PROPOSAL TUGAS AKHIR ANALISIS KESTABILITAS LERENG MENGGUNAKAN METODE BISHOP DAERAH BENDUNGAN JATIGEDE, KABUPATEN SUMEDANG, PROVINSI JAWA BARAT
Disusun Oleh: FAISAL AKBAR 072.12.070
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA 2016
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Indonesia sebagai Negara kepulauan yang secara geografis terletak di daerah khatulistiwa, di antara antara Benua Asia dan Australia serta di di antara Samudera pasifik dan Hindia, berada berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama utama dunia ( lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Australia) merupakan wilayah territorial yang sangat rawan terhadap bencana alam. Bencana tanah longsor sering dikaitkan dengan datangnya musim penghujan. Bencana tanah longsor (landslides) menjadi masalah yang umum pada daerah yang mempunyai kemiringan yang curam (Darsono et al., 2012:57). Longsor atau sering disebut gerakan tanah/batuan adalah suatu peristiwa geologi yang terjadi karena pergerakan masa batuan atau tanah dengan berbagai tipe dan jenis seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar tanah. 1.2
Maksud dan Tujuan Penelitian
Adapun skripsi yang akan bahas adalah melakukan analisa pada lereng untuk medapatkan factor keamanan pada daerah Bendungan Jatigede, kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa barat yang mencakup daerah rawan longsor. Tujuan skripsi ini adalah untuk untuk mencari tahu hubungan antara faktor keamanan dengan variasi sudut kemiringan lereng, variasi parameter
2
geser, dan hubungan antara faktor keamanan dengan koefisien rasio tegangan air pori. 1.3
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian berada daerah Bendungan Jatigede, kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat. Penelitian berlangsung selama satu minggu pada bulan September 2016.
Gambar 1.1 Lokasi daerah penelitian Bendungan Jatigede, kabupaten
Sumedang, Provinsi Jawa barat (Google Earth, 2016).
3
1.4
Batasan Masalah
Batasan masalah yang akan dibahas adalah meliputi sampel tanah diambil dari daerah sekitar bendungan Jatigede. Faktor keamanan dihitung menggunakan metode Bishop dengan bidang longsor berbentuk lingkaran dan gaya-gaya antar irisan adalah nol. Tanah dianggap 1 lapisan. Pengaruh gempa dan beban bangunan tidak diperhitungkan. 1.5
Data Dasar
Untuk mendapatkan peta bidang gelincir gerakan tanah diinginkan akan menggunakan beberapa peta, yaitu : 1.
Peta topografi
2.
Peta bidang gelincir bawah permukaan
3.
Peta curah hujan
4.
Peta kemiringan lereng
4
yang
BAB II TEORI DASAR
2.1 Geologi Regional
Dalam membahas suatu objek daerah penelitian, maka terlebih dahulu diuraikan mengenai karakteristik geologi secara regional dalam hal ini berupa fisiografi, stratigrafi, dan struktur geologi yang berperan di daerah penelitian. 1.1.1
Fisiografi
Secara fisiografi, van Bemmelen (1970) telah membagi daerah Jawa bagian barat menjadi lima jalur fisiografi (Gambar 2.1). Pembagian zona fisiografi daerah Jawa bagian barat tersebut yaitu :
1.
Zona Dataran Rendah Pantai Jakarta
2.
Zona Bogor
3.
Zona Bandung
4.
Zona Pegunungan Bayah
5.
Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat
5
Gambar 2.1 Pembagian Fisiografi Jawa dan Madura (van Bemmelen, 1970).
Berdasarkan letaknya, maka secara fisiografi, daerah penelitian termasuk kedalam Zona Bogor bagian Timur.
