahan organik yang digunakan terbagi atas dua jenis yaitu molekul organik dan polimer. Molekul organik memerlukan proses deposisi pada suatu substrat sehingga diperoleh susunan kristal yang teratur. Diameter dari molekul organik yaitu 5-10 nm. Sedangkan polimer memerlukan proses pelapisan pada suatu substrat. Material tersebut berfungsi untuk meningkatkan sifat emisifitas suatu bahan.
Gambar 6.2 Cara pelapisan molekul pada substrat (Robles, Raquel Ovalle, Dissertation: Physical Process in OLED with Transparant CNT Sheets as Electrode) Penggunaan struktur berlapis dari bahan organik dapat meningkatkan efisisensi dari OLED. Setiap lapisan pada bahan organik memiliki sifat yang spesifik seperti memiliki mobilitas tinggi, laju flourosensi dan sifat emisi. Keuntungan dari penggunaan beberapa lapis bahan organik nyata jika dibandingkan dengan penggunaan hanya satu lapisan sebagai contoh kasus jika hanya menggunakan satu lapisan yaitu lapisan tersebut hanya memiliki sifat 78
mobilitas yang baik tetapi sifat emisif yang buruk ataupun sebaliknya. Efisiensi OLED dapat diukur dalam satuan lumen per watt.
6.2 Jenis OLED OLED dapat dikategorikan menjadi 2 macam berdasarkan penggunaan matriksnya yaitu : 1. Passive Matrix OLED (PMOLED) PMOLED terdiri dari substrat, dua buah elektroda, dan lapisan organik. Perbedaan mendasar dari PMOLED yaitu elektrodanya seperti benang yang disusun secara tegak lurus antara anoda dan katoda. Perpotongan antara tiap anoda dan katoda memiliki fungsi yang spesifik untuk mengatur arus listrik, apakah arus tersebut harus dilewatkan atapun tidak pada perpotongan yang lain, dengan kata lain lain setiap perpotongan berfungsi untuk mengatur pixel, sebagai akibatnya akan terbentuk gambar. Aplikasi PMOLED hanya dapat digunakan pada layar yang kecil, hal ini diakibatkan karena ketika layar dibuat lebih besar maka akan mengganggu kestabilan arus yang melewati perpotongan tersebut.
Gambar 6.3 PMOLED dan aplikasinya (http://macroelectronics.blogspot.com/2009/01/oleds-types-and-applicationspmoled.html) 2. AMOLED Active Matriks Organic Light Emitting Diode (AMOLED) tersusun atas substrat, elektroda, lapisan aktif dan lapisan organik. Berbeda dengan PMOLED, AMOLED memiliki lapisan elektroda yang penuh berupa lembaran. Kemudian disisipkan dengan lapisan aktif maktriks. Lapisan matriks yang dapat digunakan yaitu Thin Film Transistor (TFT). Fungsi dari TFT yaitu sebagai sirkuit untuk mengatur arus pada setiap titik pada pertemuan elektron dan hole sehingga pixel 79
dapat terbentuk. AMOLED dapat diaplikasikan untuk layar yang besar ataupun layar kecil. Berbeda dengan PMOLED, AMOLED memiliki lapisan matriks aktif yang berfungsi untuk mengatur arus sehingga ketika layar dibuat menjadi besar maka tidak akan menggangu kestabilan arus. Untuk aplikasi layar besar yaitu monitor, TV, dll, sedangkan untuk layar kecil digunkan untuk PC tablet, smartphone, dll.
Gambar 6.4 AMOLED dan aplikasinya (Robles, Raquel Ovalle, Dissertation: Physical Process in OLED with Transparant CNT Sheets as Electrode 2008)
Berdasarkan struktur bahan OLED dapat dikategorikan menjadi: 1.
Top Emitting OLED Top Emitting OLED paling sering digunakan dalam divais OLED karena cahaya akan langsung diemisikan kearah vertikal atas melewati katoda. Substrat yang digunakan dapat bersifat tranparan ataupun reflektif.
80
Gambar 6.5 Top Emitting OLED (http://electronics.howstuffworks.com/oled4.htm)
2.
Flexible atau Foldable OLED (FOLED) FOLED terdiri dari bahan yang elastis sehingga divais ini dapat dilipat ataupun digulung. Substrat yang dapat digunakan harus memiliki sifat elestis, biasanya terbuat dari plastik atau campuran bahan polimer.
Gambar 6.6 FOLED (http://pinktentacle.com/2007/05/flexible-full-color-organic-el-display/)
3.
Transparan OLED (TOLED) TOLED memiliki sifat transparan pada semua lapisan dan komponennya (substrat, katoda, anoda dan lapisan organik). Hal ini mengakibatkan cahaya dapat diemisikan ke vertikal atas dan bawah melewati katoda dan substrat. TOLED dapat diaplikasikan pada AMOLED atapun PMOLED. 81
Gambar 6.7 TOLED (http://electronics.howstuffworks.com/oled4.htm) 4.
Stacked OLED (SOLED) SOLED terdiri dari merah, hijau dan biru TOLED, setiap layar TOLED memiliki fungsi untuk mengatur komposisi dan rasio pada setiap warnanya. Lapisan TOLED merah berfungsi untuk mengatur komposisi dan rasio warna merah begitu pula dengan lapisan TOLED hijau dan biru. Perpaduan dari ketiga warna tersebut akan menentukan besar piksel dan kecerahan suatu tampilan.
Gambar 6.8 SOLED (Robles, Raquel Ovalle, Dissertation: Physical Process in OLED with Transparant CNT Sheets as Electrode)
82
5.
White Emitting OLED (WOLED) Untuk mengemisikan warna putih pada WOLED maka diperlukan campuran tiga warna primer (merah, hijau, dan biru) serta warna pelengkap. Struktur WOLED terdiri dari substrat, elektroda, lapisan organik (terdiri dari lapisan emisi merah, hijau, dan biru) serta bahan fosfor.
Gambar 6.9 WOLED (http://www.convertingquarterly.com/industry-news/articles/id/3977/flexible-oledachieves-30-lmw-efficiency-69-cm2-size.aspx) 6.
Phosphor OLED (PHOLED) PHOLED adalah divais OLED yang menggunakan bahan fosfor pada lapisan organiknya. OLED hanya dapat mengkonversi 25% dari energi eksiton menjadi radiasi elektromagnetik, sisanya yaitu 75% berupa panas. Sedangkan ketika disisipkan lapisan fosfor maka OLED dapat mengkonversi energi eksiton hingga menjadi lebih dari 90% radiasi elektromagnetik. Hal ini merupakan salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi OLED.
Gambar 6.10 PMOLED (Robles, Raquel Ovalle, Dissertation: Physical Process in OLED with Transparant CNT Sheets as Electrode) 83
Keuntungan penggunaan OLED Dari grafik di bawah ini dapat dilihat perkembangan jenis-jenis lampu. Lampu konvensional hanya dapat memancarkan radiasi 17 lm/W sedangkan lampu florosensi dapat memancarkan lebih dari 80 lm/W. Sedangkan lampu OLED hanya dapat memancarkan radiasi hanya 30 lm/W. Hal ini merupakan tantangan untuk meningkatkan efisiensi lampu OLED sehingga OLED dapat digunakan untuk aplikasi lampu.
Gambar 6.11 Perkembangan lampu (Robles, Raquel Ovalle, Dissertation: Physical Process in OLED with Transparant CNT Sheets as Electrode) OLED sangat aplikatif untuk penggunaan display, hal ini dikarenakan OLED dapat menghasilkan resolusi yang tinggi, kontras warna yang jernih, dapat dilihat dari berbagai sudut (extremely wide viewing) serta konsumsi energi yang rendah. Salah satu kelemahan LCD yaitu gambar akan buram ketika dilihat dari samping, gambar akan mengalami distorsi jika tidak dilihat dari depan. Sedangkan OLED dapat mengatasi keterbatasan tersebut
6.3 Mekanisme OLED Mekanisme OLED didominasi oleh proses injeksi elektron dan hole, dimana elektron dan hole diinjeksikan dari anoda dan katoda menuju lapisan emisif sehingga terbentuk eksiton. Ada empat proses yang terjadi pada OLED yaitu : 84
a.
Injeksi muatan (elektron dan hole) Proses ini melibatkan injeksi muatan yaitu elektron dari anoda dan hole dari katoda secara bersamaan
b.
Transportasi muatan Kedua muatan (elektron dan hole) pada masing-masing lapisan penginjeksi kemudian di transportasikan menuju beberapa lapisan organik
c.
Pembentukan eksiton Ketika elektron dan hole bertemu pada lapisan emisif maka akan timbul perbedaan tingkat energi pada elektron dan hole yaitu HOMO (Highest Occupied Molecular Orbital) dan LUMO (Low Uncoccupied Molecular Orbital). Perbedaan tingkat energi tersebut menyebabkan elektron berpindah dari tingkat energi rendah menuju tingkat energi tinggi sehingga terbentuk eksiton
d.
Rekombinasi muatan Waktu peluruhan eksiton yaitu dalam skala nanosekon (10-9 sekon), akibat peluruhan tersebut menyebabkan timbulnya spektrum elektromagnetik (elektroluminesensi) pada lapisan emisif.
Gambar 6.12 Mekanisme OLED (Robles, Raquel Ovalle, Dissertation: Physical Process in OLED with Transparant CNT Sheets as Electrode 2008)
85
6.4 Fabrikasi OLED Fabrikasi OLED memegang peran yang sangat penting. Efisiensi dan kinerja dari OLED bergantung pada perlakuan saat fabrikasinya. Ada empat tahap proses pada fabrikasi OLED yaitu 1.
Preparasi Substrat Ada empat macam substrat yang dapat digunakan yaitu glass, plastik, glass dilapis dengan ITO dan plastik yang dilapis dengan ITO. Pada beberapa beberapa kasus dapat pula CNT (Carbon Nano Tube) di masukkan pada keempat substrat tersebut. Beberapa pertimbangan dipilih substrat yaitu substrat harus memiliki permukaan yang halus agar pada saat layar emisif memancarkan spektrum elektromagnetik tidak terhambur serta substrat tersebut harus memiliki transparansi yang tinggi. Berikut ini akan dibahas tahapan preparasi substrat yaitu
a.
Substrat Divais OLED dapat difabrikasi dengan substrat glass dan plastik. Substrat glass memiliki kualitas tampilan yang bagus serta memiliki permukaan yang relatif halus. Beberapa susbtrat glass dapat dilapisi dengan ITO, ketebalan dari lapisan ITO yaitu 120 nm dengan resistivitas 5-15 Ω serta memiliki transparansi lebih dari 80 %.
b.
Photolithograpy substrat ITO Untuk aplikasi divais beberapa susbstrat ITO dapat dibentuk polanya secara teratur menggunakan proses photolithography. Fungsi dari proses tersebut adalah membuat pola ITO serta untuk membersihkan sisa-sisa reaksi kimia pada substrat. Untuk prosesnya yaitu substrat dilapisi dengan acid resist ultra violet (S1813) dan dikeringkan pada suhu 100°C selama 10 menit. Setelah itu substrat kemudian dibentuk polanya dengan lampu UV selama beberapa menit. Setelah terbentuk pola yang teratur kemudian substrat ITO dibersihkan dengan menggunakan hydrochloric acid selama 5 hingga 15 menit. Setelah itu dilakukan pengecekan dengan menggunkan multimeter.
c.
Pembersihan substrat Kontaminasi pada layar divais dapat muncul jika substrat tidak dibersihkan dengan baik, sebagai akibatnya efisiensi divais akan menurun. Untuk mencegah hal tersebut maka perlu dilakukan pembersihan pada substrat dengan menggunakan bath-sanication. Dengan pembersihan menggunkan bathsanication maka kontaminasi pada substrat dapat dihilangkan. Proses pembersihan oleh bath-sanication memerlukan waktu 15 menit dengan pelarut toluene, aseton, isopropil dan air destilasi. Setelah itu substrat di keringkan
d.
Penyisipan Carbon Nano Tube Setelah substrat di bersihkan, maka Carbon Nato Tube (CNT) dapat ditambahkan pada subtrat. CNT ditambahkan pada substrat dengan melarutkan etanol kemudian dikeringkan dengan suhu 100° C. Fungsi dari penambahan CNT yaitu untuk mengurangi ketebalan serta kekasaran substrat dari 20 μm menjadi 80 nm. Selain itu pula fungsi dari CNT dapat meningkatkan transparansi dari substrat. 86
2. Bahan Polimer Hampir semua material molekul untuk fabrikasi OLED menggunakan bahan polimer. Beberapa polimer tersebut yaitu: Molekul 1. Alq3: Tris(8-hydroxyquinolinato) aluminum. Rumus kimia: (C 27 H18 AlN 3 O 3 ). Molekul ini digunakan pada layar penginjeksi elektron dan layar emisif 2. α-NPD: N,N′-Di-[(1-naphthyl)-N,N′-diphenyl]-1,1’-biphenyl)-4,4’-diamine. Rumus kimia: (C 44 H32 N 2 ). Molekul ini digunakan pada layar penginjeksi hole. 3. TPD: N,N′-Bis(3-methylphenyl)-N,N′-diphenylbenzidine. Rumus kimia: ( [-C 6 H4 4 -N(C 6 H 4 CH 3 )C 6 H 5 ] 2 ). Molekul ini digunakan pada layar transport hole 4. BCP: Bathocuproine or 2,9-Dimethyl-4,7-diphenyl-1,10-phenanthroline. Rumus kimia: (C 26 H20 N 2 ). Molekul ini digunakan lapisan emisif. Polimer Konjugat 1. MEH-PPV: poly[2-methoxy, 5-(2’-ethyl-hexyloxy)-p-phenylenevinylene] 2. BEH-PPV: poly(2,5-bis(2-ethylhexyloxy)-p- phenylene-vinylene 3. BEHM-PPV: poly[1,4-bis-2-ethylhexylmercapto]- phenylene-vinylene 4. BDMOM-PPV: poly[1,4-bis-3,7-dimethyloctylmercapto]-phenylenevinylene 5. BEHSO-PPV: poly [1,4-bis-(2-ethylhexyl-sulfoxide)]- phenylenevinylene 6. PFO: poly (9,9-di-n-dodecylfluorennyl-2,2-diyl)
Layar Penginjeksi Elektron dan Hole:
1. PEDOT:PSS : Poly(3,4-ethylenedioxythiophene)-poly(styrenesulfonate). Lapisan ini digunakan sebagai penginjeksi hole. 2. LiF: Lithium Fluoride. Lapisan ini digunkan sebagai penginjeksi elektron.
3.
Deposisi material Ada beberapa cara untuk melapisi bahan (molekul, polimer dan logam) satunya dengan metode thermal evaporation. Reaktor thermal evaporation terdiri dari pemanas, chamber, selang untuk memvakumkan, perahu keramik untuk meletakkan material yang akan dilapisi serta holder untuk meletakkan substrat yang akan dilapisi. Prinsip dari metode ini adalah berdasarkan titik lebur material. Mula-mula material diletakkan pada perahu keramik, kemudian chamber dibuat vakum agar pada saat 87
pelapisan tidak terjadi kontaminasi, setelah itu mulai dinaikkan suhunya hingga mencapai titik lebur material. Setelah material melebur maka akan terjadi proses evaporasi, ukuran partikel menjadi sangat kecil hingga mencapai skala nanometer. Partikel tersebut kemudian dialirkan ke substrat sehingga secara otomatis partikel tersebut akan melapisi substrat.
Glass Tempat menyimpan holder
Detektor kristal Holder Partikel
Filamen Vakum
Gambar 6.13 Mekanisme thermal evaporation (http://www.betelco.com)
4. Pengukuran Divais Setelah semua material dideposisi pada layar maka diperlukan pengukuran untuk menguji sifat listrik divais serta untuk mengukur efisiensinya. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan spectracalorimeter PR-650 dan Keithly 236. Pengukuran tersebut menampilkan data perbandingan antara arus dan tegangan (I-V), intensitas luminisensi dan tegangan (L-V) serta efisiensi arus
88
DAFTAR PUSTAKA A. Mikrajudin. Pengantar Nanosains. Bandung: ITB (2009) B. Geffroy, P. le Roy, C. Prat. Review Organic Light Emitting Diode (OLED) Technology: Materials, Devices and Display Technologies. J. Polym Int 55: 572-582 (2006) D. Ammermann, A.Bohler, W.Kawalsky. Multilayer Organic Light Emitting Diode for Flat Panel Displays. Annual report : Institut fur Hochfrequenztechnick (1995) https://www.tu-braunschweig.de/Medien-DB/ihf/p048-058.pdf H. Antoniadis. Overview of OLED Display Technology. Optosemiconductor google: overview of OLED display technology G. Blasse, B.C Grabmaier. Luminescent Materials. Springer-Verlag (1994) . Robles, R. Ovalle. Physical Process in OLED with Transparant CNT Sheets as Electrodes. Dissertation: University of Texas (2008) B. Geffroy, P. le Roy, C. Prat. Review Organic Light Emitting Diode (OLED) Technology: Materials, Devices and Display Technologies. J. Polym Int 55: 572-582 (2006)
89
Bab 7 Aplikasi Graphene Untuk Lithium Ion Battery Oleh : Fadli Rohman
7.1 Lithium Ion Battery Baterai adalah suatu sel elektrokimia yang mengubah dari energi kimia menjadi energi listrik. Salah satu jenis baterai yang saat ini berkembang adalah baterai Lithium Ion Battery atau baterai lithium ion. Lithium Ion Battery atau baterai lithium ion merupakan salah satu jenis baterai sumber arus sekunder yang dapat diisi ulang. Pada saat ini, LIBs menjadi baterai yang sangat dibutuhkan antara lain untuk kebutuhan energi listrik pada telepon seluler (ponsel), iPod, mp3 player, iPhone dan notebook. Selain tiu, saat ini LIBs sangat dibutuhkan khususnya untuk kendaraan yang sumber energinya dari energi listrik (electric vehicles). Oleh karena itu, LIBs dengan kapasitas energi yang sangat besar dan dengan pemakaian yang cukup lama. Jenis baterai ini pertama kali pada tahun 1970 yang diperkenalkan oleh peneliti dari Exxon yang bernama M. S. Whittingham yang melakukan penelitian dengan judul “Electrical Energy Storage and Intercalation Chemistry”. Beliau menjelaskan mengenai proses interkalasi pada baterai litium ion menggunakan titanium (II) sulfide sebagai katoda dan logam litium sebagai anoda. Proses interkalasi adalah proses perpindahan ion lithium dari anoda ke katoda dan sebaliknya pada baterai lithium ion. Pada tahun 1980, logam lithium pada anoda diganti dengan materail lain yaitu grafit. Hal ini dilakukan oleh Rachid Yazami dan kawan-kawan di Grenoble Institute of Technology (INPG) dan French National Centre for Scientific Research (CNRS) (Krysten Oates, 2010). Penggantian material dari logam lithium menjadi grafit memberikan pengaruh pada performa LIBs serta memberikan efek LIBs sehingga LIBs bisa diisi ulang (rechargeable batteries). Pada tahun 1981, Bell Laboratories mengembangkan elektroda pada anoda berbasis grafit yang telah dikembangkan sebelumnya. John Goodenough dan tim penelitiannya melakukan penelitian dan mengembangkan pada katoda. Penelitian-penelitian ini terus dikembangkan pada saat itu untuk meninjau beberapa parameter penting sebelum LIBs itu sendiri dipasarkan. Parameter-parameter tersebut antara lain material pada elektroda mudah didapat secara komersil, harga yang murah, aman dipakai, memiliki kestabilan dan performa yang tinggi serta energi yang dihasilkan juga cukup tinggi. Beberapa material yang dipakai untuk katoda antara lain LiNiO 2 , LiClO 4 , Li x CoO 2 , dan LiFePO 4 . Pada tahun 1991, LIBs mulai pertama dijual atau dikomersilkan di pasaran oleh Sony Corporation.
90
7.1.1 Bagian Utama Pada Lithium Ion Battery Lithium Ion Battery memiliki pada umumnya memiliki empat komponen utama yaitu elektroda positif (anoda), elektroda negatif (katoda), elektrolit, dan separator. 1. Elektroda negatif (Anoda) Anoda merupakan elektroda yang berfungsi sebagai pengumpul ion lithium serta merupakan material aktif. Parameter pengembangan dari material untuk digunakan sebagai anoda ini antara lain kepadatan energi yang dihasilkan serta siklus pemakaian atau cyclability. Material yang dapat dipakai sebagai anoda harus memiliki karakteristik antara lain memiliki kapasitas energi yang besar, memiliki profile kemampuan menyimpan dan melepas muatan/ion yang bagus, memiliki tingkat siklus pemakaian yang lama, mudah untuk diproses/dibuat, aman dalam pemakaian (tidak beracun), dan harganya murah. Salah satu material yang dapat berperan sebagai anoda adalah material yang berbasis carbon seperti LiC 6 atau grafit. Pada material ini setiap layer disisipkan satu atom lithium. Jarak antar layernya adalah 0,335 nanometer. Kepadatan energi secara teori yang dihasilkan dari material ini adalah berkisar 372 A.h/kg. Selain grafit, material berbasis karbon yang dapat digunakan untuk anoda yaitu soft carbon, graphene dan hard carbon . Material lain yang dapat berperan sebagai anoda antara lain lithium titanium oxide (LTO) dengan kepadatan energi yang dihasilkannya 175 A.h/kg. Material ini aman dipakai serta memiliki tingkat siklus pemakaian yang cukup lama. Pengembangan material pada anoda ini terus berlanjut seiring penelitian mengenai sifat-sifat suatu material. Material masa depan untuk mengembangkan anoda ini antara lain yaitu material yang berbasis silikon dan nanomaterial. Pada anoda berbasis material silikon, secara teori memiliki kepadatan energi sebesar 4.200 A.h/kg. Material ini memiliki kapasitas yang besar dengan ukuran yang kecil dan ringan. Namun, material ini memiliki tingkat kestabilan yang rendah. Untuk mengatasi hal ini, para peneliti melakukan pembuatan material nanokomposit berbasis silikon agar kestabilan itu bertambah. Pada tabel 1 memberikan contoh beberapa material yang pernah digunakan sebagai anoda dengan kapasitas energinya. Tabel 7.1. Beberapa material yang dipakai untuk anoda (Manjhunata, 2010) Material
Kapasitas (teori) (Ah/kg)
Kapasitas (Ah/kg)
Li x V 2 O 2
75
40
Li x V 2 O 2 /Ppy
75
47
LiV 3 O 8
145
40-45
Li 2 Mn 4 O 9
156
110
Li 4 Mn 5 O 12
202
110
Polypyrrole (Ppy)
120
52,5
91
2. Elektroda positif (Katoda)
Katoda merupakan elektroda yang fungsinya sama seperti anoda yaitu pengumpul ion serta material aktif. Namun perbedaannya adalah katoda merupakan elektroda positif. Beberapa karakteristik yang harus dipenuhi suatu material yang digunakan sebagai katoda antara lain material tersebut terdiri dari ion yang mudah melakukan reaksi reduksi dan oksidasi, memiliki konduktifitas yang tinggi seperti logam, memiliki kerapatan energi yang tinggi, memiliki kapasitas energi yang tinggi, memiliki kestabilan yang tinggi (tidak mudah berubah strukturnya atau terdegradasi baik saat pemakaian maupun pengisian ulang), harganya murah dan ramah lingkungan. Pada tahun 1980 material LiCoO 2 menjadi kandidat material pertama yang digunakan sebagai katoda pad LIBs. Kerapatan energi yang dimiliki LiCoO 2 sebesar 140 A.h/kg. Walaupun demikian material tersebut memiliki kestabilan yang rendah dan harganya relative mahal. Sejalan dengan peningkatan performa katoda, beberapa penelitian yang dilakukan antara lain membuat katoda dari LiMO 2 (M = Co (Cobalt); Ni (Nikel) ; Mn (Mangan); dan lainnya). LiMO 2 tersebut dibentuk dalam bentuk layer-layer (seperti pada gambar). Adapula material yang digunakan sebagai katoda dibentuk dalam bentuk spinel LiM 2 O 4 (M : Mn (Mangan)) ; serta olivine LiMPO 4 (M : Fe) (Bo Xu, 2012). Tabel 7.2 menunjukkan beberapa jenis material yang dapat digunakan untuk katoda dengan besar kapasitas energinya yang dapat disimpan.
Gambar 7.1. Struktur Kristal layer LiMO 2 (biru : ion logam transisi ; merah : ion lithium) (Bo Xu, 2012)
Gambar 7.2. Struktur kristal spinel LiM 2 O 4 (biru : ion logam transisi ; merah : ion lithium) (Bo Xu, 2012).
92
Gambar 7.3. Struktur kristal olivin LiMPO 4 (biru : ion logam transisi ; merah : ion lithium) (Bo Xu, 2012). Tabel 7.2. Beberapa jenis material yang digunakan untuk katoda (Manjhunata, 2010) Material
Kapasitas (teori) (Ah/kg)
Kapasitas (Ah/kg)
LiCoO 2
140
112
LiMn 2 O 4
148
84,6
LiMn 2 O 4 /MWCNTs
148
117
LiMnO 2
-
62
γ-MnO 2
148
120
LiMnPO 4
170
75
3. Elektrolit
Elektrolit adalah bagian yang berfungsi sebagai penghantar ion lithium dari anoda ke katoda atau sebaliknya. Karakteristik elektrolit yang penting untuk diperhatikan antara lain konduktivitas, aman (tidak beracun) serta harganya murah. Elektrolit ini terbagi dalam dua jenis yaitu elektrolit cair dan elektrolit padat. Kedua jenis ini memiliki kelebihan serta kekurangannya. Kelebihan dari elektrolit cair antara lain memiliki konduktivitas ionik yang besar, harga yang murah, dan aman. Namun kekurangannya adalah memiliki performa siklus pemakaian yang rendah (tidak tahan lama) yaitu hanya berkisar 25 kali siklus dan dapat mengurangi kerapatan energi. Beberapa material yang dapat digunakan sebagai elektrolit cair antara lain LiNO 3 , LiClO ,Li 2 SO 4 , garam LiNO 3 , garam Li 2 SO 4 , LiPF6 . Elektrolit padat sendiri keuntungannya yaitu memiliki konduktivitas yang besar serta dapat tahan lama dibandingkan dengan elektrolit yang cair. Jenis elektrolit padat ini berupa keramik atau polimer organik. Contoh material yang dipakai untuk elektrolit padat antara lain yaitu (La,Li)TiO 3 .
93
4. Separator
Separator adalah suatu material berpori yang terletak di antara anoda dan katoda berfungsi untuk menjegah agar tidak terjadi hubungan singkat dan kontak antara katoda dan anoda. Beberapa hal yang penting untuk memilih material agar diplih sebagai separator antara lain material tersebut bersifat insulator, memiliki hambatan listrik yang kecil, kestabilan mekanik (tidak mudah rusak), memiliki sifat hambatan kimiawi untuk tidak mudah terdegradasi dengan elektrolit serta memiliki ketebalan lapisan yang seragam atau sama di seluruh permukaan. Beberapa material yang dapat digunakan sebagai separator antara lain polyolefins (PE dan PP), Poly(vinylidene fluodire) (PVdF), PTFE (teflon), PVC, dan poly(ethylene oxide).
7.1.2 Prinsip Kerja Lithium Ion Battery Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa LIBs tersusun dari empat komponen penting yaitu anoda, katoda, elektrolit serta separator. Pada proses pemakaian listrik (discharging) elektron dari anoda mengalir ke katoda melalui kabel konektor sedangkan lithium yang berada pada sistem (di dalam baterai) lepas dari anoda karena kekurangan elektron untuk berpindah menuju katoda melalui elektrolit. Pada proses pengisian (charging), elektron dari katoda mengalir menuju anoda sedangkan ion lithium dalam sistem berpindah dari katoda menuju anoda melalui elektrolit. Kedua proses ini dapat dilihat pada gambar. Arah gerak elektron
ANODA SEPARATOR
Sumber Tegangan DC
KATODA ION LITHIUM
ANODA
KATODA
ELEKTROLIT
ELEKTRODA
a.) Pemakaian (discharging)
b.) Pengisian ulang (charging)
Gambar 7.4. Proses pemakaian dan pengisian ulang pada LIBs 94
Reaksi yang terjadi pada sistem LIBs tersebut merupakan reaksi reduksi dan reaksi oksidasi. Reaksi reduksi adalah reaksi penambahan elektron oleh suatu molekul atu atom sedang kan reaksi oksidasi adalah reaksi pelepasan elektron pada suatu molekul atau atom. Sebagai contoh, misalkan kita memakai LiCoO 2 sebagai katoda, LiC 6 sebagai anoda dan LiPF6 sebagai elektrolit pada LIBs. Maka reaksi yang terjadi adalah :
charge/pengisian Pada katoda
: LiCoO 2
Li 1-x CoO 2 + x Li+ + x e –
discharge/pemakaian
Pada anoda
: C 6 + x Li+ + x e -
charge/pengisian Li x C 6 discharge/pemakaian
7.2 Graphene Pada tahun 1789 seorang ilmuan bernama Abraham Gottlob Werner menamakan suatu material yang disebut dengan grafit. Grafit merupakan salah satu jenis material yang tersusun dari atom karbon yang membentuk struktur 3 dimensi (3D). Material ini dapat kita jumpai di isi pensil yang sering kita pakai untuk menulis. Ketika kita menulis, maka grafit tersebut akan rapuh dan membuat suatu tulisan. Jika butiran grafit itu kita tekan dan ambil dengan solatip maka akan ada suatu jenis material lebih sederhana yang kita kemudian disebut dengan Graphene. Graphene ini ternyata merupakan material penyusun grafit dengan membentuk seperti tumpukan-tumpukan kertas yang membentuk sebuah buku dengan graphene merupakan kertas dan grafit merupakan bukunya. Percobaan sederhana ini dilakukan oleh dua orang ilmuan dari Manchester, Inggris yaitu Novoselov dan Andre Geim pada tahun 2004. Pada awalnya, graphene pertama kali dipelajari itu pada tahun 1947. Namun saat itu hanya mempelajari hal-hal yang sebatas secara teori pada grafit oleh Phillip Wallace. Pada tahun 1966 Hess W M dan kawan-kawannya mencoba untuk membangun grafit grafit dari lembaran-lembaran. Pada tahun 1984 Gordon Walter Semenoff, David P. Devincenzo dan Eugene J. Mele membeplajari secara teori mengenai pembawa muatan tanpa massa pada graphene. Penamaan mengenai material dengan nama “Graphene” baru dikenalkan pada tahun 1987 oleh ilmuan bernama S. Mouras dan rekan kerjanya. Kemudian barulah pada tahun 2004 graphene benarbenar ditemukan oleh Novoselov dan Andre Geim di Manchester, Inggris tempar mereka bekerja. Dan atas penemuannya tersebut, keduanya diberikan penghargaan Nobel pada tahun 2010. (http://www.graphene.manchester.ac.uk/story/timeline/)
7.2.1 Morfologi Graphene Grapehene merupakan material yang tersusun dari atom karbon yang membentuk dalam pola hexagonal seperti sarang lebah dengan susunannya berupa 95
lembaran dengan ketebalan sebesar satu atom karbon. Bentuk lembaran graphene ini dapat dilihat pada gambar.
Gambar 7.5. Morfologi lembaran graphene yang memiliki ketebalan sebesar 1 atom carbon (warna biru) (Castro Neto, 2009) Lembaran graphene ini dapat membentuk 0 dimensi (0D) berupa Fullerenes (seperti bola), 1 dimensi (1D) berupa carbon nanotube, 2 dimenasi (2D) berupa lembaran graphene itu sendiri serta 3 dimensi (3D) berupa grafit. Jarak antar atom karbon pada satu ikatan antar karbon pada graphene tersebut adalah 0,142 nanometer. Sedangkan untuk membentuk suatu grafit, jarak antar lembaran graphene-nya adalah 0,335 nanometer.
a)
b)
c) Gambar 7.6. a) Grafit yang dibentuk oleh tumpukan lembaran graphene; b) carbon nanotube yang dibentuk oleh lembaran graphene berbentuk silinder; dan c) graphene membentuk berupa Fullerenes (C 60 ) seperti bola (Castro Neto, 2009). 96
7.2.2 Sifat Graphene Ada beberapa sifat penting yang dimiliki graphene antara lain sifat kelistrikan, sifat termal, sifat mekanik, sifat optik, serta sifat kimia. Semua sifat ini penting untuk diketahui agar kita dapat memanfaatkan material graphene ini melalui sifat-sifatnya tersebut. 7.2.2.1. Sifat elektronik graphene Sifat elektronik pada graphene dapat ditinjau melalui bagaimana sifat dari mobilitas pembawa muatannya, konduktivitas, band gap serta kurva dispersinya. Graphene merupakan material semi logam yang memiliki konduktivitas serta mobilitas elektron yang tinggi. Hal ini dikarenakan graphene memiliki band gap yang nilainya nol sehingga mudah bagi elektron untuk bergerak. Band gap pada graphene ini erat kaitannya dengan hubungan dispersi pada graphene itu sendiri. Pada pojok zona Brillouin yang pertama pada kurva dispersi graphene, elektron pada pita konduksi tepat bertemu dengan pita valensi. Sehingga band gapnya bernilai nol.
Gambar 7.7. Kurva dispersi graphene (http://www.graphene.manchester.ac.uk/story/properties/) 7.2.2.2. Sifat mekanik graphene Graphene merupakan material yang sangat kuat secara mekanik. Kekutannya lebih besar dibandingkan intan dan 300 kali lebih kua dibandingkan steel. Kekuatan pada graphene ini dapat diteliti dengan menggunakan Atomic Force Microscopy dengan menekan graphene di bagian atas permukaannya kemudian menghitung seberapa jauh dan kuat graphene tersebut ditekan dengan tanpa merusak graphene tersebut. besarnya kekuatan regangan/tekana graphene ini sebesar 1 TPa(Terra Pascal). Dengan sifat mekaniknya yang kuat ini, graphene banyak dimanfaatkan khususnya untuk peralatan atau devais yang membutuhkan material yang sangat kuat secara mekanik. 7.2.2.3. Sifat optik graphene Graphene merupakan material yang memiliki kemampuan untuk menyerap 2,3 % cahaya yang mengenainya. Hal ini mengakibat masih dapat dilihat dengan mata walaupun material ini merupakan material yang sangat tipis dengan ketebalannya sebesar satu atom karbon. Namun, untuk melihatnya diperlukan penumbuhan graphene di permukaan pada wafer silicon berupa silicon oxide. Cahaya ini akan
97
memberikan sinar pada permukaan tersbut dan permukaan graphene dapat terlihat melalui pantulan dari cahaya tersebut. 7.2.2.4. Sifat termal graphene Graphene memiliki konduktivitas termal yang sangat besar. Pengukuran ini dilakukan pada temperatur kamar dan memberikan informasi bahwa konduktivitas graphene lebih besar dibandingkan dengan material dengan struktur karbon yang lain seperti carbon nanotube serta grafit. Besar konduktivitas termalnya berkisar > 5.000 W/m/K di mana jauh 5 kali lebih besar dibandingkan dengan grafit (1000 W/m/K).
7.2.3 Fabrikasi Graphene Ada beberapa cara untuk membuat material graphene antara lain dengan metode pengelupasan, metode drawing, penumbuham melalui dari silikon karbida (SiC), serta penumbuhan dengan CVD pada logam. Pada metode pengelupasan, pembuatan graphene berasal dari grafit melalui selotip. Grafit yang terkelupas dan menempel pada selotip kemudian dikelupas dan kemudian ditempeli selotip kembali.hal ini dilakukan terus menerus hingga kita mendaoatkan lapisan yang sangat tipis yang hanya terdiri dari satu lapisan yang kita sebut graphene. Pada metode drawing, kristal grafit dipasang diujung alat AFM (Atomic Force Microscope) kemudian digoreskan pada suatu substrat. Lapisan tertipis yang menempel pada substrat hasil dari goresan tersebut tak lain adalah graphene. Pada metode penumbuhan dari silikon karbida, kita mengoleskan SiC sampai merata pada suatu substrat kemudian kita panaskan pada tekanan yang sangat tinggi (Ultra High Vacuum, 10-10 torr). Hal ini menyebabkan terjadinya sublimasi pada silikon sehingga yang tersisa hanyalah karbon saja. Atom karbon ini kemudian membentuk suatu material yang kita sebut dengan graphene. (Eko Widiatmoko, 2010)
7.2.4 Pemanfaatan Graphene Pada LIBs Sebagai material yang memiliki sifat mobilitas elektron yang tinggi, konduktivitas listrik dan termal yang tinggi serta kekuatan mekanik yang tinggi pula, material ini sekarang mulai dikembangkan untuk kemudian diaplikasikan di LIBs. Seperti penjelasan sebelumnya bahwa pada LIBs terdapat dua buah elektroda yaitu anoda dan katoda. Graphene ini memiliki peran pada anoda untuk meningkatkan beberapa parameter penting pada LIBs seperti yang dijelaskan sebelumnya yaitu kapasitas energi listrik yang disimpan, kerapatan energi listriknya, kekuatan mekaniknya, aman (tidak beracun), tahan lama serta pembuatannyamudah. Peningkatan parameter menggunakan material graphene tersebut bukan hanya dilakukan secara eksperimen namun ada pula peneliti yang melakukan perhitungan melalui simulasi atau komputasi. Hailiang Wang dan tim penelitiannya membuat suatu material hybrid untuk anoda pada LIBs yang terdapat graphene di dalamnya yaitu nano partikel Mn 3 O 4 -Graphene Oxide. Pembuatan material anoda dari graphene ini melalui dua tahapan. Tahap pertama mensintesis nanopartikel Mn 3 O 4 terlebih dahulu kemudian menumbuhkannya di RGO (reduced graphene oxide) lihat Gambar 1.8. Hasil dari eksperimen ini cukup signifikan peningkatan kapasitas energi dengan lama pemakaian dan kestabilan siklusnya yang bagus. Kerapatan energi yang diperoleh mencapai ~900 Ah/kg. Material ini menjadi kandidat material untuk anoda 98
pada LIBs yang memiliki kapasitas energi yang tinggi, harganya murah, serta ramah lingkungan (Hailiang Wang, 2010)
Gambar 7.8. Morfologi graphene yang sudah ditumbuhi Mn 3 O 4 (Hailiang Wang, 2010) Selain material hybrid Mn 3 O 4 -graphene, ada pula peneliti yang membuat anoda dari material komposit Si-graphene (Xin Zhao, Cary M. Hayner, Mayfair C. Kung, dan Harold H. Kung). Pada pembuatan material ini, tahap awal adalah mensintesis graphene-oxide (GO) terlebih dahulu dari grafit dengan menggunakan metode Hummers. GO yang dihasilkan kemudian dibentuk menjadi material lembaran graphene di mana lembaran ini terdapat cacat berupa kekosongan atom karbon di beberapa clusternya. Material lembaran graphene ini kemudian ditumbuhi silikon membentuk material komposit Si-graphene. Strukturnya dapat dilihat pada gambar 1.9. Kapasitas yang dihasilkan dari material ini yaitu berkisar 3052 Ah/kg.
Gambar 7.9. Skema material komposit Si-Graphene. (Xin Zhao, 2011) Ada pula penelitian yang membuat anoda yang terbuat dari silikon dan graphene juga yang terdiri dari banyak lapisan graphene dan silikon seperti yang dilihat pada gambar di bawah ini. Lapisan graphene dan silikon dibuat berlapis-lapis (multilayer) dengan sisi terluar adalah tembaga sebagai elektroda pada anoda tersebut.
99
Gambar 7.10. Skema lapisan-lapisan silikon dan graphene penyusun anoda. (Liwen Ji, 2012) Dari keterangan di atas, dapat kita ketahui bahwa adanya material graphene ini dapat meningkatkan kapasitas energi yang ada pada anoda di LIBs. Material tersebut juga memberikan keuntungan yang lain yaitu tahan lama karena memiliki kekuatan material yang besar, harga yang murah serta memiliki tingkat kestabilan yang tinggi. Selain dengan eksperimen, penelitian mengenai analisa kapasitas graphene sebagai anoda pada LIBs dapat pula ditinjau secara eksperimen. Metode yang dipakai untuk analisa ini antara lain metode Density Functon Theory untuk menghitung energi yang dihasilkan pada struktur material pada anoda tersebut. Software yang dapat dipakai untuk perhitungan-perhitungan tersebut dapat memakai Gaussians03 Software serta Esspresso Software.
100
DAFTAR PUSTAKA Ritchie, Andrew and Howard, Wilmont, Recent developments and likely advances in lithiumion batteries, Journal of Power Sources, 162, 809-812 (2005). Jin, B. and Jiang, Q., Lithium Batteries Research, Technology and Applications : LiFePO 4 Cathode Materials for Lithium-Ion Batteries, Nova Science Publisher : China, 1-30 (2009) Xu, Bo, et. al. Rencent Progress in cathode materials research for advanced lithium ion batteries, Journal of Materials Science and Engineering R, 73, 51-65 (2012). Castro Neto, A. H. et.al, The electronic properties of graphene, Rev. Modern Physics ,Journal of The American Physical Society, 81, 109-162 (2009). Widiatmoko, Eko., Graphene : Sifat, Fabrikasi, dan Aplikasinya, Artikel Ilmiah, 2009. (http://102fm-itb.org/uploads/Graphene.pdf) Manjunatha, H; Suresh, G.S; Venkatesha, T.V, Electrode materials for aqueous rechargable lithium batteries, Journal of Solid State Electrochem, 15, 431-445 (2011). Wang, Hailiang et. al. Mn 3 O 4 -Graphene Hybrid as a High Capacity Anode Material for Lithium Ion Batteries, Journal of American Chemical Society, 132, 13978-13980 (2010). Li, Jiangang, et. al. Recent Advances in the LiFeO 2 -based Materials for Li-ion Batteries, International Journal of Electrochemical Science, 6, 1550-1561 (2011). Oates, Krysten, Lithium-ion Batteries : Commercialization History and Current Market, Foresight Science and Technology, 1-6 (2010). (http://batteries.foresightst.com/resources/Li-IonTechSummary.pdf) Ji, Liwen, et. al., Graphene/Si multilayer structure anodes for advanced half and full lithiumion cells, Journal of Nano Energy, 1 , 164 – 171 (2012). Whittingham, M. Stanley, Lithium Batteries and Cathode Materials, Chem. Rev., 104, 42714301 (2004). Arora, Pankaj and Zhang, Zhengming (John), Battery Separators, Chem. Rev., 104, 44194462 (2004). Zhao, Xin, et. al., In-Plane Vacancy-Enabled High-Power Si-Graphene Composite Electrode for Lithium-Ion Batteries, Journal of Advanced Energy Materials, 1, 1079-1084 (2011). http://www.graphene.manchester.ac.uk/story/timeline http://www.graphene.manchester.ac.uk/story/properties/
101
102
Bab 8 Biosintesis Nanopartikel Perak Menggunakan Air Rebusan Daun Bisbul (Diospyrosblancio) Oleh : Febri Berthalita Pujaningsih
8.1 Nanopartikel Ilmu dan rekayasa menciptakan material, struktur fungsional, maupun piranti 1 dalam skala nano (10 −9 ) disebut dengan nanoteknologi (Abdullah.M.,2009). Riset dan studi di bidang nanoteknologi saat ini berkembang secara positif, karena memberikan banyak kontribusi. Penemuan baru dalam bidang ini muncul hampir tiap minggu dan aplikasi-aplikasi baru mulai tampak dalam berbagai bidang seperti bidang elektronik, energi, kimia, kedokteran, kesehatan, lingkungan dan sebagainya. Menurut Hasokawa, M., (2007) dan Ngarajan, A., (2006) dalam skripsi Bakir (2011), nanopartikel adalah partikel yang ukurannya dalam interval 1-100nm dan tersusun atas atom-atom yang berkisar dari 3-107. Nanopartikel dapat berupa logam, oksida logam, semikonduktor, polimer, materi karbon, senyawa organik, dan biologi seperti DNA, enzim, atau protein. Nanopartikel logam mulia menarik perhatian karena aplikasinya dalam bidang optik, elektronik, sensor biologis dan katalis (Moores, A., dan Goettmann, F., 2012). Salah satu nanopartikel logam mulia adalah nanopartikel perak. Nanopartikel perak dapat dibuat (sintesis) dengan metode top-down (fisika) dan bottom-up (kimia). Metode top-down yaitu dengan memecah padatan logam perak menjadi perak berukuran nanometer. Metode bottom-up dengan cara melarutkan garam perak kedalam pelarut tertentu, kemudian agen pereduksi ditambahkan, dan penambahan agen penstabil untuk mencegah aglomerasi nanopartikel perak jika dibutuhkan (Tolaymat, T.M, et al. 2010). Metode-metode tersebut penuh dengan banyak masalah, mencakup penggunaan pelarut beracun, limbah berbahaya, dan konsumsi energi yang tinggi (Thakkar, K.N., et al. 2011). Biosintesis nanopartikel perak adalah pilihan yang baik selain metode fisika dan kimia. Kegunaan nanopartikel perak meliputi: pada tekstil dan pakaian akan menjadi mudah dibersihkan dan dengan penambahan silver pada kaos kaki akan membuatnya 103
mempunyai pengaruh pada pengurangan bau kaki; cat tembok luar, perekat, pelapis kertas, pelapis kain, juga kosmetik sebagai penahan sinar UV (http:// aananoteknologi.blogspot.com./2009). Penahan cahaya matahari; perak digunakan pada plester untuk mencegah infeksi; agen antifungal (jamur) dan antibakteria. (http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/kimia_lingkungan/nanopartikel-perakbuatan-alam/ 21 September 2012)
8.2 Biosintesis 8.2.1 Biosintesis Biosintesis adalah proses pembentukan metabolit (produk metabolisme) dari molekul sederhana menjadi molekul komplek yang terjadi pada organisme hidup. Modifikasi senyawa kimia secara biokimia didalam organisme itu sendiri yang disebut dengan metabolisme (Neumannet all, 1985).
8.2.2 Biosintesis Nanopartikel Perak Menurut Mohanpuria, P., Rana, N.K., dan Yadav., S.K. (2008) dalam skripsi Bakir 2011, biosintesis nanopartikel logam memanfaatkan makhluk hidup sebagai agen biologi pada proses sintesis nanopartikel. Prinsip sintesis nanopartikel logam adalah dengan memanfaatkan tumbuhan ataupun mikroorganisme sebagai agen pereduksi, seperti bakteri, khamir, dan jamur (Kanan, N. dan Subbalaxmi, S. 2011). Tetapi biosistesis menggunakan mikroorganisme memiliki kelemahan seperti pemeliharaan kultur yang sulit dan waktu sintesis lama. Biosintesis nanopartikel menggunakan tumbuhan memberikan beberapa keuntungan, seperti ramah lingkungan, komparibel untuk aplikasi farmasi dan biomedis, biaya relatif murah, tidak memerlukan tekanan, energi, dan temperatur yang tinggi, serta tidak memerlukan bahan kimia beracun (Elumalai, E.K., et al., 2011). Biosintesis menggunakan tumbuhan dapat memanfaatkan bagian daun[28], buah(Jain, D., et al, 2009), biji(Kumar, V., Yadav, S.C., 2010), air rebusan(Chandran, S. Prathap., et al 2006; Shankar, S.S, Ahmad A., dan Sastry, M., 2003; Shankar, S.S., et al., 2004 , dan getah (Bar, H., et al., 2009). Proses biosintesis terbentuk melalui reaksi reduksi oksidasi dari ion Ag (I) yang terkandung dalam tumbuhan dengan senyawa tertentu seperti enzim yang terdapat pada jenis tumbuhan yang digunakan[18]. Pada biosintesis menggunakan daun bisbul, terpenoid dan flavonoid dari air rebusanlah yang memfasilitasi terjadinya reaksi reduksi oksidasi kerena memiliki surface active molecule stabilizing (Shankar, S.S., et al., 2004). Menurut Jha, et al., Citronellol, geraniol, keton, aldehid, amida, dan asam karboksilat adalah jenis terpenoid yang digunakan. Berikut ini adalah daftar tumbuhan yang telah dimanfaatkan untuk biosintesis nanopartikel perak
104
Tabel 8.1 Jenis-jenis tumbuhan yang telah digunakan untuk biosintesis nanopartikel perak No Tumbuhan
Jenis Agen Biosintesis
Referensi
1
Azadirachta indica
Air rebusan daun
(Shankar, S.S., et al., 2004)
2
Aloe vera
Air rebusan daun
(Chandran, S. Prathap., et al., 2006)
3
Hibiscus rosa sinensis
Gerusan daun
4
Geranium
Air rebusan daun
(Philip, D., 2010) (Shankar, S.S, Ahmad A., dan Sastry, M., 2003)
5
Jatropha curcas
Lateks/ getah
(Bar, H., et al., 2009)
6
Carica papaya
Gerusan buah
(Jain, D., et al, 2009)
7
Syzygium cumini
Ekstrak daun dan biji
(Kumar, V., dan Yadav, S.C., 2010)
8
Datura metel
Ekstrak daun
(Kesharwani, J., et al., 2009)
9
Boswellia ovalifoliolata
Serbuk kulit kayu
10
Oryza sativa
Ekstrak rebusan daun
(Ankana, S., et al., 2010)
(Leela, A., dan M. Vivekananda., 2008)
8.2.3 Bisbul (Diospyros blancoi) Bisbul adalah sejenis buah sekaligus tumbuhan dan berkerabat dengan kesemek dan kayu hitam. Tanaman ini termasuk keluarga eboni (suku Ebenaceae), dimana anggotanya memiliki kayu yang berwarna hitam atau kehitaman, sehingga dikenal sebagai kayu arang atau arang-arang. Bisbul memiliki banyak nama karena ada beberapa daerah yang menyebutkannya dengan nama yang berbeda, misalnya buah mentega, buah lemak dalam bahasa Melayu karena merujuk pada daging buahnya ketika masak, sembolo dalam bahasa Jawa, kamagong, tabang atau mabolo dalam bahasa Tagalog yang merujuk pada kulit buahnya yang berbulu halus, marit dalam bahasa Thai, dan velvet apple dalam bahasa Inggris. Bisbul berasal dari Filipina dan ditemukan hidup liar di hutan-hutan primer dan sekunder dan juga dibudidayakan di pekarangan. Tanaman ini telah menyebar di berbagai negeri tropis, termasuk Indonesia(http:// id.wikipedia.org./wiki/bisbul diakses 21 September 2012).
105
Gambar 8.1 Bisbul (Diospyros blancoi)
(http:// id.wikipedia.org./wiki/bisbul diakses 21 September 2012)
8.3 Spektrofotometer UV-Vis Spektrofotometer UV-Vis adalah analisis kuantitatif dan kualitatif dengan pengukuran penyerapan atau transmittansi dalam spektroskopis yang didasarkan pada interaksi antara materi cahaya (Visible) yang memiliki panjang gelombang tertentu. Spektrofotometer merupakan gabungan dari alat optik dan elektronika serta sifat-sifat kimia fisiknya. Dimana detektor dapat mengukur intensitas cahaya yang dipancarkan secara tidak langsung cahaya yang diabsorbsi (http:// adnanhidayat32.blogspot.com./2012 diakses 21 September 2012) . Tiap media akan menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu tergantung pada senyawa atau warna yang terbentuk.Prinsip kerja dari alat ini relatif sederhana. Berkas sinar untuk spektroskopi UV-Vis adalah lampu Tungsten. Cahaya yang dipancarkan sumber radiasi adalah cahaya polikromatik. Cahaya polikromatik UV akan melewati nomokromator yaitu suatu alat yang paling umum dipakai untuk menghasilkan berkas radiasi dengan satu panjang gelombang. Monokromator radiasi UV adalah serupa dengan celah (slit), lensa, cermin, dan perisai atau grating. Kemudian, setiap berkas sinar monokromatis akan dipilah menjadi dua bagian dengan intensitas yang sebanding dengan peralatan half mirror. Satu berkas sebagai sinar pembanding dan satu berkas sebagai sinar sampel. Berkas sinar sampel dilewatkan melalui wadah yang transparan (kuvet) yang berisi larutan senyawa dan berkas sinar pembanding dilawatkan melalui wadah yang transparan (kuvet) tetapi hanya mengandung pelarutnya saja(http:// en.wikipedia.org./wiki/Spektroskopi Daerah Sinar Tampak dan Ultra Lembayung diaskses 21 September 2012). Intensitas berkas pembanding, dimana tentunya tidak mengalami proses penyerapan diukur dengan detektor dan ditentukan sebagai intensitas I 0 . Intensitas berkas sampel ( dapat mengalami proses penyerapan) diukur dengan detektor dan ditentukan sebagai intensitas I. Jika senyawa sampel tidak mengalami penyerapan pada suatu panjang gelombang maka I=I 0 dan jika senyawa sampel mengalami
106
penyerapan sinar maka I < I 0 . Penyerapan dipresentasikan sebagai transmitan 𝑇𝑇 = 𝐼𝐼
𝐼𝐼
𝐼𝐼0
atau penyerapan 𝐴𝐴 = 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 0 . Jika tidak terjadi penyerapan maka T=1,0 (%T=100) dan 𝐼𝐼 A=0 (http:// en.wikipedia.org./wiki/Spektroskopi Daerah Sinar Tampak dan Ultra Lembayung diaskses 21 September 2012). Menurut Bakir, 2011 ,Nilai penyerapan dapat menunjukkan secara kualitatif jumlah nanopartikel perak yang terbentuk dan nilai spektrum penyerapan maksimum (nm) menunjukkan ukuran dari nanopartikel yang dihasilkan. Berikut tabel yang menunjukkan panjang gelombang pada penyerapan maksimum menunjukkan ukuran nanopartikel perak. Tabel 8.2 Panjang gelombang pada penyerapan maksimum menunjukkan ukuran nanopartikel perak (Solomon, S.D., et al., 2007) Ukuran partikel (nm)
Kisaran lamda (nm)
20
405
30
410
40
416
50
423
60
441
70
451
80
467
90
493
100
501
110
523
Gambar 8.2 Skematik Instrumen Spektrometer UV-Vis (http:// en.wikipedia.org./wiki/Spektroskopi Daerah Sinar Tampak dan Ultra Lembayung diaskses 21 September 2012) 107
Bagian-bagian Spektrofotometer UV-Vis (http://pangestu-ayupangestu.blogspot.com/2011/12/spektrofotometer-uv-visdan.html diakses 21 September 2012) 1.
Sumber cahaya Sumber cahaya pada spektrofotometer harus memiliki panacaran radiasi yang stabil dan intensitasnya tinggi. Sumber cahaya pada spektrofotometer UV-Vis ada dua macam :
2.
a.
Lampu Tungsten (Wolfram) Lampu ini digunakan untuk mengukur sampel pada daerah tampak. Bentuk lampu ini mirip dengan bola lampu pijar biasa. Memiliki panjang gelombang antara 350-2200 nm. Spektrum radiasianya berupa garis lengkung. Umumnya memiliki waktu 1000jam pemakaian.
b.
Lampu Deuterium Lampu ini dipakai pada panjang gelombang 190-380 nm. Spektrum energi radiasinya lurus, dan digunakan untuk mengukur sampel yang terletak pada daerah uv. Memiliki waktu 500 jam pemakaian.
Monokromator Monokromator adalah alat yang akan memecah cahaya polikromatis menjadi cahaya tunggal (monokromatis) dengan komponen panjang gelombang tertentu. Bagian-bagian monokromator, yaitu : a.
Prisma Prisma akan mendispersikan radiasi elektromagnetik sebesar mungkin supaya di dapatkan resolusi yang baik dari radiasi polikromatis.
b.
Grating (kisi difraksi) Kisi difraksi digunakan untuk pendispersian sinar. Dispersi sinar akan disebarkan merata, dengan pendispersi yang sama, hasil dispersi akan lebih baik. Selain itu kisi difraksi dapat digunakan dalam seluruh jangkauan spektrum.
c.
Celah optis Celah optis digunakan untuk mengarahkan sinar monokromatis yang diharapkan dari sumber radiasi. Apabila celah berada pada posisi yang tepat, maka radiasi akan dirotasikan melalui prisma, sehingga diperoleh panjang gelombang yang diharapkan.
d.
Filter Filter berfungsi untuk menyerap warna komplementer sehingga cahaya yang diteruskan merupakan cahaya berwarna yang sesuai dengan panjang gelombang yang dipilih.
108
3.
Kompartemen sampel Kompartemen ini digunakan sebagai tempat diletakkannya kuvet. kuvet merupakan wadah yang digunakan untuk menaruh sampel yang akan dianalisis. Pada spektrofotometer double beam, terdapat dua tempat kuvet. Satu kuvet digunakan sebagai tempat untuk menaruh sampel, sementara kuvet lain digunakan untuk menaruh blanko. Sementara pada spektrofotometer single beam, hanya terdapat satu kuvet.
4.
Detektor Detektor akan menangkap sinar yang diteruskan oleh larutan. Sinar kemudian diubah menjadi sinyal listrik oleh amplifier dan dalam rekorder dan ditampilkan dalam bentuk angka-angka pada reader (komputer).
5.
Visual display Merupakan sistem baca yang memperagakan besarnya isyarat listrik, menyatakan dalam bentuk % Transmitan maupun Absorbansi.
8.4 Pembuatan Nanopartikel Perak (Bakir,2011) 8.4.1 Bahan Bahan yang digunakan dalam biosintesis nanopartikel perak meliputi daun bisbul, AgNO 3, akuabides, aluminium foil, kertas saring whatman no.1.
8.4.2 Alat Alat yang digunakan dalam biosintesis timbangan analitik, spektrofotometer UV-Vis 1-5ml [BOECE], pipet tetes, erlenmeyer, labu ukur, pH specialized indicator (kisaran PH 1-14), batang pengaduk magnetik, cawan petri.
109
8.4.3 Cara kerja 8.4.3.1 Dekontaminasi Material Organik dan Anorganik pada Alat Gelas Alat-alat gelas dicuci dengan menggunakan sabun dan disikat, kemudian untuk menghilangkan material organik digunakan pencucian dengan larutan NaOH-alkohol, yaitu berupa campuran etanol (95%) 1L dengan 120mL H 2 O yang mengandung 120gr NaOH atau 105gr KOH. Selanjutnya dibilas dengan akuades. Untuk dekontaminasi residu logam pada peralatan gelas, digunakan larutan yang mengandung 2% NaOH dan 1% Na 2 EDTA. Peralatan gelas direndam selama 2jam dalam larutan tersebut, kemudian dibilas beberapa kali dengan akuades.
8.4.3.2 Pembuatan Larutan 1mM AgNO 3 Larutan AgNO 3 1mM dibuat dengan menimbang 0,085gr serbuk AgNO 3 , kemudian dilarutkan ke dalam akuades 500mL. Selanjutnya, larutan perak nitrat dikocok dan dapat digunakan langsung.
8.4.3.3 Pembuatan Air Rebusan Daun Bisbul Segar Daun bisbul (Diospyrosblancoi) dalam kondisi segar dipetik lalu dicuci hingga bersih dengan akuades dan dikeringkan hingga air cucian tiris. Setelah itu, daun dipotong-potong seragam 2cm x 2cm dan ditimbang seberat 10gr, lalu direbus dengan 50mL akuades dalam erlenmeyer 500mL. Selanjutnya, rebusan dibiarkan mendidih selama 5menit. Setelah mencapai suhu ruang, air rebusan dituang dan disaring dengan menggunakan kertas whatman no.1. Air rebusan tersebut selanjutnya dapat digunakan langsung untuk proses biosintesis.
8.4.3.4 Biosintesis Nanopartikel Perak Ada dua macam proses biosistesis nanopartikel perak, yaitu.
8.4.3.4.1 Cara 1 (Sampel A) 2mL air rebusan daun bisul dicampurkan ke dalam 40ml AgNO 3 , kemudian larutan campuran dibiarkan saja. Larutan ini dikarakterisasi berupa; foto, spektrum UV-Vis, pH pada waktu menit ke-30, 1jam, 24jam, 1minggu, dan 2minggu.
8.4.3.4.2 Cara 2 (Sampel B) 2mL air rebusan daun bisul dicampurkan ke dalam 40ml AgNO 3 , kemudian larutan campuran diaduk selama 2jam. Larutan ini dikarakterisasi dengan spektrum UV-Vis pada waktu menit ke-30, 1jam, 24jam, 1minggu, dan 2minggu. Selain itu, larutan campuran ini difoto dan diukur pHnya pada waktu ke-24jam, 1minggu, dan 2minggu [48].
110
8.4 Pengujian dan Karakterisasi Untuk meyakinkan hasil biosintesis nanopartikel perak yang telah kita buat maka diperlukan karakterisasi. Karakterisasi ini dilakukan dengan tujuan apakah hasil biosintesis yang dibuat benar-benar dalam ukuran nanometer. Ada bermacan-macam peralatan yang digunakan untuk mengkarakterisasi, antara lain spektrofotometer UVVis, AFM (Atomic Force Microscope), SEM (Scanning Electron Microscope), TEM (Transmisson Electron Microscope) dan XRD (X-ray diffaction).
8.4.1 Karakterisasi Biosintesis Nanopartikel Menggunakan Air Rebusan Daun Bisbul (Sampel A) Dari pembahasan skripsi Bakir, 2011 : Perubahan warna larutan dari bening menjadi kekuningan hingga coklat dapat menjadi salah satu indikator terbentuknya partikel. Perubahan warna larutan campuran AgNO 3 dengan air rebusan daun bisbul dari jernih menjadi kuning muda setelah 30menit. Selanjutnya, larutan tersebut berwarna coklat setelah 24jam. Hal ini terjadi karena proses reduksi ion perak, sehingga terbentuk nanopartikel perak. Larutan AgNO 3 mempunyai puncak spektrum penyerapan pada panjang gelombang 220nm. Air rebusan daun bisbul mempunyai puncak penyerapan pada panjang gelombang 280-300nm. Setelah larutan AgNO 3 dicampur dengan air rebusan daun bisbul, spektrum UV-Vis yang diperoleh puncak spektrum penyerapan pada panjang gelombang 414418nm dalam pengamatan selama 2minggu. Hasil tersebut sesuai dengan hasil penyerapan nanopartikel perak. Penyerapan semakin besar dengan pertambahan waktu. Besar penyerapan berhubungan dengan jumlah nanopartikel yang terbentuk, dan dapat dikatakan metode biosintesis menggunakan air rebusan daun bisbul mempunyai orde menit. pH larutan selama proses reaksi yang terjadi cenderung berada pada pH 4-5.
Gambar 8.3 Hasil foto : a. Larutan AgNO3; b. Air Rebusan daun bisbul; c-g dari Sampel A fungsi waktu (Bakir, 2011)
111
Gambar 8.4 Spektrum UV-Vis dari AgNO3; b. Air Rebusan daun bisbul; c-g dari Sampel A fungsi waktu (Bakir, 2011)
8.4.2
Karakteristik Pengaruh Pengadukkan pada Biosintesis Nanopartikel Perak (Sampel B)
Proses
Puncak penyerapan terletak pada panjang gelombang 414-419nm dalam pengamatan selama 2minggu. Penyerapan semakin besar dengan pertambahan waktu. Kedua sampel mengalami pola pergerseran λmax yang hampir sama dan berinpit (Gambar 8.7.a). Sampel A mempunyai puncak penyerapan pada λ=414-418nm, dan sampel B mempunyai puncak penyerapan pada λ=414-419nm, sehingga ukuran ratarata nanopartikel perak dalam kedua sampel berkisar 36-40nm. Pergeseran posisi λmax berhubungan dengan ukuran nanopartikel yang disebabkan oleh dua kemungkinan yaitu nanopartikel terus mengalami pertumbuhan dan terjadi agregasi antar partikel. Pengaruh pengadukkan cenderung mempercepat reaksi antara AgNO3 dengan air rebusan daun bisbul, sehingga nilai penyerapan biosintesis nanopartikel perak dengan cara pengadukan sedikir lebih tinggi daripada dibiarkan saja (Gambar 8.7.b). Gambar 8.7.c memberikan informasi tentang distribusi ukuran partikel FWHM dari kedua sampel mengalami penurunan sampai hari pertama dan naik kembali setelahnya. Hal ini menunjukkan lama waktu reaksi, distribusi ukuran nanopartikel semakin besar. Hal itu juga terlihat dari puncak spektrum UV-Vis yang mulai tidak simetris.
Gambar 8.5 Hasil foto : a. Larutan AgNO3; b. Air Rebusan daun bisbul; c-g dari Sampel B fungsi waktu (pengadukkan) (Bakir, 2011) 112
Gambar 8.6 Spektrum UV-Vis dari AgNO3; b. Air Rebusan daun bisbul; c dari Sampel 2 fungsi waktu (pengadukan) (Bakir, 2011)
Gambar 8.7 Pengaruh pengadukan terhadap proses biosintesis nanopartikel (Bakir, 2011) a. Absorbansi vs waktu b. Lamda maksimum vs waktu c. FWHM vs waktu
113
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Mikrajudin. (2009). Pengantar Nanosains. Bandung: ITB. Ankana, S., et al., Production Biogenic Silver Nanoparticle Using Boswellia ovalifoliolata. Digest Journal of Nanomaterials and Biostructures, 5, 2, 369-3165 (2010) Bakir, Pengembangan Biosintesis Nanopartikel Perak Menggunakan Air Rebusan Daun Bisbul (Diospyros Balancoi) untuk Deteksi Ion Tembaga (II) dengan Metode Kalorimetri, Depok: Skripsi Sarjana Fisika Departemen Fisika FMIPA UI, 2011. Bar, H., et al., Green Synthesis of Silver Nanoparticle Using Latex of Jatropha curcas. Colloids and Surfaces A: Physicochemical ang Engineering Aspects 339, 134-139 (2009). Chandran, S. Prathap., et al., Synthesis of Gold Nanotriangles and Silver Nanoparticles Using Aloe vera Plant Extract. Biotechnol. Prog., 22, 577-583 (2006) Elumalai, E.K., et al., A Bird’s Eye View on Biogenic Silver Nanoparticles and Their Applications, Der Chemica Sinica, 2(2), 88-97 (2011) http:// aa-nanoteknologi.blogspot.com./2009 diakses 21 September 2012 http:// id.wikipedia.org./wiki/bisbul diakses 21 September 2012 http://pangestu-ayupangestu.blogspot.com/2011/12/spektrofotometer-uv-vis-dan.html diakses 21 September 2012 Jain, D., et al., Synthesis of Plant Mediated Silver Nanoparticles Using Papaya Fruit Extract and Evalution of Their Anti Microbial Activities. Digest Journal of Nanomaterial and Biostuctures, 4 (3), 557-563 (2009). Kanan, N. Dan Subbalaxmi, S. (2011). Biogenesis of Nanoparticles – A Current Perspective. Rev Adv Mater. Sci., 27, 99-114 (2011). Kesharwani, J., et al., Phytofabrication of Silver Nanoparticles by Leaf Extract of Datura metel, Hypothetical Mechanism Involved in Synthesis. Journal of bionanoscience, 3, 1-6 (2009). Kumar, V., Yadav, S.C., dan Yadav. S.K., Syzygium cumini leaf and seed extract mediated biosynthesis of silver nanoparticles and their characterization. Journal Chemistry Technology and Biotechnology, 1-9 (2010). Leela, A., dan M. Vivekananda., Tapping the Unexploited Plant Resources for the Synthesis of Silver Nanoparticle, African Journal of Biotechnology 7(17), 3162-3165 (2008) Moores, A., dan Goettmann, F., The Plasmon Band in Noble Metal Nanoparticles: an Introdiction to Theory and Applications. New J. Chem., 30, 1121-1132 (2012) Philip, D., Green Synthesis of Gold and Silver Nanoparticles Using Hibiscus rosa sinensis. Physica E, 42, 1417-1424 (2010) Shankar, S.S, Ahmad A., dan Sastry, M., Geranium Leaf Assisted Biosynthesis of Silver Nanoparticles. Biotechnol. Prog., 19, 1627-1631 (2003).
114
Shankar, S.S., et al., Rapid Synthesis og Au, Ag, and Bimetallic Au Core-Ag Shell Nanoparticles Using Neem (Azadirachia indica) Leaf Broth, Coloid Interface Science, 275, 496-502 (2004).. Solomon, S.D., et al., Synthesis and Study of Silver Nanoparticles. Journal of Chemical Education, 84(2), 322-325 (2007) Thakkar, K.N., et al. Biological Synthesis of Metallic Nanoparticles. Nanomedicine: Nanothechnology, Biology, and Medicine, 6, 257-262 (2011). Tolaymat, T.M., An Evidence-Based Environmental Perspective of Manufactures Silver Nanoparticles in Synthesis and Aplications: A Systematic Review and Critical Apprasial of Peer Reviewed Scientific Paper. Sciences of the Total Enviroment, 408, 999-1006 (2010). Wikipedia. 2010. Spektroskopi Daerah Sinar Tampak dan Ultra Lembayung (UV-Visible Spectrocopy), 15 hlm. http:// en.wikipedia.org./wiki/Spektroskopi Daerah Sinar Tampak dan Ultra Lembayung diaskses 21 September 2012.
115
Bab 9 TITIK KUANTUM Oleh : Fitria Rahayu
9.1 PENDAHULUAN Penelitian mengenai semikonduktor adalah penelitian yang terus berkembang dari tahun ke tahun. Penelitian mengenai semikonduktor dilakukan untuk mencari hal baru dari semikonduktor dan keuntungannya untuk industry semikonduktor. Dalam perindustrian, semikonduktor merupakan lahan basah dan bertambah banyak dengan sangat cepat melebihi pertumbuhan industri baja (Sze, 1981). Dalam perindustrian, ukuran semikonduktor dibuat semakin kecil. Hal ini sesuai dengan prediksi Hukum Moore yang menyatakan bahwa ukuran yang diperlukan untuk menyimpan transistor dalam suatu chip, mengecil hingga setengahnya setiap 18 bulan (Ratner, 2002). Hukum ini digambarkan dalam Gambar 9.1.
Gambar 9.1 Hukum Moore (http://njtechreviews.com/2011/09/04/moores-law/)
116
Keinginan para peneliti untuk membuat divais elektronik yang lebih kecil ditunjang dengan teknik fabrikasi yang memudahkan pekerjaan mereka, contohnya dengan nanolitografi atau teknik self assembly. Teknik-teknik ini dapat menciptakan semikonduktor dengan ukuran kurang dari 50 nm. Tersedianya teknik-teknik ini memungkinkan terciptanya sebuah struktur dengan ukuran yang bisa diatur, contohnya titik kuantum. Tititk kuantum atau biasa disebut dengan quantum dot, pertama kali diperkenalkan pada taun 1982 oleh para peneliti di Amerika Serikat, salah satunya bernama Professor Louis Brus. Pada saat itu para peneliti terkejut dengan penemuan baru mereka, bahwa secara eksperimental, band gap dari partikel semikonduktor merupakan fungsi dari ukuran. Setelah penemuan itu, para peneliti kemudian terus berusaha untuk membuat partikel dengan ukuran yang semakin kecil. Penelitian mengenai titik kuantum ini kemudian berkembang secara progresif setiap tahunnya. Penemuan-penemuan baik mengenai fenomena dalam titik kuantum, seperti penelitian yang dilakukan oleh Chen pada 1994, Foxman pada 1993, Bednarek pada tahun 2002, dan Abu El-Seoud pada 2007, maupun pengaplikasiannya dalam divais menjadi tujuan utama bagi para peneliti titik kuantum.
9.2 TEORI DASAR Titik kuantum atau quantum dot adalah material semikonduktor berukuran nano. Ukuran nano adalah ukuran yang tidak kasat mata, sehingga tidak bisa dilihat oleh mata telanjang. Bila kita bayangkan perbandingan ukuran antrara sebuah bola sepak terhadap ukuran bumi, hal ini sebanding dengan ukuran partikel 1 nanometer dibandingkan dengan ukuran bola sepak tersebut. Dengan kata lain, ukuran nano adalah ukuran yang sangatsangat kecil. Dengan ukurannya yang sangat kecil, dikenal sebuah fenomena yang disebut dengan efek pengurungan kuantum yang akan melokalikasi fungsi gelombang dari elektron didalam titik kuantum.
9.2.1 Efek Pengurungan Kuantum Struktur yang paling kita kenal di kehidupan sehari-hari yaitu material batangan, atau biasa disebut material bulk. Pada material bulk ini, pergerakan elektron dapat terjadi ke segala arah (dalam ketiga arah dimensi) atau dengan kata lain tingkat pengungkungan pergerakan elektron tersebut adalah nol dimensi. Lain halnya pada struktur kuantum. Telah dikenal tiga macam struktur kuantum, yaitu sumur kuantum, kawat kuantum, dan titik kuantum. Ketiga struktur merupakan hasil dari efek pengurungan kuantum. Pada sumur kuantum atau biasa dikenal dengan sebutan quantum well, tingkat pergerakan elektron dikurung dalam satu dimensi, sehingga elektron hanya bisa bergerak dalam dua dimensi, dapat diibaratkan seperti dalam sebuah bidang data. Pada kawat kuantum atau quantum wire, tingkat pergerakan elektron dikurung dalam dua dimensi, 117
sehingga elektron hanya bisa bergerak dalam satu dimensi, dapat diibaratkan seperti dalam sebuah kawat. Pada titik kuantum, pergerakan elektron dikurung dalam ketiga dimensi, sehingga pergerakan elektron adalah nol dimensi, dapat diibaratkan seperti sebuah titik, sehingga disebut sebagai titik kuantum atau quantum dot. Ilustrasi pergerakan elektron dapat dilihat pada Gambar 9.2. Pengurungan pergerakan elektron ini biasa disebut dengan electron confinement.
(a)
(b)
(c)
Gambar 9.2 Model (a) sumur kuantum, (b) kawat kuantum, dan (c) titik kuantum.
Titik kuantum dibuat dengan melapisi material semikonduktor dengan material lain yang memiliki energi gap yang lebih besar, contohnya isolator. Untuk kasus 1 dimensi, hal ini akan menyebabkan terbentuknya potensial penghalang seperti sumur yang tak hingga, sehingga akan ada 3 daerah yang berbeda dengan nilai potensial sebagai berikut: 0 untuk 0
V(x) =
(1) ∞ untuk x < 0 dan x > L
Kita ketahui persamaan Schrodinger untuk elektron adalah
−
ℏ2 𝑑𝑑 2 𝜓𝜓(𝑥𝑥)
2𝑚𝑚
𝑑𝑑𝑑𝑑 2
+ 𝑉𝑉 (𝑥𝑥 )𝜓𝜓(𝑥𝑥) = 𝐸𝐸𝐸𝐸(𝑥𝑥)
(2)
sehingga untuk x < 0 dan x > L, 𝜓𝜓1 (𝑥𝑥 ) = 0
𝜓𝜓3 (𝑥𝑥 ) = 0
118
(3) (4)
dan untuk 0 < x < L, kita dapatkan 𝑑𝑑 2 𝜓𝜓(𝑥𝑥) 𝑑𝑑𝑑𝑑 2
+
2𝑚𝑚𝑚𝑚 ℏ2
𝜓𝜓(𝑥𝑥 ) = 0
(5)
Solusi dari persamaan di atas ialah, dengan 𝑘𝑘 2 =
2𝑚𝑚𝑚𝑚 ℏ2
.
𝜓𝜓2 (𝑥𝑥 ) = 𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴(𝑘𝑘𝑘𝑘 ) + 𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵(𝑘𝑘𝑘𝑘)
(6)
Kita ketahui syarat batas kontinuitas adalah 𝜓𝜓1 (𝑥𝑥 = 0) = 𝜓𝜓2 (𝑥𝑥 = 0) = 0
𝜓𝜓2 (𝑥𝑥 = 𝐿𝐿) = 𝜓𝜓3 (𝑥𝑥 = 𝐿𝐿) = 0
(7)
dengan normalisasi, kita dapatkan,
2
𝜓𝜓2 (𝑥𝑥 ) = � 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 � 𝐿𝐿
𝑛𝑛𝑛𝑛 𝐿𝐿
𝑥𝑥�
(8)
dimana ψ 2 menunjukkan keadaan-keadaan yang mungkin ditempati elektron di dalam titik kuantum yang memiliki lebar L. Untuk kasus 3 dimesi, dimana titik kuantum yang ditinjau merupakan sebuah kotak dengan Lx , L y , dan L z yang diketahui, persamaan Schrodinger yang kita gunakan adalah ℏ2
− 2𝑚𝑚 ∇2 𝜓𝜓(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) + 𝑉𝑉(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧)𝜓𝜓(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = 𝐸𝐸(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧)𝜓𝜓(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧)
(9)
Sehingga kita dapatkan fungsi keadaan bentuk 3 dimensinya adalah sebagai berikut:
ψ n , n , n ( x, y , z ) = 1
2
3
nπx n π y n πz 8 sin 1 sin 2 sin 3 Lx Ly Lz Lx Ly Lz
(10)
Dan nilai energi untuk setiap keadaan dalam titik kuantum tersebut dengan persamaan berikut
E n ,n
1 2
,n
3
=
2π 2 n12 n22 n32 + + 2m * L2x L2y L2z
(11)
dimana m* adalah masa efektif elektron, L x ,L y ,dan L z adalah panjang, lebar, dan tinggi kubus, dan n 1 , n 2 , dan n 3 merupakan bilangan bulat. Efek pengurungan kuantum menyebabkan titik kuantum memiliki karakteristik yang unik, baik secara elektronik maupun optik, salah satunya adalah tingkat energinya 119
Rapat keadaan
yang diskrit. Tingkat energi yang diskrit artinya elektron hanya dapat menempati tingkattingkat energi tertentu. Hal ini digambarkan pada Gambar 9.3.
E1 E2 E3 E4
Energi
Gambar 9.3 Rapat keadaan titik kuantum berbentuk diskrit.
9.2.2 Karakteristik Penelitian mengenai titik kuantum banyak dilakukan karena dapat diaplikasikan dalam banyak divais karena karakteristiknya yang unik.
9.2.2.1 Bandgap yang Bergantung Ukuran Karakteristik unik yang pertama adalah bandgap yang dapat diatur. Suatu material bulk memiliki bandgap yang pasti berbeda dengan material lainnya. Saat sebuah material bulk dikecilkan ukurannya menjadi ukuran nano, akan terjadi pelebaran jarak antar tiaptiap tingkat energi, termasuk terjadi pelebaran bandgap. Bandgap dari material nano biasa disebut dengan bandgap efektif dari material tersebut, seperti terlihat pada Gambar 1.4. Perubahan bandgap bergantung dari ukuran dari quantum dot itu sendiri. Semakin besar kuantum dot, bandgap efektif akan mengecil, sementara semakin kecil quantum dot akan menyebabkan bandgap efektif melebar. Bandgap efektif yang terkecil akan tetap lebih besar daripada bandgap dari material bulk-nya. Untuk menghitung nilai energi didalam potensial kotaknya, kita gunakan persamaan 𝑛𝑛 2 ℏ2 𝜋𝜋 2 (12) 𝐸𝐸𝑛𝑛 = 2𝑚𝑚𝑚𝑚 2 dengan n = 1, 2, 3, …., m adalah massa elektron, dan L adalah lebar sumur. Dengan persamaan diatas, kita bisa dapatkan nilai E 1 , E 2 , E 3 , dan E 4 pada Gambar 3. Kuantisasi energi ini memungkinkan peneliti untuk memvariasikan jumlah elektron dalam titik kuantum dan mengukur energi yang diperlukan untuk menambahkan satu elektron. Melebarnya bandgap dapat menjadi kerugian dalam beberapa aplikasi, namun bandgap yang dapat diatur tetap menjadi keuntungan yang besar. Pengaturan bandgap yang dipengaruhi oleh ukuran secara langsung memberikan kesempatan untuk kita agar 120
dapat mengatur besar energi dan panjang gelombang cahaya yang kita inginkan untuk dapat diserap dan dipancarkan oleh material.
Gambar 9.4. Bandgap efektif untuk titik kuantum Silikon dengan ukuran 1 nm, 2 nm, dan 4 nm (Yudhistira, 2011)
9.2.2.2 Sifat Flourescence Rekombinasi elektron dan hole berkaitan dengan karakteristik unik yang kedua, yaitu sifatnya yang fluorescence. Fluorescence adalah kemampuan material untuk berpendar saat diberi masukan energi, misalnya sinar UV. Warna cahaya yang berpendar bergantung ukuran dari titik kuantum itu sendiri, seperti digambarkan pada Gambar 9.5. Hal ini dikarenakan pada titik kuantum, saat elektron berelaksasi dan berekombinasi dengan hole di pita valensi, panjang gelombang dan energi yang terpancar akan sesuai dengan lebar bandgapnya. Semakin besar ukuran titik kuantumnya, warna yang dipancarkan akan memiliki panjang gelombang yang lebih tinggi. Sebaliknya, ukuran yang lebih kecil akan memancarkan cahaya dengan panjang gelombang yang lebih kecil.
λ emisi ≈ ukuran Gambar 9.5 Panjang gelombang emisi titik kuantum yang bergantung ukuran
121
9.3 FABRIKASI 9.3.1 Sintesis Koloid Salah satu cara pembuatan titik kuantum adalah dengan menggunakan metode sintesis koloid. Dengan metoda ini, titik kuantum yang di hasilkan berkisar antara 2-10 nm. titik kuantum yang dihasilkan melalui metode ini biasanya merupakan alloy biner seperti CdSe, InAs, dan InP. Metoda sintesis koloid merupakan metoda yang paling sederhana dan tidak membutuhkan biaya yang tinggi, karenanya titik kuantum yang dikomersialkan biasanya dibuat dengan metode ini. Selain itu, metode ini juga lebih bebas racun dibandingkan metode sintesis yang lain. Walaupun begitu, pemilihan pelarut yang tepat dan kontrol parameter lainnya, seperti waktu, temperatur dan konsentrasi larutan sangat diperlukan. Dalam metoda sintesis koloid, larutan campuran, misalnya cadmium dan selenium, diinjeksikan ke dalam tabung dengan pelarut yang dipanaskan pada suhu 360oC. Selama pemanasan, partikel nano akan mulai terbentuk dan pembentukan akan semakin cepat seiring waktu pemanasan. Dalam metoda ini, temperatur reaksi kimia memegang peranan penting dalam dekomposisi pelarut dan pembentukan kristal nano. Untuk mendapatkan titik kuantum dengan ukuran yang berbeda, divariasikan lama pemanasan. Semakin lama waktu pemanasan, partikel yang terbentuk akan semakin besar. Akibatnya, warna campuran akan berubah seiring waktu (Gambar 9.7). Dengan metoda ini, partikel nano dengan ukuran 3 nm dapat terbentuk hanya dalam 2 menit.
Gambar 9.6 Peralatan untuk sintesis koloid titik kuantum (http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0021979711014585)
122
Gambar 9.7 Titik kuantum hasil sintesis koloid. (http://mitei.mit.edu/news/nanoscale-layers-promise-boost-solar-cell-efficiency)
9.3.2 Epitaksi Fabrikasi titik kuantum dengan metoda epitaksi biasa juga disebut dengan self assembled growth atau Stranski Krastanov growth. Pada Stranski Krastanov, substrat dan material yang ditumbuhkan memiliki konstanta kisi yang berbeda, sehingga terjadi transisi penumbuhan dari 2 dimensi menjadi 3 dimensi saat material yang dideposisikan melebihi jumlah lapisan atom. Akibatnya, terbentuklah island berukuran nanometer. Dengan Molecular Beam Epitaxy (MBE), lapisan kristal yang tipis dapat dibuat dengan memanaskan elemen-elemen yang dipakai hingga terjadi evaporasi dan elemen-element ini kemudian akan bereaksi di permukaan wafer. Pembuatan titik kuantum dengan metoda ini lazim dilakukan. Walaupun begitu, pembuatan titik kuantum dalam susunan yang teratur sulit dilakukan dengan metode ini. Sementara optimasi lapisan titik kuantum dibutuhkan untuk meningkatkan efisiensi struktur. Dalam metoda ini, faktor-faktor seperti energi permukaan, temperatur permukaan, rasio fluks dan tingkat penumbuhan menentukan hasil penumbuhan titik kuantum (Ban, 2008). Untuk karakterisasi, Atomic Force Microscopy (AFM) digunakan untuk mengetahui ukuran titik kuantum, rapat permukaan dan distribusi titik kuantum. AFM adalah sebuah divais dengan resolusi skala nanometer, sehingga bisa digunakan untuk observasi morfologi permukaan substrat berdasarkan gaya atom yang dihasilkan saat tip AFM yang berdiameter 100 nm hampir menyentuh (jarak 1 nm) permukaan substrat. XRay Diffraction (XRD) juga dilakukan untuk mengetahui komposisi dari lapisan hasil penumbuhan.
123
Gambar 9.8 Hasil AFM dari titik kuantum InAs pada GaAs/GaAs 1-x Sb x dengan variasi Sb (a). 0%, (b). 7%, dan (c). 11% yang ditumbuhkan dengan MBE. (Ban, 2008)
9.4 APLIKASI Titik kuantum telah diaplikasikan pada berbagai macam divais, seperti Light emitting device (LED), sel surya, divais memori, serta laser. Aplikasi titik kuantum pada divais ditujukan untuk dapat meningkatkan performa dan meningkatkan efisiensi kerja divais. Selain pada divais, titik kuantum juga diaplikasikan di bidang biologi.
9.4.1 Sel surya Aplikasi titik kuantum pada divais sel surya juga sudah banyak diteliti karena secara teori dapat meningkatkan efisiensi sel surya. Pada sel surya, energi foton yang datang dari matahari dimanfaatkan untuk mengeksitasi elektron ke pita konduksi sehingga menghasilkan hole di pita valensi, seperti digambarkan pada Gambar 9.9.
124
Gambar 9.9. Ilustrasi penyerapan foton dalam generasi pasangan elektron dan hole
Kedua pembawa muatan kemudian akan dialirkan dengan adanya beda potensial untuk mencegah adanya rekombinasi. Pada sel surya konvensional, problem utama yang dapat menurunkan efisiensi divais adalah energi panas yang terbuang, rekombinasi antara hole dan elektron sehingga mengurangi jumlah pembawa muatan yang dapat dialirkan, dan ketidakmampuan divais untuk menyerap lebih banyak bagian dari spektrum matahari atau disebut spectrum losses dimana terjadi terbuangnya energi. Penggunaan titik kuantum pada sel surya lebih banyak difokuskan untuk mencari solusi dari fenomena terbuangnya energi. Ilustrasi mengenai terbuangnya energi digambarkan pada Gambar 9.10. Elektron
Energi Terserap
E =Eg dan E>Eg
Pita Valensi
Cahaya datang Eg
Energi Terbuang
E < Eg
Hole
Semikonduktor tipe P
Pita konduksi
Semikonduktor tipe N
Gambar 9.10 Fenomena kehilangan energi pada sel surya konvensional
Penelitian mengenai aplikasi titik kuantum untuk sel surya ada berbagai macam, yaitu dengan menciptakan generasi elektron dan hole yang lebih dari satu untuk setiap energi foton yang datang, dengan menggunakan titik kuantum koloid untuk mengatur profil absorpsi dari divais, atau dengan menciptakan menciptakan pita tengah atau 125
intermediate bands yang dapat berfungsi sebagai batu loncatan untuk elektron pindah ke pita konduksi dengan ilustrasi seperti pada Gambar 9.11. Penelitian mengenai aplikasi titik kuantum pada sel surya yang telah dilakukan meliputi; menciptakan generasi multi elektron dan hole (Nozik, 2005), menggunakan titik kuantum koloid secara eksperimental telah berhasil mencapai efisiensi hingga 5,1% (Sargen, 2011), dan menciptakan pita tengah, baik secara teori maupun perhitungan (Luque 2007, Jenks 2011, dan Rahayu 2011).
Pita konduksi
Eg
Pita tengah
Pita valensi
Gambar 9.11 Skema pergerakan elektron dari pita valensi ke pita konduksi dengan adanya pita tengah.
9.4.2 Transistor . Titik kuantum juga diaplikasikan guna meningkatkan kapasitas divais memori. Divais memori komputer kita terdiri dari banyak IC (integrated circuit). IC ini terbuat dari bahan semikonduktor. Dengan titik kuantum kita bisa mendapatkan divais memori berkapasitas yang tinggi dengan kecepatan penulisan yang tinggi. Dengan titik kuantum, diperkenalkan sebuah jenis transistor bernama single electron transistor (SET). SET merupakan jenis transistor dengan ukuran yang terkecil, dibandingkan dengan transistor lainnya. Dengan ukurannya yang kecil, SET memungkinkan kita untuk meningkatkan jumlah transistor dalam satu chip. Sehingga kita dapat memiliki chip dengan kapasitas penyimpanan dan kecepatan proses yang lebih tinggi. Selain itu, dengan SET divais menjadi lebih irit energi karena pergerakan elektron adalah satu per satu, berbeda dengan transistor konvensional seperti bipolar junction transistor, field effect transistor, dan MOSFET dimana elektron bergerak secara grup. Penelitian mengenai SET telah banyak dikembangkan sejak dua decade terakhir (Amakawa 1998, See 2006, dan Wang 2002).
126
(a)
(b)
Gambar 9.12. a) Transistor yang pertama dibuat. b) Single Electron Transistor. (Sze, 1981 dan http://www.uni-tuebingen.de/nano/Forschung/Bilder/set_1.jpg)
9.4.3 LED Titik kuantum diaplikasikan pada LED untuk dapat memaksimalkan emisi cahaya yang dipancarkan oleh LED. Pada LED, saat elektron dari pita konduksi jatuh ke pita valensi untuk berekombinasi dengan hole, akan terpancar foton dengan panjang gelombang dan energi tertentu, bergantung pada lebar bandgapnya, sesuai dengan ilustrasi pada Gambar 1.13.
Elektron Ec hv
Eg
Ev
Hole Gambar 9.13 Proses rekombinasi elektron dan hole sehingga terjadi emisi foton.
Karakteristik titik kuantum dimana bandgapnya dapat diubah dengan mengubah ukuran sangat bermanfaat. Dengan memakai titik kuantum, LED yang dihasilkan akan memiliki warna yang lebih terang dan tidak bias seperti pada Gambar 9.14. Hal ini disebabkan karena rentang panjang gelombang dari warna yang dipancarkan kecil 127
sehingga resolusi warna menjadi lebih tinggi. Selain itu, dengan menggunakan titik kuantum, warna yang ingin diemisikan bisa diubah-ubah hanya dengan mengatur ukuran dari titik kuantumnya. Saat ingin memancarkan warna merah yang memiliki panjang gelombang tinggi dan energi rendah, berarti kita atur bandgap material lebih kecil dengan memperbesar ukuran titik kuantum, sementara jika ingin memancarkan warna biru yang memiliki panjang gelombang rendah dan energi tinggi, kita buat titik kuantum dengan ukuran yang lebih kecil. Pada tahun 2002, Makihara dkk telah berhasil membuat LED menggunakan titik kuantum Silikon dengan lapisan isolator SiO 2 dengan ukuran 2 nm .
Gambar 9.14 LED dengan titik kuantum. (http://cnx.org/content/m33801/latest/?collection=col10719/latest)
9.4.4 Aplikasi dalam Biologi Karakteristik unik dari titik kuantum, yaitu sifat fluorescence, dapat diaplikasikan juga dalam bidang biologi, yaitu untuk sel imaging atau imaging cells. Titik kuantum yang berukuran nano dapat kita injeksikan ke dalam suatu sel, dan karena sifat flouresensinya, titik kuantum akan dapat berpendar dengan terang, stabil, dan tajam di dalam sel tersebut seperti pada Gambar 9.15. Hal ini memudahkan para peneliti untuk mengikuti pergerakan sel dalam sebuah sistem dengan sistem labeling tanpa mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan sel. Titik kuantum juga dapat digunakan untuk pengobatan penyakit kanker. Titik kuantum diharapkan dapat dimanfaatkan untuk mengobservasi interaksi sel protein saat terjadi transformasi sel. Untuk dapat Untuk membuat titik kuantum dapat berkonjugasi dengan molekul, para peneliti melapisi titik kuantum dengan material tambahan, contohnya streptavidin.
128
Gambar 9.15 Titik kuantum berpendar dalam sel tumbuhan Medicago Sativa. (http://www.itqb.unl.pt/labs/biomolecular-diagnostic/research/quantum-dots)
Gambar 9.16 Label sel kanker payudara menggunakan titik kuantum konjugat. (http://jnci.oxfordjournals.org/content/95/7/502.full)
9.5 KESIMPULAN Titik kuantum merupakan material semikonduktor yang dibuat dalam ukuran nano. Titik kuantum memiliki karakteristik yang unik yang disebabkan oleh ukurannya yang sangat kecil. Pada titik kuantum, besar bandgap sangat bergantung pada ukuran. Titik kuantum memiliki sifat flouresensi, yaitu dapat berpendar bila diberi masukan energi. Titik kuantum dapat meningkatkan performa divais elektronik, seperti sel surya, LED, dan divais memori, juga dapat diaplikasikan pada bidang lain, seperi untuk labeling dalam bidang biologi.
129
DAFTAR PUSTAKA Amakawa, S., dkk. Single-electron Circuit Simulation. IEICE Trans. Electron, E81-C, 21-29. (1998) Abu El-Seoud, A. K., El-Banna, M., and Hakim M. A. On modelling and characterization of single electron transistor. Int J Electron, 94, 573–585. (2007) Bednarek, S., Szafram, B., and Adamowski, J.. Many-electron artificial atoms. Phys. Rev. B, 59(20). (1999) K.-Y. Ban, dkk. MBE Growth and Characterization of InAs Quantum Dots on Strained GaAs1xSbx Buffer Layer For Application in High Efficiency Solar Cells. Photovoltaic Specialists Conference. (2008) Chen, Guanlong. Resonant tunneling through quantum-dot arrays. Phys. Rev. B, 50, 8035-8038. (1994) Foxman, E.B., dkk. Effects of quantum levels on transport through a Coulomb island. Phys. Rev. B, 47(15), 10020-10023. (1993) Hanna, M.C. dkk. Quantum dot Solar Cells with Multiple Exciton Generation. Conference Paper NREL. (2005) Jenks, Steven dan R. Gilmore. Quantum dot solar cell: Materials that produce two intermediate bands. J Renewable and Sustainable Energy,2, 013111. (2010) Kastner, M. A.. Artificial Atom. Physics Today. (1993) Luque, A. dan A. Marti. Increasing the efficiency of ideal solar cells by photon trantitions at intermediate levels. Phys. Review Lett., 78(26). (1997)
induced
Lin, Chung-Wei, dkk. Structural and Optical Properties of Silicon-Germanium Alloy Nanoparticles. J Appl. Phys, 91(4), 2322-2325. (2002) Rahayu, F. dan Y. Darma. Quantum Size Effect Simulation and Ge Composition on SiGe Quantum Dot for Intermediate Band Solar Cell Applications. IEEE Conf. Proc., 321-325. (2011) Rahayu, F. dan Y. Darma. Simulation of High Generation Rate on SiGe Quantum Dot Based Solar Cell. AIP Conf. Proc., 1454, 203-206. (2012) Ratner, M. dan Ratner, D. Nanotechnology : A Gentle Introduction to the Next Big Idea. Prentice Hall. (2002)
130
See, J., dkk. Theoretical investigation of negative differential conductance regime of silicon nanocrystal single-electron devices. IEEE Transactions on Electron Devices, 53, 1268 – 1273. (2006) Sze S. M.. Semiconductor Devices Physics and Technology 2nd edition. Wiley. (1981) Tang, Jiang and Edward H. Sargent. Infrared Colloidal Quantum dots for Photovoltaics: Fundamentals and Recent Progress. Adv. Mater, 23, 12–29. (2011) Wang, T. H., Li, H. W., and Zhou, J. M.. Single-electron transistor with point contact channels. Nanotechnology, 13, 221-225. (2002) Yudhistira, Fitria Rahayu, and Yudi Darma. Simulation of Spontaneous Emission Power on Silicon Based Quantum Dot with Variation of Light Source and Dot Size. ICICI 2011. (2011) http://www.uni-tuebingen.de/nano/Forschung/Bilder/set_1.jpg http://cnx.org/content/m33801/latest/?collection=col10719/latest http://www.itqb.unl.pt/labs/biomolecular-diagnostic/research/quantum-dots http://njtechreviews.com/2011/09/04/moores-law/ http://mitei.mit.edu/news/nanoscale-layers-promise-boost-solar-cell-efficiency http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0021979711014585
131
BAB 10 DIVAIS TERMOELEKTRIK Oleh : Ganjar Kurniawan S
10.1. ENERGI PANAS DAN DIVAIS TERMOELEKTRIK Kebutuhan manusia akan energi akhir-akhir ini meningkat tajam, sedangkan di sisi lain ketersediannya sangat terbatas. Ketergantungan terhadap sumber-sumber energi yang tidak dapat diperbaharui (minyak bumi dan fosil) telah mendorong eksploitasi besar-besaran terhadap sumber-sumber energi tersebut, akibatnya cadangan ketersediaan energi dunia menjadi semakin menipis. Hal ini mendorong para ilmuwan mencari sumber-sumber energi alternatif yang ramah lingkungan, guna meminimalisasi bahkan menggantikan sumber energi yang tidak dapat diperbaharui tersebut. Zat sisa hasil pembakaran dari energi yang tidak dapat diperbaharui yang umumnya berupa karbondioksida. Karbondioksida yang terakumulasi di permukaan bumi menyebabkan radiasi yang berasal dari matahari yang seharusnya dipantulkan oleh permukaan bumi ke luar angkasa, terperangkap di bumi dan mengalami pemantulan internal secara berulang ulang, akibatnya temperatur dipermukaan bumi menjadi meningkat. Gejala ini dinamakan efek rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global Beberapa dekade yang lalu hingga sekarang, setiap tahunnya temperatur bumi meningkat secara signifikan, sebagai dampak dari pemanasan global. Hal ini menyebabkan ketersediaan energi panas begitu sangat melimpah. Energi panas dapat berasal dari aktifitas interior bumi dan juga dari matahari. Selain ituenergi panas dapat diperoleh dari mesin-mesin industri, automobil, bahkan peralatan elektronik sekalipun dalam bentuk limbah panas yang terbuang ke lingkungan. Bahkan tubuh manusia pun merupakan sumber energi panas. Salah satu jenis teknologi konversi energi yang menjadi perhatian adalah termoelektrik, di mana panas diubah menjadi listrik secara langsung menggunakan suatu material yang dikenal dengan material termoelektrik (Minnich, 2009). Material ini bekerja berdasarkan efek termoelektrik. Material-material termoelektrik dapat disusun menjadi suatu divais termoelektrik.
132
Gambar10.1. Energi listrik yang dihasilkan divais termoelektrikmelalui pemanasan di salah satu sisinya digunakan untuk menyalakan sebuah lampu (http://microlab.berkeley.edu/text/seminars/slides/AkramBoukai.pdf)
Divais termoelektrik merupakan divais yang dapat mengubah energi panas (beda temperatur) menjadi energi listrik bahkan dapat terjadi sebaliknya. Proses perubahan energi dari panas ke listrik dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik (termopower) sedangkan proses sebaliknya dapat dimanfaatkan sebagai pendingin yang berpotensi menggantikan pendingin konvensional yang menggunakan fluida yang dapat mencemari lingkungan (CFC). Adapun kelebihan yang dimiliki divais ini dibandingkan dengan divais converter lainnya adalah ketahanan yang tinggi, long life, pemeliharaan yang mudah, dapat diminiatur, tidak memancarkan emisi (O`Dwyer). Meskipun divais ini dapat mengkonversi dari perbedaan panas menjadi beda potensial (listrik), namun tidak serta merta dapat dimanfaatkan sebagai komponen pembangkit listrik utama. Hal ini terkait dengan efisiensi konversi yang masih sangat rendah. Sehingga pada praktiknya divais ini hanya digunakan sebagai divais pendukung untuk efisensi energi. Pengembangan material termoelektrik merupakan salah satu upaya untuk mengatasi krisis energi saat ini, hal inilah yang mendorong para ilmuwan untuk terus mengembangkan divais ini. Divais termoelektrik telah diaplikasikan secara luas baik digunakan sebagai termopower atau sebagai refrigrator (pendingin). Aplikasi termoelektrik yang sering kita jumpai adalah pemanfaatannya sebagai sensor temperatur yakni termocouple. Selain itu divais ini dimanfaatkan pada mesin-mesin pabrik dengan cara mendaur ulang energi panas yang terbuang dari mesin-mesin ketika beroperasi menjadi energi listrik yang dapat digunakan kembali, sehingga biaya operasional dapat ditekan. Disamping itu divais ini sering digunakan sebagai power generator pada sebuah wahana luar angkasa misalnya voyager, dikarenakan memiliki ketahanan yang tinggi, dan umur yang panjang.
133
10.2.
PRINSIP DASAR TERMOELEKTRIK
Fenomena termoelektrik pertama kali ditemukan oleh seorang fisikawan jerman bernama Thomas Johann Seebeck pada tahun 1821, ketika persambungan dua material yang memiliki perbedaan konduktivitas (bimetal) dipanaskan pada rangkaian tertutup maka sebuah jarum kompas yang berada di dekat rangkaian tersebut akan mengalami penyimpangan. Eksperimen ini diilustrasikan seperti pada gambar 10.2
Gambar10.2 Penyimpangan jarum pada kompas diakibatkan oleh pemberian panas di salah satu sisi persambungan (Salamat, 2011)
Hasil eksperimen menunjukan bahwa besarnya sudut simpangan sebanding dengan panas yang diberikan. Awalnya fenomena ini ia namakan sebagai gejala termomagnetik. Namun Hans C Orstead mengoreksi gejala ini menjadi termoelektrik, setelah menemukan keterkaitan antara kelistrikan dan kemagnetan. Fenomena termoelektrik pada material dapat dijelaskan melalui suatu mekanisme fisis yaitu mekanisme aliran difusi muatan pembawa (elektron atau hole) pada material ketika diberikan perbedaan temperatur. Ketika salah satu sisi dari sebuah material dipanaskan sedangkan ujung lainnya dibiarkan maka pembawa muatan (elektron bebas) yang berada di bagian yang bertemperatur tinggi,lebih energetik dibandingkan dengan pembawa muatan yang berada di sisi lainnya. Sehingga muatan pembawa yang berasal dari sisi bertemperatur tinggi akan berdifusi ke bagian sisi yang bertemperatur yang lebih rendah. Perpindahan elektron ini menyebabkan ketidakhomogenan muatan di kedua belah sisi material. Perbedaan konsentrasi muatan pembawa ini menghasilkan medan listrik yang melawan arah difusi. Semakin banyak muatan pembawa yang berpindah, medan listrik yang ditimbulkan akan semakin besar sehingga pada akhirnya akan menghentikan difusi elektron. Proses difusi ini dapat ditunjukan seperti pada gambar 10. 3
134
Gambar10.3 Proses difusi aliran elektron akibat pemanasan di salah satu ujungnya. Panah warna hitam menunjukan arah difusi pembawa muatan (elektron) Suatu kondisi di mana aliran difusi muatan pembawa terhenti akibat kehadiran medan listrik disebut keadaan kesetimbangan. Hal ini akan terjadi ketika medan listrik sebanding dengan difusi sebagai akibat dari perbedaan temperatur. Sehingga pada keadaan setimbang, potensial listrik akan terbentuk akibat dari adanya perbedaan temperatur,maka apabila kita hubungkan kedua sisi material melalui suatu rangkaian tertutup maka akan ada arus listrik yang mengalir didalamnya. Hubungan antara perbedaan temperatur dengan beda potensial digambarkan melalui hubungan sebagai berikut
𝑆𝑆 =
Δ𝑉𝑉 Δ𝑇𝑇
(10.1)
Di mana S merupakan koefisien seebeck. Untuk material logam nilai koefisien seebeck sangat kecil sekitar ~10 uV/K(Boukai). Hal ini menunjukan bahwa beda potensial yang dihasilkan akibat perbedaan temperatur pada metal sangat kecil. Sedangkan untuk semikonduktor S~ 200 uV/K (Boukai), karena pada material semikonduktor kontribusi aliran listrik berasal dari oleh elektron dan hole.
135
Gambar10.4Proses aliran difusi elektron pada semikonduktor tipe n (Salamat, 2011) Material termoelektrik dapat pula diaplikasikan sebagai pendingin (refrigrator) atau penarik panas. Fenomena ini pertama kali ditemukan oleh Jean Charles Peltier pada tahun 1834. Fenomena ini merupakan kebalikan dari efek seebeck. Ketika arus listrik diberikan pada material termoelektrik, maka elektron (pembawa muatan) akan bergerak berlawanan arah dengan arah arus listrik. Elektron selaku pembawa energi termal akan terkonsentrasi di salah satu sisi material. Hal ini akan menghasilkan perbedaan temperatur di antara kedua sisi material termoelektrik. Gejala ini disebut efek peltier seperti yang ditunjukan pada gambar 10.5
Gambar10.5Efek peltier pada semikonduktor tipe N (Salamat, 2011)
136
10.3. KONSTRUKSI DIVAIS TERMOELEKTRIK Saat ini telah dikembangkan desain untuk divais termoelektrikyang tersusun dari semikonduktor tipe n dan p. Sama halnya pada sebatang material, akibat adanya perbedaan temperatur antara sisi atas dengan sisi bawah menyebabkan muatan mayoritas (hole dan elektron) dari masing-masing semikonduktor berdifusi dari sisi yang bertemperatur tinggi ke sisi yang bertemperatur rendah.
Gambar10.6Diavis termoelektrik yang terdiri dari semikonduktor tipe N dan tipe P (Salamat, 2011) Hal yang sama terjadi pada bahan semikonduktor termoelektrik untuk masingmasing tipe, dapat disusun secara berturut-turut sehingga beda potensial yang dihasilkan menjadi lebih besar
Gambar10.7Divais termoelektrik yang tersusun dari elemen termoelektriktipe N dan tipe P secara berturut-turut (Salamat, 2012)
137
Susunan untuk masing-masing elemen divais termoelektrik seperti pada gambar di atas akan menghasilkan tegangan yang besarnya bergantung dari banyaknya jumlah elemen. Susunan ini menghasilkan tegangan seperti pada persamaan (10.2) 𝑉𝑉 = 𝑁𝑁 (𝑆𝑆 ∆𝑇𝑇)
10.4.
(10.2)
EFISIENSI KONVERSI
Ukuran yang menentukan karakteristik performa suatu termoelektrik dinyatakan dalam suatu parameter yang dinamakan figure merit(ZT). Parameter ini berkaitan langsung dalam menentukan efisiensi termoelektrik dalam mengkonversi.Jika ZT bernilai besar maka efisiensi suatu divais termoelektrik besar pula. Parameter figure meritdapat ditunjukan melalui persamaan (10.3) 𝑆𝑆 2 𝜎𝜎 𝑇𝑇 𝜅𝜅
(10.3)
𝜅𝜅 = 𝜅𝜅𝑒𝑒 + 𝜅𝜅𝑙𝑙
(10.4)
𝑃𝑃𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜 𝑄𝑄𝐻𝐻̇
(10.5)
𝑍𝑍𝑍𝑍 =
Di mana 𝜎𝜎 konduktivitas listrik, dan 𝜅𝜅 konduktivitas termal. 𝜅𝜅 konduktivitas termal merupakan jumlah dari kontribusi konduktivitas termal elektronik (pembawa muatan) dan konduktivitas termal kisi.
Berdasarkan uraian sebelumnya dikatakan bahwa ZT memiliki korelasi dengan efisiensi daya listrik yang dihasilkan. Hubungan antara ZT dengan efisiensi ditunjukan melalui persamaan (10.6) 𝜂𝜂 =
𝜂𝜂 = 𝜂𝜂𝐶𝐶
��1 + 𝑍𝑍𝑇𝑇� − 1�
�1 + 𝑍𝑍𝑇𝑇� + 𝑇𝑇𝐶𝐶� 𝑇𝑇𝐻𝐻
(10.6)
Dengan 𝑃𝑃𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜 adalah daya yang dihasilkan,𝑄𝑄𝐻𝐻 aliran kalor dari reservoir panas ke reservoir dingin,𝜂𝜂𝐶𝐶 merupakan efisiensi carnot, 𝑇𝑇𝐶𝐶 ⁄𝑇𝑇𝐻𝐻 adalah termperatur dingin / panas sebuah reservoir kalor pada kedua sisi , 𝑇𝑇� merupakan temperatur rata-rata.
Berdasarkan persamaan (10.3) menunjukan secara matematis bahwa efisiensi termoelektrik dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan koefisien seebeck, konduktivitas listrik dan mereduksi konduktivitas termal, namun pada kenyataannya 𝑆𝑆, 𝜎𝜎, dan 𝜅𝜅 saling bergantungan. Misalnya jika kita hendak meningkatkan koefisien seebeck suatu material dengan meningkatkan konsentrasi pembawa muatan, maka konduktivitas termalnya pun meningkat. Sehingga upaya ini sama sekali tidak berpengaruh terhadap peningkatan ZT. 138
Material ideal yang digunakan untuk termoelektrik adalah material yang memiliki konduktivitas tinggi namun memiliki konduktivitas termal yang rendah. Sayangnya material seperti ini tidak banyak tersedia di alam. Biasanya suatu material yang memiliki konduktivitas listrik yang tinggi, juga memiliki konduktivitas panas yang tinggi pula, begitupun sebaliknya. Suatu material yang memiliki karakteristik termoelektrik terbaik dinamakan sebagai “phonon glass, electron crystal” karena memiliki konduktivitas termal yang rendah seperti pada gelas, akan tetapi tetap dapat mengalirkan listrik (Minnich dkk, 2009).
10.5. DIVAIS TERMOELEKTRIK BERBASIS NANOMATERIAL Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan ZT material termoelektrik. Secara umum terdapat dua upaya yang dapat dilakukan untuk mendapatkan suatu material yang memiliki nilai ZT yang besar. Pertama adalah menciptakan material baru yang memiliki karakteristik termoelektrik yang diharapkan. Kedua adalah menciptakan material berstruktur nano. Dengan menggunakan material yang sama namun berstruktur nano memiliki kemungkinan untuk memodifikasi sifat termoelektrik dibandingkan dengan material bulk-nya. (Minnich dkk, 2009). Berbagai penelitian yang telah dilakukan selama 40 tahun terakhir menghasilkan figure merit yang relatif stagnan yakni ZT ~ 1 dengan efisiensi sekitar 10 % dengan Bismuth Telluride (𝐵𝐵𝐵𝐵2 𝑇𝑇𝑇𝑇3 ) sebagai material utama (O`Dwer dkk). Namun keberadaan material ini di alam sangat langka dan tidak dapat diintegrasikan ke dalam chip silikon. Oleh para peneliti mencoba menggunakan material berbahan dasar silikon dan germanium, meskipun ZT yang dihasilkan masih lebih rendah dibandingkan dengan material yang berbahan dasar 𝐵𝐵𝐵𝐵, 𝑃𝑃𝑃𝑃 dan Te. Sejak berkembangnya teknologi nano, hal ini membuka berbagai kemungkinan yang bertujuan untuk meningkatkan parameter ZT.Banyak penelitian yang dilakukan, bertujuan untuk meningkatkan parameter ZT dengan cara meningkatkan karakteristikS (termopower),𝜎𝜎 (konduktivitas listrik) dan mereduksikarakteristik 𝜅𝜅 (konduktivitas termal) dengan cara memanipulasi struktur nano dari material tersebut.Gambar 10.8 menunjukan bagaimana material dengan struktur nano memiliki ZT yang lebih tinggi dibandingkan material bulk-nya. Perbandingan ZT dari berbagai material dapat ditunjukan seperti pada gambar 10.8
139
Gambar10.8Perbandingan karakteristik ZT antara berbagai material berstruktur nano dan bulk-nya (Minnich dkk, 2009)
Harman, dkk telah melaporkan bahwa ZT diperoleh hingga 1,6 menggunakan PbSeTe berdasarkan super kisi kuantum dot. Sedangkan nilai ZT tertinggi diperoleh secara eksperimen oleh venkatasubramanian, dkk dengan ZT ~ 2,4 menggunakan bahan 𝐵𝐵𝐵𝐵2 𝑇𝑇𝑇𝑇3 /𝑆𝑆𝑆𝑆2 𝑇𝑇𝑇𝑇3 . Selain itu Hick dan Dresselhaus memprediksi ZT~ 6 dapat diperoleh untuk kawat nano 𝐵𝐵𝐵𝐵2 𝑇𝑇𝑇𝑇3 (O`Dwyer dkk).Nilai ZT tertinggi diperoleh untuk material berstruktur nano SiGe untuk tipe n. Pada material kawat nano konduktivitas termal akan sebanding dengan diameter kawat nano. Hal ini terjadi akibat adanya efek pengurungan kuantum sehingga menyebabkan terlokalisasinya fungsi gelombang dari elektron dengan berkurangnya diameter kawat nano. Sedangkan semakin kecilnya diameter kawat nano menyebabkan transpor balistik pada elektron menjadi lebih dominan dibandingkan transpor difusi. Transpor balistik terjadi ketika jalan bebas rata-rata (mean free path) lebih panjang dibandingkan panjang kawat nano. Hal inilah yang menyebabkan ZT memiliki nilai yang besar untuk material berstruktur nano dibandingkan material bulknya.
140
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M., Pengantar nanosains. Bandung : ITB (2009) Boukai, A., Clean Energy: Thermoelectrics and Photovoltaics. Dapat diakses di http://microlab.berkeley.edu/text/seminars/slides/AkramBoukai.pdf Hoffmann, E. A., The thermoelectric efficiency of quantum dots in indium arsenide/indium phosphide nanowires, Proquest Dissertations and theses. University of Oregon (2009) Kim, R. S., Physics and Simulation of Nanoscale Electronic and Thermoelectric Devices, Proquest dissertations and theses. Purdue University (2011) Minnich, A.J., dkk., Bulk nanostructured thermoelectric materials: current research and future prospects, Energy.environ.Sci. 2, 466 – 479 (2009) O`Dwyer, M. F., Humphrey, T. E., Linke, H., Concept study for high efficiency nanowire based thermoelectric. Dapat diakses dihttp://arxiv.org/ftp/condmat/papers/0601/0601110.pdf Salamat, S., Towards End to End Technology Modeling: Carbon Nanotube and Thermoelectric Devices, Proquest dissertations and theses. Purdue University (2011) http://en.wikipedia.org/wiki/Thermoelectric_effect http://en.wikipedia.org/wiki/Thermoelectric_materials
141
Bab 11 SnO2 untuk Aplikasi Sensor Gas Oleh : Herlin Pujiarti
11.1 Material SnO2 Kemajuan teknologi terutama dibidang industri dan transportasi seringnya diiringi dengan dampak negatif yang terjadi dilingkungan. Misalnya semakin meningkatnya polusi udara atau gas berbahaya, yang berasal dari sisa hasil pembakaran bahan bakar pada kendaraan bermotor dan sisa pembakaran dari proses industri. Keberadaan gas berbahaya yang ada dilingkungan akan menjadi masalah besar karena sebagian besar darinya tidak berwarna dan tidak berbau. Oleh karena itu, banyak peneliti yang mengembangkan alat yang berfungsi mendeteksi keberadaan gas tersebut yang berupa sensor gas. Sampai saat ini penelitian yang berkaitan dengan sensor gas masih terus dikembangkan dengan tujuan memaksimalkan fungsi kerja dari sensor, sedangkan fungsi kerja sensor berkaitan dengan sensitivitas atau tingkat kepekaan sensor dalam mendeteksi keberadaan gas. Pada umumnya, material sensitif yang digunakan untuk sensor gas adalah dari bahan oksida logam. Terdapat beberapa bahan semikonduktor oksida logam yang dapat digunakan sebagai elemen sensor gas, diantaranya TiO 2 , ZnO, CeO 2 , dan SnO 2 . Tin dioxide atau timah dioksida (SnO 2 ) merupakan bahan semikonduktor oksida logam tipe-n yang lebih banyak digunakan untuk mendeteksi berbagai jenis gas yang ada dilingkungan, dibandingkan dengan bahan semikonduktor oksida logam lainnya. Hal ini dikarenakan bahan SnO 2 mempunyai beberapa kelebihan, antara lain memiliki sensitivitas tinggi, memiliki respon dan selektivitas yang baik, ekonomis dan relatif mudah untuk preparasinya. Timah dioksida yang digunakan sebagai sensor gas, bisa dalam bentuk lapisan tipis (thin film) maupun lapisan tebal (thick film). Adapun beberapa jenis gas yang bisa dideteksi dengan baik oleh SnO 2 adalah CO, NOx, H2 S, H2 , CH 4 dan CNG (Mishra, dkk, 2009). Berdasarkan data kristalografi yang ada pada penelitian (Batzill, dkk, 2005), struktur kristal Stannic Oxide (SnO 2 ) adalah tetragonal seperti tampak pada gambar 11.1. Simetri grup ruangnya P4/nmm, dan parameter kisi a = b = 3.8029 Å dan c = 4.8382 Å. Stannic Oxide dapat ditemukan dalam bentuk mineral cassiterite dan memiliki struktur rutil yang sama dengan bahan oksida logam yang lainnya, seperti TiO 2 , RuO 2 , GeO 2 , MnO 2 , VO 2 , IrO 2 , dan CrO 2 .
142
Gambar 11.1 Ball dan Stick Model SnO 2 (Batzill, dkk, 2005) Pada sel satuan SnO 2 yang memiliki sistem kristal tetragonal, ion Sn4+ memiliki geometri oktahedral dan ion O2- memiliki geometri trigonal planar seperti tampak pada gambar 11.2.
Gambar 11.2 Sel Satuan SnO 2 (Batzill, dkk, 2005) SnO 2 adalah bahan semikonduktor dengan band gap 3.71 eV dan memiliki konduktivitas rendah pada suhu kamar. Konduktivitas bahan semikonduktor oksida logam dapat diubah dengan memberi perlakuan panas ataupun dengan menambahkan dopan kedalam bahan tersebut (Mishra, dkk, 2009). Secara umum, sifat fisis dan kimia material SnO 2 disajikan pada tabel 11.1. Tabel 11.1 Sifat Fisis dan Kimia Material SnO 2 (Endut, 2009)
Massa Molar
Sifat 150.71 g/mol
Kerapatan
6.95 g/cm3
Warna
Putih
Titik leleh
1630oC
Titik didih
1800-1900oC
Solubilitas
Tidak larut dalan air, larut dalam asam dan alkali
Struktur Kristal
Struktur Rutil
Geometri
Oktahedral, trigonal planar
143
11.1.1 Sifat Listrik Material SnO 2 Berkaitan dengan sifat listrik yang dimiliki oleh SnO 2 , diketahui bahwa bahan SnO 2 murni pada suhu kamar merupakan bahan semikonduktor dengan band gap 3.71 eV. Sifat kelistrikan SnO 2 dapat diperbaiki atau diubah salah satunya dengan meningkatan suhu sintering (Mishra, dkk, 2009). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Mishra, dkk, 2009) dalam pembuatan film tipis SnO 2 dengan metode spray pirolisis, tampak terdapat perbedaan pola difraksi dari SnO 2 yang disintering pada suhu 300 oC (a) dan 400 oC (b), seperti pada gambar 11.3. (a)
(b)
Gambar 11.3 Pola Difraksi SnO 2 Perbedaan pola difraksi yang terjadi, berkaitan dengan suhu sintering yang dapat merubah atau mempengaruhi ukuran butir material yang dihasilkan. Dari pola difraksi tersebut, tampak bahwa SnO 2 yang disintering pada suhu 400oC memiliki intensitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan SnO 2 yang disintering pada suhu 300oC, hal ini menunjukkan semakin tinggi suhu sintering, ukuran butir akan membesar dan selanjtnya berakibat semakin tingginya nilai koduktivitas (Mishra, dkk, 2009). Meningkatnya nilai konduktivitas ini dapat dijelaskan dengan ukuran butir yang semakin besar menyebabkan semakin lemahnya ikatan inti dengan elektron di kulit terluar dari bahan, sehingga elekton semakin mudah lepas dan mobilitasnya meningkat atau dengan kata lain elekton semakin mudah melewati bandgap untuk berpindah dari pita valensi ke pita konduksi.
144
11.1.2 Sifat Optik Material SnO 2 Sifat optik suatu material berkaitan dengan transmitansi dan absorpsi. Untuk mengetahui parameter apa saja yang dapat mempengaruhi besarnya transmitansi dan absorpsi dari bahan SnO 2 , Sandipan Ray membuat film tipis menggunakan metode sol-gel. Lapisan tipis dibuat dengan memvariasi jumlah lapisan yang dideposisi serta menambahkan Pd sebagai pengotor atau doping pada bahan SnO 2 . Dari hasil tersebut, didapatkan Pola difraksi XRD film tipis SnO 2 untuk single layer dan multilayer seperti pada gambar 11.4, yang masing masing lapisan pada semua sampelnya di preparasi dengan kondisi yang sama.
Gambar 11.4 Pola XRD Film Tipis SnO2 (a) 1 lapisan, (b) 3 lapisan, (c) 6 lapisan, (d) 8 lapisan, (e) 12 lapisan Dari pola XRD tersebut, tampak bahwa kristal mulai terbentuk pada 6 lapisan. Semakin banyak lapisan, intensitas semakin tinggi. Artinya ukuran butir semakin besar dan kristalinitas film SnO 2 semakin baik. Hal ini diakibatkan oleh efek komulasi dari suhu dan lama anniling untuk masing-masing deposisi tiap lapisan (Ray, 2010). Sifat optik material SnO 2 juga ditentukanoleh koefisien absorpsi. Koefisien absorpsi dapat dihitung dengan persamaan Lambert’s
(11.1)
Dimana t adalah ketebalan film dan T adalah transmitansi film 145
Gambar 11.5 Citra SEM fil tipis SnO 2 (a) 3 layer, (b) 6 layer, (c) 12 layer, (d) 3 layer SnO 2 di doping Pd, (e) 6 layer SnO2 di doping Pd, (f) 12 layer SnO2 di doping Pd (Ray, 2010) Hasil uji SEM untuk SnO 2 dan SnO 2 di doping Pd, ditunjukkan pada gambar 11.5 Gambar (a) menunjukkan permukaan paling halus jika dibandingkan hasil yang lain [5]. Untuk gambar (b) tidak jauh beda dengan (a). Gambar (c) tampak lebih kasar dan menunjukkan peningkatan pertumbuhan butir. Citra SEM untuk SnO 2 di doping Pd gambar (d), (e), dan (f) menunjukkan permukaan yang lebih kasar dan peningkatan pertumbuhan butir. Sifat optik SnO 2 di karakterisasi dengan UV-Vis-NIR Spectroscope. Transmisi optik dari film SnO 2 multilayer yang di annil pada suhu 673 K tampak pada gambar 11.6.
146
Gambar 11.6 Transmisi Optik Film SnO2 Multilayer yang di annil pada Suhu 673 K (Ray, 2010) Transmisi rata-rata untuk film SnO 2 tanpa doping, adalah lebih dari 80% dari range panjang gelombang 450-800 nm. Semakin banyak jumlah lapisan, penyerapan semakin rendah. Ini disebabkan keberadaan ukuran butir kristal yang lebih besar dan peningkatan penghamburan pada permukaan film yang semakin kasar (Ray, 2010). Dengan penambahan Pd yang diberikan pada SnO 2 menyebabkan transparansi dari film tipis menurun secara signifikan jika dibandingkan dengan SnO 2 yang tanpa doping. Menurunnya transparansi dari fil menyebabkan transmisi dari SnO 2 di doping Pd hanya berkisar pada 5% sampai 20% dari range panjang gelombang 450-800 nm. Hasil analisis ini ditunjukkan pada gambar 11.7 (Ray, dkk, 2010)
Gambar 11.7 Transmisi optic dari film SnO2 di doping Pd multilayer yang di annil pada suhu 673 K
147
11.2 Metode Sintesis Material SnO2 Material SnO 2 yang digunakan sebagai elemen sensor gas adalah dalam bentuk film. Adapun beberapa metode yang dapat digunakan untuk sintesis film SnO 2 diantaranya: Chemical Bath Deposition (Maddu, dkk, 2009), Sputtering DC (Mawarani, dkk, 2006), Spin Coating (Leite, dkk, 2006), Spray Pyrolisis (Korotcenkov, dkk, 2001).
11.2.1 Metode Chemical Bath Deposition (CBD) Salah satu metode kimia yang digunakan untuk penumbuhan film tipis adalah metode Chemical Bath Deposition (CBD). Metode ini banyak digunakan dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya, diantaranya : metode penumbuhan yang relatif mudah dilakukan, ekonomis, tidak memerlukan waktu lama, ketebalam film dapat dikontrol, serta preparasi dapat dilakukan pada suhu yang relatif rendah. Film tipis SnO 2 juga bisa dilakukan dengan metode CBD. Penumbuhan film SnO 2 diawali dengan pendeposisian pada substrat yang berupa kaca preparat, dengan cara mencelupkan substrat ke dalam larutan yang mengandung ion-ion logam dan ion-ion hidroksida, sulfida atau selenida (Maddu, dkk, 2009). Secara umum, proses yang dilakukan pada metode CBD ditampilkan pada gambar 11.8, dimana substrat ditempelkan bpada gelas beker yang telah berisi ion tertentu dan di stirrer sambil dipanaskan dengan suhu sekitar 70-90oC. Selanjutnya untuk mendapatkan lapisan film yang lebih tebal, cukup dengan menambah waktu deposisi. Skema metode CBD ditunjukkan pada Gambar 11.8
Gambar 11.8 Metode Chemical Bath Deposition (Maddu, dkk, 2009)
148
11.2.2 Sputtering DC Sputtering DC merupakan metode fisika yang dapat digunakan untuk pembuatan lapisan tipis SnO 2 . (Mawarani, dkk, 2006) telah menggunakan metode sputtering DC ini sebagai metode untuk mendapatkan film tipis SnO 2 . Tahapan yang dilakukannya meliputi : tahapan preparasi sampel, penumbuhan lapisan tipis, pendinginan pelapisan kontak perak. Lapisan tipis SnO 2 yang digunakan sebagai sensor gas dibuat dari substrat kaca kwarsa (SiO 2 ) dengan dimensi 2 cm x 2 cm x 1 mm. Preparasi sampel dilakukan dengan pencucian menggunakan alkohol 99% sambil digetarkan dengan ultrasonic cleaner selama 30 menit, selanjutnya dikeringkan dengan pemanas (oven) bersuhu 150 oC selama 60 menit. Pada proses penumbuhan lapisan tipis, substrat dipanaskan pada suhu 250 oC agar target mudah tertanam pada substrat. Pendeposisian SnO 2 dilakukan dengan metode Sputtering DC pada tegangan 2 kV, arus 5 mA, dan tekanan 5x105. Variasi waktu deposisi : 0,5 jam, 1 jam, dan 2 jam. Target SnO 2 diletakkan pada katoda dan substrat alumina dipasang pada anoda, tabung reaktor plasma dihampakan dengan pompa rotari hingga mencapai tekanan tertentu dan substrat dipanaskan dengan menggunakan sistem pemanas. Selanjutnya, Gas argon dialirkan ke dalam tabung plasma tegangan tinggi DC diatur sedemikian rupa sehingga timbul plasma yang terlihat pada jendela tabung reaktor plasma yang menandakan deposisi dimulai. Secara skematik, prosesnya pada gambar 11.9 (Mawarani, dkk, 2006).
Gambar 11.9 Metode Sputtering DC Tahapan selanjutnya adalah proses pendinginan. Masing-masing sampel didinginkan dengan tiga waktu pendinginan yang berbeda. Waktu pendinginan setelah deposisi ini diatur dengan melakukan tiga cara pengambilan sampel - Langsung diambil (untuk pendinginan cepat) - Diambil setelah 3 jam (untuk pendinginan sedang) - Diambil setelah 15 jam(untuk pendinginan lambat Proses pelapisan kontak perak bertujuan untuk mempermudah dalam pengukuran. Pembuatan lapisan kontak perak ini dengan menggunakan sistem Sputtering DC. Perbedaan dengan penumbuhan lapisan tipis diatas adalah penggunaan 149
alumunium foil untuk melindungi daerah yang tidak ingin dilapisi kontak perak (daerah sensor). Lama pembuatan kontak perak adalah 15 menit. Lapisan kontak perak dibuat 0,5 cm dari masing masing ujung sensor (Mawarani, dkk, 2006).
11.2.3 Metode Spin Coating Metode spin coating merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menghasilkan film. Baik film tipis maupun film tebal. Prosesnya dimulai dari larutan yang diteteskan pada substrat dengan ukuran tertentu, selanjutnya dilakukan pemutaran dengan waktu tertentu hingga terbentuk lapisan. Lapisan pada substrat selanjutnya dikeringkan. Untuk pembuatan multilayer, cukup dilakukan dengan mengulangi proses sebelumnya. Secara skematis, tampak seperti gambar 11.10 Seperti yang dilakukan oleh (Leite, dkk, 2006) yang menggunakan metode spin coating untuk mengontrol ketebalan dari film tipis nanopartikel SnO 2 , menggunakan bahan SnCl 2 .2H2 O dan ethanol. Selanjutnya dilakukan penambahan NH4 OH yang berperan sebagai pengontrol PH. Substrat yang digunakan untuk deposisi film adalah Silikon, dan proses deposisi dilakukan pada suhu kamar dengan kecepatan putaran konstan.
Gambar 11.10 Metode Spin Coating
11.2.4 Metode Spray Pirolisis Salah satu metode sintesis yang bisa digunakan untuk menghasilkan film maupun bulk adalah spray pirolisis. Pada metode ini, fase aerosol terbentuk melalui metode pneumatic. Alat eksperimennya terdiri dari kompresor, atomic spray, subsrat holder, furnace, dan reactor. (Korotcenkov, dkk, 2001) Proses yang terjadi selama sintesis adalah, mula – mula larutan prekussor yang ada, akan menjadi droplet dengan bantuan Ultrasonic Nebulazer, karena pada alat tersebut juga diberikan gas pembawa (gas inert), maka droplet yang sangat ringan tersebut terbawa menuju reactor. Pada alat ini, juga terdapat furnace yang berfungsi memanaskan larutan prekussor yang berupa droplet menjadi padatan bentuk bulk maupun film, jika hasil ahir yang diharapkan berupa film, maka droplet tersebut diangkap oleh holder subsrat, seperti yang ada pada gambar 11.11. Pada proses pembuatan film tipis SnO 2 dari prekusor SnCl 4 .5H2 O, yang dilakukan oleh (Korotcenkov, dkk, 2001), film dideposisikan pada substrat silicon dan keramik. Temperatur operasi bervariasi dari 250 sampai 550oC, untuk ketebalan dari 150
film tipis dapat dikontrol dengan laser ellipsometri. Dari hasil yang diperoleh, dapat diketahui bahwa ukuran kristal meningkat ketika konsentrasi prekusor meningkat.
Gambar 11.11 Metode Spray Pirolisis
11.3 Aplikasi material SnO2 11.3.1 Sebagai sensor Gas Sensor adalah alat yang mampu menangkap fenomena fisika atau kimia yang kemudian diubah menjadi sinyal elektrik baik berupa arus listrik ataupun tegangan. Kemampuan sensor untuk merespon kehadiran gas berhubungan dengan besar konsentrasi gas serta sensing material yang digunakan pada elemen sensor (Mawarani, dkk, 2006). Sensor gas terdiri dari elemen sensor, dasar sensor dan tudung sensor. Elemen sensor terdiri dari bahan sensor dan bahan pemanas untuk memanaskan elemen. Elemen sensor menggunakan bahan-bahan seperti timah (IV) oksida SnO2, wolfram (VI) oksida WO3, dan lain-lain, tergantung pada gas yang hendak dideteksi, selengkapnya ada pada gambar 11.12
Gambar 11.12 Sensor Gas 151
11.3.2 Mekanisme Kerja Material SnO 2 pada Sensor Pada kondisi udara normal, permukaan bahan semikonduktor (SnO 2 ) diselimuti oleh lapisan oksigen teradsorbsi, konsentrasi atom-atom O 2 tersebut selanjutnya akan menangkap elektron yang berasal dari daerah dekat (sekitar) permukaan semikonduktor. Kehadiran molekul gas reduktor seperti gas CO akan mengikat sejumlah atom oksigen yang teradsorbsi oleh permukaan butir kristal. Selanjutnya, elektron dilepaskan kembali kepermukaan semikonduktor sehingga konsentrasi elektron bebas bertambah serta panjang lapisan deplesi dan tinggi penghalang antar butir (potential barrier) berkurang. Hal ini juga mengakibatkan kenaikan konduktivitas untuk bahan semikonduktor tipe-n (Batzill, dkk, 2005). Secara skematik, reaksi yang terjadi pada sensing material (SnO 2 ) dengan kebeadaan gas disekitarnya, ditunjukkan pada gambar 11.13
Gambar 11.13 Interaksi Sensing Material (SnO 2 ) dengan Gas (Batzill, dkk, 2005)
11.3.3 Performa Sensor Performa dari sensor SnO 2 berhubungan dengan ukuran partikel, dan karakteristik komposit (jika didalamnya ditambah bahan lain). Performa sensor SnO 2 yang meliputi stabilitas, sensitivitas, selektivitas, dan waktu respon, dapat dioptimalkan dengan mereduksi ukuran partikel SnO 2 sampai pada dimensi nanometer. Selain itu, penambahan dopan atau pengotor dalam bentuk nanokomposit juga berperan dalam meningkatkan performa sensor SnO 2 (Miller, dkk, 2006). Pada gambar 11.14 ditunjukkan sensitivitas sensor SnO 2 sebagai fungsi dari ukuran kristal SnO 2 . Sensitivitas pada dua jenis gas yang berbeda yaitu gas CO dan H2 menunjukkan tren menurun yang sama yaitu semakin besar ukurang krisal, maka sensitivias menurun. Hubungan ini terjadi karena, ketika ukuran butir semakin besar, maka kontak antara sensing material dalam hal ini SnO 2 dengan gas semakin terbatas, sehingga kemampuan material mendeteksi keberadaan gas disekitarnya (sensitivitas) menjadi menurun.
152
Sensitivitas didefinisikan sebagai perbandingan resistansi sensor di udara dengan resistansi sensor pada gas tertentu. S = Ra / Rg
Gambar 11.14 Hubungan antara Sensitivitas dengan Ukuran Kristal (Miller, dkk, 2006) Performa sensor yang berkaitan dengan waktu respon, bergantung pada ukuran kristal SnO 2 serta penambahan dopan. Sebagai contoh pada gambar 11.15 merupakan hasil penelitian (Kennedy, dkk, 2003) yang mengembangkan teknik fabrikasi dengan kontrol ukuran kristal SnO 2 tanpa mengubah ketebalan film. Dari hasil tersebut, sensitivitas ethanol sebagai fungsi waktu masing-masing ukuran kristal SnO 2 NF10 untuk ukuran 10 nm, NF20 untuk ukuran 20 nm dan NF35 untuk ukuran 35 nm. Pada grafik tersebut tampak waktu respon menurun seiring dengan penurunan ukuran kristal SnO 2 , artinya waktu yang diperlukan sensor untuk merespon keberadaan ethanol lebih cepat ketika ukuran kristal SnO 2 semakin kecil. Hal ini disebabkan sensitivitas dari bahan SnO 2 semakin tinggi ketika ukuran kristalnya semakin kecil.
Gambar 11.15 Hubungan antara Sensitivitas dengan Waktu Respon (Miller, dkk, 2006)
153
DAFTAR PUSTAKA Batzill, M. dan Diebold, U., The Surface and Materials Science of Tin Oxide, Progress in Surface Science. 79, 47–154 (2005) Endut, N. A., Stanum dioxide (SnO 2 ) Doped Polyaniline (n-C 6 H5 NH 2 ) Thin Film as the Materials for Liquefied Petroleum Gas (LPG) and Hydrogen (H 2 ) Gas Sensor, Department of Chemical Engineering : Universiti Malaysia Pahang (2009)
Khalil, A., Purwaningsih, S. Y., Darminto, Pengaruh Doping Emas dan Perlakuan Anil pada Sensitivitas Lapisan Tipis SnO 2 untuk Sensor Gas CO. Seminar Nasional Pascasarjana IX – ITS, Surabaya (2009)
Korotcenkov, G., dkk., Pecualiarities of SnO 2 Thin Film Deposition by Spray Pyrolisis for Gas Sensor Aplication, Sensor and Actuators B. 77, 244-252 (2001)
Leite, E. R., dkk., Controlled Thickness Deposition of Ultrathin Ceramic Films by Spin Coating, J. American Ceramic Society. 89, 2016-2020 (2006)
Maddu, A., Hasiholan, R. T., Kurniati, M., Penumbuhan Film Nanokristalin SnO 2 dengan Metode Chemical Bath Deposition (CBD), J. Nanosains dan Teknologi. Edisi Khusus, 96-99 (2009)
Mawarani, L. J., dkk. Karakterisasi Lapisan Tipis SnO 2 Sputtering DC sebagai Elemen Sensor Gas CO, J. Sains Materi Indonesia. 8, 35-39 (2006)
Miller, T. A., dkk., Nanostructured Tin Dioxide Materials for Gas Sensor Applications. Department of Mechanical Engineering : University of Michigan (2006)
Mishra, R. L., Mishra, S. K., Prakash S. G., Optical and Gas Sensing Characteristics of Tin Oxide Nano-Crystalline Thin Film, J. of Ovonic Research. 5, 77-85 (2009)
Ray, S., Gupta, P. S., Singh, G., Electrical and Optical Properties of Sol-Gel Prepared Pd Doped SnO 2 Thin Films: Effect of Multiple Layers and Its Use as Room Temperature Methane Gas Sensor, J. of Ovonic Research. 6, 23-34 (2010)
154
Bab 12 Karakterisasi Struktural dan Mekanis Lapisan Nanokomposit dalam Nanoscale Oleh : Idham Pribadi Muchammad
12.1
Nanoscale
Secara umum, material nanoscale didefinisikan sebagai satu set zat-zat kimia yang memiliki ukuran kurang dari 100 nanometer dan memiliki optis, magnetis, atau bagian-bagian elektris unik. Material “ultrafine particulate” adalah contoh material nanoscale yang dapat ditemukan di lingkungan. Salah satu contoh program penelitian oleh NTP (National Toxicology Program) memfokuskan dalam pembuatan material nanoscale baru atau untuk kepentingan proyek komersial (Gustafsson, G., 1992). Program termasuk mempelajari dan mengevaluasi disposisi biologis dari semikonduktor nanoscale crystalline fluorescent (quantum dots), ilmu toxikologi dari material nanoscale berbasis karbon ( single- atau multi-walled nanotubes, fullerenes), dan ilmu photogoxikologi yang mewakili partikel nanoscale metal oxide, biasanya digunakan pada aturan industri dan produk-produk konsumen (seperti, titanium dioxide). Material nanoscale telah muncul di masyarakat sebagai produk industri dan konsumsi serta sebagai formulasi baru penyaluran obat di tubuh. Pada hakikatnya, Aplikasi-aplikasi komersial dan fasilitas-fasilitas yang dihasilkan untuk kemudahan manusia mungkin dapat dibedakan secara “nanoscale” dibandingkan dengan “bulk” material.
12.2
Nanokomposit
Komposit adalah suatu material yang terbentuk dari kombinasi dua atau lebih material pembentuknya melalui campuran yang tidak homogen, dimana sifat mekanik dari masing-masing material pembentuknya berbeda. Umumnya material komposit terdiri dari dua bahan penyusun. Bahan tersebut yaitu bahan pengisi (filler) dan bahan pengikat (matriks). Filler adalah bahan pengisi yang digunakan dalam pembuatan komposit, biasanya berupa serat atau serbuk, seperti yang sering digunakan dalam 155
pembuatan komposit antara lain serat e-glass, boron, karbon, dan sebagainya. Bahan pengisi haruslah kuat untuk menerima beban yang diterima material komposit. Matriks dalam struktur komposit dapat berasal dari bahan polimer atau logam. Umumnya matriks terbuat dari bahan-bahan lunak dan liat. Epoksi, poliester, dan vinilester adalah bahan-bahan polimer yang sejak dahulu telah dipakai sebagai bahan matriks (Bsiesy, A., 1995). Nanokomposit adalah gabungan atau kombinasi dari satu atau lebih komponen terpisah dan salah satu komponennya adalah material skala nanometer. Tujuan pembuatan komposit adalah untuk menghasilkan sifat yang berbeda dari komponenkomponen pembentuknya serta untuk menghasilkan sifat yang terbaik dari tiap komponen suatu komposit. Dalam nanokomposit, nanopartikel seperti clay, logam, CNT bertindak sebagai pengisi atau filler dalam sebuah matriks. Saat ini yang paling banyak dipakai adalah polimer.Nanokomposit merupakan material yang dibuat dengan menyisipkan nanopartikel (filler) dalam sebuah sampel material makroskopik (matriks). Nanokomposit dihasilkan dari pencampuran dalam sejumlah fase yang berbeda. Pencampuran ini dapat menghasilkan sifat baru yang tidak ditemui pada masing-masing material asal. Nanokomposit memperlihatkan sifat-sifat baru yang lebih unggul dibandingkan dengan material asal. Setelah menambahkan nanopartikel ke dalam material matriks, nanokomposit yang dihasilkan dapat menunjukkan sifatsifat yang sangat berbeda dibandingkan dengan sifat material sebelumnya.Sebagai contoh dengan menambahkan CNT pada suatu material maka konduktivitas listrik dan konduktivitas termal material tersebut akan berubah.Penambahan nanopartikel jenis lain dapat menghasilkan perubahan sifat optik, sifat dielektrik atau sifat mekanik, seperti kekakuan (stiffness) dan kekuatan (strength).
Gambar 12.1 Contoh bahan-bahan nanokomposit (sumber:http://merl-ltd.com,2012)
Secara umum pembuatan nanokomposit dilakukan denganmendispersimaterial berdimensi nanometer ke dalam matriks.Persentase berat (mass fraction) dari nanomaterial umumnya sangat kecil sekitar 0,5% - 5%. Beberapa penelitian sedang dilakukan untuk mencari kombinasi terbaik matriks dan filler agar diperoleh komposit dengan sifat yang unggul. Nanokomposit dapat dianggap sebagai struktur padat dengan dimensi berskala nanometer yang berulang pada jarak antar-bentuk penyusun struktur yang berbeda. Material-material dengan jenis seperti ini terdiri atas padatan inorganik yang tersusun atas komponen organik. Selain itu, material nanokomposit dapat pula terdiri atas dua 156
atau lebih molekul inorganik/organik dalam beberapa bentuk kombinasi dengan pembatas antara keduanya minimal satu molekul atau memiliki ciri berukuran nano. Contoh nanokomposit yang ekstrim adalah media berporos, koloid, gel, dan kopolimer.
Gambar 12.2 Contoh nanokomposit (sumber:http://spie.com,2012)
Ikatan antar partikel yang terjadi pada material nanokomposit memainkan peranan penting pada peningkatan dan pembatasan sifat material. Partikel-partikel yang berukuran nano tersebut memiliki luas permukaan interaksi yang tinggi. Semakin banyak partikel yang berinteraksi, semakin kuat material tersebut. Inilah yang menyebab1kan ikatan antar partikel semakin kuat, sehingga sifat mekanik material bertambah. Namun, penambahan partikel-partikel nano tidak selamanya akan meningkatkan sifat mekaniknya. Ada batas tertentu dimana saat dilakukan penambahan material nano, kekuatan material justru semakin berkurang. Namun pada umumnya, material nanokomposit menunjukkan perbedaan sifat mekanik, listrik, optik, elektrokimia, katalis, dan struktur dibandingkan dengan material penyusunnya.
12.3
Polimer
Polimer berasal dari bahasa Yunani, poly dan mer (meros). Poly berarti banyak, sedangkan mer (meros) berarti ikatan. Istilah polimer ini digunakan untuk menggambarkan bentuk molekul berantai panjang yang terdiri atas unit-unit terkecil yang berulang (mer) sebagai blok penyusunnya. Molekul-molekul tunggal penyusun polimer dikenal dengan istilah monomer. Sebagai contoh, polimer polipropilena adalah salah satu jenis bahan polimer dengan rantai linier sangat panjang yang tersusun atas unit-unit terkecil (mer) yang berulang-ulang berasal dari monomer molekul propilen.
157
Gambar 12.3Polymer nano composites (PNC) (sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Polymer,2012)
Menurut asalnya, polimer dibedakan menjadi dua, yaitu polimer alam dan polimer buatan. Contoh polimer alam seperti selulosa, karbohidrat, dan DNA, sedangkan polimer buatan contohnya adalah ban kendaraan yang pertama diproduksi oleh Charles Goodyear dari Amerika Serikat pada tahun 1839 (Burroughes, J. H., 1990). Setelah itu berbagai modifikasi polimer pun mulai berkembang seperti pada tahun 1846 yaitu adanya modifikasi selulosa dengan asam nitrat oleh Cristian Frederick Schonbein, tahun 1907 ditemukannya Bakelite oleh Leo Baekeland, tahun 1930 di JermanditemukanPolystirena atau Polyfenol ethena dan pada tahun 1936 ditemukan Polyethylene di laboratorium ICI di Winnington, Chesire. Hingga saat ini banyak produk industri yang begitu beragam berasal dari proses pabrikasi polimer. Hal ini didukung adanya karakteristik polimer seperti: polimer yang memiliki densitas rendah sehingga dapat menghasilkan suatu produk yang ringan, kemudian polimer mudah diolah untuk berbagai macam produk pada suhu rendah dengan biaya murah, ketahanan korosi yang tinggi, bersifat osilator yang baik terhadap panas dan listrik, serta bersifat elastis dan plastis. Polimer yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari diantaranya adalah polyethylene (PE) yang banyak digunakan dalam perabotan rumah tangga dan mainan anak-anak, polyvinylchloride (PVC) pada kemasan pasta gigi dan pipa, phenol formaldehyde atau Bakelite yang digunakan dalam alat listrik dan polyisoprene sebagai bahan baku pembuatan karet.
Gambar 12.4 Contoh lain polymer nano composites (PNC) (sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Polymer,2012)
158
12.4
Nanokomposit Polimer
Polymer Nanocomposite (PNC) terdiri dari sebuah polimer atau kopolimer memiliki nanopartikel atau nanofiller terdispersi dalam matrix polimer. Keduanya memiliki bentuk berbeda (seperti: fiber, bola), tetapi minimal satu dimensi harus dalam rentang 1 sampai 50 nm. PNC ini termasuk kategori sistem multifase yang mengonsumsi sekitar 95% produksi plastik (Oliver, W. C., 1992). Sistem ini memerlukan kontrol pencampuran, stabilisasi dispersi yang baik, orientasi fase dispersi, dan strategi-strategi pencampuran.
Gambar 12.5Polimer yang menyerupai bambu (sumber: Bhushan B,2003)
Transisi dari micro- ke nano-partikel mendorong kearah perubahan sifat fisisnya maupun sifat kimianya. Dua faktor utama dalam hal ini adalah peningkatan rasio antara luas penampang dan volume, dan ukuran partikel. Peningkatan rasio antara luas dan volume yang berarti partikel semakin kecil, mendorong ke arah dominasi peningkatan tingkah laku atom-atom pada area luas penampang partikel terlebih lagi pada interior partikelnya. Hal ini berpengaruh pada sifat partikel-partikel ketika mereka bereaksi dengan partikel-partikel lain. Karena area permukaan nano partikel yang lebih tinggi, interaksi dengan partikel-partikel yang lain diantara campuran, semakin meningkatkan kekuatan, panas, daya tahan, dan faktor-faktor lainnya yang mengubah campuran. Salah satu contoh nanopolimer yaitu silikon nanosphere yang memiliki karakteristik, yakni memiliki 40 – 100 nm dan lebih keras dari silikon, kekerasannya diantara sapphire dan berlian.
Gambar 12.6Nanoporous silicon (PS) films (sumber: http://Elmat.com, 2012)
Metode pencampuran yang digunakan untuk mendapatkan suatu nanokomposit dapat dilakukan dengan menggunakan metode mixing, melt-blending, dan in situ polimerization. 159
a. Metode mixing merupakan metode pencampuran dimana salah satu bahannya berupa larutan. Pada proses ini setelah bahan tercampur maka dipanaskan pada temperatur tertentu. Pemanasan ini dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan pelarut sehingga didapatkan nanokomposit dalam bentuk padatan. b. Melt-blending merupakan metode fabrikasi yang sering dan baik digunakan untuk mendapatkan material nanokomposit khususnya dengan menggunakan matriks polimer termoplastik. Pada saat proses pencampuran berlangsung bahan pengisi (filler) akan dicampurkan dengan lelehan matriks, jadi sebelumnya matriks yang berupa padatan tersebut telah mendapatkan perlakuan terlebih dahulu yaitu dengan dilelehkan pada temperatur tertentu. c. In situ polymerization merupakan metode fabrikasi yang paling efisien untuk peningkatan kekuatan secara signifikan. Pada umumnya, bahan pengisi (filler) tersebut bisa ditambahkan ke dalam matriks melalui proses polimerisasi di bawah temperatur tertentu, karena proses pencampuran ini merupakan metode pencampuran dimana salah satu bahannya masih berupa monomer.
12.4.1
PPV dan MEH-PPV
Poly (p-phenylene vinylene) (PPV, atau polyphenylene vinylene) adalah polimer konduksi. PPV merupakan satu-satunya polimer yang sejauh ini sukses diproses kedalam sebuah film dari kristal yang memiliki orde tinggi. PPV dan turunannya merupakan polimer konduksi. Mereka merupakan polimer-polimer konduksi yang telah berhasil diproses pada film dengan tingkat kekristalan tinggi. PPV dapat disintesis dalam puritas baik dan berat molekular tinggi secara mudah. Meskipun tidak larut di dalam air, PPV dapat dimanipulasi dalam larutan encer. Band gap optis kecil dan fluorescence kuning terangnya menjadikan PPV salah satu kandidat dalam aplikasi-aplikasi elektronis seperti light-emitting diodes (LED) dan devais fotovoltaik.
