Pengertian Administrasi Perpajakan, Kepatuhan dan Pajak Internasioanal Ilmu administrasi adalah cabang atau disiplin ilmu sosial yang melakukan studi terhadap”administrasi” sebagai salah satu fenomena masyarakat modern. Administrasi sebagai objek studi Ilmu Administrasi paling sedikitnya mempunyai 10 (sepuluh) aspek yang penting yakni administrasi merupakan suatu fenomena sosial, suatu perwujudan tertentu di dalam masyarakat (modern). Eksistensi daripada “Administrasi” ini berkaitan dengan “organisasi (dalam arti modern…), artinya: “administrasi” itu terdapat di dalam suatu “organisasi”. Jadi, barang siapa hendak mengetahui adanya “administrasi” dalam masyarakat dia harus mencari terlebih dahulu suatu “organisasi” yang masih hidup; di situ terdapat “administrasi”. Administrasi merupakan suatu hayat atau kekuatan yang memberikan hidup atau gerak kepada suatu “organisasi”. Tanpa “administrasi”, maka setiap “organisasi” akan mati, dan tanpa “administrasi” yang sehat, maka “organisasi” itu pun tidak sehat pula. Pembangkit daripada “administrasi” sebagai “kekuatan” atau “energi” atau “hayat” ini adalah Administrator, yang harus pandai menggerakkan seluruh sistemnya yang terdiri atas para manager, staffer, dan personil lainnya. Administrasi merupakan suatu fungsi yang tertentu untuk mengendalikan, menggerakkan, mengembangkan dan mengarahkan suatu “organisasi”, yang dijalankan oleh Administrator dibantu oleh tim bawahannya, terutama para manager dan staffer. Administrasi merupakan kelompok orang-orang yang secara bersama-sama merupakan “badan pimpinan” (the governing body) daripada suatu “organisasi”, yang merupakan pimpinan atau tim pimpinan. Dalam pengertian ini orang di Amerika Serikat berbicara tentang “the Ford Administration”, the Carter Administration”, the Reagen Administration”. Administrasi merupakan suatu seni (art, kunst) yang memerlukan bakat, dan ilmu (science, knowledge, wetenschap, kennis) yang selain pengetahuan memerlukan pula pengalaman. Administrasi merupakan proses penyelenggaraan bersama atau proses kerjasama, antara sekelompok orang-orang secara tertentu untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang telah ditentukan dan direncanakan sebelumnya. Kerjasama antara orang-orang tersebut berlangsung secara dan melalui “organisasi”. Administrasi merupakan suatu jenis tingkah laku atau sikap kelakuan sosial yang tertentu (administative behaviour or
“administration” as a special type of social behaviour) yang memerlukan sikap serta kondisi mental yang tertentu, dan merupakan suatu tipe tingkah laku manusia yang tertentu (special type of human behaviour). Administrasi merupakan suatu praktik (practice) atau teknik (technique) yang tertentu, suatu tata cara melakukan atau mengerjakan sesuatu, yang memerlukan kemampuan, kemahiran, keterampilan (skills) atau kebiasaan yang tertentu yang hanya dapat diperoleh melalui pendidikan dan latihan. Administrasi merupakan suatu sistem (system) atau sistema (systems) yang tertentu, yang memerlukan input, trasportasi, pengolahan dan output yang tertentu. Administrasi merupakan suatu tipe manajemen (management) tertentu yang merupakan “overall management” daripada suatu organisasi. Administrasi dalam arti sempit pada umumnya hanya meliputi kegiatan-kegiatan atau pekerjaan-pekerjaan tulis menulis, mengetik, steno, agenda, pembukuan sederhana dan sebagainya Administrasi Pajak dalam arti luas dapat dilihat sebagai fungsi, sistem, lembaga dan manajemen publik. Administrasi Pajak dalam arti sempit adalah penatausahaan dan pelayanan terhadap kewajiban-kewajiban dan hak-hak wajib pajak, baik penatausahaan dan pelayanan tersebut dilakukan di kantor fiskus maupun di kantor wajib pajak. Yang termasuk dalam kegiatan penatausahaan (clerical works) adalah pencatatan (recording), penggolongan (classifying) dan penyimpanan (filing). Sebagai unsur pelaksana Direktorat Jenderal Pajak di Kanwil Ditjen Pajak terdapat Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan
Surat Pemberitahuan Secara fungsional SPT merupakan sarana komunikasi antara wajib pajak dan fiskus. Bagi wajib pajak merupakan sarana pertanggungjawaban kewajiban perpajakan selama satu
periode fiskal, sedang bagi fiskus sebagai sarana pamantauan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak. Secara fisik SPT adalah formulir yang telah disiapkan fiskus untuk diisi wajib pajak guna melaporkan pemenuhan kewajiban perpajakannya. Proses pengisian SPT secara benar dan lengkap sesuai undang-undang perpajakan merupakan tahap yang penting dalam administrasi pajak, sebab timbulnya sanksi fiskal baik yang bersifat administratif maupun pidana dapat berawal dari pengisian SPT yang tidak benar dan tidak lengkap. Eksistensi SPT dalam sistem perpajakan yang menganut self assessment merupakan suatu hal yang mutlak, sebab tanpa SPT maka sistem perpajakan yang menganut self assessment akan berubah menjadi official assessment dimana perhitungan jumlah pajak yang terutang hanya akan didasarkan pada perkiraan fiskus semata-mata. Penetapan oleh fiskus dalam kondisi yang demikian ini yakni Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT walaupun telah ditegur dan diperingatkan disebut sebagai penetapan secara jabatan atau penetapan secara ex-officio. Jumlah pajak terutang dalam SKP yang ex-officio dapat dipastikan berjumlah jauh lebih besar daripada yang seharusnya, karena perhitungan fiskus hanya didasarkan pada taksiran saja. Tidak menyampaikan SPT tepat pada waktunya diancam dengan sanksi administrasi berupa denda administrasi. Tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT yang isinya tidak benar diancam dengan sanksi pidana. Prosedur pajak (Corporate tax procedures) di Indonesia berdasarkan UU No. 16 Tahun 2000 menyangkut masalah Due date for Filing Corporate Tax Returns, atau batas waktu penyampaian SPT Pajak Penghasilan; Procedures for extending due date for filing, atau prosedur untuk memperpanjang masa penyampaian SPT; Estimated tax return atau perkiraan pajak penghasilan yang terutang untuk tahun depan. Ketentuan ini di Indonesia diatur dalam Pasal 25 UU PPh 2000; Penalties and Interest; Statute of limitations for examination of returns; Claim for refund procedures atau prosedur untuk mendapatkan kembali kelebihan pembayaran pajak dan appeal Procedures to Tax Authority and Court, atau prosedur mengajukan keberatan ke Direktur Jenderal Pajak dan Pengadilan Pajak.