Zona Bogor terdapat di bagian selatan Zona Dataran Rendah Pantai Jakarta, dan membentang dari barat ke timur, yaitu mulai dari Rangkasbitung, Bogor, Subang, Sumedang, dan berakhir di Bumiayu dengan panjang kurang lebih 40 km. Zona Bogor ini merupakan daerah antiklinorium yang cembung ke utara dengan arah sumbu lipatan barat – timur. Inti antiklinorium ini terdiri dari lapisan-lapisan batuan berumur Miosen dan sayapnya ditempati batuan yang lebih muda yaitu berumur Pliosen – Pleistosen.
Pada Zona Bogor, terdapat beberapa morfologi intrusi berupa boss. Batuannya terdiri atas batupasir, batulempung dan breksi yang merupakan endapan turbidit, disertai beberapa intrusi hypabisal, konglomerat dan hasil endapan gunungapi. Disamping itu juga terdapat lensa-lensa batugamping.
6
Endapannya terdiri oleh akumulasi endapan Neogen yang tebal dengan dicirikan oleh endapan laut dalam.
1.1.2
Geologi Regional Daerah Penelitian
Berdasarkan letak geografis, lokasi penelitian terletak pada Provinsi Jawa barat dan berdasarkan geologi regional. Formasi-formasi yang tercakup pada daerah penelitian, antara lain:
Hasil Gunungapi Tua Breksi (Qvb) : Breksi gunungapi, endapan lahar. Komponen-komponennya terdiri atas batuan beku bersifat andesit dan basal. Tersingkat di bagian selatan dan timur lembar.
Hasil Gunungapi Tua Tak Teruraikan (Qvu) : Breksi gunungapi, lahar, lava bersifat andesit dan basal.
Formasi Kaliwangu (Tpk) : Batulempung dengan sis ipan batupasir tufan, konglomerat setempat, ditemukan lapisan-lapisan batupasir gampingan dan batugamping.
Anggota Atas dari Formasi Halang (Tmhu) : Batupasir tuf, lempung, konglomerat, batupasir merupakan bagian yang utama.
Anggota Bawah dari Formasi Halang (Tmhl) : Breksi gunung api yang bersifat andesit dan basal. Disamping itu ditemukan juga tuf dan lempung serta konglomerat, morfologi berupa questa.
Anggota Serpih dari Formasi Cinambo (Tomcu) : Serpih dengan selingan batupasir dan batugamping, batupasir gampingan, batupasir tufan tebal 400-500 meter.
7
Anggota Batupasir dari Formasi Cinambo (Tomcl) : Grewake, batupasir gampingan, tuf, lempung, lanau. Grewake mempunyai ciri perlapisan tebal dengan sisipan serpih dan lempung tipis yang padat berwarna kehitaman. Struktur sedimen yang menonjol adalah perlapisan bersusun dan struktur jejak yang menunjukkan runtuhan batuan diendapkan oleh arus turbidit.
Andesit Hornblende (hm) : Berbentuk retas lempeng, retas dengan lebar 20-30 meter.
Gambar 2.2 Peta geologi regional daerah penelitan Bendungan Jatigede, Jawa
barat.
8
1.2
Konsep Dasar
2.3.1
Pengertian Gerakan Tanah
Gerakan tanah adalah perpindahan material pembentuk lereng, berupa batuan, bahan timbunan, tanah atau material campuran tersebut, bergerak ke arah bawah dan keluar lereng (Varnes, 1978). Konsep gerakan tanah berdasarkan jenis material, ada dua macam lereng, yaitu lereng batuan dan tanah. Apabila mengalami perubahan keseimbangan, maka tanah atau batuan itu akan berusaha untuk mencapai keadaan keseimbangan yang baru secara alamiah. Cara ini berupa proses degradasi atau pengurangan beban, terutama dalam bentuk longsoran atau gerakan lain sampai tercapai keadaan keseimbangan yang baru. Pada tanah atau batuan dalam keadaan tidak terganggu (alamiah) telah bekerja tegangan-tegangan vertikal, horisontal dan tekanan air pori. Ketiga hal di atas mempunyai peranan penting dalam membentuk kemantapan le reng. 2.3.2 Jenis-Jenis Gerakan Tanah
Jenis Gerakan Tanah berdasar Klasifikasi Varnes (1978) dan Direktorat Geologi Tata Lingkungan (1996) : 1.