Gambar 12.7 PPV (sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Poly(p-phenylene_vinylene, 2012)
Meskipun demikian, PPV dapat dengan mudah didoping menjadi material bersifat konduktif secara elektris. Sifat fisis dan elektris dapat diubah oleh bagianbagian sisi fungsionil inclusion. Sejak terobosan pertama pada tahun 1989, turunan PPV dalam jumlah besar disintesis dan digunakan untuk aplikasi LED (Bhushan, B., 2003). Meskipun penguat dalam keadaan solid state telah didemonstrasikan dalam sebuah LED organik, poly[2-methoxy-5-(2’-ethylhexyloxy)-p-phenylene vinylene] (MEH-PPV) sudah membuktikan menjadi sebuah film menjanjikan karena memiliki efisiensi fluorescence tinggi dalam larutan. PPV juga digunakan sebagai sebuah material pemdonor elektron dalam solar sel organik. Meskipun devais PPV
160
memilikiabsorpsi cahaya yang kurang baik, PPV dan turunan PPV (khususnya MEHPPV) sering digunakan pada penelitian solar sel.
12.5
Silikon (100) dan Silikon Berpori
Orientasi silikon (100) didefinisikan oleh index Miller dengan sisi (100). Silikon berpori (porous silicon / p-Si)adalah sebuah bentuk elemen silikonyang memiliki lubang-lubang dalam mikrostrukturnya. Rasio luas permukaan terhadap volume yakni sekitar 500 m2/cm3. Salah satu cara untuk membuat pori pada silikon yaitu dengan meggunakan sebuah sel anodisasi. Salah satusel anodisasi yakni elektrolit hidrogen florida (HF). Proses anodisasi menghasilkan lapisan porositas homogen. Lapisan silikon berpori dapat diperoleh dengan cara anodisasi silikos tipis berorientasi type P +- dalam sebuah elektrolit yang terdiri dari campuran C 2 H5 OH/HF/H 2 O dengan rasio 2:2:1 (Hughes, G., 2005). Rapat arus yang dapat digunakan yaitu sebesar 100 mA cm-2 selama 220 s. Kemudian, lapisan permukaan ditumbuk dengan plasma SF6 . Lapisan di pra-oksidasi pada suhu 300 0C selama 1 jam dalam O 2 yang diikuti sebuah langkah oksidasi pada suhu 900 oC selama 1 jam. Hasil akhir lapisan silikon berpori memiliki ketebalan kirakira sebesar 7-10 μm. Setelah proses pembuatan silikon berpori selesai, polimer dan kopolimer yang diinginkan dapat dipenetrasi pada lapisan silikon berpori.
Gambar 12.8Silikon (100) (sumber: http://chem.qmul, 2012)
Lapisan silikon berpori ditekan sepanjang goresan sedikit demi sedikit dengan menggunakan penekuk intan pada bagian belakang lapisan. Hal tersebut dilakukan untuk membuat celah pada silikon(100) yang belum dipenetrasi dan polimer atau silikon berpori nanokomposit. Tujuannya untuk mengevaluasi kekerasan dari lapisan silikon berpori.
Gambar 12.9Silikon berpori (sumber: http://Yunwang.com, 2012)
161
Penekuk intan tersebut memonitor dan mencatat hubungan antara beban dan perpindahan. Pengindentitas memiliki resolusi gaya sekitar 1 nN dan resolusi perpindahansekitar 0,2 nm. Modulus elastis dan kekerasan dihitung dari kurva beban yang diperoleh pengindetitas nano ( penekuk berlian berukuran nano). Pengindetitas kekerasan dari lapisan silikon diartikan sebagai beban pengindentitas maksimal dibagi dengan luas area yang diamati pengindentitas, dan dapat diekspresikan sebagai berikut: 𝐻𝐻 =
𝑃𝑃𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚
1
1−𝑣𝑣 2
(1)
𝐴𝐴
Dimana P max adalah beban puncak dan A luas area yang diamati. Kemudian, modulus elastis diindentifikasi dengan perhitungan regresi linear. Modulus elastis ini dapat dijabarkan dengan persamaan: 𝐸𝐸𝑟𝑟
=
𝐸𝐸
+
1−𝑣𝑣𝑖𝑖
(2)
𝐸𝐸𝑖𝑖
Dimana E r adalah modulus elastis gabungan dari sampel dan penekuk berlian. Kemudian secara berturut-turut, E dan E i , serta v dan v i adalah modulus elastis dan rasio Poisson dari sampel dan penekuk berlian. Nilai untuk modulus elastis dan rasio Poisson penekuk berlian yaitu 1141 Gpa dan 0,07. Adapaun tes goresan nano oleh penekuk berlian dilakukan dibagian lapisan ujung dari permukaan dengan menggunakan Atomic Force Microscope (AFM) Veeco. Penekuk berlian memiliki radius bagian ujung sebesar 50 nm dan sudut 600. Setiap sampel harus dibuat sebanyak empat goresan nano. Terlebih lagi, setiap goresan nano berada pada kisaran 20 sampai 41 μN. Setelah tes goresan nano ini selesai dilakukan, hasilnya dapat segera diperoleh dalam berupa grafik.
12.6 Sifat Fisis dan Mekanis Lapisan Silikon Berpori 12.6.1
Mikrostruktur
Saluran lubang berukurannano mungkin tidak dapat diamati secara jelas karena karakteristik lapisan yang tidak rata. Dikarenakan struktur bambu memiliki serat yang panjang dengan ukuran bervariasi, maka hanya sebuah proses anodisasi satu langkah yang dapat diaplikasikan. Proses anodisasi satu tahap biasanya diterapkan pada struktur lapisan poros acak dengan perbedaan ukuran pori sepanjang bagian melintang dan membujur. Hal ini disebabkan aspek rasio tinggi dan ukuran pori sama. Proses anodisasi dua tahap menghasilkan pori acak sangat banyak, seperti logam nano (Braun, D., 1991). Polimer-polimer yang diberikan pada pori dapat berkerja sebagai serat panjang dan lebut, serta dapat menguatkan sekeliling silikon yang sangat mudah rapuh untuk membentuk nanokomposit yang baik.
162
Gambar 12.10Penampang melintang AFM nanostruktur dalam bentuk 2D (kiri) dan 3D (kanan) pada (a) lapisan silikon berpori, (b) lapisan diisi dengan PPV, (c) lapisan diisi dengan MEHPPV (sumber: Bhushan B,2003)
12.6.2
Kekerasan dan Modulus Elastis
Silikon (100) yang belum diisi polimer menunjukkan kedalaman pengindentitas terkecil dan kemiringan kurva tertinggi. Hasil tersebut diikuti oleh Silikon berpori (PS), MEHPPV- dan PPV yang diisi pada silikon berpori (PS). Puncak kurva pengindetisasi turun drastis untuk lapisan silikon berpori diisi dengan PPV. Silikon berpori yang diisi dengan PPV menunjukan perubahan jumlah yang signifikan dari deformasi awal pada lapisan yakni 43 nm. Hampir tidak ada deformasi pada puncak kurva pengindentitas selama waktu mengalami kekonstanan. Baik silikon berpori yang diisi PPV maupun MEHPPV menunjukan hampir memiliki kontak kedalaman residual yang sama yakni sekitar 205 nm. Sekitar 6,4 kali lebih besar dari lapisan silikon berpori yang tidak diisi apapun. Terlebih lagi, 13,3 kali lebih besar dari silikon (100) tanpa diisi apapun yang memiliki nilai 2,4 nm. Hal ini mengindikasikan bahwa pori berukuran nano yang diisi PPV dan MEHPPV dapat secara signifikan meningkatkan plastisitas dari silikon berpori nano.
163
Gambar 12.11 Kurva beban vs perpindahan pengindentitas intan nano (sumber: Bhushan B,2003)
Silikon (100) memiliki nilai modulus elastis tertinggi yakni 142,5 GPa dan kekuatan bahan sebesar 12,1 GPa. Nilai dari modulus elastis dan kekuatan silikon (100) yang tidak diisi polimer apapun sesuai dengan teori yang sudah ada. Modulus elastisitas dan kekuatan PPV dan MEHPPV turun drastis sebagai perbandingan dengan dengan silikon (100). Modulus elastisitas dan kekuatan PPV dan MEHPPV masih cukup tinggi untuk menahan beban mekanik tertentu tanpa kesalahan yang mengakibatkan kecacatan. Lapisan silikon berpori yang diisi oleh MEHPPV memiliki kekuatan dan duktilitas lebih besar dari Lapisan silikon berpori yang diisi oleh PPV. Hal ini mengakibatkan material memilki daya tahan terhadap kerapuhan yang tinggi. Kombinasi yang baik antara kekuatan dan duktilitas memiliki keuntungan yang sangat besar pada devais pabrik LED teknologi baru.
Gambar 12.12 Nilaikekuatan dan modulus elastis sebagai fungsi kedalaman kontak pengindentisasi untuk (a) silikon (100), (b) lapisan silikon berpori, (c) lapisan yang diisi PPV dan (d) lapisan yang diisi MEHPPV (sumber: Bhushan B,2003)
164
12.6.3
Daya Tahan Terhadap Kerapuhan
Daerah deformasi plastis dengan keretakan kecil yang mengelilingi penekuk mikro menandakan suatu kejadian penyebaran ujung keretakan. Ujung keretakan dapat dengan cepat menumpul pada daerah deformasi plastis di sekitar ujung keretakan. Pensubstitusian nilai modulus elastis, kekuatan pengindetisasi nano dan nilai beban tertinggi yang diberikan pengindetifikasi nano, dapat diketahui nila daya tahan terhadap kerapuhan (KIC ) berdasarkan persamaan berikut: 𝐾𝐾𝐼𝐼𝐼𝐼 =
1
𝐸𝐸 2 𝛼𝛼 � � 𝐻𝐻
𝑃𝑃
� 3�
(3)
𝐶𝐶 2
Panjang celah (C) diukur dengan menggunakan sebuah mikroskop optik Nomarski (α = 0.016).
Gambar 12.13Pengindentisasi mikroskop optik Vickers dibuat pada beban normal 2 N selama 15 s, (a) silikon (100), (b) lapisan silikon berpori, (c) lapisan diisi PPV, (d) lapisan diisi MEHPPV (sumber: Bhushan B,2003)
Gambar 12.14 Jalur propagasi keretakan selama penekanan mikroidentitas (sumber: Bhushan B,2003)
165
Silikon (100) yang tanpa diisi polimer membentuk propagasi lurus ke depan. Retakan silikon berpori yang diisi dengan polimer menyebar ke arah lainnya sepanjang dinding pori silikon nano tertipis. Polimer berukuan nano cukup untuk menyerap energi deformasi. Mereka dapat membuat daerah sekitar titik pengindentifikasi tumpul. Lapisan silikon berpori yang diisi oleh PPV hanya 1,6 kali lebih besar daripada lapisan silikon tanpa polimer. Lapisan silikon yang diisi MEHPPV memiliki nilai kekerasan 2 kali lebih besar dari lapisan silikon berpori biasa dan 7,2 kali lebih besar dari silikon (100) tanpa polimer apapun.
Gambar 12.15 Variasi kedalaman goresan nano dengan beban normal yang berbeda-beda (sumber: Bhushan B,2003)
12.6.4
Daya Tahan Terhadap Goresan Nano
Sebelum tes goresan nano, ujung intan dikalibrasi untuk memastikan lekukan dan kecekungan yang dihasilkan serta ukuran dan kedalaman sesuai dengan rentang yang diharapkan. Untuk memahami ketahanan deformasi silikon berpori yang diisi polimer-polimer yang berbeda, tes goresan nano menggunakan sebuah AFM Veeco dengan ujung penditeksi intan yang memiliki radius sekitar 50 nm. Untuk silikon (100) dan lapisan silikon berpori uang tidak terisi polimer apapun, kedalaman goresan nano meningkat seiring dengan meningkatnya beban normal. Pada saat 34 μN untuk PPV- dan MEHPPV- yang diisi pada lapisan silikon berpori tidak menunjukan hubungan normal dengan beban normal yang diaplikasikan. Hal ini mungkin dapat diakibatkan oleh mikrostruktur silikon yang beraneka ragam yang menghasilkan penemuan deformasi tidak rata pada daerah polimer (diindikasikan oleh panah berwarna merah). Lapisan silikon berpori yang diisi MEHPPV memiliki kedalaman goresan nano menengah bila dibandingkan dengan lapisan silikon berpori yang diisi PPV dan lapisan silikon berpori tanpa diisi polimer. Untuk nanokomposit yang diisi PPV dan MEHPPV, peningkatan beban normal tidak menghasilkan perubahan signifikan pada kedalaman goresan nano.
166
Gambar 12.16 Beban normal vs kedalaman goresan (sumber: Bhushan B,2003)
12.7
Aplikasi
12.7.1
Luminesensi
Luminesensi adalah emisi cahaya oleh substansi dan tidak dihasilkan dari panas. Jadi, luminesensi berbentuk sebuahradiasi dingin (tidak dihasilkan dari panas). Hal tersebut dapat disebabkan oleh reksi kimia, energi listrik, gerakan subatomik atau gaya pada sebuah kristal. Luminesensi dapat berpijar dengan warna yang berbedabeda tergantung pada substrat yang digunakan. Menurut sejarah, radioaktivitas dipikirkan sebagai sebuah bentuk radioluminesensi, meskipun saat ini dipertimbangkan hal yang terpisah sejak radiasi elektromagnetik terlibat sangat banyak. Istilah ‘luminesensi’ diperkenalkan pada tahun 1888 oleh Eilhard Wiedemann. Lempeng jam, jarum jam, dan instrumentasi-instrumentasi navigasi sering dilapis dengan material luminesen dalam sebuah proses yang diketahui sebagai ‘luminising’.
Gambar 12.17OLED (Organic Light-Emitting Diode) (sumber: http://oledworks.com, 2012)
12.7.2
Elektroluminesensi
Elektroluminesensi (EL) adalah sebuah fenomena optis dan fenomena elektris pada sebuah material yang memancarkan cahaya karena respon dari arus listrik atau kuat medan listrik. Hal ini merupakan bentuk langka berupa emisi cahaya benda hitam dari panas (pijar), dari reaksi kimia (kimaluminesensi), suara 167
(sonoluminesensi), atau aksi mekanis lain (mekaluminesensi). Elektroluminesensi adalah hasil rekombinasi radiaktif elektron-elektron dan lubang-lubang dalam sebuah material, biasanya sebuah semikonduktor. Elektron-elektron tereksitasi mengeluarkan energi mereka sebagai foton. Tepat sebelum recombinasi, elektron-elektron dan lubang-lubang dipisahkan oleh material doping sehingga berbentuk sebuah p-n junction (pada devais elektroluminesen semikonduktor seperti LED) atau melalui eksitasi sebagai dampak percepatan elektron-elektron berenergi tinggi oleh sebuah kuat medan listrik (demikian halnya fosfor pada layar elektroluminesen).
Gambar 12.18Full-colour flat-panel displays (sumber: http://globalmarket.com, 2012)
168
DAFTAR PUSTAKA Bhushan, B., Li X., Nanomechanical characterisation of solid surfaces and thin films,Int. Mater. Rev. 48, 125–64 (2003) Braun, D., Heeger, A. J., Visible light emission from semiconducting polymer diodes,Appl. Phys. Lett. 58198, 2–4 (1991) Bsiesy, A., Nicolau, Y. F., Ermolieff, A., Muller, F., Gaspard, F., Electroluminescence from n+-type porous silicon contacted with layer-by-layer deposited polyaniline Thin Solid Films, 2554, 3–8 (1995) Burroughes, J. H., Bradley, D. D. C., Brown, A. R., Marks, R. N., Mackay, K., Friend, R.H., Burn, P. L., Holmes, A. B.,Light-emitting diodes based on conjugated polymers Nature,3475, 39–41 (1990) Gustafsson, G., Cao, Y., Treacy, G.M., Klavetter, F., Colaneri, N.,Heeger, A. J., Flexible light-emitting diodes made from soluble conducting polymers Nature, 35747, 7–9 (1992) Hughes, G., Bryce, M. R., Electron-transporting materials for organic electroluminescent and electrophosphorescent devices,J. Mater. Chem. 15, 94–107 (2005) Oliver,W. C., Pharr, G. M., An improved technique for determining hardness and elastic modulus using load and displacement sensing indentation experiments,J. Mater. Res. 715, 64–83 (1992) http://chem.qmul, diakses pada tanggal 23 Oktober 2012 http://Elmat.com, diakses pada tanggal 22 Oktober 2012 http://en.wikipedia.org/wiki/Polymer, diakses pada tanggal 23 Oktober 2012 http://en.wikipedia.org/wiki/Poly(p-phenylene_vinylene), diakses pada tanggal 23 Oktober 2012 http://globalmarket.com, diakses pada tanggal 22 Oktober 2012 169
http://merl-ltd.com, diakses pada tanggal 22 Oktober 2012 http://oledworks.com, diakses pada tanggal 22 Oktober 2012 http://spie.com, diakses pada tanggal 22 Oktober 2012 http://Yunwang.com, diakses pada tanggal 23 Oktober 2012
170
Bab 13 Silikon Nanowire (SiNW) dan Aplikasinya Oleh : Irfan Firdaus S
13.1 Apa itu Silikon Nanowire ? 13.1. 1. Nanowire Sebelum lebih jauh kita berkenalan dengan “Nanowire” atau bila dalam bahasa indonesia kita bisa mengartikan “kabel dalam ukuran nano”, kita perlu mengetahui terlebih dahulu sebenarnya apa yang dimaksud dengan “nano”. Nano merupakan orde ukuan panjang dimana skala panjangnya satu per satu milyar meter. Untuk ukuran nano lebih jelas terlihat pada diagram gambar dibawah
Gambar 13.1 Skala nanometer [10]
Dapat disimpulkan Nanowire merupakan suatu perangkat atau divais yang memiliki cakupan orde sekitar wilayah orde nanometer. Pada wilayah sekecil ini efek dari Mekanika kuantum bekerja. Jadi sering kali Nanowire juga disebut Quantum Wire. Terdapat ke miripan antara nanorod dan nano wire, keduanya bisa dibedakan dengan karakterisrik perbandingan ukurannya. 171
Tabel 13.1 Perbedaan Nanowire dan nanorod [6] Material Nanowire
(Rasio) Panjang/Lebar > 20
Dimensi 1D
Nano Rods
< 20
Masih seperti 2 D
Dari tabel diatas Nanorod bentuknya masih seperti silinder, sedangkan nanowire seperti kabel sesungguhnya, sehingga bisa kita tafsirkan memiliki saatu bidang atau satu dimensi. Telah disebutkan bahwa divais nanowire sangat dipengaruhi oleh prinsip mekanika kuantum. Salah satunya adalah memiliki karakteristik rapat keadaan terhadap energi yang cukup unik sebagai akibat dari efek pengurungan kuantum yang terjadi [6]
Gambar 13.2 Efek pengurungan kuantum
Pada gambar diatas Nanowire memiliki kesamaan pada material yang pengurungan 1 dimensi. Perbedaan rapat keadaan dari material Bulk ini merupakan keutamaaan yang bisa dimanfaatkan sebagai divais. Baik secara optik maupin secara listrik.
172
13.1.2 Silikon Nanowire Silikon Silikon (Si) pada tabel periodik menempati Unsur dengan Golongan VI A dengan Periode 3. Karakteristik tersebut menyatakan Unsur ini memiliki 4 elekteron Valensi pada kulit terluar n=3 atau dengan indeks kulit terluarnya 3s2p2. Untuk fasa silikon dengan struktur kristalin (c-Si) memiliki struktur intan, dimana 1 atomnya berikatan kovalen dengan 4 atom silikon lainnya serta membentuk sudut 109,50 dan menghasilkan struktur tetrahedron. Material c-Si memiliki konstanta kisi a=5,431 Å dan jarak atom terdekat 2,35 Å seperti diilustrasikan pada gambar 1.
Gambar 13.3 Struktur kristal silikon[7] Bila dibandingkan dengan material konduktor dan material isolator karakteristik pita terlarang yang dimiliki silikon terletak diantara kedua sifat tersebut tidak terlau jauh seperti isolator juga tidak bertumpang tindih antara pita valensi dengan pita konduksi sperti material konduktor. Dari karakteristik tersebut material Silikon termasuk pada golongan Material Semikonduktor Dengan sifat sifat material silikon diatas serta kelompahan nya dialam cukup tinggi, riset mengenai material ini terus ditekuni sehingga dihasilkan material skalanano seperti Silikon Nanowire. Dimana bahan penusun dari kabel ini adalah silikon
Gambar 13.4 penampang SiNW [5]
173
SiNW dan Karekteristiknya Sifat SiNW berbeda dengan sifat dari Silikon buk . Bandgap dari SiNW bisa diatur sesuai dengan diameter dari nanowire itu sendiri [9] a) Karekterisasi Listrik Balistik effect Terdapat Karakteristik listrik unik pada nanowire, fenomena tersebut dinamakan transport balistik, hal ini sebagi konsekuensi daripanjang jalur bebas rata-rata lebih besar dari panjang nanowire. Ketika jalur bebas rata-rata lebih besar maka tdak terjadi scattering elektron yang mengakibatkan konduktivitas yang tinggi. Selain itu konduktivitas sangat dipengaruhi oleh efek dari ujung nanowire [9]. Selain itu untuk sifat konduktivitas karena dipengaruhi fenomena kuantum dari nanowire ini dipengaruhi kuantisasi energi. Energi dari elektron pada nanowire bersifat diskrit.
b) Karakteristik Optik Hasil dari karakterisasi spektrum Uv-vis menunjukan:
Gambar 13.5 Karakteristik Uv-Vis SiNW [5] Dari hasil Uv-Vis diatas dan dibawah dapat di tarik kesimpulan bahwa SiNW bila dibandingkan dengan film biasa memiliki transparansi yang cukup tinggi, serta untuk panjang gelombag tertntu memuliki absorbansi yang melebihi film tipis silikon biasa. Secara optik SiNW memiliki sifat yang lebih unggul bila dibandingkan material bulk.
174
Gambar 13.5 Karakteristik Uv-Vis SiNW dibandingkan lapisan tipis dengan berbagai ukuran [5] Selain itu panjang dari SiNW berpengaruh pada sifat optik dari Nanowire itu sendiri. Pda gambar 13.5 terlihat semakin bertambah panjangnya SiNW semakin tinggi pula absorbansinya. Begitupun dengan spektrum absorbansinya, sudah mulai terjadi absorbansi pada spektrum frekuensi yang rendah.
13.2 Sintesis Silikon Nanowire Proses fabrikasi dari nanowire dibagi menjadi 2 bagian besar. Ada cara Top Down dan Bottom Up. Biasanya cara Top Down lebih ke pengikisan dan diwakili secara fisik, sedangkan Bottom Up lebih kepada menumbuhkan material secara kimiawi.
13.2.2 Sintesis proses fisik Laser abelation dan Litoghraphy Diagram proses litografi bisa dilihat pada skema dibawah
175
Gambar 13.6 Proses Laser Ablation Awalanya merupakan Material Bulk kemudian permukaannya diberi lapisan bisa dengan memasukannya pada larutan resist. Kemudian dibuat pola dengan menambahkan unsur-unsur tertentu sebagai pemandu terjadinya Nanowire. Langkah terkahir diberikan suntukan laser pada material bulk tadi proses ini sering disebut prioses peng”etsa”an, sehingga yang terkikis adalah zat yang di lapisi lapisan resist dari lser itu,, dan daerah dibawah zat pemandu tidak terkikis.
13.2.3 Sintesis proses kimia a) Chemical Vapour Deposition (CVD) Berbeda dengan proses Top Down yang berasal dari material bulk untuk proses bottom up berawal dari penyusnan partikel yang kecil. Contoh daripi proses ini adalah CVD. Dengan memanfaatkan reaks kima pada saat gas , mka akan didapat senyawa yang diinginkan dan tumbuh pada suatu substrat material. Bahan baku dari proses ini adalah dari gas yang direaksikan. Hal yang penting pada proses ini adalah adanya katalis. Sebelum substrat dimasukan kepada ruangan vakum tempat terjadinya reaksi gas, substrat seblmnya harus ditumbuhkan pulau pulau logam katalis. Pulau pulau inilah yang ananti akan membantu terjadinya pembentukan dari nanowire tersebut.
Gambar 13.6 Chamber PECVD [8]
176
Gambar 13.7 Mekanisme terjadinya SiNW pada CVD [8] Pembentukan pulau-pulau logam katalis ini bisanya dilakukan oleh evaporator atau dengan perangkat sputtering. b) Vapour Liquid Solid (VLS) Mekanisme proses dari VLS mirip dengan CVD akan tetapi disini tidak ditekankan reaksi dari fasa gasnya, tapi pendistribusian uap pada substrat yang telah di lapisi lapisan katalis.
Gambar 13.8 Mekanisme terjadinya SiNW dengan proses VLS [3] Lapisan katalis akan membentk pulau pulau dengan diamter tertentu apabila di panaskan atau di annealing. Diameter pulau-pulau sangat bergantung dari parameterparameter anneling seperti tebalnya lapisan logam, waktu anneling, temperatur, tekanan dan paarmeter-parameter fisis lainnya.
177
13.3 Aplikasi Silikon Nanowire untuk Sel Surya Telah banyak dibuat aplikasi dari SiNW, terutama untuk bidang naonoelektronik. Seperti Divis transistor, sensor meskipun masih dalam skala riset. Salah satu aplikasi lain dari SiNW bisa dijadikan bahan dasar dari Sel Surya, meskipun efisiensi yang dihasilkan belum setinggi yang dibentuk oleh silikon amorf maupun silikon kristal
Gambar 13.9 SiNW untuk aplikasi Sel surya [3] Terdapat fenomena menarik utnuk aplikasi nanowire pada sel surya. Bentuk dari nanowire itu sendiri secara geometri ternyata bisa menimbulkan efek dari ‘light trapping” pengurungan cahaya seperti ditunjukan pada gambar dibawah :
Gambar 13.20 light trapping pada sel surya SiNW [2]
178
Secara sederhana susunan (array) dari nanowire memiliki nilai absorbsi yang tinggi karena seolah-olah cahaya masuk dan sulit untuk di refleksi secara langsung karena membentur susunan (array) dari morfologi nanowire. Ketika sinar yang terefleksinya kecil maka sebagian besar energi dari sinar matahari terserap oleh material semikonduktor SiNW untuk menggenerasi elektron.
Gambar 13.21 (a) susunan sel surya SiNW (b) Multple junction Axial (c) Multiple Junction Radial (d) p-n Junction axial dengan proses terbentuknya daerah deplesi (e)p-n junction sttruktur radial [1] Sebuah divais semikonduktor tentunya tersusun dari konfigurasi bahan-bahan yang telah dicampur dengan dopan, pendeknya suatu divais bisa terdiri dari semikonduktor tipe-p atau semikonduktor tipe-n. Pada gambar 13.21 diatas tampak perbedaan konvigurasi penyusunan lapisan dari tipe tipe semikonduktor. Pada bagian (b) dan (d) ada lapisan yang disusun berdasarkan tumpukan biasa yang selanjutnya disebut struktur axial dan pada bagian (e) dan (c) lapisan lapisan semikonduktor ditumpuk secara silinder yang selanjutnya disebut dengan striktur radial. Pada gambar tersebut diperlihatkan juda zona-zona deplesi oleh masing masing konfigurasi struktur. Selain konfigurasi p-n bisa juga dibuat konfigurasi multiple junction seperti ditunjukan gambar bagian a, dan b dimana struktur terdiri dari tiga lapisan yang memiliki karakteristik yang berbeda. Pada sekitar tahun 2010 Ke Sun dkk melakukan penelitian sejauh mana perbedaan konfigurasi penyusun Nanowire tersebut terhadap performansi dari sel surya berikut adalah datanya
179
(a)
(b) Gambar 13.22 Hasil kurva I-V (a) susunan radial (b) susunan axial [2] Dari kurva I-V tersebut terlihat arus photogenerate dapat dihasilkan oleh kedua divais. Terlihat pula lonjakan arus ketika diberikan cahaya untuk struktur radial lebih besar dibandingkan dengan struktur axial Berikutmya adalah hasil dari pengukuran I-V untuk nanowire yang disususn banyak (arrray)
180
Gambar 13.23 Hasil kurva I-V (a) susunan array radial (b) susunan array axial [4] Peningkatan arus terangnya signifikaan bila dibanding kurva I-V sebelumnya ini membuktikan adanya proses light trapping pada saat Nano wire disusun banyak. Untuk hasil radial masih lebih tinggi dengan penyusunan secara axial.
181
DAFTAR PUSTAKA A. I. Hochbaum and P. Yang, “Semiconductor nanowires for energy conversion,” Chem. Rev., vol. 110, pp. 527–546, 2009. B. Tian, X. Zheng, T. J. Kempa, Y. Fang, N. Yu, G. Yu, J. Huang, and C. M. Lieber, “Coaxial silicon nanowires as solar cells and nanoelectronic power sources,” Nature, 449, pp. 885–889, 2007. Dupuis, A.C. The Catalyst in the CCVD of Carbon Nanotubes-a Review, Progress in Material Science, 50: 926-961. 64 (2005). E. C. Garnett and P. Yang, “Silicon nanowire radial p-n junction solar cells,” J. Amer. Chem. Soc., 130, pp. 9224–9225, 2008. L. Hu and G. Chen,. Analysis of optical absorption in silicon nanowire arrays for photovoltaic applications,” Nano Lett., 7, pp. 3249–3252(2007) Shao, M.W., Ma, D.D.D., dan Lee, S.T. Silicon Nanowires Synthesis, Properties, and Applications, Eur. J. Inorg. Chem., 2010,pp. 4264-4278. (2007) Sze, S.M, Semiconductor Devices: Physics and Technology (2nd Edition). Singapore : John Willey and Son. (1985)
Usman, I. Penumbuhan Lapisan Tipis Silikon Amorf Terhidrogenasi dengan Teknik HWCVHF-PECVD dan Aplikasinya pada Divais Sel Surya, Doctoral Thesis, (2006)
Wanekaya, A.K., Chen, W., Myung, N.V., dan Mulchandani, A.Nanowire-Based Electrochemical Biosensors, Electroanalysis, 18 (6), 533-550. (2006)
http://nanoscience.massey.ac.nz/ (17/10 /2012)
182
Bab 14 Karbon Nanofiber Oleh : Iskandar
14.1 Material skala Nano dan Partikel Nano Nanomaterial adalah salah satu bidang yang menjadi kajian sains/ilmu bahan (materials science) yang didasarkan pada pendekatan berbasis nanoteknologi. Studi ini mempelajari berbagai material dalam hal morfologinya pada skala nano (skala ukuran 10-9), dan terutama material yang memiliki sifat khusus yang berkaitan dari dimensi nano (sifat-sifat unik yang dimilikinya). Skala nano biasanya didefinisikan lebih kecil dari sepersepuluh dari satu mikrometer dalam setidaknya satu dimensi, meskipun istilah ini kadang-kadang juga digunakan untuk bahan yang lebih kecil dari satu mikrometer.
Gambar 14.1 Trend teknologi Material Nano (http://www.stanford.edu/group/cui_group/ dan http://www.sciencedaily.com/releases/2008/05/080528105931.htm) Suatu aspek yang penting dari nanoteknologi adalah perbandingan yang jauh lebih antara luas permukaan terhadap volumnya, yang memungkinkan terjadinya efek mekanis kuantum yang baru. Salah satu contoh adalah "efek ukuran kuantum" di mana sifat elektronik material yang diubah dengan memperkecil dalam hal ukuran partikel. Efek ini tidak ikut berperan dengan perubahan dari dimensi makro ke dimensi mikro. Sejumlah sifat fisik tertentu juga berubah dengan adanya perubahan dari sistem makroskopik. Sifat mekanik yang khas dari Nanomaterial merupakan subjek penelitian yang ada dalam bidang nanomekanika. Nanopartikel atau kristal nano yang terbuat dari logam, semikonduktor, atau oksida-oksida merupakan material-material yang dibuat untuk kepentingan tertentu karena sifat-sifatnya seperti sifat mekanik, listrik, magnetik, optik, kimia dan lainnya. Nanopartikel yang telah digunakan sebagai material kuantum dot dan sebagai katalis kimia seperti material nano-berbasis katalis.
183
Nanopartikel telah menarik perhatian dunia ilmiah yang besar karena partikelpartikel ini secara efektif menjadi jembatan antara material ukuran besar (bulk materials) dan struktur atom atau stuktur molekulnya. Material ukuran besar harus memiliki sifat fisik yang konstan terlepas dari ukurannya, tetapi pada skala nano-hal ini sering tidak terjadi. Ukuran tergantung sifat diamati seperti pembatasan kuantum dalam partikel semikonduktor, permukaan plasmon resonansi di beberapa partikel logam dan superparamagnetis dalam bahan magnetik.
Gambar 14.2 Bentuk skala partikel Nano (http://www.malvern.com/labeng/industry/nanoparticles.htm) Nanopartikel menunjukkan sejumlah sifat khusus relatif terhadap material biasa. Misalnya, pelengkungan tembaga (kawat, pita, dan lain-lain) terjadi dengan gerakan atom tembaga / secara kelompok pada skala sekitar 50 nm. Nanopartikel tembaga lebih kecil dari 50 nm dianggap bahan super keras yang tidak menunjukkan kelenturan yang sama dan deformasi seperti tembaga. Perubahan sifat ini tidak selalu diinginkan. Bahan Ferroelektrik lebih kecil dari 10 nm dapat berubah arah gaya magnet dengan menggunakan energi termal temperatur ruangan, sehingga ini membuatnya tidak cocok untuk penyimpanan memori. Suspensi nanopartikel dimungkinkan karena interaksi antara permukaan partikel dengan pelarut cukup kuat untuk mengatasi perbedaan densitas, yang biasanya menghasilkan material baik dalam hal tenggelam atau mengambang dalam cairan. Nanopartikel sering memiliki sifat visual yang tak terduga karena cukup kecil untuk membatasi elektronnya dan menghasilkan efek kuantum. Misalnya nanopartikel emas yang tampak merah tua sampai hitam dalam larutan. Luas permukaan biasanya sangat tinggi terhadap perbadingan volume nanopartikel yang memberikan gaya pendorong yang luar biasa untuk proses difusi, terutama pada suhu yang tinggi. Efek Permukaan nanopartikel juga mengurangi suhu leleh yang ada.
14.2 Karbon Nanofiber (CNFs) 14.2.1 Definisi Karbon Nanofiber
184
Istilah. “Nanofiber” merupakan suatu istilah yang berkaitan dengan penggambaran objek yang berskala nanometer (1/1000 000 000 m) dengan dua dimensi eksternal dalam skala nano. Sebuah silinder berskala nano merupakan sebuah nanofiber padat, sebuah nanotube adalah nanofiber berbentuk lubang/silinder, dan sebuah “nanowire” merupakan sebuah nanofiber yang bersifat konduktif secara kelistrikan.
Gambar 14.3. Bentuk mikroskopik nanofiber (http://www4.ncsu.edu/~lasomber/project-advancing-microelectrodetechnology.html) Karbon nanofiber terdiri dari gulungan berbentuk serat yang terbuat dari lembaran-lembaran grafit yang sangat kecil yang tersusun dalam konfigurasi spesifik dan terpisah dengan jarak sepanjang 0,335 – 0,342 nm. CNFs ditumbuhkan dengan proses dekomposisi dari karbon yang mengandung gas-gas seperti hidrokarbon yang terdapat pada permukaan logam atau permukaan logam campuran yang bertindak sebagai katalis terhadap formasi lembaran. Selama reaksi, karbon-yang mengandung molekul-molekul gas diadsorbsi pada permukaan katalis dan secara berturut terdekomposisi. selanjutnya, atom karbon menyebar melalui partikel katalis dan membentuk endapan pada satu atau lebih permukaan lain dan membentuk lembaran berturut-turut sehingga terdekomposit pada satu sama lain membentuk karbon nanofiber. Gambar 14.4 dibawah ini menampilan hasil mikroskop elektron dari karbon nanofiber.
Gambar 14.4 Bentuk Serat Karbon Nanofiber (Gupta and O.N. Srivastava, 2001: 857-862)
14.2.2 Jenis-jenis CNFs 185
Karbon nanofiber (CNFs), vapor grown carbon fibers (VGCFs), atau vapor grown carbon nanofibers (VGCNFs) merupakan material berstruktur nano bentuk silinder dengan lapisan-lapisan graphene yang tersusun berbentuk kerucut, bentuk mangkuk (cup), atau plat/lempeng (plate). Karbon nanofiber dengan dengan pelapisan graphene membentuk silinder sempurna disebut sebagai karbon nanotube.
Gambar 14.5 Berbagi bentuk susunan karbon nanofiber (http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0378775306005829) Sejak penemuan karbon nanofiber pada tahun 1991 oleh Ijima, karbon nanotube berdinding tunggal (SWNT atau CNT) telah membangkitkan ketertarikan dalam berbagai bidang sains dan ilmu rekayasa oleh karena kombinasi yang luar biasa antara sifat fisis dan kimianya. Kombinasi sifat mekanis, termal dan listrik yang sempurna dan porositas membuat CNT sebagai material ideal untuk aplikasi membran dan penguatan bahan polimer. Modulus Young untuk CNT lebih besar dari 1 TPa dan kekuatan gaya tariknya sekitar 63 GPa dan kepadatan yang rendah berkisar antara 0,8 hingga 1,3 gm/cm3 yang cukup tinggi dibandingkan sifat mekanik serat karbon biasa yang digunakan dalam penguatan bahan komposit konvensional dan diameter sekitar 1-2 nm dan panjangnya 1,32 x 106 nm. Berikut ini sifat-sifat karbon nanofiber dan nanotube dapat dilihat padat tabel 14.1 Tabel 14.1 Sifat-sifat karbon nanofiber dan karbon nanotube Sifat-sifat
SWNT
CNT
Modulus gaya tarik (GPa) Kekuatan gaya tarik (GPa) Kerapatan (gm/cm3) Diameter (nm) Panjang (nm)
1000
600
63
2.3-3.5
0.8- 1.3 1-2 1.32× 106
1.9-2.1 100 1000
Secara ringkat berikut ini sifat-sifat lainnya dari karbon nanofiber Rata-rata rasio yang tinggi antara – panjang dan luas permukaannya. 186
konduktif secara kelistrikan Konduktif secara termal
14.2.3 Sintesis Karbon Nanofiber (CNFs) Karbon nanofiber dan nanotube telah mulai disintesis sejak tahun 1960. Terdapat berbagai metode yang digunakan dalam membuat karbon nanofiber. Berikut ini dijelaskan teknik-teknik yang biasa digunakan dalam pembuatannya (synthesis).
14.2.3.1 Chemical Vapor Deposition (CVD) Chemical vapor deposition (CVD) atau deposisi melalui penguapan secara kimia adalah suatu proses kimia yang digunakan untuk memproduksi material dengan kemurnian dan kemampuan yang tinggi. Proses ini sering digunakan dalam industri semikonduktor untuk memproduksi lapisan tipis (thin film). Dalam suatu proses CVD yang biasanya dilakukan, substrat (berupa lempeng yang akan dilapisi) dikenai oleh suatu material yang akan melapisi, dimana bereaksi dan atau terdekomposisi pada permukaan subsrat untuk menghasilkan deposit material yang diinginkan. Seringkali, material pengotor lainnya juga dihasilkan dalam proses tersebut, dimana kemudian dihilangkan oleh aliran gas yang mengalir dalam tabung pembentukan CVD (chamber). Secara sederhana, berikut ini gambaran sederhana bagaimana prinsip kerja atau reaksi kimia yang dihasilkan untuk dekomposisi secara kimia : AB → A + B Dengan contoh yang lebih spesifik adalah proses elektrolisa air menghasilkan gas hidrogen dan oksigen: 2 H2 O(I) → 2 H2 + O 2 Dari contoh tersebut dapat dilihat bahwa pada dasarnya proses yang mendasari CVD adalah pemisahan berbagai elemen atau bahan kimia menjadi elemen terpisah lainnya. Chemical vapor deposition (CVD) dihasilkan dari reaksi kimia gas-gas prekursor pada suatu substrat yang dipanaskan untuk menghasilkan suatu deposit (material) dengan kepadatan tinggi. Aspek termodinamik dan kinetik mengendalikan proses pembentukan prekursor dan dekomposisi. Pengendalian aspek termodinamika dan kinetika yakni melalui temperatur, tekanan, dan konsentrasi yang menghasilkan dapat deposit yang diinginkan. Halida logam (gas) → logam (padat) + hasil sampingan (gas) Deposisi Logam Halida logam (gas) + oksigen/karbon/nitrogen/boron(gas) → keramik(padat) + hasil sampingan (gas) Deposisi Keramik Gambar 14.6 dibawah ini merupakan skema proses reaksi CVD yang umum dikenal.
187
Gambar 14.6 Reaksi Proses CVD (http://www.ultramet.com/chemical_vapor_deposition.html)
Keuntungan dengan proses CVD antara lain : dapat digunakan terhadap beragam jenis logam dan keramik dapat digunakan untuk coating (pelapisan) untuk bahan yang bebas bergerak memproduksi bentuk bahan kompleks yang murni- atau hampir murni proses ini memiliki kemampuan untuk melakukan pembersihan sendiri (self-cleaning)-untuk bahan deposit yang memiliki kemurnian sangat tinggi (kemurnian >99.995%) dapat menyesuaikan secara homogen dalam pembetukan permukaan substrat memiliki hampir secara teoritis kerapatan yang didepositkan memiliki ketebalan dan morfologi yang dapat dikontrol membentuk logam campuran melapisi bagian dalam dengan perbandingan yang tinggi antara panjang terhadap diameter dapat secara sekaligus melapisi berbagai elemen-elemen yang banyak dapat melapisi serbuk
Karbon nanofiber dan nanotube merupakan filamen/serat-serat grafit dengan diameter yang berkisar dari 0,4 hingga 500 nm dan panjangnya dalam rentang beberapa mikrometer hingga milimeter. Karbon nanofiber dan nanotube ditumbuhkan melalui proses difusi karbon (melalui dekomposisi katalitik dari karbon yang mengandung gas atau karbon yang diuapkan dari pelepasan lingkaran atau ablasi laser) melalui sebuah katalis logam dan presipitasi (hasil penguapan) sebagai filamen gafit. Tiga jenis yang berbeda dari filamen nanofiber telah diidentifikasi berdasarkansudut dari lapisan grafen (graphene) terhadap sudut filamen, yang diantaranya bentuk tumpukan (stacked), bentuk cangkir (cupstacked), dan bentuk bulat panjang (nanotubular) seperti yang ditunjukkan pada gambar 14.7.
188
Gambar 14.7 Bentuk Nanotube dan Nanofiber (Rodriguez, et al, 1993)
Dapat dilihat bahwa bentuk gafit tegak lurus terhadap sumbu fiber dalam bentuk tumpukan (stacked), lempeng graphene berada pada sebuah sudut terhadap sumbu fiber dalam bentuk cangkir (herringbone), dan dinding graphene bentuk panjang bulat (tubular) paralel terhadap sumbu fiber dalam nanotube. Bentuk nanofiber tumpukan dan cangkir (stacked and herringbone) cenderung diteliti hanya untuk aplikasi penyimpanan energi seperti contohnya sebagai elektroda-elektroda untuk baterai litium atau sel bahan bakar (fuel cells) karena hanya ion-ion atau molekul yang kecil dapat masuk melalui permukaannya dan turun antara lapisan graphene. 14.2.3.1.1 Mekanisme penumbuhan karbon nanotube dan karbon nanofiber Secara umum, karbon nanotube dan karbon nanofiber ditumbuhkan dengan metode CVD yang bersifat katalis yang memerlukan partikel nano katalis (biasanya Fe, Co, atau Ni), sumber utama karbon (seperti hidrokarbon atau CO), dan kalor (pemanasan). Diamater dari serat karbon nanofiber yang dihasilkan seringkali berkaitan dengan dimensi fisis dari katalis-katalis logam tersebut. Kemampuan yang khas dari proses transisi logam ini untuk membentuk karbon grafitik dipikirkan berkaitan dengan sebuah kombinasi dari faktor-faktor yang termasuk aktivitas katalisnya untuk proses dekomposisi dari campuran karbon volatil dan proses difusi karbon sepanjang partikel logam. Karena adanya proses dekomposisi eksotermal hidrokarbon, diyakini bahwa kemiringan (gradient) temperatur yang ada berseberangan dengan partikel katalis. Oleh karena kemampuan karbon untuk dilarutkan dalam suatu logam merupakan kebergantungan temperatur yang diberikan, hasil kondensasi dari yang berlebihan dari karbon akan terjadi pada daerah yang lebih dingin di bagian belakang partikel, 189
sehingga memungkinkan filamen padat (serat karbon nanofiber) untuk tumbuh dengan diameter yang sama dengan luasnya partikel katalis.
Gambar 14.8 Penumbuhan karbon nanotube dan nanofiber melibatkan dekomposisi katalitik dari bahan sumber karbon (hidrokarbon atau CO), difusi karbon, dan hasil kondensasinya sebagai serat karbon nanofiber. Pada gambar (a), karbon berdifusi melalui padatan katalis logam “M” seperti yang diusulkan oleh model Baker. Pada gambar (b), karbon berdifusi di seluruh permukaan katalis logam dan membentuk struktur bulat (tubular) dari keliling lingkaran katalis yang diusulkan oleh model Oberlin. Pada gambar (c), lapisan-lapisan grafen bersudut diendapkan dari sebuah partikel katalis untuk membentuk suatu nanofiber seperti yang diusulkan oleh Rodriguez dan Terrones (H. Terrones, T. Hayashi, M. Munoz-Navia, M. Terrones, Y.A. Kim, N. Grobert, R. Kamalakaran, J. Dorantes-Davilla, R. Escudero, M. S. Dresselhaus, and M. Endo, 1991) 14.2.3.1.2 Penumbuhan Nanofiber Mari kita fokus pembahasan kita pada katalis yang digunakan untuk penumbuhan nanofiber dan mengapa nanofiber terbentuk. Kemampuan untuk mengontrol dan membentuk struktur nanofiber (bentuk tumpukan atau herringbone) telah diperlihatkan oleh Rodriguez. Konsep umum yang digunakan disini adalah pembuatan sebuah partikel katalis sehingga dekomposisi bahan utama karbon terbentuk pada permukaan yang ada, dimana pengendapan karbon (dalam bentuk lapisan grafen) terbentuk pada permukaan yang lain seperti yang ditunjukkan pada gambar 8c. Lapisan-lapisan grafit diendapkan paralel terhadap permukaan partikel katalis, dan oleh karena itu sudut antara bidang dan sumbu serat (fiber) ditentukan oleh bentuk dari partikel katalis, seperti yang diusulkan oleh Boellard. Di bawah kondisi normal dari komposisi gas, temperatur, dan komposisi katalis, partikel katalis mengalami penyusunan ulang permukaan untuk membentuk bentuk geometris unik yang mengendalikan susunan dari nanofiber. Contohnya, struktur herringbone didapatkan tumbuh dari partikel Fe-Cu (7:3) dalam sebuah campuran gas C 2 H 4 -H2 (4:1) pada suhu 600°C, sedangkan struktur tumpukan (stacked) terbentuk dari katalis berbasis Fe dalam sebuah campuran gas CO-H2 (4:1) pada suhu 600°C. susunan struktur herringbone lebih duluan terbentuk ketika partikel 190
katalis adalah sebuah logam campuran (alloy), meskipun Pd juga telah digunakan dibahwa kondisi penumbuhan normal untuk menghasilkan struktur yang mirip. Nolan telah menyarankan bahwa hidrogen memainkan peran yang penting dalam susunan nanofiber. Ini karena kehadiran hidrogen yang banyak dapat menghilangkan sejumlah besar ikatan-ikatan pada sisi lempeng grafit bentuk tumpukan, sedangkan tanpa pemutusan hidrogen, bentuk yang lebih stabil dari serat karbon akan menutup kulit grafen bentuk bulat dimana tidak ada ikatan-ikatan kecil (dangling bond). Pada plasma CVD, serat-serat karbon yang dibentuk lebih sering nanofiber dibandingkan nanotube. Ini diduga oleh karena sejumlah besar atom hidrogen dibentuk dalam fase gas karena dekomposisi plasma dari gas hidrokarbon atau penggunaan hidrogen sebagai gas cair (dilution gas). Delzeit dkk, menunjukkan bahwa dengan mengontrol jumlah relatif hidrogen dalam fase gas melalui pemodifikasian parameter-parameter plasma, yang satu dapat mengubah struktur dari nanotube menjadi nanofiber herringbone, dengan kandungan hidrogen yang tinggi mendahulukan pembentukan sebelumnya. 14.2.3.1.3 Konfigurasi dan Pertimbangan Chemical Vapor Deposition (CVD) Tanur horizontal merupakan konfigurasi paling populer untuk produksi karbon nanofiber dan nanotube. Dalam bentuk yang paling sederhana, ini adalah sebuah tabung kuarsa yang dipanaskan dimana substrat/katalis ditempatkan. Gas-gas reaktan mengalir sepanjang substrat/katalis yang berada pada sebuah wadah (holder) keramik yang dapat diubah-ubah posisinya di tengah tabung kuarsa. (lihat gambar 9). Tanur horizontal sangat berguna karena tidak ada (atau cukup kecil) gradien temperatur pada daerah yang dipanaskan (heated zone). Dalam kebanyakan kasus, panjang dari nanotube/nanofiber dapat dikontrol secara sederhana selama waktu deposisi. Pada saat sampel pertama dimasukkan ke dalam tabung (chamber), tabung kuarsa pertama kali digelontor/diguyur dengan suatu “gas pembawa” (carrier gas). Gas-gas pembawa yang sering digunakan adalah argon, hidrogen, dan nitrogen. Argon merupakan gas yang paling sering digunakan karena kemampuannya dalam menghilangkan udara, sehingga dengan mudah membentuk sebuah keadaan atmosfer lembam (inert atmosphere) dalam tabung. Tanur kemudian dipanaskan hingga keadaan temperatur penumbuhan dalam atmosfer lembam. Hidrogen sering ditambahhkan pada aliran gas untuk mereduksi partikel katalis (contohnya oksidaoksida) selama pemanasan. Bahkan bila tabung dikosongkan dengan sebuah pompa, sangatlah penting untuk mempertahankan aliran maju dari gas-gas reduktor/gas inert selama pemanasan karena memungkinkan sehingga nanotube yang tidak diinginkan dapat tumbuh dari pemecahan yang bersifat katalis (contohnya, dari aliran dari belakang). Pada saat temperatur penumbuhan telah tercapai, bahan baku karbon dimunculkan. Seperti yang dibahas dalam bagian mekanisme penumbuhan, pemilihan bahan baku karbon dan bahan tambahan (additive) berdasarkan pada apakah nanofiber, multiwall nanotubes, atau nanotube berdinding tunggal yang diinginkan. Reaksi seringkali berlangsung pada temperatur dibawah 1000°C untuk mereduksi susunan deposit karbon yang tidak diinginkan seperti karbon amorf. Karbon amorf terdepositkan dari dekomposisi termal (pyrolysis) dari gas-gas sumber karbon, sedangkan karbon nanotube/nanofiber ditumbuhkan dari dekomposisi katalis dari gas-gas sumber karbon. 191
Gambar 14.9 Jenis tabung (chamber) yang digunakan untuk CVD katalis pembuatan nanofiber dan nanotube. pengaturan paling umum yang digunakan adalah tanur horizontal (a). Untuk produksi dalam jumlah banyak, tanur vertikal (b) dipergunakan. (c) reaktor berfluida dan (d) sistem CVD yang ditambahkan basis plasma sepanjang tabung vakum. (Kenneth B.K. Teo, Singh, C., Chhowalla, M, 2003)
14.2.3.2 Elektrospinning Teknologi elektrospinning adalah salah satu bidang nanoteknologi yang berkembang pesat dan elektrospinning digunakan untuk memproduksi serat nano (nanofiber) dan partikel nano (nanoparticle) dari bahan organik, anorganik dan komposit. Secara sederhana proses elektrospining dirancang dengan menggunakan arus listrik tegangan tinggi dan kemudian larutan di-charging dengan tegangan tinggi tersebut. Kemudian apabila daya dorong mekanik dan listrik mampu mengalahkan gaya tegangan permukaan maka terbentuk polimer jet. Polimer jet ini bergerak kearah kolektor. Dalam perjalan menuju kolektor terjadi pengurangan diameter jet dan pada saat sampai pada kolektor polimer sudah hampir kering dan diameter serat sudah dalam ukuran nano. Pada gambar 14.10 ditunjukkan salah satu contoh proses elektrospinning skala laboratorium yang biasa digunakan.
192
Gambar 14.10 Proses elektrospinning skala laboratorium bertekanan konstan (http://www.centropede.com/UKSB2006/ePoster/background.html) Elektrospinning menggunakan suatu muatan listrik untuk membentuk serat halus (biasanya dalam skala mikro dan nano) dari suatu cairan/larutan. Elektrospinning memiliki karakteristik dengan adanya proses penyemprotan elektron (electrospraying). Prosesnya tidak memerlukan penggunaan pengentalan/pembekuan secara kimia (coagulation) atau temperatur yang tinggi utnuk menghasilkan serat padat dari larutan. Hal ini lah yang membuat proses tersebut secara khusus sesuai dengan pembuatan nanofiber menggunakan molekul yang banyak dan kompleks. 14.2.3.2.1 Prinsip Kerja Elektrospinning Ketika sebuah tegangan yang cukup tinggi dikenakan pada suatu tetesan cairan, cairan tersebut menjadi bermuatan, dan tolakan elektrostatik melawan tegangan permukaan dan tetesan cairan tersebut terhambur, pada sebuah titik kritis dari aliran cairan meletup dari permukaan. Titik dari letupan ini dikenal sebagai kerucut Taylor (Taylor cone). Jika gaya tarik-menarik molekul dari cairan cukup tinggi, aliran hamburan tidak terjadi dan suatu pancaran gas bermuatan terbentuk. Berikut ini gambar 14.11 menunjukkan Suatu meniskus dari alkohol polivinyl dalam larutan air.
Gambar 14.11 Suatu meniskus dari alkohol polivinyl dalam larutan air menunjukkan sebuah serat dari sebuah kerucut Taylor. (http://en.wikipedia.org/wiki/electrospinning.htm) 193
Dalam proses elektrospinning sebuah tegangan yang tinggi digunakan untuk menghasilkan pancaran gas bermuatan secara listrik dari larutan polimer, dimana membentuk suatu serat polimer. Satu elektroda ditempatkan ke dalam larutan yang berputar dan yang satunya melekat pada kolektor. Medan listrik diarahkan ke ujung sebuah tabung kapiler yang mengandung larutan polimer yang tertahan oleh tegangan permukaannya. Ini menginduksi sebuah muatan pada permukaan cairan.
Gambar 14.12 Diagram penyusunan serat oleh elektrospinning Sumber : The New Zealand Institute for Plant and Food Research Ltd Tolakan timbal-balik ini menyebabkan sebuah gaya yang searah melawan tegangan permukaannya. Karena intensitas dari medan listrik meningkat, permukaan cairan berbentuk setengah bola berada pada ujung tabung kapiler diperpanjang untuk membentuk sebuah bentuk kerucut yang dikenal sebagai kerucut Taylor. Dengan adanya peningkatan medan listrik, suatu nilai kritis dicapai ketika gaya tolakan elektrostatik mengatasi tegangan permukaan dan suatu pancaran gas bermuatan disemburkan dari ujung kerucut Taylor. Pancaran larutan polimer yang dilepaskan mengalami sebuah proses pancaran dimana pelarutnya berevaporasi, meninggalkan sebuah serat polimer bermuatan, yang mana pembentukannya secara acak pada suatu lapisan logam kolektor yang di-ground-kan. Dalam hal ini pencairan pancaran larutan yang dilepaskan membentuk ketika pancaran tersebut melewati udara dan mengumpul pada bagian lapisan logam yang diground-kan. 14.2.3.2.2 Skema Peralatan Elektrospinning Larutan polimer dimuat dalam sebuah tabung gelas, yang biasanya menggunakan sebuah pipa yang dihubungkan dengan alat semprot/alat penyuntikan (syringe). Sebuah pompa pengukur dipasang pada karet penghisap alat semprot yang menghasilkan sebuah tekanan konstan dan mengalirkan cairan sepanjang pipa. Gaya pembawa (driving force) dihasilkan oleh suatu sumber tegangan tinggi sepanjang suatu kawat yang dicelupkan pada cairan. Sumber tegangan tinggi dapat menghasilkan hingga 30 kV, dan pengaturan tersebut dapat bekerja pada polaritas positif maupun negatif. Dengan menambah aliran cairan dan besarnya medan listrik dalam mengontrol rata-rata putaran.
194
Berikut ini sebuah contoh peralatan eksperimental dalam proses elektrospinning ditunjukkan pada gambar 14.13.
Gambar 14.13 Skema peralatan elektrospinning (http://en.wikipedia.org/wiki/electrospinning.htm)
Berikut ini tentang parameter-parameter yang disarankan dalam mempengaruhi proses elektrospinning: Parameter Sistem • Berat molekul, distribusi berat molekul dan sifat dari polimer (bercabang, linier, dan sebagainya). • Sifat-sifat larutan (viskositas, konduktivitas dan tegangan permukaan) Parameter Proses • Potensial listrik, rata-rata aliran dan konsentrasi • Jarak antara pipa kapiler dan lapisan kolektor. • Parameter-parameter lain di sekitarnya (temperatur, kelembaban udara dan kecepatan udara dalam tabung • Gerakan dari layar target Suatu karakteristik yang penting dari elektrospinning adalah kemampuannya untuk membuat serat dengan diameter dalam orde nanometer hingga beberapa mikron. Oleh karena itu, serat-serat ini memiliki luas permukaan yang besar per satuan massa.
195
Gambar 14.14 Susunan dari sebuah struktur nanofiber yang diproses secara elektrospinning. (G.M. Kim, G.H. Michler, P. Potschke, 2005)
14.2.4 Karakterisasi Nanofiber Karakterisasi yang paling umum digunakan dalam mengkarakterisasi adalah teknik SEM (Scanning Electron Microscopy). Perangkat peralatan SEM adalah salah satu jenis mikroskop elektron yang menggunakan berkas elektron untuk menggambarkan profil atau morfologi permukaan material.
Gambar 14.15 Bentuk peralatan karakterisasi SEM (http://serc.carleton.edu/images/research_education/ geochemsheets/techniques/UWSEM.jpg) Mikroskop elektron menggunakan sebuah sinar fokus elektron berenergi tinggi untuk menghasilkan berbagai sinyal pada permukaan sampel padat. Sinyal yang berasal dari interaksi elektron dan sampel memberikan informasi mengenai permukaan morfologi (tekstur), komposisi kimia, dan struktur kristal dan orientasi bahan yang membentuk sampel. Dalam sebagian besar aplikasi, data yang 196
dikumpulkan melalui area tertentu dari permukaan sampel, dan gambar 2-dimensi yang dihasilkan menampilkan variasi spasial dalam material. Pemindaian mulai kira-kira dari 1 cm sampai 5 mikron dengan lebar yang dapat dicitrakan dalam modus pemindaian menggunakan teknik sederhana SEM (perbesaran mulai dari 20X menjadi sekitar 30.000 X, resolusi ruang dari 50 sampai 100 nm). SEM juga mampu melakukan analisis lokasi titik yang dipilih pada sampel, pendekatan ini sangat berguna dalam kualitatif atau semi-kuantitatif menentukan komposisi kimia (menggunakan EDS), struktur kristal, dan orientasi kristal (menggunakan EBSD). Desain dan fungsi dari SEM sangat mirip dengan EPMA, dan tumpang tindih (overlap) yang cukup besar dalam kemampuan yang ada antara dua instrumen. Pada gambar 14.16 ditunjukkan prinsip kerja peralatan scanning electron microscopy (SEM).
Gambar 14.16 Prinsip kerja scanning electron microscopy (http://www.purdue.edu/rem/rs/sem.htm) Elektron yang dipercepat dalam perangkat peralatan SEM membawa sejumlah besar energi kinetik, dan energi ini hilang sebagai beberapa sinyal yang dihasilkan oleh interaksi antara elektron dan sampel ketika berkas elektron mengenai permukaan sampel padat. Sinyal-sinyal ini termasuk elektron sekunder (yang menghasilkan gambar SEM), elektron backscattered (BSE), difraksi elektron backscattered (EBSD yang digunakan untuk menentukan struktur kristal dan orientasi dari mineral), foton (karakteristik sinar-X yang digunakan untuk analisis unsur dan kontinum sinar-X), cahaya tampak (pemendaran sinar katoda CL), dan kalor. Elektron sekunder dan elektron backscattered biasanya digunakan untuk sampel pencitraan: elektron sekunder yang paling berharga 197
untuk menunjukkan morfologi dan topografi pada sampel dan elektron backscattered yang paling penting untuk menggambarkan ketelitian dalam komposisi dalam sampel multiphase (yaitu untuk diskriminasi fase cepat). SinarX yang dihasilkan oleh tabrakan tak elastik dari elektron datang dengan elektron dalam orbital diskrit (model kulit) atom dalam sampel. Sebagai elektron yang dibangkitkan untuk menurunkan keadaan energi, ini menghasilkan sinarX yang dari panjang gelombang tetap (yang terkait dengan perbedaan tingkat energi elektron dalam kulit yang berbeda untuk unsur tertentu). Dengan demikian, karakteristik sinar-X yang diproduksi untuk setiap elemen dalam mineral oleh berkas elektron. Analisis SEM analisis dianggap sebagai analisis "nondestruktif", yaitu, sinar-x yang dihasilkan oleh interaksi elektron tidak mengakibatkan hilangnya volume sampel, sehingga memungkinkan untuk menganalisis bahan yang sama berulang-ulang.
Gambar 14.17 Gambaran skematik elektron dalam Peralatan SEM http://serc.carleton.edu/images/research_education/geochemsheets/techniques/SE M_schematic.JPG.jpg) Komponen penting pada set peralatan SEM, diantaranya: Penembak elektron (electron gun) Lensa elektron Pemegang sampel Detektor sinyal Layar tampilan / perangkat data keluaran (komputer) Peralatan lain yang dipersyaratkan: Sumber tegangan (Power Supply) Sistem vakum Sistem pendingin Alas bebas getaran (Vibration-free floor) Ruang bebas sekitar bebas medan magnetik dan medan listrik.
198
SEM selalunya memiliki paling tidak satu detektor (biasanya sebuah detektor elektron sekunder), dan kebanyakan memiliki detektor-detektor tambahan. Kemampuan spesifik dari suatu instrumen tertentu secara kritis bergantung pada detektor-detektor yang dimilikinya. Contoh pengambilan gambar dengan menggunakan SEM dapat dilihat pada gambar 14.18.
Gambar 14.18 Foto SEM (Rutledge, et al., 2006)
14.3 Sel Bahan Bakar (Fuel Cell) Sel bahan bakar (fuel cell) adalah sebuah alat elektrokimia yang mirip dengan baterai, tetapi berbeda karena ini dirancang untuk dapat diisi terus reaktannya yang terkonsumsi; dimana alat ini memproduksi listrik dari penyediaan bahan bakar hidrogen dan oksigen dari luar. Hal ini berbeda dengan energi internal dari baterai. Sebagai tambahan, elektroda dalam baterai bereaksi dan berganti pada saat baterai diisi atau dibuang energinya, sedangkan elektrode sel bahan bakar bersifat katalitik dan relatif stabil. Salah satu contoh fuel cell seperti ditunjukkan pada gambar 14.19.
Gambar 14.19 Salah satu jenis fuel cell (http://www.fuelcellstore.com) Konsumsi dunia terhadap energi listrik kian meningkat seiring pesatnya teknologi elektronika. Alternatif yang menarik datang dari fuel cell, yang diharapkan 199
dapat menghasilkan energi listrik dengan efisiensi tinggi dan gangguan lingkungan yang minimal. Fuel cell menggunakan reaksi kimia, lebih baik daripada mesin pembakaran, untuk memproduksi energi listrik Istilah fuel cell sering dikhususkan untuk hidrogen-oksigen fuel cell. Prosesnya merupakan kebalikan dari elektrolisis. Pada elektrolisis, arus listrik digunakan untuk menguraikan air menjadi hidogen dan oksigen. Dengan membalik proses ini, hidrogen dan oksigen direaksikan dalam fuel cell untuk memproduksi air dan arus listrik. Konversi energi fuel cell biasanya lebih effisien daripada jenis pengubah energi lainnya. Efiensi konversi energi dapat dicapai hingga 60-80%. Keuntungan lain fuel cell adalah mampu menyuplai energi listrik dalam waktu yang cukup lama. Tidak seperti baterai yang hanya mampu mengandung material bahan bakar yang terbatas, fuel cell dapat secara kontinu diisi bahan bakar (hidrogen) dan oksigen dari sumber luar. Fuel cell merupakan sumber energi ramah lingkungan karena tidak menimbulkan polutan dan sungguh-sungguh dapat digunakan terus-menerus jika ada suplai hidogen yang berasal dari sumber daya alam yang dapat diperbarui. Keuntungan fuel cell yaitu, efisiensi tinggi dapat mencapai 80%, tidak bising dan gas buang yang bersih bagi lingkungan. Kendala yang masih membatasi penggunaan fuel cell adalah : a) Apabila digunakan bahan bakar hidrogen, maka dibutuhkan tanki pengaman yang berdinding tebal dan memiliki katup pengaman. Selain itu diperlukan kompresor untuk memasukan ke dalam tanki. b) Apabila yang dibawa adalah hidrogen cair, maka akan timbul kesulitan karena harus dipertahankan pada temperatur -253,15oC pada tekanan 105Pa. c) Apabila digunakan metanol sebagai pengganti hidrogen, maka dibutuhkan reformer. Tetapi efisiensi menjadi menurun. d) Temperatur yang cukup tinggi saat pengoperasian antara 60o-120oC Teknologi baru menggunakan prinsip mirip fuel cell untuk menghasilkan energi listrik menggunakan sumber alami, yaitu biofuel cell. Biofuel cell adalah alat untuk mengkonversi energi kimia menjadi energi listrik dengan bantuan biokatalis dari enzim atau mikroorganisme. Berikut ini sedikit ulasan mengenai beberapa jenis sel bahan bakar. Fuel cell adalah alat yang mampu menghasilkan listrik arus searah. Alat ini terdiri dari dua buah elektroda, yaitu anoda dan katoda yang dipisahkan oleh sebuah membran polimer yang berfungsi sebagai elektrolit. Membran ini sangat tipis, ketebalannya hanya beberapa mikrometer saja. Hidrogen dialirkan ke dalam fuel cell yaitu ke bagian anoda, sedang oksigen atau udara dialirkan ke bagian katoda, dengan adanya membran, maka gas hidrogen tidak akan bercampur dengan oksigen. Membran dilapisi oleh platina tipis yang berfungsi sebagai katalisator yang mampu memecah atom hidrogen menjadi elektron dan proton. Proton mengalir melalui membran, sedang elektron tidak dapat menembus membran, sehingga elektron akan menumpuk pada anoda, sedang pada katoda terjadi penumpukan ion bermuatan positif. Apabila anoda dan katoda dihubungkan dengan sebuah penghantar listrik, 200
maka akan terjadi pengaliran elektron dari anoda ke katoda, sehingga terdapat arus listrik. Elektron yang mengalir ke katoda akan bereaksi dengan proton dan oksigen pada sisi katoda dan membentuk air. Reaksi kimia yang terjadi pada fuel cell Anoda : 2H2 4H+ + 4eKatoda : 4e- + 4H+ + O 2 2H2 O Jenis fuel cell ditentukan oleh material yang digunakan sebagai elektrolit yang mampu menghantar proton. Pada saat ini ada 6 jenis fuel cell yaitu: o Alkaline (AFC) o Proton exchange membrane, juga disebut Proton Electrolyt Membrane(PEM) o Phosphoric Acid(PAFC) o Molten carbonate(MCFC) o Solid oxide(SOFC) o Direct methanol fuel cells (DMFC) o Regenerative fuel cells
14.4 Sel Bahan Bakar Hidrogen (Hydrogen Fuel Cell) Salah satu jenis sel bahan yang ada dan memiliki kemampuan yang cukup baik dalam menghasilkan sumber listrik adalah sel bahan bakar hidrogen. Sel bahan bakar ini menggunakan gas hidrogen sebagai bahan bakarnya dan langsung mengkonversinya menjadi listrik. Pada gambar 14.20 ditunjukkan salah satu contoh sel bahan bakar hidrogen.
Gambar 14.20 Salah satu contoh sel bahan bakar hidrogen (http://www.fuelcellstore.com) Komponen-komponen yang ada dari Fuel Cell, sebagai berikut: Fuel Bahan Bakar Gas-gas (H2, CH4) atau bentuk cair (Metanol, H 2 O, udara) Elektroda Berupa Platina dilapisi karbon, Platina dilapisi karbon nanofiber Larutan elektrolit 201
KOH, asam fosfor, cairan karbonat (Li 2 CO 3 / Na 2 CO 3 ) dan itrium terstabililasi oleh zirkondioksida (YSZ)
Gambar 14.21. Bentuk karbon nanofiber yang digunakan pada lapisan elektroda fuel cell (http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0013468611017695 Salah satu alternatif pilihan bahan bakar yang paling menjanjikan untuk masa depan dan untuk penggunaan kendaraan komersional adalah sel bahan bakar (fuel cell) untuk pasokan listrik. Sebuah sel bahan bakar hidrogen (yang paling umum) terdiri dari sistem dengan dua bagian utama, 1) Gas hidrogen, sebagai sumber bahan bakar 2) Sebuah sel bahan bakar, yang mengkombinasi gas hidrogen dengan oksigen (biasanya dari lingkungan/atmosfer) untuk menghasilkan listrik dan air. Hidrogen (H2 ) adalah salah satu bahan yang paling banyak tersedia di alam. Air (H2 O) tersusun oleh 2 unsur hidrogen dan 1 unsur oksigen. Hidrogen dapat diperoleh dengan mengelektrolisis air, dengan membakar gas alam, dan banyak dari sumber-sumber lain. Sel bahan bakar, bagaimanapun juga, merupaka tetap teknologi yang perkembangannya sangat pesat dan belum menjadi aspek utama dalam berbagai aplikasi teknologi. Pertimbangannya adalah teknologi sel bahan bakar masih mahal untuk dihasilkan, namun memiliki berbagai keunggulan yang sangat besar dalam berbagai pemanfaatannya. Hal ini yang membuat banyak perusahaan-perusahaan teknologi terus meneliti dan mengembangkan teknologi ini untuk bahan bakar masa depan. Sel bahan bakar biasanya terbuat dari sebuah sistem pertukaran proton (proton exchange), atau berupa katalis, yang memisahkan elektron dari bahan bakar (dalam hal ini adalah hidrogen) untuk menghasilkan aliran elektron yang menghasilkan tenaga listrik. Secara sederhana sebuah sel bahan bakar memiliki prinsip kerja berikut ini: 202
Gambar 14.22 Cara kerja membran pertukaran proton dalam Sel Bahan Bakar Hidrogen (en.wikipedia.org) Sel pertukaran proton (seperti yang ditunjukkan pada gambar 14.22) adalah jenis yang sifatnya umum yang paling umum dari sel bahan digunakan untuk aplikasi otomotif, akan tetapi masih banyak jenis yang lainnya. Secara fakta, hidrogen bukanlah satu-satunya yang digunakan dalam sel bahan bakar, hidrogen hanyalah salah satu contoh yang umum. Gas metan, zink dan bahkan bahan bakar karbon (minyak bumi) Dengan meningkatkan kemampuan sel bahan bakar hidrogen maka dapat dihasilkan energi listrik yang cukup tinggi yang dapat diaplikasikan untuk teknologi masa depan.
14.5 Aplikasi Fuel Cell Meningkatnya penguasaan ruang, waktu, dan materi menuntut semakin besarnya sumber energi yang diperlukan. Misalkan alat transportasi seperti mobil atau bus, alat komunikasi seperti laptop, handphone dan televisi, peralatan rumah tangga, sampai eskalator atau lift di gedung bertingkat. Semua benda tadi memerlukan energi. Tanpa pasokan energi, segala jenis teknologi tersebut tidak akan berfungsi. Teknologi konvensional menggunakan minyak bumi sebagai sumber energi dipandang kurang efisien serta menimbulkan polusi udara. Pembakaran minyak bumi menghasilkan karbon monoksida (CO) dan karbondioksida (CO 2 ) yang 203
berbahaya. Sebagai solusi, baru-baru ini telah dikembangkan teknologi fuel cell yang terus mengalami riset dan pengembangan di beberapa negara maju. Teknologi fuel cell ini dipandang lebih efisien, tidak menimbulkan polusi seperti halnya pembangkit energi tenaga minyak bumi. Beberapa contoh aplikasi yang menggunakan teknologi hydogen fuel cell ditunjukkan pada gambar 14.23.
Gambar 14.23 Berbagai aplikasi yang memanfaatkan Hidrogen Fuel Cell (http://www.oe.ttu.edu.tw/seminar/fuelcelandnanotechnology/OpenslidesforTatung Univ.pdf) Beberapa negara maju seperti Jepang, Amerika Serikat, Jerman, Inggris, dan Prancis sudah mulai menerapkan teknologi fuel cell pada pembangkit energi di gedung-gedung bertingkat dan rumah tangga, bus, mobil, atau alat-alat elektronik seperti PDA dan handphone dalam bentuk prototipe. Bahkan, beberapa pihak sudah mengomersialkan teknologi ini seperti yang dilakukan pabrikan Toyota dan Mercedes benz. Dana yang dibutuhkan dalam mengembangkan dan mewujudkan teknologi energi yang ramah lingkungan membutuhkan investasi yang sangat besar. Baru-baru ini pemerintah Cina bekerja sama dengan UNDP (United Nations Development Program) dan GEF (Global Environment Fund) memesan enam unit bus tenaga fuel cell sebagai bentuk kepedulian pemerintah Cina dalam meminimalkan polusi udara. Total investasi yang dikeluarkan sekira 33 juta dolar AS. Bus ini akan mengalami uji coba, layaknya di negara-negara maju yang telah mencoba prototipe bus fuel cell selama lima tahun. Dimasa mendatang teknologi hydrogen fuel cell diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif sumber energi yang dapat menggantikan bahan bakar fosil. Teknologi ini juga dapat mengurangi tingkat pencemaran lingkungan ke atmosfer Bumi yang dapat berimplikasi pada efek pemanasan global.
204
DAFTAR PUSTAKA Clarke, A. R., 2002. Microscopy techniques for materials science. CRC Press (electronic resource) Delzeit, L., McAninch, I., Cruden, B.A., Hash, D., Chen B., Han J., and Meyyappan, M., J. App. Phys. 91, 6027 (2002) Eder, A., Hammel, E., Schmitt, T., Tang, X., Trampert, M., Mauthner, K., Carbon nanofiber composites a commercial nano-application, Symposium on Chemical Safety and Nanomaterials, Electrovac AG, Aufeldgasse 37-39, A-3400 Klosterneuburg Egerton, R. F., 2005. Physical principles of electron microscopy : an introduction to TEM, SEM, and AEM. New York: Springer. Goldstein, J., 2003. Scanning electron microscopy and x-ray microanalysis. Kluwer Adacemic/Plenum Pulbishers. Gupta, B.K., dan Srivastava, O.N., 2001. “Further studies on microstructural characterization and hydrogenation behavior of graphitic nanostructures,” International Journal of Hydrogen Energy, 26, 857-862. G.M. Kim, G.H. Michler, P. Potschke, Polymer, 46, 7346 (2005). Copyright (2005) Elsevier. Hakimelahi, H., 2011. Development and Characterization of Functional Nanofiber Network (FNN) Materials, The University of Toledo, United States. Jeremy Ramsden, 2009. Essential of Nanotechnology, Jeremy Ramsden and Ventus Publishing ApS, United States. Jianbo, Xu, 2010. Synthesis and Characterization of Carbon Supported Nano-catalysts for Direct Oxidation Fuel Cells. A Dissertation Submitted to The Hong Kong University of Science and Technology in Partial Fulfillment of the Requirement for the Degree of Doctor of Philosophy in the Department of Mechanical Engineering, Hongkong. Kenneth B.K. Teo, Singh, C., Chhowalla, M., 2003. Catalytic Synthesis Carbon Nanotube and Nanofiber. Volume X, Encyclopedia of Nanoscience and Nanoscience. Nolan, P. E., Lynch, D.C., and Cutler, A.H. J. Physics Chemistry. B 102, 4165 (1998) Oberlin, A. Endo, M., and Koyama, T., J. Crystal Growth. 32, 335. 1976 R.T.K. Baker. Carbon. 27, 315 (1989) Reimer, L., 1998. Scanning Electron Microscopy : physics of image formation and microanalysis. New York: Springer, 527 p.
205
Rodriguez, et al., 1993. A review of catalytically grown carbon nanofibers, in Journal of Materials Research, Vol. 8, Iss. 12, pp. 3233-3250. Rutledge, et al., 2006. Self assembly and correlated properties of electrospun carbon nanofibers, Diamond & Related Materials Journal, Elsevier 15 (2006) 1070–1074 Terrones H., Hayashi, T., Munoz-Navia, M., Terrones, M., Kim, Y.A., Grobert, N., Kamalakaran, R., Dorantes-Davilla, J., Escudero, R., Dresselhaus, M. S., and Endo M., Chemical Physics Letter, 343, 241 (2001) Tracz, E., Scholz, R., and Borowiecki, T., Applied Catalist. 66, 133 (1990) Xu, J.B., Zhao, T.S., Liang, Z.X., Zhu, L.D., “Facile Preparation of AuPt Alloy Nanoparticles from Organometallic Complex Precursor” Chemistry of Materials 20, 1688-1690 (2008) http://www.che.vt.edu/Wilkes/electrospinning/electrspinning.html, diakses tanggal 28/11/12 http://en.wikipedia.org/wiki/Electrospinning.html, diakses tanggal 28/11/12. http://mahasiswanegarawan.wordpress.com/2007/08/18/sel-bahan-bakar-fuel-cell-sebuahenergi-alternatif-berkelanjutan-dan-ramah-lingkungan/, diakses tanggal 28/11/12. http://greenbigtruck.com/, diakses tanggal 28/11/12 http://www.ultramet.com/chemical_vapor_deposition.html), diakses tanggal 28/11/12. http://www.fuelcelltoday.com/FuelCellToday/EducationCentre/Edu cationCentreExternal/EduCentreDisplay/0,1741,History,00.html diakses tanggal 28/11/12
206
Bab 15 Nanoteknologi pada Pertanian Oleh : Khairiah
15.1. Apa itu nano Teknologi canggih yang mulai populer di beberapa tahun terakhir ini benar-benar merupakan teknologi si mungil. Mungil karena melibatkan rekayasa partikel-partikel berukuran super kecil. Istilah nano berasal dari kata Nanos (Bahasa Yunani) yang berarti 10-9 (satu per satu milyar). 1 nanometer (nm) sama dengan 10-9 meter. (Arumaarifu, 2010). Nano merupakan teknologi yang melibatkan atom dan molekul dengan ukuran lebih kecil dari 1000 nanometer. Itu berarti ukurannya bisa mencapai 100.000 kali lebih kecil dari diameter sehelai rambut manusia. Super kecil, super mungil, Tetapi ini bukan berarti manfaatnya juga mungil, Si mungil ini justru memiliki potensi sangat besar dalam memberikan jawaban dan penyelesaian berbagai masalah kompleks di dunia. Mulai dari dunia kesehatan, masalah pangan, masalah lingkungan, masalah ekonomi, dunia komunikasi, industri, elektronika, manufaktur, informatika, transportasi, dan banyak lagi. Teknologi ini bisa mempengaruhi semua aspek kehidupan manusia. Seperti ungkapan Kecil-kecil Cabe Rawit, sesuatu yang berukuran mikro justru dapat memberi dampak makro. Kenapa bisa begitu? Karena semua benda yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari tersusun dari atom-atom berukuran nano. Bahkan makhluk hidup, termasuk manusia, juga tersusun dari atom. Karakteristik dari semua benda sangat bergantung pada susunan atom-atomnya. Atom-atom yang terdapat dalam batubara sama persis dengan atom-atom sejenis yang terdapat dalam berlian (diamond) yang indah, yang berbeda adalah susunan strukturnya saja. Atom-atom dalam partikel pasir sangat mirip dengan atom-atom dalam chip komputer yang canggih. Bahkan atom-atom penyusun air, udara, dan partikel debu sebenarnya sama dengan atom-atom dalam sebuah kentang! Sedikit saja susunan struktur atomnya diubah, karakteristik suatu benda bisa berubah drastis. Inilah konsep utama dalam nanoteknologi. Suatu saat nanti, batubara dan grafit dapat kita susun ulang atomatomnya sehingga menjadi berlian yang berkilau indah! (Arumaarifu, 2010)
207
Gambar 15.1 Atom atom berlian (Arumaarifu, 2010)
15.2. Nano di Alam Nano juga terdapat dialam seperti halnya, laba-laba menggunakan struktur dengan ukuran nano. Dibawah rambutnya yang tebal, pada kaki laba-laba, adalah serat dengan ukuran nano. Setiap seratnya tertutup banyak rambut. Ketika rambut-rambut ini menempel pada sebuah permukaan, dapat menahan 170 kali berat badannya. Lain halnya dengan burung toucan, pada bagian luar paruh burung toucan tertutup oleh keratin berukuran nano. Pada bagian dalam paruhnya tersusun atas busa padat yang berbentuk dari serat tulang berukuran nano.
Begitu juga pada kunang-kunang dan kupu, cahaya yang dihasilkan oleh kunang-
(a)
(b)
(a)
(b)
Gambar 15.2 (a) laba-laba (b) burung toucan (Arumaarifu, 2010) 208
Begitu juga kunang-kunang, cahaya yang dihasilkan oleh kunang-kunang juga termasuk nanosains. Peristiwa ini disebut bioluminisens. Cahaya yang dihasilkan disebabkan oleh adanya electron yang dihasilkan oleh enzim dari kunang-kunang. Ketika electron menuju stabil mereka menghasilkan cahaya. Pada gambar (d) warna dari sayap kupu-kupu dihasilkan dari hamburan cahaya. Pada sayap kupu-kupu disusun oleh material berstruktur nano. Cahaya sayapnya, sehingga tercipta interferensi, cahaya (seperti minyak di dalam air). Karenanya dihasilkan pelangi ketika cahaya mengenai sayap kupu-kupu
(a)
(b)
Gambar 15.3. (a) kupu-kupu (b) kunang-kunang (Arumaarifu, 2010)
15.3. Nanosains dan nanoteknologi Nanoteknologi adalah istilah untuk rentang teknologi, teknik dan proses yang menyangkut manipulasi, menyusun dan mengkontrol materi pada tingkat molekul (kelompok atom), sistem-sistem yang memiliki sedikitnya satu dimensi fisik dalam rentang 1-100 nanometer. Nanoteknologi merupakan revolusi teknologi baru dan kunci kendali ekonomi selama abad ke 21. memberikan manfaat sosial yang signifikan termasuk diagnosa medis, sumber energi yang lebih efisien, bahan murah, produk elektronika dan air bersih. Standardisasi nanoteknologi meliputi barang dan proses berskala nano serta penggunaan sifat-sifat material berskala nano. Standardisasi internasional akan berperan penting dalam menjamin bahwa nanoteknologi yang sangat potensial terealisasi dan terintergrasi dengan aman. Peran standar akan membantu menciptakan transisi yang lancar dari hasil-hasil penelitian di laboratorium hingga produk yang beredar di pasar. Negara-negara maju sedang berpacu untuk menguasai nanoteknologi, terutama Amerika yang telah melakukan investasi yang sangat tinggi dalam penelitian nanoteknologi. Sementara negara–negara di kawasan Asia tidak ketinggalan, terutama Jepang, Korea, 209
China, bahkan Malaysia. Organisasi internasional seperti ISO, IEC dan ASTM telah merumuskan beberapa standar nanoteknologi. Produk berskala nano sudah mulai membanjiri pasar dunia termasuk Indonesia. Oleh karena itu Indonesia perlu segera mengantisipasi perkembangan nanoteknologi yang berkembang sangat pesat. Untuk itu perlu dilakukan kajian untuk menentukan standar apa yang harus segera dibuat menjadi SNI agar produk-produk impor yang masuk Indonesia terjamin mengikuti standar. Begitu pula bagi industri dalam negeri dapat memanfaatkan SNI untuk memproduksi produk-produk berskala nano yang mampu bersaing secara internasional. (Hans, E.S., 2009) Nanosains adalah ilmu yang mempelajari tentang sifat-sifat bahan/ objek dan fenomena alam yang terjadi dalam ukuran di bawah 100 nanometer. Keuntungan riset di bidang nanomaterial adalah sebagai berikut 1. Mendesain material sesuai keinginan dan kebutuhan 2. Tidak terjadi pemborosan material yang tidak perlu 3. Efisien dan optimal dalam pemanfaatan material 4. Sifat-sifat dan performance material dapat ditingkatkan semaksimal mungkin
15.4. Masalah pertanian di Indonesia Akhir- akhir ini banyak kita lihat sawah- sawah yang kering dan hanya dibiarkan begitu saja. hal itu sudah sangat menunjukkan kualitas pertanian di negara ini semakin menurun. jika hal tersebut dibiarkan tidak menutup kemungkinan pertanian diIndonesia ini akan semakin mengalami kemunduran. melihat kualitas pertanian di Indonesia yang seperti ini, memang sangat dibutuhkan teknologi yang dapat membantu dan mempermudah pertanian. Teknologi itu nantinya diharapkan mampu menjadikan pertanian di Negara ini kembali pada kualitas yang baik dan dapat mengembangkan sumber daya manusia. Pertanian di Indonesia sedang berada di persimpangan jalan. Sebagai penunjang kehidupan berjuta-juta masyarakat Indonesia, sektor pertanian memerlukan pertumbuhan ekonomi yang kukuh dan pesat. (Herlan, B.2011) Sektor ini juga perlu menjadi salah satu komponen utama dalam program dan strategi pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Di masa lampau, pertanian Indonesia telah mencapai hasil yang baik dan memberikan kontribusi penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk menciptakan lapangan pekerjaan dan pengurangan kemiskinan secara drastis. Hal ini dicapai dengan memusatkan perhatian pada bahan-bahan pokok seperti beras, jagung, gula, dan kacang kedelai. Akan tetapi, dengan adanya penurunan tajam dalam hasil produktifitas panen dari hampir seluruh jenis bahan pokok, ditambah mayoritas petani yang bekerja di sawah kurang dari setengah hektar, aktifitas pertanian kehilangan potensi untuk menciptakan tambahan lapangan pekerjaan dan peningkatan penghasilan. Walapun telah ada pergeseran menuju bentuk pertanian dengan nilai tambah yang tinggi, pengaruh diversifikasi tetap terbatas hanya pada daerah dan komoditas tertentu di dalam setiap sub-sektor. Pengalaman negara tetangga menekankan pentingnya dukungan dalam proses pergeseran tersebut. Sebagai contoh, di pertengahan tahun 1980-an sewaktu Indonesia mencapai swasembada beras, 41% dari semua lahan pertanian ditanami padi, sementara saat ini hanya 38%; suatu perubahan yang tidak terlalu besar dalam periode 15 tahun. (Fenin, A. 2008) 210
Badan Litbang pertanian telah melakukan beberapa penelitian dan dapat disimpulkan bahwa teknologi nano sangat dipercaya untuk mendapatkan hasil pertanian yang memuaskan. Teknologi Nano awalnya hanya digunakan pada kosmetika, tetapi karena penelitian yang dilakukan oleh badan Litbang pertanian, teknologi ini juga dapat digunakan dalam bidang pertanian. Teknologi Nano dapat mengembangkan unsur hara dalam tanah yang berukuran nano dan dapat juga digunakan untuk pengendalian hama dan penykit tanaman. Teknologi yang bekerja pada dimensi 10 pangkat minus 9 ini dapat mengembangkan pertanian masa depan. Dan kenyataannya memang pada zaman sekarang ini diperlukan adanya teknologi yang mampu mengembangkan mutu pertanian di Indonesia agar mendapatkan hasil pertanian yang baik dan memuaskan. karena sumber kehidupan manusia juga bergantung pada kualitas pertanian. (Fenin, A. 2008)
Gambar 15.4 Masalah-masalah pertanian (Herlan, B.2011)
15.4.1.Pupuk Fungsi pupuk adalah sebagai salah satu sumber zat hara buatan yang diperlukan untuk mengatasi kekurangan nutrisi terutama unsur-unsur nitrogen , fosfor, dan kalium. Sedangkan unsur sulfur, kalsium, magnesium, besi, tembaga, seng, dan boron merupakan unsure-unsur yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit (mikronutrien). Berdasarkan asal atau kejadiannya, pupuk dapat digolongkan sebagai berikut :
211
Diagram 15.1 Klasifikasi pupuk (Sediyarso, M ,(1998) a.
Pupuk Organik Pupuk organik adalah semua sisa bahan tanaman, pupuk hijau, dan kotoran hewan yang mempunyai kandungan unsure hara rendah. Pupuk organic tersedia setelah zat tersebut mengalami proses pembusukan oleh mikro organisme. Selain pupuk anorganik, pupuk organic juga harus dberikan pada tanaman. Macam-macam pupuk organic adalah sebagi berikut: (Rochman, N.2007) 1. Kompos Pupuk kompos adalah pupuk yang dibuat dengan cara membusukkan sisa-sisa tanaman. Pupuk jenis ini berfungsi sebagai pemberi unsure-unsur hara yang berguna untuk perbaikan struktur tanah. 2. Pupuk Hijau Pupuk hijau adalah bagian tumbuhan hijau yang mati dan tertimbun dalam tanah. Pupuk organic jenis ini mempunyai perimbangan C/N rendah, sehingga dapat terurai dan cepat tersedia bagi tanaman. Pupuk hijau sebagai sumber nitrogen cukup baik di daerah tropis, yaitu sebagai pupuk organic sebagi penambah unsure mikro dan perbaikan struktur tanah. 3. Pupuk kandang Pupuk kandang adalah pupuk yang berasal dari kotoran hewan. Kandungan hara dalam puouk kandang rata-rata sekitar 55% N, 25% P 2 O 5 , dan 5% K2 O (tergantung dari jenis hewan dan bahan makanannya). Makin lama pupuk kandang mengalamai proses pembusukan, makin rendah perimbangan C/N-nya. (Rochman, N.2007) b. Pupuk Anorganik Pupuk anorganik atau pupuk buatan (dari senyawa anorganik) adlah puuk yang sengaja dibuat oleh manusia dalam pabrik dan mengandung unsure hara tertentu dalam 212
kadar tinggi. Pupuk anorganik digunakan untuk mengatasi kekurangan mineral murni dari alam yang diperlukan tumbuhan untuk hidup secara wajar. Puuk anorganik dapat menghasilkan bulir hijau dan yang dibutuhkan dalam proses fotosintesis. (Mohlis, J., 2006). Berdasarkan kandungan unsure-unsurnya, pupuk anorganik digolongkan sebagai berikut : 1. Pupuk Tunggal Pupuk tunggal yaitu pupuk yang mengandung hanya satu jenis unsure hara sebagai penambah kesuburan. Contoh pupuk tunggal yaitu pupuk N, P, dan K. a. Pupuk Nitrogen Fungsi nitrogen (N) bagi tumbuhan adalah: - Mempercepat pertumbuhan tanaman, menambah tinggi tanaman, dan merangsang pertunasan. - Memperbaiki kualitas, terutama kandungan proteinnya. - Menyediakan bahan makanan bagi mikroba (jasad renik) Nitrogen diserap dalam tanah berbentuk ion nitrat atau ammonium. Kemudian, didalam tumbuhan bereaksi dengan karbon membentuk asam amino, selanjutnya berubah menjadi protein. Nitrogen termasuk unsure yang paling banyak dibutuhkan oleh tanaman karena 16-18% protein terdiri dari nitrogen. Pupuk yang paling banyak mengandung unsure nitrogen adalah pupuk urea. (Mohlis, J., 2006) Macam-macam pupuk nitrogen seperti pupuk urea(CO(NH 2 ) 2 ) yang mengandung 47% nitrogen (paling tinggi dibandingkan dengan pupuk nitrogen jeni lain). Urea sangat mudah larut dalam air dan juga mudah diubah menjadi ion nitrat (NO 3 -) yang mudah diserap oleh tumbuh-tumbuhan. Cara pembuatan urea : CO(NH2 ) 2(s) +H2O (l) 2NH3(g) +CO 2(g) Pupuk ZA (Zwavel Ammonium) atau ammonium sulfat ((NH4 ) 2 SO 4 ) yang mengandung 21% nitrogen. Pupuk ammonium klorida (salmiak) atau NH 4 Cl, mengandung 20% nitrogen. Pupuk ASN (ammonium Sulfat Nitrat) atau [(NH4 ) 3 (SO 4 )(NO 3 )], mengandung 23-26% nitrogen. Pupuk natrium nitrat atau sodium nitrat (NaNO 3 ), mengandung 15% nitrogen. (Rochman, N.2007) b. Pupuk Fosforus Fosforus (P) bagi tanaman berperan dalam proses: - Respirasi dan fotosintesis - Penyusunan asam nukleat - Pembentukan bibit tanaman dan penghasil buah. - Perangsang perkembangan akar, sehingga tanaman akan lebih tahan terhadap kekeringan, - Mempercepat masa panen sehingga dapat mengurangi resiko keterlambatan waktu panen. (Sediyarso, M ,1998) Unsur fosfor diperlukan diperlukan dalam jumlah lebih sedikit daripada unsure nitrogen. Fosfor diserap oleh tanaman dalam bentuk apatit kalsium fosfat, FePO 4 , dan AlPO 4 . Macam-macam pupuk fosfor sebagai berikut : Pupuk superfosfat (Ca(H 2 PO 4 ) 2 ) yang sangat mudah larut dalam air sehingga mudah diserap oleh akar tanaman. Contoh: Engkel superfosfat (ES) yang mengandung sekitar 15% P 2 O 5 , Double superfosfat (DS) yang mengandung sekitar 213
30% P 2 O 5 , dan Tripel Superfosfat (TSP) yang mengandung sekitar 45%P 2 O 5. Pupuk FMP (Fused Magnesium Phosphate) atau Mg 3 (PO 4 ) 2 yang baik digunakan pada tanah yang banyak mengandung besi dan aluminium. Pupuk aluminium fosfat (AlPO 4 ) Pupuk besi (III) fosfat (FePO 4 ) (Sediyarso, M ,1998) c. Pupuk Kalium Fungsi kalium bagi tanaman adalah - Mempengaruhi susunan dan mengedarkan karbohidrat di dalam tanaman. - Mempercepat metabolisme unsure nitrogen, - Mencegah bunga dan buah agar tidak mudah gugur. Macam-macam pupuk kalium sebagai berikut: - Pupuk kalium klorida atau potassium klorida (KCl). Ada 2 macam pupuk KCl yang beredar di pasaran, yaitu KCl 80 (mengandung 50% K 2 O) dan KCl 90 (mengandung 53% K2 O). - Pupuk ZK (Zwavel Kalium) atau kalium sulfat (K2 SO 4 ) yang baik digunakan pada tanaman yang tidak tahan te rhadap konsentrasi ion klorida tinggi. Ada 2 macam pupuk ZK yang beredar di pasaran, yaitu ZK 90 (mengandung 50% K2 O) dan ZK 96 (mengandung 53% K2 O). (Rochman, N.2007)
2.
Pupuk Majemuk Pupuk majemuk yaitu pupuk yang mengandung lebih dari satu unsure hara yang digunakan untuk menambah kesuburan tanah. Contoh pupuk majemuk yaitu NP, NK, dan NPK. Pupuk majemuk yang paling banyak digunakan adalah pupuk NPK yang mengandung senyawa ammonium nitrat (NH4 NO 3 ), ammonium dihidrogen fosfat (NH4 H2 PO 4 ), dan kalium klorida (KCL). Kadar unsure hara N, P, dan K dalam pupuk majemuk dinyatakan dengan komposisi angka tertentu. Misalnya pupuk NPK 10-20-15 berarti bahwa dalam pupuk itu terdapat 10% nitrogen, 20% fosfor (sebagai P 2 O5 )dan 15% kalium (sebagai K 2 O). (Mohlis, J., 2006) Penggunaan pupuk majemuk harus disesuaikan dengan kebutuhan dari jenis tanaman yang akan dipupuk karena setiap jenis tanaman memerlukan perbandingan N, P, dan K tertentu. Di Indonesia beredar beberapa jenis pupuk majemuk dengan komposisi N, P, dan K yang beragam. Nilai suatu pupuk ditentukan oleh hal-hal berikut : a. Kadar unsur, makin tinggi kadar unsur, akin tinggi nilai pupuk. b. Higroskopisitas, pupuk buatan mulai menarik air pada kelembaban 51-99%. Pupuk yang mudah menarik air, misalnya urea mengalami masalah pada penympanan, sifat higroskopis secara langsung tidak mempengaruhi nilai pupuk sebagai penambah kesuburan tanah. c. Kelarutan, mempengaruhi mudah tidaknya unsure-unsur yang terkandung diambil oleh tanaman. d. Cara kerja, bekerjanya pupuk adalah waktu yang diperlukan hingga pupuk tersebut dapat dihisap oleh tanaman dan memperlihatkan pengaruhnya. Bekerjanya pupuk sangat mempengaruhi waktu dan cara penggunaan pupuk. 214
e. Keasaman, beberapa jenis pupuk dapat dipakai untuk meningkatkan, mempetahankan, atau mengurai keasaman tanah. (Rochman, N.2007) Pengaruh negatif penggunaan pupuk a. Pengaruh negatif pupuk urea - Tanah akan bersifat agak asam - Penggunaan urea berlebihan dalam kurun waktu yang berdekatan akan mengurangi proses tumbuhnya kecambah dari suatu bibit dan mengurangi daya serap akar. (Sediyarso, M ,1998) b. Pengaruh negatif pupuk superfosfat - Jika kelebihan superfosfat, tanah akan kelebihan asam. Hal ini dikarenakan superfosfat dapat meningkatkan konsentrasi hydrogen dalam tanah. - Dapat bersifat racun bagi tanaman jika diberikan pada tanaman yang tumbuh pada tanah yang mengandung banyak unsure aluminium. Hal ini dikarenakan superfosfat dapat mempercepat pembentukan racun aluminium, atau toxic aluminium. c. Pengaruh negatif pupuk ammonium sulfat - Dapat bersifat racun bagi tanah jika diberikan pada tanah tanpa disertai kapur. Tanpa adanya batuan kapur, ammonium sulfat akan bebas bereaksi dengan besi, aluminium, dan mangan membentuk racun besi, aluminium, dan mangan. - Kelebihan pupuk ammonium sulfat mengakibatkan tanah besifat asam. Dengan demikian, pupuk ini harus diberikan pada tanah yang bersifat basa.
15.5. Nanoteknologi menawarkan solusi masalah pertanian di Indonesia Nanoteknologi merupakan bidang yang sangat multidisiplin, mulai dari fisika terapan, ilmu material, sains koloid dan antarmuka, fisika alat, kimia supramolekul, mesin pengganda-diri dan robotika, teknik kimia, teknik mesin, rekayasa biologi, teknologi pangan dan tekno elektro. Nanoteknologi dideskripsikan sebagai ilmu mengenai sistem serta peralatan berproporsi nanometer. Satu nanometer sama dengan seperjuta milimeter. Karena ukurannya yang teramat kecil, tren dalam nanoteknologi condong ke pengembangan sistem dari bawah ke atas (bukan atas ke bawah). Maksudnya para ilmuwan dan teknisi tidak menggunakan materi berukuran besar lalu memotongnya kecil-kecil, tapi menggunakan atom serta molekul sebagai materi blok pembuatan yang fundamental. Nanoteknologi ini, sudah di aplikasikan dalam bidang teknologi pertanian misalnya dalam Nano-modifikasi benih dan pupuk / pestisida, teknik pengemasan makanan, energy ramah lingkungan dan teknik jaringan, Nanoteknologi dapat membantu untuk mereproduksi atau untuk memperbaiki kerusakan jaringan “Tissue engineering” yang menggunakan proliferasi sel secara artifisial distimulasi dengan menggunakan nanomaterial berbasis perancah yang sesuai dan faktor pertumbuhan. Teknik jaringan akan menggantikan pengobatan konvensional saat ini seperti transplantasi organ atau implan buatan. (Joseph, T dan M. Morrison. 2006). Dengan adanya nano teknologi dalam pertanian akan dapat meningkatkan produktivitas pertanian, kualitas produk, penerimaan konsumen dan efisiensi penggunaan 215
sumber daya. Akibatnya, ini akan membantu mengurangi biaya pertanian, meningkatkan nilai produksi dan meningkatkan pendapatan pertanian. Ini juga akan menyebabkan konservasi dan meningkatkan kualitas sumber daya alam dalam sistem produksi pertanian. Selain itu nano teknologi juga diaplikasikan di berbagai bidang seperti kimia dan lingkungan, kedokteran (nanoteknologi biomedis, nanobiotechnology, dan nanomedicine, Informasi dan komunikasi (nanoRam), konstruksi, tekstil, optic dll. Kecanggihan teknologi ini bukan berarti meniadakan dampak negatif. Salah satu hal yang ditakuti para ilmuan adalah kemampuan self replicant, sebagai contoh dibuat produk untuk membasmi virus pada tubuh manusia contohnya kanker namun bila antivirus ini tidak terkontrol untuk sifat self replicant maka dapat membahayakan tubuh manusia yang memakainya. Serta hal negative lain yang mungkin terjadi, contohnya pembuatan bom yang dirancang sedemikian rupa dengan ukuran superkecil dengan kemampuan daya ledak yang besar. Diperlukan kesetimbangan intelektual dan moral dalam mengaplikasikan teknologi ini. (Joseph, T dan M. Morrison. 2006).
15.5.1.Nanoteknologi Mulai Menyentuh Bidang Pertanian Mengagumkan, bahwa perkembangan nanoteknologi mulai berkembang pesat dan menyentuh seluruh ranah perkembangan teknologi. Tidak hanya dalam bidang nanoteknologi biomedis, nanobioteknologi, nanomedicine, nanochemist, nano materials bahkan saat ini nanoteknologi mulai dikembangkan dalam bidang pertanian. Seperti yang kita ketahui, akhir-akhir ini terjadi gejolak global mengenai ketimpangan ketahanan pangan yang semakin meningkat kosentrasinya baik itu di Indonesia maupau di luar negeri. (Ikatan Nano Indonesia. 2009) Nampaknya permasalahan mengenai ketahanan pangan yang diakibatkan oleh perubahan iklim semakin riskan dan mengkhawatirkan. Dari segala aspek pertanian mencoba melakukan rekayasa untuk mengadaptasikan tanaman terhadap iklim ekstrim, mulai dari upaya pertanian pertanian green house sampai pertanian bawah tanah (tanpa sinar matahari) ternyata tidak terlalu ampuh untuk mengadaptasikan fisiologi tanaman terhadap iklim lingkungan yang tak menentu. Hingga pada akhirnya muncul kolaborasi antara nanobioteknologi dengan nano material yang mempelajari struktur tanaman hingga partikel terkecil penyusun sel tumbuhan. Akhir- akhir ini banyak kita lihat sawah- sawah yang kering dan hanya dibiarkan begitu saja. hal itu sudah sangat menunjukkan kualitas pertanian di negara ini semakin menurun. jika hal tersebut dibiarkan tidak menutup kemungkinan pertanian diIndonesia ini akan semakin mengalami kemunduran. melihat kualitas pertanian di Indonesia yang seperti ini, memang sangat dibutuhkan teknologi yang dapat membantu dan mempermudah pertanian. Teknologi itu nantinya diharapkan mampu menjadikan pertanian di Negara ini kembali pada kualitas yang baik dan dapat mengembangkan sumber daya manusia. (Joseph, T dan M. Morrison. 2006). Teknologi nano saat ini tengah gencar didiskusikan dan dikembangkan. Badan Litbang pertanian juga telah melakukan beberapa penelitian dan sanggup menyekolahkan para peneliti yang berminat mendalami teknologi nano . Dari beberapa hal yang telah dilakukan oleh badan Litbang ini, kita dapat menyimpulkan bahwa teknologi nano sangat dipercaya untuk mendapatkan hasil pertanian yang memuaskan. Teknologi Nano awalnya hanya digunakan pada kosmetika, tetapi karena penelitian yang dilakukan oleh 216
badan Litbang pertanian, teknologi ini juga dapat digunakan dalam bidang pertanian. Teknologi Nano dapat mengembangkan unsur hara dalam tanah yang berukuran nano dan dapat juga digunakan untuk pengendalian hama dan penykit tanaman. Teknologi yang bekerja pada dimensi 10 pangkat minus 9 ini dapat mengembangkan pertanian masa depan. Dan kenyataannya memang pada zaman sekarang ini diperlukan adanya teknologi yang mampu mengembangkan mutu pertanian di Indonesia agar mendapatkan hasil pertanian yang baik dan memuaskan. karena sumber kehidupan manusia juga bergantung pada kualitas pertanian. Sebaiknya pemerintah lebih memperhatikan pertanian di Negara ini yang semakin memprihatinkan, karena saat ini sudah jelas terlihat pemerintah sangat acuh terhadap pertanian di Indonesia. (Ikatan Nano Indonesia. 2009) Teknologi yang berkembangpun harus mendapat dukungan dari pemerintah agar teknologi bisa dimanfaatkan secara optimal. karena pertanian sangat bergantung pada perkembangan teknologi, jadi pemerintah wajib memperhatikan perkembangan teknologi juga agar kualitas pertanian di negara ini bias lebih baik dan mendapatkan hasil yang memuaskan. Kolaborasi dari nanobioteknologi dan nano material mengkaji tentang susunan genetika tanaman serta rekayasa jaringan untuk menghasilkan varietas tanaman yang kebal terhadap perubahan iklim. Dari informasi genetik yang diperoleh, nanobioteknologi mengupayakan untuk menginsersi DNA unggul (DNA yang mempunyai sifat tahan terhadap perubahan klim) untuk ditanamkan (transplantasi) pada modus DNA sel tanaman yang akan dijadikan induk. Dalam kajian yang lebih luas, ternyata nanoteknologi dalam pertanian juga menangani ranah perunutan penyakit tanaman dan intensifikasi pemupukan. Perunutan penyakit tanaman dilakukan dengan teknik penyisipan partikel berukuran nano (sebagai pelacak) ke dalam tubuh tanaman dan dibiarkan menyebar ke seluruh jaringan untuk mendeteksi lokasi sumber penyakit berada. Setelah sumber penyakit ditemukan, maka pengobatan akan lebih efektif dan efisien. (Ikatan Nano Indonesia. (2009)
15.5.2. Pupuk Nano Menawarkan Efisiensi dan Penghematan Teknologi nano bisa membawa manfaat besar dan mendalam pada sistem pemupukan dan perlindungan tanaman dengan kepraktisan, ketepatan, efisiensi dan penghematan, makalah diskusi IFPRI mengungkapkan berdasarkan berbagai hasil penelitian di mancanegara. Diutarakan, efisiensi penggunaan nitrogen pada sistem konvensional fertilizer saat ini rendah, kehilangan mencapai sekitar 50-70%. Pupuk nano memiliki peluang untuk mengurangi secara sangat berarti dampak terhadap energi, ekonomi dan lingkungan dengan cara mengurangi kehilangan nitrogen oleh perembesan, emisi dan pergabungan jangka panjang dengan mikroorganisme tanah. Kelemahan ini bisa diatasi dengan sistem pelepasan pupuk menggunakan teknologi nano. Sistem pelepasan hara pada teknologi nano memanfaatkan bagian-bagian tanaman berskala nano yang porous yang bisa mengurangi kehilangan nitrogen. Pupuk yang dienkapsulasi dalam partikel nano akan meningkatkan penyerapan hara. Pada generasi lanjut pupuk nano, pelepasan pupuk bisa dipicu dengan kondisi lingkungan atau dengan pelepasan pada waktunya. Pelepasan pupuk dengan lambat dan terkendali berpotensi menambah efisiensi penyerapan hara. Pupuk nano yang menggunakan bahan alami untuk pelapisan dan perekatan granula pupuk yang bisa larut memberi keuntungan karena biaya pembuatannya lebih 217
rendah dibanding pupuk yang bergantung pada bahan pelapis hasil manufaktur. Pupuk yang dilepas dengan lambat dan terkendali bisa pula memperbaiki tanah dengan cara mengurangi efek racun yang terkait dengan aplikasi pupuk secara berlebihan. Pada teknologi nano yang sedang dikembangkan sekarang, zeolit telah dipergunakan sebagai pemeran mekanisme pelepasan pupuk. (Joseph, T dan M. Morrison. 2006). Perkembangan teknologi nano dewasa ini sudah sangat maju, termasuk dalam bidang pemupukan tanaman. Dengan teknologi nano dihasilkan pupuk-pupuk berukuran nano (nano fertilizer) baik dalam bentuk tepung (nano powder) maupun cair. Penggunaan pupuk nano yang berukuran super kecil (1 nm = 10-9 m) memiliki keunggulan lebih reaktif, langsung mencapai sararan atau target karena ukurannya yang halus, serta hanya dibutuhkan dalam jumlah kecil. Sehingga hasil pertanian optimal dapat dicapai dengan hanya mengaplikasikan sejumlah kecil pupuk nano. Dengan demikian, penggunan pupuk akan sangat efisien, efektif dan dapat menurunkan biaya produksi. Dengan keunggulankeunggulan tersebut maka pupuk nano diharapkan dapat menjadi terobosan teknologi peningkatan produksi pertanian. Pada dasarnya, prinsip penemuan teknologi nano ini adalah untuk memaksimalkan output (produktivitas tanaman) dengan meminimumkan input pupuk, pestisida, insektisida, dll) melalui monitoring kondisi tanah seperti perakaran tanah (rizosfir) dan mengaplikasikannya langsung ke target. Sehingga teknologi ini mampu mengefisienkan penggunaan pupuk, menurunkan penggunaan pestisida dan menghasilkan produk-produk industri bio-nano. Salah satu contoh bahan alami yang dapat digunakan untuk teknologi nano ini salah satunya adalah zeolit yang dapat ditumpangi unsur hara seperti Ca, N, P dan K didalam struktur molekulnya sehingga dengan cara ini diharapkan unsur hara yang dibutuhkan tanaman akan dilepas sesuai kebutuhan tanaman (slow/controlled release fertilizer). Selain itu melapisi pupuk (fertilizer encapsules) dengan bahan-bahan alami dalam skala nano juga merupakan salah satu alternatife “slow release” pupuk. (Joseph, T dan M. Morrison. 2006). Disamping penggunaan bahan-bahan alami, penggunaan bahan sintetis yang dikombinasikan dengan bahan alami untuk melapis (coating) pupuk juga merupakan suatu alternatif dalam teknologi nano. Bahan-bahan alami lainnya seperti rock phosphate (batuan fosfat) dan bahan organic kemungkinan juga dapat dijadikan sebagai bahan pupuk nano. Batuan fosfat alam ini merupakan salah satu sumber pupuk P yang masih terbatas penggunaanya. Walaupun Indonesia memiliki deposit rock phosphate tetapi kebutuhan pupuk P masih bergantung pada impor bahan P sehingga harga pupuk P menjadi sangat mahal bagi petani. Kauwenbergh (2001) menyatakan batuan fosfat alam secara global terdiri dari deposit fosfat alam sedimen (80-90%) dan igneous fosfat (1020%). Batuan fosfat alam memilki keragaman yang tinggi baik dalam komposisi kimia maupun bentuk fisiknya. Aplikasi langsung rock phosphate sebagai pupuk P masih sangat terbatas dan menjadi kendala. Dengan teknologi nano, yang menjadikan batuan ini sebagai bahan pupuk berukuran nano apakah dalam bentuk tepung atau cair sehingga kandungan hara P dan hara lainnya dapat dengan mudah dimanfaatkan tanaman. Aplikasi bahan organik seperti pupuk kandang, jerami, sisa pangkasan dan pupuk organik dalam sistem produksi pertanian sangat dianjurkan. Namun demikian, rendahnya tingkat dekomposisi bahan organik menyebabkan petani enggan menggunakannya dalam sistem pertanian. Apalagi dengan target produksi yang tinggi sehingga tidak cukup waktu untuk penguraian bahanbahan organik alami tersebut. Sudah umum diketahui, bahan organik sangat bermanfaat 218
bagi tanaman dan tanah dalam penyediaan unsur hara, perbaikan sifat fisik tanah, peningkatan aktivitas biologi tanah serta mengandung bahanbahan kimia alami seperti enzim, asam-asam organik (Setyorini et al, 2006) dan lainnya yang tidak dapat diperoleh dari bahan pupuk sintetis. (Joseph, T dan M. Morrison. 2006) Dengan teknologi nano memungkinkan pemanfaatan bahan organik ini lebih efisien dan tepat sasaran. Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa teknologi nano ini akan sangat bermanfaat dalam membantu mempercepat pertumbuhan produksi pangan di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya. Dengan penggunaan sejumlah kecil atau beberapa tetes pupuk nano bila berbentuk cairan dilaporkan dapat meningkatkan produksi pangan dibandingkan dengan teknologi pertanian saat ini. Dalam beberapa tulisan ilmiah popular di bidang pertanian, teknologi nano adalah sebuah revolusi kedua di bidang pertanian setelah revolusi hijau (GR technology) yang mempelopori peningkatan produktifitas bahan pangan 4 terutama padi dengan pemupukan, perbaikan sistim pengairan, pengembangan varitasvaritas produksi tinggi serta penggunaan pestisida/insektisida untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman. Pembuatan pupuk nano ada dua jenis yaitu pupuk cair dan pupuk powder. Pembuatan pupuk cair dengan metode kimia (bottom up) sedangkan pupuk powder dengan metode fisika (top down). (Abdullah, M.2004)
Gambar 15.5 Metode pembuatann nano (Abdullah, M.2004)
15.5.3
Pupuk nano cair
15.5.3.1 Pupuk Bio Active Bravo Nature Pupuk yang menggunakan teknologi nano yang bermanfaat untuk meningkatkan penyerapan hara, perlindungan tanaman, serta meningkatkan hasil produktifitas tanaman dengan efisiensi dan penghematan sumberdaya lahan. Mengandung komposisi unsur hara makro mikro, serta zat pengatur tumbuh yang diformulasi dan diproduksi sesuai 219
untuk kebutuhan semua jenis tanaman. Kita ketahui bahwa efisiensi penggunaan nitrogen pada sistem konvensional fertilizer saat ini rendah, kehilangan mencapai sekitar 50-70%. Pupuk nanoteknologi memiliki peluang sangat besar terhadap dampak energi, ekonomi dan lingkungan dengan cara mengurangi kehilangan nitrogen oleh perembesan, emisi dan pengabungan jangka panjang dengan mikroorganisme tanah. Kelemahan ini bisa diatasi dengan sistem pelepasan pupuk menggunakan nanoteknologi. Pupuk organik cair Nanoteknologi Bravo nature bekerja dengan sistem pelepasan hara, memanfaatkan bagian - bagian tanaman dan enkapsulasi dalam partikel nano. Pelepasan pupuk dengan lambat dan terkendali berpotensi menambah efisiensi penyerapan hara.
Gambar 15.6 Pupuk nano cair (Joseph, T dan M. Morrison. (2006) Manfaat dan Keunggulan: a. Menghemat biaya produksi serta meningkatkan produktifitas. b. Merangsang pertumbuhan akar, batang, daun, bunga dan buah. c. Mengandung unsur hara makro, mikro dan protein tinggi sebagai hasil senyawa d. Organik bahan alami nabati dan hewani yang mengandung sel sel hidup aktif. e. Meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan hama penyakit sekaligus menekan populasi hama dan penyakit tanaman. f. Mencegah kelayuan dan kerontokan daun dan buah. g. Mempercepat panen h. Aman digunakan karena sangat bersahabat dengan lingkungan dan tidak membunuh musuh alami i. Dapat digunakan bersaman dengan cairan jenis lain(insektisida) j. Dapat diaplikasikan pada semua jenis tanaman.
15.5.3.2
Pupuk nano powder
a.
Pemilihan bahan dasar pupuk nano Pemilihan bahan dasar yang mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi bahan pupuk berteknologi nano berdasarkan hasil eksplorasi dan inventarisasi berbagai bahan ameliorant pertanian yang mudah tersedia, melimpah dan dapat dipergunakan secara luas. Salah satu bahan batuan alami yang diteliti adalah batuan fosfat alam (Palam). Bahan P-alam yang dipilih adalah yang memiliki kandungan P tertinggi. Tahap 220
selanjutnya adalah menghaluskan bahan fosfat alam hingga mencapai berbagai ukuran yang halus mulai beberapa micron (10-hingga nano (10-9) bahan kedua adalah bahan organik. Bahan organik yang dipergunakan adalah pukan ayam, pukan sapi dan Tithonia yang sudah matang. Bahan organik tersebut dieksrak dengan pengenceran 1:5, 1:10 dan 1:25 dengan air bebas mineral. Ketiga sumber bahan organik tersebut di uji kandungan hara makro, mikro, kandungan senyawa alami, enzim, ZPT dan lainnya. Sebelum di perlakukan untuk pupuk nano, bahan organik dasar dekomposisi dahulu hingga menjadi kompos atau telah mendekati akhir proses dekomposisi. Perlakuan ini dimaksudkan agar seluruh komponen kompos seperti enzim, ZPT dan asam-asam organik terbentuk. b. Pemilihan metoda pembuatan pupuk berteknologi nano. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari desk work berupa training tentang metoda dan prosedur pembuatan nano maka dilakukan inventarisasi metoda yang memungkinkan untuk diterapkan (aplicable) Selanjutnya dalam tahapan ini bahan dasar pupuk (batuan fosfat alam dan bahan organik) akan dijadikan bahan berukuran nano dengan beberapa metoda seperti ekstraksi ataupun secara fisik dihaluskan sampai mencapai ukuran mikron hingga nano. Berdasarkan hasil konsultasi dengan beberapa peneliti LIPI yang telah memulai penelitian nano teknologi diketahui bahwa bentuk fisik dari bahan pupuk yang beragam juga akan membutuhkan metoda yang berbeda untuk merubahnya kedalam bentuk material berukuran nano. Beberapa metoda diantaranya adalah secara fisik menghaluskan sampaian nano (nano powder), ataupun diekstraksi dengan senyawa kimia tertentu misalnya: monocase vinyl alcohol, sodium fatty alcohol ether sulfate (AES) (yang umumnya digunakan untuk bahan alami) serta ethyl acetate solution, sodium benzene sulfonate (SBS) untuk bahan 'Sintetis. Dalam kegiatan ini telah dipilih metoda penghalusan (top down). c.
Formulasi pupuk nano. Formulasi pupuk dilakukan dengan membuat beberapa variasi pupuk nano dari bahan batuan alami, bahan organik maupun campuran keduanya. Formula disusun berdasarkan komposisi dan fungsi. Komposisi dari hasil analisis sedangkan fungsi didasarkan pada kelompok fungsional terhadap metabolisms tanaman. d. Pemilihan formula pupuk nano terbaik. Tahapan ini dilaksanakan setelah tahapan 4 selesai, kemudian dipilih formula pupuk terbaik dari beberapa formulasi pupuk yang telah dibuat. Formula pupuk yang dipilih adalah berdasarkan hasil deteksi ukuran, kandungan hara, dan bentuk fisik pupuk yang mudah diaplikasikan. Setelah diperoleh beberapa formula pupuk nano yang mantap dan terbaik Bahan yang dipergunakan dalam pelaksanaan kegiatan penelitian ini diantaranya adalah ATK, penunjang komputer, bahan kimia (misal HCI, asam sulfat, asam nitrat, NaOH, asam Askorbin), berbagai jenis P-alam, zeolit dan bahan organik. Sedangkan peralatan yang dipergunakan meliputi peralatan laboratorium untuk analisa kimia, peralatan analisa enzim, ZPT, asam-asam organik, serta peralatan untuk membuat pupuk nano dan peralatan untuk karakterisasi sifat material berukuran micron hingga nano
221
Gambar 15.7 Pembuatan pupuk nano powder (Herlan, B.2011) e.
Bahan organik (pukan ayam, pukan sapi dan Tithonia) Bahan komponen pupuk organik yang digunakan untuk mencampur pupuk fosfat berukuran nano adalah pukan ayam, pukan sapi dan Tithonia. Kandungan hara dan sifat kimia bahan-bahan tersebut. Pukan ayam dan pukan sapi karena mengandung unsur hara makro dan mikro cukup tinggi. Pukan ayam mengandung N, P dan K jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pukan sapi. Demikian Kandungan unsur mikro seperti Fe, Mn, Cu dan Zn yang terdapat dalam pukan ayam tinggi dibandingkan dengan pukan sapi. Tithonia terlhat memiliki kandungan unsu hara K yang paling tinggi dibandingkan dengan kedua pukan yang dianalisis. 3 bahan-bahan organik tersebut dikomposkan sampai matang sebelum digunakan pembuatan pupuk nano. Untuk dicampurkan kedalam bahan pupuk fosfat berukuran nano maka bahan-bahan organik tersebut di ekstrak di dalam air bebas mineral dengan perbandingan bahan organik: air OM adalah 1 :5, 1:10 dan 1 :25 Pupuk fosfat a lam dibuat dalam bentuk granul/butiran agak besar berukuran ±10 nanometer untuk meningkatkan sifat slow release dari pupuk. (Mohlis, J., 2006) f. Fosfat Penggunaan pupuk fosfat alam untuk pertanian sampai saat ini masih sangat diperlukan oleh petani. Pupuk fosfat alam mengandung fosfor (P) yang merupakan salah satu dari tiga unsur makro atau esensial selain Nitrogen dan Kalium, yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Unsur tersebut tersedia di alam berupa batuan fosfat, yang biasanya digunakan dalam pertanian sebagai pupuk buatan. Unsur P diperlukan dalam pertumbuhan tanaman, kekurangan unsur hara makro ini mengakibatkan mengurangi kemampuan tanaman untuk mengabsorbsi unsur hara lainnya. Menurut Buckman & Brandy (1982) unsur P dalam tanaman antara lain digunakan untuk pembelahan sel, pembentukan lemak, pembungaan, pembuahan, perkembangan akar, memperkuat batang, kekebalan terhadap penyakit dan lain sebagainya. Dengan banyaknya manfaat dari unsur P ini, maka pupuk fosfat alam merupakan produk yang banyak digunakan oleh petani. Mengingat pentingnya kandungan fosfor (P) dalam pupuk yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman, diharapkan masyarakat mengetahui keunggulan dari pupuk fosfat alam dan cara pembuatannya. (Herlan, B.2011) 222
Manfaat Pupuk Fosfat bagi Tanaman Peran pupuk fosfat bagi tanaman adalah sebagai respirasi dan fotosintesis, penyusunan asam nukleat, pembentukan bibit tanaman dan penghasil buah, perangsang perkembangan akar sehingga tanaman akan lebih tahan terhadap kekeringan danmempercepat masa panen sehingga dapat mengurangi resiko keterlambatan waktu panen. Pupuk fosfat juga memacu pertumbuhan akar dan pembentukan sistem perakaran yang baik sehingga tanaman dapat mengambil unsur hara lebih banyak dan pertumbuhan tanaman menjadi sehat serta kuat. Menggiatkan pertumbuhan jaringan tanaman yang membentuk titik tumbuh tanaman. Memacu pembentukan bunga dan masaknya buah/biji, sehingga mempercepat masa panen. Memperbesar persentase terbentuknya bunga menjadi buah dan biji. Menambah daya tahan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit. Unsur fosfor diperlukan diperlukan dalam jumlah lebih sedikit daripada unsur nitrogen. Fosfor diserap oleh tanaman dalam bentuk apatit kalsium fosfat, FePO 4 , dan AlPO 4 . Apabila tanaman kekurangan unsur hara fosfor, tanaman tersebut akan tumbuh kerdil. Pada tanaman muda, daun akan berwarna hijau tua keunguan, kadang-kadang tampak pula warna hijau kekuning-kuningan karena kekurangan Fosfor cenderung menghambat penyerapan unsur hara Nitrogen. Warna kekuningan ini akan lebih dulu dijumpai pada daun tua karena sifat Fosfor yang mobil dalam tanah, sehingga dalam keadaan kekurangan, unsur hara Fosfor dengan cepat ditranslokasikan ke bagian tanaman yang lebih muda. Pada tanaman buah-buahan pucuk daun akan berwarna browns atau ungu. Pembentukan bunga/buah/biji terhambat sehingga panen terlambat. Selain itu persentase bunga yang menjadi buah menurun karena penyerbukan yang tidak sempurna. (Herlan, B.2011) Keunggulan Pupuk Fosfat dalam Bidang Pertanian Pupuk fosfat adalah kunci untuk kehidupandalam bidang pertanian dan peranannya bagi tanaman adalah sebagai berikut: (Mohlis, J., 2006) - Pemecahan karbohidrat untuk energi, penyimpanan perearannya keseluruh tanaman dalam bentuk ADP & ATP. - Pembelahan sel melalui peranan nukleoprotein yang ada dalam inti sel - Meneruskan sifat-sifat kebakaan dari generasi ke generasi melalui peranan DNA - Menentukan pertumbuhan akar, mempercepat kematangan, & produksi buah serta biji.
223
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M., (2004), Pengantar Nanosains, FMIPA, ITB Bandung
Abdullah,M., Yudistira., Nirmin dan Khairurrijal.,(2008), Sintesis Nanomaterial. Jurnal Nanosains & Nanoteknologi. 1 : 33-57
Army, U., (2006)., General Chemsitry., Fort Sam Houston, Texas
Arumaarifu, (2010), what is nano, http://arumaarifu.wordpress.com/2011 /08/06/what
is
nanoparticle/ (diakses pada tanggal 6 Agustus 2011, 20:17)
Fenin, A. (2008). Nanotechnology in Agricultural Development in the ACP Region. Nanoteknologi , Chalcogenide Letters 6: 34-40
Hans, E.S., (2009), Nanoscience, Fak. Mathematik und Physik Institut für Theoretische und Angewandte Physik, Germany Harry, L, Tuller., (2008).,Nanostructured Materials., Massachusetts Institute of Technology., Delft, The Netherlands Herlan, B.(2011). Badan Litbang Pertanian Menuju Nano Teknologi: Semakin Kecil, Semakin Dahsyat. http://pascapanen.litbang.deptan.go.id/index.php/id/berita/121 Ikatan Nano Indonesia. (2009). Terobosan Aplikasi Teknologi Mikro-Nano Material alam Bidang Industri, Pertanian, dan Lingkungan. HIBAH SIMPOSIUM NASIONAL HIMPUNAN PROFESI IKATAN NANO INDONESIA (IZI). Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi,
Depdiknas.
www.kimiawan.org/docs/hibah/proposal_izi.doc
(accessed 28 November 2012) Joseph, T dan M. Morrison. (2006). Nanotechnology in Agriculture and Food. A Nanoforum report. European Nanotechnology Gateway, Chalcogenide Letters 4:13-17
224
Mohlis, J., (2006), http://www.chem_is_try.org (accessed 28 November 2012) Perla B, B., (2007)., Nanomaterials: Design and Simulation., College Station, Texas, USA. Rochman, N.2007. Opini : Prospek Nanoteknologi di Tanah Air.www.kimiawan.org/docs/hibah/proposal_izi.doc (accessed 28 November 2012) Seventieth, T., (2004)., Nano and Microstructural Design Advanced Materials., University of Washington, USA Sediyarso, M ,(1998), P-Alam sebagai Pupuk P untuk Budidaya Pertanian. www.kimiawan.org/docs/hibah/proposal_izi.doc (accessed 28 November 2012)
225
Bab 16 Aplikasi Partikel Nano-Silika Pada Material Kontruksi Oleh : Mega Nurhanisa
16.1 Pengertian Silika dan Nano-Silika Silika atau dikenal dengan silikon dioksida (SiO 2 ) merupakan senyawa yang banyak ditemui dalam dalam kehidupan sehari-hari. Silika merupakan salah satu bahan galian yang disebut pasir kuarsa, terdiri atas kristal-kristal silika (SiO 2 ) dan mengandung senyawa pengotor yang terbawa selama proses pengendapan. Pasir kuarsa juga dikenal dengan nama pasir putih merupakan hasil pelapukan batuan yang mengandung mineral utama seperti kuarsa dan feldsfar. Pasir kuarsa mempunyai komposisi gabungan dari SiO 2 , Al 2 O 3 , CaO, Fe 2 O 3 , TiO 2 , CaO, MgO, dan K2 O, berwarna putih bening atau warna lain bergantung pada senyawa pengotornya. Gambar 16.1 (a) dan (b) merupakan salah satu contoh gambar batu kuarsa dan pasir kuarsa atau pasir silika, berturut-turut.
(a) (b) Gambar 16.1 (a) Batu Kuarsa (elevenmillion.blogspot.com, 2012), (b) Pasir kuarsa atau pasir silika (m.koiexpress.net, 2012). Silika biasa diperoleh melalui proses penambangan yang dimulai dari menambang pasir kuarsa sebagai bahan baku. Pasir kuarsa tersebut kemudian dilakukan proses pencucian untuk membuang pengotor yang kemudian dipisahkan dan dikeringkan kembali sehingga diperoleh pasir dengan kadar silika yang lebih besar bergantung dengan keadaan kuarsa dari tempat penambangan. Pasir inilah yang kemudian dikenal dengan pasir silika atau silika dengan kadar tertentu. Silika biasanya dimanfaatkan untuk berbagai keperluan dengan berbagai ukuran tergantung aplikasi yang dibutuhkan. Beberapa contoh pemanfaatan silika di 226
bidang industri antara lain dalam pembuatan ban, karet, gelas, semen, beton, keramik, tekstil, kertas, kosmetik, elektronik, cat, film, pasta gigi, dan lain-lain. Saat ini dengan perkembangan teknologi mulai banyak aplikasi penggunaan silika dalam bidang industri. Hal tersebut semakin meningkat terutama dalam penggunaan silika pada ukuran partikel yang kecil sampai skala mikron atau bahkan nano-silika (Widodo, 2011). Nano-silika merupakan material silika yang ukuran partikelnya berskala nanometer atau 10-9 meter. Salah satu pemanfaatan nano-silika yang saat ini sedang dikembangkan adalah sebagai bahan material konstruksi bangunan. Konstruksi bangunan akan menjadi dua kali lebih kokoh, tahan gempa, dan kedap air laut menggunakan bahan konstruksi nano-silika sebagai bahan tambahannya. Dewasa ini, beton mutu tinggi masih merupakan bahan yang banyak digunakan dalam dunia konstruksi, dan kondisi ini masih akan berlanjut sampai batas waktu yang belum diketahui selama bahan pengganti lainnya belum ditemukan. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, maka dalam teknologi beton juga banyak mengalami perubahan akibat ditemukannya bahan-bahan pembentuk baru seperti fly ash dan silica fume serta nanosilika sebagai mineral admixture yang paling baru, yang semuanya ditujukan untuk meningkatkan kuat tekan beton serta memperoleh sifat-sifat khusus lainnya sesuai tujuan penggunaannya (Bimantoro, D. A., 2008). Nano-silika harganya hanya 30 persen lebih mahal daripada semen, namun kualitasnya mencapai dua kali lipat. Produksi nano-silika dalam negeri menjadi alternatif untuk menggantikan mikrosilika yang saat ini masih diimpor dan dengan harga relatif jauh lebih mahal.
16.2 Pengertian Beton Beton merupakan salah satu bahan konstruksi yang umum digunakan untuk bangunan gedung, jembatan, jalan dan lain-lain. Beton merupakan satu kesatuan yang homogen. Beton diperoleh dengan cara mencapur bahan halus (pasir), bahan kasar (kerikil), atau bahan-bahan lain dan air, dengan semen portland atau semen hidrolik yang lain, terkadang dengan bahan tambahan (additif) yang bersifat kimiawi atau fisikal pada perbandingan tertentu, sampai menjadi satu kesatuan yang homogen. Setelah didiamkan dalam suhu tertentu, campuran tersebut akan mengeras seperti batuan. Pengerasan tersebut terjadi karena adanya peristiwa reaksi kimia antaran semen dengan air.
Gambar 16.2 Beton yang sudah dikeraskan (www.ilmusipil.com, 2012) 227
Beton yang sudah mengeras (Gambar 16.2) biasanya terdapat rongga-rongga antara butiran besar yang diisi oleh batuan kecil, dan pori-pori antara batuan kecil diisi oleh semen dan air (pasta semen). Pasta semen berfungsi sebagai perekat atau pengikat dalam proses pengerasan, sehingga butiran-butiran kasar dan halus saling terikat dengan kuat, maka terbentuklah satu kesatuan yang padat dan tahan lama.
16.3Proses Pembuatan Partikel Nano-Silika Untuk mengubah ukuran pasir silika menjadi nano-silika, umumnya dapat digunakan metode milling dengan ball mill. Metode tersebut bertujuan menghancurkan atau menghaluskan ukuran pasir silika yang berukuran besar menjadi ukuran yang lebih kecil dan halus, silika dengan ukuran yang halus inilah yang nantinya banyak digunakan dalam industri. Penggilingan (milling) termasuk cara yang paling awal untuk membuat partikel kecil dari partikel yang berukuran besar. Pada partikel besar diberikan tekanan sehingga partikel tersebut pecah menjadi partikel yang lebih kecil. Untuk mengefektifkan penggilingan, tekanan dikonsentrasikan pada lokasi retakan (crack) yang telah ada sehingga retakan itu merambat dan memecah material dengan mudah. Tetapi begitu ukuran partikel mengecil, material memperlihatkan peningkatan sifat plastisitas sehingga makin sulit dipecah lebih lanjut. Pada sejumlah material, ada batas terkecil ukuran partikel sehingga penggilingan lebih lanjut tidak lagi mengubah ukuran partikel (Khairurrijal dan Abdullah, M., 2009). Ball mill adalah material yang digunakan untuk penggilingan dan pencampuran klinker dan gypsum sehingga akan diperoleh produk mill dengan kehalusan yang diinginkan atau yang disebut dengan semen. Ini merupakan alat yang efisien untuk menggiling bermacam material menjadi bubuk halus. Terdapat dua proses penggilingan, yaitu proses penggilingan secara kering dan proses penggilingan secara basah. Secara luas ala ini digunakan untuk pengolahan semen, produk silikat, bahan bangunan, bahan tahan api, pupuk kimia, logam hitam yang tidak mengantung besi, gelas, keramik, dan lain-lain. Pada proses tersebut, ball mill yang digunakan adalah tipe ball mill yang terbuat dari material baja yang berbentuk bola seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 16.3. Adapun prinsip kerja dari ball mill tersebut adalah menghancurkan material bahan baku semen karena terjadinya tumbukan dan gesekan antara bola-bola baja (ball mill) dengan material.
Gambar 16.3 Ball mill (Umardani, Y. dan Bukhori, M., 2007)
228
Mesin grinding mill ini memiliki tipe horisontal, berbentuk tabung, dan dua tempat penyimpanan. Bagian luar mesin berjalan sepanjang roda gigi. Material masuk secara spiral dan merata dalam tempat penyimpanan pertama. Dalam tempat penampungan ini ada ladder scaleboard atau ripple scaleboard, dan bola-bola baja (ball mill) dengan berbagai macam spesifikasi yang dipasang pada scaleboard. Tempat masukan produk awal Tempat keluaran produk hasil
Gambar 16.4 Alat Grinding Mill (www.mine-engineer.com, 2012) Seiring dengan perputaran tubuh barel yang kemudian menghasilkan gaya sentrifugal, ball mill akan terbawa pada ketinggian tertentu dan jatuh untuk membuat material tergiling. Setelah proses penggilingan dalam tempat penyimpanan pertama, material akan masuk dalam tempat penampungan kedua untuk kembali digiling dengan ball mill dan scaleboard. Akhirnya, bubuk akan dibawa ke papan penampungan produk akhir dan proses kerja sepenuhnya selesai. Secara sederhana skema grinding mill ditunjukkan oleh Gambar 16.4. Kondisi ukuran partikel bahan baku yang diperkecil akan membuat produk memiliki sifat berbeda yang dapat meningkatkan kualitas.
16.4 Eksperimen Partikel Nano-Silika pada Material Konstruksi 16.4.1 Sifat Material dan Campuran Adapun material dan campuran yang digunakan dalam eksperimen ini adalah sebagai berikut (Khanzadi, M., dkk, 2010) : a. Semen Semen yang digunakan adalah semen Portland (Ordinary Portland Cement/ OPC). Sifat dan karakteristiknya ditunjukkan oleh Tabel 16.1.
229
Tabel 16.1 Sifat fisik dan kimia semen (Khanzadi, M., dkk, 2010). Senyawa
Komposisi (%)
SiO 2
21,38
Al 2 O 3
4,45
Fe 2 O 3
3,51
CaO
63,06
MgO
3,20
SO 3
1,80
C3S
52,5
C2S
21,5
C3A
6,4
C 4 AF
10,7
Fines (cm2/g) Vicat test (min)
3298 Init.
200
Final
260
Standard cube test (Mpa)
3
178
at 3, 7, and 28 days
7
354
28
461
b. Bahan-bahan lain Pada eksperimen ini digunakan pasir dengan kerapatan jenis 2550 kg/m3 dan kerikil dengan ukuran partikel 12,5 mm dan kerapatan jenisnya 2630 kg/m3. Kedua jenis bahan tersebut merupakan tipe pasir dan kerikil yang biasa ditemukan di sepanjang sungai. c. Superplasticizer Superplasticizer merupakan bahan tambah (admixture). Bahan tambah, additive dan admixture adalah bahan selain semen, agregat dan air yang ditambahkan pada adukan beton, sebelum atau selama pengadukan beton untuk mengubah sifat beton sesuai dengan keinginan perencana. Superplasticizer yang digunakan pada eksperimen ini adalah Glenium 51p yang merupakan salah satu polikarboxilat. d. Air Air yang digunakan dalam ekseprimen ini memiliki PH sebesar 7,5. e. Nano-silika Nano-silika yang digunakan dalam eksperimen ini adalah tipe yang dapat larut dalam air dengan 15% suspensi. Spesifikasi kimianya ditunjukkan oleh Tabel 16.2.
230
Tabel 16.2 Spesifikasi Kimia Nano-silika yang Digunakan (Khanzadi, M., dkk, 2010) Diameter Partikel (nm)
Rapat jenis (g/cm3)
Persentase kemurnian
5
1,1
99,9
Perbandingan air dan bahan pengikat (jumlah semen dan nano partikel) yang digunakan untuk semua campuran adalah 0,45. Perbandingan campuran beton per meter kubik ditunjukkan oleh Tabel 16.3. OPC merupakan beton sederhana dan NANO merupakan campuran berisi nano-silika. Tabel 16.3 Perbandingan Campuran (Khanzadi, M., dkk, 2010) Nama campuran
Semen (m3)
Air (m3)
Pasir (m3)
Kerikil Nano-silika Superplasticizer (m3) (m3) (m3)
OPC
350
187
1068
735
-
-
NANO
345
148
1053
724
5,25
3,92
16.4.2 Pembuatan Spesimen Pertama, bahan kasar dengan permukaan yang kering ditempatkan dalam mixer. Bahan pengikat dan bahan halus ditambahkan dan dicampurkan selama 1 menit, kemudian ditambahkan 75% air yang akan digunakan dan dicampur selama 2,5 menit, sedangkan 25% air sisanya ditambahkan sebelum campuran ditambah dengan superplasticizer dan nano-silika yang dicampur selama 1,5 menit. Akhirnya, campuran beton dituangkan ke dalam cetakan. Setelah dituangkan, sebuah vibrator eksternal digunakan untuk memudahkan proses pemadatan serta mengurangi jumlah gelembung udara. Spesimen dibiarkan dalam cetakan selama 24 jam dan diletakan pada temperatur ±23º C (Khanzadi, M., dkk, 2010).
16.4.3 Metode pengujian
a. Uji Daya Tekanan (Compressive Strength Test)
(a) (b) Gambar 16.5 (a) Cetakan Kubus yang digunakan dalam pengujian daya tekanan beton (www.indiamart.com, 2012), (b) Cetakan silinder yang digunakan dalam pengujian daya rentang beton (www.gubbienterprises.com, 2012)
231
Pengujian daya tekanan beton ini dilakukan berdasarkan BS 1881-bagian 108 untuk membuat pengujian kubus dari beton segar. Metode ini sama dengan BS EN 12390-bagian 3 yang lebih awal digunakan. Kubus yang digunakan dalam pengujian ini berukuran 100x100x100 milimeter seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 16.5 (a). Selanjutnya setelah beton mengeras, spesimen diuji daya tekanannya dengan mesin penguji seperti pada Gambar 16.6 (a). b. Uji Daya Rentang (Tensile Strength Test) Pengujian Daya Rentang beton ini berdasarkan BS 1881-bagian 110 untuk membuat pengujian silinder dari beton segar. Pengujian ini dapat menggunakan BS EN 12390-bagian 6 untuk menguji daya rentang dari spesimen. Silinder yang digunakan dalam pengujian ini berukuran 100 x 200 milimeter seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 16.5 (b). Selanjutnya setelah beton segar mengeras, spesimen diuji daya rentangnya dengan menggunakan mesin penguji seperti yang terlihat pada Gambar 16.6 (b).
(a) (b) Gambar 16.6 (a) Mesin untuk menguji daya tekanan beton (rubyleeyee.blogspot.com, 2012), (b) Mesin untuk menguji daya rentang beton (qskiru.blogspot.com, 2012) b. Uji Penyerapan Air (Water Absorption Test) Pengujian penyerapan air dilakukan berdasarkan BS EN 12390-bagian 8 untuk menguji penyerapan air pada beton yang telah keras. Proses pengujiannya secara singkat sebagai berikut, spesimen yang telah mengeras kemudian dicelupkan ke dalam air dengan skala setelah 30, 60 menit, 1, 2, 3, dan 7 hari untuk memeriksa kenaikan berat dan untuk menghitung persentase penyerapan air. Pada pengujian ini, penyerapan air hanya dapat terjadi pada pori-pori yang dikosongkan selama pengeringan dan diisi dengan air selama masa pencelupan. c. Uji Kapilaritas Penyerapan Air (Capillarity of Water Absorption Test) Pengujian kapilaritas penyerapan air dilakukan berdasarkan TC 14-CPC, RILEM CPC 11.2 untuk menguji kapilaritas penyerapan air pada beton yang telah keras. Proses pengujiannya secara singkat sebagai berikut, spesimen yang telah mengeras dicelupkan ke dalam air tidak lebih dari 5 milimeter. Pada pengujian ini, kedalaman aliran tak terarah dari spesimen diukur dan menghasilkan kedalaman kapilaritas.
232
d. Menentukan Koefisien Distribusi Ion Klorida Pada pengujian ini spesimen berbentuk kubus dicelupkan ke dalam cairan ion klorida. Kemudian spesimen dikeringkan selama 24 jam. Setelah itu, untuk menyiapkan beberapa sampel beton dalam bentuk bubuk (sampel bubuk) untuk pengujian, kelima permukaan spesimen berbentuk kubus dikikis dengan kedalaman 0-5, 5-10, 10-15, 15-20 dan 20-30 milimeter dan sampel bubuk beton pun diperoleh dari kelima permukaan untuk masing-masing kedalaman. Sampel bubuk beton tersebut digunakan pada pengujian rapat jenis konsentrasi ion klorida yang larut dalam air. Untuk menentukan ion klorida yang terdapat pada masing-masing kedalaman digunakan pendekatan ASTM C 1218 yang menunjukkan rapat jenis ion klorida yang larut dalam air yang digunakan.
16.4.4 Hasil Pengujian dan Diskusi a. Daya Tekanan dan Daya Rentang (Compressive and Tensile Strength) Grafik daya tekanan dan daya rentang beton ditunjukkan oleh Gambar 16.7 (a) dan 16.7 (b). Dari gambar tersebut terlihat bahwa, ketika partikel nano-silika ditambahkan dalam jumlah yang cukup maka daya tekanan dan daya rentang beton dapat meningkat. Hasil ini merupakan peningkatan kekuatan yang drastis dari bahan perekat semen jika dikaitkan dengan efek pengisian oleh partikel nano-silika. Rongga (pori-pori) yang kosong di antara partikel semen akan diisi oleh nano-silika sehingga berfungsi sebagai bahan penguat beton dan meningkatkan daya tahan (durability).
(a) (b) Gambar 16.7 (a) Grafik Daya Tekanan, (b) Grafik Daya Rentang. (Khanzadi, M., dkk, 2010) b. Penyerapan Air (Water Absorption) Hasil penyerapan air dan kapilaritas absorbsi ditunjukkan oleh Gambar 16.8 (a) dan Gambar 16.8 (b). Penambahan partikel nano-silika akan lebih baik bagi daya tahan penyerapan air pada beton, dibandingkan dengan beton sederhana. 233
Adapun mekanisme efek partikel nano-silika pada penyerapan air dan kapilaritas daya tahan penyerapan air dari sebuah beton dapat ditunjukkan sebagai berikut, partikel nano-silika dianggap seragam dan terpisah satu sama lain dengan jarak yang dapat ditentukan, produk hidrat tersebar dan membungkus partikel nano seperti inti. Partikel nano-silika bereaksi dengan kristal Kalsium Hidroksida (Ca(OH) 2 ) sebagai material pozollanic. Hal ini membuat batuan semen lebih seragam dan padat. Selain itu, abrasi dan kapilaritas daya tahan penyerapan air dapat meningkat.
(a) (b) Gambar 16.8 (a) Grafik Persentase Absorbsi, (b) Grafik Koefisien Kapilaritas. (Khanzadi, M., dkk, 2010) Material pozzolanic terdiri dari silikat reaktif atau alumino-silikat. Partikelnya cukup halus untuk memberikan daerah permukaan yang cukup reaktif terhadap reaksi kimia zat padat. Partikelnya bereaksi dengan alkalis dan Ca(OH) 2 dari semen untuk menghasilkan senyawa semen (kalsium silikat hidrat (C-S-H) gel, kalsium alumino silikat, dan lain-lain). c. Koefisien Distribusi Ion Klorida Tabel 16.4 Koefisien Difusi Ion Klorida (Khanzadi, M., dkk, 2010) Campuran
OPC
NANO
D (mm2/tahun)
159,87
157,9
Perhitungan Cs
4,99
4,19
R2
0,976
0,942
D
: Koefisien distribusi ion klorida
Cs : Kandungan Klorida di permukaan R2 : Koefisien kolerasi garis regresi Koefisien distribusi ion klorida, perhitungan kandungan di permukaan, dan koefisien kolerasi garis regresi dapat ditunjukkan oleh Tabel 16.4. Dengan menambahkan partikel nano-silika, produk hidrasi meningkat dan kristal berkurang, 234
serta efek pengisian dari butiran-butiran halus dan struktur perekat semen dengan konsentrasi yang tinggi karena pembatasan pori-pori. Oleh karena itu, sedikit ruang kosong yang tersedia sebagai hasil penyerapan beton terhadap air berkurang, dengan demikian koefisien distribusi ion klorida juga berkurang. d. Scanning Electron Microscope (SEM) Hasil Scanning Electron Microscope (SEM) dari beton sederhana dan beton dengan campuran nano-silika hasil dari eksperimen ditunjukkan oleh Gambar 16.9. SEM menunjukkan bahwa mikrostruktur beton nano-silika lebih padat dan seragam dibandingkan beton sederhana, karena adanya reaksi pozollanic dan fungsi pengisi pada partikel silika.
(a) (b) Gambar 16.9 (a) Hasil SEM beton OPC dan (b) Hasil SEM beton Nano-silika. (Khanzadi, M., dkk, 2010)
16.5
Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari eksperimen ini antara lain: a. Daya tekanan dan daya rentang dari beton meningkat dengan menambahkan partikel nano-silika, khususnya pada usia awal. Bagaimanapun, kekuatan beton di awal akan sedikit berkurang dengan menambahkan mikro-silika, tetapi meningkat pada usia akhir. Hasil ini menunjukkan bahwa aktivitas pozollanic dari nano-silika lebih besar daripada mikro-silika. b. Partikel nano-silika menghabiskan kalsium hidroksida, mengurangi ukuran kristal pada zona hubungan dan mengubah kristal lemah kalsium hidroksida menjadi kristal kalsium silikat hidrat (C-S-H) dan memperbaiki zona hubungan dan struktur perekat semen. c. Uji penyerapan air, kapilaritas penyerapan dan koefisien distribusi ion klorida menunjukan bahwa beton nano-silika memiliki daya tahan terhadap penyerapan yang lebih baik daripada beton sederhana. Hal ini disebabkan mikrostruktur beton nano-silika lebih seragam dan padat daripada beton sederhana seperti yang ditunjukkan oleh uji SEM.
