1
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diare merupakan suatu kondisi umum yang ditandai dengan peningkatan frekuensi buang air besar dan peningkatan likuiditas dari tinja. Meskipun diare akut biasanya dapat sembuh sendiri, dapat memburuk dan menyebabkan dehidrasi yang memburuk, yang dapat menyebabkan volume darah abnormal, tekanan darah menurun, dan kerusakan pada ginjal, jantung, hati, otak dan organ tubuh lainnya. Diare akut menjadi penyebab utama kematian bayi di seluruh dunia (Gidudu et al., 2011). Menurut World Health Organization (WHO) dan UNICEF, ada sekitar 2 juta kasus diare penyakit di seluruh dunia setiap tahun dan 1,9 juta anak-anak lebih muda dari 5 tahun meninggal karena diare setiap tahun, terutama di negaranegara berkembang. Jumlah ini 18 % dari semua kematian anak-anak di bawah usia 5 dan berarti bahwa > 5000 anak-anak meninggal setiap hari akibat diare penyakit (WGO, 2013). Kematian akibat penyakit diare ini biasanya terjadi di awal masa bayi dan anak-anak dengan dehidarasi berat (Hayajneh et al.,2010). Dehidrasi itu sendiri diartikan sebagai kehilangan air dan garam (terutama natrium klorida) atau cairan ekstraselular. Penyebab tersering yang terjadi pada bayi karena diare yang disebabkan oleh infeksi virus dan bakteri (Finberg, 2002). Insiden dan period prevalence diare untuk seluruh kelompok umur di Indonesia adalah 3,5 persen dan 7,0 persen. Lima provinsi dengan insiden dan period prevalen diare tertinggi adalah Papua (6,3% dan 14,7%), Sulawesi Selatan (5,2% dan 10,2%), Aceh (5,0% dan 9,3%), Sulawesi Barat (4,7% dan 10,1%), dan Sulawesi Tengah (4,4% dan 8,8%). Insiden diare pada kelompok usia balita di Indonesia adalah 6,7 persen. Lima provinsi dengan insiden diare tertinggi adalah Aceh (10,2%), Papua (9,6%), DKI Jakarta (8,9%), Sulawesi Selatan (8,1%), dan Banten (8,0%) (Riskesdas, 2013).
2
Berdasarkan data yang diperoleh, insiden diare balita tertinggi di Indonesia pada tahun 2013 terjadi pada kelompok umur 12-23 bulan (7,6%), umur 0-11 bulan (5,5%), umur 24-35 bulan (5,8%), umur 36-47 bulan (4,3%), dan umur 4859(3,0%) (Riskesdas, 2013). Pada tahun 2012, dari 559.011 perkiraan kasus diare yang ditemukan dan ditangani adalah sebanyak 216.175 atau 38,67%, sehingga angka kesakitan (IR) diare per 1.000 penduduk mencapai 16,36%. Pencapaian ini mengalami penurunan dibandingkan tahun 2011 yaitu 19,35% dan 2010 yaitu 18,73%. Pencapaian IR ini jauh di bawah target program yaitu 220 per 1.000 penduduk. Rendahnya IR dikhawatirkan bukan merefleksikan menurunnya kejadian penyakit diare pada masyarakat tetapi lebih dikarenakan banyaknya kasus yang tidak terdata (Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2012). Berdasarkan data yang telah dikumpulkan, perkiraan kasus diare yang terjadi di Kota Medan pada tahun 2012 yaitu sebanyak 89.795 kasus. Berdasarkan jenis kelamin kasus yang terjadi pada laki-laki sebanyak 44.325 sedangkan pada perempuan sebanyak 45.469 kasus diare. Dari perkiraan kasus diare tersebut kasus diare yang ditangani sekitar 33,90% (Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2012). Berbagai faktor mempengaruhi terjadinya kematian, malnutrisi, ataupun kesembuhan pada pasien penderita diare. Pada balita, kejadian diare lebih berbahaya dibanding pada orang dewasa dikarenakan komposisi tubuh balita yang lebih banyak mengandung air dibanding dewasa. Jika terjadi diare, balita lebih rentan mengalami dehidrasi dan komplikasi lainnya yang dapat merujuk pada malnutrisi ataupun kematian. Faktor ibu berperan sangat penting dalam kejadian diare pada balita. Ibu adalah sosok yang paling dekat dengan balita. Jika balita terserang diare maka tindakan-tindakan yang ibu ambil akan menentukan perjalanan penyakitnya. Tindakan tersebut dipengaruhi berbagai hal, salah satunya adalah pengetahuan. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk
3
terbentuknya tindakan seseorang. Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih baik daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003). Perilaku manusia berasal dari dorongan yang ada dalam diri manusia dan dorongan itu merupakan salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam diri manusia. Dengan adanya dorongan tersebut, menimbulkan seseorang melakukan sebuah tindakan atau perilaku khusus yang mengarah pada tujuan. Sementara itu, para sosiolog melihatnya bahwa perilaku manusia tidak bisa dipisahkan dari konteks setting sosialnya. Dalam kaitannya dengan perilaku kesehatan atau lebih spesifik lagi yaitu derajat kesehatan, perilaku manusia merupakan faktor utama untuk terwujudnya derajat kesehatan individu secara prima. Perilaku individu memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan layanan kesehatan. Sementara faktor genetis hanya berpengaruh sebesar 5 %. Dari pernyataan diatas seolah-olah menegaskan bahwa layanan kesehatan hanya faktor kecil untuk meningkatkan derajat kesehatan sedangkan faktor perilaku dan lingkungan merupakan faktor yang sangant besar dalam mendukung derajat kesehatan manusia. Dalam konteks inilah, pendidikan atau promosi kesehatan memiliki peranan yang penting dalam mendukung angka partisipasi kesehatan masyarakat dalam mendukung kualitas kesehatan masyarakat. Secara umum, tujuan dari promosi kesehatan ini adalah perubahan perilaku individu dan budaya masyarakat sehingga mampu menunjukan perilaku dan budaya yang sehat (Sudarma, 2008) Berdasarkan data-data diatas, penulis tertarik untuk meneliti mengenai hubungan tingkat pengetahuan dan tindakan ibu dengan dengan diare akut yang disertai dehidrasi pada anak balita di RSUP Haji Adam Malik Medan. Selain untuk mengetahui angka kejadian diare akut sekaligus juga untuk mengetahui pengetahuan dan tindakan ibu dalam mengatasi diare yang terjadi pada anaknya. 1.2. Rumusan Masalah
4
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan tingkat pengetahuan dan tindakan ibu dengan diare akut yang disertai dehidrasi pada anak balita di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2014? 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dan tindakan ibu dengan diare akut yang disertai dehidrasi pada anak balita di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2014. 1.3.2.
Tujuan Khusus Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah : 1. Mengetahui jumlah kasus pasien yang mengalami diare akut pada anak balita. 2. Mengetahui tingkat pengetahuan ibu tentang diare pada anak balita. 3. Mengetahui tindakan ibu terhadap diare pada anak balita. 4. Mengetahui derajat dehidrasi akibat diare pada anak balita.
1.4. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan peneliti tentang diare akut yang disertai dehidrasi pada anak balita. 2. Bagi Pelayanan Kesehatan Penelitian ini diharapkan dapat membantu meningkatkan pelayanan kesehatan pada anak balita yang mengalami diare akut disertai dehidrasi yang dirawat di rumah sakit tersebut. 3. Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan
dapat
meningkatkan
pengetahuan
masyarakat khususnya kepada ibu tentang bahaya diare akut disertai dehidrasi pada anak balita apabila tidak ditangani dengan baik. 4. Bagi Peneliti Lain Sebagai data dasar atau pembanding bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian selanjutnya.
5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diare 2.1.1. Definisi Menurut WHO (2005) jumlah pengeluaran tinja yang dikeluarkan dalam sehari bervariasi sesuai diet dan usia. Diare didefinisikan sebagai tinja yang mengandung lebih banyak air dengan frekuensi > 3 kali dalam sehari. Tinja tersebut mungkin juga dapat bercampur dengan darah, dalam hal ini disebut
6
dengan disentri. Bayi dibawah 6 bulan yang hanya meminum ASI umumnya memiliki tinja yang lunak tetapi keadaan ini tidak disebut dengan diare. Diare akut didefinisikan sebagai peningkatan frekuensi buang air besar (tiga kali atau lebih per hari atau setidaknya 200 gram tinja per hari) yang berlangsung kurang dari 14 hari, bisa disertai dengan mual, muntah, kram perut, gejala sistemik yang signifikan secara klinis, atau malnutrisi (Thielman dan Richard, 2004). Menurut Friedman dan Kurt (1995) diare harus dibedakan dengan pseudodiare atau hiperdefikasi yang merupakan peningkatan frekuensi defekasi tanpa peningkatan jumlah tinja diatas normal, keaadaan ini biasa terjadi pada pasien irritable bowel syndrome. Diare juga harus dibedakan dengan inkontinensia fekal yang merupakan pelepasan isi rektum tanpa disadari. 2.1.2. Etiologi Virus adalah penyebab utama penyakit diare akut. Secara khusus, grup A rotavirus (RV) adalah
penyebab tersering penyakit diare yang parah dan
dehidrasi, yang sering menyebabkan rawat inap bayi dan anak-anak di seluruh dunia. Agen virus lainnya, termasuk adenovirus enterik (Adv), astroviruses (AstV), dan Human calicivirus (HucV) seperti norovirus (NOV) dan sapovirus (SAV), juga diyakini sebagai penyebab utama kasus sporadis dan wabah diare anak (Yabo et al., 2012).
