Pengertian Administrasi Pertanahan
Administrasi Pertanahan merupakan bagian dari Administrasi Negara yang bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat di bidang pertanahan. Penyelenggaraan administrasi ini merupakan tugas Badan Pertanahan Nasional. Murad di dalam bukunya Administrasi Pertanahan Pelaksanaannya Dalam Praktek,
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pertanahan, adalah: “Suatu kebijakan yang digariskan oleh Pemerintah di dalam mengatur hubungan -hubungan hukum antara tanah dengan orang sebagaimana yang ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang dikenal dengan Undang-Undang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).” (1997:1) Sedangkan pengertian Administrasi Pertanahan menurut Murad, adalah: “Suatu “Suatu usaha dan kegiatan suatu organisasi dan manajemen yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijakan-kebijakan Pemerintah di bidang Pertanahan dengan menggerakan sumber daya untuk mencapai tujuan seseuai dengan Per-Undang-Undangan Per-Undang- Undangan yang berlaku.” (1997:1) Kebijakan pokok pertanhan dan sekaligus arah pembangunan di bidang pertanahan adalah sukses pemecahan masalah pertanahan. Berdasarkan arah kebijakan tersebut, ditetapkan sasaran pelaksanaan tugas yaitu terwujudnya Catur Tertib Pertanahan yang berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1979, tentang Catur Tertib Pertanahan. Catur Tertib Pertanahan adalah sebagai berikut : 1.
Tertib Hukum Pertanahan Dengan tertib hukum pertanahan dimaksudkan bahwa setiap bidang tanah penguasaan, pemilikan dan penggunaannya baik oleh pribadi maupun Badan Hukum mempunyai hubungan hukum yang sah menurut Peraturan Perundangan yang berlaku. Adanya hubungan hukum yang sah tersebut ditunjukan antara lain oleh surat tanda hak atas tanah serta bukti kepemilikan yang sah yakni sertifikat.
2.
Tertib Administrasi Pertanahan
Dengan adanya tertib administrasi pertanahan dimaksud bahwa data-data setiap bidang tanah tercatat dan diketahui dengan mudah, baik mengenai riwayat, kepemilikan, subjek haknya, keadaan fisik serta ketertiban keterti ban prosedur dalam setiap urusan yang menyangkut tanah. 3. Tertib Penggunaan Pertanahan Dengan tertib penggunaan pertanahan dimaksudkan bahwa setiap bidang tanah telah diusahakan atau dipergunakan sesuai dengan kemampuan dan peruntukannya, sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat banyak. 4.
Tertib Pemeliharaan Tanah dan Lingkungan Hidup Dengan tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup dimaksudkan bahwa setiap penguasaan dan penggunaan atas tanah telah memperhatikan dan melakukan usaha-usaha untuk menunjang terwujudnya kelestarian hidup.
Pendaftaran Hak-Hak Atas Tanah Adat Menurut Ketentuan Konversi Dan PP No. 24/1997 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah tanah bagi manusia tidak ada habis-habisnya karena mempunyai arti yang amat penting dalam penghidupan dan hidup manusia sebab tanah bukan saja sebagai tempat berdiam juga tempat bertani, lalu lintas, perjanjian dan pada akhirnya tempat manusia berkubur. Selain itu tanah memiliki lima jenis rent yaitu rent ricardian, rent lokasi, rent lingkungan, rent sosial, rent politik yang menyebabkan menyebabkan tanah dapat memberi memberi manfaat kepada manusia. manusia. Sebagaimana diketahui sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria berlaku bersamaan dua perangkat hukum tanah di Indonesia (dualisme). Satu bersumber pada hukum adat disebut hukum tanah adat dan yang lain bersumber pada hukum barat disebut hukum tanah Barat. Dengan berlakunya hukum agraria yang bersifat nasional (UU No. 5 Tahun 1960) maka terhadap tanahtanah dengan hak barat maupun tanah-tanah dengan hak adat harus dicarikan padanannya di dalam UUPA. Untuk dapat masuk ke dalam sisem dari UUPA diselesaikan dengan melalui lembaga konversi. Konversi adalah pengaturan dari hak-hak tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA untuk masuk sistem dalam dari UUPA (A.P. Parlindungan, 1990 : 1). Untuk terjaminnya hak atas tanah maka oleh MPR dalam Repelita III telah digariskan suatu program yang harus dilaksanakan dalam pembangunan bidang pertanahan, yaitu yaitu : “Agar pemanfaatan tanah harus sungguh-sungguh membantu usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam rangka mewujudkan keadilan sosial, sehubungan dengan itu perlu dilanjutkan dan makin ditingkatkan penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah termasuk pengalihan hak atas tanah”. Adapun sarana pokok yang diperlukan untuk menjamin hak atas tanah adalah penataan kembali pemilikan tanah t anah melalui pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah merupakan hal yang penting sebagai bukti hak yang kuat terhadap hak atas tanah untuk membuktikan sebagai pemilik hak atas tanah secara sah. Di
samping itu pendaftaran tanah yang ditentukan dalam pasal 19 UUPA (UU No. 5 / 1960) merupakan sasaran untuk mengadakan kesederhanaan hukum. Tentang pendaftaran tanah lebih lanjut dijelaskan dalam penjelasan umum angka III alenia terakhir UU No. 5/1960 yang berbunyi : “Adapun hak -hak yang pada mula berlakunya undangundang ini semua akan dikonversikan menjadi salah satu hak yang baru menurut UUPA”. Jadi semua tanah baik yang dimiliki atas nama seseorang atau Badan Hukum, baik hak milik adat atau hak atas tanah menurut buku II KUHPerdata diwajibkan untuk dikonversi kepada salah satu hak-hak atas tanah menurut UUPA dan didaftarkan sehingga terwujud unifikasi dan kesederhanaan hukum dalam hukum pertanahan Indonesia sesuai dengan tujuan dari UUPA. Bahkan dalam Pasal 41 PP No. 10 tahun 1961 dan Pasal 63 PP. No. 24 Tahun 1997 akan memberikan sanksi bagi yang terlambat atau lalai untuk melakukan pendaftaran, baik pendaftaran tanah maupun pendaftaran hak atas tanah yang diakui sebelum berlakunya UUPA. Setelah berlakunya UUPA dan PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran tanah dan kemudian telah diganti dengan PP No. 24 Tahun 1997 tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak yang akan tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ataupun yang akan tunduk kepada hukum adat setempat kecuali menerangkan bahwa, hak-hak tersebut merupakan hak adat. Mengingat pentingnya pendaftaran hak milik adat atas tanah sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah secara sah sesuai dengan Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA maka diberikan suatu kewajiban untuk mendaftarkan tanah adat khususnya hak milik adat. B. Perumusan Masalah Dari uraian di atas yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah Bagaimana pendaftaran hak-hak atas tanah adat menurut kententuan konversi dan PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. BAB II PEMBAHASAN A. Tentang Konversi 1. Pengertian dan Landasan Hukum Konversi a. Pengertian Konversi Beberapa ahli hukum memberikan pengertian konversi yaitu : A.P. Parlindungan (1990 : 1) menyatakan : “Konversi itu sendiri adalah pengaturan dari hak -hak tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA untuk masuk dalam sistem dari UUPA”.
