LAPORAN PRAKTIKUM KESEHATAN LINGKUNGAN PEMBUATAN KOMPOS DENGAN TAKAKURA
Oleh: Kelompok 5 1. 2. 3. 4. 5.
Putri Berliana Syah Yenni Dwi Kurniawaty Nisa Amira Shofiyatur Rahmah Herman Bagus D
101211132009 101211132009 101211132042 101211132042 101211131045 101211131045 101211133066 101211133066 101211131214 101211131214
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS AIRLANGGA 2015
DAFTAR ISI
Daftar Isi………………………………………………………………………. i Daftar Tabel……………………………………………………………………. ii Daftar Gambar………………………………………………………………… iii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang……………………………………………………... 1 1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………. 2 1.3 Tujuan……………………………………………………………… 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sampah………….…………………………………………………. 3 2.2 Pengomposan…………….………………………………………… 3 2.3 Pengomposan Pengomposan Dengan Metode Takakura…………………………. 13 BAB III METODE PRAKTIKUM 3.1 Alat dan Bahan…………………………………………………….. 15 3.2 Prosedur Kerja…………………………………………………….. 16 3.3 Tabel Pengamatan…………………………………………………. 17 3.4 Lokasi………………………………………………………………. 18 3.5 Rincian Biaya……………………………………………………… 18 3.6 Jadwal Praktikum………………………………………………….. 18 BAB IV HASIL DAN PEM BAHASAN 4.1 Hasil Praktikum……………………………………………………. 19 4.2 Pembahasan…………………………………………………………25 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan………………………………………………………… 28 5.2 Saran……………………………………………………………….. 28 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. 29 LAMPIRAN
i
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Jadwal praktikum takakura………………………………………….. 18 Tabel 4.1 Tabel pengamatan kompos takakura…………………………..……..21 Tabel 4.2 T abel pengamatan uji kompos pada tanaman cabe………………….. cabe ………………….. 24 Tabel 4.3 Standar kualitas kompos…………………………………………….. 25 Tabel 4.4 Perbandingan hasil pengukuran pe ngukuran kompos dengan standar………..….. 26
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Alur pra ktikum kompos menggunakan metode takakura………… 15 Gambar 4.1 Pengukuran pH, suhu dan kelembaban kompos dalam takakura.... 19 Gambar 4.2 Penanaman cabe sebagai uji coba kompos…………………..…… 19 Gambar 4.3 Penanaman cabe sebagai kontrol…………………………………. 20 Gambar 4.4 Perkembangan tanaman tanaman cabai……………………...…………….. 20 Gambar 4.5 Perbandingan tanaman cabai A dan B…………...………….……. 27
iii
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Aktivitas manusia di bumi memberikan berbagai dampak di lingkungan sekitar, baik dampak positif maupun negatif. Salah satu dampak negatif kegiatan manusia bagi lingkungan ialah sampah. Sampah akan menjadi dampak negatif bagi lingkungan ketika manusia tidak bisa mengolah sampah dengan baik sehingga mencemari lingkungan.. Sampah merupakan materi atau zat, baik yang bersifat organik maupun anorganik yang dihasilkan dari setiap aktivitas manusia.
Aktivitas bisa dalam rumah tangga, industri, industri, maupun kegiatan
komersial (Notoadmodjo dalam Mifbakhuddin, 2010). Dampak negatif yang dihasilkan oleh sampah tidak hanya pada lingkungan, tapi kesehatan manusia itu sendiri. Beberapa dampak negatif sampah pada lingkungan ialah tercemarnya a ir tanah, ta nah, mengganggu ekosistem ekos istem air maupun darat, global warming, dan lain-lain. Sedangkan dampak negative sampah bagi kesehatan manusia karena sampah merupakan salah satu saluran penularan penyakit. Tumpukan sampah menjadi tempat perkebang biakan favorit bagi lalat, kecoa, lipas, dan sebagainya. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh
World Bank’s Urban
Development Department memperkirakan sampah diperkotaan akan meningkat
dari 1,3 juta ton tiap tahun menjadi 2,2 juta ton tiap tahun pada tahun 2025. Banyaknya kenaikan jumlah sampah berasal dari kota-kota besar di Negaranegara berkembang. Data tersebut merupakan pukulan keras bagi masyarakat di dunia agar segera bersama-sama melakukan berbagai upaya untuk mengurangi jumlah sampah yang akan akan dihasilkan. Pengelolaan sampah di Indonesia ada bermacam-macam, antara lain: sanitary landfill, insenerasi, dan komposting. Penerapan sanitary landfill dan
insenerasi dilakukan secara komunal, sedangkan composting dapat dilakukan secara komunal maupun individu. Pengolahan sampah menggunakan composting merupakan salah satu pengurangan sampah organic menjadi barang yang lebih berguna, yaitu pupuk. Pembuatan pupuk yang berbahan sampah organic ada bermacam-macam, salah satu cara yang mudah mud ah dilakukan dengan menggunakan
1
takakura. Takakura merupakan keranjang yang digunakan untuk mengolah sampah organic menjadi pupuk. Diharapkan dengan adanya pengolahan sampah organik menjadi pupuk yang mudah dengan menggunakan takakura bisa diaplikasikan pada setiap rumah di seluruh Indonesia dalam upaya untuk mengurangi volume sampah. 1.2
Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana pengolahan sampah organik dengan metode takakura? 1.2.2 Bagaimana cara mengukur suhu, pH, dan kelembaban kompos takakura? 1.2.3 Bagaimana hasil tanaman dengan menggunakan kompos takakura dan tidak menggunakan menggunakan kompos takakura? 1.3
Tujuan
1.3.1 Mempelajari cara mengolah sampah organik menjadi pupuk dengan menggunakan menggunakan metode metod e takakura. 1.3.2 Mempelajari cara pengukuran suhu, pH, dan kelembaban kompos takakura serta menginterpretasikannya. 1.3.3 Dapat memahami serta membedakan hasil tanaman kontrol dan tanaman yang diberi perlakuan. p erlakuan.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Sampah