Table 2.1
7
Sumber: WGO, 2008 Agen bakteri Di negara berkembang, bakteri enterik dan parasit lebih umum daripada virus dan biasanya mencapai puncak selama musim panas. Campylobacter adalah bakteri yang lazim pada orang dewasa dan merupakan salah satu bakteri yang paling sering diisolasi dari tinja bayi dan anak-anak di negara berkembang. Shigella dysenteriae tipe 1 menghasilkan toksin Shiga, seperti halnya enterohemorrhagic E. coli (EHEC) yang memiliki ciri khas diare dengan lendir berdarah. Ini telah menyebabkan epidemi diare berdarah dengan tingkat fatalitas kasus mendekati 10% di Asia, Afrika, dan Amerika Tengah. V. cholerae serogrup O1 dan O139 menyebabkan deplesi cairan yang cepat dan berat dan bila tidak ditangani dengan cepat dapat mengakibatkan kematian dalam waktu 12-18 jam. Salmonella sangat beresiko pada bayi dan orang tua, Salmonella typhi atau paratyphi A,B, atau C mengakibatkan demam tipoid (WGO, 2008). Diare akut merupakan masalah yang sangat penting di negara-negara berkembang dan sering terjadi akibat agen infeksi yang ditemukan pada anak
8
penderita diare. Agen-agen ini antara lain adalah: rotavirus, Shigella spp, dan E. Coli enterotoksigenik. Rotavirus sendiri merupakan penyebab diare akut yang diidentifikasi pada anak dalam komunitas dengan iklim tropis (Walker, 1997). Agen Virus Virus merupakan penyebab utama diare akut yang terjadi terutama di negara-negara maju. Rotavirus penyebab terparah dehidrasi akibat gastroenteritis pada anak-anak. Insiden puncak penyakit pada anak-anak antara 4 sampai 23 bulan. Human Calicivirus yang sebelumnya disebut dengan “ Norwalk-like virus” mungkin merupakan agen virus paling umum kedua setelah Rotavirus. Infeksi adenovirus paling sering menyebabkan penyakit pada sistem pernapasan. Namun, tergantung pada serotipe yang menginfeksi dan terutama pada anak-anak, mereka mungkin juga menyebabkan gastroenteritis (WGO, 2008). Rotavirus dapat dilihat dengan mikroskop elektro dalam sediaan tinja dari 20-40% anak berumur 5 tahun kebawah yang menderita gastroeneteritis akut. Prevalensi tertinggi penderita didapati pada musim dingin. Adenovirus dapat ditemukan pada 5-10% penderita gastroenteritis dan spesisifik bagi calcivirus, astrovirus dapat ditemukan pada 1-5% anak lainnya (Karsinah, 1994). Agen Parasit Intestinalis Giardia, Cryptosporidium parvum, Entamoeba histolytica, dan Cyclospora cayetanensis paling sering menyebabkan penyakit diare akut pada anak-anak. Parasit jarang menjadi penyebab diare menular di kalangan anak-anak di negara berkembang. (WGO, 2008).
Disamping itu penyebab diare non infeksi yang dapat menimbulkan diare pada anak antara lain : 1. Kesulitan makan
9
2. Defek anatomis Malrotasi Penyakit Hirchsprung Short Bowel Syndrome Atrofi mikrovilli Stricture 3. Malabsorpsi Defisiensi disakaridase Malabsorpsi glukosa-galaktosa Cholestosis Penyakit Celiac 4. Endokrinopati Tyrotoksikosis Penyakit Addison Sindroma Adrenogenital 5. Keracunan makanan Logam Berat Mushrooms 6. Neoplasma Neuroblastoma Sindroma Zollinger Ellison 7. Lain-lain : Infeksi non gastointestinal Alergi susu sapi Penyakit Crohn Defisiensi imun Gangguan motilitas usus 2.1.3. Faktor Resiko Menurut Subagyo dan Nurtjahjo (2009) penularan diare pada umunya melalui fekal-oral dari makanan atau minuman yang telah tercemar oleh enteropatogen. Beberapa faktor yang berpengaruh untuk terjadinya diare antara lain : 1. Faktor umur Sebagian besar terjadi pada usia 2 tahun pertama kehidupan. Insiden tertinggi terjadi pada kelompok umur 6-11 bulan. 2. Infeksi asimtomatik Sebagian besar infeksi usus bersifat asimtomatik dan kejadian ini meningkat setelah umur 2 tahun karena pembentukan imunitas aktif tubuh
10
penderita yang asimtomatik pada tinjanya dapat mengandung virus, bakteri atau kista protozoa yang infeksius. Orang dengan infeksi asimtomatis ini biasanya berperan penting dalam penyebaran banyak enteropatogen, tidak menjaga kebersihan dan berpindah-pindah tempat ke tempat lain. 3. Faktor musim Insiden diare dapat terjadi menurut letak geografis suatu daerah. Di daerah sub tropik, diare kerena bakteri lebih sering terjadi pada musim panas, sedangkan akibat virus lebih sering terjadi pada musim dingin. Sedangkan pada daerah tropik seperti indonesia, diare yang disebabkan rotavirus dapat terjadi sepanjang tahun dan meningkat pada musim kemarau, dan pada musim hujan lebih disebabkan akibat bakteri. 4. Epidemi dan pandemi Vibrio cholera dan Shigella dysentriae dapat mengakibatkan epidemi dan pandemi yang mengakibatkan tingginya angka kesakitan dan kematian pada semua golongan usia. 5. Faktor ASI Menurut Sutoto (1992) dalam Ishak (2010) Insiden diare meningkat pada saat anak untuk pertama kali mengenal makanan tambahan dan makin lama makin meningkat. Pemberian ASI penuh akan memberikan perlindungan diare 4 kali daripada bayi dengan ASI disertai susu botol. Bayi dengan susu botol saja akan mempunyai resiko diare lebih besar dan bahkan 30 kali lebih banyak daripada bayi dengan ASI secara penuh. Menurut Simatupang (2004) dalam Ishak (2010) beberapa faktor lain juga mempengaruhi terjadinya diare akut yaitu : 6. Faktor Pendidikan Tingginya angka kesakitan dan kematian (morbiditas dan mortalitas) karena diare di Indonesia disebabkan oleh faktor kesehatan lingkungan yang belum memadai, keadaan gizi, kependudukan, pendidikan, keadaan sosial ekonomi dan perilaku masyarakat yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi keadaan penyakit diare. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Erial, B. et al, 1994, ditemukan bahwa kelompok ibu
11
dengan status pendidikan SLTP ke atas mempunyai kemungkinan 1,6 kali memberikan cairan rehidrasi oral dengan baik pada balita dibanding dengan kelompok ibu dengan status pendidikan SD ke bawah. 7. Faktor Pekerjaan Ayah dan ibu yang bekerja sebagai pegawai negeri atau swasta rata-rata mempunyai pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan ayah dan ibu yang bekerja sebagai buruh atau petani. Jenis pekerjaan umumnya berkaitan dengan tingkat pendidikan dan pendapatan. Tetapi ibu yang bekerja harus membiarkan anaknya diasuh oleh orang lain, sehingga mempunyai resiko lebih besar untuk terpapar dengan penyakit diare. 8. Faktor Jamban Resiko kejadian diare lebih besar pada keluarga yang tidak mempunyai fasilitas jamban keluarga dan penyediaan sarana jamban umum dapat menurunkan resiko kemungkinan terjadinya diare. Berkaitan dengan personal hygiene dari masyarakat yang ditunjang dengan situasi kebiasaan yang menimbulkan pencemaran lingkungan sekitarnya dan terutama di daerah-daerah dimana air merupakan masalah dan kebiasaan buang air besar yang tidak sehat. 9. Faktor Sumber Air Sumber air adalah tempat mendapatkan air yang digunakan. Air baku tersebut sebelum digunakan adalah yang diolah dulu, namun ada pula yang langsung digunakan oleh masyarakat. Kualitas air baku pada umumnya tergantung dari mana sumber air tersebut didapat. Ada beberapa macam sumber air misalnya : air hujan, air tanah (sumur gali, sumur pompa), air permukaan (sungai, danau) dan mata air. Apabila kualitas air dari sumber air tersebut telah memenuhi syarat kesehatan sesuai dengan peraturan yang berlaku, dapat langsung dipergunakan tetapi apabila belum memenuhi syarat, harus melalui proses pengolahan air terlebih dahulu. Berdasarkan data survei demografi dan kesehatan tahun 1997, kelompok anak-anak di bawah lima tahun yang keluarganya menggunakan sarana sumur gali
12
mempunyai resiko terkena diare 1,2 kali dibandingkan dengan kelompok anak yang keluarganya menggunakan sumber sumur pompa. 2.1.4. Patofisiologi Diare Menurut Simadibrata dan Daldiyono (2009) diare dapat disebabkan oleh beberapa patofisiologi sebagai berikut : 1. Diare osmotik Diare ini terjadi akibat peningkatan tekanan osmotik intralumen dari usus halus yang disebabkan oleh obat-obatan/zat kimia yang hiperosmotik seperti MgSO4, Mg(OH)2 dan defek dalam absorpsi mukosa usus misal pada defisiensi disakaridase, malabsorpsi glukosa/galaktosa. 2. Diare sekretori Diare tipe ini disebabkan peningkatan sekresi air dan elektrolit dari usus, atau penurunan absorpsi dengan gejala khas peningkatan volume tinja. Penyebab tersering akibat efek enterotoksin infeksi Vibrio cholerae, atau Escherichia coli. 3. Malabsorpsi asam empedu, malabsorpsi lemak Diare ini tipe ini didapatkan gangguan pembentukan micelle empedu. 4. Defek sistem pertukaran anion/transport elektrolit aktif di enterosit Diare tipe ini disebabkan adanya hambatan mekanisme transport aktif Na+K+ ATP ase di enterosit dan absorpsi Na+ dan air yang abnormal. 5. Motilitas dan waktu transit usus abnormal Diare tipe ini disebabkan hipermotilitas dan iregularitas motilitas usus hingga mengakibatkan absorpsi yang abnormal di usus halus. 6. Gangguan permeabilitas usus Diare ini terjadi akibat adanya kelainan morfologi membran epitel spesifik pada usus halus menyebabkan permeabilitas usus menjadi abnormal. 7. Diare inflamatorik Diare ini karena kerusakan mukosa usus akibat proses inflamasi, sehingga terjadi produksi mukus yang berlebihan dan eksudasi air dan elektrolit kedalam lumen juga gangguan absorpsi air-elektrolit. 8. Diare infeksi Diare ini merupakan tipe diare yang tersering terbagi atas bakteri invasif (merusak mukosa) dan non-invasif (tidak merusak mukosa).