235
DAFTAR PUSTAKA Bimantoro, D. A., Pemanfaatan Nanosilika Sebagai Beton Kuat Tekan Tinggi (Tanpa Additive), Skripsi, Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, (2008). elevenmillion.blogspot.com/2009/09/batu-kuarsa-batu-quartz.html?m=l tanggal 3 November 2012)
(Diakses
pada
Jalal, M., Durability Enhancement Of Concrete By Incorporating Titanium Dioxide Nanopowder Into Binder, Journal of American Science 8, 289-294 (2012). Khairurrijal dan Abdullah, M., Membangun Kemampuan Riset Nanomaterial di Indonesia, Bandung: Rezeki Putera, (2009). Khanzadi, M., dkk., Influence of Nano-Silica Particles on Mechanical Properties and Permeability of Concrete, Proceeding in Second International Conference on Sustainable Construction Materials and Technologies, Italy, (2010). m.koiexpress.net/product/85/310/Silica-Sand-Pasir-Silika-Hi-Grade/?o=default (Diakses pada tanggal 3 November 2012) qskiru.blogspot.com/2010/11/strength-of-concrete.html?m=l Desember 2012)
(Diakses
pada
tanggal
1
rubyleeyee.blogspot.com/2009/03/scib-concrete-manufacturing-sdn-bhd.html?m=l. (Diakses pada tanggal 1 Desember 2012) Umardani, Y. dan Bukhori, M., Karakterisasi Material Ball Mill Pada Proses Pembuatan Semen Dengan Metoda Pengujian Kekerasan, Mikrografi Dan Keausan, Jurnal Rotasi 9, 32-35 (2007). United Kingdom Accredittation Service, Testing Hardened Concrete - Guidance on Accreditation to BS EN 12390, Edition 2, (2004). Widodo, Sintesis dan Karakterisasi Nanosilika Berbasis Pasir Bancar Dengan Metode Alkali Fusion Menggunakan Kalium Hidroksida (KOH), Skripsi, Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, (2011). www.gubbienterprises.com/concrete-testing-equipment.html November 2012) 236
(Diakses
pada
tanggal
8
www.ilmusipil.com/pengertian-beton-adalah (Diakses tanggal 6 November 2012) www.indiamart.com/veekayindustries/concrete-testing-equipments.html tanggal 8 November 2012)
(Diakses
www.mine-engineer.com/mining/ballmill.htm (Diakses pada tanggal 2 November 2012 )
237
pada
Bab 17 Indium Tin Oxide (ITO) untuk Aplikasi Solar Cell Oleh : Naily Ulya
17.1 Indium Tin Oxide (ITO) Saat ini hampir seluruh kegiatan yang dilakukan oleh manusia, didukung oleh adanya energi. Sebagian besar energi yang digunakan tersebut berasal dari bahan bakar fosil. Padahal bahan bakar fosil merupakan bahan bakar yang tidak dapat diperbarui dan suatu saat nanti akan habis. Selain itu bahan bakar fosil memiliki beberapa kelemahan, diantaranya produksi bahan bakar fosil membutuhkan biaya yang cukup mahal dan bahan bakar fosil menghasilkan emisi yang tidak ramah lingkungan. Mengacu pada hal diatas dibutuhkan suatu terobosan baru untuk menghasilkan energi yang ramah lingkungan, tidak bergantung pada bahan bakar fosil, melimpah di alam dan hemat biaya produksi. Salah satu alat yang dapat digunakan untuk menghasilkan energi adalah solar cell, yang dapat mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik. Untuk menghasilkan sel surya yang efektif dibutuhkan material yang dapat meningkatkan kinerja solar cell itu sendiri. Material yang dibutuhkan adalah material yang memiliki transmitansi yang tinggi dan resistivitas listrik yang rendah. Kandidat kuat material yang memiliki kedua karakteristik tersebut adalah Indium Tin Oxide (ITO). Indium Tin Oxide atau Tin doped Indium Oxide adalah material yang berasal dari campuran Indium (III) Oxide (In 2 O 3 ) dan tin (IV) Oxide (SnO 2 ), umumnya dengan rasio berat 90% In 2 O 3 dan 10% SnO 2 . Dalam bentuk serbuk, ITO berwarna kuning kehijauan, namun dalam bentuk thin film ITO transparan dan tidak berwarna (Wikipedia, 2012).
Gambar 17.1. Strukur ITO yang dikarakterisasi melalui SEM pada variasi suhu (a) 300 oC (c) 500 oC (e) 800 oC (Ederth, J., dkk., 2003) 238
Indium Tin Oxide merupakan bahan semikonduktor. Semikonduktor adalah elemen atau senyawa dari elemen-elemen yang berada di dekat batas metal/insulator pada tabel periodik (Gambar 2). Pada tabel tersebut, material semikonduktor berada pada kotak berwarna putih dan menjadi batas antara material insulator dan metal.
Gambar 17.2. Tabel Periodik yang menunjukkan Metal dan Insulator (Eite, J. dan Spencer A.G., 2004) Umumnya Si adalah bahan semikonduktor yang digunakan dalam mikroelektronik. Selain itu juga terdapat senyawa semikonduktor yang dibentuk dari elemen-elemen yang melalui batas metal/ insulator, seperti GaAs atau InSb. Materialmaterial ini tidak transparan pada daerah visible. Namun terdapat beberapa semikonduktor oksida yang transparan pada daerah visible (sebagai contoh oksida dari Indium, Tin atau Zinc). Indium Oxide adalah yang paling sering digunakan dalam aplikasi industri. Pada dasarnya, Indium Oxide bukanlah material konduktor yang sangat baik. Hal ini karena Indium Oxide memiliki kekurangan elektron. Normalnya, elektron ditambahkan melalui doping dengan elemen yang hampir sama namun memiliki kelebihan elektron. Jadi untuk menambah kekurangan elektron yang terjadi pada Indium Oxide, ditambahkan doping Tin. Pada konsentrasi yang rendah, struktur Tin sesuai dengan struktur Indium Oxide dan Tin menambahkan elektron yang dibutuhkan oleh Indium Oxide (Gambar 3). Dalam hal ini, jumlah Tin yang ditambahkan memiliki batas tertentu karena Tin tidak hanya menambah elektron, namun juga mengurangi mobilitas elektron ini. Level optimum doping adalah sekitar 5-10% Tin. Tin yang didopingkan kepada Indium Oxide inilah yang diketahui sebagai Indium Tin Oxide atau ITO. Terdapat batas kecepatan dimana elektron tersebut dapat merespon medan listrik dan medan magnet. Kerapatan elektron pada ITO tidak setinggi kerapatan elektron pada metal. Batas respon ITO berada pada daerah infra-red (padahal batas respon metal adalah pada daerah visible). Konsekuensinya adalah bahwa ITO transparan pada daerah visible namun menjadi konduktif (dan oleh karena itu menjadi reflektif dan absorsif) pada daerah infra-red dan UV (Eite, J. dan Spencer A.G., 2004).
239
Gambar 17.3. Tin memiliki kelebihan 1 elektron daripada Indium, ketika Indium Oxide didoping dengan Tin, elektron ekstra ini menjadi bebas dan membuat Indium Tin Oxide menjadi konduktif (Eite, J. dan Spencer A.G., 2004)
Indium Tin Oxide merupakan bahan semikonduktor tipe-n yang memiliki band gap yang lebar (Eg = 3.7 eV) yang menyerap radiasi UV dan memantulkan cahaya dari daerah Infra-Red, dan diantara kedua spektrum itu, ITO mempunyai transparansi pada daerah visible dan daerah di dekat spektrum Infra-Red (Keshmiri, S.H., Roknabadi, M.R., Ashok, S., 2002).
Gambar 17.4. Transmitansi ITO thin film pada substrat PET dengan variasi ketebalan ITO (Ali, M.K.M., dkk., 2010) Banyak aplikasi yang membutuhkan ITO dalam bentuk film. ITO film memiliki 2 karakteristik utama, yaitu memiliki transmitansi yang tinggi dan resistivitas listrik yang rendah. ITO memiliki transmitansi cahaya sekitar 90% dan memiliki resistivitas listrik sekitar 10-2 Ω cm. Namun resistivitas listrik tersebut menjadi jauh lebih rendah jika partikel ITO dalam ukuran nanometer diukur secara individual, yaitu sekitar 2x10-4 Ω cm (Ederth, J., dkk., 2003). Konduktivitas listrik yang tinggi inilah yang menyebabkan ITO memiliki reflektivitas tinggi pada daerah infra-red (Mohamed, S.H., dkk., 2009).
240
Gambar 17.5. Perbandingan Resistivitas In 2 O 3 , SnO 2 , ZnO (Minami, T., 2000) Karena sifat konduktivitas listrik yang baik pada suhu ruang dan transparansi yang tinggi pada daerah visible, ITO film secara luas digunakan sebagai elektroda transparan pada aplikasi alat-alat elektronik dan opto-elektronik, diantaranya alat pemanas, sensor, flat panel displays dan solar cell (Lee, S., dkk., 2009). Selain itu, ITO juga dapat diaplikasikan pada jendela isolasi termal dan prevention of radiative cooling karena karakteristik reflektivitasnya yang tinggi pada daerah infra-red (Mohamed, S.H., dkk., 2009). ITO film dapat disintesis melalui berbagai metode, diantaranya dengan metode spray-hydrolysis technique (Keshmiri, S.H., Roknabadi, M.R., Ashok, S., 2002), DCMagnetron Sputtering (Ali, M.K.M., dkk, 2011), Electron Beam Evaporation Technique (Mohamed, S.H., dkk, 2009), dan lain sebagainya.
17.2 Transparent Conducting Oxide (TCO) Transparent Conducting Oxide (TCO) adalah material konduktif dengan perbandingan penyerapan cahaya yang rendah pada daerah visible. TCO biasanya dipreparasi melalui teknologi thin film dan digunakan pada divais opto-eletrical (Stadler, A., 2012). Laporan pertama tentang Transparent Conducting Oxide (TCO) dipublikasikan pada tahun 1907, ketika Badeker melaporkan bahwa thin film metal Cd yang dideposisi dalam glow discharge chamber dapat dioksidasi menjadi transparan dan di sisi lain secara kelistrikan bersifat konduktif. Sejak saat itu, nilai komersil dari material ini diakui dan daftar dari material TCO yang berpotensi dikembangkan, diantaranya Al-doped ZnO, GdInO x , SnO 2 , F-doped In 2 O 3 dan masih banyak lagi. Sejak tahu 1960an, material yang digunakan sebagai TCO untuk aplikasi divais optoelektronik adalah Indium Tin Oxide. Saat ini dan kemungkinan hingga yang akan datang, material ini menawarkan performa terbaik dalam hal konduktivitas dan
241
transmitansi, ditambah lagi stabilitas lingkungan, reprodusibilitas dan morfologi permukaan yang sangat baik. Walaupun stabilitas kimia dan interfacial properties sangat diperlukan pada TCO, namun karakteristik utama yang dibutuhkan untuk TCO adalah konduktivitas listrik dan transparansi pada daerah visible yang tinggi (Andreas Klein, dkk. 2010). TCO merupakan bagian yang sangat diperlukan dalam teknologi yang memerlukan area kontak listrik yang besar dan akses optik pada spektrum cahaya tampak. Kombinasi transmitansi yang tinggi dan konduktivitas listrik yang baik dapat dicapai dengan memilih material oksida yang memiliki band gap lebar. Material oksida yang paling banyak digunakan adalah semikonduktor tipe-n yang mempunyai band gap lebar, yaitu >3 eV (Lewis, B.G. dan Paine, D.C., 2000). Transparent Conducting Oxide (TCO) mempunyai bermacam-macam aplikasi, yaitu sebagai elektroda transparan pada flat-panel displays, light emitting diodes (LED), solar cell, dll (Klein, A., dkk., 2010). Kemampuannya untuk memantulkan infra-red dimanfaatkan untuk membuat jendela penghemat energi. Selain itu, Transparent Conducting Oxide dibutuhkan sebagai elektroda permukaan pada semua jenis solar cell (Gordon, R.G., 2000).
Gambar 17.6. Transparent Conducting Oxide pada Solar Cell (Wikipedia, 2012)
17.3 Solar Cell 17.3.1 Sel Surya (Solar Cell) Sel surya atau sel fotovoltaik merupakan sebuah alat konversi energi yang dapat mengubah bentuk energi surya/ matahari menjadi energi listrik. Karena sumber cahaya adalah matahari, sel fotovoltaik juga sering disebut sebagai solar cells. Kata photovoltaic berasal dari “photo” yang berarti cahaya dan “voltaic” yang berarti berhubungan dengan produksi listrik. (Nitya, S. IGN. dan Kusuma. W. IGB., 2005) Oleh karena itu, proses fotovoltaik adalah memproduksi listrik secara langsung dari cahaya matahari. Fotovoltaik sering juga disebut sebagai PV. Dinamakan fotovoltaik oleh fisikawan bernama Volta setelah satuan pengukuran volt ditetapkan. Istilah ini digunakan di Negara Inggris sejak 1849. 242
Saat ini prinsip kerja solar cell secara umum adalah sama, yaitu bedasarkan efek fotovoltaik. Secara umum, efek fotovoltaik berarti pembangkitan beda potensial pada junction (sambungan) dari dua material yang berbeda respon terhadap radiasi visible atau radiasi lainnya. Sel surya terdiri dari banyak lapisan. Lapisan-lapisan tersebut memiliki fungsinya masing-masing. Lapisan utama dari sel surya adalah lapisan fotovoltaik. Lapisan lainnya adalah lapisan pelengkap yang membantu kinerja fotovoltaik. Lapisan-lapisan tersebut memiliki fungsi antara lain sebagai lapisan konduktif yang menyambungkan sel surya dengan rangkaian listrik, lapisan pelindung yang melindungi permukaan dari benda-benda keras, dan lain sebagainya. Fotovoltaik terdiri dari lapisan semikonduktor tipe-p yaitu bahan semikonduktor yang didalamnya terdapat hole sebagai pembawa muatan mayoritasnya dan lapisan semikonduktor tipe-n yang memiliki elektron sebagai pembawa muatan mayoritasnya. Keduanya didapatkan dari hasil pendopingan semikonduktor yang sama dengan bahan doping yang berbeda. Kedua lapisan ini merupakan lapisan pembentuk fotovoltaik (Jowan, M., 2008). Cahaya matahari terdiri atas foton atau partikel energi surya, dimana foton inilah yang dikonversi menjadi energi listrik. Foton-foton mengandung energi yang bervariasi menurut panjang gelombangnya. Foton yang membentur elektron di dalam sel surya, menyerahkan sebagian atau seluruh energinya kepada elektron. Dengan adanya tambahan energi ini maka elektron mampu lepas dari posisi normalnya terhadap atom sehingga menjadi arus dalam suatu sirkuit listrik (Nitya, S. IGN. dan Kusuma. W. IGB., 2005).
17.3.2 Prinsip Kerja Sel Surya Sel surya disusun dengan menggabungkan semikonduktor tipe-p dan tipe-n. Semikonduktor tipe-p merupakan semikonduktor yang bersifat positif karena kekurangan elektron, sedangkan semikonduktor tipe-n merupakan semikonduktor yang bersifat negatif karena memiliki kelebihan elektron. Jika semikonduktor tipe-n dan tipe-p berada dalam kontak (disatukan), maka akan terbentuk sambungan (junction) diantara kedua semikonduktor tersebut. Ketika semikonduktor tersebut terkena radiasi matahari (berupa foton), akan terjadi perpindahan elektron dari semikonduktor tipe-n menuju semikonduktor tipe-p sehingga terbentuklah hole pada semikonduktor tipe-n. Hal ini menyebabkan terciptanya polarisasi dimana elektron bergerak menuju semikonduktor tipe-p dan hole bergerak menuju semikonduktor tipen. Dengan menyambungkan kedua jenis semikonduktor (tipe-p dan tipe-n) melalui suatu penghantar luar maka terjadi beda potensial diantara keduanya dan mengalirkan arus searah. Hal ini dapat dilihat pada gambar 7 dibawah ini (Ch, Syafaruddin., 2010).
243
Gambar 17.7. Prinsip Kerja Sel Surya (Ch, Syafaruddin., 2010)
244
DAFTAR PUSTAKA Ali, M.K.M., dkk., Deposited Indium Tin Oxide (ITO) Thin Films by DC- Magnetron Sputtering on Polyethylene Terephthalate Substrate (PET), Romanian Journal of Physics. 56, 730-741 (2011). Ch, Syafaruddin., Perbandingan untuk Kerja antara Panel Sel Surya Berpenjejak dengan Panel Sel Surya Diam, Teknologi Elektro. 9, 6-11 (2010). Ederth, J., dkk., Indium Tin Oxide Films Made from Nanoparticles: Models for the Optical and Electrical Properties, Thin Solid Films. 445, 199–206 (2003). Eite, J. dan Spencer, A.G., Indium Tin Oxide for Transparent EMC Shielding and Anti-static Applications. Presented at EMCUK, Newbury, UK (2004). Gordon, R.G., Criteria for Choosing Transparent Conductors, MRS BULLETIN. Hal 52-57 (2000). Jowan, M., Eksperimen Karakteristik Sel Surya Berbasis PC. Skripsi. Depok : Universitas Indonesia (2008). Keshmiri, S.H., Roknabadi, M.R., Ashok, S., A Novel Technique for Increasing Electron Mobility of Indium-Tin Oxide Transparent Conducting Films, Thin solid films. 413, 167–170 (2002). Klein, A., dkk., Transparent Conducting Oxides for Photovoltaics: Manipulation of Fermi Level, Work Function and Energy Band Alignment, Materials. 3, 4892-4914 (2010). Lee, S., dkk., Indium-Tin-Oxide-Based Transparent Conducting Layers for Highly Efficient Photovoltaic Devices, Journal of Physical Chemistry C. 113, 7443–7447 (2009). Lewis, B.G. dan Paine, D.C., Applications and Processing of Transparent Conducting Oxides, MRS BULLETIN. Hal 22-27 (2000). Minami, T., New n-Type Transparent Conducting Oxides, MRS BULLETIN. Hal 38-44 (2000). Mohamed, S.H., dkk., Properties of Indium Tin Oxide Thin Films Deposited on Polymer Substrates, Acta Physica Polonica A. 115, 704-708 (2009). 245
Nitya, S. IGN. dan Kusuma. W. IGB., Kajian Energi Surya untuk Pembangkit Tenaga Listrik, Teknologi elektro. 4 , 29-33 (2005). Stadler, A., Transparent Conducting Oxides—An Up-To-Date Overview, Materials. 5, 661683 (2012). Wikipedia. 2012. Indium Tin Oxide. http://en.wikipedia.org/wiki/Indium_tin_oxide (diakses pada tanggal 17 September 2012). Wikipedia. 2012. Transparent Conducting Film. http://en.wikipedia.org/wiki/Transparent_conducting_film (diakses pada tanggal 17 September 2012).
246
Bab 18 Aplikasi Nanoteknologi untuk Pembuatan Nano Fiber Pada Bidang Tekstil Menggunakan Alat Elektrospinning Oleh : Nety Fitrianingsih
18.1 Pengertian Nanoteknologi dan Perkembangannya dalam Bidang Industri Konsep nanoteknologi telah dimulai dari empat puluh tahun yang lalu. Menurut NNI (National Nanotechnology Initiative), nanoteknologi didefinisikan sebagai penggunaaan struktur dengan dimensi paling kecil yaitu satu dimensi dalam ukuran nanometer untuk membentuk material tersebut. Perlengkapan atau sistem secara langsung dapat meningkatkan kegunaan dari skala nano. Produk yang dihasilkan dari nanoteknologi diharapkan memiliki biaya produksi yang murah, memiliki ketelitian yang tinggi, memiliki struktur bahan yang dapat dikontrol. Nanoteknologi telah mengubah cara pandang terhadap kemajuan teknologi karena setiap material nya disusun dalam level atom atau molekul.Sehingga, didapatkan suatu bahan yang memiliki sifat khas yang lebih unggul dari pada material yang sudah ada. Partikel nano ini biasanya digunakan secara komersil dengan ukuran berkisar antara 1 sampai dengan 100 nm. Keunikan dan kegunaan yang baru dari material berukuran nano ini memiliki daya tarik tidak hanya bagi ilmuwan tetapi juga bagi pengusaha, sehingga nanoteknologi sangat berpotensi besar dalam bidang ekonomi (Wong et al,2006).
247
Nanoteknologi pada Tekstil
Penyelesaian peningkatan Pabrik
NanoFibers dan Yarns
a) Perkembangan dari single dan nano multi serat berdinding, seperti Carbon Nanotube (CNT) fiber komposit. b) Produksi dari nano fibers (Seratnano) menggunakan proses elektrospinning. c) Peningkatan kualitas fibers dan Yarns dari segi mekanik, kimia, dan pengunaan secara fungsional.
a) Kegunaan nanoteknologi dapat juga ditingkatkan dari segi fungsionalitas pada kain kapas. b) Berbagai jenis penyelesaian secara kimia dan pelapisan dapat dikembangkan.
Gambar 18.1. Nanoteknologi pada fiber dan industri tekstil(Kumar Vikram et al,2006) Disini, kita dapat menyimpulkan bahwabahan baru dan kemajuan terbaru yang dibuat pada nanoteknologi, serta aplikasinya untuk tekstil kapas dan fiber. Dari hasil review, dapatdikelompokkan menjadi(a)Aplikasi nanoteknologi dalam serat dan produksi benang,(b)Aplikasi dalam penyempurnaan kain. (Lihat Gambar 1). Hal ini menunjukkan bahwa kain yang terbuat dari serat kapas (alam)dan dari serat buatan (sintesis) memiliki keunggulan dan kelemahan masing – masing. Misalnya, kain katun memberikan sifat nyaman, mudah diserap, dan lembut. Namun, bahan ini memiliki keterbatasan seperti kekuatan daya tahan, dalam ketahanan lipatan, resistansi terhadap kotoran, dan ketahanan terhadap api. Berbeda dengan hal tersebut, kain yang terbuat dari serat sintesis pada umumnya sangat kuat, tahan lipatan dan tahan terhadap kotoran, tetapi tidak memiliki sifat kenyamanan dari kain katun. Hal ini menunjukkan bahwa kemajuan nanoteknologi membawa kemungkinan dalam mengembangkan kapas yang berbasis kain dan mampu mendapatkan keuntungan dari kapas dan serat buatan tersebut. Karena kemajuanyangsangat pesat dalam pembuatan serat/gulungan, dalam perkembangannya pada bidang tekstil nanoteknologi dapat diaplikasikan dalam ruang 248
lingkup yang lebih luas lagi. Dalam hal ini, beberapa aplikasi nanoteknologi dalam bidang pengelolaan tekstil terdiri dari : • Fungsional ujungkain yangbersifat resisten terhadap kerut, karat dan statik. • Perlindungan terhadap serangan kimia dan biologis. • Spinning dari nanofiber/yarn yang bersifat fungsional. • Perkembangan dari nanokomposit untuk hasil/performa luar biasa. • Tekstil yang cerdas dan medis untuk menyokong pengendalian iklim pada garmen dalam aplikasi militer. • Aplikasi dalam proses manufaktur tekstil kain terfungsionalisasi untuk tujuan perlindungan UV dan deodorisasi. Perkembangan nanoteknologi dalam bidang industri tekstil dirasakan cukup pesat, jika dilihat dari produk yang telah beredar dipasaran dunia. Misalnya pakaian yang memiliki performa lebih lebih tinggi dan,dapat menahan panas yang ekstrim (high insulation thermal protective clothing), tekstil dengan sifat permukaan yang antikotor (self cleaning texxtile), tekstil antimikroba yang dapat digunakan dalam dunia medis dan lain – lain (Tatang W dan Rismayani.S.,2008).
18.2 Nanoteknologi Nanofiber
pada
Pembuatan
Nama serat nano atau nanofiber diambil dari ukuran diameternya yang sepermilyar meter atau seperseribu micron. Dalam industri tekstil, kehalusan serat diukur berdasarkan diameter serat, artinya serat yang makin halus diameternya makin kecil atau sebaliknya. Diameter serat sangat bervariasi dari mulai yang paling besar sampai dengan yang paling kecil sehingga dikenal beberapa istilah diantaranya monofilament, denies, desitex, mikrofiber, dan serat nano (nanofiber). Pemahaman mengenai nanoscale adalah sekitar seribu kali lebih kecil dari mikro atau sekitar 1/80.000 garis tengah helai rambut manusia. Gambar 18.2 memperlihatkan perbandingan antara rambut manusia dengan serat nano (nanofiber) (Zubaidi,2008).
Gambar 18.2. Perbandingan antara rambut manusia dengan jaringan nanofiber (Zubaidi, 2008). 249
Pada awalnya, pembuatan serat nano (nanofiber) dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti teknik pemintalan serat multikomponen, melt blowing, dan electrospinning.
18.3 Proses Elektrospinning Elektrospun adalah alat yang digunakan untuk membuat serat nano. Dengan menggunakan alat ini, kita dapat membuat serat nano dengan diameter antara 2 nm sampai dengan 50 nm. Pembuatan serat nano menggunakan metode elektrospinning yang ditunjukkan oleh Gambar 18.3.
(a)
(b) Gambar 18.3. (a)Electrospun dan (b)Skema sistem kerja electrospinning (Zubaidi, 2008)
250
Elektrospinning merupakan teknik yang cukup sederhana dengan cara memberikan tegangan tinggi pada larutan polimer namun mampu menghasilkan serat nano dengan rentang ukuran paling kecil yaitu 0,04 – 2 mikron (Tatang W danRismayani.S.,2008). Pertama – tama, kita masukkan larutan polimer yang telah disiapkan pada tabung semprot (syrine) dengan kecepatan penyemprotan tertentu yang dapat kita atur melalui pompa secara konstan (matering pump). Kemudian larutan yang terdapat didalam tabung semprot tersebut dilewatkan melalui sebuah nozzle lubang spinnered(Jet) dengan ujung kecil dan ditarik dengan medan listrik tegangan arus searah (Direct Current/DC) yang berkekuatan tinggi sekitar 30kVA seperti ditunjukkan pada gambar 3(b). Setelah itu, larutan yang terdapat pada ujung nozzle tersebut ditarik oleh medan listrik yang berbentuk droplet/jet hal ini disebabkan karena pengaruh tegangan permukaan. Selanjutnya, serat yang terbentuk akan terkumpul pada kolektor. Kolektor ini dapat berbentuk bidang datar atau bidang silinder yang dapat berputar secara konstan. Alat ini terdapat di Balai Besar Tekstil, Bandung (Zubaidi, 2008). Jarak antara nozzle dengan kolektro akan berpengaruh terhadap pembentukan (deposisi) serat dan penguapan pelarut polimer. Jika jaraknya terlalu pendek maka akan menyebabkan pembentukan manik – manik (beads) pada serat nano yang dihasilkan. Disisi lain, laju alir larutan polimer yang terlampau tinggi dapat menyebabkan diameter serat serta pori yang terbentuk akan bertambah besar. Kondisi kelembaban pada proses elektrospinning juga dapat berpengaruh terhadap proses pengeringan permukaan serat yang dihasilkan. Kondisi larutan polimer yang harus diperhatikan antara lain konsentrasi larutan polimer yang berhubungan dengan kekentalan (viskositas) dan tegangan permukaan larutan polimer. Jika konsentrasi larutan terlalu encer hal ini mengakibatkan larutan lebih cepat menetes, sedangkan jika konsentrasi larutan terlalu pekat dapat menyebabkan serat menjadi sukar terbentuk (Tatang W dan Rismayani.S.,2008) Gambar 18.3 menunjukkan prinsip kerja elektrospinning menghasilkan kain nonwoven yang terdiri dari serat berukuran nano. Cara pembuatan serat nano melalui bahan polimer yang dilarutkan sesuai dengan pelarutnya. Berikut ini dapat dilihat beberapa contoh polimer dan pelarut yang dapat digunakan. Tabel 18.1. Polimer dan Pelarut Polimer yang digunakan untuk Elektrospinning (Zubaidi, 2008) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Polimer Nilon 6, Nilon 66 Poliakrilonitril PET PVA Polystiren Nilon-6-co-poliamida Polibenzimidazol Poliramida Poliimida
Pelarut Asam Formiat Dimetil Formaldehida Asam Trifloro asetat/ Dimeti Klorida Air DMF / Toluena Asam Formiat Dimetl Asetanda Asam Sulfat Fenol
251
18.4 Penelitian yang Berkaitan dengan Elektrospinning Ada beberapa macam penelitian yang berkaitan dengan elektrospinning diantaranya yaitu : a. Serat nano Multikomponen Menurut penelitian yang telah dilakukan, serat nano yang terbuat dari polyampholite (N-carboxymetylchitosan) sebagai bahan pembuatan polielektrolit yang digunakan sebagai anti mikroorganisme. Dalam hal ini, diperoleh serat dengan diameter 50 nm sampai dengan 260 nm (Leslie Y.Yeodan James R.Friend., 2006). Sedangkan, dalam pembuatan nanoelastomer seratnano dapat dibuat dari Stirena-Butaena-Stirena(SBS) yang menghasilkan bahan nonwoven yang elastis dan berbentuk kristal yang kurang bersifat birefrigent, dengan diameter berkisar antara 100nm(www.umassd.edu, 2012). b. Fibroin Fibroin merupakan benang yang terbuat dari ulat sutera dan telah digunakan sebagai bahan tekstil yang berkualitas, dan dalam bidang kedokteran dapat juga dimanfaatkan sebagai benang bedah yang nondegradable serta sifatnya elastis dan lembut. Menurut penelitian yang telah dilakukan, fibroin (bagian utama serat sutera) dapat dihasilkan dengan elektrospinning. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh So Hyun Kim et al. mendapati bahwa serat nano berhasil dibuat dari fibroin sutera dengan menggunakan alat elektrospinning dengan pelarut yang digunakan adalah asam formiat. Diameter yang diperoleh sebesar 80 nm dengan sebaran antara 30 nm sampai dengan 120 nm. Porositas dari nonwoven yang dihasilkan sebesar 76,1% yang berarti sangat baik. Hal ini menunjukkan bahwa telah berhasil ditemukan bahan berongga yang bersifat nondegradable, bicompatible, yang elastis dan lembut (Reinstein Z., 2006). c. Hidrofilik dan Hidrogel Serat nano juga dapat dibuat dari bahan yang mempunyai sifat hidrofilik tinggi maupun hidrogel. Polimer hidrofilik yang bersifat mudah menyerap air sehingga dapat dengan mudah larut dalam larutan. Sedangkan, polimer hidrogel yang mengandung banyak ikatan silang dapat mengikat banyak air tanpa terjadi kelarutan. Nonwoven yang berukuran nano terbuat dari protein dan mempunyai sifat hidrogel dapat digunakan sebagai perekat yang berguna untuk menggantikan penggunaan benang jahit setelah dilakukan operasi mata (Zubaidi, 2008).
18.5 Alat Identifikasi Nanofiber Pengamatan morfologi pada serat nano dapat dilakukan dengan menggunakan AFM (Atomic Force Microscope).
252
Gambar 18.4. Skema Alat Atomic Force Microscope (http://roilbilad.files.wordpress.com, 2010)
18.6 Aplikasi Nanofiber Serat nano (nanofiber) dan elektrospinning adalah material dan teknologi yang sangat penting sekali untuk menunjang kemajuan nanoteknologi dari berbagai bidang,salah satu nya adalah bidang olahraga.Perusahaan In Mat di New Jersey telah mengembangkan lapisan tanah liat dengan ketebalan 1nm. Ketika material tersebut digunakan untuk melapisi bagian dalam bola tenis, maka akan dapat menahan udara didalam bola jauh lebih efektif dari karet biasa, sehingga umur bola dapat bertahan lama. Hal lain yang berkaitan dengan bidang olahraga adalah penggunaan Nanotex pada sebuah pabrik tekstil di Greensboro, North Carolina yang mengembangkan pakaian aktif yang dapat menghamburkan dan mengeringkan keringat. Produk yang dibuat adalah kaos kaki, T-Shirt, dan pakaian dalam yang dapat menyerap bau badan.
18.7 Kesimpulan Dari hasil review ini dapat diketahui sejauh mana kemampuan nanofiber dan elektrospinning untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan dimasa mendatang. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa pembuatan nanofiber dengan menggunakan alat elektrospinning sangat dipengaruhi oleh beberapa variabel antara lain jarak antara nozzle dengan kolektor, kemudian laju alir larutan polimer, konsentrasi dan konduktivitas larutan polimer. Disisi lain, kondisi lingkungan saat pembuatan nanofiber berlangsung juga harus diperhatikan. Nanofiber dan elektrospinning mempunyai pengaruh yang besar dalam menunjang nanoteknologi dan dapat dimanfaatkan dalam berbagai disiplin bidang ilmu antara lain kedokteran, olahraga, dan sebagai nya. 253
DAFTAR PUSTAKA Reinstein Z., Textile Stain Engineering.(2006).
Repellency
and
Self
Cleaning.
Advanced
Material
Roilbilad.files.wordpress.com/2010/11/skema-ilustratif-afm.jpg (diakses pada tanggal 25 november 2012.Pukul 01.00wib) Singh, K. V., Rouge, B., Sawhney, P. S., et al., Applications and Future of Nanotechnology in Textiles. Proceedings of Beltwide Cotton Conferences, San Antonio, Texas, (2,4972,503) (2006). Umassd.edu/engineering/textiles/dyeablePP/index.html (diakses pada tanggal 25 november 2012.Pukul 01.00wib). Wahyudi, T.,Rismayani, S., Aplikasi Nanoteknologi pada Bidang Tekstil, Bandung: Balai Besar Tekstil. Arena Tekstil 23-2, (52-109) (2008). Y.W.H,Wong;C.W.M.Yuen, M.Y.S.Leung,.dkk. Selected Applications of Nanotechnology in Textile. AUTEX Research Journal, 6, 1-8 (2006). Yeo L.Y., Friend J.R, Electrospinning Carbon Nanotube Polymer Composite Nanofiber. Journal of Experimental Nanoscience, 1-2(177-209) (2006). Zubaidi, Nanofiber dan Elektrospinning serta Pemanfaatannya dalam Pembuatan Tekstil Masa Depan., Bandung : Balai Besar Tekstil, Arena Tekstil 23(1-51) (2008).
254
BAB 19 Aplikasinya Carbon Nanotube sebagai Drug Delivery System untuk Terapi Kanker Oleh : Nila Prasetya Aryani
19.1.
Kanker Dan Pengobatannya
Kanker merupakan penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel – sel jaringan tubuh yang tidak normal. Sel – sel tersebut akan membelah secara terus menerus tak terkendali. Pada keadaan normal, sel akan membelah jika ada sel yang mati. Akan tetapi, pada penderita kanker, sel kanker akan membelah dengan sendirinya walaupun tubuh tidak membutuhkannya. Akibatnya, sel-sel tersebut akan menumpuk dan akan menyerang jaringan didekatnya. Selain itu, sel – sel tersebut akan menyebar melalui jaringan ikat dan aliran darah sehingga mengganggu kerja organ tubuh yang ditempatinya. Kanker bisa menyerang semua organ tubuh baik di luar maupun di dalam tubuh. Apabila kanker tersebut menyerang bagian luar tubuh, akan mudah diobati. Akan tetapi, jika sel kanker menyerang organ di dalam tubuh, maka akan sulit diobati. Hal ini dikarenakan tidak ada gejala yang dirasakan penderita kanker. Jika timbul gejala, penyakit tersebut sudah dalam stadium lanjut sehingga akan sulit diobati. Ada beberapa jenis kanker yang berbahaya, diantaranya : a) Kanker Serviks Kanker serviks dikenal juga sebagai kanker leher rahim. Kanker serviks disebabkan oleh papilloma virus onkogenik. Penyebab kanker serviks diantaranya adalah tidak menjaga kebersihan organ vital, berhubungan seksual di usia terlalu muda, dan penyakit menular seksual.
Gambar 19.1. Kanker Serviks (http://trendhidupsehat.com/article/102110/obatkanker-rahim.html) 255
b) Leukemia Leukimia disebut juga kanker darah. Leukemia menyerang sistem darah yaitu menyerang sumsum tulang belakang dan jaringan limfoid yang umumnya terjadi pada sel darah putih. Penyebab kanker darah adalah radiasi material berbahaya dan faktor leukomogenik. c) Kanker payudara Kanker ini merupakan pembunuh wanita nomer satu di dunia. Kanker payudara menyerang jaringan payudara dan umumnya terjadi pada wanita.
Gambar 19.2. Tahap-tahap kanker payudara (http://trendhidupsehat.com/article/102705/obat-kanker-payudara.html) d) Kanker paru-paru Merokok adalah penyebab utama kanker paru-paru. Sekitar 90% kasus kanker paru-paru yang terjadi pada laki-laki dan 70% kasus yang terjadi pada wanita. Hanya sebagian kecil kanker paru-paru yang disebabkan oleh zat yang terhirup seperti polusi dan gas-gas berbahaya lainnya. Gejala kanker paru-paru diantaranya adalah batuk berdahak yang terus menerus, dahak berdarah, napas sesak, sakit kepala, kelelahan kronis, pembengkakan di wajah/leher. Selain yang sudah dijelaskan di atas, masih banyak lagi jenis kanker yang menyerang tubuh manusia. Berbagai cara dilakukan oleh dokter dan peneliti untuk mengobati penyakit kanker baik yang alami maupun yang menggunakan teknologi. Pengobatan kanker yang populer diantaranya adalah radioterapi, operasi untuk mengambil sel kanker dari tubuh, dan yang paling diminati adalah kemoterapi. Berikut ini penjelasan lebih detail tentang jenis-jenis pengobatan kanker : a) Radioterapi Pengobatan dengan cara ini dilakukan sebelum atau sesudah operasi. Tujuannya adalah untuk mengecilkan tumor dan membersihkan sel kanker. Radioterapi dilakukan dengan cara penyinaran pada jaringan tubuh yang terkena sel kanker. Hal ini juga bertujuan untuk menghancurkan jaringan-jaringan tubuh yang sudah terkena kanker. Efek dari radioterapi adalah mual, muntah, penurunan jumlah sel darah putih, infeksi/peradangan, reaksi pada kulit seperti terbakar sinar matahari, 256
rasa lelah, sakit pada mulut dan tenggorokan, diare, dan dapat menyebabkan kebotakan.
Gambar 19.3. Perangkat radioterapi clinic dengan meja tidur pasien (http://id.wikipedia.org/wiki/Radioterapi)
b) Operasi Pembedahan/operasi merupakan teknik pengobatan kanker yang paling tua. Pembedahan dilakukan untuk menentukan stadium dan juga untuk mengangkat sel kanker. Beberapa pasien kanker menganggap pengobatan dengan cara ini merupakan pengobatan yang paling menakutkan. Oleh sebab itu, pengobatan dengan cara operasi sudah tidak popular lagi di kalangan penderita kanker. Pasien kanker lebih memilih pengobatan tanpa operasi. c) Kemoterapi Kemoterapi merupakan pengobatan kanker yang melibatkan penggunaan zat-zat kimia untuk membunuh dan meracuni sel-sel kanker yang ada di dalam tubuh. Kemoterapi telah digunakan sebagai standard protocol pengobatan kanker sejak tahun 1950. Pada pengobatan kanker, kemoterapi dapat diaplikasikan dengan 3 cara, yaitu : a. Terapi utama (primer) Merupakan kemoterapi yang memang bertujuan untuk memberantas dan membunuh sel-sel kankernya. b. Terapi ajuvan (tambahan) Kemoterapi yang diaplikasikan sebagai terapi ajuvan hanya digunakan untuk memastikan sel kanker sudah bersih dan tidak kembali. Biasanya terapi ini dilakukan pada pasien yang baru menjalani operasi pengangkatan sel kanker maupun menjalani radioterapi. c. Terapi paliatif Terapi ini hanya bersifat mengendalikan pertumbuhan sel kanker, bukan untuk menyembuhkan atau memberantasnya. Terapi ini biasanya dilakukan untuk pasien yang sudah stadium lanjut dimana sel kanker sudah menyebar ke organorgan lain di dalam tubuh. Kemoterapi memang merupakan teknik pengobatan kanker yang paling diminati. Akan tetapi, kemoterapi memiliki beberapa efek samping. Jon Barron, seorang pakar teknologi dari Havard dam MIT, dalam artikelnya yang berjudul ‘Chemoterapy, An 257
Interesting Choice’, menuliskan bahwa kerugian utama kemoterapi adalah bahwa zat-zat kimia yang masuk ke dalam tubuh tidak hanya membunuh sel-sel kanker yang sedang membelah diri, tetapi semua sel yang membelah diri. Sel-sel sehat yang sedang membelah diri tidak luput dari serangan zat-zat kimia tersebut. Sebagai contoh, terdapat probabilitas yang tinggi bahwa sel-sel imun tubuh yang cepat membelah diri juga akan mati.hal ini tentu akan sangat merugikan, karena tubuh kita tidak mampu memerangi penyakit lain yang timbul sebagai akibat dari perawatan. Merujuk pada penjelasan di atas, maka diperlukan adanya drug delivery yang bisa mengantarkan obat kanker tanpa merusak sel kanker. Untuk merealisasikan hal tersebut, diperlukan adanya material yang mampu masuk ke dalam tubuh dan mengantar obat hanya pada sel kanker. Carbon Nanotube (CNT) merupakan salah satu material yang paling potensial untuk digunakan sebagai drug delivery cargos.
19.2.
Carbon Nanotube (CNT)
Carbon Nanotube (CNT) merupakan struktur graphit yang digulung sehingga menyerupai tabung. Struktur CNT pertama kali ditemukan oleh Sumio Iijima dari NEC laboratories pada tahun 1991. Berdasarkan jumlah sheel yang dibentuknya, CNT dibagi menjadi dua jenis, yaitu Single Walled Carbon Nanotube (SWCNT) dan Multi Walled Carbon Nanotube (MWCNT). Single Walled Carbon Nanotube (SWCNT) merupakan carbon nanotube yang hanya memiliki satu lapisan grafen sedangkan Multi Walled Carbon Nanotube (MWCNT) merupakan carbon nanotube yang memiliki dua atau lebih lapisan-lapisan grafen. Berikut ini adalah penjelasan lebih lanjut mengenai Single Walled Carbon Nanotube (SWCNT) dan Multi Walled Carbon Nanotube (MWCNT).
19.2.1.
Single Walled Carbon Nanotube (SWCNT)
258
Gambar 19.4. Struktur Molekul (a) C60 (b) SWCNT (www.hielscher.com/CNT) SWCNT merupakan CNT yang hanya terdiri dari satu sheel (cangkang) saja. Akan tetapi, SWCNT sangat tahan terhadap kerusakan akibat gaya fisis yang mengenainya.
19.2.2.
Multi Walled Carbon Nanotube (MWCNT)
Gambar 19.5. MWCNT (http://wisnutech.blogspot.com) MWCNT merupakan CNT yang terdiri dari lapisan-lapisan cangkang. Penumbuhan CNT jauh lebih mudah daripada penumbuhan SWCNT. CNT mempunyai beberapa sifat penting yang membuat CNT tersebut mampu dijadikan sebagai drug delivery, antara lain: a. CNT dapat menembus nuclei sel. b. CNT dapat menembus membrane sel. Hal ini sangat penting, karena ketika drug delivery dimasukkan ke dalam tubuh, material pembawa harus bisa menembus membrane sel yang ada di dalam tubuh supaya bisa mencapai sel kanker. c. Ukuran CNT yang berskala nano membuat sel-sel lain di dalam tubuh tidak menyadari CNT sebagai ‘pendatang’. d. CNT memiliki volume yang besar sehingga obat-obat kanker bisa disisipkan ke dalamnya.
19.3.
CNT sebagai drug delivery system
CNT memiliki beberapa kekurangan jika material tersebut diaplikasikan untuk drug delivery system, diantaranya adalah : a. Untuk menjadi drug delivery yang bisa masuk ke dalam tubuh, material yang digunakan harus mempunyai solubilitas yang sama dengan tubuh. Hal ini dikarenakan sebagian besar dari tubuh manusia adalah air. CNT memiliki solubilitas yang rendah sehingga kita harus meningkatkan solubilitas CNT supaya material tersebut bisa diaplikasikan sebagai drug delivery. b. Untuk saling berikatan, rantai-rantai karbon pada CNT mengalami gaya Van Der Waal secara alamiah. Gaya Van Der Waal tersebut menyebabkan CNT akan mengikat satu sama lain jika bertemu CNT lainnya. Hal ini akan sangat 259
merugikan jika CNT diaplikasikan sebagai drug delivery. Oleh karena itu, kita harus mengurangi gaya Van Der Waal tersebut. Untuk mengatasi masalah di atas, Foldvari et al. telah menemukan empat metode yang dapat dilakukan : a. Surfactant-assisted dispersion b. Solvent Dispersion c. Functionalization Sidewalls d. Biomolecular Dispersion Diantara keempat metode tersebut, functionalization merupakan metode yang paling baik untuk mengatasi masalah CNT sebagai drug delivery.
19.4.
Functionalization CNT
Prinsip dari functionalization adalah membuat ikatan carbon pada CNT berikatan dengan material lain. Jika ikatan tersebut merupakan ikatan kovalen, maka disebut covalent functionalization, sebaliknya jika ikatan tersebut merupakan ikatan non-kovalen maka disebut non-covalent functionalization. Functionalization berfungsi untuk meningkatkan solubilitas CNT dan mengurangi ikatan alami diantara mereka. Setelah dilakukan proses functionalization, masih banyak proses yang harus dilakukan untuk membuat CNT menjadi drug delivery yang siap diaplikasikan ke dalam tubuh manusia. Berikut adalah contoh proses ikatan antara N-succimidyl-1-pyrenebutanoic dengan permukaan SWCNT yang membentuk non-covalent functionalization.
Gambar 19.6. non-covalent functionalization (Pasrotin, G., 2008) Tabel 19.1. Tipe functionalization (Pasrotin, G., 2008) CNT SWCNT
Non-covalent functionalization
Functionalization
Agen therapeutic 1-pyrenebutanoic acid, Protein (ferritin succimidyl ester dan streptavidin) Amphiphilic (PEG)-copolimer Doxorubicin Co-polimer pluronic F127
Doxorubicin
SWCNT-ox SWCNTs-CONH-C 6 H 12 NH3 +
siRNA
MWCNT
Doxorubicin
Co-polimer pluronic F127
260
Aplikasi Terapi kanker Terapi kanker Terapi kanker Terapi kanker Terapi kanker
Covalent functionalization
SWCNT-ox EDC+Biotin/Streptavidin+
Streptavidin
MWCNTox MWCNT
Gonadotropin
EDC+NHS
1,3-dipolar cycloaddition dari Methotrexate azomethine ylides (MTX)
Terapi kanker Terapi kanker Terapi kanker
Dari tabel di atas, terlihat bahwa : a. Untuk ‘mengantar’ protein (ferritin dan streptavidin) ke dalam tubuh, diperlukan SWCNT yang berikatan dengan 1-pyrenebutanoic acid, succinimidyl ester secara non-kovalen (non-covalent functionalization) b. Untuk ‘mengantar’ Doxorubicin (DOX) ke dalam tubuh, diperlukan SWCNT yang berikatan dengan amphiphilic (PEG)-based copolymer atau co-polymer pluronic F127 secara non-kovalen (non-covalent functionalization) c. Untuk ‘mengantar’ prodrug Pt ke dalam tubuh, diperlukan SWCNT yang berikatan dengan PEG-platinum(IV) constract secara non-kovalen (non-covalent functionalization) d. Untuk ‘mengantar’ streptavidin ke dalam tubuh, diperlukan SWCNT yang berikatan dengan EDC+Biotin secara kovalen (covalent functionalization) e. Untuk ‘mengantar’ Methotrexate ke dalam tubuh, diperlukan SWCNT yang berikatan dengan 1,3-dipolar cicloaddition of azomethine ylides secara nonkovalen (covalent functionalization) Functionalization merupakan tahao awal yang dilakukan agar CNT dapat dimanfaatkan sebagai drug delivery. Masih banyak tahapan-tahapan yang harus dilakukan. Berikut ini adalah skema tahapan-tahapan yang harus dilakukan agar CNT dapat dimanfaatkan sebagai drug delivery.
functionalization
CNT
Pengisian obat
CNT-COOH
Konjugasi silika
CNT-COOH Yang diisi dengan obat
261
Menutup dg silika
pemanasan
Gambar 19.7. Tahap-tahap yang dilakukan untuk membuat CNT sebagai drug delivery (http://youtube.com/functionalization-of-singlewalledCNT)
19.5.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa CNT dapat digunakan sebagai drug delivery cargos untuk mengantarkan obat kanker hanya pada sel kanker, tidak merusak sel yang sehat. Untuk membuat CNT stabil di dalam tubuh, maka diperlukan perlakuan functionalization yaitu usaha untuk mengurangi ikatan Van Der Waal dan meningkatkan solubilitas CNT.
DAFTAR PUSTAKA Pasrotin, G., Crucials Functionalization of Carbon Nanotube for Improved Drug Delivery : a Valuable Option?, Springer Science 26, 746-763 (2008)
Sinha, N., Carbon Nanotubes for Biomedical Applications. IEEE 4, 180-191 (2005)
Zhang, W., Zhang, Z., Zhang, Y., The Application of Carbon Nanotube in Targer Drug Delivery System for Cancer Therapies, Nanoscale Research Letter (2011) (http://www.nanoscalereslett.com/content/6/1/555)
262
http://trendhidupsehat.com/article/102110/obat-kanker-rahim.html Desember 2012)
(diakses
tanggal
3
http://trendhidupsehat.com/article/102705/obat-kanker-payudara.html (diakses tanggal 3 Desember 2012)
http://id.wikipedia.org/wiki/Radioterapi (diakses tanggal 22 November 2012)
http://www.hielscher.com/CNT (diakses tanggal 23 November 2012)
http://wisnutech.blogspot.com (diakses tanggal 23 November 2012)
http://youtube.com/functionalization-of-singlewalledCNT (diakses tanggal 24 November 2012)
263
Bab 20 Detektor Gas Etilen pada Buah dengan Carbon Nanotube Oleh : Nuha
20.1 PENDAHULUAN Etilene (C 2 H4 ) adalah hormone terkecil pada tumbuhan. Etilen memiliki peranan penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. Fungsi dan peran Etilen diantaranya adalah sebagai penginisiasi kematangan buah, membantu dalam perkembangan kecambah dan bunga, dan juga bertanggung jawab dalam proses pembusukan bunga dan buah. Proses kematangan buah merupakan hasil dari Etilen yang berikatan dengan reseptor ETR1. Jika kita ingin menentukan waktu panen, kita dapat mengamati prosesnya, yaitu dengan mendeteksi emisi gas Etilen yang dihasilkan dari buah tersebut. Berbagai metode telah dikembangkan untuk mendeteksi gas Etilen. Secara traditional, konsentrasi gas Etilen dapat dideteksi dengan menggunakan gas kromatografi dan photo-acoustic spektrokopi. Tetapi kedua metode tersebut memiliki kekurangan, yaitu sistem operasional yang tidak prkatis dan pengukuran yang dilakukan tidak real-time, dan juga membutuhkan peralatan yang harganya mahal. Metode lainnya yang telah dikembang diantaranya metode elektrokimia, sensor magneto elastis, photoluminescence quenching, amperometrik, dan metode chemoresistive. Beberapa metode tersebut membutuhkan biaya yang tinggi, tidak praktis, dan kurang senstitif terhadap gas Etilen. Pada makalah ini, akan diulas kembali mengenai perkembangan modifikasi metode chemo-resistive dengan penambahan SWNT.
20.2 CARBON NANOTUBE Carbon Nanotube (CNT) merupakan struktur graphit (hibridisasi–sp2) yang terdiri dari rantai karbon dengan dimensi dalam satuan nanometer. Pada tahun 1970, Morinobu Endo, peneliti dari Jepang, menemukan filamen karbon berukuran 7 nanometer. Saat itu, penemuan Morinobu belum menarik kalangan peneliti lainnya. Pada tahun 1991, Sumio Iijima berhasil menemukan struktur dan sifat-sifat karbon nanotube. Karbon nanotube yang ditemukan Profesor Iijima merupakan suatu rantaian atom karbon yang terikat di antara satu sama lain secara heksagonal berbentuk silinder tak pejal yang mempunyai diameter 1-2 nanometer. Panjang silindernya tidak dalam skala nano melainkan dalam skala mikrometer sampai sentimeter. 264
Berdasarkan jumlah dindingnya, CNT dibagi menjadi dua yaitu single-walled carbon nanotube (SWNT) dan multi-walled carbon nanotube (MWNT). Gambar 20.1 dan 20.2 merupakan struktur dari SWNT dan MWNT.
Gambar 20.1 SWNT (http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/katalis-didalam-tabung-karbon-nano)
Gambar 20.1. MWNT (http://wisnutech.blogspot.com) SWNT merupakan platform yang ideal untuk sensor kimia (Ding, 2012). SWNT memiliki kisi konjugasi hibridisasi-sp2, konduktivitas yang tinggi, dan nilai perbandingan yang cukup besar antara diameter dan panjang. Karakter ini sangat menguntungkan. Bentuk kisi seperti ini memungkinkan efesiensi transpot elektron. Tingginya konduktivitas mempengaruhi tingkat senstivitas terhadap perubahan lingkungan disekitarnya. Perbandingan yang cukup besar antara diameter dan panjang dan konduktivitas yang tinggi merupakan alasan SWNT dapat digunakan sebagai sensor.
265
20.3 METODE MENDETEKSI GAS ETILEN Proses pematangan buah merupakan hasil ikatan antara Etilen dengan reseptor ETR1. Konsentrasi Etilen di dalam buah dapat dijadikan sebagai indikator penentuan waktu panen dari buah tersebut. Gambar 20.3 menunjukan proses pematangan buah pisang. Pisang yang belum matang ditunjukan oleh nomor satu sedangkan nomor tujuh menunjukan pisang yang sudah matang.
Gambar 20.2. Proses pematangan buah pisang (http://smalltownrevelations.wordpress.com/2011/03/17/the-trouble-with-bananas) Secara tradisional, konsentrasi gas Etilen dideteksi dengan gas kromatografi menggunakan gas kromatografi dan photo-acoustic spektrokopi. Metode lainnya yang telah dikembang diantaranya metode elektrokimia, sensor magneto elastis, photoluminescence quenching, amperometrik, dan metode chemo-resistive. Pada tahun 1998, F. I. Rodgriguez dan kawan-kawan, menggunakan copper (I) complex or CuI untuk mendeteksi gas Etilen. Rodgriguez dan kawan-kawan terinspirasi dari alam, CuI secara alami ditemukan sebagai kofaktor yang penting dari reseptor ETR1, sedangkan saat proses pematangan buah reseptor ETR1 berikatan dengan gas etilen. Jadi, saat mendeteksi gas etilen, CuI digunakan dengan mendeteksi keberadaan reseptor ETR1.Tetapi sistem sensor ini masih sulit mendeteksi keberadaan gas etilen, karena ukuran etilen yang sangat kecil dan kurang polarnya etilen (Esser, 2012). Pada tahun 2010, Timothy Swager dan kawan-kawan berhasil mengembangkan fluorescence sensor menggunakan Cu1 (Esser, 2010). Tetapi sistem sensor ini hanya mampu mendeteksi konsentrasi Etilen dalam jumlah yang sangat tinggi yaitu sekitar 1000 ppm. Konsentrasi di bawah 1000 ppm tidak dapat dideteksi, sedangkan konsentrasi gas Etilen yang dihasilkan saat proses pematangan buah hanya sekitar 0,5-50 ppm (Esser, 2012). Pada tahun 2012, Timothy menambahkan SWNT pada sistem sensor yang dikembangkan dua tahun sebelumnya. Gambar 4 merupakan skema sistem sensor chemo-resistive yang dikembangkan Timothy dan kawan-kawan pada tahun 2012.
266
Gambar 20.3. Skema skema sistem sensor chemo-resistive untuk mendeteksi gas Etilen ( Esser, 2012) Secara sederhana prinsip kerja dari sistem sensor ini adalah sebagai berikut : 1. Sebelum Etilen datang, Cu1 berinteraksi dengan SWNT, 2. Saat Etilen datang, Cu1 berikatan dengan molekul Etilen membentuk Cu– ethylene kompleks 2, yang menyebabkan perubahan resitansi, 3. Perubahan resistansi ini yang dideteksi oleh SWNT. Semakin banyak etilen yang berikatan dengan Cu1 menggambarkan semakin tinggi konsentrasi Etilen yang diemisikan oleh buah. Kehadiran SWNT dalam sistem sensor ini, meningkatkan tingkat sensitifitas dari sistem tersebut, dikarenakan SWNT dapat mendeteksi perubahan resistansi yang kecil. Parameter dari suatu sistem sensor kimia yang baik adalah tingginya tingkat sensitifitas dan selektifitasnya. Untuk mengetahui tingkat sensitifitas dari sistem sensor ini, dilakukan pengukuran kepada beberapa jenis buah yang berbeda. Jenis buah yang digunakan diantaranya pisang, apel, pir, dan jeruk. Sedangkan untuk mengetahui tingkat selektifitas terhadap Etilen, dilakukan pengukuran tanggapan dari Cu1-SWNT dan SWNT murni terhadap beberapa zat lainnya yang berperan dalam proses metabolism pada buah. Beberapa zat lainnya diantaranya adalah acetonitrile, tetrahydrofuran, acetaldehyde, air, etil asetat, etanol, n-Hexane dan klorofrom. Konsentrasi dari zat–zat tersebut antara 75 sampai 200 ppm, sedangkan konsentrasi gas Etilen hanya 50 ppm.
20.4 HASIL DAN DISKUSI Gambar 20.5 menunjukan respon devais Cu1-SWNT terhadap gas etilen (20 ppm), pisang, alpukat, apel,pir dan jeruk. Respon devais Cu1-SWNT terhadap gas etilen dengan konsentrasi 20 ppm bernilai 1. Sedangkan respon tertinggi ditunjukan oleh buah pisang. Respon yang tinggi menandakan bahwa konsentrasi gas etilen yang diemisikan semakin tinggi. Dengan kata lain, buah pisang mengemisikan gas etilen paling banyak, sedangkan jeruk mengemisikan gas etilen paling sedikit.
267
Gambar 20.4. Grafik respon devais Cu1-SWNT terhadap gas etilen (20 ppm), pisang, alpukat, apel,pir dan jeruk (Ding, 2012) Tinggi rendahnya konsentrasi gas etilen yang diemisikan dapat menjadi indikator cepat lambatnya pematangan dan pembusukan buah. Berdasarkan tinggi rendahnya konsentrasi gas etilen dan karbon dioksida (CO 2 ) yang diemisikan, buah dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu klimetrik, jenis buah yang memproduksi CO 2 and C 2 H4 dalam jumlah banyak saat proses pematangan; dan non-klimetrik, jenis buah yang memproduksi CO 2 and C 2 H4 dalam jumlah sedikit saat proses pematangan. Gambar 20.6 menunjukan emisi gas etilen dari beberapa buah selama 25 hari pengamatan. Pada minggu pertama terjadi peningkatan konsentrasi gas etilen pada buah alpukat, pir dan jeruk. Setelah minggu kedua terjadi penurunan, ini dikarenakan buah tersebut mulai mengalami proses pembusukan. Dari Gambar 20.6 dapat dilihat bahwa pisang, alpukat, apel dan pir termasuk jenis buah klimetrik sedangkan jeruk termasuk jenis buah non-klimetrik. Karena jeruk termasuk jenis buah non-klimetrik, maka emisi gas etilen cenderung konstan dan nilai responnya di bawah satu. Nilai respon di bawah satu ini menunjukkan bahwa emisi gas etilennya dibawah 20 ppm. Dalam pengujian ini, dilakukan juga perbandingan terhadap jenis buah yang sama tapi tempat penyimpanan yang berbeda. Jenis buah yang dipilih adalah apel. Apel 1 adalah apel yang disimpan di dalam lemari es sedangkan apel 2 adalah apel yang disimpan pada temperatur ruang. Dari gambar 20.6 dapat dilihat bahwa emisi gas etilen apel 2 lebih cepat turun, artinya proses pembusukan semakin cepat.
268
Gambar 20.5. Emisi gas etilen pada beberapa buah selama 25 hari (Esser, 2012) Gambar 20.7 menunjukkan respon Cu1-SWNT dan SWNT murni terhadap beberapa zat. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat selektifitas Cu1-SWNT terhadap gas etilen dan zat lainnya. Dari gambar 20.7 dapat dilihat bahwa respon Cu1SWNT terhadap gas etilen paling tinggi. Sedangkan respon SWNT murni terhadap keseluruhan sangat kecil. Ini menunjukan bahwa SWNT tidak bereaksi dengan zat tersebut, SWNT hanya mendeteksi perubahan resistansi akibat Cu1 yang berikatan dengan molekul etilen.
Gambar 20.6. Perbandingan respon Cu1-SWNT dan SWNT murni terhadap beberapa zat (Esser, 2012)
269
20.5 KESIMPULAN Dari hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa sistem sensor berbasis Cu1-SWNT untuk mendeteksi gas etilen telah berhasil dikembangkan. Dari hasil pengujian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa sistem sensor berbasis Cu1SWNT memiliki tingkat sensitifitas dan selektifitas yang tinggi. Sistem sensor ini juga dapat mendeteksi gas etilen sampai di bawah 20 ppm.
270
DAFTAR PUSTAKA Ding, M., Star, A. Selecting Fruits with Carbon Nanotube. Angew. Chem. Int. Ed. 2012, 51, 7637 – 7638. (2012) Esser, B., Schnorr, J. M., Swager, T. M. Detection of Ethylene Gas by Fluorescence Turn-On of a Conjugated Polymer. Angew. Chem. Ed. Int. 2010, 49, 8872-8875. (2010). Esser, B., Schnorr, J. M., Swager, T. M. Selective Detection of Ethylene Gas Using Carbon Nanotube-based Devices: Utility in Determination of Fruit Ripeness. Angew. Chem. Int. Ed. 2012, 51, 5752 – 5756. (2012).
271
Bab 21 Hipertermia Magnetik: Terapi Kanker Menggunakan Nanopartikel Magnetik Oleh : Riri Murniati
21.1 Pendahuluan Nanosains dan nanoteknologi merupakan ranah ilmu yang dewasa ini berkembang sangat pesat dan aplikasinya digunakan dalam berbagai bidang. Ukuran partikel yang sangat kecil namun dengan efisiensi yang lebih tinggi merupakan alasan ilmu ini menarik untuk dikembangkan. Isu–isu nanoteknologi telah menyebar luas di masyarakat Indonesia, khususnya di kalangan akademika. Perkembangan tentang nanoteknologi di Indonesia berlangsung secara terus–menerus terlihat dari makin banyak riset maupun karya ilmiah yang dibuat mahasiswa atau dosen yang berkaitan dengan nanoteknologi. Nanoteknologi dapat diaplikasikan pada dua jenis subyek mayor, yaitu Life Science dan Technology. Aplikasi dalam Life Sciencemerupakan aplikasi nanoteknologi dalam bidang medis maupun biologi yang bersifat selalu mengalami perkembangan, seiring halnya dengan perkembangan kontinyu nanoteknologi di Indonesia. Life Science juga merupakan ilmu sains yang esensial, sangat dibutuhkan oleh masyarakat, bagi Indonesia subyek Life Science lebih dibutuhkan dan lebih sering dicari dibanding Technology. Yang dimaksud dengan Technology disini adalah aplikasi nanoteknologi yang ditekankan pada karya cipta gadgets canggih. Nanoteknologi pada dasarnya ada tiga macam, yaitu: nano-proses, nano-material dan nano-karakterisasi. Untuk kasus nanomaterial, memiliki berbagai macam jenis, yang akan diulas disini adalah mengenai jenis nanopertikel magnetik atau Magnetic NanoParticles (MNPs). Terapi pengobatan kanker selama ini baik kemoterapi, radioterapi maupun pembedahan masih belum memperoleh hasil yang memuaskan sehingga diperlukan terapi pengobatan alternatif yang lebih efektif dan tidak memberikan efek samping yang signifikan. Secara keilmuan, maka hampir
272
semua konsep pengobatan alternatif yang baik, didasarkan atas 3 macam terapi yang dirangkaikan sebagai berikut: Pertama adalah terapi untuk melindungi sel yang sehat dari serangan sel kanker. Ini dilakukan dengan memberi nutrisi yang berlimpah pada sel yang sehat dengan cara mengubah diet (memilih jenis makanan) dan meningkatkan alkaline dan menurunkan keasaman tubuh. Umumnya penderita diubah cara makannya menjadi vegetarian atau hampir vegetarian dengan beberapa pengecualian. Terapi yang terkenal dalam konsep ini adalah Gerson Therapy dan Budwig Protocol, Cellect Budwig atau beberapa terapi lainnya. Terapi kedua adalah terapi untuk membunuh sel kanker dan menghentikan penyebarannya. Banyak cara yang tersedia untuk melakukannya, misalkan dengan membuat badan menjadi alkaline seperti di atas agar kanker tidak dapat hidup, yang dilakukan dengan cara menambahkan sejumlah supplement tertentu untuk menaikkan alkalinitas badan dengan cepat. Cara lain adalah dengan menaikkan temperatur badan pasien agar sel kanker mati (Hyperthermia Therapy), memaksimalkan oxygen di dalam badan (Ozon Therapy atau Peroxide Therapy), Magnetic Field Therapy, Electromedicine Therapy, Intravenus Vit-C dan beberapa cara lainnya yang efektif membunuh sel kanker atau merubahnya menjadi sel normal. Ada beberapa klinik yang menggunakan teknik “low-dose” chemo yang menggunakan cairan kemo khusus, dengan kadar kurang dari 10% dari yang umum dipakai, namun diberikan dengan cara yang berbeda (diberikan sejalan dengan terapi hipertermia magnetik). Terapi Ketiga adalah untuk meningkatkan daya kekebalan tubuh agar pada jangka waktu yang lama atau secara permanen tidak akan terjadi remisi kanker (kanker muncul kembali). Ini dilakukan dengan cara Homeophaty therapy, detoxification, nutritional theraphy, Enzyme therapy, psychological therapy, spiritual support dan lainnya. Seluruh jenis terapi ini adalah sangat natural dan tidak memiliki efek samping. Dapat juga kita lihat bahwa pendekatan cara pengobatan alternatif ini sangat berbeda dengan cara konvensionaldimana kanker yang sebenarnya hanya puncak dari symptom yang ada, dihilangkan dengan cara memotong (operasi), meracun (dengan obat dan kemo) dan membakar (dengan kemo dan radiasi). Ini sering disebut sebagai cara “cut-poison-burn”. Cara ini terbukti sangat rendah tingkat kesuksesannya dan memberi kualitas hidup yang rendah bagi penderita. Sangat disayangkan bahwa sebagian besar para penderita yang mencoba pengobatan alternatif adalah mereka yang telah melalui pengobatan konvensional dan tidak berhasil. Kondisi penderita biasanya memang sudah sangat parah, terutama oleh kemoterapi, radiasi dan operasi, dimana tingkat kekebalan tubuh mereka sudah mendekati nol dan organ-organ tubuh mereka sudah sebahagian menjadi cacat permanen akibat cara pengobatan ini. Pada kondisi ini biasanya cara pengobatan alternatifakan juga mendapat kesulitan untuk mengobati pasien. Secara umum, tingkat kesembuhan mereka dengan pengobatan alternatif adalah kurang dari 50% saja dengan kemungkinan remisi yang masih dapat terjadi. Ini sangat disayangkan karena bila langsung menggunakan alternatif, tingkat 273
kesembuhannya akan berlipat ganda. Sebagai contoh, penyembuhan dengan Gerson Therapy misalkan, membutuhkan 6-12 bulan hanya untuk mengeluarkan cairan kemo yang mengendap dalam sel penderita yang telah dirawat berbulan bulan atau bertahun dengan cara kemo. Ini akan memperlambat waktu penyembuhan, sedangkan penderita tidak memiliki waktu banyak untuk mengejar kesembuhannya. Terapi penyembuhan penyakit yang paling banyak mendapat kecaman yaitu Kemoterapi. Terapi ini sangat membutuhkan biaya yang mahal, sangat membuat pasien menderita dan yang paling tidak masuk akal adalah bahwa tingkat kesembuhannya hanya di bawah 5%. Kemoterapi secara harafiah berarti usaha penyembuhan dengan menggunakan bahan kimia. Hal yang sangat menarik adalah bahwa seluruh jenis bahan kimia ini adalah merupakan bahan yang tergolong karsinogenik, atau dapat menimbulkan kanker. Fakta ini merupakan bentuk kontroversi terbesar dari penggunaan kemoterapi untuk penyembuhan kanker. Ia disebutkan dapat membunuh sel kanker dan sebaliknya dapat menimbulkan kanker. Di dalam realitanya sangat sering terjadi kasus dimana seseorang dinyatakan bebas dari kanker, namun beberapa tahun kemudian ini mengidap kanker lagi. Ada dua kemungkinan yang terjadi disini yaitu bahwa kanker pertamanya memang belum sembuh atau ia mendapatkan kanker baru, hasil dari dampak zat kemo yang digunakan. Pengobatan dengan kemo membuat pasien sangat menderita dikarenakan cairan kemo akan membunuh sel-sel tanpa pandang bulu, baik itu sel kanker maupun bukan. Sebagai contoh kecil, sel kulit kepala juga menjadi mati dan rambut menjadi rontok. Penggunaan kemoterapi dilakukan dengan mengesampingkan kemampuan daya tahan tubuh untuk mengobati dan memerangi penyakit yang ada. Sebaliknya daya tahan tubuh atau kekebalan penderita akan ikut ambruk pada saat pengobatan tadi. Karena itulah para pasien ini diisolasi selama proses kemo agar terhindar dari kemungkinan infeksi maupun tertular penyakit, karena pada saat ini ia tidak memiliki daya kekebalan tubuh. Pasien akan merasakan kesakitan dan panas seperti terbakar, rambut yang rontok, nafsu makan yang hilang, nyeri akibat kulit dan kuku yang mengelupas, sakit perut, mual, pusing hebat dan badan terasa tidak bertenaga. Akibat sampingan lain adalah perdarahan, steril dalam hal reproduksi, dan impoten untuk lelaki. Ini adalah sebahagian dampak sampingan akibat kemo yang umumnya bisa kembali normal dengan perawatan. Yang lebih serius adalah efek samping berupa kerusakan permanen pada ginjal, hati, pendengaran dan kerusakan jantung. Hal ini umumnya tidak dapat dikembalikan pada kondisi normal. Para ilmuwan di Georgia Institute of Technology dan Ovarian Cancer Institute telah mengembangkan sebuah cara baru yang potensial untuk mengobati kanker dengan menggunakan nanopartikel magnetik. Nanopartikel magnetik ini dikembangkan dengan tujuan menghilangkan sel-sel kanker dari dalam tubuh. Metode ini telah diujikan pada seekor tikus pada tahun 2008, dan kini telah dilakukan pengujian dengan menggunakan sampel dari penderita kanker. Ide metode ini datang dari Ken Scarberry yang awalnya meyakini bahwa ada sarana yang dapat digunakan untuk menghilangkan virus 274
dan sel yang terinfeksi secara viral. Kemudian ia melihat bagaimana metode ini bisa bekerja pada sel-sel kanker. Hasilnya menunjukkan bahwa dengan memberikan sel-sel kanker dari tikus yang diberi sinar fluorescent green tag dan nanopartikel magnetik berwarna merah, mereka mampu menerapkan magnet untuk memindahkan sel-sel kanker ke daerah perut. Oleh karena itu, terapi alternatif yang dibutuhkan untuk menjawab persoalan ini adalah terapi hipertermia magnetik.
21.2 Nanopartikel Magnetik Nanopartikel magnetik merupakan suatu jenis nanopartikel yang dapat digerakkan menggunakan medan magnet. Beberapa partikel yang mengandung unsur magnetik diantaranya besi, nikel dan kobalt serta campuran kimiawi unsur-unsur tersebut, dimana nanopartikel ini berukuran lebih kecil diameternya dibandingkan dari 1 mikrometer (biasanya 5–500 nanometers). Nanopartikel magnetik telah banyak menjadi fokus riset barubaru ini disebabkan sifatnya yang menarik serta penggunaannya sangat potensial sebagai katalisis yang mencakup: katalis berbasis nanomaterial, biomedicine, MRI (Magnetic Resonance Imaging), MPI (Magnetic Particle Imaging), data storage, enviromental remediation, nanofluids, dan optical filters.
Gambar 21.1Mikropartikel (kiri) dan nanopartikel (kanan) (Tombácz, 2007) Nanopartikel magnetik banyak digunakan di bidang industri seperti tinta magnetik untuk perbankan, media pencatat magnetik, juga di bidang biomedikal seperti media kontras Magnetic Resonance Imaging), bahan diagnosa dan terapi kanker. Penggunaan partikel magnetik di bidang biomedikal biasanya menuntut sifat superparamagnetik dan terdispersi atau membentuk koloid stabil dalam air berlingkungan pH netral dan garam fisiologis. Kestabilan partikel magnetik di dalam air bergantung pada beberapa faktor diantaranya ukuran, muatan dan sifat kimiawinya. Semakin kecil ukuran partikel, pengaruh gaya gravitasi semakin dapat diabaikan. Sedangkan peningkatan muatan dan kimiawinya memungkinkan adanya gaya tolak menolak antar partikel sehingga partikel dapat stabil terdispersi dalam air. Demikian pula sifat superparamagnetik akan dapat dicapai bila ukuran partikel magnet makin kecil sehingga mengakibatkan makin kecil pula
275
interaksi antar partikel. Untuk tujuan itu pembuatan partikel berskala nanometer dan pelapisan partikel magnetik dengan polimer organik merupakan cara yang efektif dan telah mulai banyak dikaji. Nanopartikel magnetik yang umum dipakai dalam terapi ini adalah nanopartikel oksida besi yang merupakan material yang juga digunakan dalam aplikasi MRI. Keistimewaan nanopartikel ini dikarenakan kemampuannya yang biokompatibel dan stabil terhadap tanggapan oksidasiSaat ini, oksida besi dalam bentuk senyawa Fe 3 O 4 (magnetite) atau γFe 2 O 3 (maghemite) merupakan partikel yang paling umum digunakan dalam bidang biomedikal. Berikut adalah contoh hasil karakterisasi Magnetite dan Maghemite menggunakan difraksi sinar-X.
In te ns ita
Sudut
Gambar 21.2Hasil XRD Magnetite dan Maghemite(Tombácz, 2007) Tuntutan lain dalam bidang biomedikal terutama untuk penggunaan secara in vivo adalah sifat biokompatibilitas dan toksisitas, yang dipengaruhi oleh sifat dasar partikel magnetik dan bahan pelapisnya.Bahan magnetik lain seperti kobal (Co) dan nikel (Ni) meskipun kemagnetannya lebih tinggi, tidak umum digunakan karena bersifat racun (toxic). Di sisi lain, poliester seperti polilaktat (PLA), poliglikolat (PGA), dan kopolimernya karena bersifat biodegrable, biokompatibel dan toksisitasnya rendah telah banyak digunakan dalam bidang biomedikal lain seperti sistem penyampaian obat (Drug Delivery System, DDS) dan benang bedah operasi. Fe 3 O 4 merupakan suatu material magnetik yang memiliki properti superparamagnetik ketika ukuran partikelnya berada dalam skala nano. Material ini rendah racun (low toxicity), serta biokompatible. Namun, partikel Fe 3 O 4 memiliki kecenderungan teragregasi akibat besarnya dipol-dipol magnetik antar partikelnya. Sehingga untuk menanggulanginya dibutuhkan suatu selubung yang membungkus partikel Fe 3 O 4 . Selubung ini bisa terdiri
276
dari metal, ataupun senyawa polimer. Selubung yang sering dipakai adalah dekstran sehingga nanopartikel ini sering disebut dextran-iron oxide. Material ini bisa digunakan sebagai contrast agent pada MRI yaitu untuk meningkatkan citra dari sel-sel kanker. Material untuk contrast agent ini saat ini sudah ada, diantaranya gadolinium, namun gadolinium ini, yang memiliki properti paramagnetik, memiliki kelemahan ketika harus mencitrakan sel kanker yang berukuran kecil. Sedangkan Fe 3 O 4 mampu untuk meningkatkan citra, sehingga sel-sel kanker berukuran kecil mampu dicitrakan. Selain sebagai contrast agent, material ini juga bisa diaplikasikan untuk hipertermia. Hipertermia konvensional saat ini sering disebut kemoterapi. Kemoterapi sangat berbahaya dikarenakan mampu menimbulkan radiasi, kemoterapi juga memiliki selektivitas yang rendah, sehingga sel-sel yang sehat dapat terkena radiasinya. Hipertermia yang memakai Fe 3 O 4 disebut magnetik hipertermia, memiliki selektivitas lebih baik, tidak menimbulkan radiasi, sehingga lebih aman digunakan dalam tubuh. Nanopartikel magnetik yang tersusun dari Fe 3 O 4 ini saat digunakan dalam pembacaan scan MRI, dengan penambahan nanopartikel magnetik akan berguna untuk memperjelas pembacaan scan yang dilakukan. Pada kasus drug delivery, penambahan MNPs (Magnetic Nanoparticles) akan sangat berguna dalam manghantarkan obat agar langsung menuju bagian yang sakit, lebih efisien dan cepat. Nanopartikel yang masuk dalam tubuh akan menggiring obat langsung ke daerah yang diinginkan. Prinsip untuk terapi hipertemia juga demikian, terapi berlangsung dengan memasukkan MNPs yang nantinya dipandu jalannya menuju jaringan atau organ yang sakit.
Gambar 21.3 Cairan nanopartikel magnetik(Tombácz, 2007) Salah satu pengembangan aplikasi nanopartikel magnetik adalah dalam proses diagnostik secara in-vitro,dimana nanopartikel magnetik difungsikan sebagai agen dalam proses separasi unit biologi dengan jumlah unit biologi yang masih sangat sedikit atau dengan kata lain memberikan peluang proses diagnosa dini. Dalam proses diagnostik in-vitro ini, nanopartikel magnetik yang bertindak sebagai agen separasi magnetik akan dikonjugasikan dengan bahan organik (enzym, protein maupun target DNA) 277
sehingga dapat dikenali oleh dan berinteraksi dengan unit biologi penyebab masalah kesehatan, memisahkan unit biologi yang dimaksud dan selanjutnya unit biologi tersebut yang telah berinteraksi dan tergabung dengan sistem nanopartikel magnetik akan dapat diidentifikasi. Proses identifikasi hasil separasi dapat dilakukan baik berbasis fenomena radioaktivitas bila digunakan nanopartikel magnetik bertanda maupun berbasis fenomena magnetik untuk nanopartikel magnetik yang tidak memiliki tanda. Juga telah dilakukan penelitian dan pengembangan material barupada nanopartikel magnetik untuk aplikasi diagnosa/deteksi dini permasalahan kanker dengan diagnostik kanker serviks sebagai studi kasus. Pada tahun 2011 telah dilakukan studi penandaan nanopartikel magnetik yang mana telah didapatkan parameter optimal penyiapan nanopartikel magnetik bertanda serta informasi karakteristik nanopartikel magnetik bertanda yang diperoleh meliputi fasa, morfologi serta sifat magnetiknya. Dari beberapa tahapan proses sintesis yang terdiri dari tahap awal bahan prekursor, tahap pembuatan oksida besi, tahap pembentukan koloid nanopartikel magnetik (ferrofluid) dan tahap fungsionalisasi dengan bahan organik, diperoleh bahwa tahapan penandaan optimal dapat dilakukan pada tahapan ferrofluid. Ferrofluid bertanda dengan sifat optimal diperoleh untuk ferrofluid dengan modifier permukaan bersifat ionik. Pada tahun 2012 akan dilakukan kegiatan pembuatan koloid nanopartikel magnetik bertanda yang permukaannya dikonjugasi bahan organik sesuai target yang akan diseparasi. Sebagai contoh kasus bahan organik yang akan dikonjugasikan adalah antibody yang sesuai dengan antigen virus humanpapilloma penyebab kanker serviks. Proses pembentukan koloid bertanda, karakteristik dan kestabilan konjugasi baik secara fisis maupun kimiawi akan dipelajari secara sistematis. Pada akhirnya diharapkan diperoleh bahan dan informasi karakteristik koloid nanopartikel magnetik bertanda yang permukaannnya telah terkonjugasi dengan antibody yang siap untuk diujicobakan dalam proses separasi dan identifikasi target virus.
21.3 Sifat Kemagnetan Nanopartikel Mengenai kehilangan energi dalam bahan magnet, ada dua efek yang berbeda perlu dipertimbangkan namun kedua efek ini meningkat sehingga energi yang hilang diubah menjadi panas: i. Kerugian magnetik melalui pemindahan dinding domain (partikel multidomain) yang disebut kerugian Néel
278
Gambar 21.4Néel Loses, relaksasi menghasilkan panas dengan arah magnetisasi berputar dalam inti (Miaskowski, 2011) ii. Kehilangan energi akibat rotasi mekanik dari partikel, bertindak melawan gaya gesekan dari medium cair (kerugian Brownian).
Gambar 21.5 Brownian Loses, rotasi mekanik dari dalam partikel menghasilkan panas, seluruh partikel berputar dalam cairan(Miaskowski, 2011) Suatu ciri umum dari kebanyakan bahan magnet adalah dengan adanya memperlihatkan suatu histeresis magnetik ketika ia diperlakukan pada suatu medan magnet yang mengubah arah dari waktu ke waktu. Area loop histeresis ini dibatasi dari lingkungan sebagai energi panas dan ini merupakan energi yang digunakan dalam hipertermia magnetik. Daya yang dihilangkan oleh suatu material magnetis yang diletakkan ke suatu medan magnet tertentu sering disebut "Tingkat Penyerapan spesifik" (Specific Absorption Rate, SAR) di dalam komunitas hipertermia magnetis dinyatakan dalam W/g nanopartikel. SAR dari sebuah material kemudian secara sederhana dinyatakan sebagai: SAR= Af, dimana A adalah luas area loop histeresis dan f adalah frekwensi tertentu dari medan magnet. A dinyatakan dalam satuan J/g dan disebut juga "kerugian spesifik" dari material . A tergantung pada semua sifat material magnetik yang kompleks. Pada kasus nanopartikel magnetik, A tergantung pada anisotropi magnetokristalin (K), volume (V), temperatur (T), frekwensi medan magnet (f), amplitudo (H max ), dan pada konsentrasi volumik nanopartikel. Ukuran nanopartikel mempunyai suatu pengaruh besar pada domain magnetiknya. Nanopartikel ukuran kecil terdiri atas domain tunggal. Yang lebih besar terdiri atas beberapa domain yang memperkecil energi magnetostatik. Pada ukuran sedang, mereka memperlihatkan suatu struktur magnetik yang indah disebut pusaran air (Vorteks). Suatu pendekatan kasar 279
untuk menentukan ukuran tersebut dimana suatu nanopartikel magnetik bukanlah single-domain lagi adalah ketika ukurannya di atas dimensi dinding domain yang khas di dalam material magnetik, yang terbentang dari satu hingga sepuluh nanometers. Sifat alami struktur domain mempunyai suatu pengaruh pada histeresis dari nanopartikel magnetik dan sebagai konsekwensi dari sifat hipertermianya.
Mekanisme Dasar terkait pembalikan magnetisasi dari nanopartikel single-domain magnetik Tujuan dari ini adalah untuk menyajikan mekanisme dasar yang harus diperhitungkan untuk menguraikan pembalikan dari nanopartikel domain tunggal yang diasumsikan bahwa nanopartikel memperlihatkan suatu uniaxial anisotropy. 1. Pembalikan oleh Gerak Brownian Di dalam aplikasi hipertermia, nanopartikel adalah dalam bentuk suatu cairan, berupa darah. Selama pengukuran hipertermia in vitro disebarkan merata dalam suatu cairan dan membentuk suatu ferrofluid. Mereka bergerak dan berputar secara acak di dalam cairan, suatu peristiwa yang disebut Gerak Browinan. Ketika suatu medan magnet diletakkan disana, nanopartikel magnetik berputar dan semakin tersusun berbaris sesuai dengan arah medan magnet terkait dengan tenaga putaran yang dihasilkan oleh interaksi medan magnet dengan magnetisasinya. Ini sangat mirip dengan suatu kompas. Waktu yang dibutuhkan suatu nanopartikel magnetik untuk searah dengan suatu medan magnet eksternal yang cukup kecil disebut waktu relaksasi Brown: 𝜏𝜏𝐵𝐵 =
3𝜂𝜂𝜂𝜂
(21.1)
𝑘𝑘 𝐵𝐵 𝑇𝑇
dimana η adalah koefisien viskositas. Penundaan antara perputaran medan magnet dan perputaran magnetisasi menunjukkan ke arah suatu histeresis. 2. Pembalikan oleh Aktivasi panas Magnetisasi dari nanopartikel dapat secara spontan merubah orientasi di bawah pengaruh energi panas, suatu peristiwa yang disebut superparamagnetisme. Magnetisasi berosilasi antara dua posisi setimbangnya. Waktu khusus antara dua perubahan orientasi dinyatakan sebagai waktu relaksasi Néel, 𝐾𝐾𝐾𝐾
𝜏𝜏𝑁𝑁 = 𝜏𝜏𝑂𝑂 𝑒𝑒 𝑘𝑘 𝐵𝐵 𝑇𝑇
(21.2)
dimana 𝜏𝜏𝑂𝑂 adalah suatu waktu usaha semula dengan suatu nilai sekitar 10-9 hingga 10-10 detik. 280
3. Pembalikan oleh penekanan penghalang anisotropis oleh suatu medan magnet Magnetisasi nanopartikel juga dibalikkan ketika suatu medan magnet diterapkan cukup besar untuk menekan energi penghalang antara kedua posisi keseimbangan, suatu peristiwa yang dikenal sebagai Model pembalikan magnetisasi Stoner–Wohlfarth. Kombinasi Ketiga Mekanisme Pada umumnya, mekanisme relaksasi yang cepat lebih dominan, sebuah waktu relaksasi efektif dinyatakan sebagai 𝜏𝜏 𝑁𝑁 𝜏𝜏 𝐵𝐵
𝜏𝜏𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 = 𝜏𝜏
(21.3)
𝑁𝑁 +𝜏𝜏 𝐵𝐵
Di dalam kasus yang paling umum, pembalikan magnetisasi merupakan suatu kombinasi ketiga mekanisme yang diuraikan di atas. Sebagai contoh, mari kita bayangkan suatu nanopartikel domain tunggal berada dalam suatu cairan pada suhu-kamar dan suatu medan magnet tiba-tiba diterapkan dengan suatu arah berlawanan dengan arah magnetisasi nanopartikel. Nanopartikel pada waktu yang sama akan i) berputar dalam cairan ii) penghalang antara kedua posisi keseimbangan magnetisasi akan berkurang iii) ketika energi penghalang menjadi sesuai energi panas, magnetisasi akan berganti ( jika nanopartikel belum sejajar dengan medan magnet berkaitan dengan perputaran fisiknya). Tidak ada ungkapan analitis sederhana yang menggambarkan pembalikan ini dan sifat loop histeresis dalam kasus yang sangat umum ini tetapi simulasi numerik dan ungkapan analitis dapat digunakan dalam beberapa kasus. Model yang digunakan untuk nanopartikel single-domain 1. Teori Tanggapan yang linier Teori Tanggapan linier hanya berlaku ketika tanggapan material magnetis adalah linier dengan medan magnet yang diterapkan dan dapat ditulis dalam bentuk: 𝑀𝑀 = 𝜒𝜒𝜒𝜒
(21.4)
dimana 𝜒𝜒 adalah suseptibilitas kompleks dari material. Ini berlaku ketika medan magnet yang diterapkan jauh lebih kecil dibanding medan magnet yang diperlukan untuk memuncakkan magnetisasi dari nanopartikel. Hal ini bisa mempertimbangkan kedua pembalikan oleh aktivasi panas dan pembalikan oleh Gerak Brownian. Teori Tanggapan yang linier menggunakan suatu rata-rata τ, yang ditunjukan oleh: 281
waktu relaksasi
1 𝜏𝜏
1
1
= 𝜏𝜏 + 𝜏𝜏 𝐵𝐵
(21.5)
𝑁𝑁
Sedangkan pergeseran komponen fasa dari suseptibilitas kompleks ditunjukkan oleh: 𝜒𝜒" =
𝜇𝜇 𝑜𝑜 𝑀𝑀𝑆𝑆2 𝑉𝑉
2𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋
(21.6)
3𝑘𝑘 𝐵𝐵 𝑇𝑇 1+(2𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋 )2
Loop histeresis adalah berupa suatu elips dengan suatu area yang ditunjukkan oleh: 𝐴𝐴 = 𝜋𝜋𝜇𝜇𝑂𝑂 𝐻𝐻 2 𝜒𝜒"
(21.7)
2. Model Stoner–Wohlfarth dan area maksimum Model Stoner–Wohlfarth memungkinkan untuk mengkalkulasi loop histeresis dari nanopartikel magnetik pada T=0 dengan asumsi bahwa nanopartikel ditetapkan dalam medan magnet (Gerak Brownian diabaikan) dan tidak bergantung secara magnetis. Yang paling menarik adalah untuk memprediksikan area histeresis yang maksimum untuk nanopartikel yang tidak bergantung dengan sifat yang diberikan. Tentu saja penambahan dari Gerak Brownian atau energi panas hanya menunjukkan ke arah suatu pengurangan area loop histeresis. Model Stoner–Wohlfarth memprediksikan bahwa medan pada T=0 dari suatu pencampuran nanopartikel dengan aksis terorientasi secara acak ditunjukkan oleh: 𝐻𝐻𝐶𝐶 (0) =
𝐾𝐾
(21.8)
𝑀𝑀 𝑆𝑆
Luas area histeresis secara aproksimasi: 𝐴𝐴 = 2𝜇𝜇𝑂𝑂 𝑀𝑀𝑆𝑆 𝐻𝐻𝐶𝐶 (0)
(21.9)
Berikut adalah contoh kurva histeresis pada frekuensi tinggi dalam medan bolak balik, garis tebal menunjukkan model kurva Stoner-Wohlfarth.
282
Gambar 21.6 Respon nanopartikel pada frekuensi tinggi medan AC dan beberapa nilai Hac, kurva magnetisasi pada kasus tidak berotasi (Mamiya,2011) 3. Perluasan Model Stoner–Wohlfarth Perluasan model Stoner–Wohlfarth telah dilakukan untuk melihat pengaruh temperatur dan frekuensi dalam loop histeresis. Perluasan ini hanya berlaku jika efek temperatur maupun frekuensi sangat kecil yaitu jika 𝑓𝑓 ≫ 1/𝜏𝜏𝑁𝑁 .
Simulasi numerik menunjukkan bahwa pada kasus ini medan untuk nanopartikel yang terorientasi secara acak dinyatakan:
𝐻𝐻𝑎𝑎𝑎𝑎 = 2𝐻𝐻𝐶𝐶 (0) �0.479 − 0.81 �
𝑘𝑘 𝐵𝐵 𝑇𝑇
2𝐾𝐾𝐾𝐾
𝑙𝑙𝑙𝑙 �
1
𝑓𝑓𝜏𝜏 𝑜𝑜
3 4
�� �
(21.10)
Berikut adalah hasil penelitian oleh Hiroaki Mamiya dan Balachandran Jeyadeca pada tahun 2011 yang melihat efek hipertermik dari struktur disipatif nanopartikel magnetik dalam medan magnet bolak balik yang besar. Simbol yang kosong dan penuh menunjukkan nilai nanopartikel yang mampu berotasi dan yang tidak.Anak panah menunjukkan puncak maksimum pada kedua kasus nanopartikel yang bisa berotasi dan yang tidak bisa berotasi, sedangkan garis putus-putus menunjukkan separuh dari medan yang bukan isotropis.
283
Gambar 21.7Pengaruh Hac pada efisiensi disipasi panas(Mamiya,2011)
Gambar 21.8 Pengaruh frekuensi pada efisiensi disipasi panas dengan nilai Hac rendah dan sedang (Mamiya,2011)
Mekanisme magnetik
Dasar
pada
magnetisasi
284
nanopartikel
multi-domain
Di dalam nanopartikel multi-domain, bahan dasar untuk menjelaskan pembalikan magnetisasi adalah pengintian dari domain baru dan propagasi dari dinding domain. Kedua mekanisme ini sangat dipengaruhi oleh kerusakan struktural di permukaan atau di dalam nanopartikel dan menyulitkan beberapa prediksi kuantitatif dari bentuk loop histeresis dan area dari parameter intrinsik nanopartikel magnetik. Model yang digunakan untuk nanopartikel multi-domain Pada medan magnetik yang rendah, loop histeresis diharapkan untuk menjadi loop Rayleigh. Dalam hal ini, area histeresis adalah, 𝐴𝐴 =
4 3
𝜂𝜂𝐻𝐻 3
(21.11)
di mana η merupakan tetapan Rayleigh.
21.4 Hipertermia Magnetik Hipertermia adalah salah satu protokol klinis yang banyak digunakan sebagai terapi untuk pengobatan kanker. Ini telah menunjukkan efek sinergis yang bagus ketika dikombinasikan dengan radioterapi, serta meningkatkan efek dengan obat sitoksik yang banyak. Hipertermia magnetik menggunakan kombinasi medan magnet dan nanopartikel magnetik sebagai agen pemanasan. Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk memanaskan secara khusus dan eksklusif pada daerah tumor dengan menggunakan nanopartikel magnetik eksternal dalam area medan magnet tanpa merusak jaringan sehat di sekitarnya. Asal mula hipertermia kembali pada ribuan tahun kepada ketika orang-orang Mesir kuno menggunakan terapi pemanasan untuk membantu penanganan tumor. Terapi pemanasan juga digunakan di benua Eropa setelah zaman Renaissance untuk membantu menyusutkan tumor. Dari tahun ke tahun, para ilmuwan telah mengamati kemampuan panas nampak untuk menyehatkan tubuh. Para ilmuwan dan dokter-dokter seperti Dr. James Haim Bicher telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk meneliti dan mengumpulkan bukti-bukti untuk mendukung keefektivitasan hipertermia. Di tahun 2010, Universitas Duke yang bergengsi menyelenggarakan uji klinis sebagai bagian dari program penyebarluasan hipertermia. Uji klinis ini difokuskan pada kombinasi terapi hipertermia dengan terapi kanker lainnya untuk menghasilkan hasil-hasil yang lebih efektif. Hasil-hasil tersebut dan percobaan-percobaan lainnya menunjukkan terapi hipertermia sebagai suatu perawatan kanker yang menjanjikan di masa depan.
285
Hipertermia magnetik juga disebut termoterapi yang merupakan sebutan untuk suatu eksperimen pengobatan kanker, walaupun juga telah pula diterapkan sebagai suatu pengobatan dari penyakit lainnya seperti infeksi bakteri. Terapi ini didasarkan pada fakta bahwa ketika nanopartikel magnetik diperlakukan ke suatu medan magnet tertentu, akan menghasilkan panas. Sebagai konsekwensi, jika nanopartikel magnetik ditaruh di dalam suatu tumor dan tubuh pasien ditempatkan pada suatu medan magnet tertentu dengan frekwensi dan amplitudo yang dipilih dengan baik, temperatur tumor akan naik. Metoda perawatan ini telah masuk tahap II percobaan pada manusia hanya di Eropa, tetapi riset dilakukan oleh beberapa laboratorium di seluruh dunia untuk menguji dan mengembangkan teknik ini lebih lanjut. Berdasarkan gambar 21.9 terlihat bahwa pada bagian kiri jarum kompas magnetik diarahkan dalam arah medan magnet bumi, dimana kompas diarahkan paralel terhadap medan magnet H. Orientasi longitudinal terjadi saat energi zeeman dipertimbangkan, kemudian energi magnetik mengenai sel kanker yang terlihat dari gambar sebelah kanan, akan timbul panas dan terbentuk sebuah struktur mantap tanpa kesetimbangan dalam medan magnetik AC yang besar, juga terlihat bahwa sumbu panjang diarahkan tegak lurus terhadap medan magnet H. Nanopartikel ferromagnetik tanpa radiasi dengan medan magnet frekuensi tinggi yang lebih rendah intensitasnya daripada medan magnetik tidak isotropis, dimana nanopartikel lurus dalam bidang tegak lurus medan magnetik.
Energi Magnetik
Panas
Sel kanker Gambar 21.9 Ilustrasi skematik sebuah struktur pengarahan dari nanopartikel magnetik pada perawatan kanker hipertermia dibandingkan dengan kasus umum dari magnet biasa (Tombácz, 2007) Nanopartikel bisa berisi obat di dalamnya dan memungkinkan untuk mengirim paket-paketnya ke tempat lain yang kita inginkan dan tidak mengirim ke tempat yang tidak kita butuhkan. Ini juga mampu mengidentifikasi antara sel normal dan sel kanker, secara khusus akan membunuh sel kanker sementara sel yang sehat tetap aman. Targetan metoda ini adalah memanaskan secara khusus pada daerah tumor lokal dengan kehilangan magnetik oleh nanopartikel magnetik dalam sebuah medan magnetik eksternal tertentu, serta mampu melakukannya tanpa merusak lapisan yang normal di sekelilingnya. Hipertermia adalah sebuah terapi 286
alternatif kanker yang dirancang untuk membunuh sel-sel tumor seperti kanker dengan memanaskan sel-sel tumor pada suhu yang lebih tinggi dari suhu tubuh orang sehat. Karena karakteristik-karakteristik yang tidak lazim pada tumor dan sel-sel kanker, mereka cenderung menjadi lebih mudah dihancurkan ketika dipanaskan dibandingkan dengan sel-sel biasa. Pekerjaan para onkologis dan para peneliti seperti Dr. James Haim Bicher telah menghasilkan perawatan kanker yang menjanjikan ini, yang sering kali digunakan bersama perawatan-perawatan kanker dengan keberhasilan yang besar. Medan H Cairan magnetik
Gambar 21.10 Ide dari hipertermia magnetik(kiri), memasukkan cairan magnetik ke kanker (kanan)(Miaskowski, 2011) Berdasarkan dari gambar 21.10 berikut dapat dilihat bahwa hipertermia cairan magnetik dapat dibagi dalam tiga langkah yaitu memasukkan cairan magnetik ke kanker, menerapkan medan magnetik eksternal bolak-bak dalam ratusan kHz dan kemudian sel kanker akan dihancurkan. Hipertermia dapat membuat penanganan penyakit kanker lebih mudah untuk obat-obatan anti kanker maupun radiasi untuk membunuh selsel kanker, sehingga hipertermia seringkali dikombinasikan dengan terapiterapi tersebut. Hasil akhir dari kombinasi hipertermia dan terapi-terapi lainnya secara umum lebih efektif dibanding ketika terapi tersebut digunakan tanpa hipertermia. Hipertermia dapat secara lokal untuk membunuh tumor kecil, untuk seluruh daerah tubuh dalam kasus dimana terdapat tumor yang lebih besar, bahkan dalam suatu keseluruhan tubuh untuk sel-sel kanker yang telah menyebar.
287
Gambar 21.11 Cairan magnetik (biru) bergerak acak membunuh sel kanker (coklat)(http://www.gatech.edu/newsroom/release.html?nid=50231) Cairan magnetik akan bergerak dan berotasi secara acak, suatu fenomena yang disebut pergerakan Brownian. Energi gerak akan berubah menjadi energi panas jika tubuh pasien yang telah disuntikkan cairan nanopartikel magnetik diletakkan dalam medan magnetik bolak balik dengan pengaturan amplitudo dan frekuensi yang baik, kemudian temperatur kanker akan meningkat dan akan lebih mudah untuk membunuh sel kanker tersebut. Hipertermia dapat digunakan untuk menangani bermacam-macam penyakit kanker, seperti di mulut rahim, payudara, paru-paru atau hati. Meskipun suhu dan metoda pelaksanaan yang tepat bervariasi dan tergantung pada jenis penyakit kanker yang ditangani, dalam banyak kesempatan, suhu yang tidak lebih dari 108oF atau 42oC terbukti efektif. Walaupun beberapa orang cenderung untuk melakukan terapi hipertermia ketika terapi-terapi kanker yang lebih konvensional terbukti tidak efektif, hipertermia saat ini digunakan bersama terapi-terapi lainnya, bahkan di awal penanganan penyakit kanker. Terutama ketika hipertermia dikombinasikan dengan terapiterapi lainnya, hal ini telah terbukti efektif dalam penyusutan atau penghancuran sel-sel kanker, membantu para pasien meraih pemulihan kesehatan. Tambahan pula karena panas membantu memperlancar aliran darah, hipertermia dapat membantu meningkatkan efektivitas kemoterapi dan pengobatan-pengobatan lainnya dalam aliran darah. Dibandingkan dengan banyak terapi kanker yang bersifat konvensional, terapi hypertermia memiliki resiko atau efek samping sangat sedikit. Dalam beberapa hal, pasien tersebut mungkin mengalami iritasi kulit, ketidaknyamanan, kulit melepuh ataupun mungkin terbakar di sebagian kecil kulit. Bahkan dalam kasus terapi hyperthermia untuk keseluruhan tubuh, sepanjang suhu tubuh dipertahankan di bawah 111 derajat Fahrenheit, sebagian jaringan tubuh tidak akan mengalami efek samping apapun. Bagaimanapun, kadang-kadang efek samping seperti rasa mual, muntahmuntah ataupun diare dapat diakibatkan oleh suhu tubuh yang meningkat. Dalam kasus terapi hyperthermia pada keseluruhan tubuh, efek samping serius seperti detak jantung berhenti sangat jarang terjadi.
288
Termometer
Insulasi termal Generator AC Dispersi cairan magnetik
Kawat induksi
Gambar 21.12 Representasi skematik dari peralatan eksperimen pada laboratorium(Tombácz, 2007) Teknik nanopartikel magnetik ini dirancang untuk menyaring cairan peritoneal atau darah dan menghilangkan sel-sel kanker yang mengambang bebas, dimana diharapkan teknik ini akan mampu memperpanjang umur dengan mencegah terus penyebaran metastasis kanker. Dalam beberapa pengujian, terlihat bahwa teknik mereka dapat diterapkan pada sel-sel kanker dari sampel pasien manusia seperti halnya yang telah dilakukan sebelumnya pada seekor tikus. Penelitian selanjutnya adalah untuk menguji seberapa baik teknik nanopartikel magnetik ini dapat meningkatkan penyelamatan hidup tikus percobaan. Jika itu berjalan lancar, mereka akan mengujinya dengan manusia. Hipertermia magnetik biasanya digunakan sebagai terapi tambahan dengan pengobatan standar (radioterapi, misalnya), dan beberapa studi awal telah menunjukkan bahwa kombinasi radiasi dan hipertermia menunjukkan hasil yang meningkat mengenai regresi tumoral. Ada banyak teknik untuk hipertermia melibatkan laser, radiasi pengion, dan oven microwave sebagai alat untuk memanaskan jaringan tubuh (ganas). Meskipun teknik ini mampu meningkatkan suhu intraseluler hingga kematian sel, mereka mungkin memiliki efek samping yang tidak diinginkan seperti ionisasi materi genetik (radiasi) atau kurangnya selectiveness (microwave) yang mempengaruhi jaringan sehat di sekitarnya. Berdasarkan pada keberhasilan dalam menyelesaikan tantangan ini biokimia dan fisiologis, kanker-spesifik protokol hipertermia dapat dikembangkan. Pada 2010, uji coba hipertermia magnetik berbasis pada penggunaan nanopartikel magnetik telah lulus tahap praklinis dan menerima persetujuan sebagai terapi klinis baru bernama termoterapi. Termoterapi adalah penggunaan panas untuk meringankan penyakit, yang mencakup pemanasan dengan cahaya (sinar inframerah) atau alat pemanas konduktif seperti: bantalan pemanas, botol air panas, krim atau lotion pemanas, terapi mandi, mandi parafin, dan sauna.
289
DAFTAR PUSTAKA Armijo, L.M., et al., Iron Oxide Nanocrystals for Magnetic Hyperthermia Applications. Nanomaterials 2, 134-146(2012). Berkovsky, B. M., et al., Magnetic Fluids : EngineeringApplication, Oxford University Press: Oxford, 1993. Charles,
S.W., Popplewellj, Properties and Applications Liquids,Hand book of magnetic materials 2,153 (1986).
of
Magnetic
Falk M H, Issels R D, Hyperthermia in oncology, Int. J. Hyperther.17, 15 (2001). Hergt, R., et al., Magnetic Particle Hyperthermia: Nanoparticle Magnetism, J. Phys. Condens. Matter 18, S2919–S2934(2006). J. Carrey, B. Mehdaoui, M. Respaud, Appl. Phys. 109,083921 (2011). Lacroix, R., et al.,Appl. Phys. 105,023911 (2009)http://arxiv.org/abs/0810.4109 Mamiya, H., Balachandran, Hyperthermic Effects of Dissipative Structures of Magnetic Nanoparticles in Large Alternating Magnetic Fields, Scientific reportDOI 10.1038, 1-157 (2011). Miaskowski, A., Andrzej K.,Magnetic Fluid Hyperthermia for Cancer Therapy, Electrical Review ISSN 0033-2097 R. 87, NR 12b,125-127 (2011). Robins H I,et al., Phase I Clinical Trial of Melphalan and 41.8 ◦C Whole-Body Hyperthermia in Cancer Patients, J. Clin. Oncol. 15,158(1997). Tombácz, Etelka, et al.,Magneticparticlesinnanomedicine, Croatica Chemica Acta 80, 503-515 (2007).
290
Bab 22 Nanocoating dan Pemanfaarannya Oleh : Tri Siswandi Syahputra
22.1 Pengertian Pelapis (Coating) Coating adalah pelapisan yang diberikan pada permukaan suatu benda (baik logam dan nonlogam) dan biasanya juga disebut sebagai substrat. Dalam berbagai fungsi coating digunakann untuk meningkatkan nilai kualitas sifat permukaan substrat. Dengan coating, permukaan suatu material dilapisi dengan material yang lain, dengan tujuan “memperbaiki” sifat dasar-materialnya seperti dalam penampilan, adhesi, anti basah, ketahanan korosi, ketahanan panas, dan ketahan gores, dan lainlain. Dalam kasus lain, khususnya dalam proses pencetakan fabrikasi semikonduktor, penggunaan coating merupakan bagian terpenting dari produksi semikonduktor itu sendiri. Nanocoating adalah pelapisan (coating) yang dihasilkan dari beberapa campuran komponen material pada skala nano yang bertujuan untuk mendapatkan suatu sifat baru yang diinginkan. Saat ini, Coating berstruktur nano mempunyai potensi besar untuk digunakan diberbagai aplikasi kehidupan. karena sifat karakteristiknya yang unggul yang biasanya tidak ditemukan di coating konvensional lainnya. Berdasarkan bahan penyusunan, coating terbagi menjadi dua bagian yaitu Organic Coating dan anorganik coating. Organic coating (pelapis organik) adalah sebuah pelapis yang memiliki molekul atau senyawa dengan rantai karbon. Karbon yang terikat secara kovalen dengan atom lain dalam senyawa organik. Semua senyawa organik mengandung karbon-hidrogen atom atau ikatan C-H.seperti Zinc epoxy, zinc rich phenoxy dan sebagainya. Sedangkan Anorganic Coating (pelapis tidak organik) adalah Sebuah molekul atau senyawa yang berasal dari bukan rantai karbon namun, beberapa senyawa yang mengandung atom karbon juga dianggap sebagai anorganik ketika senyawa tersebut kekurangan karbon dan atom hidrogen atau ketika atom karbon tersebut secara ion terikat oleh atom lain yg lebih kompleks. Contoh campuran anorganik adalah karbon dioksida, karbon monoksida, karbonat dan sianida. Rantai karbon seperti berlian, grafit, dan nanotube juga dikategorikan sebagai bahan anorganik. Organic coating juga merupakan pelapisan dengan menggunakan material berbasis silikat (misalnya - zinc atau logam berbasis keramik (lapisan keras dari kromium, TiN,Si 3 N 4 , alumina dll). CO 2 adalah juga termaksud anorganik karena tidak memiliki atom H yang terikat secara kovalen dengan sebuah atom C (sifat dari sebuah senyawa organik). 291
22.2 Fungsi Coating Istilah ini menggambarkan fungsi lain selain sifat klasik dari coating (berupa tampilan dan perlindungan) yang timbul dari tambahan fungsi atau elemen tertentu. Fungsi ini tergantung pada aplikasi yang sebenarnya dari substrat yang akan dilapisi. Berikut ini fungsi pelapisan (nanocoating): • Self-cleaning (pembersih otomatis) • Antifouling (anti pembusukan/pentumbatan) • Anti-graffiti (Mudah dibersihkan) • Membuat permukaan halus • Anti bakteri • Anti high termal (tahan panas dan bakar) Keunggulan nanocoating : • Memiliki Daya Tahan yang baik • Mudah diproduksi • Penggunaannya mudah dan sangat efektif • Dapat sesuikan dengan bentuk permukaan • Ramah lingkungan
22.3 Berbagai Kegunaan Pelapisan (coating) 22.3.1 Pelapisan Anti Karat Pelapisan organik diterapkan ke substrat logam untuk menghindari efek dari korosi. Kinerja lapisan anti korosi ini bergantung pada beberapa parameter, diantaranya sifat adhesi dengan logam, ketebalan, permeabilitas, dan sifat lain yang berbeda dari pelapisannya. Dalam konteks ini, mempersiapkan permukaan yang akan dilapis sangat penting dalam rangka memberikan daya rekat yang baik. Permeabilitas adalah difusi dan kelarutan pelapisanan dengan berbagai jenis gas, cairan, dan uap. Hal ini sangat penting untuk menentukan tingkat perlindungan yang akan memberikan lapisan pada substrat. Lapisan yang ideal ini akan memiliki kelarutan rendah dan difusi yang rendah. pelapisan bahan organik memberikan perlindungan korosi a) Sacrificial Penggunaan sacrificial anoda seperti seng untuk melindungi besi dan baja telah lama berdiri dan terkenal dalam praktek industri. Lapisan seng pada baja galvanis terdegradasi bila terkena lingkungan yang tidak baik, suhu dan keasaman dan lapisan ini melindungi permukaan di bawahnya. Dengan menggunakan pendekatan yang sama, baik anorganik dan organik berbasis resin, coating dengan kandungan zink yang banyak telah dikembangkan untuk melindungi berbagai substrat logam.
292
Gambar 22.1 Proses Sacrificial (irzaidan.files.wordpress.com/2012)
b) Efek pembatas (barrier effect) Pelapisan polimer digunakan pada logam substrat untuk memberikan hambatan terhadap proses korosif. Lapisan ini tidak murni dalam kondisi kedap, Selain itu, cacat atau kerusakan pada lapisan coating dapat mempengaruhi proses korosif mencapai permukaan logam, sehingga korosi lokal dapat terjadi. Pigmen memiliki bentuk pipih seperti piring (misalnya, oksida besi, aluminium dan serpihan mika) diperkenalkan sebagai pelapisan polimer, hal ini tidak hanya meningkatkan panjang jalur difusi untuk korosif tetapi juga dapat mengurangi korosi. Orientasi pigmen di lapisan harus sejajar dengan permukaan, dan itu harus sangat sesuai dengan matrix resin untuk memberikan efek penghalang korosi yang baik. Layered clay platelets seperti montmorillonite juga dapat diperkenalkan ke dalam sistem resin organik untuk meningkatkan efek penghalang terhadap molekul oksigen dan air, sehingga meningkatkan kinerja anti korosi. c) Inhibition (penghalangan) Primer (molekular biology) yang mengandung logam fosfat, silikat, titanat atau senyawa molibdat termaksud sebagai senyawa yang dapat digunakan sebagai penghalang korosi melindungi logam dari korosi. Pigmen ini membentuk lapisan oksida sebagai pelindung pada substrat logam, dan sering juga membentuk kompleks antikorosi dengan bahan pengikat.
22.3.2 Pelapis Tahan Thermal Tinggi dan Tahan Bakar Pelapisan tahan panas yang tinggi diperlukan untuk berbagai substrat logam, seperti pada peralatan masak antilengket, pada mesin industri, pada genteng rumah dll. Fluorin atau produk berbahan dasar silikon juga digunakan untuk produk tahan panas dan tahan bakar. Tetapi tidak cocok untuk aplikasi pada suhu tinggi karena akan terdegradasi di atas suhu ~ 300 º C dan akan menghasilkan racun yang berbahaya bagi kesehatan. Silikon yang mengandung polimer memberikan ketahanan panas yang lebih baik karena energi tinggi yang diperlukan untuk membelah ikatan silikon dibandingkan dengan ikatan karbon dalam molekul yang sama. 293
Belakangan ini telah dikembangkan silikon berbasis coating yang dapat tahan terhadap temperatur diatas 10000C. Turunan Silicon seperti silicone resins (siloxanes) atau inorganic silicates secara umum digunakan dalam aplikasi ini. Namun, kopolimer atau campuran silikon dengan akrilat, epoxy atau urethanes sangat sering digunakan untuk menghemat biaya. Perkembangan terbaru telah telah dibuat dari cara-cara inovatif untuk merancang pelapis penahan panas, misalnya, titanium ester dalam kombinasi dengan serpihan aluminium yang dapat menahan panas sampai dengan 4000C
Senyawa fosfor berfungsi dengan membentuk lapisan pelindung sebagai penghalang permukaan glossy graphites juga digunakan sebagai penghambat api, ini mengandung senyawa kimia, termasuk asam, yang terjebak antara lapisan karbon. Setelah terkena suhu yang lebih tinggi, pengelupasan kulit grafit berlangsung dan ini membuat lapisan isolasi ke substrat.
Gambar 22.2 Gambar Hasil SEM pelapisan anti panas yang diperoleh dari pelapisan bahan organik (rzaidan.files.wordpress.com)
22.3.3 Pelapisan Anti Gores Pelapis pada umumnya sangat rentan dengan goresan dan abrasi. Dalam berbagai produk konsumen lebih memilih untuk mempertahankan penampilan suatu bahan yang dilapisi dari pada yang tidak dilapisi dan untuk alasan ini pelapis yang digunakan pada mobil harus memiliki ketahanan gores yang baik dan memiliki ketahanan abrasi. Ketahanan gores dapat diperoleh dengan memasukkan lebih banyak batasan penghubung di lapisan pengikat, tetapi sangat terkait lapisan yang sangat keras memiliki ketahanan yang berdampak buruk akibat kurang fleksibel. Sebuah linked cross film akan menunjukkan kinerja yang lebih baik berkaitan dengan sifat-sifat lainnya seperti antifingerprint dan impact resistance tapi akan memiliki ketahanan abrasi. Dengan demikian, kombinasi yang benar dari kekerasan dan fleksibilitas sangat diperlukan. Industri coating saat ini telah mengembangkan pelapis anti gores dengan menggabungkan nanopartikel SiO2 ke dalam matriks organik yang dapat bermigrasi ke permukaan. Dengan cara ini, ketahan gores dapat ditingkatkan karena adanya pengayaan dari nanopartikel kedekat permukaan pelapis.
294
22.3.4 Pelapisan dengan sistem pembersihan alami Penelitian terbaru dalam pelapisan pembersihan sendiri terinspirasi oleh proses pembersihan alami. seperti namanya, memiliki suatu sifat khusus dan sekarang disebut efek Lotus(efek teratai). Artinya, pelapis ini memiliki kemampuan permukaan untuk membersihkan dirinya sendiri dan sistem yang terjadi berlangsung secara alami atau biologis.
Gambar22.3. efek teratai (lottus) (aguspur.wordpress.com)
Gambar 22.4. Sistem di alam yang menggunakan pembersihan alami (aguspur.wordpress.com)
295
Gambar 22.5. (a) gambaran mikroskopik dari daun teratai. (b) Skema yang menggambarkan hubungan antara kekasaran permukaan dan proses pembersihan sendiri. (aguspur.wordpress.com) Pada tahun 1997, Barthelott dan rekan-rekannya membuktikan bahwa sifat pembersihan diri dari daun teratai terjadi karena faktor morfologi dari permukaan daun dan proses hidrofobisitas pada daun teratai. Ini adalah morfologi khusus untuk mencegah kotoran bersatu dengan permukaan daun, sedangkan hidrofobisitas yang tinggi membuat daun menolak air. Akibatnya, tetesan air bergulir ke permukaan daun, dan membawa kotoran. Setelah Penemuan awal oleh Barthelott ini, banyak kelompok peneliti yang telah berusaha untuk meniru kegiatan ini untuk mengembangkan proses pembersihan diri sendiri atau lotus-efek coating. Photocatalytic nanotitanium dioxide (TiO 2 ) Kemungkinan aplikasi paling luas dianggap berasal dari nanoteknologi dalam industri konstruksi. Sudah ada sejumlah besar bangunan di seluruh dunia yang telah menggunakan aplikasi itu. Titanium dioksida jenis hidrofilik karena memiliki energi permukaan yang tinggi, maka air tidak membentuk tetes pada permukaan dilapisi dengan itu. Mekanisme pembersih sendiri Photocatalytic Nanotitanium Dioxide (Tio 2 ) • Fotokatalis TiO2 menyerap radiasi UV dari sinar matahari / lampu neon • Menghasilkan pasangan elektron dan lubang • Elektron dari pita valensi titanium dioksida menjadi bereaksi ketika diterangi oleh cahaya • Kelebihan energi dari elektron mendorong elektron lompat ke pita konduksi titanium dioksida sehingga menciptakan elektron negatif (e-) dan hole positif (h +) berpasangan. • positif-hole TiO2 terpisah molekul air untuk membentuk gas hidrogen dan hidroksil radikal. elektron Negatif bereaksi dengan molekul oksigen untuk membentuk super oksida anion. (Keduanya dikenal sebagai foto-produced radikal) • Foto-produksi radikal ini merupakan pengoksidasi kuat dan dapat menyebabkan kerusakan dari kontaminan organik atau potongan microbials pada permukaan partikel. Ketika foto partikel katalitik TiO 2 yang diterangi dengan sumber sinar UV (misalnya, sinar matahari), elektron terlihat untuk didorong dari pita valensi,Valenci band(VB) ke pita konduksi,condukting band (CB) dari partikel. Hal ini menciptakan sebuah area muatan positif (h +) lubang, di VB dan elektron bebas di CB. Muatan ini dapat bergabung kembali atau bermigrasi ke permukaan, sedangkan lubang dapat bereaksi dengan molekul air atau hidroksil teradsorpsi di permukaan dan menghasilkan radikal yang berbeda seperti radikal hidroksil (OH •) dan radikal hydroperoxy (HO 2 ). Sebaliknya, elektron bergabung dengan oksigen dan menghasilkan super radikal oksida. foto-produced radikal ini adalah bentuk pengoksidasi kuat dan dapat menyebabkan kerusakan kontamina organik atau potongan microbials pada permukaan partikel. Efek menguntungkan lainnya dari TiO 2 adalah perilaku Super hidrofilik.. Hal ini memungkinkan kontaminan dapat 296
dengan mudah hanyut dengan aliran air atau hujan jika lapisan diterapkan pada permukaan luar.
Gambar 22.6. proses photocatalisis(irzaidan.files.wordpress.com/2012/ppt)
Gambar 22.7 Proses Titanium dioksida mengurangi polusi dan membersihkan udara (irzaidan.files.wordpress.com/2012/ppt) 22.3.5
Pelapisan Bahan Anti Bakteri Mikroorganisme, bakteri, jamur, dan virus merupakan ancaman potensial untuk gaya hidup higienis modern kita. Mikrooganisme itu dapat menyebabkan : 1. 2.
Perubahan warna terhadap pelapisan, Resiko terhadap kesehatan dan kebersihan, Biofilm adalah kumpulan sel mikroorganisme, seperti bakteri yang menempel pada lapisan bahan. tentu hal ini dapat menganggu dari kualitas bahan itu sendiri. Sekarang ini, dalam teknologi nano, lebih dikembangkan pada bagaimana pengembangan pelapisan antibakteri / biofilm dalam berbagai kehidupan tanpa membunuhnya Berbagai macam biocides organik dan anorganik yang tersedia secara komersial dipasar. Sebagai contoh, biocide yang mengandung ion metal berat akan menolak perkembangan enzym metabolisme bakteri . contoh bahan anti bakteri ini adalah berikut ini ditunjukkan berbagai mekanisme biosidal dan biostatic tertiary alkyl amines and organic acids. Sedangkan Inorganic biocides 297
termaksud silver, zinc oxide (ZnO), copper oxide (CuO), TiO2, dan selenium
. Gambar 22.8. Skema dari susunan biofilm oleh mikroorganisme (irzaidan.files.wordpress.com) Nitrat oksida (NO)- melepaskan sol-gel sebagai lapisan antibakteri potensial untuk perangkat alat kesehatan atau medis. Infeksi bakteri karena perangkat medis implan merupakan komplikasi yang berpotensi serius terhadap kesehatan. Lapisan ini dimaksudkan untuk aplikasi perangkat biomedis untuk mencegah perangkat medis terkena infeksi yang disebabkan oleh bakteri pada biofilm.
Gambar 22.9 Peralatan medis yang rentan terhadap mikroorganisme (irzaidan.files.wordpress.com)
22.3.6 Pelapisan Untuk Anti Pembusukan oleh Bakteri Mikroorganisme dalam dinding kapal laut menyebabkan inkonsistensi dalam lapisan permukaan kapal dan menciptakan gesekan dengan air. Gesekan ini mengurangi kecepatan kapal dan menambah bobot. Kedua faktor ini mengakibatkan meningkatkan konsumsi bahan bakar dan menambah biaya pemeliharaan kapal. Lapisan antifouling yang ideal akan mencegah pertumbuhan mikroorganisme serta mempertahankan kinerja kapal dalam jangka panjang dengan peraturan lingkungan yang ketat
298
. Gambar 22.10 Mikroorganisme yang mengganggu kapal (irzaidan.files.wordpress.com) Fouling umumnya banyak berada di perairan pesisir di mana kapal atau perahu berlabuh atau perjalanan dengan kecepatan yang lambat. Berdasarkan jenis organisme laut yang ada, fouling dibagi 2 jenis utama, yaitu fouling mikro dan fouling makro oleh hewan laut (teritip, cacing tabung) dan tanaman (ganggang). Ada dua jenis lapisan antifouling bawah air. Pelapisan kimia menggunakan biocides, atau toxin kimia yang dilepaskan ke dalam air laut dan mencegah organisme laut melekat ke permukaan kapal. toxin menciptakan sebuah hambatan yang mencegah pertumbuhan mikroorganisme. Di masa lalu pelapisan ini biasanya disebut oksida tembaga. Beberapa bahan kimia yang bersifat beracun meliputi; oksida cuprous, merkuri, tembaga, arsen dan tributiltin oksida (TBT). Setiap kombinasi dari bahan kimia ini memberikan efek berbahaya bagi lingkungan perairan. Tipe lain dari lapisan antifouling bawah air adalah ablatif, pembersih manual sistem pelapisan. Sistem ablative mencegah mikroorganisme laut melekat ke pelapisan permukaan kapal. Permukaan pelapisan awal terus berada dalam air laut. Belakangan ini, produk antifoil telah mengembangkan teknologi mikroencapsulation. Polimer dengan energi permukaan rendah menolak adhesi akibat organisme laut. Sejauh ini teknologi ini cukup baik jika digunakan pada kapal dengan kelajuan tinggi seperti kapal ferri.
Gambr 22.11 Skema dari keadaan kritis antifouling biofilm (irzaidan.files.wordpress.com)
22.4 Teknik Pelapisan (Coating) Berbagai teknik pelapisan yang ada dapat dijelaskan pada gambar berikut ini: a. Pelapisan dengan cara penyemprotan (spraying) Pada teknik ini, pelapis coating disemprotkan kepermukaan dengan alat semprot yang memiki kecepatan tertentu. Pelapis yang akan disemprot harus dibersihkan dan dikeringkan terlebih dahulu sehingga hasil yang diharapkan akan maksimal.
299
Gambar 22.12 Teknik penyemprotan (rowantechnologi.com)
Gambar 22.13. hasil pelapisan dengan cara penyemprotan (rowantechnologi.com) b.
Teknik Pelapisan dengan pencelupan (dip coating) Pada teknik penyelupan, bahan pelapis berada disuatu wadah dengan suhu tertentu. Bahan yang akan dilapisi dicelupkan dan setelah itu ditiriskan.
Gambar 22.14. Teknik pencelupan (rowantechnologi.com)
300
Gambar 22.15. Hasil pelapisan dengan cara pencelupan (rowantechnologi.com) c. Atomic layer deposition(ALD) Adalah suatu cara pelapisan suatu material dengan menggunakan atomic layar, merupakan sebuah cara untuk melapisi beberapa komponen semikonduktor.
Gambar 22.16. Atomic layer deposition (rowantechnologi.com)
Gambar 22.17 Hasil pelapisan dengan cara ALD (rowantechnologi.com) 301
DAFTAR PUSTAKA Mathiazhagan A., dan Joseph, R., Nanotechnology, A New Prospective in Organic Coating – Review. International Journal of Chemical Engineering and Applications, Vol. 2 , No. 4 , 2011 Gilbert Gedeon, P.E., 1995. Coating Application and Inspection Stony Point, NY 10980 Kurniawati, A., 2008. Evaluasi pelapisan. Jakarta: Fakultas Teknik UI. http://aguspur.wordpress.com/2008/10/09/manfaat-nanoteknologi/ diakses tgl 4/12/2012 http://www.infometrik.com/2009/08/pelapisan-logam-bagian-1/ diakses tanggal 4/11/2012 http://www.sciencedaily.com/releases/2012/02/120215155316.htm diakses tanggal 4/11/2012 http://www.durasealcoatings.com/ diakses tangak 4/11/2012 http://irzaidan.files.wordpress.com/2012/02/ch-11-nanocoating-presentation.ppt/ diakses tanggal 4/11/2012. www.rowantechnologi.com.diakses tanggal 06/12/2002
302
Bab 23 Nanokomposit Polimer untuk Aplikasi Plastik Biodegradable (Ramah Lingkungan) Oleh : Yolla Sukma Handayani
23.1 Pendahuluan Plastik merupakan material yang banyak digunakan dalam berbagai sektor. Seperti yang kita jumpai setiap hari banyak produk yang menggunakan plastik sebagai kemasan, bahan dasar elektronika dan lain-lain. Hampir seratus juta ton plastik konvensional yang terbuat dari beberapa jenis polimer, seperti : polietilen tereftalat (PET), polivinil klorida (PVC), polietilen (PE), polipropilen(PP), polistirena (PS), polikarbonat (PC), dan melamin diproduksi setiap tahunnya. Material plastik banyak digunakan karena mempunyai sifat unggul, seperti ringan tetapi kuat, transparan, tahan air, serta harganya relatif murah dan terjangkau oleh semua kalangan masyarakat. Namun demikian, plastik memiliki sifat tidak mudah hancur, baik oleh cuaca hujan dan panas matahari maupun mikroba yang hidup dalam tanah. Ketidakmampuan mikroorganisme untuk menguraikan material ini menimbulkan masalah sampah nonorganik, yang jika tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan masalah yang sangat serius terhadap lingkungan. Disamping itu, sumber minyak bumi yang digunakan sebagai bahan dasar polimer sintetik semakin lama semakin berkurang, sehingga timbul pemikiran untuk mengembangkan material polimer yang memanfaatkan bahan-bahan alam yang dapat diperbaharui (renewable resources). Saat ini telah dikembangkan plastik yang ramah lingkungan (biodegradable) karena mudah terurai di dalam tanah. Plastik tersebut dibuat dari material yang berasal dari senyawa organik yang diproduksi bakteri, tidak seperti plastik konvensional yang dibuat dari minyak bumi. Material tersebut disebut polyhydroxybutyrate (PHB). PHB sudah banyak digunakan pada berbagai produk kemasan hingga peralatan medis dan telah dikormesialkan sejak tahun 1980-an. Namun, penggunaannya masih terbatas karena sifatnya yang rapuh dan tidak dapat ditentukan masa urainya. Kemudian, para ilmuwan di Universitas Comell, New York, melakukan rekayasa material agar plastik PHB lebih kuat dan cepat terurai [Adipedia.com, 2011]. Kuncinya terletak pada partikel lempung (clay) berdiameter beberapa nanometer. Partikel-partikel berukuran sangat kecil ini ditambahkan pada polimer agar membantu proses kristalisasi yang memperkuat plastik. Jenis plastik biodegradable yang sudah dikembangkan antara lain, poli hidroksi alkanoat (PHA), poli e-kaprolakton (PCL), poli butilen suksinat (PBS), dan poli asam laktat (PLA) [Berkesch, S., 2005]. PLA merupakan modifikasi asam laktat hasil perubahan zat tepung kentang atau jagung oleh mikroorganisme, dan poliaspartat sintetis yang dapat terdegradasi. Bahan dasar plastik berasal dari selulosa bakteri, kitin, kitosan, atau tepung 303
yang terkandung dalam tumbuhan, serta beberapa material plastik atau polimer lain yang terdapat di dalam sel tumbuhan dan hewan. Plastik biodegradable berbahan dasar tepung dapat didegradasi bakteri pseudomonas dan bacillusdengan cara memutus rantai polimer menjadi monomer-monomernya. Senyawasenyawa hasil degradasi polimer selain menghasilkan karbon dioksida dan air, juga menghasilkan senyawa organik lain yaitu asam organik dan aldehid yang tidak berbahaya bagi lingkungan [IBAW Publication, 2005]. Plastik berbahan dasar tepung aman bagi lingkungan. Sebagai perbandingan, plastik konvensional membutuhkan waktu kurang lebih 500 s.d. 1000 tahun agar dapat terdekomposisi di alam, sementara plastik biodegradable dapat terdekomposisi 100 hingga 1000 kali lebih cepat. Hasil degradasi plastik ini dapat digunakan sebagai makanan hewan ternak atau sebagai pupuk kompos. Plastik biodegradable yang terbakar tidak menghasilkan senyawa kimia berbahaya. Kualitas tanah akan meningkat dengan adanya plastik biodegradable, karena hasil penguraian mikroorganisme meningkatkan unsur hara dalam tanah. Oleh karena itu, pengembangan plastik biodegradable ini sangat pesat karena banyaknya keunggulan yang dimiliki oleh material ini.
23.2 Polimer Polimer adalah bahan yang molekulnya memiliki unit ulang (repeat unit) dari sebuah atau sekelompok atom yang dikenal sebagai mer [Fitrilawati, F., 2007]. Mer berbeda dengan monomer. Monomer adalah molekul-molekul tunggal penyusun polimer. Polimer berasal dari bahasa Yunani, poly dan mer (meros). Poly berarti banyak, sedangkan mer (meros) berarti ikatan. Sifat-sifat polimer berbeda dari monomer-monomer yang menyusunnya.Sebagai contoh, polimer polipeptida adalah salah satu jenis bahan polimer dengan rantai linier sangat panjang yang tersusun atas unit-unit terkecil (mer) yang berulang-ulang berasal dari monomer molekul asam amino. Mekanisme polimerisasi asam amino menjadi polipeptida ditunjukkan pada Gambar 23.1.
Gambar 23.1. Mekanisme polimerisasi asam amino menjadi polipeptida.
23.2.1 Klasifikasi polimer Polimer dapat diklasifikasikan berdasarkan asal polimer, mekanisme polimerisasi, dan berdasarkan aplikasinya [Fitrilawati, F., 2007].
304
A. Klasifikasi berdasarkan asal polimer Berdasarkan asalnya, polimer dibedakan atas polimer organik sintetik, biopolimer, dan polimer anorganik. Maksud klasifikasi polimer berdasarkan asal ini adalah bagaimana polimer tersebut diperoleh, apakah dibuat dari monomer atau diekstrak dalam bentuk yang sudah berupa polimer. a.
Polimer organik sintetik Polimer organik sintetik adalah polimer yang rantai utamanya terdiri dari atom karbon. Beberapa contoh polimer organik sintetik dapat dilihat pada Tabel 23.1 di bawah ini. Tabel 23.1. Contoh polimer organik sintetik No Polimer 1. Polietena
Struktur
Aplikasi Kantung, kabel plastik
2.
Polipropilena
Tali, karung, botol plastik
3.
PVC (Polivinil klorida)
Pipa paralon, pelapis lantai
4.
Polivinil alcohol
Bak air
5.
Teflon
Wajan atau panci anti lengket
6.
Nilon
Tekstil
7.
Polibutadiena
Ban motor
8.
Poliester
Ban mobil
305
9.
Melamin
Piring dan gelas melamin
10.
Epoksi resin
Penyalut cat (cat epoksi)
b.
Biopolimer atau polimer alam Biopolimer adalah polimer yang terdapat di alam dan berasal dari makhluk hidup, tidak dibuat dari monomer melalui proses polimerisasi. Beberapa contoh biopolimer dapat dilihat pada Tabel23.2 di bawah ini. Tabel 23.2. Contoh biopolimer No
Polimer
Monomer
Contoh
1. 2. 3. 4. 5.
Selulosa Pati/amilum Protein Asam nukleat Karet alam
Glukosa Glukosa Asam amino Nukleotida Isoprena
Sayur, Kayu, Kapas Biji-bijian, akar umbi Susu, daging, telur, wol, sutera Molekul DNA dan RNA (sel) Getah pohon karet
c.
Polimer anorganik Polimer kelompok ini memiliki unsur anorganik pada rantai utamanya atau rantai cabang. Contoh: poliorganosiloksan yang dikenal juga sebagai polimer silikon (silicone polymers, sillicones) seperti yang ditunjukkan Gambar 23.2.
Gambar 23.2. Struktur silikon
B. Klasifikasi berdasarkan mekanisme polimerisasi Berdasarkan mekanisme polimerisasinya, polimer dibedakan atas polimer kondensasi dan polimer adisi [Fitrilawati, F., 2007]. a.
Polimer kondensasi Polimer kondensasi adalah polimer yang terbentuk melalui reaksi kondensasi. Kondensasi merupakan reaksi penggabungan gugus-gugus fungsi antara kedua monomernya. Artinya, polimerisasi kondensasi adalah reaksi pembentukan polimer dari monomermonomer yang mempunyai gugus fungsional dan reaksi polimerisasi yang menghasilkan 306
molekul kecil berupa air, alkohol, dan yang lainnya.Misalnya, senyawa polipeptida atau protein dan polisakarida merupakan senyawa biomolekul yang dibentuk oleh reaksi polimerisasi kondensasi. Berikut beberapa contoh pembentukan polimerisasi kondensasi ditunjukkan oleh Gambar 23.3.
(a)
(b) Gambar 23.3. Pembentukan(a) nilon dari asam 6-aminoheksanoat (HOOCCH2 (CH 2 ) 3 CH2 NH2 )dan (b) poliester dari etilena glikol (polialkohol) dengan dimetil tereftalat (senyawa ester). b.
Polimer adisi Polimer adisi adalah polimer yang terbentuk melalui reaksi adisi. Reaksi adisi adalah reaksi pemecahan ikatan rangkap menjadi ikatan tunggal. Jadi, polimerisasi adisi adalah reaksi pembentukan polimer dari monomer-monomer yang berikatan rangkap (ikatan tak jenuh). Pada reaksi ini monomer membuka ikatan rangkapnya lalu berikatan dengan monomer lain sehingga menghasilkan polimer yang berikatan tunggal (ikatan jenuh). Artinya, monomer pembentuk polimer adisi adalah senyawa yang ikatan karbon berikatan rangkap seperti alkena, sterina, dan haloalkena. Polimer adisi ini biasanya identik dengan plastik, karena hampir semua plastik dibuat dengan polimerisasi adisi. Misalnya polietena, polipropena, polivinil klorida, teflon dan poliisoprena.Berikut beberapa contoh pembentukannya ditunjukkan pada Gambar 23.4.
(a)
(b) Gambar 23.4. Pembentukan(a) polietena (polietilena) dari etena (etilena)dan (b) teflon dari tetrafluoro etena. 307
C. Klasifikasi berdasarkan aplikasi Berdasarkan pemanfaatan dalam berbagai aplikasi, polimer dapat dibedakan atas plastik, elastomer, dan fiber. Kelompok plastik dicirikan dengan sifat plastisitas, kelompok elastomer dicirikan dengan sifat elastisitas, sedangkan kelompok fiber dicirikan dengan kemampuan bahan polimer dibentuk menjadi serat (fiber). a.
Plastik Plastik dapat dibuat menjadi berbagai bentuk, biasanya melalui proses pemanasan atau menggunakan tekanan. Plastik selanjutnya dibedakan sebagai termoset dan termoplastik. Polimer termoset jika dipanaskan diatas temperatur kritis akan menjadi keras (permanen) dan tidak akan menjadi lunak (soften) kembali. Termoset merupakan polimer cross linked yang tidak memiliki suhu melting dan tidak memiliki sifat mencair jika dipanaskan sehingga tidak dapat dicetak. Contoh polimer termoset adalah resin fenol (phenolic resins), resin amino (amino resins), dan resin epoksi (epoxy resins). Termoplastik umumnya merupakan polimer linear yang mempunyai suhu melting yang rendah, dapat mencair dan dicetak. Polimer termoplastik akan menjadi lunak jika dipanaskan diatas Tg (suhu transisi gelas). Polimer dapat dibentuk pada temperatur tersebut dan ketika didinginkan bentuknya akan tetap. Contoh polimer termoplastik adalah polietilen, polikarbonat, polipropilen, dan lain-lain. b.
Elastomer Elastomer adalah bahan yang menyerupai karet. Bahan ini memiliki elastisitas yang tinggi. Polimer ini akan berubah bentuk jika ditarik atau ditekan, namun bentuknya akan kembali seperti semula jika tarikan atau tekanan tersebut dilepaskan. Contohnya antara lain karet alam, karet sintetik, dan lainnya. c.
Fiber Fiber memiliki kekuatan (strength) dan modulus yang tinggi, dapat ditarik (stretch ability), memiliki stabilitas termal, dapat dipintal (spinnability), dan memiliki sifat yang berguna untuk aplikasi misalnya untuk tekstil, tali, kabel, dan sebagainya. Ada fiber yang termasuk kelompok serat alam (natural fibers) seperti sutera (silk), wol, dan katun dan ada yang temasuk serat buatan (synthetic fibers) seperti nilon, rayon, dan sebagainya.
23.2.2 Arsitektur molekul polimer Arsitektur molekul berkaitan dengan bentuk molekul polimer. Pada Gambar 23.5 diperlihatkan contoh polimer dengan berbagai bentuk seperti linear, cabang, crosslinked, ladderdan sebagainya. Arsitektur molekul penting untuk berbagai sifat. Rantaibercabang pendek cenderung memperkecil kristalinitas. Rantai bercabang panjangmemiliki pengaruh pada sifat reologi (rheological properties). Polimer ladder memilikikekuatan yang tinggi dan stabilitas termal yang baik. Polimer crosslinked/networkbersifat termoset sehingga tidak meleleh (melting). Proses kopolimerisasi (copolymerization) memungkinkan pembuatan polimer dengan sifat-sifat yang diinginkan.
308
Gambar 23.5. Bentuk arsitektur polimer (a) linear, (b) bercabang, (c) crosslinked, dan (d) network(berjejaring) [Anadão, P., 2012]
23.2.3 Sintesis polimer Proses pembuatan polimer dari monomer dikenal sebagai polimerisasi. A. Proses polimerisasi Proses polimerisasi dibagi dalam kelompok polimerisasi kondensasi dan polimerisasi adisi. a.
Polimerisasi adisi Pada proses polimerisasi ini tidak ada produk samping yang dihasilkan. Jumlah atom pada monomer sama dengan pada unit ulang (mer). Contoh polimerisasi kondensasi ditunjukkan oleh Gambar 23.4 pada bagian 23.2.1. b.
Polimerisasi kondensasi Pada proses polimerisasi ini ada produk samping yang dihasilkan. Jumlah atom yang terdapat pada unit ulang (mer) lebih kecil dibandingkan dengan jumlah atom pada monomer. Contoh polimerisasi kondensasi ditunjukkan oleh Gambar 23.3 pada bagian 23.2.1. B. Mekanisme polimerisasi Mekanisme polimerisasi dibagi atas step reaction or step growth polymerization dan chain reaction or chain growth polymerization. a.
Step reaction orstep growth polymerization Polimer terbentuk melalui reaksi monomer secara bertahap. Umumnya polimerisasi kondensasi termasuk dalam kategori ini. Pada polimerisasi ini diperlukan monomer multifungsional untuk menghasilkan polimer dengan berat molekul tinggi. Polimer yang dihasilkan dengan mekanisme ini memiliki derajat polimerisasi (DP) yang relatif rendah. Contoh polimer yang dibentuk dengan mekanisme ini ditunjukkan pada Gambar 23.6.
309
(a)
(b) Gambar 23.6. Pembentukan (a)polieter dan (b)poliimid melalui reaksi step reaction Poliimid banyak digunakan dalam komposit yang memiliki kekuatan yang tinggi dan lapisan yang memiliki stabilitas termal dan merupakan bahan adhesive. 1. 2. 3. 4.
Ciri-ciri penting dalam mekanisme step reaction or step growth polymerization. Reaksi-reaksi monomer berlangsung pada tahap awal dan pertambahan berat molekul berlangsung secara lambat. Pertumbuhan rantai polimer disebabkan oleh reaksi antara monomer, oligomer, dan polimer. Tidak ada tahap terminasi yang jelas, rantai ujung (the end group) bersifat reaktif sepanjang proses polimerisasi. Mekanisme reaksi sepanjang proses polimerisasi berlangsung sama.
b.
Chain reaction or chain growth polymerization Polimer terbentuk melalui reaksi monomer pada ujung rantai yang berpropagasi. Polimerisasi adisi termasuk dalam kelompok ini. Polimer yang dihasilkan dengan mekanisme ini dapat mencapai DP yang tinggi. Monomernya umumnya memiliki ikatan rangkap. Ikatan rangkap pada atom karbon akan siap berpropagasi apabila diaktifkan oleh inisiator. Tahapan polimerisasi adisi terdiri dari tahapan inisiasi, propagasi, dan terminasiyang dapat dibedakan dengan jelas. Tahapan inisiasi adalah tahapan pembentukan pusat aktif. Dalam proses ini diperlukan suatu inisiator untuk memulai reaksi dengan membentuk radikal bebas. Pada tahap ini inisiator yang mengandung radikal akan bereaksi dengan monomer sehingga terbentuk radikal monomer yang berikatan dengan inisiator. Pada tahap propagasi terjadi pertumbuhan rantai dari monomer monomer akan berpropagasi pada ujung rantai yang aktif dan proses ini akan berlangsung hingga monomer habis bereaksi atau terjadinya terminasi yang menghentikan proses tersebut. Tahap terminasi adalah berhentinya pertumbuhan rantai akibat adanya proses netralisasi (reaksi antara radikal dengan radikal) atau perpindahan pusat aktif. Contoh reaksi chain growth yang menghasilkan rantai polimer polistiren diperlihatkan pada Gambar 23.7.
310
Gambar 23.7. Pembentukan polistiren melalui reaksi chain growth. Ciri-ciri penting mekanisme chain reaction or chain growth polymerization. 1. Pertambahan panjang rantai disebabkan oleh pertambahan monomer pada ujung reaktif pada rantai polimer yang tumbuh. 2. Monomer bereaksi secara perlahan sehingga tersedia selama proses polimerisasi berlangsung. 3. Terdapat dua mekanisme yang jelas selama proses polimerisasi yaitu inisiasi dan propagasi. 4. Umumnya memiliki tahapan terminasi.
23.2.4 Karakterisasi polimer A. Densitas dan solubilitas polimer Densitas dan solubilitas (kelarutan) polimer dapat diuji secara bersamaan dengan memasukkan butiran polimer ke dalam tabung yang bersifat pelarut. Keadaan sampel yang mngapung atau tenggelam menentukan densitas, sedangkan keadaan sampel yang mengembang atau larut menentukan solubilitas. Pelarutan polimer terjadi dalam dua tahap, mula-mula pelarut berdifusi melewati matriks polimer membentuk massa menggembung yang disebut gel, kemudian gel tersebut pecah dan molekul-molekulnya terdispersi kedalam pelarut. Beberapa jenis polimer dapat larut dengan cepat dalam pelarut tertentu, dan beberapa polimer yang lainnya memebutuhkan periode pemanasan dengan suhu mendekati titik lebur untuk pelarutannya. B. Berat Molekul Pada polimer dipergunakan istilah berat molekul rata-rata karena umumnya molekul pada polimer memiliki ukuran yang tidak sama dan massa molekul yang berbeda. hal ini dikenal sebagai polidispersitas (polydisperse). Berat molekul polimer bergantung pada metode pengukurannya.
311
Pada motode yang bergantung pada analisis gugus ujung atau sifat-sifat koligatif dikenal berat molekul rata-rata jumlah (number average relative molecular mass). Pada motode ini bilangan atau jumlah molekul dari setiap berat dalam sampel yang bersangkutan dihitung. Berat molekul rata-rata jumlah adalah berat sampel per mol :
���� 𝑀𝑀𝑛𝑛 =
∑∞ 𝑖𝑖=1 𝑀𝑀𝑖𝑖 𝑁𝑁𝑖𝑖 = (1) ∞ ∑𝑖𝑖=1 𝑁𝑁𝑖𝑖 ∑∞ 𝑖𝑖=1 𝑁𝑁𝑖𝑖 𝑤𝑤
Dengan Ni adalah jumlah rantai dan Mi adlaah massa dari rantai yang bersangkutan. Teknik 𝑀𝑀𝑛𝑛 adalah osmometry. menentukan ���� Hamburan cahaya dan ultrasentrifugasi dipergunakan untuk menentukan berat molekul yang berdasarkan pada massa dan polarisabilitas spesies polimer. Metode ini menjumlahkan fraksi berat masing-masing spesies dikalikan berat molekulnya. Nilai yang diperoleh disebut berat molekul rata-rata berat (weight average molecular mass) dinyatakan sebagai
∑∞ 𝑤𝑤𝑖𝑖 𝑀𝑀𝑖𝑖 ∑∞ 𝑁𝑁𝑖𝑖 𝑀𝑀𝑖𝑖2 𝑖𝑖=1 𝑖𝑖=1 ���� 𝑀𝑀𝑤𝑤 = = ∞ (2) ∑∞ ∑𝑖𝑖=1 𝑁𝑁𝑖𝑖 𝑀𝑀𝑖𝑖 𝑖𝑖=1 𝑤𝑤𝑖𝑖
Nilai ���� 𝑀𝑀𝑤𝑤 lebih dipengaruhi oleh molekul-molekul yang besar. Dalam pengukuran berat molekul yang berdasarkan sifat koligatif, setiap molekul mempunyai kontribusi yang sama berapapun beratnya, sedangkan pada metoda yang menggunakan hamburan cahaya, molekul-molekul yang lebih besar mempunyai kontribusi yang lebih karena menghambur cahaya secara lebih efektif. Karena alasan tersebut berat molekul rata-rata berat ���� 𝑀𝑀𝑤𝑤 selalu lebih besar daripada berat molekul rata-rata jumlah ���� 𝑀𝑀𝑛𝑛 , 𝑀𝑀𝑤𝑤 = ���� 𝑀𝑀𝑛𝑛 . kecuali jika semua molekul memiliki besar yang sama maka ���� Sifat fisis polimer ditentukan oleh berat molekulnya. Agar memiliki sifat mekanik yang baik, polimer harus memiliki berat molekul yang cukup. Besar berat molekul yang diperlukan tergantung pada interaksi inter dan intra-molekul. C. Sifat termal Untuk menentukan sifat termoplastik dan termoset, polimer dipanaskan sampai meleleh dan didinginkan, lalu diamati perubahan yang terjadi. Ketika sampel dipanaskan, dengan menggunakan pinset, polimer yang meleleh ditarik untuk melihat apakah terbentuk fiber. Untuk melihat sifat adhesif, setelah didinginkan polimer yang menempel pada pinset ditarik, diamati apakah mudah dilepaskan. Untuk melihat apakah polimer mudah terbakar, maka sampel polimer dibakar dengan lampu bunsen. Suhu transisi gelas dan suhu melting dapat ditentukan dengan menggunakan teknik Differential Scanning Calorymetry (DSC). Suhu dekomposisi dapat ditentukan dengan metoda Thermal Gravimetry Analysis (TGA). D. Penentuan struktur Struktur molekul dapat ditentukan dengan Nuclear Magnetic Resonance (NMR) dan spektroskopi inframerah (IR). Spektroskopi FT-IR merupakan metoda yang digunakan untuk menganalisa gugus fungsi yang terdapat pada bahan polimer. Spektroskopi FT-IR bekerja berdasarkan interaksi radiasi inframerah dan materi, berupa absorpsi pada frekuensi dan panjang gelombang tertentu yang berhubungan dengan energi transisi antara keadaankeadaan energi vibrasi-rotasi dari molekul. 312
E. Sifat optik Secara kualitatif, dapat diamati apakah polimer terlihat transparan atau buram (opaque). Sifat optik linear bahan dinyatakan dengan konstanta n (indeks bias) dan α (koefisien absorpsi) yang didefinisikan sebagai :
[
( )]
n = 1 + Re χ (1)
α=
( )
k0 Im χ (1) n
1
2
(3)
(4)
Konstanta optik linear tersebut dapat ditentukan dengan teknik reflektometri yaitu berdasarkan hasil pengukuran pasangan spektrum transmisi dan refleksi.
23.3 Polimer Nanokomposit Komposit adalah kombinasi dua atau lebih material melalui campuran yang tidak homogen, dimana sifat mekanik dari masing-masing material pembentuknya berbeda. Umumnya material komposit terdiri dari dua bahan penyusun. Bahan tersebut yaitu bahan pengisi (filler) dan bahan pengikat (matriks). Filler adalah bahan pengisi yang digunakan dalam pembuatan komposit, biasanya berupa serat atau serbuk, seperti yang sering digunakan dalam pembuatan komposit antara lain serat e-glass, boron, karbon, dan sebagainya. Bahan pengisi haruslah kuat untuk menerima beban yang diterima material komposit. Matriks dalam struktur komposit dapat berasal dari bahan polimer atau logam. Umumnya matriks terbuat dari bahan-bahan lunak dan liat. Epoksi, poliester, dan vinilester adalah bahan-bahan polimer yang sejak dahulu telah dipakai sebagai bahan matriks.
Gambar 23.8. Filler nanokomposit. Nanokomposit adalah gabungan atau kombinasi dari dua atau lebih komponen terpisah dan salah satu komponennya adalah material skala nanometer. Dalam nanokompositfiller dapat berupa clay, logam, CNT[Duncan, T. V., 2011]yang akan bertindak sebagai pengisi dalam sebuah matriks. Nanokomposit merupakan material yang dibuat 313
dengan menyisipkan nanopartikel (filler) dalam sebuah sampel material makroskopik (matriks). Tujuan pembuatan komposit adalah untuk menghasilkan sifat yang berbeda dari komponen-komponen pembentuknya serta untuk menghasilkan sifat yang terbaik dari tiap komponen suatu komposit. Penambahan nanopartikel dapat menghasilkan perubahan sifat optik, sifat dielektrik atau sifat mekanik, seperti kekakuan (stiffness) dan kekuatan (strength). Polimer nanokomposit adalah kombinasi dari dua material atau lebih, dimana polimer sebagai matriks diisi dengan filler yang berukuran nanometer. Filler nanokomposit dapat berupa clay, carbon nanotubes, silica nanoparticles, starch nanoparticle, nanofiber, dan lainlain (Gambar 23.8). Polimer nanokomposit telah banyak digunakan dalam berbagai aplikasi seperti pada otomotif, kemasan produk, dan lain-lain. Karena sifat polimer nanokomposit dapat dimodifikasi, maka material ini dapat digunakan untuk aplikasi plastik ramah lingkungan.