2.1.1 Definisi sampah Menurut UU No 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, sampah didefinisikan sebagai sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Sedangkan Sedangkan menurut Azwar (1990) dalam Sulistyorini (2005), sampah ( refuse) adalah sebagian dari sesuatu yang tidak bisa dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang, yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia (termasuk kegiatan industri), tetapi bukan biologis (karena human waste tidak termasuknya di dalamnya). Menurut World Health Organization (WHO) sampah didefinisikan sebagai sesuatu yang tidak digunakan,
tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. Sedangkan menurut Kamus Istilah Lingkungan (1994) dinyatakan bahwa sampah adalah bahan yang tidak mempunyai atau tidak berharga untuk digunakan secara biasa atau khusus dalam produksi atau pemakaian; barang rusak atau cacat selama manufaktur; atau materi berkelebihan atau ditolak atau buangan. Menurut SNI Tata Cara Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan dalam Dewi, dkk (2012), sampah didefinisikan sebagai limbah yang bersifat padat terdiri dari bahan organik dan bahan anorganik a norganik yang dianggap tidak b erguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investas i pembangunan. 2.1.2 Jenis sampah Pada prinsipnya sampah dibagi menjadi sampah padat, sampah cair dan sampah dalam bentuk gas. Menurut Mukono (2006), sampah padat dibedakan menjadi beberapa jenis antara lain sebagai berikut: 1. Berdasarkan kandungan zat kimia a. Sampah anorganik; dan b. Sampah organik. 2. Berdasarkan mudah/sukarnya terbakar a. Sampah yang mudah terbakar; dan d an
3
b. Sampah yang sukar terbakar. 3. Berdasarkan mudah/sukarnya membusuk a. Sampah yang mudah membusuk; dan d an b. Sampah yang sukar membusuk. 2.1.3 Karakteristik sampah Karakteristik sampah dapat dibedakan menjadi 12 macam, antara lain sebagai berikut: 1. Garbage Merupakan jenis sampah yang terdiri dari sisa potongan hewan atau sayur-sayuran
yang
berasal
dari
proses
pengolahan,
persiapan,
pembuatan, dan penyediaan makanan yang sebagian besar terdiri dari bahan yang mudah membusuk, lembab dan mengandung mengandung sejumlah sejumlah air. 2. Rubbish Merupakan sampah yang mudah atau susah terbakar, berasal dari rumah tangga, pusat perdangangan, dan kantor, yang tidak termasuk kategori garbage. Sampah yang mudah terbakar umumnya terdiri dari zat organik, seperti kertas, sobekan kain, kayu, plastik, dll. Sedangkan sampah yang sukar terbakar, sebagian besar berupa zat inorganik seperti logam, mineral, kaleng dan gelas. 3. Ashes (abu) Merupakan sisa pembakaran dari bahan yang mudah terbakar, baik di rumah, di kantor maupun industri. 4. Street sweeping (sampah jalanan) Berasal dari pembersihan jalan dan trotoar, terdiri dari kertas-kertas, kotoran, dan daun-daunan 5. Dead animal (bangkai binatang) Yaitu bangkai binatang yang mati karena bencana alam, penyakit atau kecelakaan. 6. Household refuse (sampah pemukiman p emukiman)) Yaitu sampah campuran yang terdiri dari rubbish, garbage, ashes yang bersal dari daerah perumahan. perumahan. 7. Abandoned vehicles (sampah kendaraan)
4
Yang temasuk jenis sampah ini adalah bangkai mobil, truk, kereta api, satelit, kapal laut dan alat transportasi. 8. Sampah industri Terdiri dari sampah padat yang berasal dari industri pengolahan hasil bumi, tumbuh-tumbuhan tumbuh-tumbuhan dan industrinya. industrinya. 9. Demolition wastes (sampah hasil penghancuran pe nghancuran gedung atau bangunan) Yaitu sampah yang berasal dari perombakan gedung/bangunan gedung. 10. Construction wastes (sampah dari daerah pembangunan) pembangunan) Yaitu sampah yang berasal dari sisa pembangunan gedung, perbaikan, dan pembaharuan gedung. Sampah dari daerah ini mengandung tanah, batu-batuan, potongan potongan kayu, alat perekat, dinding, dinding, kertas, dll. 11. Sewage solid Terdiri dari benda kasar yang umumnya zat organik hasil saringan pada pintu masuk suatu pusat pengolahan pengolahan air buangan 12. Sampah khusus Yaitu
sampah
yang
memerlukan
penanganan
khusus
dalam
pengelolaannya, misalnya kaleng cat, film bekas, zat radioaktif, dan zat yang toksis. 2.1.4 Sumber sampah Sampah yang ada di permukaan bumi ini dapat berasal dari beberapa sumber berikut : 1. Pemukiman penduduk Sampah di suatu pemukiman biasanya dihasilkan oleh satu atau beberapa keluarga yang tinggal dalam suatu bangunan atau asrama yang terdapat di desa atau di kota. Jenis sampah yang dihasilkan biasanya sisa makanan dan bahan sisa proses pengolahan makanan atau sampah basah (garbage), sampah kering (rubbsih), perabotan rumah tangga, abu atau sisa tumbuhan kebun. (Dainur, 1995) 2. Tempat umum dan tempat tempa t perdagangan Tempat umum adalah tempat yang memungkinkan banyak orang berkumpul dan melakukan kegiatan termasuk juga tempat p erdagangan. erdagangan. Jenis sampah yang dihasilkan dari tempat semacam itu dapat berupa
5
sisa-sisa makanan (garbage), sampah kering, abu, sisa bangunan, sampah khusus, dan terkadang sampah berb ahaya. 3. Sarana layanan masyarakat milik pemerintah Sarana layanan masyarakat yang dimaksud disini, antara lain, tempat hiburan dan umum, jalan umum, tempat parkir, tempat layanan kesehatan (misalnya rumah sakit dan puskesmas), kompleks militer, gedung pertemuan, pantai empat berlibur, dan sarana pemerintah lain. Tempat tersebut biasanya menghasilkan sampah khusus dan sampah kering. 4. Industri berat dan ri ngan Dalam pengertian ini termasuk industri makanan dan minuman, industri kayu, industri kimia, industri logam dan tempat pengolahan air kotor dan air minum,dan kegiatan industri lainnya, baik yang sifatnya distributif atau memproses bahan mentah saja. Sampah yang dihasilkan dari tempat ini biasanya sampah basah, sampah kering, sisa-sisa bangunan, sampah khusus dan sampah b erbahaya. erbahaya. 5. Pertanian Sampah dihasilkan dari tanaman dan binatang. Lokasi pertanian seperti kebun, ladang ataupun sawah menghasilkan sampah berupa bahan-bahan makanan yang Universitas Sumatera Utara telah membusuk, sampah pertanian, pupuk, maupun bahan pembasmi serangga tanaman (Chandra, 2007). 2.1.5 Dampak negatif sampah 1. Gangguan kesehatan a. Timbulan sampah dapat menjadi tempat perkembangbiakan lalat yang dapat mendorong penularan penyakit infeksi. b. Timbulan sampah dapat menimbulkan penyakit yang terkait dengan tikus. 2. Menurunnya Menurunnya kualtias lingkungan Sampah menghasilkan air lindi yang apabila tidak dikelola dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Sampah juga menghasilkan gasgas rumah kaca seperti metana (CH4), karbon monoksida (CO), karbon