Runtuhan (falls) adalah runtuhnya/jatuhnya sebagian massa batuan atau
tanah penyusun lereng yang terjal, dengan sedikit atau tanpa disertai terjadinya pergeseran antara massa yang runtuh dengan massa yang tidak runtuh. 2.
Robohan (topples) adalah robohnya batuan yang umumnya bergerak
melalui bidang-bidang diskontinuitas (bidang-bidang yang tidak menerus) yang sangat tegak pada lereng. Seperti halnya pada runtuhan, bidang-bidang diskontinuitas ini berupa bidang-bidang kekar atau retakan pada batuan.
9
3.
Longsoran (slide) adalah gerakan menuruni lereng oleh suatu massa tanah
dan atau batuan penyusun lereng, melalui bidang gelincir pada lereng, atau pada bidang regangan geser yang relatif tipis. 4.
Bidang gelincir atau bidang regangan geser ini dapat berupa bidang yang
relatif lurus (translasi) ataupun bidang lengkung ke atas (rotasi). 5.
Pencaran lateral (lateral spread) adalah material tanah atau batuan yang
bergerak dengan cara perpindahan translasi pada bidang dengan kemiringan landai sampai datar, pergerakan terjadi pada lereng atau lahan yang tersusun oleh lapisan tanah/batuan yang lunak, yang terbebani oleh massa tanah/batuan yang berada di atasnya. 6.
Aliran (flows) yaitu aliran massa yang bersifat plastik atau berupa aliran
fluida kental. Runtuhan (falls) adalah runtuhnya/jatuhnya sebagian massa batuan atau tanah penyusun lereng yang terjal, dengan sedikit atau tanpa disertai terjadinya pergeseran antara massa yang runtuh dengan massa yang tidak runtuh. Hal ini berarti runtuhnya massa batuan atau tanah umumnya dengan cara jatuh bebas, meloncat atau menggelinding tanpa melalui bidang gelincir. Proses terjadinya runtuhan pada lereng dapat berlangsung sangat cepat, yaitu lebih dari 3 m/menit (Varnes, 1996), Penyebab terjadinya runtuhan dapat berupa hilangnya penyangga lereng dari arah lateral, karena pemotongan lereng, penggalian, pelapukan, erosi oleh sungai atau abrasi gelombang laut. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kehadiran bidang-bidang diskontinuitas (bidang-bidang yang tidak menerus), seperti retakan-retakan atau
10
kekar-kekar pada batuan juga berperan penting dalam
mengakibatkan
runtuhan/jatuhan. Material yang runtuh biasanya bergerak tidak jauh dari kedudukan aslinya dan berakumulasi di dasar tempat jatuh. Adanya getaran pada lereng juga dapat memicu terjadinya runtuhan/jatuhan massa batuan (Gambar 2.1).
Gambar 2.1 Model gerakan tanah tipe jatuhan tanah.
Robohan (topples) adalah robohnya batuan yang umumnya bergerak melalui bidang-bidang diskontinuitas (bidang-bidang yang tidak menerus) yang sangat tegak pada lereng. Seperti halnya pada runtuhan, bidang-bidang diskontinuitas ini berupa bidang-bidang kekar atau retakan pada batuan. Robohan ini biasanya terjadi pada batuan dengan kelerengan sangat terjal sampai tegak dan dapat dipengaruhi oleh tekanan cairan (misalnya tekanan air) yang mengisi bidang-bidang retakan atau kekar. Pergerakan/robohnya batuan seperti pohon roboh lihat Gambar 2.2
11
Gambar 2.2 Runtuhan batuan.