Boedi Harsono (1968 : 140) menyatakan : “Konversi adalah perubahan hak yang lama menjadi satu hak yang baru menurut UUPA”. Dari rumusan di atas maka dapat disimpulkan bahwa konversi hak-hak atas tanah adalah penggantian/perubahan hak-hak atas tanah dari status yang lama yaitu sebelum berlakunya UUPA menjadi status yang baru, sebagaimana diatur menurut UUPA itu sendiri, adapun yang dimaksud dengan hak-hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA adalah hak-hak atas tanah yang diatur dan tunduk pada hukum adat dan hukum Barat (BW). Terhadap pelaksanaan konversi itu sendiri Prof. DR. A.P. Parlindungan, SH memberikan komentar sebagai berikut : “Bahwa pelaksanaan konversi itu sendiri merupakan sesuatu yang boleh dikatakan sangat drastis, oleh karena sekaligus ingin diciptakan berkembangnya suatu unifikasi hukum keagrariaan di tanah air kita, sunggupun harus diakui persiapan dan peralatan, perangkat hukum maupun tenaga trampil belumlah ada sebelumnya”. Walaupun pada kenyataannya UUPA telah melakukan perombakan yang mendasar terhadap sistemsistem agraria, terdapat dalam bagian kedua dari UUPA adalah merupakan suatu pengakuan terhadap adanya jenis-jenis hak atas tanah yang lama, walaupun hak tersebut perlu disesuaikan dengan hak-hak yang ada dalam UUPA, sehingga dengan demikian tidak bertentangan dengan jiwa dan filosofi yang terkandung dalam UUPA. b. Landasan Hukum Konversi Adapun yang menjadi landasan hukum konversi terhadap hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA tanggal 24 September 1960 adalah bagian kedua dari UUPA “tentang ketentuan-ketentuan konversi yang terdiri IX pasal yaitu dari pasal I sampai dengan pasal IX”, khususnya untuk konversi tanah-tanah yang tunduk kepada hukum adat dan sejenisnya diatur dalam Pasal II, Pasal VI dan Pasal VII ketentuan-ketentuan konversi, di samping itu untuk pelaksanaan konversi yang dimaksud oleh UUPA dipertegaskan lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 tahun 1962 dan SK Menteri Dalam Negeri Nomor 26/DDA/1970 yaitu “tentang penegasan konversi dan pendaftaran bekas hak -hak Indonesia atas tanah”. Beberapa ketentuan-ketentuan konversi hak atas tanah adat : Pasal II Ketentuan konversi berbunyi : ayat 1 : Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 20 ayat 1, seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, yaitu hak agrarisch eigendom, milik, yayasan, andarbeni hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant sultan, landirijenbezitrecht, altijddurende erfpacht , hak usaha atas bekas tanah partikilir dan hak-hak lain dengan nama apapun, juga
yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak milik tersebut dalam pasal 20 ayat (1), kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam Pasal 21. ayat 2 : Hak-hak tersebut dalam ayat 1 kepunyaan orang asing warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh pemerintah sebagai yang dalam Pasal 21 ayat (2) menjadi hak guna usaha atau hak guna bangunan sesuai dengan peruntukan tanahnya, sebagai yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria. Terhadap Pasal II ketentuan konversi ini ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 19 dan Pasal 22 Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 tahun 1980 dan dengan Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 tahun 1962, sehubungan dengan hal tersebut maka jelaslah bahwa untuk pengkonversian dari hak-hak yang disebut dalam Pasal II ketentuan konversi diperlukan tindakan penegasan : a. Mengenai yang mempunyainya, untuk memperoleh kepastian apakah akan dikonversi menjadi hak milik atau tidak. b. Mengenai peruntukan tanahnya, jika ternyata konversinya tidak bisa menjadi hak milik. Penegasan tersebut diperlukan karena konversi dari pada hak tersebut di atas disertai syarat-syarat yang bersangkutan dengan status yang empunya dan sifat penggunaan tanah pada tanggal 24 September 1960. Pasal VI ketentuan konversi berbunyi : “Hak -hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 41 ayat 1 seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini yaitu : hak vruchtgebruik, gebruik, grant countroleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak berlakunya undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 yat (1), yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana yang dipunyai undang-undang ini, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini”. Dari bunyi Pasal VI ketentuan konversi tersebut maka hak-hak atas tanah seperti ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas yang berasal dari hukum adat dikonversikan menjadi hak pakai. Pasal VI ketentuan konversi berbunyi : Ayat 1 : Hak gogolan, pukulen atau sanggan yang bersifat tetap yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak milik tersebut pada Pasal 20 Ayat (1).
Ayat 2 : Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang tidak bersifat tetap menjadi hak pakai terebut pada Pasal 41 ayat (1), yang memberi wewenang dan kewajiban sebagai yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya undang-undang ini”. Ayat 3 : Jika ada keragu-raguan apakah sesuatu hak gogolan, pekulen atau sanggan bersifat tetap atau tidak tetap, maka menteri agrarialah yang memutuskan. Lebih lanjut tentang hak gogolan, pekulen atau sanggan diatur dalam Pasal 20 Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 tahun 1960 yang berbunyi : (1) . Konversi hak-hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap menjadi hak milik sebagai yang dimaksud dalam Pasal VII ayat (1) Ketentuan-ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria dilaksanakan dengan surat keputusan penegasan Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan. (2) . Hak gogolan, sanggan atau pekulen bersifat tetap kalau para gogol terus menerus mempunyai tanah gogolan yang sama dan jika meninggal dunia gogolnya itu jatuh pada warisnya tertentu. (3). Kepala Infeksi Agraria menetapkan surat keputusan tersebut pada ayat (1) pasal ini dengan memperhatikan pertimbangan sifat tetap atau tidak tetap dari hak gogolan itu menurut kenyataannya. (4). Jika ada perbedaan pendapat antara Kepala Inspeksi Agraria dan Bupati/Kepala Daerah tentang soal apakah sesuatu hak gogolan bersifat tetap atau tidak tetap, demikian juga jika desa yang berangkutan berlainan pendapat dengan kedua penjabat tersebut, maka soalnya dikemukakan lebih dahulu kepada Menteri Agraria untuk mendapat keputusan. Dalam keputusan bersama Menteri Pertanian dan Agraria serta Menteri Dalam Negeri No. SK 40/Ka/1964/DD/18/18/1/32 “tentang penegasan konversi hak gogolan tetap”, tertanggal 14 April 1964 yang menyatakan bahwa hak gogolan tetap (sanggan/pekulen) dikonversikan menjadi hak milik karena hukum sejak tanggal 24 September 1960 dan sejak it u hak tersebut tidak lagi tunduk kepada ketentuan-ketentuan peraturan gogolan, melainkan kepada peraturan agraria. Lebih lanjut ketentuan-ketentuan tentang konversi dalam UUPA ditegaskan lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun 1962 dan SK. Menteri Dalam Negeri No. 26/DDA/1970. Permohonan konversi dari tanah-tanah yang pernah tunduk kepada : a. Peraturan Menteri Agraria No. 9 tahun 1958. b. Hak atas tanah yang didaftar menurut Stb. 1873 No. 38, yaitu tentang agrarisch eigendom.