Pengertian dan Bahasan Kepatuhan dalam Perpajakan Kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Menurut pengamatan penulis ada dua macam kepatuhan yakni kepatuhan formal dan kepatuhan materiil. Yang dimaksud dengan kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan formal dalam undang-undang perpajakan. Kepatuhan materiil adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara substantif/hakikat memenuhi semua ketentuan materiil perpajakan yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Kepatuhan materiil meliputi juga kepatuhan formal. Upaya-upaya pemerintah di seluruh dunia untuk mengurangi tax evasion telah lama diadakan. Untuk Indonesia, pada tahun 1972 melalui SGATAR (Study Group on Asian Tax Administration and Research) telah disidangkan di Jakarta dengan salah satu tema utama adalah Some Aspects of Income Tax Avoidance or Evasion. Upaya untuk mengurangi tax evasion lebih dini pada tingkat yang lebih mengglobal telah diadakan oleh IFA pada tahun 1980 di Paris dengan tema yang lunak yakni The Dialogue between the tax administration and the taxpayer up to the filing of the tax return. Ketidakpatuhan secara bersamaan dapat menimbulkan upaya menghindarkan pajak secara melawan hukum atau tax evasion. Perilaku Wajib Pajak yang tidak sepenuhnya memenuhi kewajiban perpajakannya oleh Bernard P. Herber, dibedakan menjadi tiga yakni tax evasion, tax avoidance dan tax delinquency: Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa tax evasion adalah perbuatan melanggar undang-undang. Misalnya menyampaikan di dalam SPT jumlah penghasilan yang lebih rendah daripada yang sebenarnya (understatement of income) di satu pihak dan atau melaporkan biaya yang lebih besar daripada yang sebenarnya (overstatement of the
deductions) di lain pihak. Bentuk tax evasion yang lebih parah adalah apabila Wajib Pajak sama sekali tidak melaporkan penghasilannya (non-reporting of income). Perbuatan ini melanggar baik jiwa atau semangat maupun kalimat-kalimat dalam undang-undang perpajakan. Di Indonesia perbuatan yang termasuk dalam tax evasion diancam dengan hukuman pidana fiskal yang diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UU KUP 2000. Dalam tax avoidance Wajib Pajak memanfaatkan peluang-peluang (loopholes) yang ada dalam undang-undang perpajakan, sehingga dapat membayar pajak yang lebih rendah. Perbuatannya ini secara harfiah tidak melanggar undang-undang perpajakan, tapi dari segi jiwa undang-undang perpajakan termasuk perbuatan yang melanggar. Misalnya pada bulan Desember 2000 Wajib Pajak A akan menerima penghasilan sebesar Rp25.000.000,yang akan terkena tarif Pajak Penghasilan sebesar 10%. Adapun cara-cara mencegah Wajib Pajak melakukan tax evasion antara lain dapat berupa pemeriksaan pajak (tax audit); sistem informasi yaitu dialog dan saling tukar pandangan antara Wajib Pajak dan fiskus harus tetap diadakan; administrasi pajak dalam arti sebagai prosedur meliputi antara lain tahap-tahap pendaftaran Wajib Pajak, penetapan, dan penagihan.; kemungkinan ketahuan dan penegakan hukum (probability of detection and level of penalties). Hal ini pada hakikatnya terkait dengan penegakan hukum pajak atau tax law enforcement serta tingginya tarif pajak, rasa keadilan yang tak terpenuhi dan pemanfaatan dana pajak.
Kecurangan dalam Perpajakan Wajib Pajak cenderung melakukan kecurangan pajak (propensity to dishonesty). Rumus kecurangan pajak ialah : f (T, Cb, Pd, Pn) T = Tax, Cb = cost of bribe; Pd (probability of detection)
Pn = size of penalty. Rumus kecenderungan melakukan kecurangan (kmk) yang dilakukan wajib pajak dapat digambarkan dalam bentuk hipotesis berikut : 1. 1Kecenderungan melakukan kecurangan (kmk) ditentukan oleh tingginya T yang harus dibayar. 2. Makin tinggi jumlah pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak, maka makin tinggi kecenderungan melakukan kecurangan (kmk). 3. Makin tinggi uang sogokan yang harus dikeluarkan oleh Wajib Pajak, maka makin kecil kemungkinan kecenderungan melakukan kecurangan (kmk). Sebaliknya makin kecil jumlah uang sogokan, maka makin besar kmk. 4. Makin tinggi kemungkinan terungkap perbuatan kecurangan, maka semakin kecil kmk. 5. Makin besar ancaman hukuman yang diterapkan kepada pelaku kecurangan, maka semakin kecil kecendrungan melakukan kecurangan (kmk). Rumus kecenderungan melakukan kecurangan (kmk) yang dilakukan petugas pajak dapat digambarkan sebagai berikut : f (Rc, W, Cd, Pn) Rc = return of corruption, W = wages, Cd = cost of detection Pn = size of penalty. Rumus kecenderungan melakukan kecurangan (kmk) itu dapat digambarkan dalam bentuk hipotesis berikut : 1. Tergantung pada seberapa lama uang korupsi dapat dinikmati. Makin lama dapat dinikmati, artinya jumlah uang korupsi besar, maka makin terdapat kmk.