13
2.1.5. Klasifikasi Diare Menurut WHO (2005) diare terbagi atas diare akut dan persisten. Diare akut dimulai secara tiba-tiba dan dapat berlanjut selama beberapa hari. Hal ini disebabkan oleh infeksi usus. Menurut Simadibrata dan Daldiyono (2009) diare diklasifikasikan berdasarkan : 1. Lama waktu diare : diare akut apabila diare berlangsung kurang dari 15 2. 3. 4. 5.
dan kronik bila diare berlangsung 15 hari lebih. Mekanisme patofisiologi : osmotik, sekretorik dll. Berat ringan diare : kecil atau besar. Penyebabnya : infeksi atau non infeksi. Organik atau fungsional.
2.1.6. Diagnosa Diare Menurut WGO guideline (2008) ada beberapa hal yang perlu diperlukan untuk mendiagnosa suatu diare akut antara lain : 1. Episode diare diklasifikasikan dalam 3 kategori a. Diare akut : 3x atau lebih dengan tinja berair dalam 24 jam. b. Disentri : diare yang disertai darah. c. Diare persisten : episode diare lebih dari 14 hari. 2. Evaluasi gejala klinis meliputi : Tabel 2.2. Evaluasi Pasien Diare Akut
Sumber: WGO, 2008
14
Gambaran klinis pasien diare infeksius yang akut secara khas ditemukan dengan gejala seperti mual, muntah, nyeri abdomen, panas dan diare yang bisa encer, malabsorpsi atau berdarah menurut penyebabnya. Pasien yang termakan toksin atau dengan infeksi toksigenik secara khas akan mengalami mual dan muntah sebgai gejala yang menonjol tetapi jarang mengalami panas yang tinggi. Nyeri abdomen yang terjadi bersifat ringan, difus serta kram dan mengakibatkan diare cair. Muntah dimulai dalam waktu beberapa jam setelah mengkonsumsi suatu makan harus dicurigai kemungkinan keracunan makanan disebabkan oleh toksin yang terbentuk. Parasit yang tidak menginvasi mukosa intestinal seperti Giardia lamblia dan Cryptosporidium biasanya hanya menimbulkan perasaan tidak enak diperut yang ringan. Bakteri invasif seperti Campylobacter, Salmonella serta Shigella dan oraganisme yang menghasilkan sitotoksin seperti C. Difficile serta organisme enterohemorhagik Escherichia coli menyebabkan inflamasi interstinal yang serta, nyeri abdomen dan sering pula demam yang tinggi. Bakteri Yesrsenia sering menginfeksi ileum terminalis serta sekum dan ditemukan dengan nyeri dan nyeri tekan pada abdomen kuadran kanan bawah yang dapat diduga ke arah apendisitis akut. Diare encer merupakan ciri khas organisme yang menginvasi epitel intestinal dengan inflamsi ringan, seperti virus enterik, atau oraganisme yang menempel tanpa merusak epitel tersebut, seperti kuman enteropatogenik atau adheren E. coli, protozoa dan helmintes (Friedman dan kurt, 1994). Tabel 2.3. Gambaran Klinik dari Infeksi dengan Bakteri Patogen
15
Sumber: WGO, 2013
Menurut WHO (2005) ketika seseorang mengalami diare, langkah pertama yang perlu dinilai adalah tanda-tanda dehidrasi. Penentuan derajat dehidrasi menurut MMWR 2003 Tabel 2.4 Penilaian Derajat Dehidrasi Berdasarkan Klinis
16
Sumber : Subagyo dan Nurtjahjo, 2009 Penilaian turgor kulit dilakukan untuk menilai apakah kulit dapat kembali dengan cepat, lambat, atau sangat lambat (lebih dari 2 detik). Pada bayi dilakukan pencubitan pada bagian perut ataupun paha. Mencubit kulit juga dapat memberikan informasi yang salah apabila dilakukan pada pasien yang memiliki malnutrisi yang berat, karena kulit akan kembali secara lambat bahkan ketika pasien tidak mengalami dehidrasi. Sedangkan pada pasien yang obesitas, kulit dapat kembali dengan cepat meskipun pasien mengalami dehidrasi (WHO, 2005). Pengambilan suhu pada anak untuk menilai apakah anak mengalami demam atau tidak. penilaian suhu menggunakan yang dilakukan pada rektal harus disterilkan terlebih dahulu setiap kali digunakan. Jika menggunakan suhu aksila harus ditambahkan 0,8 ℃ rektal (WHO, 2005).
untuk mendapatkan suhu yang setara dengan suhu
17
3. Laboratorium Menurut Subagyo dan Nurtjahjo (2009) Pemeriksaan lengkap umumnya tidak begitu diperlukan pada kasus diare akut, hanya pada keadaan tertentu seperti apabila penyebab dasarnya tidak diketahui atau ada sebab lain dan pada keadaan dehidrasi berat. Pemeriksaan yang terkadang perlu dilakukan pada diare akut yaitu : 1. Darah : darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah, glukosa darah, kultur dan tes kepekaan terhadapa antibiotika. 2. Urin : urin lengkap, kultur dan tes kepekaan terhadap antibiotik. 3. Tinja : Pemerikasaan makroskopik : Pemeriksaan tinja sangat diperlukan meskipun pemeriksaan laboratorium tidak dilakukan. Tinja yang sifatnya watery dan tanpa mukus atau darah biasanya disebabkan oleh enterotoksin virus, protozoa atau disebabkan oleh infeksi diluar saluran gastrointestinal. Tinja yang mengandung darah atau mukus biasanya disebabkan oleh bakteri yang menghasilkan sitotoksin, bakteri enteroinvasif yang menyebabkan peradangan mukosa atau parasit usus seperti : E. histolytica, B. coli dan T. trichiura. Apabila terdapat darah biasanya bercampur dalam tinja kecuali pada infeksi degan E. histolytica darah sering terdapat pada permukaan tinja dan pada infeksi EHEC terdapat garis-garis darah pada tinja. Tinja yang berbau busuk didapatkan pada infeksi dengan Salmonella, Giardia, Cryptosporidium dan Strogyloides.
Pemeriksaan mikroskopik : Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat adanya lekosit yang memberikan informasi tentang penyebab dari diare, letak anatomis serta adanya proses peradangan dari mukosa. Lekosit dalam tinja diproduksi sebagai respon terhadap bakteri yang menyerang mukosa kolon. Pemerikasan lekosit yang positif pada pemeriksaan tinja menunjukan adanya kuman invasif atau
18
kuman yang menghasilkan sitotoksin seperti Shigella, Salmonella, C. jejuni, EIEC, C. difficile, Y. enterocolitica. Lekosit yang ditemukan umumnya adalah lekosit PMN, kecuali pada S. typhii lekosit mononuklear. Parasit yang menyebabkan diare pada umunya tidak memproduksi lekosit dalam jumlah yang banyak. Pasien yang dicurigai menderita diare yang disebabkan giardiasis, cryptosporidiosis, isosporiasis dan strongyloides dengan pemeriksaan tinja negatif, aspirasi atau biopsi duodenum atau yeyunum bagian atas mungkin diperlukan. E. histolytica dapat didiagnosa dengan pemeriksaan mikroskopik tinja segar. Tropozoit biasanya ditemukan pada tinja cair sedangkan kista ditemukan pada tinja yang berbentuk. 2.1.7. Komplikasi Diare Menurut Subagyo dan Nurtjahjo (2009) komplikasi diare akut pada anak yaitu : a. Hipernatremia b. Hiponatremia : anak dengan diare yang hanya meminum air putih atau cairan yang mengandung sedikit garam dapat terjadi hiponatremia Na<130 mol/L. Hiponatremia sering terjadi pada anak dengan shigellosis dan anak dengan malnutrisi berat disertai oedema. c. Hiperkalemia : jika K > 5 mEq/L. d. Hipokalemia : jika K < 3,5 mEq/L dapat menyebabkan kelemahan otot, paralitik usus, gangguan fungsi ginjal dan aritmia jantung.