6
dioksida (CO2), sulfur oksida (SO2) yang dapat menyebabkan efek rumah kaca. 3. Menurunnya Menurunnya estetika e stetika lingkungan Timbulan sampah yang bau, kotor dan berserakan akan menjadikan lingkungan tidak indah untuk dipandang d ipandang mata. 4. Terhambatnya pembangunan negara Dengan menurunnya kualitas dan estetika lingkungan, mengakibatkan pengunjung atau wisatawan enggan untuk mengunjungi daerah wisata tersebut karena merasa tidak nyaman, dan daerah wisata tersebut menjadi tidak menarik untuk dikunjungi. Akibatnya jumlah kunjungan wisatawan menurun, yang berarti devisa negara juga menurun. 5. Dampak Sosial dan Ekonomi a. Pengelolaan sampah yang kurang baik akan membentuk lingkungan yang kurang menyenangkan bagi masyarakat; bau yang tidak sedap dan pemandangan yang buuk karena sampah bertebaran dimanamana. b. Memberikan dampak negatif terhadap kepariwisataan. kepariwisataan. c. Pengelolaan sampah tidak memadai menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat. Hal penting disini adalah meningkatnya pembiayaan-pembiayaan pembiayaan-pembiayaan secara langsung (untuk mengobati orang sakit) dan pembiayaan secara tidak langsung (tidak mau kerja, rendahnya produktivitas). 2.2
Pengomposan
2.2.1 Definisi kompos Menurut Crawford, J. H (--) dalam Dewi (2012), kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran camp uran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab dan aerobik atau anaerobik. Menurut Sutedjo (2002),
Kompos
adalah
zat
akhir
suatu
proses
fermentasi
tumpukan
sampah/serasah tanaman dan adakalanya pula termasuk bangkai binatang. Sesuai dengan humifikasi fermentasi suatu pemupukan dicirikan oleh hasil bagi C/N yang menurun. Bahan-bahan mentah yang biasa digunakan seperti ; merang, daun,
7
sampah dapur, sampah kota dan lain-lain dan pada umumnya mempunyai hasil bagi C/N yang melebihi 30. Kompos adalah pupuk yang berasal dari sisa t anaman, kotoran hewan seperti pupuk kandang, pupuk hijau daun dan kompos, berbentuk cair maupun padatan yang dapat memperbaiki sifat fisik dan struktur tanah, meningkatkan meningkatkan daya menahan air tanah, kimia tanah dan biologi tanah. 2.2.2 Definisi pengomposan Menurut Unus (2002) dalam Sulistyorini (2002), proses pengomposan atau membuat kompos adalah proses biologis karena selama proses tersebut berlangsung, sejumlah jasad hidup yang disebut mikroba, seperti bakteri dan jamur, berperan aktif. aktif. 2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi komposting Menurut Unus (2002) dalam Sulistyorini (2002), banyak faktor yang mempengaruhi proses pembuatan kompos, baik biotik maupun abiotik. Faktorfaktor tersebut antara lain: 1. Pemisahan bahan Bahan-bahan yang sekiranya lambat atau sukar u ntuk didegradasi/diurai, harus dipisahkan, baik yang berbentuk logam, batu, maupun plastik. Bahkan
bahan-bahan
tertentu
yang
bersifat
toksi
serta
dapat
menghambat pertumbuhan mikroba, harus benar-benar dibebaskan dari dalam timbunan bahan, misalnya pestisida. 2. Bentuk bahan Semakin kecil dan homogen bentuk bahan, semakin cepat dan baik pula proses pengomposan. Karena dengan bentuk bahan yang lebih kecil dan homogen, lebih banyak luas permukaan bahan yang dapat dijadikan substrat bagi aktivitas mikroba. Selain itu, bentuk bahan berpengaruh pula terhadap kelancaran difusi oksigen yang diperlukan serta pengeluaran CO2 yang dihasilkan. 3. Nutrien Untuk aktivitas mikroba di dalam tumpukan sampah memerlukan sumber nutrien karbohidrat, misalnya antara 20%-40% yang digunakan akan diasimilasikan menjadi komponen sel dan CO 2, jika perbandingan
8
sumber nitrogen dan sumber karbohidrat yang terdapat di dalamnya (C/N-rasio) = 10:1. Untuk proses pengomposan nilai optimum adalah 25:1, sedangkan maksimum 10:1 4. Kadar air Kadar air bahan tergantung kepada bentuk dan jenis bahan, misalnya kadar air optimum di dalam pengomposan bernilai antara 50-70, terutama selama proses fasa pertama. Kadang-kadang dalam keadaan tertentu kadar air bahan bisa bernilai sampai 85% misalnya pada jerami. Sedangkan menurut Dewi (2012), faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengomposan pengomposan dijelaskan sebagai berikut: 1. Rasio C/N Rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30:1 hingga 40:1. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Pada rasio C/N di antara 30 s/d 40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat. Umumnya, masalah utama pengompasan adalah pada rasio C/N yang tinggi, terutama jika bahan utamanya adalah bahan yang mengandung kadar kayu tinggi (sisa gergajian kayu, ranting, ampas tebu, dsb). Untuk menurunkan
rasio
C/N
diperlukan
perlakuan
khusus,
misalnya
menambahkan mikroorganisme selulotik (Toharisman, A. 1991) atau dengan
menambahkan
kotoran
hewan
karena
kotoran
hewan
mengandung banyak senyawa nitrogen. 2. Ukuran partikel Aktivitas mikroba berada di antara permukaan area dan udara. Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut.