2. Sebaliknya makin cepat atau makin kecil jumlah uang korupsi, maka tidak terdapat kmk. 3. Makin tinggi gaji/upah/imbalan yang diberikan kepada petugas pajak, maka makin kecil terdapat kmk. Sebaliknya makin sedikit imbalan yang diterima, maka makin besar terbuka kmk. 4. Selanjutnya makin baik sistem dan mekanisme pendeteksian kecurangan termasuk ketersediaan biaya, waktu, sumber daya manusia dan sumber daya lain untuk mendeteksi kecurangan, maka makin kecil terjadi kmk. 5. Makin besar ancaman hukuman yang diterapkan kepada pelaku kecurangan, maka makin kecil pula terjadi kmk. Pemberian hukuman mempunyai empat buah latar belakang falsafah yakni : 1. Retribution sebagai falsafah tertua dengan semboyan an eye for an eye yang berbasis balas dendam; narapidana harus membayar utang mereka kepada masyarakat melalui hukuman yang sesuai dengan kejahatannya. 2. Deterrence yang bertujuan, bahwa pemberian hukuman berfungsi sebagai contoh yang akan menghalangi mereka yang berniat melakukan kejahatan (general deterrence) dan meyakinkan narapidana untuk tidak berbuat perbuatan pidana lainnya (specific deterrence). 3. Incapacitation; pemberian hukuman melalui penahanan atau membuat narapidana tidak berdaya, bermaksud supaya narapidana diasingkan dari masyarakat sehingga mereka tidak akan lagi merupakan ancaman atau bahaya bagi yang lainnya. 4. Rehabilitation yang berupaya mengintegrasikan kembali narapidana ke dalam masyarakat melalui program koreksi dan layanan. Penegakan hukum di bidang perpajakan adalah tindakan yang dilakukan oleh pejabat terkait untuk menjamin supaya Wajib Pajak dan calon Wajib Pajak memenuhi ketentuan undang-undang perpajakan seperti menyampaikan SPT, pembukuan dan informasi lain yang relevan serta membayar pajak pada waktunya. Sarana melakukan penegakan hukum dapat meliputi sanksi atas kelalaian menyampaikan SPT, bunga yang dikenakan atas
keterlambatan pembayaran dan dakwaan pidana dalam hal terjadi penyeludupan pajak. Salah satu faktor yang juga ikut menentukan tinggi rendahnya kepatuhan adalah besarnya biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh Wajib Pajak, yang dalam literatur disebut sebagai compliance cost. Sedangkan biaya yang dikeluarkan fiskus dalam rangka pelaksanaan fungsi-fungsinya disebut sebagai administrative cost. Time cost adalah waktu yang terpakai oleh Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, mulai dari waktu yang terpakai untuk membaca formulir SPT dan buku petunjuknya, waktu untuk berkonsultasi dengan akuntan dan konsultan pajak untuk mengisi SPT, serta waktu yang terpakai untuk pergi dan pulang ke kantor pajak Faktor penentu cost of taxation dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Sacrifice of income adalah pengorbanan Wajib Pajak menggunakan sebagian penghasilan atau harta/uangnya untuk membayar pajak itu. 2. Distortion cost adalah biaya yang timbul sebagai akibat perubahan-perubahan dalam proses produksi dan faktor produksi karena adanya pajak tersebut, yang pada gilirannya akan merubah pola perilaku ekonomi. Sebagai contoh adalah pajak dapat merupakan disincentive terhadap individu maupun perseroan dalam berkonsumsi dan berproduksi. 3. Cost of taxation yang ketiga adalah running cost, yakni biaya-biaya yang tidak akan ada jika sistem perpajakan tidak ada baik bagi pemerintah maupun bagi individu. Biaya ini disebut juga “tax operating cost” yang dibagi menjadi biaya untuk sektor publik dan sektor swasta/private.
Pengertian dan Bahasan Perpajakan Internasional Pajak internasional mengenal azas-azas tentang domicily country dan source country. Disebut domicily country apabila negara tempat tinggal Wajib Pajak (domicily country atau home country) menganut asas domisili yang mengenakan pajak penghasilan atas worldwide income atas dasar asas domisili.
Apabila Wajib Pajak melakukan transaksi dan memperoleh laba di negara tempat tinggalnya (source country, atau host country), dan kemudian dikenakan juga pajak penghasilan atas laba tersebut atas dasar asas domisili, maka Wajib Pajak tersebut akan dikenakan pajak dua kali (double taxation). Yang pertama oleh source country dan yang kedua oleh domicile country. Negara-negara yang tarif pajaknya rendah atau sama sekali tidak mengenakan pajak atas penghasilan disebut sebagai negara-negara surga pajak (tax haven countries). Pajak berganda dapat dibedakan menjadi Pajak berganda internal (internal double taxation); pajak berganda internasional (international double taxation); pajak berganda secara yuridis (juridical double taxation) serta pajak berganda secara ekonomis (economic double taxation). Internal double taxation adalah pengenaan pajak atas Subjek dan Objek Pajak yang sama dalam suatu negara. International double taxation adalah pengenaan pajak dua kali (atau lebih) terhadap Subjek dan Objek Pajak yang sama oleh dua negara. Dua negara atau lebih mengenakan pengenaan pajak atas Objek Pajak yang sama dan Subjek Pajak yang sama. Knechtle dalam bukunya berjudul Basic problem in international fiscal law (1979) membedakan pengertian pajak berganda secara luas (wider sense) dan secara sempit (narrower sense). Secara luas pengertian pajak berganda diartikan setiap bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu kali, dapat dalam bentuk berganda (double taxation) atau lebih (multiple taxation) terhadap suatu fakta fiskal. Secara sempit pajak berganda dianggap terjadi pada semua kasus pemajakan beberapa kali terhadap suatu subjek dan atau objek pajak dalam satu administrasi perpajakan yang sama. Pajak berganda seperti ini sering disebut sebagai pajak berganda ekonomis (economic double taxation). Pemajakan ganda oleh berbagai administrator dapat pula terjadi secara vertikal (pemerintah pusat dan daerah, atau secara diagonal (pemerintah daerah kota/kabupaten, propinsi X dan Y). Metode pencegahan pajak berganda secara unilateral adalah metode yang dilakukan oleh suatu negara melalui undang-undang perpajakan dalam negeri sendiri atau national tax law atau domestic tax law. Metode penghindaran pajak berganda secara unilateral terdiri dari exemption method, yang terdiri dari Exemption without progression atau full
exemption, Exemption with progression, Credit Method Full credit, Ordinary tax credit dan Ordinary tax credit. Pencegahan pajak berganda dan penghindaran lolos pajak secara bilateral, adalah pencegahan pajak berganda dan penghindaran lolos pajak yang disepakati bersama antara dua negara melalui suatu pernjanjian khusus yang disebut sebagai Convention atau Agreement.