c. Peraturan-peraturan yang khusus di daerah Yokyakarta, Surakarta, Sumatera Timur, Riau dan Kalimantan Barat. Dalam pelaksanaan konversinya diajukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang bersangkutan dengan disertai tanda bukti haknya (kalau ada disertakan pula surat ukurnya), tanda bukti kewarganegaraan yang sah dari yang mempunyai hak yang menyatakan kewarganegaraannya pada tanggal 24 September 1960 dan keterangan dari pemohon apakah tanahnya tanah perumahan atau tanah pertanian. Pasal 3 PMPA No. 2 tahun 1962 : Pasal ini mengatur tentang hak-hak yang tidak diuraikan dalam sesuatu surat hak tanah, maka oleh yang bersangkutan dijaukan : a. Tanda bukti haknya, yaitu bukti surat pajak hasil bumi/verponding Indonesia atau bukti surat pemberian hak oleh Instansi yang berwenang (kalau ada disertakan pula surat ukurnya). b. Surat keterangan Kepala Desa yang dikuatkan oleh asisten Wedana (Camat) yang : 1. Membenarkan surat atau surat bukti hak itu. 2. Menerangkan apakah tanahnya tanah perumahan atau tanah pertanian. 3. Menerangkan siapa yang mempunyai hak itu, kalau ada disertai turunan surat-surat jual beli tanahnya. c. Tanda bukti kewarganegaraan yang sah dari yang mempunyai hak. Dari ketentuan Pasal 3 ini, maka khusus untuk tanah-tanah yang tunduk kepada Hukum Adat tetapi tidak terdaftar dalam ketentuan konversi sebagai tanah yang dapat dikonversikan kepada sesuatu hak atas tanah menurut ketentuan UUPA, tetapi diakui tanah tersebut sebagai hak adat, maka ditempuhlah dengan upaya “Penegasan Hak” yang diajukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah setempat dikuti dengan bukti pendahuluan seperti bukti pajak, surat jual-beli yang dilakukan sebelum berlakunya UUPA dan surat membenarkan tentang hak seseorang dan menerangkan juga tanah itu untuk perumahan atau untuk pertanian dan keterangan kewarganegaraan orang yang bersangkutan. Pasal 7 PMPA No. 2 tahun 1962 : Dalam pasal ini diatur lembaga konversi lain dinamakan “Pengakuan Hak”, yang perlakuan atas tanah-tanah yang tidak ada atau tidak ada lagi tanda bukti haknya, maka yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah Pertanahan setempat, permohonan tersebut diumumkan 2 bulan berturut-turut di kantor pendaftaran tanah dan kantor Kecamatan, jika tidak diterima keberatan mereka membuat pernyataan tersebut kepada kantor BPN dan kemudian mengirimkannya kepada Kepala Kantor Wilayah Pertanian setempat, penerbitan pengakuan hak diberikan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN, dari SK pengakuan hak tersebut sekaligus mempertegaskan hak apa yang diberikan/padanan pada permohonan tersebut, bisa saja hak milik, hak guna usaha, atau hak guna bangunan atau hak pakai (A.P. Parlindungan ; 1990 : 42).
Sedangkan pada Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. Sk 26/DDA. 1970 sebagai penjelasan dari peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun 1962 dalam diktum pertamanya : menegaskan bahwa yang dianggap sebagai “tanda bukti hak” dalam Pasal 3 huruf a PMPA No. 2 tahun 1962 adalah : a. Didaerah-daerah dimana sebelum tanggal 24 September 1960 sudah dipungut pajak (hasil) bumi (landrente) atau verponding Indonesia. 1. Surat pajak (hasil) bumi atau verponding Indonesia yang dikeluarkan sebelum tanggal 24 September 1960, jika antara tanggal 24 September 1960 dan saat mulai diselenggarakan pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 terjadi pemindahan hak (jual-beli, hibah atau tukar-menukar) maka selain surat pajak yang dikeluarkan sebelum tanggal 24 September 1960 tersebut di atas wajib disertakan juga surat-surat asli jual-beli, hibah atau tukar menukarnya yang sah (dibuat di hadapan dan disaksikan oleh Kepala Desa/adat yang bersangkutan). 2. Surat Keputusan pemberian hak oleh Instansi yang berwenang, disertai tanda-tanda buktinya bahwa kewajiban-kewajiban yang disebutkan di dalam surat keputusan itu telah dipenuhi oleh yang menerima hak. b. Di daerah-daerah dimana sampai tanggal 24 September 1960 belum dipungut pajak (hasil) bumi (landrente) atau verponding Indonesia. 1. Surat-surat asli jual-beli, hibah atau tukar menukar yang dibuat dihadapan dan disaksikan oleh Kepala Desa/Adat yang bersangkutan sebelum diselenggarakannya pendaftaran tanah menurut peraturan pemerintah No. 10 tahun 1961 di daerah tersebut. 2. Surat Keputusan pemberian hak oleh Instansi yang berwenang, disertai tanda-tanda buktinya bahwa kewajiban-kewajiban yang disebutkan di dalam surat keputusan itu telah dipenuhi oleh yang menerima hak. Dengan demikian dapat disimpulan bahwa seluruh hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA melalui lembaga konversi masuk kedalam sistem UUPA melalui padanannya dan setelah itu diperlakukan seluruh ketentuan-ketentuan UUPA dengan tidak perlu lagi menyebut bahwa tanah itu bekas sesuatu hak yang ada sebelum UUPA. 2. Objek dan Tujuan Konversi a. Objek konversi
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA terdiri dari hak-hak yang tunduk pada hukum adat dan hak-hak yang tunduk pada hukum barat. Adapun hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat adalah : 1. Hak agrarisch egeidom Lembaga agrarisch egeidom ini adalah usaha dari Pemerintah Hindia Belanda dahulu untuk mengkonversi tanah hukum adat, baik yang berupa milik perorangan maupun yang ada hak perorangannya pada hak ulayat dan jika disetujui sebagian besar dari anggota masyarakat pendukung hak ulayatnya, tanahnya dikonversikan menjadi agrarisch ageidom. 2. Tanah hak milik, hak Yasan, adar beni, hak atas druwe, hak at as druwe desa, pesini.
Istilah dan lembaga-lembaga hak atas tanah ini merupakan istilah lokal yang terdapat di Jawa. 3. Grant Sultan yang terdapat di daerah Sumatra Timur terutama di Deli yang dikeluarkan oleh Kesultanan Deli termasuk bukti-bukti hak atas tanah yang diterbitkan oleh para Datuk yang terdapat di sekitar Kotamadya Medan. Di samping itu masih ada lagi yang disebut grant lama yaitu bukti hak tanah yang juga dikeluarkan oleh Kesultanan Deli. 4. Landrerijen bezitrecat, altijddurende erfpacht , hak-hak usaha atas bekas tanah partikelir. Selain tanah-tanah yang disebut di atas yang tunduk pada hukum adat ada juga hak-hak atas tanah yang lain yang dikenal dengan nama antara lain ganggan bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituas dan lain-lain. b. Tujuan konversi Dengan diberlakukannya UUPA (UU No. 5/1960) yang menganut asas unifikasi hukum agraria, maka hanya ada satu sistem hukum untuk seluruh wilayah tanah air, oleh karena itu hak-hak atas tanah yang ada sebelum UUPA harus disesuaikan atau dicari padanannya yang terdapat di dalam UUPA melalui lembaga konversi. Jadi dengan demikian tujuan dikonversinya hak-hak atas tanah pada hak-hak atas tanah menurut sistem UUPA di samping untuk terciptanya unifikasi hukum pertanahan di tanah air dengan mengakui hak-hak atas tanah terdahulu untuk disesuaikan menurut ketentuan yang terdapat di dalam UUPA dan untuk menjamin kepastian hukum, juga bertujuan agar hak-hak atas tanah itu dapat berfungsi untuk mempercepat terwujudnya masyarakat adil dan makmur sebagaimana yang dicita-citakan oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3). B. Tentang Pendaftaran Tanah 1. Pengertian dan Landasan Hukum Pendaftaran Tanah a. Pengertian Pendaftaran Tanah Pendaftaran tanah adalah suatu kegiatan administrasi yang dilakukan pemilik terhadap hak atas tanah, baik dalam pemindahan hak ataupun pemberian dan pengakuan hak baru, kegiatan pendaftaran tersebut memberikan suatu kejelasan status terhadap tanah. Dalam Pasal 1 PP No. 24 tahun 1997 disebutkan pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara 8
sudah ada haknya dan hak milik atas rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Pendaftaran tanah dapat dilakukan melalui pendaftaran tanah secara sistematis dan sporadis yaitu kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua bidang tanah di suatu wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan, baik tanah dipunyai dengan suatu hak atas tanah maupun tanah negara. Yang dimaksud dengan suatu hak adalah hak atas tanah menurut hukum adat dan hak atas tanah menurut UUPA. b. Landasan Hukum Pendaftaran Tanah Dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Agraria, maka dualisme hak-hak atas tanah dihapuskan, dalam memori penjelasan dari UUPA dinyatakan bahwa untuk pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud Pasal 19 UUPA, yang ditujukan kepada pemerintah agar melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum yang bersifat Recht Kadaster, untuk menuju kearah pemberian kepastian hak atas tanah telah diatur di dalam Pasal 19 UUPA yang menyebutkan : (1). Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2). Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi : a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah. b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut. c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. (3). Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria. (4). Dalam Peraturan Pemerintah diatas biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termasuk dalam ayat 1 diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut. Kalau di atas ditujukan kepada pemerintah, sebaliknya pendaftaran yang dimaksud Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA ditujukan kepada para pemegang hak, agar menjadikan kepastian hukum bagi mereka dalam arti untuk kepentingan hukum bagi mereka sendiri, di dalam Pasal tersebut dijelaskan : Pasal 23 UUPA : 1 : Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19. Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 2 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.