9
3. Aerasi Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen (aerob). Aerasi secara alami aka n terjadi saat terjadi p eningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh proritas dan kandungan air bahan (kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan dengan melakukan pembalikan atau mengalirkan mengalirkan udara di dalam tumpukan tumpukan kompos 4. Porositas Porositas adalah ruang di antara partikel di dalam tumpukan kompos. Porositas dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total. Rongga-rongga ini akan diisi oleh air dan udara. Udara akan mensuplai oksigen untuk proses pengomposan. Apabila ronga dijenuhi oleh air, maka pasokan oksigen akan berkurang dan proses pengomposan akan terganggu. 5. Kelembaban Kelembaban memegang peranan yang sangat enting dalam proses metabolisme mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplai oksigen. Mikroorganisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut di dalam air. Kelembaban 40-60%adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap. 6. Temperatur/suhu Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba. Ada hubungan langsung antara peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin Sem akin tinggi temperatur akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepar pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada
10
tumpukan
kompos.
Temperatur
yang
berkisar
antara
30-60°C
menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat/ suhu yang lebih tinggi dari 60°C akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba thermofilik saja yang akan tetap bertahan hidup. suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba-mikroba patogen tanaman dan benih-benih gulma. 7. pH Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6.5 sampai 7.5. pH kotoran ternak umumnya berkisar antara 6.8 hingga 7.4. proses pengomposan sendiri akan men yebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau lokal akan menyebabkan penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan. pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral. 8. Kandungan hara Kandungan P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan biasanya terdapat di dalam kompos-kompos dari peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan oleh mikroba selama proses pengomposan. 9. Kandungan bahan berbahaya Beberapa bahan organik mungkin mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi kehidupan mikroba. Lo gam-logam gam-logam berat b erat seperti Mg, Cu, Zn, Nikel, Cr adalah beberapa bahan yang termasuk kategori ini. Logamlogam berat akan mengalami imobilisasi selama proses p engomposan. 10. Lama pengomposan Lama waktu pengomposan tergantung pada karakteristik bahan yang dikomposkan, metode pengomposan yang dipergunakan dan dengan atau tanpa penambahan aktivator pengomposan. Secara alami pengomposan akan berlangsung dalam waktu beberapa minggu sampai 2 tahun hingga kompos benar-benar matang.
11
2.2.4 Sumber bahan kompos Bahan yang dapat dijadikan kompos diantaranya yaitu bahan organik yang berasal dari limbah hasil pertanian maupun non pertanian, termasuk di d i dalamnya d alamnya limbah kota dan limbah industri. Dari hasil pertanian dapat berupa sisa tanaman (jerami dan brangkasan), sisa hasil pertanian (sekam padi, kulit kacang tanah, ampas tebu, dan belontong), pupuk kandang (kotoran sapi, kerbau, ayam, itik dan kuda), dan pupuk hijau. Limbah kota atau sampah organik kota biasanya dikumpulkan dari pasar atau sampah di tingkat rumah tangga dari pemukiman penduduk. Limbah industri yang dimanfaatkan sebagai pupuk organik a ntara lain limbah industri pangan. Kompos yang berasal dari pupuk kandang merupakan bahan pembelah tanah yang paling baiik dibanding dibanding bahan pembelah lainnya. 2.2.5 Indikator kematangan kompos 1. C/N rasio mempunyai nilai (10-20):1 2. Suhu sesuai dengan suhu air tanah 3. Berwarna kehitaman dan bertekstur seperti tanah 4. Berbau tanah 5. Tidak mengandung bahan asing seperti: semua bahan pengotor organik atau anorganik seperti logam, gelas, plastik dan karet serta pencemar lingkungan seperti senyawa logam berat, B3, dan kimia organik seperti pestisida (Dewi, 2012) 2.3
Pengomposan Dengan Metode Takakura
2.3.1 Asal-usul Pengomposan dengan metode takakura adalah kompos yang diperkenalkan diperkenalkan oleh Mr. Takakura, seorang peneliti yang berasal dari Jepang. Beliau melakukan penelitiannya tentang pembuatan kompos secara praktis di Surabaya bersama PUSDAKOTA, Universitas Surabaya dan Kitakyushu Techno-cooperation Association, Jepang. Metode ini merupakan hasil penemuan dan pengalaman praktek dari Mr. Takakura, oleh sebab itu metode ini disebut dengan metode Takakura. Tempat yang digunakan untuk membuat kompos dengan metode ini sangat sederhana yaitu berupa keranjang yang disebut dengan keranjang Takakura.