Tax Treaty Dalam menyusun perjanjian penghindaran pajak berganda negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara menggunakan OECD Model, sedangkan bagi negara-negara berkembang menggunakan UN Model. Dengan berlakunya tax treaty yang dibuat antar negara (unilateral atau multilateral), maka dalam suatu negara terdapat dua sumber hukum perpajakan. Yang pertama adalah ketentuan yang ada dalam tax treaty dan yang kedua adalah ketentuan yang ada dalam undang-undang perpajakan domestik. Sehubungan dengan hal ini, maka perlu diperhatikan, bahwa tax treaty memberikan hak pemajakan. Jika hak pemajakan telah diberikan kepada salah satu negara penjanji, maka ketentuan dalam undang-undang perpajakan domistik yang seterusnya akan berlaku. Misalnya jika seorang akuntan dari Singapura mendapatkan job di Indonesia dalam hal ini di Jakarta. Akuntan tersebut berada di Jakarta dalam rangka melakukan kegiatan keprofesionalnya selama 93 hari, maka berdasarkan Pasal 13 P3B Indonesia-Singapura, (dimana dinyatakan bahwa time test melebihi 90 hari dalam jangka waktu dua belas bulan) yang berwenang mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh akuntan tersebut di Indonesia adalah fiskus Indonesia. Jadi hak pemajakannya ada pada fiskus Indonesia. Selanjutnya apakah akuntan tersebut akan dianggap sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri atau Wajib Pajak Luar Negeri, maka ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan di Indonesia yang berlaku. Karena dalam UU PPh 2000 time test-nya untuk menentukan apakah termasuk Wajib Pajak Dalam Negeri atau Wajib Pajak Luar Negeri adalah lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, maka akuntan tersebut diklasifikasikan sebagai
Wajib Pajak Luar Negeri. Penghasilannya di Indonesia dikenakan PPh Pasal 26, yakni dengan tarif PPh sebesar 20% atas gross basis. P3B lebih superior daripada undang-undang domestik. Dalam hal terjadi benturan antara P3B dan undang-undang domestik, maka yang superior adalah ketentuan dalam P3B. Misalnya dalam Pasal 26 UU PPh disebutkan, bahwa atas pembayaran dividen ke luar negeri terutang PPh pasal 26 sebesar 20% dari bruto. Sedangkan dalam Pasal 10 P3B tarifnya adalah 10%. Maka yang berlaku adalah tarif dalam P3B yakni yang 10%. P3B tidak menciptakan pajak baru. Jika dalam pasal-pasal dalam P3B tercantum jenis pajak lain selain yang telah mempunyai dasar hukum dalam bentuk undang-undang di Indonesia, maka pajak tersebut tidak berlaku bagi Indonesia. Jenis pajak itu hanya berlaku bagi negara mitra penjanji saja. Materi yang dirancang dalam UN Model tidak jauh berbeda dengan materi yang disebut dalam OECD Model tersebut di atas. Dengan ditandatangani suatu tax treaty antara dua negara maka pada hakikatnya Wajib Pajak Dalam Negeri dari kedua negara memperoleh kemudahan perpajakan atau fasilitas perpajakan. Dr. Mansury menyajikan secara sistematis fasilitas yang dapat dinikmati oleh Wajib Pajak Dalam Negeri yaitu Fasilitas yang berhubungan dengan Subjek Pajak; Fasilitas sebagai Bentuk Usaha Tetap; Fasilitas Berkenaan dengan Harta Tak Gerak; Fasilitas Penghasilan dari Usaha; Fasilitas dalam sektor Perkapalan dan Penerbangan; Fasilitas Penurunan Tarif; Fasilitas berkenaan Penghasilan Pengalihan Harta; Fasilitas berkenaan Penghasilan dari Pekerjaan Bebas serta Fasilitas di negara domisili untuk meniadakan pajak ganda. Sumber buku Dasar-dasar Perpajakan karya Sapri Nurmantu DIarsipkan di bawah: FISIP/HUKUM, Fak. Ekonomi Pengertian Administrasi Perpajakan, Kepatuhan dan Pajak Internasioanal Ilmu administrasi adalah cabang atau disiplin ilmu sosial yang melakukan studi terhadap”administrasi” sebagai salah satu fenomena masyarakat modern. Administrasi sebagai objek studi Ilmu Administrasi paling sedikitnya mempunyai 10 (sepuluh) aspek
yang penting yakni administrasi merupakan suatu fenomena sosial, suatu perwujudan tertentu di dalam masyarakat (modern). Eksistensi daripada “Administrasi” ini berkaitan dengan “organisasi (dalam arti modern…), artinya: “administrasi” itu terdapat di dalam suatu “organisasi”. Jadi, barang siapa hendak mengetahui adanya “administrasi” dalam masyarakat dia harus mencari terlebih dahulu suatu “organisasi” yang masih hidup; di situ terdapat “administrasi”. Administrasi merupakan suatu hayat atau kekuatan yang memberikan hidup atau gerak kepada suatu “organisasi”. Tanpa “administrasi”, maka setiap “organisasi” akan mati, dan tanpa “administrasi” yang sehat, maka “organisasi” itu pun tidak sehat pula. Pembangkit daripada “administrasi” sebagai “kekuatan” atau “energi” atau “hayat” ini adalah Administrator, yang harus pandai menggerakkan seluruh sistemnya yang terdiri atas para manager, staffer, dan personil lainnya. Administrasi merupakan suatu fungsi yang tertentu untuk mengendalikan, menggerakkan, mengembangkan dan mengarahkan suatu “organisasi”, yang dijalankan oleh Administrator dibantu oleh tim bawahannya, terutama para manager dan staffer. Administrasi merupakan kelompok orang-orang yang secara bersama-sama merupakan “badan