23.3.1 Metode sintesis nanokomposit polimer Ada tiga metode yang digunakan secara luas dalam sintesis nanokomposit polimer, yaitu polimerisasi in-situ, metode interkalasi dalam larutan, dan metode proses pada fasa leleh [Barleany, 2011]. A. Metode polimerisasi in-situ Polimerisasi in-situ merupakan metoda yang pertama ditemukan untuk sintesa nanokomposit polimer/clay menggunakan poliamid-6 oleh S. Fujiwara dan Sakamoto [Barleany, 2011].Pada metoda ini organoclay dilarutkan terlebih dahulu dalam pelarut monomer. Monomer kemudian berpindah ke silikat, sehingga polimerisasi dapat terjadi di antara lapisan silikat. Reaksi polimerisasi ini dapat terjadi dengan proses pemanasan, radiasi, atau menggunakan inisiator. B. Metode interkalasi dalam larutan Pada prinsipnya metoda ini hampir sama dengan metode polimerisasi in-situ. Mulamula organoclaydilarutkan dengan pelarut seperti toluen atau n,n D03-3 dimetil formamid. Polimer yang telah dilarutkan kemudian ditambahkan ke dalam larutan organoclay sehingga polimer dapat terinterkelasi di antara lapisan silikat. Tahap terakhir adalah menghilangkan pelarut dengan evaporasi, biasanya dalam kondisi vakum. Keuntungan proses ini adalah interkelasi nanokomposit dapat dilakukan pada polimer nonpolar atau yang mempunyai polaritas rendah. Kekurangan dari metoda ini adalah penggunaan pelarut yang sukar diaplikasikan di dunia industri karena pelarut yang dibutuhkan jumlahnya cukup besar dan membutuhkan biaya tinggi. C. Metode proses pada fasa leleh (melt processing) Pada metoda ini, pencampuran organoclay dilakukan secara langsung ke dalam polimer pada kondisi leleh dan diharapkan terjadi interkalasi yang maksimum antara polimer dan organoclay. Sejak ditemukannya metoda ini oleh Giannelis, hal ini merupakan penemuan yang penting untuk dunia industri dimana memungkinkan terjadinya pencampuran antara polimer dan organoclay tanpa menggunakan pelarut[Barleany, 2011].
314
23.3.2 Nanokomposit polimer/clay Nanokomposit polimer/clayadalah kelas barukompositdenganmatriks polimerdimanafaseterdispersiadalahsilikatyang dibentuk olehpartikelyang -9 memilikidimensidalamsatuannanometer(10 m) [Anadão, 2012]. Bentonit atau clay adalah istilah yang digunakan untuk sejenis lempung yang mengandung mineral montmorillonite. Struktur montmorillonite adalah Mx(Al4xMgx)Si8O20(OH)4. Montmorillonite terdiri dari tiga unit lapisan, yaitu dua unit lapisan tetrahedral (mengandung ion silika) mengapit satu lapisan oktahedral (mengandung ion besi dan magnesium). Struktur utama montmorillonite selalu bermuatan negatif walaupun pada lapisan oktahedral ada kelebihan muatan positif yang akan dikompensasi oleh kekurangan muatan positif pada lapisan tetrahedral [Duncan, T. V., 2011]. Struktur kristal montmorillonite ditunjukkan pada Gambar 23.9.
Gambar 23.9. Struktur kristal montmorillonite [Duncan, T. V., 2011]. Ketebalan setiap lapisan montmorillonite sekitar 0,96 nm, tiap dimensi permukaan pada umumnya 300-600 nm, sedangkan d-spacing 1,2 – 1,5 nm [Barleany, 2011]. Polimer – clay biasanya merupakan bahan penggabungan antara polimer dan bahan komposit sebagai penguat (reinforcement), seperti silika, zeolit, dan lain-lain. Reinforcement yang digunakan 315
biasanya juga sebagai pengisi (filler) pada matriks polimer. Antara polimer dan montmorillonite mempunyai sifat yang berbeda. Untuk mempersatukan kedua bahan dibutuhkan zat pemersatu yang biasa disebut compatibilizer. Compatibilizer yang biasa digunakan adalah zat yang identik dengan matriks polimer serta dapat mengikat filler itu sendiri. Bahan compatibilizer yang sering digunakan dalam pembuatan nanokomposit polimer adalah PP-g-MA. Compatibilizer memegang peranan penting dalam proses compounding. Pada sistem konvensional, sebagai penguat polimer digunakan filler dengan ukuran mikron. Biasanya filler dalam ukuran mikro tidak dapat menghasilkan produk yang baik, karena pendispersiannya yang tidak merata di dalam matriks polimer. Polimer nanokomposit merupakan alternatif yang lebih menjanjikan dibandingkan sistem konvensional. Pola pendispersian filler di dalam matriks polimer terdiri dari tiga tipe, ditunjukkan pada Gambar 23.10.
Gambar 23.10. Perbedaan morfologi pendispersian filler pada matriks polimer, (a) mikrokomposit (b) dan (c) nanokomposit [Duncan, T. V., 2011] Jika polimer tidak dapat memenuhi ruang (interkalasi) di antara lapisan silikat, maka komposit yang dihasilkan adalah (a) mikrokomposit. Mikrokomposit ini memiliki sifat yang sama dengan komposit konvensional. Dua tipe komposit yang lain (b,c) adalah nanokomposit. Jika salah satu atau beberapa rantai polimer masuk (menyisip) diantara lapisan silikat maka terbentuk struktur interkalasi. Nanokomposit yang dihasilkan mempunyai struktur multi layer, yaitu alternasi polimer dan lapisan silika. Struktur eksfoliasi atau delaminasi terbentuk jika lapisan silikat seluruhnya terdispersi di dalam matriks polimer. Konfigurasi dimana nanokomposit tersebar di dalam matriks polimer menghasilkan perubahan yang signifikan dalam sifat gas barrier, heat deflection temperature, dimensi, dan ketahanan api karena terjadi interaksi yang maksimum antara polimer dan clay (Barleany, dkk, 2011).
23.4 Plastik Biodegradable Plastikbiodegradableadalah plastikyang dapatdiuraikan olehmikroorganisme(bakteri atau jamur) ke dalamairdioksida, karbon(CO 2 ) dan beberapabahanbio dalam waktu yang 316
lebih pendek dibandingkan dengan plastik konvensional. Pada dasarnya plastik biodegradable dapat dibuat dari bioplastik, yang komponennyaberasal daribahanbakuterbarukan atau dari plastik konvensional berbasis minyak bumiyang mengandungaditifbiodegradableyang memungkinkanmereka untukmeningkatkansifat biodegradasinya.
23.4.1 Jenis plastik biodegradable Komposit nanopartikel poliester alifatik memainkan peranan penting dalam pengembangan material biodegradable. Oleh karena itu pengembangan nanokompositnya dapat digunakan untuk aplikasi plastik biodegradable. Salah satu contohnya adalah PLA (Polylactic Acid).
A. PLA (Polylacticacid) Diantarapoliesteralifatik, PLAdianggapsebagai materialbiodegradableyang palingmenjanjikan, bukan hanyakarena memilikisifat biodegradasi yangbaik, kekuatanmekanik yang tinggi, tetapi jugakarena dapat diperolehdari sumber daya alam yang terbarukan. Jikamenyisipkannanopartikel yang berbedake dalam matriksPLA makasifatbahanini akan meningkat secara signifikan, sehingga dapat digunakan dalampenerapanlebih lanjut, salah satunya sebagai bahan dasar pembuatan plastik biodegradable. Dengan demikian, mudah untukmemahami mengapabegitu banyak penelitiantelah difokuskan padamaterial ini. Dalam beberapa tahun terakhir ini, grup peneliti Ray [Yang, KeKe, et. al., 2007]menyiapkanserangkaiannanokomposit PLA/layered silicatemenggunakan teknikmelt extrusion, mereka memodifikasimentmorillnite, mika, dantitanat. Selain itu, merekamenyelidikistrukturdan sifatdarinanokomposit secara sistematik, termasukmorfologi, perilakukristalisasi, sifat mekanik, suhu panasdistorsi, sifatgaspenghalang, perilakurheologi, dan sifat biodegradasi. Mereka menemukanbahwa sebagian besarsifatmengalami peningkatan yang berarti. MMT(Modified Montmorillonite) adalahclayyang paling umumdigunakandalamsistemPLA. Peningkatansifat mekaniknyaluar biasa, dan terdapathubungan yangbesar antaraisiMMTdengan sifatakhir darikomposit. PLACNnadalah singkatannanokomposit PLA/claydimana nmenunjukkanpersentaseclay. Jenislayered silicateyang digunakan merupakan faktoryang mempengaruhisifatsifatmaterial. Terdapat beberapa jenislayered silicateyang bekerja di dalam nanokomposit PLA, seperti Montmorillonite [Na1/3(Al5/3Mg1/3)Si4O10(OH)2] dan Synthetic Fluorine Mica [NaMg2.5Si4O10F2]. Gambar 23.11menggambarkanmorfologidispersidari nanopartikel. Terlihat dengan jelasbahwatingkatdispersimemberikanefek pada berbagai layered silicate. Konsekuensinya, sifat-sifatbahan, sepertibiodegradabilitasdan perilakukristalisasi, bervariasi padalayered silicateyang berbeda.
317
Gambar 23.11. Hasil TEM pada berbagai nanokomposit PLA/OMLS. Bagian gelap mencirikan cross section dari lapisan OMLS dan bagian terang mencirikan matriks [Yang, Ke-Ke, et. al., 2007] Mengacu pada fenomena ini, Raymeneliti sifat biodegradasi (biodegradabilitas)nanokomposit PLA yang berisi berbagai jenis layered silicate. Penulis menemukan bahwa biodegradabilitas dari neat PLA meningkat secara signifikan setelah penggabungan dengan claydan bergantung sepenuhnya padasifat murni layered silicate dan surfaktan yang digunakan untuk modifikasi layered silicate, sehingga biodegradabilitas dari polylactide bisa dikendalikan melalui pemilihanorganically modified layered silicate yang sesuai. Gambar 23.12menunjukkan gambar sampel PLA dan berbagai nanokomposit PLA/OMLS yang terdegradasi terhadap waktu.
Gambar 23.12. Proses biodegradasi neat PLA dan berbagai nanokomposit PLA/OMLS yang terdekomposisi terhadap waktu. Ukuran awal sampel kristal adalah 3 x 10 x 0.1 cm3 [Yang, Ke-Ke, et. al., 2007] Penulis menyimpulkan terdapat dua faktor yang mempengaruhi peningkatan yang signifikan terhadap biodegradabilitas komposit PLA/SBE4 dan sistem nanokomposit lainnya. Pertama adalah adanya gugus hidroksil terminal silikat. Dalam kasus nanokomposit PLA/SBE4, intercelated layered silicatetersebar merata dalam matriks PLA dan kelompok318
kelompok hidroksil mulai mengalami hidrolisis heterogen setelah menyerap kelembaban dari kompos. Faktor lain yang mengontrol biodegradabilitas dari nanokompositPLA adalah keadaan dispersi intercalatedOMLSdalam matriks PLA. Ketika intercalatedOMLS terdistribusi secara baik dalam matriks, maka kontak matriks dengan tepi dan permukaanclay akan maksimum, hal ini akan meningkatkan laju degradasi, yang dapat diamati dalam kasus sistem PLA/SBE4. Perilaku kristalisasi nanokomposit PLA/clayjuga menunjukkan perbedaan yang jelas bila dibandingkandenganneat PLA. Kelompok Raymenggambarkan perilaku kristalisasidanmorfologi purePLAdan nanokomposit PLA/C18MMT secara rinci. Kedua spherulitesdari neat PLA dan nanokomposit menunjukkan negatifbire-fringence, tetapi keterarutan spherulites lebih tinggi dalamkasuspure PLA(Gambar 23.13). Keseluruhan tingkat kristalisasi neatPLA meningkatsetelah nanokomposit dipreparasi dengan C18-MMT, tetapi tidak berpengaruhpada laju pertumbuhan linearspherulitespurePLA.Perilaku ini menunjukkan bahwa partikel dispersi MMT bertindak sebagai agen nukleasi untuk kristalisasi PLAdi dalam nanokomposit.
Gambar 23.13. Optical micrograph dari neat PLA (a-c) dan PLACN4 (a-c) pada temperatur kristalisasi (Tc) dari (a,a’) 120oC, (b,b’) 130oC, dan (c,c’) 140oC [Yang, Ke-Ke, et. al., 2007]
B. PHB (Poli hidroksi butirat) PHB adalah poliester yang diproduksi sebagai cadangan makanan oleh mikroorganisme seperti Alcaligenes (Ralstonia) eutrophus, Bacillus megaterium dan lainlain. PHB memiliki titik leleh yang tinggi yaitu sekitar 180oC, tetapi karena kristalinitas yang 319
tinggi menyebabkan sifat mekanik dari PHB kurang baik. Biaya produksi PHB masih mahal jika dibandingkan dengan plastik konvensional karena membutuhkan energi produksi yang besar.
C. PCL (Poli e-kaprolakton) PCL adalah polimer hasil sintesis kimia menggunakan bahan baku minyak bumi. PCL mempunyai sifat biodegrabilitas yang tinggi karena dapat dihidrolisis oleh enzin lipase dan esterase yang tersebar luas pada tanaman, hewan, dan mikroorganisme. PCL memiliki titik leleh yang rendah yaitu sekitar 60oC.
D. PBS (Poli butilen suksinat) PBS memiliki sifat ketahanan hidrolisa kimiawi yang rendah, sehingga tidak dapat diaplikasikan untuk bidang aplikasi lingkungan lembab. Kopolimerisasi PBS dengan poli karbonat menghasilkan produk poliester karbonat yang memiliki sifat biodegrabilitas, ketahanan hidrolisa kimiawi dan titik leleh yang tinggi. Kemampuan enzim lipase dalam menghidrolisa PBS relatif rendah dibandingkan dengan kemampuannya menghidrolisa PCL. PBS memiliki titik leleh setara dengan plastik konvensional polietilen, yaitu sekitar 113oC.
23.4.2 Karakterisasi Plastik Biodegradable A. Sifat mekanis Sifat mekanis merupakan sifat terpenting darisemua jenis material plastik karena semua kondisipemakaian serta penggunaan dari plastik melibatkanbeban mekanis. a.
Kekuatan tarik (Tensile strength) Uji tarik banyak dilakukan untuk melengkapiinformasi rancangan dasar kekuatan suatu bahan dansebagai data pendukung bagi spesifikasi bahan. Padauji tarik, benda uji diberi beban gaya tarik sesumbuyang bertambah besar secara kontinyu. Bersamaandengan itu dilakukan pengamatan mengenaiperpanjangan yang dialami benda uji. Tegangandiperoleh dengan cara membagi beban dengan luaspenampang lintang benda uji. P (5) σ= AO
Regangan linier rata-rata diperoleh dengan caramembagi perpanjangan panjang ukur (gage length)benda uji dengan panjang awal.
e=
∆L L − Lo (6) = L Lo
b.
Kekerasan (Hardness) Uji pengukuran kekerasan terdiri dari tiga jenis yang tergantung dari cara melakukan pengujian. Ketiga jenis tersebut adalah (1) kekerasan goresan (scratch hardness), (2) kekerasan lekukan (indentation hardness), dan (3) kekerasan pantulan (rebound) atau kekerasan dinamik (dynamichardness). Kekerasan Rockwell (HR) dipakai untuk menentukan kekerasan polimer adalah sebagai dengan menggunakan bola sebagai penekan, beban mula320
mula Po diberikan untuk mendapat kedalaman mula, selanjutnya beban P untuk waktu tertentu, dan setelah dikembalikan ke beban mula diukur kedalaman deformasi plastisnya (h) yang disubstitusikan dalam persamaan berikut. HR = 130 − 500h (7) Dalam ASTM kekerasan α-Rockwell ditetapkan dengan beban dimana deformasi elastik diperhitungkan, seperti pada persamaan berikut.
α − HR = 150 − 500h (8) c.
Ketahanan Kejut (Impact Charpy) Sifat impak dari material dihubungkan langsung dengan ketangguhan dari material. Ketangguhan (toughness) didefinisikan sebagai kemampuan dari polimer menyerap energi yang diberikan. Semakin tinggi energi impak dari material maka ketangguhan juga semakin tinggi. Ketahanan impak adalah kemampuan dari material untuk menahan kerusakan pada beban kejut atau kemampuan untuk menahan perpatahan pada tegangan yang diberikan pada kecapatan tinggi. B. Sifat Biodegradabilitas Pengujian sifat biodegradabilitas bahan plastik dapat dilakukan menggunakan enzim, mikroorganisme dan uji penguburan. Lembaga standarisasi internasional (ISO) telah mengeluarkan metode standar pengujian sifat biodegradabilitas bahan plastik sebagai berikut. ISO 14851 : penentuan biodegradabilitas aerobik final dari bahan plastik dalam media cair metode pengukuran kebutuhan oksigen dalam respirometer tertutup. ISO 14852 : penentuan biodegradabilitas aerobik final dari bahan plastik dalam media cair metode analisa karbondioksisa yang dihasilkan. ISO 14855 : penentuan biodegradabilitas aerobik final dan disintegrasi dari bahan plastik dalam kondisi komposting terkendali – metode analisa karbondioksida yang dihasilkan.
23.4.3 Keunggulan Plastik Biodegradable Bahan biodegradablemulaidapatditerimadi banyak negara. Bahanini diharapkan dapat membantupelestarian lingkungandalam mengurangimasalahlimbah. Seperti plastikkonvensional, plastikbiodegradable punharus memilikistrukturdan kualitas fungsionalyang sama.Gambar 23.14 menunjukkan contoh plastik biodegradable untuk kemasan.
321
Gambar 23.14.Contoh plastik biodegradableuntuk kemasan. Keunggulan yang dimiliki oleh plastik biodegradable, diantaranya ialah sebagai berikut. a. Berbahan baku bahan-bahan yang dapat diperbaharui (renewable) Plastik biodegradable merupakan plastik yang berbahan baku bahan-bahan yang dapat diperbaharui (renewable), yaitu dari senyawa-senyawa yang terdapat dalam tanaman misalnya selulosa, kolagen, kasein, protein atau lipid yang terdapat dalam hewan. Hal ini menjadi sebuah keunggulan bagiplastik biodegradable karena tidak akan pernah kekurangan bahan baku selama masih terdapat sinar matahari, air, dan tanah. Sifat bahan baku plastik biodegradable tersebut dapat menjadi langkah untuk mengurangi ketergantungan terhadap plastik konvensional yang berbahan dasar petroleum, gas alam, atau batu bara. Siklus plastik biodegradableyang menunjukkan bahwa plastik biodegradable bersifat dapat diperbaharui ditunjukkan oleh Gambar 23.15.
Gambar 23.15. Siklus plastik biodegradable[IBAW publication, 2005]. b.
Ramah lingkungan Makna biodegradable adalah mampu terurai menjadi komponen-komponen yang tidak menimbulkan polusi terhadap lingkungan. Berdasarkan definisi tersebut dapat dikatakan bahwa plastik biodegradable mempunyai sifat ramah lingkungan. Proses penguraian plastik biodegradable dilakukan oleh aktivitas enzim yang dihasilkan oleh 322
mikroorganisme. Hal tersebut menjadi sebuah keunggulan dari pemanfaatan plastik biodegradable jika dibandingkan dengan pemanfaatan plastik konvensional yang dapat merusak lingkungan. c.
Waktu degradasi pendek Plastik biodegradable dapat terurai di alam dalam jangka waktu yang jauh lebih cepat dibandingkan plastik konvensional. Jika plastik konvensional membutuhkan waktu sampai ribuan tahun untuk terurai, plastik biodegradable bisa terurai dalam jangka waktu 7 minggu sampai 2 tahun bergantung pada material yang digunakan.
Penggunaan plastik biodegradable diharapkan dapat membantu menyelamatkan bumi dari bahaya sampah plastik serta dapat mengurangi penggunaan minyak bumi sebagai bahan baku yang persediaannya semakin lama semakin berkurang.
323
DAFTAR PUSTAKA Anadão, P., Polymer/Clay Nanocomposites: Concepts, Researches, Applications and Trends for The Future,http://dx.doi.org/10.57772/50407, diakses pada tanggal 22 November 2012 A., Richard, et. al., Biodegradable Polymers for the Environment,Science297, 803-807 (2002) Barleany, D. R., Hartono, R., dan Santoso, Pengaruh Komposisi Montmorillonite pada Pembuatan Polipropilen-Nanokomposit terhadap Kekuatan Tarik dan Kekerasannya,Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Kejuangan ISSN 1693-4393 (2011) Berkesch, S., Biodegradable Polymers: A Rebirth of plastic. Michigan State University (2005) Cowie and Valeria, Polymers: Chemistry and Physics of Modern Materials, Third Edition. USA: CRC Press (2008) Duncan, T. V., Application of Nanotechnology in Food Packaging and Food Safety : Barrier Materials, Antimicrobials, and Sensors,Journal of Colloid and Interface Science (2011) Farrin, J.,Biodegradable Plastics from Natural Resources, Rochester Institute of Technology. Fitrilawati, F., Polimer,Diktat Kuliah Polimer,Universitas Padjadjaran Bandung (2007) Highlights in Bioplastics, IBAW (International Biodegradable Polymers Association & Working Groups) Publication,Berlin (2005) Hourston, D. J., Degradation of Plastics and Polymers, Department of Materials, Loughborough University, UK (2010) Hussain, F., et. al., Review article: Polymer-matrix Nanocomposites, Processing, Manufacturing, and Application: An Overview,Journal of Composite Materials40,15111575(2006) Rahman, dkk.,Inovasi Pengembangan Hidrolisat Pati Bonggol Pisang sebagai Sumber Utama Pembuatan Plastik Biodegradable Poly-β-Hidroksialkanoat,Institut Pertanian Bogor (2010) Subiyanto, B., Suryanegara, L., Yano, H.,Peranan Bio-nano Komposit dalam Industri di Masa Depan, LIPI Cibinong. Yang, Ke-Ke, et. al., Progress in Nanocomposites of Biodegradable Polymer,J. Ind. Eng. Chem. 13, 485-500 (2007)
324
Bab 24 Karakterisasi Nanomaterial Menggunakan SEM, TEM dan AFM Oleh: Abdul Muid
24.1 Pendahuluan Mata manusia dapat melihat dengan baik benda berukuran 0,1 mm pada jarak 25 cm misalnya, serbuk besi. Untuk melihat benda yang lebih kecil seperti bakteri, dibutuhkan alat yang disebut dengan mikroskop. Mikroskop optik memiliki perbesaran sampai 2000 kali dan mampu melihat benda berukuran mikrometer. Dalam bidang tertentu seperti fisika material, kimia, geologi dan biologi, pengetahuan secara rinci tentang sifat-sifat fisika, komposisi kimia dan struktur material pada skala nano menjadi penting. Untuk itu dibutuhkan alat yang dapat digunakan untuk melihat benda yang berdimensi nanometer.
Mikroskop optik Sinar cahaya
Mikroskop elektron elektron
400 -800 nm (cahaya tampak)
0,0037 nm (100kV)
Medium
udara
vakum
Lensa
kaca
listrikmagnet
< 60 derajat
< 1 derajat
Melihat gambar
langsung
monitor
Resolusi
200 nm
< 1 nm
5 – 2.000 x
35 – 1.000.000 x
mekanik
elektrik
Pembawa informasi Panjang gelombang
Sudut apertur
Perbesaran Pengaturan fokus
Tabel 24.1 Perbedaan mikroskop optik dengan mikroskop elektron Ketika ditemukan fenomena menarik tentang elektron dan medan listrikmagnet maka ilmuwan membuat mikroskop elektron. Elektron dapat memiliki karakteristik baik sebagai partikel maupun
325
gelombang. Sama seperti cahaya tampak yang dapat diperlakukan sebagai sebuah berkas foton atau gelombang elektromagnetik. Muatan negatif dari elektron memungkinkan elektron untuk : 1. Dibelokkan oleh medan magnet atau medan elektrostatik. Ini adalah dasar bagaimana lensa dan kumparan dalam mikroskop elektron bekerja. 2. Dipercepat di bawah kolom dengan beda potensial tinggi. Massa yang kecil dari elektron memerlukan: a. Kondisi vakum tinggi untuk meniadakan defleksi elektron dengan partikel-partikel udara. b. Sampel sangat tipis (<100 nm) untuk memastikan transmisi berkas elektron. Semakin kecil panjang gelombang yang digunakan maka semakin tinggi resolusi mikroskop. Panjang gelombang De Broglie elektron adalah λ = h / p dimana h adalah konstanta Planck dan p adalah momentum, dimana p = m.v dengan m adalah massa elektron dan v kecepatannya. Jika elektron dipercepat dengan potensial V maka akan memiliki energi kinetik sebesar ½ m v2 = eV. Maka momentum elektron dapat ditulis sebagai p = . Dengan demikian panjang gelombang de Broglie elektron adalah dengan eV tegangan percepatan. Sebagai illustrasi hubungan antara energi kinetik dengan panjang gelombang digambarkan pada gambar 24.1. Sedangkan pada tabel 24.2 memuat daftar contoh penggunaan tegangan percepatan dan panjang gelombangyang dihasilkan.
λ (Angstrom) Energi kinetik elektron (keV)
Gambar 24.1 Kurva hubungan antara energi kinetik elektron dengan panjang gelombangnya. (David Muller, 2008)
326
Tegangan Percepatan 1V
λ (A) 12,264
100 V
1,2263
1 keV
0,38763
10 keV
0,12204
100 keV
0,037013
200 keV
0,025078
300 keV
0,019687
1 MeV
0.0087189
Tabel 24.2 Contoh tegangan yang digunakan dan panjang gelombang yang dihasilkan. Setelah kita melakukan sintesis nanomaterial, pada umumnya dilanjutkan dengan karakterisasi untuk memastikan apakah ukuran material sudah dalam orde nanometer atau belum. Ada banyak metode dan alat yang digunakan untuk karakterisasi nanomaterial, bergantung pada informasi apa yang dibutuhkkan. Beberapa jenis mikroskop elektron seperti Scanning Electron Microscope (SEM) dan Tranmission Electron Microscope (TEM) sering digunakan untuk karakterisasi fisik. Dari SEM dan TEM dapat diperoleh informasi tentang ukuran, bentuk, tekstur dan struktur dari sampel. Terdapat beberapa jenis mikroskop elektron dengan cara kerja yang berbeda pula.
24.2 Scanning Electron Microscopy (SEM) Pada tahun 1942 tiga orang ilmuwan Amerika yaitu Dr. Vladimir Kosma Zworykin, Dr. James Hillier, dan Dr. Snijder, membangun sebuah mikroskop elektron metode pemindaian (scanning) yang dikenal dengan SEM dengan resolusi hingga 50 nm atau perbesaran 8.000 kali. SEM modern sekarang ini mempunyai resolusi hingga 1 nm atau pembesaran 400.000 kali.
Gambar 24.2 Salah Satu Contoh Peralatan SEM (Bob Hafner, 2007) 327
24.2.1 Komponen SEM Komponen SEM terdiri dari kolom mikroskop, ruang sampel, sistem vakum, instrumen pengontrol, komputer dan monitor seperti pada gambar 24.2. Skema SEM pada gambar 24.3 terlihat komplek namun dapat dijelaskan dengan lebih sederhana terdiri dari: 1. Sumber berkas elektron (senapan elektron) yang dipercepat kebawah kolom. 2. Lensa kondenser dan objektif yang berfungsi untuk mengontrol diameter berkas elektron sehingga terfokus pada sampel. 3. Celah sempit, yaitu lubang berukuran mikro dimana berkas elektron melewatinya. Lubang ini mempengaruhi sifat berkas elektron yang lewat. 4. Pengontrol posisi sampel pada sumbu x,y,dan z serta posisi rotasi dan kemiringan. 5. Interaksi sampel yang menghasilkan beberapa jenis sinyal yang dapat di deteksi dan di proses menjadi gambar. 6. Kolom vakum tingkat tinggi untuk menjaga sampel agar tidak terkontaminasi dengan partikel udara.
Gambar 24.3 Skema komponen SEM (David Muller, 2008) 24.2.1.1 Senapan Elektron Senapan elektron terdiri dari filamen, sumber tegangan tinggi, pemanas filamen (power supply), elektroda (anoda) dan silindr seperti pada gambar 24.3. Fungsi dari senapan elektron adalah menghasilkan berkas elektron yang stabil. Bahan filamen yang biasa digunakan sebagai senapan elektron adalah Tungsten dan Lanthanumhexaboride (LaB6). Filamen pada senapan elektron terbuat dari logam yang ujungnya dibuat runcing memiliki jari-jari kurang dari 100 nm. Power supply digunakan untuk memanaskan filamen sehingga elentron dari bahan elemen keluar. Ketika ujung-ujung filamen diberi beda tegangan hasilnya adalah medan listrik yang terkonsentrasi di ujung filamen, yang 328
memfasilitasi emisi elektron. Perbedaan potensial antara ujung filamen dan anoda disebut tegangan percepatan (kV). Tegangan percepatan ini menyebabkan elektron tertarik ke arah anoda. Semakin tinggi tegangan percepatan, elektron berjalan semakin cepat menuruni kolom vakum dan memiliki daya penetrasi yang lebih besar.
Power supply
Resistor bias
Filamen
Silinder
Sumber tegangan tinggi
Berkas elektron Anoda Anoda
Gambar 24.4 Illustrasi proses produksi dan percepatan berkas elektron. 24.2.1.2 Lensa Elektromagnetik Sebuah lensa elektromagnetik terdiri dari koil tembaga dililit pada batang besi. Arus melalui kumparan menciptakan medan magnet dalam lubang yang digunakan untuk memfokuskan berkas elektron. Ketika elektron melewati lensa elektromagnetik, elektron tersebut mendapat dua vektor gaya pada suatu momentum tertentu: gaya (Hz) sejajar dengan inti (sumbu Z) dari lensa, dan gaya (HR) sejajar dengan jari-jari lensa. Kedua gaya ini memberikan dua perlakuan yang berbeda pada elektron yaitu memelintir berkas sehingga menjadi spiral dan memfokuskan berkas elektron ketika elektron melalui lensa. Sebuah elektron melalui lensa sejajar dengan sumbu Z akan mendapat gaya (Hz) menyebabkan ia spiral melalui lensa. Ini menyebabkan elektron mendapat gaya (HR) yang menyebabkan berkas elektron akan dikompresi ke arah sumbu Z. Medan magnet homogen sedemikian rupa sehingga lemah di tengah dan menjadi kuat di dekat lubang. Elektron yang melewati lensa dekat dengan pusat kurang kuat dibelokkan daripada yang jauh dari sumbu lensa.Lensa elektromagnetik digunakan untuk mengatur berkas elektron yang keluar dari senapan dan untuk memfokuskan berkas elektron. Lensa kondensor berfungsi sebagai perbesaran sedangkan lensa objektif untuk memfokuskan berkas elektron pada sampel. Ukuran sumber yang relatif kecil maka diperlukan perbesaran untuk menghasilkan ukuran probe lebih kecil dibandingkan dengan sumber elektron lainnya. Untuk 329
memudahkan pemahaman mekanisme lensa elektromagnetik dalam memfokuskan cahaya, dapat dianalogikan dengan lensa optik seperti pada gambar 24.5. Pada gambar A, sinar yang berasal dari suatu titik datang pada objek ke satu bidang menjadi bidang gambar. Lensa optik memiliki titik fokus tetap dan objek berada dalam fokus pada bidang gambar. Pada gambar B, lensa dengan kekuatan dan fokus berbeda (direpresentasikan sebagai ketebalan lensa). Dengan mengatur fokus (mengubah ketinggian sepanjang sumbu optik) menghasilkan gambar yang berbeda pada bidang gambar dengan perubahan perbesaran. Pada gambar C, lensa elektromagnetik. Dengan mengubah kekuatan (mengubah arus) diperoleh perubahan perbesaran seperti lensa B.
Benda p Lensa q Gambar B
A
C
Gambar 24.5 Illustrasi analogi lensa elektromagnetik memfokuskan berkas elektron. Beberapa hal yang perlu diperhatikan tentang SEM: 1. Diameter sumber dari berkas elektron yang keluar dari senapan. 2. Besarnya perbesaran adalah p / q (lihat gambar 24.5) 3. SEM mempunyai lensa elektromagnetik yang dapat kita variasi kekuatannya dengan mengubah arus yang melaluinya. 4. SEM memiliki lebih dari satu lensa elektromagnetik. Dalam situasi ini bidang gambar lensa pertama menjadi obyek bagi bidang kedua. Total perbesaran adalah perkalian dari perbesaran lensa satu dengan lensa dua. 24.2.2.3 Kolom Vakum Sistem vakum yang bagus harus diterapkan pada mikroskop untuk mencapai tingkat vakum yang dibutuhkan. Vakum di senapan pada kolom dijaga pada tekanan 10-10 sampai 10-11 Torr, vakum dalam ruang sampel dalam kisaran 10-5 sampai 10-6 Torr (1 Torr = 133 Pa = 1,33 mbar). Tabel di bawah ini memberikan gambaran tingkatan vakum dalam mikroskop elektron.
330
1 Atm (760 Torr)
1019
Jarak antar atom 5x10-9 meter
10-2 Torr
1014
2x10-7 meter
10-2 meter
10-4 detik
10-7 Torr
109
1x10-5 meter
103 meter
10 detik
Atom/cm3
Vakum
-10
10
Torr
0
-4
10
1x10 meter
Jalan bebas rata-rata 10-7 meter
Waktu ke monolayer 1-9 detik
6
10 meter
104 detik
Tabel 24.3 Tingkatan vakum dalam mikroskop elektron.
24.2.2 Prinsip Kerja SEM Pada tahap awal, sampel yang akan dianalisa dengan SEM harus disiapkan dengan hati-hati dan dijaga agar tidak menyusut atau berubah bentuk. Sampel biologi biasanya dikeringkan dan dilapisi sehingga tidak layu atau mengerut. Karena SEM bekerja menangkap elektron maka sampel harus bersifat pemantul elektron dan dapat menghasilkan elektron sekunder ketika ditembak berkas elektron. Untuk sampel yang tidak konduktif (bukan logam) lebih dulu dilapisi logam tipis dengan teknik evaporasi atau sputtering agar diperoleh gambar profil permukaan yang jelas. Setelah udara dipompa keluar, chamber menjadi vakum, kemudian senapan elektron mengirim berkas elektron berenergi tinggi. Berkas elektron turun melewati sederet lensa elektromagnetik yang memfokuskan elektron menjadi titik terbaik. Ketika berkas elektron mengenai sampel, akibatnya elektron dipantulkan kembali dan ada elektron keluar dari sampel (elektron sekunder) dan ditangkap oleh detektor dan dikirim ke amplifier. Gambar pada monitor merupakan representasi dari elektron yang terpancar dari sampel. Sampel ditembak pada tiap bagian, satu demi satu sampai semua bagian telah terdeteksi. Terdapat seperangkat koil geser yang menggerakkan berkas elektron ke depan dan ke belakang menyapu permukaan sampel. Area yang memantulkan banyak elektron akan terlihat putih sedangkan yang tidak reflektif terlihat hitam. Selain itu juga dapat menentukan lokasi berkas elektron yang berintensitas tertinggi. Dari pemindaian tersebut informasi tentang profil permukaan sampel seperti seberapa landai dan kemana arah kemiringan diperoleh dan diolah menjadi gambar oleh software pengolah gambar pada komputer. pengaturan perbesaran
Scan generator
Amp detektor
Gambar 24.6 Skema prinsip kerja SEM
331
monitor
Terdapat hubungan antara pola pada sampel dan pola yang digunakan untuk menghasilkan gambar di monitor. Resolusi yang kita kehendaki mempengaruhi jumlah pixel serta jumlah baris daerah yang dipindai. Pengolahan membutuhkan intensitas sinyal yang datang dari sampel dan mengubahnya ke nilai pixel grayscale yang sesuai dengan daerah yang terpindai. Gambar pada monitor adalah pola dua dimensi grayscale.
Gambar 24.7 Contoh foto SEM dari sampel silica (http://www.edax.com) Dengan berkas terfokus pada permukaan sampel, yang kita perlukan untuk mengubah perbesaran adalah dengan mengubah ukuran area terpindai pada sampel. Pembesaran akan meningkat jika kita mengurangi ukuran area terpindai pada sampel. Pengetahuan dasar bagi operator SEM adalah tentang: 1. Optik elektron. 2. Interaksi antar berkas elektron dengan sample. 3. Jenis-jenis sinyal dan karakter detektor. 4. Kualitas sinyal dan hubungannya dengan kemampuan dapat dilihat. Pemrosesan sinyal.
24.2.3 Kontrol Parameter Informasi dasar tentang poin-poin di atas sangat berguna pada saat kita menentukan parameter utama yang terkait dengan berkas elektron pada permukaan sampel. Parameter-parameter yang dapat kita kontrol sebagai operator dan menentukan modus utama dari pencitraan dalam SEM adalah: 1. Tegangan percepatan berkas elektron (kV); tegangan dimana elektron dipercepat ke bawah dalam kolom vakum. 2. Sudut konvergensi; sudut setengah bentuk corong/kerucut dari pengumpulan elektron pada sampel. 3. Arus probe; arus yang menimpa pada sampel dan menghasilkan berbagai macam sinyal. 4. Diameter probe atau ukuran titik; diameter akhir berkas elektron pada permukaan sampel. 24.2.3.1 Tegangan Percepatan (kV) Tegangan percepatan dapat divariasikan oleh operator dari <1 kV sampai 30 kV. Meningkatkan tegangan percepatan akan menyebabkan :
332
1. Penurunan penyimpangan lensa. Hasilnya adalah diameter probe lebih kecil dan resolusi akan lebih baik. 2. Meningkatkan arus probe pada sampel. Sebuah arus probe minimal dibutuhkan untuk mendapatkan gambar dengan kontras yang baik dan sinyal tinggi. 3. Meningkatkan potensi rusaknya sampel yang tidak konduktif dan sensitif pada berkas elektron. 4. Menaikkan berkas penetrasi ke dalamsampel dan kemudian mengaburkan permukaan. Gambar di bawah: film karbon di atas grid tembaga. Kiri: 20 keV; Kanan: 2 keV. Film karbon hampir tak terlihat di tegangan percepatan lebih tinggi. 9.2.3.2 Arus Emisi Arus emisi dapat divariasi untuk sudut berbeda pada SEM. Meningkatkan arus emisi akan menyebabkan: 1. Meningkatkan arus probe pada sampel. 2. Meningkatkan potensi rusaknya sampel yang tidak konduktif dan sensitive pada berkas elektron. 9.2.3.3 Diameter Probe Diameter probe atau ukuran titik dapat divariasi dengan mengubah arus ke lensa kondensor. Seperti terlihat pada diagram di atas berkas elektron digambar dengan warna hijau. Penurunan diameter probe akan menyebabkan: 1. Memungkinkan mendapatkan resolusi yang lebih besar. Resolusi untuk sampel kecil memerlukan diameter probe dengan dimensi yang sama. 2. Penurunan penyimpangan lensa karena berhubungan dengan pengaturan lensa. 3. Penurunan arus probe.
24.2.4 Interaksi Elektron dengan Sampel. Berkas elektron dapat berinteraksi dengan muatan listrik dari inti atom sampel maupun elektronnya. Interaksi ini menghasilkan banyak jenis sinyal yaitu; elektron backscattered, elektron sekunder, sinar-X, elektron Auger dan cathadoluminescence. Berkas elektron Cathadoluminescence Sinar-X
elektron backscattered
Elektron Auger
Elektron sekunder
Sampel
Gambar 24.8 Illustrasi interaksi berkas elektron dengan sampel menghasilkan beberapa jenis sinyal 333
9.2.4.1 Tumbukan tidak elastis Terjadi ketika berkas elektron berinteraksi dengan medan listrik dari elektron atom sampel. Hasilnya adalah transfer energi ke atom sampel dan pengusiran potensial dari sebuah elektron sebagai elektron sekunder (SE). Elektron sekunder (SE) menurut definisi kurang dari 50 eV. Jika kekosongan karena penciptaan sebuah elektron sekunder diisi dari tingkat orbital yang lebih tinggi, transisi energi itu akan menghasilkan karakteristik sinar-X. 9.2.4.2 Tumbukan elastis Terjadi jika berkas elektron berinteraksi dengan medan listrik dari inti atom sampel, ini akan mengubah arah berkas elektron tanpa mengubah secara signifikan energi dari berkas elektron (<1eV). Jika hamburan secara elastis berkas elektron didefleksikan kebelakang sampel, elektron disebut backscattered elektron (BSE). BSE mempunyai jangkauan energi 50 eV sampai dekat energi hamburan. Namun, sebagian besar elektron backscattered mempertahankan setidaknya 50% dari energi hamburan. Hilangnya energi berkas elektron di dalam sampel diwujudkan kebanyakan dalam bentuk timbulnya panas pada titik teradiasi. Material polimer dan sampel biologi yang umumnya tidak tahan panas akan lebih mudah rusak oleh berkas elektron karena material tersebut memiliki konduktifitas panas yang rendah. Berikut ini adalah strategi yang dapat digunakan untuk menghindari kerusakan. 1. Mengurangi intensitas berkas elektron. 2. Waktu penyinaran yang singkat, meskipun ini mengurangi kehalusan gambar. 3. Luas pemindaian gambar dengan perbesaran kecil. 4. Mengontrol tebal logam pelapis pada permukaan sampel karena akan mempengaruhi kecerahan gambar.
24.2.5 Menyiapkan Sampel pada SEM Agar diperoleh foto SEM yang baik, diperlukan persiapan pada sampel. Prinsip penyiapan sampel untuk SEM adalah sebagai berikut : 1. Melakukan fiksasi: bertujuan untuk mematikan sel tanpa mengubah struktur sel yang akan diamati. Fiksasi dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa glutaraldehida atau osmium tetroksida. 2. Pelapisan/pewarnaan: bertujuan untuk memperbesar kontras antara preparat yang akan diamati dengan lingkungan sekitarnya. Pelapisan/pewarnaan dapat menggunakan logam berat seperti uranium dan timbal. Secara ringkas hubungan antara komponen SEM dan parameter yang diinginkan diperlihatkan pada tabel 24.4 di bawah.
334
Kekuatan Lensa Kondenser
Semakin pendek Semakin kecil lebih
Semakin panjang Semakin lebar kurang
Ukuran aperture objektif Semakin Semakin kecil besar Semakin kecil lebih kurang
lebih
kurang
lebih
kurang
Ketajaman
Semakin kuat Semakin kecil lebih
Semakin lemah Semakin lebar kurang
Tegangan Percepatan Semakin Semakin tinggi rendah Semakin Semakin kecil lebar lebih kurang
Resolusi
lebih
kurang
lebih
Arus probe Sinyal elektron sekunder Sinyal sinar-X
kurang
lebih
Pengaruhnya kecil
Pengaruhnya kecil
Kurang
lebih
kurang
lebih
Pengaruhnya kecil
Pengaruhnya kecil
kurang
lebih
kurang
lebih
lebih
kurang
lebih
kurang
kurang
lebih
Merusak
kurang
lebih
lebih
kurang
Pengaruhnya kecil
Kurang
lebih
Ukuran titik
kurang
Jarak Kerja
Tabel 24.4 Hubungan antara komponen SEM dengan parameter yang akan dihasilkan SEM.
24.3 Tranmission Electron Microscopy (TEM) TEM adalah mikroskop elektron yang bekerja dengan cara mendeteksi berkas elektron yang menembus sampel dan menggambarkan ke layar. Berbeda dengan SEM yang hanya memindai permukaan sampel, TEM mampu menganalisa semua bagian sampel dan merekam pola difraksi struktur sampel. Pola difraksi berisi informasi tentang susunan atom kristal. TEM memiliki resolusi yang sangat tinggi sampai 0,1 nm. Salah satu contoh peralatan TEM diperlihatkan pada gambar 24.11 di bawah ini.
Gambar 24.11 Contoh peralatan TEM (http://tranmissionelectronmicroscope.org)
335
TEM ditemukan oleh Max Knoll, Ernst Ruska pada tahun 1931. TEM dapat memperbesar sampel hingga 1.000 kali dan TEM modern saat ini memiliki kemampuan untuk memperbesar yang lebih dari itu. Hal Ini memungkinkan manusia untuk melihat partikel berukuran nanometer dan karenanya dapat merumuskan hipotesis lebih akurat. TEM menggunakan elektron energi tinggi yang melewati sampel dan membentuk gambar pada layar sehingga dapat dianalisa mikrostruktur dari material dengan skala atom. Karena panjang gelombang elektron kecil, mikroskop ini memiliki resolusi lebih tinggi. Penemuan TEM merevolusi studi berbagai bidang ilmu termasuk kimia dan biologi. Dengan mikroskop ini memungkinkan para ilmuwan untuk mempelajari struktur atom, yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan ukuran, bentuk dan reaktivitas dari atom yang sangat akurat. Sesuatu yang mereka hanya menduga-duga sebelumnya. Dalam biologi, mikroskop ini telah membantu para ilmuwan melihat lebih dekat pada sampel yang diambil dari pasien seperti darah, urin, untuk memberikan diagnosis yang sangat akurat. Dalam penelitian kanker, TEM telah memainkan peran yang sangat penting, memungkinkan para dokter untuk memahami penyakit secara detail. TEM juga digunakan untuk menemukan mikroorganisme lain untuk membuat vaksinasi yang berbeda untuk manusia dan hewan. Resolusi yang sangat tinggi dari TEM mampu menggambarkan kisi kristal dari material sebagai pola interferensi antara berkas elektron yang ditransmisikan dan didifraksikan. Hal ini memungkinkan kita untuk mengamati garis planar cacat kisi, ikatan atom, antarmuka atom, dan lain-lain dengan resolusi skala atom. Daerah gelap-terang pada gambar dikombinasikan dengan difraksi elektron akan dapat memberikan informasi tentang morfologi, fase kristal dan cacat pada material. TEM modern dilengkapi dengan lensa pencitraan khusus yang memungkinkan untuk struktur nanomaterial. TEM juga mampu membentuk probe elektron terfokus, sekecil 20 Å, yang dapat memberikan informasi komposisi dari sampel sama seperti analisis menggunakan difraksi sinar-X. di mana untuk analisis komposisi ini TEM memiliki resolusi jauh lebih tinggi, dalam orde nanometer dan sampel sangat tipis.
24.3.1 Komponen TEM Komponen utama yang dimiliki oleh TEM adalah : 1. Filamen (elektron gun), berfungsi untuk menghasilkan berkas elektron yang dipercepat ke kolom. 2. Serangkaian kumparan elektromagnetik yang memastikan bahwa sinar elektron simetris dan terfokus saat melewati bawah kolom. 3. Serangkaian lensa elektromagnetik yang bertindak untuk menerangi sampel dan memperbesar sampel pada layar fluorescent / kamera. 4. Serangkaian lubang/aperture (skala mikron lubang di film logam) yang dilewati berkas dan yang memberi efek pada sifat berkas elektron. 5. Pemegang sampel yang memastikan posisi sampel berada dalam jalur sinar elektron. Pemegang sampel ini dapat dikontrol untuk posisi sampel dan orientasi (x, y, z atau ketinggian, kemiringan dan rotasi). 6. Layar atau monitor yang mengubah sinyal elektron ke bentuk yang dapat dilihat manusia. 7. Sistem pada tingkat vakum yang tinggi untuk menjaga sampel dari kontaminasi partikel udara. Gambar 24.12 memperlihatkan bagian dalam contoh sebuah TEM. Komponen TEM sepertinya rumit tetapi memiliki komponen utama seperti pada gambar.
336
Kabel tegngan tinggi (100-200kV) Filamen Elektroda percepatan
Kumparan /lensa elektromagnetik
Dudukan sampel Aperture objektif
Gambar 24.12 Komponen utama TEM (David Muller, 2008)
24.3.2 Prinsip Kerja TEM Pada dasarnya seperti namanya, mikroskop elektron tranmisi atau TEM menggunakan berkas elektron energi tinggi yang melewati spesimen dan membentuk gambar pada layar. Elektron difokuskan dengan lensa elektromagnetik dan gambar diamati pada layar fluorescent atau di layar monitor. Elektron yang dipercepat dengan potensial tinggi (beberapa ratus kV) akan memberikan panjang gelombang yang jauh lebih kecil daripada cahaya. Sebagai contoh jika tegangan percepatan 200kV, elektron memiliki panjang gelombang 0.025Å. Pada TEM ini, karena energi kinetik elektron sangat tinggi sehingga panjang gelombangnya pendek maka sebagian elektron mampu menembus sampel. Prinsip kerja ini mirip seperti alat rontgen yang mampu menembus daging manusia sedangkan bagian tulang memantulkan kembali sinar-X. TEM memindai obyek menggunakan pola pemindaian dimana obyek tersebut dipindai dari satu sisi ke sisi lainnya (raster) yang menghasilkan lajur-lajur titik (dots) yang membentuk gambar seperti yang dihasilkan oleh CRT pada televisi / monitor. Selain energi kinetik elektron yang tinggi, sampel yang tipis menyebabkan berkas elektron menembus bagian lunak dari sampel. Berkas elektron tidak dapat menembus bagian keras dari sampel sehingga berkas elektron yang tertangkap oleh layar merupakan bayangan dari partikel.
337
Filamen
Lensa condenser 1 Lensa condenser 2 Sampel
Lensa proyektor
Layar berpendar
Gambar 24.13 Skema prinsip kerja TEM Pada mikroskop elektron misalnya TEM, resolusi yang dicapai tergantung pada tegangan percepatan yang diterapkan. Tegangan percepatan lebih tinggi menghasilkan resolusi yang lebih baik selain juga faktor desain dari lensa objektif (pemfokus). Lensa objektif memiliki koefisien penyimpangan bola. Semakin kecil gap lensa makin kecil koefisien penyimpangan bola dan semakin baik resolusinya. Namun, gap lensa yang lebih kecil akan mengurangi kontras.
Gambar 24.14 Illustrasi sampel ditembak berkas elektron di atas grid (Bob Hafner, 2008) 338
24.3.2.1 Modus Pencitraan Hamburan maju elastis terjadi dalam sampel yang menghasilkan distribusi tidak seragam yang muncul dari elektron yang merupakan mekanisme dasar terjadinya kontras. Dalam modus pencitraan, hamburan difokuskan oleh lensa objektif ke bidang gambar pertama yang kemudian bertindak sebagai bidang objek untuk lensa pembesar. Pembesaran dapat dihitung dengan cara yang sama seperti yang kita lakukan untuk sistem pencahayaan dalam mode berkas konvergen. Sinar yang berasal dari suatu titik yang diberikan dalam bidang sampel datang ke titik fokus pada bidang gambar. Gambar yang berdekatan menunjukkan sinar yang datang dari dua titik yang berbeda dari sampel sebagai gelap dan terang. Sebuah apertur objektif terletak dalam jalur berkas tepat di bawah lensa objektif. Aperture objektif ini penting karena beberapa alasan. Aperture akan: • memungkinkan untuk seleksi sinyal. • memberikan kontras dalam gambar (tegangan percepatan rendah juga akan meningkatkan kontras). • penurunan penyimpangan lensa objektif, bentuk dan warna, yang akan menurunkan resolusi gambar. • mempengaruhi kedalaman medan dalam gambar . Aperture yang lebih kecil memberikan kedalaman medan yang lebih baik. Aperture objektif secara optimal dipilih untuk membatasi baik aberasi sferis dan cacat difraksi. Namun, rentang energi elektron meninggalkan sampel bisa signifikan (15-25 eV). Dengan demikian, aperture objektif yang lebih kecil mungkin diperlukan untuk mengurangi efek aberasi chromatic. Membuat sampel yang tipis juga akan membantu.
Gambar 24.15 Dua mode dalam analisis denngan TEM (Bob Hafner, 2008) 339
Dalam mode difraksi, sinar yang berasal dari sampel yang sejajar satu sama lain datang untuk difokuskan di belakang bidang fokus lensa objektif. Gambar di atas menunjukkan sinar-sinar sejajar dengan warna yang berbeda: biru tua, biru muda, dan merah. Pola difraksi yang terjadi di belakang bidang fokus lensa objektif muncul hanya sebagai konsekuensi dari pembentukan citra di bidang gambar lensa tersebut. Ketika kita memasuki modus difraksi pada TEM, kita menyesuaikan kekuatan lensa menengah sehingga fokus bidang objektif belakang menjadi bidang objeknya. Kita pindah apertur objektif dan masukkan aperture lain lebih ke bawah kolom - aperture area difraksi (SAD), untuk memilih sebagian dari sampel dari mana pola difraksi muncul. Aperture SAD bertindak sebagai aperture virtual.
24.3.3 Menyiapkan Sampel Pada TEM Agar diperoleh gambar yang bagus pada foto TEM, diperlukan perlakuan khusus pada sampel sebelum karakterisasi. Prinsip kerja TEM sangat berbeda dari mikroskop cahaya, oleh karena itu untuk melihat sampel juga harus disiapkan berbeda Persiapan sampel untuk TEM umumnya memerlukan lebih banyak waktu dan pengalaman daripada kebanyakan teknik karakterisasi lainnya. Karena berkas elektron yang melewati sampel dapat dipengaruhi karena kepadatan partikel, sampel harus setipis mungkin. Sebuah sampel TEM harus memiliki ketebalan sekitar 1000 Å atau kurang. Sampel harus diletakkan di atas grid berdiameter 3mm dengan ketebalan kurang dari 100 mikron. Pengeringan juga harus dilakukan untuk menghapus semua air yang ada pada sampel, karena hal ini juga bisa mempengaruhi hasil. Salah satu prinsip penyiapan sampel adalah melakukan penyayatan. Pembuatan sayatan bertujuan untuk memotong ketebalan sampel hingga setipis mungkin agar mudah diamati di bawah mikroskop. Tentu hal ini sulit dilakukan tanpa alat yang canggih. Pada umumnya preparat dilapisi dengan monomer resin melalui proses pemanasan, kemudian dilanjutkan dengan pemotongan menggunakan mikrotom. Umumnya mata pisau mikrotom terbuat dari berlian, karena berlian tersusun dari atom karbon yang padat. Hasilnya, sayatan yang terbentuk lebih rapi. Sayatan yang telah terbentuk diletakkan di atas cincin berpetak (grid) biasanya terbuat dari tembaga atau karbon untuk diamati. Alat untuk mengiris sampel (microtome) harganya sangat mahal. Untuk mensiasatinya biasanya dilakukan dengan cara melarutkan sampel sehingga permukaannya terkelupas.
Gambar 24.16 Contoh grid dari tembaga (http://wikipedia.org)
24.3.4 Interaksi antara Berkas Elektron dan Sampel Berkas elektron berinteraksi dengan sampel dapat berupa: 340
• maju atau mundur. • koheren atau tidak koheren. • elastis atau tidak elastis. Berkas elektron pada interaksi koheren menjaga fase sedangkan pada interasi tidak koheren terjadi perubahan fase. Berkas elektron yang mengalami interaksi elastis dengan atom sampel menunjukkan kehilangan energi sedangkan yang mengalami interaksi tidak elastis tidak kehilangan energi. Pemancaran elastis adalah komponen yang dominan dari keseluruhan pemancaran yang terjadi di TEM. Ini juga merupakan prinsip kontras dalam gambar TEM dan distribusi intensitas pola difraksi. Interaksi tidak elastik merupakan dasar untuk berbagai sinyal seperti , sinar-X, EELS, elektron sekunder, cathadoluminescence). Interaksi tidak elastis memiliki sudut hamburan rendah (θ), biasanya kurang dari satu derajat. Pemancaran tidak elastis yang melewati apertur objektif menciptakan kabut latar belakang dan tidak memberikan kontribusi secara optimal pada fokus gambar. Hal ini disebabkan karena kehilangan energi dan chromatic penyimpangan meningkat dalam lensa objektif. Hamburan elastis dapat dipahami dari pandangan elektron sebagai partikel (hamburan dari atom yang terisolasi) atau gelombang (hamburan dari sampel secara keseluruhan).
Berkas elektron Hamburan elektron tdk koheren elastis
Elektron sekunder
Hamburan elektron tdk koheren tkd elastis
Hamburan elektron koheren tdk elastis Sinar langsung
Hamburan elektron tdk koheren
Gambar 24.16 Illustrasi interaksi elktron dengan sampel menghasilkan beberapa jenis sinyal Dari pandangan elektron sebagai partikel, berkas elektron dapat berinteraksi dengan elektron atau inti atom sampel melalui gaya Coulomb. Interaksi elektron dengan elektron dihasilkan pada θ yang relatif rendah terutama fungsi dari tegangan percepatan. Kebanyakan interaksi lebih pada tegangan percepatan rendah. Interaksi elektron dengan inti θ yang lebih tinggi menghasilkan inkoheren (disebut hamburan Rutherford). Di atas sekitar 5 derajat, semua hamburan elastis dapat dianggap Rutherford inkoheren. Probabilitas diperoleh interaksi jenis ini dilakukan dengan meningkatkan: • nomor atom unsur yang lebih tinggi. 341
• tegangan percepatan rendah. • ketebalan sampel lebih besar, dan • θ rendah. Dari pandangan elektron sebagai gelombang: gelombang elektron dapat berinteraksi dengan banyak atom bersama-sama dalam sampel kristal sehingga hamburan bersifat koheren kolektif (difraksi). Setiap atom dalam sampel bertindak sebagai sumber muka gelombang bola sekunder. Muka gelombang baru yang koheren dan karena itu akan mengganggu dimana memperkuat satu sama lain dalam arah sudut tertentu dan melemahkan yang lain. Titik-titik pada muka gelombang berada dalam fase yang sama akan memperkuat. Hal ini akan menimbulkan bagian pusat yang kuat (terang) dari pola difraksi. Gangguan antara muka gelombang yang dipisahkan oleh satu panjang gelombang memberikan dua pola yang terpisah di kedua sisi dari pita spektrum yang disebut pusat pertama. Difraksi dikontrol oleh sudut kejadian dari berkas elektron ke bidang atom dalam sampel dan jarak dari bidang-bidang. Difraksi terjadi ketika hukum Bragg terpenuhi. Hukum Bragg : 2d sinθ = nλ dimana: • λ adalah panjang gelombang sinar datang; • d adalah jarak antara bidang atom, dan • θ adalah sudut berkas datang dengan bidang atom. Pada gambar 24.17 di bawah, jarak sinar yang di bawah perjalanannya adalah 6-7-8. Jika panjang lintasan tambahan adalah beberapa panjang gelombang (nλ), dua berkas pada 3 dan 10 akan menginterferensi konstruktif untuk menghasilkan pola difraksi. Jarak 6-7 = d sinθ, jarak 6-7-8 = 2d sinθ. Dengan demikian, difraksi akan terjadi ketika nλ = 2d sinθ.
Gambar 24.17 Difraksi pada atom sampel (Bob Hafner, 2008)
24.3.5 Menentukan Ukuran Partikel Untuk menentukan ukuran partikel dari sampel yang dianalisa dapat dilakukan dengan sederhana. Pada foto SEM dan TEM selalu memiliki bar skala dan tertulis ukuran panjang bar skala tersebut. Bar skala tersebut menjadi standar pembanding untuk menentukan ukuran partikel dan profil 342
lain yang akan dianalisa. Jika pada sebuah foto TEM tertulis bar skala 5μm artinya panjang bar skala tersebut mewakili panjang ukuran partikel sebenarnya. Misalkan panjang bar skala tersebut diukur dengan penggaris adalah 1 cm maka setiap 1 cm pada gambar sama dengan 5μm pada ukuran sebenarnya. Jika diameter partikel pada foto kita ukur dengan penggaris dan panjangnya adalah 0,2 cm maka diameter partikel sebenarnya adalah (0,2 cm/1cm) x 5μm = 1 μm. Gambar partikel pada foto TEM sangat kecil dan sulit dilihat mata manusia secara langsung. Untuk mengukur diameter partikel dapat kita siasati dengan memperbesar gambar menggunakan program paint pada computer seperti pada gambar 24.18.
Gambar 24.18 Contoh foto SEM yang diperbesar. (Mikrajuddin, 2009)
24.4 Atomic Force Microscope (AFM) AFM merupakan salah satu alat untuk pencitraan, pengukuran, dan memanipulasi materi pada skala nano. Pada AFM, alat dapat bekerja karena adanya gaya antar atom partikel. Komponen utama dari AFM adalah sebuah tip yang ditempelkan pada ujung cantilever. Dengan AFM kita dapat mempelajari karakter permukaan material berskala nanometer dengan resolusi sangat tinggi mulai dari 1μm. sampai kurang dari 100 pm. Informasi ini dikumpulkan dari tekstur permukaan dengan probe mekanik berupa tip yang digerakkan mengitari permukaan sampel. Elemen piezoelektrik yang memfasilitasi gerakan kecil tapi akurat dan tepat memungkinkan pemindaian yang sangat tepat. Foto AFM dapat berupa gambar 3 dimensi dengan resolusi setara atomik. Dengan variasi beberapa teknik, potensial listrik juga dapat dipindai menggunakan cantilever. Untuk versi baru yang lebih maju, arus 343
bahkan dapat melewati tip untuk menyelidiki konduktivitas listrik atau transportasi elektron dari permukaan. Berbeda dengan SEM dan TEM, alat ini tidak memerlukan perlakukan pendahuluan pada sampel, elektron energi tinggi dan sistem vakum. AFM ditemukan pada tahun 1985 oleh Gerd Binnig dan Heinrich Rohrer. Sebelumnya, pada tahun 1980 Binnig dan Gerber menemukan Scanning Tunneling Microscope (STM) di IBM Research – Zurich. Mereka menerima hadiah Nobel untuk Fisika pada tahun 1986. AFM secara komersial pertama diperkenalkan pada tahun 1989. AFM asli terdiri dari pecahan berlian yang melekat pada strip foil emas. AFM dikembangkan untuk mengatasi kelemahan dasar mikroskop atom jenis lain yang hanya dapat melakukan gambar permukaan tertentu. AFM memiliki kelebihan dimana dapat mencitrakan hampir semua jenis permukaan, termasuk polimer, keramik, komposit, kaca, dan sampel biologis.
Gambar 24.19. Contoh alat AFM (www.wikipedia.org) Jika dibandingkan dengan mikroskop jenis lain, AFM memiliki beberapa kelebihan: • AFM dibandingkan SEM: Dibandingkan dengan SEM, AFM menyediakan pengukuran topografi dengan kontras luar biasa tinggi dan fitur permukaan yang langsung (tidak diperlukan lapisan). • AFM dibandingkan TEM: Dibandingkan dengan TEM, gambar AFM tiga dimensi diperoleh tanpa persiapan sampel yang mahal dan menghasilkan informasi yang jauh lebih lengkap dibandingkan dengan profil dua dimensi. • AFM dibandingkan Mikroskop Optik: Dibandingkan dengan Mikroskop Optik, AFM memberikan perbesaran yang jauh lebih besar dan berbagai jenis sampel dapat dianalisa.
24.4.1 Prinsip Kerja AFM Pada AFM terdapat cantilever yang panjangnya 100μm - 200μm dengan tip yang tajam pada ujungnya. Tip ini biasanya panjangnya beberapa mikron dan diameternya sering kurang dari 100Angstrom. Ketika tip tersebut dekat dengan sample, medan gaya tolak-menolak atau tarik-menarik antara tip dan sample akan menghasilkan 344
defleksi pada cantilever. Defleksi ini dicatat dan diproses menggunakan perangkat lunak pencitraan. Gambar yang dihasilkan adalah representasi topografis dari sampel yang dicitrakan. Jika ingin mengetahui informasi lebih banyak tentang sampel (tidak hanya sebuah topografi permukaan) terdapat mode pencitraan lain yang digunakan untuk berbagai jenis analisis. Hardware yang berbeda atau teknik pemindaian lain diperlukan untuk memperoleh data yang diperlukan untuk analisis. AFM juga dapat mengukur beberapa sifat karakteristik dari sampel yang mikroskop jenis lain tidak dapat melakukannya.
Gambar 24.20 Tip dan sampel yang berdekatan terjadi interaksi antar atom. (www.wikipedia.org) Sebagian besar AFM menggunakan sinar laser sebagai sistem defleksi. Teknik ini diperkenalkan oleh Meyer dan Amer, di mana laser ditembakkan ke punggung cantilever kemudian dipantulkan ke detektor yang sensitif terhadap perubahan posisi. Tip dan cantilever yang microfabricated dibuat dari Si atau Si3N4. Salah satu teknik pemindaian pada AFM diperlihatkan pada gambar dibawah. Untuk mendeteksi perpindahan kantilever, laser dipantulkan dari belakang kantilever dan dikumpulkan dalam dioda. Dioda ini dibagi menjadi empat bagian, seperti terlihat pada gambar. Ketika laser berpindah secara vertikal di sepanjang bagian atas posisi (BA) dan bawah (DC), menghsilkan topografi, sedangkan jika ini gerakan kiri horisontal (BD) dan kanan (AC), itu menghasilkan gaya lateral.
345
Gambar 24.21 Contoh teknik pemindaian pada AFM (Arantxa, 2008)
24.4.2 Komponen AFM 24.4.2.1 Piezocrystals Piezocrystals adalah bahan keramik yang mengembang atau kontraksi jika diberi tegangan listrik dan sebaliknya, dia akan menghasilkan potensial listrik jika mendapat tekanan mekanis. Dengan cara ini, gerakan dalam arah x, y dan z dapat dilakukan. 24.4.2.2 Probe Probe dalam hal ini berupa kantilever micromachined dengan tip yang tajam di ujungnya yang akan beinteraksi dengan permukaan sampel. Setiap probe memiliki bentuk dan spesifikasi yang berbeda. Kantilever berbentuk V adalah yang paling populer, tetapi ada juga yang berbentuk persegi panjang. Memberikan resistensi mekanik rendah pada defleksi vertikal, dan resistensi yang tinggi terhadap torsi lateral. Ukuran kantilever biasanya berkisar dari panjang 100-200 pM, lebar 10-40 pM dan tebal 0,3-2μm. Kantilever biasanya terbuat dari silikon (Si) atau silikon nitrida (Si3N4). Ini dicirikan oleh konstanta gaya dan frekuensi resonansi, yang harus dipilih sesuai dengan sampel yang akan diteliti. Selain sistem deteksi optik dan elektronik untuk pengelolaan prosedur pemindaian dan akuisisi data yang diperlukan. Komponen pendukung dari AFM antra lain : • Probe Head : kepala probe yang dapat digerakkan ke sumbu XY; kepala yang berbeda memiliki kemampuan scan bebeda dengan laser dan fotodioda. • XY Translation Stage: bergerak dalam arah XY oleh sekrup penggerak sumbu XY yang dapat dikontrol dengan perangkat lunak. • Position Sensitive Photo Detector (PSPD): Mendeteksi defleksi laser, yang kemudian diubah menjadi peta topografi. • Laser Beam Steering Screws: mengontrol posisi laser pada belakang kantilever. • Laser Intensity and Position Indicator; Lampu mewakili posisi laser dan intensitas pada foto detertor. • Sampel Stage: pemegang sampel dan tabung scanner piezoelektrik berada di bawah.
346
Gambar 24.22 Komponen dari AFM (Galloway Group, 2004)
24.4.3 Interaksi antar Atom Ujung tip yang sangat runcing dapat dipandang sebagai kumpulan atom seperti diilustrasikan pada gambar 24.23. Demikian juga partikel sampel yang dekat dengan tip merupakan kumpulan atom. Jika tip berdekatan dengan permukaan sampel, maka akan timbul interaksi antar atom berupa gaya atom. Gaya yang paling sering dikaitkan dengan AFM merupakan gaya antar atom yang disebut gaya van der Waals. Gaya atom disebabkan karena adanya potensial interaksi antar atom.
Gambar 24.23 Illustrasi interaksi antar atom (www.mansic.eu/documents) Hubungan antara potensial interaksi antar atom dengan jarak antar atom dituliskan dengan persamaan 24.1 yang dikenal dengan persamaan Lennard – Jones. U (r ) = Uo[−2( ror ) + ( ror ) ] ………………………. (24.1) 6
12
Dimana Uo adalah potensial pada saat gaya sama dengan nol dan ro adalah jarak seimbang (gaya sama dengan nol) antar atom. r adalah jarak antar atom tip dengan atom sampel. Jika jarak antar atom semakin dekat (kurang dari ro) maka potensial interaksi akan menghasilkan gaya tolak. Sebaliknya jika jarak antar atom besar akan menghasilkan gaya tarik. Hubungan antara potensial interaksi antar atom terhadap jarak tip dengan sampel dijelaskan melalui kurva potensial Lennard – Jones di bawah ini.
347
U(r)
ro
r
Uo
Gambar 24.24 Kurva potensial Lennard-Jones Di daerah kontak, cantilever ada di kurang dari beberapa angstrom (10-10m) dari permukaan sampel, dan gaya antar atom cantilever dan sampel adalah tolak-menolak. Di daerah non-kontak, cantilever ada pada jarak puluhan hingga ratusan angstrom dari permukaan sampel, dan gaya antar atom antara cantilever dan sampel adalah tarik-menarik. Pada sisi kanan kurva, atom-atom dipisahkan oleh jarak besar. Atom secara bertahap dibawa bersama-sama, mereka pertama-tama menarik dengan lemah satu sama lain. Tarikan ini meningkat sampai atom begitu dekat bersama-sama kemudian mereka mulai saling tolak-menolak secara elektrostatis. Tolakan elektrostatik ini semakin melemahkan gaya tarik-menarik karena jarak terus menurun. Grafik setelahnya, gaya menuju ke nol ketika jarak mencapai beberapa angstrom. Berapapun jarak yang lebih dekat dari ini, gaya van der Waals menjadi positif (tolak-menolak). Jarak ini tidak akan berubah, karenanya setiap upaya untuk memaksa sampel dan tip lebih dekat akan mengakibatkan deformasi atau kerusakan pada sampel atau tip. Ada dua gaya lain yang timbul selama memindai, yaitu: gaya kapiler yang disebabkan oleh tip yaitu gaya yang disebabkan oleh cantilever itu sendiri, yang seperti disebabkan oleh gaya kompresi pegas. AFM bergantung pada gaya antara tip dan sampel. Mengetahui besarnya gaya menjadi penting untuk pencitraan yang tepat. Gaya tidak diukur langsung, tetapi dihitung dengan mengukur defleksi cantilever, dan mengetahui gaya cantilever. Dari hukum Hook memberikan : F = k. z Dimana F adalah gaya antar atom, k adalah kekakuan cantilever dan z adalah simpangan cantilever.
24.4.4 Mekanisme Pengukuran 24.4.4.1 Modus kontak Mekanisme pertama adalah tipe kontak yang secara luas banyak digunakan Pada AFM modus kontak, tip dengan lembut membuat kontak fisik dengan permukaan sampel. Pada tipe ini tip menyapu ke seluruh permukaan sampel, kemudian tip tersebut dibelokkan ketika bergerak di atas permukaan yang berlekuk. Besarnya defleksi z yang terjadi pada cantilever sebanding dengan gaya yang bekerja pada tip, melalui hukum Hook, F = - k. z, di mana k adalah konstanta pegas dari cantilever. Dalam 348
modus gaya konstan, tip terus diatur untuk mempertahankan defleksi konstan di atas permukaan. Dalam modus ketinggian konstan ketinggian tip adalah tetap, sedangkan dalam modus gaya konstan defleksi cantilever adalah tetap dan gerakan pemindai pada arah z direkam. Tuas kontak yang paling banyak digunakan memiliki konstanta pegas <1N / m. Dengan menggunakan modus kontak, AFM dapat menghasilkan gambar dengan resolusi tingkat atom. Untuk pencitraan dengan modus kontak, AFM perlu untuk memiliki cantilever yang lembut sehingga mudah dibelokkan oleh gaya yang sangat kecil dan memiliki frekuensi resonansi yang cukup tinggi untuk tidak menjadi rentan terhadap ketidakstabilan getaran. Tip dari bahan silikon Nitrida biasa digunakan untuk modus kontak. Untuk menghindari masalah yang disebabkan oleh gaya kapiler yang dihasilkan dari cairan yang mengkontaminasi lapisan yang biasanya muncul pada permukaan udara, sampel dapat yang dianalisa direndam dalam cairan. Prosedur ini terutama bermanfaat untuk sampel biologi. 24.4.4.2 Modus tidak kontak Modus tidak kontak mengacu pada penggunaan cantilever yang berosilasi. Sebuah cantilever kaku berosilasi dalam daerah yang terdapat gaya tarik, yang berarti bahwa tip cukup dekat dengan sampel, tetapi tidak menyentuh (maka disebut, "tidak kontak"). Gaya antara tip dan sampel yang cukup dekat, dalam orde pN (10 -12 N). Pada pengukuran dengan AFM gaya antara tip dan sampel dibuat tetap melalui piezoelektrik selama memindai. Karena gaya dibuat tetap maka laser akan cantilever akan memantulkan laser dengan sudut yang tetap. Jika terjadi defleksi pada cantilever yang disebabkan permukaan sampel berubah menyebabkan sudut pantul laser berubah. Tegangan yang dibutuhkan untuk mengembalikan sudut pantul laser tepat ke detektor merupakan informasi tentang tekstur permukaan sampel. Penggunaan modus tidak kontak memungkinkan pemindaian tanpa mempengaruhi bentuk sampel dan tip. Dalam kebanyakan kasus, untuk modus ini cantilever yang dipilihan adalah yang memiliki konstanta pegas yang tinggi yaitu 20-100N/m sehingga tidak menempel pada permukaan sampel pada amplitudo kecil. Biasanya tip yang digunakan untuk modus ini adalah bahan silikon.
24.4.4.3 Modus menekan (Tapping) Gaya yang diukur pada AFM dapat diklasifikasikan ke dalam gaya jangkauan panjang dan jangkauan pendek. Gaya jangkauan panjang mendominasi ketika kita memindai pada jarak yang besar dari permukaan. Gaya tersebut dapat berupa gaya Van der Waals, gaya kapiler (karena air sering muncul di sekitar lapisan). Ketika pemindaian dengan kontak dengan permukaan, gaya jangkauan pendek sangat penting, khususnya dalam gaya mekanika kuantum (prinsip larangan Pauli). Dalam AFM modus menekan cantilever berosilasi dekat dengan frekuensi resonansi nya. Sebuah loop umpan balik elektronik memastikan bahwa amplitudo osilasi tetap konstan, sehingga interaksi tip dengan sampel dipertahankan konstan selama pemindaian. Gaya yang bekerja antara sampel dan ujung tidak hanya akan menyebabkan perubahan dalam amplitudo osilasi, tetapi juga perubahan dalam frekuensi resonansi dan fase kantilever. Amplitudo digunakan untuk umpan balik dan penyesuaian vertikal dari piezoscanner dicatat sebagai ketinggian gambar. Secara bersamaan perubahan fase ditampilkan pada gambar fase (topografi). Keuntungan dari mode menekan adalah meminimalisasi sebagian besar gaya geser permanen dan mengurangi kerusakan permukaan sampel dan bahkan dengan probe yang kaku. Perbedaan komponen dari sampel dimana sifat adesif berbeda dan sifat mekanik akan menunjukkan beda fase dan memungkinkan analisis pada komposisi material. Untuk beda fase yang bagus gaya tip yang luas lebih menguntungkan, sementara meminimalkan gaya ini akan mengurangi daerah kontak dan menghasilkan pencitraan dengan resolusi tinggi. Jadi dalam aplikasinya perlu memilih parameter yang tepat dan 349
yang cocok dengan tujuan. Probe bahan silikon banyak digunakan terutama untuk aplikasi modus menekan. AFM bisa bekerja dalam lingkungan yang berbeda: udara, cair dan vakum. Dalam modus kontak, tip menyentuh permukaan sampel, memungkinkan manipulasi sampel. Kerugiannya adalah bahwa tip mungkin terkontaminasi oleh sampel. Sebaliknya hal itu tidak terjadi pada modus tidak kontak, di mana ujung tetap pada jarak di atas sampel. Dalam modus menekan tip menyentuh permukaan secara berkala oleh karena itu manipulasi sampel serta kontaminasi tip mungkin saja terjadi. Masing-masing modus operasi AFM memiliki keuntungan dan kekurangan. • AFM modus kontak. Keuntungan: - Kecepatan memindai tinggi. - Kemampuan resolusi tingkat atom. - Mudah dalam pemindaian sampel yang kasar dengan perubahan topografi vertikal yang ekstrim. Kekurangan: - Gaya lateral dapat mendistorsi gambar. - Gaya kapiler dari lapisan cairan yang dapat menyebabkan gaya besar pada interaksi tip dengan. - Kombinasi gaya ini mengurangi resolusi spasial dan dapat menyebabkan kerusakan pada sampel lembut. • AFM modus tidak kontak. Keuntungan: - Gaya yang lemah yang diberikan pada permukaan sampel sehingga tidak ada kerusakan disebabkan untuk sampel yang lembut. Kekurangan: - Resolusi lateral lebih rendah, dibatasi oleh pemisahan tip dengan sampel. - Kecepatan memindai lambat untuk menghindari kontak dengan lapisan cairan. - Biasanya hanya berlaku dalam sampel yang sangat hidrofobik dengan lapisan cairan minimal. AFM modus menekan. Keuntungan: - Resolusi lateral tinggi (1 nm sampai 5 nm). - Gaya lemah dan lebih sedikitmenimbulkan kerusakan sampel lembut di udara. - Hampir tidak ada gaya-gaya lateral. Kerugian: - Lebih lambat kecepatan memindai dalam modus kontak.
Gambar 24.25 Teknik memindai pada AFM 350
(www.unl.edu/CMRAcfem)
24.4.5 Gambar pada AFM Meskipun proses pemindaian sederhana dan dilakukan dengan perhatian total, tidak semua gambar merupakan representasi akurat dari topografi sebenarnya dari sampel. Ada parameter yang dapat berubah dalam setiap scan dan gaya lain di luar gaya antar atom yang dapat mengubah gambar atau sampel. Perangkat lunak pengolahan citra ProScan yang disediakan AFM digunakan untuk memproses dan menganalisa gambar yang dapat membuat lebih mudah untuk mengenali suatu gambar yang keliru. Pengolahan memungkinkan untuk modifikasi gambar dalam rangka untuk menghapus artefak tanpa memodifikasi fitur permukaan. Dalam analisis, pengukuran kuantitatif dapat diambil dari penampang atau daerah permukaan. Permukaan statistik seperti pengukuran jarak, pengukuran puncak ke lembah dan kekasaran permukaan adalah beberapa pengukuran yang diperoleh secara umum. Akuisisi data Proscan mengontrol AFM dan mengumpulkan data lalu diubah ke gambar.
Gambar 24.26 Akuisisi Data Proscan dan Perangkat Lunak Pemrosesan Gambar (Galloway Group, 2004) Sekarang kita akan membahas perbedaan antara gambar yang baik dengan gambar yang buruk. Ketika kita mengatakan gambar baik berarti tidak hanya kualitas gambar tetapi juga dapat mengenali fitur yang benar-benar hadir dan beberapa artefak dari scan. Gambar buruk adalah yang memiliki resolusi rendah atau yang berisi fitur tidak terbaca akan tetapi pada gambar ini masih dapat memberitahu kita tentang sampel. Jika foto menunjukkan banyak partikel pada permukaan atau formasi tidak teratur, maka dapat diasumsikan bahwa proses yang digunakan untuk memproduksi sampel ini tidak layak. Gambar di bawah ini menunjukkan contoh-contoh foto AFM yang diambil dengan modus yang berbeda-beda. Sampel dari berbagai bahan, seperti semikonduktor, material biologi atau film polimer.
351
Gambar 24.27 Foto tiga dimensi AFM modud kontak dari sampel Pd yang ditumbuhkan pada 6H-SiC (www.mansic.eu/documents)
Gambar 24.28 Foto tiga dimensi AFM modud tidak kontak dari sampel Pd yang ditumbuhkan pada 6H-SiC (www.mansic.eu/documents)
Gambar 24.29 Foto AFM modus tapping dari sampel biologi (nucleosomal DNA) (www.mansic.eu/documents)
352
24.4.6 Aplikasi AFM Aplikasi untuk AFM sangat luas dan banyak jumlahnya sejak diciptakan pada tahun 1986 dan sekarang teknik ini masuk dalam berbagai bidang nanosains dan nanoteknologi. Fitur luar biasa dari AFM yakni kemampuan untuk memeriksa sampel tidak hanya dalam vakum tetapi juga pada kondisi suhu atau bahkan dalam cairan. Salah satu keuntungan dari AFM adalah dapat mnganalisa sampel tanpa kontak dengan permukaan, dan oleh karena itu sangat cocok untuk sampel biologi. AFM mampu mengukur dalam skala nanometer gambar permukaan terisolasi dengan sedikit persiapan sampel serta mengukur dalam gambar tiga dimensi dari permukaan dan mempelajari topografinya. Beberapa aplikasi yang mungkin dari AFM adalah: - Analisis kekasaran substrat. - Formasi langkah di dalam deposisi film tipis. - Pembentukan pin-hole atau cacat lainnya dalam penumbuhan oksida. - Analisis ukuran butir. - Modus fase sangat sensitif untuk variasi dalam sifat material, termasuk kekakuan permukaan, elastisitas dan adhesi. - Membandingkan kurva gaya antara tip dengan sampel dari beberapa bahan untuk mempelajari rasio Modulus Young (grafit sebagai acuan untuk mengukur lekukan). - Mendapatkan informasi tentang apa yang terjadi di bawah lekukan pada beban sangat kecil. - Dengan analisis AFM dengan perubahan suhu kita dapat mempelajari perubahan dalam struktur.
353
DAFTAR PUSTAKA M. Abdullah dan Khairurrijal, Karakterisasi Nanomaterial: Teori, Penerapan dan Pengolahan Data, Rezeki Putera, Bandung ( 2010) M. Abdullah dan Khairurrijal, Jurnal Nanosains dan Nanoteknologi, Volume 2, Nomor 1, halaman 3 (2009) Muller, David, Introduction to Electron Microscopy, Cosnel University (2008) Hafner, Bob, Scanning Electron Microscopy Primer, Charactizzation Facility, University of Minnesota (2007) Hafner, Bob, Transmission Electron Microscopy Primer, Charactizzation Facility, University of Minnesota (2008) Galloway, Atomic force Microscopy: A Guide to Understanding and Using The AFM (2004) Vilalta, Arantxa and Katrin Gloystein, Principles of Atomic Force Microscopy (AFM), Aristotle University, Thessaloniki, Greece (2008) http://www.transmissionelectronmicroscopy.org http://www.mansic.eu/documents http://www.unl.edu/CMRAcfem http://www.wikipedia.org (http://www.edax.com)
354
Bab 25 Blokade Coulomb (Coulomb Blockade) Oleh: Anggi Puspita Swardhani
25.1 Pengertian Blokade Coulomb (Coulomb Blockade) Berdasarkan pada persamaan Schrodinger pada kasus sumur potensial tak berhingga, terdapat kuantisasi energi elektron pada kuantum dot dan panjaranya disebut dengan tingkat energi elektron. Elektron hanya dapat menempati tingkat energi tertentu pada kuantum dot. Saat elektron akan menempati kuantum dot maka elektron harus mempunyai energi minimal yang sama dengan tingkat energi dasar pada kuantum dot. Jika energi elektron tersebut besarnya lebih kecil dari tingkat energi dasar pada kuantum dot maka elektron tidak akan bisa menempati tingkat energi manapun pada kuantum dot. Saat elektron telah berhasil menempati tingkat energi dasar pada kuantum dot, elektron selanjutnya harus mempunyai energi yang lebih tinggi dari elektron pertama agar dapat menempati tingkat energi selanjutnya pada kuantum dot. Energi ini diakibatkan oleh adanya gaya tolakan Coulomb dari elektron yang pertama kali berhasil menempati tingkat energi tertentu pada kuantum dot. Efek tolakan ini disebut dengan efek blokade Coulomb (Coulomb Blockade). Terjadinya penumpukan elektron pada suatu kuantum dot akan menyebabkan elektron selanjutnya tidak dapat masuk menempati tingkat energi selanjutnya sehingga memblok jalannya elektron yang akan berpindah menembus barrier potensial Pada awalnya efek blokade Coulom ini diamati pada system konduktor. Dengan adanya elektron yang berpindah pada konduktor, menyebabkan terjadinya perubahan potensial elektrostatis pada system. Dalam system yang besar perubahan potensial elektrostatis ini hanya dianggap suatu gangguan kecil (noise) sehingga tidak memberikan pengaruh yang besar. Namun pada system yang kecil, perubahan potensial elektrostatis ini akan memberikan perubahan yang signifikan terhadap sistem. Peristiwa blokade Coulomb ini sering dimanfaatkan dalam divais elektron tunggal (single electron devices). Divais elektron tunggal berbeda dengan divais-divais lain yang bekerja secara konvensional karena melibatkan perpindahan elektron yang dapat diamati dengan pemahaman mekanika 355
kuantum. salah satu contoh dari divais elektron tunggal yaitu Single Electron Transistor (SETs). SETs adalah merupaka suatu divais yang memanfaatkan efek blokade Coulomb dalam cara kerjanya. Pada divais ini hanya dilakukan penambahan satu elektron pada gerbang elektroda untuk merubah sistem dari terisolasi menjadi terkonduksi. Sementara MOSFET pada umumnya membutuhkan 1000-10.000 elektron.
25.2 Perpindahan Elektron pada Peristiwa Blokade Coulomb Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa peristiwa blokade Coulomb ini dapat dilihat pada divais elektron tunggal dimana dalam divais ini terdiri atas suatu daerah dimana pada daerah tersebut elektron yang terlokalisasi dan terkurung oleh suatu persimpangan terowongan (tunnel junction) dengan suatu penghalang (barrier) yang disebut dengan island. Energi yang terlibat dalam perpindahan elektron yang melalui divais elektron tunggal adalah energi bebas Helmholtz, F yang didefinisikan sebagai selisih antara total energi E yang disimpan dalam divais dan kerja W yang dibutuhkan oleh divais. Total energi yang disimpan termasuk semua komponen yang harus dipertimbangkan pada saat pengisian island oleh sebuah elektron. (25.1) (25.2) Dimana komponen E akan dijelas sebagai berikut
25.2.1 Energi Interaksi antar Elektron, E c Model klasik untuk untuk memahami interaksi antar elektron ini didasarkan pada pengisian energi elektrostatis kapasitif. Interaksi antar elektron ini muncil berdasarkan fakta bahwa untuk setiap penambahan muatan dq yang yang dipindahkan ke konduktor, harus ada kerja yang dilakukan pada medan yang ada pada konduktor. Penjelasan tentang fenomena blokade Coulomb sering melibatkan kapasitansi dari sistem. Pada sistem yang besar, sistem mempunyai nilai kapasitansi yang cukup besar. Pada sistem elektrostatis besarnya energi interaksi antar elektron ini adalah
(25.3)
356
Dimana e adalah elektron dan C adalah nilai kapasitansi pada kuantum dot.
25.2.2 Energi Fermi, ΔE f Sistem yang terdiri atas sejumlah island yang sangat kecil dan berjumlah banyak tidak cukup jika hanya dijelaskan dengan pendekatan klasik seperti di atas. Sistem tersebut menunjukkan adanya energi interaksi antar elektron yang kedua yaitu perubahan energi Fermi ketika sistem terisi oleh sebuah elektron tunggal.
25.2.3 Energi Pengurungan Kuantum, E N Dengan menurunkan ukuran island tingkat energi dari elektron akan meningkat secara tidak langsung sesuai dengan kuadrat ukuran kuantum dot. Dengan mengambil sumur potensial tak hingga sebagai model sederhana untuk kuantum dot, dan setelah dihitung dengan penggunakan solusidari persamaan Scrhodinger untuk sumur potensial tak hingga maka akan kita dapatkan bahwa (25.4) dengan ħ = h/2π dan kita substitusi ke persamaan (4) maka akan kita peroleh (25.5)
25.2.4 Kerja yang Dihasilkan oleh Sumber Potensial, W Untuk mengevaluasi ketersediaan energi pada terowongan, maka kerja yang dilakukan pada sistem oleh power supply harus dimasukan, karena secara termodinamika island merupakan sistem yang terbuka. Kerja yang dilakukan oleh sumber potensial didefinisikan sebagai integral daya terhadap waktu. (25.6)
25.3 Kondisi Terjadinya Blokade Coulomb Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam sistem yang besar nilai kapasitansi akan bernilai besar pula dan besarnya energi elektrostatis dinyatakan dalam persamaan (25.1). Sementara pada sistem yang kecil, sistem mempunyai kapasitansi yang kecil pula. Hal ini membuat energi elektrostatis 357
dapat dibandingkan dengan energi termal pada temperatur rendah. Pada temperatur ruang, kapasitansi sistem dapat diperoleh dengan menyamakan energi termal dengan energi elektrostatisnya. Karena pentingnya energi elektrostatis pada sistem yang kecil, elektron akan dapat berpindah memasuki sistem jika elektron tersebut dapat melewati penghalang (barrier). Penghalan ini dapat ditembus oleh elektron jika elektron mempunyai energi yang cukup untuk mengimbangi energi tolakan Coulomb dari elektron yang lain. Energi tolakan ini menyebabkan munculnya energi penghalang pada sistem dan sering disebut dengan Coulomb Gap. Formulasi blokade Coulomb ini akan berlaku jika elektron benar-benar terlokalisai di dalam island. Selain itu adanya penghalang terowongan jelas menjadi syarat yang mutlak jika kita membicarakan tentang elektron yang terlokalisasi dan terisolasi dalam suatu island. Energi kinetik termal dari elektron harus lebih kecil dari energi tolakan Coulomb dimana akan menurunkan arus yang mengarah kepada terjadinya blokade. (25.7) Dengan mempertimbangkan persamaan (25.7), terdapat satu syarat dalam mengamati efek blokade coulomb. Syarat yang harus dipenuhi ini berdasarkan pada bagaimana mekanika kuantum menggambarkan fluktuasi energi dari elektron dalam kuantum dot. Ketidakpastian energi dapat didefinisikan sebagai (25.8) Waktu elektron dalam memasuki kuantum dot adalah (25.9) Dengan menggunakan prinsip ketidakpastian Heissenberg (25.10) Maka diperoleh besarnya hambatan terobosan (tunneling resistance) (25.11)
Gambar 25.1. Rangkaian yang menunjukkan efek blokade Coulomb 358
Gambar 25.1 menunjukkan skema rangkaian yang didalamnya terjadi efek blokade Coulomb pada kuantum dot. Pada gambar di atas, kuantum dot atau island dikelilingi oleh persimpangan terowongan (tunnel junction) dimana memiliki kapasitansi C 1 dan C2 dan hambatan terobosan R t . Saat elektron mengalir, elektron menembus dari satu persimpangan terowongan ke persimpangan terowongan yang lain. Muatan di dalam C 1 dan C 2 adalah Q1 = C1V1 Q2 = C2V2
(25.12)
Muatan di dalam kuantum dot didefinisikan sebagai Q = Q2 − Q1 = −ne
(25.13)
n = n2 − n1
Sementara tegangan V a merupakan penjumlahan tegangan di terowongan 1 dan 2 (25.14) (25.15) Sementara dari persamaan (25.13) kita dapatkan bahwa
(25.16)
Substitusi persamaan (25.16) ke persamaan (25.15) akan diperoleh 1 [C2Va + ne] C 1 V2 = [C1Va − ne] C V1 =
(25.17) (25.18)
Dengan C adalah kapasitansi pada island C = C 1 + C 2 , sehingga energi elektrostatis sistem adalah (25.19)
Dengan menggunakan persamaan (25.19) di atas maka akan kita dapatkan persamaan energy elektrostatis sistem adalah Es =
[
1 2 2 C1C2Va + (ne ) 2C 359
]
(25.20)
Kerja yang dilakukan terhadap sistem dapat ditulis Ws = ∫ dtI (t )Va = Va ∆Q
(25.21)
Dimana ΔQ adalah total muatan yang dihasilkan dari perpindahan elektron. Penerobosan elektron melalui persimpangan yang ke 2 menghasilkan perubahan muatan dan jumlah muatan yang terdapat pada island (25.22) Keadaan ini menyebabkan adanya perubahan potensial pada persimpangan yang pertama dan total muatan yaitu C1 C C ∆Q = −e 1 C
V1 = V1 − e '
(25.23) (25.24)
dengan menggunakan hubungan pada persamaan (25.21) dan persamaan (25.24) maka akan kita dapatkan C1 C C Ws (n1 ) = −n1eVa 2 C
Ws (n2 ) = −n2 eVa
(25.25) (25.26)
Sementara total energy sistem kita nyatakan dalam (25.27) Perubahan energi yang terjadi pada persimpangan pertama dan kedua sebagai konsekuensi dari adanya perpindahan elektron adalah (25.28) (25.29) Akan kita dapatkan ±
∆E1 = ±
∆E2 =
e e − (ne − Va C2 ) C 2
(25.30)
e e − ± (ne − Va C1 ) C 2
(25.31)
Transisi akan terjadi jika keadaan (25.32)
360
terpenuhi. Keadaan di atas akan menghasilkan dua persamaan sebagai berikut, e − (ne − Va C2 ) > 0 2 e − ± (ne − Va C1 ) > 0 2
(25.33) (25.34)
pada keadaan dasar (n=0), elektron akan dapat mengalir melalui terowongan 1 dan 2 jika, (25.35)
dengan C o = C 1 = C 2 . untuk n = 1, 2, 3,… Tegangan threshold yang harus dipenuhi agar elektron dapat mengalir | Va |>
3e 5e 7e , , 2Co 2Co 2Co
(25.36)
perubahan arus yang dihasilkan dari perpindahan elektron adalah, ∆I =
∆V e = Rt1 2 Rt1Co
(25.37)
Gambar 25.2. Tangga Coulomb yang menunjukkan adanya efek blokade Coulomb
25.4 Single Electron Transistor (SETs) 361
Single Electron Transistor (SETs) merupakan suatu perangkat elektronik yang berhasil dikembangkan dengan memanfaatkan fenomena efek blokade Coulomb. Berbeda dengan transistor pada umumnya, pada SETs hanya dengan menambahkan satu elektron ke gerbang elektroda maka sistem akan berubah dari terisolasi menjadi terkonduksi. Sementara pada transistor umumnya seperti MOSFET, dibutuhkan 1.000-10.000 elektron untuk merubah keadaan dari terisolasi menjadi terkonduksi. Adanya efek blokade Coulomb pada SETs ini memungkinkan terjadi pengaturan elektron dalam jumlah kecil dan memberikan adanya alternative lain dalam prinsip kerja divais yang berskala nanometer. Sementara itu dengan adanya pengurangan jumlah elektron yang dialirkan untuk merubah keadaan dari terisolasi menjadi terkonduksi, akan dapat mengurangi daya disipasi pada rangkaian dan meningkatkan kinerja dari rangkaian. Terdapat beberapa perbedaan antara rangkaian kuantum dot dengan rangkaian SETs. Pada SETs terdapat kapasitansi tambahan dan tegangan sumber. Kapasitansi dan sumber tegangan tambahan ini berasal dari gbang tambahan pada rangkaian SETs. Gerbang tambahan ini memberikan hasil yang berbeda pada perhitungan efek blokade Coulomb. Untuk mengamati bagaimana efek blokade Coulomb terjadi pada rangkaian SETs kita gunakan gambar 3 sebagai acuan, disitu terlihat adanya gerbang tambahan yang terdiri atas kapasitansi tambahan dan tegangan sumber. 2 1 g ro n a e c u td D Is iV lJ T C S
Gambar 25.3. Rangkaian SETs
Kita asumsikan tidak adanya kuantisasi energi pada kuantum dot untuk mempermudah perhitungan. Kuantum dot dihubungkan oleh gerbang kapasitansi dan gerbang tegangan. besarnya muatan di persimpangan terowongan 1, 2 dan pada gerbang adalah
(25.38)
362
Muatan total pada kuantum dot adalah (25.39)
Q p adalah muatan total yang terinduksi pada sistem. Dari hubungan pada persamaan (25.38) dan (25.39), besarnya tegangan pada terowongan 1 dan 2 adalah
(25.40)
dimana, (25.41)
C eq dapat kita aproksimasi dengan hubungan, (25.42)
C eq dapat juga dihitung melalui pendekatan dengan persamaan, (25.43)
Sebenarnya, hubungan pada persamaan (25.43) adalah kapasitansi dari persamaan kapasitor bola konduktor yang memiliki jari-jari R. namun, hal ini memungkinkan digunakan untuk mengaproksimasi persamaan kapasitansi dari suatu kotak kuantum semikonduktor. Pada sistem berskala nanometer, bentuk bola hamper sama dengan bentuk kotak persegi. Sehingga persamaan (25.43) dapat digunakan dalam sistem kuantum dot semikoduktor dengan lebar a (R = 0,5a). Energy elektrostis sistem adalah, (25.44)
sementara peristwa penerobosan melalui persimpangan terowongan 2 tersebut menyebabkan adanya perubahan potensial pada terowongan, (25.45)
muatan total yang dihasilkan dari penerobosan yang melalui persimpangan 2 adalah, (25.46)
kerja yang dilakukan untuk memindahkan elektron ke persimpangan 2 adalah,
363
(25.47)
mirip dengan kasus perpindahan elektron ke teorwongan 2, kerja untuk memindahkan elektron ke persimpangan 1 adalah, (25.48)
Energy total sistem adalah
(25.49)
Perubahan energy yang terjadi pada persimpangan 1 dan 2 adalah,
(25.50)
Nsehingga kita dapatkan, (25.51) (25.52)
Transisi akan terjadi jika, (25.53)
persamaan yang menunjukan diagram kestabilan dari SETs adalah, (25.54) (25.55) (25.56) (25.57)
Dengan menyelesaikan persamaan (25.54) sampai (25.57), kita akan mendapatkan daerah dari efek blokade Coulomb pada SETs
364
Va
Gambar 25.4. “Coulomb Diamonds”. Daerah yang diberi arsir berwana gelap merupakan daerah dimana elektron tidak dapat berpindah atau
tidak ada perpindahan elektron. Jika tegangan gerbang dinaikkan dan tegangan panjar dibiarkan konstan di bawah blokade Coulomb, V a < e/C2,yang setara dengan memotong daerah melalui daerah yang stabil pada plot kestabilan, sejajar dengan sumbu-x maka arus akan berosilasi dengan perioda e/C g . Osilasi ini disebut dengan osilasi Coulomb.
Gambar 25.5. Osilasi Coulomb
25.4.1 Permasalahan Konvensional
dalam
Teknologi
Si
Dengan mengurangi panjang gerbang, sementara jarak source-drain dapat menimbulkan "punch-through" antara source dan drain, maka ketika sumber tegangan drain-V SD menjadi begitu besar menyebabkan daerah deplesi di sekitar sumber dan drain menjadi sangat dekat. Untuk menghindari kerusakan transistor karena "punch-through", daerah saluran (channel) antara sumber dan drain harus dibuat lebih tinggi yaitu dengan cara mengurangi panjang saluran. Batas minimum untuk ketebalan gerbang-bisa 1 nm. Di bawah 365
batas ini, peristiwa penerobosan ecara langsung dari pintu gerbang ke dalam substrat menjadi terlalu besar untuk operasi transistor yang semestinya. Selanjutnya, dengan mengurangi dimensi divaist, fluktuasi dopant dalam saluran elektron akan menyebabkan pergeseran statistik dalam V Th tegangan ambang. Masalah tambahan dalam ukuran MOS dalam bentuk fitur dengan skala minimum di bawah sekitar 30 nm terletak pada peningkatan "subthreshold current". Efek ini juga terlihat pada divais MOS dan menyebabkan masalah dalam mengintegrasikan sejumlah besar perangkat sementara tujuannya untuk menjaga konsumsi daya agar tetap rendah. Saat ini, beberapa pilihan teknologi sedang diselidiki dalam rangka untuk mengatasi masalah yang timbul dari penggunaan dimensi pada divais skala di bawah 10 nm. Terutama, divais elektron tunggal perangkat seperti SETs yang diyakini dapat menggantikan MOSFET pada umumnya dalam skala nano. Namun, satu syarat utama yang harus dipenuhi untuk mengintegrasikan perangkat-elektron tunggal ke dalam teknologi standar adalah perangkat harus bisa bekerja pada suhu kamar, yang mengharuskan bahwa dimensi geometris dari divais adalah sekitar 10 nm.
25.4.2 Sistem Kerja SETs Hal yang paling utama dalam cara kerja SETs adalah bahwa muatan bergerak melewati terowongan ke island dalam unit yang terkuantisasi. Untuk setiap elektron yang melompat ke dalam island, maka energinya harus sama dengan energy Coulombnya atau e2/2C. ketika gerbang dan tegangan panjar sama dengan nol, elektron tidak mempunyai energy yang cukup untuk masuk menempati island dan arus tidak dapat mengalir. Saat tegangan panjar antara source dan drain dinaikan, lalu elektron akan dapat bergerak melewati terowongan menuju island dan energy sistem dapat mencapai energy Coulomb. Peristiwa inilah yang disebut dengan blokade Coulomb, dan tegangan kritis yang harus dimiliki oleh sebuah elektron yang akan bergerak menuju island adalah sebesar e/C, atau disebut dengan gap Coulomb. Tinjau suatu rangkaian kuantum dot dengan tegangan panjar kita pertahankan di bawah tegangan gap Coulombnya, jika tegangan gerbangnya kita naikkan, energy awal sistem (dengan kondisi belum ada elektron yang menempati island) dinaikkan, sementara energy dari sistem yang kelebihan satu elektron pada island akan berkurang. Tegangan gerbang ini berhubungan dengan titik kemiringan maksimum pada tangga Coulomb, kedua konfigurasi ini sama dengan energy terendah pada sistem. Hal ini dapat membuat blokade Coulomb terangkat dan memperbolehkan eketron menerobos masuk dan keluar island. Blokade Coulomb dinaikkan saat kapasitansi gerbang terisi dengan setengah dari elektron. Island sangat rentan terkena pengotor yang ada di sekitarnya. Untuk mencegah terkontaminasinya blokade Coulomb oleh muatan atau ion-ion yang ada disekeliling insulator, yang berarti bahwa muatan di 366
dalamnya harus harus dapat terkuantisasi dalam unit e, namun elektroda logam terhubung dengan penyedia elektron dalam jumlah yang sedikit. Muatan di dalam gerbangkapasitor menandakan sebuah perpindahan elektron relatif terhadap ion positif dari latarnya. Jika kita kemudian meningkatkan tegangan gerbang sehingga gerbang kapasitor menjadi terisi dengan dengan elektron –e, island hanya merupakan satu konfigurasi yang stabil yang terpisah dari tingkat energy terendah dan terpisahkan oleh energy Coulombnya. Blokade Coulomb diatur lagi, namun island sekarang mengandung sebuah elektron tunggal berlebih.
Gambar 25.6. Hasil SEM dari Al/Ni/Al SETs
25.4.3 Kelebihan SETs Properti yang paling menonjol dari set adalah kemungkinan untuk beralih perangkat dari keadaan terisolasi ke keadaan terkonduksi hanya dengan menambahkan satu elektron ke gerbang elektroda, sedangkan MOSFET biasa pada umumnya membutuhkan sekitar 1000-10.000 elektron. Oleh karena itu, umumnya diasumsikan bahwa perangkat elektron tunggal memiliki potensi untuk bekerja jauh lebih cepat daripada MOSFET konvensional. Selain itu SETs mengkonsumsi daya lebih sedikit untuk beroperasi. Masalah utama saat ini adalah bahwa transistor tidak dapat dikemas sangat erat karena panas yang mereka hasilkan. Karena disipasi dapat sangat ditekan dalam perangkat baru, namun mungkin perangkat ini sangat cocok untuk dikembangkan sebagai aplikasi perangkat elektron tunggal. Untuk mengintegrasikan SET ke IC, harus mampu bekerja pada suhu kamar. Untuk mengamati efek blokade Coulomb, diperlukan suhu beberapa ratus mili Kelvin untuk mempertahankan energi termal dari elektron agar tetap di bawah energi Coulomb dari perangkat. Perangkat paling awal yang dibuat memiliki energi Coulomb beberapa ratus microelectronvolts karena mereka dibuat menggunakan berkas elektron-konvensional litografi, serta ukuran dan kapasitansi dari island relatif besar. Untuk transistor SETs untuk dapat bekerja pada suhu kamar kapasitansi pulau harus kurang dari 10-17 F dan oleh karena itu ukurannya harus lebih kecil dari 10 nm.
367
25.5 Aplikasi SETs 25.5.1 Electrometry Salah satu penggunaan langsung SETs dalam bentuk perangkat ideal adalah untuk electrometry dengan tingkat kepresisian yang tinggi. Dalam jenis aplikasi ini SET memiliki dua elektroda gerbang, dan tegangan panjar yang besarnya dibuat dekat dengan tegangan blokade Coulomb untuk meningkatkan sensitivitas arus perubahan dalam gerbang tegangan. Tegangan pada gerbang pertama pada awaknya dipasang pada suatu titik dimana variasinya akan mencapai nilai maksimumnya. Dengan menambahkan tegangan gerbang disekitar titik ini, perangkat dapat mengukur muatan dari sebuah divais seperti pada sistem kapasitor yang terhubung dengan gerbang elektroda kedua. Fraksi dari pemngukuran muatan ini terbagi oleh gerbang kapasitor kedua dan variasi muatan dari 1/4e cukup untuk menrubah arus oleh setengah maksimum arus yang dapat mengalir melalui transistor pada tegangan blokade Coulomb. Variasi dari arus dapat lebih besar dari 10 milyar elektron per detik, yang berarti bahwa perangkat ini dapat mencapai tingkat sensitivitas yang jauh lebih tinggi berkali lipat dari instrument lainnya terhadap hasil pengukuran, Kemajuan terbaru dalam teknologi sirkuit terpadu telah menyebabkan penurunan dalam ukuran perangkat elektronik ke dalam skala nanometer. Metal-oksida-semikonduktor transistor efek medan (MOSFET) dengan panjang gerbang beberapa puluh nanometer kini telah dibuat, meningkatkan kemungkinan peningkatan besar dalam jumlah transistor pada sebuah chip. Namun, jika ukuran fitur minimum berkurang di bawah 10 nm, efek kuantum mekanik seperti tunneling secara signifikan mempengaruhi kinerja perangkat. Scaling-down perangkat juga menyebabkan penurunan jumlah elektron yang tersedia untuk operasi beralih digital. Akhirnya, hanya beberapa elektron mungkin tersedia untuk switching dan fluktuasi statistik dalam jumlah ratarata elektron akan mencegah definisi dari keadaan digital yang cukup jelas. Blokade Coulomb atau efek pengisian elektron tunggal, yang memungkinkan untuk kontrol yang tepat terhadap sejumlah kecil elektron, menyediakan prinsip operasi alternatif untuk perangkat dengan skala nanometer. Selain itu, pengurangan jumlah elektron dalam peralihan transisi sangat mengurangi disipasi rangkaian listrik, akhirnya dapat meningkatkan kemungkinan lebih tinggi sirkuit terintegrasi.
368
Gambar 25.7. Elektrometry
25.5.2
Memori Elektron Tunggal
Sel-sel memori tunggal dapat menggunakan blokade Coulomb dalam SET untuk menjebak sejumlah kecil elektron pada sebuah kapasitor penyimpanan. Atau, mungkin memori analog dengan FLASH dengan node penyimpanan dikurangi dalam skala nanometer. Dalam kasus selanjutnya efek blokade Coulomb juga dapat terjadi tetapi tidak memegang peranan penting untuk operasi di dalam perangkat. Dalam hal ini akan dibahas 2 jenis memori. Konduktansi sangat rendah dalam gap Coulomb pada SETs dapat digunakan untuk menjebak muatan pada kapasitor penyimpanan. Jenis memori sering menggunakan MTJ (Magnetic Tunnel Junction), dimana gap konduktansi sub-Coulomb dapat lebih rendah, hal ini dimaksudkan untuk mengontrol muatan yang tersimpan. Operasi dari memori dapat dipahami dengan mengacu pada Gambar. 25. 7 (a). Bila baris-kata tegangan V W rendah, tegangan di MTJ berada dalam gap Coulomb ± V C dan MTJ tidak terkonduksi. Dengan meningkatkan tegangan baris-kata dan tegangan Vc MTJ melebihi muatan yang ditransfer ke kapasitor C M , dimana muatan sampai pada tegangan V W = V M -V C . Jika V M berkurang, MTJ tegangan turun di bawah V C dan C M tidak kosong. V M tetap konstan sampai V W dikurangi sampai tegangan MTJ jatuh ke-V C dan kapasitor penyimpanan dapat dikosongkan.
369
Gambar 25.8. Memori Blokade Coulomb Coulomb menggunakan MTJ untuk menangkap eletron pada penyimpanan node.
25.5.3
Logika Elektron Tunggal
Karena sebelumnya telah dikembangkan, kemungkinan digunakannya perangkat ini untuk kepentingan sistem logika dapat diidentifikasi. SETs untuk merubah tingkat tegangan atau diperlakukan sama seperti MOSFET untuk merubah level tegangan atau mungkin digunakan di dalam sirkuit dimana ada atau tidak adanya elektron didefinisikan dengan angka biner ‘1’ dan ‘0’ bit pada titik yang spesifik di dalam sirkuit. Pertama kita mempertimbangkan SET analog mengimolikasikan bahwa perangkat ini dapay digunakan untuk mengganti tipe-p dan tipe-n dari MOSFET dalam rangkaian CMOS. Sifat osilasi dari transkonduktansi dalam SET menyiratkan bahwa hal itu dapat digunakan untuk mengganti kedua tipe-p dan tipe-n MOSFET dalam sebuah sirkuit CMOS. MOSFET tipe-n dapat diganti dengan SETs di mana gerbang bias pada suatu titik sebelum osilasi konduktansi dimulai. Demikian pula, SETs bias hanya melewati puncak osilasi konduktansi yang analog dengan MOSFET tipe-p. Dua input gerbang NAND menggunakan SOI SETs telah dibuktikan. Namun, sirkuit yang dibatasi oleh sedikitnya 'fan out-', margin kebisingan dan sensitivitas 'offset charge'. Logika-elektron tunggal juga dapat menggunakan ada atau tidak adanya sejumlah kecil elektron pada titik tertentu dalam rangkaian untuk menentukan '1 'dan '0' bit. Berbagai sirkuit telah diusulkan dalam teori, didasarkan pada transmisi-garis rangkaian tipe-SET atau dihubungkan oleh island pada rangkaian SETs.
370
(a)
(b)
Gambar 25.8. (a) Gambar Atomic Force Microscope antara elektroda platinum dan ruang yang berukuran 500 nm (b) bagian putih adalah bagian yang konduktansinya bernilai nol dari sebuah nanotube. Bagian yang berwarna putih berbentuk diamond adalah diamond Coulomb.
25.5.4
SETs Carbon Nanotubes
Carbon nanotubes adalah molekul-molekul yang terdiri atas carbos secara khusus yang mempunyai bentuk silinder dengan diameter hanya beberapa nanometer. Dan panjangnya hanya beberapa micron. Tabung dapat berasal dari semikonduktor atau logam, konduktivitas bergantung pada diameternya dan struktur molekulnya. Diode, FET, dan transistor elektron tunggal sudah dapat dibuat dari carbon nanotubes. Sebuah transistor elektron tunggal telah dibuat dengan menempatkan logam nanotube antara dua elektroda logam. Dalam hal ini, nanotube adalah island pada SETs dan kontak resistensi pada elektroda sebagai bentuk dari persimpangan terowongan transistor. Ini semacam SETs harus diukur pada suhu rendah karena pengisian energi lebih kecil dari fluktuasi termal pada suhu kamar. Suhu kamar dalam pengoperasian SET nanotube telah dicapai dengan membuat dua gesper dalam logam nanotub. Gesper tabung memiliki banyak cara yang sama dengan sedotan ketika dibengkokkan terlalu jauh. Gesper bertindak sebagai terowongan hambatan untuk mengangkut elektron dan bagian dari nanotube antara dua gesper sebagaiisland dari transistor elektron tunggal. Kapasitansi total akan dicapai dalam kasus ini adalah sekitar 1 aF.
25.5.5
Nanowires
Kawat nano semikonduktor kimia disintesis sebagai blok bangunan untuk pendekatan bottom-up untuk pembuatan perangkat nano dan sensor. Kunci propertis dari sistem ini adalah fleksibilitas materi yang unik dalam hal dimensi geometris dan komposisi. Nanowires telah dikembangkan dari 371
beberapa bahan semikonduktor termasuk struktur dengan variabel doping dan komposisinya. Kawat nano telah digunakan untuk membuat transistor elektron tunggal pada suhu rendah. Gambar di bawah ini merupakan transistor dari nanowires InP dengan ukuran panjang yang berbeda. Keduanya menunjukkan adanya bentuk puncak yang berhubungan dengan osilasi blokade Coulomb. Hal ini sangat jelas menunjukkan adanya pengaturan elektron tungaal terhadap muatan listrik dan propertis transport pada nanowire. Puncak Coulomb mempunyai ukuran distribusi yang tidak biasa, dan V g bervariasi. Penafsiran ini didukung oleh pengukuran yang ditunjukkan pada gambar, dimana konduktansi diferensial dI / dVsd perangkat C diplot pada skala abu-abu sebagai fungsi dari (Vg, VSD). Dalam plot ini, blokade Coulomb terjadi di dalam daerah gelap dengan bentuk berlian karakteristik. Dalam beberapa kasus, seperti untuk Vg antara -40 dan 90 mV, berlian Coulomb jelas terpisah satu sama lain dan memiliki semua tepi yang sepenuhnya dapat didefinisikan. Ini adalah karakteristik dari perpindahan Coulomb-terblokade melalui sebuah pulau elektronik tunggal. Di daerah lainnya-Vg, bagaimanapun, berlian tumpang tindih satu sama lain, seperti yang kita harapkan untuk sebuah nanowire mengandung lebih dari satu (kemungkinan besar dua) pulau. Berbagai aplikasi kawat nano pada suhu kamar bahkan mulai dikenal seperti single-nanowire transistor efek medan (FETs), dioda, dan gerbang logika menggabungkan kedua tipe-n dan tipe-p kawat nano. Baru-baru ini, nanowire heterostruktur telah beroperasi sebagai dioda terowongan resonansi pada 4.2K.
Gambar 25.9. Skala abu-abu merupakan plot diferensial konduktansi dI / dVsd terhadap (Vg, VSD). dI / dVsd meningkat dari gelap ke abu-abu. Pengukuran mengacu pada perangkat dengan panjang nanowire sama dengan .65 pM, dan diambil di 0,35 K dengan teknik terkunci pada eksitasi bias AC dari 20 mV. Inset: hasil pemindaian mikrograf elektron dari perangkat C.
372
GAmbar 25.10. Konduktansi G terhadap tegangan back-gate Vg diukur pada at 0.35 K dengan panjar DC V 520 mV. Kedua traces mengacu pada perangkat dengan panjang sd
yang berbeda. .
25.6 Kesimpulan Dengan semua sifat-sifat menarik dari perangkat elektron tunggal, laju perkembangnan teknologi yang berbasis pada efek blokade Coulomb dapat dilanjutkan. Belum jelas apakah berbasis elektronik pada molekul individu dan elektron tunggal efek akan menggantikan sirkuit konvensional didasarkan pada penurunan skala ukuran versi transistor efek medan. Namun jika kita lihat beberapa perkembangan teknologi berskala nano akhir-akhir ini apat kita simpulkan jika laju miniaturisasi terus berlanjut, sifat kuantum dari elektron akan menjadi penting dalam menentukan desain perangkat elektronik sebelum akhir dekade berikutnya.
373
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Mikrajudin. 2009. Pengantar Nanosains. Bandung: ITB. L. J. Geerligs, V. F. Anderegg, C. A. van der Jeugd, J. Romijn, dan J. E. Mooij, Europhysics Letters, 10(1):79-85, September 1989. T. A. Fulton and G. J. Dolan, Physical Review Letters, 59(1):109-112, Juli 1987. L Zhuang, L Guo and S Y Chou 1998 Silicon single-electron quantum-dot transistor switch operating at room temperature Appl. Phys. Lett. 72 1205
1293.
Z.A.K. Durrani, A.C. Irvine, H. Ahmed, K. Nakazato, Appl.Phys. Lett. 74 (1999)
Christoph Wasshuber , About Single-Electron Devices and Circuits, Technischen Universität Wien, PhD Dissertation, Januari 1997 S. De Franceschia and J. A. van Dam, E. P. A. M. Bakkers and L. F. Feiner, L. Gurevich and L. P. Kouwenhoven, Applied physics letters, volume 83, number 2 14 july 2003, DOI: 10.1063/1.1590426 Hiroshi Mizuta, Heinz-Olaf M¨ uller, Kazuhito Tsukagoshi,David Williams1, Zahid Durrani, Andrew Irvine, Gareth Evans, Shuhei Amakawa, Kazuo Nakazato and Haroon Ahmed., IOPScience. Nanoscale Coulomb blockade memory and logic devices. 2001 Nanotechnology 12 155
D.V. Averin and K.K Likharev Mesoscopic Phenomena in Solids, edited by B.L. Altshuler, P.A. Lee, and R.A. Webb (Elsevier, Amsterdam, 1991)
374
Bab 26 Graphene Oleh: Anton Prasetyo Material berbahan karbon telah sejak lama dikenal dan digunakan oleh manusia semisal arang, grafit, minyak bumi ataupun intan. Penemuan penemuan material jenis baru dengan bahan baku karbon ini secara langsung maupun tidak, telah mempengaruhi peradaban manusia. Sebagai contoh bagaimana penemuan polimer berbahan dasar karbon telah mampu menggeser penggunaan logam ataupun keramik pada abad 18-an hingga kini sehingga kita saksikan banyak sekali alat alat yang dulu menggunakan logam sekarang menggunakan bahan polimer. Selain itu karbon juga dikenal sebagai unsur yang menyusun sebagian besar dari makhluk hidup dan juga keberadaannya juga sangat melimpah. Oleh karenanya penelitian penelitian tentang material berbahan dasar karbon menjadi sangat marak, baik di masa lampau, masa kini maupun di masa yang akan datang. Unsur karbon dikenal sebagai unsur yang memiliki sifat sifat yang istimewa diantaranya adalah karbon dapat membentuk alotrop (unsur penyusun sama tapi mempunyai bentuk geometri yang berbeda sehingga sifatnya juga berbeda). Hal ini karena kemampuan karbon untuk berhibridisasi sp, sp2 dan sp3 [1]. Bentuk bentuk alotrop dari karbon yang sudah dikenal luas diantaranya adalah karbon amorf, grafit dan intan, di mana keduanya mempunyai unsur penyusun yang sama tetapi mempunyai sifat yang berbeda yaitu intan mempunyai tingkat kekerasan yang sangat tinggi dibandingkan dengan grafit. Hal ini karena unsur unsur penyusun dari intan lebih padat dibandingkan dengan grafit. Alotrop alotrop lainnya yang ditemukan adalah fullerene, karbon nano tube (CNT) dan pada tahun 2004 ditemukan alotrop baru yaitu graphene. Alotrop alotrop yang ditemukan akhir akhir ini dikenal sebagai material maju yang berpeluang sebagai material masa depan [1]. Fullerene dikenal sebagai alotrop karbon yang tersusun atas atom karbon dengan jumlah 60 atau 70 dan berbentuk kulit bola sepak [1,2]. Material ini pertama kali ditemukan pada tahun 1985 di Universitas Rice, Houston oleh Richard Smalley, Robert Curl dan Henry Kroto yang atas penemuannya maka pada tahun 1996 dianugerahi hadiah nobel. Alotrop lainnya adalah Carbon Nano Tube (CNT) yang ditemukan pada tahun 1991. Carbon Nano Tube adalah sebuah material yang tersusun atas carbon yang membentuk tabung panjang, sehingga CNT juga dapat dianggap sebagai fullerene yang diperpanjang [1]. Dan pada tahun 2004 peneliti dari Universitas Manchester yaitu Andrei Geim dan Konstantin Novoselov menemukan bentuk alotrop karbon lainnya yaitu 375
graphene, suatu bentuk alotrop carbon 2 dimensi yang diketahui mempunyai peluang aplikasi yang luas karena keunggulan sifat sifat dari material tersebut dan atas penemuannya tersebut maka pada tahun 2010, dua orang tersebut dianugerahi hadiah nobel dengan tema “for groundbreaking experiments regarding the two-dimensional material graphene”.
(b)
(a)
(c)
Gambar 26.1 Beberapa struktur alotrop karbon : (a) Intan [3], (b) Fullerene [4], (c) Carbon Nanotube [5]
26.1 Pendahuluan Graphene adalah material karbon dalam bentuk monolayer datar atom dalam bentuk 2 dimensi (2D) seperti sarang lebah dan bentuk ini adalah bentuk dasar/bentuk asal usul (mother) dari semua bentuk alotrop grafit lainnya[6]. Kata Graphene sendiri berasal dari kombinasi dari kata grafit dan akhiran-ena oleh Hanns-Peter Boehm, yang menggambarkan dan menamakan material single-layer foil karbon dan dikemukakan pada tahun 1962. [7]. Akhir akhir ini material ini menjadi material yang menarik sekali karena dari berbagai penelitian baik secara teori maupun teoritis dan mempunyai peluang digunakan 376
sebagai material maju. Di bawah ini gambar struktur dari graphene dan gambar yang menjelaskan bahwa graphene merupakan cikal dasar dari berbagai bentuk alotrop material karbon lainnya :
Gambar. 26.2 Struktur Material Graphene [8]
Gambar 26.3 Graphene Sebagai Material Penyusun Bentuk Alotrop Karbon Lainnya [6] Jenis ikatan yang terdapat pada graphene adalah jenis ikatan dengan hibridisasi sp2 seperti jenis ikatan yang dimiliki oleh benzene, dengan panjang ikatan diperkirakan 0,142 nm [8]. Pada gambar (26.3) : (a) menggambarkan bagaimana graphene apabila digulung menjadi sebuah bola maka akan menjadi material fullerene; (b) apabila graphene digulung menjadi semacan tube maka menjadi material carbon nanotube (CNT); (c) dan apabila graphene disusun menjadi berlapis lapis maka akan membentuk material graphite. 377
Graphene pertama kali berhasil disintesis oleh Andrei Gim dan Konstantin Novoselov pada tahun 2004 di Universitas Manchester, Inggris, dan keberhasilan mensintesis senyawa grapahene yang merupakan senyawa 2 dimensi telah mematahkan asumsi yang berlaku dan bertahan sejak puluhan tahun lalu di mana Landau dan Pierl menyatakan bahwa kristal 2 dimensi tidak stabil secara termodinamika dan tidak mungkin ada dan argumen ini diperkuat oleh Mermin (1969) melalui eksperimental yang hasilnya menyatakan bahwa semakin tipis lapis dari sebuah kristal maka temperatur lelehnya akan semakin turun dan lapis tipis tersebut menjadi tidak stabil (mudah mengalami dekomposisi)[6]. Asumsi ini dipatahkan dengan ditemukan material 2 dimensi yaitu graphene dan penemuan ini tidak berhenti sampai pada keberhasilan sintesis dari material tersebut, karena diketahui bahwa material tersebut mempunyai sifat sifat yang istimewa. Dan dengan penemuan tersebut maka dengan segeralah penelitian penelitian tentang sifat sifat graphene baik secara teoritis maupun eksperimental dilakukan secara massif oleh peneliti. Scopus mencatat dari tahun 2005 sampai dengan awal desember 2011 tidak kurang dari 14.000 penelitian tentang graphene atau ada lebih dari 2500 penelitian tentang graphene pertahunnya. Jumlah ini adalah jumlah yang sangat besar untuk satu topik penelitian.
Gambar. 26.4. Penemu Material Graphene : Andrei Geim dan Konstantin Novoselov [9]
Sifat sifat graphene yang istimewa dapat dijelaskan secara singkat bahwa energi elektron graphene adalah linear yang tergantung pada vektor gelombang di daerah dekat titik persimpangan zona Brillouin. Pembawa muatan meniru/perilakunya seperti partikel yang dapat diterangkan secara memuaskan dengan persamaan Dirac daripada menggunakan persamaan Schroedinger. Di samping itu graphene, menunjukkan sifat yang luar biasa pada sifat elektronik; sifat optik; sifat magnetik; sifat termal; dan sifat 378
mekanik. Di mana graphene memnpunyai nilai Young modulus yang tinggi yaitu: 1100 Gpa dengan kekuatan frakturnya 125 Gpa; sifat konduktivitas termalnya : 5000Wm-1K-1; mobilitas pembawa muatannya: 200000 cm2.V-1.s-1; mempunyai luas permukaan spesifik 2630 m2.g-1; mempunyai stabilitas kimia yang tinggi; mempunyai sifat transmitansi optik tinggi; mempunyai efek kuantum Hall pada suhu kamar dan juga a tuneable band gap, bipolar supercurrent, chiral tunneling of relativistic particles, Absence of Anderson Location[10,11]. Sifat sifat unik dari graphene akan diterangkan lebih detail pada pembahasan sifat graphene. Sifat sifat graphene yang istimewa telah membuka peluang pemanfaatan graphene dalam berbagai bidang yang diantaranya : dalam bidang elektronika graphene dapat digunakan sebagai field effect transistor (FET), sensor dan superkapasitor, electrode tranparant, sebagai pengganti ITO (Indium Tin Oksida) dan lain lain [10,11]. Contoh contoh aplikasi dari graphene juga akan dijelaskan dalam sub bab tersendiri.
26.2 Sintesis Graphene Sintesis graphene pertama kali dilakukan oleh Andrei Gim dan Konstantin Novoselov pada tahun 2004 dengan menggunakan metode micromechanical cleavage from graphit (penggelupasan lapisan graphit) [11]. Dan dengan berkembanganya penelitian tentang sintesis maka para ahli mencoba beberapa metode untuk menghasilkan material graphit, yang diantaranya : epitaxial on silicon carbide, CVD, cara reaksi kimia dan lain lain. Dalam topic ini akan dibahas beberapa metode sintesis graphene.
a. Micromechanical Cleavage From Highly Ordered Pyrolyitc Graphite (HOPG) Metode ini merupakan metode yang pertama kali berhasil menemukan material graphene, yang dilakukan oleh Andrei Gim dan Konstantin Novoselov pada tahun 2004. Secara sederhana metode ini dapat diterangkan sebagai berikut : pengelupasan sebuah lapisan dari kristal Highly Ordered Pyroliytic Graphite (HOPG)[11,12]. HOPG sendiri adalah kristal grafit yang mempunyai keteraturan yang sangat tinggi, yang susunan kristalnya dapat digambarkan seperti di bawah ini :
379
Gambar. 26.5. Struktur Kristal Highly Ordered Pyroliytic Graphite (HOPG) [13] Pengelupasan dilakukan dengan menggunakan scotch tape dan kemudian ditransfer ke substrat silikon. Pengelupasan ini tergantung pada teknik scotch tape untuk memutuskan ikatan van der walls pada ikatan antar lapis grafit [11] . Secara sederhana metode ini dilakukan dengan pengelupasan lapisan grafit dengan scoth tape secara berulang ulang, yang pada akhirnya akan didapatkan lapisan tipis dari grafit (yang apabila monolayer maka disebut graphene), yang selanjutnya lapis tipis tersebut ditransfer pada lapis silikon . Metode ini cocok untuk digunakan pada penelitian penelitian dasar tentang graphene tetapi tidak cocok untuk memproduksi graphene dalam skala industri[11].
b. Epitaxial Growth on Silicon Carbide (SiC) Pada metode ini menggunakan bahan kristal silika karbida (SiC). Substrat kristal tunggal SiC substrat atau butiran polikristalin SiC komersial dipanaskan di vakum pada suhu tinggi pada kisaran 1200-1600 ° C. Dasar dari teknik ini adalah perbedaan laju sublimasi dari silikon dan grafit, di mana silikon lebih mudah mengalami sublimasi, sehingga silikon akan tersublimasi dan karbon akan akan tertinggal di permukaan, yang selanjutnya akan mengalami penataan ulang dan membentuk graphene, dan teknik ini cocok untuk mendapatkan graphene dengan area yang lebih luas. [10,14].
c. Chemical Vapour Deposition (CVD) Metode CVD adalah salah satu teknik deposisi, yang saat ini dipandang sebagai teknik yang cocok untuk membuat graphene dalam skala yang luas karena kesederhanaan metode dan murah. Sehingga dengan teknik ini membuka peluang untuk memproduksi graphene dalam skala yang lebih luas. Dalam teknik ini terjadi dekomposisi hidrokarbon seperti metana, etilena, asetilena dan benzene pada lapis logam semisal Ni, Cu, Co atau Ru. Proses ini terjadi pada suhu tinggi yaitu sekitar 800 oC – 1000 oC yang akan menjadi lapis graphene.[10,11,12,15]. Logam logam semisal Ni, Cu, Co atau Ru dalam proses ini berfungsi sebagai katalis. Dan salah satu isu besar dalam dalam penggunaan katalis 380
tersebut adalah memerlukan suhu tinggi yaitu 900 oC – 1000 oC dalam proses reaksinya. Hal ini karena sintesis pada suhu yang lebih rendah diperlukan untuk berbagai aplikasi elektronik [16]. Oleh karenanya salah satu arah dari penelitian tentang graphene ini adalah mengganti katalis tersebut dengan katalis logam lain yang mempunyai temperatur proses yang lebih rendah. Salah satunya seperti yang dilakukan Hyosub An, et all (2011) yang menggunakan katalis Fe dalam menumbuhkan graphene [16]. Berikut ini adalah metode yang digunakan Hyosub An tatkala mensintesis graphene dengan metode CVD dengan katalis Fe : Fe foil (tebal 100 mm-tebal kemurnian, 99,5%) sebagai substrat pertumbuhan. Sampel dengan berbagai ukuran mulai dari 1 1 cm sampai 3 3 cm disiapkan. Sampel dibersihkan secara ultrasonik dalam aseton, metanol dan air deionisasi. Sampel kemudian ditaruh dalam ruang CVD. Ruang tersebut diberi tekanan antara 1-3 mTorr. Kemudian hidrogen (kemurnian 99,999%0 diencerkan dalam Ar (kemurnian 99,999%) diinjeksikan ke dalam reaktor untuk mencegah oksidasi Fe. Dalam percobaan ini, sampel dipanaskan dengan kecepatan 1 C / s. Sampel sebelumnya dipanaskan pada 600 - 800 C dalam gas Ar dan H2. Kemudian C 2 H 2 (dengan kemurnian 99,96% ) dialirkan. Tekanan pada proses penumbuhan adalah 350 - 450 mTorr. Dia memvariasikan waktu pertumbuhan dalam rentang waktu 5 - 30 menit dan laju alir C 2 H 2 dalam rentang 5 - 50 sccm. Ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik lapisan graphene dalam kondisi sintesis berbeda. Karakterisasi graphene yang diperoleh dengan menggunakan mikroskop optik, scanning electron microscopy (SEM), mikroskop elektron transmisi (TEM), dan spektroskopi Raman. Penelitian penelitian tentang pengembangan teknik CVD ini sekarang ini banyak dilakukan karena teknik ini menjanjikan sebuah teknik yang murah dan dapat diterapkan dalam skala industri.
d. Pemanasan Nanointan (Nanodiamond) Seperti kita ketahui bahwa intan adalah salah satu bentuk dari alotrop lainnya selain, graphene atau grafit, sehingga mempunyai peluang untuk digunakan sebagai bahan baku dari grafit. Cara kerja dari metode ini adalah dengan cara pemanasan nanointan pada pada suasana inert atau atmosfer tereduksi. Pemanasan material nanointan menggunakan suhu tinggi yang diantaranya pernah mencoba pada rentang suhu 1650 oC sampai dengan 2200 o C [12].
e. Metode Solvotermal Metode solvotermal adalah salah satu metode yang biasanya digunakan untuk mensintesis metal, semi konduktor, keramik ataupun polimer. Dalam proses ini biasanya melibatkan pelarut tertentun dan dalam kondisi dan tekanan tertentu (biasanya pada kondisi 1 Atm hingga 10.000 Atm) dan juga pada temperature tertentu pula, yang biasanya pada temperature 100 oC hingga 1000 o C [17].
381
Li Q, et al (2011) telah berhasil mensintensis graphene nanosheet (GS) dengan metode solvotermal ini, yang prosedur kerjanya secara singkat adalah sebagai berikut : Campuran homogen C 4 Cl 6 sebanyak 3 ml dan PEG-600 (polietylen glikol) sebanyak 10 ml dipindahkan ke dalam autoclave stainless steel yang mempunyai kapasitas 20 mL dan juga ditambahkan 6 g Na. Kemudian autoclave ditutup, dengan temperatur perlakuan pada 300 °C selama 10 jam, kemudian didinginkan dengan cara biasa (dibiarkan) sampai suhu kamar. Kemudian produk dicuci dengan etanol, asam klorida, air distilasi. Kemudian produk tersebut dikeringkan dalam vakum pada suhu 60 °C selama 10 jam. Selanjutnya 0,01 g produk dilarutkan ke dalam 100 mL etanol dan dilakukan ultrasonifikasi (diberikan gelombang ultrasonic) selama 90 menit kemudian disentrifugasi selama 5 menit pada 2000 rpm. Sampel supernatan dalam etanol dibawa keluar untuk karakterisasi yang diharapkan bahwa sampel tersebut adalah graphene nanosheet (GS) yang dihasilkan [18]. Disamping metode di atas masih ada beberapa metode lagi yang dikembangkan oleh banyak peneliti, misalnya : Metode pengelupasan pada suhu tinggi pada graphene oksida dan metode evaporasi grafit dengan kehadiran gas hydrogen atau plasma enhanced vapour chemical deposition (PEVCD) [12]. Dan masih ada metode lainnya, yang semuanya bertujuan untuk mendapatkan material graphene dengan kualitas yang baik, mudah untuk mendapatkan dalam skala yang masal dan juga dengan biaya murah, sehingga memungkinkan graphene dapat diterapkan dalam banyak bidang kehidupan.
26.3 Sifat Sifat Graphene Berdasarkan kajian baik secara eksperimental maupun teoritis, ternyata graphene mempunyai sifat sifat yang istimewa, sehingga material ini mempunyai peluang yang sangat besar sebagai material masa depan. Perbandingan beberapa sifat dari beberapa alotrop material karbon dapat dilihat sebagaimana tabel di bawah ini. Tabel. 26.1 Perbandingan Sifat Beberapa Alotrop Material Karbon [15] Dimensi
0-D
1-D
2-D
3-D
Alotrop
Fullerene
CNT
Graphene
Intan
Hibridisasi
SP2
SP2
SP2
SP3
Densitas
1.72
1.2 – 2.0
2.26
3.515
Panjang Ikatan
1.4 (C=C)
1.44 (C=C)
1.42 (C=C)
1.54 (C-C)
Sifat Elektronik
Semikonduktor Metal/Semikon duktor E = 1.9 eV
1.46 (C-C)
g
Zerogap Semikondukto E g = 0.3 – 1.1 r 382
Insulator
eV Dari tabel di atas, kita dapat membandingkan sifat sifat dari berbagai macam alotrop material karbon, dan yang menarik adalah sifat elektronik dari graphene yang zero gap energy. Beberapa sifat dan keunggulan dari graphene akan dibahas di bawah ini;
a.
Sifat Elektronik Graphene Susunan atom graphene merupakan susunan heksagonal dua dimensi dari atom karbon dengan hubungan dispersi kuasi-linier, yang mempunyai massa pembawa efektif yang sangat rendah. Oleh karenanya, graphene memiliki mobilitas electron diprediksi pada suhu kamar pada tingkatan 10 6 cm2 /Vs dan secara eksperimental dapat diketahui bahwa mobilitas elektronnya adalah 15.000 cm2/Vs. Mobilitas elektron yang tinggi dari material ini membuka kemungkinan sebagai ballistic transport pada skala submikron [15]. Sifat graphene di atas dapat dijelaskan energi elektron graphene adalah linear yang tergantung pada vektor gelombang di daerah dekat titik persimpangan zona Brillouin . Pada pojok-pojok zona Brillouin pertama, energi elektron pada pita konduksi tepat bertemu dengan pita valensi membentuk kerucut. Pada tempat ini, yang dinamakan titik Dirac, nilai energi berbanding lurus dengan momentum, sehingga massa efektif elektron adalah nol. Dengan masa efektif yang nol maka graphene mempunyai mobilitas yang tinggi. Sedangkan dari hasil pengukuran nilai konduktivitas dan mobilitas pembawa muatan dari graphene didapatkan nilai di bawah nilai teoretis. Hal ini disebabkan karena dalam eksperimen, graphene diletakkan atau ditumbuhkan pada suatu substrat. Keberadaan substrat menambah fonon yang bisamenghamburkan elektron graphene sehingga mobilitasnya berkurang [16]. Elektron graphene berperilaku seperti partikel tak bermassa relativistik, dan sifat inilah yang akan berpengaruh pada sebagian besar sifat elektronik. Salah satu konsekuensi dari sifat ini adalah seperti relasi dispersi padai half integer quantum Hall Effect dan tidak adanya lokalisasi elektron akan sangat penting dalam pemanfaatan sebagai field effect transistor (FET). Di samping itu pengukuran resistivitas listrik vs tegangan gate menunjukkan perilaku ambipolar intrinsik dari graphene [15]. Di samping itu graphene mempunyai sifat elektronik dan konduktivitas termal yang superior mengakibatkan material ini mempunyai peluang digunakan sebagai bahan baku material elektronik masa depan.
b.
Sifat Mekanik Graphene Graphene mempunyai kekuatan mekanik yang luar biasa di mana diprediksi graphene memnpunyai nilai modulus Young yang tinggi yaitu: 1100 GPa dengan kekuatan frakturnya 125 Gpa [8]. Nilai parameter ini adalah kuat 383
sekali. Apabila kita bandingkan dengan sutera yang merupakan polimer terkuat yang mempunyai modulus young sebesar 22.000 MPa, maka nilai graphene masih jauh di atas kekuatan dari sutera. Atau kita bandingkan dengan logam titanium yang mempunyai kekuatan tarik sebesar 330 MPa (setelah lewat ini maka akan patah), atau kita bandingkan dengan kekuatan alotrop karbon lainnya misalkan intan (yang dikenal sebagai material terkeras sehingga banyak digunakan sebagai mata bor) ataupun karbon nanotube (CNT) maka kekuatan graphene jauh di atasnya, sehingga graphene merupakan material terkuat yang pernah ada saat ini. Dengan potensi ini maka graphene juga berpeluang dimanfaatkan sebagai material structural (pemanfaatan kekuatan mekaniknya).
c.
Sifat Optik Graphene Sifat intrinsik lainnya yang dimiliki oleh graphene adalah mempunya transparansi tinggi. Satu lapis dari graphene menyerap hanya 2,3% dari cahaya yang masuk. Kombinasi berbagai sifat misalnya nilai konduktivitas tinggi, sifat elektronik yang unik dan penyerapan cahaya rendah membuat bahan ini sebagaicalon yang ideal bahan film konduktif transparan. Sehingga hal ini sangat menarik perhatian dari peneliti untuk menggunakan sifat unik graphene untuk aplikasi teknologi di luar aplikasi FET graphene. Dan karena sifat tersebut maka graphene juga berpeluang sebagai material pengganti Indium Tin Oksida (ITO) [15]. Dan dalam bahasan aplikasi dari graphene akan dibahas berbagai aplikasi yang telah atau sedang dikembangkan tentang pemanfaatan graphene sebagai material konduktif transparan.
d.
Sifat Permukaan Graphene Luas permukaan dari graphene diprediksi sekitar 2600 m2/g, sedangkan dari pengukuran dengan metode BET didapatkan hasil bahwa material graphene mempunyai luas permukaan spesifik pada rentang 270 – 1550 m2/g. Dan dengan luas permukaan yang besar dan juga bentuk dua dimensi maka graphene mempunyai kemampuan menyerap yang sangat baik, sehingga berpeluang digunakan sebagai material penyimpan, misalnya hydrogen ataupun sebagai material sensor [12].
e.
Sifat Magnet Graphene Penelitian tentang sifat magnet dari partikel nanographite telah menarik banyak peneliti. Enoki dkk, menyatakan bahwa kondisi tepi lapis material graphene material yang mengalami peristiwa adsorpsi atau interkalasi memainkan peran penting dalam menentukan sifat-sifat magnetik dari partikelpartikel nanographite. Sifat magnetik dari graphene yang disiapkan dengan metode exfoliation of graphite oxide (pengelupasan oksida grafit), konversi nanointan, penguapan reduksi kimia grafit telah dipelajari oleh banyak pihak dan seluruh sampel menunjukkan sifat histerisis magnet pada temperatur ruang 384
Sifat magnetik dari graphene yang telah diteliti menunjukkan bahwa interaksi feromagnetik yang juga diiringi dengan interaksi antiferromagnetik di semua graphene uji yang fenomenanya mirip dengan kondisi frustrated or phaseseparated systems [12]. Di samping sifat sifat di atas masih ada lagi beberapa sifat unik dari graphene, misalnya kestabilan terhadap termal ataupun mempunyai kestabilan kimia yang baik, sehingga tidak lama lagi kita akan memasuki era material graphene.
26.4 Karakterisasi Graphene Langkah berikutnya setelah kegiatan sintesis material adalah proses karakterisasi yang pada tahap ini bertujuan untuk mengetahui apakah material yang disintesis sudah sesuai dengan tujuan, dan juga mengetahui sifat sifat dari material yang dihasilkan, baik sifat kimia maupun sifat fisika. Beberapa teknik yang biasa digunakan dalam karakterisasi graphene diantaranya adalah SEM, AFM, STM dan Spektroskopi Raman. Prinsip kerja dari beberapa teknik karakterisasi telah diterangkan dalam bab lain dari diktat ini, sehingga penjelasan tentang teknik ini hanya secara singkat saja kecuali akan diterangkan lebih detil tentang teknik Spektroskopi Raman.Tentang teknik karakterisasi tersebut kan diterangkan di bawah ini.
a. Scanning Electron Microscopy (SEM) Karakterisasi menggunakan SEM bertujuan untuk mengetahui morfologi permukaan dari graphene yang dihasilkan. Contoh hasil analisa permukaan graphene hasil sintesis dengan metode CVD yang dikatalisi logam FE adalah seperti di bawah ini :
Gambar. 26.6 Hasil Karakterisasi SEM Pada Material Graphene Yang Dihasilkan [17]
385
Dari hasil karakterisasi SEM didapatkan morfologi permukaan dari graphene yang menyerupai serpihan serpihan besar. Dan kemampuan SEM yang hanya dapat menyediakan data tersebut menyebabkan SEM jarang digunakan pada karakterisasi yang menginginkan gambar objek yang lebih detail.
b. Atomic Force Microscopy (AFM) Karakterisasi dengan metode AFM merupakan salah satu teknik yang efektif dalam mengkarakterisasi morfologi permukaan dari graphene. Ketebalan dari graphene yang sangat tipis dapat dengan mudah dikarakterisasi dengan metode ini dan juga dengan metode AFM dapat juga menduga berapa lapis dari material graphene. Di bawah ini contoh dari karakterisasi graphene dengan AFM.
(a)
(b)
Gambar 26.7. (a). Gambar AFM Graphene Pada Substrat SiO 2 /Si (b). Tebal Graphene Hasil Pengukuran Pada Gambar a [11] Dengan AFM maka kita akan dapat mengetahui tebal dari graphene yang dihasilkan, sebagaimana gambar 26.7 (b) yang merupakan perhitungan tebal graphene yang didasarkan pada gambar AFM yang didapatkan. Dengan AFM kita juga bisa mendapatkan gambar tiga dimensi seperti pada gambar dibawah ini:
386
Gambar 26.8 Gambar AFM Graphene 3 Dimensi [19] Dengan gambar tiga dimensi maka kita dapat menghitung tebal dari graphene yang dihasilkan pada sumbu x, y dan z.
c. Transmission Electron Microscopy (TEM) Kemampuan TEM yang mampu memotret objek objek pada ukuaran nano telah membuat metode ini sangat diperlukan dalam penelitian penelitian sintesis material nano tidak terkecuali material graphene. Dalam penelitian graphene TEM tidak hanya sifat morfologi permukaan saja yang didapat tetapi juga mampu menghitung jumlah lapis dari graphene yang dihasilkan, Hal ini didasarkan bahwa tepi lapis/film graphene dalam keadaan terlipat, sehingga memungkinkan melihat penampang tepi lapis/film. Observasi tepi inilah yang memungkinkan bisa menghitung jumlah lapis dari graphene [11]. Gambar di bawah ini, TEM mampu memperlihatkan jumlah lapis graphene yang diperoleh.
387
Gambar 26.9 Gambar High Magnification TEM Dari Graphene [11] Dari gambar TEM di atas dapat diketahui beberapa lapis dari graphene yang dihasilkan. Pada gambar sebelah kiri dapat diketahui bahwa graphene yang terbentuk adalah lima lapis, sedangkan pada sebelah kanan adalah dua lapis dengan ketebalan sekitar 0.34 nm. Kelebihan dari TEM dibandingkan dengan metode mikroskop lainnya adalah kemampuan melihat objek sampai pada ukuran nano, sehingga TEM banyak digunakan untuk karakterisasi material nano yang dihasilkan. Sedangkan pada gambar 26.10, TEM mampu mengukur ketipisan dari material yang dihasilkan, di mana pada gambar sebelah kiri didapatkan ketipisan sekitar 15 nm dan gambar sebelah kanan adalah 29 nm.
(a)
(b)
Gambar 26.10 Gambar TEM Lapisan Material Graphene. [17] Di samping itu dengan TEM kita juga bisa melihat struktur Kristal graphene secara jelas, sebagaimana pada gambar di bawah ini: 388
Gambar 26.11. Struktur Graphene Dari Analisis TEM [20] Dari hasil analisis tersebut maka TEM mempunyai kemampuan untuk menghitung berapa lapis dari graphene dan juga mampu menggambarkan bentuk Kristal dari graphene seperti pada Gambar 26.11 di mana bentuk molekul dari graphena adalah heksagonal, oleh karenanya dalam publikasi publikasi ilmiah yang terkait dengan sintesis graphene, teknik ini hampir selalu ada untuk mengkarakterisasi dari material yang dihasilkan, di samping teknik teknik yang lain.
d. Scanning Tunneling Microscopy (STM) Di samping TEM, teknik ini juga menjanjikan hasil morfologi yang bagus untuk mengkarakterisasi dari graphene yang diperoleh dari sintesi. Kemampuan STM dalam menggambarkan permukaan graphene dapat dilihat seperti pada gambar di bawah ini :
389
Gambar 26.12 Gambar Graphene Dari STM Beresolusi Tinggi [12] Dari gambar diatas dapat dilihat dengan jelas bagaimana struktur Kristal graphene yang diperoleh yaitu bentuk heksagonal. Gambar lain dari pemotretan graphene dengan STM adalah :
Gambar 26.12 Gambar STM Graphene Pada 6H – SiC [14] Hasil analisis STM mempunyai kemiripan hasil dari teknik TEM, yaitu mampu menggambarkan molekul heksagonal dari graphene, hal ini tentunya dapat memperkaya data data.
e. Spektroskopi Raman Untuk membuktikan apakah material yang disintesis betul ataukah tidak itu: graphene maka teknik spektroskopi raman harus digunakan, karena dengan teknik ini bisa membuktikan hal tersebut. Teknik Spektroskopi Raman sangat intensif digunakan dalam fisika dan kimia untuk mengkaji vibrasi, rotasi, dan sejumlah modus yang menghasilkan frekuensi rendah dalam material. 390
Frekuansi frekuensi tersebut merupakan sifat khas suatu ikatan kimia. Kemampuan teknik spektroskopi Raman dalam mengidentifikasi sangat spesifik sebuah material dan juga mampu digabung dengan teknik analisis lain telah membuka peluang pemanfaatan teknik ini untuk bidang yang luas seperti monitoring reaksi berjalan dan lain lain [1,21,22] Dalam spektrum spektroskopi raman, keberadaan graphene akan identik dengan spektrum pada panjang gelombang 1350 cm -1 (mempunyai intesitas yang rendah), 1580 cm -1 dan 2700 cm -1. Jika ada spektra pada panjang gelombang tersebut maka dapat dipastikan keberadaan dari graphene. Contoh karakterisasi material graphene adalah seperti pada gambar di bawah ini:
Gambar 26.13 Spektrum Raman Dari Graphene Satu Lapis Yang Disintesis Dengan Metode Micromechanical Cleavage. [12]. Dari spektrum di atas dapat diketahui bahwa material graphene akan sangat spesifik pada tiga daerah panjang gelombang. Tiga panjang gelombang itu menandakan bahwa ada tiga modus yang aktif pada material graphene. Dan tiga panjang gelombang ini, nantinya akan menjadi pertanda keberadaan dari material graphene. Apabila dilakukan perbandingan spektrum raman spektroskopi antara grafit dengan graphene maka seperti di bawah ini ;.