12
2.3.2 Bahan pengomposan dengan metode takakura Bahan yang dibutuhkan untuk membuat keranjang takakura ini adalah keranjang plastik berventilasi, kardus, cetok, sekam kayu (grajen) atau gabah/kulit beras 2 buah, kompos kompos jadi, kain tipis/kain kasa warna warna hitam. 2.3.3 Cara pengomposan dengan metode takakura 1. Sediakan keranjang berukuran 50 liter yang memiliki lubang-lubang kecil di sekelilingnya serta tutup pada bagian atasnya. 2. Masukkan kertas karton/kardus yang kira-kira berukuran 40 cm x 25 cm x 70 cm, atau menyesuaikan ukuran keranjang. keranjang. 3. Masukkan bantal sekam pada bagian dasar keranjang. 4. Campurkan bahan-bahan organik yang hendak dijadikan kompos beserta starter yang digunakan (EM4, air gula, dsb) serta kompos yang sudah jadi. 5. Tutup permukaan campuran kompos dengan bantalan sekam. 6. Kemudian tutup dengan kain hitam, serta tu tup keranjang. keranjang. 7. Lakukan treatment dan pemantauan rutin terhadap kompos dengan
mengaduk-aduk bahan campuran, serta menambahkan sampah organik ke dalam campuran.
13
BAB III METODE PRAKTIKUM 3.1
Alat dan Bahan
3.1.1 Alat dan bahan untuk pembuatan kompos dengan metode takakura 1. Keranjang; 2. Kardus; 3. Kain hitam; 4. Bantalansekam; 5. Sarung tangan; 6. Tali pengikat; 7. Sampah organik (sisa makanan, sayur-sayuran, buah-buahan) yang telah dicacah; 8. Tiga sendok makan air gula; 9. Kompos (untuk starter ); ); 10. Satu tutup botol EM 4; dan 11. 200 mL air. 3.1.2 Alat Pengukuran Kelembaban, pH, dan Suhu Kompos 1. Termometer; 2. Soilmeter; dan 3. Alat tulis. 3.1.3 Alat dan Bahan Pengujian Kompos pada Tanaman 1. Pot/kaleng; 2. Sarung tangan; 3. Saringan; 4. Benih Cabai; 5. Tanah; 6. Air; 7. Kompos takakura d engan starter EM4 EM4 dan larutan air gula; 8. Alat tulis; dan 9. Penggaris.
14
3.2
Prosedur Kerja
Lapisi keranjang dengan kardus
Letakkan bantalan bantalan sekam pada dasar keranjang
Campur sampah organik dengan kompos jadi
Tambahkan 1 tutup botol EM4 dan 200ml air
Aduk kembali dan cek pH, kelembaban serta tekstur kompos tiap 2 kali dlaam seminggu
Masukkan campuran tersebut kedalam keranjang
Aduk campuran sayur organik, kompos dan larutan air gula
Tambahkan 3 sendok makan larutan air gula
Gambar 3.1 Alur Praktikum Kompos Menggunakan Metode Takakura Sumber : Data primer
3.2.1 Prosedur kerja pembuatan kompos dengan metode t akakura 1. Melapisi keranjang sampah dengan kardus dan meletakkan bantalan sekam pada dasar keranjang. 2. Mencampur sampah organik (sisa makanan, sayur-sayuran, buah buahan) yang telah dicacah dengan kompos jadi sebagai s ebagai starter dengan perbandingan 3:1. 3. Menambahkan 1 tutup botol EM 4 dan 200 ml air kedalam campuran sayuran organik (sisa makanan, sayur-sayuran, buah-buahan) yang telah dicacah dengan kompos. 4. Menambahkan 3 sendok makan larutan air gula kedalam campuran sayuran organik (sisa makanan, sayur-sayuran, buah-buahan) yang telah dicacah dengan kompos. 5. Mengaduk sayuran organik (sisa makanan, sayur-sayuran, buah-buahan) yang telah dicacah, kompos, larutan EM4 dan air gula. 6. Mamasukkan campuran sayuran organik (sisa makanan, sayur-sayuran, buah-buahan) yang telah dicacah, kompos, larutan EM4 dan air gula kedalam keranjang. 7. Mengaduk dan mengecek pH, kelembaban, suhu, suhu, dan tekstur kompos setiap dua kali dalam seminggu selama proses pengomposan.
15
8. Indikator kompos yang sudah jadi adalah jika diraba suhu tumpukan bahan yang dikomposisikan mendekati suhu ruang, tidak tida k mengeluarkan me ngeluarkan bau busuk seperti bau tanah, bentuk fisik seperti tanah (berwarna kehitaman), pH berkisar antara 6,5-7,5. 9. Kompos yang sudah jadi dikeluarkan dari keranjang dan diayak dengan saringan santan dengan tujuan untuk u ntuk menghasilkan kompos halus. 10. Mengeringkan selama lebih kurang 1 minggu sampai kadar air kira-kira mencapai 20-25%. 11. Sisa ayakan berupa kompos kasar dimasukkan kembali kedalam keranjang takakura untuk digunakan sebagai starter pembuatan kompos selanjutnya. 12. Kompos halus yang sudah dikeringkan dapat digunakan sebagai pupuk tanaman. 3.2.2 Pengukuran kelembaban, pH, dan suhu kompos 1. Menancapkan ujung alat soilmeter pada pada kompos takakura lalu menekan tombol pada alat tersebut untuk mengukur pH d an kelembaban. 2. Mencatat nilai yang tertera pada soilmeter . Nilai yang di atas menunjukkan nilai pH tanah 1-14 dan nilai yang di bawah menunjukkan nilai kelembaban tanah (dalam %). 3. Mengamati perubahan pH, kelembaban, suhu dan tekstur kompos pada keranjang takukara setiap dua kali dalam seminggu. 4. Mencatat hasil pengamatan terhadap perubahan pH, kelembaban, suhu dan tekstur kompos pada keranjang takukara setiap dua kali dalam seminggu dalam tabel pengamatan. p engamatan. 5. Mencatat waktu pematangan kompos pada tabel pengamatan. 3.2.3 Pengujian kompos pada tanaman cabai 1. Menyiapkan pot/kaleng dan tanah. 2. Mencampurkan tanah dengan kompos takakura, starter EM4, dan larutan air gula dengan perbandingan 1:3 lalu mengaduk campuran tersebut sampai rata, kemudian memasukannya ke dalam media pot/kaleng.