pimpinan” (the governing body) daripada suatu “organisasi”, yang merupakan pimpinan atau tim pimpinan. Dalam pengertian ini orang di Amerika Serikat berbicara tentang “the Ford Administration”, the Carter Administration”, the Reagen Administration”. Administrasi merupakan suatu seni (art, kunst) yang memerlukan bakat, dan ilmu (science, knowledge, wetenschap, kennis) yang selain pengetahuan memerlukan pula pengalaman. Administrasi merupakan proses penyelenggaraan bersama atau proses kerjasama, antara sekelompok orang-orang secara tertentu untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang telah ditentukan dan direncanakan sebelumnya. Kerjasama antara orang-orang tersebut berlangsung secara dan melalui “organisasi”. Administrasi merupakan suatu jenis tingkah laku atau sikap kelakuan sosial yang tertentu (administative behaviour or “administration” as a special type of social behaviour) yang memerlukan sikap serta kondisi mental yang tertentu, dan merupakan suatu tipe tingkah laku manusia yang tertentu (special type of human behaviour). Administrasi merupakan suatu praktik (practice) atau teknik (technique) yang tertentu, suatu tata cara melakukan atau mengerjakan sesuatu, yang memerlukan kemampuan, kemahiran, keterampilan (skills)
atau kebiasaan yang tertentu yang hanya dapat diperoleh melalui pendidikan dan latihan. Administrasi merupakan suatu sistem (system) atau sistema (systems) yang tertentu, yang memerlukan input, trasportasi, pengolahan dan output yang tertentu. Administrasi merupakan suatu tipe manajemen (management) tertentu yang merupakan “overall management” daripada suatu organisasi. Administrasi dalam arti sempit pada umumnya hanya meliputi kegiatan-kegiatan atau pekerjaan-pekerjaan tulis menulis, mengetik, steno, agenda, pembukuan sederhana dan sebagainya Administrasi Pajak dalam arti luas dapat dilihat sebagai fungsi, sistem, lembaga dan manajemen publik. Administrasi Pajak dalam arti sempit adalah penatausahaan dan pelayanan terhadap kewajiban-kewajiban dan hak-hak wajib pajak, baik penatausahaan dan pelayanan tersebut dilakukan di kantor fiskus maupun di kantor wajib pajak. Yang termasuk dalam kegiatan penatausahaan (clerical works) adalah pencatatan (recording), penggolongan (classifying) dan penyimpanan (filing). Sebagai unsur pelaksana Direktorat Jenderal Pajak di Kanwil Ditjen Pajak terdapat Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan
Surat Pemberitahuan Secara fungsional SPT merupakan sarana komunikasi antara wajib pajak dan fiskus. Bagi wajib pajak merupakan sarana pertanggungjawaban kewajiban perpajakan selama satu periode fiskal, sedang bagi fiskus sebagai sarana pamantauan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak. Secara fisik SPT adalah formulir yang telah disiapkan fiskus untuk diisi wajib pajak guna melaporkan pemenuhan kewajiban perpajakannya. Proses pengisian SPT secara benar dan lengkap sesuai undang-undang perpajakan merupakan tahap yang penting dalam administrasi pajak, sebab timbulnya sanksi fiskal
baik yang bersifat administratif maupun pidana dapat berawal dari pengisian SPT yang tidak benar dan tidak lengkap. Eksistensi SPT dalam sistem perpajakan yang menganut self assessment merupakan suatu hal yang mutlak, sebab tanpa SPT maka sistem perpajakan yang menganut self assessment akan berubah menjadi official assessment dimana perhitungan jumlah pajak yang terutang hanya akan didasarkan pada perkiraan fiskus semata-mata. Penetapan oleh fiskus dalam kondisi yang demikian ini yakni Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT walaupun telah ditegur dan diperingatkan disebut sebagai penetapan secara jabatan atau penetapan secara ex-officio. Jumlah pajak terutang dalam SKP yang ex-officio dapat dipastikan berjumlah jauh lebih besar daripada yang seharusnya, karena perhitungan fiskus hanya didasarkan pada taksiran saja. Tidak menyampaikan SPT tepat pada waktunya diancam dengan sanksi administrasi berupa denda administrasi. Tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT yang isinya tidak benar diancam dengan sanksi pidana. Prosedur pajak (Corporate tax procedures) di Indonesia berdasarkan UU No. 16 Tahun 2000 menyangkut masalah Due date for Filing Corporate Tax Returns, atau batas waktu penyampaian SPT Pajak Penghasilan; Procedures for extending due date for filing, atau prosedur untuk memperpanjang masa penyampaian SPT; Estimated tax return atau perkiraan pajak penghasilan yang terutang untuk tahun depan. Ketentuan ini di Indonesia diatur dalam Pasal 25 UU PPh 2000; Penalties and Interest; Statute of limitations for examination of returns; Claim for refund procedures atau prosedur untuk mendapatkan kembali kelebihan pembayaran pajak dan appeal Procedures to Tax Authority and Court, atau prosedur mengajukan keberatan ke Direktur Jenderal Pajak dan Pengadilan Pajak.
Pengertian dan Bahasan Kepatuhan dalam Perpajakan Kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Menurut pengamatan penulis ada dua macam kepatuhan yakni kepatuhan formal dan kepatuhan materiil.