32 UUPA : 1 : Hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19. : Pendaftaran termasuk dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hak-hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir. 38 UUPA : 1 : Hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya dak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19. 2 : Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhirnya. Dari ketentuan pasal-pasal di atas dapatlah disimpulkan bahwa pendaftaran yang dilakukan oleh pemegang hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan adalah merupakan alat pembuktian yang kuat serta untuk sahnya setiap peralihan, pembebanan dan hapusnya hak-hak tersebut. 2. Tujuan Pendaftaran Tanah Usaha yang menuju kearah kepastian hukum atas tanah tercantum dalam ketentuan-ketentuan dari pasal-pasal yang mengatur tentang pendaftaran tanah, dalam pasal 19 UUPA disebutkan untuk menjamin kepastian hukum dari hak-hak atas tanah, UUPA mengharuskan pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia yang bersifat ‘Rech Kadaster” artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum, dengan di selenggarakannya pendaftaran tanah, maka pihak-pihak yang bersangkutan dengan mudah dapat mengetahui status hukum daripada tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas dan batas-batasnya, siapa yang empunya dan beban-beban apa yang melekat di atas tanah tersebut. Menurut para ahli disebutkan tujuan pendaftaran ialah untuk kepastian hak seseorang, disamping untuk pengelakkan suatu sengketa perbatasan dan juga untuk penetapan suatu perpajakan. (A.P. Parlindungan; 1990 : 6). a. Kepastian hak seseorang Maksudnya dengan suatu pendaftaran, maka hak seseorang itu menjadi jelas misalnya apakah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak-hak lainnya.
b. Pengelakkan suatu sengketa perbatasan Apabila sebidang tanah yang dipunyai oleh seseorang sudah didaftar, maka dapat dihindari terjadinya sengketa tentang perbatasannya, karena dengan didaftarnya tanah tersebut, maka telah diketaui berapa luasnya serta batas-batasnya. c. Penetapan suatu perpajakan Dengan diketahuinya berapa luas sebidang tanah, maka berdasarkan hal tersebut dapat ditetapkan besar pajak yang harus dibayar oleh seseorang. Dalam lingkup yang lebih luas dapat dikatakan pendaftaran itu selain memberi informasi mengenai suatu bidang tanah, baik penggunaannya, pemanfaatannya, maupun informasi mengenai untuk apa tanah itu sebaiknya dipergunakan, demikian pula informasi mengenai kemampuan apa yang terkandung di dalamnya dan demikian pula informasi mengenai bangunannya sendiri, harga bangunan dan tanahnya, dan pajak yang ditetapkan. Untuk memenuhi berbagai kebutuhan seperti tersebut di atas, maka untuk itu UUPA melalui pasal pasal pendaftaran tanah menyatakan bahwa pendaftaran itu diwajibkan bagi pemegang hak yang bersangkutan. C. Pendaftaran Hak atas Tanah Adat Menurut Ketentuan Konversi dan PP N. 24 Tahun 1997. Pendaftaran hak atas tanah menurut Pasal 19 UUPA ditujukan kepada pemerintah agar melakukan pendaftaran tanah-tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, sebaliknya pendaftaran menurut Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA adalah ditujukan kepada para pemegang hak agar menjadikan kepastian hukum mereka sendiri, karena pendaftaran atas setiap peralihan, penghapusannya dan pembebanannya akan banyak menimbulkan komplikasi hukum jika tidak didaftar, pada hal pendaftaran itu merupakan bukti yang kuat sebagaimana disyaratkan Pasal 23 ayat 1 bahwa hak milik demikian pula setiap peralihan hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA, begitupun dengan hak guna usaha (Pasal 32 UUPA) dan hak guna bangunan (Pasal 38 UUPA), termasuk syarat-syarat pemberiannya demikian pula setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut harus didaftar. Dari bunyi pasal 19 UUPA tersebut maka dapat kita simpulkan bahwa UUPA telah memerintahkan kepada pemerintah untuk melaksanakan pendaftaran tanah dan untuk itu diperlukan suatu Peraturan Pemerintah, sebagai implementasi dari pasal 19 UUPA tersebut dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 yaitu tentang pendaftaran tanah yang kemudian telah diganti dengan PP No. 24 Tahun 1997. Produk hukum terakhir ini sama sekali tidak merubah prinsip-prinsip dasar yang telah dikembangkan oleh Paal 19 UUPA dan PP 10 Tahun 1961. Dengan adanya PP No. 24 tahun 1997 maka berlakulah suatu pendaftaran tanah yang uniform untuk seluruh wilayah Indonesia, yang mencakup hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum Barat dan hukum Adat semuanya diseragamkan artinya bukti-bukti ex BW (burgerlijk wetboek ) harus
dikonversikan kepada sistem yang diatur oleh UUPA begitu juga terhadap tanah-tanah adat yang sudah terdaftar maupun yang belum terdaftar. PP No. 24 Tahun 1997 mengakui dengan jelas kedudukan hak milik adat baik bersifat perorangan atau kelompok. Untuk membuktikan hak milik adat masih diakui, pada waktu pendaftaran hak atas tanah secara sistematis sebagai bukti hak atas tanah adat, yaitu : 1. Surat tanda bukti hak milik dan Grant Sultan yang dikeluarkan berdasarkan peraturan Swapraja dan hak atas tanah yang lainnya yang diakui selama tidak bertentangan dengan UUPA. 2. Akta pemindahan hak dibuat berdasarkan hukum adat yang dibubuhi kesaksian oleh kepala desa. Pasal 24 ayat (1) No. 24 Tahun 1997 menyebutkan tentang tata cara pembuktian hak-hak lama untuk keperluan pendaftaran yang berasal dari konversi dengan : a. bukti-bukti tertulis b. keterangan saksi dan/atas pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi, bagi pendaftaran secara sporadik cukup untuk mendaftarkan hak. Pada ayat (2) dikatakan, apabila pembuktian di atas tidak ada lagi, maka pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih berturut-turut oleh pemohon pendaftaran tanah dengan syarat : 1. Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya. 2. Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan atau pihak lain (Chadidjah Dalimunthe, 2000 : 136 – 137). Sehubungan dengan kegiatan pendaftaran tanah dan pemberian sertifikat tanah oleh Pemerintah, maka dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 16 Tahun 1975 (PMDN No. 16/1975), tentang kegiatan pendaftaran tanah dan pemberian sertifikat dalam pengukuran desa demi desa menuju desa lengkap sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 yang telah diganti dengan PP No. 24 Tahun 1997. Pelaksanaan lebih lanjut dari Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 16 tahun 1975 dan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/kepala Badan Pertahanan Nasional No. 3 Tahun 1995 yaitu untuk melaksanakan pendaftaran secara sistematis baik tanah yang bersertifikat maupun yang belum bersertifikat. Pasal 16 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1995 mengatur tentang pendaftaran tanah baik yang memilki bukti hak atas tanah secara tertulis maupun bukti tidak tertulis yaitu penguasaan fisik e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara 12