2.1.8. Pencegahan Diare Menurut Subagyo dan Nurtjahjo (2009) pencegahan diare dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu : 1. Upaya pencegahan kuman patogen penyebab diare meliputi : a. Pemberian ASI yang benar. b. Memperbaiki penyiapan dan penyimpanan ASI. c. Penggunaan air bersih.
19
d. Membudayakan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sehabis BAB dan sebelum makan. e. Penggunaan jamban yang bersih dan higienis. f. Membuang tinja dengan benar. 2. Memperbaiki daya tahan tubuh : a. Memberikan ASI paling tidak sampai usia 2 tahun. b. Meningkatkan nilai gizi MPASI. c. Imunisasi. Studi menunjukan bahwa ASI yang meliputi oligosakarida dalam bentuk bebas dan terkonjugasi mereka, merupakan bagian dari mekanisme imunologi alami yang dapat melindungi bayi terhadap terjadinya penyakit diare, selain itu bayi yang menyusui dapat mengurangi paparan terkontaminasi cairan dan makanan, dan memberikan nutrisi yang memadai bagi bayi dengan demikian kekebalan tubuh bayi menjadi lebih baik. WHO merekomendasikan pemberian ASI eksklusif pada 6 bulan pertama kehidupan. Pentingnya ASI juga melindungi bayi terhadap morbiditas dan mortalitas akibat diare terutama selama 2 tahun pertama kehidupan (Lamberti et al., 2011). Bayi kurang dari 3 bulan jarang menderita diare rotavirus, diduga berhubungan dengan antibodi ibu terhadap rotavirus yang disalurkan melalui plasenta dan air susu ibu. Disamping itu Lactadherin pada air susu ibu diketahui berperan mengganggu proses replikasi virus rotavirus. Dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan atau lebih, bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif berisiko dua kali lebih sering menderita diare rotavirus. Anak umur 6-23 bulan rentan terkena infeksi rotavirus karena kadar antibodi ibu yang diperoleh melalui ASI mulai menurun dan mulai memasuki fase oral ketika anak suka memasukkan semua benda yang dipegang ke dalam mulut. Temuan tersebut mendukung rekomendasi WHO tentang waktu pemberian imunisasi rotavirus pada bayi usia dini (kurang dari 6 bulan) (Widowati et al., 2012). 2.2. Dehidrasi 2.2.1. Definisi Dehidrasi
20
Menurut Muscari (2005) dehidrasi adalah kehilangan cairan dari jaringan tubuh yang berlebihan. Dehidrasi merupakan gangguan yang umum terjadi pada anak-anak ketika pengeluaran cairan total melebihi asupan cairan total. 2.2.2. Klasifikasi Dehidrasi Dehidrasi dapat digolongkan berdasarkan derajat atau jenisnya yaitu : a) Dehidrasi berdasarkan derajatnya : 1. Dehidrasi ringan dicirikan dengan kehilangan 5% dari berat badan sebelum sakit. 2. Dehidrasi sedang dicirikan kehilangan 5% sampai 10% dari berat badan sebelum sakit. 3. Dehidrasi berat dicirikan kehilangan berat badan lebih dari 10% berat badan sebelum sakit. b) Dehidrasi berdasarkan tipenya : 1. Dehidrasi isotonis : kehilangan cairan terutama melibatkan komponen ekstra sel dan volume darah sirkulasi, menyebabkan anak rentan terhadap syok hipovolemik. Kadar natrium (Na+), klorida (Cl-) dan kalium (K+) tetap normal atau menurun. 2. Dehidrasi hipertonik : kehilangan air yang berlebihan dibandingkan elektrolit, mengakibatkan perpindahan cairan dari kompartemen intrasel ke ekstrasel, yang dapat menyebabkan gangguan neurologis seperti kejang. Kadar natrium (Na+) meningkat, klorida (Cl-) meningkat dan kalium (K+) dapat bervariasi. 3. Dehidrasi hipotonik : cairan berpindah dari kompartemen ekstrasel ke
kompartemen
intrasel
sebagai
usaha
mempertahankan
keseimbangan osmotik, yang selanjutnya dapat meningkatkan kebocoran CES dan mengakibatkan syok hipovolemik. Kadar natrium (Na+) menurun, klorida (Cl-) menurun dan kalium (K+) bervariasi. Diare mengakibatkan kehilangan sejumlah besar air dan elektrolit, terutama natrium dan kalium dan sering kali dikomplikasi oleh
21
asidosis sistemik yang berat. Pada sekitar 70% penderita, kehilangan air dan natrium dan air seimbang sehingga terjadi dehidrasi isonatremik. Dehidarasi hiponatremik terjadi pada sekitar 10-15% penderita diare. Hal ini terjadi bila sejumlah besar elektrolit, terutama natrium, hilang dari tinja, melebihi kehilangan cairan. Hiponatremia dapat diperberat bila selama masa diare, diberikan sejumlah besar masukan cairan rendah atau bebas elektrolit peroral. Dehidrasi hipernatremik dapat dijumpai sekitar 15-20% penderita diare dan dapat terjadi bila penderita selama masa diare mendapat larutan elektrolit rumah tangga dengan konsentrasi garam tinggi dan juga dapat meningkat bila ada demam karena suhu tubuh yang tinggi meningkatkan kehilangan air melalui evaporasi secara bermakna (Adelman dan Michael , 1999). Tabel 2.5. Gambaran Keberadaan Elektrolit Tubuh Elektrolit
Konsentrasi di luar
Konsentrasi
sel (mEq/L)
dalam sel (mEq/L)
Natrium (Na+)
142
10
Kalium (K+)
5
150
Kalsium (Ca++)
5
2
Magnesium
3
40
155
202
Klorida
103
2
Bikabonas
27
10
Fosfat
2
103
Sulfat
1
20
Asam oraganik (Laktat,
6
10
piruvat) Protein
16
57
155
202
Kation
Anion
Sumber : Almatsier, 2009 2.2.3. Penatalaksanaan Diare Akut dan Dehidrasi
di
22
Anak dengan tanpa dehidrasi-ringan WHO (2005) anak dengan diare tanpa dehidrasi membutuhkan cairan tambahan untuk mencegah dehidrasi. Seorang anak dengan tidak ada tanda-tanda dehidrasi memerlukan perawatan rumah. Empat aturan perawatan di rumah adalah:
Berikan cairan ekstra, cairan oralit . Lanjutkan makan, mendorong pemberian ASI berlangsung ketika berlaku. Berikan suplemen zink selama 10/14 hari di direkomendasikan dosis untuk usia anak yaitu anak < 6 bulan diberikan 1/2 tablet/hari selama 14 hari sedangkan untuk anak usia 6 bulan dan lebih diberikan 1 tablet/hari. Tablet pertama harus diberikan di pusat kesehatan, menunjukkan kepada ibu
bagaimana larutkan dalam air atau ASI, jika diperlukan. Anjurkan ibu tentang kapan harus kembali ke fasilitas kesehatan. Cairan rumah tangga juga dapat diberikan untuk mencegah dehidrasi
seperti air tajin, larutan gula garam, kuah sayur-sayuran dan sebagainya. Jumlah cairan yang diberikan yaitu 10 ml/kgBB atau untuk anak usia < 1 tahun adalah 50100 ml, 1-5 tahun 100-200 ml, 5-12 tahun adalah 200-300 ml dan dewasa 300-400 ml setiap BAB. Untuk anak dibawah 2 tahun diberikan dengan sendok tiap 1-2 menit. Pemberian tidak diberikan dengan menggunakan botol dan bila terjadi muntah hentikan dulu selama 10 menit kemudian mulai lagi secara perlahan (Subagyo dan Nurtjahjo, 2009). Tabel 2.6. Komposisi Oralit Baru Oralit Baru Osmolaritas Mmol/liter rendah Natrium Klorida Glukosa, anhydrous Kalium Sitrat Total osmolaritas Sumber : Subagyo dan Nurtjahjo, 2009
75 65 75 20 10 245
23
Pada oralit dengan tingkat osmolaritas rendah lebih mendekati dengan osmolaritas plasma sehingga kurang menyebabkan resiko terjadinya hipernatremia (Subagyo dan Nurtjahjo, 2009). Anak dengan dehidrasi ringan-sedang Seorang anak dengan beberapa tanda-tanda dehidrasi membutuhkan cairan tambahan dan makanan. Pengobatan pertama anak dengan ORS diberikan di fasilitas kesehatan dan kemudian, ketika semua tanda-tanda dehidrasi telah hilang, anak harus dikirim pulang untuk perawatan lanjutan. Pemberian oralit di klinik dilakukan sampai turgor kulit normal, haus berakhir, anak tenang. Berikan suplemen zink pertama di klinik. Instruksikan ibu bahwa zink harus dilanjutkan selama 10/14 hari dengan dosis yang dianjurkan tergantung pada usia anak. Zink harus diberikan segera setelah anak bisa makan dan berhasil menyelesaikan 4 jam rehidrasi. Selain cairan anak dengan dehidrasi ringan-sedang juga membutuhkan makanan dan pemberian ASI kepada anak yang masih menyusui harus dilanjutkan (WHO, 2005). Untuk perawatan di rumah sakit dapat dengan segera diberikan terapi awal dengan oralit. Jumlah oralit yang diberikan 3 jam pertama 75 ml/kgBB. Bila penderita masih terus merasa haus dan masih ingin minum harus diberikan lagi. Sebaliknya jika terjadi tanda-tanda kelopak mata bengkak, pemberian oralit harus segera dihentikan dan diganti dengan pemberian minum air putih. Setelah 3 jam rehidrasi penderita dievaluasi, apakah membaik, tetap atau memburuk. Jika membaik penderita dapat dipulangkan dan apabila memburuk harus tetap dirawat di rumah sakit dengan pemberian cairan parenteral (Subagyo dan Nurtjahjo, 2009). Zink merupakan senyawa esensial yang berperan penting dalam banyak fungsi tubuh. Sebagian besar dari enzim atau sebagai kofaktor pada kegiatan lebih dari dua ratus enzim, seng berperan dalam berbagai aspek metabolisme, seperti reaksi-reaksi yang berkaitan dengan sintesis dan degradasi karbohidrat, protein, lipida dan asam nukleat. Seng juga berperan dalam pembentukan kulit, metabolisme jaringan ikat dan penyembuhan luka. Defesiensi seng sering terjadi