Longsoran (slide) adalah gerakan menuruni lereng oleh suatu massa tanah dan atau batuan penyusun lereng, melalui bidang gelincir pada lereng, atau pada bidang regangan geser yang relatif tipis. Bidang gelincir tersebut merupakan bidang dimana tegangan geser berkembang paling intensif. Gerakan terjadi sebagai akibat dari terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng. Varnes (1978) menjelaskan bahwa pergerakan terjadi di sepanjang bidang gelincir secara tidak serempak. Seringkali dijumpai tanda-tanda awal gerakan berupa retakan berbentuk lengkung tapal kuda pada bagian permukaan lereng yang mulai bergerak. Munculnya retakan ini tidak langsung seketika diikuti oleh bergeraknya seluruh bagian bidang gelincir. Seringkali ada jeda waktu antara terjadinya retakan awal dengan terjadinya pergerakan seluruh bagian bidang gelincir. Jeda waktu ini dapat berkisar selama beberapa jam hingga beberapa tahun. Bahkan dapat pula terjadi pembentukan retakan pada lereng tidak diikuti dengan pergerakan keseluruhan bidang gelincir, tergantung
pada kondisi geologi dan
hidrologi pada lereng, serta tergantung pada aktivitas pemicu gerakan. a.
Longsoran Rotasi
12
b.
Longsoran Translasi
Gambar 2.3 Model gerakan tanah tipe longsoran (a. longsoran rotasi/nendatan, b.
longsoran translasi). Bidang gelincir atau bidang regangan geser ini dapat berupa bidang yang relatif lurus (translasi) ataupun bidang lengkung ke atas (rotasi), seperti yang terlihat pada Gambar 2.3. Kedalaman bidang gelincir pada longsoran jenis translasi umumnya lebih dangkal daripada kedalaman bidang gelincir longsoran rotasi.
13
Gambar 2.4 Model gerakan tanah tipe luncuran di bagian lereng atas yang
kemudian berkembang menjadi aliran material hasil luncuran (batu bercampur tanah).
Gambar 2.5 Bentuk-bentuk dari longsoran translasi dan longsoran rotasi.
Material yang bergerak secara translasi dapat berupa blok (rock block slide), rock slide, sedangkan pada bahan rombakan yang bergerak berupa banyak unit (debris slide).
14
Longsoran yang bergerak secara rotasi melalui bidang gelincir lengkung disebut sebagai nendatan (Gambar 2.5 a-b). Nendatan umumnya terjadi pada lereng yang tersusun oleh material yang relatif homogen. Pergerakan rotasi ini mengakibatkan terbentuknya gawir berbentuk tapal kuda di bagian lereng atas, serta dicirikan dengan terjadinya penurunan tanah (graben) dan permukaan tanah pada bagian atas lereng. Akibat penurunan tanah ini umumnya permukaan tanah yang mengalami penurunan menjadi miring ke arah belakang lereng. Pergerakan rotasi pada nendatan cenderung berakhir apabila massa yang bergerak telah mencapai kesetimbangan, yaitu apabila posisi massa sudah bergeser di atas bidang gelincir yang melengkung ke arah puncak lereng. Sebaliknya, longsoran translasi dengan bidang gelincir yang miring curam (Gambar 2.5 c-e), pergerakan massa tanah/batuannya lebih sulit untuk dihambat.
Gambar 2.6 Model gerakan tipe nendatan tanah (luncuran lengkung).