391
Gambar. 26.14 Perbandingan Spektrum Spektroskopi Raman Antara Grafit Dengan Graphena [11] Dari gambar di atas maka terdapat perbedaan spectrum grafit dengan graphene yaitu pada panjang gelombang 1500 cm -1, di mana spektrum graphene mempunyai intensitas yang lebih pendek dibandingkan dengan spektrum grafit. Dan pada panjang gelombang sekitar 2700 cm -1 di mana spektrum grafit lebih bergeser ke kana dan lebih lebar. Spektrum khas dari graphene ada pada panjang gelombang 1500 cm -1 yang dikenal sebagai G-band sedangkan panjang gelombang pada 2700 cm -1 yang dikenal dengan 2 D band akan menggambarkan jumlah layer pada graphene. Teknik spektroskopi raman bisa digunakan untuk membandingkan kualitas dari graphene yang dihasilkan pada metode yang berbeda. Gambar di bawah ini spectrum graphene dari hasil sintesis dengan metode CVD dengan sumber hidrokarbon yang berbeda yaitu dengan metana dan etilena
(a)
(b)
Gambar 26.15 Spektrum Graphene Dari Hasil Sintesis Dengan CVD (a) Dari Metana; (b) Dari Etilena [10] 392
Dari hasil spectrum di atas maka dapat dibandingkan kualitas graphene yang dihasilkan dengan membandinghan spectrum pada panjang gelombang 1500 cm -1 sedangkan jumlah lapis yang dihasilkan dapat dilihat pada panjang gelombang 2700 cm -1, yang terlihat jumlah lapis graphene dengan sumber hidrokarbon metana lebih banyak (dilihat dari puncak pada daerah 2700 cm -1 lebih tinggi dan lebih luas sementara puncak pada daerah 1500 cm -1 lebih rendah. Lebih jelasnya perbedaan spectrum Raman pada jumlah lapis graphene dapat dilihat seperti pada gambar di bawah ini ;
Gambar 26.16 Spektrum Raman Beberapa Lapus Dari Material Graphene [11]
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa terjadi perubahan lebar pada spektrum raman yang dihasilkan di mana semakin banyak lapis maka lebar puncak menjadi semakin lebar. Di samping itu spektroskopi raman juga mengidentifikasi pengotor/doping yang terdapat dalam material graphene. Gambar di bawah ini adalah gambar spectrum raman pada nanocomposite Graphene – La 2 Ti 2 O 7 (G-LTO) [23]
Gambar 26.17 Spektrum Raman Pristine Grafit, EG, EG – LTO dan G-LTO[22]
Gambar di atas menunjukkan spectrum Raman dan pristine grafit, Expanded Graphite (EG), Komposit EG – LTO dan komposit Graphene – LTO (G – LTO). Pada spektrum raman G-LTO maka dapat dilihat bahwa terjadi 393
perubahan intensitas dan lebar puncak khas dari graphene, yang hal ini disebabkan karena adanya campuran dari LTO.
f. X-Ray Diffraction (XRD) Salah satu perkembangan penelitian graphene adalah dengan memodifikasi struktur graphene dengan men doping graphene dengan berbagai material lainnya, misalnya logam. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki sifat dan juga menemukan sifat baru yang nanti akan membuka peluang bagi pemanfaatan graphene yang lebih luas. Oleh karenanya apabila graphene di doping atau dicampur (dibuat komposit) dengan oksida oksida logam, maka salah satu teknik analisa yang digunakan adalah XRD. Di bawah ini contok difraksi dari material komposit graphene – oksida besi yang bertujuan untuk mendapatkan sifat magnet pada komposit tersebut [24].
Gambar 26.18 Difraksi XRD (a). Oksida Grafit (b). Oksida Graphene/Fe 3 O 4 (c). Oksida Graphene/Fe 3 O 4 Nanokomposit [23]
Dari hasil XRD dapat diketahui bahwa puncak 2θ = 10.2o identik dengan graphite oksida sedangkan puncak puncak lainnya adalah identik dengan Fe 3 O 4 dan pada hasil analisa ini tidak muncul puncak milik graphene. Di bawah ini difraksi XRD dari material komposit graphene – ZnO [25] :
394
Gambar 26.19 Difraksi XRD Material ZnO; Graphene – ZnO dan Graphene [25]
Dari hasil analisa XRD dapat diketahui bahwa graphene mempunyai difraksi lemah pada daerah 2θ : 44.5 o sedangkan ZnO mempunyai difraksi pada 2θ : 31.6o, 34.4o, 36.1o, 47.3o , 56.3o, 62.6o dan 67.6o [23]. Sedangkan pada difraksi nanokomposit graphene – ZnO puncak puncak tersebut masih muncul walaupun lebar lebar puncak sudah tidak sama yang dimungkinkan karena adanya campuran sehingga pola difraksi berubah. Dari contoh di atas maka dapat disimpulkan bahwa teknik XRD akan berguna sekali tatkala yang disintesis adalah material komposit graphene dengan oksida oksida logam.
g. Metode BET Graphene lapis tunggal diprediksi mempunyai luas permukaan sebesar 2600 m2/g. Untuk mengetahui luas permukaan tersebut maka salah satu metode yang efektif digunakan adalah dengan metode BET [11]. Metode ini dikembangkan oleh Stephen Brunauer, Paul Hugh Emmet dan Edward Teller, sehingga disingkatlah dengan dengan nama metode BET. Metode ini memberikan informasi tentang luas permukaan zat padat, dengan demikian metode ini dapat digunakan untuk memprediksi ukuran rata rata dari partikel padat. Untuk material berpori, luas permukaan spesifik ditentukan oleh porositas zat padat, dengan demikian metode ini dapat juga digunakan untuk menentukan porositas sebuah material [1]. Dari pengukuran dengan metode BET didapatkan hasil bahwa material graphene mempunyai luas permukaan spesifik pada rentang 270 – 1550 m2/g. Apabila sebuah penelitian ingin mengeksploitasi sifat luas permukaan dari graphene maka metode BET cukup bagus menyajikan data dari luas permukaan spesifik dari graphene. Di samping metode karakterisasi di atas, masih ada beberapa metode lagi untuk mengetahui sifat sifat dari graphene yang disintesis. Semua uji tersebut digunakan sesuai dengan rumusan dan tujuan dari penelitian masing
395
masing, dan semua uji sifatnya adalah saling mendukung sehingga dapat diperoleh gambaran hasil graphene yang utuh.
26.5 Aplikasi Graphene Dengan sifat sifat yang superior maka graphene mempunyai peluang untuk diaplikasikan dalam banyak bidang, semisal : nanoelektronik, makroelektronik, dan lain lain. Dalam sub bab ini akan dibahas beberapa dari peluang aplikasi graphene dalam kehidupan sehari hari :
a.
Film Konduktif Transparan Seperti diketahui bahwa graphene adalah mempunya transparansi tinggi di mana satu lapis dari graphene menyerap hanya 2,3% dari cahaya yang masuk dan dengan kombinasi seperti konduktivitas tinggi dan penyerapan cahaya rendah membuat bahan ini calon yang ideal sebagai film konduktif transparan. Material ini berpeluang untuk menggantikan Indium Tin Oxide (ITO) sebagai bahan material konduktor transparan. Hal ini karena ITO mempunyai karakteristik yang kurang bagus karena rapuh dan daya rekat yang lemah dengan plastik [1]. Sedangkan graphene mempunyai kekuatan mekanik yang kuat dan juga memiliki kompabilitas yang bagus dengan polimer sehingga berpeluang menggantikan material ITO. Untuk skala yang lebih luas sintesis graphene dengan teknik chemical vapour deposition dapat dengan mudah ditransfer ke permukaan substrat yang berbeda pada skala besar. Arco, et.al (2009) telah mengembangkan teknik transfer yang memungkinkan transfer dengan efisiensi 100% pada skala besar Pada teknik digunakan lapis tipis poly-metilmetakrilat (PMMA) di mana akan didepositkan graphene hasil sintesis dengan substrat Si/SiO2/Ni. Penghilangan substrat logam dimana graphene disintesis akan menghasilkan lapis PMMA / graphene, yang kemudian ditransfer secara langsung ke substrat transparan seperti kaca dan polyethylene terephthalate (PET). Metode ini dapat diandalkan dan cocok untuk industri semikonduktor [15]. Hasil graphene yang dihasilkan pada berbagai substrat seperti pada gambar di bawah ini:
396
Gambar 26.20 Sintesis Graphene Sebagai Material Konduktif Transparan Pada Substrat Si/SiO 2 dan PET [15] Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa graphene mempunyai tingkat kebeningan dan fleksibilitas yang tinggi sehingga berpeluang menggantikan ITO. Keberadaan ITO saat ini sangat penting karena aplikasinya yang luas dalam dunia industri elektronika semisal industry LCD mememerlukan material kondukrif transparan dan selama ini disupply oleh material ITO akan tetapi harga material ini menjadi yang biasanya adalah ITO.. Di samping graphene juga bisa digunakan untuk bahan penyusun dari OLED (organic lighting emitting diode). OLEDs terdiri dari luminescent struktur organik aktif yang terjepit di antara dua elektroda, dan salah satu material harus transparan. Secara tradisional, indium timah oksida (ITO) digunakan sebagai material transparannya. Akan tetapi keberadaan indium yang jarang, semakin mahal dan tidak bisa diolah menyebabkan banyak pihak mencari material pengganti [26, 27]. Generasi perangkat optoelektronik masa depan memerlukan material elektroda konduktif transparan yang ringan, fleksibel, murah, ramah lingkungan dan kompatibel untuk produksi masal. Dan graphene,merupakan material yang menjanjikan, karena sifat unik listrik dan optik. Baru-baru ini, Junbo Wu dkk., peneliti daru Stanford University, berhasil menunjukkan penerapan graphene di OLEDs untuk pertama kalinya di dunia [27]. Meskipun material graphene menunjukkan sebuah kemungkinan dan keuntungan sebagai material konduktif transparan, akan tetapi kelayakan produksi massal adalah penting untuk aplikasi tersebut. Novoselov mencatat bahwa tidak ada teknologi industri dapat mengandalkan teknik micromechaninal cleavage untuk menghasilkan graphene dalam jumlah yang besar oleh karena itu diperlukan penelitian fundamental tentang sintesis graphene ini.[26]
b.
Graphene Sebagai Produsen dan Penyimpan Energi Dengan adanya isu terus menipisnya sumber energy manusia yanitu minyak bumi telah membuat banyak pihak untuk berpikir mencari sumber energy alternative dan juga teknologi yang ramah terhadap energi. Dan juga 397
menjadi persoalan adalah perangkat yang berhubungan dengan energi mempunyai masalah kinerja yang buruk dan merusak lingkungan. Dengan kondisi seperti ini maka diperlukan sebuah teknologi yang efisien dalam energy dan juga ramah terhadap lingkungan [28]. Upaya upaya telah dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut yang salah satunya adalah dengan teknik elektrokimia. Dan penemuan graphene pada tahun 2004 telah memberikan harapan yang luas pada berbagai pihak terutama kalangan ilmuwan. Hal ini karena sifat sifat superior yang dimiliki oleh graphene. Graphene merupakan salah satu kandidat material yang ideal dalam implementasi aplikasi elektrokimia yang disebabkan karena sifat konduktivitas listrik yang besar, luas permukaan yang luas, kemampuan unik dalam mentransfer elektron heterogen dan mempunyai kecepatan yang bagus dalam membawa muatan. Sifat ini memberikan peluang dalam pemakainan yang luas pada bidang elektro-katalitik dan juga biaya produksi yang rendah[28].
• Superkapasitor Superkapasitor adalah alat yang pasif dan statis yang berfungsi sebagai perangkat penyimpan energi listrik, yang biasanya digunakan dalam banyak bidangi seperti alat elektronik yang portabel ( misal :ponsel), memory back-up system, dan mobil hibrida., di mana sifat isi ulang energinya yang cepat akan menjadi sifat yang berharga berharga. Super-kapasitor memiliki kemampuan daya yang tinggi, fast charge propagation and charge-discharge processes (dalam hitungan detik), mempunyai umur yang panjang (biasanya lebih dari dari 100.000 siklus), membutuhkan perawatan yang renda. Superkapasitor memiliki densitas energi yang lebih besar bila dibandingkan dengan kapasitor konvensional, meskipun memiliki densitas energi yang lebih rendah dibandingkan dengan baterai dan sel bahan bakar [28]. Graphene mempunyai peluang digunakan sebagai kapasitor karena graphene memiliki keunggulan berupa perbandingan luas permukaan terhadap massa yang besar, sehingga menghasilkan nilai kapasitansi per satuan massa mencapai 205 F/gram dan rapat energi 28,5 Wh/kg. dan apabila dihubungkan dengan kecepatan mengalirkan muatan listrik, kapasitor graphene mencapai nilai rapat daya 10 kW/kg [16]. Sehingga graphene berpeluang dijadikan alat pengganti baterai atau alat alat penyimpan energy sejenis. Cara kerja superkapasitors dala menyimpan energi ada dua cara yaitu: dari lapisan double kapasitansi elektrokimia yang dihasilkan dari akumulasi muatan elektrostatik murni pada elektroda dan pseudocapacitance . hal ini disebabkan oleh proses cepat dan dan bersifat reversibel permukaan redoks (surface redox). Keuntungan utama dari supercapacitors dibandingkan dengan dengan baterai adalah material ini mempunyai kapasitas tinggi, kemampuan charge/discaharge yang cepat pada densitas energi yang tinggi dan siklus hidup yang panjang. Namun, kelemahan utama dari generasi superkapasitor 398
saat ini adalah densitas energi yang relatif rendah. Dan masalah peningkatan densitas energi dari supercapasitors telah menjadi topik yang menantang dan menjadi hambatan bagi komersialisasi dari material superkapasitor. Dan salah satu solusinya adalah dengan memanfaatkan bahan elektroda yang mempunyai kapasitansi spesifik lebih tinggi dalam elektrolit organik yang digabungkan dengan pengurangan jumlah pengikat yang tidak aktif [29]. Material karbon mempunyai luas permukaan yang tinggi dan dianggap sebagai bahan elektroda sangat baik untuk superkapasitors. Hal ini karena karbon memiliki kombinasi sifat yang menarik yang diantaranya adalah tidak beracun, mempunyai luas permukaan yang tinggi, konduktivitas listrik yang baik, stabil secara kimia dan termal serta harga yang relatif rendah. Berbagai bahan karbon seperti karbon aktif, karbon nanofiber, grafit, Karbon nanotube, dan karbon aerogel, telah diselidiki pemanfaatannya. Karbon aktif merupakan material yang paling banyak digunakan karena luas permukaan yang sangat tinggi yang bisa mencapai 3000 m2/g, dengan harga yang murah, mempunyai kapasitansi tinggi dan siklus hidup yang panjang. Namun, karbon aktif mempunyai konduktivitas listrik rendah dan resistensi yang tinggi terhadap transpor ion. Hal ini karena karbon aktif mempunyai struktur pori yang kompleks, sehingga superkapasitor dari karbon aktif menghasilkan kapasitansi spesifik yang kecil sehingga pemanfaatannya menjadi terbatas[29]. Salah satu alotrop karbon lainnya yaitu graphene mempunyai peluang sebagai solusi permasalahan dari karbon aktif. Graphene adalah lembaran satu lapis dari material karbon. Dan lembaran lembaran ini dapat disusun bertumpuk tumpuk. Lembaran graphene tunggal dan beberapa-lapis graphene memiliki sifat yang luar biasa seperti luas permukaan yang tinggi, kekakuan unggul, kekuatan, konduktivitas termal dan listrik, transportasi sifat elektronik, kimia dan kestabilan termal, dll, sebagaimana dijelaskan di awal sehingga material ini memenuhi persyaratan sebagai material maju tidak hanya sebagai elektroda tetapi juga sebagai bahan penyimpan energy. Namun, berbeda dengan material karbon lainnya yang juga mempunyai luas permukaan yang tinggi, graphene memiliki luas permukaan efektif terdiri dari lapisan datar terbuka, permukaan tidak terdiri dari pori-pori yang kompleks. Oleh karena itu, kemampuan transport ion nya jauh lebih tinggi daripada karbon aktif. Penemuan ini telah membuat pengembangan superkapasitor dari bahan graphene menjadi sedemikian menarik yang didukung dengan kombinasi sifat yang superior yang diantaranya menpunyai densitas daya tinggi dan densitas energy yang tinggi telah membuka bagi aplikasi aplikasi lainnya seperti polimer nanokomposit, perangkat LCD , sensor, transistor, actuator yang fleksibel [29]. Beberapa penelitian tentang pemanfaatan graphene sebagai superkapasitor telah dipublikasikan beberarapa pihak yang diantaranya adalah Vivekchand et al dimana graphene yang diperoleh dari pengelupasan termal (exfoliated thermally) mempunyai kapasitansi spesifik 117 F/g. Wang et al.dan Stoller et al. melaporkan kapasitansi spesifik 205 F/g (tidak termasuk pengikat tidak aktif 10%) pada 100 mA/g dan 135 F/g (termasuk pengikat aktif 3%) 399
pada 10 mA/g pada material oksida graphene yang direduksi dengan hidrazin hidrat selama 72 dan 24 jam. Chen et al, melaporkan nilai kapasitansi 164 F/g dengan kecepatan scan 10 mV/s pada material elektroforesis graphene nanosheet yang diendapkan pada busa nikel. Semua hasil penelitian ini telah memperlihatkan prospek graphene sebagai superkapasitor [29].
• Graphene Sebagai Baterai/Li-ion Storage. Saat ini kita mengenal bacteria isi ulang yang berbasis pada material Lithium (Li). Dan pada beberapa laporan penelitian telah dilaporkan tentang peluang penggunaan graphene sebagai elektroda pada baterai tersebut mempunyai sifat yang istimewa. Seperti halnya superkapasitors, bahwa permintaan baterai Li-Ion dari tahun ke tahun selalu meningkat dan juga permintaan akan kemampuan menyimpan energi yang lebih lama dan juga siklus hidup yang meningkat, itu semua berkaitan dengan perkembangan dunia industri elektronika dan telekomunikasi yang berkembang sedemikian cepat. misalnya telepon selular, komputer tablet ataupun mobil listrik. Baterai Li-ion adalah baterai dapat menyimpan energi listrik dalam jangka waktu yang panjang, dan salah satu faktor yang mempengaruhi sifatnya adalah kualitas bahan elektroda (anoda/katoda), di samping faktor lainnya. Dan salah satu usaha untuk memperbaiki performa dari baterai, maka salah satu jalannya adalah memperbaiki kualitas dari elektroda yang digunakan[29] Dan material yang berpeluang untuk menggantikan grafit sebagai elektroda adalah graphene, di mana material ini memiliki beberapa sifat yang bagus. Banyak penelitian yang telah meneliti kemungkinan ini dan didapatkan hasil bahwa elektroda berbasis graphene untuk memiliki kapasitas lebih tinggi daripada bahan elektroda lainnya (termasuk grafit). Satu satu laporan menyatakan bawa tepi bidang dua dimensi graphene adsorpsi dan difusi Li-ion membantu Li-ion yang berakibat pada pengurangan waktu pengisian dan meningkatkan output daya dari baterai [29]. •
Miscellaneous Energy Storage Sevices (solar power) Salah satu pengembangan dari pemanfaatan graphene adalah sebagai komponen perangkat divais sel surya, di mana energi matahari dirubah menjadi energi listrik. Baru baru ini Chang et al. mengembangkan sebuah sel baru fotoelektrokimia (PEC) yang tersusun atas nanokomposit dari graphene/poli (3-oktil-tiofena)(POT). Sel ini digunakan sebagai sel photovoltaic yang akan merubah energi matahari menjadi energy listrik. Komposit ini diyakini sebagai platform/model bagi pengembangan teknologi sel surya dan fotodetektor di masa masa mendatang. Chang et al. juga menunjukkan bahwa doping graphene dalam film POT akan secara signifikan meningkatkan kinerja dari sel foto elektrokimia. Selain itu, resistensi transfer elektron dari nanokomposit graphene/POT menurun secara signifikan. Komposit ini telah menunjukkan bahwa graphene dapat berfungsi sebagai platform/model yang menjanjikan 400
untuk konversi energi surya di masa depan. Dari penelitian juga telah dicatat bahwa kinerja dari sel fotoeletrokimia tergantung pada jumlah dan morfologi dari graphene. Efisiensi tertinggi diperoleh pada kandungan graphene sebanyak 5% berat dalam nanokomposit.
• Graphene Sebagai Sel Pembangkit Energi Selain peluang yang sangat besar dari graphene sebagai material penyimpan energi. Graphene juga memberikan dampak yang luar biasa dalam fabrikasi dan aplikasi perangkat pembangkit energi. Dengan permasalahan iklim dunia dan menipisnya sumber sumber energy yang tak terbarukan maka pencarian sumber pengganti menjadi sebuah topik besar bagi semua kalangan. Salah satu alternative untuk mengatasi masalah itu adalah pada pengembangan fuel cell dan salah satu jalan pengembangannya adalah dengan mencari elektroda yang bagus. Graphene telah menarik minat banyak pihak sebagai bahan elektroda pada fuel cell karena memiliki luas permukaan yang besar, mempunyai konduktivitas listrik yang unik dan biaya produksi yang rendah.
c.
Graphene Sebagai Penyimpan Hidrogen Hidrogen juga merupakan salah satu sumber energi masa depan dan penelitian tentang pemanfaatan hydrogen sebagai sumber energy juga sangat marak. Hal ini juga tidak terlepas karena semakin menipisnya sumber sumber energy yang tak terbarukan. Di samping pengembangan sel bahan bakar dengan sumbernya hydrogen, maka salah satu tantangan yang harus diselesaikan adalah metode dari penyimpanan hydrogen. Graphene mempunyai peluang sebagai material penyimpan hydrogen, hal ini karena graphene mempunyai luas permukaaan yang besar yaitu 2600 m2/g. Graphene mempunyai kemampuan mengikat molekul H 2 dengan mekanisme kemisorpsi. Dari berbagai penelitian didapatkan hasil bahwa graphene dapat menyimpan hidrogen sekitar 5 wt % dalam jangka waktu yang lama.
d.
Graphene Sebagai Sensor Kimia dan Fisika Sistem untuk mendeteksi biomolekul sederhana telah menjadi semakin penting dalam bidang ilmu ilmu alam. Metode yang banyak dipakai adalah dengan deteksi optic yang digunakan dalam sistem biosensor konvensional. Meskipun sistem deteksi optik mempunyai kesensitifan yang tinggi tapi metode ini memerlukan biaya yang mahal dan juga teknik instrumentasi yang kompleks. Sistem deteksi biomolekul dengan menggunakan nanomaterials seperti silikon nanowiress dan karbon nanotube karbon telah menjadi satu bahasan yang intensif dalam satu dekade ini yang berusaha dikembangkan menjadi biochip. Di antara teknik-teknik biosensing yang ada maka teknik yang menggunakan karbon nanotube menjadi salah satu kandidat yang paling menjanjikan. Hal ini karena aspek rasio tinggi dan sifat listrik yang baik. 401
Beberapa biosensor berbasis pada teknologi karbon nanotube telah dilaporkan banyak pihak yang diantaranya adalah sensor bisphenol oleh Sánchez-Acevedo et al, (20026.), Sensor kanker prostat oleh Kim et al, (2009) dan Okuno et al, ( (2007) dan banyak lagi. Dalam salah satu usaha untuk memperbaiki performa dari sensor yang dihasilkan adalah dengan mengontrol diameter karbon nanotube karbon hal ini karena sifat listrik dari karbon nanotube karbon sangat tergantung pada diameter. Dan masalah ini masih belum bisa ditangani dengan baik [30] Material yang bisa memecahkan persoalan yang dimiliki oleh karbon nanotube diatas adalah graphene. Material Graphene tergolong sebagai semikonduktor zero gap di mana pita konduksi dan pita valensi terhubung pada titik K-. Oleh karena itu, karakteristik transport elektron graphene menunjukkan perilaku khas ambipolar dengan konduktivitas minimum yang tinggi. Graphene lapis tunggal memiliki kecepatan mobilitas electron yang sangat tinggi (> 20.000 cm2/Vs pada suhu kamar) dengan konsentrasi pembawa besar (~ 1012 cm-2); dan juga graphene merupakan materi yang sangat stabil. Sehingga graphene diharapkan memiliki aplikasi yang potensial sebagai material masa depan “High Speed Logic device”. Beberapa sensor kimia dan biologi berbasis graphene telah banyak dilaporkan dalam beberapa tahun terakhir. Contohnya adalah sensor menggunakan oksida graphene atau graphene telah dikembangkan untuk mendeteksi glukosa, sensor pH dan lain lain. Salah satu usaha untuk memperbaiki sifat dari sebuah material adalah dengan melakukan pendoping an dengan unsur/material lain. Dengan doping maka kita akan dapat memodifikasi bahan intrinsik, sifat elektronik, memanipulasi sifat kimia permukaan, dan menghasilkan perubahan lokal. Pada material karbon, pendoping an akan meningkatkan densitas pembawa muatan bebas dan akan meningkatkan konduktivitas listrik atau termal. Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk men doping material graphene dengan material lain dan menurut kajian teoritis dengan mendoping dengan unsure logam maka akan terjadi pergeseran tingkan energi Fermi dari tipe-P ke tipe – N. Dan salah satu unsur yang terbaik digunakan untuk pendopingan adalah nitrogen, karena memiliki ukuran atom yang sebanding dengan karbon dan mempunyai lima elektron valensi yang dapat berikatan dengan kuat dengan atom karbon. Dalam penelitian terdahulu, pendoping-an dengan nitrogen pada karbon nanotube (CNT) telah berhasil memodifikasi sifat listrik atau strukturalnya. Wang Ying et. al (2010) telah melaporkan graphene yang di doping dengan atom nitrogen dan digunakan sebagai biosensor. Dari penelitiannya didapatkan hasil bahwa graphene yang didoping dengan nitrogen mempunyai aktivitas elektrokatalitik yang baik dalam mereduksi asam peroksida dan juga mempunyai kesensitifan dan selektifitas yang tinggi untuk senyawa glukosa [31].
402
e.
Material Hibrid Graphene – DNA Dalam beberapa dekade terakhir, nanoteknologi dan bioteknologi telah berubah menjadi topik hangat yang penting dari penelitian interdisipliner yang salah satunya teknologi penggabungan berbagai komponen bahan molekul, anorganik, dan biologi dengan menggunakanteknik-teknik modern. Di antara berbagai biomolekul yang diteliti, DNA menerima perhatian khusus karena merupakan mempunyai fungsi yang signifikan terhadap makhluk hidup. DNA telah banyak diteliti dan aplikasinya salah satunya adalah penggabungan DNA dengan bahan bahan lainnya khususnya nanopartikel [32]. Beberapa dekade terakhir penelitian nanomaterials berbasis karbon nanomaterials seperti karbon nanotubes (CNT), fullerene,dan graphene telah banyak diteliti orang. Dan graphene telah banyak membuat peneliti terpesona karena menyediakan area deteksi yang besar, biokompatibilitas, dan sifat elektronik yang unik dan juga biaya sintesis yang murah. Oleh karena itu, apabila DNA dan graphene digabung menjadi material hibrid maka akan memberikan sebuah peluang bagi pemanfaatan bagi bidang bidang lain seperti biosensor sensitif atau biochip. Ide tentang material hibrid graphene- DNA adalah sebuah ide yang baru dan memberikan peluang bagi pengembangan ilmu pengetahuan karena berusaha menggabungkan sifat unik dari graphene dan juga DNA [32]. Di bawah ini beberapa kemungkian model sintesis material hybrid graphene – DNA ;
Gambar 26.21 Pendekatan yang berbeda Dalam Sintesis Material Hibrid graphene-DNA [32] 403
f. Graphene Sebagai Microactuator Microactuators, adalah material yang mampu mengkonversi energi listrik menjadi energi mekanik. Aplikasi dari material ini telah menarik perhatian banyak pihak yang diantaranya digunakan sebagai material biomimetik, seperti serangga, gerakan seperti otot, robot terbang dan lain lain. Berbagai bahan anorganik seperti keramik piezoelektrik telah diteliti sebagai actuators. Akan tetapi mempunyai kekurangan pada suhu operasi yang tinggi dan batasan tegangan telah membatasi untuk aplikasi yang lebih luas. Di sisi lain, mikroaktuator berbahan polimer seperti elastomer dielektrik, polimer terkonjugasi, dan polimer gel memiliki keunggulan, seperti fleksibilitas, ringan, dan transparan. Akan tetapi mempunyai kekurangan yaitu : respons yang lambat, siklus hidup yang pendek, dan efisiensi nya rendah. Dan yang lebih penting lagi, ada kesulitan dalam metode fabrikasi mereka. Dengan sifat sifat unik graphene maka material ini juga mempunyai peluang digunakan sebagai microaktuator. Zhou, S.E, et all. (2011) telah mencoba mengembangakan graphene sebagai material microaktuator dan mendapatkan hasil yang bagus [33].
g. Graphene Flash Memory Graphene memiliki potensi sebagai flash memory yang kinerjanya jauh lebih besar daripada flash memory saat ini. Kemampuan ini dapatkan dengan memanfaatkan sifat intrinsik yang luar biasa dari graphene, seperti densitas elektro yang tinggi dan mempunyai dimensi yang rendah Pada penelitian didapatkan hasil bahwa oksida graphene, mempunyai kemampuan yang efektif dalam menyimpan muatan dalan CT (charge trap) devices. Dalam bentuk alami semimetal, graphene dapat bertindak sebagai gerbang mengambang di FG divais. Hong, J.A, et all (2011) telah melakukan penelitian tentang kemungkinan graphene sebagai flash memory [34]. .
DAFTAR PUSTAKA [1] Abdullah Mikrajuddin, 2009, Pengantar Nanosains Penerbit ITB, Bandung [2] Holister Paul, Roman Christina, dan Harpet Tim, 2003, Fullerenes, Cientifica [3] http://nature.ca/discover/treasures/min/tr3/diawn_e.cfm [4] http://www.answers.com/topic/fullerene 5] http://homepage.mac.com/jhgowen/research/nanotube_page/nanotubes.html [6] Geim, A dan Novoselov, K. 2007, The Rise of Graphene, Nature Material Vol 6 March 2007. 404
[7] ] http://en.wikipedia.org/wiki/Graphene [8]
Boris Torres www.engineer.tamuk.edu/ departments/ ieen/ faculty/ drlpeel/ Courses/ Meen3344 /
[9] http://www.funenclave.com [10] Matte, H.S.S.S.R, Subrahmanyam, K.S, Rao, CNR, 2011, Synthetic Aspects and Selected Properties of Graphene, Nanomater. Nanotechnol, 2011, vol 1, no 1, 3 – 13. [11] Dong Liang- Xu, dan Chen Qiang, 2010, Properties, Synthesis, and Characterization of Graphene, Front. Mater. Sci. China, 4(1): 45–51 [12] Rao N.R, K. Subrahmanyam K.S, Matte, H.S.S.R dan Govindaraj A, Graphene: Synthesis, Functionalization and Properties, Graphene And Its Fascinating Attributes ©World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd. http;//www.worldscibook.com/physics/7989.html. [13] http://www.specs.de/cms/front_content.php?idart=523 [14] Ni Z.H, et.al, 2008, Raman Spectroscopy of Epitaxial Graphene on a SiC Substrate, Physical Review B 77, 115416 [15] De Arco Lewis Gomes, Zhang Yi dan Zhou Chongwu , 2011, Large Scale Graphene by Chemical Vapor Deposition: Synthesis, Characterization and Applications, in Graphene – Synthesis, Characterization, Properties And Application Edited by Jian Ru Gong , Intechweb.org ISBN 978-953-307-292-0 [16] Eko Widiatmoko, Sifat, Fabrikasi dan Aplikasinya, di http://102fmitb.org/uploads/Graphene.pdf [17] An Hyosub, Lee Won Jun, Jung Jongwang, 2011, Graphene synthesis on Fe foil using thermal CVD, Current Applied Physics 11 (2011) S81- S85 [18]
Gersten
Bonnie, Solvothermal Synthesis of Nanoparticles http://www.sigmaaldrich.com/technicaldocuments/articles/chemfiles/solvothermal-synthesis.html.
di
[19] Li Qianwen, Wang Liangbiao, Zhu Yongchun, Qian Ytai, 2011, Solvothermal synthesis of graphene sheets at 300 °C, Materials Letters 65 (2011) 2410–2412. [20] Qia,J.L, W.T. Zheng, W.T, Zheng X.H, Wang X, dan Tian, H.W, 2011, Relatively Low Temperature Synthesis of Graphene by Radio Frequency Plasma Enhanced Chemical Vapor Deposition, Applied Surface Science 257 (2011) 6531–6534 [21] West, A.R, 1992, Solid State Chemistry and Its Application, John Wiley and Sons, P : 71 [22] Lyon, l. Andrew, et.al, 1998, Raman Spektroskopi, Analytical Chemistry, 70 341R -361R.
405
[23] Wua
Chun Hui, et.al, 2011, Synthesis and photocatalytic properties of the graphene–La 2 Ti 2 O 7 nanocomposites, Chemical Engineering Journal 178 (2011) 468– 474
[24] Shena Xiaoping, , Wua Jili, Baia Song, Zhou Hu, 2011 One-pot Solvothermal syntheses and Magnetic Properties of Graphene-Based Magnetic Nanocomposites, Journal of Alloys and Compounds 506 (2010) 136– 140 [25] Lu Ting, et.al, 2011, Microwave-assisted synthesis of graphene–ZnO Nanocomposite for Electrochemical Supercapacitors, Journal of Alloys and Compounds 509 (2011) 5488–5492 [26] http://www.nanowerk.com/spotlight/spotid=5453.php [27] http://www.grapheneworld.org/ [28] Dale A.C. Brownson, Dimitrios K. Kampouris, Craig E. Banks, Review An overview of graphene in energy production and storage applications, Journal of Power Sources 196 (2011) 4873–4885 [29] Inhwan Do dan Lawrence T. Drzal, Nanosized Thin Graphene (NTG) Application for Energy Generation and Storage Devices – Supercapacitors http://www.xgsciences.com/docs/Energy%20Application%20Overvie w.pdf. [30] Ohno Yasuhide, Maehashi Kenzo, dan Matsumoto Kazuhike, 2010, Short communication Chemical and Biological Sensing Applications Based on Graphene Field-Effect Transistors, Biosensors and Bioelectronics 26 (2010) 1727–1730. [31] Wang Ying, et.al, 2010, Nitrogen – Doped Graphene and Its Application in Electrochemical Biosensing, ACS Nano vol 4 no 4 p. 1790 - 1798 [32] Thathan Premkumara, Kurt E. Geckelera, 2011, Review Graphene–DNA hybrid materials: Assembly, applications, and prospects, Progress in Polymer Science xxx (2011) xxx– xxx [33] Zhou, S.E, et all, 2011, Grapehene Based Bimorp Microactuator, Nanoletters, 2011, 11, 977 – 981 [34] Hong, J.A, et al, 2011, Graphene Flash Memory, ACS Nano vol XXX no XXX
406
Bab 27 Karakterisasi Sifat Mekanik Nanokomposit Logam Oleh: Deny Hardiansyah
27.1 NANO KOMPOSIT [1],[5] Nano sains dan nano teknologi adalah ilmu yang mempelajari control dari ukuran suatu material dalam tataran atomic, molekuler dan makro molekuler dengan skala panjang sekitar 1 sampai 100 nano meter. Ilmu ini mencakup desain, karakterisasi , produksi, dan aplikasi dari struktur, devais dan system dengan mengontrol ukuran serta bentuknya. Braun dalam tulisannya menyatakan dari tahun 1980 studi tentang nano sangat berkembang pesat sampai sekarang. Dari semua yang dikerjakan, mengkarakterisasi serta memodelkan sifat mekanik dari bahan nano komposit sangat penting sekali untuk dibahas. Menurut Prof. Mikrajuddin pada salah satu buku nya menyatakan bahwa nanokomposit adalah suatu bahan yang merupakan kombinasi dari satu atau lebih komponen yang salah satunya berskala nanometer. Dikenal dua istilah dalam pembuatan material nanokomposit ini, ada yang disebut sebagai matrik dan ada yang disebut sebagai filler. Dapat dinyatakan bahwa material nanokomposit adalah suatu material yang dibuat dengan mendispersikan material matrik dengan satu atau lebih filler berukuran nano untuk meningkatkan performanya.Bidang material nanokomposit sangat diminati saat ini dikarenakan kegunaannya yang sangat luas. Material yang dapat digunakan sebagai matrik diantaranya adalah : 1. Polimer, contohnya adalah : epoxy, nylon, dan polyepoxide. 2. Keramik, contohnya adalah : kaca, porselen, dan alumina. 3. Logam, contohnya adalah : Besi, titanium dan magnesium. Sedangkan filler yang berupa nanopartikel secara umum mempunyai dimensi (contohnya diameter dan ketebalan) lebih kecil dari 100 nano. Berdasarkan geometrinya, nanomaterial terdiri dari : 1. Partikel nano : bentuk nano dari material biasanya berupa partikel bola padat,dimana mempunyai geometri 3 dimensi. 2. Nano tube : geometri tiga dimensi dimana dua dimensi dalam ukuran nano dan dimensi ketiga lebih besar, menghasilkan struktur elongasi yang disebut nano tube atau nanorods 3. Nano layer : partikel yang terkarakterisasi hanya 1 dimensi berukuran nano dan dua dimensi yang lainnya lebih besar. Partikel ini tergambarkan sebagai lapisan dengan ketebalan beberapa nanometer sampai ratusan nano meter. 407
Untuk lebih manggambarkan diatasperhatikan gambar 1
bagaimana
bentuk
dari
nanomaterial
tersebut
1nm
Nano layer Nano tubes <100nm
>100nm
<100nm
3D nanoparticle
Gambar 27.1. Jenis-jenis nanomaterial berdasarkan geometrinya
Dalam pembuatan material nano komposit ini, prosentase banyaknya filler terhadap volume keseluruhan adalah sekitar 0,5-5% saja. Hal ini disebabkan terlalu banyaknya filler yang digunakan dapat menurunkan kembali sifat unggul yang dimiliki oleh material nano komposit tersebut. Karena diharapkan sifat material filler tidak lebih dominan terhadap sifat dari matrik itu sendiri. Adapun keunggulan dari material nanokomposit ini sehingga banyak dipelajari adalah : 1. Sifat mekanik 2. Permeabilitas 3. Stabilitas termal 4. Daya tahan terhadap api 5. Konduktivitas listrik 408
6. Transparansi optik,dll Telah banyak diketahui bahwa nanokomposit lebih baik dari segi sifat mekaniknya terhadap material komposit tradisional. Pendispersian dari nano material ternyata dapat meningkatkan sifat mekanik suatu bahan secara signifikan. Telah banyak sekali hasil penelitian yang menggambarkan hal tersebut sampai pengaplikasiannya dalam berbagai bidang ilmu terapan. Di dalam nanokomposit, terdapat beberapa orientasi filler yang dapat dilihat berdasarkan gambar dibawah ini
b. Aligned
a. Aligned b
c. Randomly oriented d. Particulat fb Gambar 27.2. Jenis-jenis orientasi filler dalam matrik
Model mekanika popular yang dapat memprediksi besar modulus young suatu nano komposit diantaranya adalah : Voigt upper bound and Reuss lower bound (V-R model) Asumsikan aligned fiber mempunyai regangan seragam pada arah orientasi fiber, Voigt merumuskan untuk mendapatkan besarnya modulus elastic dalam arah fiber yaitu : 𝐸𝐸𝐿𝐿 = 𝜙𝜙𝐸𝐸𝑓𝑓 + (1 − 𝜙𝜙)𝐸𝐸𝑖𝑖
………………………………..(1)
Sedangkan Reuss merumuskan modulus young dalam arah tranversal fiber yaitu : 1
𝐸𝐸𝐿𝐿
=
𝜙𝜙
𝐸𝐸𝑓𝑓
+
(1−𝜙𝜙) 𝐸𝐸𝑖𝑖
………………………………..(2) 409
Dimana : 𝛷𝛷 = fraksi volume
𝐸𝐸𝐿𝐿 = modulus elastic longitudinal
𝐸𝐸𝑇𝑇 = modulus elastic transversal 𝐸𝐸𝑖𝑖 =modulus elastic matrik 𝐸𝐸𝑓𝑓 = modulus elastic filler
Halpin-Tsai model (H-T model)
Halpin Tsai untuk model aligned fiber juga telah membuat perumusan untuk memprediksi besarnya modulus elastik dari bahan nanokomposit yang telah dibuat. Adapun perumusan tersebut adalah : 𝐸𝐸𝐿𝐿 =
𝐸𝐸𝑇𝑇 = 𝜇𝜇𝐿𝐿 =
𝑙𝑙 𝑑𝑑
1+2( )𝜙𝜙𝜇𝜇 𝐿𝐿 1−𝜙𝜙𝜇𝜇 𝐿𝐿
1+2𝜙𝜙𝜇𝜇 𝑇𝑇 1−𝜙𝜙 𝜇𝜇 𝑇𝑇
𝐸𝐸𝑓𝑓− 𝐸𝐸𝑚𝑚 𝑙𝑙 𝑑𝑑
𝐸𝐸𝑚𝑚
𝐸𝐸𝑚𝑚
𝐸𝐸𝑓𝑓− 2( )𝐸𝐸𝑚𝑚 𝐸𝐸𝑓𝑓 − 𝐸𝐸𝑚𝑚
𝜇𝜇 𝑇𝑇 = 𝐸𝐸
𝑓𝑓− 2𝐸𝐸𝑚𝑚
………………………………..(3) ………………………………..(4) ………………………………..(5) ………………………………..(6)
Dimana :
𝛷𝛷 = fraksi volume
𝐸𝐸𝐿𝐿 = modulus elastic longitudinal
𝐸𝐸𝑇𝑇 = modulus elastic transversal 𝐸𝐸𝑖𝑖 =modulus elastic matrik 𝐸𝐸𝑓𝑓 = modulus elastic filler
d= diameter nanopartikel l= panjang nanopartikel
selain model-model tersebut diatas, terdapat pula model lainnya yang dapat memprediksi besarnya modulus elastic suatu bahan nanokomposit,yaitu : Hashin and Shtrikman upper and lower bounds (H-S model) Hui-Shia model (H-S model) 410
Wang-Pyrz model (W-P model) Cox model (Shear lag model)
27.2 KARAKTERISASI NANOKOMPOSIT[7] Dalam mengkarakterisasi sifat mekanik suatu bahan nanokomposit yang telah disintesis, ada beberapa cara bergantung sifat mekanik apa yang diuji. Diantara beberapa jenis uji sifat mekanik yaitu : 1. Tensile and flexural tests (kebanyakan dilakukan dengan mesin instron), 2. Impact tests (dilakukan dengan mesin tes pendulum) 3. Micro-compression tests 4. Nanoindentation test pada pembahasan kali ini, akan lebih dijelaskan bagaimana cara mengkarakterisasi menggunakan Tensile and flexural tests Untukmengetahuisifat-sifatsuatubahan khususnya nanokomposit,tentukitaharusmengadakanpengujianterhadapbahantersebut. Sifatmekanikbahanadalah:hubunganantararesponsataudeformasibahan terhadapbebanyangbekerja. Adaempatjenisujicobayangbiasadilakukan,yaituujitarik(tensiletest),ujitekan(compressiontest),uji torsi(torsiontest),danujigeser(sheartest).Dalamtulisaninikitaakanmembahastentangujitarikdan sifatsifatmekanik logamyang didapatkan dariinterpretasi hasil ujitarik. Sifatmekanikbahanadalah:hubunganantararesponsataudeformasibahan terhadapbebanyangbekerja. Sebelum kita bahas mengenai jenis uji sifat menanik bahan, marilah kita memepelajari terlebih dahulu konsep benda elastic, benda plastic, tegangan dan regangan. Pegas dan karet adalah contoh benda elastic. Sifat elastik adalah kemampuan suatu benda untuk kembali ke bentuk awalnya segera setelah gaya luar yang diberikan kepada benda itu diilangkan. Benda lain, contohnya tanah liat tidak akan kembali kebentuk semulanya disebut benda plastis. Besarnya gaya yang diberikan harus sama dan mempunyai arah kerja berlawanan sehingga dapat menghasilkan deformasi atau perubahan bentuk benda. Berdasarkan orientasi arah dan letak kerja gaya, tegangan dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: 1. Tegangan tarik adalah perubahan bentuk yang terjadi jika kedua gaya yang sama besar dan berlawanan arah diberikan pada masng-masing bidang ujung benda dengan arah menjauhi benda.
411
F
L
L0
ΔL0/2 F
Gambar 27.3. Tegangan tarik 2. Tegangan Mampat(Mampatan) adalah perubahan bentuk yang terjadi jika kedua gaya yang sama besar dan berlawanan arah diberikan pada masing-masing bidang ujung benda dengan arah menuju titik pusat benda
F ΔL0/2 L0
L
F
Gambar 27.4. Tegangan mampat
3. Geseran adalah perubahan bentuk yang terjadi jika dua buah gaya yang sama besar dan berlawanan arah diberikan pada masing-masing sisi benda,sehingga benda mengalami pergeseran delta L
412
F
F
Gambar 27.5. Tegangan geser Adapun perumusan secara umum untuk tegangan adalah : 𝑃𝑃 =
𝐹𝐹
𝐴𝐴
………………………………..(7)
Satuan dari tegangan adalah Nm-2 atau pascal,sedangkan dimensinya adalah ML-1T-2 Saat kita memberikan tegangan pada suatu benda elastic,akan menyebabkan benda tersebut mengalami perubahan panjang,oleh sebab itu didefinisikan konsep regangan. Regangan adalah hasil bagi antara antara pertambahan panjang dengan panjang awalnya ∆𝐿𝐿
𝑒𝑒 = ………………………………..(8) 𝐿𝐿 Karena merupakan perbandingan dari dua besaran yang memiliki satuan yang sama sehingga regangan tidak memiliki satuan atau tidak berdimensi. Secara umum untuk suatu bahan elastic, perbandingan antara tegangan dan regangan untuk suatu bahan yang disebut modulus elstik akan sebanding jika berada pada daerah elastic dan menjadi pembeda dengan daerah plastic. Hal ini disebabkan suatu benda elastic akan berubah sifatnya jika diberikan gaya atau tegangan yang terlalu besar. Pada saat ini terjadi, tegangan yang diberikan dapat memutus atau mengalahkan besar gaya ikatan antar atom pada benda tersebut.berikut ini akan dijelaskan mengenai uji tarik dan variable sifat mekanik yang dapat digambarkan oleh hasil uji tarik tersebut.
27.3 UJI TARIK [7] Ujitarikmungkinadalah carapengujianbahan yangpalingmendasar dan mudah untuk dilakukan. Pengujian inisangatsederhana, tidak mahal dan sudah mengalami standarisasi di seluruh dunia. Dengan menarik suatu bahan melalui standarisasi tertentu kita akan segera mengetahui bagaimana bahan tersebutbereaksiterhadap tenagatarikan dan mengetahui 413
sejauhmanamaterialitubertambahpanjang. Adapun alat yang digunakan untuk uji tarik ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini
Gambar 27.6. Alat uji tarik [7] Bahan yang diuji tarik, secara detail tiga dimensi digambarkan berikut ini
Gambar 27.7.perubahan panjang secara 3 dimensi dari uji tarik[7] Jikateganganpadasumbuz maka pada arah sumbu z terjadi perpanjangan, pada arah sumbu x perpendekan dan pada sumbu y perpendekan juga.Perbandinganantararegangantegaklurusterhadapreganganaksialdisebutrasiopoisson,ν.Bahanis otropik , νbiasanya=1/4. Sedangkan 414
………………………………..(9)
metaldancampurannya,ν=0.25s/d0.35.Modulusgeserdanmoduluselastikdihubungkandenganmemak airasio poissonsbb: 𝐸𝐸 = 2𝐺𝐺(1 + 𝑣𝑣)
Banyakhalyangdapatkitapelajari khususnya mengenai sifat-sifat mekanik bahan, darihasilujitarik.Bilakitaterusmenariksuatubahan(dalamhalini adalah suatu bahan nanokomposit logam)sampaiputus,kitaakanmendapatkanprofiltarikanyanglengkapyangberupakurvaseperti digambarkan pada
spesimen
Tegangan tarik maksimum Titik luluh
Titik putus
Deformasi lokal
putus
Gambar 27.8. Spesimen yang dikenai uji tarik (kiri) dan hasil grafik gaya tarik terhadap pertambahan panjang dari uji tarik (kanan) [7]
Biasanya yang menjadi tujuan utama studi jenis uji ini adalah untuk mengetaui tegangan tarik maksimum (ultimate tensile strength) suatu bahan. Dapat dilihat pada gambar grafik diatas, saat awal penarikan kurva menghasilkan suatu daerah yang mengindikasikan hubungan linear antara pertambahan panjang seiring dengan bertambahnya gaya tarik yang diberikan terhadap bahan tersebut. Pada daerah ini disebut sebagai daerah bekerjanya hokum Hooke. Dapat dirumuskan modulus elastic bahan dari keberlakuan hokum hooke ini dengan rumus : 𝐸𝐸 =
𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡
𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟
𝐹𝐹�
= ∆𝐿𝐿 𝐴𝐴
�𝐿𝐿 0
………………………………..(10)
Dari rumus diatas, karena besarnya luasan tempat gaya bekerja serta panjang awal besarnya konstan maka dapat disimpulkan nilai modulus elatik adalah perbandingan antara perubahan gaya dan perubahan panjang di kalikan dengan konstanta.
415
Dalam melakukan uji tarik, digunakan standarisasi bentuk dan ukuran specimen yang digunakan. Sebagai contoh pada gambar kiri diatas yang merupakan standari sasi JIS Z2201. Specimen ini scara lebih jelas ditampilkan pada gambar berikut
Strain gage
Gambar 27.9. Bentuk specimen standarisasi JIS Z2201 (kiri) dan specimen yang dipasang hambatan (kanan) [7] Dengan spesifikasi D= 4mm, L=50mm, P=60 mm, R<15mm. Perubahanpanjangdarispesimendideteksilewatpengukurregangan(straingage)yangditempelkanpada spesimensepertidiilustrasikanpadaGbr.4.Bilapengukurreganganinimengalamiperubahanpanjangdan penampang, terjadiperubahan nilaihambatan listrikyang dibaca oleh detektordankemudian dikonversi menjadiperubahan regangan. Sekarang marilah kita bahas lebih lanjut secara detail profil hasil uji tarik pada gambar dibawah ini
416
Gambar 27.10. Profil grafik hasil uji tarik secara detail [7] Profil uji tarik diperlihatkan pada grafik diatas dimulai dari titik O sampai D. adapun penjelasan lebih detail yaitu : 1. Batas elasticσ E ( elastic limit) Titik ini diperlihatkan pada gambar pada titik A. Saat sebuah bahan ditarik sampai titik A, kemudian tarikan dihilangkan maka keadaan bahan tersebut akan kembali kepada keadaan semula atau lebih tepatnya hamper kembali kepada keadaan semula yaitu pada titik. Dari titik O sampai A ini merupakan keadaan dimana hokum Hooke masih berlaku. Saat beban ditarik melewati titik A, hokum hooke sudah tidak berlaku lagi dan terjadi perubahan secara permanen dari bentuk benda. Konvensi batas regangan permanen masih disebut perubahan elastic yaitu kurang dari 0,03%, adapula referensi yang menyatakan nilai 0,005%. Tidak ada standarisasi nilai ini, bergantun pada jenis bahan yang digunakan. 2. Batas proporsional σp(proportionallimit) Merupakan suatu titik yang menggambarkan hokum hooke masih bias ditolerir. Dalam kebanyakan prakek uji nilai batas proporsional ini sama dengan nilai batas elastic karena sebenarnya tidak ada standar yang pasti dari nilai ini. 3. Deformasi plastis (plastic deformation) Menyatakan perubahan bentuk benda secara permanen tidak kembali ke bentuk semula.pada gambar, batas ini diperlihatkan bila bahan telah melewati bbatas proporsional serta mencapai daerah landing. Pada tinjauan mikro deformasi plastismengakibatkanputusnyaikatan atom denganatomtetangganyadan membentukikatanyangbarudenganatomyang lainnya.Jikabebandi lepaskan,atominitidak kembalikeikatanawalnya. 4. Teganganluluhatas σ uy (upper yield stress) Disebut juga tegangan maksimum sebelum keadaan dari bahan memasuki fase landing yang merupakan peralihan deformasi elastic ke plastis 5. Tegangan luluh bawah σ ly (lower yield stress) Merupakan tegangan rata-rata daerah landing sebelum benar-benar memasuki fase daerah deformasi plastis. Biasanya bila hanya disebutkan tegangan luluh (yield stress), maka yang dimaksud adalah nilaitegangan ini. 6. Reganganluluh ε y (yield strain) Adalah regangan permanen saatbahan akan memasuki fase deformasiplastis. Titik ini diperoleh dari penarikan garis yang sejajar dengan garis keberlakuan hokum hooke sampai memotong sumbu regangan. 7. Regangan elastis εe(elastic strain) Adalah regangan yang diakibatkan perubahan elastis bahan.Pada saatbeban dilepaskan regangan ini akan kembali ke posisi semula. Arti semula ini bukan kembali 417
kepada keadaan awal, tetapi keadaan setelah terjadi deformasi plastis. 8. Regangan plastisε p (plastic strain) Merupakan regangan yang diakibatkan perubahan plastis. Pada saat beban dilepaskan regangan ini tetap tinggal sebagaiperubahan permanen bahan. Artinya bentuk benda tidak akan kembali lagi kepada keadaan semula. 9. Regangantotal(total strain) Merupakan gabungan regangan plastis dan regangan elastis, ε T=ε e +ε p .Pada titik B, regangan yang dimaksudadalah regangan total. Ketika beban dilepaskan, posisi regangan ada pada titik E dan besar regangan yang tinggal (OE) adalah regangan plastis. 10. Tegangan tarikmaksimumTTM (UTS, ultimate tensile strength) Ditunjukkandengan titik C (σβ), merupakan besar tegangan maksimum yang didapatkan dalamujitarik. Nilai inilah yang biasanya dicari untuk membedakan sifat mkanik suatu bahan. 11. Kekuatan patah (breaking strength) Ditunjukkan dengantitik D, merupakan besartegangandimana diujiputusatau patah. Dengan kata lain bahan yang digunakan sudah rusak.
bahanyang
12. Istilah lain Selanjutnya akan kita bahas beberapa istilah lain yang penting seputar interpretasi hasil ujitarik. Diantaranya adalah : a. Kelenturan (ductility) Merupakan sifatmekanik bahanyangmenunjukkanderajatdeformasiplastis yang terjadisebelumsuatu bahan putus pada uji tarik. Bahan disebut lentur (ductile) bila regangan plastis yang terjadi sebelumputus lebih dari 5%, bila kurang dariitu suatu bahan disebut getas(brittle). Mengukurderajatdeformasiplastispadasaatpatah.Bahanyangmengalami sedikit atau tidak sama sekalideformasiplastisdisebut rapuh.
Rapuh Ulet σ
ε 418
Gambar 27.11.Perbedaan grafik bahan rapuh dan getas
Keuletanbisadirumuskansebagaipersenperpanjanganataupersen penguranganluas
%EL=(lF–lO)x100lF=panjangpatah ………..(11) lOlO=panjangawal …………..(12) %AR=A–AFx100%EL=%perpanjangan A0 A0=luaspenampang mula-mula
AF=luaspenampangpada saat patah
b. Derajat kelentingan (resilience) Derajat kelentingan didefinisikan sebagai kapasitas suatu bahan menyerap energi dalam fase perubahan elastis.SeringdisebutdenganModulusKelentingan(ModulusofResilience),dengansat uanstrainenergy perunitvolume(Joule/m3atauPa).DalamGbr.1,moduluskelentinganditunjukkanolehl uasdaerahyang diarsir.
c. Derajat ketangguhan(toughness) Kapasitas suatu bahan menyerapenergi dalam fase plastis sampai bahan tersebut putus. Sering disebut denganModulusKetangguhan(modulusoftoughness).DalamGbr.5,modulusketangg uhansamadengan luas daerah dibawah kurva OABCD.Satuanketangguhanadalahsatuanresilience, bahan ulet adalah bahan tangguh sedangkan bahan getas adalah bahan yang tidak tangguh. d. Pengerasanregang (strain hardening) Sifat kebanyakan logam yang ditandai dengan naiknya nilai tegangan berbanding regangan setelah memasuki fase plastis. e. Tegangan sejati, regangan sejati(true stress, true strain) Dalambeberapakasusdefinisitegangandanregangansepertiyangtelahdibahas 419
diatastidakdapatdipakai. Untuk itu dipakai definisi tegangan dan regangan sejati, yaitu tegangan dan regangan berdasarkan luas penampang bahan secara real time. Detail definisi tegangan dan regangan sejati ini dapat dilihat pada Gbr.7. f. Resilience Adalahkapasitasmaterialuntuk menyerap energi ketika deformasielastisdanketikabebandilepaskan,energiinijugadilepaskan. Modulusresilience,Ur:adalahenergiregangpersatuanvolumeyang diperlukansehinggamaterialmendapattegangandarikondisitidak ketitikluluh. σ
mengalami
berbeban
σy
ε
εY
Gambar 27.12. Menentukan 𝜀𝜀𝑦𝑦
𝑈𝑈𝑟𝑟 = 1/2𝜎𝜎𝑦𝑦 𝜀𝜀𝑦𝑦 =
𝜎𝜎𝑦𝑦 2 2𝐸𝐸
………..(13)
Materialyangmempunyaisifatresilienceadalahmaterialyangmempunyai teganganluluhtinggi(σy)danmoduluselastisitasrendah.Contoh:alloyuntuk pegas. g. Tegangan sejati, regangan sejati(true stress, true strain)
Dalambeberapakasusdefinisitegangandanregangansepertiyangtelahdibahas diatasatau disebut juga tegangan dan regangan teknik tidakdapatdipakai. Untuk itu dipakai definisi tegangan dan regangan sejati, yaitu tegangan dan regangan berdasarkan luas penampang bahan secara real time.
420
A0
L0 dL A
L0
ΔL0
L
Gambar 27.13.bahan setelah diberikan tegangan tarik Regangan sejati didefinisikan sebagai pertambahan panjang dL dibagi panjang bahan L 𝐿𝐿 +∆𝐿𝐿 𝑑𝑑𝑑𝑑
𝜀𝜀𝑇𝑇 = ∫𝐿𝐿 0 0
𝐿𝐿
= ln �1 +
𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐿𝐿0
� = ln (1 + 𝜀𝜀) ………..(14)
Sedangkan tegangan sejati adalah 𝐹𝐹 𝜎𝜎𝑇𝑇 = = 𝜎𝜎(1 + 𝜀𝜀)
………..(15)
𝐴𝐴
LOGAM
EMAS ALUMINIUM TEMBAGA
Beberapa sifat logam KEKUATAN KEKUATAN KEULETAN.%EL LULUH(PSi(MPa) TARIK (PSi (MPa) (in : 2 INCHI) 400(28) 10.000 (69)
19.000 (130) 10.000(69) 29.000(200)
45 45 45
BESI 19.000(130) 38.000(262) NIKEL20.000 (138)70.000 (480) TITANIUM35.000 (240)48.000 (330) MOLIBDENUM 82.000 (565)95.000 (655)
45 40 30 35
Untukbeberapalogamdanpaduan
contohnya
421 ………..(16)
nonokomposit,tegangansebenarnyapada kurva εpadadaerahmulaiterjadinyadeformasi plastiskekondisiterjadinyanecking(pengecilan penampang) dirumuskan : 𝜎𝜎𝜎𝜎 = 𝐾𝐾𝐾𝐾𝑇𝑇 𝑛𝑛 K,n=KONSTAN n <1
Harga n Dan KUntukberbagaipaduan BAHAN
K n
• • • • •
• •
Baja karbon rendah (Dianil) Bajacampuran (Tipe4340, Dianil) Stainlesssteel (Tipe304,Dianil) Alumunium(Dianil) Alumuniumpaduan (Tipe2024, Perluasan Panas) Tembaga(Dianil) Perunggu (70-Cu-30ZnDianil)
Psi
Mpa
0,26
77.000
530
0,15
93.000
640
0,45
185.000
0,20 0,16
0,54 0,49
26.000 100.000
46.000 130.000
1275 180 690
315 895
h. Kekerasan(hardness) Mengukurketahananmaterialterhadapdeformasiplastis yangterlokalisasi(lengkungan kecilataugoresan) pada suatu bagian pada bahan. Macam- macam uji kekerasan : •
Ujikekerasanrockwell
•
Ujikekerasanbrinell
•
Ujikekerasanvicker
•
Ujikekerasankwoop 422
σ-
Sekarang marilah kita bahas salah satu uji kekuatan diatas Ujikekerasanrockwell Dari metode ini, digunakankombinasivariasiindenterdan bebanuntukbahanmetaldancampuranmulaidaribahanlunaksampaikeras. Indenter : - bola baja keras ukuran 1/16 , 1/8 , 1/4,1/2inci(1,588;3,175;6,350; 12,70 mm) Nomorkekerasanyang menjadi indicator ditentukanolehperbedaankedalaman penetrsiindenter,dengancaramemberibebanminordiikutibebanmajoryang lebihbesar. Berdasarkanbesarbebanminordanmajor,ujikekerasanrockwelldibedak an atas2: •
rockwell, biasanya digunakan untuk bahan keras tiga dimensi
Uji ini menggunakan beban minor sebesar 10 kg dan beban major berkisar antara 60, 100 sampai 150 kg •
Ujikekerasanrockwellsuperficial, digunakan untuk bahan tipis Uji ini menggunakan beban minor 3 kg dan beban major berkisar antara
15 kg, 30 sampai 45 kg
Selain ujitarik, terdapat jenis uji yang lain yang tidak dibahas pada tulisan ini. Adapun bentuk alat uji tersebut dapat dilihat dibawah ini 1. Uji kekerasan
2. Uji Mulur
423
3. Uji Kelelahan
27.4 NANOKOMPOSIT LOGAM [2],[3],6] Nano partikel dapat meningkatkan sifat mekanik suatu bahan logam yang dijadikan sebagai matrik walaupun dengan volume filler yang sangat rendah sekitar 15%, peningkatan yang diharapkan dapat diperoleh dengan baik. Telah diteliti bahwa untuk beberapa nanokomposit, dengan fraksi volume filler yang sama, kekuatan bahan meningkat seiring dengan ukuran nanopartikel yang semakin kecil. Secara umum, kekuatan dari beberapa nanokomposit meningkat seiring dengan meningkatnya fraksi volume. Fungsi ini mungkin tidak liner. Mungkin saja muncul nilai kritis fraksi volume dimana pada saat tersebut kekuatan dari nanokomposit akan menurun, hal ini dimungkinkan karena pada saat tersebut sifat filler lebih mendominasi terhadap sifat matrik. Interaksi dari nano partikel sebagai filler dengan matrik adalah kuncidari peningkatan sifat mekanik suatu bahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat mekanik bahan yaitu : 424
1. Fraksi volume filler 2. Derajat disperse Berikutnya kita perkenalkan geometri filler dengan suatu konstanta disebut dengan konstanta geometri γ dimana dirumuskan dengan 𝐴𝐴 𝛾𝛾 = 𝑉𝑉 Dimana A adalah luas permukaan efektif dan V adalah volume filler. Adapun besarnya nilai konstanta ini untuk beberapa bentuk nanopartikel dapat dilihat pada gambar dibawah ini Nama Bentuk γ Parameter Silinder 2(2/t +1/a )~4/t t diameter cross t<
Bola pejal
6/t
t diameter
Untuk semua geometri dari filler, saat dimensinya semakin kecil, nilai dari γ akan semakin besar. Ini berarti, semakin kecilnya filler yang digunakan, hasil yang akan lebih baik akan diperoleh. Hall-petch menghubungkan tegangan dari logam dengan rata-rata diameter d sebagai 𝜎𝜎𝑦𝑦 = 𝜎𝜎0 + 𝑘𝑘𝑑𝑑 −1/2 Dari perumusan diatas dapat disimpulkan, tegangan akan naik saat ukuran semakin mengecil. Secara umum nanokomposit terbagi menjadi beberapa jenis berdasarkan jenis matrik dan filler yang digunakan,untuk lebih jelasnya perhatikan gambar dibawah ini.
425
Gambar 27.14. Jenis-jenis nanokomposit[3] Nanokomposit logam dapat disintesis menggunakan cara insitu maupun eksitu. Insitu adalah cara mensistesis suatu nanokomposit dimana nanopartikel dibuat didalam proses pencampuran antara nanopartikel dengan matrik sedangkan eksitu adalah cara mensintesis nanokomposit dengan terlebih dahulu membuat nanopartikel kemudian setelah nanopartikel sudah diperoleh baru dicampurkan dengan matrik. Secara lebih detail, jenis-jenis dari metoda sintesis ini dapat dilihat pada bagan dibawah ini
Gambar 27.15. Jenis-jenis proses sintesis nanokomposit logam[3] in situ IntermatrixSynthesis (IMS)banyak sekali dibicarakan dikarenakan dalam proses pembuatannya bahan-bahan kimia yang turut serta dalam proses sintesis dapat direduksi dengan baik sehingga dapat menghasilkan limbah produksi yang ramah lingkungan.Adapun beberapa aplikasi yang dapat diperoleh dari nanokomposit logam ini adalah : 1. Biocide Seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini,limbah air yang sangat kotor dapat disaring menggunakan nanokomposit sehingga dapat menjadi 426
bersih kembali. Hal ini sangat bermanfaat sekali diwaktu seperti sekarang dimana dikota-kota besar sulit memperoleh sumber air yang bersih
Gambar 27.16. Proses pemurnian air [3] 2. Otomotif 3. Penerbangan 4. Katalis,dan lain-lain Sebelumnya material komposit menggunakan filler dalam skala mikro untuk meningkatkan hardness, tensile strenght,ductility,density,thermal,electrical conductivity dan wear ressistance. Saat menggunakan filler dalam skala nano,terjadi peningkatan sifat mekanik bahan. Komposit logam yang berisi nanopartikel atau karbon nanotube mempunyai kelebihan dibandingkan dengan komposit polimer dari segi kestabilan temperature, kekuatan besar, modulus elastic yang tinggi, hambatan yang baik, dan peningkatan konduktivitas listrik.nanokomposit alumunium telah diprediksi dapat melampaui reduksi berat yang dapat dilakukan oleh komposit polimer berbasis fiber untuk aplikasi penerbangan. Sintesis nanokomposit logam yang telah dibuat contohnya adalah Al-B 4 C, MgSiC, Al-CNT, Cu-CNT dan Ti-SiC, menggunakan powder metallurgy sedangkan Al-SiC, Mg-SiC, Al-Al 2 O 3 , Al- CNT, Mg-Y 2 O 3 , Al-Diamond, dan Zn-SiC, menggunakan proses solidification. Proses sintesis yang dapat dilakukan untuk memperoleh nanokomposit logam adalah : 1. powder metallurgy, 2. deformation processing, 3. vapor phase processing, 4. solidification processing,divided by : a. rapid solidification, b. mixing of nanosize reinforcements in the liquid followed by solidification and c. infiltration of liquid into a preform of reinforcement followed by solidification. 427
Sebagai tambahan, penambahan hanya sekitar 10 persen dari partikel Al 2 O 3 berukuran 50nm pada matrik alumunium dapat meningkatkan kekuatan sampai 515 Mpa. Ini 15 kali lebih kuat dari alumunium tanpa komposit, 6kali lebih kuat dari alumunium dengan 46 persen Al 2 O 3 ukuran 29mikro dan 1,5 kali lebih kuat daripadaAISI 304 stainless steel.
27.5 STRUKTUR KRISTAL UNTUK MENENTUKAN FRAKSI VOLUME MAKSIMAL FILLER [4] Struktur kristal sederhana berisi bahasan tentang struktur kristal kubik dan struktur kristal nonkubik. Struktur kristal kubik, berisi tentang: kristal kubik sederhana (sc), kristal kubik pusat muka (fcc), dan kristal kubik pusat badan (bcc). Sedangkan sruktur kristal sederhana nonkubik akan membahas tentang contoh-contoh struktur kristal, yaitu struktur sodium chloride, struktur cesium chloride, struktur hexagonal close packed, struktur intan serta struktur kubus sulfida seng. 1. Struktur kubus sederhana / sc (simple cubic) Kristal kubus (cubic) yang mempunyai struktur kristal paling sederhana, yaitu:
Gambar 27.17. kedudukan atom-atom dalm Kristal SC[4] Untuk kubus sederhana (sc), besar dan bentuk sel konvensional tepat sama dengan sel primitifnya. 𝑎𝑎 ����⃗1 = 𝑎𝑎𝑥𝑥⃗ 𝑎𝑎2 = 𝑎𝑎𝑦𝑦⃗ ����⃗ ����⃗ 𝑎𝑎3 = 𝑎𝑎𝑧𝑧⃗ Oleh karena harga panjang sisi kubus (a) atau jarak antara dua titik kisi yang berdekatan maka besarnya :|����⃗ 𝑎𝑎1 | = |����⃗ 𝑎𝑎2 | = |𝑎𝑎 ����⃗3 | 1. Jumlah sel primitif sama dengan jumlah sel konvensional 2. Jumlah titik kisinya = 8 x (1/8) = 1 buah
Ciri struktur kubus sederhana, yaitu hanya memiliki atom pada titik-titik sudut kubus. Sistem kubus sederhana ini termasuk kisi primitif. Atom-atom dalam struktur 428
kubus sederhana ini bersinggungan disepanjang sisi kubus. Struktur jenis ini kurang rapat dan tiap atomnya hanya memiliki enam atom tetangga terdekat. Setiap atom dalam kristal kubus sederhana memiliki enam atom tetangga terdekat, yaitu empat atom dalam bidangnya sendiri dan satu atom ada diatas dan satu lagi dibawahnya. Banyaknya atom tetangga terdekat dalam suatu kristal lazim disebut bilangan koordinasi, dan diberi simbol CN (Coordination Number). Oleh karena itu, bilangan koordinasi struktur kristal sederhana (sc) adalah 6 atau CN=6. 2. Struktur kubus pusat muka/fcc (face centered cubic)
Gambar 27.18. kedudukan atom-atom dalm Kristal FCC [4] Sel primitif tidak sama (lebih kecil) dari sel konvensional. Jumlah titik kis pada : 1. Sel primitif = 8 x (1/8) buah = 1 buah 2. Sel konvensional = (8x1/8) + (6x1/2) = 4 buah Untuk bentuk fcc ini vektor-vektor translasi primitifnya dapat dinyatakan dalam : 1 ����⃗1 = 𝑎𝑎(𝑥𝑥⃗ + 𝑦𝑦⃗) 𝑎𝑎 2 1 ����⃗ 𝑎𝑎2 = 𝑎𝑎(𝑧𝑧⃗ + 𝑦𝑦⃗) 2 1 𝑎𝑎3 = 𝑎𝑎(𝑥𝑥⃗ + 𝑧𝑧⃗) ����⃗ 2 Dengan sudut antara sumbu-sumbu primitif.(𝑎𝑎 ����⃗, 𝑎𝑎2 𝑎𝑎 ����⃗3 ) = 600 1 ����⃗, Struktur kristal unit sel, kristal fcc setiap kisinya ditenpati oleh sebuah atom dan satu atom lagi pada pusat masing-masing bidang muka kristal.
429
Gambar 27.19. (a) model bola-bola atom (b) kedudukan atom-atom kisi SC (c) hubungan antara r dan a [4] Pada kristal kubus dengan struktur fcc maka atom pusat muka kristal bersinggungan dengan keempat atom sudut pada bidang yang bersangkutan (gambar 4.5.a), sedangkan antara atom-atom sudutnya tidak bersinggungan dan masih mempunyai jarak. Hal itu berarti bahwa atom-atom hanya bersinggungan di sepanjang garis diagonal bidang muka kristal(gambar 4.5.c). Pada kristal fcc terdapat delapan atom, masingmasing menempati pusat tiap bidang muka kristal. Tetangga dekat dari atom sudut ini adalah empat atom pusat muka yang berada pada bidang atom itu sendiri, empat atom pusat muka diatasnya dan empat atom pusat dibawahnya. Jadi, atom ini mempunyai 12 atom tetangga terdekat atau bilangan koordinasinya (CN=12). Berdasarkan gambar 4.5.b, nampak bahwa atom-atom bersinggungan di sepanjang diagonal bidang muka kristal (AC). Panjang diagonal AC=4r. Hubungan antara r (jari-jari atom) dengan a (sisi kubus) adalah, 𝐴𝐴𝐴𝐴 = �𝐴𝐴𝐴𝐴2 + 𝐵𝐵𝐵𝐵 2 = 𝑎𝑎√2 4𝑟𝑟 = 𝑎𝑎√2 1 𝑟𝑟 = 𝑎𝑎√2 4 𝑎𝑎 = 2√2𝑟𝑟 Pada struktur fcc terdapat 8 atom sudut dan enam atom pusat, pada pusat bidang kubus. Oleh karena itu, jumlah atom yang mengisi unit sel adalah:
430
1 1 8 � � + 6 � � = 4𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 8 2 1 Apabila jari-jari atom untuk sruktur fcc = r = 𝑎𝑎√2, dan volume unit selnya 4 adalah a3 maka volume atom 4 1 = 4 � � 𝜋𝜋𝑟𝑟 3 = ( )√2𝜋𝜋𝑎𝑎3 3 6 Maka, perbandingan antara volume atom yang mengisi setiap unit selnya, terhadap volume unit sel disebut rapat kemasan atau disingkat pf. 𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣 √2𝜋𝜋𝑎𝑎3 𝑝𝑝𝑝𝑝 = = = 0,74 𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣 6𝑎𝑎3 Rapat kemasan untuk struktur kubus fcc adalah 0,74 artinya 74% dari unit sel dengan atom. No. Unsur A(Ǻ) No. Unsur A(Ǻ) No. Unsur A(Ǻ) 3,92 1 Ar 5,26 9 Ir 3,84 17 Pt 2
Ag
4,09
10
Kr
5,72
18
Pu
4,64
3
Al
4,05
11
La
5,30
19
Rh
3,80
4
Au
4,08
12
Ne
4,43
20
Sc
4,54
5
Ca
5,58
13
Ni
3,52
21
Sr
6,08
6
Ce
5,16
14
Pb
4,95
22
Th
5,08
7
Co
3,55
15
Pd
3,89
23
Xe
6,20
8
Cu
3,61
16
Pr
5,16
24
Yb
5,49
3. Struktur kubus pusat badan/ bcc (body centered cubic)
Gambar 27.10. kedudukan atom-atom dalm Kristal bcc [4]
431
Sel primitif tidak sama (lebih kecil) dari sel konvensional. Jumlah titik kisi pada: 1 1. Sel primitif = 8 � � 𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏ℎ = 1 𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏ℎ 8
1
2. Sel konvensional = 8 � � + 1 = 2 𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏ℎ 8
Untuk bentuk bcc ini vektor-vektor translasi primitifnya dapat dinyatakan dalam: 1 𝑎𝑎1 = 𝑎𝑎(𝑥𝑥⃗ + 𝑦𝑦⃗ − 𝑧𝑧⃗) ����⃗ 2 1 ����⃗ 𝑎𝑎1 = 𝑎𝑎(−𝑥𝑥⃗ + 𝑦𝑦⃗ + 𝑧𝑧⃗) 2 1 ����⃗ 𝑎𝑎1 = 𝑎𝑎(𝑥𝑥⃗ − 𝑦𝑦⃗ + 𝑧𝑧⃗) 2 Dengan sudut antara sumbu-sumbu primitif (𝑎𝑎 ����⃗, 𝑎𝑎2 𝑎𝑎 ����⃗3 ) = 1080 28′ 1 ����⃗, Pada struktur pusat ruang (bcc) ini, satu atom berada di pusat kubus dan delapan atom pada sudut. Satu atom yang berada di pusat tersebut bersinggungan dengan kedelapan atom yang di sudut. Namun, antara kedelapan atom sudut itu tidak bersinggungan/bersentuhan lama sekali. Hal ini dapat diartikan bahwa, atom-atom dalam kristal bcc bersinggungan sepanjang garis diagonal ruang.
Gambar 27.11 (a) model bola-bola atom (b) kedudukan atom-atom kisi bcc (c) hubungan antara diagonal ruang dan jari-jari [4] Dari gambar 11 dapat terlihat bahwa, 𝐴𝐴𝐴𝐴 = �𝐴𝐴𝐴𝐴2 + 𝐵𝐵𝐵𝐵 2 = 𝑎𝑎√3 4𝑟𝑟 = 𝑎𝑎√3 432
1 𝑎𝑎√3 4 4𝑟𝑟 𝑎𝑎 = √3 Dengan r adalah jari-jari atom dan a adalah panjang sisi kubus Pada struktur bcc tetangga terdekat dari atom sudut adalah atom pusat kubus, termasuk kubus unit sel disekitarnya. Sedangkan di sekeliling atom sudut terdapat tujuh unit sel terdekat lainnya. Hal ini berarti atom sudut memiliki delapan tetangga terdekat. Delapan atom tersebut adalah satu atom di pusat unit selnya dan tujuh atom pusat dari unit sel yang mengitarinya. Jadi, untuk struktur bcc memiliki bilangan koordinasi CN=8. Untuk menentukan rapat kemasan (pf) dari bcc adalah: Pada struktur bcc terdapat 8 atom sudut dan 1 atom yang seluruhnya merupakan bagian unit sel. Oleh karena itu, banyaknya atom dalam struktur bcc adalah: 8x(1/8)+1=2 atom. 𝑎𝑎 , 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗 − 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗 = 𝑟𝑟 = ( )√3apabila volume unit sel=a3. 4 𝑟𝑟 =
4
√3
Maka, volume atom adalah: 2 � � 𝜋𝜋( 4 )3 𝑎𝑎3 3
Maka, rapat kemasan (pf) dari kristal kubus bcc adalah: √3𝜋𝜋𝑎𝑎 3
𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣 𝑝𝑝𝑝𝑝 = = 83 = 0,68 𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣 𝑎𝑎 Rapat kemasan untuk struktur kubus bcc adalah 0,68 artinya 68% dari unit sel dengan atom.
No.
No.
Unsur
a(Ǻ)
No.
Unsur
a(Ǻ)
1
Ra
5,02
8
Na
4,23
2
Cr
2,88
9
Nb
3,30
3
Cs
6,05
10
Rb
5,59
4
Fe
2,87
11
Ta
3,31
5
K
5,23
12
Ti
3,88
6
Li
3,49
13
V
3,02
7
Mo
3,15
14
W
3,16
Nama
SC
FCC 433
BCC
1
Volume sel konvensional
2
Titik kisi tiap sel
3
Volume sel primitif
4
Titik kisi tiap unit volume
5
Jumlah atom tetangga terdekat
6
6
Jarak atom tetangga terdekat
A
7
Jumlah atom tetangga terdekat kedua
12
8
Jarak atom tetangga terdekat kedua
9
Fraksi packing
1
1/
4
2
1/4
1/2
4/
2/
12
8
6
6
a
a
DAFTAR PUSTAKA 1. Abdullah, M (2009).”Pengantar Nanosains”. Penerbit ITB 2. Ajayan,P.M. (2003). “Nanocomposite Science and Technology”. WILEY-VCH Verlag GmbH Co. KGaA 3. Alonso,A et al. (2009).”Environmentally-Safe Polymer-Metal Nanocomposites with Most Favorable Distribution of Catalytically Active and Biocide Nanoparticles”.Nanocomposites Journal.http://www.google.com/ 4. Charles, Kittel. (1996). “Introduction To Solid State Physics”.John Willey and Sons :Canada 5. Hu, Hurang et al. (2010). “Characterizing and Modeling Mechanical Properties of Nanocomposites-Review and Evaluation”.Journal of Minerals and Materials Characterization Enginering. http://www.jmmce.org/ 434
6. Rohatgi,P.K.Schultz,B. (2007). “Lightweight Metal Matrix Nanocomposites-Streching The Boundaries of Metals”.Nanocomposites Journal. http://www.sigmaaldrich.com/ 7. Sastranegara, A. (2009). “Sifat Mekanik Bahan”.Artikel Uji Mekanik Material.http://www.google.com
435
Bab 28 Aplikasi Nanokristal ZnO pada Solar Cell Oleh: Dicky Anggoro
28.1 Pendahuluan Saat ini, pengembangan teknologi untuk mencari sumber daya pengganti penghasil energi listrik terus dikembangkan. Pengembangan ini dilakukan, mengingat sumber daya penghasil listrik berbasiskan minyak bumi dan batu bara yang digunakan saat ini semakin mendekati batas ketersediaan yang akan habis dalam beberapa puluh tahun mendatang, jika tidak dilakukan teknologi pengantinya. Di samping itu, perkembangan akan kepedulian terhadap lingkungan hidup semakin hidup, dimana minyak bumi dan batu bara merupakan bahan yang tidak ramah lingkungan dengan menghasilkan sampingan gas CO 2 . Beberapa teknologi yang berkembang sebagai sumber penghasil listrik pengganti adalah pembangkit listrik tenaga angin, gelombang laut, panas bumi, bio-massa, dan tenaga surya (solar sel). Adapun, dari semua itu, solar sel merupakan sumber daya yang paling menjanjikan, karena ketersediaan energi matahari yang sangat besar jumlahnya, namun belum banyak dimanfaatkan. Teknologi ini dimulai dengan ditemukannya kemampuan menghasilkan tegangan (fotovoltaik) dari bahan semikonduktor silikon (murni). Dari solar sel silikon, perkembangan solar sel berkembangan dengan cukup pesat dan sampai saat ini, solar sel dengan bahan dasar silikon dapat mencapai efisiensi di atas 30%, dan digunakan untuk berbagai aplikasi termasuk untuk satelit, ataupun pembangkit listrik skala besar (85% dari penjualan global). Adapun, dibalik efisiensinya yang cukup besar, terdapat kekurangan besar dari solar sel silikon. Kekurangan nya adalah keterbatasan bahan silikon di alam, teknologi pengolahan bahan yang sulit, serta pabrikasi solar sel yang mahal. Dari kelemahan ini , berkembang ide untuk mencari bahan fotovoltaik yang murah dan tersedia dalam jumlah besar di alam. Dimulai dengan menggunakan bahan semi konduktor yang merupakan campuran 436
(compound semiconductor). Lalu karena alasan keterbatasan sumber tersebut di alam, mulai berkembang teknologi berbasiskan bahan organik, termasuk di dalamnya adalah dye-sensitized, dan organic polymer thin film. Salah satu keuntungan dari kedua jenis solar sel terakhir tersebut adalah ketersediaannya yang banyak di alam, serta pabrikasinya yang murah, yaitu dengan menggunakan proses film tipis. Pabrikasi dengan teknik film tipis ini terus berkembang untuk mendapatkan efisiensi yang besar, karena saat ini efisiensi yang dihasilkan relatif rendah (rata-rata <10%). Pada dasarnya, prinsip kerja solar sel adalah perubahan energi cahaya menjadi energi listrik. Tegangan dihasilkan dari absorbsi cahaya oleh bahan, yang menghasilkan pasangan electron-hole. Electron dan hole ini akan terpisah dengan adanya medan internal di dalam bahan. Kemudian, pada kedua ujung bahan diberikan dua buah elektroda untuk mengekstrak muatan electron dan hole. Kebanyakan solar sel konvensional yang menggunakan prinsip kerja ini menggunakan bahan kristal bulk sebagai bahan aktif penyerap cahayanya. Keterbatasan dari bahan ini adalah mobilitas pembawa muatan yang terdapat dalam bahan bulk ini. Dari sini muncul ide untuk menggunakan bahan dengan pengotor, yaitu type-p dan type-n untuk meningkatkan mobilitas pembawa muatan. Lalu pada akhirnya, berkembang solar sel dengan bahan nanokristal. Tujuan penggunaan nanokristal ini adalah : • Meningkatkan performa dari solar sel konvensional • Menghasilkan divais dengan biaya produksi yang murah • Menghasilkan efisiensi yang besar, melebihi efisiensi teoritis untuk solar sel p-n junction Nanokristal adalah material kristalin, dengan ukuran partikelnya diantara 2-10 nm. Adapun kelebihan nanokristal ini adalah sifatnya yang berubah dengan ukuran partikelnya. Pertama, sifat elektroniknya band gap partikel akan berubah seiring dengan perubahan diameter partikel terlihat pada Gambar 28.1. Semakin besar ukuran partikel, maka band gap akan semakin kecil, sehingga berpengaruh ke sifat optik, yaitu absorbsi dan luminesensi akan bergeser ke panjang gelombang besar.
437
B
a
Gambar 28.1. a. absorbsi dan b. luminesensi nanokristal Dalam tugas mata kuliah nano material ini, akan dibahas bagaimana aplikasi solar sel dengan menggunakan bahan nanokristal sebagai bahan aktifnya. Bagaimana cara pembuatan, sifat bahan, maupun proses fisis yang terjadi di dalam nanokristal solar sel. Adapun bahan yang akan dibahas secara lebih detail adalah bahan dye-sensitized nanokristal ZnO. ZnO memiliki kelebihan yaitu band gap yang lebar dengan mobilitas yang besar. Bahan ini dapat dengan mudah dikotori dengan bahan p, ataupun bahan n. Bahan ZnO pun relatif mudah dibuat untuk menjadi divais dengan berbagai macam cara pabrikasi-nya.
438
28.2 TINJAUAN PUSTAKA 28.2.1 Bahan Kristal
Bahan kristal adalah bahan padat yang tersusun oleh deretan atomatom yang teratur letaknya dan berulang (periodik), sedangkan zat padat yang tidak memiliki keteraturan posisi atom disebut bahan amorf atau bukan-kristal[5]. Gambar 2.1.a. menunjukkan atom-atom kristal yang berada pada posis teratur, sedangkan pada Gambar 2.1.b. menunjukkan atom-atom amorf yang berada pada posisi yang tidak teratur.
Gambar 28.2. Struktur bahan. Struktur kristal. b. Struktur amorf
Ukuran kristal ditentukan pada proses pertumbuhan kristal saat sintesis berlangsung. Jika ukuran kristal dalam orde mikrometer, maka kristal digolongkan kristal mikro (microcrystalline) dan bila ukuran kristal dalam orde nanometer, maka bahan tersebut digolongkan sebagai kristal nano (nanocrystalline). Karakteristik bahan kristal ditentukan oleh ikatan atomik dalam kristal, orientasi bidang kristal, jarak antar bidang kristal dan sistem kristal.
439
28.2.2 Ikatan Atomik dalam Kristal Ikatan atomik dalam kristal adalah ikatan akibat gaya tarik menarik atom-atom penyusun kristal. Gaya tarik menarik atom pada kristal mengakibatkan atom berada pada posisi tertentu di dalam kristal. Gaya ikat antar atom atau lazimnya disebut ikatan terdiri dari beberapa macam, yaitu: ikatan ionik, ikatan kovalen, ikatan logam, ikatan van der Waals dan ikatan hidrogen. Berikut ini akan dijelaskan tentang pengertian masing masing ikatan pada kristal: a. Ikatan ionik adalah ikatan yang terbentuk karena adanya gaya tarikmenarik elektrostatik (gaya coulomb) antara ion positif dan ion negatif. Terbentuknya ion-ion tersebut disebabkan oleh terjadinya transfer elektron antar atom pembentuk ikatan. b. Ikatan kovalen atau sering disebut ikatan valensi atau homopolar adalah ikatan yang dibangun oleh sepasang elektron dari dua atom yang berikatan. Setiap atom menyumbang satu buah elektron untuk membentuk satu ikatan kovalen. c. Ikatan logam adalah ikatan yang terdapat pada atom suatu logam dimana sejumlah elektron dimiliki bersama oleh sejumlah ion logam. Ciri-ciri ikatan logam yaitu konduktivitas listrik dan termal yang tinggi dan banyak mengandung elektron bebas yang dapat bergerak diseluruh kristal. Elektron valensi yang dimiliki oleh setiap atom logam, akan menjadi elektron bebas bila atom-atom tersebut membentuk kristal. d. Ikatan van der Waals adalah ikatan yang terjadi antara molekul-molekul non polar pada sesama atom gas mulia. e. Ikatan hidrogen adalah ikatan antar molekul yang sangat polar dan mengandung aton hidrogen.
28.2.3Orientasi Bidang kristal
440
Orientasi bidang kristal merupakan arah bidang vektor kristal yang menggunakan simbol h, k dan l . Simbol h, k dan l dikemukakan oleh Miller sehingga simbol ini dikenal dengan indeks Miller[7]. Untuk nilai h, k dan l ditulis dalam bentuk integer misal [ h k l ] = [1 1 1]. Beberapa ketentuan untuk mengetahui arah orietasi bidang kristal adalah sebagai berikut[6]: - Bidang kristal yang sejajar mempunyai nilai [ h k l ] yang sama - Bidang kristal yang sejajar dengan arah sumbu x, y dan z mempunyai nilai nol - Bidang yang memotong arah sumbu x, y dan z bernial 1 Gambar 3.a memperlihatkan bidang diagonal pada kubus memotong arah sumbu x dan y sehingga h dan k bernilai 1, sedangkan pada arah sumbu z bidang diagonal sejajar dengan sumbu z sehingga l bernilai nol. Dalam indeks Miller arah bidang diagonal pada Gambar 3.a. dapat ditulis dengan [110]. Untuk Gambar 3.b. bidang segitiga dalam kubus memotong ketiga sumbu koordinat sehingga indeks Miller bernilai [111].
Gambar 28.3. Orientasi bidang kristal. a.Orientasi bidang [110]. b. Orientasi bidang [111]
Apabila yang dikatehui hanya sudut difraksi ( 2θ ) dari suatu kristal maka untuk mengetahui oreintasi kristal digunakan persamaan Laue[8].
441
Gambar 28.4. Skema difraksi dari hamburan sinar pada arah sumbu y
Gambar 3. menunjukkan sinar datang pertama dan sinar datang kedua menumbuk atom dengan sudut datang φ 2 . Sinar datang akan terhambur dengan sudut hambur ψ 2 . Selisih perjalanan sinar pertama dan sinar kedua dapat ditulis dengan persamaan:
δ 2 = AQ − BP karena
(2.1)
AQ = cosψ 2 . b BP = cos φ 2 . BS
maka persamaan (2.1) dapat ditulis:
δ 2 = b(cosψ 2 − cos φ 2)
(2.2)
Sinar datang yang memiliki sinar hambur lebih dari satu, maka perlu dicantumkan nilai integer dari panjang gelombang yang diperoleh:
442
b(cosψ 2 − cos φ 2) = kλ
(2.3)
dengan k adalah nilai integer dari kelipatan panjang gelombang.
Gambar 28.5. Skema tiga sinar difraksi dari satu sinar datang[8] .
Gambar 5 menunjukkan bahwa saat terjadi difraksi pada atom, sinar datang terhambur menjadi tiga sinar difraksi. Jika hamburan sinar difraksi pada arah sumbu x, y dan z dengan jarak antar bidang adalah a, b dan c maka persamaan (2.3) dapat diturunkan menjadi: a(cosψ 1 − cos φ1) = hλ
untuk arah x
b(cosψ 2 − cos φ 2) = kλ c(cosψ 3 − cos φ 3) = lλ
untuk arah y
(2.4)
untuk arah z
Ketiga persamaan di atas merupakan persamaan untuk jumlah hamburan pada sumbu x, y dan z, sedangkan posisi h, k dan l akan membentuk satu kesatuan pola tiga dimensi dari sinar hamburan dalam satu fasa. Sehingga dengan pola h, k dan l orientasi kristal dapat diketahui. 443
28.2.4 Jarak antar Bidang Kristal Jarak antar bidang kristal merupakan jarak atom antar permukaan kristal yang saling berdekatan. Jarak antar bidang kristal dari indeks Miller ditulis dengan simbol d hkl . Untuk menentukan nilai d hkl suatu kristal digunakan persamaan d hkl yang sesuai dengan struktur kristal tersebut. Gambar 6. menggambarkan jarak antara bidang kristal yang saling tegak lurus. Perhitungan untuk jarak antara bidang kristal bidang kristal adalah sebagai berikut:
Gambar 28.6. Jarak antar bidang d hkl
Pada Gambar 6. dapat dihitung d hkl dengan menarik garis normal dari pusat koordinat menuju bidang kristal. Sudut garis normal dengan sumbu x adalah α , dengan sumbu y adalah β dan dengan sumbu z adalah γ . Dalam matematis persamaan untuk menentukan d hkl pada Gambar 6 adalah:
d hkl = x cosα = y cos β = z cos γ
444
(2.5)
berdasarkan rumus trigonometri, hubungan antara cos α , cos β dan cos γ adalah:
cos 2 α + cos 2 β + cos 2 γ = 1
(2.6)
dengan mensubtitusi persamaan (2.5) ke dalam persamaan (2.6) diperoleh:
2
2
2
d hkl d hkl d hkl + + =1 x y z
(2.7)
sehingga :
d hkl =
1
(2.8)
1/ 2
1 1 1 2 + 2 + 2 y z x
na x nb k= y nc l= z h=
Jika
dimana n adalah faktor yang digunakan untuk mereduksi indeks integer yang lebih kecil, maka persamaan (2.8) menjadi:
445
d hkl =
n 2 1 / 2
h k l + + a2 b2 c2 2
2
(2.9)
Untuk struktur kubus panjang kisi-kisinya sama yaitu a, faktor reduksi integer bernilai 1 (n=1), diperoleh jarak antar bidang terdekatnya adalah:
d hkl =
(h
a 2
+k +l 2
)
2 1/ 2
(2.10)
sedangkan untuk struktur tetragonal (balok), yaitu panjang dua buah kisinnya sama dan salah satu panjang kisisnya berbeda (a=b ≠ c) maka jarak antar bidang terdekatnya adalah:
d hkl =
1 h2 + k 2 l 2 + a c
1/ 2
(2.11)
Ikatan kristal dan orientasi kristal akan membentuk sistem kristal suatu bahan.
28.2.5 Sistem Kristal Pola dasar atau pola geometri dari kristal dapat diilustrasikan dalam bentuk yang sederhana yang disebut kisi[5]. Kisi merupakan posisi dimana atom-atom penyusun kristal berada. Susunan kisi yang periodik akan membentuk sistem kristal (struktur kristal) dalam bentuk tiga dimensi. Tabel.1 memuat tujuh sistem kristal, kisi bravais, nilai a, b, c dan α , β dan γ . Sedangkan Gambar 2.6 merupakan visualisasi struktur kristal yang sesuai dengan nilai a, b, c dan α , β dan γ pada Tabel.1.
446
Tabel.1. Tujuh sistem kristal dan empat belas kisi Bravais dalam tiga dimensi.
No.
Sistem kristal
Kisi Bravais
Sumbu kristal dan sudut kristal pada konvensional sel
1.
Triklinik
Simple Triklinik (p)
a≠b≠c α ≠β ≠γ
2.
Monoklinik
Simple Monoklinik(p)
a≠b≠c
Base-centered (i)
α = γ = 90 0 ≠ β
3.
Orthorhombik
Simple Orthorhombik (p)
a≠b≠c
Base-centered (i)
α = β = γ = 90 0
Face-centered (f) Body-centered (c) 4.
5.
Tetragonal
Cubic
Simple Tetragonal (p)
a=b≠c
Body-centered (c)
α = β = γ = 90 0
Simple cubic
(sc)
Face-centered cubic (f)
a=b=c
α = β = γ = 90 0
Body-centered cubic (c) 6.
Trigonal
Simple Trigonal (p)
a=b=c
α = β = γ 〈120 0 , ≠ 90 0 7.
Hexagonal
Simple Hexagonal (p)
a=b≠c
α = β = 90 0 ; γ = 120 0
447
Gambar 28.7. Empat belas kisi bravais
Pada kisi simple (p) dan SC simple cubic atom-atom hanya berada pada titik pojok kubus, sehingga kubus tersebut disebut sel primitif (p). Pada kisi body centre (BC) ada satu atom yang berada ditengah-tengah kubus. Pada kisi base centre (i) atau body centered cubic (BCC) atom-atom terdapat pada titik pojok kubus dan pada titik pusat kubus. Pada kisi face centered cubic (FCC) atom-atom terdapat pada kedelapan pojok kubus dan pada keenam titik pusat pemukaan kubus.
28.3 Zinc Oxide
Zinc Oxide (ZnO) atau dikenal juga dengan nama lain zinc white memiliki massa molekul 81,48 gr/mol, energi gap sebesar 3,37 eV dan melting point 19750C. Selain itu ZnO juga mempunyai karakteristik yang dapat memotong sinar UV pada ukuran partikel dibawah 100 nm dan dapat berluminisensi pada panjang gelombang 400-500 nm. Karakteristik ZnO 448
dengan melting point yang tinggi menunjukkan bahwa ZnO bersifat sebagai material yang tahan panas. Energi gap ZnO yang rendah (kurang dari 6 eV) menunjukkan ZnO dapat digolongkan sebagai bahan semikonduktor. Karakteristik ZnO sangat dipengaruhi oleh besar kecil ukuran partikel ZnO yang diperoleh. Namun pada dasarnya karakteristik partikel ZnO dipengaruhi oleh ikatan antar atom dalam kristal, orientasi bidang kristal dan struktur dari kristalnya. Berdasarkan atom pembentuk ZnO, jelaslah bahwa ZnO disusun oleh atom logam zinc (Zn2+) dan atom oxigen (O2-). Berdasarkan jenis-jenis ikatan yang terdapat pada bagian 2.1.1, dapat diketahui bahwa pada kristal ZnO terdapat ikatan campuran antara ikatan ionik dan kovalen. Dari data JCPDS 36-1451 diperoleh bahwa kristal ZnO memiliki kecendrungan orientasi kristal pada daerah (2 θ ) = 36o dengan kecenderungan orientasi kristal berada pada [ h k l ] = [101]. Untuk memahami lebih jelas tentang ikatan, orientasi bidang dan struktur kristal ZnO yang terbentuk dapat dilihat pada Gambar7.
a
b
c
Gambar 28.7. Struktur kristal ZnO. a.Struktur ZnO heksagonal. b.Struktur ZnO dilihat dari atas. c. Struktur ZnO dilahati dati samping
Gambar 7.a. memperlihatkan ikatan ionik dan kovalen antara Zn2+ (atom berwarna biru) dengan O2- (atom berwarna merah). Terjadinya ikatan ion dan kovalen menimbulkan bentuk struktur heksagonal dari kristal ZnO.Pada Gambar 7.b dapat dilihat bidang kristal ZnO berbentuk segi 449
enam dengan jarak antar atomnya sama dan pada Gambar 7.c bidang kristal ZnO berbentuk persegi panjang. Sehingga dari Gambar 7 dapat disimpulkan bahwa struktur kristal terbentuk dari ikatan atom-atom penyusun kristal dan oreintasi bidang kristal.
28.3.1 Metode Sintesis Partikel ZnO Untuk menghasilkan partikel ZnO dengan ukuran kristal maupun ukuran partikel berdiameter nanometer, telah dilakukan beberapa metode pensintesisan, antara lain:
28.3.2 Metode Solid State
Metode solid state adalah metode yang menggunakan bahan padatan tanpa menggunakan pelarut. Proses pencampuran bahan dilakukan dengan penggerusan dan pemanasan. Sintesis ZnO dengan metode solid state yang dilakukan oleh DU Yu-Lei dkk menggunakan prekursor yang digunakan ZnSO 4 .7H 2 O dan Na 2 CO 3 dengan perbandingan molar 1:1. Kedua prekursor dicampurkan dan digerus (grinding) selama 1/2 jam, kemudian dipanaskan selama 1 jam (temperatur pemanasan berkisar antara 300oC – 5000C), selanjutnya dilakukan pencucian pada campuran dengan air destilasi sebanyak 3 kali dan 1 kali dengan Et-OH. Perlakuan terakhir untuk memperoleh ZnO berbentuk powder, campuran yang berupa padatan dipanaskan pada temperatur 800C. Ukuran kristal ZnO yang dihasilkan dari metode solid state ini berkisar 10 nm – 38 nm. Kelemahan metode solid state adalah material yang dihasilkan berkemungkinan terkontaminasi oleh material penggerus (material grinding), sehingga akan mempengaruhi efek dari material yang dihasilkan.
450
28.3.3 Metode Sol-Gel
Metode sol gel merupakan metode yang mereaksikan bahan-bahan kimia dalam fasa larutan. Pencampuran bahan dalam fasa larutan bertujuan agar partikel yang dihasilkan memiliki komposisi kimia yang homogen. Dalam metode sol gel akan terjadi reaksi hidrolisis yang menyebabkan perubahan fasa dari cair - sol menjadi gel. Reaksi hidrolisis pada metode sol gel terjadi saat penambahan air pada proses sintesis, muatan positif pada pusat atom metal dan muatan negatif pada molekul air akan terpisah, sehingga masing-masing ion tersebut saling berikatan. Bagan alir reaksi sol gel adalah sebagai berikut:
Hydrolisis: M (OR’) + H 2 O
M(OH) 4 +4R’OH
Kondensasi: M’(OH) 4 + M’(OH) 4
(OH) 3 M O
M(OH)+H 2 O[16].
dimana metal alkoxide dengan simbol M(OR’) n . M adalah metal, O adalah oksiegen dan R’ adalah organik group..
Pembuatan ZnO dengan metode sol gel salah satunya dilakukan oleh Lidia Armelao dkk. Armelao mensintesis ZnO yang ditanamkan dalam silica. Prekursor yang digunakan adalah Zn(CH 3 COOH) 2 .2H 2 O dengan pelarut ethyl-alcohol dihydrate (C2 H 5 OH). Agar terjadi deionisasi, air dan acetid acid ditambahkan pada larutan Zn(CH 3 COOH) 2 .2H 2 O dan C 2 H 5 OH, dengan perbandingan ethyl-alcohol dihydrate dan zinc asetate dihydrate 85:1, air dengan zinc asetate dihydrate 11:1, acetid acid dan zinc asetate dihydrate 0,01:1. Larutan prekursor dipanaskan pada temperatur 65oC selama 2 jam, setelah itu dilakukan annealing pada temperatur 300oC– 600oC. Ukuran kristal yang dihasilkan adalah 5 – 13 nm. Ukuran dari kristal yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan metode solid state dan partikel yang dihasilkan homogen secara kimia.
451
28.3.4 Metode Spanel Anderson
Metode Spanel Anderson merupakan metode sol gel yang dimodifikasi oleh Spanel dan Anderson. Perbedaan terdapat pada lama waktu sintesis yaitu adanya waktu pendiaman larutan yang bertujuan agar terjadinya penumbuhan kristal. Prekursor yang digunakan adalah zinc acetate dihydrate yang dilarutkan dalam ethanol. Larutan prekursor diaduk dan dipanaskan dengan temperatur 80oC selama 180 menit. Sebagian larutan menguap dan sisanya dilarutkan kembali dengan LiOH. Larutan sisa penguapan dimasukkan kedalam ultrasonic bath yang bertujuan agar terjadinya reaksi hidrolisis pada larutan. Penumbuhan kristal ZnO yang berukuran nanometer dengan metode Spanel Anderson membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu 5 hari dengan ukuran kristal yan dihasilkan adalah 3-6 nm.
28.3.5 Metode Spray Pyrolysis
Spray pyrolysis merupakan metode yang digunakan untuk memproduksi material khusus yang menggabungkan fase cair dan gas dengan proses aerosol. Partikel yang disintesis dengan spray pyrolysis mengalami proses atomisasi pada larutan precursor menjadi droplet. Droplet tersebut kemudian dialirkan melewati furnance (tempat terjadinya proses epavorasi pelarut droplet) yang merubah droplet tersebut menjadi partikel. Spray pyrolysis memiliki beberapa keuntungan yaitu, partikel yang diproduksi bentuknya bola, distribusi diameter partikel seragam dan dapat dikontrol ukurannya dari mikro ke submikro, kemurnian produk tinggi, dan prosesnya kontinu. Keuntungan ini nyata karena precursor garam tercampur dalam larutan pada level molekular. Setelah mengalami proses atomisasi, semua proses formasi partikel tergabung di dalam droplet. Setiap droplet memiliki komposisi yang sama. Partikel komposit dan multikomponen lebih mudah untuk disintesis dengan cara mengontrol reaksi kimia larutan precursor. Aplikasi proses spray pyrolysis pada industri sangat menjanjikan karena perlengkapan yang digunakan sederhana dengan waktu proses yang pendek dalam orde detik. Sebagai bahan perbandingan, penggunaan cara konvensional dengan menggunakan metoda fase padat atau cair membutuhkan pengulangan proses yang sama. Seperti 452
proses perhitungan dan penggilingan untuk menghasilkan ukuran partikel yang diinginkan. Selain itu, operasi tersebut berdampak masuknya kotoran kedalam partikel . Partikel yang digunakan dalam penelitian ini adalah ZnO. ZnO dipilih karena penggunaannya yang luas hampir disemua bidang industri elekronika. Penggunaan spray pyrolysis dalam mensintesis partikel difokuskan pada prediksi dan kontrol dalam menghasilkan morfologi partikel. Banyak peneliti yang memberikan solusi numerik dalam proses konversi droplet ke partikel. Marshall dan Colleagues meneliti efek epavorasi bahan pelarut pada morfologi partikel yang telah kering dengan menggunakan persamaan difusi untuk transfer massa pada padatan yang terlarut kedalam droplet. Persamaan difusi yang diterangkan dalam makalahnya Marshall terlalu rumit untuk diselesaikan secara analitik karena pergerakan batas yang disebabkan oleh shrinkage droplet. Kesulitan pada penghitungan yang berbelit-belit pada masalah pergerakan batas telah disederhanakan oleh van der Lijn dengan cara mengemukakan hubungan matematika untuk memperbaiki batas terluar. Teknik ini menjadikan hubungan secara analitik untuk solusi penghitungan distribusi konsentrasi didalam droplet lebih sederhana. Sifat fisika kohesi dan adhesi merupakan salah satu faktor penting dalam pembentukan film tipis didalam alat spray pyrolysis, selain sifat diatas temperatur yang diberikan pada substrat / film pun juga menjadi faktor penting lainnya, terlihat pada Gambar 8 dibawah ini
Gambar 28.8. Evolusi dari droplet didalam alat spray pyrolysis
453
Pada Gambar 8 terlihat evolusi droplet yang terbentuk didalam reaktor spray pyrolysis, deposisi ZnO pada film tipis dapat terbentuk bila droplet masih pada keadaan basah atau bisa dikatakan droplet belum terbentuk sempurna, keadan droplet basah atau kering terbentuk pada posisi tertentu, terlihat pada Gambar 5, penumbuhan film tipis yang seragam dan tidak seragam.
Gambar 28.9. Hasil penumbuhan film tipis, seragam atas, tidak seragam bawah
Metoda fabrikasi partikel nanostruktur dengan menggunakan spray drying dan spray pyrolysis memiliki banyak kesamaan, mulai dari peralatan, parameter yang digunakan maupun hasil yang diinginkan. Perbedaan mendasar dari kedua proses tersebut terletak pada reaksi yang terjadi saat proses pemanasan Metoda spray drying dan spray pyrolysis adalah teknologi terbaik untuk menghasilkan partikel serbuk. Untuk mereduksi ukuran partikel menjadi ukuran partikel berskala nanometer, ada 2 dasar tahapan yang diperlukan yaitu: a) Reduksi ukuran awal spray Hal tersebut dapat dilakukan dengan menghasilkan ukuran droplet yang lebih kecil, dengan cara mengatur frekuensi dari piezoelektrik didalam ultrasonik nebulizer.
b) Larutan konsentrasi rendah 454
Ketika droplet berisi bahan terlarut akan membentuk padatan setelah dipanaskan. Makin kecil konsentrasi larutan maka semakin sedikit jumlah partikel terlarut dalam droplet yang menyebabkan makin kecil ukuran partikel nanostruktur yang dihasilkan.
Konsep dasar metoda Spray Drying dan Spray Pyrolysis adalah memanaskan sebuah droplet sehingga pelarut akan menguap dan partikel nanostruktur dapat terbentuk. Metoda spray pyrolysis dapat digunakan untuk mempabrikasi metal, metal oxides dan partikel nanokomposit bubuk karena metoda tersebut mampu menghasilkan partikel dengan komposisi dan morfologi partikel yang terkontrol, kristalinitas yang bagus, dan ukuran yang seragam. Pengontrolan ukuran partikel sangat dipengaruhi oleh kemampuan ultrasonic dalam produksi ukuran droplet. Proses yang terjadi pada metoda spray drying adalah pertama larutan dirubah diatomisasi menjadi dalam bentuk droplet dengan diameter d p , sedangkan didalam droplet terdapat material berukuran nanometer (sol) dengan diameter d d . Sedangkan pada metode spray pyrolysis didalam droplet tidak terdapat partikel nanostruktur tetapi terdapat zat-zat terlarut yang akan bereaksi dengan zat yang lain. Bentuk droplet dengan diameter antara 1-100 μm dihasilkan alat pengatomisasi seperti ultrasonic nebulizer.
Gambar 28.10. Skema lengkap sistem dan alat spry pyrolysis 455
Terlihat pada Gambar 10, skema reaktor lengkap sistem dan alat spry pyrolysis lalu droplet dialirkan kedalam tabung reaktor dengan bantuan gas pembawa untuk dikeringkan sehingga air terdispersi didalam droplet akan menguap didalam reaktor, saat air dalam droplet menguap akan tersisa material dengan struktur berukuran nanometer yang memiliki ukuran sub-mikrometer berbentuk bola bulat. Proses pembentukan droplet dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 28.11. Proses pembantukan droplet pada Spray Drying dan Spray Pyrolysis
28.3.5 Metode Pechini
Metode Pechini adalah salah satu metode larutan. Prekursor yang digunakan berupa larutan metal alcoxide dengan pelarut berupa asam. Agar tidak terjadi pengumpalan (chelating agent) digunakan ethylene-glycol 456
sebagai. Lima dkk menggunakan Metode Pechini untuk mebuat material luminisensi ZnO yang didoping dengan Eu3+. Gambar 2.8. merupakan bagan alir sintesis ZnO yang dilakukan oleh Lima dkk. Prekursor yang digunakan adalah larutan zinc asetate dihydrate dan pelarut acetid acid dengan perbandingan mol 1:1,2. Prekursor dan pelarut diaduk dan dipanaskan dengan temperatur 1300C hingga terbentuk resin. Saat pengadukan larutan ditambahkan ethylene-glycol (EG) agar terjadi proses polimerisasi, sehingga atom-atom Zn dan O akan menempel pada rantai polimer. Resin yang dihasilkan dipanaskan pada temperatur 900oC, sehingga terbentuk ZnO powder dengan ukuran partikel 500 nm[4].
Proses sintesis ZnO dengan Metode Pechini sangat sederhana bila dibandingkan dengan metode-metode lain. Tabel.2. memuat beberapa keuntungan menggunakan Metode Pechini.
Tabel 28.2. Perbandingan metode sintesis ZnO dan hasil yang diperoleh. No
Metode Sintesis
Temperatur
Lama proses
Ukuran
Hasil
1
Solid State
300oC- 500oC
1 jam
Kristal 10 – 38 nm
Material yang dihasilkan tidak homogen
2
Sol Gel (Armealo. dkk)
300oC - 600oC
2 jam
partikel 10 – 100 nm
Material yang dihasilkan homogen
3
Spannel & Anderson
800oC
2 jam – 5 hari
Cluster 3 nm.
Ukuran dapat bervariasi hingga bulk dengan ukuran kristal nanosize.
Bulk 1 – 5 mm
Membutuhkan waktu sintesis yang lama. 4
Spray pyrolysis
861oK
45,3 detik
457
Partikel 100-200 nm
Material yang dihasilkan homogen,bentuk
dan ukuran partikel yang dihasilkan bervariasi ( padat dan berpori). 5
Pechini
900oC
_
Partikel 50 200 nm
Hasil homogen, partikel seragam, alat yang digunakan sederhana
28.4 Karakterisasi Partikel ZnO dengan Difraksi Sinar-x X-ray adalah radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang 1,54 Å. Panjang gelombang tersebut sama dengan ukuran atom pada kristal. Setiap struktur kristal mempunyai pola difraksi x-ray yang berbeda. Dari pola difraksi yang dihasilkan dapat ditentukan struktur kristal dan ukuran kristal dari ZnO.
Gambar 28.12. Skema mekanisme difraksi sinar-x
458
Gambar 12. memperlihatkan mekanisme difraksi sinar-x. Sinar kedua yang datang pada atom harus melewati perjalanan lebih panjang dari sinar yang pertama sebesar: AB+BC. Hukum Bragg menyatakan bahwa apabila dua buah sinar menjalar dengan sejajar, maka pertambahan jarak lintasan yang dilewati merupakan kelipatan panjang gelombang (λ) dari kedua sinar tersebut : nλ = AB +BC
(2.11)
Dengan menggunakan persamaan trigonometri, diperoleh persamaan untuk Gambar13. diatas yaitu: AB = d sin
karena
AB = BC
sehingga
n = 2AB
(2.13)
atau
n = 2 d sin
dengan: .
n = orde dalam integer λ = panjang gelombang sinar X
θ = sudut yang dibentuk sinar datang dan permukaan kristal
.
d = jarak antar atom Dari hasil karakterisasi sinar-x kita dapat menetukan FWHM (full width at half maximum) yang berguna dalam penentuan ukuran diameter suatu kristal. 459
Gambar 28.13. Skema penentuan nilai FWHM.
Dari Gambar 2.10. nilai FWHM pada grafik XRD dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan: B=
1 (2θ 2 − 2θ 2 ) = θ 2 − θ1 2
Sedangkan untuk menetukan ukuran kristal ZnO digunakan persamaan Scherrer:
t=K
λ B cos θ
(2.16)
Dimana t adalah ukuran kristal (nm), K adalah konstanta faktor geometri kristal (pada kristal kubik nilainya adalah 0.94), λ adalah panjang gelombang sinar-X yang digunakan yaitu 1.54 Ǻ = 0.154 nm , θ ialah sudut refleksi Bragg dan B adalah nilai FWHM dalam satuan radian. 460
28.4.1 Karakterisasi Partikel ZnO dengan FE-SEM
FE-SEM merupakan alat yang digunakan untuk mengukur dan memberi Gambaran sktruktur material dengan skala submikrometer hingga nanometer. Sistem kerja dari alat ini sama dengan mikroskop optis, namun FE-SEM menggunakan penembak elektron medan emisi sebagai sumber cahaya dengan energi 1-30 KeV difokuskan pada titik kecil yang kurang dari 10 nm.
Gambar 28.14. Prinsip kerja FE-SEM
Gambar 14. menunjukkan skema prinsip kerja dari FE-SEM. Pertama elektron dihasilkan oleh field emission source dalam ruang vacum. Sinar dilewatkan sepanjang electromagneticlenses, difokuskan di atas speciment. Akibat dari penembakan elektron pada speciment, terjadi emisi elektron dengan intensitas tertentu. Sebuah detektor menangkap elektron kedua dengan intensitas tertentu dan divisualisasikan pada monitor. Dari hasil visulisasi dari monitor dapat diketahui bentuk partikel dari speciment. Pada FE-SEM gambar dibentuk dan ditampilkan oleh sinar elektron yang difokuskan dengan tajam pada permukaan spesimen. Sinar elektron tersebut memindai (scanning) spesimen dalam sebuah deretan garis-garis dan bingkai yang dinamakan raster, sama halnya seperti televisi pada umumnya. Pergerakan raster dilakukan oleh gulungan kawat (coil) kecil 461
yang berarus. Gambar bagan dari sebuah mikroskop elektron ditunjukan pada Gambar 14. Spesimen dibombardir dengan elektron-elektron melalui area yang sangat kecil. Beberapa hal mungkin terjadi pada elektronelektron ini. Bisa saja elektron-elektron tersebut direfleksikan spesimen secara elastik. Bisa saja diabsorbsi oleh spesimen dan memberikan kenaikan energi pada elektron sekundernya. Bisa saja diabsorbsi oleh spesimen dan memberikan kenaikan pada emisi cahaya tampak. Dan bisa saja menghasilkan kenaikan arus listrik pada spesimen. Semua efek tersebut yang akhirnya dapat menghasilkan gambar spesimen.
28.5 DIVAIS SEL SURYA 28.5.1 Tinjauan Umum Tentang Sel Surya Energi radiasi matahari merupakan sumber energi alternatif yang jumlahnya tidak terbatas, terutama untuk negara-negara tropis seperti Indonesia. Radiasi matahari berasal dari reaksi fusi nuklir pada matahari. Sekitar 4 × 10 26 J det energi diemisikan sebagai radiasi elektromagnetik dalam daerah spektral antara 0,2µm − 3µm , dengan intensitas radiasi dalam ruang bebas pada jarak rata-rata bumi dari matahari sebesar 1353W m 2 . Cahaya matahari selanjutnya diabsorpsi dan dihamburkan oleh atmosfer sebelum mencapai permukaan bumi. Gambar 13 memperlihatkan spektrum radiasi matahari pada beberapa kondisi yang berbeda (Szlufcik dkk., 1997). Massa udara (Air Mass, AM) didefinisikan sebagai derajat atenuasi yang diukur berdasarkan bagian jarak relatif atmosfer terhadap bagian jarak minimum saat matahari tepat berada di atas zenith. Massa udara ini terdiri atas AM0 saat spektrum cahaya matahari yang sampai di permukaan bumi tanpa terhalang oleh atmosfer, AM1 saat matahari berada tepat pada zenith dan AM1,5 saat matahari berada 450 di atas horizon
462
.
Gambar 28.15. Spektrum radiasi matahari pada beberapa kondisi yang berbeda (Szlufcik dkk., 1997) Di samping sumber energi yang telah ada, radiasi matahari dapat dijadikan sebagai sumber energi alternatif paling besar. Oleh karena itu, pengembangan energi alternatif berbasis tenaga matahari akan sangat menjanjikan. Salah satu cara pemanfaatan energi radiasi matahari tersebut dilakukan berdasarkan sistem konversi fotovoltaik melalui suatu piranti optoelektronik yang disebut sel surya (Solar Cell). Sel surya merupakan salah satu sumber energi alternatif dan dapat mengkonversi secara langsung energi matahari menjadi energi listrik. Keuntungan penggunaan sel surya pada konversi fotovoltaik diantaranya (Wolf, 1991): 1) Mengkonversi langsung energi radiasi matahari menjadi energi listrik. 2) Ramah lingkungan, tanpa emisi saat dioperasikan, dan tidak memerlukan bahan bakar. 3) Dapat digunakan di mana-mana dan dapat diintegrasikan pada bangunan ataupun konstruksi yang lain. 4) Berbentuk modular sehingga jumlah sel surya yang dipakai dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Penelitian tentang efek fotovoltaik pertama kali dilakukan oleh Becquerel pada tahun 1839, dimana Becquerel mendeteksi adanya tegangan foto ketika sinar matahari mengenai elektroda pada larutan elektrolit. Kemudian pada tahun 1954, para peneliti dari Bell Laboratories melakukan pengembangan efek fotovoltaik menjadi sel surya dengan menggunakan material silikon kristal terdifusi. Efisiensi konversi sel surya yang diperoleh 463
saat itu sekitar 4,5% (Szlufcik dkk, 1997). Sejak saat itu, sel surya mulai menarik perhatian banyak peneliti karena sel surya diperkirakan dapat menjadi kandidat sumber pembangkit listrik di masa datang. Berbagai material kemudian diteliti untuk mendapatkan jenis material yang dapat menghasilkan sel surya dengan efisiensi konversi yang tinggi. Analisis teoritik yang berdasarkan celah pita energi menginformasikan bahwa beberapa jenis material diperkirakan mampu menghasilkan sel surya dengan efisiensi konversi lebih dari 30%, seperti diperlihatkan pada Gambar I.2 (Sze, 1981). Berbagai kemajuan terus dicapai seiring dengan efisiensi konversinya yang juga terus mengalami peningkatan sehingga sel surya mulai menyentuh kehidupan manusia dan mulai dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik di berbagai perumahan sejak tahun 1990 (Kazmerski, 2006).
Gambar 28.16. Efisiensi konversi sel surya ideal yang dapat dihasilkan oleh beberapa jenis material (Sze, 1981).
Jika cahaya matahari yang mengandung energi foton menyinari sel surya, energi foton tersebut akan diabsorbsi oleh material sel surya 464
sehingga elektron-elektron yang berada pada pita valensi akan tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi dan meninggalkan hole. Proses pembentukan pasangan pembawa muatan tersebut (elektron-hole) lebih dikenal dengan generasi pembawa muatan. Pergerakan pembawa-pembawa muatan tersebut selanjutnya akan menghasilkan arus listrik. Ilustrasi proses konversi fotovoltaik dalam sel surya silikon kristal seperti diperlihatkan pada gambar I.3.
Gambar 28.17. Ilustrasi proses konversi fotovoltaik dalam sel surya berbasis c-Si (Takahashi dan Konagai, 1986)
28.5.2 Struktur Dasar Sel Surya Struktur sel surya dasarnya terdiri dari suatu hubungan (junction) antar dua bahan semikonduktor, misalnya antara semikonduktor tipe-p dan bahan semikonduktor tipe-n. Selain kedua bahan tersebut, sel surya dilengkapi pula dengan kontak-kontak serta lapisan pelindung lainnya. Bahan sel surya sendiri terdiri dari kaca pelindung dan material adhesive transparan yang melindungi bahan sel surya dari keadaan lingkungan, material anti refleksi untuk menyerap lebih banyak cahaya dan mengurangi jumlah cahaya yang dipantulkan, semikonduktor tipe-p dan tipe-n (terbuat dari campuran Silikon) untuk menghasilkan medan listrik, kontak logam awal dan kontak logam akhir (logam tipis) untuk mengirim elektron ke perabot listrik. 465
Gambar 28.18. struktur solar sel nanokristal dan b. TEM nanokristal
Cahaya (foton) yang jatuh pada permukaan sel surya akan diserap dan dikonversikan menjadi energi listrik terlihat pada gambar 14. Tetapi tidak semua energi foton yang diserap dikonversikan menjadi energi listrik. Hanya foton yang mempunyai energi foton cukup (hυ > E g ) untuk mengatasi celah energi sebesar 1,1 eV yang dapat dikonversikan.
Gambar 28.19. Skema aliran electron dan hole pada solar cell Dari Gambar 14 terlihat bahwa nano krrstal ZnO di gunakan sebagai lapisan aktif lapisan yang mengabsorpsi cahaya matahari, juga terlihat pada Gambar 15 skema pergerakan dari electron dan hole yang. Hole akan bergerak kearah ITO dan electron bergerak kearah metal sesuai dengan kaidah rekombinasi yang tertahan bajan tipe – p dan tipe – n. Semakin tinggi intensitas cahaya dengan energi foton (hυ > E g ) maka semakin 466
banyak jumlah foton yang diterima sel surya, sehingga jumlah pasangan elektron dan hole yang dibangkitkan semakin besar. Karena pengaruh medan listrik (ε ) maka pembawa muatan bebas (elektron dan hole) yang terdapat di daerah lapisan deplesi akan mendapat gaya listrik sebesar: F = qε
(2.1)
dimana q adalah muatan elektron atau hole.
28.5.2 Peningkatan Efisiensi Pada solar cell Penggunaan nano Kristal pada solar cell merupakan salah satu usaha para peneliti untuk meningkatkan efisiensi solar cell pada saat menyerap cahaya matahari. Namun dilakukan pula perlakuan variasi morfologi pada partikel ZnO yaitu dengan melakukan agregat ukuran yang beragam seperti terlihat pada gambar 16.
Gambar 28.20. Hasil karakterisasi SEM dengan variasi morfologi ukuran partikel
467
Dari hasil sintesis menggunakan metoda spray pyrolysis seperti terlihat pada Gambar 16. Lalu dilakukan karakterisasi absorpsi Gambar 17, terlihat bahwa partikel ZnO yang diperoleh dengan beragam ukuran memiliki absorspsi lebih tinggi dibandingkan dengan partikel yang seragam (monodiperse).
Gambar 28.21. Hasil karakterisasi absorspsi dengan variasi agregasi ukuran partikel, dan tingkat eksitasi yang terjadi pada partikel hasil serupa terlihat dari pengukuran arus dan efisiensi partikel ZnO pada Gambar 18, untuk agregat partikel yang polydisperse menghasilkan arus yang lebih tinggi dibandingkan dengan monodysperse, serta menghasilkan efisiensi yang tinggi pula untuk partikel dengan agregasi polydisperse. Hal tersebut terjadi dikarenakan tingkat efisiensi yang bertambah pada kulit2 atom sehingga menyebabkan tingginya hoping electron.
468
Gambar 28.22. Hasil pengukuran arus dan efisiensii divais partikel ZnO
469
DAFTAR PUSTAKA •
M. Abdullah. 2008. Buku Pengantar Nanosain:. Bab 1 Pendahuluan. Pdf. (26/3/2008).
•
D. Yu-lei 2002. Structural Characteristics and Photoluminisence of Zinc Oxide Nanocrsital. Vol 19. No 3(2002) 372. Chin. Phys. Lett.
•
S. Shukla 2003. Syntesis, Fuctional and Surface Treatment of Nanoparticles. Edited by M.I. Baraton. Calivornia: American Sciented Publisher.
•
L. Aemelao 2001. Sol-Gel Synthesis and Cracterisation of ZnO Based nanosystems. J.Thin .Solid. Film.39, pp 90-96.
•
L. Spanel 1990. Semiconductor Clusters in the Sol Gel Proces: Quatized, Aggregation, Gelation and Cristal Growth in Concentrated ZnO Colloids. J. Am. Chem. Soc 1991, 113, 2826- 2833.
•
O. Milosevic 1997. Syntesis and Deposition of ZnO Base Particle by Aerosol Spray Pyrolisis. J.Thin.Solid. Film. 296. 44- 48.
•
M Boucharef1, C Di Bin1, M S Boumaza, M Colas, H J Snaith B Ratier and J Boucl´ Solid-state dye-sensitized solar cells based on ZnO nanocrystals
Nanotechnology 21 (2010) 205203 (12pp) doi:10.1088/09574484/21/20/205203
470
BAB 29 Sintesis Nanomaterial Oleh: Ea Cahya Septia Mahen
29.1. Pendahuluan Pada sepuluh tahun terakhir ini, nanosains dan nanotekhnologi telah berkembang secara signifikan, dan pengaruh nanosains dan nano tekhnologi pada segala bidang telah diakui di seluruh dunia. Nanosains merupakan salah satu bahasan cabang ilmu pengetahuan tentang penelitian dan pengembangan yang berkembang dengan pesat di seluruh dunia beberapa tahun terakhir ini. Hal ini akan berpotensial pada refolusi bagaimana material dan device diproduksi. Hal ini tentunya akan memberikan kontibusi yang tinggi untuk kemudahan dan pemanpataannya bagi kebutuhan kehidupan manusia. Nano berasal dari kata yunani “νάνος” yang berarti orang kerdil.
Dalam ilmu pengetahuan nano berarti ukuran satuan 10-9. Nanomaterial berarti material yang berukuran mendekati 10-9 m atau kurang dari 100 nm. Berikut digambarkan hubungan antar berbagai ukuran untuk mempermudahkan kita memahami nano material.
Gambar 29.1 hubungan antar berbagai ukuran
471
Nanomaterial memainkan peranan pendukung yang penting untuk aplikasi nanosains dan nanotekhnologi dalam bidang pembuatan, seperti informasi dan tekhnik, sumber energi, lingkungan, kesehatan dan treetmen medis. Nano material mengundang ketertarikan banyak orang pada akhir-akhir ini karena keunggulanya dalam sifat mekanik, elektrik, optic dan magnetic yang luar biasa. Secara umum efek nano sruktur dapat dibedakan menjadi : a. Efek ukuran, terutama efek ukuran quantum, dimana struktur elektronik bulk normal digantikan dengan rangkaian level elektronik diskrit. Efek ukuran ini pada umumnya menggambarkan sifat fisis partikel. b. Efek permukaan, ini sangat penting karena meningkatkan permukaan spesipik pada system partikel. Efek permukaan ini memainkan peranan penting dalam proses kimia. Efek permukaan ini dapat ditemukan dengan mengukur property termodinamik, seperti tekanan udara, konduktifitas termal, panas jenis, titik leleh dan sebagainya. Beberapa aplikasasi nanomaterial telah dilaporkan dalam beberapa jurnal atau literature, diantaranaya dalam bidang elektronik, aplikasi magnetik, penyimpan energi, aplikasi medis, katalis, dan lain sebagainya. Persoalan pokok pada ranah nanomaterial adalah: a. kemampuan untuk mengontrol skala (ukuran) sistem, b. kemampuan untuk memperoleh komposisi yang diperluakan, bukan hanya komposisi rat-rata, tapi detailnya juga seperti defect, konsentrasi, dsb, c. kemampuan untuk mengontrol dimensi modulasi, d. selama proses pembentukan nanomaterial, kemampuan untuk mengontrol luas interaksi antara building block seperti arsitektur material itu sendiri. Material nanostruktur dapat didefinisikan sebagai material dengan ukuran Kristal kurang dari 100 nm yang dapat diprosuksi dengan proses bottom-up atau top-down. Pendekatan bottom up dimulai dari atom, ion atau molekul sebagai “building block” dan diasembli pada ukuran skala nano, sedangkan metode top down untuk mensintesis nanomaterial dimulai dengan material berukuran besar dan struktur nano diperoleh dengan cara dekomposisi sruktur. Nano material dapat disintesis pada berbagai fasa; padat, cair, dan gas. Proses sintesisnya juga dapat melalui proses fisis (fisika) atau kimia. Pada proses fisika yang terjadi adalah pengubahan bentuk bulk 472
menjadi ukuran nano, contonya adalah dengan proses penggilingan, electron beam lithografi (EBL), DAN LAIN-LAIN sedangkan pada proses kimia yang terjadi adalah keterlibatan reaksi kimia dalam proses pembentukan nanomaterial, contohnya adalah dengan mereaksikan asam dan basa yang sesuai. Berikut skema pembetukan nano partikel :
Gambar 29.2 Skema pembantukan partikel nano melalui pendekatan Top-Down dan Bottom-Up
473
29.2. Metode Sintesis Nanomaterial Akhir-akhir ini dikembangkan beberapa mede untuk mensintesis (membuat) nano partikel, baik itu dengan pendekatan Bottom Up , maupun Top Down, dalam fasa padat, cair, maupun gas, dan juga melalui reaksi kimia maupun fisika. Dalam Bab ini akan dijelaskan beberapa metode sintesis nanopartikel sederhana.
29.2.1. Penggilingan Mekanis Penggilingan merupakan salah satu metode top down dalam mensintesis nanomaterial yang telah dikenal banyak orang, dimana material disiapkan bukan dari kluster-kluster, melainkan dengan dekomposisi struktur berbutir kasar sebagai hasil dari deformasi plastik kasar. Metode ini merupakan metode popular dalam sinesis nanomaterial karena lebih sederhana, memerlukan peralatan yang lebih murah (pada skala laboratorium) dan dapat diaplikasikan dalam sintesis material kelas apa pun.cKeuntungan utamanya adalah kemungkinan sintesis nanomaterial dalam skala besar.
Gambar 29.3 perbandingan material sebelum dan sesudah digiling Selanjutnya problem serius yang dapat terjadi pada penggilingan adalah: 1. Terkontaminasi oleh media peggilingan dan atau atmosfer. 2. Kebutuhan (untuk banyak aplikasi) untuk menggabungkan produk powder tanpa mengasarkan mikro struktur nano kristal. 3. Ada batasan terkecil ukuran partikel sehinggal penggilingan tidak bisa mengubah ukuran partikel, karena semakin kecil material akan memperlihatkan peningkatan plastisitas yang 474
tinggi. Mesin Penggilingan adalah tipe mesin yang menggunakan SPEX (high energy shaker), ball planit, atau alat giling. Energy diteruskan ke powder dari bola baja, yang bergantung pada kecepatan putaran (atau getaran), ukuran dan banyaknya bola yang digunakan, rasio jumlah bola terhadap massa powder, waktu penggilingan, dan udara di sekitar tempat penggilingan. Nanopartikel diproduksi dengan aksi pengikisan selama proses penggilingan. Untuk menghasilkan retakan pada material yang akan dideformasi, diperlukan tekanan minimal yang diberikan penggiling (ball milling) yang dirumuskan sebagai berikut: 𝜎𝜎𝐹𝐹 = �
𝛾𝛾𝛾𝛾 𝑐𝑐
Dengan 𝜎𝜎𝐹𝐹 adalah tekanan yang diberikan oleh ball milling ketika retakan diteruskan untuk memecah partikel, 𝛾𝛾 adalah energy permukaan material, E adalah modulus young dan c adalah panjang retakan.
Gambar 29.4 skema penggilingan oleh Ball Milling Salah satu contoh pengilingan mekanis adalah ball milling yang dikembangkan pada awalnya sebagai metode pembentukan powder untuk memproduksi dispersi campuran kuat dan halus, dengan distribusi yang merata. Sesudah itu, metode ini digunakan sebagai
475
metode nonequilibrium yang sangat kuat yang dapat mensintesis berbagai macam material dengan struktur stabil.
Gambar 29.5 mesin penggilingan Untuk memecah partikel dengan menggunakan metode penggilingan dikenal indeks kerja Bond (W i ) yang menentukan energi yang diperlukan untuk memecah partikel W i = 10 (d f-1/2 - d i -1/2) Dengan d i adalah diameter partikel yang akan dipecah dan d f adalah diameter akhir partikel yang diharapkan. .
29.2.2 Elektron Beam Lithografi Electron beam lithography (EBL) bersandar pada material atau “resists” yang secara kimia berubah ketika mereka diarahkan pada beam electron. Perubahan kimia membuat material dilarutkan (Soluble) dalam pelarut dimana sebelumnya material tidak dapat dilarutkan.(resist positif). Mereka menjadi tidak dapat dilarutkan (insoluble) dalam pelarut ketika awalnya material dapat dilarutkan (resist negative). Penggunaan optic elektron memanfaatkan lensa elektrostatik dan magnetic, beam elektron energi tinggi dapat difokuskan pada spot sekitar ~5 nm, yang dapat dirastered di sekitar permukaan, dengan demikian “penulisan” bagian soluble dan insoluble dapat larut menjadi resist dengan resolusi beberapa nanometer. Resist beam elektron pertama, material organic polymetyl methacrylate (PMMA) telah ditemukan pada tahun 1968 dan menjadi resist positif ketika deigunakan dengan larutan methyl isobutyl ketone (MIBK).
476
Gambar 2.2.1 menunjukan bagaimana EBL dapat digunakan untuk membuat nanostruktur logam pada permukaaan dengan menggunakan resist positif dan negatif. Dimulai dengan substrat kosong, misalnya Si, lapisan tipis dari resist dipanaskan pada permukaan (b). jika PMMA digunakan, maka akan hancur dalam MIBK dan kekuatan larutan menentukan ketebalan film PMMA. Selanjutnya (gambar c) pemokusan beam elektron pada umumnya pada energy sekitar 100 keV dan arus beam dari beberapa picoamper di rastered over daerah yang diperlukan untuk “ditulis” nanostruktur yang diinginkan pada permukaan. Dosis harus dengan teliti dikalkulasikan sehingga alterasi kimia dalam resist dapat terselesaikan dengan komplit dan menyeluruh. Beberapa resist, termasuk PMMA dapat diubah dari positif ke negative dengan mengubah exposure elektron; pada dosis rendah menjadi resist positif dan menjadi negatif jika diberikan dosis tinggi yang cukup. Resist diarahkan pada pelarut dengan dipping sederhana. Dan dikembangkan ; Resist yang dikehendaki dihancurkan (d). pada contoh yang ditunjukan, lembaran yang tersusun dari lubang dengan substrat kosong pada bagian bawah resist positif dan pulau persegi yang tersusun pada substrat dengan resist negatif. Selanjutnya logam yang diperlukan nanostruktur terdeposisi pada permukaan ke ketebalan yang tepat (e). Akhirnya, pelarut yang dapat melarutkan resist yang tak terkena cahaya digunakan, dan peluncuran semua logam yang tidak bersentuhan defngan substrat (f) meninggalkan pulau logam persegi atau lubang persegi pada film untuk resist positif dan negatif.
477
(a) substrat (Si)
(b) dipanaskan dengan resist
(c) beam elektron “menulis” pada daerah yang ditentukan Resist Positif
Resist Negatif
(d) pelarut digunakan untuk menghilagkan bagian soluble
(e) sampel dipanaskan dengan film logam (e) pelarut berbeda digunakan untuk menghilangkan resist sisa dan logam yang dipanaskan
Gambar 29.6 pembuatan nanostruktur logam pada permukaan Si menggunakan EBL Gambar 29.2.2 menunjukan susunan nanopartikel CoPt berdiameter 40 nm yang terpisah sejauh 80 nm dihasilkan pada permukaan Si melalui EBL.
Gambar 29.7 40 nm dots magnetic CoPt yang dihasilkan dengan EBL 478
29.2. 3. Sintesis Reaksi Kimia Basah dari Nanomaterial Pada prinsipnya kita dapat mengklasifikasikan sintesis reaksi kimia basah dalam dua kelompok besar, yaitu: a. metode top down : dimana Kristal tunggal dicampurkan dalam larutan encer untuk memproduksi nanomaterial, misalnya sintesis dari silicon berporos menggunakan electrochemical ething b. metode bootom up: terdiri dari metode sol-gel, pengendapan, dan lain-lain. Dimana material berisi precursor yang dicampur pada cara yang terkontrol untuk membentuk larutan koloid.
29.2.3.1. Proses Sol/Gel Proses sol-gel melibatkan evolusi dari bahan jaringan anorganik melalui formasi suspense koloid (sol) dan pembekuan sol untuk membentuk jaringan dalam pase liquid (cair). Prekursor yang digunakan adalah koloid yang terdiri dari elemen logam atau logamloid dengan berbagai ligands reaktif. Awalnya material diproses untuk membentuk disperse oxide dan membentuk sol dalam air atau larutan asam. Penghilangan cairan dari sol menghasilkan gel, dan transisi sol/gel mengontrol ukuran dan bentuk partikel. Calcination dari gel membentuk oxide. Di sini terdapat dua cara utama untuk mensintesis gel pada suhu ruangan. Pertama terdiri dari reaksi biasa yang terjadi di alam ketika silica dilarutkan dalam larutan untuk memandu terbentuknya formasi jaringan silica. Kondensasi mungkin terjadi dalam beberapa larutan bergantung pada pH dan konsentrasi garam. Perbedaan morfologi mungkin diperoleh dan untuk silica sebagian besar dikenal sruktur “opal” Cara lain untuk menghasilkan silica dari larutan hamper sama dengan reaksi kimia logam oxide dan air dalam larutan alcohol. Reaksi pertama adalah hidrolisis yang berisi penggantian dari OR yang terhubung pada silicon oleh silanol Si-OH. Sebelumnya, reaksi kimia ini mungkin bereaksi bersama-sama untuk membentuk rantai Si-O-Si (siloxane) yang memandu terbentuknya formasi jaringan silica. Tahap ini membuat jaringan 3D yang menyerbu volume keseluruhan dari wadah. dua sintesis cairan yang menggunakan solvent ( pelarut) untuk 479
melakukan reaksi kimia yang berbeda akan tetap sampai terjadi poros pada jaringan solid. Gel terbentuk. Dua tahap material ini terdiri dari shaped solid yang memperlihatkan difat yang spesifik. Reaksi yang terjadi pada proses sol-gel bergantung pada hidrolisis dan kondensasi dari meteal oxide M(OR) z yang dapat diuraikan : MOR + H 2 O → MOH + ROH (hydrolysis)
MOH + ROM → M-O-M + ROH (kondensasi)
Metode sol-gel sangat popular Dianatara ahli kimia dan dilakukan secara luas untuk mempersiapkan material oxida. Misalnya kimia dari tipe proses sol-gel untuk memproduksi Yittria yang distabilkan oleh nanopartikel zirconia, Zr(OH)4 (slurry)
HNO3+
Sol Zirconia
Y (NO)3
Yittria Zirconia Sol Surfaktan (Span 80) + Liquid Organik (1,1,1,trichloroethan
Pemanasan +air
Bulatan Gel
Bulatan Serbuk YSZ
Ekstrak Spere & Calcine
mencampur
Bulatan padat Sol Dalam Larutan Organik
Proses Sol-Gel dapat diuraikan secara ringkas pada langkahlangkah yang jelas berikut ini: 1. Formasi dari larutan berbeda yang stabil dari alkoxide atau precursor logam solvate, 2. Hasil pembekuan formasi oxida atau alkohol mmembuat jaringan (gel) dengan reaksi polykondensasi yang dihasilkan dalam peningkatan aksi dalam viskositas larutan 3. Mendiamkan gel (syneresis) selama berlangsung reaksi polykondensasi sampai gel berubah pad bentuk solid, dibarengi dengan penyusutan jaringan gel dan pengeluaran zat pelarut dari poros gel. Tahap transformasi mungkin terjadi secara bersamaan dengan syneresis. Proses penyimpanan gel dapat melewati 7 hari dan secara kritis mencegah terjadinya retakan pada gel. 4. Pengeringan gel, ketika air dan cairan volatile lainnya dihilangkan dari jaringan gel. Proses ini lumayan rumit, pada perubahan pokok dalam struktur gel. Jika terisolasi oleh penguapan thermal, hasilnya adlah monolit yang dimasukan dalam xerogel. Jika pelarut (seperti air) di extrac dibawah
480
kondisi superkritis dan dekat super kritis, hasilnya berupa aerogel. 5. Dehidrasi, ketika permukaan batas M-OH dihilangkan, di sana distabilkan oleh dehidrsi gel. Hal ini dicapai dengan memanaskan monolit pada temperature 8000 C. 6. Densifikasi dan dekomposisi gel pada suhu tinggi ( T > 8000 C) jaringan poros gel hancur dan species organic sisa di uapkan. Representasi skematik proses sol gel untuk mensintesis nano material dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 29.8 Skema proses sintesis nanomaterial dengan metode Sol-Gel Pada umumnya proses pengeringan dari gel oxide menyebabkan sintering dan penumbuhan yang juga merusak struktur poros dan penyusutan jaringan gel. Untuk melindungi tekstur dari dari gel basah,bagian dalam udara di permukaan interface poros harus dikeluarkan secara hati-hati selama proses pengeringan selalu di atas suhu dan tekanan kritis dalam autoclave. Hasilnya material terbentuk dan disebut aerogel, material dengan struktur nano dengan banyak poros. Perhatian pada metode sintesis ini muncul ketika kemungkinan sintesis dari bukan etal inorganic seperti kaca, kaca keramik atau material keramik pada suhu sangat kecil yang dikomparasikan dengan tekanan tinggi yang dibutuhkan dengan pelelehan kaca atau keramik. Contoh baik lainnya adalalah persiapan sukses MgO dengan metode aerogel. Ini ditemukan bahwa MgO dihasilkan dengan metode aerogel yang dikomparasikan dengan tehnik konvenional memperlihatkan
481
perbedaan sifat kimia. 4 nm kristalit dihasilkan dengan tekhnik aerogel dimana partikel spheroid dibandingkan dengan partikel 9 nm kristalit yang dihasilkan dengan tekhnik konvensional. Salah satu contohnya adalah sintesis nanopartikel Zinc Oxide (ZnO) dalam bentuk cairan koloid. LiOH merupakan agen hidrolisis bagi (CH 3 COO) 2 Zn sehingga menghasilkan Zn(OH) 2 kemudian yang terbentuk terkondensasi sehingga menghasilkan ZnO.
Gambar 29.9 SEM film tipis ZnO yang dihasilkan melalui metode SolGel
29.2.3.2 Sintesis Nanopartikel dalam Cairan Suspensi Untuk banyak aplikasi nanopartikel, nanopartikel dibutuhkan dalam cairan suspensi (hydrosol). Untuk material tipe ini, pada umumnya paling baik menggunakan metode kimia basah yang menghasilkan nanopartikel sebagai hydrosol. Metode umum yang digunakan logam berisi molekul seperti garam logam atau organologamik yang direduksi secara kimia untuk logam dalam kehadiran surfaktan yang memungkinkan cluster logam tumbuh, tapi mencegah terbentuknya cluster dari aglomerasi. Untuk menggambarkan sintesis kimia basah proses untuk menghasilkan nanopartikel monodisperse FePt, digambarkan secara detail pada gambar di bawah ini:
482
Gambar 29.10 Sintesis kimia nanopartikel FePt Pt yang berisi pada Pt (acac) 2 dengan struktur terlihat pada gambar di atas, dicampurkan dalam botol reaksi dengan bahan kimia lainnya. 1,2-alkanediol adalah pengantar yang mereduksi Pt dari molekulnya. Dan diotyl ether adlah cairan bulk yang didispersan dengan ttik didih tinggi (~2900 C). sedikit ikatan molekul hydrocarbon , oleic acid dan oleylamine, juga ditambahkan untuk membentuk surfaktan di sekitar atos logam dan memadatkannanopartikel FePt. Untuk pencampuran ini ditambahkan Fe yang terkandung dalam Fe(CO) 5 , yang secara termal tidak stabil dan dapat terdekomposisi pada suhu rendah (~290 0 C). campuran dipanaskan pada suhu dibawah suhu lembab, dan pembebasan atom Fe dan Pt memadat menjadi nanopartikel yang dicegah dari koagulasi dengan pemanasan surfaktan.a stoichiomertry partikel dapat dikontrol dengan jumlah relatif Pt(acac) 2 dan Fe(CO) 5 yang ditambahkan. Dan ukuran partikel dapat dikontrol pada ukuran diantara 2-5 nm dengan nilai absolut bearing kimia yang ditambahkan. Partikel besar dapat juga dihasilkan dengan dua metode dimana nanopartikel FePt dihasilkan dalam larutan sebelumnya ditambahkan sebagai biji dalam tempat reaksi dan prosesnya meningkatkan ukuran partikel. Metode ini menghasilkan suspensi partikel monodisperse. Keuntungan mempunyai disperse nanopartikel dalam cairan suspensi adalah memproduksi array yang dibutuhkan relatif cepat jika partikelnya monodispers. Tetesan suspensi dapat disalurkan pada
483
permukaan flat, dan cairan menguap dan partikel muncul bersamasama, interaksi antara pemanasan masing-masing surfaktan menyebabkan keseimbangan dapat dihasilkan sebagai pegkristalan raksasa, tapi terdapat beberpa perbedaan. Metode ini untuk mengontrol ordered arrays dari nanopartikel ditunjukan oleh gambar 2.3.4 yang menunjukan gambar hasil TEM diametr nanopartikel FePt 6 nm dengan pemansan oleate/oleylamine (a) dan hexanoate/hexylamine (b).
Gambar 29.11 larik yang teratur dari nanopartikel FePt yang dihasilkan melalui reaksi kimia Kelas penting lainnya yang dibentuk dengan metode yang sama adalah material semikonduktor seperti CdSe. Nanopartikel semikonduktor dikenal sebagai quantum dot dan fluoresce dengan panjang gelombang bergantung pada ukuran partikel pada batasan 2-10 nm. Cara alternative lain untuk menghasilkan nanopartikel menggunakan molekul multi branched yang dikenal sebagai dendrimers. Dendrimers berasal dari bahasa Yunani, dendro, yang artinya tanaman, dendrimers dimulai dari molekul sederhana dengan beberapa tempat aktif yang sama dengan molekul yang dapat terikat. Dendrimers dapat meningkatkan ukuran dengan memasang kerangka melekul, masing-masing kerangka dikeahui sebagai generasi dan penambahan generasi meningkatkan ukuran dendimers menekati nomor tempat permukaan aktif.contohnya 5 generasi dendimers polyamidoamine (PAMAM) ditunjukan pada gambar 2.3.5. Akhir-akhir ini , metode ini dikembangkan untuk menggunakan dendimers sebagai template untuk menghasilkan logam nanopartikel dalam suspensi dengan distribusi ukuran yang terbatas. Tekhnik dasar ditunjukan pada gambar …b dan dimulai dengan menambahkan logam garam (AuCL4 dalam contoh yang ditunjukan) pada larutan dendimer, menyebabkan hancurnya ion logam untuk menyerap saluran dendimers. Selanjutnya, tetrahydrobiopterin atau BH 4 ditambahkan dan berperan sebagai pereduksi, menghilangkan muatan dari ion logam sehingga terkondensasi pada nanopartikel bersama dendimers.
484
Untuk mengekstrak partikel, toluene yang berisi surfaktan tiol ditambahkan dan menjaga phase tersendiri dari larutan dendrimer. Dengan menggetarkannya menyebabkan thiol terpasang pada permukaan nanopartikel, lalu mengekstrak nanopartikel dari dendrimers, dan membawanya pada phase toluene. Dendrimer kosong berada di sebelah kiri dan dapat digunakan untuk memperoleh partikel lebih lanjut. Ukuran partikel (diameter maximum sampai 4 nm) dapat dikontrol secara mudah dengan sejumlah logam garam ditambahkan pada larutan dendrimer. Pembuatan nanopartikel dengan jumlah logam yang berbeda telah dilaporkan. Untuk beberapa aplikasi, contohnya katalis.
Hydrogen Carbon Nitrogen Oxygen
Gambar 29.12 sintesis nanopartikel menggunakan dendimer
29.2.3.3 Reverse Micelle Reverse micelle sebagai rongga mikroemulsi hidrofil skala nano telah diketahui sejak 1960, tapi struktur multimolecular baru digunakan pertama kali sebagai templet nano sintesis material pada tahun 1982. Synthesis Reserve micelle material termasuk sintesis material basah . Reverse micelle adalah air dalam droplet minyak yang distabilkan oleh surfactant. Rasio air terhadap surfactant, w =[H 2 O]/[S], berbanding lurus dengan ukuran droplet. Reverse micelle diperlakukan untuk gerak Brown dan selama tumbukan ini droplet bergabung untuk membentuk dimer dengan adanya pertukaran masing-masing muatan air terrsebut. Dimer menjauh satu sama lain membentuk reverse micelles. Dua larutan micelle disiapkan, masing-masing mengandung 485
reaktan. Dengan mencampur kedua larutan, reaksi kimia terjadi dan nano material terbentuk. Ukuran droplet yang dikontrol dengan w mengontrol ukuran partikel. Prosedur digunakan untuk memperoleh variasi dari material seperti semiconductor, logam, dan oxide.
Gambar 29.13 Reserve Micelle Salah satu cara untuk melakukan sintesis reserve micelle adalah menghasilkan satu induk mikroemulsi dan kemudian berturut-turut membiarkan reaktan untuk berdifusi pada bagian dalam reverse micelle dan bereaksi. Masalah utama dengan hal ini atau bisa juga disebut single-microemulsion adalah semua reaktan tidak bereaksi pada kondisi yang diperkirakan sama. Masalah kedua adlah komposisi dari mikroemulsion berangsur-angsur berubah seperti larutan dari reaktan yang berbeda berangsur-angsur muncul. Oleh karena itu, pendekatan multi-microemulsion, dimana mikroemulsion tunggal dengan komposisi sama disiapkan untuk setiap reaksi yang terlibat dalam sintesis, digunakan lebih sering dalam cara untuk mengatasi masalah single- mikroemulsion dan mencapai pengontrolan yang lebih baik parameter-parameter sintesis. Ilustrasi dari single dan multi microemulsion untuk mensintesis material dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
486
Gambar. 29.14 Ilustrasi beberapa tahap dalam penumbuhan partikel ukuran nano dalam reserve micelle dalam pendekatan multimicroemulsi (atas) dan single-microemulsi (bawah) Berikut contoh nanopartikel oxalate La-Ni yang dihasilkan dengan menggunakan metode Reserve Micelle
Gambar 29.15 La-Ni nanopartikel oxalate yangdihasilkan melalui metode Reserve Micelle
487
29.2. 4. Deposisi Fasa Gas Proses ini mencakup semua sintesis yang dimulai dengan reaksi fasa gas. Devosisi pasa gas medapat perhatian yang lebih karena metode ini memiliki cara yang mudah untuk mengontrol parameter untuk memungkinkan memproduksi ukuran, bentuk dan komposisi yang nanostruktur yang terkontrol.