24
pada golongan rentan, yaitu anak-anak, ibu hamil dan menyusui serta orang tua. Tanda-tanda kekurangan seng adalah gangguan pertumbuhan, fungsi pencernaan karena gangguan pembentukan kilomikron dan kerusakan permukaan saluran cerna, gangguan fungsi kekebalan tubuh, gangguan nafsu makan dan lain-lain (Almatsier, 2009). Anak dengan dehidrasi berat Anak dengan tanda-tanda dehidrasi berat membutuhkan cairan tambahan. Seorang anak yang telah diklasifikasikan dengan dehidrasi berat membutuhkan cairan cepat. Perlakukan dengan IV (intravena) cairan harus segera dilakukan. Anak-anak dengan dehidrasi berat harus ditangani oleh infus dan dirawat rumah sakit atau pusat kesehatan. Jika fasilitas kesehatan dengan IV tidak dalam waktu 30 menit, penggunaan NGT dianjurkan. Oralit harus diberikan segera setelah anak bisa menerimanya, bahkan sementara IV sedang berjalan. Ketika dehidrasi berat dikoreksi, pasien harus dikelola seperti di atas termasuk terapi zink ketika anak bisa makan (WHO, 2005). Untuk rehidrasi parenteral dapat digunakan cairan Ringer Laktat dengan dosis 100 ml/kgBB. Cara pemberianya untuk < 1 tahun 1 jam pertama 30 ml/kgBB, dilanjutkan 5 jam berikutnya 70 ml/kgBB, diatas 1 tahun ½ jam pertama 30 ml/kgBB dilanjutkan 2 ½ jam berikutnya 70 ml/kgBB. Setelah 6 jam pada bayi dan 3 jam pada anak yang lebih besar lakukan evaluasi, pilih pengobatan lanjutan dengan pengobatan diare ringan-sedang atau diare tanpa dehidrasi (Subagyo dan Nurtjahjo, 2009).
2.3. Pengetahuan 2.3.1. Pengertian Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
25
telinga. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2003). 2.3.2. Tingkatan Pengetahuan Ada 6 tingkatan pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif, yakni : 1. Tahu (know) Diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah di pelajari sebelumnya. termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari keseluruhan bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang
apa
yang
dipelajari
antara
lain
menyebutkan,
menguraikan,
mengidentifikasi, menyatakan, dan sebagainya. 2. Memahami (comprehension) Diartikan sebagai suatu kemempuan untuk menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap obyek atau materi harus dapat menjelaskan, menybutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya.
3. Menerapkan (application) Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah di pelajari pada kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hokum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang nyata. 4. Analisa (analysis) Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau obyek ke dalam komponen–komponen tetapi masih di dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lainnya. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya. 5. Sintesa (Synthesis)
26
Menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian –bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasi –formulasi yang ada. 6. Evaluasi (Evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemempuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu obyek atau materi. Penilaian–penilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria–kriteria yang telah ada.
2.4. Tindakan 2.4.1. Pengertian Tindakan Perilaku atau tindakan merupakan cara masyarakat bertindak atau berkelakuan yang sama dan harus diikuti oleh semua anggota masyarakat tersebut. Perilaku juga merupakan hasil pengalaman dan proses interaksi dengan lingkungannya, yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan sehingga diperoleh keadaan seimbang antara kekuatan pendorong dan kekuatan penahan. Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berhubungan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan. Perilaku seseorang dapat berubah jika terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan didalam diri seseorang tersebut. Perilaku merupakan faktor tersebar kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat. Oleh sebab itu, untuk membina dan meningkatkan kesehatan masyarakat, intervensi atau upaya yang ditujukan kepada faktor perilaku sangat penting dan strategis, mengingat pengaruh yang ditimbulkannya (Maulana, 2009) 2.4.2. Bentuk Perilaku Perilaku dapat diberi batasan sebagai suatu tanggapan individu terhadap rangsangan yang berasal dari dalam maupun luar diri individu tersebut.
27
Secara garis besar bentuk perilaku ada dua macam, yaitu : Perilaku pasif (respon internal) Perilaku yang sifatnya masih tertutup, terjadi dalam diri individu dan tidak dapat diamati secara langsung. Perilaku ini sebatas sikap belum ada tindakan yang nyata seperti, berpikir, berfantasi, berangan-angan dan lain-lain. Perilaku aktif (respon eksternal) Perilaku yang sifatnya terbuka. Perilaku aktif adalah perilaku yang dapat diamati langsung, berupa tindakan yang nyata seperti, membaca buku, mengerjakan soal dan lain-lain (Sunaryo, 2004) Menurut Maulana (2009) prosedur pembentukan perilaku dalam operant conditioning ( pembentukan jenis respon atau perilaku dengan menggunakan urutan-urutan komponen penguat berupa hadiah atau reward.) tersusun atas beberapa langkah antara lain : 1. Langkah pertama : melakukan pengenalan terhadap sesuatu sebagai penguat, berupa hadiah atau reward. 2. Langkah kedua : melakukan analisis untuk mengidentifikasi bagian-bagian kecil pembentukan perilaku yang diinginkan, selanjutnya disusun dalam urutan yang tepat menuju terbentuknya perilaku yang diinginkan. 3. Langkah ketiga : menggunakan bagian-bagian kecil perilaku, yaitu sebagai berikut. Bagian-bagian perilaku disusun secara urut dan dipakai sebagai
tujuan sementara. Mengenal penguat atau hadiah untuk masing-masing bagian. Membentuk perilaku dengan bagian-bagian yang telah tersusun
tersebut. Jika perilaku pertama telah dilakukan,hadiah akan diberikan
sehingga tindakan tersebut sering dilakukan. Akhirnya akan dibentuk perilaku kedua dan seterusnya sampai terbentuk perilaku yang diharapkan.
28
Menurut Notoatmodjo (2003) rangsangan yang terkait dengan perilaku kesehatan terdiri dari empat unsur, yaitu : perilaku terhadap sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan lingkungan. Perilaku terhadap sakit dan penyakit Perilaku tentang bagaimana seseorang managgapi rasa sakit dan penyakit bersifat respon internal (berasal dari dalam dirinya) maupun eksternal (dari luar dirinya), baik respon pasif, maupun aktif (praktik). Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan Perilaku ini adalah respon individu terhadap sistem pelayanan kesehatan modern maupun tradisional, meliputi : a. b. c. d.
Respon terhadap fasilitas pelayanan kesehatan Respon terhadap cara pelayanan kesehatan Respon terhadap petugas kesehatan Respon terhadap pemberian obat-obatan
Perilaku terhadap makanan Perilaku ini meliputi pengetahuan, persepsi, sikap dan praktik terhadap makanan serta unsur-unsur yang terkandung didalamnya (gizi, vitamin), dan pengelolahan makanan sehubungan kesehatan tubuh kita. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan Lingkup perilaku ini sesuai lingkup kesehatan lingkungan, yaitu : a. b. c. d.
Perilaku terhadap air bersih. Perilaku sehubungan pembuangan air kotor ataupun kotoran. Perilaku sehubungan dengan limbah, baik limbah cair maupun padat. Perilaku sehubungan dengan rumah sehat. Menyangkut ventilasi,
pencahayaan, lantai, dan sebagainya. e. Perilaku terhadap pembersihan sarang-sarang vektor penyakit.
29
BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah : Variabel Independen
Variabel Dependen
Tingkat pengetahuan ibu Diare akut disertai dehidrasi pada anak balita Tindakan ibu
3.2. Definisi Operasional No
Variabel
Definisi
Alat ukut
Cara ukur
Hasil ukur
Skala
30
operasional 1
Pengetahua n ibu tentang diare
2 Tindakan ibu terhadap kejadian diare pada balita 3 Dehidrasi
3.3.