Yang dimaksud dengan kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan formal dalam undang-undang perpajakan. Kepatuhan materiil adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara substantif/hakikat memenuhi semua ketentuan materiil perpajakan yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Kepatuhan materiil meliputi juga kepatuhan formal. Upaya-upaya pemerintah di seluruh dunia untuk mengurangi tax evasion telah lama diadakan. Untuk Indonesia, pada tahun 1972 melalui SGATAR (Study Group on Asian Tax Administration and Research) telah disidangkan di Jakarta dengan salah satu tema utama adalah Some Aspects of Income Tax Avoidance or Evasion. Upaya untuk mengurangi tax evasion lebih dini pada tingkat yang lebih mengglobal telah diadakan oleh IFA pada tahun 1980 di Paris dengan tema yang lunak yakni The Dialogue between the tax administration and the taxpayer up to the filing of the tax return. Ketidakpatuhan secara bersamaan dapat menimbulkan upaya menghindarkan pajak secara melawan hukum atau tax evasion. Perilaku Wajib Pajak yang tidak sepenuhnya memenuhi kewajiban perpajakannya oleh Bernard P. Herber, dibedakan menjadi tiga yakni tax evasion, tax avoidance dan tax delinquency: Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa tax evasion adalah perbuatan melanggar undang-undang. Misalnya menyampaikan di dalam SPT jumlah penghasilan yang lebih rendah daripada yang sebenarnya (understatement of income) di satu pihak dan atau melaporkan biaya yang lebih besar daripada yang sebenarnya (overstatement of the deductions) di lain pihak. Bentuk tax evasion yang lebih parah adalah apabila Wajib Pajak sama sekali tidak melaporkan penghasilannya (non-reporting of income). Perbuatan ini melanggar baik jiwa atau semangat maupun kalimat-kalimat dalam undang-undang perpajakan. Di Indonesia perbuatan yang termasuk dalam tax evasion diancam dengan hukuman pidana fiskal yang diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UU KUP 2000. Dalam tax avoidance Wajib Pajak memanfaatkan peluang-peluang (loopholes) yang ada
dalam undang-undang perpajakan, sehingga dapat membayar pajak yang lebih rendah. Perbuatannya ini secara harfiah tidak melanggar undang-undang perpajakan, tapi dari segi jiwa undang-undang perpajakan termasuk perbuatan yang melanggar. Misalnya pada bulan Desember 2000 Wajib Pajak A akan menerima penghasilan sebesar Rp25.000.000,yang akan terkena tarif Pajak Penghasilan sebesar 10%. Adapun cara-cara mencegah Wajib Pajak melakukan tax evasion antara lain dapat berupa pemeriksaan pajak (tax audit); sistem informasi yaitu dialog dan saling tukar pandangan antara Wajib Pajak dan fiskus harus tetap diadakan; administrasi pajak dalam arti sebagai prosedur meliputi antara lain tahap-tahap pendaftaran Wajib Pajak, penetapan, dan penagihan.; kemungkinan ketahuan dan penegakan hukum (probability of detection and level of penalties). Hal ini pada hakikatnya terkait dengan penegakan hukum pajak atau tax law enforcement serta tingginya tarif pajak, rasa keadilan yang tak terpenuhi dan pemanfaatan dana pajak.
Kecurangan dalam Perpajakan Wajib Pajak cenderung melakukan kecurangan pajak (propensity to dishonesty). Rumus kecurangan pajak ialah : f (T, Cb, Pd, Pn) T = Tax, Cb = cost of bribe; Pd (probability of detection) Pn = size of penalty. Rumus kecenderungan melakukan kecurangan (kmk) yang dilakukan wajib pajak dapat digambarkan dalam bentuk hipotesis berikut : 1. 1Kecenderungan melakukan kecurangan (kmk) ditentukan oleh tingginya T yang harus dibayar.
2. Makin tinggi jumlah pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak, maka makin tinggi kecenderungan melakukan kecurangan (kmk). 3. Makin tinggi uang sogokan yang harus dikeluarkan oleh Wajib Pajak, maka makin kecil kemungkinan kecenderungan melakukan kecurangan (kmk). Sebaliknya makin kecil jumlah uang sogokan, maka makin besar kmk. 4. Makin tinggi kemungkinan terungkap perbuatan kecurangan, maka semakin kecil kmk. 5. Makin besar ancaman hukuman yang diterapkan kepada pelaku kecurangan, maka semakin kecil kecendrungan melakukan kecurangan (kmk). Rumus kecenderungan melakukan kecurangan (kmk) yang dilakukan petugas pajak dapat digambarkan sebagai berikut : f (Rc, W, Cd, Pn) Rc = return of corruption, W = wages, Cd = cost of detection Pn = size of penalty. Rumus kecenderungan melakukan kecurangan (kmk) itu dapat digambarkan dalam bentuk hipotesis berikut : 1. Tergantung pada seberapa lama uang korupsi dapat dinikmati. Makin lama dapat dinikmati, artinya jumlah uang korupsi besar, maka makin terdapat kmk. 2. Sebaliknya makin cepat atau makin kecil jumlah uang korupsi, maka tidak terdapat kmk. 3. Makin tinggi gaji/upah/imbalan yang diberikan kepada petugas pajak, maka makin kecil terdapat kmk. Sebaliknya makin sedikit imbalan yang diterima, maka makin besar terbuka kmk. 4. Selanjutnya makin baik sistem dan mekanisme pendeteksian kecurangan termasuk