atas sebidang tanah. Adapun bukti tertulis tersebut yang berlaku terhadap tanah adat, adalah ; 1. Keterangan hak milik adat dikeluarkan Daerah Swapraja 2. Grant Sultan 3. Akta pemindahan hak berdasarkan hukum adat 4. Girik. Untuk melakukan pendaftaran tanah secara sistematik terhadap hak atas tanah yang tunduk kepada Hukum Adat dengan bukti hak atas tanah tersebut di atas, hal ini tidak terlepas dengan konversi terhadap hak atas tanah. Adapun hak yang dikonversi berlaku terhadap hukum adat dalam pendaftaran tanah, yaitu : 1. Hak milik adat 2. Grant Sultan 3. Grant lama 4. Girik 5. Hak Agrarisch eigendom 6. Hak Druwe dan Pesini 7. Hak Usaha Gogolan 8. Hak gogolan tak tetap, Pekulen dan Grant C dan D 9. Tanah Bengkok Untuk konversi dan pendaftaran hak atas tanah yaitu Hak milik adat, Grant Sultan, Grant lama, Girik, Hak Agrarisch Eigendom, Hak Druwe, Hak Pesini dan Hak Usaha Gogolan dikonversikan menjadi hak milik atas tanah sebagaimana menurut Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria. Sedangkan hak gogolan tak tetap, hak pekulen dan Grant C dan D dikonversikan menjadi hak pakai privat dan untuk tanah bengkok akan dikonversi menjadi hak pakai khusus. Pelaksanaan pendaftaran tanah baik dilakukan tersendiri (permohonan individu) maupun dilakukan secara sistematis (massal) terhadap hak atas tanah yang tunduk kepada hukum adat yang memiliki bukti baik tertulis maupun tidak tertulis, sebelum didaftarkan harus dikonversi. Pelaksanaan konversi hak atas tanah dilakukan oleh Panitia Pendaftran ajudikasi yang bertindak atas nama Kepala Kantor Pertanahan Nasional (BPN). Sedangkan untuk tanah yang tidak mempunyai bukti tertulis dalam pendaftaran tanah secara sistematis dilakukan dengan proses pengakuan baik. Pelaksanaan konversi dan pengakuan hak terhadap hak atas tanah adat oleh Pemerintah dibentuk format yang baku oleh Badan Pertanahan Nasional. Untuk pendaftaran tanah secara sistemtis ini harus berlaku di daerah yang sudah dilaksanakan suatu pengukuran desa demi desa, untuk desa yang belum dilaksanakan suatu pengukuran desa demi desa, maka pelaksanaan pendaftaran hakhak atas tanah yang bersangkutan.
Untuk desa lengkap yang berkepentingan mengajukan permohonan pendaftaran hak-hak atas tanah (hak milik adat) harus melampirkan tanda bukti hak dan surat keterangan hak yang diperlukan untuk pendaftaran. Pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik berlalu untuk tanah yang sudah bersertifikat atau memiliki bukti kepemilikan hak atas tanah tersifat sementara maupun yang belum memiliki bukti terhadap hak atas tanah. Pendaftaran sistematis bertujuan untuk memudahkan bagi pemegang hak atas tanah untuk melakukan pendaftaran hak. Dengan berlakunya PP No. 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah ini diharapkan permasalahan tentang informasi mengenai pertanahan ini dapat dihindarkan kekurangan atau tidak adanya jelasnya status kepemilikan (hak-hak atas tanah) yang ada, agar turwujud tujuan dari undangundang Pokok Agraria yaitu kepastian hukum hak atas tanah dan terwujudnya unifikasi hukum pertanahan di Indonesia. BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Melalui lembaga konversi hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA disesuaikan dengan hak yang ada di UUPA. Untuk menjamin kepastian hukum maka semua hak atas tanah harus didaftar. Pendaftaran hak atas tanah adat menurut ketentuan PP No. 24 Tahun 1997 adalah sebelum didaftarkan harus dikonversi terlebih dahulu. Terhadap hak atas tanah adat yang memiliki bukti bukti tertulis atau tidak tertulis dimana pelaksanaan konversi dilakukan oleh Panitia Pendaftaran ajudikasi yang bertindak atas nama Kepala Kantor Pertanahan Nasional, prosesnya dilakukan dengan penegasan hak sedangkan terhadap hak atas tanah adat yang tidak mempunyai bukti dilakukan dengan proses pengakuan hak. B. Saran 1. Agar supaya pemasyarakat UUPA terus dilakukan sehingga masyarakat mengetahui secara baik tentang peraturan pertanahan. 2. Perlu penyuluhan hukum yang sifatnya terpadu yang dilakukan pihak Badan Pertanahan Nasional secara mandiri sehingga masyarakat akan mengerti penti ngnya sertifikat. 3. Dengan berlakunya PP No. 24 Tahun 1997 hendaknya pendaftaran tanah di Indonesia bukan diutamakan di daerah perkotaan tetapi pendaftaran hendaknya dilakukan di desa terutama desa tingkat ekonomi lemah.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, 1983, Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria, Alumni Bandung.
Bachtiar Efendie, 1983, Pendaftaran Tanah di Idonesia dan Peraturan Pelaksananya, Alumni, Bandung. Fausi Riduan, 1982, Hukum Tanah Adat Multi Disiplin Pembudayaan Pancasila, Dewaruci Press, Jakarta. Harsono Budi, 1960, UUPA Bagian Pertama Jilid Pertama, Penerbit Kelompok Belajar “ESA”, Jakarta. Parlindungan A.P, 1989, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Penerbit Mandar Maju, Bandung. ____________, 1990, Komentar atas UUPA, Penerbit Alumni, Bandung. ____________, 1990, Konversi Hak-hak atas Tanah, Penerbit Mandar Maju, Bandung. ____________, 1990, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung. ____________, 1990, Berakhirnya Hak-hak atas Tanah Menurut Sistem UUPA, Penerbit Mandar Maju, Bandung. ____________, 1991, Landreform di Indonesia Suatu Perbandingan, Penerbit Mandar Maju, Bandung. Ruchiyat Eddy, 1986, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, Penerbit Alumni, Bandung.
Sekilas Administrasi Pertanahan 22 05 2010
REVIEW MATERI PERTANAHAN
Dosen Tamu : Bpk. Tjahyo Widianto Kepala Kantor BPN Bandung Tanah atau “soil” (Bhs Inggris) menurut ahli pertanian yaitu bagian daratan Bumi yang tipis yang merupakan media bagi vegetasi, menurut pendapat ahli geologi tanah sebagai lapisan batuan paling atas, sedangkan menurut ahli ekonomi tanah adalah salah satu aspek ekonomi. Lahan: “land” (Bhs Inggeris), yaitu tanah beserta faktor -faktor fisik lingkungannya, seperti lereng, hidrologi, iklim dsb. (Hardjowigeno 20023) Dalam bidang pertanahan yang dimaksud dengan tanah adalah lahan, sehingga muncul kosakata pendaftaran tanah, bukan pendaftaran lahan. Pertanahan yaitu suatu kebijakan yang digariskan oleh pemerintah di dalam mengatur hubungan antara tanah dengan orang agar tercipta keamanan dan ketentraman dalam mengelola tanah tersebut sehingga tidak melampaui batas.