Segala sesuatu yang diketahui ibu mengenai diare pada balita meliputi: pengertian, penyebab, gejala klinis, pengobatan, komplikasi, dan pencegahan
Kuesioner
Segala sesuatu Kuesioner yang lakukan ibu sehubungan dengan kejadian diare pada balita Kehilangan Rekam cairan dari medik jaringan tubuh yang berlebihan
Angket
Angket
Rekam medik
1. Baik 2. Kurang
Ordinal
1. Baik 2. Kurang
Ordinal
1. Tanpa dehidrasi -ringan 2. Dehidrasi ringansedang 3. Dehidrasi berat
Hipotesis alternatif Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dan tindakan ibu dengan dengan diare akut yang disertai dehidrasi pada anak balita di RSUP H. Adam Malik Medan, tahun 2014.
Ordinal
31
BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik dengan desain penelitian cross sectional. Dilakukan dengan menggunakan pendekatan observasi dan pengumpulan data sekaligus pada satu saat. Tiap subyek penelitian hanya satu kali saja dilakukan observasi. 4.2. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penulisan penelitian ini dimulai pada bulan April 2014 dan direncanakan sampai bulan November 2014. Penelitian ini dilakukan di RSUP H. Adam Malik. 4.3. Populasi dan sample 4.3.1. Populasi Populasi pada penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki anak balita yang menderita diare akut di RSUP H. Adam Malik, Medan. 4.3.2. Sampel
32
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara simple random sampling, yaitu metode penarikan sampel dimana masing-masing subyek atau unit populasi memiliki peluang yang sama untuk terpilih menjadi sampel. Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini adalah :
Ibu yang memiliki anak balita yang mengalami diare akut di RSUP H. Adam Malik, Medan .
Sedangkan kriteria eksklusinya pada penelitian ini adalah :
Ibu yang tidak mengisi kuesioner secara penuh.
4.3.3. Besar sampel Penentuan besar sample pada penelitian ini menggunakan rumus perhitungan besar sampel untuk penelitian uji hipotesis satu populasi (wahyuni, 2007)
[
Z 1−α /2 √ p 0 (1−p 0 ) + z 1−β √ pa (1− pa) n= pa− po
n= n=
[ [
1,96 √ 0.16 X 0.84+ 0,84 √ 0,31 X 0, 69 0,15 0,71+0,38 0, 15
2
]
2
]
2
]
n = 52,8 = 53 Keterangan : n
= besar sampel minimum
po
= proporsi kejadian diare sebesar 16% = 0,16 (profil kesehatan sumut,
2012) pa- po = perkiraan selisih proporsi yang diteliti penulis dengan proporsi di populasi sebesar 15% = 0,15
33
1 - po = 1 - 0,16 = 0,84 pa
= 0,15+ 0,16 = 0,31
1 – pa = 1 – 0,31 = 0,69 Z1-α/2 = nilai distribusi normal baku (tabel z) pada α tertentu. 0,05 atau interval kepercyaaan 95%, maka Z 1– α/2 = 1,96 Z-β
= nilai distribusi normal baku (tabel z) pada β tertentu. Kekuatan, dalam
penelitian ini kekuatan 80%, maka Z 1- β = 0,84
4.4. Instrumen Penelitian 4.4.1. Pengukuran Pengetahuan Pengukuran tingkat pengetahuan ibu mengenai diare pada balita berdasarkan jawaban dari pertanyaan yang diberikan oleh responden. Instrument yang digunakan berupa kuesioner. Setiap jawaban benar dari responden akan diberi nilai dengan nilai 5 sampai 1 sesuai jawaban yang terbaik yang telah ditentukan peneliti. Selanjutnya tingkat pengetahuan responden diukur dengan menggunakan skala pengukuran sebagai berikut: 1. Baik, bila jawaban responden benar > 75% dari total nilai kuesioner pengetahuan. 2. Kurang, bila jawaban responden benar <75% dari total nilai kuesioner pengetahuan 4.4.2. Pengukuran Tindakan Pengukuran tindakan ibu mengenai diare pada balita berdasarkan jawaban dari pertanyaan yang diberikan oleh responden. Instrument yang digunakan berupa kuesioner. Setiap jawaban benar dari responden akan diberi nilai dengan nilai 4 sampai 1 sesuai jawaban yang terbaik yang telah ditentukan peneliti. Selanjutnya tingkat pengetahuan responden diukur dengan menggunakan skala pengukuran sebagai berikut:
34
1. Baik, bila jawaban responden benar > 75% dari total nilai kuesioner tindakan. 2. Kurang, bila jawaban responden benar <75% dari total nilai kuesioner tindakan. 4.4.3. Pengukuran Derajat Dehidrasi Pengukuran derajat dehidrasi dilakukan berdasarkan rekam medis dan diagnosa yang ditetapkan oleh dokter dengan klasifikasi derajat dehidrasi sebagai berikut : 1. Tanpa dehidrasi-ringan dicirikan dengan kehilangan 5% dari berat badan sebelum sakit. 2. Dehidrasi ringan-sedang dicirikan kehilangan 5% sampai 10% dari berat badan sebelum sakit. 3. Dehidrasi berat dicirikan kehilangan berat badan lebih dari 10% berat badan sebelum sakit. 4.5. Teknik Pengumpulan Data 4.5.1. Data Primer Data primer merupakan data dari jawaban kuesioner yang diisi oleh sampel penelitian dan pengumpulan data dilakukan dengan metode angket. 4.5.2. Data Sekunder Data sekunder merupakan data dari rekam medik anak balita yang menderita diare akut. 4.5.3. Uji Validitas dan Reliabilitas Uji validitas dilakukan dengan uji korelasi antara skor (nilai) tiap-tiap item pertanyaan dengan skor total kuesioner tersebut. Adapun teknik korelasi yang biasa dipakai adalah teknik korelasi product moment. Pertanyaan disebut valid apabila nilai dari r hitung lebih besar daripada r tabel. Pertanyaan yang telah diuji validitasnya, akan dilanjutkan dengan uji reliabilitas. Pada uji reabilitas pertanyaan disebut reliabel jika nilai r>0.60. Pada penelitian ini uji validitas dan reliabilitas terhadap pertanyaan kuesioner yang dipakai akan menggunakan aplikasi SPSS 4.5.4. Pengolahan dan Analisa Data
35
Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahap pertama editing yaitu mengecek nama dan kelengkapan identitas maupun data responden serta memastikan bahwa semua jawaban telah diisi sesuai petunjuk. Tahap kedua coding yaitu memberi kode atau angka tertentu pada kuesioner untuk mempermudah waktu mengadakan tabulasi dan analisa. Tahap ketiga entry yaitu memasukkan data dari kuesioner ke dalam program computer dengan menggunakan program SPSS. Tahap keempat adalah melakukan cleaning yaitu mengecek kembali data yang telah di entry untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak. Tahap kelima saving yaitu menyimpan data yang sudah di cek untuk kemudian dianalisa.
Data selanjutnya dianalisa secara bertahap yaitu: 1) Analisa Univariat Analisa data dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dan presentasi tiap variabel yang diteliti. Data yang bersifat kategorik dicari frekuensi dan persentasinya. 2) Analisa Bivariat (Uji Hipotesis) Uji Hipotesis yang digunakan pada penelitian ini adalah uji chi square, yaitu membandingkan frekuensi yang diamati dengan frekuensi yang diharapkan
36
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian Waktu penulisan penelitian ini dimulai pada bulan April 2014 dan selesai sampai bulan November 2014. Penelitian ini dilakukan di RSUP H. Adam Malik karena rumah sakit ini rumah sakit tipe A. 5.1.2 Hasil Analisa Deskriptif 5.1.2.1 Deskripsi Karakteristik Sampel Berdasarkan hasil pengumpulan data dilapangan dengan menggunakan kuesioner diperoleh gambaran karakteristik sampel di RSUP H. Adam Malik, Medan. Responden berjumlah 53 orang. Responden adalah ibu – ibu yang memiliki anak balita berusia dibawah 5 tahun yang menderita diare akut. Adapun usia dan tingkat pendidikan ibu yang memiliki balita di RSUP H. Adam Malik, Medan dapat dilihat pada tabel dibawah ini
37
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Menurut Usia dan Tingkat Pendidikan di RSUP H. Adam Malik, Medan tahun 2014 No
Karakteristik Sampel
1
Usia (tahun) 25 – 34 35 – 45
Jumlah
Persentase (%)
Total 2 Tingkat Pendidikan Ibu SD SMP SMA D3 S1 Lain-lainnya Total
39 14 53
73.6 26.4 100
0 10 29 4 10 0 53
0 18.9 54.7 7.5 18.9 0 100
Dari tabel 5.1. dapat diketahui bahwa kelompok usia ibu 25 – 34 tahun lebih banyak memiliki anak balita yang menderita diare akut yaitu 39 orang (73.6%) jika dibandingkan dengan kelompok ibu yang berusia 35 – 45 tahun sebanyak 14 orang (26.4%) Dalam melakukan pengamatan terhadap tingkat pendidikan ibu, pada penelitian ini sample dibagi atas 6 kelompok yaitu tingkat pendidikan SD, SMP, SMA, D3, S1, dan lain-lainnya. Pengelompokan ini untuk mempermudah peneliti mengetahui kelompok tingkat pendidikan ibu mana yang lebih rentan memiliki anak balita yang menderita diare akut.