ketersediaan biaya, waktu, sumber daya manusia dan sumber daya lain untuk mendeteksi kecurangan, maka makin kecil terjadi kmk. 5. Makin besar ancaman hukuman yang diterapkan kepada pelaku kecurangan, maka makin kecil pula terjadi kmk. Pemberian hukuman mempunyai empat buah latar belakang falsafah yakni : 1. Retribution sebagai falsafah tertua dengan semboyan an eye for an eye yang berbasis balas dendam; narapidana harus membayar utang mereka kepada masyarakat melalui hukuman yang sesuai dengan kejahatannya. 2. Deterrence yang bertujuan, bahwa pemberian hukuman berfungsi sebagai contoh yang akan menghalangi mereka yang berniat melakukan kejahatan (general deterrence) dan meyakinkan narapidana untuk tidak berbuat perbuatan pidana lainnya (specific deterrence). 3. Incapacitation; pemberian hukuman melalui penahanan atau membuat narapidana tidak berdaya, bermaksud supaya narapidana diasingkan dari masyarakat sehingga mereka tidak akan lagi merupakan ancaman atau bahaya bagi yang lainnya. 4. Rehabilitation yang berupaya mengintegrasikan kembali narapidana ke dalam masyarakat melalui program koreksi dan layanan. Penegakan hukum di bidang perpajakan adalah tindakan yang dilakukan oleh pejabat terkait untuk menjamin supaya Wajib Pajak dan calon Wajib Pajak memenuhi ketentuan undang-undang perpajakan seperti menyampaikan SPT, pembukuan dan informasi lain yang relevan serta membayar pajak pada waktunya. Sarana melakukan penegakan hukum dapat meliputi sanksi atas kelalaian menyampaikan SPT, bunga yang dikenakan atas keterlambatan pembayaran dan dakwaan pidana dalam hal terjadi penyeludupan pajak. Salah satu faktor yang juga ikut menentukan tinggi rendahnya kepatuhan adalah besarnya biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh Wajib Pajak, yang dalam literatur disebut sebagai compliance cost. Sedangkan biaya yang dikeluarkan fiskus dalam rangka pelaksanaan fungsi-fungsinya disebut sebagai administrative cost. Time cost adalah waktu yang terpakai oleh Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya, mulai dari waktu yang terpakai untuk membaca formulir SPT dan buku petunjuknya, waktu untuk berkonsultasi dengan akuntan dan konsultan pajak untuk mengisi SPT, serta waktu yang terpakai untuk pergi dan pulang ke kantor pajak Faktor penentu cost of taxation dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Sacrifice of income adalah pengorbanan Wajib Pajak menggunakan sebagian penghasilan atau harta/uangnya untuk membayar pajak itu. 2. Distortion cost adalah biaya yang timbul sebagai akibat perubahan-perubahan dalam proses produksi dan faktor produksi karena adanya pajak tersebut, yang pada gilirannya akan merubah pola perilaku ekonomi. Sebagai contoh adalah pajak dapat merupakan disincentive terhadap individu maupun perseroan dalam berkonsumsi dan berproduksi. 3. Cost of taxation yang ketiga adalah running cost, yakni biaya-biaya yang tidak akan ada jika sistem perpajakan tidak ada baik bagi pemerintah maupun bagi individu. Biaya ini disebut juga “tax operating cost” yang dibagi menjadi biaya untuk sektor publik dan sektor swasta/private.
Pengertian dan Bahasan Perpajakan Internasional Pajak internasional mengenal azas-azas tentang domicily country dan source country. Disebut domicily country apabila negara tempat tinggal Wajib Pajak (domicily country atau home country) menganut asas domisili yang mengenakan pajak penghasilan atas worldwide income atas dasar asas domisili. Apabila Wajib Pajak melakukan transaksi dan memperoleh laba di negara tempat tinggalnya (source country, atau host country), dan kemudian dikenakan juga pajak penghasilan atas laba tersebut atas dasar asas domisili, maka Wajib Pajak tersebut akan dikenakan pajak dua kali (double taxation). Yang pertama oleh source country dan yang kedua oleh domicile country. Negara-negara yang tarif pajaknya rendah atau sama sekali tidak mengenakan pajak atas penghasilan disebut sebagai negara-negara surga pajak (tax haven countries).
Pajak berganda dapat dibedakan menjadi Pajak berganda internal (internal double taxation); pajak berganda internasional (international double taxation); pajak berganda secara yuridis (juridical double taxation) serta pajak berganda secara ekonomis (economic double taxation). Internal double taxation adalah pengenaan pajak atas Subjek dan Objek Pajak yang sama dalam suatu negara. International double taxation adalah pengenaan pajak dua kali (atau lebih) terhadap Subjek dan Objek Pajak yang sama oleh dua negara. Dua negara atau lebih mengenakan pengenaan pajak atas Objek Pajak yang sama dan Subjek Pajak yang sama. Knechtle dalam bukunya berjudul Basic problem in international fiscal law (1979) membedakan pengertian pajak berganda secara luas (wider sense) dan secara sempit (narrower sense). Secara luas pengertian pajak berganda diartikan setiap bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu kali, dapat dalam bentuk berganda (double taxation) atau lebih (multiple taxation) terhadap suatu fakta fiskal. Secara sempit pajak berganda dianggap terjadi pada semua kasus pemajakan beberapa kali terhadap suatu subjek dan atau objek pajak dalam satu administrasi perpajakan yang sama. Pajak berganda seperti ini sering disebut sebagai pajak berganda ekonomis (economic double taxation). Pemajakan ganda oleh berbagai administrator dapat pula terjadi secara vertikal (pemerintah pusat dan daerah, atau secara diagonal (pemerintah daerah kota/kabupaten, propinsi X dan Y). Metode pencegahan pajak berganda secara unilateral adalah metode yang dilakukan oleh suatu negara melalui undang-undang perpajakan dalam negeri sendiri atau national tax law atau domestic tax law. Metode penghindaran pajak berganda secara unilateral terdiri dari exemption method, yang terdiri dari Exemption without progression atau full exemption, Exemption with progression, Credit Method Full credit, Ordinary tax credit dan Ordinary tax credit. Pencegahan pajak berganda dan penghindaran lolos pajak secara bilateral, adalah pencegahan pajak berganda dan penghindaran lolos pajak yang disepakati bersama antara dua negara melalui suatu pernjanjian khusus yang disebut sebagai Convention atau Agreement.