29.2.4.1. Menghasilkan Nano Partikel dalam Vakum Banyak dari penelitian mendasar pada nano partikel logam murni dilaksanakan dengan menggunakan sumber yang menghasilkan partikel dalam uap supersaturasi dan transport pada celah untuk membentuk berkas partikel dalam pakum. Dalam kaitannya dengan bagian tinggi atom permukaan, banyak material ketika mereka terbentuk sebagai nanopartikel sangat reaktiv; dan jika material tersebut dipelajari dalam keadaan murni, material tersebut dihasilkan dalam lingkungan “ultra-clean”. Sehingga kebanyakan sumber dari tipe ini berhenti pada pakum bertekanan tinggi (~10-7 mbar) atau ultra tinggi (~10-10) sebelum saturasi tercipta. Untuk mengoerasikan sumber ini, kabut uap logam dibuat dengan pemanasan atau sputtering dan dicampurkan dengan satu lubang keluaran. Kondisi supersaturasi dipertahankan pada chamber pada tekanan sekitar 10 mbar. Terlebih dahulu tekanan pada daerah ini untuk beberapa sumber, dapar dibuat lebih tinggi dan diatas tekanan atmospir. Campuran partikel terkonsensasi dan gas ruangan lepas dari lingkungan pada tempat yang dipompa dengan kuat, dengan tekanan yang tetap, tekanan bagian luar dipertahankan mendekati 10 mbar. Pancaran gas pada tekanan tinggi , lubang kecil pada pakum yang dikenal sebagi “free jet expansion”dan dapat menjadi kuat dan lemah bergantung pada perbandingan tekanan pada tempat tekanan tinggi dan tekanan rendah.
Gambar 29.15 Skema dari nanoparticle Beam Source. 488
Pancaran berkas memasuki “skimmer” dengan celah yang kecil dengan efesiensi transfer nanopartikel ruang gas yang kecil memungkinkan masuk kedalam chamber selanjutnya., yang dipompa dengan pompa vakum tinggi yang mejnjaga tekanan pada daerang hingh pakum sekitar 10-5 mbar. Pada vakum level ini, tumbukan antara nanopartikel dan gas dasar jarang dan partikel dalam perjalanan berkas bergerak bebas. Haost dari sumber telah dikembangkan sekitar tekhnologi umum, masing-masing mengkhususkan pada elemen particular atau batas ukuran partikel. Perbedaan utamanya adalah metode memproduksi uap logam dan berbagi bagian tekanan sumber. Skema dari perbedaan masing-masing source dapat dilihat pada gambar 2.4.2
Gambar 29.16 Skema beberapa tipe utama sumber menggunakan uap supersaturasi untuk menghasilkan berkas nanopartikel dalam pakum. Gambar 2.4.2. a manunjukan seeded supersonic nosel source (SSNS) yang terkhususkan dalam menghasilkan perubahan drastis
489
partikel logam dengan titik leleh yang rendah seperti sodium. Logam dipanaskan dengan pembakaran untuk pemanasan tinggi yang tepat, untuk menghasilkan tekanan di sekitar 10-100 mbar, dan uap tercampur dengan gas yang dimasukan dalam tekanan beberapa atmosfer. Campuran panas meluas hingga vakum menuju celah sempit, dan pendinginan yang cepat menyebabkan penutupan nosel mengkondensasi logam menjadi cluster. Pengclusteran berlanjut hingga rata-tara lintasan bebas menjadi terlalu panjang dan memungkinkan interaksi yang signifikan antara parteikel terkondensasi. Ini adalah kekurangan pertama dari desain yang ditunjukan oleh gambar a, pengclusteran terjadi setelah tingkap pertama dan sumber dikarakterisasi dengan ekspansi pancaran bebas y ang sangat kuat. Tekhnik sulit dari penahan lelehan dalam pemanasan yangrelatif besar membatasi suhu yang mungkin dibawah 1600 K. sumber demikian terkurung untuk mempelajari material dengan tekanan uap tingi . Walaupun demikian , alat ini dapat memproduksi flux lebih dari 1018 atom/sec material bentuk cluster. Gambar 2.4.2. b menunjukan desain umum untuk sumber kumpulan gas thermal, dengan tipe pertama sumber logam cluster dilaporkan pada tahun 1980. Uap logam diproduksi dengan cawan panas yang dengan desain hati-hati dan pemilihan material (bergantung pada logam yang terkandung) dapat menjangkau suhu diatas 200 K. sehingga range lebar dapat diproduksi sebagai nanopartikel, termasuk juga logam transisi. Secara umum terdapat celah lebar dalam daerah high-pakum, dan expansi pancaran bebas lebih lemah daripada SSNS. Dengan pengeluaran gas yang teliti, sumber paling utama cocok untuk memprodiksi berkas cluster sangat bersih dan ntuk UHV operasi yang cocok dengan yang dilaporkan tekanan uap dari gas yang terkontaminasi selain Ar atau He dalam ruang gas 10-11 mbar . Cara alternative untuk memanaskan logam untuk menghasilkan uap atomik adalah dengan sputtering, dimana ion berenergi tinggi dipercepat pada permukaan dan mengeluarkan atom dari permukaan tersebut. Gas yang terionisasi dan digunakan untuk sputtering pada umumnya Ar dengan dasar tekanan uap supersaturasi logam. Uap atom logam yang di sputtering terkondensaasi pada nanopartikel, dengan perbedaan pokok uap diproduksi pada kondisi yang relative dingin. Skema dari sputtering gas ditunjukan pada gambar 2.4.2. c . tipe ini telah dilaporkan pada tahun 1992 dan memberikan beberapa keuntungan, termasuk kemampuan untuk menghasilkan cluster hamper solid termasuk logam refactori. Pengclusteran memiliki efisiensi yang tinggi karena uap yang terpercik mengandung atom individual dan proporsi cluster dimmers dan kecil, yang berperan sebagai nucleus pengkondensasi untuk nanopartikel. Proses awalnya partikel bertumbuh 490
tidak hanya bergantung pada kehomogenan nukleasi, namun juga pada inisial bottleneck untuk penumbuhan. Karakteristik lainnya memiliki proporsi yang tinggi (meningkat sampai 50%) jumlah nanopartikel yang terionisasi. Gambar 2.4.2. d menunjukan skema sumber nanopartikel yang menggunakan pulsa laser untuk menghasilkan kabut uap logam. Pulsa cahaya dari laser Nd-YAG yang difokuskan pada target yang cocok dapat menguapkan setiap material refraktor. Dan jika pulsa laser bertepatan dengan ledakan gas sepanjang target yang dihasilkan dengan pulsa katup, kondisi cocok untuk pengcluseran dapat dicapai. Clustering terjadi ketika nosel sebagai uap logam berjumpa dengan gas yang jarang dan berlanjut pada ekspansi kuat sebagai campuran yang dikeluarkan. Pulsa arc dapat juga digunakan untuk menghasilkan plume yang teruapkan dari uap logam, dan pada kasus ini sumber dikenal sebagai pulsed arc cluster ion source (PACIS) yang diilustrasikan pada gambar 2.4.2. e. proses clusterisasi sama dengan yang digunakan dalam metode laser ablation. Aggregasi gas memanfaatkan sputtering, cluster yang keluar mengandung ukuran ion ~10 % dan cocok untuk harga partikel penganalisis massa. Baru-baru ini, continuous arc source (ACIS) telah dikembangkan pada Continuous arc yang diarahkan pada katoda berlubang dengan medan magnetic. Pemahaman yang bertambah dari pengoperasian sumber cluster, dicapai dengan menerapkan simulasi fluida dinamis pada aliran gas, telah menunjukan rancangan pengontrol aktif kecepatan gas pada medan ruanggas untuk mencapai kondisi optimal cluster. Sebagai contohnya pengembangan pulsa istics dari beberapa sumber lainnya, Memperkerjakan pulsa ruang gas yang diarahkan sebagai pancaran yang berlawanan dengan katoda target. Uap plume dihasilkan oleh sputtering dengan discharge electric yang juga digunakan sebagai pulsa yang singkron dengan pancaran gas. Simulasi menunjukan bahwa dengan rancangan yang benar dari chamber expansi, disana tekanan gas tinggi yang membatasi rod pada discharge ablasi yang meningkatkan hasil sputtering. Tekanan tinggi juga menaikan sputtering secara langsung keseluruhan cluster yang ditempatkan pada penumbuhan nanopartikel lebih lanjut. Dengan repitisi rate 5 Hz, sumber dapat memproduksi film nanopartikel karbon engan rate 100 𝜇𝜇m/hr, dibuat pada pemanasan dan aplikasi device yang sesuai.
491
29.2.4.2 Chemical Vapor Depormation (CVD) CVD adalah metode popularmemproduksi IC (integrated circuit) silikon untuk menumbuhkan berbagai macam logam, semikonduktor, dan film tipis. Cirri khas CVD aalah pada generasi thermal radikal aktif dari gas precursor yang menyebabkan deposisi susunan atau elemen film pada substrat. Beberapa waktu, film yang sama dapat tumbuh pada suhu rendah dengan memisahkan precursor dengan eneergi elektron tinggi pada glow discharge. Pada kasus lain, katalis hampir tidak dibutuhkan. Transisi katalis logam dibutuhkan untuk menumbuhkan CNTs pada beberpa bentuk hydrocarbon (CH 4 , C 2 H 2 , C 2 H 4, ….) atau CO. Reactor CVD sederhana dan murah untuk dibuat di laboratorium, dan berisi pipa kwarsa yang tertutup dalam furnace. Reactor menggunakan 1 atau 2 pipa kwarsa, mampu mencengkram substrat kecil. Material substrat bisa menggunakan Si, mica, quartz, atau alumunia. Susunannya memerlukan pengontrol aliran massa, pengontrol gas dan tranducer tekanan untuk mengukur tekanan. Suhu penumbuhan antara 700 sampai 9000 C. CO dan CH 4 adalah dua gas yang paling banyak dilaporkan untuk mendapatkan SWCNTs. Gambar dibawah menunjukan skema reactor CVD
Gambar 29.17 Skema Reaktor CVD Untuk menghasilkan carbon nanofiber dan carbon nanotube, membrane template dengan atau tanpa katalis Ni pada lubang ditempatkan pada kisi platina sebelah kanan dalam raktor CVD. Suhu reactor dinaikan sampai 9000C untuk membrane tanpa Ni dan 545 0 C untuk membrane yang memakai katalis Ni, keduanya dibawah aliran argon. Carbon nanofiber dan carbon nanotube disintesis dengan dekomposisi masing-masing ethylene atau pyrene. Dengan ethylene, aliran Ar diakhiri setelah suhu stabil. 10 sccm aliran ethylene didimulai secara serempak. Setelah deposisi aliran Ar dilanjutkan, aliran ethylene dihentikan. Furnace dimatikan dan membiarkan dingin pada suhu
492
ruangan. Pada kasus precursor pyrene ~50 mg pyrene ditempatkan pada daerah 2000 C dari reactor dan Ar (50 sccm) digunakan sebagai gas pembawa. Prosedur lain sama seperti dekomposisi ethylene. Hasil SEM dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 29.18 SEM nanotubes yang dihasilkan setelah 10 menit deposisi pada suhu 9000 C menggunakan precursor (A) ethylene dan (B) pyrene
29.2.5. Metode Spray Spray dapat diartikan sebagai pembangkitan droplet-droplet dari medium cair. Banyak contoh spray yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya hair spray, parfum, cat pilox, obat nyamuk semprot dan lain sebagainya. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya ukuran droplet, diantaranya : tegangan permukaan cairan, viskositas cairan, ukuran lubang keluarnya droplet, dan lain sebagainya.
29.2.5.1 Spray pyrolisis Spray pyrolisis adalah salah satu tekhnik menghasilkan partikel yang diadopsi untuk membuat serbuk dengan ukuran submikrometer. Metode spray pyrolisis ini terdiri dari tiga alat utama, yaitu atomizer, tabung reaktor, dan penangkap partikel. Ultrasonic nebulizer (atomizer) berfungsi sebagai penghasil droplet dari larutan precursor dengan menggunakan gelombang ultrasonic. Tabung yang digunakan dalam reaktor spray pyrolisis harus bersal dari bahan yang tahan suhu tinggi sampai 10000 C, seperti quartz, alumunia, ataupun stainless steel. Berikut gambar reactor spray pyrolisis:
493
Gambar 29.19 Reaktor Spray Pyrolisis Droplet yang dihasilkan oleh ultrasonic nebulizer akan dialirkan melewati tabung reactor oleh gas pembawa. Prinsip kerjanya adalah ketika droplet berukuran kecil yang berisi precursor melewati mulut tabung, dengan segera pelarut menguap sampi habis dan tersisa adalah zat terlarut berbentuk padatan yang terus mengalir bersama gas pembawa dan terjadi reaksi pyrolisis disana karena pengaruh suhu tinggi sehingga terbentuklah partikel yang diharapkan. Partikel yang terbentuk dapat dikumpulkan dalam penangkap partikel. Gambar menunjukan proses perubahan droplet menjadi partikel padatan
494
Gambar 29.20 skema pembentukan partikel dari droplet menggunakan spray pyrolisis Dibandingkan dengan metode yang lain yang menggunakan proses aerosol, spray pyrolisis adalah metode yang paling baik, dengan beberpa keuntungan: partikel yang dihasilkan berbentuk bulat, distribusi diameter partikel merata/ seragam dan dapat dikontrol dari ukuran micrometer sampai ukuran submicron, kemurnian partikel yang dihasilkan tinggi, prosesnya berkelanjutan. Hal ini dapat dibuktikan karena larutan teratomisasi pada droplet berukuran micrometer dan terjadi beberapa proses, seperti penguapan pelarut dan pyrolisis yang bersatu di dalam droplet. Masing-masing droplet memiliki komposisi yang sama, dan partikel mudah dibentuk, hanya dengan mengontrol larutan awal (precursor). Berbagai bentuk partikel dapat dihasilkan utuk bebrapa kondisi operasi yang berbeda dalam metode spray pyrolisis seperti ditunjukan dalam gambar: Kecepatan penguapan zat pelarut (misalnya air) pada droplet atau dengan kata lain kecepatan pemanasan adalah faktor yang sangat penting. Pada kasus pemanasan yang terlalu cepat dengan laju penguapan zat pelarut disekitar permukaan droplet tinggi, dan supersaturasi untuk konsentrasi tinggi larutan dengan cepat terjadi, bagian luar parikel telah menjadi padat tapi bagian dalamnya masih dalam bentuk cairan. sehingga partikel akan mengalami keretakan karena tekanan gas 495
terjadi dalam reaksi berikutnya atau partikel berpori dan berlubang akan terbentuk. Pada pengggunaannya, macam-macam partikel ini tidak diinginkan.
Gambar 29.21 perbedaan bentuk partikel yang bergantung pada laju penguapan Pada kasus sebaliknya dimana laju pemanasannya rendah, sejak penguapan zat pelarut di sekitar permukaan droplet berlangsung secara lambat, ini dapat membawa keseimbangan difusi zat pelarut dan partikel bulat akan dengan mudah dihasilkan. Gambar menunjukan bentuk partikel dengan pemanasan yang berbeda
Gambar 29.22 bentuk partikel pada distribusi suhu yang tetap, precursor :Zr(OH)OCl, Cs = 2,0 mol/ l, Q = 2,0 l/min Spray pyrolisis secara umum dilakukan pada pemanasan dibawah titik leleh partikel yangdihasilkan. Pada prakteknya, untuk mgnhasilkan partikel yang diharapkan, dimana partikel berbentuk bulat yang memiliki kerapatan penuh atau partikel berkristal banyak, seleksi material awal dan bebrapa opersi ( distribusi suhu pada dinding reactor, 496
laju aliran gas pembawa, dll) sangatlah penting. Tetapi seperti metode untuk mengontrol bentuk partikel hamper bergantung pada teori empiris yang berlaku. Mekanisme menghasilkan partikel dengan metode spray pyrolisis sangat komplek, dan teori yang didiskusikan masih sangat terbatatas untuk eksperimen, maupun penelitian teori. Parameter yang akan berpengaruh pada bentuk partikel yang dihasilkan dapat diuraikan diantaranya material awal, suhu reaksi, laju penguapan zat pelarut, dan lain-lain.
29.2.5.2 Falme spray pyrolisis
Gambar 29.23 Reaktor Flame spray Pyrolisis Flame synthesis merupakan salah satu proses untuk menghasilkan nanopartikel. Flame spray pyrolisis (FSP) menjanjikan karena berbagai macam prekursor dapat digunakan untuk mensintesis partikel. Gambar 2.5.6 menunjukan skema reaktor flame spray pyrolisis dengan nosel oxygen. Nosel terdiri dari pipa kapiler dengan diameter luar 0,91 mm dan diameter dalam 0,6 mm. semprotan glass menyuplai larutan precursor melalui nozze dimana larutan terdispersi oleh aliran oxygen. Nosel dikelilingi oleh 18 lubang (6 mm dari noozle) yang terdistribusi normal, campuran methane dan oxygen disiapkan, membentuk methane-oxygen sebelum dicampurkan yang membantu pembakaran.
497
Gambar 29.24 skema Reactor Flame Spray Pyrolis Oxygen disiapkan melalui lapisan logam berpori dengan lebar 8 dan jari-jari 9 mm. Partikel yang dihasilkan dikumpulkan dalam saringan gelas fiber dengan bantuan pompa pakum. suhu flame yang tinggi dapat menguapkan jenis logam (misalnya precursor metal oxide), membuat nukleasi pada fasa gas, selanjutnya membentuk nanopartikel oxide.
Gambar 29.25 mekanisme pembentukan partikel dengan FSP
498
Cairan sebagai zat yang digunakan untuk memulai proses Flame spray pyrolisis dimasukan ke dalam penyemprot, lalu zat yang keluari dari penyemprot tersebut dialirkan oleh gas pembawa sehingga terbentuk droplet halus. Penguapan dan pembakaran dimulai pada cincin api dari pusat nosel. Proses pembakaran akan menguapkan zat pelarut (contohnya air) yang diikuti dengan reaksi kimia pada bentuk gas.kondensasi uap air akan menghasilkan nanopartikel di ruangan yangtelah disiapkan (chamber). Contoh partikel yang dihasilkan dengan metode FSP adalah ZnO. Gambar 2.5.8 menunjukan TEM partikel ZnO yang dibuat dengan FSP.
Gambar 29.26 TEM partikel ZnO yang dibuat dengan FSP dengan laju feed yang berbeda.
29.2.6. Nanosphere Lithography Nanosphere Lithography adalah salah satu proses untuk memperoleh nanomaterial dengan cepat dan efesien, dan biaya yang murah. Nanosphere lithography dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa cara, masing-masing dengan pariabel yang berbeda yang akan 499
mempengaruhi ukuran, bentuk, dan keseragaman nano sruktur yang disintesis. Untuk membuat single layer nanosphere, kaper slip pada awalnya dibersihkan denan menggunakan asam kuat dan kemudian dibilas dengan air. Setengah dari cover slip ditreatmen dengan 3aminpropyiltriethoxilane (APTES) untuk mengubah permukaan supaya memiliki adhesi yang bagus. Bulatan polystyrene dengan diameter 1 um dilarutkan dengan 5 konsentrasi yang berbeda dari 107 sampai 1010 partikel/ml. larutan diteteskan pada substrat, yang telah dikeringkan dengan nitrogen. Masing-masing konsentrasi diteteskan pada dua slip, satu pada slip yang ditreatmen dengan APTES dan yang lainnya slip yang tidak di kasih perlakuan. Sampel didiamkan supaya kering selama satu malam. Sampel dengan bagian yang banyak dan bentuk hexagonal yang seragam menutupi lapisan dipanaskan dalam suhu penguapan dengan film tipis, contohnya 10 nm titanium yang didop dengan 100 nm emas. Dengan menggunakan scouth tape, bulatan akan dihilangkan dari cover slip.
Gambar 29.27 Hasil SEM dari lapisan tunggal seragam b. SEM hexagonal close pack c. Hasil pola fischer
500
DAPTAR PUSTAKA Abdullah, Mikrajudin. 2009. Pengantar Nanosains. Bandung: ITB. Andrew W. Salamon, Patrick Courtney and Ian Shuttler. 2010. Nanotechnology and Engineered Nanomaterials. Waltham: PerkinElmer, Inc. Binns, Cris. 2010. Introduction to nanoscience and nanotechnology. New Jersey: John Wiley and Sons C. N. R. Rao, A. Mu¨ller, and A. K. Cheetham (Eds.). 2004. The Chemistry of Nanomaterials. Weinheim: WILEY-VCH DJohn C. Hulteen and Richard P. Van Duyne. 1995. Nanosphere lithography: A materials general fabrication process for periodic particle array surfaces. J. Vac. Sci. Technol. A, Vol. 13, No. 3, May/Jun 1995 G. Che, B. B. Lakshmi, C. R. Martin, and E. R. Fisher. 1998. Chemical Vapor Deposition Based Synthesis of Carbon Nanotubes and Nanofibers Using a Template Method. Chem. Mater. 1998, 10, 260-267 L. C. QIN. 1997. CVD synthesis of carbon nanotubes. Journal Of Materials Science Letters 16 (1997) 457–459 Nanomaterials by J. Dutta & H. Hofmann. Text Book in preparation O.Milosevic, L.Mancic, M.E. Rabanal, L.S.Gomez, K.Marinkovic. 2009. Aerosol route in Processing of Nanostructured Functional Materials. KONA Powder and Particle Journal 106 No.27 S.M. Lindsay. 2010. Introduction to Nanoscience. New York: Oxford University Press Inc Vuk Uskokovi C And Miha Drofenik. 2005. Synthesis of Materials within Reverse Micelles. Surface Review and Letters, Vol. 12, No. 2 (2005) 239–277 Widodo, Slamet. 2010. Teknologi Sol Gel pada Pembuatan Nano Kristalin Metal Oksida untuk Aplikasi Sensor Gas. Seminar Rekayasa Kimia Dan Proses 2010 Universitas Diponegoro Semarang
501
Bab 30 Carbon Nanotube Oleh: Elfi Yuliza
30.1 Pendahuluan Pada perkembangan zaman yang semakin maju ini, manusia membutuhkan devais atau alat yang dapat memenuhi kebutuhannya. Alat-alat atau devais-devais yang telah ada masih dirasa kurang mampu memenuhi kebetuhan manusia yang semakin kompleks. Maka dilakukanlah serangkaian penelitian sehingga dapat meimprovisasi alat /devais yang telah ada menjadi lebih baik. Salah satu hasil improvisasi tersebut adalah manusia memasuki era nanoteknologi. Nanoteknologi merupakan teknologi dengan memanfaatkan material berukuran nanometer (10-9m). Dengan mengubah ukuran material menjadi lebih kecil (nanometer), maka sifat fisis dan kimia dari material akan berubah. Sehingga kita dapat memvariasikan material yang sesuai dengan kebutuhan. Pemanfaatan material dalam ukuran nanometer juga akan meningktakan daya guna dari material itu sendiri. Teknologi nano diyakini akan menjadi terobosan bagi kemajuan teknologi dalam berbagai bidang (material, elektronik, informasi, energi lingkungan, kesehatan, bioteknologi dan lain-lain). Dengan manfaat besar yang ditawarkan oleh teknologi nano ini, Negara-negara di dunia secara besar-besaran menggalakan pengembangan teknologi nano. Hal ini terlihat dari meningkatnya anggaran pengalokasian dana negara-negara di dunia untuk nanoteknologi (tahun 2005 sebesar US $9,5 miliar, dari tahun ketahun meningkt sebesar US$3,3 miliar dan 2013 diperkirakan sebesar US $19,8 milyar). Disamping maraknya penelitian mengenai teknologi nano ini. Diantara material berstruktur nano yang dikembangkan adalah material yang terdiri dari unsur karbon yang dikenal dengan nama “carbon nanotube (CNT)”. Unsur karbon sendiri telah dikenal sejak lama dalam kehidupan manusia seperti arang, pensil yang digunakan untuk menulis dan sebagainya. Ternyata dengan mengubah ukuran karbon menjadi lebih kecil (nanometer) akan menghasilkam material dengan sifat unggul. 502
CNT memiliki sifat mekanik, sifat termal dan sifat listrik yang unik dan diramalkan akan menjadi teknologi massa depan. Sehingga sejak penemuan CNT oleh Sumio Iijima tahun 1991, penelitian mengenai CNT terus berkembang pesat baik secara teori maupun eksperimen. Hal ini terbukti dengan banyaknya bermunculan paper-paper yang membahas mengenai CNT. Pada tahun 2000 paper yang membahas CNT berjumlah 886 dan pada tahun 2007 meningkat menjadi 5406 paper [1]. Banyaknya penelitian mengenai CNT dapat dijadikan petunjuk bahwa material ini merupakan material yang sangat menjanjikan dan penting di kembangkan untuk teknologi masa depan.
30.2 Alotrop Karbon dan Sejarah Carbon Nanotube (CNT) Hingga pertengahan tahun 1980-an, unsur karbon murni hanya dikenal dalam bentuk intan dan grafit. Kedua bentuk dari unsur karbon ini dikenal dengan nama alotrop (alotrop adalah salah satu dari dua bentuk lain unsur) dan keduanya memiliki sifat yang berbeda. intan memiliki atom ikatan karbon yang tersusun secara tetrahedral dan memiliki sifat sangat keras, kristal transparan, penghantar listrik yang buruk, penghantar panas yang baik dan digunakan sebagai bahan pemotong atau digunakan untuk perhiasan. Sedangkan grafit tersusun heksagonal mendatar, memiliki sifat yang rapuh, bewarna hitam dan merupakan konduktor listrik yang buruk. Dalam perkembangannya, tahun 1985 tiga ilmuan yaitu Dr. Richard Smalley, Dr. Robert “Bob” Curl dari Rice University dan Harry Kroto dari University of Sussex menguapkan sampel dari grafit dengan laser dan memanfaatkan aliran gas helium untuk membawa karbon yang terevaporasi ke dalam sebuah spektrometer massa. Spektrum massa yang didapatkan menunjukan puncak yang bersesuaian dengan cluster atom karbon dengan strong peak yang menunujukan molekul yang tersusun dari 60 atom karbon, C 60 . Struktur C 60 dikenal dengan nama Buckminsterfullerene, penamaan dilakukan karena struktur yang dihasilkan mirip bangunan yang dirancang arsitek Amerika R Buckminster Fuller. Dalam perkembangannya, ditemukan juga molekul yang tersusun dari karbon-karbon yaitu: C 36 , C70 , C 76 , C 84 . Sehingga secara keseluruhan untuk molekul ini dikenal dengan Fulerene [2-4].
503
Gambar 30.1 Struktur Fullurene [3] Penemuan Fullurene merupakan ladang baru bagi peneliti, sehingga banyak bermunculan paper yang membahas mengenai Fullurene. Salah satu ilmuan yang memfokuskan penelitiannya pada Fullurene adalah Sumio Iijima dari Nippon Electronics Company (NEC) Jepang. Dalam percobaannya, Iijima menggunakan metoda arc discharge, dan memprediksikan hasil penemuannya berbentuk bawang Bombay. Namun hasil yang diperoleh tidak seperti bawang bombai melainkan berbentuk pipa yang kemudian dikenal dengan nama Carbon nanotube (CNT). CNT merupakan material yang terdiri dari ikatan atom-atom karbon, dimana satu atom karbon berikatan dengan 3 atom karbon lainnya, mempunyai bentuk seperti pipa, kulitnya tersusun atas unsur karbon dan di dalamnya terdapat rongga. Hasil penemuan Sumio Iijima (1991) ini menjadi hot issue dalam keilmuan karena keunikan sifat dari CNT itu sendiri. Sehingga banyak peneliti yang memfokuskan penelitiannya pada material CNT baik secara teori, simulasi dan eksperiment. Semua bertujan untuk meningktakan kesejahteraan manusia.
504
Gambar 30.2. struktur carbon nanotube (CNT) Secara singkat sejarah penemuan alotrop karbon, CNT dan aplikasinya dapat dilihat pada tabel 30. 2 berikut:
Tabel 30.2. Sejarah Penemuan CNT dan C 60 [5] Tahun 1970 an
Penemu Harry Kroto dan Dave Walton
1980an
Ilmuan di seluruh dunia
1991 1993 1996
Sumio Iijima Sumio Iijima dan T. Ichihashi Robert F Curl, Harry Kroto dan Richard R Smalley Samsung IBM
1999 2001
505
Peristiwa Mencoba mensintesis rangkai carbon yang panjang Mensintesis buckyball dan menetapkan sebagai C60 Menemukan multiwall CNT Mensintesis SWNT Memperoleh nobel kimia atas penemuan buckyball Display panel datar prototipe Sirkuit computer pertama yang hanya terdiri dari satu single CNT
30.3 Struktur dan Geometri Carbon Nanotube (CNT) Terdapat berbagai variasi bentuk dari fullurene: bola, kerucut, tube, dan berbagai bentuk lainnya. Setiap variasi memiliki aplikasi yang berbeda pula. CNT dapat dipandang sebagai fullurene yang diperpanjang [6]. Stuktur CNT berdasarkan jumlah kulitnya dapat dibedakan atas Singel Walled Nanotubes (SWNT) dan Multi Walled Nanotubes (MWNT).
30.3.1 Singel Walled Nanotubes (SWNT) Singel Walled Nanotubes (SWNT) merupakan salah satu tipe CNT yang mempunyai dinding tunggal yang dapat dianggap sebagai sebuah lembaran graphene yang digulung. Secara umum diameternya sekitar 1-2 nm dan panjangnya 1000 kali diameter. Sehingga strukturnya mendekati struktur satu dimensi. Sebuah SWNT terdiri dari dua bagian yakni bagian tutup tubenya dan bagian silindernya. Struktur tube SWNT berasal dari bagian fullurene seperti C 60 yang tersusun atas atom-atom C yang ditempatkan pada bentuk segienam dan segilima di ujung struktur tutup tube. Struktur lain yang membentuk SWNT adalah silinder. Struktur silinder dari SWNT bisa diperoleh ketika sebuah lembaran graphene digulung dalam arah tertentu. Dua buah atom pada lembaran grafin di pilih sebagai titik awal dan yang lainnya sebagai titik akhir. Lembaran grafin digulung sehingga kedua atom di titik-titik ini bertemu. Vektor penunjuk dari atom pertama ke atom lainnya dinamakan vektor chiral.
506
Gambar 30.3. Vektor chiral CNT (lembaran grafin yang belum digulung) [7]
Vektor chiral menunujukan chirality dari dari CNT. Chirality adalah cara penggulungan dari lembaran grafin yang sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu silinder. Chirality yang berbeda-beda akan menghasilkan sifat CNT yang berbeda pula, sehingga dengan memvariasikan Chirality akan memperoleh CNT yang berbeda. Secara matematis, vektor chiral dapat dinyatakan sebagai berikut: 𝐶𝐶⃗ℎ = 𝑛𝑛𝑎𝑎⃗1 + 𝑚𝑚𝑎𝑎⃗2 ≡ (𝑛𝑛, 𝑚𝑚)
(3.1)
�⃗ = 𝑡𝑡1 𝑎𝑎⃗1 + 𝑡𝑡2 𝑎𝑎⃗2 𝑇𝑇
(3.2)
Dengan n, m adalah bilangan integer yang memenuhi 0 ≤ |𝑚𝑚| ≤ 𝑛𝑛, 𝑎𝑎⃗1 dan 𝑎𝑎⃗2 merupakan vektor basis dari kisi heksagonal atom karbon. T adalah vektor translasi dimana saling tegak lurus dengan vektor chiral, secara matematis didefenisikan sebagai:
Secara umum parameter-parameter dari CNT dapat dituliskan sebagai berikut:
507
Tabel 30.3. parameter-parameter CNT [6] Simbol
Nama
a c-c
Jarak antardua atom karbon
a
√3𝑎𝑎𝑐𝑐−𝑐𝑐
0,246nm
a1, a2
Panjang vektor satuan Vektor satuan
Ch
Vektor chiral
n,m bilangan bulat
L
Keliling tabung
𝐶𝐶⃗ℎ = 𝑛𝑛𝑎𝑎⃗1 + 𝑚𝑚𝑎𝑎⃗2 ≡ (𝑛𝑛, 𝑚𝑚)
D
Diameter tabung Sudut chiral
𝜃𝜃
Rumus
Nilai
0,1421 nm
√3 1 √3 1 � , � 𝑎𝑎, � , − � 𝑎𝑎 2 2 2 2
𝐿𝐿 = |𝐶𝐶ℎ | = 𝑎𝑎�𝑛𝑛2 + 𝑚𝑚2 + 𝑛𝑛𝑛𝑛 𝐿𝐿 𝑑𝑑 = = 𝑎𝑎�𝑛𝑛2 + 𝑚𝑚2 + 𝑛𝑛𝑛𝑛 𝜋𝜋 √3𝑚𝑚 sin 𝜃𝜃 = 2 2√𝑛𝑛 + 𝑚𝑚2 + 𝑛𝑛𝑛𝑛 2𝑛𝑛 + 𝑚𝑚 cos 𝜃𝜃 = 2√𝑛𝑛2 + 𝑚𝑚2 + 𝑛𝑛𝑛𝑛 √3𝑚𝑚 tan 𝜃𝜃 = 2𝑛𝑛 + 𝑚𝑚
Dalam koordinat (x,y) 0 ≤ |𝑚𝑚| ≤ 𝑛𝑛 0 ≤ 𝜃𝜃 ≤ 300
Struktur SWNT dapat di klasifikasikan berdasarkan vektor chiral menggunakan pasangan bilangan integer (n,m). Berdasarkan vektor chiral tersebut, ada tiga tipe SWNT yaitu Zigzag, Armchair dan chiral.
Tipe Armchair Zigzag Chiral
300 00
𝜽𝜽
Ch (n,n)
Bentuk penampang lintang
(n,0)
0 ≤ 𝜃𝜃 ≤ 300
(n,m)
508
Gabungan antara model armchair dan zigzag.
Gambar 30.4 . Tipe SWNT [7,8]. Vektor chiral dari SWNT juga menyatakan keliling dari silinder yang diperoleh dari penggulungan. Untuk mendapatkan bentuk dari tipe SWNT dapat dilakukan dengan mengambil selembar kertas dan melakukan penggulungan sesuai dengan tipe masing-masing yang diinginkan. Berikut akan dicontohkan cara penggulungan untuk memperoleh tipe-tipe dari SWNT. Pada tipe CNT zigzag yang dinotasikan dengan (n,0) misalkan kita ingin memperoleh zigzag nanotube (5,0), langkah pertama adalah memilih atom karbon yang akan menjadi titik pertama dan terakhir. Pilihlah atom karbon sembarangan (disini kita pilih atom yang diberi bintang merah) sebagai titik awal. Kemudian kita berjalan sebanyak 5 langkah ke atom C yang lain dalam arah a 1 (tandai dengan bintang merah) sebagai titik akhir. Kemudian lembaran tersebut digulung sehingga kedua bintang merah berhimpit dan membentuk silinder.
509
Gambar 30.5. Menghitung (5,0) zigzag. Kedua bintang harus berimpit untuk menggulung grafin menjadi tube.
Dalam perhitungan model zigzag seperti gambar 3.3, yang harus diperhatikan hanya arah a 1 saja. Namun, untuk model armchair dan chiral kedua arah (a 1 dan a 2 ) harus diperhatikan untuk memperoleh sebuah SWNT. Sebagai contoh, untuk mendapatkan model armchair (3,3), pertama pilih atom C awal (ditandai dengan bintang merah). Kemudian kita berjalan ke atom C yang lain searah a 1 sebanyak tiga langkah. Dari sini, kita berjalan sebanyak tiga langkah dalam arah a 2 dan tandai dengan bintang merah sebagai atom akhir. Kemudian satukan kedua bintang merah ini hingga berhimpit dan diperolehlah SWNT tipe Armchair.
Gambar 30.6. Menghitung (3,3) armchair nanotube. 510
Untuk tipe chiral dapat diperoleh dengan cara yang sama dengan model armchair, perbedaanya hanya terletak pada banyak langkah yang harus dilakukan, model armchair mempunyai m=n atau (n,n) sedangkan model chiral dinotasikan dengan (n,m) atau m≠n. Sebagai contoh (4,5), kita berjalan sejauh empat langkah dalam a 1 kemudian sejauh lima langkah dalam arah a 2 dan kemudian digulung sehingga titik awal berhimpit dengan titik akhir dan membentuk CNT tipe chiral. Single wall nanotube memiliki keunggulan dibandingkan MWNT, namun fabrikasi dari SWNT lebih sulit dibandingkan MWNT. Sehingga berbagai cara dilakukan untuk meningkatkan fabrikasi dari SWNT.
30.3.2 Multi Walled Nanotubes (MWNT) MWNT merupakan CNT yang memiliki dinding multi (banyak) yang dapat dianggap sebagai kumpulan dari SWNT yang memilki sumbu yang sama tapi memiliki diameter yang berbeda. MWNT merupakan bentuk CNT yang pertama kali ditemukan oleh Sumio Iijima. Panjang dan diameter dari MWNT sangat berbeda dengan SWNT, sehingga keduanya juga memiliki sifat yang sangat berbeda. Diameter terluar MWNT bervariasi dalam kisaran 20 nm-100nm. Fabrikasi dari multi wall ini lebih mudah dibandingkan single wall, karena sifatnya tidak dipengaruhi oleh impuritas. Disamping itu, biaya yang dikeluarkan juga tidak sebesar memproduksi SWNT. Sehingga para ilmuan mulai meneliti teknologi yang dapat mengaplikasi MWNT ini [7,9]
30.4 Sifat – Sifat CNT Meskipun karbon nanotube terdiri dari unsure-unsur karbon, namun sifat yang dimilikinya sangat berbeda dengan unsure karbon biasa. CNT memiliki sifatsifat yang unik dibandingkan material yang telah ada, sehingga diramalkan akan menjadi material masa depan. Berikut beberapa sifat dari CNT yaitu:
511
30.4.1 Sifat mekanik Sifat mekanik karbon nanotube berhubungan dengan kekuatan dari CNT dan modulus Youngnya. Modulus Young didefenisikan sebagai rasio antara tegangan yang diberikan terhadap regangan yang terjadi, dikenal juga dengan nama modus elastis. Secara matematis, modulus Young dapat dituliskan: 𝐸𝐸 =
𝜎𝜎 𝜀𝜀
=
𝐹𝐹 𝐴𝐴 0 ∆𝐿𝐿 𝐿𝐿 0
(30.1)
dimana E menyatakan modulus Young (pascal), F adalah gaya yang bekerja, A 0 adalah luas penampang melintang, ΔL adalah perubahan panjang dan L 0 adalah panjang mula-mula. Pada material padatan, modulus elastis berhubungan dengan dengan ikatan kimia atom-atomnya. Material CNT memiliki ikatan SP2 yang kuat, sama seperti graphene. Struktur ikatan yang dimilki oleh CNT ini juga lebih kuat dibandingkan intan. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa CNT lebih kuat dari intan dan alotrop karbon memiliki modulus Young yang berbeda sesuai dengan unsur penyusunnya. Berikut tabel modul young beberapa material karbon: Tabel 30.4 variasi nilai modulus young material karbon [10] Material
Modulus Young (GPa)
Karet
0,01-0,1
Polystyrene
3-3,35
Polypropylene
2-2,7
Carbon fiber
150-200
Intan
1220
SWNT
>1000
Modulus Young yang dimiliki oleh CNT sangat besar dibandingkan material yang pernah ada. Ini merupakan salah satu keunikan dari material CNT. Dengan keelastisan yang besar (45 juta Pa sebagai perbandingan baja akan patah pada tekanan 2 juta pa), CNT tidak akan mengalami kerusakan apabila diberi tekanan yang besar. Kekuatan dari CNT ini disebabkan oleh ikatan antar atom karbon tersebut. Berdasarkan sifat ini, diharapkan CNT dapat dikembangkan untuk merancang aplikasi material yang sangat kuat.
512
Penentuan besarnya nilai modulus Young yang dimilki oleh CNT terus dilakukan baik secara eksperimen ataupun modeling. Untuk perhitungan secara langsung, disebabkan oleh ukuran materialnya adalah dalam orde nano maka pengukurunnya memiliki teknik pengukuran khusus. Sedangkan untuk menentukan secara modeling dilakukan dengan beberapa pendekatan seperti model finite element, persamaan van der walls dan lain-lain. Besarnya nilai modulus Young yang diperoleh bervariasi bergantung kepada tipe CNTnya. Beberapa simulasi menunjukan rentangan nilai modulus Young dalam kisaran 1,22-1,26 TPa [6].
30.4.2 Struktur Elektronik Struktur SWNT dapat dianggap sebagai hasil dari penggulungan lembaran grafin. Dimana dihasilkan tiga tipe SWNT berdasarkan penggulungannya yang dinyatakan dalam vektor chiral yakni armchair (n,n), zigzag (n,0) dan chiral (n,m). sifat listrik dari material SWNT yang dihasilkan dengan perbedaan vektor chiral ini juga berbeda. Seluruh armchair bersifat metalik, sedangkan yang lain dapat bersifat sebagai metalik atau bersifat sebagai semikonduktor bergantung (nm). apabila (n-m) merupakan kelipatan bilangan bulat, maka akan bersifat metal dan yang lain semikonduktor. Secara umum sifat listrik yang dihasilkan untuk CNT untuk penggulungan yang berbeda apat kita lihat pada lembaran grafin berikut:
Gambar 30.7 semua kemungkinan struktur SWNT dapat dibentuk dari vektor chiral 513
Untuk menentukan struktur elektronik dari karbon nanotube, dapat diperoleh dengan menganggap struktur elektronik dari grafit. Atom-atom karbon pada grafit memiliki ikatan SP2 dengan orbital valensi 2p yang membentuk ikatan π yang terlokalisasi. Sifat konduktivitas listrik diperoleh pada keadaan energi Fermi dan di dominasi oleh ikatan π. Dengan menggunakan syarat batas pada vektor chiral, pita energi yang terdiri dari satu dimensi dispersi energi merupakan penampang melintang dari dua dimensi grafit.
Gambar 30.8. Hubungan disperse dari lembaran grafin. Segi enam biru adalah zona Brillouin dan titik merah disebut titik K adalah titik pita nol.
Struktur kisi hexagonal resiprok dari grafit diperoleh dari struktur kisi hexagonal grafit. vektor satuan CNT yang dapat dituliskan: √3 1 √3 1 𝑎𝑎1 = � , � 𝑎𝑎 , 𝑎𝑎2 = � , − � 𝑎𝑎 2 2 2 2
(30.2)
2𝜋𝜋 2𝜋𝜋 𝑏𝑏1 = � , �, √3𝑎𝑎 𝑎𝑎
(30.3)
Vektor kisi resiprok dituliskan:
2𝜋𝜋 2𝜋𝜋 𝑏𝑏2 = � ,− � 𝑎𝑎 √3𝑎𝑎
Dan sudut brillouin zone;
514
4𝜋𝜋 𝜋𝜋 𝜋𝜋 (sin �𝑖𝑖 � , cos �𝑖𝑖 � 𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓 𝑖𝑖 = 1 → 6 3𝑎𝑎 3 3 Energi dispersi dari grafit: 𝐾𝐾𝑖𝑖 =
𝐸𝐸𝑔𝑔 �𝑘𝑘𝑥𝑥 , 𝑘𝑘𝑦𝑦 � = ±𝛾𝛾0 ��1 + 4 cos �
√3𝑘𝑘 𝑥𝑥 𝑎𝑎
[11,12]𝛾𝛾0 merupakan integral transversal.
2
� cos �
(30.4)
𝑘𝑘 𝑦𝑦 𝑎𝑎 2
� + 4 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 2 �
𝑘𝑘 𝑦𝑦 𝑎𝑎 2
��
(30.5)
Kondisi batas periodik yang dipenuhi saat menggulung lembaran grafin menjadi sebuah CNT dapat dituliskan: 𝐶𝐶ℎ . 𝑘𝑘 = 2𝜋𝜋𝜋𝜋
𝑞𝑞: 𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖
(30.6)
Struktur pita dari tiap nanotube terdiri dari line section struktur grafit yang harus memenuhi kondisi ini. Nilai k yang dibolehkan terkuantisasi oleh syarat batas. Karena panjang nanotube diasumsikan tidak terhingga, tidak ada kondisi kuantisasi sepanjang vektor parallel dari k. Untuk mengetahui sifat listrik dari armchair, chiral dan zigzag dapat kita peroleh dengan penurunan secara matematis berikut: Pada armchair (n,n) untuk menetukan pita energi, masukan syarat batas kedalam persamaan (30.5). Syarat batas untuk armchair: 𝑘𝑘𝑥𝑥 =
2𝜋𝜋𝜋𝜋
(30.7)
√3𝑛𝑛𝑛𝑛
𝑘𝑘𝑦𝑦 𝑎𝑎 𝑘𝑘𝑦𝑦 𝑎𝑎 √3𝑘𝑘𝑥𝑥 𝑎𝑎 � cos � � + 4 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 2 � �� 𝐸𝐸𝑔𝑔 �𝑘𝑘𝑥𝑥 , 𝑘𝑘𝑦𝑦 � = ±𝛾𝛾0 ��1 + 4 cos � 2 2 2 𝐸𝐸𝑔𝑔 �𝑘𝑘𝑥𝑥 , 𝑘𝑘𝑦𝑦 � = ±𝛾𝛾0 ��1 + 4 cos �
𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑘𝑘𝑘𝑘 𝜋𝜋𝜋𝜋 � cos � � + 4 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 2 � �� 2 2 𝑛𝑛
(30.8)
Persamaan (30.8) merupakan formula untuk menentukan energi disperse SWNT tipe armchair. Dengan bantuan program simulasi computational, dapat diplot E sebagai fungsi k, seperti gambar (30.4) Cara yang sama dapat kita lakukan untuk memperoleh persamaan dalam menentukan energi disperse SWNT tipe zigzag Syarat batas untuk model zigzag memenuhi: 515
𝑘𝑘𝑦𝑦 =
Diperoleh:
2𝜋𝜋𝜋𝜋 𝑛𝑛𝑛𝑛
(30.9)
𝑘𝑘𝑦𝑦 𝑎𝑎 𝑘𝑘𝑦𝑦 𝑎𝑎 √3𝑘𝑘𝑥𝑥 𝑎𝑎 � cos � � + 4 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 2 � �� 𝐸𝐸𝑔𝑔 �𝑘𝑘𝑥𝑥 , 𝑘𝑘𝑦𝑦 � = ±𝛾𝛾0 ��1 + 4 cos � 2 2 2 𝑞𝑞𝑞𝑞 𝑞𝑞𝑞𝑞 √3𝑘𝑘𝑘𝑘 2� �1 + 4 cos � � cos � � + 4 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 �� (30.10) 𝐸𝐸𝑔𝑔 �𝑘𝑘𝑥𝑥 , 𝑘𝑘𝑦𝑦 � = ±𝛾𝛾0 � 𝑛𝑛 𝑛𝑛 2
Apabila persamaan (30.8) dan (30.10) sebagai fungsi k diplot menggunakan program simulasi, akan diperoleh hasil seperti gambar berikut:
Gambar 30.9. Energi disperse untuk (a) armchair, (b),(c),(d) zigzag [11]
Berdasarkan gambar 30.9 yang menunjukan energi disperse dari SWNT zigzag dan armchair, disimpulkan bahwa: apabila terjadi perpotongan pita pada 516
daerah titik setimbangan (zona Brillouin) maka SWNT bersifat logam dan yang lainnya bersifat sebagai semikonduktor. Jadi, SWNT akan bersifat metalik apabila telah melewati sudut Brillouin zone. Pada faktanya, terlihat bahwa SWNT bersifat metal apabila (n=m ) dan (n-m)= kelipatan 3 atau melewati daerah Brillouin. . Secara matematis dapat kita nyatakan menggunakan penurunan persamaan (30.1), (30.2) dan (30.6) 𝐶𝐶ℎ . 𝑘𝑘 = 2𝜋𝜋𝜋𝜋 4𝜋𝜋 𝜋𝜋 𝜋𝜋 √3 1 √3 1 2𝜋𝜋𝜋𝜋 = �𝑛𝑛 � , � 𝑎𝑎 + 𝑚𝑚 � , − � 𝑎𝑎� ∗ ( (sin �𝑖𝑖 � , cos �𝑖𝑖 �) 2 3𝑎𝑎 3 3 2 2 2
Saat i=0, diperoleh:
4𝜋𝜋 √3 1 √3 1 2𝜋𝜋𝜋𝜋 = �𝑛𝑛 � , � 𝑎𝑎 + 𝑚𝑚 � , − � 𝑎𝑎� ∗ � (0,1)� 2 3𝑎𝑎 2 2 2
2𝜋𝜋 (𝑛𝑛 − 𝑚𝑚) 3 (𝑛𝑛 − 𝑚𝑚) (30.11) 𝑞𝑞 = 3 Untuk SWNT akan bersifat sebagai metal apabila melewati zone Brillouin dan secara matematis memenuhi persamaan berikut: 2𝜋𝜋𝜋𝜋 =
(𝑛𝑛 − 𝑚𝑚) (2𝑛𝑛 + 𝑚𝑚) , 𝑞𝑞 = (30.12) 3 3 dimana q adalah bilangan integer. Jika memenuhi keadaan ini, SWNT akan bersifat metalik dan bersifat sebagai semimetal apabila tidak memenuhi keadaan ini. 𝑞𝑞 =
Secara umum dapat disimpulkan bahwa CNT terdiri dari kombinasi dari n,m. Dengan memvariasikan nilai kombinasi ini, akan diperoleh sifat listrik dari CNT yang berbeda (konduktor, isolator atau semikonduktor). Sehingga dengan satu material akan memiliki sifat yang berbeda sesuai dengan perlakuan yang diberikan. Dengan keunikan sifat ini, CNT dapat dimanfaatkan untuk membangun material heterostruktur seperti aplikasi dalam bidang elektronik untuk mendapatkan piranti kecepatan tinggi dengan persambungan logamsemikonduktor atau sebaliknya. Disamping sifat listrik yang dapat divariasikan, 517
CNT juga memiliki rapat muatan listrik yang lebih besar dari pada logam biasa (perak dan tembaga) yakni 1000 kali lebih besar.
30.4.3 Sifat Transport CNT Karbon nanotube adalah suatu material dalam orde nanometer, sehingga CNT merupakan termasuk kedalam sistem mesoskopik. Sistem mesoskopik adalah suatu sistem yang memiliki dimensi lebih besar dari pada atom tetapi lebih kecil dari mikron. Pada sistem mesoskopik, terdapat tiga karakteristik panjang yakni: a. Momentum Relaxation length (L m ) Di defenisikan sebagai jalan bebas rata elektron yang merupakan jarak yang ditempuh oleh elektron hingga terjadi tumbukan. b. Fermi Wave Length Merupakan panjang gelombang de Broglie elektron dalam level energi Fermi. c. Phasa Relaxation Length (L 𝝓𝝓 ) Merupakan jarak yang ditempuh oleh elektron sampai randomized, disini elektron masih koheren sebagai gelombang. Pada transport elektron dapat bekerja pada domain kuantum dan klasik. Efek kuantum akan dominan apabila panjang gelombang de Broglienya lebih besar dibandingkan jarak (dimensi) struktur mesoskopik. 𝜆𝜆𝑑𝑑𝑑𝑑 =
ħ
√2𝑚𝑚 ∗ 𝐸𝐸
(30.13)
> 𝐿𝐿𝑧𝑧
Berdasarkan karakteristik panjang, tipe transport dapat dikelompokkan menjadi tiga.
518
.
Gambar 30.10 Karakteristik Panjang
Tiga tipe transport yaitu: 1. Transport klasik Transport klasik merupakan transport elektron yang memenuhi hukum ohm. 𝑉𝑉 = 𝑅𝑅. 𝐼𝐼
(30.14)
Pada transport klasik, formula drude berlaku valid. Kondisi batas pada transport klasik yakni L 𝝓𝝓 , L m <L m . 3. Transport Ballistik Merupakan proses transport dimana muatan pembawa dapat menstransmisikan muatan atau energi tanpa mengalami hamburan. Terjadi apabila dimensi material lebih kecil dari pada tiga karakteristik panjang, khusunya jalan bebas rata-rata (L <
menggantikan formula Drude dan mendiskripsikan proses transport. Formula tersebut adalah formula Einstein Relation dan Landauer Formula.
Einstein Relation Hubungan relasi Einstein diperoleh berdasarkan persamaan kontinuitas rapat arus dan keadaan difusi. ���⃗𝑛𝑛 𝑗𝑗⃗ = 𝑒𝑒𝑒𝑒∇
(30.14)
dimana D adalah koefisien difusi dan ���⃗ ∇ 𝑛𝑛 adalah gradient dari rapat muatan pembawa. Dalam kesetimbangan, potensial elektrokimia akan menjadi nol karena terjadi kesetimbangan antara gaya listrik dan gradient energi Fermi, ∇𝜇𝜇 = 0 = −𝑒𝑒𝐸𝐸�⃗ + ∇𝑛𝑛
0 = −𝑒𝑒𝐸𝐸�⃗ +
∇𝑛𝑛
𝑔𝑔�𝐸𝐸𝑓𝑓 �
𝑑𝑑𝐸𝐸𝐹𝐹 𝑑𝑑𝑑𝑑
∇𝑛𝑛 = 𝑒𝑒𝐸𝐸�⃗ 𝑔𝑔�𝐸𝐸𝑓𝑓 �
(30.15)
Subsitusikan persamaan (4.15) ke persamaan (4.14) sehingga diperoleh: 𝑗𝑗⃗ = 𝑒𝑒 2 𝐷𝐷𝐸𝐸�⃗ 𝑔𝑔�𝐸𝐸𝑓𝑓 �
𝜎𝜎𝐸𝐸�⃗ = 𝑒𝑒 2 𝐷𝐷𝐸𝐸�⃗ 𝑔𝑔�𝐸𝐸𝑓𝑓 � 𝜎𝜎 = 𝑒𝑒 2 𝐷𝐷𝐷𝐷(𝐸𝐸𝐹𝐹 )
(30.16)
dimana σ adalah konduktivitas listrik, 𝑔𝑔(𝐸𝐸𝐹𝐹 ) rapat keadaan dari level energi Fermi. Berdasarkan persamaan (4.16) disimpulkan bahwa konduktivitas listrik pada sistem ini sebanding dengan rapat keadaan elektron dalam suatu material. Landauer Formula [14,15] Formula Landauer ditemukan 1959 untuk menghitung ballistic dari konduktor, tetapi menjadi booming setelah ditemukannya material berukuran nano Karena formula ini lebih cocok untuk material berukuran nano. Pada formula Landauer dilakukan beberapa asumsi yakni arus mengalir dari konduktor ke kontak sebagai proses transmisi bukan proses pemantulan dan pada balistik konduktor juga tidak ada refleksi. Proses 520
transport terjadi dalam sistem yang dapat diformulasikan sebagai suatu hamburan mekanika kuantum sebagai hamburan klasik.
Gambar 30.11 diagram konduktansi quantum wire 1 D Gambar 30.11 menunjukan skema kunduktansi dari quantum wire 1D dimana menunjukan reservoir ideal yang memiliki potensial kimia yang berbeda, potensial kimia dikedua reservoir konstan (𝜇𝜇1 > 𝜇𝜇2 . Ketika dalam channel ballistic 1D tidak mengalami scattering selama proses transport elektron, elektron mempunyai vektor gelombang positif dengan rentangan energi diantara dua potensial elektrokimia (𝜇𝜇~𝐸𝐸𝐹𝐹 ).
Asumsikan bahwa elektron memiliki energi awal 𝜇𝜇𝑖𝑖 sebelum meninggalkan reservoir pertama menuju reservoir kedua dan memiliki energi akhir 𝜇𝜇𝑓𝑓 . Sehingga arus yang mengalir dalam sistem satu dimensi dapat dituliskan: 𝜇𝜇 𝑓𝑓
𝐼𝐼𝑗𝑗 = � 𝑒𝑒. 𝑔𝑔𝑗𝑗 (𝐸𝐸 ). 𝑣𝑣𝑧𝑧 (𝐸𝐸 )𝑇𝑇𝑗𝑗 (𝐸𝐸 )𝑑𝑑𝑑𝑑 𝜇𝜇 𝑖𝑖
(30.17)
Dimana 𝑔𝑔𝑗𝑗 (𝐸𝐸 ) merupakan rapat keadaan untuk sub pita ke j yang akhir, 𝑣𝑣𝑧𝑧 (𝐸𝐸 ) adalah kecepatan elektron dan 𝑇𝑇𝑗𝑗 (𝐸𝐸 ) adalah transmintasi elektron ke sub pita ke j. Untuk sampel satu dimensi dengan panjang L, kecepatan elektron dapat diperoleh dari panjang gelombang de Broglie: 𝑣𝑣𝑧𝑧 =
ħ𝑘𝑘 𝑧𝑧 𝑚𝑚 ∗
521
(30.18)
Energi elektron terdiri dari energi sub pita dan energi kinetik sehingga energi total diperoleh dengan menjumlahkan energi sub pita dan energi kinetik: ħ2 𝑘𝑘𝑧𝑧2 𝐸𝐸 = 𝐸𝐸𝑗𝑗 + 2𝑚𝑚∗ Rapat keadaan dalam 1 D dinyatakan:
(30.19)
𝑔𝑔𝑗𝑗 (𝐸𝐸 ) =
(30.20)
(2𝑚𝑚∗ )
1� 2
1� 2
ℎ�𝐸𝐸 − 𝐸𝐸𝑗𝑗 �
Dengan mensubsitusikan persamaan (30.18) dan persamaan (30.20) ke persamaan (30.17) diperoleh: 𝜇𝜇 𝑓𝑓
𝐼𝐼𝑗𝑗 = � 𝑒𝑒. 𝑔𝑔𝑗𝑗 (𝐸𝐸 ). 𝑣𝑣𝑧𝑧 (𝐸𝐸 )𝑇𝑇𝑗𝑗 (𝐸𝐸 )𝑑𝑑𝑑𝑑 𝜇𝜇 𝑖𝑖
𝐼𝐼𝑗𝑗 = �
𝜇𝜇 𝑓𝑓
𝜇𝜇 𝑖𝑖
𝐼𝐼𝑗𝑗 = �
𝜇𝜇 𝑓𝑓
𝜇𝜇 𝑖𝑖
𝐼𝐼𝑗𝑗 = �
𝜇𝜇 𝑓𝑓
𝜇𝜇 𝑖𝑖
𝑒𝑒.
(2𝑚𝑚∗ )
1� 2
1� 2
ℎ�𝐸𝐸 − 𝐸𝐸𝑗𝑗 �
1� 2
.
ħ𝑘𝑘𝑧𝑧 . 𝑇𝑇 (𝐸𝐸 )𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑚𝑚∗ 𝑗𝑗 1�
�𝐸𝐸 − 𝐸𝐸𝑗𝑗 � 2 (2𝑚𝑚∗ ) 𝑒𝑒. 1� . 𝑚𝑚∗ ℎ�𝐸𝐸 − 𝐸𝐸𝑗𝑗 � 2 (2𝑚𝑚∗ )
2 𝑒𝑒 . 𝑇𝑇𝑗𝑗 (𝐸𝐸 )𝑑𝑑𝑑𝑑 ℎ
1� 2
. 𝑇𝑇𝑗𝑗 (𝐸𝐸 )𝑑𝑑𝑑𝑑
2 (30.21) 𝐼𝐼𝑗𝑗 = 𝑒𝑒. 𝑇𝑇𝑗𝑗 (𝐸𝐸 )�𝜇𝜇𝑓𝑓 − 𝜇𝜇𝑖𝑖 � ℎ Perbedaan energi pada kedua elektrokimi dinyatakan dalam �𝜇𝜇𝑓𝑓 − 𝜇𝜇𝑖𝑖 ) bersesuaian dengan tegangan maju yang diaplikasikan anatara dua resovoir: 𝜇𝜇𝑓𝑓 − 𝜇𝜇𝑖𝑖 = 𝑒𝑒. ∆𝑉𝑉
Subsituskan persamaan (30.22) ke persamaan (30.21): 2 𝐼𝐼𝑗𝑗 = 𝑒𝑒. 𝑇𝑇𝑗𝑗 (𝐸𝐸 )𝑒𝑒. ∆𝑉𝑉 ℎ 2 𝐼𝐼𝑗𝑗 = 𝑒𝑒 2 𝑇𝑇𝑗𝑗 . ∆𝑉𝑉 ℎ Arus total diperoleh:
(30.22)
(30.23) 522
2 𝐼𝐼 = 𝑒𝑒 2 . ∆𝑉𝑉 � 𝑇𝑇𝑗𝑗 ℎ 𝑁𝑁
2 2 𝐼𝐼 = 𝑒𝑒 2 . ∆𝑉𝑉 ��𝑡𝑡𝛼𝛼,𝛽𝛽 � ℎ
(30.24)
𝛼𝛼 ,𝛽𝛽
𝛼𝛼, 𝛽𝛽 menyatakan keadaan pada subpita dari kedua reservoir, secara berurutan untuk reservoir pertama dan reservoir kedua. 𝑡𝑡𝛼𝛼,𝛽𝛽 merupakan notasi yang menyatakan koefisien transmisi dalam proses teroboson dari keadaan α ke keadaan β. Konduktansi dapat dinyatakan: 𝑁𝑁
2 2 𝐺𝐺 = 𝑒𝑒 . ∆𝑉𝑉 ��𝑡𝑡𝛼𝛼,𝛽𝛽 � ℎ 2
(30.24)
𝛼𝛼 ,𝛽𝛽
Formula Landauer adalah formula yang cocok untuk menyatakan konduktansi dari material berukuran nano. Hal ini dikarenakan konduktansi pada formula Landauer tidak bergantung kepada dimensi material tetapi sebanding dengan jumlah transmisi dari setiap terobosan yang terjadi di dalam struktur.
30.5 Sintesis Carbon Nanotube Berbagai cara dilakukan untuk mensintesis CNT. Beberapa metoda yang digunakan seperti metoda Arc Discharge, Laser Ablation,High Pressure carbon monoxide (HiPCO), dan Chemical Vapour Deposition (CVD) dan sebagainya. Semua proses ini dilakukan dalam ruang vakum atau denga proses gas. Setiap metoda yang digunakan memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Sehingga para ilmuan terus mengembangkan penelitiannya untuk mensintesis CNT dengan mutu baik dan ringan dari segi ekonomi.
Pada metoda CVD terdapat dua tahap penumbuhan CNT yakni penumbuhan katalis dan penumbuhan CNT.
523
30.5.1 Penumbuhan Katalis Katalis secara umum adalah material yang membantu mempercepat terjadinya suatu reaksi kimia tanpa ikut bereaksi. Pada sintesis CNT, katalis berfungsi untuk memandu penumbuhan CNT. Katalis yang digunakan biasanya berasal dari golongan logam transisi seperti Fe, Ni, Co, Au dengan dimensi ukuran nano atau disebut metal nanopartikel. Metal nanopartikel ini dideposisi diatas substrat, setelah deposisi nanopartikel baru dilakukan penumbuhan CNT. Penumbuhan nanopartikel dapat dilakukan menggunakan metoda sputtering ataupun metoda evaporasi. Metoda evaporasi merupakan proses deposisi lapisan tipis logam dimana untuk menempelkan bahan pada substratnya dilakukan pada keadaan vakum. Sedangkan metoda sputtering merupakan metoda secara fisika dimana penumbuhan lapisan tipis dengan memanfaatkan perubahan energi dan entropi sehingga diperoleh lapisan diatas substrat. Pada metoda sputtering terjadi pemborbardiran partikel katalis oleh gas inert (argon) dan akhirnya terdeposisi di substrat menghasilkan lapisan tipis. Berikut skema proses sputtering:
Gambar 30.13 Skema Diagram Proses Sputtering Partikel katalis yang akan ditumbuhkan diletakkan pada katoda dan substrat tempat deposisi film tipis diletakkan pada anoda. Chamber dikondisikan berada dalam keadaan vakum, kemudian dialiri gas argon yang bersifat inert kedalam 524
chamber . Tegangan dihubungkan ke kedua elektroda. Apabila perbedaan tegangan antara dua elektroda sangat besar akan menyebabkan gas Argon mengalami ionisasi (𝐴𝐴𝐴𝐴 → 𝐴𝐴𝐴𝐴 + + 𝑒𝑒) dan terbentuk plasma. Ion 𝐴𝐴𝐴𝐴 + akan menumbuk atom permukaan dari permukaan target, semakin banyak ion 𝐴𝐴𝐴𝐴 + yang terbentuk maka akan semakin banyak pula yang akan menumbuk taerget. Karena tumbukan-tumbukan yang diberikan oleh ion 𝐴𝐴𝐴𝐴 + , maka atom-atom permukaan target akan lepas satu persatu dan terdeposisi pada substrat. hasil deposisi ini akan membentuk film tipis. Reaktor tempat terjadinya proses Sputtering ditunjukan pada gambar 5.2
(a) (b) Gambar 30.14. (a) Reaktor Sputtering, (b) tempat penumbuhan film tipis
Katalis yang dibutuhkan dalam penumbuhan CNT adalah metal nanopartikel dalam bentuk dot-dot bukan film tipis. Tahap selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan proses Annealing untuk mendapatkan kluster-kluster katalis. Proses Annealing adalah suatu proses dimana film tipis mengalami perlakuan panas guna mengubah struktur layar atau lapisan menjadi butiran katalis atau island. Pada tahap Annealing terjadi proses nukleasi/ pembentukan inti island 525
pada saat mencapai kondisi supersaturasi dan rekristalinasi yaitu proses penyusunan ataom-atom ke dalam Kristal baru yang memiliki energi bebas rendah. Perlakuan yang diberikan pada saat nukleasi adalah pengaturan waktu dan temperature Annealing. Pengaturan temperature yang digunakan pada proses Annealing harus memperhatikan temperature eutectic dari material yang diannealing. Pengaturan Temperature dan waktu ini akan sangat menentukan struktur film, seperti ukuran butir dan jarak antar butir katalis yang dibentuk. Ukuran butir yang terbentuk akan berpengaruh pada diameter CNT yang akan dihasilkan dari proses penumbuhan. Semua proses Annealing ini terjadi dalam furnace. Apabila proses Annealing telah selesai dilakukan, selanjutnya dilakukan proses karakterisasi menggunakan SEM atau TEM untuk mengetahui ukuran dan morfologi butiran katalis yang dihasilkan. Apabila ukuran dan morfologi yang dihasilkan telah sesuai dengan yang diinginkan, tahap selajutnya adalah penumbuhan CNT. Model penumbuhan CNT dengan katalis digambarkan pada gambar 5.3. pemodelan ini difokuskan pada penumbuhan CNT dengan CVD. Gaya dorong karbon terhadap katalis dan gradient temperature menentukan model penumbuhan yang dihasilkan. Ada dua model penumbuhannya yaitu: tip growth dan base growth
Gambar 30.15. Model penumbuhan CNT Tip growth dan Base growth Interaksi metal support yang lemah akan menghasilkan penumbuhan ujung (tip growth) sedangkan interaksi kuat akan menghasilkan penumbuhan dasar (base growth). Bulatan bewarna hitam merupakan katalis dan garis biru merupakan CNT yang dipandu penumbuhannya.
526
30.5.2 Penumbuhan CNT Setelah katalis berhasil ditumbuhkan dan telah berbentuk klaster, tahap selanjutnya adalah penumbuhan CNT. Katalis yang telah ditumbuhkan dimasukkan kedalam reaktor. Untuk metoda penumbuhan CVD terdiri dari berbagi tipe, salah satunya metoda VHF-PECVD (very high frequency plasma enhance chemical vapour deposition). Merupakan metoda penumbuhan CNT yang dapat menghasilkan CNT lurus vertical terhadap substrat. metoda ini mengalami pengembangan dengan penambahan frekuensi yang berfungsi menaikan daya pada penumbuhan CNT. Skema diagram VHF-PECVD adalah sebagai berikut:
Gambar 30.16. Diagram Skematik VHF-PECVD Dalam reaktor dua elektroda di letakan saling berhadapan. Sebagai daya input adalah frekuensi rf yang tinggi, besarnya daya antara elektroda akan menghasilkan medan listrik. Apabila gas input (disini digunakan gas inlet) masuk kedalam daerah yang memiliki beda daya yang tinggi, maka gas tersebut akan terion dan membentuk plasma. Apabila tutup shutter di dibuka maka, gas yang terion ini akan jatuh ke substrat yang telah diletakkan nanokatalis, sehingga ionion ini akan terdeposisi pada substrat dan menghasilkan CNT. CNT yang terbentuk akan mengikuti bentuk dan ukuran katalis.
527
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan (Vhf-pecvd), digunakan gas metana (CH 4 ) dan gas silan (SiH 4 ) kosentrasi 10% dalam hidrogen (H 2 ) sebagai sumber karbon. Lapisan tipis CNT ditumbuhkan diatas substrat silikion yang sebelumnya telah ditumbuhkan katalis Fe. Dalam reaktor terjadi pemanasan substrat sehingga mencapai suhu deposisi yang diinginkan. Selama proses pemanasan substrat, chamber divakumkan sampai tekanan pradeposisi sekitar 1,6. 10-2 sampai 2,4. 10-2 torr. Setelah suhu deposisi tercapai, gas masukkan dialirkan kedalam chamber dan daya rf dinaikan sampai muncul plasma. Apabila plasma telah muncul, tekanan dan daya rf diatur sesuai dengan yang diinginkan. Hasil dari penumbuhan CNT di SEM atau di XRD untuk mengetahui morfologi dan informasi lainnya yang diinginkan. Berikut contoh hasil SEM dari penumbuhan CNT menggunakan metoda VHF-PECVD
Gambar 30.17.Contoh Hasil SEM penumbuhan CNT dengan metoda VHF-PECVD dengan variasi tegangan (a) 20 watt, (b) 30 watt, (c) 40 watt, (d) 50 watt [16] 528
30.6 Aplikasi CNT Beberapa teknologi yang telah menerapkan CNT sebagai materialnya diantaranya:
30.6.1 Aplikasi SWNT untuk diode transparent [17] Salah satu permasalahan mendasar berbagai Negara di dunia adalah permasalah sumber energi seperti untuk energi listrik dan sebagainya. Pemakaian bahan bakar yang tidak diperbaharui, nuklir dan sebagainya memilki keterbatasan dan dampak buruknya terhadap lingkungan. Pemanfaatan matahari sebagai sumber energi dapat mengatasi permasalahan dalam bidang energi dan ramah lingkungan. Sehingga dikembangkanlah teknologi dengan memanfaatkan energi matahari yakni solar cell. Teknologi solar cell pun dari tahun ke tahun terus dikembangkan untuk mendapatkan peforma terbaik. Penelitian dan pemanfaatan berbagai materialpun dikembangkan. Material seperti ZnO:Al biasa digunakan sebagai Transparant Conductive Oxide (TCO) dan In 2 :Sn sebagai ITO. Material ini memeberikan efisiensi yang tinggi pada sel surya, permasalahannya adalah pada daya serap dari free carrier dari IR. Sangat sulit untuk mengeliminasi absorpsi ini, karena membutuhkan konsentrasi free carrier. Material baru yang memilki transmintasi yang tinggi pada porsi spectrum IR dibutuhkan untk menggantikan material ZnO tersebut. Material baru yang dibutuhkan harus mempunyai deposisi yang sederhana, run to run reproducibility dan hemat dari segi biaya. Salah satu material yang memenuhi keadaan itu adalah SWNT. Sehingga SWNT dapat diaplikasikan pada teknologi sel surya. Pemanfaatan SWNT untuk teknologi solar cell membutuhkan perlakuan khusus. Proses coating material SWNT dilakukan dengan melakukan purifikasi material SWNT menggunakan acid reflux, pencucian dan sentrifugasi yang berfungsi untuk menghilangkan material metal katalis dan karbon non-tubular. SWNT hasil purifikasi di disperse di dalam air dan alcohol untuk mendapatkan pure SWNT coating. Karakterisasi morfologi SWNT dari coating ini dilakukan dengan dstribusi acak dan densitas tinggi dari nanotube. SWNT yang telah selesai dicoating, siap digunakan sebagai elektroda transparan dalam devais photovoltaic (PV) organik. Sebagai pengecualian bahwa material ini tidak dapat digunakan untuk PV inorganik.SWNT yang telah di Coating memilki konduktivitas yang tinggi pada layar tipis dan perhitungan optical seperti data transmisi dan tidak terjadinya free carrier absorpsi . kualitas 529
dari material SWNT sangat berbeda bila dibandingkan dengan menggunakan material konvensional. Berikut kurva perbandingan transmisi optik anatara SWNT dengan ZnO
Gambar 30.18. Data transmisi optical SWNT dan ZnO Untuk mengevaluasi penggunaan SWNT menggantikan ZnO ini, dilakukan beberapa tes seperti fabrikasi struktur yang terdiri dari gabungan dari material yang bervariasi, komposisi yang berbeda dan beberapa variasi ketebalan layar. Keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan elektroda transparan SWNT adalah bahwa sangat mungkin untuk meningkatkan transmisi optical dengan hubungan reduksi sensitivitas pada SWNT coating oleh diameter, panjang SWNT dan pilihan material metal. Proses deposisi yang sederhana dan harga yang ekonomis dapat menghindari coating dari kehilangan efisiensi. SWNT dapat digunakan sebagai pengabsorbsi material sanagt baik karena sifat listrik dan sifat optic dari material ini. Sehingga SWNT dapat digunakan sebagai material active pada sebuah solar cell.
530
30.6.2 Perangkat Memori [4] Perkembangan nanoteknologi sekarang ini telah berimbas kedalam segala bidang. Dalam bidang teknologi memori, diharapkan adanya memori dengan ukuran yang sangat kecil (orde nano) dengan kapasitas penyimpanan besar dan kecepatan akses yang sangat tinggi. Adanya penemuan mengenai CNT yang memiliki banyak keistimewaan dan diramalkan menjadi teknologi masa depan, memicu para ahli untuk meneliti pengaplikasian CNT untuk teknologi memori. CNT pun memiliki berbagai tipe dan diperkirakan tipe SWNT yang lebih cocok digunakan untuk membangun sirkuit computer dan teknologi. Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk mewujudkan perangkat memori berbasis CNT diantaranya sebagai berikut:
1. Perangkat memori bucky shuttle. Perangkat memori berbasis bucky shuttle merupakan perangkat memori berukuran nano yang dibangun oleh dari SWNT dan Buckyball. Struktur bangunnya berupa sebuah Buckyball yang dikurung didalam SWNT. Pemvariasian panjang SWNT dapat dilakukan untuk menggantikan Buckyball. Status memori ditentukan oleh Buckyball yang berada didalam SWNT, saat berada di sudut kiri SWNT memori berstatus 1 dan sisi lain berstatus 0. Posisi dari Buckyball pada kedua ujung SWNT ini dipengaruhi oleh adanya gaya van der walls. Untuk menyusun sel RAM yang besar berbasis CNT dapat dilakukan dengan menyusun CNT secara rapat dan diletakkan di antara dua lapisan kawat penghantar.kawat penghantar yang digunakan dapat dibuat menggunakan logam ataw Nanowire. 2. Perangkat memori berarsitektur suspended nanotube, CNT dapat digunakan sebagai kawat molekuler untuk menyusun nonvolatile RAM. nonvolatile RAM merupakan jenis memori dengan akses acak yang digunakan untuk menyimpan konfigurasi yang dilakukan oleh firmware seperti BIOS dsb. NVRAM biasanya dibuat dengan teknologi CMOS, sehingg daya yang digunakan sangat kecil dan data yang tersimpan dalam NVRAM tidak akan hilang apabila catu daya dimatikan.
531
Memori berbasis suspended nanotube device architecture lebih penyusunan CNT yang digunakan pada memori. Susunan memori pada keadaan on dan off dapat digambarkan pada gambar 30.2
Gambar 30.19 gambaran keadaan on dan off dari desaian suspended nanotube device architecture 3. Carbon nanotube based nonvolatile memory with oxide-nitride-oxida film and nanoscale channel [18] Riset mengenai teknologi memori dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh perangkat memori yang mempunyai densitas yang sangat tinggi, kosumsi daya yang kecil dan memilki kecepatan yang lebih tinggi. Salah satu perangkat memori yang digunakan tersebut adalah devise memori dengan basis MOSFET. Memori berbasis mosfet memiliki densitas yang tinggi tapi mempunyai kelemahan yakni memiliki disipasi termal, konsumsi daya yang besar, kebocoran dan adanya fluktuasi listrik. Kekurangan ini dapat ditutupi dengan pemanfaattan CNT-FET, kemudian dilakukan penelitian mengenai memori berbasis CNT diantaranya CNT Nonvolatile menggunakan ONO (SiO 2 -Si 3 N 4 -SiO 2 ) sebagai charging node.
532
Berikut skema diagram CNT nonvolatile untuk devais memori
Gambar 30.20 (a) Skema CNT nonvolatile memori, (b) gambar AFM dari SWNT antara sumber dan elektroda Gambar 30.20 (b) menunjukan CNT yang dipasang diantara dua elektroda logam. Kinerja terbaik dari CNTFET ini dilaporkan menggunakan struktur top-gate. Dengan struktur top-gate ini, gerbang elektroda terlokalisasi di dalam saluran CNT sehingga medan listrik dapat terdistribusi secara efektif dalam CNT tampa mengalami kebocoran arus. Karakteristik output CNTFET menunjukan bahwa untuk perangkat CNTFET tipe-p, arus meningkat dengan meningkatnya tegangan Gate negative dan menurun pada tengangan Gate positif. Keadaan arus low off dikaitkan dengan geometri top-gate elektroda dan sifat high breakdown dari film ONO. Temperatur operasi dari CNT FET 533
bergantung kepada energi elektron dari celah pita CNT. Operasi memori dikarakterisasi dengan mengukur pergeseran tegangan ambang setelah pengisian Film ONO. Setelah pengisian film ONO menunjukan pergeseran tegangan ambang kuantisasi sebesar 60mV. Karena diameter CNT adalah sekitar 3nm, tegangan gerbang akan mengasilkan medan listrik yang tinggi disekitar permukaan permukaan CNT. Dengan menggunakan metoda muatan gambar, dapat dihitung medan listrik disekitar CNT. Lapisan ONO memiliki trap dengan keadaan energi terkuantisasi untuk flash memory. Muatan disimpan pada lapisan ONO, dimana muatan simpanan meningkatkan tegangan ambang dengan kenaikan sebesar 60mV. Keadaan terkuantisasi berkaitan dengan medan listrik tinggi terlokalisasi yang dihubungkan dengan skala nano dari saluran CNT. Dengan keadaan terlokalisasi sehingga terhindar dari kebocoran arus, tidak terjadinya disipasi termal, dan tegangan yang digunakan kecil menyebabkan CNT FET cocok digunakan untuk aplikasi memori. Disamping itu CNT FET juga menunjukkan keadan ultra high density flash memori yang mendukung CNT sebagai teknologi masa depan.
30.6.3 Sensor dan actuator berbasis CNT dan kompositnya [19] Disebabkan sifat-sifat yang unik yang dimilki oleh CNT, dapat dimanfaatkan untuk membuat sensor dan kompositnya. Dibandingkan dengan material konvensional seperti pizoelektrik, CNT dapat diterpakan dengan medan listrik yang tinggi pada temperature tinggi. Pemanfaatan CNT dan kompositnya untuk sensor dapat dikaji berdasarkan konduktivitas listrik dan resistivitas bahan ini.
534
30.6.4 Sebagai baterai kertas Baterai kertas adalah baterai hasil rekayasa menggunakan lembaran tipis selulosa yang disisipi dengan blok CNT dimana CNT disini berfungsi sebagai elektroda. Dalam 1 cm2 mengandung satu juta CNT (satu juta elektroda), CNT ini kemudian direndam dalam cairan elektrolit yang berfungsi sebagai penghantar listrik. Baterai ini lebih hemat energi dan lebih stabil dibandingkan dengan baterai konvensional sehingga dapat berfungsi sebagai baterai lithium-ion dan superkapasitor.
30.6.5 Benang kekuatan tinggi dan anti gores Berdasarkan sifat mekanik dari CNT yang lentur dan sangat kuat dapat diaplikasikan untuk membuat komposit benang CNT yang yang fleksibel, antigores, ringan, stabil, berkekuatan besar dan tahan panas. Sifat dan aplikasi ini dapat dimanfaatkan untuk merancang pakaian anti peluru yang lebih baik dibandingkan yang ada sekarang ini. Selain pakaian anti peluru juga dapat dirancang untuk pakaian anti radiasi dan pakaian antariksa yang lebih ringan dan fleksibel.
Salah satu metoda yang telah digunakan untuk mengahasilkan benang berkomposit berbasis CNT adalah menggunakan benang CNT superaligned (SACNT). Untuk mendapatkan kekuatan tinggi dari SACNT, komposit ini dimasukan kedalam larutan polivinil alcohol [20].
30.6.7 Material keramik Dengan modulus Young yang besar dari CNT dapat diaplikasikan untuk mendapatkan keramik yang lebih kuat. Berbagai penelitian terus ditingkatkan untuk memperoleh aplikasi nyata CNT dalam kehidupan.
535
Daftar Pustaka [1]
Harris, P.J.F Carbon Nanotube Sciensce: Synthesis, Properties and Applications. Cambrige University Press, 2009 [2] http://endor.hsutx.edu/~chemist/FullerLecture/fuller.htm [3] Hongjie.Die An Introduction To Carbon Nanotubes. Department of chemistry, Stanford University, 2003 [4] A. Kusumadewi Perangkat Memori Berbasis Carbon Nanotube [5] E. Skulason Metalic and Semiconducting Properties of Carbon Nanotube. Modren Physics, Department of Physics DTU, 2005 [6] Mikrajuddin, A. Pengantar Nanosains .Penerbit ITB, 2009 [7] R.B. Sanudin. Characterisation of Ballistic Carbon Nanotube Field Effect Transistor. Universiti Teknologi Malaysia. 2005 [8] M.Daenen, The Wonderous World of Carbon Nanotubes. Eindhoven University of Technology, 2003. [9] Paul, Holise, dkk Nanotubes. CMP Cientifica, January 2003. (www.CMPcientifica.com) [10] http://www.wikipedia.org [11] N.R,Wilson, Electronic Transport in Single Walled Carbon Nanotubes and their Application as Scanning Probe Microscopy tips. The University of Warwick. April 2004 [12] R. Saito, M. Fujita, G. Dresselhaus, and M.S. Dresselhaus, Electronic structure of Graphene tubules Based on C 60 . Physical Review B, Vol 46, No. 3. 1992. [13] N. Leonhard, Conductance Quantization and Laundauer Formula. 2010 Diakses dari : http://tfp1.physik.uni-freiburg.de/teaching/seminar 2010/talks/landauerformula_persentation110510.pdf. [14] http://www.public.asu.edu/~ntao1/Teaching/EEE598/Lecture8.pdf [15] ://nanohub.org/resources/4955/download/landauerformula.pdf [16] S.C.Kurniasih, R.Y. Sari, Fabrikasi Awal Penumbuhan Lapisan Tipis Carbon Nanotubes dengan metoda VHF-PECVD. Balai Besar Keramik. [17] M. Contreras, T. Barnes, J. Van de Lagemaat, G. Rumbles, dan T.J Coutts, Application of Single Wall Carbon Nanotubes as Transparents Electrodes in Cu (In, Ga)Se 2 Based Solar Cells. National Renewable Energy Laboratory (Presented at the 2006 IEEE 4th). 2006
536
[18] W.B. CHoi, dkk, B. Cheong, J. Kim, J.J.Kim, Carbon nanotube based nonvolatile memory with oxide-nitride-oxida film and nanoscale channel , Applied Physics Letters, Vol. 82, No,2. 13 January 2003 [19] Chunyu Li, E.T. Thonstenson and Tsu-wei, Chu, Sensor and actuators based on carbon nanotubes and their composites: A review. Department of mechanical Engineering university of Delaware USA [20] Majalah Elektronika Indonesia. Komposisi benang berdasarkan CNT yang anti gores, sangat konduktif dan berkekuatan tinggi. 12 oktober 2010. Diakses dari http://www.elektroindonesia.com/ei/?b=INSTRUMENTASI
537
Bab 31 Nanowire Oleh: Maria Ulfa
31.1 Pendahuluan Nanowire didefenisikan sebagai padatan solid berbentuk silinder, seperti kawat yang memiliki diameter antara 1-100 nm dengan panjang sampai beberapa micrometer[1]. Nanowire biasanya terbuat dari amorf, kristalin maupun polikristalin. Nanowire dapat dibuat homogeny dan isotropic dari bahan seperti dielektrik atau logam. Nanowire disebut struktur 1-dimensi karena perbandingan panjang dan diameternya sangat besar sehingga diameternya dapat diabaikan. Hal ini berarti bahwa elektron hanya dapat bergerak bebas pada satu arah saja, sedangkan untuk 2 arah yang lain elektron tidak punya energi yang cukup untuk bergerak. Material skala nano satu dimensi (1D) telah menjadi sangat menarik dalam penelitian dasar sains dan potensi teknologi aplikasi. Selain karbon nanotube, nanostruktur 1D seperti nanowire atau quantum wire adalah sistem ideal untuk menginvestigasi kebergantungan transport elektron, sifat optik dan sifat mekanik pada ukuran dan dimensinya. Mereka dikembangkan untuk memainkan peran penting sebagai interkoneksi dan komponen yang fungsional dalam fabrikasi devais elektronik dan optoelektronik. Banyak sifat unik dan mengagumkan yang telah didemonstrasikan pada material 1D ini seperti sifat mekanik superior, luminisens dengan efisiensi tinggi, termoelektrik dan menurunkan pancaran ambang. Sifat unik dari nanowire tidak hanya bergantung pada ukurannya, tapi juga sangat bergantung pada bahan yang digunakan. Nanowire logam digunakan dalam chip untuk transportasi elektron. Nanowire yang terbuat dari silicon dapat digunakan untuk memandu gelombang optik. Sejak tahun 1980 secara eksperimen dan teori telah memperlihatkan bahwa sifat listrik semikonduktor pada skala ~1-10 nm dikembangkan berdasarkan mekanika kuantum. Pada dasarnya, cahaya yang diserap dan diemisikan oleh nanopartikel semikonduktor dimainkan oleh diameter nanopartikel karena fotogenerasi pasangan elektron-holenya punya diameter exciton dalam rentangan skala 1-10 nm. Pada Gambar (1) dapat dilihat beberapa jenis nanowire.
538
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 31.1. Beberapa Jenis Nanowire yang Telah Disintesis. (a) Si Nanowire [2], (b) ZnO Nanowire [2], (c) InGaN Nanowire [2], (d) ZnO Nanowire pada Substrat Safir [3]
31.2 Konsep dasar nanowire 31.2.1 Teori Kuantum Teori yang mendasari struktur 1D seperti nanowire dijelaskan oleh mekanika kuantum yaitu menggunakan persamaan Schrodinger bebas waktu. Untuk struktur 3D persamaan Schrodinger bebas waktu dengan massa efektif konstan adalah ℏ2 2 − ∇ Ψ(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) + 𝑉𝑉(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧)Ψ(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = 𝐸𝐸Ψ(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) 2𝑚𝑚∗
dengan ℏ = ℎ/(2𝜋𝜋)
539
(31.1)
dimana : h = konstanta Planck E = energi m* = massa efektif elektron Dengan mengasumsikan disperse terjadi dalam arah datar dan axis wire adalah sepanjang sumbu-x sehingga potensial total V(x,y,z) bisa ditulis sebagai sebuah penjumlahan dari potensial terkurung dalam 2D dan potensial sepanjang sumbu wire. 𝑉𝑉(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = 𝑉𝑉 (𝑥𝑥 ) + 𝑉𝑉(𝑦𝑦, 𝑧𝑧)
(2)
Ψ(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = Ψ(𝑥𝑥 )Ψ(𝑦𝑦, 𝑧𝑧)
(3)
Dan fungsi eigen bisa ditulis sebagai
Dengan mensubstitusikan persamaan (2) dan (3) ke dalam persamaan (1), akan diperoleh −
ℏ2 𝜕𝜕 2 Ψ(𝑥𝑥 ) 𝜕𝜕 2 Ψ(𝑦𝑦, 𝑧𝑧) 𝜕𝜕 2 Ψ(𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ( ) ( ) ( ) �Ψ 𝑦𝑦, 𝑧𝑧 Ψ 𝑥𝑥 + Ψ 𝑥𝑥 � + Ψ(𝑥𝑥 )𝑉𝑉(𝑦𝑦, 𝑧𝑧)Ψ(𝑦𝑦, 𝑧𝑧) 2𝑚𝑚∗ 𝜕𝜕𝜕𝜕 2 ⪦ 𝑦𝑦 2 𝜕𝜕𝜕𝜕 2 (4) + Ψ(𝑥𝑥 )𝑉𝑉(𝑥𝑥 )Ψ(𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = Ψ(𝑥𝑥 )�𝐸𝐸𝑥𝑥 + 𝐸𝐸𝑦𝑦,𝑧𝑧 �Ψ(𝑦𝑦, 𝑧𝑧)
Dengan menggabungkan energi kinetic dan potensial pada ruas kiri dari persamaan (4) untuk menyesuaikan energi pada ruas kanan dan mengetahui bahwa V(x) = 0 (artinya tidak ada potensial sepanjang sumbu wire), kedua medan digandengkan dengan persamaan :
dan
ℏ2 𝜕𝜕 2 Ψ(𝑥𝑥) − = 𝐸𝐸𝑥𝑥 Ψ(𝑥𝑥 ) 2𝑚𝑚∗ 𝜕𝜕𝜕𝜕 2
(5)
ℏ2 𝜕𝜕 2 Ψ(𝑦𝑦, 𝑧𝑧) 𝜕𝜕 2 Ψ(𝑦𝑦, 𝑧𝑧) − � + � + 𝑉𝑉(𝑦𝑦, 𝑧𝑧)Ψ(𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = 𝐸𝐸𝑦𝑦,𝑧𝑧 Ψ(𝑦𝑦, 𝑧𝑧) 𝜕𝜕𝜕𝜕 2 𝜕𝜕𝜕𝜕 2 2𝑚𝑚∗
Solusi dari persamaan (5) adalah
ℏ2 𝑘𝑘𝑥𝑥2 𝐸𝐸𝑥𝑥 = 2𝑚𝑚∗ dimana k x adalah bilangan riil.
(7) 540
(6)
Persamaan (6) adalah persamaan Schrodinger untuk potensial kurungan 2D dalam nanowire. Solusi persamaan ini untuk bentuk wire yang berbeda lebih berperan akan tetapi bisa disederhanakan dengan membuat beberapa asumsi. Dengan asumsi sebuah persegi panjang tak terhingga yang mengarah ke dalam nanowire seperti diperlihatkan pada Gambar (2), dan mengambil potensial di dalam wire menjadi nol dan potensial di luar wire tak terhingga, perubahan persamaan dalam wire adalah ℏ2 𝜕𝜕 2 Ψ(𝑦𝑦, 𝑧𝑧) 𝜕𝜕 2 Ψ(𝑦𝑦, 𝑧𝑧) − � + � = 𝐸𝐸𝑦𝑦,𝑧𝑧 Ψ(𝑦𝑦, 𝑧𝑧) 𝜕𝜕𝜕𝜕 2 𝜕𝜕𝜕𝜕 2 2𝑚𝑚∗
(8)
Gambar 31.2. Skema Persegi Panjang Nanowire Tak Terhingga dengan Mengambil Potensial Bagian dalam V=0 dan Bagian Luarnya Tak Terhingga [4] Di luar wire, fungsi eigen Ψ(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = 0, sejak potensial tak terhingga. Dengan menggunakan pemisahan variabel Ψ(𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = Ψ(𝑦𝑦)Ψ(𝑧𝑧)
(9)
dan mensubstitusikan persamaan (9) ke dalam persamaan (8) dan menempatkan energi yang tepat di sepanjang sumbu yang berbeda, menghasilkan dua persamaan yang dipisahkan lagi : −
−
ℏ2 𝜕𝜕 2 Ψ(𝑦𝑦) = 𝐸𝐸𝑦𝑦 Ψ(𝑦𝑦), 2𝑚𝑚∗ 𝜕𝜕𝜕𝜕 2 ℏ2 𝜕𝜕 2 Ψ(𝑧𝑧) = 𝐸𝐸𝑦𝑦 Ψ(𝑧𝑧). 2𝑚𝑚∗ 𝜕𝜕𝜕𝜕 2 541
(10)
(11)
Solusi untuk persamaan (10) dan (11) dengan titik asal adalah sudut dan dimensi wire diperlihatkan dalam Gambar (1) adalah Ψ(𝑦𝑦) = �
𝜋𝜋𝑦𝑦 𝑦𝑦 2 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 � � 𝐿𝐿𝑦𝑦 𝐿𝐿𝑦𝑦
Ψ(𝑧𝑧) = �
𝜋𝜋𝑛𝑛𝑧𝑧 𝑧𝑧 2 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 � � 𝐿𝐿𝑧𝑧 𝐿𝐿𝑧𝑧
dimana n x dan n y dibatasi untuk bilangan bulat positif dengan komponen energi sebagai, 𝐸𝐸𝑦𝑦 =
ℏ2 𝜋𝜋 2 𝑛𝑛𝑦𝑦2 ℏ2 𝜋𝜋 2 𝑛𝑛𝑧𝑧2 , 𝐸𝐸 = . 𝑧𝑧 2𝑚𝑚∗ 𝐿𝐿2𝑦𝑦 2𝑚𝑚∗ 𝐿𝐿2𝑧𝑧
(12𝑏𝑏)
Kondisi yang fungsi eigennya menjadi nol pada bidang batas kawat mengarah ke nilai-nilai kuantisasi energi melalui bilangan bulat n x dan n y . Sehingga distribusi spasial densitas muatan sebanding dengan |Ψ(𝑦𝑦, 𝑧𝑧)|2 yang dijelaskan oleh dua bilangan kuantum utama, n y dan n z , seperti terlihat pada persamaan (12a). Dengan demikian, pengurungan energi berkurang dengan meningkatnya ukuran nanowire, karena adanya istilah L pada penyebut dalam persamaan (12b). Disini ditekankan bahwa energi yang terkuantisasi sebagai konsekuensi dari nilai-nilai integer n y dan n z .
31.2.2 Rapat Keadaan Elektron Rapat keadaan elektron (D(E)) adalah jumlah keadaan per satuan energi per satuan volume dari ruang riil dan suatu jumlah yang penting. Jumlah rapat keadaan elektron banyak menentukan sifat dari suatu material terutama sifat-sifat fisika dan kimia. Ini memberikan pengetahuan kepada kita tentang jumlah keadaan energi yang memungkinkan yang diperbolehkan untuk ditempati oleh elektron, seperti diperlihatkan dalam persamaan (12),. Jadi d𝑁𝑁 (13) d𝐸𝐸 N kadang-kadang disebut rapat keadaan kumulatif atau rapat keadaan total hingga energi E. Untuk material bulk, tiga derajat kebebasan untuk momentum keluar bola dalam ruang k. Dalam sumur kuantum dengan dua derajat kebebasan, momentum elektron berturut-turut mengisi lingkaran yang lebih besar. Untuk nanowire dengan satu derajat kebebasan, momentum elektron mengisi keadaan di sepanjang garis. Jadi dalam satu dimensi (1D), jumlah keadaan total N1D, adalah 𝐷𝐷 (𝐸𝐸 ) =
542
sama dengan rasio dari panjang garis di ruang k (2k, untuk nilai k positif dan k negatif) dengan panjang yang ditempati oleh satu keadaan dibagi dengan panjang di ruang riil, yaitu L. Factor 2 dalam persamaan adalah perhitungan untuk degenerasi spin (atas atau bawah spin diperbolehkan untuk masing-masing keadaan elektron). 𝐿𝐿 1 2𝑘𝑘 (14) 𝑁𝑁 1𝐷𝐷 = 2(2𝑘𝑘 ) � � � � = 2𝜋𝜋 𝐿𝐿 𝜋𝜋 Rapat keadaan untuk nanowire bisa kemudian diturunkan sebagai,
Dari persamaan (7),
𝐷𝐷 (𝐸𝐸
)1𝐷𝐷
d𝑁𝑁 1𝐷𝐷 d𝑁𝑁 1𝐷𝐷 d𝑘𝑘 = = d𝐸𝐸 d𝑘𝑘 d𝐸𝐸 1
(15)
−1
2𝑚𝑚∗ 2 𝐸𝐸 2 d𝑘𝑘 =� 2 � (16) d𝐸𝐸 ℏ 2 Dengan mendifferensialkan persamaan (14) yang melibatkan k dan mensubstitusikan hasilnya ke persamaan (16) dank e dalam persamaan (15) menghasilkan, 1
−1
2𝑚𝑚∗ 2 𝐸𝐸 2 1𝐷𝐷 𝐷𝐷 (𝐸𝐸 ) = � 2 � ℏ 𝜋𝜋 Perhitungan serupa dapat dilakukan dalam dimensi 0 (0D; yaitu untuk kuantum dot), 2D, dan 3 D. Tabel 1 menunjukkan kebergantungan rapat keadaan pada energi untuk dimensi yang berbeda. Data yang mirip memperlihatkan bagaimana perubahan rapat keadaan dari bulk (3D), ke struktur 2D, 1D dan 0D seperti ditunjukan pada Gambar (3) berikut. Tabel 31.1. Rapat Keadaan untuk Struktur 1D, 2D dan 3D [4] Dimensi
Rapat Keadaan D(E) 3
3D
1
2𝑚𝑚∗ 2 𝐸𝐸 2 � 2 � ℏ 2𝜋𝜋 2 2𝑚𝑚∗ 1 𝐸𝐸 0 � 2 � ℏ 2𝜋𝜋
2D
543
1
1D
−1
2𝑚𝑚∗ 2 𝐸𝐸 2 � 2 � ℏ 𝜋𝜋
Dalam bentuk grafik dapat dilihat pada Gambar (3) berikut.
Gambar 31.3. Perbandingan Rapat Keadaan Elektron untuk Nanostruktur yang Berbeda dengan Material Bulk [4] Atau bisa dilihat juga Gambar (4) di bawah ini.
544
Gambar 31.4. Skema Ilustrasi (bagian atas) untuk Material Bulk 0D, 1D, 2D dan 3D. Yang disesuaikan dengan Rapat Keadaan Elektron untuk Tiap Struktur (bagian bawah) [4] Efek yang jelas terlihat dengan perbedaan dimensi struktur pada gambar di atas menjadi salah satu alasan utama untuk ketertarikan pada nanostruktur pada umumnya dan nanowire khususnya untuk perangkat aplikasi elektronik dan optik. Sementara rapat keadaan yang kontiniu pada struktur 3D, sedangkan untuk 1D atau nanowire telah terjadi perubahan yang tajam pada tepi pita yang berbeda. Hal ini menyebabkan sinyal yang kuat dalam banyak pengukuran optik dan elektronik pada energi ini. Efek yang sama mempengaruhi ikatan kimia dan sifat mekanik dari nanowire karena pengurungan elektron dalam 2D.
31.3 Penumbuhan nanowire Penumbuhan nanowire sebagian besar adalah penumbuhan berkatalis. Sebelum pembahasan tentang metode penumbuhan nanowirenya, terlebih dahulu akan dijelaskan tentang metode penumbuhan katalis yang akan dipakai sebagai pemandu penumbuhan nanowire. Katalis dapat ditumbuhkan dengan dua metode yaitu metode sputtering dan evaporasi. Di sini hanya akan dijelaskan salah satu metode saja yaitu metode sputtering.
31.3.1 Sputtering Pada proses sputtering terjadi proses penembakan bahan pelapis (target) dengan ion-ion berenergi tinggi sehingga terjadi pertukaran momentum. Atom dari target akan terlepas dan menempel pada substrat selama proses pengaliran gas argon sebagai media pembentuk plasma. Metode sputtering memiliki keunggulan dibandingkan metode evaporasi, antara lain adhesivitas antara lapisan dan permukaan substrat lebih kuat, ketebalan lapisan lebih mudah diamati dan dikendalikan serta dapat digunakan untuk pendeposisian banyak lapisan (multilayer). Dengan metode ini juga dapat dilakukan pendeposisian untuk material isolator maupun konduktor. Proses deposisi dengan sistem sputtering merupakan proses terlemparnya materi dari suatu permukaan zat padat akibat ditumbuk oleh partikel berenergi tinggi hingga terjadi pertukaran momentum yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
545
Gambar 31.5 Proses Pertukaran Momentum Antara Atom Target Dan Atom Datang Proses ini berlangsung di dalam ruang hampa udara dengan target (source) berupa bahan pelapis dan diletakkan searah dengan substrat. Proses ini berlangsung pada ruang vakum dengan tekanan awal sekitar 5 x 10-4 sampai dengan 5 x 10-7 torr dengan tujuan untuk menekan kontaminasi gas. Sebagai gas pembawa digunakan gas inert argon. Glow discharge dibentuk dengan memberikan tegangan tinggi 500-5000 V di antara anoda dan katoda. Glow discharge yaitu pembentukan plasma secara terus menerus karena terionisasinya gas argon akibat perbedaan tegangan antara anoda dan katoda yang dapat dilihat pada Gambar (6) berikut.
Gambar 31.6. Proses Pembentukan Plasma Dan Pemecahan Gas Argon [5] 546
Material yang akan dilapisi (substrat) diletakkan pada anoda sedangkan target bertindak sebagai katoda. Ion positif argon dipercepat ke arah katoda untuk membentuk potensial negatif. Atom-atom pada material di katoda di bombardir dengan energi tinggi sehingga menyebabkan molekul target pecah dan terpental dari katoda kemudian menempel pada substrat dan membentuk lapisan tipis. Setelah lapisan tipis terbentuk, untuk membentuk butiran katalis dilakukan proses lanjutan yaitu annealing. Pada proses ini, film tipis mengalami perlakuan panas untuk merubah bentuk layer atau lapisan menjadi bentuk butiran atau island. Pada tahap ini terjadi nukleasi kristal-kristal yang baru. Metode sputtering ini biasa disebut dengan DC sputtering yang hanya bisa dipakai untuk deposisi metal atau material yang bersifat konduktor sedangkan untuk material yang bersifat isolator digunakan RF sputtering.
(a) (b) Gambar 31.7. Skema reaktor DC sputtering (a), dan RF sputtering (b) [5]
31.3.2 Metode Vapor-Liquid-Solid (VLS) Untuk mensintesis nanowire dapat dilakukan dengan banyak cara diantaranya, metode Vapour Liquid Solid (VLS) yang kemudian dimodifikasi menjadi CVD (Chemical Vapour Deposition), LCG (Laser Ablation Catalytic Growth), dan Low Temperature VLS Method. Metode lain yang digunakan dalam penumbuhan nanowire adalah dengan pembuatan template, dimana yang biasa digunakan adalah templat anodic alumina. Metode VLS pertama kali diusulkan diawal 1960-an untuk penumbuhan kabel Si menggunakan Au. Metode VLS merupakan metode penumbuhan yang membutuhkan katalis, fungsi katalis adalah memandu terbentuknya nanowire. Katalis dapat disintesis dengan berbagai metode seperti metode sputtering dan 547
evaporasi. Proses ini diawali dengan penumbuhan lapisan tipis pada substrat dengan ketebalan berorde nanometer, kemudian diberikan perlakuan annealing untuk membentuk butiran berukuran nano. Metode VLS ini paling banyak digunakan untuk penumbuhan nanowire semikonduktor. Mekanisme VLS terdiri dari 3 bagian yang dapat dilihat pada Gambar (8) di bawah ini.
(a)
(1) Nukleasi nanopartikel logam
(3)Difusi vapor setelah suhu eutectic
(2) Gas pembawa berfungsi sebagai vapor
(4) Penyerapan pada antarmuka padat-cair
548
(5) Nanowire tumbuh pada substrat (b) Gambar 31.8. Skema Penumbuhan Nanowire (a) Skema Secara Umum [6], (b) Skema yang Lebih Detail [7] Pertama, sebuah material logam menyerap material semikonduktor dan membentuk alloy. Dalam keadaan ini volume partikel meningkat dan sering terjadi transisi perubahan fasa dari padat ke cair. Ke dua, alloy yang telah terbentuk terus menyerap material semikonduktor sampai tercapai keadaan saturasi. Saturasi adalah keadaan dimana partikel sudah berada dalam keadaan seimbang yang berarti tidak terjadi lagi perubahan fasa. Dengan pengertian ini, sehingga droplet alloy yang telah mencapai saturasi menjadi seimbang dengan fasa padat dan kemudian terjadilah nukleasi yaitu pembentukan inti dari droplet alloy yang terbentuk. Selama fasa terakhir, keadaan yang tetap terbentuk sehingga dapat menumbuhkan sebuah kristal semikonduktor pada batas antarmuka padat/cair. Pengendapan material semikonduktor tumbuh sebagai wire karena energinya lebih tinggi daripada energi permukaan dari batas antarmuka padat-cair. Dalam mekanisme VLS , diameter wire ditentukan oleh diameter partikel alloy yang terbentuk, dimana diameter alloy ditentukan oleh suhu. Sedangkan panjang wire ditentukan oleh besarnya laju dan lamanya waktu penumbuhan [6].. Pada metode VLS ini pembentukan droplet alloy melalui beberapa perubahan fasa. Diagram fasa secara umum dalam pembentukan alloy dapat diperlihatkan oleh Gambar (9) di bawah ini.
549
Gambar 31.9. Diagram Fase Biner untuk Alloy pada Metode VLS [7] Secara teori, alloy baru dapat terjadi pada temperature eutectic atau diatasnya, temperature eutectic adalah temperature terendah yang dibutuhkan oleh campuran dua material untuk melebur (melting). Syarat tercapainya titik eutectic ini adalah tercapainya keseimbangan atau pertemuan zat pertama yang memiliki fasa cair dengan zat kedua yang memiliki fasa padat. Syarat yang kedua, tercapai pada suhu terendah dimana sistem masih benar-benar cair. Dalam pembentukan alloy ini ada diameter kritis yang harus dipenuhi agar alloy yang dihasilkan bersifat stabil. Diameter ini tercapai ketika sistem berada dalam kondisi seimbang, diameter kritis tersebut memenuhi persamaan di bawah ini, 4αΩ
d𝑐𝑐 =
4𝛼𝛼Ω C RTln � � C∞
(17)
dimana : 𝛼𝛼 = energi bebas permukaan Ω = volum molar R = konstanta gas T = temperature mutlak C = konsentrasi komponen semikonduktor dalam alloy cair C∞ = konsentrasi keseimbangan Pada tabel di bawah ini dapat dilihat suhu eutectic dari beberapa alloy yang biasa dipakai secara umum. 550
Tabel 31.2. Suhu Eutectic Beberapa Alloys yang Dipakai Secara Umum [7] Alloys Suhu eutectic (Bulk Material)°C Au-Si 360 Au-GaAs 630 Au-Ge 360 Ag-Si 837 Fe-Si >1200 Al-Si 577 Al-Ge 419
31.3.3 Vapor-solid Growth Penumbuhan nanostruktur dengan metode vapor-solid terjadi ketika gas reaktan secara langsung terkondensasi ke fase padatan, sehingga mekanisme penumbuhan ini dikenal dengan Vapor-Solid Growth. Penumbuhan dengan metode ini dapat terjadi pada berbagai katalis logam. Precursor fase gas dari material target secara langsung terserap pada substrat, yang diikuti oleh nukleasi (pembentukan inti) dan seterusnya akan terjadi penumbuhan nanowire. Peluang terbentuknya inti dengan metode Vapor-Solid bisa dinyatakan sebagai berikut. 𝑃𝑃𝑛𝑛 = 𝐴𝐴 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �
dimana 𝐴𝐴 : konstanta 𝜎𝜎 : energi permukaan 𝛼𝛼 : rasio supersaturasi T : suhu (K) 𝑘𝑘𝐵𝐵 : konstanta Boltzman
−𝜋𝜋𝜎𝜎 2 � 𝑘𝑘𝐵𝐵 𝑇𝑇 2 ln 𝛼𝛼
(18)
Rasio supersaturasi diberikan oleh, 𝛼𝛼 = p/p 0 dengan p adalah tekanan vapor dan p 0 adalah tekanan vapor saat keadaan seimbang dari fase terkondensasi pada suhu yang sama. Untuk menumbuhkan susunan nanowire yang vertikal sejajar terhadap substrat melalui mekanisme Vapor-Solid, salah satunya dengan pemilihan substrat yang cocok untuk memperlihatkan pertumbuhan epitaxial yang heterogen atau substrat yang homogeny untuk penumbuhan benih (dot). Gambar (10) adalah hasil 551
SEM penumbuhan logam oksida nanowire termasuk ZnO. Mekanisme fisik yang tepat dalam penumbuhan nanowire anisotropi melalui Vapor-Solid sampai saat ini belum jelas. Morfologi nanowire yang dihasilkan sebagian besar ditentukan oleh anisotropi pada tingkat penumbuhan kristalografi yang berbeda.
Gambar 31.10. (a) Nanobelt Logam Oksida dengan Metode VS, (b) Nanobelt In 2 O 3 dengan Metode VS [4] Untuk memilih metode yang cocok dalam penumbuhan berbagai macam nanowire dapat dilihat pada Tabel 3 berikut. Tabel 31.3. Pemilihan Metode Sintesis Nanowire untuk Material Berbeda [2] Materi Teknik Penumbuhan al Ag DNA-template,redox template, pulsed ECDα Au
Template, EDCα
Bi
Stress-induced template, vapor-phase template, EDCα
Referensi
template, pressure-injection
Bi 2 Te 3 Template, dc EDCα
(Braun et al., 1998) (Sauer et al., 2002) (Hornyak et al., 1997; Zhang et al., 2001) (Cheng et al., 2002) (Heremans et al., 2000) (Piraux et al., 1999) (Hong et al., 1999) (Yin et al., 2001) (Zhang et al., 1998b) (Zhang et al.,1999b;Huber et al.,2000) (Sander et al., 2002)
552
CdS
Liquid-phase (surfactant), recrystallization template, ac EDCα
CdSe
Liquid-phase (surfactant), redox template, ac EDCα
Cu
Vapor deposition template, EDCα
Fe
Template, EDCc
GaN GaAs Ge
InAs
Shadow deposition Template, CVDc VLSb Template,liquid/vapor OMCVDd High-T, high-P liquid-phase, redox VLSb Oxide-assisted
(Chen et al.,2002b) (Xu et al., 2000a) (Routkevitch et al., 1996a) (Manna et al.,2000) (Routkevitch et al., 1996b) (Xu et al., 2000b) (Adelung et al., 2002) (Gao et al., 2001) (Mawiawi et al., 1991) (Li and Metzger, 1997) (Sugawara et al., 1997) (Cheng et al., 1999) (Huang et al., 2002; Cui et al.,2000) (Berry et al., 1996) (Heath and LeGoues., 1993) (Wu and Yang., 2000) (Zhang et al., 2000a) (Berry et al., 1996)
InP
Template,liquid/vapor OMCVDd VLSb
Mo
Step decoration,EDCα + redox (Zach et al., 2000)
Ni
Template, EDCα
PbSe
Liquid phase
(Sun et al., 1999) (Nielsch et al., 2001; Yin et al., 2001) (Bashouti et al., 2002)
Pd
Step decoration, EDCα
(Favier et al., 2001)
Se
Liquid-phase, recrystallization (Gates et al., 2002a) template, pressure injection (Huber et al., 1994) b VLS (Cui et al., 2001a) b Laser-ablation VLS (Morales and Lieber., 1998) Oxide-assisted (Wang et al., 1998b) b Low-T VLS (Sunkara et al., 2001) Template,vapor-phase (Heremans et al., 2002)
Si
Zn
(Duan et al., 2001)
553
template, EDCα
(Li et al., 2000b)
VLSb (Yang et al., 2002) α Template, EDC (Zheng et al., 2002; Li et al., 2000b) α Electrochemical deposition b Vapor-liquid-solid c Chemical vapor deposition d Organometallic chemical vapor deposition ZnO
31.4 Mengontrol pertumbuhan nanowire 31.4.1 Control orientasi Pengontrolan orientasi penumbuhan sangat penting untuk berbagai aplikasi nanowire. Contohnya saja untuk aplikasi nanowire dalam solar sel dibutuhkan susunan nanowire yang tegak lurus terhadap substrat dan teratur. Nanowire memiliki arah penumbuhan berbeda untuk kristal yang berbeda. Misalnya silicon nanowire akan tumbuh dengan arah <111> sedangkan arah penumbuhan ZnO nanowire adalah <001>. Salah satu strategi untuk menumbuhkan nanowire secara vertikal dengan susunan teratur adalah dengan cara pemilihan substrat dan mengontrol kondisi reaksi seperti konsentrasi larutan. Dengan cara ini akan dihasilkan nanowire yang tumbuh secara tegak lurus dengan substrat. Sebagai contoh, safir yang dipilih sebagai substrat untuk penumbuhan ZnO nanowire. Safir dengan konstanta kisi α = 4.75 Å dan c = 12.94 Å dapat menumbuhkan ZnO nanowire secara epitaksi dengan baik. Gambar (11) di bawah ini memperlihatkan penumbuhan ZnO nanowire vertikal di atas substrat safir.
554
Gambar 31.11. ZnO Nanowire yang Tumbuh di atas Substrat Safir Secara Epitaksi [8] Karakterisasi XRD memperlihatkan susunan ZnO nanowire di atas substrat safir, dimana hanya peaks yang berorientasi (00l) yang terekam dengan baik. Artinya, ZnO nanowire yang paling banyak tumbuh adalah yang berorientasi (001) seperti terlihat pada gambar berikut.
Gambar 31.12. Pattern XRD dari ZnO Nanowire di atas Substrat Silikon [8]
31.4.2 Control Posisi Dari mekanisme penumbuhan nanowire dengan metode VLS telah jelas bahwa posisi dari nanowire bisa dikontrol oleh posisi awal dari nanocluster atau film tipis. Teknik yang bisa digunakan untuk pembuatan pattern dari film tipis adalah teknik litografi seperti soft litografi, e-beam litografi dan fotolitografi. Teknik litografi merupakan fabrikasi yang ideal untuk menghasilkan penyusunan yang teratur dan mendekati homogen untuk ukuran, bentuk dan periodisitas. Parameter ini dapat dikontrol dengan mudah, dimana ukuran dot dapat dikontrol dengan cara mengontrol lama waktu deposisi. Jarak antar dot diatur dengan menggunakan partikel koloid yang berbeda ukuran, sedangkan bentuk diatur dengan cara mengatur jenis material sumber. Gambar (13) berikut memperlihatkan sebuah contoh pattern yang dibuat dengan teknik litografi. Pattern hexagonal ini digunakan untuk menumbuhkan ZnO nanowire.
555
Gambar 31.13. Hasil SEM Pattern Koneksi ZnO Nanowire di atas Substrat Silikon [8] Sebagai tambahan bahwa untuk pengontrolan posisi ini adalah lebih mungkin untuk mengontrol densitas nanowire dengan memodifikasi ketebalan film tipis atau menggunakan larutan untuk pembuatan klusters. Dengan mendispersikan jumlah atau densitas clusters yang berbeda pada substrat sangat memungkinkan untuk memperoleh susunan nanowire dengan densitas yang berbeda. Sebagai contoh dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 31.14. Array ZnO Nanowire pada Substrat Safir dengan Densitas yang Rendah [8]
31.4.3 Control Diameter Diameter dari nanowire juga memiliki peranan penting dalam aplikasi teknologi. Sehingga pengontrolan diameter penting untuk dilakukan. Pengontrolan diameter penumbuhan nanowire dilakukan dengan cara mengatur ketebalan lapisan tipis yang digunakan. Ide ini muncul karena berdasarkan sebuah kemungkinan hubungan langsung antara ukuran larutan partikel dengan diameter yang dihasilkan. Droplet terbentuk melalui proses pemanasan selama reaksi 556
berlangsung. Diameter wire yang dihasilkan akan menurun seiring dengan menurunnya ketebalan lapisan tipis. Sebagai contoh, penelitian yang telah dilakukan pada penumbuhan ZnO nanowire menghasilkan diameter rata-rata 88, 110, dan 150 nm saat ketebalan filmnya 0.5, 1, dan 3 nm. Penumbuhan ini dilakukan di atas substrat safir pada suhu 900°C selama 5 menit. Cara lain yang bisa digunakan untuk mengontrol diameter nanowire adalah dengan mengatur kehomogenan distribusi kluster katalis (logam). Nanokluster didistribusikan pada substrat untuk meminimalisir kemungkinan terbentuknya agregat partikel. Sebagai contoh, diameter rata-rata ZnO nanowire adalah 35, 46, dan 54 nm dihasilkan ketika kluster yang digunakan memiliki ukuran 5, 10, dan 15 nm.
31.4.4 Control Morfologi Dengan menggunakan vapor yang berbeda dalam penumbuhan nanowire akan mempengaruhi struktur yang terbentuk. Sebagai contoh, saat bubuk Zn digunakan sebagai sumber vapor dalam penumbuhan ZnO nanowire maka akan dihasilkan diameter nanowire yang seragam dan distribusi seragam pada sisi-sisi nanowire. Keseragaman distribusi partikel pada penumbuhan nanowire ini akan mempengaruhi sifat nanowire yang dihasilkan, sehingga juga memberikan pengaruh terhadap pengaplikasian nanowire. Dengan demikian, pengontrolan morfologi dalam penumbuhan nanowire perlu menjadi perhatian penting. Gambar (15) berikut memperlihatkan perbedaan morfologi nanowire dengan sumber vapor yang berbeda.
557
Gambar 31.15. Perbedaan Morfologi dan Superstruktur pada Penumbuhan ZnO Nanowire dengan Zn sebagai Sumber Vapor [8]
31.5 Beberapa sifat nanowire Karena adanya efek pengurungan kuantum pada nanowire memunculkan sifat-sifat yang berbeda dengan bulknya. Diantaranya sifat konduksi listrik, sifat optik, sifat magnetik, sifat termoelektrik dan sifat kimia. Akan tetapi dalam paper ini tidak semua sifat-sifat nanowire tersebut dibahas, yang akan dibahas hanyalah sifat listrik (transpor) dan sifat optik nanowire yang berkaitan dengan fotoluminisens.
31.5.1 Sifat listrik (sifat transpor) Sifat listrik (sifat transpor) elektron dalam nanowire sangat penting dalam pengembangan piranti elektronik dan listrik. Oleh karena itu pemahaman tentang
558
mekanisme transpor muatan pembawa pada bidang satu dimensi menjadi sangat krusial [1]. Variasi sifat listrik dalam material yang sesuai dengan dimensinya dapat dijelaskan dengan perbedaan kerapatan elektronnya. Secara umum kerapatan elektron dinyatakan oleh ρ ∝ ED/2-1, dimana E adalah energi dan D adalah dimensi (3D, 2D dan 1D). Selain itu pengurungan spasial dalam struktur nano menyebabkan pergeseran blueshift pada pita gap dengan semakin kecilnya ukuran. Pergeseran blueshift pada pita gap dinyatakan oleh, ∆𝐸𝐸𝑔𝑔 ∝ 1/𝑑𝑑 2 dimana d adalah karakteristik ukuran dari struktur nano. Hubungan energi gap dengan diameter struktur dapat dilihat pada Gambar (16).
Gambar 31.16. Perkiraan Variasi Band Gap untuk Struktur 2D, 1D, dan 0D [4] Karena pengurungan elektron berbeda, maka pergeseran biru untuk struktur nano dengan diameter berbeda juga akan berbeda. Besarnya energi gap diperkirakan dari elektron-hole yang ada dan dihitung menggunakan model partikel dalam kotak sederhana. Jadi sifat transport listrik bergantung pada bentuk dan ukuran struktur nano. Fenomena transpor elektron dalam sistem satu dimensi bisa dibagi dalam dua kategori : transpor balistik dan transpor difusi. Transpor difusi adalah fenomena yang terjadi ketika elektron bisa melewati nanowire tanpa adanya hamburan. Transport balistik biasanya dilihat pada quantum wire yang sangat pendek, seperti yang dihasilkan dengan mekanisme pengontrolan break junction (MCBJ), dimana lintasan bebas rata-rata elektron harus lebih besar dari panjang wire dan konduksinya adalah fenomena kuantum murni. Cara lain untuk melihat fenomena transport balistik ini adalah dari energi termal yang memenuhi hubungan k B T << ε j – ε j-1 , dimana ε j – ε j-1 adalah separasi energi antara level j dan 559
j-1. Sebaliknya, untuk nanowire dengan panjang yang lebih besar dari lintasan bebas rata-rata, elektron (atau hole) mengalami hamburan sepanjang wire. Dalam kasus ini, transport yang terjadi adalah transport difusi dan konduksi didominasi oleh hamburan muatan pembawa sepanjang wire. Transport elektron nanowire bisa juga dikelompokkan berdasarkan dari besar relative dari 3 skala panjang yaitu lintasan bebas rata-rata muatan pembawa (l w ), panjang gelombang de Broglie elektron (λ e ), dan diameter wire (d w ). untuk diameter wire yang lebih besar dari lintasan bebas rata-rata muatan pembawa (d w >> l w ), sifat transport nanowire biasanya sama dengan material bulknya, yang bebas… Untuk diameter wire yang sama atau lebih kecil dari lintasan bebas ratarata (d w ~ l w or d w << l w ), tapi masih lebih besar dari panjang gelombang de Broglie elektron (d w >> λ e ), transport elektron dalam nanowire dijelaskan dengan ukuran klasik yang terbatas, dimana band struktur nanowire masih sama dengan bulknya, saat hamburan terjadi pada batas wire. Untuk diameter wire yang sebanding dengan panjang gelombang de Broglie elektron (d w ~ λ e ), rapat keadaan elektron berubah secara dramatis dan subband kuantum terbentuk yang tergantung pada efek pengurungan kuantum pada batas wire. Dalam kasus ini sifat transport sangat dipengaruhi oleh perubahan dalam band struktur [2].
31.5.2 Sifat optik Susunan nanowire menghasilkan sifat optik non-linear yang membuat mereka menarik untuk aplikasi material fotonik. Pertambahan ketajaman puncak energi adsorbsi seiring semakin kecilnya diameter wire disebabkan oleh efek pengurungan kuantum dan adanya pergeseran biru (blue shift). Diameter nanowire sangat berpengaruh terhadap daya adsorbsi material terhadap cahaya datang. Daya adsorbsi akan meningkat seiring menurunnya ukuran diameter nanowire. Hal ini telah dibuktikan oleh Ilan Shalish et al.,2004.
Gambar 31.17. Spektrum Fotoluminisens ZnO Nanowire untuk Diameter yang Berbeda A, B, C(100,50, dan 25 nm)pada Suhu Kamar [8] 560
Gambar 31.18. Perbandingan Spektrum Fotoluminisens Bulk Material ZnO dan ZnO Nanowire [9]
Gambar 31.19. Spektrum Fotoluminisens untuk Diameter ZnO Nanowire yang Berbeda [9] 561
31.6 Aplikasi nanowire 31.6.1 Konversi energi (Sel surya) Salah satu perangkat konversi energi yang saat ini banyak dikembangkan adalah solar cell (sel surya). Sel surya yang dikembangkan terdiri dari berbagai inovasi untuk menghasilkan konversi energi yang baik. Salah satu sel surya yang sudah berhasil difabrikasi adalah sel surya silicon nanowire, namun daya serap sel ini masih rendah pada rentangan daerah cahaya tampak dan daerah yang mendekati inframerah. Karena cahaya matahari mayoritas berada dalam range ini maka diperlukan sel surya yang ketebalannya mencapai orde milimeter agar penyerapan foton bisa lebih banyak. Efisiensi sel surya bergantung pada panjangnya difusi pembawa, sedangkan difusi pembawa ini dibatasi oleh adanya rekombinasi dari muatan pembawa. Salah satu cara untuk meminimalisir terjadinya rekombinasi adalah membuat sel surya silicon nanowire dengan kemurnian tinggi, namun untuk membuat sel surya dengan kemurnian tinggi ini dibutuhkan biaya yang cukup besar. Selain sel surya silicon nanowire yang telah berhasil difabrikasi, ada lagi jenis sel surya yang lain yaitu sel surya excitonik. Sel surya exciton ini menggunakan molekul kecil, polimer dan quantum dot sebagai material penyerap cahaya, namun bisa lebih menguntungkan jika yang digunakan sebagai material penyerap cahaya adalah komponen nanowire. Salah satu alasan bahwa komponen nanowire akan lebih menguntungkan bila dipakai sebagai sel surya exciton ini adalah karena penyerapan nanowire yang jauh lebih besar dibandingkan nanopartikel. Sebagai contoh, koefisien difusi ZnO nanowire lebih besar beberapa kali lipat dibandingkan dengan nanopartikel ZnO. Ini adalah bukti bahwa nanowire merupakan konduktor yang lebih baik dibanding nanopartikel. Penggunaan geometri orthogonal seperti pada sel surya konvensional dapat meningkatkan efisiensi sel surya excitonik dengan membuat persimpangan normal terhadap substrat. Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa dimensi yang penting dalam sel surya adalah panjang difusi exciton. Pada sel surya polimer panjang difusinya hanya berkisar 10 nm dan sampai orde micrometer untuk film tipis berkualitas tinggi. Sehingga dalam hal panjang difusi exciton nanowire jauh lebih bisa memberikan keuntungan karena panjang struktur nanowire yang bisa dikontrol sampai orde micrometer dan diameter dalam orde nanometer. Sel surya excitonik adalah sel surya yang menjanjikan karena penggunaan bahan organic yang murah seperti pewarna dan polimer. Dye-Sensitized Solar Cells (DSSCs) adalah sel excitonik yang paling efisien dan stabil saat ini. Penyerapan cahaya pada sel-sel ini terbatas pada monolayer pewarna yang kemudian mengoksidasi elektrolit cair dan mentransfer elektron ke fase anorganik. 562
Secara struktur, nanowire berbasis array DSSCs seperti nanopartikel DSSCs dengan partikel dirakit ke dalam kolom dan tanpa batas antar butir, sehingga membentuk saluran konduksi langsung (jalan bebas hambatan untuk elektron). Namun ada perbedaan mendasar dalam fisika yang mengatur prilaku nanowire. Pertama, tidak seperti mesopori film nanopartikel, diameter nanowire cukup tebal untuk mendukung penipisan lapisan dekat permukaan. Ini adalah potensial penghalang yang dapat memberikan energi pendorong untuk disosiasi exciton pada antarmuka nanowire (disini sebagai contoh adalah ZnO nanowire) dan pewarna, sehingga membuat injeksi yang lebih efisien. Kedua, karena elektron dalam nanowire tidak isotropic yang disaring dalam elektrolit, membuat DSSCs ini dapat mempertahankan listrik internal sepanjang nanowire. Akibatnya, elektron yang diinjeksikan ke dalam nanowire akan hanyut menuju substrat elektroda menuruni gradien potensial kimia. Selain itu, mobilitas elektron dalam nanowire lebih besar dari nanopartikel karena strukturnya yang tidak terputus seperti nanopartikel. Skema perbandingan sel surya ZnO nanowire berbasis array DSSCs dengan sel surya nanopartikel berbasis array DSSCs dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 31.20. Skema yang Mempresentasikan Sebuah DSSC. (a) Nanopartikel DSSCs, (b) Nanowire DSSCs [10]
563
Gambar 31.21. Penyerapan IR oleh DSSCs ZnO Nanowire dan ZnO Nanopartikel [10] Gambar (21) di atas memperlihatkan perbedaan injeksi antara nanopartikel dan nanowire. Perbedaan ini disebabkan oleh banyaknya jumlah pewarna pada film nanopartikel. Injeksi pada nanowire telah selesai setelah 5 ps, sedangkan pada nanopartikel masih tetap berlanjut sampai 100 ps. Untuk melihat perbandingan parameter lain dari kedua DSSC ini, dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini. Tabel 31.3. Perbandingan DSSC Nanowire dan Nanopartikel [10] Elektroda
Panjang (µm)
Diameter (nm)
Densitas (x 1010 cm-2)
Nanopartikel
8-10
15-30
n/a
Nanowire ideal
20
60
3
31.6.2 Nanogenerator Nanogenerator adalah salah satu aplikasi nanowire yang sudah difabrikasi. Secara defenisi nanogenerator adalah prototipe generator yang dapat mengkonversi energi getaran dari gelombang akustik, ultrasonik, energi hidrolik, cairan tubuh atau aliran darah menjadi energi listrik yang dapat digunakan tanpa 564
membutuhkan baterai. Alat ini berukuran kurang dari 1 mikron (1000 nm). Nanogenerator pertama kali dibuat oleh Zhong Lin Wang, Profesor di Sekolah Ilmu dan Teknik Material di Institut Teknologi Georgia (Atlanta), yang diberi nama Nanogenerator Piezoelektrik. Pembuatan nanogenerator ini diawali dengan pembuatan array nanowire dari seng-oksida (ZnO) berskala nano yang tegak lurus terhadap substrat safir. Kemudian digabungkan dengan bahan piezoelektrik dan semikonduktor yang berjarak setengah mikron. Setelah ditemukannya sensor piezoelektrik oleh Pierre dan Jacques Curie pada tahun 1880 dan diciptakannya kapal selam menggunakan detector ultrasonik pada tahun 1917 oleh militer Prancis, maka pada tahun 2003 Zhong Lin Wang memaparkan bahwa ZnO adalah bahan piezoelektrik yang mendapat gaya nanospring. Sehingga pada 14 April 2006 Zhong Lin Wang mengumumkan konsep nanogenerator di Jurnal Science. Pada saat itu, nanogenerator mendapat sumber energi hanya dari satu nanowire yang diambil dengan tip AFM. Pembuatan silicon berlapis platinum berfungsi sebagai penghalang Schottky, membantu, mengumpulkan dan memelihara muatan listrik sebagai hasil defleksi nanowire dan memastikan bahwa arus mengalir dalam satu arah. Nanogenerator bergantung pada beberapa gangguan eksternal, seperti getaran atau gelombang sonik yang lentur searah susunan nanowire. Secara teori penurunan tegangan terjadi pada penampang nanowire ketika tikungan lateral nanowire sehingga tegangan positif pada sisi tarik dan tegangan negatif pada sisi tekan. Penjelasan prinsip kerja nanogenerator akan dijelaskan dalam dua kasus yang berbeda yaitu pemberian gaya yang tegak lurus dan sejajar dengan sumbu nanowire. Kasus pertama adalah pemberian gaya lateral bergerak dikenakan pada ujung sebuah nanowire yang tumbuh secara vertikal. Ketika struktur piezoelektrik dikenai gaya eksternal dengan ujung yang bergerak, akan terjadi deformasi seluruh struktur. Efek piezoelektrik akan menciptakan medan listrik di dalam struktur nano. Bagian membentang dengan strain positif akan menunjukkan potensial listrik positif, sedangkan bagian yang dikompresi dengan strain negatif akan menunjukkan potensial listrik negatif. Hal ini disebabkan perpindahan kation anion dalam struktur kristalnya, sehingga ujung nanowire akan memiliki distribusi potensial listrik pada permukaannya, sedangkan bagian bawah nanowire digroundkan. Tegangan maksimum yang dihasilkan pada nanowire dapat dihitung dengan persamaan berikut. 𝑉𝑉𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 = ±
𝑎𝑎3 3 [𝑒𝑒33 − 2(1 + 𝜐𝜐)𝑒𝑒15 − 2𝜐𝜐𝑒𝑒31 ] 3 𝜐𝜐𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 4(𝜅𝜅0 + 𝜅𝜅) 𝑙𝑙
(19)
,dimana 𝜅𝜅0 adalah permitivitas dalam ruang vakum, 𝜅𝜅 adalah konstanta dielektrik, 565
𝑒𝑒33 , 𝑒𝑒15 dan 𝑒𝑒31 adalah koefisien piezoelektrik, 𝜐𝜐 adalah rasio Poisson, 𝑎𝑎 adalah jari-jari dari nanowire, 𝑙𝑙 adalah panjang nanowire dan 𝑉𝑉𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 adalah defleksi maksimum dari tip nanowire.
Kontak listrik berperan penting untuk memompa muatan yang keluar di permukaan ujung. Kontak Schottky harus dibentuk antara counter elektroda dan ujung nanowire sejak kontak ohmik menetralisir medan listrik yang dihasilkan di ujung nanowire. Untuk membentuk kontak Schottky yang efektif, afinitas elektronnya harus lebih kecil dari fungsi kerja logam penyusun counter elektroda. Untuk ZnO nanowire dengan afinitas elektron 4,5 eV, Pt (Ф = 6,1 eV) adalah logam yang cocok untuk membangun kontak Schottky. Dengan membangun kontak Schottky, elektron akan melewati counter elektroda dari permukaan ujung elektroda saat potensialnya bernilai negatif, sedangkan untuk daerah potensial positif tidak ada arus yang mengalir. Pembentukan kontak Schottky juga memberikan kontribusi terhadap generasi sinyal keluaran. Untuk kasus kedua, model yang dipakai adalah sebuah tumpukan nanowire yang tumbuh vertikal. Kontak ohmik di bagian bawah dan kontak Schottky di bagian atas menjadi suatu yang perlu dipertimbangkan. Ketika gaya diberikan pada ujung nanowire, akan dihasilkan tekanan unaxial di dalam nanowire. Karena efek piezolektrik, ujung nanowire akan memiliki potensi piezoelektrik negatif sehingga meningkatkan energi Fermi di ujung nanowire. Karena elektron akan mengalir dari ujung ke dasar melalui sirkuit eksternal sehingga pada bagian ujung nanowire akan dihasilkan potensial listrik positif. Kontak Schottky akan menghalangi elektron yang mengalir melalui antarmuka, sehingga mempertahankan potensial pada ujung nanowire. Karena besarnya kekuatan penghalang mengakibatkan potensial piezoelektrik menjadi berkurang, dan elektron akan mengalir kembali ke atas untuk menetralisir potensial positif di bagian ujung. Dengan demikian kasus ini akan menghasilkan tegangan bolakbalik. Gambar (22) adalah skema nanogenerator yang telah dikerjakan oleh Zhang Ling dkk, dimana sebuah elektroda zigzag silicon yang dilapisi dengan platinum yang meliputi ZnO nanowire. Lapisan platina tidak hanya untuk meningkatkan konduktivitas elektroda tetapi juga untuk menciptakan sebuah diode Schottky di antarmuka dengan ZnO. Kemudian elektroda ditempatkan di atas susunan nanowire yang dimanipulasi dengan mengontrol jarak dan mengatur elektroda agar terpisah dari nanowire. Desain bergantung pada kopling yang unik antara ZnO nanowire piezoelektrik dengan sifat-sifat semikonduktor. Potensial piezoelektrik asimetri pada lebar ZnO nanowire dan kontak Schottky antara elektroda logam dan nanowire adalah dua proses kunci menciptakan, memisahkan, melestarikan dan akumulasi, dan muatan keluaran.
566
Gambar 31.22. Nanogenerator Menggunakan Array ZnO Nanowire [11] Desain ini dirancang agar elektroda bagian atas mencapai proses kopling dan AFM dapat bermain di bagian ujung, kemudian parit zigzag bertindak sebagai array tips AFM sejajar. Ketika sistem mengalami eksitasi gelombang ultrasonik, elektroda zigzag dapat bergerak turun dan mendorong nanowire. Dorongan ini mengarah ke bagian lateral yang menciptakan regangan bidang lebar di nanowire itu, sehingga permukaan luar nanowire ditarik sedangkan permukaan dalam ditekan. Ketika kontak elektroda nanowire yang membentang permukaan memiliki potensial piezoelektrik positif, antarmuka logam platina dan ZnO semikonduktor terjadi bias terbalik diode Schottky, sehingga arus yang mengalir di antarmuka tersebut kecil. Proses ini akan menciptakan, dan mempertahankan muatan yang dihasilkan. Jika elektroda terus didorong, nanowire yang telah membungkuk akan mencapai sisi lain dari elektroda zigzag yang berdekatan. Dalam kasus seperti ini, elektroda juga memiliki kontak dengan sisi nanowire yang ditekan, dimana antarmuka logam-semikonduktor akan menghasilkan bias maju pada kontak Schottky yang mengakibatkan peningkatan arus listrik keluaran secara mendadak yang mengalir dari atas elektroda ke nanowire. Desain ini bekerja selama ada perpindahan relatif antara elektroda dan nanowire baik secara vertikal maupun lateral. Para penulis berharap, listrik yang dihasilkan oleh defleksi negatif dan perpindahan antara nanowire dan elektroda, baik yang dihasilkan dari pembumkukan nanowire karena dorongan maupun yang dihasilkan oleh getaran dapat terjadi secara terus-menerus. Jika hal ini berhasil maka akan bisa dirancang paket seperti nanogenerator untuk mencegah invasi cairan sehingga dapat langsung ditempatkan dalam biofluida atau fluida. Untuk aplikasi teknologi, untuk meningkatkan daya keluaran berarti harus meningkatkan tegangan dan arus keluaran dari nanogenerator. Cara yang paling mudah untuk meningkatkan tegangan dan arus keluaran adalah pembentukan komponen struktur yang paralel. 567
Nanogenerator piezoelektrik bisa berpotensi untuk mengkonversi energi berikut menjadi energi listrik untuk nanodevais dan nanosistem self-power. Energi-energi yang dapat dikonversi adalah perubahan energi mekanik seperti tubuh atau gerakan otot atau tekanan darah, energi getaran seperti gelombang akustik dan ultrasonik, energi hidrolik seperti aliran cairan tubuh atau darah, kontraksi pembuluh darah atau dinamika fluida di alam.
31.6.3 Biosensor Aplikasi nanowire yang juga menarik adalah biosensor. Biosensor didefenisikan sebagai suatu perangkat sensor yang menggabungkan senyawa biologi dengan suatu tranduser. Dalam proses kerjanya, senyawa aktif biologi akan berinteraksi dengan molekul yang akan dideteksi (molekul sasaran). Hasil interaksi yang berupa besaran fisika seperti panas, arus listrik, potensial listrik dan lainnya akan dimonitor oleh tranduser. Besaran tersebut kemudian diproses sebagai sinyal sehingga diperoleh hasil yang dapat dimengerti. Biosensor yang pertama kali dibuat adalah sensor yang menggunakan tranduser elektrokimia yaitu elektroda enzim untuk menentukan kadar glukosa dengan metode amperometri. Pada awal-awal tahun 1970-an, sensor mikroelektronik berbasis film tipis transistor dan ion-sensitive field-effect transistors (ISFETs). Namun mikroelektronik ini memiliki kekurangan yaitu kurang baiknya solid-state dari elektroda yang digunakan. Hal ini menyebabkan sensitivitas penyakit terhadap suhu dan cahaya harus bergantung pada waktu kestabilan sensor. Selanjutnya selama bertahun-tahun dikembangkan sensor kimia dengan mengadopsi teknik deteksi optik paralel untuk mendeteksi cepat biomolekul pada konsentrasi yang relative rendah, misalnya DNA microarray yang sudah banyak digunakan. Sistem sensor ini berbasis fluoresensi, namun masih memerlukan biaya yang besar dan waktu yang lama untuk persiapan sampel dan analisis data. Selain itu DNA microarray tidak cukup sensitive untuk pengukuran zat penting yang mungkin terjadi pada konsentrasi yang sangat rendah. Sebagai contoh, jumlah setiap mRNA yang diberikan dalam sel tunggal dapat bervariasi mulai dari jumlah kecil sampai puluhan ribu, atau zat penting lainnya yang memiliki fluks cepat. Melihat kekurangan ini maka para peneliti berusaha mengatasi semua itu dengan merancang sensor dengan ukuran nano. Kemajuan sintesis silicon dalam skala besar memberikan peluang yang besar untuk pembuatan perangkat nano yang dapat diandalkan. Karena diameter yang kecil dan panjangnya sampai orde micrometer membuat volume rasionya menjadi besar yang berarti permukaannya akan semakin luas. Dengan luasnya permukaan struktur, beberapa makromolekul biologis dapat dibebankan di permukaan struktur untuk memodulasi distribusi muatan pembawa yang melewati permukaan struktur. Hal ini berefek pada peningkatan sensitivitas jika 568
dibandingkan dengan sensor-sensor sebelumnya. Selain itu nanowire bisa disintesis dengan array yang realistis untuk sensor. Berikut ini adalah Gambar (23) yang menunjukkan skema umum untuk mendeteksi biomolekul menggunakan silicon nanowire.
Gambar 31.23. Skema Biosensor untuk Mendeteksi Biomolekul [12] Sistem ini terdiri dari Si-NW yang terletak di antara dua elektroda. Permukaannya difungsikan sebagai reseptor spesifik yang akan mengenali dan mengikat molekul target. Elektroda dilindungi dengan lapisan oksida untuk menghindari perubahan konduktansi yang tidak diinginkan karena modifikasi fungsi kerja elektroda. Molekul target yang menyebar dan mencapai nanowire akan dapat ditangkap oleh reseptor. Interaksi Coulomb antara muatan molekul target dan nanowire dapat mengakibatkan perubahan konduktivitas. Salah satu penelitian yang telah dikerjakan adalah membuat sistem yang hanya untuk mendeteksi muatan biomolekul target dan mengabaikan efek dari keadaan permukaan sistem. Array sensor, masing-masing difungsikan khusus untuk molekul target tertentu, juga memungkinkan deteksi parallel dari biomolekul. Respon dari sensor dicirikan dengan selektivitas, waktu menetap, dan sensitivitas. Selektivitas menunjukkan kemampuan reseptor untuk mengikat target yang diinginkan di antara banyak molekul lain yang mungkin memiliki kemiripan dengan molekul target. Misalnya, untuk mendeteksi DNA, reseptor asam nukleat peptide (PNA) harus lebih selektif daripada tetangga DNA. Waktu menetap adalah waktu yang digunakan oleh sensor untuk menghasilkan sinyal yang stabil. Hal ini ditentukan oleh konsentrasi biomolekul, koefisien difusi, dan afinitas konjugasi ke molekul reseptor. yang terakhir adalah sensitivitas yang sesuai dengan perubahan relative dalam karakteristik sensor yang dihasilkan oleh molekul target yang berada di atas permukaan nanowire. Hal ini paling banyak ditentukan oleh elektrostatistik sistem.
569
Daftar pustaka [1] M. Abdullah, Pengantar Nanosains, Bandung (2009) [2] Allon I. Hochbaum, Peidong Yang, Chem. Rev. 2010, 110, 527-546, California, 26 Februari (2009) [3] M.S. Dresselhaus, Y.M. Lin, O. Rabin, M.R. Black, G. Dresselhaus, Nanowires, USA, 2 Januari (2003) [4] Klaus D. Sattler, Handbooks of Nanophysics : Nanotubes and Nanowires, Francis (2011) [5] E. Chen, Applied Physics 298r, 4 Desember (2004) [6] Lambert K. Van Vugt, Thesis, Netherlands (2007) [7] Y. Civale, L.K. Nanver, P. Hadley, E.J.G Goudena, Netherlands [8] Peidong Yang, Haoquan Yan, Samuel Mao, Richard Russo, Justin Johnson, Richard Saykally, Nathan Morris, Johnny Pham, Rongrui He, dan Heon-Jin Choi, Adv. Funct. Mater, 12. No.5, California, May (2002) [9] Ilan Shalish, Henryk Temkin, dan Venkatesh Narayanamurti, Phy. Rev B 69, 245401, USA, 3 Juni (2004) [10] Peidong Yang, MRS Bulletin, California, Januari (2005) [11] Zhong Lin Wang, Xudong Wang, Jinhui Song, Jin Liu, dan Yifan Gao, Implantable Electronics, Vol.7 No.1, Georgia, Januari-Maret (2008) [12] Pradeep R. Nair, and Muhammad A. Alam, IEEE Transactions on Electron Devices, Vol. 54, No.12, Desember (2007)
570
Bab 32 Resonant Tunneling Diode Oleh: Rahmat Awaludin Salam
32.1 EfekTunneling (Terobosan) Efek terobosan merupakan fenomena penerobosan suatu partikel (elektron) secara kuantum untuk melewati suatu penghalang (barir) sehingga partikel tersebut dapat bergerak bebas kembali setelah melalui penghalang tersebut. Penghalang yang dilalui oleh partikel tersebut berupa tegangan barir (penghalang) dengan energi yang tertentu. Pada gambar 1a (gambaran secara klasik) nampak bahwa ketika suatu elektron bergerak menuju suatu barir dengan nilai energi yang lebih besar dibandingkan dengan nilai energi kinetik yang dimiliki oleh elektron tersebut, maka elektron tersebut tidak akan dapat menerobos barir yang dihadapinya. Hal ini dikarenakan pada gambaran secara klasik, elektron yang menemui barir tersebut dianggap sebagai suatu partikel biasa yang akan menumbuk suatu barir saja. Dengan memahami peristiwa tumbukan tersebut, maka pergerakan dari elektron hanya ada tiga kemungkinan yaitu dipantulkan kembali, diam atau bergerak bersamaan dengan barir tersebut. Namun karena barir tersebut tetap diam, maka partikel elektron hanya akan dipantulkan kembali dengan arah gerak dan kecepatan yang berlawanan. Untuk memahami peristiwa tunneling (terobosan) yang terjadi pada elektron, maka kita harus mempelajarinya dengan gambaran kuantum. Pada gambar 1b (gambaran secara kuantum) elektron yang akan menembus barir dianggap sebagai gelombang. Hal ini dikarenakan pada gambaran kuantum, setiap partikel (khususny elektron) memiliki sifat dualisme gelombang-partikel yaitu sifat yang mengakibatkan elektron tersebut dapat dipandang sebagai suatu partikel ataupun sebagai suatu gelombang. Dengan menganggap elektron sebagai suatu gelombang, maka elektron tersebut akan berperilaku sebagai gelombang dengan sifatsifat gelombangnya. Sehingga ketika elektron tersebut bertemu suatu barir dengan energi barir yang lebih tinggi dari energi gelombangnya, maka elektron tersebut akan mengalami dua kejadian seperti halnya gelombang 571
pada umumnya. Kejadian yang dialami oleh elektron tersebut adalah ada sebagian gelombang yang diteruskan (ditransmisikan) dan ada juga sebagian gelombang yang dipantulkan (direfleksikan) kembali. Adanya gelombang elektron yang ditransmisikan melewati barir menunjukkan bahwa proses terobosan tersebut telah terjadi.
V1Partikel
Barir dengan 𝑉𝑉 >
𝑚𝑚𝑣𝑣 2 2
Partikel tidak dapat melalui barir.
(a)
Barir dengan 𝑉𝑉 >
Gelombang elektron
(ℏ𝑘𝑘)2 2𝑚𝑚
Gelombang elektron ada yang diteruskan melewati barir.
(b)
Gambar 32.1. Gambaran Elektron yang Menghadapi Barir, (a) Gambaran Klasik; (b) Gambaran Kuantum Gelombang elektron yang menembus barir akan mengalami proses peluruhan yang diakibatkan oleh berkurangnya energi total yang dimiliki oleh 572
gelombang elektron di dalam barir tersebut. Proses peluruhan yang terjadi dapat mengakibatkan beberapa kemungkinan terhadap gelombang elektron tersebut. Kemungkinan tersebut yakni ada yang dapat diteruskan dan ada pula yang mengalami peluruhan hingga gelombang tersebut tidak memiliki cukup energi lagi untuk melewati barir tersebut. Peristiwa pelenyapan gelombang serta transmisi gelombang elektron tersebut bergantung pada besar kecilnya energi elektron dan barir serta seberapa lebar barir yang dilalui oleh gelombang elektron tersebut. Semakin tinggi energi elektron dengan lebar dan energi barir yang sama, kemungkinan transmisi elektron akan semakin tinggi sedangkan kemungkinan gelombang elektron tersebut meluruh akan semakin rendah. Namun sebaliknya jika energi barir semakin tinggi, dengan energi elektron serta ketebalan barir yang sama, maka kemungkinan elektron bertransisi akan semakin rendah dan kemungkinan peluruhan gelombang elektron tersebut pun akan semakin tinggi. Begitu pula halnya dengan ketebalan barir. Ketika elektron tersebut harus melewati barir yang lebih tebal, maka yang akan terjadi adalah kemungkinan peluruhan gelombang elektron tersebut akan menjadi lebih tinggi dari sebelumnya dan kemungkinan untuk bertransmisi pun akan lebih rendah.