38
Berdasarkan tingkat pendidikan ibu, sampel yang memiliki tingkat pendidikan SD 0 orang (0%), SMP 10 orang (18.9%), SMA 29 orang (54.7%), D3 4 orang (7.5%), dan S1 10 orang (18.9%). Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa kelompok tingkat pendidikan ibu yang tertinggi yang memiliki anak balita yang menderita diare akut berada pada kelompok pendidikan SMA sebanyak 29 orang (54.7%). 5.1.2.2 Tingkat Pengetahuan dan Tindakan Ibu tentang Diare Akut pada Anak Balita Tingkat pengetahuan ibu pada sampel penelitian dikelompok menjadi 2 kelompok yaitu baik dan kurang. Berdasarkan hasil pengisian kuesioner diperoleh data yang dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 5.2. Distribusi Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Diare Akut pada Anak Balita di RSUP H. Adam Malik, Medan tahun 2014 No
Tingkat Pengetahuan dan Tindakan Ibu
Jumlah
Persentase (%)
1
Pengetahuan Ibu Baik Kurang
Total 2 Tindakan Ibu Baik Kurang Total
37 16 53
69.8 30.2 100
33 20 53
62.3 37.7 100
Dari tabel 5.2 di atas, tingkat perngetahuan dan tindakan ibu dibagi atas 2 kategori yaitu baik dan kurang. Tingkat pengetahuan ibu yang memiliki anak balita yang menderita diare akut sebagian besar tergolong baik yaitu sebanyak 37 orang (69%) sedangkan yang tingkat pengetahuannya kurang sebanyak 16 orang (30%). Sedangkan untuk tingkat tindakan ibu yang memiliki anak balita yang menderita diare akut yang tergolong baik yaitu sebanyak 33 orang (62,3%) sedangkan yang tingkat tindakannya kurang sebanyak 20 orang (37.7%).
39
5.1.2.3 Tingkat Diare Akut Anak Balita Tingkat diare akut pada anak balita dikelompokan menjadi 3 kolompok yaitu diare tanpa dehidrasi, diare disertai dehidrasi ringan sedang, dan diare disertai dehidrasi berat. Data tersebut didasarkan oleh diagnosa dokter yang diambil dari data rekam medis anak balita yang menderita diare akut yang dibawa ibunya berobat ke rumah sakit. Berdasarkan hasil penilaian data rekam medis diperoleh data yang dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 5.3 Distribusi Tingkat Diare Akut pada Anak Balita di RSUP H. Adam Malik, Medan tahun 2014 Diare Akut Tanpa dehidrasi Dehidrasi ringan-sedang Dehidrasi berat Total
Jumlah 18 26 9 53
Persentase (%) 34 49.1 17 100
Dari tabel 5.3 di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar anak balita menderita diare disertai dehidrasi ringan – sedang 26 orang (49.1%), anak balita yang menderita diare tanpa dehidrasi 18 orang (34%), sedangkan yang menderita dehidrasi berat 9 orang (17%).
40
5.1.2.4 Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Diare Akut pada Anak Balita di RSUP H.Adam Malik, Medan tahun 2014 Tabel 5.4 Tabulasi Silang Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Diare Akut pada Anak Balita di RSUP H.Adam Malik, Medan tahun 2014 Tingkat Pengetahuan Ibu
Tanpa Dehidrasi
Diagnosa Diare Akut Dehidrasi Dehidrasi Ringan –
Nilai – p
Berat
Sedang Baik Kurang
18 0
15 11
4 5
0.002
Dari tabel 5.4 analisis hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan diare akut pada anak menggunakan uji statistik chi square didapati nilai p value atau nilai signifikansi 0.002. Nilai kemaknaan (α) pada penelitian ini adalah 0.05 (Confidence Interval 95%). Nilai signifikansi di bawah nilai kemaknaan (p=0.002 < α =0.05). Ini berarti bahwa Ho ditolak sehingga disimpulkan terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan ibu terhadap diare dengan kejadian diare akut pada anak. Tabel 5.5 Tabulasi Silang Hubungan Tingkat Tindakan Ibu dengan Diare Akut pada Anak Balita di RSUP H.Adam Malik, Medan tahun 2014 Tingkat Tindakan Ibu
Baik Kurang
Tanpa
Diagnosa Diare Akut Dehidrasi Dehidrasi
Dehidrasi
Ringan –
Berat
15 3
Sedang 16 10
2 7
Nilai – p
0.008
Dari tabel 5.5 analisis hubungan tingkat tindakan ibu dengan diare akut pada anak menggunakan uji statistik chi square didapati nilai p value atau nilai signifikansi 0.008. Nilai kemaknaan (α) pada penelitian ini adalah 0.05 (Confidence Interval 95%). Nilai signifikansi di bawah nilai kemaknaan (p=0.008
41
< α =0.05). Ini berarti bahwa bahwa Ho ditolak sehingga disimpulkan terdapat hubungan antara tingkat tindakan ibu terhadap diare dengan kejadian diare akut pada anak. 5.2 Pembahasan Penelitian 5.2.1 Pembahasan Karakteristik Sampel Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 53 ibu yang memiliki anak balita yang menderita diare akut dapat dilihat bahwa 49,1% anak balita menderita diare disertai dehidrasi ringan – sedang, anak balita yang menderita diare tanpa dehidrasi 34%, sedangkan yang menderita dehidrasi berat 17%. Umumnya ibu yang memiliki anak balita yang diare tersebut terbanyak berada pada rentang usia 25 – 34 tahun 73,6%. Semakin bertambahnya usia seseorang maka semakin banyak pula pengetahuan yang diperolehnya tentang diare. Menurut Notoadmodjo (2010), usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia membaik. Pendidikan juga berpengaruh terhadap pengetahuan dan sikap ibu dengan kejadian diare akut pada anak. Hal ini dapat dilihat bahwa ibu dengan pendidikan lulusan SMA memiliki anak yang menderita diare sebanyak 54% dibandingkan dengan pendidikan yang lebih tinggi lulusan S1 18.9% dan D3 7.5%. Menurut Mufidah (2012) bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, pendidikan, usia, pekerjaan, pendapatan dan sebagainya dari orang yang bersangkutan tersebut sehingga semakin baik faktor tersebut maka semakin baik pula tingkat kesehatannya.
42
5.2.2 Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Tingkat Diare Akut pada Anak Balita Pada penelitian ini bersifat analitik dengan menggunakan metode cross sectional, dimana data yang dikumpulkan melalui pengisian kuesioner dari responden sehingga analisis yang dihasilkan menggambarkan penilaian hubungan antara variabel dependen dan variabel independen. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner yang dibuat disesuaikan dengan variabel yang akan diteliti untuk dapat memenuhi sebagian besar teori tentang kejadian diare akut pada balita dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya sehingga kemungkinan belum dapat menampung seluruh fakta dan pendapat responden mengenai pengetahuan dan tindakan responden terhadap kejadian diare akut pada balita. Pengetahuan ibu tentang diare akut pada anak balita juga berpengaruh terhadap tingkat keparahan diare pada anak tersebut sebagai mana dapat dikatahui bahwa ibu yang memiliki pengetahuan yang baik memiliki anak yang menderita diare akut sebanyak 69.8% dengan tingkat keparahan tertinggi mengalami diare akut tanpa disertai dehidrasi 18 orang , 15 orang mengalami dehidrasi ringansedang dan 4 orang mengalami dehidrasi berat. Sedangkan untuk tingkat pengetahuan ibu yang tergolong kurang sebanyak 30.2% seluruhnya mengalami diare yang disertai dehidrasi terutama dehidrasi ringan – sedang sebanyak 11 orang dan dehidrasi berat 5 orang. Hasil uji statistik didapatkan p Value=0,002 (p ≤ 0,05), berarti H0 ditolak yang artinya ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan ibu dengan tingkatan diare akut pada anak balita di RSUP H.Adam Malik, Medan. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Akhyar (2006) dalam Mauliku (2008) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu dengan kejadian diare. Dan juga menurut Kalili (2006) menyatakan pendidikan orang tua adalah faktor penting dalam keberhasilan manajemen diare pada anak. Orang tua dengan tingkat pengetahuan rendah, khususnya buta huruf tidak akan dapat memberikan perawatan yang tepat pada anak diare karena kurangnya pengetahuan dalam menerima informasi.