16
3. Menanam benih cabe kedalam media campuran tanah dan kompos dengan metode takakura. 4. Menyiram air padamedia tanaman benih cabe dengan campuran tanah dan kompos takakura setiap dua kali dalam seminggu. 5. Mengamati dan mengukur pertumbuhan tanaman setiap dua kali dalam seminggu. 3.3
Tabel Pengamatan
Tabel pengamatan ada pada Bab IV mengenai hasil d an pembahasan. 3.4
Lokasi
Praktikum pembuatan kompos dengan metode takakura dilaksanakan di taman kesling yang berada disebelah barat fakultas kesehatan masyarakat. 3.5
Rincian Biaya
1.
Satu buah keranjang plastik
Rp 28.500,00
2.
Satu buah kompos
Rp 5.000,00
3.
Dua buah bantalan sekam
Rp 5.000,00
4.
Kain hitam
Rp 2.000,00
5.
Sarung tangan
Rp 7.000,00
6.
Tanaman cabe
Rp 3.500,00
Jumlah 3.6
Rp 51.000,00
Jadwal Praktikum
Waktu dan pelaksanaan praktikum pembuatan kompos dengan metode takakura Tabel 3.1 Jadwal Praktikum Takakura No. Hari dan Tanggal Kegiatan 1. Minggu, 15 Maret 2015 Pencarian alat dan bahan praktikum. 2. Senin, 16 Maret 2015 Pembuatan kompos takakura dan pencatatan hasil pengamatan. pengamatan. 3. Jumat, 10 April 2015 Panen hasil kompos dengan metode takakura. 4. Rabu, 15 April 2015 Uji coba kompos takakura takakura pada tanaman. 5. Setiap hari Senin dan Pencatatan hasil pengamatan pertumbuhan Kamis tanggal 13, 16, tanaman dengan kompos takakura. 20, 23, 27 dan 30 April 2015 dan tanggal 4, 7, 11
17
6.
dan 14 Mei 2015 Jumat, 1 Mei 2015
Penyusunan laporan praktikum.
Sumber : Data primer
18
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Hasil Praktikum
Pengamatan dilakukan sebanyak 2 kali dalam seminggu terhadap perkembangan kompos dalam takakura. Setelah kompos siap dipanen, dilakukan d ilakukan uji coba pada tanaman cabe dan dibandingkan dengan tanaman cabe lain sebagai kontrol kemudian dilihat perkembang p erkembangannya. annya.
Gambar 4.1 Pengukuran pH, Suhu dan Kelembaban Kompos dalam Takakura Sumber : Data primer
Gambar 4.2 Penanaman Cabe sebagai Uji Coba Ko mpos Sumber : Data primer
19
Gambar 4.3 Penanaman Cabe sebagai Kontrol Sumber : Data primer
Gambar 4.4 Perkembangan Tanaman Cabe Sumber : Data primer
Rincian mengenai pemantauan kompos di dalam takakura dan uji coba pada tanaman cabe dapat dapat dilihat pada tabel berikut: berikut:
20
Waktu pengukuran
Tabel 4.1 Tabel Pengamatan Kompos Takakura Koordinat pH Suhu Kelembaban Warna o ( C)
No
Hari dan Tanggal
1.
Senin, 16 Maret 2015
12.38 WIB
S 07°16.028’ dan E 112°46.979’
4
37
>8
2.
Kamis, 19 Maret 2015
11.25 WIB
S 07°16.028’ dan E 112°46.979’
6,8
27
>8
3.
Senin, 23 Maret 2015
11.46 WIB
S 07°16.028’ dan E 112°46.979’
6,1
29
>8
4.
Kamis, 26 Maret 2015
13.25 WIB
S 07°16.028’ dan E 112°46.979’
6,5
30
7
Coklat kehitaman warna pupuk starter dan warna hijau sayuran serta warna sayuran lain masih seperti aslinya. Masih coklat kehitaman namun warna sayuran sudah mulai coklat karena layu. Coklat kehitaman, warna sayur dan tomat sudah tak terlihat. Warna hitam, sudah tidak terlihat bentuk sampah tapi ukuran masih
Bau
Tekstur
Bau starter tidak tercium, namun bau sampah sayuran masih menyengat dan mendominasi
Sayur masih terlihat, tekstur masih kasar,
Bau sayur busuk masih ada.
Tekstur kasar dan kering sedikit basah.
Bau sayur Tekstur kasar sudah dan masih menghilang dan basah sudah mendekati bau tanah Bau tanah dan tekstur masih seperti kompos basah awal.
21
lumayan besar. 5.
Senin, 30 Maret 2015
6.
Selasa 31 Maret 2015 Kamis 2 April 2015
7.
8.