Pencaran lateral (lateral spread) adalah material tanah atau batuan yang bergerak dengan cara perpindahan translasi pada bidang dengan kemiringan landai sampai datar. Pergerakan terjadi pada lereng atau lahan yang tersusun oleh lapisan tanah/batuan yang lunak, yang terbebani oleh massa tanah/batuan yang berada di
15
atasnya (Gambar 2.6). Pembebanan inilah yang mengakibatkan lapisan tanah/batuan lunak tergencet (tertekan) dan mengembang ke arah lateral. Jadi pergerakan tersebut merupakan kombinasi akibat amblesnya sebagian massa batuan/tanah yang bergerak ke dalam tanah/batuan dasarnya yang sifatnya lebih lunak, serta mengembangnya massa tanah atau batuan akibat tertekan oleh beban massa batuan di atasnya. Massa batuan/tanah yang bergerak umumnya bukan sebagai massa yang menerus, tetapi berupa blok-blok atau pecahan-pecahan tanah/batuan. Pencaran ini berbeda menyolok dari longsoran karena bidang pergerakannya bukan merupakan bidang dimana tegangan geser berkembang paling intensif.
Gambar 2.7 Model rayapan dengan diikuti amblesan tanah.
Pencaran lateral dibagi menjadi dua jenis. Jenis pertama yaitu gerakan tersebar ke segala arah, umumnya terjadi pada batuan terutama bagian puncak bukit. Jenis kedua gerakan dengan bentuk blok atau pecahan massa koheren, baik berupa batuan maupun tanah yang bergerak secara bersama. Aliran (flows) yaitu aliran massa yang bersifat plastik atau berupa aliran fluida kental (Gambar 2.8 dan 2.9). Aliran ini dapat juga terjadi pada batuan
16
tetapi lebih sering terjadi pada bahan rombakan yang merupakan percampuran antara material tanah (berbutir halus) dan hancuran-hancuran batuan (berbutir kasar).
Gambar 2.8 Model gerakan kombinasi antara nendatan di lereng bagian atas
kemudian berkembang menjadi aliran tanah bercampur batu pada lereng bagian tengah.
Gambar 2.9 Gambaran dari debris flow (Varnes, 1978)
Material tanah yang berbutir halus ini umumnya berukuran butir pasir
17
(berdiameter butir sekitar 2 mm) hingga lempung (berdiameter butir sekitar 2 mμ atau lebih halus), sedangkan hancuran-hancuran batuan dapat berukuran kerikil (berdiameter butir lebih kasar dari 2 mm) hingga bongkah-bongkah (berdiameter sekitar 25 cm hingga beberapa meter. Aliran pada bahan rombakan (debris) dapat dibedakan lagi menjadi aliran bahan rombakan (debris flow), aliran tanah (earth flow) apabila massa yang bergerak didominasi oleh material tanah berukuran butir halus (terutama berukuran butir lempung) dan aliran lumpur (mud flow) apabila massa yang bergerak jenuh air. Jenis lain dari aliran ini adalah aliran kering yang biasa terjadi pada endapan pasir (dry flow). Menurut Direktorat Geologi Lingkungan (1996) jenis aliran yang paling sering terjadi adalah aliran bahan rombakan (debris flow), yang bergerak dalam massa yang kental dengan presentase berat material padat 70% - 80%. Di alam sering pula terjadi gerakan tanah yang dengan mekanisme gabungan dari dua atau lebih jenis gerakan tanah di atas. Gerakan tanah tersebut diklasifikasikan sebagai gerakan jenis komplek. Bencana alam longsoran tanah yang banyak terjadi di Indanesia, merupakan salah satu jenis gerakan tanah. Apabila massa yang bergerak ini didominasi oleh massa tanah dan gerakannya melalui suatu bidang pada lereng, baik berupa bidang miring ataupun lengkung, maka proses pergerakan tersebut disebut sebagai longsoran tanah.