43
5.2.3 Hubungan Tindakan Ibu dengan Tingkat Diare Akut pada Anak Balita Tindakan ibu tentang diare akut pada anak balita juga berperan penting dalam derajat keparahan diare anak tersebut sebagaimana dapat kita ketahui dari hasil penelitian di atas bahwa ibu kelompok ibu dengan tindakan yang baik sebanyak 62,3% dengan tingkat keparahan diare tertinggi mengalami dehidrasi ringan – sedang sebanyak 16 orang, diare tanpa dehidrasi sebanyak 15 orang dan 2 orang mengalami dehidrasi berat, sedangkan untuk kelompok ibu dengan tindakan kurang yaitu 37.7% dengan tingkat keparahan diare hampir sama antara dehidrasi berat 7 orang dengan dehidrasi ringan – sedang 10 orang dan hanya 3 orang yang diare tanpa dehidrasi. Hasil uji statistik didapatkan p Value=0,008 (p ≤ 0,05), berarti H0 ditolak yang artinya ada hubungan yang signifikan antara tingkat tindakan ibu dengan tingkatan diare akut pada anak balita di RSUP H. Adam Malik, Medan. Sikap adalah bentuk evaluasi atau perasaan mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau menolak pada objek tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, kebudayaan, lembaga pendidikan dan agama, media massa, dan faktor emosional. Penelitian ini juga didukung oleh penyataan yang mengatakan bahwa sikap ibu yang mendukung dapat terlihat dari pernyataan lembar angket sikap yaitu saya akan lebih sering memberikan air minum pada anaknya yang lebih dari biasanya. Karena diare menyebabkan anak kehilangan cairan baik tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan – sedang dan juga berat. (Suriyadi dan Yuliani, 2006) Menurut Siahaan (2008) hal pertama yang harus diperhatikan dalam penanggulangan diare adalah masalah kehilangan cairan tubuh yang berlebihan (dehidrasi) sehingga perlu mendapat penangan yang segera ini berarti semakin baik tindakan yang diberikan oleh ibu pada saat anak diare akan mengurangi tingkat keparahan anak mengalami dehidrasi yang lebih berat. Dari beberapa pernyataan di atas dapat kita ketahui bahwa tindakan yang baik akan memberikan tingkat dehidrasi yang lebih ringan terhadap kejadian diare pada anak balita dibandingkan dengan tindakan yang kurang.
44
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan pada penelitian ini, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1
Hasil penelitian menunjukan adanya hubungan antara tingkat pengetahuan ibu tentang diare akut dengan tingkat diare pada anak balita dengan p-
2
Value : 0.002 < 0.05 Hasil penelitian menunjukan adanya hubungan antara tingkat tindakan ibu tentang diare akut dengan tingkat diare pada anak balita dengan p-Value :
3
0.008 < 0.05 Pada penelitian ini ditemukan tingkat pengetahuan ibu yang baik tentang diare akut pada anak balita 69%, sedangkan tingkat pengetahuan ibu yang
4
kurang 30%. Pada penelitian ini ditemukan tingkat tindakan ibu yang baik tentang diare akut pada anak balita 62,3%, sedangkan tingkat tindakan ibu yang kurang 37.7%.
6.2. Saran 1
Adapun saran yang dapat diberikan peneliti yaitu : Bagi Pelayanan Kesehatan Peneliti menyarankan kepada pihak RSUP H.Adam Malik, Medan untuk
lebih melakukan lebih banyak melakukan penyuluhan mengenai dampak dari diare akut terutama pada anak balita yang dapat menyebabkan anak kehilangan cairan tubuh yang berlebihan (dehidrasi) serta penanganan segera sehingga tidak jatuh ke tingkat diare dengan dehidrasi yang lebih berat.
2
Bagi Masyarakat
45
Peneliti menyarankan kepada masyarakat untuk lebih memahami dengan tepat dan segera bagaimana penanganan yang tepat dalam mengatasi diare akut pada anak balita sehingga tidak sampai terjadi dehidrasi. 3
Bagi Penelitian Selanjutnya Peniliti menyarakan kepada peneliti untuk menjadikan hasil penelitian
sebagai acuan untuk mendukung penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
46
Adelman, R.D. dan Solhoug, M.J., 1999. Patofisiologi Cairan Tubuh dan Terapi Cairan. Dalam : Behrman, Klirgman, dan Arvin. Nelson : Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15(1). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Akhyar. 2006. Hubungan Faktor Lingkungan, Ekonomi dan Pengetahuan Ibu dengan Kejadian Diare pada Balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kota Kabupaten Indagiri Hilir Tahun 2006. Dalam : Mauliku, N.E. dan Wulansari, E. Hubungan antara Faktor Perilaku Ibu dengan Kejadian Diare pada Balita di Puskesmas Batujajar Kabupaten Bandung Barat, Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani. 2008;38:40-51. Almatsier, S., 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Edisi VIII. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Finberg, L. 2002. Dehydration in Infancy and Childhood. Article fluid & electrolytes, 2002;23(8):277-282. Friedman, L.S. dan Isselbacher, K.J., 1995. Diare dan Konstipasi. Dalam : Isselbacher, K.J., E. Braunwald, Jean D.W., Joseph B.M., Anthony S.F., Dennis L.K., 1995. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit. Edisi 13. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Gidudu J., et al., 2011. Diarrhea: Case definition and guidelines for collection, analysis,
and
presentation
of
immunization
safety
data.
ProQuest,
2011;29(5):1053-1071. Hayajneh, W.A., Jdaitawi, H., Shurman, A.A., Hayajneh, Y.A., 2010. Comparison of Clinical Associations and Laboratory Abnormalities in Children With Moderate and Severe Dehydration. Original article: Gastroenterology, 2010;50(3):290-294.
47
Karsinah., 1994. Reoviridae. Dalam : Syahrurachman, A. et al., 1994. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Revisi. Jakarta Barat : Binarupa Aksara. Khalili, Gorbanali, Mardani, M., 2006. Risk Factor for Hospitalization of Children with Diarrhea in Shahrrekord, Iran. Iranian Journal of Clinical Infectious Diseases. 2006;1(3):131-136. Lamberti, L.M., Walker, C.L.F., Noiman, A., Victoria, C., Black, R.E., 2011. Breastfeeding and the risk for diarrhea morbidity and mortality. BMC Public Health. 2011;11(3):1-12. Maulana, H.D.J., 2009. Promosi Kesehatan. Edisi I. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Mufidah, Fatchul., 2012. Cermati Penyakit – Penyakit yan Rentan Diderita Anak. Jogjakarta : FlashBooks Muscari, M.E., 2005. Panduan Belajar : Keperawatan Pediatrik. Edisi III. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Notoadmodjo, S., 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-Prinsip Dasar. Edisi II. Jakarta : Rineka Cipta. Notoadmodjo, S., 2010. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-Prinsip Dasar. Edisi Revisi. Jakarta : Rineka Cipta. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2012. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), 2013. Pedoman Pewawancara Petugas Pengumpul Data. Badan Litbangkes, Depkes RI.
48
Siahaan, J., Sitanggang, R., Rizky, K., 2013. Hubungan Pengetahuan Ibu tentang Diare dengan Penanggulangan Diare pada Balita di Dusun Sono Desa Lalang Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batu Bara Tahun 2013 Simadibrata, K.M, dan Daldiyono., 2009. Diare Akut. Dalam : Sudoyo, A.W., B. Setiyohadi., Idrus, A., Marcellus, S.K., Siti, S., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta : InternaPublishing. Simatupang., 2004. Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Diare Pada Balita Di Kota Sibolga Tahun 2003. Dalam : Ishak, Binti Ahmad Syafiq Akmal., 2010. Profil Penderita Diare pada Anak Balita di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2009. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan. Subagyo, B., dan Nurtjahjo B.S., 2009. Diare Akut. Dalam : Juffrie, M. 2009. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi. Edisi I. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. Sudarma, M., 2008. Sosiologi untuk Kesehatan. Edisi I. Jakarta : Salemba medika. Sunaryo., 2004. Psikologi untuk Keperawatan. Edisi I. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Suriadi, Yuliani, R., 2006. Asuhan Keperawatan pada Anak. Jakarta : Sagung Seto. Sutoto., 1992. Pemberantasan Penyakit Diare Dalam Repelita V. Dalam : Ishak, Binti Ahmad Syafiq Akmal., 2010. Profil Penderita Diare pada Anak Balita di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2009. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.
49
Thielman, N.M., Guerrant, R.L., 2004. Acute Infectious Diarrhea. N Engl J Med. 2004;350:38-47. Wahyuni, A.S., 2007. Statistika Kedokteran (disertai aplikasi dengan SPSS). Jakarta : Bamboedoea Communication. Walker-Smith J.A., 1997. Masalah Pediatri di Bidang Gastroenterologi Tropis. Dalam : Cook, G.C., 1997. Problem Gastroenterology Daerah Tropis. Edisi pertama I. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Widowati, T., Mulyani, N.S., Nirwati, H., Soenarto Y., 2012. Diare Rotavirus pada Anak Usia Balita. Sari Pediatri. 2012;13(5):340-5. World Gastroenterology Organisation practice guideline, 2008. Acute Diarrhea. http://www.worldgastroenterology.org/assets/downloads/en/pdf/guidelines/01_acu te_diarrhea.pdf (Diakses 17 mei 2014). World Gastroenterology Organisation practice guideline, 2013. Acute Diarrhea in Adults and Children. http://journals.lww.com/jcge/Fulltext/2013/01000/Acute_Diarrhea_in_Adults_and _Children__A_Global.7.aspx. (Diakses 15 April 2014). World Health Organization, USAID, UNICEF, 2005. Diarrhoea Treatment Guidelines: Including new recommendations for the use of ORS and zinc supplementation.
http://whqlibdoc.who.int/publications/2005/a85500.pdf.
(Diakses 27 April 2014). Yabo, O., et al., 2012. Etiology and epidemiology of viral diarrhea in children under the age of five hospitalized in Tianjin, China. Article : Springer-Verlag 2012;157:881-887.
50