Senin 6 April 2015
11:40 WIB
11:28 WIB
S 07°16.028’ dan E 112°46.979’
6,4
24
1
S 07°16.028’ dan E 112°46.979’
6,1
31
4,5
S 07°16.028’ dan E 112°46.979’
6,6
25
1,8
Warna hitam, sudah tidak terlihat bentuk sampah, bentuk sudah agak halus, tapi tumbuh jamur Penambahan dedak Warna sedikit menjadi coklat karena dilakukan penambhan dedak dihari sebelumnya, untuk mengurangi kelembapan dan kandungan air pada kompos. Warna dedak yang mencolok sudah agak coklat kehitaman, telstur halus
Bau seperti tanah
Tekstur lembab
Bau seperti kompos dan tanah
Tekstur sedikit basah dan dilakukan penggantian kardus, karena kardus rusak dan basah
Bau seperti tanah
Tekstur sudah sedikit kering
22
9.
Kamis 9 April 2015
S 07°16.028’ dan E 112°46.979’
10.
Jum’at 10 April 2015
S 07°16.028’ dan E 112°46.979’
7
29
3
Warna mendekati warna tanah
Bau seperti tanah
Tekstur sudah kering
Pemanenan, warna sudah seperti tanah dan seperti kompos sebelumnya.
Bau seperti tanah
Tektur sudah kering dan siap untuk dipanen
Sumber : Data primer
23
No
Tanggal
1.
Rabu. 15 April 2015 Selasa, 21 April 2015
2.
3.
Kamis, 23 April 2015
4.
Senin, 27 April 2015
5.
Senin, 4 Mei 2015
6.
Senin, 12 Mei 2015
Tabel 4.2 Tabel Pengamatan Uji Kompos p ada Tanaman Cabai Koordinat Tinggi Deskripsi Tinggi tanaman tanaman tanaman kontrol Kompos Takakura kontrol S 07°16.028’ dan 18 cm Daun berwarna 18 cm E 112°46.979’ hijau S 07°16.028’ dan 19 cm Daun berwarna 18,5 cm E 112°46.979’ hijau, terjadi pertambahan tinggi S 07°16.028’ dan 19,5 cm Daun berwarna 19 cm E 112°46.979’ hijau, terjadi pertambahan tinggi S 07°16.028’ dan 23 cm Sudah mulai 21 cm E 112°46.979’ tumbuh bakal bunga S 07°16.028’ dan 24 cm Muncul beberapa 25 cm E 112°46.979’ bunga, daun bertambah sedikit namun luas permukaan daun tidak lebar. S 07°16.028’ dan 25 cm Muncul buah 31 cm E 112°46.979’ cabe, terdapat beberapa bunga, daun hijau, kurang lebat dan lebar daun kecil.
Deskripsi tanaman kompos takakura
Daun berwarna hijau Daun berwarna hijau, terjadi p ertambahan tinggi sedikit. Daun berwarna hijau, terjadi p ertambahan tinggi sedikit. Tumbuh cabangcabang baru dan bakal bunga. Muncul banyak bunga, daun lebat dan hijau.
Muncul banyak bunga, daun hijau dan lebat, lebar daun besar, pertambahan tinggi signifikan
Sumber : Data primer
24
4.2 Pembahasan 4.2.1
Kompos
Menurut SNI 19-7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik, standar kualitas kompos adalah sebagai berikut: Tabel 4.3 Standar Kualitas Kompos
Sumber : SNI 19-7030-2004
1. Kadar air Kadar air awal saat pengukuran masih diatas 80%. Hal ini disebabkan sampah organik domestik yang digunakan sebagai bahan kompos mengeluarkan air lindi sehingga kadar airnya masih tinggi. Seiring berjalannya pembusukan kompos, kadar air pun mengalami penurunan. Saat pengukuran ke 5, kelembaban masih tinggi sehingga diberikan perlakuan berupa penambahan dedak untuk menurunkan kadar air dalam kompos. Standar kualitas kompos yang baik menurut SNI 19-7030-2004 adalah maksimal sebesar 50%. Hasil pengukuran kadar air pada kompos di hari akan dipanen adalah 30% sehingga masih dibawah standar maksimal. 2. Temperatur Suhu saat pengukuran pertama dilakukan adalah sebesar 37° C. Hal ini menunjukkan
adanya
aktivitas
pembusukan
sehingga
suhu
tinggi.
Kemudian, setelah mengalami aktivitas pembusukan, suhu mulai menurun.
25
Suhu maksimal untuk kompos yang baik adalah sama dengan suhu air tanah yaitu sebesar 18° C - 30° C yang merupakan tingkat optimum aktivitas organisme dalam tanah (Soemarmo, 2011). Hasil pengukuran menunjukkan suhu 29° C sehingga sudah sesuai dengan suhu tanah dan kompos dapat dipanen. 3. Warna Warna saat awal dibuatnya kompos masih beraneka ragam mengikuti warna bahan sampah organik domestik. Setelah mengalami proses pembusukan, kompos mulai berwarna seperti tanah dan kehitaman. Kompos siap dipanen apabila warnanya telah kehitaman. Saat pemanenan, warna kompos yang dibuat telah tampak kehitaman. 4. Bau Sampah organik domestik memiliki bau yang menyengat dan tidak sedap. Setelah mengalami proses pembusukan oleh bakteri anaerob, sampah mulai berbau seperti tanah dan bertekstur seperti tanah juga. Kompos yang baik memiliki bau seperti tanah dan saat pemanenan, bau kompos seperti tanah. 5. pH pH sampah organik domestik masih asam saat dilakukan pengukuran awal yaitu sebesar 4. Setelah mengalami proses pengomposan ini, pH mulai bertambah hingga mencapai pH netral. Menurut standar, pH untukkompos adalah sebesar 6,8 – 7,49. Hasil pengukuran pH kompos saat akan di panen adalah 7 sehingga menunjukkan bahwa kompos telah siap di panen. Secara lebih ringkas, perbandingan hasil pengukuran kompos saat panen dengan standar dapat dilihat pada tabel dibawah: Tabel 4.4 Perbandingan Hasil Pengukuran Kompos dengan Standar Komponen Hasil Pengukuran Standar dalam SNI 19-7030-2004 Kelembaban/Kadar Air 30% Maksimal 50% Temperatur/Suhu 29° C Maksimal suhu air tanah
26
Warna Bau pH
Kehitaman Seperti tanah 7
18° C - 30° C Kehitaman Seperti tanah 6,8 – 7,49
Sumber : Data primer
4.2.2
Uji kompos pada tanaman
Setelah kompos dipanen, dilakukan pengujian pada tanaman cabe. Terdapat dua tanaman cabe yaitu cabe B yang ditanam pada pot plastik sebagai variabel kontrol dan cabe A yang ditanam pada pot kaleng sebagai variabel bebas. Tanaman cabe dipilih karena mudah tumbuh dan mudah diamati perubahannya.