2.3.3 Faktor-faktor Penyebab Gerakan Tanah
18
Faktor-faktor penyebab gerakan tanah merupakan fenomena yang mengkondisikan suatu lereng menjadi berpotensi untuk bergerak atau longsor, meskipun pada saat ini lereng tersebut masih stabil (belum longsor). Lereng yang berpotensi untuk bergerak ini baru akan bergerak apabila ada gangguan yang memicu terjadinya gerakan. Faktor-faktor penyebab ini umumnya merupakan fenomena alam (meskipun ada yang bersifat non alamiah), sedangkon gangguan pada lereng atau faktor penyebab dapat berupa proses alamiah atau pengaruh dari aktivitas manusia ataupun kombinasi antara keduanya. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan mengacu pula pada Varnes (1978) dan Direktorat Geologi Tata Lingkungan (1996) mengidentifikasi faktorfaktor pengontrol terjadinya gerakan tanah sebagai berikut: 1. Kondisi geomorfologi (kemiringan lereng) 2. Kondisi tanah/batuan penyusun lereng 3. Kondisi iklim 4. Kondisi hidrologi lereng 5. Erosi sungai 6. Getaran 7. Aktivitas manusia 2.3.3.1 Kondisi Geomorfologi (kemiringan lereng)
Sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan wilayah perbukitan dan pegunungan, sehingga banyak dijumpai lahan yang miring. Lereng atau lahan yang miring ini berpotensi atau berbakat untuk mengalami gerakan tanah.
19
Semakin besar kemiringan suatu lereng dapat mengakibatkan semakin besarnya gaya penggerak massa tanah/batuan penyusun lereng. Namun perlu diperhatikan bahwa tidak semua lahan yang miring selalu rentan untuk bergerak. Jenis, struktur, dan komposisi tanah/batuan penyusun lereng juga berperan penting dalam mengontrol terjadinya gerakan tanah. Sering kita jumpai di lapangan, lereng batuan yang kompak dan masif akan tetap berciri tegak dan stabil, meskipun lereng tersebut merupakan tebing yang curam. Hal ini disebabkan karena masif dan kompaknya batuan penyusun lereng (kohesi dan kuat gesernya cukup besar untuk mempertahankan kestabilan lereng) Gerakan tipe luncuran dan nendatan cenderung terjadi pada leren lebih curam dari 20°. Sebaliknya, gerakan tipe rayapan akan terjadi pada lereng dengan kemiringan landai (20°). 2.3.3.2 Kondisi Tanah/Batuan Penyusun Lereng
Kondisi tanah/batuan penyusun lereng sangat berperan dalam mengontrol terjadinya gerakan tanah. Meskipun suatu lereng cukup curam, namun gerakan tanah belum tentu terjadi apabila kondisi tanah/batuan penyusun lereng tersebut cukup kompak dan kuat. Perlapisan batuan yang miring ke arah luar lereng dapat menyebabkan terjadinya longsoran atau gerakan tanah, misalnya perlapisan pada batubara, napal dan batulempung. Batuan-batuan tersebut umumnya terpotong potong oleh kekar-kekar (retakan-retakan), sehingga sangat labil atau berpotensi untuk meluncur/bergerak disepanjang bidang perlapisan atau bidang kekar tersebut. Penggalian-penggalian pada lereng batuan sangat berpotensi untuk memicu terjadinya luncuran/gerakan batuan-batuan tersebut.
20
2.3.3.3 Kondisi Iklim
Kondisi iklim di Indanesia sangat berperan dalam mengontrol terjadinya longsoran. Temperatur dan curah hujan yang tinggi sangat mendukung terjadinya proses pelapukan batuan pada lereng (proses pembentukan tanah). Curah hujan yang tinggi atau curah hujan tidak terlalu tinggi tetapi berlangsung lama, sangat berperan dalam memicu terjadinya gerakan tanah. Air hujan yang meresap ke dalam lereng dapat meningkatkan penjenuhan tanah pada lereng sehingga tekanan air yang merenggangkan ikatan antar butir tanah meningkat, akhirnya massa tanah tersebut bergerak longsor. 2.3.3.4 Kondisi Hidrologi Lereng
Kondisi hidrologi dalam lereng berperan dalam hal meningkatkan tekanan hidrostatis air dalam tanah/batuan sehingga kuat geser tanah/batuan akan sangat berkurang dan gerakan tanah dapat terjadi. Lereng yang muka air tanahnya dangkal atau lereng dengan akuifer menggantung, sangat sensitif mengalami kenaikan tekanan hidrostatis apabila air permukaan meresap ke dalam lereng. Selain itu, jalur-jalur pipa alamiah/retakan batuan sering pula menjadi tempat masuknya air ke dalam lereng. Apabila semakin banyak air yang masuk melewati jalur tersebut, tekanan air juga akan semakin meningkat. Mengingat jalur - jalur tersebut merupakan bidang yang kuat gesernya lemah (umumnya kohesi dan sudut gesekan dalamnya rendah), maka kenaikan tekanan air ini akan sangat mudah menggerakkan lereng melalui jalur tersebut.