Menurut Bpk. Cahyo ada tiga aspek di dalam pertanahan, yaitu : 1. Aspek Hukum, yaitu kelembagaan yang mengurusi masalah keperdataan tentang tanah. Dan lembaga yang mengurusi hukum perdata pertanahan ini yaitu BPN (Badan Pertanahan Nasional). 2. Aspek Tata Ruang, yaitu kelembagaan yang menangani masalah penataan ruang bagi pembangunan dan tata kota ataupun desa. Masalah tata ruang ini diatur pada Keputusan Presiden No.10 tahun 2003, ada 9 kewenangan di dalamnya, dan pihak yang menangani tata ruang ini yaitu Pemerintah Daerah. 3. Aspek Pajak, yaitu kelembagaan yang berperan dalam mengurusi pajak bagi pertanahan, diantaranya yaitu pajak bumi dan bangunan. Aspek ini merupakan aspek yang memberikan pemasukan bagi Negara. Pada aspek ini lembaga yang berperan yaitu Departemen Keuangan.
Masalah keperdataan tentang pertanahan setelah diurusi oleh Badan Pertanahan Nasional, selanjutnya akan diajukan di Pengadilan Tata Usaha Negara untuk penyelesaiannya. Segala keputusan di PTUN tidak dapat lagi dirubah dan diganggu gugat. Oleh karena itu betapa pentingnya untuk mendapatkan kekuatan hukum tentang pertanahan agar tidak terjadi masalah. Oleh karena itu demi terjadinya ketertiban di bidang pertanahan pemerintah mengusulkan administrasi pertanahan yang terpadu dan terencana. ADMINISTRASI PERTANAHAN : Menuju kepada penerimaan kegiatan sektor publik untuk mendukung kepemilikan, pembangunan, penggunaan, hak atas tanah dan pemindahan hak atas tanah. TUJUAN ADMINISTRASI PERTANAHAN: 1. Komponen yuridis memegang kendali utama dalam a dministrasi pertanahan untuk mendapatkan kepastian hak atas tanah. 2. Komponen Regulator yang penting untuk dihubungkan dengan pembangunan dan pengunaan lahan.Hal ini termasuk pembangunan lahan dan ketatnya penggunaan pajak melalui mekanisme yang berlaku. 3. Komponen fiskal lebih mengutamakan pada pemberian pajak lahan yang menunjang perekonomian.Proses ini digunakan untuk mendukung naiknya nilai pengumpulan dan produksi,serta sebagai insentif untuk mendisrtibusikan lahan terhadap tujuan-tujuan khusus lainnya. 4. Manajemen informasi,untuk memberi berbagai kelengkapan data yang memuat tiga aspek diatas yaitu fiskal kadaster dalam nilai dan pajak,dan pembagian wilayah dari sistem informasi yang lain dalam perencanaan dan pematuhan peraturan yang berkaitan.
MANFAAT ADMINISTRASI PERTANAHAN: 1. Memberikan jaminan atas kepastian hak,maksud semakin jelas penentuan hak milik seseorang akan mempermudah untuk orang tersebut mempertahankan haknya atas klaim dari orang lain. 2. Stabilitas sosial,catatan publik yang tepat akan melindungi dari pengunjingan mengenai kepemilikan yang sah (bila nantinya ada yang menggugat),dan membantu menyelesaikan masalah-masalah lain dengan cepat sejak batasan dan k epemilikan tanah dibuat . 3. Kredit,catatan publik akan mengurangi ketidakpastian informasi melalui pemberian kewenagan pada kreditor untuk menentukan apakah peminjam potensial telah memiliki hak untuk pemindahan hak yang diminta menurut apa yang diminta sebagai jaminan peminjam.
4. Proses perbaikan lahan,pembaharuan jaminan atas kepastian hak pemilik akan menaikan kecenderungan seseorang untuk mencari keuntungan ketika akan berinvestasi pada bangunan,peralatan atau perbaikan infrastruktur termasuk pengukuran perlindungan lahan. Cara kredit yang sudah diperbaiki menyediakan sumber daya keuangan y ang bisa mempengaruhi nilai lahan. 5. Produktivitas,faktor-faktor seperti nilai guna, perpindahan lahan, kepemilikan, pembanguan, hak atas tanah dan lain-lain dikombinasikan untuk meyakinkan bahwa lahan itu sedang berkembang menuju nilai dan manfaat yang terbaik,misalnya,pertanian komersil dilakukan oleh petani yang cerdik untuk mendapatkan keuntungan dan lahan lebih. Beda dengan petani biasa yang tidak bisa mengembangkan lahannya. 6. Likuiditas,ketika hak kepemilikan sudah dapat legalitas formal aset-aset tersebut bisa ditukar dengan cepat dalam skala besar dan pada harga yang rendah. Pada Negara-negara berkembang,mayoritas hak kepemilikan dalam stastus informal,oleh karena itu mereka tidak dapat memasuki tempat pasaran formal sebagai aset yang bi sa dinegosiasikan
Pada pelaksanaan administrasi pertanahan ada aspek yang penting untuk menjamin kepastian hukum bagi pemilik tanah, yaitu pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah ini lebih jelasnya diatur dalam Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 tentang pedoman pendaftaran tanah. Ada dua jenis pendaftaran, yaitu : 1. Pendaftaran Akta
Berdasarkan sistem pendaftaran akta, tempat penyimpanan publik ditetapkan untuk mendaftar dokumen-dokumen yang berhubungan dengan transaksi-transaksi hak milik (akta-akta, gadai, rencana-rencana peninjauan, dsb). Terdapat tiga unsur dasar dalam pendaftaran akta :pencatatan waktu pemasukan dokumen hak milik; penyusunan daftar instrumen; dan pengarsipan dokumen atau salinannya. Meskipun terdapat banyak jenis sistem pendaftaran akta, system-sistem pendaftaran tersebut didasarkan pada tiga prinsip (Nichols 1993) : 1. Jaminan-pendaftaran dokumen pada kantor publik menentukan beberapa ukuran jaminan terhadap kehilangan, kerusakan atau penggelapan. 2. Bukti-dokumen-dokumen yang didaftarkan dapat digunakan sebagai bukti dalam mendukung tuntutan terhadap kepentingan-kepentingan hak milik (meskipun dokumendokumen tersebut tidak dapat memberi jaminan hak). 3. Pemberitahuan dan Prioritas-pendaftaran dokumen memberi pemberitahuan publik bahwa transaksi hak milik telah terjadi, dengan pengecualian-pengecualian, waktu pendaftaran menetapkan tuntutan prioritas.
Pendaftaran akta menentukan cara untuk mendaftarkan dokumen-dokumen hukum saja; pendaftaran akta tidak mendaftarkan hak pada hak milik. 2. Pendaftaran Hak
Pendaftaran hak dimaksudkan untuk mengatasi cacat-cacat pendaftaran akta dan untuk menyederhanakan proses-proses pelaksanaan transaksi-transaksi hak milik. Menurut sistem seperti itu pendaftaran menggambarkan pemilikan hak milik saat ini dan beban-beban dan gadai-gadai yang belum diselesaikan. Pendaftaran biasanya adalah wajib dan negara memainkan peranan yang aktif dalam memeriksa dan menjamin transaksi-tr ansaksi.
Terdapat berbagai jenis system pendaftaran hak, yang paling dikenal yang diperkenalkan oleh Sir Robert Torrens di Australia pada abad kesembilan belas. Sistem pendaftaran Torrens didasarkan pada tiga prinsip : 1. The mirror principle-pendaftaran menggambarkan hak saat ini secara akurat dan lengkap 2. The curtain principle-pendaftaran adalah satu-satunya sumber informasi hak. Sebenarnya 3. The insurance principle-negara berkewajiban untuk ketelitian pendaftaran dan untuk memberikan index-index patok dan membatasi batas-batas hak milik secara tepat.