Tanaman B
Tanaman A
Gambar 4.5 Perbandingan Tanaman Cabai A dan B Sumber : Data primer
Berdasarkan tabel hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa terjadi perubahan yang signifikan pada pengamatan ke 5 dan 6 terhadap pertumbuhan tanaman cabe A bila dibandingkan dengan tanaman B sebagai kontrol. Tanaman cabe B tidak diberi kompos sedangkan tanaman cabe A diberi kompos. Hal ini menunjukkan bahwa kompos berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Selain itu, hal ini juga menunjukkan bahwa sampah organik yang dijadikan kompos di keranjang takakura telah benar-benar menjadi produk kompos dan berpengaruh terhadap tanaman.
27
BAB V PENUTUP 5.1
Kesimpulan
Pengolahan sampah organik menjadi kompos sangatlah mudah. Langkah pertama adalah melapisi keranjang dengan kardus lalu meletakkan bantalan sekam didasarnya. Kemudian campur sampah organik, air gula, dan EM 4 dengan campuran air lalu diaduk-aduk hingga merata. Campuran tersebut selanjutnya dimasukkan kedalam keranjang lalu ditutup dengan bantal sekam dan kain hitam. Untuk melihat perkembangan kompos kompo s tersebut dilaksanakan pengu kuran suhu dengan menggunakan menggu nakan termometer dan pH serta kelembaban dengan menggunakan soilmeter . Cara menggunakan soilmeter sangatlah sangatlah mudah, hanya dengan menamcapkan alat tersebut pada kompos lalu menekan tombol pada alat tersebut untuk melihat hasil pH dan kelembaban. Nilai pH dan kelembaban tertera pada soilmeter . Nilai yang di atas menunjukkan nilai pH tanah 1-14 dan nilai yang di bawah menunjukkan nilai kelembaban tanah (dalam %). Kompos yang telah dipanen digunakan dalam penanaman cabai. Dalam praktikum terdapat dua perlakuan, yang pertama tanaman cabai A diberi kompos sedangkan tanaman cabai B sebagai kontrol. Dari hasil praktikum dapat dilihat bahwa terjadi perubahan yang signifikan terhadap pertumbuhan tanaman cabe A bila dibandingkan dengan tanaman B sebagai kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa kompos berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. 5.2
Saran
Untuk mengatasi panen kompos yang terlalu lama akibat kelembaban kompos yang tinggi, maka disarankan untuk menggunakan sampah organik yang tidak basah. Hal ini juga mencegah adanya jamur yang tumbuh di sekitar keranjang takakura.
28
DAFTAR PUSTAKA
Badan
Lingkungan Hidup Bengkulu. (2012). Dampak Sampah Terhadap Lingkungan. Dipetik Mei 12, 2015, dari http://blhkotabengkulu.web.id/index.php?option=com_content&view=article &id=183:dmp&catid=34:jasa-raharja-mendukung-qmenuju-bengkulu-hijauq Balai Pengkajian Teknologi Bengkulu (---.). Teknologi Pembuatan Kompos (Pupuk Organik). Dipetik Mei 12, 2015, dari http://bengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/phocadownload/buku%20kompos. pdf Chandra, B. (2007). Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. Dainur. (1995). Materi-materi Pokok Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Widya Medika. Dewi, Y. S., & Treesnowati. (2012). Pengolahan Sampah Skala Rumah Tangga Menggunakan Metode Komposting. Jurnal Ilmiah Fakultas Teknik LIMIT'S Vol. 8 No. 2 , 35-48. Republik Indonesia. (2008). Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Jakarta: LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 69. Sekretariat Negara. Ismoyo, I. H. (1994). Kamus Istilah Lingkungan. Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara. Departemen Kehutanan. (2013, September 26). SAMPAH:Ancaman bagi Kawasan Wisata Alam. Dipetik Mei 12, 2015, dari http://www.dephut.go.id/Halaman/STANDARDISASI_&_LINGKUNGAN_ KEHUTANAN/info_5_1_0604/isi_4.htm Sulistyorini, L. (2005). Pengelolaan Sampah Dengan Cara Menjadikannya Kompos. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.2, No. 1 , 77-84. Mifbakhuddin, dkk. (2010). Gambaran Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Tinjauan Aspek Pendidikan, Pengetahuan, dan Pendapatan Perkapita di RT 6 RR 1 Kelurahan Pedurungan Tengah Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 6 No. 1, 1-2. Mukono, H. J. (2006). Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan (Edisi Kedua). Surabaya: Airlangga University Press. Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup Seloliman. (2007). Ayo Membuat Kompos Takakura. Mojokerto: Tim Move Indonesia. Sulistyorini, L. (2005). Pengelolaan Sampah Dengan Cara Menjadikannya Kompos. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.2, No. 1 , 77-84. Sutedjo, M. M. (2002). Pupuk Dan Cara Penggunaan. Jakarta: Rineka Cipta.
29
LAMPIRAN
1. Pembuatan kompos takakura
Sumber : Data primer
2. Pengukuran suhu, pH, dan kelembaban
Sumber : Data primer
30
3. Pemberian kompos takakura ke tanaman cabai
Sumber : Data primer
31