Tax Treaty Dalam menyusun perjanjian penghindaran pajak berganda negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara menggunakan OECD Model, sedangkan bagi negara-negara berkembang menggunakan UN Model. Dengan berlakunya tax treaty yang dibuat antar negara (unilateral atau multilateral), maka dalam suatu negara terdapat dua sumber hukum perpajakan. Yang pertama adalah ketentuan yang ada dalam tax treaty dan yang kedua adalah ketentuan yang ada dalam undang-undang perpajakan domestik. Sehubungan dengan hal ini, maka perlu diperhatikan, bahwa tax treaty memberikan hak pemajakan. Jika hak pemajakan telah diberikan kepada salah satu negara penjanji, maka ketentuan dalam undang-undang perpajakan domistik yang seterusnya akan berlaku. Misalnya jika seorang akuntan dari Singapura mendapatkan job di Indonesia dalam hal ini di Jakarta. Akuntan tersebut berada di Jakarta dalam rangka melakukan kegiatan keprofesionalnya selama 93 hari, maka berdasarkan Pasal 13 P3B Indonesia-Singapura, (dimana dinyatakan bahwa time test melebihi 90 hari dalam jangka waktu dua belas bulan) yang berwenang mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh akuntan tersebut di Indonesia adalah fiskus Indonesia. Jadi hak pemajakannya ada pada fiskus Indonesia. Selanjutnya apakah akuntan tersebut akan dianggap sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri atau Wajib Pajak Luar Negeri, maka ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan di Indonesia yang berlaku. Karena dalam UU PPh 2000 time test-nya untuk menentukan apakah termasuk Wajib Pajak Dalam Negeri atau Wajib Pajak Luar Negeri adalah lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, maka akuntan tersebut diklasifikasikan sebagai Wajib Pajak Luar Negeri. Penghasilannya di Indonesia dikenakan PPh Pasal 26, yakni dengan tarif PPh sebesar 20% atas gross basis. P3B lebih superior daripada undang-undang domestik. Dalam hal terjadi benturan antara P3B dan undang-undang domestik, maka yang superior adalah ketentuan dalam P3B. Misalnya dalam Pasal 26 UU PPh disebutkan, bahwa atas pembayaran dividen ke luar negeri terutang PPh pasal 26 sebesar 20% dari bruto. Sedangkan dalam Pasal 10 P3B tarifnya adalah 10%. Maka yang berlaku adalah tarif dalam P3B yakni yang 10%.
P3B tidak menciptakan pajak baru. Jika dalam pasal-pasal dalam P3B tercantum jenis pajak lain selain yang telah mempunyai dasar hukum dalam bentuk undang-undang di Indonesia, maka pajak tersebut tidak berlaku bagi Indonesia. Jenis pajak itu hanya berlaku bagi negara mitra penjanji saja. Materi yang dirancang dalam UN Model tidak jauh berbeda dengan materi yang disebut dalam OECD Model tersebut di atas. Dengan ditandatangani suatu tax treaty antara dua negara maka pada hakikatnya Wajib Pajak Dalam Negeri dari kedua negara memperoleh kemudahan perpajakan atau fasilitas perpajakan. Dr. Mansury menyajikan secara sistematis fasilitas yang dapat dinikmati oleh Wajib Pajak Dalam Negeri yaitu Fasilitas yang berhubungan dengan Subjek Pajak; Fasilitas sebagai Bentuk Usaha Tetap; Fasilitas Berkenaan dengan Harta Tak Gerak; Fasilitas Penghasilan dari Usaha; Fasilitas dalam sektor Perkapalan dan Penerbangan; Fasilitas Penurunan Tarif; Fasilitas berkenaan Penghasilan Pengalihan Harta; Fasilitas berkenaan Penghasilan dari Pekerjaan Bebas serta Fasilitas di negara domisili untuk meniadakan pajak ganda. Sumber buku Dasar-dasar Perpajakan karya Sapri Nurmantu DIarsipkan di bawah: FISIP/HUKUM, Fak. Ekonomi http://massofa.wordpress.com/2008/02/05/pengertian-administrasi-perpajakankepatuhan-dan-pajak-internasioanal/
Implikasi Modernisasi Administrasi Pajak terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak October 10, 2006 by aulya Aulya Agustin Dwi Andhini, Mahasiswa STIE Malangkucecwara Malang Aida Ainul Mardiyah, STIE Malangkucecwara Malang Tujuan artikel ini untuk melihat implikasi modernisasi administrasi pajak terhadap peningkatan penerimaan pajak. UU Pajak yang lama dinilai sudah tidak akomodatif lagi karena memiliki banyak kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh perorangan atau badan usaha untuk menghindari kewajiban pajak. Pemberlakuan UU Pajak yang baru berkaitan dengan modernisasi perpajakan diharapkan bisa mengatasi upaya menghindari kewajiban pajak oleh wajib pajak. Tidak hanya itu, UU Perpajakan yang baru diikuti oleh modernisasi administrasi perpajakan sehingga mempermudah pengurusan pajak oleh masyarakat. Proses pengurusan pajak yang selama ini dilakukan oleh wajib pajak dinilai terlalu berbelit-belit sehingga tidak efisien lagi. Adanya modernisasi administrasi perpajakan ini juga diharapkan mampu meningkatkan tingkat kepuasan wajib pajak terhadap modernisasi Large Taxpayer Office (LTO). Tingkat kepuasan pajak ini dapat tercermin dalam ketepatan waktu dalam menyampaikan SPT karena kemudahan e-filling, berkurangnya denda atau penalti atas keterlambatan pembayaran angsuran pajak karena kesulitan pengisian formulir, dan pada akhirnya kepuasan wajib pajak (WP) akan berimplikasi pada meningkatnya kepatuhan membayar pajak. Hal ini juga di dukung oleh sebuah survey Amerika bahwa karena kemudahan e-filling membuat wajib pajak merasa lebih mudah dalam melaporkan laporan pajaknya (Anonymous, 2000). Hasil penelitian ini juga didukung oleh hasil review Conlin et al. (2005) menunjukkan bahwa dengan adanya administrasi pajak akan meningkatkan penerimaan pajak (termasuk rasio pajak yang digunakan). http://aulya.wordpress.com/2006/10/10/implikasi-modernisasi-administrasi-pajakterhadap-peningkatan-penerimaan-pajak/