V V0 E E x=0 x=a ψ
x
V
x=0 x=a
x
Gambar 32.2. Proses Terobosan Elektron Pada daerah x<0, elektron bergerak secara bebas dengan energi sebesar E. Persamaan gelombang yang dimiliki oleh elektron tersebut adalah sebagai berikut : 573
............................................ (1)
�
−ℏ2 2𝑚𝑚
𝐻𝐻𝐻𝐻 = 𝐸𝐸𝐸𝐸
∇2 + 𝑉𝑉� 𝜓𝜓 = 𝐸𝐸𝐸𝐸
............................................ (2)
karena pada daerah x<0, tidak ada potensial penghalang, maka V = 0 serta pergerakan elektron hanya pada sumbu x, sehingga persamaan tersebut menjadi −ℏ2 𝜕𝜕 2
2𝑚𝑚 𝜕𝜕𝜕𝜕 2
𝜕𝜕 2
𝜕𝜕𝜕𝜕 2
𝜓𝜓 +
𝜓𝜓 = 𝐸𝐸𝐸𝐸
2𝑚𝑚 ℏ2
............................................ (3)
𝐸𝐸𝐸𝐸 = 0
............................................ (4)
maka solusi dari persamaan gelombang yang terdapat di daerah x<0 adalah 𝜓𝜓1 = 𝐴𝐴𝑒𝑒 −𝑖𝑖𝑘𝑘 1 𝑥𝑥 + 𝐵𝐵𝑒𝑒 𝑖𝑖𝑘𝑘 1 𝑥𝑥 , dengan nilai 𝑘𝑘1 = �
2𝑚𝑚𝑚𝑚 ℏ2
....................... (5)
karena keadaan elektron pada daerah x<0 sama dengan keadaan elektron pada daerah x>a, maka dengan cara yang sama, persamaan gelombang yang terdapat pada daerah x>a adalah 𝜓𝜓3 = 𝐺𝐺𝑒𝑒 −𝑖𝑖𝑘𝑘 1 𝑥𝑥 + 𝐹𝐹𝑒𝑒 𝑖𝑖𝑘𝑘 1 𝑥𝑥
............................................ (6)
𝜓𝜓3 = 𝐹𝐹𝑒𝑒 𝑖𝑖𝑘𝑘 1 𝑥𝑥
............................................ (7)
karena pada daerah x>a elektron bergerak secara bebas dan tidak ada yang dapat memantulkan elektron tersebut, maka constanta G (konstanta yang menandakan amplitude gelombang pantul pada daerah x>a) akan bernilai nol. Sehingga persamaan gelombang pada daerah x>a menjadi
sedangkan untuk daerah potensial barir (0
2𝑚𝑚 𝜕𝜕𝜕𝜕 2
𝜓𝜓 + 𝑉𝑉𝑉𝑉 = 𝐸𝐸𝐸𝐸
............................................ (8)
karena V>E, maka persamaan tersebut menjadi 𝜕𝜕 2
𝜕𝜕𝜕𝜕 2
𝜓𝜓 −
2𝑚𝑚 ℏ2
(𝑉𝑉 − 𝐸𝐸)𝜓𝜓 = 0
........................................ (9)
dari persamaan tersebut, didapat solusi sebagai berikut 𝜓𝜓2 = 𝐶𝐶𝑒𝑒 −𝑘𝑘 2 𝑥𝑥 + 𝐷𝐷𝑒𝑒 𝑘𝑘 2 𝑥𝑥 dengan 𝑘𝑘2 = � 574
2𝑚𝑚(𝑉𝑉−𝐸𝐸) ℏ2
......................... (10)
Dalam mekanika kuantum, persamaan-persamaan gelombang yang didapat, haruslah bersifat kontinyu. Oleh karena itu, agar solusi tersebut bersifat kontinyu, maka digunakan persamaan kontinuitas yakni 𝜓𝜓1 = 𝜓𝜓2 𝜕𝜕
𝜕𝜕𝜕𝜕
𝜓𝜓1 =
𝜕𝜕
𝜕𝜕𝜕𝜕
𝜓𝜓2 = 𝜓𝜓3
x=0
𝜕𝜕
𝜓𝜓2
𝜕𝜕𝜕𝜕
𝜓𝜓2 =
𝜕𝜕
𝜕𝜕𝜕𝜕
x=a
𝜓𝜓3
Dengan menggunakan persamaan kontinuitas, kita dapat menyelesaikan persamaan 5, 7 dan 10 serta mendapatkan nilai-nilai dari koefisien dalam persamaan tersebut dan menyatakannya ke dalam bentuk konstanta A. Untuk menyatakan besarnya kemungkinan adanya elektron yang mengalami proses terobosan melalui barir, kita perlu menghitung nilai transmitansi dari gelombang tersebut yang besar nilainya merupakan perbandingan antara kuadrat amplitude akhir gelombang dengan kuadrat amplitude awal (datang) gelombang tersebut. 𝑇𝑇 =
𝐹𝐹.𝐹𝐹 ∗ 𝐴𝐴.𝐴𝐴 ∗
............................................ (11)
Ketika system tersebut mengalami keadaan khusus, dengan E<<
𝐸𝐸
𝑇𝑇 ≈ 16 � � �1 − � 𝑒𝑒 −2𝑘𝑘 2 𝑎𝑎 ........................................ (12) 𝑉𝑉
𝑉𝑉
dari persamaan tersebut, Nampak jelas terlihat bahwa ketika potensial barir serta tebal barir diperbesar, maka nilai transmitansi akan mengecil, namun ketika energielektron yang digunakan diperbesar, maka transmitansi akan semakin besar.
32.2 Resonant Tunneling (Terobosan Resonansi) Setelah mengkaji peristiwa terobosan (tunneling) suatu elektron, hal yang selanjutnya harus dipahami untuk mengkaji lebih jauh tentang pirantipiranti resonanttunneling adalah peristiwa resonanttunneling itu sendiri.Layaknya peristiwa tunneling, peristiwa resonanttunneling pun merupakan suatu peristiwa penerobosan barir oleh elektron. Hal yang membedakan antara peristiwa tunneling dan resonanttunneling adalah jumlah barir yang harus ditembus oleh elektron dan proses resonansi gelombang yang terjadi. Peristiwa resonanttunneling ini pertama kali diungkapkan oleh H. Esaki et,al. pada tahun 1962. 575
Resonanttunneling merupakan suatu proses penerobosan barir ganda yang membentuk suatu sumur kuantum oleh elektron dan memanfaatkan prinsip resonansi yang terjadi pada sumur tersebut.Prinsip resonansi yang dimaksud adalah berresonansinya elektron-elektron yang berada di dalam sumur kuantum yang diakibatkan oleh adanya elektron yang datang menuju sumur tersebut. Efek yang dihasilkan dari adanya peristiwa resonansi tersebut, intensitas gelombang yang ditransmisikan melalui barir tersebut akan mendekati nilai dari intensitas awal saat gelombang elektron tersebut datang menuju barir sebagaimana ditunjukkan oleh gambar 3. Tidak semua energi dapat digunakan untuk menghasilkan efek resonansi ini, namun terdapat beberapa kondisi tertentu yang mengakibatkan elektron-elektron tersebut berresonansi. Kondisi tersebut adalah saat energi dari gelombang elektron yang datang menuju barir sama dengan nilai tingkatan-tingkatan energi yang terdapat di dalam sumur kuantum tersebut. Sebagaimana kita tahu bahwa dalam sumur kuantum, elektron akan terkuantisasi dan menempati tingkatan-tingkatan energi tertentu di dalam sumur tersebut. Perhatikan gambar 4 berikut ini: Keadaan awal Tidak ada transmisi
Saat resonansi
Gambar 32.3. Proses ResonantTunneling
576
E
x=0
x=a
Gambar 32.4. (a) Sumur Kuantum; (b) Tingkatan Energi pada Sumur Kuantum Gambar 4 merupakan suatu model dari sumur kuantum beserta tingkatan energinya yang digunakan dalam proses resonanttunneling. Dengan menganggap barir tersebut memiliki potensial tak hingga, maka kita dapat menentukan persamaan gelombang serta tingkatan-tingkatan energi di dalam sumur tersebut. Solusi dari persamaan tersebut hanya terdapat di daerah 0
............................................ (13)
Untuk daerah 0
2𝑚𝑚 𝜕𝜕𝜕𝜕 2
𝜓𝜓 = 𝐸𝐸𝐸𝐸
𝜕𝜕 2 2𝑚𝑚 𝜓𝜓 + 𝐸𝐸𝐸𝐸 = 0 ℏ2 𝜕𝜕𝜕𝜕 2
............................................. (14) ............................................. (15)
Sehingga solusi yang didapat dari persamaan 15 di atas adalah
atau
𝜓𝜓 = 𝐴𝐴𝑒𝑒 −𝑖𝑖𝑘𝑘𝑥𝑥 + 𝐵𝐵𝑒𝑒 𝑖𝑖𝑘𝑘𝑥𝑥 , dengan nilai 𝑘𝑘1 = � 𝜓𝜓 = 𝐴𝐴 cos 𝑘𝑘𝑘𝑘 + 𝑖𝑖𝑖𝑖 sin 𝑘𝑘𝑘𝑘
2𝑚𝑚𝑚𝑚 ℏ2
....................... (16)
....................... (17)
dengan mengambil solusi pada bagian sinus nya saja, maka persamaan tersebut menjadi 577
𝜓𝜓 = 𝐵𝐵 sin 𝑘𝑘𝑘𝑘
....................... (18)
dengan memasukkan syarat batas ψ (0) = ψ (a) = 0, persamaan gelombang tersebut menjadi 𝜓𝜓 = 𝐴𝐴 sin
𝑛𝑛𝑛𝑛 𝑥𝑥 𝑎𝑎
....................... (19)
sehingga didapat besarnya tingkatan-tingkatan energi yang besarnya −ℏ2 𝜕𝜕 2
2𝑚𝑚 𝜕𝜕𝜕𝜕 2
𝜓𝜓 = 𝐸𝐸𝐸𝐸
ℏ2 𝑛𝑛𝑛𝑛 2 � � = 𝐸𝐸 2𝑚𝑚 𝑎𝑎
....................... (20) ....................... (21)
Peristiwa resonansi pada proses resonanttunneling ini dapat terjadi sebanyak n kali sesuai dengan persamaan energi di dalam sumur kuantum seperti seperti yang ditunjukkan oleh persamaan 19. Namun banyaknya resonansi yang terjadi, dipengaruhi juga oleh barir yang terbentuk, semakin tinggi barir yang terbentuk, maka peristiwa resonansi yang terjadi akan semakin banyak begitu pula sebaliknya.
32.3 Dioda Dioda merupakan piranti semikonduktor yang pada umumnya terbentuk dari persambungan semikonduktor tipe p dan tipe n. Biasanya dalam rangkaian elektronika, dioda banyak digunakan sebagai piranti penyearah. Selain digunakan sebagai penyearah, dioda pun biasa digunakan sebagai pembatas nilai tegangan (saklar otomatis) yang masuk ke dalam suatu rangkaian. Sehingga ketika terdapat nilai tegangan yang lebih tinggi dari tegangan barir dioda tersebut, maka arus yang sangat tinggi akan dihasilkan oleh dioda tersebut yang mengakibatkan rangkaian menjadi terputus (off). Penggunaan dioda sebagai pembatas nilai tegangan (saklar otomatis) didasarkan pada karakteristik dari persambungan p-n yang terbentuk. Untuk lebih memahami sifat dioda tersebut, perhatikan gambar 5 berikut:
578
Level Fermi
Level-level energi elektron tambahan (tingkat donor)
PITA KONDUKSI
PITA KONDUKSI
Level-level energi hole tambahan (tingkat donor)
Level Fermi
PITA VALENSI
PITA VALENSI
Tipe – n
Tipe – p
Gambar 32.5. Diagram Pita Energi untuk Semikonduktor Tipe n dan Tipe p Saat semikonduktor intrinsik diberi doping doping yang mengandung elektron valensi lebih dari 4, maka semikonduktor tersebut akan berubah menjadi semikonduktor tipe-n. Hal ini disebabkan oleh adanya elektron valensi dari atom doping yang tidak berikatan dengan atom-atom lainnya.Kelebihan elektron valensi ini mengakibatkan energi yang diberikan untuk memindahkan elektron dari pita valensi ke pita konduksi menjadi lebih kecil.Pengurangan nilai energi ini dipengaruhi oleh tidak adanya ikatan antar atom pada elektronelektron yang bebas di pita valensi tersebut. Ketika semikonduktor diberi doping dengan elektron valensi yang kurang dari 4, maka semikonduktor tersebut akan berubah menjadi semikonduktor tipe-p yang ditunjukkan oleh adanya hole-hole akibat dari kekurangan elektron atom doping. Dengan adanya hole-hole di dalam elektron valensi tersebut, energi yang kecil sudah dapat digunakan oleh elektron-elektron di pita valensi untuk berpindah dari posisinya menempati hole-hole yang diakibatkan oleh atom doping. Pada gambar 6 dapat kita lihat bahwa saat semikonduktor tipe-p dan tipe-n disambungkan, pada bagian sambungan kedua tipe tersebut terdapat lapisan yang disebut dengan daerah deplesi.Daerah deplesi ini terbentuk akibat adanya elektron-elektron pada daerah tipe n yang berdifusi ke daerah tipe p dengan konsentrasi elektron yang lebih rendah. Setelah bergerak menuju tipe p, elektron-elektron yang bergerak dari tipe n akan mengisi hole-hole yang terdapat di daerah tipe p. Akibat dari peristiwa difusi tersebut, bagian yang ditinggalkan oleh elektron menjadi ion positif sedangkan bagian-bagian hole yang diisi oleh elektron akan menjadi ion negatif. Terbentuknya konsentrasi ion positif dan ion negative pada sambungan tersebut mengakibatkan timbulnya medan listrik yang mengalir dari kumpulan ion positif ke kumpulan ion negative. Medan listrik tersebut lebih umum dikenal sebagai medan listrik dalam. Medan listrik dalam yang terjadi pada daerah deplesi tersebut menghasilkan suatu potensial penghalang yang disebut debagai potensial barir. Potensial inilah yang akan menghalangi pergerakan difusi elektron yang sebelumnya telah terjadi. Proses terbentuknya medan dalam ditunjukkan oleh gambar 7. 579
Daerah Semikonduktor Tipe-p
Daerah Semikonduktor Tipe-n
(a)
(b)
Gambar 32.6. Sambungan p-n (a) Keadaan Awal, (b) Setelah Tersambung
(c)
(b)
(a)
Gambar 32.7. Mekanisme Pembentukan Medan Deplesi (a) Keadaan Awal; (b) Elektron Berdifusi; (c) Ion-ion Terbentuk
qV
qV
Tipe-p
d
Tipe-n
Gambar 32.8. Diagram Pita Energi Persambungan p-n 580
n ’ n n
n
p
p
p’ p
(a)
(b)
(c) Gambar 32. 9. Efek Panjar pada Sambungan p-n (a) Tanpa panjar; (b) Panjar Maju; (c) Panjar Mundur
Gambar 8 menunjukkan diagram pita energi persambungan p-n beserta bagian deplesi dan barirnya. Bagian yang menghubungkan antara semikonduktor tipe-p serta tipe-n pada gambar merupakan bagian deplesi yang terbentuk disekitar persambungan.Perbedaan ketinggian yang terbentuk antara pita valensi ataupun pita konduksi tipe-n dan tipe-p merupakan nilai potensial barir yang terbentuk akibat adanya lapisan deplesi. Jika bagian tipe-p pada persambungan p-n dihubungkan dengan kutub positif dari sumber tegangan dan tipe-n dengan kutub negatifnya (diberi panjar/ bias maju), maka medan dalam yang terbentuk pada sambungan p-n akan mengalami pelemahan akibat adanya potensial luar. Dengan demikian, potensial barir yang dimiliki oleh piranti tersebut akan melemah pula. Melemahnya potensial barir ini akan mengakibatkan adanya elektron yang kembali mengalir melalui lapisan deplesi seperti yang ditunjukkan pada gambar 9b. Ketika potensial luar yang diberikan sama dengan nilai potensial barir yang dimiliki oleh persambungan p-n, maka pada piranti persambungan p-n tersebut 581
tidak akan ada barir lagi yang menghalangi pergerakan elektron sehingga arus akan mengalir melalui piranti tersebut. Jika potensial luar yang diberikan terus diperbesar, maka arus yang mengalir melalui piranti tersebut akan semakin besar seiring dengan banyaknya pasangan elektron-hole yang dibangkitkan pada piranti. Pasangan elektron-hole ini terbentuk akibat dari adanya potensial luar yang digunakan untuk mengeksitasi elektron di pita valensi ke pita konduksi. Semakin tinggi tegangan yang diberikan, maka pasangan elektronhole yang dibangkitkan akan semakin banyak sehingga arus yang mengalirpun akan semakin besar. Ketika panjar mundur diberikan pada sambungan p-n (kutub positif potensial dihubungkan dengan tipe-n dan sebaliknya), maka panjar yang diberikan akan membuat medan listrik yang dimiliki oleh piranti sambungan pn tersebut akan semakin besar. Perbesaran nilai medan listrik pada piranti akan menyebabkan semakin besarnya potensial barir piranti tersebut sehingga arus yang melewati persambungan tersebut akan rendah seiring rendahnya perbedaan konsentrasi pada pita piranti tersebut (gambar 9c). Karakteristik arus tegangan (I-V) yang menggambarkan karakteristik pemberian panjar maju ataupun mundur untuk piranti persambungan p-n ditunjukkan oleh gambar 10.
Gambar 32.10. Karakteristik I-V Persambungan p-n
32.3 Dioda Tunneling (Dioda Esaki) Dioda esaki atau yang biasa dikenal dengan dioda tunneling merupakan dioda yang memanfaatkan efek terobosan dalam pemanfaatannya. Sama seperti halnya dioda pada umumnya, dioda tunneling ini pun terbentuk dari sambungan semikonduktor tipe-p dan tipe-n.
582
Gambar 11. Diagram Pita Energi Persambungan p-n Dioda Tunneling Hal yang membedakan dioda tunneling dengan dioda pada umumnya adalah sifat terobosan yang dimiliki oleh dioda tunneling tersebut. Efek terobosan pada dioda tunneling diakibatkan oleh banyaknya doping yang diberikan pada semikonduktor intrinsik yang menyebabkan daerah deplesi yang terbentuk pada persambungan tersebut sempit sebagaimana ditunjukkan oleh persamaan 22 berikut d =
2ε S N A + N D VB q N N A D
........................ (22)
dengan ε s merupakan permitivitas bahan, V B tegangan barir serta N A dan N D masing-masing merupakan jumlah atom doping akseptor dan donor. Dari persamaan tersebut nampak terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi doping yang diberikan, maka lebar deplesi yang dimiliki oleh piranti persambungan p-n tersebut akan semakin kecil. Selain menyebabkan kecilnya lebar lapisan deplesi, konsentrasi doping yang sangat berlebihan, akan membuat kondisi di pita valensi tipe semikonduktor tersebut berubah. Ketika semikonduktor tipe-p diberi doping yang sangat berlebihan, maka pada pita valensi semikonduktor tersebut akan dipenuhi oleh banyak hole yang mengakibatkan level Fermi pada tipe-p tersebut berada di bawah energi maksimum pita valensi. Sedangkan pada tipe-n, pemberian doping yang sangat berlebihan menyebabkan lapisan pita valensi semikonduktor tersebut dipenuhi oleh elektron-elektron yang tidak terikat. Banyaknya elektron yang tidak terikat ini berperilaku seperti halnya elektron bebas yang berada di pita konduksi elektron sehingga level Fermi pada tipe-n akan berada di atas pita konduksinya seperti yang ditunjukkan pada gambar 11. Berbeda dengan dioda pada umumnya, mekanisme kerja untuk menghasilkan arus pada dioda tunneling lebih didominasi oleh proses tunneling. Ketika dioda tunneling ini dihubungkan dengan panjar maju, tegangan barir pada persambungan tetap mengalami penurunan.Penurunan barir mengakibatkan adanya perbedaan konsentrasi elektron antara pita konduksi 583
tipe-n dengan pita valensi tipe-p yang disebabkan oleh tingkat doping yang berlebihan. Akibat dari adanya bagian pita valensi tipe-p yang tidak terisi oleh elektron tersebut, perbedaan konsentrasi elektronpada tipe-n akan menerobos barir dan mengisi bagian kosong di pita valensi tipe-p seperti yang tampak pada gambar 12b.
Daerah tipe p
Daerah tipe n
(d) V1< Va< V2
(a) Bias Nol, Va= 0
(e) V2> Va (b) 0 < Va< V1
(f) Bias Mundur Va< 0
(c) Va=
Gambar 32.12. Mekanisme Terobosan pada Dioda Esaki Ketika nilai tegangan yang sebanding dengan nilai selisih antara energi maksimum pita valensi dengan energi Fermi pada tipe-p tercapai, arus yang melewati dioda tunnelingakan menjadi maksimum. Pada kondisi tersebut, bagian pita valensi tipe-p yang sebelumnya ditempati oleh hole akan terisi sepenuhnya oleh elektron dari tipe-n yang menerobos barir seperti yang ditunjukkan oleh gambar 12c. Saat tegangan panjar terus diperbesar, elektron584
elektron yang menerobos barir akan berkurang jumlahnya. Pengurangan jumlah elektron yang menerobos barir mengakibatkan arus yang melewati piranti tersebut akan berkurang. Setelah mencapai nilai tegangan yang menyebabkan pita valensi tipe-p berada pada posisi datu garis dengan pita konduksi tipe-n, arus yang melewati piranti tersebut akan mengalami titik balik minimum. Arus yang melewati piranti tersebut tidak akan sama dengan nol, sebab ketika panjar diberikan, perbedaan konsentrasi muatan pembawa akan tetap terjadi. Walaupun tidak terjadi mekanisme terobosan, perbedaan konsentrasi muatan pembawa tersebut akan tetap mengalir secara berdifusi antar pita konduksi ataupun pita valensi seperti pada persambungan p-n biasa. Proses yang selanjutnya terjadi ketika panjar terus diperbesar adalah proses seperti halnya persambungan p-n biasa. Tegangan luar yang diberikan akan menurunkan potensial barir yang selanjutnya akan terdapat arus yang melewati piranti tersebut akibat adanya perbedaan konsentrasi muatan pembawa. Pada saat dioda tunneling ini diberikan panjar mundur, mekanisme penghasilan arus yang terjadi bukan berupa mekanisme difusi seperti pada dioda secara umum. Arus yang melewati dioda tunneling sepenuhnya akan dihasilkan dari proses tunneling. Hal ini dikarenakan ketika panjar mundur diberikan, potensial barir akan meninggi dan perbedaan konsentrasi elektron antara pita valensi tipe-p dengan pita konduksi tipe-n akan terlihat jelas, sehingga elektron-elektron dari pita valensi tipe-p akan menerobos barir untuk mencapai pita konduksi tipe-n seperti ditunjukkan pada gambar 12f. Arus yang dihasilkan akibat pemberian panjar pada dioda tunneling terrangkum dalam kurva karakteristik I-V seperti yang ditunjukkan pada gambar 13.
Gambar 13. Kurva Karakteristik I-V Dioda Tunneling
32.4 Dioda ResonantTunneling (RTD) 585
Dioda resonnant tunneling, seperti namanya, merupakan piranti dioda yang memanfaatkan prinsip resonant tunneling untuk melewatkan arus melalui piranti tersebut. Dioda ini menggunakan sebuah sumur kuantum yang diapit oleh dua buah barir untuk meneruskan elektron dari satu sisi ke sisi lainnya. Berbeda dengan dioda pada umumnya, dioda resonant tunneling ini tidak menggunakan persambungan p-n ataupun persambungan metal-semikonduktor. Untuk menghasilkan dioda resonant tunneling ini hal yang perlu dilakukan adalah menyambungkan dua buah bahan yang memiliki perbedaan lebar celah antar pita (bandgap) yang cukup besar sehingga ketika dua bahan tersebut disambungkan perbedaan pita energi yang dimiliki oleh persambungan tersebut akan membentuk suatu barir seperti gambar 14. Hal ini dikarenakan daerah bandgap merupakan daerah terlarang untuk keberadaan elektron sehingga ketika sambungan tersebut terbentuk, elektron yang bergerak dari bagian dengan lebar bandgap yang rendah tidak akan dapat memasuki daerah bandgap yang dimiliki oleh bagian dengan lebar celah antar pita yang tinggi. CB CB Level Fermi VB VB
Gambar 32.14. Diagram Pita Energi Persambungan Material dengan Bandgap yang Berbeda
CB CB
CB Level Fermi
VB
VB VB
Gambar 32.15. Diagram Pita Energi Dioda Resonant tunneling Untuk menghasilkan dua buah barir yang terdapat sumur kuantum diantaranya, diperlukan tiga bagian dengan lebar bandgap yang rendah dan dua bagian dengan lebar bandgap yang tinggi. Bagian dengan lebar bandgap yang 586
tinggi ditempatkan di antara dua buah bagian dengan lebar bandgap yang rendah seperti nampak pada gambar 15. Dalam pembahasan dioda resonant tunneling ini, hanya bagian konduksi saja yang dibahas. Hal ini dikarenakan pada aplikasi-aplikasi elektronika pergerakan elektron-elektron yang berada pada pita konduksi saja yang dimanfaatkan untuk menghantarkan arus. Seperti yang telah diungkapkan pada sub-bab sebelumnya, di dalam sumur kuantum terdapat tingkatan-tingkatan energi yang menandakan posisiposisi elektron di dalam sumur tersebut. Ketika dioda resonant tunneling ini diberi panjar, maka tegangan panjar yang diberikan akan membuat perbedaan ketinggian antara bagian yang dihubungkan dengan bagian katoda dan bagian yang dihubungkan dengan anodanya. Akbiatnya level energi pita konduksi yang dihubungkan dengan katoda akan mendekati nilai tingkatan-tingkatan energi yang terdapat di dalam sumur kuantum hingga pada keadaan tertentu dimana tingkatan energi di dalam sumur kuantum akan sebanding dengan level energi pita konduksi dari bagian yang dihubungkan katoda. Pada keadaan tersebut elektron yang datang menuju barir akan berresonansi dengan elektron yang berada pada tingkatan energi tersebut. Hal ini dikarenakan nilai energi yang sama dari elektron yang menuju barir dan yang berada di dalam sumur kuantum menunjukkan bahwa keduanya memiliki frekuensi yang sama. Saat frekuensi antara keduanya sama, maka kedua bagian tersebut akan mengalami resonansi dan akhirnya akan menembus barir kedua dengan intensitas gelombang yang mendekati nilai intensitas gelombang awal elektron datang sehingga arus yang melewati piranti akan mencapai titik maksimumnya. Ketika panjar yang diberikan terus diperbesar, level energi pita konduksi yang dihubungkan dengan katoda akan lebih tinggi dari tingkatan energi pertama yang menyebabkan resonansi hanya terjadi pada sejumlah kecil elektron saja sehingga pada keadaan ini arus yang melewati barir akan menurun. Setelah panjar yang diberikan menyebabkan level energi pita konduksi berada di tengah antara tingkatan energi pertama dan tingkatan energi kedua dari elektron-elektron yang berada pada sumur kuantum, maka arus yang dihasilkan akan mengalami titik balik minimumnya. Pada keadaan ini, intensitas gelombang elektron yang diteruskan akan berada pada tingkat minimum. Pemberian panjar yang semakin besar akan menyebabkan level energi pita konduksi akan mendekati tingkatan energi kedua pada sumur kuantum. Akibat dari perbesaran panjar tersebut, peristiwa resonansi akan terulang kembali yang akan menghasilkan nilai arus yang maksimum. Ketika panjar terus diperbesar, peristiwa pembentukan arus minimum dan arus maksimum akan terulang kembali hingga mencapai batas dimana tidak terdapat tingkatan energi elektron di dalam sumur kuantum tersebut. Pada keadaan tersebut, mekanisme tunneling biasa akan terjadi. 587
(a)
V (b)
V (c)
Gambar 32.16. Efek pemberian Panjar pada Dioda Resonant tunneling (a) Tanpa Panjar; (b) Saat V = E 0 ; (c) Saat E 0
Dari mekanisme tersebut kurva karakteristik I-V dari dioda resonant tunneling ini ditunjukkan oleh gambar 17. Dari gambar 17 karakteristik I-V yang dihasillkan nampak bahwa terdapat kesimetrian pada kurva tersebut. Hal ini dikarenakan sifat yang sama akan berlaku ketika anoda dan katoda dari sumber dihubungkan dengan ujung dioda yang berlawanan. Kesamaan sifat tersebut terjadi akibat susunan dari dioda tersebut yang sama baik dari bagian kiri ataupun bagian kanan. Jika kita perhatikan gambar 17, karakteristik I-V yang terjadi pada dioda resonant tunneling yang diberi panjar maju tak ada bedanya dengan karakteistik I-V yang terjadi pada dioda tunneling. Namun yang membedakan antara dioda tunneling dengan dioda resonant tunneling adalah sifat resonansi dari sistem barir yang dibuat pada resonant tunneling dapat membuat intensitas gelombang terobosan pada resonant tunneling akan menyerupai intensitas gelombang awal elektron. Hal tersebut berarti bahwa elektron yang menembus barir tersebut memiliki energi yang sama dengan energi elektron yang datang, sehingga transfer energi dengan menggunakan dioda tunneling ini tidak akan terlalu mengurangi nilai dari energi awal yang akan ditransfer.
588
I Ipeak Ivalley V1
V2
V
Gambar 32.17. Kurva Karakteristik I-V Dioda Resonan Tunneling
32.5 Keunggulan dan ResonantTunneling
Aplikasi
Dioda
Dioda resonant tunneling memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan dioda-dioda lainnya. Hal yang menjadi keunggulan utama dari dioda resonant tunneling ini adalah sifat dari negatif different resistant (NDR). Sifat NDR ini merupakan ciri khas dari suatu persambungan yang memanfaatkan prinsip tunneling. Sifat dari NDR ini sangatlah unik sebab nilai resistansi yang bernilai negatif jarang untuk ditemukan sedangkan aplikasi dari NDR ini cukup potensial. Aplikasi yang dapat memanfaatkan sifat NDR ini diantaranya adalah amplifier, mixer, serta oscillator. Sebagai contoh pemanfaatannya, berikut merupakan sedikit penjelasan aplikasi piranti berbasis NDR sebagai oscillator. Suatu rangkaian oscillator yang ideal haruslah terdiri dari rangkaian induktor dan kapasitor saja secara sederhana ditunjukkan oleh gambar 18. Namun pada kenyataannya, rangkaian oscillator yang ada masih dirangkaikan dengan suatu hambatan agar dapat stabil. Dengan demikian, agar rangkaian tersebut kembali menjadi rangkaian yang ideal untuk sebuah oscillator, maka pengaruh dari hambatan yang dirangkaikan dengan rangkaian oscillator tersebut haruslah dihilangkan. Untuk menghilangkan pengaruh hambatan tersebut, maka perlu dipasangkan suatu piranti yang memiliki nilai hambatan sama dengan hambatan yang telah dirangkaikan namun bernilai negatif. Seperti yang tampak pada gambar 18, ketika rangkaian tersebut dipasangkan secara paralel, maka untuk menghilangkan pengaruh hambatan biasa perlu dipasangkan piranti NDR (dalam hal ini dioda resonant tunneling) secara paralel pula sehingga nilai rangkaian resistor menjadi bernilai tak hingga. Akibatnya, arus yang melewati rangkaian hambatan (resistor) akan mendekati nol yang berarti hampir tidak ada arus yang melewati rangkaian hambatan tersebut atau dengan kata lain, arus 589
hanya akan mengalir melalui rangkaian induktor dan kapasitor saja. Ketika arus yang mengalir hanya melalui induktor dan kapasitor saja, rangkaian oscillator yang dibentuk akan menyerupai kasus ideal untuk oscillator walaupun terdapat resistor dan piranti NDR di dalamnya. Walaupun dioda resonant tunneling ini memiliki karakteistik yang sama dengan dioda tunneling, seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, sifat resonansi yang dimiliki oleh resonant tunneling sangat bermanfaat untuk membuat intensitas gelombang elektron yang menerobos menyerupai intensitas gelombang yang datangnya.
Gambar 32.18. Rangkaian Oscillator Harmonik (a) Kasus Ideal; (b) Kasus Nyata; (c) Pemanfaatan Piranti NDR Keunggulan dari dioda resonant tunneling ini, tidak hanya seperti itu saja. Peristiwa resonansi yang dialami oleh dioda resonant tunneling ini sangat bermanfaat pula untuk aplikasi clocking dan digital logic lainnya seperti halnya penyimpanan data. Hal ini disebabkan dengan adanya peristiwa resonansi yang dialami oleh dioda resonant tunneling ini, daya yang dibutuhkan untuk menjalankan piranti ini sangat kecil. Hal ini dikarenakan dengan adanya peristiwa resonansi tersebut, untuk menjalankan piranti ini cukup dengan memberikan tegangan yang kecil saja (sebesar nilai tingkatan energi dasar dalam sumur kuantum) proses tunneling dapat terjadi dengan kecilnya pengurangan energi dari elektron yang dilewatkan melalui pitanti tersebut. Selain itu proses resonansi yang sangat singkat, baik digunakan untuk clocking dalam mengubah informasi digital dari 0 ke 1 ataupun sebaliknya. Waktu yang dibutuhkan dalam proses resonansi berada dalam orde pikosekon (ps) yang berarti frekuensi yang dimiliki oleh piranti resonant tunneling untuk clocking berada dalam orde gigahertz (GHz). Hal yang menguntungkan lainnya dari dioda ini adalah, saat dirangkaikan ke dalam suatu rangkaian digital logic, penggunaan dioda ini dapat mereduksi tingkat kompleksitas yang dimiliki oleh rangkaian. Maksud dari pengurangan tingkat kompleksitas tersebut adalah jumlah komponen yang digunakan untuk rangkaian digital logic tersebut dengan kemampuan yang sama menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan rangkaian tanpa dioda resonant tunneling ini. Dengan demikian piranti dioda resonant tunneling ini, sangat potensial untuk digunakan sebagai piranti digital logic. 590
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, saat dioda resonant tunnelingdirangkaikan dengan rangkaian digital logic, tingkat kompleksitas rangkaian akan terreduksi. Hal ini terkait dengan sifat NDR yang dimiliki oleh piranti. Sifat NDR yang dimiliki oleh piranti dioda resonant tunneling ini didasarkan pada perbandingan selisih arus puncak dan arus arus lembah yang terbentuk dengan selisih tegangan yang membentuknya. Ketika puncak dan lembah yang terbentuk semakin banyak, maka NDR yang dimiliki oleh piranti tersebut menjadi lebih banyak pula. Akibatnya ketika piranti tersebut dirangkaikan pada rangkaian digital logic, kompleksitas dari rangkaian akan sangat terreduksi. Hal ini disebabkan banyaknya komponen pada rangkaian yang direduksi. Untuk menciptakan suatu piranti dioda resonant tunneling dengan multiple peak, hal yang dapat dilakukan adalah dengan mengkondisikan nilai potensial barir pada piranti atau dengan cara membuat selisih tingkatantingkatan energi pada sumur kuantum menjadi lebih kecil. Semakin tinggi potensial barir yang dimiliki oleh piranti, maka tingkatan energi yang terdapat dalam sumur kuantum tersebut akan semakin banyak. Akibatnya dioda resonant tunneling tersebut akan memiliki banyak puncak (multiple peak). Potensial yang lebih tinggi dapat dihasilkan dengan cara mengganti material yang digunakan sebagai barir dengan material yang memiliki lebar bandgap yang lebih besar lagi atau mengganti material untuk membuat dasar sumur kuantum dengan material yang memiliki lebar bandgap yang lebih rendah. Hal lainnya yang dapat dilakukan adalah dengan cara memberikan doping tipe-n pada material pengapit barir. Hal tersebut dilakukan agar doping yang diberikan pada material menyebabkan kondisi level fermi yang dimiliki material tersebut lebih mendekat ke pita konduksi sehingga dapat meningkatkan barir yang terjadi. Cara lainnya yang dapat digunakan untuk membentuk dioda resonant tunnelingmultiple peak adalah dengan cara mengkondisikan tingkatan-tingkatan energi agar mempunyai selisih yang lebih kecil. Dari persamaan 21 yang telah dibahas sebelumnya, hal yang dapat divariasikan untuk merubah nilai tingkatan energi pada sumur kuantum adalah dengan memvariasikan lebar sumurnya. Ketika sumur tersebut diperbesar, maka nilai tingkatan-tingkatan energi pada sumur tersebut akan mengecil. Akibatnya dengan tinggi barir yang sama, tingkatan-tingkatan energi elektron akan lebih banyak yang nantinya akan menghasilkan multiple peak.
591
Daftar Pustaka Chu, C.S. and Liang H.C. 1999. Chinese Journal of Physics. Vol. 37, no. 4. Davies, John H., et.al. 1993. Physical Review B. Vol. 47, no. 8, page 4603-4618. Luryi, Serge. 1985. IEDM. Page 666-669. Mazumder, Pinaki. 1998. Proceeding of The IEEE. Vol. 86, no. 4, page 664-686. Mizuta, Hiroshi, et.al. 1988. IEEE Transaction on Electron Devices. Vol. 35, no. 11. pp 1951-1956. Mounaix, P. et.al. 1991. J. Physics III, page 539-549. Neaman, Donald A. 2003. The McGraw-Hill Companies, Inc. Schemmann, M.F.C. 1989. Ph.D. Thesis Eindhoven University of Technology. Schmidt, J.M., et.al. 1991. Physical Review B. Vol. 43, page 229-238. Sollner, T.C.L.G., et.al. 1988. The Lincoln Laboratory Journal. Vol. 1, no. 1, page 89106. Sun, Jian Ping. 1998. Proceeding of The IEEE. Vol. 86, no.4, pp 641-661. Zhang, Wendong, et.al. 2007. Indian Journal of Pure and Applied Physics. Vol. 45, pp 294-298.
592
Bab 33 Nanokomposit Polimer Oleh: Rahmat Firman
33.1 Nanokomposit Penelitian material nanokomposit dilakukan berdasarkan pemikiran atau ide sederhana, yaitu menyusun sebuah material yang terdiri atas blok-blok partikel homogen dengan ukuran nanometer. Hasilnya sebuah material baru lahir dengan sifatsifat fisis yang jauh lebih baik dari material penyusunnya. Hal ini memicu perkembangan material nanokomposit di segala bidang dengan memanfaatkan ide yang sangat sederhana tersebut. Contohnya, tulang memiliki bangunan nanokomposit yang bertingkat-bertingkat yang terbuat dari tablet keramik dan ikatan-ikatan organik. Partikel-partikel nanokomposit tersebut memiliki struktur, komposisi, dan sifat yang berbeda-beda. Oleh karena itu partikel-partikel nanokomposit memberikan fungsi yang beragam sehingga didapatkan material multiguna dalam waktu yang sama dan dapat digunakan pada beberapa aplikasi. Dari sinilah para ilmuwan mulai memikirkan berbagai cara untuk mendapatkan material nanokomposit, karena material tersebut memiliki beberapa keunggulan dibandingkan material konvensional. Penemuan material baru ini tidak langsung ditemukan atau secara mendadak dan tanpa usaha. Sekitar tahun 1995, Profesor Veprek, memulai menerapkan sebuah konsep rekayasa material baru di bidang material keras yang dinamakan nanokomposit superkeras (sekitar 40-50 GPa). Konsep peningkatan sifat fisis dan karakteristik material dengan cara membuat nanokomposit multi-fasa (yang terbuat dari beberapa material) sebenarnya bukanlah hal yang baru. Ide ini telah dipraktikkan sejak peradaban dimulai dan umat manusia mulai menghasillkan material-material yang efisien dengan fungsi-fungsi tertentu. Hal ini terlihat dari banyaknya peninggalan-peninggalan purbakala yang telah dtemukan saat ini yang sebenarnya adalah material nanokomposit. Sebagai contoh adalah lukisan bangsa Maya, peninggalan purbakala yang terdapat di meso-Amerika. Lukisan tersebut ternyata terdiri dari matriks clay yang dicampur dengan molekul colorant (indigo) organik. Selain itu, lukisan tersebut juga mengandung nanopartikel logam yang dibungkus oleh substrat amorf silikat, dengan nanopartikel-oksida berada pada substrat. Komposit adalah suatu material yang terbentuk dari kombinasi dua atau lebih material pembentuknya melalui campuran yang tidak homogen, dimana sifat mekanik dari masing-masing material pembentuknya berbeda. Umumnya material komposit terdiri dari dua bahan penyusun. Bahan tersebut yaitu bahan pengisi (filler) dan bahan pengikat (matriks). Filler adalah bahan pengisi yang digunakan dalam pembuatan komposit, biasanya berupa serat atau serbuk, seperti yang sering digunakan dalam pembuatan komposit antara lain serat e-glass, boron, karbon, dan sebagainya. Bahan pengisi haruslah kuat untuk menerima beban yang diterima material komposit. 593
Matriks dalam struktur komposit dapat berasal dari bahan polimer atau logam. Umumnya matriks terbuat dari bahan-bahan lunak dan liat. Epoksi, poliester, dan vinilester adalah bahan-bahan polimer yang sejak dahulu telah dipakai sebagai bahan matriks. Nanokomposit adalah gabungan atau kombinasi dari satu atau lebih komponen terpisah dan salah satu komponennya adalah material skala nanometer. Tujuan pembuatan komposit adalah untuk menghasilkan sifat yang berbeda dari komponenkomponen pembentuknya serta untuk menghasilkan sifat yang terbaik dari tiap komponen suatu komposit. Dalam nanokomposit, nanopartikel seperti clay, logam, CNT bertindak sebagai pengisi atau filler dalam sebuah matriks. Saat ini yang paling banyak dipakai adalah polimer. Nanokomposit merupakan material yang dibuat dengan menyisipkan nanopartikel (filler) dalam sebuah sampel material makroskopik (matriks). Nanokomposit dihasilkan dari pencampuran dalam sejumlah fase yang berbeda. Pencampuran ini dapat menghasilkan sifat baru yang tidak ditemui pada masing-masing material asal. Nanokomposit memperlihatkan sifat-sifat baru yang lebih unggul dibandingkan dengan material asal. Setelah menambahkan nanopartikel ke dalam material matriks, nanokomposit yang dihasilkan dapat menunjukkan sifatsifat yang sangat berbeda dibandingkan dengan sifat material sebelumnya. Sebagai contoh dengan menambahkan CNT pada suatu material maka konduktivitas listrik dan konduktivitas termal material tersebut akan berubah. Penambahan nanopartikel jenis lain dapat menghasilkan perubahan sifat optik, sifat dielektrik atau sifat mekanik, seperti kekakuan (stiffness) dan kekuatan (strength). Secara umum pembuatan nanokomposit dilakukan dengan mendispersi material berdimensi nanometer ke dalam matriks. Persentase berat (mass fraction) dari nanomaterial umumnya sangat kecil sekitar 0,5% - 5%. Beberapa penelitian sedang dilakukan untuk mencari kombinasi terbaik matriks dan filler agar diperoleh komposit dengan sifat yang unggul. Konferensi Nanokomposit pada tahun 2000 telah mengungkapkan dengan jelas keunggulan sifat-sifat nanokomposit. Sifat yang memperlihatkan peningkatan yang signifikan diantaranya:
Sifat mekanikal, seperti kekuatan, modulus, dan stabilitas dimensional Permeabilitas yang lebih kecil terhadap gas, air, dan hidrokarbon Stabilitas termal Daya tahan terhadap api dan emisi asap yang kecil Resistansi kimia Tampak permukaan Konduktivitas listrik Transparansi optik
Nanokomposit dapat dianggap sebagai struktur padat dengan dimensi berskala nanometer yang berulang pada jarak antar-bentuk penyusun struktur yang berbeda. Material-material dengan jenis seperti ini terdiri atas padatan inorganik yang tersusun atas komponen organik. Selain itu, material nanokomposit dapat pula terdiri atas dua atau lebih molekul inorganik/organik dalam beberapa bentuk kombinasi dengan pembatas antara keduanya minimal satu molekul atau memiliki ciri berukuran nano. Contoh nanokomposit yang ekstrim adalah media berporos, koloid, gel, dan kopolimer.
594
Ikatan antar partikel yang terjadi pada material nanokomposit memainkan peranan penting pada peningkatan dan pembatasan sifat material. Partikel-partikel yang berukuran nano tersebut memiliki luas permukaan interaksi yang tinggi. Semakin banyak partikel yang berinteraksi, semakin kuat material tersebut. Inilah yang menyebabkan ikatan antar partikel semakin kuat, sehingga sifat mekanik material bertambah. Namun, penambahan partikel-partikel nano tidak selamanya akan meningkatkan sifat mekaniknya. Ada batas tertentu dimana saat dilakukan penambahan material nano, kekuatan material justru semakin berkurang. Namun pada umumnya, material nanokomposit menunjukkan perbedaan sifat mekanik, listrik, optik, elektrokimia, katalis, dan struktur dibandingkan dengan material penyusunnya.
33.1.1 CNT Carbon Nanotube (CNT) Ditemukan Setelah Penemuan Struktur Karbon Murni Yang Tersusun Atas 60 Karbon Atau Dilambangkan Dengan C 60 Yang Ditemukan Pada Tahun 1985 Oleh Richard E. Smalley, Robert F. Curl, Jr. Dan Sir Harnold W.Kroto. Struktur C 60 Diberi Nama Buckminsterfullerene Atau Disebut Juga Bucky Ball Karenastrukturnya Menyerupai Bangunan Berkubah Seperti Bola Yang Dirancang Oleh Seorang Arsitek Amerika Serikat, R. Buckminster Fuller. Perbedaan Antara Fullerence Dan Cnt Yaitu Atom-Atom Karbon Pada Fullerence Membentuk Struktur Seperti Bola, Sedangkan CNT Berbentuk Silinder Yang Tiap Ujungnya Ditutup Oleh Atom-Atom Karbon Yang Berbentuk Setengah Struktur Fullerence.
Gambar 33.1 Struktur Molekul (a) Buckminsterfullerene dan (b) CNT (www.hielscher.com/CNT) Struktur CNT pertama kali ditemukan oleh Sumio Iijima dari NEC Laboratories di Jepang pada tahun 1991. Berdasarkan jumlsh cangkang (shell) yang dibentuknya, ada dua golongan utama CNT, yakni sebagai berikut. 1.
Single Walled Carbon Nanotubes (SWCNT) SWCNT hanya membentuk satu cangkang dan sangat tahan terhadap kerusakan akibat gaya fisis. Di bawah ini ditunjukkan gambar dari SWCNT. 595
Gambar 33.2 SWCNT ( Leslie, Journal of Experimental Nanoscience 2006) 2.
Multiwalled Nanotubes (MWCNT) MWCNT membentuk lebih dari satu cangkang berlapis dan bisa juga dikatakan sebagai gabungan SWCNT dengan diameter yang berbeda-beda, SWCNT dapat diperlihatkan pada gambar berikut ini.
Gambar 33.3 MWCNT ( Leslie, Journal of Experimental Nanoscience 2006)
596
Carbon NanoTube (CNT) memiliki beberapa sifat diantaranya sifat listrik, sifat mekanik, sifat thermal, sifat optik, dan sifat kimia. 1.
Sifat Listrik CNT dapat memiliki rapat muatan listrik di atas 1000 kali lebih besar daripada logam biasa seperti perak dan tembaga. Salah satu sifat yang menarik dari CNT ini adalah dapat diatur sifat elektronikanya sesuai yang diinginkan, mulai dari bersifat superkonduktor, hingga insulator.
2.
Sifat Mekanik CNT memiliki massa jenis yang kecil, yaitu 1,3-1,4 g/cm3. Ikatan kimia dari seluruh CNT terdiri dari ikatan sp2, sama seperti grapene. Struktur ikatan ini lebih kuat daripada ikatan sp3 pada intan. Oleh karena ikatannya yang sangat kuat, CNT memiliki modulus elastik yang sangat besar dibandingkan material lain yang pernah ada. Dengan sifat tersebut, CNT diharapkan dapat digunakan untuk fiber yang kuat. Meskipun CNT memiliki daya regang yang besar, CNT juga dapat mengalami deformasi plastik (deformasi permanen). Deformasi mulai terjadi pada tegangan kira-kira 5% dan dapat patah jika strain terus diperbesar.
3.
Sifat Termal CNT merupakan konduktor panas yang baik dibandingkan material yang pernah dikenal. SWNT yang sangat kecil (ultra small) memperlihatkan sifat superkonduktor pada suhu di bawah 20 K. Semua jenis CNT merupakan konduktor panas yang baik sepanjang tubenya. Sifat konduktivitas yang tinggi disebabkan fenomena konduksi balistik (balistic conduction) sepanjang tabung. Diperkirakan bahwa CNT dapat mentransmisi daya lebih besar dari 6000 WK/m pada temperatur ruang. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan dengan nilai yang dimiliki tembaga yang kita ketahui sebagai konduktor panas yang baik, dimana transmisi dayanya 385 WK/m. Diperkirakan CNT stabil pada suhu lebih besar dari 2.800oC di dalam vakum dan sekitar 750oC di udara.
4.
Sifat Optik Menurut prediksi teoritik, sifat optik CNT makin hilang jika ukurannya bertambah. Karena keunikan sifat optiknya yang dipengaruhi ukuran, CNT dapat digunakan pada berbagai piranti optik. Banyak sifat fisis lain dari CNT yang juga bergantung pada ukurannya. Sebagai contoh, lebar celah pita energi (band gap) CNT dipengaruhi oleh diameternya. Makin kecil diameter, makin besar celah pita energi. Di bawah ini contoh hasil pengukuran lebar celah pita energi CNT yang bergantung pada diameter.
597
Gambar 33.4 Jari-jari nanotube (nm)
5.
Sifat Kimia Sifat reaktivitas kimia dari CNT menyerupai lembaran grapene. Sifat kimia dari lembaran grapene berpengaruh pada pembentukan (pengulungan) CNT. Diameter CNT yang semakin kecil akan memiliki sifat reaktif yang semakin besar, luas permukaan spesifiknya (luas permukaan/massa) makin besar. Modifikasi ikatan kovalen pada CNT dapat pula dilakukan. Salah satu caranya adalah mendispersi CNT pada pelarut yang sesuai. Namun, modifikasi sifat kimia CNT sulit untuk dilakukan jika sampel dasar nanotube belum cukup murni.
Pada semua jenis material, cacat dapat mempengaruhi sifat suatu material. Cacat dapat terjadi dalam bentuk kekosongan atom (vacancy). Nilai cacat yang tinggi dapat menurunkan daya regang CNT sampai 85%. Bentuk lain cacat dapat terjadi pada CNT adalah adanya atom asing (Sone Wales Defect), yang membentuk struktur pentagon dan heptagon dari pengaturan kembali ikatan. Karena struktur CNT yang sangat kecil, daya regang dari tube bergantung pada segmen yang lemah pada cara penyusunan yang sama. Cacat pada suatu daerah mengurangi kekuatan dari ikatan yang lain. Sifat listrik juga dipengaruhi oleh cacat dalam bentuk pengurangan konduktivitas. Suatu cacat pada CNT konduktor dapat menyebabkan daerah sekitar berubah sifat menjadi semikonduktor. Cacat juga berpengaruh pada sifat termal CNT dalm bentuk pengurangan konduktivitas termalnya.
598
33.2 Polimer Energi panas katalis
Monomer
Polimer
Gambar 33.5 Pembentukan Polimer Polimer berasal dari bahasa Yunani, poly dan mer (meros). Poly berarti banyak, sedangkan mer (meros) berarti ikatan. Istilah polimer ini digunakan untuk menggambarkan bentuk molekul berantai panjang yang terdiri atas unit-unit terkecil yang berulang (mer) sebagai blok penyusunnya. Molekul-molekul tunggal penyusun polimer dikenal dengan istilah monomer. Sebagai contoh, polimer polipropilena adalah salah satu jenis bahan polimer dengan rantai linier sangat panjang yang tersusun atas unit-unit terkecil (mer) yang berulang-ulang berasal dari monomer molekul propilen. Menurut asalnya, polimer dibedakan menjadi dua, yaitu polimer alam dan polimer buatan. Contoh polimer alam seperti selulosa, karbohidrat, dan DNA, sedangkan polimer buatan contohnya adalah ban kendaraan yang pertama diproduksi oleh Charles Goodyear dari Amerika Serikat pada tahun 1839. Setelah itu berbagai modifikasi polimer pun mulai berkembang seperti pada tahun 1846 yaitu adanya modifikasi selulosa dengan asam nitrat oleh Cristian Frederick Schonbein, tahun 1907 ditemukannya Bakelite oleh Leo Baekeland, tahun 1930 di Jerman ditemukan Polystirena atau Polyfenol ethena dan pada tahun 1936 ditemukan Polyethylene di laboratorium ICI di Winnington, Chesire. Hingga saat ini banyak produk industri yang begitu beragam berasal dari proses pabrikasi polimer. Hal ini didukung adanya karakteristik polimer seperti: polimer yang memiliki densitas rendah sehingga dapat menghasilkan suatu produk yang ringan, kemudian polimer mudah diolah untuk berbagai macam produk pada suhu rendah dengan biaya murah, ketahanan korosi yang tinggi, bersifat osilator yang baik terhadap panas dan listrik, serta bersifat elastis dan plastis. Polimer yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari diantaranya adalah polyethylene (PE) yang banyak digunakan dalam perabotan rumah tangga dan mainan anak-anak, polyvinylchloride (PVC) pada kemasan pasta gigi dan pipa, phenol formaldehyde atau Bakelite yang digunakan dalam alat listrik dan polyisoprene sebagai bahan baku pembuatan karet.
599
Polimer dapat diklasifikasikan berdasarkan strukturnya dan berdasarkan sifat thermalnya, yaitu: 1.
Polimer berdasarkan strukturnya terdiri dari polimer linier (linear), polimer bercabang (branched), polimer sambung silang (crosslinked) dan polimer berjejaring (network). Polimer jenis akan bersifat lunak pada saat dipanaskan, menjadi keras dan kaku pada saat didinginkan secara berulang-ulang.
Gambar 33.6 Struktur rantai polimer (Saptono Rahmat, Departemen Metalurgi dan Material) a.
Polimer linear yaitu polimer yang tersusun dengan unit ulang berkaitan satu sama lainnya membentuk rantai polimer yang panjang. Biasanya terdapat dalam polimer termoplastik contohnya polyethylene (PE).
Gambar 33.7 Polimer Linear
600
b.
Polimer bercabang merupakan polimer yang terbentuk jika beberapa unit ulang membentuk cabang pada rantai utama. Struktur polimer bercabang biasanya terdapat dalam polimer termoplastik
Gambar 33.8 Polimer Bercabang c.
Polimer berikatan silang (cross-linked) yaitu polimer yang terbentuk karena beberapa rantai polimer saling berikatan satu sama lain pada rantai utamanya, contohnya ikatan yang terdapat pada elastomer.
Gambar 33.9 Polimer Sambung Silang
601
d.
Polimer berjejaring (network) merupakan polimer yang apabila rantainya bersambungan secara silang ke berbagai arah maka akan terbentuk sambung silang tiga dimensi yang sering disebut dengan polimer jaringan. Hal ini yang menyebabkan struktur rantainya menjadi sangat rigid, contohnya ikatan yang terjadi pada termoset.
Gambar 33.10 Polimer Berjejaring
Resin yang biasa digunakan dalam pembuatan komposit sering diidentikkan sebagai polimer. Semua polimer menampilkan karakterisasi yang umum yaitu tersusun dari rantai yang sangat panjang yang terbentuk dari unit-unit berulang yang sederhana. Polimer berdasarkan sifat termal dibagi ke dalam tiga bagian yaitu termoplastik, termoset, dan elastomer.
33.2.1 Termoplastik Termoplastik merupakan material padatan yang akan berubah menjadi cairan kental ketika dipanaskan. Hal ini disebabkan karena polimer-polimer tersebut tidak berikatan silang, biasanya bisa larut dalam beberapa pelarut. Karakteristik ini menyebabkan termoplastik mudah dan ekonomis dalam proses pabrikasi menjadi beragam bentuk. Termoplastik, sifatnya mirip logam, meleleh jika dipanaskan dan mengeras jika didinginkan. Proses pengerasan dan pelelehan ini bisa berulang-ulang bergantung kebutuhan kita. Contoh dari termoplastik adalah sebagai berikut. 1.
Polyethylene (PE) CH2 = CH2 → ─CH2CH2─ Gambar 33.11 Monomer Polyethylene (PE)
2.
Polyvinilchloride (PVC) CH2 = CHCl → ─CH2CHCl─
602
Gambar 33.12 Monomer Polyninilchloride (PVC) 3.
Polystyrene ─CH2CH─
CH2 = CH
Gambar 33.13 Monomer Polysyrene Selain dari contoh termoplastik di atas, terdapat pula nilon, polipropilen (PP), dan ABS. Di bawah ini akan dijelaskan lebih luas mengenai polietilen (PE) dan polipropilen.
33.2.1.1 Polyethylene (PE) Polyethylene (PE) memiliki nama IUPAC polietena, yang merupakan termoplastik yang digunakan secara luas oleh konsumen produk sebagai kantong plastik. Polietina adalah polimer yang terdiri dari rantai panjang monomer etilena (etena). Molekul etena (C 2 H4 ) terurai menjadi CH2 =CH2 . Dua grup CH2 bersatu dengan ikatan ganda. Polietilena terdiri dari berbagai jenis, berdasrkan densitas dan kekuatan tensilnya polietilen dibagi ke dalam tujuh klasifikasi, yaitu UHMWPE (Ultra High Molecular Weight Polyethylene), HDPE (High Density Polyethylene), MDPE (Medium Density Polyethylene), LDPE (Low Density Polyethylene), LLDPE (Linear Low Density Polyethylene), VLDPE (Very Low Density Polyethylene), dan PEX (Polyethylene-X). Di bawah ini dijelaskan masing-masing tujuh klasifikasi berikut ini. 1.
UHMWPE (Ultra High Molecular Weight Polyethylene) UHMWPE adalah polietilena dengan massa molekul yang sangat tinggi hingga jutaan, biasanya berkisar antara 3,1 hingga 5,67 juta. Polietilena ini digunakan sebagai onerdil mesin pembawa kaleng dan botol, bagian yang bergerak dari mesin pemutar, roda gigi, bahan anti peluru, dan sebagai implan pengganti bagian pinggang serta lutut dalam operasi.
2.
HDPE (High Density Polyethylene) HDPE dicirikan dengan densitas yang melebihi atau sama dengan 0,941 g/cm3. Polietilena ini memiliki kekuatan antar molekul dan kekuatan tensil yang sangat tinggi. Aplikasi HDPE adalah sebagai bahan pembuat botol susu, botol atau kemasan detergen, kemasan margarin, pipa air, dan tempat sampah.
3.
MDPE (Medium Density Polyethylene) MDPE dicirikan dengan densitas antara 0,926-0,940 g/cm3. MDPE memiliki ketahanan yang baik terhadap pengaruh tekanan. Aplikasi MDPE biasanya banyak digunakan pada pipa gas.
603
4.
LDPE (Low Density Polyethylene) LDPE dicirikan dengan densitas 0,910-0,940 g/cm3. LDPE memiliki kekuatan antar molekul yang rendah, sehingga mengakibatkan LDPE memiliki kekuatan tensil yang rendah.
5.
LLDPE (Linear Low Density Polyethylene) LLDPE dicirikan dengan densitas antara 0,915-0,925 g/cm3. LLDPE memiliki kekuatan tensil yang tinggi dari LDPE dan memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap tekanan.
6.
VLDPE (Very Low Density Polyethylene) VLDPE dicirikan dengan identitas antara 0,880 hingga 0,915 g/cm3.
7.
PEX (Polyethylene-X) PEX adalah polietilena dengan kepadatan menengah hingga tinggi yang memiliki sambungan cross-link pada struktur polimernya.
Berdasarkan pengklasifikasian di atas, terdapat perbedaan densitas polietilena yang dapat menyebabkan adanya perbedaan pada titik lelehnya pula. Untuk polietilena berdensitas menengah, titik lelehnya berkisar antara 120oC hingga 135oC, sedangkan titik leleh untuk polietilena berdensitas rendah berkisar antara 105oC hingga 115oC. Oleh karena itu, semakin besar densitas polietilena tersebut maka titik lelehnya akan semakin tinggi pula. Apabila densitasnya besar maka polietilena tersebut akan semakin kuat dan sukar untuk dilelehkan. Selain itu ada juga sifat polietilena yang lainnya, yaitu sebagai berikut. 1. 2. 3. 4. 5.
Tahan terhadap efek asam lemah, tetapi tidak tahan terhadap asam kuat. Tahan terhadap basa lemah maupun basa kuat. Tahan terhadap efek pelarut organik. Laju pemanasannya sangat lambat. Bersifat non-polar.
Penggunaan polietilen (PE) antara lain digunakan untuk industri pengemasan, industri cetakan, perabotan rumah tangga,mainan anak-anak, dan isolator kabel listrik.
33.2.1.2 Polipropilen (PP) Polipropilen merupakan kristalin yang dihasilkan dari proses polimerisasi gas propilen. Monomer-monomer yang menyusun rantai propilena adalah propilena yang diperoleh dari pemurnian minyak bumi. Propilena, merupakan senyawa vinil yang memiliki struktur: CH 2 = CH─CH3 . Nama kimia dari polipropilena adalah poli (1metiletilena) dengan formula kimia (C 3 H6 ) x . Polipropilen mempunyai titik lebur 165oC, suhu transisi kaca -10oC, transisi degradasi 286oC dan titik kristalisasi polipropilen 130oC.
604
Salah satu aplikasi dari polipropilen adalah sebagai karung plastik. Bahan baku polipropilen didapat dengan menguraikan petroleum (naftan). Molekul rantai polipropilen akan memberikan sifat termoplastik seiring dengan kenaikan temperatur, serta dapat mencair dan mengalir.
Gambar 33.14 Skema Ikatan Kimia Polipropilen Polipropilen termasuk kelompok yang paling ringan diantara bahan polimer. Jika dibandingkan dengan polietilen, massa jenis titik lunak, kekuatan tarik, kekuatan lentur, dan kekakuannya lebih tinggi, tetapi ketahanan impaknya rendah terutama pada temperatur rendah. Polipropilen memiliki sifat tembus cahaya pada pencetakan lebih baik daripada polietilen dengan permukaan yang mengkilap, penyusutan pada pencetakan relatif kecil, serta penampilan dan ketelitian dimensinya lebih baik. Sifat mekanik pada propilen dapat ditingkatkan sampai batas tertentu dengan cara mencampurkan serat gelas. Pemuaian termal juga dapat diperbaiki setingkat resin termoset. Sedangkan dilihat dari Sifat listriknya mempunyai frekuensi yang tinggi, sehingga banyak digunakan sebagai bahan isolasi untuk radar, televisi, dan berbagai alat komunikasi. Polipropilen memiliki sifat mampu cetak yang baik. Faktor penyusutan pencetakan lebih kecil jika dibandingkan dengan polietilen dengan massa jenis yang tinggi. Pada kondisi hasil pencetakan yang optimaldapat diperoleh produk dengan ketelitian dimensi yang baik dan tegangan sisa yang kecil.
33.2.2 Termoset Termoset tidak akan berubah bentuk ketika dipanaskan pada suhu tertentu, polimer-polimer ini tidak bisa dibentuk dan tidak dapat larut karena adanya ikatan silang. Termoset dibentuk melalui reaksi kimia secara in situ, dimana resin dan hardener atau resin dengan katalis dicampur dalam satu tempat kemudian terjadilah proses pengerasan (polimerisasi). Apabila terjadi pengerasan, termoset tidak bisa mencair lagi sekalipun dilakukan pemanasan.
605
Di pasaran, terdapat tiga jenis resin yang banyak digunakan, yaitu polyester, vinil ester, dan epoksi. Contoh dari termoset diantaranya adalah fenol-formaldehida (PF) atau bakelite yang biasa digunakan pada alat listrik dan elektronik.
Gambar 33.15 Cross Linked Polimer Bakelite (www.tutorvista.com/content/chemi…tion.php)
33.2.2.1 Polimer Epoksi Resin Epoksi resin memiliki karakteristik listrik yang bagus, daya penyusut yang rendah, perekat yang bagus untuk banyak bahan logam, dan tahan terhadap kelembaban udara serta tahan terhadap tekanan. Proses pengerasan terjadi jika polimer epoksi resin dicampurkan dengan hardenernya. Pengerasan atau polimerisasi terjadi karena pencampuran keduanya membentuk ikatan silang (cross link) yang kuat. Epoksi resin mengeras lebih cepat pada selang temperature 5-150 ̊ C. Namun, hal ini bergantung pada jenis hardener yang digunakan. Hardener mempunyai jenis yang cukup banyak dan pemilihannya sesuai dengan kebutuhan yang akan digunakan. Zat yang biasa dipakai sebagai hardener antara lain amines, polyamides, phenolic resins, anhydrides, isocyanates, dan polymercaptans. Pemilihan resin dan hardener bergantung pada aplikasi, pemilihan proses, dan sifat material yang diinginkan. Secara umum epoksi mempunyai karakteristik, sebagai berikut: 1. Mempunyai kemampuan mengikat paduan metalik yang baik. Kemampuan ini disebabkan oleh adanya gugus hidroksil yang memiliki kemampuan membentuk ikatan hidrogen. Gugus hidroksil ini juga dimiliki oleh oksida metal, dimana pada kondisi normal menyebar pada permukaan logam. 2. Ketangguhan. Kegunaan epoksi sebagai bahan matriks dibatasi oleh ketangguhan yang rendah dan cenderung rapuh.
606
Epoksi terbentuk dari reaksi antara epiklorohidrin dengan bisfenol propana (bisfenol A) dengan persamaan reaksi sebagai berikut:
Gambar 33.16 Reaksi antara epiklorohidrin dan bisfenol A (Herlan dkk., Prosiding Seminar Nasional Teknologi Limbah VII) Reaksi polimerisasi dimulai dengan adanya radikal bebas yang terbentuk karena dekomposisi bahan yang tidak stabil oleh temperatur, radiasi maupun katalis. Radikal bebas dengan monomer akan mengadakan reaksi polimerisasi dan akhirnya jika radikal bebas bereaksi dengan radikal bebas terjadi reaksi terminasi yang menghasilkan polimer. Terbentuknya polimer melibatkan perubahan fase cair dan pasta menjadi padat yang disebut curing atau pengeringan. Proses ini terjadi secara fisika karena adanya penguapan pelarut atau medium pendispersi dan dapat juga terjadi karena adanya perubahan kimiawi misal polimerisasi pembentukan ikatan silang. Epoksi merupakan campuran dari monomer-monomer bisfenol A dan epiklorohidrin, yang mempunyai rumus dan struktur kimia seperti ditunjukkan dalam gambar di atas. Hardener (pengeras) mempunyai fungsi sebagai katalisator reaksi berantai dalam pembentukan polimer, dengan pencampuran epoksi dan pengeras tersebut terbentuklah polimer epoksi. Polimer epoksi termasuk jenis resin termoset. Resin termoset mempunyai struktur tiga dimensi. Polimer tiga dimensi adalah polimer yang dapat membentuk struktur jaringan bila monomer yang beraksi bersifat fungsional ganda, artinya mereka dapat menghubungkan tiga atau lebih molekul yang berdekatan.
607
33.2.3 Elastomer Elastomer merupakan material yang mampu memanjang secara elastis ketika dikenakan gaya eksternal, contoh dari elastomer adalah karet. Karet memiliki perilaku yang khas yaitu memiliki daerah elastis yang sangat besar. Perilaku tersebut ada kaitannya dengan struktur molekul karet yang memiliki ikatan silang (cross link) antar rantai molekul. Ikatan silang ini berfungsi sebagai pengingat bentuk (shape memory) sehingga karet dapat kembali ke bentuk dan dimensi semula pada saat mengalami deformasi yang besar.
CH2 = CH ─ C = CH2
─ CH2CH = C ─ CH2 ─
CH3
CH3 Gambar 33.17 Monomer Polyisoprene
33.2.4 Parameter Fisis Polimer Parameter fisis dari sebuah polimer yang penting adalah berat molekul primer. Pada umumnya, polimer dengan berat molekul yang lebih tinggi bersifat lebih kuat, tetapi berat molekul yang terlalu tinggi bisa menyebabkan kesukaran-kesukaran dalam pemrosesannya. Sedangkan untuk polimer dengan berat molekul yang rendah, kekuatan polimer bergantung pada gaya-gaya antar molekul. Penentuan berat molekul polimer dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah osmometri, hamburan cahaya (light scattering), dan ultrasentrifugasi. Nilai berat molekul yang diperoleh bergantung pada besarnya ukuran dalam metode pengukurannya. Metode yang bergantung pada analisis gugus ujung atau sifat-sifat koligatif (penurunan titik beku, kenaikkan titik didih, tekanan osmosis) menimbulkan apa yang dikenal sebagai berat molekul rata-rata jumlah karena bilangan atau jumlah molekul dari setiap berat dalam sampel yang bersangkutan dihitung. Secara matematis, berat molekul primer (w) diartikan sebagai jumlah dari berat spesies molekulnya. ∞
∞
𝑖𝑖=1
𝑖𝑖=1
𝑤𝑤 = � 𝑤𝑤𝑖𝑖 = � 𝑁𝑁𝑖𝑖 𝑀𝑀𝑖𝑖
(1)
dengan N dan M masing-masing menunjukkan jumlah mol dan berat molekul dari � 𝑛𝑛, adalah berat sampel per mol: setiap spesies i. Berat molekul rata-rata jumlah, 𝑀𝑀 � 𝑛𝑛 = 𝑀𝑀
𝑤𝑤
∑∞ 𝑖𝑖=1 𝑁𝑁𝑖𝑖
=
608
∑∞ 𝑖𝑖=1 𝑁𝑁𝑖𝑖 𝑁𝑁𝑖𝑖 ∑∞ 𝑖𝑖=1 𝑁𝑁𝑖𝑖
(2)
Disisi lain, hamburan cahaya dan ultrasentrifugasi merupakan metode untuk menetapkan berat molekul yang didasarkan pada massa dan polarisabilitas spesies polimer yang hadir. Polimer dengan massa yang lebih besar, kontribusinya ke pengukuran menjadi lebih besar. Berbeda dengan berat molekul rata-rata jumlah (yang merupakan jumlah fraksi mol masing-masing spesies dikalikan berat molekulnya), metode-metode ini menjumlahkan fraksi berat masing-masing spesies dikalikan berat molekulnya. Dengan demikian nilai yang diperoleh disebut berat molekul rata-rata berat, � 𝑀𝑀 𝑛𝑛, dan secara matematis dituliskan sebagai berikut. � 𝑛𝑛 = 𝑀𝑀
2 ∑∞ ∑∞ 𝑖𝑖=1 𝑁𝑁𝑖𝑖 𝑀𝑀𝑖𝑖 𝑖𝑖=1 𝑤𝑤𝑖𝑖 𝑀𝑀𝑖𝑖 = ∞ ∑∞ ∑𝑖𝑖=1 𝑁𝑁𝑖𝑖 𝑀𝑀𝑖𝑖 𝑖𝑖=1 𝑤𝑤𝑖𝑖
(3)
33.3 Nanokomposit Polimer Contoh dari nanokomposit yang ditunjukkan pada gambar di bawah ini merupakan nanokomposit yang dibuat dengan mencampurkan polimer polypropylene (PE) dengan carbon nanotube (CNT) dengan menggunakan metode injection molding.
Gambar 33.18 Spesimen Campuran PP dan CNT Metode Injection Molding (Thiebaud and Gelin, Int J Mater Form Vol. 2 Suppl 1:149-152) Metode pencampuran yang digunakan untuk mendapatkan suatu nanokomposit dapat dilakukan dengan menggunakan metode mixing, melt-blending, dan in situ polimerization. a. Metode mixing merupakan metode pencampuran dimana salah satu bahannya berupa larutan. Pada proses ini setelah bahan tercampur maka dipanaskan pada temperatur tertentu. Pemanasan ini dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan pelarut sehingga didapatkan nanokomposit dalam bentuk padatan. b. Melt-blending merupakan metode fabrikasi yang sering dan baik digunakan untuk mendapatkan material nanokomposit khususnya dengan menggunakan matriks 609
polimer termoplastik. Pada saat proses pencampuran berlangsung bahan pengisi (filler) akan dicampurkan dengan lelehan matriks, jadi sebelumnya matriks yang berupa padatan tersebut telah mendapatkan perlakuan terlebih dahulu yaitu dengan dilelehkan pada temperatur tertentu. c. In situ polymerization merupakan metode fabrikasi yang paling efisien untuk peningkatan kekuatan secara signifikan. Pada umumnya, bahan pengisi (filler) tersebut bisa ditambahkan ke dalam matriks melalui proses polimerisasi di bawah temperatur tertentu, karena proses pencampuran ini merupakan metode pencampuran dimana salah satu bahannya masih berupa monomer.
33.3.1 Melt Blending Salah satu mekanisme pencampuran pada nanokomposit adalah dengan menggunakan metode melt blending. Pada proses pencampuran dengan menggunakan metode melt-blending, matriks dicampurkan dengan filler, misalnya dalam proses pembuatan nanokomposit polimer CNT/PE. Polimer polyethylene (PE) dicampurkan dengan Carbon NanoTube (CNT), sehingga nantinya CNT yang berukuran nano itu akan terdispersi ke dalam polimer polyethylene (PE).
Gambar 33.19 Pada Unsur-unsur yang menyusun PE dan CNT, terbentuk ikatan kuat yang disebabkan perbedaan keelektronegatifan antar unsur penyusunnya yang memiliki rentang cukup besar sehingga jarak ikatan unsur semakin dekat. (Yeyen, Skripsi 2010) 610
Carbon NanoTube (CNT) yang terdispersi ke dalam matriks polimer polyethylene (PE) akan menghasilkan sifat-sifat mekanik yang bagus. Permukaan nanopartikel yang sangat besar berinteraksi dengan rantai polimer, sehingga mereduksi mobilitas rantai polimer yang berimplikasi pada peningkatan kekuatan mekanik nanokomposit tersebut, jauh di atas kekuatan polimer itu sendiri. Hasil yang dicapai adalah material yang ringan dengan kekuatan tinggi. Gambar di bawah ini adalah ilustrasi bagaimana peranan CNT dalam meningkatkan kekuatan polimer polyethylene (PE).
Gambar 33.20 Pencampuran CNT dan PE (a) Polimer PE, (b) Polimer PE yang didispersi CNT (Yeyen, Skripsi 2010)
Pada polimer polyethylene (PE) yang tidak mengandung CNT seperti gambar a di atas. Rantai polimer polyethylene memiliki mobilitas tinggi sehingga matriks polimer polyethylene tidak terlalu kuat, sedangkan pada Gambar b CNT yang didispersikan ke dalam matriks polimer polyethylene akan mengikat rantai-rantai polimer polyethylene sehingga mobilitasnya rendah yang mengakibatkan adanya peningkatan kekuatan matriks polimer polyethylene.
611
33.4 Pengujian dan Karakterisasi Penguian bahan dimaksudkan untuk mengetahui kinerja atau mutu suatu bahan. Pengujian juga dapat dilakukan untuk mengetahui kinerja atau mutu suatu produk yang berupa barang, alat atau komponen. Karakterisasi dimaksudkan untuk mengetahui sifat-sifat fisis dan kimia dari bahan baik secara makro maupun secara mikro (molekular) misalnya sifat termal, struktur kristal, distribusi berat molekul dan sebagainya. Dewasa ini pemakaian bahan berbasis polimer semakin banyak menjadi pilihan karena keunggulan dalam berbagai hal yaitu, ringan, relatif mudah dibentuk, cukup kuat, dan harganya relatif murah. Di Indonesia industri manufaktur berbasis polimer semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan industri bahan polimer. Berkaitan dengan pertumbuhan industri tersebut, pengujian dan karakterisasi produk merupakan kebutuhan mutlak, untuk meningkatkan daya saing produk, baik untuk produk-produk industri manufaktur maupun industri bahan polimer. Beberapa alat-alat uji dan karakterisasi diantaranya, Scanning Electron Microscope (SEM), Nuclear Magnetic Resonance (NMR), X-ray Diffraction, Fourier Transform Infra Red (FTIR), Tensile Tester, Gel Permiation Chromatography, Viscoelastometer, Weathering Tester, Laboplastomill Mixer Extruder, Capilograph, Thermal Analyser (DSC, TG/DTA, TMA), Creep Tester, Peeling Tester, Abrasion Tester, dan Hardness Rockwell. Tabel 33.1 Alat-alat dan kemampuan karakterisasi dalam penelitian bahan (Wiwik S. Subowo, Prosiding Pemaparan Hasil Litbang Ilmu Pengetahuan Teknik)
No.
Nama Alat
Karakterisasi
1.
Scanning Electron Microscope (SEM) Pengamatan morfologi dan topografi suatu bahan.
2.
Nuclear Magnetic Resonance (NMR)
Analisis struktur kimia.
3.
X-ray Diffraction
Analisa kualitatif, menentukan derajat kristalinitas, dan derajat orientasi dan struktur mikro.
4.
Fourier Transform Infra Red (FTIR)
Identifikasi gugus fungsi, identifikasi perubahan kimia dalam bahan, dan identifikasi jenis polimer tertentu.
5.
Tensile Tester
Perpanjangan waktu putus, kekuatan tarik, kekuatan sobek, dan kekuatan kelupas perekatan. 612
6.
Gel Permiation Chromatography (GPC)
Distribusi berat molekul dan berat moekul rata-rata �n , M � w, M � z dan M �v M
7.
Gas Chromatography
8.
Rheolograph Solid (Viscoelastometer)
Analisa konstanta elastik, dielektrik, dan piezoelektrik sebagai fungsi waktu dan frekuensi.
9.
Thermal Analyser (DSC, TG/DTA, TMA) yang terdiri dari DSC 200, TMA 100 dengan daerah operasi suhu dari 150oC sampai dengan 500oC, dan TG/DTA 200 dengan daerah operasi suhu dari suhu kamar sampai dengan 500oC
T g , T m, T d , ∆H, kompatibilitas bahan campuran, kapasitas panas, kristalinitas derajat, dan sifat termo-mekanik, misalnya termo ekspansi, suhu transisi, modulus elastisitas, dan suhu pelunakan pada beban tetap.
10.
Creep Tester, dengan suhu operasi maksimum 250oC dan pertambahan panjang maksimum 50 mm
Perubahan panjang dengan beban tetap sebagai fungsi waktu.
11.
Weatherometer
Mengukur ketahanan bahan terhadap cuaca
12.
Capirograph
Mengukur parameter fisis yang penting dan pemrosesan bahan polimer di industri. Viskositas lelehan, elastisitas lelehan, kekuatan tarik lelehan.
13.
Abrasion Tester
Mengukur ketahanan bahan terhadap kikisan.
14.
Hardness Tester
Menguji kekerasan bahan plastik, baja, dan kayu paduan.
15.
Perangkat Gelas Laboratorium Kimia
Analisis kimia.
16.
Densitas Meter
Mengukur densitas.
17.
Viscosimeter
Mengukur viskositas cairan.
18.
Gloss meter
Perubahan kilap dan perubahan warna karena cuaca.
Analisa bahan yang mudah menguap, analisa kualitatif, dan analisa kuantitatif.
613
33.4.1 Sifat Mekanik Sifat utama yang menjadi pertimbanagan pemilihan bahan yang berdimensi besar seperti jembatan atau bangunan adalah kekuatan (strength) sedangkan sifat mekanis lainnya yang menjadi pertimbangan adalah elastisitas (elasticity), keuletan (ductile), kekerasan (hardness), ketangguhan (toughness). Sifat-sifat tersebut di atas berhubungan dengan kekuatan bahan untuk menahan gaya mekanik. Untuk menghitung sifat-sifat tersebut, biasanya besaran-besaran berikut ini harus diukur terlebih dahulu. 1.
Stress (σ): didefinisikan gaya persatuan luas, satuan yang biasa dipakai adalah MPa.
2.
Strain (ε): merupakan deformasi atau perubahan panjang dari material.
3.
Elastik: strain (ε) yang terjadi bila dikenai stress (σ) dan bisa kembali ke kondisi semula ketika gaya dihilangkan.
Gambar 33.21 Kurva Daerah Elastik Plastis (Callister, Material Science and Enginering an Introduction) 4.
Plastic: daerah dimana terjadi perubahan permanen pada material, hal tersebut dihasilkan oleh perubahan susunan yang permanen dari atom-atomnya.
5.
Keuletan (ductile): jika suatu material dapat mengalami fase elastik dan plastis.
Sifat mekanik sangat penting dalam suatu bahan untuk dijadikan sebuah produk, karena fungsi dan kinerja produk tergantung pada daya tahan terhadap tekanan saat dipakai. Sifat mekanik bahan adalah hubungan antara respon atau deformasi bahan terhadap beban yang bekerja. Sifat mekanik berkaitan dengan kekuatan, kekerasan, 614
keuletan, dam kekakuan. Untuk mengetahui sifat-sifat suatu bahan, maka harus dilakukan pengujian terhadap bahan tersebut. Ada empat jenis uji coba yang biasa dilakukan, yaitu uji tarik (tensile test), uji tekan (compression test), uji torsi (torsion test), dan uji geser (shear test).
33.2.2.1 Uji Tarik Uji Tarik adalah salah satu uji stress-strain mekanik yang bertujuan untuk mengetahui kekuatan bahan terhadap gaya tarik. Dalam pengujiannya, bahan uji ditarik sampai putus. Uji Tarik adalah cara pengujian bahan yang paling mendasar. Pengujian ini sangat sederhana, tidak mahal dan sudah mengalami standarisasi di seluruh dunia, misalnya di Amerika dengan ASTM dan Jepang dengan JIS. Dengan menarik suatu bahan maka akan mengetahui bagaimana bahan tersebut bereaksi terhadap tenaga tarikan dan mengetahui sejauh mana material tersebut bertambah panjang. Alat uji tarik yang digunakan, memiliki cengkeraman (grip) yang kuat dan kekakuan yang tinggi (highly stiff). Banyak hal yang dapat dipelajari dari hasil uji tarik. Bila kita terus menarik suatu bahan sampai putus, kita akan mendapatkan profil tarikan yang lengkap berupa kurva yang digambarkan di bawah ini. Kurva ini menunjukkan hubungan antara gaya tarikan dengan perubahan panjang. Profil ini sangat diperlukan dalam desain yang memakai bahan tersebut.
Gambar 33.22 Gambaran singkat uji tarik dan datanya (Azhari Sastranegara, Mengenal Uji Tarik dan Sifat-Sifat Mekanik Logam)
615
Biasanya yang menjadi fokus perhatian adalah kemampuan maksimum bahan tersebut dalam menahan beban. Kemampuan ini umumnya disebut “Ultimate Tensile Strength” disingkat dengan UTS, yang artinya tegangan tarik maksimum.
Gambar 33.23 Bentuk spesimen yang akan diuji tarik dengan ukuran standar yang telah ditentukan (Anonim) Hukum Hooke menyatakan bahwa hubungan antara beban atau gaya yang diberikan berbanding lurus dengan perubahan panjang bahan tersebut. Hal ini disebut daerah linier atau linear zone. Di daerah ini kurva pertambahan panjang vs beban, mengikuti aturan hukum hooke, yakni, “rasio tegangan (stress) dan regangan (strain) adalah konstan”. Stress (tegangan) adalah gaya persatuan luas. Secara matematis, dapat dituliskan sebagai berikut. 𝜎𝜎 = σ
: tegangan (stress) (N/m2)
F
: gaya tarik beban (N)
A
: luas permukaan (m2)
𝐹𝐹 𝐴𝐴
(4)
616
Sedangkan regangan (strain) adalah rasio pertambahan panjang dan panjang mula-mula. Persamaan matematis dituliskan sebagai berikut.
ε
𝜀𝜀 =
: regangan (strain) (%)
∆𝑙𝑙 𝑙𝑙
(5)
∆l : perubahan panjang (m) l
: panjang awal
Berdasarkan hukum Hooke, bahwa apabila sebuah benda mengalami perubahan bentuk secara elastis, terdapat hubungan linear antara tegangan (stress) dan regangannya (strain).
Gambar 33.24 Kurva tegangan-regangan (Azhari Sastranegara, Mengenal Uji Tarik dan Sifat-Sifat Mekanik Logam) Gambar di atas merupakan kurva standar ketika melakukan eksperimen uji tarik. E adalah gradien kurva dalam daerah linier, dimana perbandingan tegangan (σ) dan regangan (ε) selalu tetap. E adalah modulus elastis atau Young Modulus. Kurva yang menyatakan hubungan antara strain dan stress disingkat kurva SS (SS curve). 617
Rasio antara tegangan dan reganagan didefinisikan sebagai konstanta elastis atau modulus elastis dari benda/bahan. Karena unit regangan ε merupakan bilangan tanpa dimensi (rasio dua satuan panjang), maka E mempunyai satuan yang sama dengan tegangan yaitu N/m2. Untuk banyak bahan-bahan teknik, modulus elastisitas dalam tekanan mendekati sama dengan modulus elastisitas dalam tarikan. Salah satu pengujian yang dapat dilakukan untuk mengetahui sifat mekanik nanokomposit polimer adalah dengan pengujian tarik. Sebelum dilakukan uji tarik biasanya dilakukan pembuatan spesimen yang mengacu standar uji ASTM.
Gambar 33.25 Alat Uji Tarik Universal Testing Machine (UTM) UCT-5)
618
33.2.2.1 Scanning Electron Microscope (SEM) Scanning Electron Microscope (SEM) adalah salah satu jenis mikroskop elektron yang menggunakan berkas elektron yang menggambarkan profil permukaan benda. Dari hasil pengujian tarik dapat diketahui data kekuatan tarik suatu bahan. Selain itu, dilakukan juga uji karakterisasi menggunakan SEM (Scanning Eclectron Microscope) untuk mengetahui morfologi patahan nanokomposit polimer setelah dilakukan pengujian tarik.
Gambar 33.26 Alat JEOL JSM-T330A SEM Faktor yang mempengaruhi sifat mekanik nanokomposit adalah ikatan antar muka (interfacial bonding) antara filler dan matriks. Semakin kuat ikatannya maka semakin besar kekuatan tarik nanokomposit tersebut. Kekuatan tarik filler yang lebih rendah dari kekuatan tarik matriks menyebabkan penurunan kekuatan tarik nanokomposit. Oleh karena itu diperlukan pemilihan yang tepat untuk filler dan matriks sebelum keduanya dipadukan.
619
Gambar 33.27 Contoh hasil SEM patahan nanokomposit polimer CNT/PE (Yeyen, Skripsi 2010) Dari gambar hasil SEM pada nanokomposit polimer CNT/PE dapat ditunjukkan patahan hasil uji tarik. Dengan pengamatan SEM dapat diketahui kerusakan yang biasa disebabkan karena adanya bubble. Jika semakin banyak bubble yang terlihat, maka kekuatan nanokomposit tersebut akan rendah.
620
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Mikrajudin. (2009). Pengantar Nanosains. Bandung: ITB. Ajayan, dkk. (2003). Nanocomposite Science and Technology. Willey Bower, I. David. (2002). An IntroductionTo Polymer Physics, New York: Cambridge University Press. Callister, D. William. 1996. Material Science and Enginering an Introduction. Sixth Edition. John Wiley & sons Cordec. (2008). Polymer. Fredain21. 8 Juli. Diharjo, Kuncoro. (2006). Kajian Pengaruh Teknik Pembuatan Lubang Terhadap Kekuatan Tarik Komposit Hibrid Serat Gelas Dan Serat Karung Plastik. Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik: Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta. Firman, Rahmat. (2010). Studi Komposit Epoksi Berpenguat Serat Jute. Skripsi. Program Studi Fisika: Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Herlan, dkk. Pengolahan Limbah Pendukung Instalasi Pengolahan Limbah Radioaktif. Pusat Teknologi Limbah Radioaktif. J-H. Du, J. Bai, H-M. Cheng. (2007). The Present Status and Key Problems of Carbon Nanotube Based Polymer Composites. eXPRESS Polymer Letters Vol. 1, No. 5. Pasaribu, Nuraida. (2004). Berbagai Ragam Pemanfaatan Polimer. Digitized USU Digital Library: Sumatra. Sastranegara, Azhari. Mengenal Uji Tarik dan Sifat-Sifat Mekanik Logam. Saptono, Rahmat. (2008). Departemen Metalurgi dan Material. FT UI: Jakarta. Surdia, Prof. Dr. N. M. (1992). Sifat Fisika Kimia Bahan Polimer. Bandung: Jurusan Kimia ITB. 621
Subowo, Wiwik S. (1996). Uji dan Karakterisasi Bahan Polimer. Prosiding Pemaparan Hasil Litbang Ilmu Pengetahuan Teknik. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Fisika Terapan-LIPI. Thiebaud, F. and Gelin, J.C. (2009). Multiwalled carbon nanotube/polypropylene composite: investigation of the melt processing by injection molding and analysis of the resulting mechanical behavior. Int J Mater Form (2009) Vol. 2 Suppl 1:149-152. Van Vlack, L.H. dan Sriati Djaprie. (1986). Ilmu dan Teknologi Bahan (Ilmu Logam dan Bukan Logam). Erlangga: Jakarta. Wati, dkk. Pemadatan Resin Penukar Ion Bekas Yang Mengandung Limbah Cair Transuranium Simulasi Dengan Epoksi. Pusat Teknologi Limbah Radioaktif: BATAN Yeyen. (2010). Pengaruh Penambahan Variasi Persentasi Berat CNT dan Perlakuan Strain Hardening terhadap Sifat Mekanik Nanokomposit Polimer CNT/PE yang Dibuat Dengan Menggunakan Metode Melt-Blending, Skripsi. Program Studi Fisika: Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Yeo, Y. Leslie. (2006). Electrospinning Carbon Nanotube Polymer Composite Nanofibers. Journal of Experimental Nanoscience. Vol. 1. No. 2, June 2006, 177-209.
622
Ban 34 Efek Ukuran Pada Sifat Kimia Nano Oleh: Ratna Dewi Syarifah Reaksi kimia adalah suatu reaksi antar senyawa kimia atau unsur kimia yang melibatkan struktur dari molekul, yang umumnya berkaitan dengan pembentukan dan pemutusan ikatan kimia. Reaksi kimia berlangsung dengan kecepatan yang berbeda-beda. Meledaknya petasan, adalah contoh reaksi yang berlangsung dalam waktu singkat. Proses perkaratan besi, pematangan buah di pohon, dan fosilisasi sisa organisme merupakan peristiwaperistiwa kimia yang berlangsung sangat lambat.
(a)
(b)
Gambar 34.1. (a)Perkaratan besi merupakan contoh reaksi lambat, (b) ledakan merupakan contoh reaksi cepat Reaksi kimia selalu berkaitan dengan perubahan dari suatu pereaksi (reaktan) menjadi hasil reaksi (produk).
Pereaksi (reaktan) Hasil reaksi (produk) Laju reaksi dapat dinyatakan sebagai berkurangnya jumlah (konsentrasi) pereaksi per satuan waktu atau bertambahnya jumlah (konsentrasi) hasil reaksi per satuan waktu.
623
Konsentrasi
Produk
Pereaksi Waktu (t) Gambar 34.2. Grafik hubungan pereaksi terhadap waktu Hubungan kuantitatif antara perubahan konsentrasi dengan laju reaksi dinyatakan dengan persamaan Laju Reaksi atau Hukum Laju Reaksi. Misalnya untuk reaksi:
pA + qB rC Maka bentuk umum persamaan lajunya adalah: m
v = k [A] [B]n
pers. (1)
Keterangan: v = laju reaksi (mol/ Liter. s) k = tetapan laju reaksi m = orde/tingkat reaksi terhadap A n = orde/tingkat reaksi terhadap B [A] = konsentrasi awal A (mol/ Liter) [B] = konsentrasi awal B (mol/ Liter) Tingkat reaksi (orde reaksi) tidak sama dengan koefisien reaksi. Orde reaksi hanya dapat ditentukan melalui percobaan. Tingkat reaksi total adalah jumlah tingkat reaksi untuk setiap pereaksi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi laju reaksi, diantaranya adalah luas permukaan sentuh, katalis, suhu, dan konsentrasi. 1. Luas Permukaan Sentuh Luas permukaan sentuh memiliki peranan yang sangat penting dalam laju reaksi, sebab semakin besar luas permukaan bidang sentuh antar partikel, maka tumbukan yang terjadi semakin banyak, sehingga menyebabkan laju reaksi semakin cepat. Begitu juga, apabila semakin kecil luas permukaan bidang sentuh, maka semakin kecil tumbukan yang terjadi antar partikel, sehingga laju reaksi pun semakin kecil. Karakteristik kepingan yang 624
direaksikan juga turut berpengaruh, yaitu semakin halus kepingan itu, maka semakin cepat waktu yang dibutuhkan untuk bereaksi; sedangkan semakin kasar kepingan itu, maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk bereaksi.
2. Katalis Katalis adalah suatu zat yang mempercepat laju reaksi kimia pada suhu tertentu, tanpa mengalami perubahan atau terpakai oleh reaksi itu sendiri. Suatu katalis berperan dalam reaksi tapi bukan sebagai pereaksi ataupun produk. Katalis memungkinkan reaksi berlangsung lebih cepat atau memungkinkan reaksi pada suhu lebih rendah akibat perubahan yang dipicunya terhadap pereaksi. Katalis menyediakan suatu jalur pilihan dengan energi aktivasi yang lebih rendah. Katalis mengurangi energi yang dibutuhkan untuk berlangsungnya reaksi. 3. Suhu Suhu juga turut berperan dalam mempengaruhi laju reaksi. Apabila suhu pada suatu rekasi yang berlangusng dinaikkan, maka menyebabkan partikel semakin aktif bergerak, sehingga tumbukan yang terjadi semakin sering, menyebabkan laju reaksi semakin besar. Sebaliknya, apabila suhu diturunkan, maka partikel semakin tak aktif, sehingga laju reaksi semakin kecil. 4. Konsentrasi Konsentrasi memiliki peranan yang sangat penting dalam laju reaksi, sebab semakin besarkonsentrasi pereaksi, maka tumbukan yang terjadi semakin banyak, sehingga menyebabkan laju reaksi semakin cepat. Begitu juga, apabila semakin kecil konsentrasi pereaksi, maka semakin kecil tumbukan yang terjadi antar partikel, sehingga laju reaksi pun semakin kecil. 5. Tekanan Banyak reaksi yang melibatkan pereaksi dalam wujud gas. Kelajuan dari pereaksi seperti itu juga dipengaruhi tekanan. Penambahan tekanan dengan memperkecil volume akan memperbesar konsentrasi, dengan demikian dapat memperbesar laju reaksi. Dari lima faktor yang mempengaruhi laju reaksi, kami akan membahas 2 faktor yaitu luas permukaan sentuh dan katalis. Katalis yang akan dibahas adalah mengenai nanokatalis dan fotokatalis.
34.1 Luas Permukaan Sentuh Reaktivitas kimia berubah lebih cepat secara drastis ketika luas permukaannya diperkecil dalam skala nanometer. Reaktivitas suatu partikel sangat bergantung pada jumlah atom yang ada pada permukaan partikel tersebut. Karena atom-atom inilah yang akan melakukan kontak langsung dengan material pasangan. Untuk lebih jelasnya lihat gambar 3 di bawah ini:
625
a
R
Gambar 34.3. Luas permukaan partikel mempengaruhi kereaktifan partikel Pada gambar 1 diatas, gambar lingkaran besar dimisalkan sebuah partikel dengan jarijari R. Maka luas permukaan partikel tersebut adalah 𝑆𝑆𝑜𝑜 = 4𝜋𝜋𝑅𝑅2 . sedangkan lingkaran kecil dimisalkan suatu atom yang berada pada permukaan partikel dengan jari-jari a. Maka luas permukaan atom tersebut adalah 𝑠𝑠 = 𝜋𝜋𝑎𝑎2 . Dari pernyataan diatas maka dapat dihitung jumlah atom yang menenpati permukaan partikel adalah 𝑆𝑆𝑜𝑜 4𝑅𝑅 2 𝑁𝑁𝑠𝑠 = 𝑆𝑆 = 𝑎𝑎 2 pers. (2) Kita juga dapat menghitung berapa jumlah atom yang menempati suatu partikel 4 berjari-jari R. Volume partikel pada gambar diatas adalah 𝑉𝑉𝑜𝑜 = 3 𝜋𝜋𝑅𝑅3 . Dan volume 4
satu atom adalah 𝑣𝑣𝑜𝑜 = 𝜋𝜋𝑎𝑎3 . Dengan demikian jumlah atom yang menempati partikel 3 tersebut adalah 𝑉𝑉𝑜𝑜 𝑅𝑅 3 𝑁𝑁 = 𝑣𝑣 = 𝑎𝑎 3 pers. (3) 𝑜𝑜 Dari persamaan (2) dan persamaan (3) di atas makan dapat kita hitung fraksi atom yang menempati permukaan partikel, yaitu:
𝑁𝑁𝑠𝑠 𝑁𝑁
=
4𝑎𝑎 𝑅𝑅
pers. (4)
Dari persamaan di atas dapat disimpulkan bahwa semakin kecil ukuran partikel maka akan semakin besar fraksi atom yang menempati permukaan partikel. Hal ini menyebabkan semakin kecil ukuran partikel maka semakin reaktif tersebut terhadap reaksi kimia. 626
34.2 Katalis Katalis adalah suatu zat kimia yang mampu mempercepat proses terjadinya reaksi tanpa ikut bereaksi. Ada beberapa devisi lain dari katalis yaitu: 1. Katalis mempercepat reaksi yang menurut termodinamika dapat berlangsung 2. Katalis mempercepat reaksi mencapai kesetimbangan, tetapi tidak mengubah kesetimbangan 3. Untuk reaksi parallel, katalis tertentu hanya mempercepat satu reaksi saja Katalis membentuk ikatan dengan suatu reaktan (bereaksi membentuk senyawa-senyawa aktif). Kekuatan ikatan tersebut harus tepat, yang berarti tidak terlalu lemah agar senyawa antara tidak terlepas menjadi reaktan kembali, dan tidak terlalu kuat agar senyawa antara tidak bereaksi lebih lanjut menjadi produk. Untuk suatu reaktan, kekuatan ikatan tersebut dipengaruhi oleh sifat geometri dan sifat elektronik katalis. Ada tiga komponen yang ada di dalam katalis yaitu fasa aktif, support (penyangga) dan promotor. 1. Fasa aktif Komponen aktif merupakan pusat aktif katalis, yang bertanggung jawab pada reaksi kimia utama. Pemilihan komponen aktif merupakan tahap pertama dalam desain katalis, yang mempunyai tugas utama mempercepat dan mengarahkan reaksi. Contoh fasa aktif (komponen aktif) material logam adalah Fe, Ni, Pt, Pd, Cu, Ag, Co, dan Rh. Sedangkan contoh fasa aktif untuk material oksida logam adalah NiO, CuO, ZnO, Cr 2 O 3 , MoO 3 , V 2 O 5 , MoS 2 . Dan contoh fasa aktif untuk jenis material padatan asam adalah lempung, SiO 2 , Al 2 O 3 , MgO, SiO 2 , Al 2 O 3 , zeolit. 2. Support (penyangga) Komponen penyangga merupakan komponen terbesar dalam katalis (~80%). Komponen ini berfungsi sebagai penyedia luas permukaan besar bagi komponen aktif. Fungsinya sebagai bahan penebaran fasa aktif, bertujuan memperluas permukaan kontak antara fasa aktif dan reaktan, tanpa mengurangi aktivitas intrinsik fasa aktif. Pemakaian komponen support diawali dengan gagasan untuk meningkatkan efektifitas komponen aktif, karena material fasa aktif umumnya mahal. Walaupun tidak selalu, umumnya support dipilih dari jenis berpori, sehingga dalam pemilihan support, ukuran dan distribusi pori harus dipertimbangkan untuk dimanfaatkan. Beberapa padatan memiliki pori berukuran molekul dan seragam, misalnya zeolit. Sifat tersebut dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan selektivitas katalis, karena dapat berfungsi sebagai saringan molekul reaktan dan produk. 3. Promotor
627
Komponen promotor ditambahkan pada katalis dengan maksud meningkatkan kinerja katalis (aktivitas, selektivitas, dan stabilitas). Promotor umumnya tidak aktif, tetapi jika ditambahkan pada katalis dapat memperbaiki kinerja katalis (ada interaksi antara promotor dengan komponen lain dalam katalis).
Katalis dibedakan menjadi 2 jenis yaitu katalis homogen dan katalis heterogen. Katalis homogen merupakan katalis yang memiliki fasa yang sama dengan reaktan. Keuntungan yang diperoleh dari katalis homogen adlah aktif, selektif, mudah dipelajari, dan mudah dimodifikasi. Sedangkan katalis heterogen merupakan katalis yang fasanya tidak sama dengan fasa campuran reaksi. Umumnya katalis heterogen merupakan campuran reaksi gas dengan katalis padat. Hal ini dimaksudkan keduanya dapat dipisahkan, dan tahan terhadap temperatur tinggi. Dibawah ini adalah tabel perbedaan katalis homogen dan heterogen. Tabel 34.1. Perbedaan katalis homogen dan heterogen Sifat katalis Homogen Heterogen Seluruh atom logam Hanya atom dipermukaan Pusat aktif Rendah Tinggi Konsentrasi Tinggi Rendah Selektivitas Umumnya tidak terjadi Terjadi Difusi Lunak (50-2000C) Lebih keras (>2500C) Kondisi reaksi Terbatas Luas Penerapan Kehilangan aktivitas Akibat reaksi irreversibel Sintering, keracunan dengan produk, keracunan Tidak terdefinisi Struktur/stoikiometri Terdefinisi Tinggi Rendah Kemungkinan modifikasi Rendah Tinggi Stabilitas termal Sukar (dekomposisi, Mudah (unggun tetap, Pemisahan katalis ekstraksi, distilasi) suspensi: filtrasi) Mungkin (sukar) Mudah Daur ulang katalis Tinggi Rendah Biaya kehilangan katalis
34.2.1 Sifat Kinetik Katalis Sifat kinetik reaksi berkatalis meliputi mekanisme reaksi, yang perilakunya ditinjau dengan menggunakan persamaan laju reaksi. 𝐸𝐸𝐸𝐸
Keterangan :
𝑟𝑟 = 𝑍𝑍𝐶𝐶𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟 𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸 �− 𝑅𝑅𝑅𝑅 � 𝑓𝑓0
r = laju reaksi Z = jumlah tumbukan C = konsentrasi reaktan 628
pers. (5)
𝐸𝐸𝐸𝐸
𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸 �− � = fraksi (tumbukan) dengan energi ≥ Ea 𝑅𝑅𝑅𝑅 𝑓𝑓0 = fraksi (tumbukan) dengan orientasi yang tepat
Dari persamaan diatas menyatakan reaksi dapat dipercepat dengan meningkatkan f o dan penurunan Ea. Hal tersebut dapat dilakukan dengan lokalisasi katalis. Dengan meningkatkan konsentrasi reaktan (dipermukaan katalis), dapat meningkatkan ketepatan orientasi (f o ). Katalis juga berinteraksi dengan sedikitnya satu reaktan membentuk senyawa aktif, sehingga menurunkan Ea.
34.2.1 Sifat Termodinamika Katalis Sifat termodinamik reaksi berkatalis dikuantifikasikan dengan perubahan energi bebas Gibbs reaksi (∆G) dan perubahan entalpi reaksi (∆H). Perubahan energi bebas Gibbs merupakan suatu ungkapan konversi kesetimbangan (X maks ), sebagai salah satu dasar pertimbangan kelayakan reaksi, sebagai penentuan target dan kondisi reaksi, dan menentukan reversibilitas reaksi. Perubahan energi bebas Gibbs standar pada temperatur T dapat ditentukan dengan formula:
Keterangan:
∆𝐺𝐺𝑇𝑇𝑜𝑜 = −𝑅𝑅𝑅𝑅 𝑙𝑙𝑙𝑙 𝐾𝐾𝑎𝑎
pers. (6)
R = tetapan gas K a = harga tetapan kesetimbangan reaksi
Entalpi reaksi merupakan kalor yang dibebaskan atau diserap oleh reaksi. Jika reaksi tersebut menghasilkan kalor (∆H bernilai negatif) maka reaksi dikatakan eksoterm. Sedangkan jika reaksi tersebut membutuhkan kalor (∆H bernilai positif) maka reaksi dikatakan endoterm. Hubungan antara entalpi suatu reaksi terhadap temperatur dituliskan dengan persamaan van’t Hoff: 𝛿𝛿(ln 𝐾𝐾) � 𝛿𝛿𝛿𝛿 � 𝑃𝑃
=
∆𝐻𝐻𝑇𝑇𝑜𝑜 − 𝑅𝑅𝑇𝑇 2
pers. (7)
Baik perubahan energi bebas Gibbs maupun perubahan entalpi reaksi, keduanya berperan penting untuk memprediksi berlangsungnya suatu reaksi. Dengan luas permukaan katalis yang besar, reaksi pembentukan produk dari reaktan akan lebih cepat. Luas permukaan katalis yang besar dapat diciptakan dengan membuat ukuran katalis dalam skala nanometer.
629
34.3 Nanokatalis Nanokatalis dikembangkan sebagai pengganti katalis dalam mempercepat reaksi kimia karena keunggulannya mengkatalisis suatu reaksi yang lebih cepat dari katalis. Nanokatalis adalah katalis yang berukuran 1-100 nm. Berkurangnya dimensi katalis menjadi ukuran nano tentu akan meningkatkan luas permukaan katalis dan konsekuensinya meningkatkan aktivitas katalis dalam reaksi tertentu. Ada 2 cara pembuatan nanokatalis yaitu cara top-down dan bottom-up. 1. Top-down Cara pembuatan katalis dengan cara top-down adalah pembuatan katalis berukuran nano dari bahan berukuran besar lalu diperkecil dengan cara mekanik (size reduction). 2. Bottom-up Cara pembuatan katalis yang kedua adalah bottom-up. Cara bottom-up yaitu cara pembuatan katalis berukuran nano dari reaksi kimia dan kristalisasi atau proses atau proses presipitasi yang umumnya dipengaruhi oleh kondisi pH. Ada tiga jenis metode bottom-up yaitu metode simple heating, metode penumbuhan dalam zeolit, dan metode penumbuhan dalam silika. Tiga cara ini telah digunakan dalam penelitian Herlinah 2010, yang berjudul nanokatalis CuO/ZnO/Al 2 O 3 untuk mengubah metanol menjadi gas hidrogen untuk bahan bakar kendaraan fuel cell. Nanokatalis CuO/ZnO/Al 2 O 3 adalah suatu katalis yang digunakan untuk mengubah methanol menjadi hydrogen melalui methanol reforming. Pada mulanya katalis ini dibuat dengan menggunakan Kristal Cu(NO 3 ) 2 .3H2 O; Zn(NO 3 ) 2 .4H2 O; Al(NO 3 ) 2 .9H 2 O dengan perbandingan komposisi tertentu. Katalis ini memiliki ukuran yang kecil dan temperature proses yang rendah. Dalam penelitian yang dilakukan Liherninah, dia membahas tentang sintesis nanokatalis CuO/ZnO/Al 2 O 3 dengan menggunakan metode simple heating, penumbuhan dalam zeolit, dan penumbuhan dalam silika. Disini herlinah ingin mendapatkan bahwa dengan temperature pemanasan dan waktu pemanasan yang rendah diharapkan dapat menghasilkan katalis CuO/ZnO/Al 2 O 3 dengan ukuran butir yang kecil.
34.3.1 Metode Simple Heating Metode ini adalah salah satu metode sintesis nanopartikel menggunakan media continue. Akar pemikiran metoda ini adalah nanopartikel yang tidak menggumpal dapat disintesis melalui reaksi kimia pada fasa kedua dari media kontinu, selama kehadiran media continue tersebut dapat dipertahankan hingga akhir proses. Dengan demikian, nanopartikel dapat diperoleh ketika media kontinu tersebut dihilangkan di ujung proses fotosintesis. Pada penelitian yang dilakukan oleh Liherninah dkk, media kontinu yang digunakan adalah larutan poly ethilen glikol. Untuk mensintesis katalis, seluruh prekursor katalis dicampur dan direaksikan dengan larutan polimer tersebut. 630
Kemudian untuk mendekomposisi polimer, seluruh larutan tersebut dipanaskan hingga suhu tertentu. Setelah polimer dihilangkan, maka nanopartikel yang saling terpisahkan akan terbentuk. Flowchart (diagram alir) sintesis katalis dengan metode simple heating dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Cu(NO3)2.6H2O + H2O Zn(NO3)2.6H2O + H2O Al(NO3)2.6H2O + H2O
Polietilen glikol Mn = 20.000
Pengadukan dan pemanasan pada 100oC
Pembakaran pada suhu > 500oC
Nanopartikel Gambar 34.4. Flowchart sintesis katalis dengan metode simple heating Herlinah, dkk membuat beberapa sampel dalam pembuatan katalis dengan metode simple heating. Komposisi sampel yang dibuatnya ada pada tabel di bawah ini. Tabel 34.2. Komposisi larutan garam nitrat setiap sampel katalis Cu(NO 3 ) 2 .3H 2 O Zn(NO 3 ) 2 .4H 2 O Al(NO 3 ) 2 .9H 2 O PEG (gram)
(gram)
(gram)
(gram)
Sampel 1
3,435
2,975
3,759
30
Sampel 2
1,715
2,543
1,875
15
Sampel 3
3,435
2,975
3,759
30
Sampel 4
3,435
2,975
3,759
30
Sampel 5
1,715
2,543
1,875
15
Setelah membuat lima sampel dengan metode simple heating, gambar dibawah ini adalah hasil pembuatan nanokatalis dengan metode simple heating. Yang
631
selanjutnya sampel-sampel ini akan dikarakterisasi untuk mengetahui ukuran dari nanokatalis yang telah dibuat.
Gambar 34.5. Contoh sampel katalis dengan simple heating
34.3.2 Metode Penumbuhan dalam Zeolit Zeolit dikenal sebagai material aluminosilikat dan material mikroporos. Disebut material mikroporos karena memiliki poros lebih kecil dari 50nm. Penggunaan metode ini untuk sintesis katalis didasarkan pada ukuran poros zeolit yang kurang dari 50 nm. Dengan perendaman yang relatif lama (24 jam), diharapkan material prekursor memasuki (terserap) ke dalam sela-sela poros zeolit. Untuk menghilangkan sisa-sisa nitrat dan air, rendaman tersebut kemudian dipanaskan pada furnace. Seperti pada metode simple heating, setting temperatur dilakukan secara linear, dimulai dari temperatur ruangan sampai temperatur yang diinginkan (450-700 oC). Selanjutnya, temperatur akan turun dengan normal secara eksponensial selama 2-3 jam (Liherlinah, 2009).
Gambar 34.6. Struktur molekuler mikroporos zeolit
632
Flowchart (diagram alir) sintesis katalis dengan metode penumbuhan dalam zeolit dapat dilihat pada gambar dibawah ini. Cu(NO3)2.6H2O + H2O Zn(NO3)2.6H2O + H2O Al(NO3)2.6H2O + H2O
Zeolit kasar
Perendaman selama 24 jam
Pembakaran pada suhu > 500oC
Nanopartikel Gambar 34.7. Flowchart sintesis katalis dengan metode penumbuhan dalam zeolit (Liherlinah, 2009) Pada metode penumbuhan dalam zeolit ini Liherlinah hanya membuat 1 sampel, yang selanjutnya akan disebut Sampel 6. Tabel 34.3. Komposisi larutan prekursor sampel katalis Cu(NO 3 ) 2 .3H 2 O Zn(NO 3 ) 2 .4H 2 O Al(NO 3 ) 2 .9H 2 O
Sampel 6
Zeolit
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
5,4
7,776
3,676
10
633
Gambar dibawah ini adalah hasil pembuatan nanokatalis dengan metode penumbuhan dalam zeolit.
Gambar 34.8. Contoh sampel katalis dengan zeolit
34.3.3 Metode Penumbuhan dalam Silika Silika yang digunakan dalam metode penumbuhan dalam silika adalah silika dari glasswool. Glasswool terdiri dari 90% silika amorf. Penggunaan metode ini untuk mensintesis nanokatalis didasarkan pada tingginya temperatur leleh glasswool (sekitar 2000 oC). Dengan menggunakan glasswool dan polietilen glikol diharapkan partikel nanokatalis yang terbentuk akan lebih halus dan lebih kecil dari dua metode yang digunakan di atas (Liherlinah, 2009). Cu(NO3)2.6H2O + H2O Zn(NO3)2.6H2O + H2O Al(NO3)2.6H2O + H2O
Pengadukan dan pemanasan pada 100oC
Pembakaran pada suhu > 500oC
Nanopartikel 634
Polietilen glikol Mn=20.000 + glasswoll
Gambar 34.9. Flowchart sintesis katalis dengan metode penumbuhan dalam silika Pada metode penumbuhan dalam silika ini Liherlinah hanya membuat 1 sampel, yang selanjutnya akan disebut Sampel 7. Tabel 34.4. Komposisi larutan garam nitrat setiap sampel katalis Cu(NO3)2.3H2O Zn(NO3)2.4H2O Al(NO3)2.9H2O glasswool
Sampel 7
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
5,4
5,739
3,676
4,333
Gambar dibawah ini adalah hasil pembuatan nanokatalis dengan metode penumbuhan dalam silika.
Gambar 34.10. Contoh sampel katalis dengan silika Setelah membuat tujuh sampel dari tiga metode pembuatan nanokatalis, selanjutnya sampel-sampel ini akan dikarakterisasi untuk mengetahui ukuran dari nanokatalis yang telah dibuat.
34.3.3 Karakterisasi Katalis 34.3.3.1 Karakterisasi Ukuran Partikel dengan SEM Karakterisasi dengan SEM (Scanning Elektron Microscopy) bertujuan untuk melihat ukuran partikel pada katalis. SEM memiliki perbesaran 300.000 kali mikroskop optik, sehinggan dengan menggunakan SEM partikel yang berukuran 10-9 meter dapat terlihat. Semua sampel tersebut dikarakterisasi dengan menggunakan SEM. Gambar dibawah ini adalah hasil karakterisasi dengan SEM dan hasil fitting lognormal dalam penelitian yang dilakukan oleh Herlinah.
635
Hasil SEM sampel 1, 450oC dan 30 menit
Hasil SEM sampel 3, 450oC dan 60 menit
636
Hasil SEM sampel 2, 450oC dan 60 menit
Hasil SEM sampel 4, 600oC dan 30 menit
Hasil SEM sampel 5, 600oC dan 60 menit Hasil SEM sampel 6, 600oC dan 30 menit Gambar 34.11. Hasil SEM semua sampel (Liherlinah, 2009)
Pada gambar dibawah ini ditunjukkan hasil fitting lognormal dari masing-masing sampel.
Hasil fitting lognormal sampel 1
Hasil fitting lognormal sampel 2
Hasil fitting lognormal sampel 3
Hasil fitting lognormal sampel 4
Hasil fitting lognormal sampel 5
Hasil fitting lognormal sampel 7 637
Gambar 34.12. Hasil fitting log normal masing-masing sampel katalis (Liherlinah, 2009) Untuk mengetahui pengaruh temperatur terhadap morfologi kristal ditunjukkan dengan pola SEM. Pengaruh temperatur dapat menyebabkan fenomena berubahnya ukuran partikel yang ditunjukkan dalam tabel dibawah ini. Katalis
Tabel 34.5. Pengaruh partikel terhadap ukuran partikel Temperatur Durasi waktu Ukuran partikel pemanasan (oC)
rata-rata (nm)
Sampel 1
450oC
30 menit
69,414
Sampel 2
450oC
60 menit
44,523
Sampel 3
500oC
30 menit
41,113
Sampel 4
600oC
30 menit
47,879
Sampel 5
600oC
60 menit
39,312
Dari tabel dapat dilihat bahwa ukuran partikel semakin kecil dengan meningkatnya temperatur pemanasan. Sampel dengan durasi waktu 60 menit, menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur semakin besar ukuran kristallitas. Dengan ukuran kristallites yang besar, luas permukaan semakin besar, sehingga selektivitas semakin tinggi. Dengan tingginya selektivitas maka kinerja katalis semakin tinggi. Hasil SEM yang dilakukan Herlinah menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur pembuatanndan semakin lama waktu pemanasan maka semakin kecil ukuran partikel.
34.4 Fotokatalisis Katalis yang bekerja di bawah pengaruh cahaya disebut fotokatalis. Fotokatalis pertama ditemukan pada tahun 1972 oleh A. Fujishima dan K. Honda. Fotokatalisis merupakan reaksi kimia yang melibatkan foton sebagai sumber energi dan katalis padat. Dimana secara umum dalam purifikasi (penjernihan) ini melibatkan pasangan elektron (e-) dan hole (h+).
638
matahari
O2 -
sumber foton e
TiO 2
polutan organik
h+
+ H2 O
CO2
OH*
H2 O
Gambar 34.13. Skematik fotokatalisis Jika suatu material semikonduktor dikenai cahaya (hv) dengan energi yang sesuai, maka akan terjadi peristiwa eksitasi elektron dari pita valensi ke pita konduksi. Pada kondisi inilah terbentuk hole (h+) pada pita valensi dan elektron (e-) pada pita konduksi. Dalam kondisi ini elektron dan hole bergerak sampai ke permukaan semikonduktor. Akan tetapi tidak semua elektron dan hole mampu mencapai permukaan, sebagian ada yang berekombinasi kembali. Hal ini dipengaruhi oleh intensitas foton tersebut. Hole (h+) yang dihasilkan memiliki potensial oksidasi yang sangat kuat. Sifat inilah yang mampu membuat dia memecah molekul air dengan menarik elektron dari molekul air tersebut menjadi OH-. Pada kondisi ini, OH- menjadi tidak stabil dan menjadi gugus hidroksil (OH*). Untuk menstabilkan dirinya kembali, maka gugus hidroksil harus mengambil elektron dari luar lingkungan sekitarnya dengan syarat, potensial oksidasi yang dimiliki lebih kecil dari gugus hidroksil. Potensial oksidasi OH* sekitar 2,8 eV, harga ini lebih besar dari potensial oksidasi zat organik kebanyakan. Sehingga gugus OH* mampu menarik elektron dari senyawa-senyawa yang ada di sekitarnya. Peristiwa ini menyebabkan senyawa organik terdekomposisi menjadi CO 2 dan H2 O. Sementara pada permukaan semikonduktor elektron akan bereaksi dengan O 2 dan berbentuk anionsuperoksida yang memiliki keaktifan yang 639
sangat tinggi dalam memecahkan senyawa organik. Kondisi ini menyebabkan fotokatalis dapat membunuh sel-sel bakteria dan mendekomposisi sel bakteria yang diakibatkan oleh pencemar organik tersebut. Salah satu contoh katalis yang sering digunakan pada proses fotokatalis adalah Titanium oksida. Hal ini disebabkan karena pita valensi dari titanium dioksida terdiri atas orbit 2p dari oksigen, disamping itu pita konduksi berada pada orbit 3d dari titanium (Ti). Dalam semikonduktor yang memiliki lebar pita celah yang besar, elektron yang berada pada pita valensi tidak dapat melompat menuju pita konduksi. Jika terdapat energi eksternal pada system tersebut, elektron yang berada pada pita valensi dapat melompat menuju pita konduksi yang selanjutnya dinamakan proses eksitasi. Dan tercipta sejumlah hole (hole tertinggal dari sejumlah elektron yang pindah menuju pita konduksi) yang jumlahnya setara dengan elektron yang tereksitasi. Proses ini ekuivalen dengan pergerakan elektron dari kondisi terikat (bonding orbital) menuju kondisi bebas (antibonding orbital). Pada umumnya, keadaan fotoeksitasi (eksitasi yang disebabkan oleh adanya intervensi cahaya) sangat tidak stabil. Lain halnya dengan bahan semikonduktor titanium dioksida yang memiliki keadaan fotoeksitasi yang stabil. Hal ini membuat semikonduktor titanium oksida memiliki sifat fotokatalis yang baik (Haruno, 2010). Osi Arutanti pada tahun 2010 telah melakukan penelitian tentang fotokatalis yang berjudul “Pelapisan Permukaan HDPE (High Density Polyethylene) dengan Titanium Dioksida (TiO 2 ) Anatase menggunakan metode Cylinder Milling dan Aplikasinya sebagai fotokatalis”. Dia menggunakan TiO 2 (Titanium Dioksida) dalam penelitiannya. Langkah-langkah eksperimennya adalah pelapisan TiO 2 (Titanium Dioksida) anatase serbuk pada permukaan HDPE (High Density Polyethylene). Pelapisan ini dilakukan dengan berbagai variasi suhu. Setelah pelapisan dalam permukaan HDPE, maka hasilnya akan diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran 10x. HDPE yang siap pakai akan diamati dicoba untuk digunakan sebagai fotokatalis yang akan diberikan pada dua jenis sampel yaitu limbah selokan Leuwi gajah, laturan wanteks merah dan biru yang dibuat sendiri. Tapi disini kami hanya akan membahas sampel limbah selokan leuwi gajah dan larutan wanteks biru. Semua sampel diperlakukan sama, yaitu penjemuran di bawah sinar matahari selama 9 hari. Dengan kondisi selama malam hari tidak diberi pencahayaan apapun. 1. Penjernihan limbah selokan leuwi gajah Pada penjernihan ini ada beberapa variasi yang dilakukan. Data variasi dapat dilihat sebagai berikut: Tabel 34.6. Variasi perlakuan pada limbah Gelas Banyaknya limbah Banyaknya HDPE dan TiO 2 L
150 ml
0 gram
C
150 ml
15,023 gram
c
150 ml
15, 030 gram
2. Penjernihan limbah wanteks biru Hal yang pertama dilakukan adalah membuat larutan wanteks dengan cara sebagai berikut: Pembuatan larutan wanteks X 640
0,2 gram wanteks + 100 ml aquades = larutan X
Tabel 34.7. Variasi perlakuan pada larutan wanteks Percobaan Warna Banyak Aquades Banyaknya kewanteks larutan X HDPE dan TiO 2 1
Biru
10 ml
300 ml
15,013 gram
2
A
12,5 ml
150 ml
10,032 gram
3
A
12,5 ml
150 ml
10,028 gram
4
B
7,5 ml
150 ml
10,024 gram
5
B
7,5 ml
150 ml
10,035 gram
Untuk membuktikan bahwa pelapisan permukaan HDPE oleh TiO 2 anatase serbuk tidak mempengaruhi pada fungsinya sebagai katalis, maka hasil tersebut digunakan untuk menjernihkan limbah selokan leuwi gajah dan larutan wanteks. 1. Limbah selokan leuwi gajah
Gambar 34.14. Proses purifikasi pada 150 ml limbah leuwi gajah dengan 15 gram HDPE 2. Larutan wanteks
641
Gambar 34.15. 10 ml larutan X + 300 ml aquades + 15,013 gram HDPE
Gambar 34.16. Gelas A dan a (12,5 ml larutan X + 150 aquadesh + 10 gram HDPE)
Gambar 34.17. Gelas B dan b (7,5 ml lar. X + 150 ml aquadesh + 10 gram HDPE) 642
Hasil proses fotokatalis selama 9 hari tersebut dilakukan uji lab. Ada beberapa karakteristik yang diamati pada saat sebelum dan setelah dilakukan fotokatalis pada setiap limbah yaitu mengenai PH, kekeruhan dan warna. 1. PH Perubahan PH hasil fotokatalisis yang ditunjukkan pada tabel dibawah ini, perubahannya tidak begitu signifikan. Hal ini dikarenakan PH awal larutan, baik itu limbah selokan maupun larutan wanteks hanya berkisar 7-9. Perubahan PH pda fotokatalisis ini dikarenakan gugus OH- yang berlimpah berubah menjadi gugus yang tidak stabil dan berubah menjadi gugus hidroksil (OH*). Semakin banyak OH-, maka makin banyak gugus hidroksil yang mampu mengubah senyawa organik beracun menjadi senyawa organik sederhana (CO 2 dan H2 O). Perubahan PH hasil fotokatalisis ditunjukkan oleh tabel dibawah ini.
Tabel 34.8. Perubahan PH selama 9 hari Hari ke-
Gelas 1
2
3
4
5
6
7
8
9
c
8,64 8,08 8,33 8,33
8,40 8,15 8,31 8,26 8,12
C
8,66 7,72 8,34 8,33
8,19 7,88 8,08 8,09 8,05
L
8,77 7,46 8,65 8,58
8,61 8,47 8,61 8,44 7,68
a
7,86
8,06
8,34
7,85
7,84
7,29
7,44
7,91
7,35
A
7,76
8,35
8,30
7,74
8,22
7,30
7,58
7,91
7,35
b
7,99
7,89
8,35
7,72
7,75
7,18
7,47
7,66
6,67
B
7,76
7,94
8,45
7,71
7,80
7,96
7,99
7,81
7,41
M
9
8,40
8,50
8,28
8,18
8,06
8,12
8,55
7,48
PH
2. Kekeruhan dan warna Secara kasat mata, keberhasilan fotokatalisis dapat dilihat dari perubahan warna larutan. Akan tetapi apa yang terlihat tidak menjadi jaminan bahwa hasil fotokatalisis tersebut berhasil dengan baik. Oleh karena itu, untuk keakuratan dilakukan pengukuran warna dan kekeruhan dengan menggunakan nanocolor (MN 5180 Duren Postfach 307). Tabel 34.9. Warna dan kekeruhan limbah sebelum dan setelah fotokatalis
643
Warna
0
400
Kekeruhan
0
120
Warna
130
90
140
Kekeruhan
65
20
40
Warna
430
60
30
Kekeruhan
120
14
14
644
Warna
1400
300
Kekeruhan
160
72
Berdasarkan data air guna, syarat warna dan kekeruhan yang dimiliki berkisar 0-15mg/mL. Akan tetapi, berdasarkan beberapa eksperimen yang telah dilakukan angka tersebut hanya didapat pada wanteks biru. Purifikasi wantek biru dilakukan pada musim kemarau. Dengan intensitas cahaya yang maksimal setiap harinya, maka dalam waktu 4 hari larutan tersebut menjadi jernih. Purifikasi limbah selokan dilakukan pada saat musim hujan sehingga hasilnya tidak maksimal. Dari hasil percobaan fotokatalisis yang dilakukan oleh Osi Arutanti, dapat dilihat bahwa jumlah TiO 2 , intensitas sinar dan jumlah senyawa organik yang terlarut, mempengaruhi kecepatan dan proses purifikasi. Titanium dioksida yang dilapiskan pada permukaan HDPE tidak mengurangi kemampuannya sebagai fotokatalis. Jumlah TiO 2 yang baik untuk meningkatkan kualitas fotokatalis maksimum 200mg/L. Lebih dari itu, kualitas fotokatalis semakin menurun. Hal ini dikarenakan penambahan TiO 2 yang terus menerus menyebabkan permukaan area menjadi jenuh (Arutanti, 2010). .
645
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Mikrajudin. 2009. Pengantar Nanosains. Bandung: ITB. Arutanti, Osi. 2010. Pelapisan Permukaan HDPE (High Density Polyethylene) dengan Titanium Dioksida (TiO 2 ) Anatase menggunakan metode Cylinder Milling dan Aplikasinya sebagai fotokatalis. Bandung: Institut Teknologi Bandung Arutanti, Osi. 2009. Penjernihan Air dari Pencemar Organik dengan Proses Fotokatalis pada Permukaan Titanium Dioksida (TiO 2 ). Bandung: Jurnal Nanosains dan Teknologi (2009) Iskandar, Suhendra. 2010. Nanokatalis sebagai pengganti katalis. Makassar : Universitas Hasanudin Liherninah, dkk. 2009. Sintesis Nanokatalis CuO/ZnO/Al 2 O 3 untuk mengubah Methanol menjadi Hidrogen untuk Bahan Bakar Kendaraan Fuel Cells. Bandung: Jurnal Nanosains dan Teknologi (2009) Liherlinah. 2009. Sintesis Nanokatalis CuO/ZnO/Al 2 O 3 untuk mengubah Methanol menjadi Hidrogen. Bandung : Institut Teknologi Bandung. Praserthdam, Piyasan. Some Applications of nanomaterials for Catalyst and Catalyst support. Bangkok: Chulalongkorn University (http://www3.ntu.edu.sg/SCBE/ cbe/apcat4/abstracts/piyasan.pdf diakses tanggal 24 Oktober 2011) Subiyanto, Haruno. 2010. Penjernihan air model limbah tekstil cair menggunakan TiO 2 Fotokatalis yang dilapisi pada bahan serat transparan. Bandung : Institut Teknologi Bandung
646
Bab 35 Nanofluida Oleh: Shanty Merissa
35.1 Pengertian Nanofluida Perpindahan kalor adalah proses yang sangat penting di berbagai industry. Sudah menjadi sifatnya fluida konvensional yang digunakan untuk memindahkan kalor buang memiliki konduktivitas termal yang rendah. Hal ini menjadi keterbatasan industri untuk meningkatkan efisensi. Sudah lebih ari seabad sejak Maxwell (1881), para peneliti dan insinyur terus berusaha mengatasi keterbatasan ini dengan mendispersikan partikel berukuran mili ataupun mikro ke dalam fluida. Tetapi tetap saja partikel tersebut masih terlalu besar untuk dapat berkombinasi dengan fluida dalam meningkatkan konduktivitas termal secara signifikan. Lagipula, bila dialirkan ke dalam pipa kecil, fluida tersebut akan menyumbat alirannya. Konsep dan kemunculan dari nanofluida sangat berkaitan erat dengan trend miniaturasi dan teknologi nano itu sendiri. Saat ini banyak dijumpai devices elektronik berdimensi kecil yang memiliki kemampuan luar biasa, misalnya chip computer, dengan ukuran yang kecil tetapi mempunyai kecepatan proses yang luar biasa. Dari segi dimensi sangatlah menguntungkan memiliki devices dalam ukuran kecil karena dapat menghemat biaya dan ruang, akan tetapi tentunya peralatan tersebut akan menghasilkan fluks kalor Φ yang cukup tinggi. Fluks panas diartikan sebagai:
dimana:
𝑄𝑄
Φ~ 𝐴𝐴
(35.1)
Q = jumlah kalor/ panas disipasi yang dilepaskan A = luas permukaan
Dari persamaan terlihat bahwa semakin kecil devices, fluks panas yang dihasilkan akan semakin besar. Keadaan seperti ini tentunya tidak disukai oleh pengguna devices elektronik. Apalagi untuk skala industri yang mengharuskan 647
peralatan industri dioperasikan sepanjang hari tanpa henti. Oleh karena itu sistem pendinginan yang baik dan tepat sangatlah dibutuhkan agar kestabilan fungsi dari peralatan tersebut terjamin. Sistem pendingin yang baik adalah siste pendingin yang memiliki konduktivitas termal yang tinggi, sehingga mampu mengantarkan kalor dengan baik. Udara, air, atau bahkan fluida kerja konvensional yang biasa dipergunakan untuk proses pendinginan kuranglah efektif karena koefisien perpindahan kalornya kurang memadai, fluida tersebut bisa dimanfaatkan apabila laju aliran fluidanya ditingkatkan, hal ini tidak efisien karena membutuhkan tempat penyimpanan untuk fluida kerja yang besar sedangkan peralatan yang akan didinginkan dimensinya cukup kecil. Dari perkembangan teknologi yang ada, ditawarkan suatu fluida kerja baru yakni “Nano fluida”. Fluida ini diperkirakan dapat digunakan sebagai fluida kerja alternatif untuk menggantikan fluida kerja konvensional tersebut. Nanofluida adalah suatu campuran atau suspensi antara fluida cair (yang disebut dengan fluida dasar) dengan partikel solid yang mempunyai ukuran diameter dalam orde nanometer atau 10−9 m. Secara teoritik campuran ini memiliki termal konduktivitas yang lebih baik daripada fluida dasar pencampurnya, karena partikel solid memiliki termal konduktivitas yang lebih tinggi dari fluida dasar pencampurnya. Selain daripada itu efek gerak Brown diperkirakan akan terjadi pada partikel-partikel solid yang berukuran sangat kecil di dalam fluida dasarnya, hal ini yang menyebabkan pengurangan sedimentasi yang terbentuk karena nanopartikel tersebut akan melayangmelayang di dalam fluida dasar tersebut karena efek gerak Brown ini. Kemudian, karena tidak terjadinya sedimentasi maka kemungkinan terjadinya penyumbatan (clogging) sangat kecil sekali. Fluida Konvensional
Nano Partikel
Nanofluid
Gambar 35.1 Nanofluida adalah Campuran Fluida Konvensional dan Nanopartikel Untuk dijadikan sebagai fluida alternatif tentunya nanofluida perlu diuji sifat-sifat termalnya, seperti termal konduktivitas, termal difusivitas, lalu viskositasnya dan yang paling penting adalah koefisien perpindahan kalor 648
konveksinya. Selain daripada itu proses pembuatan nanofluida perlu dibahas lebih lanjut.
Coolant H2O (air)
Bio Fluid
Nano Particles Emulsion
Oil
Gambar 35.2 Nanofluid merupakan Kombinasi Nanopartikel dan Fluida Teknik pendispersian partikel dengan ukuran millimeter atau micrometer telah dilakukan lebih dari 100 tahun yang lalu, namun orang kurang tertarik untuk mengaplikasikannya karena tersandung beberapa masalah seperti sedimentasi, erosi, fouling dan penurunan tekanan. Kemudian dilakukan inovasi dengan menggunakan fluida pemindah kalor dengan menggunakan partikel berukuran nano yang disebut nanofluida. Pemilihan partikel nano dikarenakan sifat ketidak massifannya. Sehingga kemungkinan untuk mengendap sangat kecil sekali. Gerak Brown yang kontinu membuat partikel nano tidak diberi kesempatan untuk diam dan mengendap. Selain daripada itu, dengat sifat konduktivitasnya sebagai bahan metal yang memiliki nilai lebih jika dibandingkan dengan fluida dasarnya, membuat campuran ini memiliki sifat konduktivitas yang tinggi secara teori.
35.2 Pembuatan Nanofluida Cairan yang mengandung partikel dengan dimensi nanometer disebut nanofluida. Partikel nano yang dipakai dalam beberapa literatur antara lain Alumunium Oksida (Al2 O3 ), Tembaga (Cu), Tembaga Oksida (CuO), Emas (Au), Perak (Ag), partikel nano silica dan carbon nanotube (CNT). Fluida dasar yang digunakan adalah air, minyak, aseton, descene dan ethylene glycol. Pemilihan partikel nano dan fluida dasarnya disesuaikan dengan kebutuhan, dengan memperhatikan sifat-sifat dari masing-masingnya.
649
Nanofluida memiliki properties yang unik sehingga berpotensi dikembangkan untuk pemakaian dalam industri. Nanofluida mempunyai sifatsifat yang tergantung pada ukuran partikel yang didispersikan dan fraksi volume partikel yang didispersikan dalam fluida dasar. Selain itu nanopartikel memiliki struktur permukaan yang unik, yaitu memiliki sekitar 20% dari atomatomnya berada didekat permukaan, yang memungkinkanya untuk menyerap dan memindahkan panas dengan lebih efisien. Luas permukaan spesifik dari nanfluida lebih besar dari mikropartikel. Sesuai dengan persamaan :
𝑓𝑓 =
4𝑎𝑎 𝑅𝑅
(35.2)
Dimana: f = Fraksi atom yang menempati permukaan partikel A = jari-jari efektif atom R = jari-jari partikel Dengan ukurannya yang begitu kecil, maka partikel nano memiliki keistimewaan seperti: • Mampu tersuspensi lebih lama dalam fluida, dan jika ditambahakan surfactant atau stabilizer, maka akan mampu bertahan terus menerus kesuspensiannya (bersifat stabil). • Luas permukaan per unit volum dari parikel nano sekitar 1000 kali lebih tinggi daripada mikropartikel, artinya pelepasan kalor menjadi lebih cepat Partikel-partikel dalam ukuran nanometer dalam fluida menyebabkan meningkatnya interaksi dan tumbukan antar partikel, fluida dan permukaan yang dilaluinya. Partikel nano ini mengalami gerak Brownian, sehingga ketika fluida dalam keadaan diam, partikel ini terdistribusi merata dengan gaya apung sehingga tidak terjadi seimentasi. Dalam pencampuran partikel nano pada fluida dasar, ada dua metode yang dapat digunakan yakni: metode single step method dan two step method.
35.2.1 Single Step Method Single step method merupakan metoda membuat partikel nano yang langsung didispersikan ke fluida dasarnya. Ada beberapa eksperimen yang dilakukan untuk membuat nanofluida dengan teknik Reduksi Kimia (single step), antara lain dilakukan oleh Liu untuk meningkatkan konduktivitas thermal dari air dicampur Cu dengan menggunakan metode reduksi kimia. Nano partikel tembaga (Cu) dihasilkan dalam air dengan mereduksi copper acetate. 650
Ion Cu2+ di reduksi menjadi atom tembaga (Cu). Dari atom tembaga terjadi presipitasi membentuk partikel nano tembaga. Copper acetate Cu(CH3 COO)2 digunakan sebagai bahan baku yang direndam dalam air deionized. Larutan diaduk pada temperature 55o C dengan nitrogen hydrazine (N2 H4 ) sebagai bahan pereduksi. Jumlah larutan hydrazine ditambah dengan tetap diaduk rata. Larutan didinginkan dalam suhu 0o C dan dibiarkan mengendap, kemudian dicuci dengan air deionized untuk membersihkan kotoran. Fraksi volum partikel nano Cu dalam larutan dibawah 0,2%. Eksperimen yang lain dilakukan oleh Zhu, dengan mereduksi CuSO4 . 5H2 O dengan NaH2 PO2 . H2 O dalam ethylen glycol dengan iradiasi gelombang mikro. Nanofluida yang stabil dan tidak menggumpal dapat dihasilkan dengan teknik ini. Hasilnya juga menunjukkan bahwa penambahan NaH2 PO2 . H2 O dan adanya iradiasi gelombang mikro sangat mempengaruhi laju reaksi dan properties dari parikel nano Cu.
35.2.2 Two Step Method Metoda dua langkah banyak dilakukan dalam sintesa nanofluida dengan menggunakan nano powder yang diproduksi oleh industri secara komersial. Dalam metode ini, partikel nano dibuat terpisah terlebih dahulu kemudian dilarutkan dalam fluida dasar. Biasanya peralatan ultrasonik digunakan untuk mendispersikan partikel untuk mengurangi penggumpalan dari parikel. Lamanya proses sonifikasi sekitar 9-10 jam agar partikel nano dapat terdispersi secara merata dan stabil di fluida dasar. Untuk memastikan berhasilnya proses sonifikasi, biasanya nanofluida tersebut didiamkan beberapa hari dan dilihat ada atau tidaknya penggumpalan atau sedimentasi pada nanofluida. Beberapa penelitian yang menggunakan metode ini untuk membuat nanofluida antara lain; Murshed, menggunakan ultrasonic dismembrator yang digunakan selama 8-10 jam untuk membuat campuran yang bagus dengan fraksi volum yang berbeda dari nano partikel TiO ke dalam fluida dasar (deionized water). Penelitian ini memerlukan surfaktan untuk membuat partikel benar-benar terlarut. Surfactant Oleic acid dan cetyl trimethyl ammonium bromide (CTAB) digunakan untuk membuat larutan yang stabil dan terdispersi secara baik tanpa mengganggu sifat termofisika dan sifat perpindahan panas karena surfaktant yang dipakai sangat kecil dengan persentasi volume (0.01-0.02)%.
651
Xuan juga menggunakan teknik yang sama untuk menyiapkan nanofluida. Dengan metode ini nanfluida didapatkan dengan mencampur langsung bubuk partikel nano dengan fluida dasar dengan proses yang cukup praktis. Larutan yang mengandung (2-5)% volume dengan fluida dasar air dan minyak. Digunakan pelarut oleic acid. Larutan dicampur dengan menggunakan alat ultrasonic vibrator selama 10 jam. Hwang menggunakan ultrasonic disruptor untuk memproduksi nanofluida MWCNT dengan air, CuO dengan air, SiO2 dengan air dan CuO dengan ethylene glycol. Karena MCWNT selalu terikat dan bergumpal, maka ditambahkan sodium dodecyl sulfat. Hong menggunakan bubuk Fe nano kristal yang disintesis dengan proses kondensasi gas menggunakan besi carbonyl (FeSCOd5) sebagai pelarut dalam aliran helium atmosfer. Nanofluida disiapkan dengan prosedur 2 langkah untuk mendispersikan nano partikel dalam ethylene glycol. Untuk membuat cairan tersebut benar-benar larut digunakan alat ultrasonic cell disrupter. Eksperimen ini memperoleh hasil yang paling bagus pada 0.55 % volume dengan diletakkan dalm ultrasonic cell disrupter selama 50 menit sonifikasi. Kondensasi gas memiliki kelebihan dibandingkan dengan teknik yang lain karena partikel dapat dibuat dalam keadaan yang lebih bersih dan permukaannya dapat dihindarkan dari pelapisan yang dikehendaki. Tetapi partikel yang diproduksi dengan teknik ini terjadi penggumpalan, yang dapat dipecah menjadi kelompok yang lebih kecil dengan memberikan energi dalam jumlah yang kecil.
35.3
Konduktivitas Termal Nanofluid
Jika dalam suatu medium terdapat perubahan suhu, maka akan terjadi perpindahan kalor dari suhu yang tinggi ke suhu rendah. Laju perpindahan panas tersebut sebanding dengan gradient perubahan temperatur: 𝑞𝑞
𝐴𝐴 dimana:
q 𝛿𝛿𝛿𝛿 𝛿𝛿𝛿𝛿 A
≈
𝛿𝛿𝛿𝛿 𝛿𝛿𝛿𝛿
= laju perpindahan kalor = gradien suhu = gradien jarak = luas penampang 652
Setiap material memiliki kemampuan yag berbeda dalam menghantarkan panas sehingga persamaan tersebut memiliki konstanta proporsionalitas yang berbeda (propotionality constant). Sehingga persamaan tersebut menjadi: 𝑞𝑞
dimana :
𝐴𝐴
= −𝑘𝑘
𝛿𝛿𝛿𝛿
(35.3)
𝛿𝛿𝛿𝛿
k = konduktivitas termal material
Tanda negatif menunjukkan bahwa kalor berpindah dari suhu yang tinggi ke suhu rendah. Variabel konduktivits termal merupakan factor terpenting dalam perpindahan panas. Nanofluida yang mengandung partikel nano berimplikasi terhadap kenaikan konduktivitas termal nanofluida. Maka perlu dihitung besarnya kondutivitas nanofluid. Berikut akan dijelaskan dua metode yang biasa digunakan untuk itu, yakni: transient hot wire method dan temperature oscillation method.
35.3.1 Transient Hot Wire Method Setelah proses pembuatan nanofluid, maka kita perlu menentukan konduktivitas termal nanofluida tersebut. Karena parameter ini sangat diperlukan untuk penggunaannya. Metode paling populer untuk mengukur konduktivitas termal nanofluid adalah dengan menggunakan transient hot wire. Dalam metode ini kawat metal digunakan sebagai sumber panas dan sensor temperatur. Kawat dicelupkan kedalam nanofluida yang akan diukur konduktivitas termalnya. Arus listrik dialirkan melalui kabel untuk memanaskan nanofluida. Semakin tinggi konduktivitas nanofluida, maka kenaikan suhu dari metal akan semakin kecil. Percobaan dilakukan dalam waktu 2-8 detik, sehingga konveksi natural tidak sempat terjadi. Metode ini disebut transient karena kalor diberikan seketika pada saat kawat mendapatkan kalor. Persamaan yang digunakan untuk metode ini adalah specific solution dari Fourier Low’s untuk radial transient heat conduction. Persamaan konduksi kalor pada koordinat kartesius adalah: 𝛿𝛿 2 𝑇𝑇 𝛿𝛿 𝑥𝑥
2 +
𝛿𝛿 2 𝑇𝑇
𝛿𝛿 𝑦𝑦
2 +
𝛿𝛿 2 𝑇𝑇 𝛿𝛿𝑧𝑧 2
653
=
1 𝛿𝛿𝛿𝛿
𝛼𝛼 𝛿𝛿𝛿𝛿
(35.4)
Lalu dengan mengintegral persamaan diatas pada sisi z, maka diperoleh distribusi temperature sebagai berikut:
𝑇𝑇 =
𝑞𝑞′
4𝜋𝜋𝜋𝜋
𝑙𝑙𝑙𝑙
4𝑘𝑘𝑘𝑘
𝑟𝑟 2 𝜌𝜌𝑐𝑐𝑝𝑝
−
𝛾𝛾𝛾𝛾
4𝜋𝜋𝜋𝜋
(35.5)
Dimana q adalah kalor yang diberikan persatuan waktu persatuan panjang dalam W/m dan k adalah nilai konduktivitas termal fluida, dan jika temperature pada saat 𝑡𝑡1 dan 𝑡𝑡2 adalah 𝑇𝑇1 dan 𝑇𝑇2 , maka persamaannya menjadi:
𝑘𝑘 =
𝑞𝑞
4𝜋𝜋(𝑇𝑇1 −𝑇𝑇2)
𝑡𝑡
ln �𝑡𝑡 1 � 2
(35.6)
Skema pengukuran transient hot wire seperti terlihat pada gambar 35.3, kawat (Pt) diletakkan sepanjang sumbu axis dan dikelilingi oleh fluida yang akan ditentukan konduktivitas termalnya. Platinum memiliki electrical resistivity sebesar 1,06 x 10−7 Ωm (pada temperature 20 °C) lebih besar darupada metal lainnya, dan mempunyai temperature coefficient resistance 0,0003925 /C yang juga lebih besar daripada etal lainnya. Diameter yang digunakan sekitar 100 µm. Karena proses hanya berlansung 2-8 detik, maka jumlah kalor yang mengalir ke fluida sangat kecil, maka diameter wadah tidak boleh terlalu besar.
654
Gambar 35.3 Pengukur Konduktivitas Termal dengan Transient Hot Wire
35.3.2 Oscilation Method Prinsip dasar dari percobaan ini adalah menunjukkan osilasi temperature di dalam cylindrical liquid volume. Pengukuran konduktivitas termal didasarkan pada persamaan energi untuk konduksi. Persamaan tersebut diterapkan dengan asumsi fluida yang diuji isotropic dan thermophysical properties seragam dan konstan terhadap waktu pada seluruh bagian specimen. Dan pada saat pengujian fluida yang akan diuji diapit oleh dua reference layer yang nantinya akan dihitung osilasi temperaturnya untuk menghitung konduktivitas termal dari fluida yang diuji. Susunan dari perangkat untuk melakukan uji ini antara lain fabricated test cell, yang akan didinginkan oleh cooling water kedua ujungnya dihubungkan ke thermostatic bath. Untuk sumber listriknya dipergunakan DC power supply yang akan dihubungkan ke elemen peltier yang ada pada test cell. Temperatur fluida uji akan diterima oleh thermocoupes di test cell yang hasilnya akan diterima dan diteruskan oleh amplifier filter. Hasil ini akan diterima oleh data aquicition system yang akan mengolah data lebih lanjut dan ditampikan ke computer. Temperatur dari reference material diosilasi suhunya oleh eleven peltier berukuran 40mm x 40mm. Tujuan dari osilasi temperature ini adalah: • Amplitudo dari osilasi dijaga agar tetap kecil (±1,5 𝐾𝐾) sehingga properties dari fluida uji tidak berubah dan tidak terjadi natural convection. Amplitudo juga dijaga agar tidak turun terlalu jauh agar tingkat akurasi dari pengukuran tidak berubah. Nilai dari Grashof number adalah 850, yang nilainya dibawah batas natural convection. • Amplitudo yang kecil dan pengaturan yang akurat dari rata-rata osilasi temperature menjamin test pada conducting fluid dilakukan pada temperature yang diinginkan. Dengan cara ini juga densitas dari fluida uji dapat diukur dan specific heat dari fluida uji dapat dihitung dengan:
𝐶𝐶𝑝𝑝,𝑛𝑛𝑛𝑛 =
𝑚𝑚 𝑠𝑠 𝐶𝐶𝑝𝑝 ,𝑠𝑠 +𝑚𝑚 𝑤𝑤 𝐶𝐶𝑝𝑝 ,𝑤𝑤 𝑚𝑚 𝑠𝑠 +𝑚𝑚 𝑤𝑤
(35.7)
Dan konduktivitas termal dari fluida uji dapat dihitung dengan:
𝑘𝑘𝑛𝑛𝑛𝑛 = 𝛼𝛼𝑛𝑛𝑛𝑛 𝜌𝜌𝑛𝑛𝑛𝑛 𝐶𝐶𝑝𝑝,𝑛𝑛𝑛𝑛 655
(35.8)
35.3.3 Hasil Pengukuran Konduktivitas Termal Nanofluida Partikel CuO dan Al2 O3 berukuran nanometer dicampur dengan fluida cair diantaranya air dan ethyleneglycol. Dari hasil penelitian Eastman (6) diperoleh peningkatan termal konduktivitas sebesar 20%. Peningkatan konduktivitas termal sekitar 60% dapat dicapai untuk nanofluida terdiri dari air volume 5% nanopartikel CuO. Peningkatan termal konduktivitas sebesar 40% untuk penambahan 0.3% partikel Cu dalam ethyleneglycil. Xuan dan Li (8) menjelaskan suatu prosedur untuk menyiapkan nanofluida dengan menggunakan peralatan hot wire untuk mengukur konduktivitas termal nanofluid dengan nanopartikel bubuk tembaga yang tersuspensi. Pertama mereka menemukan bahwa kenaikan termal konduktivitas adalah linear dan mereka menjadikan penelitian Hamilton-Crosser (1962) sebagai pembandingnya. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa konduktivitas termal baik nanofluida air dan ethyleneglycol jauh lebih besar dari yang sudah diperkirakan oleh Hamilton-Crosser. Kesimpulan dari eksperimen mengejutkan karena sangat jauh berbeda untuk nanofluida Al2 O3 . Untuk diingat bahwa termal konduktivitas dari Al2 O3 dan CuO tidak jauh berbeda dan rata-rata ukuran partikel Al2 O3 sebesar 38 nm dan CuO sebesar 24 nm. Kesimpulan yang diambil mengarahkan pada perbedaan ukuran yang terdapat antara keduanya. Li dan Peterson (14) melakukan penelitian dengan eksperimen untuk menguji pengaruh dari variasi temperatur dan fraksi volum terhadap konduktivitas termal efektif dari CuO (ukuran 29 nm) dan Al2 O3 (ukuran 36 nm) dengan larutan dasar air. Hasilnya menunjukkan bahwa jenis partikel nano, fraksi volum dan temperatur bulk memiliki efek yang signifikan terhadap konduktivitas nanofluida. Patel menguji partikel nano emas (Au) dan perak (Ag) dengan thoriate dan sitrat sebagai pelapis dalam fluida dasar air dan toluene. Nanofluida digunakan untuk mengetahui pengaruh partikel nano dalam konsentrasi rendah. Hasilnya menunjukkan peningkatan konduktivitas termal untuk penggunaan 0.000026% volum dari partikel perak (Ag). Untuk penggunaan 0.011% dari Au partikel, peningkatannya sekitar 7%-14%. Yang menarik adalah, selain ukuran partikel, terdapat faktor yang berhubungan dengan gerakan dari partikel. Selain itu peningkatan konduktivitas termal dari nanofluida ternyata tidak linier dengan temperatur dan hampir linier dengan fraksi volum partikel. Faktor kimia yang penting seperti adanya hubungan antara permukaan logam dan
656
media pelarut, mempunyai pengaruh yang penting terhadap peningkatan konduktivitas termal efektif. Xie (16) menggunakan metode baru untuk mendapatkan larutan yang homogen dan stabil yaitu menggunakan multiwalled cabon nanotubes (MWCNT’s) dalam air deionized (DW), ethylene glycol (EG) dan decene (DE). Mereka memperkenalkan penggunaan dari oxygen-containing functional groups pada permukaan CNT untuk memperoleh permukaan hydrophilic yang lebih banyak. Data hasil penelitian menunjukkan peningkatan konduktivitas termal dengan semakin banyak penggunaan nanotube. Berikut hasil beberapa pengukuran yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh fraksi volume nano partikel terhadap konduktivitas thermal nanofluida;
Gambar 35.4 Grafik Hubungan Fraksi Volume terhadap Konduktivitas Termal Efektif Nanofluida Dimana; 1. Al2O3 dalam deionized water , eastman and choi (6). 2. CuO dalam deionized water, eastman and choi (6). 3. CuO dalam Duo Seal Oil, Eastman and Choi (6) 4. Cu dalam HE-200 oil (6) 5. TiO2 (dia 15nm) dalam air dengan CTAB surfactant, murshed et al,(7)
657
6. TiO2 (10 X40) dalam air dengan CTAB surfactant, murshed et al,(7) 7. Cu dalam transformer oil, xuan&li (8). 8. CuO dalam air, xuan&li,(8). 9. MWCNT+EG, hwang and ahn (9). 10. MWCNT+water, , hwang and ahn (9). 11. CuO dalam air, Das (11) 12. Al2O3 dalam air, Das (11) 13. Cu(acid), Eastman dan Choi (12) 14. Cu (old), Eastman dan Choi (12) 15. (cu fresh), Eastman dan Choi (12) 16. Cu (fresh) in EG, Eastman dan Choi (12) 17. Cu (old) in EG, Eastman dan Choi (12) 18. Al2O3 in EG, Eastman dan Choi (12) 19. CuO in EG, Eastman dan Choi (12) 20. Fe, hong dan choi (13) 21. Cu, hong dan choi (13) 22. Al2O3 dalam air (14) 23. CuO dalam air, li&peterson'05(14) 24. TCNT in EG, xie&lee (16) 25. TCNT in DE, xie&lee (16) 26. TCNT in DW, xie&lee (16) 27. CNT, gum arabic 0.25 wt% terhadap air, Ding et al (32) 28. df=1.4, pasher dan evans (41) 29. df=1.8, pasher dan evans (41)
Dari gambar tersebut diketahui bahwa penambahan partikel nano dalam larutan meningkatkan konduktivitas termal efektif dari larutan tersebut. Hal ini berlaku pada semua jenis larutan dengan segala macam jenis partikel nano dan fluida dasar. Beberapa hal yang menarik salah satunya hasil eksperimen yang dilakukan oleh Eastman and Choi, ditunjukkan oleh garis 13, memberikan hasil yang paling ekstrem dengan adanya penambahan thioglycolic acid pada larutan. Nanofluida ini dibuat dengan metode satu langkah dengan ukuran partikel kecil dari 10 nm, dan menunjukkan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan penelitiannya yang lain yang ditunjukkan oleh garis no. 19, yang menggunakan CuO dengan diameter 35 nm. Dari hasil penelitiannya yang ditunjukkan oleh garis no. 13, diperoleh hasil peningkatan sampai 40% fraksi volume yang sangat kecil (0.3%) untuk partikel Cu dengan penambahan thioglycolic acid yang kecil (<1%). Fluida dengan thioglycolic acid tanpa partikel nano tidak menunjukkan peningkatan konduktivitas termal, sedangkan nanofluida tanpa thioglycolic acid peningkatannya tidak sebesar dengan thioglycolic acid.