21
2.3.3.5 Erosi Sungai
Gerakan tanah akibat erosi sungai umumnya terjadi pada kelokan sungai. Hal ini terjadi karena pada bagian bawah lereng tererosi sehingga lereng menjadi tidak stabil. 2.3.3.6 Getaran
Getaran memicu longsoron dengan cara melemahkan atau memutuskan hubungan antar butir partikel-partikel penyusun tanah/batuan pada lereng. Jadi getaran berperan dalam menambah gaya penggerak dan sekaligus mengurangi gaya penahan. Contoh getaran yang memicu longsoran adalah getaran gempa bumi yang diikuti dengan peristiwa liquifaction. Liquifaction terjadi apabila pada lapisan pasir atau lempung jenuh air terjadi getaran yang periodik. Pengaruh getaran tersebut akan menyebabkan butiran-butiran pada lapisan akan saling menekan dan kandungan airnya akan mempunyai tekanan yang besar terhadap lapisan di atasnya. Akibat peristiwa tersebut lapisan di atasnya akan seperti mengambang, karena getaran tersebut dapat mengakibatkan perpindahan massa di atasnya dengan cepat. 2.3.3.7 Aktivitas Manusia
Selain disebabkan oleh faktor alam, pola penggunaan lahan juga berperan penting
dalam
memicu
terjadinya
longsoran.
Pembukaan
hutan
secara
sembarangan, penanaman jenis pohon yang terlalu berat dengan jarak tanam terlalu rapat, pemotongan tebing/lereng untuk jalan dan pemukiman merupakan pola penggunaan lahan yang dijumpai di daerah yang longsor.
22
Pembukaan
hutan
dan
pencurian
kayu
hutan
untuk
keperluan
manusia,seperti misalnya untuk mencukupi kebutuhan hidup, perladangan, persawahan dengan irigasi, kolam-kolam dan penanaman tumbuhan yang berakar serabut dapat berakibat menggemburkan tanah. Peningkatan kegemburan tanah ini akan menambah daya resap tanah terhadap air, akan tetapi air yang meresap ke dalam tanah tidak dapat banyak terserap oleh akar-akar tanaman serabut. Hal ini berakibat air hanya terakumulasi dalam tanah dan akhirnya menekan dan melemahkan ikatan-ikatan antar butir tanah.