Pendaftaran hak menunjukkan peningkatan yang berarti atas sistem pendaftaran akta yang belum sempurna abad kesembilan belas. Selain itu ada beberapa keuntungan dalam sistem pendaftaran hak yaitu ter diri dari: v Sengketa mengenai batas tanah dapat diatasi karena batas-batas persil yang telah ditentukan sesuai dengan batas-batas yang yang tergambar pada peta pendaftaran tanah. v Batas-batas yang hilang dapat direkonstruksi v Seseorang yang akan membeli persil dapat mengetahui secara pasti posisi batas-batas serta luas tanah. Maka perlu ditegaskan bahwa betapa pentingnya kita melakukan administrasi pertanahan yaitu dengan melakukan pendaftaran tanah untuk menjamin kepastian hukum dan melaksanakan ketertiban administrasi pertanahan.
21 December - 27 December Nilai-nilai Pancasila dalam Undang-undang Pokok Agraria.
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dibentuk pada tahun 1960. Pada waktu itu partai Komunis Indonesia (PKI) boleh dikatakan berkembang pesat dan mempunyai pengaruh yang cukup besar, baik dalam kehidupan masyarakat maupun dalam kehidupan kenegaraan Indonesia. Oleh karena itu, ada yang mengatakan bahwa UUPA merupakan ciptaan dan berkonsepsi komunis, misalnya program pemerintah di bidang landreform dianggapnya produk PKI. Atau orang-orang yang mempunyai uang beranggapan bahwa UUPA ciptaan
PKI, kemudian melakukan semacam kampanye yang minta kepada pemerintah agar UUPA isinya ditinjau kembali, kalu perlu dirubah tanpa memberikan alasan yang rasional dan saran-saran yang positif tentang bagaimana dan bagian mana dari UUPA yang berkonsepsi komunis dan harus dirubah. Pendapat tersebut, yang mengatakan UUPA adalah ciptaan dari PKI atau konsepsi komunis adalah tidak benar. Justru sebaliknya UUPA itu dibuat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam pembentukan UUPA menggunakan teotri Stufen theorie (teori tangga) yang dijelaskan oleh Hans Kelsen. Adapun teorinya adalah “ bahwa tertib hukum atau legal order itu merupakan a system of norm yang berbentuk seperti tangga-tangga pyramid. Pada tiap tangga terdapat kaidah (norms) dan dipuncak pyramid terdapat kaidah yang disebut kaidah dasar (grundnorm). Dibawah kaidah dasar terdapat kaidah yang disebut undang-undang dasar, dibawah undang-undang terdapat kaidah yang disebut peraturan, dibawah peraturan ini terdapat kaidah yang disebut ketetapan. Maka dasar berlaku dan legalitas suatu kaidah terletak pada kaidah yang ada diatasnya. (Bachsan Mustafa,1988;3)
Berdasarkan teori stufen , maka dasar berlaku dan legalitas UUPA dapat dijelaskan bahwa: Pancasila dengan kelima silanya tercantum dalam alinea IV pembukuan UUD 1945. Pembukaan UUD1945 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan batang tubuh UUD 1945 atau dengan kata lain, keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah pisahkan. Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 itu menjiwai Batang tubuh UUD 1945, artinya sila-sila dalam Pancasila dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal (Batang Tubuh) UUD 1945. Jadi karena Pancasila dijabarkan lebih lanjut dalam batang tubuh UUD 1945, ini berarti bahwa dasar berlaku dan legalitas UUD 1945 terletak pada Pancasila.
Dalam salah satu pasal UUD 1945 adalah pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa ; bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketentuan ini yang dijadikan dasar dalam pembentukan UUPA, sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 2 ayat(1) UUPA, yaitu: atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD dan hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Jadi dasar berlaku dan legalitas UUPA terletak pada UUD 1945.
Dengan menggunakan Stufen Theorie dari Hans Kelsen, UUPA dan peraturan pelaksanaannya itu bukanlah ciptaan PKI atau berkonsepsi komunis, melainkan ciptaan bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila sebagai dasar falsafah negara dan undang-undang Dasar 1945 sebagai dasar konstitusionalitas kehidupan bernegara dan berbangsa.
Ketentuan-ketentuan dalam UUPA yang menunjukkan bahwa UUPA didasarkan pada Pancasila dapat dijelaskan sebagai berikut:
alam konsideran UUPA dibawah perkataan “berpendapat”huruf c dinyatakan bahwa :”hukum agrarian Nasional itu harus mewujudkan penjelmaan daripada Ketuhanan Yang Maha Esa, perikemanuasiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan social, sebagai asas kerohania negara dan cita-cita bangsa yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar”
enjelasan Umum Angka 1 UUPA menyebutkan bahwa:”Hukum Agraria Nasional harus mewujudkan penjelmaan daripada asas kerokhanian negara dan cita-cita bangsa yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan social serta khususnya harus merupakan pelaksanaan daripada ketentuan dalam Pasal 33 UUD dan
garis-garis besar daripada haluan negara (GBHN) yang tercantum dalam manifesti politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 dan ditegaskan didalam Pidato Presiden 17 agustus 1960.
21 December - 27 December Nilai-nilai Pancasila dalam Undang-undang Pokok Agraria. Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dibentuk pada tahun 1960. Pada waktu itu partai Komunis Indonesia (PKI) boleh dikatakan berkembang pesat dan mempunyai pengaruh yang cukup besar, baik dalam kehidupan masyarakat maupun dalam kehidupan kenegaraan Indonesia. Oleh karena itu, ada yang mengatakan bahwa UUPA merupakan ciptaan dan berkonsepsi komunis, misalnya program pemerintah di bidang landreform dianggapnya produk PKI. Atau orang-orang yang mempunyai uang beranggapan bahwa UUPA ciptaan PKI, kemudian melakukan semacam kampanye yang minta kepada pemerintah agar UUPA isinya ditinjau kembali, kalu perlu dirubah tanpa memberikan alasan yang rasional dan saran-saran yang positif tentang bagaimana dan bagian mana dari UUPA yang berkonsepsi komunis dan harus dirubah. Pendapat tersebut, yang mengatakan UUPA adalah ciptaan dari PKI atau konsepsi komunis adalah tidak benar. Justru sebaliknya UUPA itu dibuat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam pembentukan UUPA menggunakan teotri Stufen theorie (teori tangga) yang dijelaskan oleh Hans Kelsen. Adapun teorinya adalah “ bahwa tertib hukum atau legal order itu merupakan a system of norm yang berbentuk seperti tangga-tangga pyramid. Pada tiap tangga terdapat kaidah (norms) dan dipuncak pyramid terdapat kaidah yang disebut kaidah dasar (grundnorm). Dibawah kaidah dasar terdapat kaidah yang disebut undangundang dasar, dibawah undang-undang terdapat kaidah yang disebut peraturan, dibawah peraturan ini terdapat kaidah yang disebut ketetapan. Maka dasar berlaku dan legalitas suatu kaidah terletak pada kaidah yang ada diatasnya. (Bachsan Mustafa,1988;3) Berdasarkan teori stufen , maka dasar berlaku dan legalitas UUPA dapat dijelaskan bahwa: Pancasila dengan kelima silanya tercantum dalam alinea IV pembukuan UUD 1945. Pembukaan UUD1945 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan batang tubuh UUD 1945 atau dengan kata lain, keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 itu menjiwai Batang tubuh UUD 1945, artinya sila-sila dalam Pancasila dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal (Batang Tubuh) UUD 1945. Jadi karena Pancasila dijabarkan lebih lanjut dalam batang tubuh UUD 1945, ini berarti bahwa
dasar berlaku dan legalitas UUD 1945 terletak pada Pancasila. Dalam salah satu pasal UUD 1945 adalah pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa ; bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketentuan ini yang dijadikan dasar dalam pembentukan UUPA, sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 2 ayat(1) UUPA, yaitu: atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD dan hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Jadi dasar berlaku dan legalitas UUPA terletak pada UUD 1945. Dengan menggunakan Stufen Theorie dari Hans Kelsen, UUPA dan peraturan pelaksanaannya itu bukanlah ciptaan PKI atau berkonsepsi komunis, melainkan ciptaan bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila sebagai dasar falsafah negara dan undang-undang Dasar 1945 sebagai dasar konstitusionalitas kehidupan bernegara dan berbangsa. Ketentuan-ketentuan dalam UUPA yang menunjukkan bahwa UUPA didasarkan pada Pancasila dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Dalam konsideran UUPA dibawah perkataan “berpendapat”huruf c dinyatakan bahwa :”hukum agrarian Nasional itu harus mewujudkan penjelmaan daripada Ketuhanan Yang Maha Esa, perikemanuasiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan social, sebagai asas kerohania negara dan cita-cita bangsa yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar” 2. Penjelasan Umum Angka 1 UUPA menyebutkan bahwa:”Hukum Agraria Nasional harus mewujudkan penjelmaan daripada asas kerokhanian negara dan cita-cita bangsa yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan social serta khususnya harus merupakan pelaksanaan daripada ketentuan dalam Pasal 33 UUD dan garisgaris besar daripada haluan negara (GBHN) yang tercantum dalam manifesti politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 dan ditegaskan didalam Pidato Presiden 17 agustus 1960.