658
Eksperimen yang dilakukan oleh Hong and Choi, ditunjukkan oleh garis 20, menggunakan partikel nano dengan ukuran diameter 10 nm. Hasilnya peningkatan sebesar 18% untuk fraksi volume 0.55%. Hasil ini menunjukkan bahwa peningkatan konduktivitas termal tidak linier terhadap peningkatan fraksi volume. Hasil pengukuran yang tidak linier juga ditunjukkan oleh eksperimen yang dilakukan oleh Murshed pada nanofluida TiO2, untuk yang berbentuk bulat maupun yang silinder. Dalam eksperimen yang sama, murshed menunjukkan bahwa untuk nanofluida bentuk silinder peningkatannya lebih besar daripada yang bulat (garis 5 dan 6). Untuk Eksperimen yang dalam kisaran 1% sampai 5% fraksi volume, peningkatannya masih terus berlanjut. Peningkatan yang ekstrem ditunjukkan oleh Prasher sebesar 76% untuk fraksi volume 5%, untuk nanofluida CNT. Tidak banyak ekperimen yang dilakukan untuk fraksi volume dalam kisaran 5 sampai 10%. Hanya ada 4 eksperimen yang dilakukan di daerah tersebut, dengan maksimum peningkatan sebesar 75% untuk nanofluida CuO dalam air yang dilakukan oleh Xuan dengan fraksi volume 7.5%. Adanya kesulitan untuk menghasilkan larutan yang stabil tanpa pengendapan dan penggumpalan pada fraksi volume yang tinggi menyebabkan tidak banyak penelitian dilakukan dalam kisaran ini. Percobaan yang dilakukan oleh Ding juga menunjukkan hasil yang tidak linier pada temperatur kamar. Nanofluida yang digunakan dalam percobaan ini adalah CNT dengan gum arabic sebagai surfactant. Peningkatan yang paling kecil ditunjukkan oleh eksperimen yang dilakukan oleh Das, untuk nanofluida Al2 O3 dalam air. Dalam eksperimen ini digunakan partikel nano dengan ukuran 38.4 nm dengan cairan dasar air. Jika ditinjau dari ukuran partikel nano, grafik tersebut menunjukkan bahwa nanofluida dengan diameter partikel yang lebih kecil menunjukkan hasil yang lebih baik. Hal ini bisa secara jelas dilihat dari hasil eksperimen Eastman yang menggunakan partikel nano dengan diameter 18, Hong dengan Fe yang berdiameter 10 nm. Untuk nanofluida dengan ukuran partikel lebih besar seperrti alumina, cenderung menunjukkan hasil yang tidak begitu besar peningkatannya, seperti yang ditunjukkan oleh eksperimen dari Das, Li Peterson dan Eastman. Dari plotting tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada model yang benar-benar sesuai dengan hasil eksperimen. Dari grafik diatas dapat dikatakan juga bahwa konduktivitas termal meningkat sesuai dengan peningkatan dari
659
fraksi volume. Dilakukan perbandingan dikembangkan oleh Hamilton-Crosser.
dengan
model
yang
telah
Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa perbedaan yang terjadi dari beberapa eksperimen yang dilakukan untuk partikel nano yang sama, tetapi dengan fluida dasar dan teknik pembuatan yang berbeda. Hasil plotting dari berbagai pemodelan tidak menunjukkan kesesuaian kecuali model Pasher, yang berada di tengah-tengah dari beberapa sebaran data. Teori ini memperhitungkan pengaruh dari gerakan brownian . Hasil plotting persamaan Pasher ini menunjukkan adanya kecocokan berdasarkan gradient peningkatan konduktivitas termal yang terjadi terutama untuk CuO, hanya saja masih membingungkan karena harus mengubah konstanta m dan Rb untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan hasil eksperimen, dimana penentuan konstanta tersebut kurang jelas. Hamilton-Crosser tidak menunjukkan hasil yang bagus untuk nanofluida dengan CuO sebagai partikel nano, karena persamaan ini hanya memasukkan unsur dari konduktivitas termal partikel, fluida dasar dan konduktivitas thermal. Teori Hamilton-Crosser yang paling lama muncul dan memiliki beberapa kelemahan, salah satunya adalah tidak memperhitungkan efek dari diameter partikel, tidak seperti ketiga teori yang lain. Hal ini tidak sesuai dengan beberapa hasil eksperimen dan ide bahwa partikel yang lebih kecil membuat luas permukaan yang lebih besar, sehingga dapat dilihat bahwa hasil plottingnya paling rendah. Untuk lebih jelasnya peranan dari fraksi volum terhadap termal konduktivitas dapa dilihat dari grafik berikut:
Gambar 35.5 Pengaruh Fraksi Volume terhadap Konduktivitas Termal untuk Fluida Dasar water 660
Fraksi volume dalam grafik ini berkisar antara 0 sampai 5%, menunjukkan peningkatan maksimum sebesar hampir 1.6 pada fraksi volume partikel 5% untuk partikel nano CuO. Hanya nanofluida dengan bahan dasar air yang diplotkan pada grafik 35.4, untuk variasi konduktivitas termal partikel. Dari gambar diatas dapat diambil kesimpulan bahwa besarnya k partikel tidak sejalan dengan peningkatan konduktivitas termal efektif. Kalau dilihat dari k material partikel maka urutannya seharusnya menjadi: Tabel 35.1 Nilai konduktivitas dari berbagai partikel nano (T = 300 K) Material
Konduktivitas Termal (W/mK)
Copper Alumunium CuO Alumina (𝐴𝐴𝐴𝐴2 𝑂𝑂3 ) Water 𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇2 MWCNT Ethylene Glikol (EG) Engine Oil (EO)
401 237 76,5 40 0,613 11,7 3000 0,253 0,145
Tetapi berdasarkan gradien peningkatannya, urutan dari garis tersebut menunjukkan bahwa Fe memberikan peningkatan paling besar. Tetapi dapat dilihat juga bahwa peningkatan konduktivitas itu tidak linier terhadap peningkatan fraksi volume. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan konduktivitas thermal nanofluida tidak hanya tergantung pada sifat-sifat dari partikel nano saja, tetapi ada pengaruh –pengaruh lain diluar itu.
35.3.4 Model Pendekatan Konduktivitas Termal Nanofluida Pengertian konvensional dari konduktivitas thermal efektif dari campuran berasal dari formula continuum yang hanya melibatkan bentuk dan ukuran partikel, fraksi volum dan asumsi perpindahan kalor difusi baik dari fase solid ataupun solid. Metode ini berhasil memberikan perkiraan yang yang tepat tentang perilaku dari sistem fluida dengan partikel berukuran mikrometer atau lebih besar, tapi tidak berlaku untuk nanofluida. Keblinski et al (28) mengajukan 4 kemungkinan mekanisme yang terjadi dalam nanofluida yaitu; gerakan brownian dari partikel nano, molecular-level 661
layering dari liquid pada liquid/partikel interface, sifat perpindahan kalor dalam partikel nano, efek dari pengelompokan partikel nano. Mereka beranggapan efek dari gerakan Brownian dapat diabaikan. Xuan and Li (8) juga mengemukakan 4 alasan untuk memperbaiki konduktivitas thermal efektif; peningkatan luas permukaan karena mengapungnya partikel nano, peningkatan konduktivitas thermal dari fluida, interaksi dan tumbukan yang terjadi antara partikel, fluktuasi campuran dan turbulensi dari fluida, dan disperse dari partikel nano. Banyak penelitian yang menggunakan konsep liquid/solid interfacial layer untuk menerangkan peningkatan besar dalam konduktivitas thermal dari nanofluida, antara lain; Yu and Choi (29,30) mengemukakan sebuah model yang berdasarkan teori konvensional yang mempertimbangkan liquid molekular layer di sekitar partikel nano. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Xue et al. (36) meng menggunakan simulasi molecular dinamis yang menunjukkan bahwa liquid monoatomik sederhana tidak mempunyai efek pada karakteristik perpindahan kalor baik yang normal ataupun pararel terhadap permukaan. Hal ini menunjukkan bahwa perpindahan panas dalam liquid layer mungkin tidak cukup untuk menerangkan peningkatan konduktivitas thermal dari larutan dengan partikel nano. Wen dan Ding (31,32) mempelajari pengaruh pergerakan partikel pada karakteristik dari perpindahan kalor nanofluida yang mengalir pada minichannels (D=1mm) secara teori. Mereka mempelajari shear-induce dan pergerakan partikel dengan viscosity-gradient-induced dan self-diffusion karena gerakan Brownian. Hasilnya menunjukkan adanya ketidakseragaman yang signifikan dalam konsentrasi partikel dan konduktivitas thermal dari irisan penampang karena pergerakan partikel. Jika dibandingkan dengan distribusi seragam dari konduktivita thermal, distribusi tidak seragam yang disebabkan oleh pergerakan partikel menyebabkan tingginya bilangan Nusselt. Koo and Kleinstreuer (33) mempelajari efek dari gerakan Brownian, gerakan osmo-phoretic pada konduktivitas thermal efektif. Mereka mendapatkan peran dari grakan Brownian lebih penting dari gerakan thermophoretic dan gerakan osmo-phoretic. Interaksi partikel dapat diabaikan jika konsentrasi partikel rendah (<0.5%). Tetapi hasil penemuan ini belum divalidasi dengan eksperimen. 662
Evans et al. (34) mengemukakan bahwa gerakan Brownian memberikan kontribusi yang kecil dan bukan penyebab perpindahan panas ang tidak biasa dari nanofluida. Mereka juga memperkuat argumennnya deengan simulasi molecular dinamis dan teori efektif medium. Tetapi mereka membatasi permasalahan pada fluida diam. Disamping itu, Vadasz (35) menunjukkan bahwa proses konduksi panas transient dapat memberikan penjelasan yang valid untuk peningkatan perpindahan kalor yang terjadi. Jadi, belum ada mekanisme umum yang dapat menjelaskan kelakuan yang tidak biasa dari nanofluida yang menyebabkan tingginya konduktivitas thermal, meskipun banyak factor yang bisa jadi penyebabnya, diantaranya; gerakan Brownian, lapisan liquid-solid, ballistic phonon transport, dan keadaan surface charge. Masih ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi dalam konduksi panas, natural konveksi dari partikel, konveksi yang disebabkan oleh electrophoresis, thermophoresis,dan lain-lain. Keblinski et al. (28) meneliti tentang factor-faktor yang menyebabkan peningkatan konduktivitas thermal seperti ukuran, pengelompokan partikel, dan nano-layer antara partikel nano dan fluida dasar. Hamilton and Crosser mengajukan sebuah model untuk larutan terdiri atas liquid dan benda padat dengan partikel yang tidak bulat. Diperkenalkan faktor bentuk, n, untuk menghitung pengaruh dari bentuk dari partikel. Konduktivitas thermal, untuk material dengan perbandingan kp/kf > 100, dapat dinyatakan dengan;
(35.9)
𝐾𝐾𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 =
𝑘𝑘 𝑝𝑝 + (𝑛𝑛 −1 )𝑘𝑘 𝑏𝑏 −(𝑛𝑛−1 )(𝑘𝑘 𝑏𝑏 −𝑘𝑘 𝑝𝑝 )𝛷𝛷 𝑘𝑘 𝑝𝑝 + (𝑛𝑛 −1 )𝑘𝑘 𝑏𝑏 +(𝑘𝑘 𝑏𝑏 −𝑘𝑘 𝑝𝑝 )𝛷𝛷
𝐾𝐾𝑏𝑏
Dimana; Keff konduktivitas termal efektif nanofluida, subscript b mengacu pada fluida dasar, p mengacu pada partikel nano dan Ф adalah konsentrasi volum. n adalah factor bentuk yang dapat ditulis dengan n = 3/ψ, dan ψ adalah ratio dari luas permukaan terhadap volume partikel. Model ini hanya mengikutsertakan pengaruh yang ditimbulkan oleh fraksi volume dan bentuk dari partikel selain kf dan kp. Yu dan Choi (30) membuat sebuah model yang memodifikasi model klasik maxwell dengan memhitung pengaruh dari nano-layer. Nilai β = h/r,
663
adalah ratio dari ketebalan nano-layer terhadap jari-jari partikel yang sebenarnya, sehingga persamaan tersebut dapat ditulis kembali menjadi;
𝑘𝑘𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 =
𝑘𝑘 𝑝𝑝 +2𝑘𝑘 𝑏𝑏 +2�𝑘𝑘 𝑝𝑝 −𝑘𝑘 𝑏𝑏 �(1−𝛽𝛽 )3 𝛷𝛷 𝑘𝑘 𝑝𝑝 +2𝑘𝑘 𝑏𝑏 −�𝑘𝑘 𝑝𝑝 −𝑘𝑘 𝑏𝑏 �(1−𝛽𝛽 )3 𝛷𝛷
𝑘𝑘𝑏𝑏
(35.10)
Dari persamaan itu dapat disimpulkan bahwa penambahan dari partikel yang lebih kecil dari 10 nm lebih baik daripada meningkatkan fraksi volume dari partikel dalam meningkatkan konduktivitas thermalnya. Xie et al. (37) memasukkan pengaruh interfacial nano-layer dengan distribusi linier konduktivitas thermal untuk menghitung ketebalan nano-layer, ukuran nano partikel, fraksi volum dan konduktivitas thermal dari fluida, partikel nano, dan nano layer. Formulanya menjadi : 3𝛩𝛩2 𝛷𝛷 12
𝑘𝑘𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 = (1 + 3𝛩𝛩𝛷𝛷𝑇𝑇 + 1−𝛩𝛩𝛷𝛷 )𝑘𝑘𝑏𝑏 𝑇𝑇
(35.11)
Dimanasu bscript l mngacu pada liquid nanofluida, b pada fluida dasar dan p mengacu pada partikel nano. Pemodelan ini cocok untuk beberapa hasil eksperimen. Pasher (49) membuat sebuah pemodelan yang diturunkan dari persamaan Maxwell-Garnett dengan memasukkan pengaruh dari ukuran partikel nano, pengaruh dari interfacial resistance (rb), fraksi volume, dan lain2. Kesimpulannya adalah gerakan Brownian adalah penyebab utama terjadinya peningkatan yang sangat significant dari nanofluida. Dimana k adalah konduktivitas thermal, subscript f mengacu pada fluida dasar, Re adalah bilangan Reynolds, Pr adalah bilangan Prandtl, Ф menunjukkan konsentrasi volum dari partikel dan α menunjukkan difusitas thermal.
664
Gambar 35.6 Kenaikan Konduktivitas Termal sebagai fungsi Fraksi Volume Partikel Nano yang didispersikan (a) Cu-O: Water (b) Al2O3 : Water Tabel 35.2 Model Klasik Konduktivitas Termal Efektif dari Campuran
35.3 Perpindahan Kalor Konveksi pada Nanofluida Banyak penelitian yang telah membahas tentang termal konduktivitas pada nanofluida. Sedangkan untuk penelitian tentang perpindahan kalor konveksi masih sedikit yang membahasnya. Nandy (2003) membahas tentang konveksi bebas pada nanofluida didalam silinder horizontal pada salah satu ujungnya. Hasil yang didapat menunjukkan fluida ini berbeda karakter dari slurry pada umumnya. Dalam proses perpindahan kalor pendidihan, juga diteliti oleh Das (2003) yaitu proses pool boiling dalam nanofluida air-𝐴𝐴𝐴𝐴2 𝑂𝑂3 dan mengindikasikan bahwa nanopartikel mempengaruhi karakteristik proses 665
pendidihan fluida. Sementara Xuan dan Quang Li (2003) juga melakukan percobaan untuk menyelidiki perpindahan kalor konveksi dan karakteristik aliran dari nanofluida. Peningkatan koefisien perpindahan kalor konveksi nanofluida seiring dengan laju aliran dan fraksi volum nano partikel, sementara koefisien perpindahan kalornya lebih besar dari fluida dasarnya pada laju alir yang sama. Kemudian Louis Gosselin (2004), mengkombinasikan disipasi energy dan perpindahan kalor untuk mengoptimalkan aliran pada nanofluida. Penelitian dilakukan pada lapisan aliran turbulen dan laminar yang sasarannya adalah untuk memaksimalkan perpindahan kalor yang lepas dari sebuah plat panas dengan nanofluida. Nandy (2004) melakukan eksperimen perpindahan kalor konveksi paksa pada nanofluida dengan nano partikel 𝐴𝐴𝐴𝐴2 𝑂𝑂3 , pengukuran koefisien perpindahan kalor ini dengan menggunakan alat perpindahan kalor pipa ganda dalam susunan tipe aliran berlawanan. Hasil pengukuran menunjukkan peningkatan nilai koefisien konveksi untuk nanofluida konsentrasi 1% sebesar 6%-10% dan konsentrasi 4% sebesar 7%-17%. Hal ini juga pernah diprediksi oleh Nandy dan diperkuat dengan penelitian lanjutannya yang menunjukkan peningkatan koefisien perpindahan kalor sebesar 6%-8% pada konsentrasi 1%-4% dalam jangkauan temperature 40C-60C. Aliran suatu partikel padat dengan fluida biasa disebut dengan aliran partikulat (particulate flow). Nanopartikel sebagai partikel padat dalam nanofluida merupakan aliran partikulat sehingga akan mempengaruhi karakteristik aliran partikulat seperti: • Thermoporesis, suatu partikel padat yang tersuspensikan dalam fluida akan mengalami gaya yang arahnya berlawanan dengan gradient kenaikan temperature. Berikut adalah rumus gaya thermoporesis pada suatu partikel.
Dimana,
𝐹𝐹𝑇𝑇 = −𝐷𝐷𝑇𝑇 𝐷𝐷𝑇𝑇 =
1
𝛿𝛿𝛿𝛿
𝑚𝑚 𝑝𝑝 𝑇𝑇 𝛿𝛿𝛿𝛿
6𝜋𝜋𝜇𝜇 2 𝐶𝐶𝑠𝑠 (𝐾𝐾𝑟𝑟 +2.18𝐾𝐾𝑟𝑟 ) 𝜌𝜌 (1+3×1.14𝐾𝐾𝑟𝑟 )(1+2𝐾𝐾𝑟𝑟 +4.36𝐾𝐾𝑟𝑟
666
(35.11)
(35.12)
dimana: 𝐷𝐷𝑇𝑇 = koefisien difusi termoforik
𝐾𝐾𝑟𝑟 = rasio antara kondktivitas termal fluida dengan partikel 𝑚𝑚𝑝𝑝 = massa partike
𝐶𝐶𝑠𝑠 = 1.17
µ = viskositas fluida
• Shear Lift Force, gaya angkat partikel yang diakibatkan adanya gaya geser pada suspensinya.
𝐹𝐹 = 𝜌𝜌
1
2𝐾𝐾𝑣𝑣 2 𝜌𝜌𝑑𝑑 𝑖𝑖𝑖𝑖
𝑝𝑝 𝑑𝑑 𝑝𝑝 (𝑑𝑑 𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑑𝑑 𝑘𝑘𝑘𝑘 )
1/4
(𝑣𝑣 − 𝑣𝑣𝑝𝑝 )
(35.13)
Dimana K= 2.594 dan 𝑑𝑑𝑖𝑖𝑖𝑖 adalah deformation tensor
• Gerak Brownian sangat terkait erat dengan efek temperatur pada konduktivitas dan diyakini bahwa konveksi yang terjadi akibat gerak Brownian yang dialami nanopartikel adalah alsan utama mengapa konduktivitas termal nanofluida begitu meningkatnya. • Efek Soret dan Dufour, efek ini menjelaskan bahwa bila suatu campuran diberikan suatu gradien temperature, maka komponenkomponen dari campuran tersebut akan terpisah, mengasilkan gradient konsentrasi yang lajunya sebanding dengan gradient temperature.
35.4 Aplikasi Nanofluida: Pengangkatan Heavy Oil Minyak bumi dijuluki juga sebagai emas hitam, adalah cairan kental, coklat gelap, atau kehijauan yang mudah terbakar. Minyak bumi berada di lapisan atas dari beberapa area di kerak bumi dan banyak juga terdapat di dalam pori-pori batuan. Minyak bumi terdiri dari campuran kompleks dari berbagaihidrokarbon, sebagian besar seri alkana tetapi bervariasi dalam penampilan, komposisi dan kemurniannya. Pendeteksian keberadaan masingmasingnya dengan menentukan sifat resistan pada fluida. Heavy oil atau sering disebut dengan minyak berat merupakan minyak bumi yang memiliki sumber energy yang banyak tersimpan didalam pori-pori 667
batuan sebagai reservoir yang ukurannya dalam orde mikro. Heavy oil memiliki derajat kekentalan yang tinggi, lebih kurang 100 kali lebih kental daripada water/air.
Gambar 35.7 Keberadaan heavy oil di dalam pori batuan. Pasir (abu-abu), air (biru) dan heavy oil (hitam) Untuk menentukan batuan yang mengandung minyak mentah dapat ditentukan dari berat jenisnya. Data ini diambil dengan menggunakan alat logging dengan bantuan bahan radioaktif yang memancarkan sinar gamma. Pantulan dari sinar ini akan menggambarkan berat jenis batuan. Dapat kita bandingkan bila pori batuan berisi air dengan batuan berisi hidrokarbon akan mempunyai berat jenis yang berbeda.
(a)
(b)
Gambar 35.8 (a) Struktur molekul heavy oil (b) Perbandingan nilai viskositas heavy oil dengan fluida lainnya Untuk dapat mengangkat heavy oil dari pori-pori batuan membutuhkan tekanan yang sangat tinggi. Ibarat kita menyedot suatu cairan yang sangat
668
kental. Maka kita butuh tenaga yang besar untuk dapat mengangkatnya dari tempatnya, karena viskositas/ kekentalannya yang tinggi. Jumlah heavy oil yang tersimpan di dalam pori batuan sangat banyak sekali di Indonesia, hanya saja sampai saat ini belum ada metoda yang efektif untuk dapat melakukakan pengangkatan ini. Kemudian akhir-akhir ini para ahli mencoba untuk menerapkan prinsip nanofluida dalam menyelesaikan masalah ini. Salah satu alternative cara yang digunakan untuk pengangkatan heavy oil ini adalah dengan menggunakan gelombang elektromagnetik.
Gambar 35.9 Penurunan viskositas heavy oil dengan penembakkan gel EM Agar heavy oil dapat kita alirkan dari reservoirnya, maka yang harus dilakukan adalah menurunkan derajat kekentalan dari heavy oil tersebut. Sebelumya orang menginjeksi panas sekitar (2000-3000) C untuk menurunkan derajat kekentalan. Namun hal ini tidak efisien karena adanya panas yang terbuang sebelum sampai ke reservoir. Oleh karenanya digunakan partikel nano sebagai penghasil panas yang diperoleh dari gelombang elektromagnetik. Pertama-tama partikel nano diinjeksikan kedalam reservoir heavy oil secara merata. Kemudian dari luar, ditembakkan gelombang elektromagnetik yang membawa energy untuk dapat memvibrasi partikel-partikel nano yang terlarut. Akibat gerakan partikel tersebut, membuat daerah disekitar partikel panas sehingga koefisien viskositas heavy oil menuru. Dalam kondisi seperti ini memungkinkan terjadinya aliran heavy oil keluar dari reservoirnya. Karena peningkatan suhu, akan menurunkan derajat kekentalan fluida yang memenuhi persamaan:
𝜂𝜂 = 𝜂𝜂0 𝑒𝑒
𝐸𝐸0� 𝑘𝑘𝑘𝑘
(35.14)
Selain itu, rantai karbon yang cukup panjang juga menjadi penyebab tingginya derajat kekentalan dari heavy oil. Karena partikel mendapat cukup energi dari gelombang EM, maka gerak Brownian dari partikel akan semakin 669
cepat dan partikel memiliki energi yang tinggi. Sehingga ini memungkinkan terjadinya pemutusan rantai karbon pada heavy oil dan berimplikasi pada penurunan derajat kekentalannya.
670
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Mikrajudin. 2009. Pengantar Nanosains. Bandung: ITB. Clement Kleinstreuer dan Yu Feng. 2011. Experimental and theoretical studies of nanofluid thermal conductivity enhancement. Kleinstreuer and Feng Nanoscale Research Letters. Kiyuel Kwak and Chongyoup Kim. 2005. Viscosity and thermal conductivity of copper oxide nanofluid dispersed in ethylene glycol. Vol 17, No 2. KoreaAustralia Rheology Journal. Murshed, S.H. 2008. Temperature Dependence of Interfacial Properties and Viscosity of Nanofluids. Journal of Physics, Vol. 41, no. 8. Sanjaya, Edvan Gana. 2008. Pengujian Perpindahan Kalor Nanofluida. Universitas Indonesia. William Evans, Jacob Fish dan Pawel Keblinskia. 2006. Role of Brownian motion hydrodynamics on nanofluid thermal conductivity. American Institute of Physics. Wong, Kaufui V dan Omar de Leon. 2009. Application of Nanofluids: Current and Future. Article ID: 519659. Hindawi Publishing Corporation.
671
BAB 36 Quantum Dots Oleh: Siti Ala’a
36.1 PENDAHULUAN Berawal dari tahun 1970, para ilmuan berhasil untuk pertama kalinya membuat kuantum well. Kuantum well merupakan lapisan tipis semikonduktor (ketebalan sekitar 10nm) yang diapit oleh dua lapisan isolator pada arah sumbu z, sehingga elektron hanya bisa bergerak dalam dua arah (arah x dan y). Kemudian pada tahun 1980-an para ilmuan berhasil membuat kuantum dot (disingkat QD) yang dapat mngurung pasangan elektron-hole (eksiton) dalam ukuran yang sangat kecil, sekitar 2-20nm. Pasangan elektron-hole terbentuk ketika semikonduktor menyerap foton dan membuat elektron dari pita valensi berpindah menuju pita konduksi. Suatu partikel dikatakan termasuk dalam kategori QD jika memiliki diameter yang berada pada orde jari-jari bohr, yang didefinisikan dengan 4𝜋𝜋𝜖𝜖0 ђ2 𝑎𝑎0 = 𝑚𝑚𝑒𝑒 𝑒𝑒 2 dimana 𝑎𝑎0 merupakan jari-jari bohr, 𝜖𝜖0 merupakan permitivitas vakum yang nilainya 8.85419 x 10-12C2/Jm, 𝑚𝑚𝑒𝑒 merupakan massa elektron dan 𝑒𝑒 merupakan muatan elektron. Jika kita hitung kita dapatkan jari-jari bohr 𝑎𝑎0 = 0.52 Å. Nilai jari-jari molekul berbeda untuk molekul yang berbeda, misalnya aCuCl= 7 Å, aGaAs = 100 Å dan aCdSe = 56 Å. Pada gambar 1 teramati perbandingan geometri dan fungsi keadaan antara bulk (gambar 1.a), kuantum well (gambar 1.b), kuantum wire (gambar 1.c) dan QD (gambar 1.d). Bulk memiliki rapat keadaan yang kontinu karena elektron bebas bergerak dalam segala arah tanpa adanya efek pengurungan. Efek pengurungan adalah efek dimana elektron berada pada suatu kondisi dimana elektron tidak bisa bergerak bebas karena daerah disekitarnya memiliki energi yangbesar sekali sehingga elektron tidak bisa berpindah ke daerah tersebut. Sedangkan untuk kuantum well elektron terperangkap dalam dua dimensi dan untuk kuantum wire elektron hanya dapat bergerak dalam 1 671
dimensi. Pada QD elektron dibatasai pada segala arah sehingga QD memiliki fungsi keadaan yang diskrit disebabkan karena efek pengurungan elektron-hole pada ruang yang sangat kecil.
Gambar 36.1. Geometri bulk (a), kuantum well (b), kuantum wire (c), dan QD (d), serta grafik fungsi keadaan dari keempat geometri tersebut. Penelitian mengenai QD ini penting sekali karena dari efek pengurungan elektron-hole muncul sifat fisik yang menarik dan dapat diaplikasikan dalam berbagai device. Efek pengurungan berkaitan dengan hukum ketidakpastian Heisenberg. Dalam hukum ketidakpastian Heisenberg kita ketahui bahwa jika kita semakin mengetahui posisi suatu benda kuantum maka semakin sulit kita menghitung momentum benda tersebut. Karena terjadi efek pengurungan maka posisi benda jadi lebih mudah dipastikan sehingga momentum partikel menjadi semakin tidak pasti. Sedangkan momentum kuadrat sebanding dengan energi. Akibat dari efek pengurungan ini sifat optik seperti misalnya florescence dari QDs mudah berubah tergantung dari ukuran diameternya. Inilah yang menyebabkan QD menjadi penting untuk dipelajari. Meskipun material organik dan nonorganik lainnya menunjukkan fenomena yang sama tetapi QD menghasilkan florescence yang lebih bagus dan mendekati ideal. Hal ini teramati dari cahaya yang dihasilkan, non-photobleaching yang sempit, spektrum emisi yang simetri, dan memiliki banyak warna yang dapat diemisikan menggunakan panjang gelombang eksitasi tunggal.
672
Gambar 36.2. Fotograph dari fotoluminesense dari beberapa larutan QD yang berbeda (sumber : Annikeva 2009)
36.2Fungsi gelombang dan energi gap Spektroskopi QD dapat dijelaskan dengan model partikel dalam bola. Kita tinjau partikel dengan masa 𝑚𝑚0 berada dalam sumur potensial bola dengan radius a 0 𝑟𝑟 < 𝑎𝑎 𝑉𝑉 (𝑟𝑟) = � (13.1) ∞ 𝑟𝑟 > 𝑎𝑎 Persamaan scrodinger tidak bergantung waktunya untuk potensial bola adalah
ђ2 1 𝜕𝜕 2 𝜕𝜕𝜕𝜕 1 𝜕𝜕𝜕𝜕 1 𝜕𝜕 𝜕𝜕 2 − � �𝑟𝑟 �+ 2 �𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 � + 2 2 � + 𝑉𝑉𝑉𝑉 = 𝐸𝐸𝐸𝐸 𝑟𝑟 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝜕𝜕𝜕𝜕 𝜕𝜕𝜕𝜕 𝑟𝑟 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝜃𝜃 𝜕𝜕𝜙𝜙2 𝜕𝜕𝜕𝜕 2𝑚𝑚 𝑟𝑟 2 𝜕𝜕𝜕𝜕
dan dengan menggunakan metode separasi variabel kita dapatkan solusinya
𝐽𝐽𝑙𝑙 �𝑘𝑘𝑛𝑛,𝑙𝑙 𝑟𝑟�𝑌𝑌𝑙𝑙𝑚𝑚 (𝜃𝜃, 𝜙𝜙) (13.2) 𝜓𝜓 = 𝐶𝐶 𝑟𝑟 dengan 𝐶𝐶 merupakan konstanta normalisasi, 𝑌𝑌𝑙𝑙𝑚𝑚 (𝜃𝜃, 𝜙𝜙) spherical harmonik dan 𝐽𝐽𝑙𝑙 �𝑘𝑘𝑛𝑛,𝑙𝑙 𝑟𝑟� orde ke-l fungsi bessel spherical, dan 𝛼𝛼𝑛𝑛,𝑙𝑙 𝑘𝑘𝑛𝑛,𝑙𝑙 = 𝑎𝑎 Dengan 𝛼𝛼𝑛𝑛,𝑙𝑙 orde n ke nol dari 𝐽𝐽𝑙𝑙 . Sedangkan energi dari partikel diberikan oleh 𝐸𝐸𝑛𝑛,𝑙𝑙
2 2 ђ2 𝑘𝑘𝑛𝑛,𝑙𝑙 ђ2 𝛼𝛼𝑛𝑛,𝑙𝑙 = = 2𝑚𝑚0 2𝑚𝑚0 𝑎𝑎2
(13.3)
Fungsi gelombang pada persamaan (2) serupa dengan fungsi gelombang atom sehingga dapat kita labelkan 𝑛𝑛(1,2,3, … ), 𝑙𝑙(𝑠𝑠, 𝑝𝑝, 𝑑𝑑, … . ) dan 𝑚𝑚. Menurut teorema Bloch, fungsi gelombang bulk ditulis sebagai 𝛹𝛹𝑛𝑛𝑛𝑛 (𝑟𝑟⃗) = 𝑈𝑈𝑛𝑛𝑛𝑛 (𝑟𝑟⃗ ) exp�𝑖𝑖𝑘𝑘�⃗ . 𝑟𝑟⃗� 673
(13.4)
dimana 𝑈𝑈𝑛𝑛𝑛𝑛 merupakan fungsi periodik dari kisi kristal, 𝑛𝑛 merupakan band indeks, dan 𝑘𝑘 merupakan vektor gelombang. Teorema Bloch digunakan untuk sistem kisi yang bersifat periodik sehingga pada teorema bloch kita cukup menghitung fungsi perioik pertama saja. Pada perhitungan ini Kita menggunakan aproksimasi massa efektif sehingga pita energi dianggap memiliki bentuk parabolik sederhana. Massa efektif teramati pada sistem kuantum karena saat partikel kuantum bergerak kita tidak dapat menggunakan massa diamnya yang klasik. Dengan persaman massa efektif adalah 𝑚𝑚𝑒𝑒𝑒𝑒 = ђ2
1
𝑑𝑑 2 𝐸𝐸
�𝑑𝑑𝑘𝑘 2
𝑚𝑚𝑒𝑒𝑒𝑒 merupakan massa efektif elektron yang untuk CdSe jika dihitung nilainya adalah 𝑚𝑚𝑒𝑒𝑒𝑒 = 0.067𝑚𝑚𝑒𝑒 dimana 𝑚𝑚𝑒𝑒 merupakan massa elektron bebas. Untuk
CdTe, dengan energi band gap 1.51 eV, massa elektron efektifnya adalah 0.096𝑚𝑚𝑒𝑒 . Pada aproksimasi massa efektif, energi pita konduksi dan
energi pita valensi diberikan oleh
ђ2 𝑘𝑘 2 = 𝑐𝑐 + 𝐸𝐸𝑔𝑔 2𝑚𝑚𝑒𝑒𝑒𝑒 ђ2 𝑘𝑘 2 𝑣𝑣 𝐸𝐸𝑘𝑘 = − 𝑣𝑣 2𝑚𝑚𝑒𝑒𝑒𝑒 𝐸𝐸𝑘𝑘𝑐𝑐
(13.5)
(13.6)
dan 𝐸𝐸𝑔𝑔 merupakan bandgap semikonduktor . 𝐸𝐸𝑘𝑘𝑐𝑐 merupakan energi pita konduksi dan 𝐸𝐸𝑘𝑘𝑣𝑣 merupakan energi pita valensi. Aproksimasi massa efektif ini valid jika diameter dot jauh lebih besar dari konstansta kisi material. Dengan memasukkan syarat batas partikel tunggal (sp) fungsi gelombang dapat dituliskan dalam 𝛹𝛹𝑠𝑠𝑠𝑠 (𝑟𝑟⃗) = � 𝐶𝐶𝑛𝑛𝑛𝑛 𝑈𝑈𝑛𝑛𝑛𝑛 (𝑟𝑟⃗ )exp( 𝑖𝑖𝑘𝑘�⃗ . 𝑟𝑟⃗) 𝑘𝑘
(13.7)
dengan 𝐶𝐶𝑛𝑛𝑛𝑛 merupakan koefisien ekspansi. Jika kita asumsikan 𝑈𝑈𝑛𝑛𝑛𝑛 memiliki ketergantungan yang lemah terhadap 𝑘𝑘 maka ( 𝑖𝑖𝑘𝑘�⃗ . 𝑟𝑟⃗) = 𝑈𝑈𝑛𝑛𝑛𝑛 (𝑟𝑟⃗)𝑓𝑓𝑠𝑠𝑠𝑠 (𝑟𝑟⃗) 𝛹𝛹𝑠𝑠𝑠𝑠 (𝑟𝑟⃗) = 𝑈𝑈𝑛𝑛𝑛𝑛 (𝑟𝑟⃗) � 𝐶𝐶𝑛𝑛𝑛𝑛 exp 𝑘𝑘
(13.8)
Pendekatan ini belum 𝑓𝑓𝑠𝑠𝑠𝑠 (𝑟𝑟⃗): fungsi pembungkus partikel tunggal. memasukkan interaksi coulomb. Pada bulk material, interaksi coulomb menyebabkan keadaan hydrogenic-like atau eksiton.
674
Selanjutnya kita melakukan aproksimasi pengurungan kuat. 1 Sebagaimana kita ketahui energi pengurungan sebanding dengan 2 , sementara 𝑎𝑎
1
, maka pada ukuran yang kecil efek interaksi coulomb sebanding dengan 𝑎𝑎 pengurungan lebih dominan. Kondisi ini terpenuhi ketika ukuran QD lebih kecil dari ukuran eksiton bulk. Pada ukuran ini, elektron dan hole independent dan dapat digambarkan sebagai partikel dalam bola. Sehingga pada bagian interaksi coulomb ditambahkan energi koreksi 𝐸𝐸𝑐𝑐 . Maka fungsi gelombang pasangan elektron-hole menjadi 𝛹𝛹𝑒𝑒ℎ𝑝𝑝 (𝑟𝑟⃗𝑒𝑒 , 𝑟𝑟⃗ℎ ) = 𝛹𝛹𝑒𝑒 (𝑟𝑟⃗𝑒𝑒 , ) 𝛹𝛹ℎ ( 𝑟𝑟⃗ℎ ) = 𝑈𝑈𝑐𝑐 𝑓𝑓𝑒𝑒 (𝑟𝑟⃗𝑒𝑒 )𝑈𝑈𝑣𝑣 𝑓𝑓ℎ (𝑟𝑟⃗ℎ ) 𝑚𝑚 𝑚𝑚 𝑈𝑈𝑐𝑐 𝐽𝐽𝐿𝐿𝑒𝑒 �𝑘𝑘𝑛𝑛 𝑒𝑒 ,𝐿𝐿𝑒𝑒 𝑟𝑟𝑒𝑒 �𝑌𝑌𝐿𝐿𝑒𝑒 𝑒𝑒 𝑈𝑈𝑣𝑣 𝐽𝐽𝐿𝐿ℎ �𝑘𝑘𝑛𝑛 ℎ ,𝐿𝐿ℎ 𝑟𝑟ℎ �𝑌𝑌𝐿𝐿ℎ ℎ = 𝐶𝐶 � �� � 𝑟𝑟𝑒𝑒 𝑟𝑟ℎ
dan tingkat energinya
ђ2 𝜑𝜑𝑛𝑛2 ℎ ,𝐿𝐿ℎ 𝜑𝜑𝑛𝑛2 𝑒𝑒 ,𝐿𝐿𝑒𝑒 𝐸𝐸𝑒𝑒ℎ𝑝𝑝 (𝑛𝑛ℎ 𝐿𝐿ℎ 𝑛𝑛𝑒𝑒 𝐿𝐿𝑒𝑒 ) = 𝐸𝐸𝑔𝑔 + 2 � 𝑣𝑣 + 𝑐𝑐 � − 𝐸𝐸𝑐𝑐 2𝑎𝑎 𝑚𝑚𝑒𝑒𝑒𝑒 𝑚𝑚𝑒𝑒𝑒𝑒
Bentuk pertama koreksi coulomb adalah lengkap energi band gap untuk QD 𝐸𝐸𝑔𝑔 (𝑞𝑞𝑞𝑞 ) = 𝐸𝐸𝑔𝑔 (𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 ) +
1.8𝑒𝑒 2
4𝜋𝜋𝜖𝜖 0 𝜖𝜖𝜖𝜖
sehingga dapat ditulis formula
ℎ2 1 1 1.8𝑒𝑒 2 � + � − 𝑣𝑣 𝑐𝑐 𝑚𝑚𝑒𝑒𝑒𝑒 8𝑎𝑎2 𝑚𝑚𝑒𝑒𝑒𝑒 4𝜋𝜋𝜖𝜖0 𝜖𝜖𝜖𝜖
(13.9)
𝑣𝑣 𝑐𝑐 merupakan massa efektif elektron dan 𝑚𝑚𝑒𝑒𝑒𝑒 merupakan massa hole dengan 𝑚𝑚𝑒𝑒𝑒𝑒 efektif. Untuk CdTe massa hole efektifnya sebesar 0.84𝑚𝑚𝑒𝑒 .
Pada Tabel 1. ditampilkan perbandingan energi band gap dari beberapa material QD. Tabel 36.1. Perbandingan band gap untuk bulk dan QD
Material
CdSe PbSe PbS
Energi Bandgap Energi Bulk (eV) pemerangkapan kuantum (eV) 1.74 0.29 0.28 0.66 0.41 0.48
Bandgap efektif dari QD berdiameter 5 nm (eV) 2.03 0.94 0.89
Persamaan (9) cukup sesuai dengan hasil eksperimen jika ukuran partikel lebih besar dari 3 nm, tetapi persamaan ini tidak sesuai untuk partikel 675
dengan ukuran kurang dari 3 nm. Hal ini disebabkan karena massa efektif elektron dan hole tidak cocok digunakan jika ukuran partikel sangat kecil dimana partikel hanya mengandung ratusan atom. Untuk material yang sangat besar (bulk), dapat diambil pendekatan R→ ∞ sehingga suku kedua nol, atau tidak ada efeknya pada jarak antar pita valensi dan pita konduksi. Jika ukuran partikel sangat besar (bulk) maka elektron dan hole dapat berpisah sangat jauh sehingga tarikan antar keduanya dapat dianggap nol. Akibatnya tidak ada pengurangan energi yang dimiliki elektron setelah meloncat ke pita valensi.
36.3Sintesis QD Ada beberapa metode untuk mengurung eksiton dalam semikonduktor atau membangun struktur nol dimensi QD. Pada bagian ini akan dibahas tiga metode yang umum digunakan untuk membentuk QD. Dari metode umum tersebut kemudian dapat diturunkan metode-metode lain yang disesuaikan dengan aplikasi.
36.3.1 Lithography Litography bisa juga disebut dengan metode pencetakan. Pada metode ini pertama-tama Kuantum well diselubungi oleh lapisan polimer, kemudian dikenai sinar ion atau elektron. Permukaan yang terpapar ion dan elektron kemudian menjadi hilang. Permukaan tersebut kemudian dilapisi metal yang tipis. Larutan kimia digunakan untuk membersihkan polimer dan lapisan logam untuk mendapatkan permukaan yang bersih. Hanya bagian yang terekspose yang tetap ada bagian logamnya. Keuntungan dari metode ini adalah kita dapat menghasilkan multi layer devise dan dari metode ini kita bisa mengatur ukuran yang kita inginkan. Skema lebih jelas mengenai metode ini dapat dilihat pada Gambar 3. Kekurangan dari metode ini adalah lambat, tidak murni, kerapatan rendah dan terdapat formasi yang rusak.
676
Gambar 36.3. Sintesis QD dengan menggunakan metode lithography. (Sumber gambar: Harenza)
36.3.2
Sintesis Koloid Pada metode ini, kristal nano dalam bentuk koloid disintesis dari campuran prekursor yang terlarut dalam larutan, mirip dengan proses kimia biasa. Sintetis QD fase koloid didasarkan pada tiga sistem komponen pembentuk: prekursor, surfaktan organik dan bahan terlarut. Ketika terjadi pemanasan medium hingga temperatur yang cukup tinggi, prekursor secara kimiawi berubah menjadi monomer. Ketika monomer melebihi level supersaturasi, nanokristal memulai proses nukleasi. Suhu selama proses penumbuhan merupakan faktor yang penting untuk menentukan nilai optimal dari proses penumbuhan kristal nano. Suhu ini harus cukup tinggi untuk memungkinkan pengaturan, memulai reaksi, dan annealing atom selama proses. Suhu juga tidak boleh terlalu rendah agar proses penumbuhan kristal dapat berlangsung. Faktor lain yang penting adalah konsentrasi monomer. Konsentrasi monomer berkaitan dengan laju reaksi kimia dimana sebagaimana kita ketahui laju reaksi sebanding dengan laju reaksi. Semakin cepat laju reaksi maka semakin cepat struktur nano terbentuk. Jika kita mereaksikan senyawa A dan B, maka laju reaksinya ditentukan oleh persamaan 𝑣𝑣 = 𝑘𝑘 [𝐴𝐴][𝐵𝐵] 677
Dimana [𝐴𝐴] merupakan konsentrasi senyawa A, [𝐵𝐵 ] merupakan konsentrasi senyawa B dan 𝑘𝑘 merupakan tetapan laju reaksi.
Gambar 36.4. Skema peralatan sintesis QD dengan metode kolloidal. Labu reaksi yang mengandung larutan prekursor dipanaskan sembari larutan diaduk terus. Selama pemanasan terdapat tambahan molekul yang ditambahkan dalam reaksi. Fase pelarut yang digunakan untuk metode ini: Metal : Au, Ag, Pd, Pt, Co, Ni, Fe, Cu Semikonduktor : (IV) Si, Ge. (III-V) ME (M=Bi, Cu, Cd, Sn, Zn, Pb; E=S, Se, Te) Oksida : ZnO, CuO, TiO2, ZrO2, Fe2O3, Fe3O4, La2O3, MnFe2O4, CoFe2O4. Pada Proses penumbuhan kristal nano dengan metode ini, terdapat dua proses utama yakni focusing dan defocusing. Pada konsentrasi monomer yang tinggi, ukuran kritis (ukuran dimana kristal nano akan tumbuh atau menyusut) yang relatif kecil, dihasilkan pada penumbuhan semua partikel. Pada kasus ini partikel kecil tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan yang besar (karena kristal yang besar memiliki atom yan lebih banyak akan ditumbuhkan dibandingkan dengan kristal yang kecil) sehingga menghasilkan focusing distribusi ukuran untuk mendapatkan partikel monodisperse. Ukuran focusing optimal ketika konsentrasi monomer dijaga seperti misalnya rata-rata ukuran kristal nano selalu lebih besar dari ukuran kritis. Ketika konsentrasi monomer berkurang selama penumbuhan, ukuran kritis menjadi lebih besar daripada ukuran rata-rata dan terjadi distribusi defocuses disebabkan oleh Ostwald ripening.
678
Gambar 36.5. Grafik konsentrasi prekursor terhadap waktu pada proses penumbuhan QD menggunakan metode sintesis koloid. Kelebihan dari metode ini adalah ukuran dapat dikontrol, monodisperse, bentuk dapat diatur. Selain itu campuran, doping dan heterostruktur dapat diatur. Kenan dkk. telah melakukan eksperimen menghasilkan koloid QD QdS dalam bentuk powder dan thin film. Nanopartikel CdS dihasilkan dari reaksi cadmium acetate (Cd(CH3COO)2.2H2O) dengan thioacetamide ((CH3CSN2) pada rasio molar satu. Rasio molar cadmium acetate /methanol dan thioacetamide/metanol sama dengan 0.02. 3-Mercaptopropyltrimethoxysilane (MPS) dicampur dengan cadmium acetate pada perbadingan rasio MPS/Cd=0.3. Rasio ini dipilih setelah menganalisa spektrum absorbsi dari CdS ukuran nano pada beberapa rasio (0.1M, 0.2M, 0.5M). Kemudian larutan pada kedua gelas baker dicampur dan diaduk selama 10 menit pada suhu 60OC dengan nitrogen sebagai medium. Bentukan sol MPS menyelubungi CdS yang terbentuk awalnya tidak berwarna kemudian menjadi lama kelamaan berubah menjadi berwarna kuning. Bentukan sol MPS menyelubungi CdS dibiarkan selama 2 minggu dalam ruangan dengan tekanan atmosfer agar menjadi bentukan gel kemudain diurai untuk menghasilkan partikel nano dalam bentuk powder.
679
Di sisi lain. MPS tertutup sol dicoating pada substrat gelas dengan metode spin coating pada laju putar 2000 rotasi/menit selama 10 detik. Substrat kemudian dikeringkan pada suhu 60OC selama 10 menit untuk setiap coating. Film kering diberi panas pada suhu 300OC dan 350OC selama 15 menit. Perlakuan yang lain diberikan pada suhu 550OC selama 18 jam. Tabel 36.2. Perhitungan jari-jari dan energi band gap QD oleh Kenan dkk. Suhu pemanasan0C 60 300 350 550
Waktu pemanasan 10 menit 15 menit 15 menit 18 jam
Energi band gap Diamete (eV) r (nm) 3.22 2.92 2.92 3.58 2.7 4.42 2.54 5.86
Metode lain dilakukan oleh Wong dan Stucky dengan menggunakan garam cadmium (klorida, iodida atau asetat) dan 2 molar oksida trioctylphosphine (“TOPO,” 90%, Aldrich) ditempatkan dalam labu dan dikeringkan pada suhu 140 °C dengan tekanan ~3×10-2 Torr selama 0.5 jam. Larutan trioctylphosphine selenide 0.4 M (“TOPSe”) dibuat dengan melarutkan bubuk Se (99.95%, Cerac) dalam trioctylphosphine (“TOP,” 90%, Aldrich) dibawah aliran Ar. Dari tambahan larutan inin prekursor Cd and Se dikombinasikan dibawah aliran Ar pada perbandingan molar Cd/Se 1.4. Pada sintesis QD yang biasa , 5.5 g TOPO kemudian dinaikkan suhunya menjadi 250-350 °C. Ketika mencapai suhu yang diinginkan 1 ml larutan Cd/TOPO/TOPSe diinjeksikan (<0.25 sec) kedalam larutan TOPO yang diaduk. Larutan kemudian menjadi berwarna dengan penurunan suhu 15 °C. Alikuot dikeluarkan sebagai fungsi dari waktu dan kelebihan TOPO dibersihkan dengan cara flokulating QD CdSe dengan metanol dan mendapatkannnya kembali dengan alat sentrifugal.
36.3.3
Epitaxy Metode ini dilakukan pada kondisi vakum (10-8 Pa). Ciri utama dari metode ini adalah laju deposisi yang rendah (kurang dari 1000 nm/jam) sehingga memungkinkan partikel nano tumbuh secara epitaksial. Epitaksial berkaitan dengan deposisi kristal diatas lapisan substrat kristal. Bietti dkk. telah melakukan penumbuhan QD GaAs/AlGaAs dengan metode epitaxy droplet (ED). Pertama sinar Ga dikenai pada permukaan silikon (001) yang tidak mengandung arsenik, untuk mendapatkan droplet gallium. Kemudian fluks As diberikan untuk mengkristalisasi droplet agar 680
menjadi kristal nano GaAs. Teknik ini efektif untuk menghasilkan struktur kuantum nano dengan density, dimensi, dan bentuk yang berbeda. Tenik ini dapat juga dilakuaan pada suhu penumbuhan yang rendah, di bawah 5300C dan didapatkan panjang gelombang domain antara 630 dan 820 nm yang tidak dapat diperoleh dengan metode penumbuhan QD lainnya. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Wojak dkk menghasilkan QD GaAs yang ditumbuhkan diatas permukaan AlGaAs. Penumbuhan dibatasi oleh pelapisan SiO 2 dan lapisan tersebut di etching menjadi bentuk piramid, seperti yang tampak pada Gambar 13.6. kekurangan dari metode ini adalah density QD dibatasi oleh pola lapisan pemabatas.
Gambar 36.6. Penumbuhan QD dengan metode Epitaxy (sumber gambar: Wojak dkk, 1996)
36.4 Karakteristik QD QD merupakan semikonduktor berukuran nano berbentuk bola, terdiri dari inti, kulit dan lapisan pembungkus. Inti tersusun dari ratusan atom semikonduktor (misalnya CdS, CdSe, CdTe, ZnS, PbS), tetapi bisa juga dari metal dan logam. Inti kuantum yang umum digunakan adalah Cadmium yang dicampur dengan Selenium (CdSe) atau tellurium (CdTe) dengan diameter 210nm (10-50 atom). Pada umumnya inti dari QD dibungkus dengan lapisan 681
semikonduktor (misalnya ZnS) untuk meningkatkan sifat optik dan fisika, serta menstabilkan inti. QD sebagai ‘artificial atom’ memiliki sifat optik dan fisis yang berbeda dengan partikel nano lainnya. Sifatnya yang khas inilah yang membuat QD berbeda dan menjanjikan banyak aplikasi. Untuk dapat digunakan sebagai devais atau diaplikasikan, terlebih dahulu kita haruslah mengetahui karakteristik dan fenomena-fenomena yang teramati dari QD .
36.4.1
Sifat Optik QD Fluorescence pada kristal nano semikonduktor QD disebabkan oleh radiatif rekombinan dari pasangan eksitasi elektron-hole. Hasil spektrum emisinya terutama pada pita lorentzian yang sempit 30-40 nm, full width at the half maximum value (FWHM) sedikit pergeseran stokes berkaitan dengan pinggir pita. Spektrum absorbsinya pada sisi yang lain sangat lebar dan mengandung efek pemerangkapan kuantum. Baik eksitasi maupun emisi berkaitan dengan ukuran kristal nano. Spektrum mengalami pergeseran biru ketika ukuran diperkecil, berkaitan dnegan bertambahnya energi ikat eksiton. Tergantung pada materialnya, spektrumnya dapat diatur dari UV-biru (ZnS, ZnSe) ke dekat inframerah (CdS/HgS/CdS) dan cahaya tampak (CdS, CdSe, CdTe). Spektrum absorbsi pada QD ditampilkan pada Gambar 13.7. perubahan sifat optik ini merupakan fungsi dari ukuran inti CdSe. Dari kiri kekanan menunjukkan spektrum absorbsi untuk biru, hijau, kuning, jingga, merah dan cokelat. Sedangkan pada gambar 13.8. ditunjukkan grafik intensitas emisi QD CdSe dari kiri ke kanan biru, hijau, kuning, orange dan merah. Intensitas emisi berbeda tergantung dari ukuran partikel disebabkan karena efek pengurungan. Material awal pembentuk QD menentukan sifat dasar energinya, ukuran QD mempengaruhi band gapnya. Oleh karenanya material yang sama nanum berbeda ukuran dapat mengemisikan warna yang berbeda. Semaik besar QD, semakin rendah energinya. Sebaliknya semakin kecil QD maka akan semakin besar mengemisikan energi (warna biru). Pewarnaan dapat kita kaitkan dengan energi level dari QD. Band gap yang menentukan energi (warna) berbanding terbalik dengan ukuran QD. QD besar lebih banyak memiliki energi level dimana menyebabkan ruang semakin sempit. Sehingga QD lebih mudah menyerap foton dengan energi rendah yang identik dengan spektrum merah.
682
Gambar 36.7. Spektrum aborbsi (au) QD CdSe terhadap panjang gelombang (dalam satuan nm) Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa lifetime dari fluorescence ditentukan oleh ukuran dari QD. QD yang lebih besar memiliki ruang energi level yang lebih besar sebagai jebakan pasangan elektron-hole. Oleh karenanya, pasangan elektron-hole pada QD yang lebih besar eksis lebih lama sehingga menunjukkan lifetime yang lebih lama.selain itu lifetime juga dipengaruhi oleh tebal kulit.
683
Gambar 36.8. spektrum intensitas QD CdSe yang dibungkus ZnS (sumber: Murphy 2002)
36.4.2
Transport elektron Seperti diilustrasikan pada gambar 13.9, terdapat tiga hubungan antar terminal. Pertukaan partikel terjadi pada dua terminal, seperti yang ditunjukkan dengan panah. Transport elektron pada QD dipelajari dengan cara menghubungkan dengan reservoir (source dan drain). Source dan drain terminal dihubungkan oleh konduktor (QD) menuju voltmeter. Terminal ketiga yang tersusun dari QD memberikan gaya elektrostatis atau kapasitif coupling dan dapat berfungsi sebagai elektroda. Jika kita asumsikan tidak terdapat coupling menuju source dan drain, maka QD bertindak sebagai pulau untuk elektron. Jumlah elektron pada pulau ini merupakan bilangan bulat N, sehingga muatan pada pulau adalah Ne. Kenyataannya bahwa muatan terkuantisasi pada dot dalam satuan elemen e membawa pada suatu kesimpulan awal bahwa sifat transport elektron pada QD diatur oleh efek blokade coulomb. Jika terjadi tunneling anatara source dan drain maka elektron yang berjumlah N tersebut akan mengatur diri sehingga sistem dalam keadaan energi minimu.
684
Sementara tunneling partikel tunggal merubah energi elektrostatis dari pulau dengan nilai diskrit, tegangan V g (dengan kapasitansi C g ) diberikan pada gate dapat merubah energi elektrostatis pulau secara kontinu. Proses tunneling merubah muatan pulau sedangkan tegangan gate mempengaruhi muatan efektif dengan q = CgVg yang dimiliki QD. Transport antara reservoir dengan dot diukur melalui potensial akibat pengurungan kuantum. Koefisien transmisi yang kecil diperlukan saat melewati perintang, sehingga resistansi terobosan harus jauh lebih besar daripada resistensi kuantum h/e2. Jika dot sepenuhnya tidak terkopling dari lingkungan, sejumlah N elektron akan terkurung dengan baik dalam dot. Untuk kasus kopling lemah, deviasi karena terobosan melewati penghalang kecil akan mengarah pada energi total elektrostatik yang bernilai diskret pada dot. Energi tersebut dapat didekati melalui persamaan: 𝑁𝑁(𝑁𝑁 − 1)𝑒𝑒 2 2𝐶𝐶 dengan C menyatakan kapasitas dari dot. Oleh karena itu, untuk menambah satu elektron kedalam dot akan diperlukan energi sebesar 𝑁𝑁𝑒𝑒 2 𝐸𝐸 = (13.10) 2𝐶𝐶 Jika energi permuatan (charging energi) tersebut lebih besar dari energi termal kT, sehingga elektron tidak bisa keluar dan masuk ke dalam dot dengan eksitasi termal, maka transport elektron akan tertahan. Fenomena tersebut disebut blokade coulomb. Fenomena tersebut akan teramati pada suhu yang sangat rendah karena nilai kT yang sangat kecil.
Gambar 36.9. Skema fenomene coulomb blokade pada lateral QD
685
36.4.3
QD dalam medan magnetik Maksyin dan Chakraborty telah mngmati beberapa sifat dari QD dalam medan magnetik. Untuk kasus ideal elektron dalam dua dimensi, kuantum dot dikurung dalam potensial radial, 1 ∗ 2 2 𝑚𝑚 𝜔𝜔0 𝑟𝑟 2 dengan medan magnetik B tegak lurus bidang dot. Fungsi keadaan elektron tunggal diberikan oleh 𝑉𝑉 =
|𝑙𝑙|
Dimana 𝐿𝐿𝑛𝑛 1
𝜑𝜑 (𝑟𝑟) = 𝑟𝑟
|𝑙𝑙|
|𝑙𝑙| exp(−𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 ) 𝐿𝐿𝑛𝑛
𝑟𝑟 2 𝑟𝑟 2 � 2 � 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � � 2𝑎𝑎 24
merupakan polynomial Laguerre, 𝑎𝑎2 =
ђ
𝑚𝑚 ∗
1
(𝜔𝜔𝑐𝑐2 + 4𝜔𝜔02 )−2 −
𝑙𝑙ђ 𝜔𝜔𝑐𝑐 , dan 𝜔𝜔𝑐𝑐 = 𝑒𝑒𝑒𝑒/𝑚𝑚∗ . Energi elektron tunggal bergantung pada bilangan kuantum n dan l
2
1 1 1 𝐸𝐸𝑛𝑛𝑛𝑛 = (2𝑛𝑛 + 1 + |𝑙𝑙 |)ђ( 𝜔𝜔𝑐𝑐2 + 𝜔𝜔02 )−2 − 𝑙𝑙ђ 𝜔𝜔𝑐𝑐 4 2
1
Dengan syarat batas, saat 𝜔𝜔0 → 0, energi menjadi 𝐸𝐸𝑛𝑛𝑛𝑛 = �𝑛𝑛 + + (|𝑙𝑙 | − 2
𝑙𝑙)/2� ђ𝜔𝜔𝑐𝑐 dan hanya bergantung pada bilangan kuantum 𝑁𝑁 = 𝑛𝑛 + (|𝑙𝑙 | −
𝑙𝑙)/2. Secara fisis, 𝑁𝑁 merupakan indeks Landau-level dan – 𝑙𝑙 merupakan momentum sudut bilangan kuantum. Tanpa potensial pengurungan, energi dari keadaan 𝑙𝑙 positif akan tidak bergantung pada 𝑙𝑙, tetapi dalam pengaamatan ternyata energi dari keadaan 𝑙𝑙 akan bertambah seiring dengan bertambahnya 𝑙𝑙. Medan magnet B diset besar agar spin terpolarisasi dan dapat diamati fungsi keadaan interaksi elektron. Dalam spin yang terpolarisasi, efek zeeman dapat diabaikan sehingga hamiltonian sistem menjadi 𝑛𝑛 𝑒𝑒
𝑛𝑛 𝑒𝑒
𝑖𝑖=1
𝑖𝑖=1
1 1 ∗ 2 1 𝑒𝑒 2 1 2 2 𝐻𝐻 = �(𝑝𝑝 + 𝑒𝑒𝐴𝐴 ) + 𝑚𝑚 𝜔𝜔 � 𝑟𝑟 + � 𝑖𝑖 𝑖𝑖 0 𝑖𝑖 2 2 4𝜋𝜋𝜋𝜋𝜖𝜖0 2𝑚𝑚∗ �𝑟𝑟𝑖𝑖 − 𝑟𝑟𝑗𝑗 � 𝑖𝑖≠𝑗𝑗
dimana 𝜖𝜖𝜖𝜖0 merupakan konstanta dielektrik. Eigen state dari sistem merupakan eigen state dari total momentum sudut. Eigen state ini dapat ditulis dalam 𝐽𝐽 yang merupakan jumlah 𝑙𝑙 elektron tunggal.
686
Gambar 36.10. Energi level sebagai fungsi dari J untuk tiga dan empat elektron pada QD GaAs. Setiap kotak menggambarkan total energi yang diplot terhadap J pada medan magnetik lemah (2 T) dan medan magnetik kuat ( 8T dan 10T). Tampak bahwa selalu ada dua luasan yang dipisahkan oleh gap. Pada level pengurungan yang mendekati nol akan terdapat dua level landau yang paling rendah. Trend yang tampak bahwa energi meningkat seiring dengan bertambahnya J karena energi elektron tunggal bertambah seiring dengan bertambahnya l. Ini paling jelas terlihat pada B= 2T. Pada medan magnet yang kaut peningkatannya lebih lemah. Perbedaan utama pda medan magnet lemah dan kuat adalah pada pada sifat momentum sudut pada keadaan dasar. Pada B=2, hal ini teramati pada j terendah, oleh karenanya momentum sudut terkecil akan menempatkan elektron pada keadaan N=0. Jika elektron tidak saling berinteraksi , keadaan dasar akan memiliki j terendah pada B kuat sehingga hanya N=0 yang relevant. Karena adanya interaksi ini maka j bertambah seiring dengan bertambahnya B. Efek ini terjadi karena saling mempengaruhi antar lektron tunggal dan energi interksi.
36.4.4
Blinking QD Permukaan yang cacat dari struktur kristal nano akan meneyebabkan adanya jebakan sementara untuk elektron atau hole. Ini akan mengakibatkan radiasi rekombinan alami dan menjadi alasan utama flourescence intermittens (blinking). Untuk menghindari efek ini kita membutuhkan kulit untuk melindungi inti atom dari oksidasi dan rekasi kimia lainnya.
687
Salah satu fenomena yang teramati pada QD adalah peristiwa pergantian luminescence (blinking). Hal ini teramati juga pada molekul tunggal seperti misalnya pewarna organik dan polimer, dengan eksitasi luminescence emisi berganti dari ‘on’ ke ‘off’ dengan lompatan stokastik yang tiba-tiba. Perbedannya adalah distribusi waktu ‘on’ dan ‘off’ pada sistem ini biasanya eksponensial atau mendekati eksponensial, berbeda dengan QD koloid yang membutuhkan energi yang lebih rendah dan interval waktunya mulai dari 0.1s hingga 1000 s. Penjelasan mengenai fenomena ini dijelaskan dalam tiga model yaitu energi dasar, keadaan eksitasi emisi cahaya, dan keadaan perangkap gelap dimana sistem tidak berpijar. Oleh karenanya terperangkap dan tidak terperangkap menyebabkan pergantian fotoluminescence ‘off’ dan ‘on’.luminescence teramati jika salah satu karier (elektron atau hole) terperangkap dalam matriks. Peristiwa blinking dapat diatur dengan fluktuasi energi level yang acak pada kuantum dot relatif terhadap energi pada keadaan terperangkap pada permukaan kristal. Karakteristik muatan elektrostatis dan fotoionisasi dari kristal nano CdSe 5 nm diamati menggunakana electrostatic force microscopy (EFM) dalam udara kering dan temperatur ruang. in dry air at room temperature. Pengukuran dilakukan pada kristal nano tunggal. Kristal nano dalam keadaan awal bermuatan netral. Beberapa minggu kemudian beberapa kristal nano menunjukkan muatan positif jika mengenai cahaya. Pengukuran dengan EFM menunjukkan bukti fotoionisasi kristal nano.sebagaian kecil dari kristal nano yang terfotoionisasi menunjukkan efek blinking. Pengukuran dengan EFM juga menunjukkan bahwa fotoionisasi mengecil pada batas elektron pada permukaan kristal nano.
Gambar 36.11 Skema alat EFM Gaya tarik menarik antara tip dan substrat konduktif yang dihasilkan dari adanya tegangan, diibaratkan sebagai interaksi kapasitif. Setiap muatan Q diperlakukan sebagai muatan diatas permukaan isolator. Permukaan muatan membentuk muatan image pada tip dan substrat metal. Muatan 688
permukaan dan imagenya berinteraksi dengan muatan total pada EFM tip dengan interaksi coulomb. Gaya tarik menarik antara penopang dan substrat sebanding dengan kuadrat beda tegangan antara keduanya. Berikut ini perhitungan matematisnya. Gaya elektrostatik dirumuskan dengan 𝑄𝑄1 𝑄𝑄2 4𝜋𝜋𝜋𝜋𝑧𝑧 2 Sedangkan energi yang tersimpan dalam kapasitor 𝐹𝐹𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 =
1 2 1 𝑄𝑄 2 𝑈𝑈 = 𝐶𝐶𝑉𝑉 = 2 2 𝐶𝐶 Gaya yang berkaitan dengan kapasitansi 𝐹𝐹 = −
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑 1 𝑄𝑄 2 1 𝑄𝑄 2 𝑑𝑑𝑑𝑑 1 𝑑𝑑𝑑𝑑 2 =− � �= = 𝑉𝑉 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 2 𝐶𝐶 2 𝐶𝐶 𝑑𝑑𝑑𝑑 2 𝑑𝑑𝑑𝑑
Ketika tegangan diberikan kepada tip, muncul gaya elektrostatik dan kapasitatif. Jika terdapat muatan pada permukaan, muatan image ditimbulkan oleh metal tip. 1 𝑑𝑑𝑑𝑑 2 𝑄𝑄1 𝑄𝑄2 𝑉𝑉 + 2 𝑑𝑑𝑑𝑑 4𝜋𝜋𝜋𝜋𝑧𝑧 2 𝑄𝑄𝑠𝑠 1 𝑑𝑑𝑑𝑑 ((𝑉𝑉𝑑𝑑𝑑𝑑 + 𝑉𝑉𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶 ) + 𝑉𝑉𝑎𝑎𝑎𝑎 sin(𝜔𝜔𝜔𝜔 ))2 − (𝑄𝑄 + 𝐶𝐶𝑉𝑉𝑑𝑑𝑑𝑑 + 𝐶𝐶𝑉𝑉𝑎𝑎𝑎𝑎 sin(𝜔𝜔𝜔𝜔 )) = 2 𝑑𝑑𝑑𝑑 4𝜋𝜋𝜋𝜋𝑧𝑧 2 𝑠𝑠 1 𝑄𝑄𝑠𝑠 1 𝑑𝑑𝑑𝑑 �(𝑉𝑉𝑑𝑑𝑑𝑑 + 𝑉𝑉𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶 )2 + 𝑉𝑉𝑎𝑎2𝑎𝑎 � − �𝑄𝑄 + 𝐶𝐶 (𝑉𝑉𝑑𝑑𝑐𝑐 + 𝑉𝑉𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶 )� = 2 2 𝑑𝑑𝑑𝑑 4𝜋𝜋𝜋𝜋𝑧𝑧 2 𝑠𝑠 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑄𝑄𝑠𝑠 𝐶𝐶 − � 𝑉𝑉 sin(𝜔𝜔𝜔𝜔 ) + �2(𝑉𝑉𝑑𝑑𝑑𝑑 + 𝑉𝑉𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶 ) 𝑑𝑑𝑑𝑑 4𝜋𝜋𝜋𝜋𝑧𝑧 2 𝑎𝑎𝑎𝑎 1 𝑑𝑑𝑑𝑑 2 + 𝑉𝑉 cos (𝜔𝜔𝜔𝜔) 4 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑎𝑎𝑎𝑎 dengan 𝐹𝐹𝑒𝑒 = 𝐹𝐹𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 + 𝐹𝐹𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 =
𝐹𝐹 (𝜔𝜔) = �2(𝑉𝑉𝑑𝑑𝑑𝑑 + 𝑉𝑉𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶 )
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑄𝑄𝑠𝑠 𝐶𝐶 − � 𝑉𝑉 𝑑𝑑𝑑𝑑 4𝜋𝜋𝜋𝜋𝑧𝑧 2 𝑎𝑎𝑎𝑎
Merupakan gaya pada frekuensi 1 𝜔𝜔 didefinisikan sebagai
dan gaya pada frekuensi 2 𝜔𝜔
1 𝑑𝑑𝑑𝑑 2 𝑉𝑉 4 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑎𝑎𝑎𝑎 Pada gambar 13.12 ditunjukkan fenomena blinking QD yang diamati Krauss dkk. gambar 13.12a untuk QD pada frekuensi 1 𝜔𝜔 dan gamabr 13.12b 𝐹𝐹 (2𝜔𝜔) =
689
untuk QD pada frekuensi 2 𝜔𝜔. Tampak bahwa pada frekeunsi 2 𝜔𝜔 teramati fenomena blinking QD.
Gambar 36.12. diberi energi 20 W/cm2. Gambar a image muatan pada gaya pada 1 𝜔𝜔 QD dan (b) QD koloidal yang terpolarisasi untuk gaya pada 2 𝜔𝜔 menunjukkan adanya efek blinking. (sumber gambar: Krauss dkk 2001)
36.5 Aplikasi QD Karena sifatnya yang unik, QD memiliki banyak aplikasi. Seperti misalnya Photovoltaic devices: solar cells yang merupakan optoelectronic device. Dalam Biologi sebagai biosensors, imaging, kode warna kuatum dot sebagai test DNA yang cepat, imaging bagian dalam tubuh organisme hidup, dan sebagainya. Sedangkan dalam elektronika sebagai Light emitting diodes: LEDs, kuantum computation, flat-panel displays, memory elements sebagai information storage, Photodetectors infra red, dan laser. Dalam tulisan ini hanya dibahas beberapa aplikasi QD
36.5.1
LEDs Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, karena emisi warna dari QD dapat dikontrol dari ukuran dan komponennya, QD sangat cocok 690
digunakan untuk membuat LED. Keuntungan dari LEDs (Light Emiting Dioda Quantum Dots) ini dibandingkan dengan LED konvensional adalah lebih tahan lama dan konsumsi energi rendah. Lampu LEDs dapat menurunkan hingga 50% konsumsi penggunaan listrik. Salah satu aplikasi dari LEDs adalah displays berkualitas tinggi. LCD konvensional menggunakan konsep pixel. Setiap pixel mengandung 3 sub pixel yang berkaitan dengan warna merah, biru dan hijau. Dengan mengatur intensitas ketiga komponen warna dapat dihasilkan berbagai macam warna. Tetapi ada beberapa kekurangan LCD konvensional. Yang pertama subpixel tidak murni yang dapat mempengaruhi kualitas gambar. Yang kedua pixel hitam hanya memblok pixel sehingga boros energi. Display yang menggunakan QD dapat menghilangkan kekurangan ini. Karena efek pengurungan yang kuat, QD memiliki emisi yang tajam, sehingga dapat mengemisikan warna merah, biru, dan hijau yang murni. QD mengemisikan cahaya bukan memfilternya sehingga lebih hemat energi. Selain itu QD tidak banyak mengemisikan infrared sehingga mengurangi pemanasan selama proses pencahayaan. Untuk LED konvensional, ada dua cara menghasilkan warna putih. Yang pertama adalah mengatur warna hijau, merah dan biru. Pada metode ini energi digunakan untuk internal absorbsi dan proses pengaturan. Cara kedua adalah menambahkan fosfor pada LED biru. Emisi LED biru berkisar antara 380-420 nm, sedangkan efisiensi absorpsi fosfor konvensional rendah. Oleh karena itu fosfor yang efisien dibutuhkan dalam proses ini. Para peneliti menunjukkan bahwa sintesis koloid QD bisa menjadi partikel nano fosfor yang bagus. Keuntungan fosfor dalam ukuran QD : (1) QD memiliki pencapaian kuantum yang tinggi, (2) Emisi energi dapat diatur dengan mengatur ukuran QD, (3) Semakil kecil dot mengindikasikan semakin banyak atom yang dipermukaan dan setiap perubahan pada komponen kimia pada atom tersebut akan mempengaruhi emisi energi dari dot tersbut. Struktur dari LEDs adalah pusat emisi cahaya yakni cadmium selenide (CdSe) kristal nano. Lapisan CdSe diapit oleh lapisan elektrontransporting (ETL) dan lapisan hole-transporting (HTL) material organik. Pemasangan medan listrik menyebabkan elektron dan hole bergerak menuju lapisan QD, dimana mereka ditangkap oleh QD dan direkombinan sehingga dapat mengemisikan foton. Spektrum emisi foton lebar dan dikarakterisasi dari FWHM. Membawa elektron dan hole bersama dalam daerah yang kecil untuk rekombinan yang efisien utnuk menngemisikan foton tanpa ada disipasi merupakan salah satu tantangan. Untuk mengatasi masalah ini dibuat lapisan 691
emisi tipis diapit oleh HLT dan ETL. Dengan membuat lapisan tipis QD, elektron hole dapat ditransfer langsung dari permukaan ETL dan HTL. Elektron hole rekombinan teramati di dekat katoda, yang akan mengakibatkan pembentukkan eksiton. Untuk menncegah terbentuknya eksiton atau hole dari mencapai katoda, lapisan hole-bloking memainkan peranan mencegah hole bergerak ke katoda dan mentransport elektron menuju lapisan emisi. Gambar 13.13 menunjukkan lapisan-lapisan yang ada pada LEDs. Disini digunakan lapisan QD tunggal (monolayer) dimana QD disusun sehingga membentuk ukuran 2 dimensi.
Gambar 36.13. Struktur lapisan LEDs dimana lapisan QD diapit oleh lapisan ETL dan HTL.
36.5.2
Imaging bagian dalam tubuh organisme hidup Pada aplikasi dalam bidang biologi, QD menggunakan polimer ampipilik sebagai lapisan coating mengelilingi inti dan kulit untuk menciptakan permukaan yang bisa larut dalam air sehingga memberikan banyak modifikasi pada QD agar sesuai untuk berbagai macam aplikasi dalam bidang biologis. Kelebihan dari QD untuk tujuan biologis adalah dapat diset untuk sembarang spektrum emisi agas bisa digunakan untuk menandai dan pengamatan berbagai proses biologi dapat digunakan untuk monitoring sel kanker dan memberikan pemahaman mengenai evolusi dari sel kanker ini. Kedepannya QD dapat pula dilengkapi dengan obat tumor untuk memberikan diagnosa dan treatment kanker. QD lebih tahan terhdap degradasi dibandingkan dengan probe optikal imaging lainnya seperti misalnya 692
pewarna organik, sehingga memungkinkan untuk mengamati proses sel untuk waktu yang lebih lama. QD memberikan spektrum absorbsi yang luas dengan panjang gelombang emisi yang tetap. Multifungsi dari sistem nano untuk diagnosa kanker dan pengobatan telah dibuat. Geometri dari partikel nano pembawa haruslah dapat penyimpan obat dan gerak dinamis dalam fluida (darah). Struktur pori atau berlubang diperlukan untuk menyimpan dan menyebarkan obat. Seperti ditunjukkan pada gambar, interior nano pembawa diisi oleh obat anti kanker begitu juga dengan permukaan luarnya. Bagian luar dari nano pembawa dihubungkan dengan fluorescent dan partikel nano magnetik untuk imaging dan hipertermia. Hipertermia disini diartikan dengan panas suhu tubuh. Sehingga dengan menggunakan partikel nano magnetik kita bisa memberikan panas pada bagian tubuh tertentu untuk membakar sel yang terinfeksi misalnya. Komponen fluorescent bukan hanya untuk menahan bagian dalamnya tetapi juga agar tidak berinteraksi dengan komponen lain di luarnya. Penelitian yang dilakukan oleh Cho Hoon Sung menunjukkan bahwa menghubungkan QD dengan beberapa partikel nano pembawa seperti misalnya carbon nanotubes dan magnetik nanospheres Fe3O4 menyebabkan adanya pergeseran biru. Pergeseran biru atau blue shift berarti spektrum emisinya menuju ke spektrum biru.
Gambar 36.14. skema ideal multifungsi sistem nano yang digunakan untuk diagnosa kanker dan pengobatan. Polimer matriks untuk partikel nano haruslah cocok dengan sel hidup, dapat terurai dalam sel, kuat secara mekanik, dan mudah diproses. Polimer yang paling bagus untuk dikontrol adalah poly(latide-co-glycolide)s (PLGA). 693
Para peneliti di Emory University, Georgia Tech, dan Cambridge Penelitian dan Instrumentasi, telah menggunakan QD untuk mengidentifikasi tumor pada tikus. QD yang digunakan terbuat dari selenide kadmium sulfidaseng, masing-masing 5nm di diameter. QD dilapisi dengan polimer untuk mencegah tubuh makhluk hidup menyerang QD dan untuk menjaga QD sendiri dari kebocoran ion kadmium beracun dan selenium. kauntum dot dipasangkan antibodi di luar kulit, kemudian anti bodi tersebut dilepas ke permukaan sel tumor prostat. Para ilmuwan menyuntik QD ke dalam sistem peredaran darah dan terakumulasi pada titik tumor, yang kemudian bisa dideteksi oleh fluoresensi pencitraan.
36.5.3
Unit Informasi Kuantum Pada logaritma yang klasik, 1 bit didefinisikan sebagai keadaan ada atau tidak ada (0 dan 1), jadi terdapat dua keadaan. Diperkenalkan logaritma yang baru dengan menggunakan QD yang disebut dengan kuantum bit, dimana keadaannya 𝛼𝛼 |0〉 + 𝛽𝛽|1〉, dengan (𝛼𝛼 2 + 𝛽𝛽2 ) = 1 sehingga memiliki keadaan yang tak hingga. Keadaan 𝛼𝛼 |0〉 diinformasikan oleh spin down dan keadaan 𝛽𝛽|1〉 diinformasikan oleh spin up. Ini memungkinkan kita dapat menyimpan memori lebih banyak dalam ukuran yang lebih kecil. Selain itu, dapat pula dalam bentuk penambahan elektron ke dalam dot. Elektron yang diinjeksikan ke dalam QD akan terkurung dengan kuat didalamnya selama tidak diberikan panjar mundur (reverse bias) yang bersesuaian agar elektron terdorong kuat. Penambahan elektron ke dalam dot dapat dikonversi menjadi bilangan biner 0 dan 1. Dari bilangan biner tersebut kemudian dapat dibangun berbagai macam logika.
36.5.4 Sel Surya Sel surya merupakan piranti yang mampu mengubah energi cahaya menjadi energi listrik. Foton yang datang dengan energi sebesar hc/𝜆𝜆 akan diserap oleh elektron di pita valensi yang kemudian digunakan untuk eksitasi ke pita konduksi. Syaratnya adalah energi yang diserap harus lebih besar atau sama dengan lebar celah energi. Sel surya yang beredar di pasaran biasanya berbasis pada silikon. Namun, efisiensi yang dicapai rata-rata sel surya hanya sekitar 15%. Untuk meningkatkan efisiensi hingga mencapai 30%, sel surya dibuat dari kristal silikon tunggal, tetapi biaya yang dikeluarkan sangat mahal sehingga untuk memasarkan secara masal sel surya jenis ini sangat tidak mungkin. Sebagai catatan, sel surya tersebut hanya mampu menyerap foton pada daerah cahaya tampak saja.
694
QD dapat menjawab semua persoalan tersebut. Partikel QD memiliki ukuran dalam skala nano meter, sehingga luas permukaan serapan akan menjadi sangat besar. Bayangkan saja setiap dot mampu menyerap dan mengkonversi cahaya menjadi energi listrik, padahal dalam luas permukaan tertentu pasti akan banyak sekali QD (mencapai orde bilangan avogadro). Celah energi yang bergantung pada ukuran pun membuat daerah serapan menjadi sangat lebar. Tiap jenis QD memiliki daerah serapan masing-masing, mulai dari daerah ultraviolet sampai inframerah, sehingga pada kondisi cuaca bagaimanapun sel surya berbasis QD masih tetap aktif bekerja mengubah energi cahaya menjadi energi listrik. Sel surya berbasis QD mampu bertahan hingga 10000jam pemakaian. Sel surya berbasis QD dibagi menjadi tiga konfigurasi. Pertama adalah foloelektroda yang tersusun dari sejumlah larik (array) QD. Pada konfigurasi ini, QD disusun membentuk formasi larik tiga dimensi dan jarak antar dot dibuat sangat kecil sehingga terbentuk pita mini (mini band).
36.6 Penutup QD merupakan kristal nano yang berukuran sangat kecil yang dapat mengemisikan panjang gelombang yang berbeda-beda tergantung dari ukuran, bentuk dan komposisinya. Dengan sifatnya ini QD merupakan penemuan yang luar biasa yang memungkinkan kita untuk mengatur ukuran dan sifatnya seperti yang kita inginkan sehingga kita dapat menghasilkan berbagai macam device sesuai dengan kebutuhan kita. Selain itu kita juga dapat menggunakannya untuk mendeteksi berbagai hal yang kita inginkan. Aplikasi dari QD ini sangat beragam seperti misalnya untuk LED yang lebih efisien, aplikasi dalam bidang kedokteran untuk membantu pengobatan kanker, dan dalam bidang komputer menawarkan sistem memori baru menggunakan spin sehingga dapat dihasilkan memori dengan penyimpanan yang jauh lebih besar pada ukuran memori yang lebih kecil.
36.7 Daftar pustaka Anikeeva, Polina O. Kuantum Dot Light-Emitting Deviceswith Electroluminescence Tunable over the Entire Visible Spectrum. Nano letter 2009 vol 9 no. 7(2532-2536) Bietti, dkk. Explanation of kuantum dot blinking without long-lived trap hypothesis. California Institute of Technology Pasadena, CA 91125 (July 28, 2005)
695
Busani, Sridhar. QDs – Application in Life Sciences. Didownload dari nanocluster.mit.edu/bawendi-group2011 Chance Harenza. QDs. Seminar Research, Arlington, TX, 76010, USA Fabrication of GaAs kuantum dots by droplet epitaxy on Si/Ge virtual substrate. Didownload dari http://iopscience.iop.org/1757899X/6/1/012009 Griffith, David J. Introduction to Kuantum Mechanics. Second Edition. Pearson Education LTD,. London Hoon-Sung, Cho. 2010. Design and Development of a multifunctional nano carrier system for imaging, drug delivery, and cell targeting in cancer research. Disertasi pada Division of Research and Advanced Studies of the University of Cincinnati Liu, Cheng. 2005. Basic Idea of Kuantum Dots and Current applications. Physic 598OS 14 Desember Koc, Kenan, Tepehan, Fatma, dan Tepehan, Galip. Characterization Of Mps Capped Cds Kuantum Dots And Formation Of Self-Assembled Kuantum Dots Thin Films On A Glassy Substrate. Chalcogenide Letters Vol. 8, No. 4, April 2011, p. 239-247 Kouwenhoven, Leo P. dkk. 1997. Electron transport in quantum dots. Proceedings di the Advanced Study Institute on Mesoscopic Electron Transport Krauss, dkk. Charge and Photoionization Properties of Single Semiconductor. J. Phys. Chem. B 2001, 105, 1725-1733 maksyin, P.A. dan Chakraborty, Tapash. 1990. Kuantum Dots in a Magnetik Field: Role of Electron-Electron interactions. Physical review Letter volume 65, number 1 (108-111). Michaelt, Xavier, dkk. Properties of Fluorescent Semiconductor Nanocrystals and their Application to Biological Labeling. Single Mol. 2 (2001) 4, 261-276 Mikrajuddin, A. 2009. Pengantar Nanosains. Penerbit ITB:Bandung Murphy, Catherine J. 2002. QDs: A Primer. Volume 56, number 1. Applied Spectroscopy. Hal 16A-27A Norris, David J. Spectrum in Cadmium Selenide (CdSe) QDs. Disertasi departemen of Chemistry University of Chicago 1990 S. M. Reimann and M. Manninen. Electronic structure of QDs. Rev. Mod. Phys., Vol. 74, No. 4, October 2002 Wojs, Arkadiusz, dkk. Electronic structure and magneto-optics of selfassembled quantum dots. Physical Review B Volume 54, Number 8 15 August 1996-II Wong, Michael S. dan Stucky, Galen D.. The Facile Synthesis of Nanocrystalline Semiconductor Kuantum Dots. Mat. Res. Soc. Symp. Proc. Vol. 676 © 2001 Materials Research Society X. Michalet. QDs for Live Cells, in Vivo Imaging, and Diagnostics 696
Bab 37 Sel Surya Quantum Dot Oleh: Dui Yanto Rahman
37.1 Pendahuluan Peningkatan efisiensi sel surya terus dikembangkan, salah satunya adalah dengan meningkatkan daya serap sel surya terhadap foton-foton cahaya, baik yang memiliki energi tinggi maupun energi rendah. Sel surya konvensional yang ada saat ini hanya mampu menyerap energi cahaya yang memiliki panjang gelombang antara 400-550 nm, yang berarti hanya sebagian kecil dari daerah cahaya tampak. Oleh karena itu, penemuan partikel nano yang memiliki konduktivitas tinggi kemudian diterapkan pada teknologi semikonduktor sel surya. Penelitian menunjukkan bahwa pemakaian semikonduktor berstruktur nano dapat meningkatkan daya serap sel surya, tapi hanya menyerap foton-foton berenergi tinggi yang berguna untuk menghasilkan Multiple exiton (satu foton bisa menghasilkan lebih dari satu pasangan elektron dan hole). Untuk itu, diperlukan susunan dan material sel surya yang dapat menyerap foton-foton berenergi rendah juga. Kombinasi antara material nano dan Quantum Dots dapat menjawab tantangan ini karena Quantum Dots dapat menyerap hampir semua foton-foton dalam daerah cahaya tampak.
37.2 Sel Surya Sel Surya adalah alat yang mengubah energi cahaya matahari menjadi energi listrik. Alat ini terdiri dari beberapa lapisan di mana lapisan semikonduktor P dan N serta sambungan keduanya berada pada lapisan intinya. Pada lapisan inti inilah terjadi peristiwa pengubahan energi cahaya matahari menjadi energi listrik dimana lapisan ini menyerap cahaya matahari yang membawa sejumlah foton. Foton-foton tersebut datang dengan energi sebesar hc/λ diserap oleh elektron yang berada pada pita valensi untuk keluar (tereksitasi) menuju pita konduksi dengan syarat energi yang diserap minimal harus sebesar celah pita energinya. Terlepasnya elektron ini meninggalkan hole pada daerah yang ditinggalkannya yang disebut dengan fotogenerasi elektronhole (electron-hole photogeneration) yakni, terbentuknya pasangan elektron dan hole akibat cahaya matahari.
697
Selanjutnya, dikarenakan pada sambungan pn terdapat medan listrik E, elektron hasil fotogenerasi tertarik ke arah semikonduktor n, begitu pula dengan hole yang tertarik ke arah semikonduktor p. Apabila rangkaian kabel dihubungkan ke dua bagian semikonduktor, maka elektron akan mengalir melalui kabel. Jika sebuah lampu kecil dihubungkan ke kabel, lampu tersebut menyala dikarenakan mendapat arus listrik, dimana arus listrik ini timbul akibat pergerakan elektron. Gambar 37.2.1. menunjukkan proses perubahan energi cahaya menjadi energi listrik.
Gambar 37.2.1 Proses pengubahan energi cahaya menjadi energi listrik (www.RonCurtis&MrSolar.com)
Proses pengubahan atau konversi cahaya matahari menjadi listrik ini dimungkinkan karena bahan material yang menyusun sel surya berupa semikonduktor. Lebih tepatnya tersusun atas dua jenis semikonduktor; yakni jenis n dan jenis p. Semikonduktor jenis n merupakan semikonduktor yang memiliki kelebihan elektron, sehingga kelebihan muatan negatif, (n = negatif). Sedangkan semikonduktor jenis p memiliki kelebihan hole, sehingga disebut dengan p ( p = positif) karena kelebihan muatan positif. Caranya, dengan menambahkan unsur lain ke dalam semkonduktor, maka kita dapat mengontrol jenis semikonduktor tersebut, sebagaimana diilustrasikan pada gambar di bawah ini.
Gambar 4.2.2 Proses doping semikonduktor silikon http://energisurya.files.wordpress.com
698
Pada awalnya, pembuatan dua jenis semikonduktor ini dimaksudkan untuk meningkatkan tingkat konduktifitas atau tingkat kemampuan daya hantar listrik dan panas semikonduktor alami. Di dalam semikonduktor alami (disebut dengan semikonduktor intrinsik) ini, elektron maupun hole memiliki jumlah yang sama. Kelebihan elektron atau hole dapat meningkatkan daya hantar listrik maupun panas dari sebuah semikoduktor. Misal semikonduktor intrinsik yang dimaksud ialah silikon (Si). Semikonduktor jenis p, biasanya dibuat dengan menambahkan unsur boron (B), aluminum (Al), gallium (Ga) atau Indium (In) ke dalam Si. Unsur-unsur tambahan ini akan menambah jumlah hole. Sedangkan semikonduktor jenis n dibuat dengan menambahkan nitrogen (N), fosfor (P) atau arsen (As) ke dalam Si. Dari sini, tambahan elektron dapat diperoleh. Sedangkan, Si intrinsik sendiri tidak mengandung unsur tambahan. Usaha menambahkan unsur tambahan ini disebut dengan doping yang jumlahnya tidak lebih dari 1 % dibandingkan dengan berat Si yang hendak di-doping. Dua jenis semikonduktor n dan p ini jika disatukan akan membentuk sambungan p-n atau dioda p-n (istilah lain menyebutnya dengan sambungan metalurgi / metallurgical junction) yang dapat digambarkan sebagai berikut. Semikonduktor jenis p dan n sebelum disambung.
Gambar 4.2.3 Semikonduktor tipe N dan P (http://energisurya.files.wordpress.com)
Sesaat setelah dua jenis semikonduktor ini disambung, terjadi perpindahan elektron-elektron dari semikonduktor n menuju semikonduktor p, dan perpindahan hole dari semikonduktor p menuju semikonduktor n. Perpindahan elektron maupun hole ini hanya sampai pada jarak tertentu dari batas sambungan awal.
699
Gambar 4.2.4 Proses penyambungan semikonduktor N dan P (http://energisurya.files.wordpress.com)
Elektron dari semikonduktor n bersatu dengan hole pada semikonduktor p yang mengakibatkan jumlah hole pada semikonduktor p akan berkurang. Daerah ini akhirnya berubah menjadi lebih bermuatan positif. Pada saat yang sama. hole dari semikonduktor p bersatu dengan elektron yang ada pada semikonduktor n yang mengakibatkan jumlah elektron di daerah ini berkurang. Daerah ini akhirnya lebih bermuatan positif.
W Gambar 4.2.2 Terbentuknya depletion area setelah proses penyambungan (http://energisurya.files.wordpress.com)
Daerah negatif dan positif ini disebut dengan daerah deplesi (depletion region) ditandai dengan huruf W. Baik elektron maupun hole yang ada pada daerah deplesi disebut dengan pembawa muatan minoritas (minority charge carriers) karena keberadaannya di jenis semikonduktor yang berbeda. Dikarenakan adanya perbedaan muatan positif dan negatif di daerah deplesi, maka timbul dengan sendirinya medan listrik internal E dari sisi positif ke sisi negatif, yang mencoba menarik kembali hole ke semikonduktor p dan elektron ke semikonduktor n. Medan listrik ini cenderung berlawanan dengan perpindahan hole maupun elektron pada awal terjadinya daerah deplesi (nomor 1 di atas).
Gambar 4.2.3 Arah medan listrik setelah terbentuknya depletion area (http://energisurya.files.wordpress.com)
Adanya medan listrik mengakibatkan sambungan pn berada pada titik setimbang, yakni saat di mana jumlah hole yang berpindah dari semikonduktor p ke n dikompensasi dengan jumlah hole yang tertarik kembali kearah semikonduktor p akibat medan listrik E. Begitu pula dengan jumlah elektron yang berpindah dari smikonduktor n ke p, dikompensasi dengan mengalirnya kembali elektron ke semikonduktor n akibat tarikan medan listrik E. Dengan kata lain, medan listrik E mencegah seluruh elektron dan hole berpindah dari semikonduktor yang satu ke semiikonduktor yang lain. 700
Pada sambungan p-n inilah proses konversi cahaya matahari menjadi listrik terjadi. Untuk keperluan sel surya, semikonduktor n berada pada lapisan atas sambungan p yang menghadap kearah datangnya cahaya matahari, dan dibuat jauh lebih tipis dari semikonduktor p, sehingga cahaya matahari yang jatuh ke permukaan sel surya dapat terus terserap dan masuk ke daerah deplesi dan semikonduktor p.
Gambar 4.2.4 Posisi semikonduktor N dan P serta arah cahaya matahari datang (http://energisurya.files.wordpress.com)
Ketika sambungan semikonduktor ini terkena cahaya matahari, maka elektron mendapat energi dari cahaya matahari untuk melepaskan dirinya dari semikonduktor n, daerah deplesi maupun semikonduktor. Terlepasnya elektron ini meninggalkan hole pada daerah yang ditinggalkan oleh elektron yang disebut dengan fotogenerasi elektron-hole (electron-hole photogeneration) yakni, terbentuknya pasangan elektron udan hole akibat cahaya matahari.
Gambar 4.2.5 Proses penyerapan cahaya matahari oleh semikonduktor (http://energisurya.files.wordpress.com)
701
Cahaya matahari dengan panjang gelombang (dilambangkan dengan simbol “lambda” di gambar atas ) yang berbeda, membuat fotogenerasi pada sambungan pn berada pada bagian sambungan pn yang berbeda pula. Spektrum merah dari cahaya matahari yang memiliki panjang gelombang lebih panjang, mampu menembus daerah deplesi hingga terserap di semikonduktor p yang akhirnya menghasilkan proses fotogenerasi di sana. Spektrum biru dengan panjang gelombang yang jauh lebih pendek hanya terserap di daerah semikonduktor n. Selanjutnya, dikarenakan pada sambungan pn terdapat medan listrik E, elektron hasil fotogenerasi tertarik ke arah semikonduktor n, begitu pula dengan hole yang tertarik ke arah semikonduktor p. Apabila rangkaian kabel dihubungkan ke dua bagian semikonduktor, maka elektron akan mengalir melalui kabel. Jika sebuah lampu kecil dihubungkan ke kabel, lampu tersebut menyala dikarenakan mendapat arus listrik, dimana arus listrik ini timbul akibat pergerakan elektron.
Gambar 4.2.6 Ilustrasi Aliran elektron dan hole (http://energisurya.files.wordpress.com)
Pada umumnya, untuk memperkenalkan cara kerja sel surya secara umum, ilustrasi di bawah ini menjelaskan segalanya tentang proses konversi cahaya matahari menjadi energi listrik.
Gambar 4.2.6 Ilustrasi sederhana proses konversi cahaya matahari menjadi energi listrik (http://energisurya.files.wordpress.com)
702
Mayoritas bahan semikonduktor untuk sel surya yang ada terbuat dari silikon karena kemudahan mendapatkan bahan tersebut didukung dengan meluasnya fabrikasi semikonduktor berbasis silikon. Tetapi efisiensi sel surya dengan bahan silikon rata-rata hanya 15 persen. Pencapaian efisiensi sel surya berbasis silikon pada level 30% tidak didukung dengan kemurahan biaya produksinya. Beberapa material selain silikon telah dicoba diterapkan sebagai bahan semikonduktor untuk sel surya tetapi efisiensi yang dihasilkan belum cukup memuaskan ditambah dengan biaya produksinya membuat banyak peneliti tidak berhenti untuk terus menemukan bahan sel surya yang mempunyai efisiensi yang tinggi namun dengan biaya produksi murah. Gambar 37.2.2 di bawah ini menyajikan perbandingan tingkat efisiensi untuk beberapa jenis sel surya.
Gambar 4.2.2 Perbandingan tingkat efisiensi untuk tipe solar sel yang berbeda. (Shell Solar 2003)
Pusat kerja sel surya berada pada lapisan semikonduktor n dan p dan sambungan keduanyanya. Dimana pada lapisan ini arus listrik yang dihasilkan bergantung pada banyaknya pasangan elektron dan hole yang dihasilkan. Semakin banyak pasangan electron dan hole yang dihasilkan semakin besar aliran electron yang terjadi antara semikonduktor n dan p yang berefek pada besarnya aliran arus listrik yang dihasilkan. Gambar di bawah ini menunjukkan pusat kerja sel surya.
Gambar 4.2.3 pusat kerja sel surya. Lapisan n, p dan daerah deplesi. (Donghwan Kim, Korea University)
703
Untuk menghasilkan pasangan electron-hole yang banyak diperlukan material yang memiliki nilai band gap yang optimum, dimana dapat menyerap foton-foton yang dibawa cahaya matahari baik yang berenergi tinggi maupun rendah. Teknologi sel surya yang ada saat ini biasanya dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yakni sel surya single junction (sambungan tunggal), sel surya film tipis, dan sel surya single junction yang disusun menjadi beberapa lapisan . Material yang dipakai untuk sel surya beragam diantaranya monocrystalline silicon, polycrystalline silicon,, amorphous silicon, cadmium telluride, dan copperindum selenide/sulfide. Material umumnya berbentuk bulk yang dibentuk wafer-wafer tipis berukuran 180-240 mikrometer. Material yang lain adalah lapisan film tipis, dye organic, dan polymer organic yang dideposisikan pada substrate pendukung. Sel surya silikon terbagi menjadi tiga kategori sesuai dengan sifat dan ukuran kritalnya. Yaitu; 1. Monokristal silikon (c-Si) 2. Poli Kristal silikon atau multi Kristal silikon (poly-Si atau mc-Si) 3. Ribbon Silicon Sel surya single junction memiliki efisiensi yang terbatas, hal ini disebabkan oleh banyaknya energi yang terbuang dan dibawa oleh foton dengan beberapa mekanisme, seperti yang ditunjukkan gambar 37.2.4. Spektrum matahari yang terdiri dari foton-foton dengan kisaran energi antara 0.5 s.d 3.5 eV. Foton dengan energi yang lebih kecil dari band gap (celah pita) material semikonduktor sel surya tidak diserap oleh material tersebut (ditransmisikan), sementara foton-foton dengan energi sangat tinggi melepaskan energinya sebagai panas ketika Carrier (pembawa muatan) kembali ke tepi pita (ditunjukkan oleh no.1 dan 2 pada gambar 37.2.3 secara berurutan). e 2
e
e
3 4 e
e
5
e e
5’
h 4’
h
h
2’
h h
1
Gambar 4.2.4 Proses-proses umum terbuangnya energi pada sel surya single junction (1) energi foton yang rendah, (2) energi foton yang tinggi hilang sebagai panas, (3) hilangnya tegangan pada sambungan, (4) hilangnya energi karena tegangan kontak. (Som Nath Dahal,Disertasi, 2011)
Berbagai usaha untuk mencapai efisiensi sel surya yang tinggi bertumpu pada cara untuk bisa melewati batas efisiensi teori Shockley-Queisser sebesar 32%, yaitu dengan cara mengindari terbuangnya energi untuk foton yang 704
berenergi tinggi dan cara untuk bisa menyerap foton yang memiliki energi lebih rendah dari band gap. Adapun cara untuk mengecilkan potensi kehilangan energi (loss energy) untuk foton berenergi tinggi dan foton berenergi lebih rendah dari band gap yaitu menggunakan solar sel single junction dengan beberapa lapisan yang memiliki pita energi yang berbeda. Tetapi cara ini belum memperoleh biaya produksi yang ekonomis.
37.3 Sel Surya Nano dan Quantum Dot Pada saat ini, cara yang sedang dikembangkan oleh banyak orang untuk meningkatkan efisiensi sel surya adalah dengan menggunakan sel surya berstruktur nano dipadukan dengan Quantum Dots. Quantum dots merupakan material semikonduktor yang sangat kecil dengan ukuran 1 - 10 nm, sesuai dengan hukum mekanika kuantum, energi-energi electron yang dapat berada di di dalamnya terbatas. Level-level energi ini ditentukan oleh ukuran quantum dots , yang berarti juga menentukan band gaps. Dot-dot tersebut bisa dibuat sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan. Hal ini memungkinkannya untuk memiliki beragam bandgap tanpa mengganti material pokok atau tehnik-tehnik kontruksinya. Untuk mendapatkan variasi ukuran biasanya dilakukan dengan memvariasikan waktu atau suhu sintesisnya. Karena bisa memvariasikan bandgapnya dengan variasi ukurannya inilah quantum dots sangat tepat untuk diapplikasikan pada sel surya. Apabila suatu semikonduktor berbasis quantum dots diterapkan pada sel surya maka dapat dibayangkan betapa luasnya permukaan serapan lapisan semikonduktor tersebut. Ditambah lagi dengan beragam ukuran yang ada pada permukaan tersebut menyebabkan sel surya tersebut dapat menyerap cahaya yang banyak dengan variasi jenis panjang gelombang cahayanya yang banyak pula. Dibawah ini adalah contoh lapisan quantum dots dengan variasi ukurannya juga.
Gambar 4.3.1. Lapisan Quantum Dot
Pada sel surya, pemakaian quantum dots ada beberapa tipe. Ada yang pemakaian quantum dotnya hanya di daerah sambungan semikonduktor n dan p nya saja, ada juga yang di seluruh lapisan semikonduktornya, dan ada juga yang diseluruh lapisan sel suryanya. Gambar di bawah ini menunjukkan beberapa tipe pemakaian quantum dots pada lapisan sel surya. 705
Gambar 4.3.2. contoh lapisan quantum dots pada sel surya
Gambar 37.3.3 merupakan sel surya quantum dots Galium Arsenide (GaAs) yang dibungkus dengan Indinium Arsenide (InAs). Lapisan ini dibuat beberapa stack diletakkan antara 2 tipe semikonduktor tipe n.
Gambar 4.3.3 Desain konseptual dari sel surya silicon tandem. Dengan quantum dots Si-SiO2.
Gambar 37.3.3 merupakan sel surya quantum dots yang disusun beberapa lapisan dan diletakkan di atas material Silikon bulk. Quantums dots diterapkan pada semua lapisan, baik pada bagian sambungan maupun bukan sambungan.
706
Gambar 4.3.4 Konsep desain sel surya Quantum Dot GaAs
Gambar 4.3.4 merupakan sel surya quantum dots GaAs. Dimana (Galium Arsenide) (Seth Hubbard dan Ryne Raffaelle) material quantum dots hanya diletakkan di daerah persambungan antara semikonduktor tipe n dan semikonduktor tipe p.
Gambar 4.3.5 Sel surya InGaAs/GaAs QD superlattice (SL) pin (National Renewable Energy Laboratory Golden, Colorado)
Gambar 37.3.5 merupakan sel surya quantum dots. Dimana material quantum dots dibuat berlapis-lapis dan ditempatkan antara semikonduktor tipe p dan n. Disamping itu, ada juga quantum dots dalam bentuk koloid dimana sintesisnya dengan menggunakan proses kimia. Di bawah ini adalah contoh quantum dots koloid yang diterapkan pada sel surya.
Gambar 4.3.6 . (a) pengikatan quantum dots CdSe kepad Partikel TiO2 dengan permukaan bifunctional. (b) Sel Surya quantum dots CdSe pada Film tipis TiO2. (Itsvan Robel et.al 2006)
Gambar 37.3.6 merupakan sel surya quantum dots koloid dimana CdSe sebagai material quantum dots diikatkan pada nano partikel TiO2. Lapisan substrate berupa OTE (Optical Transparant Electrode)
707
Efisiensi sel surya quantum dots menyamai sel surya GaAs tandem yang biayanya mahal. Tetapi QDs bisa ditingkatkan lagi efisiensinya. Khusus PbS CQDs mempunyai bandgap bandgap yang dapat menyerap cahaya infra merah, yang tidak bisa diserap jika memakai PbS dalam ukuran bulk. Setengah dari cahaya matahari yang sampai ke bumi adalah infra merah, kebanyakannnya adalah di dekat daerah infra merah. Dengan solar sel quantum dot, materialmaterial yang sangat peka terhadap cahaya infra merah sangat mudah digunakan sehingga dapat menyerap lebih banyak energi.Dengan teknologi ini kehilangan energi dari pasangan elektron hole yang dihasilkan oleh foton berenergi tinggi dapat ditekan dan digunakan untuk meningkatkan baik tegangan ataupun arus oleh cahaya (photo voltage dan photo current). Peningkatan arus bisa dicapai dengan menggunakan energi yang hilang dalam proses relaksasi untuk membangkitkan pasangan elektron dan hole yang lebih banyak. Satu foton bisa menghasilkan lebih dari satu pasangan elektron dan hole. Sementara peningkatan photo voltage bisa dicapai dengan mengumpulkan pembawa muatan (carrier) berenergi tinggi sebelum mereka sampai ke tepi pita. Untuk foton yang berenergi lebih kecil dari celah pita, kehilangan energinya bisa dihindari dengan memakai material yang memiliki intermediate band (pita menengah) yang diletakkan antara pita valensi dan konduksi dari suatu semikonduktor. Ada beberapa tipe sel surya berbasis nano dan quantum dots.
37.4.1 Sel Surya Multiple Exciton Generation Dalam sel surya jenis ini, pasangan elektron-hole dihasilkan oleh fotonfoton yang memiliki energi paling sedikit dua kali lebih besar dari band gap yang melepaskan energinya untuk menghasilkan exciton yang lain. Fenomena ini juga disebut impact ionization, yang menjadi penyebab multiple exciton generation. Batas efisiensi untuk sel surya dengan prinsip ini adalah 85,9% untuk bandgap 48MeV dengan konsentrasi maksimum dari AMO spectrum cahaya dan 44% pada 1 sun untuk Eg = 0,735. Pada material bulk, dikarenakan kekekalan momentum kristal berbarengan dengan kekekalan energi, maka batas energi untuk impact ionizationnya lebih tinggi dari yang dibutuhkan oleh kekekalan energi jika sendirian saja. Sebagai contoh dalam silikon bulk hasil kuantum total hanya 125% didapatkan dengan energi foton sebesar 4,8 eV. Laju impact ionization harus setara dengan laju carrier relaxation oleh scattering elektron fonon. Untuk menghasilkan efek yang berarti dalam carrier multiplication pada sel surya laju impact ionization harus dimaksimalkan. Pada Kristal nano seperti quantum dots, kekekalan momentum tidak dibutuhkan, ini bisa menghasilkan efek carrier multiplication yang efisien. Tantangan utama untuk merealisasikan solar sel yang berbasis carrier multiplication adalah menemukan material dan susunan yang mempunyai impact ionization yang efisien dan mengumpulkan pembawa muatan yang dihasilkan cahaya dari quantum dot menuju keluar lintasan eksternal.
708
37.4.2 Sel Surya Hot Carrier Konsep fisis dari sel surya hot carrier adalah mengekstrasikan pembawa muatan (carrier) dari media penyerap sebelum mereka (carrier) terelaksasi ke pingiran pita dengan mengemisikan fonon (carrier masih panas). Ekstraksi hot carrier bergantung pada dua factor utama. harus melewati sel dengan cepat (2) laju pendinginan harus lambat. Hot carrier harus dikumpulkan dari media penyerap dengan kontak energy pilihan. Struktur nano quantum dot dapat diimplementasikan dalam sel surya hot carrier baik sebagai penyerap dan kontak energi. Rapat keadaan yang diskrit dalam struktur ini bias mencegah pendinginan carrier dibandingkan jika memakai material bulk. Dan juga rapat energi yang terkurung dalam struktur nano seperti nano well, nano wire dan quantum dots dapat digunakan sebagai level-level peresonansi energy dari lebar yang sangat kecil yang mentransmisikan energi yang sangat kecil dari hot carrier merefleksikan kembali carrier menuju lapisan penyerap. Ekstrasksi hot carrier meningkatkan tegangan sirkuit terbuka dan efisiensi. Batas efisiensi dari sel surya hot carrier adalah 85% mendekati batas kuantum maksimum yaitu 86,8 %. Ini cocok dengan porsi yang sempit dari radiasi cahaya.
37.4.3 Sel Surya Multiple Transition Sel surya multiple transisi membutuhkan keberadaan pita menengah (intermediate band) dalam daerah energi gap dari material semikonduktor konvensional. Pita intermediate ini memfasilitasi penyerapan foton berenergi rendah dan menjaga tegangan sirkuit terbuka yang tinggi yang ditentukan oleh pemisahan lever quasi Fermi sesuai dengan pita valensi dan konduksi dari material yang mempunyai band gap besar. Agar bisa terealisasi, level quasi Fermi yang cocok dengan pita intermediate harus dipasangkan secara optik dan diisolasi secara listrik dari level quasi Fermi pita valensi dan pita konduksi. Ide ini pertama kali dimaksudkan untuk menyerap foton-foton sub band gap dan menghitung efisiensi menggunakan metode empirik. Batas efisiensi untuk sel surya intermediate band adalah 63% untuk band gap optimum Eg = 1,95 eV , Eic = 0,71 eV dan Eiv = 1,24 eV seperti ditunjukkan gambar di bawah ini
Gambar 4.4.3.1 Batas Efisiensi sel surya intermediate band , sel surya tandem 2 terminal. (Som Nath Dahal,Disertasi, 2011)
709
Dalam Intermediate band solar cells (IBSCs), sebuah material dengan IB yang ditempatkan di daerah intrinsic antara semikonduktor konvensional tipe p dan n seperti diperlihatkan gambar di bawah ini. Material IB harus mengandung paling sedikit satu pita di antara pita valensi dan pita konduksi.
Gambar 4.4.3.2 skema proses penyerapan foton dan split level quasiFermi dalam sel surya IB (Som Nath Dahal,Disertasi, 2011)
Para peneliti seluruh dunia sedang mencari dan meneliti material bulk dan molecular yang mempunyai potensial memiliki IB yang cocok untuk IBSCs. Struktur nano seperti quantum well, wire dan dots direkomendasikan sebagai calon material untuk IBSC. Dalam struktur ini, Kristal nano dari material dengan band gap kecil dikelilingi material dengan band gap besar dalam dimensi satu, dua dan tiga menghasilkan quantum well, wire dan dots secara berurutan. Kedaan terkurung pada pita konduksi dan valensi dari material quantum well, wire atau dots bertindak sebagai keadaan menengah yang bias memfasilitasi penyerapan foton-foton sub band gap. Tetapi berkaitan dengan k vector carrier continuum dalam arah yang tidak terkurung, quantum well dan wire tidak memiliki rapat keadaan yang cocok untuk menjaga level quasi-Fermi, sebagaimana yang ditunjukkan gambar di bawah ini. Quantum dots Kristal nano, berkaitan dengan fungsi deltanya seperti rapat keadaan, dapat menjadi calon material yang cocok untuk menjaga level quasi-Fermi dari intermediate band diciptakan keadaan-keadaan terkurung tersebut (confined states).
Gambar 4.4.3.2. Skema rapat keadaan untuk pengurungan yang berbeda dibandingkan dengan bulk (Som Nath Dahal,Disertasi, 2011)
710
Dalam quantum dots, keadaan terkurung pada pita konduksi dan valensi dapat bertindak sebagai keadaan intermediate, dan jika jarak antara Kristal nano quantum dots cukup kecil sehingga terjadi overlapping fungsi gelombang diantara dot-dot sekitarnya yang cukup signifikan mereka akan membentuk sebuah pita yang dapat bertindak sebagai sebuah pita intermediate seperti yang ditunjukkan di bawah ini. Untuk applikasi quantum dots pada IBSCs, penumbuhan metode stranski-Krastanov (SK) bias dipakai untuk fabrikasi QDs melalui metode epitaxial yang dikontrol dengan sempurna menggunakan molecular beam epitaxy (MBE) atau metalorganic chemical vapor deposition (MOCVD).
Gambar 4.4.3.3 Diagram skema dari material intermediate band dengan IB terbentuk melalui fungsi gelombang quantum dots yang overlapping (Som Nath Dahal,Disertasi, 2011)
Dalam mekanisme penumbuhan SK, ketidaksebandingan kisi-kisi antara material multi struktur memainkan peranan yang penting untuk mengontrol bentuk, ukuran dan keseragaman quantum dots, bersamaan dengan kondisi penumbuhan seperti rasio flux dan suhu substrate. Dot-dot bias disusun sejajar sepanjang arah vertical dan ketebalan dari lapisan barrier bisa dikontrol dalam skema penumbuhan ini. Oleh karena itu, dengan mengontrol ketebalan lapisan barrier dalam arah vertical, terbentuk intermediate band bida didapat. Diantara beragam isu dan tantangan dalam sel surya multiple transition dengan QDs sebagai material intermediate band, salah satunya adalah mengembangkan model material yang sempurna mengacu pada efek-efek realistic berhubungan dengan kondisi penumbuhan. Salah satu efek realistiknya adalah efek realistic strain dalam menentukan parameter-parameter pita energi dari QDs dan material barrier. Penelitian terdahulu (teori dan eksperimen) dalam sel surya quantum dots atau sel surya intermediate band berkutat di sekitar InAs/GaAs dan InGaAs/GaAs yang merupakan kombinasi material yang tidak optimum untuk Quantum dot intermediate band solar cells QDIBSCs. Keuntungan utama dari solar sel nano dan quantum dot adalah kemungkinan menggunakan mekanisme fisika yang baru yang bisa melebihi efisiensi sel surya single junction. Batas efisiensi termodinamiknya menyamai sel surya tandem. Untuk bahan yang sama, dengan pendekatan nano dan quantum dot efisiensi sel surya bisa lebih ditingkatkan. Sebagai contoh, quantum dot intermediate solar cell (IBSC) (1) dua material menghasilkan efisiensi yang sama dengan three junction tandem, sementara pendekatan hot
711
carrier memungkinkan menggunakan material penyerap untuk menghasilkan efisiensi lebih dari 50 % di bawah konsentrasi. Proses fabrikasi material untuk sel surya berbasis nano dapat dilakukan dengan mekanisme fisika, kimia dan biologi. Mekanisme kimia dan biologi memiliki potensi untuk menghasilkan sel surya berbiaya rendah. Usaha-usaha untuk membuat semikonduktor berstruktur nano , partikel nano logam, dan karbon nanotube telah membuka jalan untuk membuat sel surya generasi baru. Ide-ide baru untuk bisa menyerap banyak foton dengan menggunakan semikonduktor berbasis nano dan Assembly molecular sangat dibutuhkan. Semikonduktor Quantum Dots dapat menyerap semua gelombang cahaya tampak. Hal ini dikarenakan banyaknya jumlah Quantum Dot yang ada dipermukaan suatu semikonduktor dengan ukuran yang bervariasi menyebabkan semakin banyaknya cahaya dengan panjang gelombang yang bervariasi di daerah cahaya tampak yang diserap oleh semikonduktor tersebut. bahkan tidak menutup kemungkinan cahaya inframerahpun bisa diserap oleh semikonduktor Quantum Dots. Sehingga pemakaian material Quantum Dots dalam perangkat sel surya sangat dibutuhkan untuk memperlebar jangkauan penyerapan spektrum cahaya matahari. Hal tersebut melengkapi kemampuan material nano struktur yang menyerap energi foton dengan panjang gelombang pendek.
37.4 Dasar Teori Dalam bahan semikonduktor murni, elektron hanya mungkin memiliki energi yang berada pada salah satu pita energi, yaitu pita valensi atau pita konduksi. Pada suhu yang sangat rendah, tingkat energi yang dimiliki elektron hanya pada vita valensi. Daerah antara pita valensi dan pita konduksi disebut celah pita energi (energy band gap). Di mana pada daerah ini terdapat nilainilai energi yang tidak bisa dimiliki oleh elektron. Ketika elektron mendapatkan energi baik dari foton, panas, atau tumbukan partikel lain maka ia akan terlempar (eksitasi) dari pita valensi menuju pita konduksi. Energi yang diterima elektron minimal harus sama dengan celah lebar pita energi. Ketika elektron pindah dari pita valensi ke pita konduksi maka ia meninggalkan daerah kosong di pita valensi. Tempat yang kosong ini disebut hole. Yang dianggap sebagai partikel bermuatan positif. Persyaratan bagi elektron agar dapat tereksitasi dari pita valensi ke pita konduksi adalah energi yang diterima harus lebih besar panjang gelombang cahaya pengeksitasi harus memenuhi hc/λ > Eg dengan h adalah konstanta Plank dan λ adalah panjang gelombang cahaya pengeksitasi. Gambar 37.4.1 dibawah ini menggambarkan level energi elektron pada semikonduktor.
712
Celah Pita
Gambar 4.4.1 : ilustrasi pita valensi, pita konduksi dan celah pita energi bahan Ukuran partikel dalam nanometer semikonduktordapat mengubah lebar celah pita
energi. Berbeda dengan ukuran bulk. Bentuk kecil dan besarnya memiliki celah pita energi yang sama. Bandgap partikel akan semakin besar jika ukurannya bertambah kecil jika ukurannya dalam nanometer.
37.4.1 Sumur Quantum (Quantum Well) Sumur kuantum adalah daerah yang memiliki potensial rendah dengan lebar d dibatasi oleh potensial tak hingga, mengurung partikel apa saja yang ada di dalam sumur tersebut. Potensial di dalamnya dianggap nol untukmempermudah memecahkan persamaan Schroedinger, karena kedua dindingnya berpotensial tah hingga, maka mempunyai pengaruh terhadap solusi persamaan Schroedinger tersebut. Sesuai dengan teori kuantum, hanya energi dengan nilai-nilai tertentu yang dimungkinkan ada di dalam sumur kuantum tersebut. Setiap partikel mempunyai panjang gelombang deBroglie berdasarkan massa dan energinya, keadaan energi yang dimungkinkan di dalam sumur kuantum sesuai dengan level energi yang menyebabkan panjang gelombang deBroglie membentuk gelombang berdiri. Panjang gelombang de Broglie dan syarat untuk gelombang berdirinya adalah sebagai berikut: λ𝑑𝑑𝑑𝑑 = �
ℎ2
(1)
2𝑚𝑚𝑚𝑚
𝑛𝑛λ𝑑𝑑𝑑𝑑 = 2𝑑𝑑
(2)
dengan mensubstitusi panjang gelombang dan mencari solusi untuk energi akan didapatkan ungkapan tingkat energi yang dimiliki oleh partikel sebagai berikut. ℎ 2 𝑛𝑛 2
𝐸𝐸𝑛𝑛 = (3) 8𝑚𝑚𝑑𝑑 2 Setiap nilai n sesuai dengan satu keadaan energy yang diizinkan, dimana n =1 adalah energi terendah. Gelombang berdiri dalam sumur kuantum akan memiliki setengah panjang gelombang n.
Energi
n=4 n=3
x
n=2 n=1
Gambar 4.4.1.1 : Keadaan energi sumur kuantum 1-D 713
Ungkapan untuk level energi ini bisa juga didapat dengan menyelesaikan persamaan Schroedinger dalam sumur kuantum dan menerapkan syarat batas. Persamaan Schroedinger tidak bergantung waktu adalah sebagai berikut: −ℎ 2 𝜕𝜕 2 𝜓𝜓
8𝜋𝜋 2 𝑚𝑚 𝜕𝜕𝑥𝑥 2
= (𝐸𝐸 − 𝑉𝑉)𝜓𝜓
(4)
Ketika potensial V sama dengan nol, pemecahan persamaan diferensial yang sederhana ini akan menghasilkan ungkapan periodik untuk fungsi gelombang sebagaimana ditunjukkan di bawah ini: 𝜓𝜓 = 𝐴𝐴 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 ��
8𝜋𝜋 2 𝑚𝑚𝑚𝑚 ℎ2
𝑥𝑥� + 𝐵𝐵 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 ��
8𝜋𝜋 2 𝑚𝑚𝑚𝑚 ℎ2
𝑥𝑥� (5)
Syarat batas dimana fungsi gelombang sama dengan nol ketika x = 0 dan x = d, yang akan menghasilkan B = 0. A harus tidak sama dengan nol, oleh karena itu ungkapan di dalam fungsi sinus harus sama dengan nilai bulat dari pi. Jika syarat batas dipenuhi, maka akan didapat solusi E sebagai fungsi n. 0 = 𝐴𝐴 sin �� 𝑛𝑛𝑛𝑛 = � 𝐸𝐸𝑛𝑛 =
8𝜋𝜋 2 𝑚𝑚𝑚𝑚
8𝜋𝜋 2 𝑚𝑚𝑚𝑚
ℎ 2 𝑛𝑛 2
8𝑚𝑚 𝑑𝑑 2
ℎ2
ℎ2
𝑑𝑑
𝑑𝑑�
(6) (7) (8)
Untuk model 3 dimensi, gelombang berdiri dapat berada dalam arah 3 dimensi saling bebas satu sama lain. Oleh karena itu, ungkapan untuk energi yang diizinkan dimodifikasi dan n mempunyai 3 nilai sesuai dengan arahnya 𝐸𝐸𝑛𝑛 =
ℎ 2 (𝑛𝑛 1 2 +𝑛𝑛 2 2 +𝑛𝑛 3 2 ) 8𝑚𝑚 𝑑𝑑 2
(9)
37.4.2 Quantum Dot Energi elektron-elektron dalam sebuah semikonduktor umumnya bergantung pada suhu dan sifat-sifat materialnya. Ketika elektron terkurung dan hanya mampu bergerak dalam arah dua dimensi (bidang) dikarenakan elektron tersebut tidak mempunyai energi yang cukup untuk menembus dimensi yang ketiga, daerah ini disebut quantum well (sumur kuantum). Ketika 714
elektron terkurung dalam satu dimensi (garis) dan tidak mempunyai energi yang cukup untuk menembus dimensi yang ke-dua dan tiga maka daerah tersebut dinamakan quantum wire. Dan apabila elektron terkurung dalam suatu daerah dimana elektron tidak bisa bergerak baik pada dimensi kesatu, dua dan tiga maka daerah tersebut dinamakan quantum dot (QD). Dapat disimpulkan bahwa quantum well, quantum wire, dan khususnya QD merupakan skema pemerangkapan elektron dalam dimensi tertentu untuk membatasi geraknya sehingga menghasilkan sifat-sifat kuantum yang diinginkan. Contoh dimensi material dari ukuran besar hingga QD diilustrasikan pada gambar 37.4.2.1
1
2
3
4
Gambar 37.4.2.1: 1. Bulk (3 dimensi ) tiga derajat kebebasan (sumbu x,y dan z) 2.Quantum well (2 D) 2 derajat kebebasan (sumbu x dan y). 3. Quantum wire (1 D) 1 derajat kebebasan (sumbu x). 4. Quantum Dot (0D) 0 derajat kebebasan (electron terkurung dalam semua arah) (John Romankiewicz , 2004)
Quantum Dot kadang disebut atom tiruan (artificial atom). Ini dikarenakan QD memiliki ukuran beberapa kali ukuran atom tunggal, tetapi masih tetap kecil sehingga sifat-sifatnya menyerupai atom. Ukurannya mulai dari 1 nm sampai 10 nm. n=3 n=2 n=1
Eg n=1 n=2 n=3
Gambar 37.4.2.2. Diagram Energi untuk semikonduktor Quantum Dot
Gambar di atas adalah diagram skema keadaan energi dalam sebuah Quantum Dot. Ketika tereksitasi, elektron yang berada di dalam pita konduksi berada pada salah satu keadaan energi yang ke-n, begitu juga hole. Oleh karena itu perbedaan energi minimum terletak antara elektron dan hole bukan celah pita, namun, selisih energi antara keadaan energi n =1 dari hole di pita valensi dan n = 1 di pita konduksi. Selisih ini sama seperti persamaan energi untuk elektron di dalam sumur kuantum ditambah dengan persamaan energi untuk hole ditambah dengan celah pita energi material. ∆𝐸𝐸 =
ℎ𝑐𝑐 𝜆𝜆
= 𝐸𝐸𝐵𝐵𝐵𝐵 +
ℎ 2 (𝑛𝑛 1 2 +𝑛𝑛 2 2 +𝑛𝑛 3 2 ) 8𝑚𝑚 𝑒𝑒∗ 𝑑𝑑 2
+
ℎ 2 (𝑛𝑛 1 2 +𝑛𝑛 2 2 +𝑛𝑛 3 2 ) 8𝑚𝑚 ℎ∗ 𝑑𝑑 2
(10)
Sebuah foton harus memiliki energi sebesar ini untuk mengeksitasi sebuah elektron dan diserap. Di dalam material semikonduktor, hole dan 715
elektron memiliki massa efektif yang berbeda untuk dipakai di persamaan di atas. Terdapat satu faktor lagi yang mempengaruhi energi yang dibutuhkan, merujuk pada efek eksiton. Dua pembawa muatan, hole dan elektron, tidak terisolasi. Mereka saling berinteraksi satu sama lain, menghasilkan energi potensial negatif seperti ditunjukkan di bawah ini −𝑒𝑒 2
𝑉𝑉 = (11) 4𝜋𝜋𝜋𝜋 ∈ Keduanya saling mengorbit satu sama lain, sama seperti interaksi antara proton dan elektron dalam atom hidrogen, ini menyebabkan ada suku tambahan berupa energi kinetik. Karena proton jauh lebih besar, elektron dianggap mengelilingi proton. Asumsi yang sama bisa diterapkan pada hole, walaupun tidak sebesar proton, hole lebih berat dari elektron. Gaya sentripetal yang mengurung elektron diorbitnya adalah gaya Coulomb, dengan mengetahui hubungan antara percepatan dan percepatan untuk gerak melingkar, maka mungkin mendapat energi kinetiknya. 𝑣𝑣 2
𝑎𝑎 = 𝑒𝑒 2
1
2
4𝜋𝜋∈𝑟𝑟 2
= 𝑚𝑚𝑒𝑒∗
𝑚𝑚𝑣𝑣 2 =
12)
𝑟𝑟
𝑒𝑒 2
4𝜋𝜋∈
𝑣𝑣 2
(13)
𝑟𝑟
= 𝐾𝐾𝐾𝐾
(14)
Energi total kombinasi elektron dan hole adalah sama dengan energi kinetik ditambah dengan energi potensial. 𝐸𝐸𝑥𝑥 = 𝐾𝐾𝐾𝐾 + 𝑉𝑉 =
𝑒𝑒 2
8𝜋𝜋∈𝑟𝑟
−
𝑒𝑒 2
4𝜋𝜋∈𝑟𝑟
= −
𝑒𝑒 2
(15)
8𝜋𝜋∈𝑟𝑟
Sehingga persamaan akhir untuk energi foton yang diserap atau diemisikan adalah sebagai berikut:
∆𝐸𝐸 =
ℎ𝑐𝑐 𝜆𝜆
= 𝐸𝐸𝐵𝐵𝐵𝐵 +
ℎ 2 (𝑛𝑛 1 2 +𝑛𝑛 2 2 +𝑛𝑛 3 2 ) 8𝑚𝑚 𝑒𝑒∗ 𝑑𝑑 2
+
ℎ 2 (𝑛𝑛 1 2 +𝑛𝑛 2 2 +𝑛𝑛 3 2 ) 8𝑚𝑚 ℎ∗ 𝑑𝑑 2
−
𝑒𝑒 2
8𝜋𝜋∈𝑟𝑟
(16)
Dimana ; E BG = Energi band gap, h = konstanta planck, c = kecepatan cahaya ∗ ∗ ∈ = Kosntanta dielektrik 𝑚𝑚𝑒𝑒 = masa efektif elektron, 𝑚𝑚ℎ = masa efektif hole r = jari-jari Quantum Dot d = diameter Quantum Dot Contoh perhitungan sederhana panjang gelombang yang diserap jika ukuran Quantum Dot divariasikan. Bahan : CdTe Energi Band Gap = 1,51 eV pada suhu kamar. 716
Masa Efektif Elektron : 0,096 (Berger, 1997). Masa Efektif Hole : 0,84 (Berger, 1997). Konstanta Dielektrik (ε) : 10,392 (Zanio, 1978) Dengan memvariasikan ukuran r Quantum Dot dari 2,5 nm sampai 5 nm, dan memasukkan ke dalam pers berikut ∆𝐸𝐸 =
ℎ𝑐𝑐 𝜆𝜆
= 𝐸𝐸𝐵𝐵𝐵𝐵 +
ℎ 2 (𝑛𝑛 1 2 +𝑛𝑛 2 2 +𝑛𝑛 3 2 ) 8𝑚𝑚 𝑒𝑒∗ 𝑑𝑑 2
+
ℎ 2 (𝑛𝑛 1 2 +𝑛𝑛 2 2 +𝑛𝑛 3 2 ) 8𝑚𝑚 ℎ∗ 𝑑𝑑 2
−
𝑒𝑒 2
8𝜋𝜋∈𝑟𝑟
(17)
Maka permulaan absorbsi secara teoritis akan terjadi antara 614,3 nm dan 618,5 nm. Dengan hasil di atas kita dapat memvariasikan ukuran Quantum Dot sesuai dengan panjang gelombang cahaya yang kita ingin serap untuk aplikasi sel surya. Kalau ukuran jari-jarinya kita perbesar lagi sampai mencapai 10 nm maka sangat mungkin kita menyerap cahaya di daerah infra merah. Dikarenakan sifat-sifat luar biasa yang dimiliki oleh material quantum dot inilah para ahli tertarik untuk meneliti penggunaan quantum dot untuk diterapkan pada sel surya.
37.5 Eksperimen Pada bagian ini akan diperlihatkan hasil eksperimen yang mengkombinasikan antara material solar sel yang berukuran nano dengan quantum dot dalam susunan sel surya yang menghasilkan daya serap lebih baik dibandingkan dengan tanpa kombinasi keduanya dan juga dibandingkan dengan material bulk. 37.5.1. Material Quantum Dots Quantum Dots CdSe disebar ke partikel nano TiO 2 dan NanoTube TiO 2. Bentuk susunannya seperti gambar 37.5.1.1 di bawah ini
a b Gambar 4.5.1.1. a. Nano partikel OTE/TiO2 b. Nanotube Ti/TiO2 (Anusom K ,et al, 2008)
Gambar 37.5.1.2. memperlihatkan hasil Scanning Electron Micrograph (SEM) dari T i O 2 film tipis yang dimasukan ke OTE (Optically Trasnparent Electrode) dan film nanotube T i O 2 dimasukkan pada Titanium Subsrate.
717
Gambar 4.5.1.2. Hasil SEM dari (A) Flm tipis TiO2 pada OTE dan (B,C,D) nanotube TiO2. Tampak samping (B) , tampak atas (C), dan tampak diperbesar (D) (Anusom K, et al, 2008)
Gambar 37.5.1.3 menunjukkan empat ukuran berbeda dari Quantum Dots CdSe yang dimasukkan ke dalam Elektroda OTE/T i O 2 (Partikel Nano) dan Ti/TiO 2 (Nano tube).
Gambar Gambar 4.5.1.3. 2,3 nm, 2,6menunjukkan nm, 3 nm dan 3,7 nm diameter Quantum Dot CdSedengan (A) 4.5.1.4 desain solar sel “Rainbow” Tunggal (B) dimasukkan ke TiO2 film tipis (OTE/TiOe/CdSe) dan (C) dimasukan ke Quantum Dots CdSe dalam Nanotube T i O 2 susunan nanotube TiO2 (Ti/T iO2(NT)/CdSe (Anusom K, et al, 2008)
Gambar 4.5.1.1. Solar sel “Rainbow” dibuat dengan Quantum Dots CdSe dalam susunan nanotube TiO2 (Anusom K, et al, 2008)
37.5.2. Alat Alat yang digunakan untuk mengukur daya serap cahaya adalah spektrofotometer Shimadzu UV-3101 PC.
718
Gambar 37.5.2.1 spektrofotometer Shimadzu UV-3101 PC (http://www.chem.uky.edu/courses/che450g/handouts/shimadzuinstructions.html)
37.5.3. Hasil dan Pembahasan Hasil pengukuran daya serap cahaya matahari dengan alat UV-3101 PC spektrofotometer Shimadzu ditunjukkan gambar di bawah ini. 1. Quantum dots CdSe dengan variasi ukuran diameter 2,3 nm, 2,6 nm, 3,0 nm, 3,7 nm. Untuk CdSe dengan diameter 2,3 nm penyerapan cahaya matahaari dimulai dengan panjang gelombang 540 nm, untuk ukuran diameter 2,6 nm penyerapan dimulai dengan panjang gelombang 600 nm, sedangkan untuk ukuran diameter 3 nm penyerapan dimulai dengan panjang gelombang 605 nm dan untuk ukuran diameter 3,7 nm penyerapan dimulai dengan panjang gelombang 620 nm. Gambar 37.5.3.1 menunjukkan daya serap quantum dots CdSe dengan variasi diameter 2,3 nm, 2,6 nm, 3,0 nm, dan 3,7 nm.
Gambar 4.5.3.1 Spektrum penyerapan quantum dots CdSe dengan diameter 2,3 nm, 2,6 nm, 3 nm, dan 3,7 nm. (Anusom K, et al, 2008)
2. Quantum dots CdSe yang dimasukkan ke dalam film tipis TiO 2 ukuran nano dan nanotube TiO 2 . Untuk CdSe dengan diameter 2,3 nm, 2,6 nm, 3,0 nm dan 3,7 nm penyerapan dimulai dengan panjang gelombang 590 nm, 600 nm, 610 nm dan 640 nm. Gambar 37.5.3.2 menunjukkan spektrum serapan cahaya untuk CdSe yang dimasukkan ke dalam TiO 2 partitikel nano dan TiO 2 nanotube.
719
Gambar 4.5.3.2. Spektrum penyerapan quantum dots CdSe (a) 3,7 nm (b) 3,0 nm (c) 2,6 nm (d) 2,3 nm dimasukkan kedalam film tipis TiO2 (A) OTE/TiO2 (Nano Partikel)/CdSe (garis utuh) dan (B) Ti/TiO2 (nanotube)/CdSe (garis terputusputus)
Dari kedua grafik tadi diperlihatkan pergeseran penyerapan cahaya matahari jika quantum dots CdSe dikombinasikan dengan TiO 2 dalam ukuran nano. Pergeran penyerapan terjadi dari gelombang pendek menuju gelombang panjang. Dan terlihat hampir semua spectrum cahaya tampak bisa diserap oleh sel surya dengan material kombinasi antara quantum dots dan partikel nano. Quantum dots CdSe memiliki Band Gap kecil sedangkan TiO 2 memiliki band gap lebih besar. Elektron ditansfer dari material quantum dots (CdSe) menuju material partikel nano (TiO 2 ). Ukuran CdSe yang bervariasi menciptakan band gap yang bervariasi pula sehingga ini dapat memperlambat prosese rekombinasi elektron dan hole. Variasi level energi gap ini juga dapat menyerap spectrum cahaya matahari yang lebih lebar di daerah cahaya tampak. Gambar 37.5.3.3 mengilustrasikan level energi CdSe dengan variasi ukurannya dan TiO 2.
Gambar 4.5.3.3 Diagram ilustrasi level-level energy untuk quantum dots CdSe dengan ukuran yang berbeda dan TiO2 (Anusom K, et al, 2008)
Sebagai perbandingan penyerapan cahaya oleh bahan bulk adalah sebagai berikut: 1. Bahan CdS, Grafik penyerapan cahayanya diperlihatkan pada gambar di bawah ini:
Gambar 4.5.3.4. Penyerapan cahaya oleh CdS bulk diambil dari G Kickelbick, Hybrid Materials : Synthesis, characterization dan Applications, Wiley-VCH, Weinheim (2007)
720
Dari grafik di atas terlihat bahwa permualaan penyerapan cahaya oleh material CdS bulk dimulai dengan panjang gelombang 550 nm. Hanya panjang gelombang tersebut yang diserap oleh bahan CdS bulk. Untuk panjang gelombang lebih besar dari 550 nm CdS bulk tidak bisa menyerapnya dikarenakan energi yang dimiliki oleh cahaya dengan panjang gelombang lebih besar dari 550 nm tidak cukup untuk menciptakan pasangan elektron dan hole. 2. Bahan ZnO, grafik penyerapan cahaya oleh ZnO terlihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 4.5.3.5. Penyerapan cahaya oleh ZnO bulk. (Bergstrom et al.1996, Yoshkawa et al. 1997))
Dari grafik diatas terlihat juga bahwa penyerapan cahaya oleh ZnO bulk dimulai pada panjang gelombang 410 sampai 450 nm. Untuk panjang gelombang yang lebih besar dari 450 nm ZnO bulk tidak bisa menyerapnya. Ini dikarenakan panjang gelombang yang lebih dari 450 nm tidak mempunyai energi yang sama dengan bandgap bahan ZnO bulk. Dari perbandingan 2 material bulk diatas terlihat bahwa penyerapan cahaya oleh bahan nano dan quantum dots jauh lebih besar dibanding dengan bahan bulk. Dengan variasi ukuran quantum dots maka semakin lebar spectrum cahaya matahari yang akan diserap oleh sel surya berbahan nano dan Quantum dots. Tentunya ini akan mempengaruhi efisiensi sel surya secara keseluruhan. Dengan fakta inilah penelitian pemakaian material berstruktur nano dan quantum dots pada sel surya semakin ditingkatkan dikarenakan adanya harapan untuk meningkatkan efisiensi sel surya melebihi limit maksimum efisiensi sel surya silikon sebesar 33%.
37.5 Efisiensi Efisiensi sel surya quantum dots secara teori dapat ditingkatkan hingga 44 %. Pada sel surya yang sekarang, cahaya yang diserap partikel hanya dapat mengeksitasi satu elektron (membuat satu pasangan elektron-hole), sedangkan 721
pada Sel surya quantum dots foton yang ada pada cahaya dapat mengeksitasi beberapa elektron (Multiple Exiton Generation). Semakin banyak elektron yang tereksitasi, semakin baik efisensi suatu sel surya. Pemakaian quantum dots pada sel surya pertama kali diidekan oleh Burnham and Duggan pada tahun 1990. Efisiensi sel surya quantum dots pada waktu itu baru mencapai 5,1 % dan jenis quantum dots yang dipakai adalah koloid. Dibandingkan dengan efisiensi yang telah dicapai bahan silikon memang masih kecil tetapi masih mempunyai peluang yang besar untuk ditingkatkan. Usaha untuk meningkatkan efisiensi sel surya quantum dots terus dilakukan. Diantaranya dengan memakai ligan inorganik untuk mengikat permukaan quantum dots. Ini dilakukan karena selama ini selubung yang dipakai untuk quantum dot adalah molekul organik yang memisahkan quantum dots dalam skala nanometer. Dalam skala nano, jarak tersebut relatif cukup jauh untuk perjalanan elektron. Idealnya jarak antar quantum dots harus berhimpit sehingga memungkinkan elektron bergerak dengan cepat dan lancar dalam sel surya. Dan capaian efisiensinya cukup tinggi yaitu 6 %. Quantum dot yang digunakan adalah PbS (timbal sulida). Gambar di bawah ini menunjukkan struktur sel surya teersebut:
Gambar 37.5.1. Struktur sel surya yang menggunakan quantum dot PbS (timbal sulida) ( Sargent et.al., Nature Materials)
Peningkatan transport elektronik dan juga stabilitas yang lebih lama adalah salah satu keuntungan dari penggunaan bahan-bahan inorganik . Dan sampai saat ini peningkatan efisiensi sel surya quantum dots masih terus dilakukan oleh para peneliti
37.5 Penutup Penggunaan quantum dots dalam bahan sel surya dapat meningkatkan daya serap sel surya tersebut. Dikarenakan bandgap Quantum dots dapat dimodifikasi dengan memvariasikan ukuran quantum dots tersebut. Dengan memvariasikan bandgap maka kita dapat mengontrol energi-energi matahari 722
yang ingin diserap oleh sel surya dengan bahan quantum dots. Berbeda dengan material bulk dimana bandgapnya tidak bisa diubah-ubah sesuai dengan komposisi materialnya. Pada material quantum dots energi-energi elektron yang ada padanya dibatasi oleh ukuran quantum dots. Di dalam suatu semikonduktor quantum dots dimungkinkan terdapat variasi level energi matahari yang diserap sel surya dengan memvariasikan ukuran quantum dots. Ini dapat mengatasi problema sel surya konvensional yang hanya mampu menyerap cahaya maksimal di area cahaya tampak. Kombinasi antara material quantum dots dan partikel nano dapat memperlebar penyerapan spcktrum cahaya matahari sehingga hampir semua cahaya tampak dapat diserap oleh sel surya berbahan kombinasi antara quantum dots dan partikel nano. Hal ini disebabkan karena quantum dots memiliki sifat dapat menyerap cahaya matahari di daerah cahaya tampak. Sedangkan semikonduktor bahan nano menyerap cahaya matahari dengan panjang gelombang pendek (energi besar). Kombinasi keduanya menciptakan level energi yang bervariasi dalam semikonduktor sehingga mencegah terjadinya rekombinasi antara elektron dan hole yang terlalu cepat. Variasi level energi ini juga membuat daya serap sel surya melebar menuju spektrum cahaya dengan gelombang lebih panjang pada daerah cahaya tampak, yaitu cahaya infra merah yang memiliki panjang gelombang 700 nm sampai dengan 1 mm. Peningkatan efisiensi sel surya melebihi 32 % sangat mungkin dicapai apabila cahaya inframerah bisa diserap sel surya. Karena hampir 50% cahaya matahari yang sampai ke bumi adalah cahaya inframerah..
723
DAFTAR PUSTAKA 1. Abdulah Mikrajudin, “ Pengantar Nanosains” . Penerbit ITB, Bandung, 2009 2. Honsberg Christiana B,.Barnett Allen M, Kirptrik Douglas, “ Nanostructured Solar Cells for High Efficiency Photovoltaic”, University of Delaware, DE, USA 19716 (2006) 3. Anusom Kongkanand, Kevin Tvrdy, Kensuke Takechi, Masaru Kuno, and Prashant V.Kamat, “ Quantum Dot Solar Cell. Tuning Photoresponse through Size and Shape Control of CdSe-TiO 2 Architecture”, Journal of The American Chemical Society, 130,4007-4015 (2008) 4. Som Nath Dahal, “Advanced Nanostructured Concepts in Solar Cells using III-V and Silicon-Based”, Dissertation, Arizona State University, 2011 5. Istya’n Robel, Vaidyanathan Subramanian, Masaru Kuno, “Quantum Dot Solar Cells. Harvesting Light Energi with CdSe Nanocrystals Molecularly Linked to Mesoscopic TiO 2 Films”, Journal of The American Chemical Society, 465565674 , Indiana 2005 6. Grätzel Michael, “Dye-sensitized solar cells” Journal of Photochemistry and Photobiology C: Photochemistry Reviews 145–153 (2003) 7. Kyu-Hyun Banga, Deuk-Kyu Hwanga, Min-Chul Parka, Young-Don Kob, Ilgu Yunb, Jae-Min Younga, , “Formation of p-type ZnO film on InP substrate by phosphor doping” Science Sirect, 177–182 (2003) 8. Yoga Tatsuo, “Nanostructured Materials for Solar Energy Conversion”, Nagoya 466-8555, Japan 9. Lewis, N. S.; Crabtree, G. W.; Nozik, A. J.; Wasielewski, M. R.; Alivisatos, A. P. “Basic Energy Sciences Report on Basic Research Needs for Solar Energy Utilization”; Office of Science, U.S. Department of Energy, 2005. 724
10. Graetzel, M. “Nanocrystalline Electronic Junctions. In Semiconductor Nanoclusters - Physical, Chemical and Catalytic Aspects”; Kamat, P. V.,Meisel, D. Eds.; Elsevier Science: Amsterdam, The Netherlands, 1997 11. “ International Energy Outlook 2010,” US Energy Information Administratio, Department of energy, published July 2010
12. “ Annual Energy Review 2009,” US Energy information Administration, Department of Energy, published August 2010 13. S.P Bremner, R Corkish, and C.B. Honserberg, “ Detailed balance efisiency Limits with quasi-Fermi level variations, “IEEE Transactions on Electron Devices. Vol.46.no.10.pp.1932-1999 14. S.P. Bremmer, M.Y.Levy, C.B. Honsberg, “Analysis of Tandem Solar Cell Effisiensi Under AM!.5G spectrum Using a Rapid Flux Calculation Method, “ Progress in Photovoltaic: Research and Applications, vol.16, pp.225-233,2008 15. A.Luque, A.Marti, “Increasing the effieciensy of ideal solar cells by photon induced transitions at intermediate levels,” Physical Review Letters, vol.78, p.5015,1997 16. A.De Vos and B Desoete, “On the ideal performance of solar cells with largerthan unity quantum effieciency,” Solar Energy Materials and Solar cells, vol.51.pp.413-424, 1998 17. R.T.Ross, “Effieciency of hot-carrier solar energy converters,”Journal of Applied Physics, vol.53,p.3813,1982 18. K.M Yu, W.Walukiewicz, J.Wu,W.Shan, J.W.Beeman, M.A Scarpulla, O.D.Dubon, and P.Becla, “Diluted II-VI oxide semikonduktors with multiple band Gaps, “Physical Review Letters, vol.91,p.246403, 2003 19. C.Tablero, “Analysis of the electronic properties of intermediate band materials as a function of impurity concentration,”Physical Review B, vol.72, no.3,p.035213, 2005 20. Martin A.Green, “Third generation photovoltaics: Ultra-high conversion efficiency at low cost,” Progress in photovoltaics : Research and Applications, vol.9,pp: 123-135, 2001
725
726