Pengertian Pendaftaran Hak atas tanah
A. Pengertian Pendaaftaran Hak atas tanah
Pada tahun 1955 berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 55 Tahun 1955 Presiden Republik Indonesia membentuk kementerian Agraria yang sederajat dengan kementerian lain dan dipimpin oleh Menteri Agraria. Lapangan pekerjaan Kementerian Agraria dimaksud adalah:
1. Mempersiapkan pembentukan perundang-undangan agrarian nasional
2. Melaksanakan dan mengawasi perundang-undangan Agraria pada umumnya serta member pimpinan dan petunjuk tentang pelaksanaan itu pada khususnya
3. Menjalankan usaha untuk menyempurnakan kedudukan dan kepastian hak tanah bagi rak yat
Susunan Kementerian Agraria terdiri atas Pusat Kementerian, Jawatan Agraria dan Jawatan Pendaftaran tanah. Masing-masing jawatan dipimpin oleh kepala Jawatan yang bertanggung kepada Menteri dan wajib memberitahukan segala sesuatu kepada Sekretaris Jenderal.
Kemudian Kementerian Agraria kewenangannya dipertegas dengan Kepres Nomor 190 Tahun 1957 Tanggal 12 Desember 1957 untuk menjalankan segala usaha menyempurnakan kedudukan dan kepastian hak atas tanah melalui pendaftaran tanah yang meliputi kegiatan;
1. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan semua tanah dalam wilayah Republik Indonesia (tentunya termasuk wilayah kehutanan)
2. Pembukuan hak-hak atas tanah serta pencatatan pemindahan hak-hak tersebut
Untuk hal tersebut di atas berdasarkan Kepres Nomor 190 Tahun 1957 tersebut Jawatan Pendaftaran Tanah dialihkan dari Departemen Kehakiman ke Kementerian Agraria
sedangkan tugas dan wewenang Jawatan Agraria beralih dari Menteri Dalam Negeri ke Kementerian Agraria berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1958.
Setelah lahirnya UUPA, Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 Tanggal 24 September 1960, lapangan pekerjaan Kementerian Agraria diperluas dengan kegiatan Land reform and land Use sehingga dapat dikatakan pilar-pilar kegiatan Kementerian Agraria pada saat berdirinya terdiri dari 4 pilar, yaitu:
1. Bidang Hak-hak atas tanah (Jawatan Agraria)
2. Bidang Pendaftaran Tanah (jawatan Pendaftaran Tanah)
3. Bidang land Reform
4. Bidang Land use yang berasal dari direktorat Tata Bumi Departemen Pertanian (bukan berasal dari Direktorat Tata Ruang Departemen Pekerjaan Umum).
Departemen Agraria dengan 4 pilar tersebut di atas merupakan suatu kebanggaan bagi bangsa Indonesia khususnya pegawai di Departemen Agraria karena di seluruh dunia hanya Departemen Agraria yang memiliki kewenangan yang lengkap yang diharapkan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan pertanahan di Indonesia sebagai akibat masa penjajahan yang cukup panjang serta luasnya wilayah Republik Indonesia dengan berbagai suku bangsa dan adat istiadat serta ketentuan-ketentuan hukum di bidang pertanahan umumnya hanyalah berdasarkan hukum adat setempat dan tidak tertulis.
Dengan kewenangan yang ada diharapkan Kementrian Agraria dapat mewujudkan tertib hukum, administrasi, penggunaan tanah dan pemeliharaan tanah serta terciptanya suatu lingkungan hidup yang nyaman bersih dan terjamin keberadaan sumber daya air bagi rakyat Indonesia.
Namun sesuatu hal yang ironis dengan tujuan yang begitu besar perkembangan organisasi Kementrian Agraria berkali-kali berubah mulai dari tingkat Departemen, Direktorat, Dirjen Agraria, Badan Pertanahan dengan Menteri Negara Agraria dan saat ini kembali menjadi Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia sehingga harapan dan tujuan utama untuk dibentuknya Kementrian Agraria pada masa lalu masih jauh dari harapan.
Untuk pertama kali Indonesia mempunyai suatu lembaga pendaftaran tanah dalam sejarah di Indonesia, yang uniform dan berlaku secara Nasional, sebagai konsekuensinya berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, yang kemudian disempurnakan dengan PP no 24 tahun 1997, L.N. 1997 no 59, tanggal 8 Juli 1997 dan baru berlaku 8 Oktober 1997 (pasal 66), sebagai perintah dari pasal 19 UUPA, yang berbunyi sebagai berikut:
1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wulayah Republik Indonesia menerut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah
2. Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi :
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak-hak, yang berlaku sebagail alat pembuktian yang kuat
3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalulintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut Menteri Agraria
4. Dalam peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat 1 diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.(AP. Parlindungan,1999;2)
Pendaftaran tanah menurut Pasal 1 PP NOMOR 24 tahun 1997, pendaftaran tanah adalah serangkaian
kegiatan
yang
dilakukan
oleh
pemerintah
secara
terus
menerus,
berkesinambungan dan teratus, meliputi pengumpulan , pengolahan , pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan Hak Milik atas satuan Rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Pendaftaran
tanah
dilaksanakan berdasarkan
azas
sederhana,
aman,
terjangkau,
mukhtahir dan terbuka. (Pasal 2)
Azas sederhana dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah. Sedangkan azas aman dimaksudkan untuk menunjukkan, bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.
Azas terjangkau dimaksudkna keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjagkau oleh para pihak yang memerlukan.
Azas mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan keseimbangan dalam pemeliharaan datanya. Dua yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk perlu diikuti kewajibnan mendaftar dan pencatatan perubahan perubahan yang terjadi dikemudian hari.
Pengadaan Tanah Dasar yang mengatur tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah sebagai berikut:
1. Pasal 18 UUPA
2. UU No. 20 Th. 1961 ttg pencabutan HAT dan benda-benda yang ada diatasnya.
3. Peraturan Presiden No. 36 th. 2005 ttg Pengadaan Tanah bagi Pelaksnaan Pembangunan utk Kepentingan Umum, sebagaimana telah diubah dengan Perpres No 65 Th 2006
4. Peraturan Kepala BPN No 3 Th 2007
Dalam pasal 18, menyatakan bahwa utk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti rugi yang layak dan menurut cara yang diatur dgn undang-undang.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan juga harus memperhatikan dan memberikan jaminan kepada pemilik Hak atas tanah. Pencabutan hak atas tanah dilakukan dengan syarat sebagai berikut :