23
BAB III METODOLOGI
Metode penelitian yang dilakukan untuk mencapai maksud dan tujuan dilakukan dalam berbagai tahap seperti berikut 3.1 Tahapan Studi Pustaka
Tahapan ini dilakukan sebelum melakukan pengambilan data guna melengkapi pengetahuan awal tentang kondisi penelitian berdasarkan literatur dari peneliti sebelumnya. Tahapan ini terdiri dari : 3.1.1 Geologi Regional
Geologi regional bersumber dari peneliti – peneliti terdahulu yang telah melakukan penelitian pada daerah penelitian. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui gambaran awal tentang asal – usul ataupun sejarah geologi dan juga aspek – aspek geologi lainnya dari daerah penelitian. Sumber data geologi regional ini didapat dalam bentuk berupa makalah, buku, jurnal, maupun bentuk laporan yang lainnya. 3.2 Tahapan Studi Lapangan
Tahapan ini dilakukan setelah melakukan studi awal. Tahapan ini meliputi kegiatan pengambilan data dan pengamatan daerah penelitian yang dilakukan secara langsung. Tahapan ini meliputi :
24
3.2.1
Pemetaan Geologi
Pemetaan geologi merupakan tahap pengamatan dan pengambilan data yang berhubungan dengan aspek geologi secara langsung di lapangan pada daerah penelitian. Pemetaan geologi lapangan meliputi aspek geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, dan juga aspek geologi lainnya. 3.2.2
Pengamatan Batuan dan Pengambilan Contoh Batuan
Pengamatan batuan dan Pengambilan contoh batuan merupakan tahap pengambilan data yang khusus langsung di lapangan. Contoh batuan yang diambil adalah surface dan subsurface contoh batuan yang ideal dan mewakili sebaran batuan di daerah penelitian. 3.3 Tahapan Analisisa Laboratorium
Pada tahapan ini dilakukannya analisa lebih lanjut pada data yang telah di ambil. Analisa yang digunakan berupa analisa : 3.3.1 Pengujian batas-batas Atterberg 3.3.2 Pengujian kadar air 3.3.3 Pengujian berate jenis 3.3.4 Pengujian berat jenis 3.3.5 Pengujian distribusi ukuran butir 3.3.6 pengujian geser langsung 3.4 Metode Penelitian
25
Untuk penentuan stabilitas lereng menggunakan metode yaitu metode Bishop. 3.4.2 Metode Bishop
a. Metode ini pada dasarnya sama dengan metode swedia, tetapi dengan memperhitungkan gaya-gaya antar irisan yang ada. Metode Bishop mengasumsikan bidang longsor berbentuk busur lingkaran b. Pertama yang harus diketahui adalah geometri dari lereng dan juga titik pusat busur lingkaran bidang luncur, serta letak rekahan c. Untuk menentukan titik pusat busur lingkaran bidang luncur dan letak rekahan pada longsoran busur dipergunakan grafik Metode Bishop yang disederhanakan merupakan metode sangat populer dalam analisis kestabilan lereng dikarenakan perhitungannya yang sederhana, cepat dan memberikan hasil perhitungan faktor keamanan yang cukup teliti. Kesalahan metode ini apabila dibandingkan dengan metode lainnya yang memenuhi semua kondisi kesetimbangan seperti Metode Spencer atau Metode Kesetimbangan Batas Umum, jarang lebih besar dari 5%. Metode ini sangat cocok digunakan untuk pencarian secara otomatis bidang runtuh kritis yang berbentuk busur lingkaran untuk mencari faktor keamanan minimum. Metode Bishop sendiri memperhitungkan komponen gaya-gaya (horizontal dan
26
vertikal) dengan memperhatikan keseimbangan momen dari masing-masing potongan Tabel 1. Persamaan yang diketahui pada Metode Bishop
Tabel 2. Persamaan yang tidak diketahui pada Metode Bishop (Anderson dan Richards, 1987)
Maka diperlukan asumsi sebanyak (2n -2 ) agar masalah bisa diselesaikan secara statis tertentu. Tabel 3. Asumsi Umum Persamaan pada Metode Bishop
27
Secara umum ada tiga macam asumsi yang dapat dibuat : Asumsi
mengenai
distribusi
tegangan
normal
sepanjang
permukaan gelincir Asumsi mengenai inklinasi dari gaya-gaya antar potongan Asumsi
mengenai
posisi
garis
resultante
gaya-gaya
antar
potongan. Pada sebagian besar metode analisis, gaya normal diasumsi bekerja dipusat alas dari tiap potongan, sebab potongan tipis. Ini diterapkan pada sejumlah asumsi. Metode Bishop ini menggunakan asumsi sebanyak (2n – 1 ). Prinsip dasarnya sebagai berikut : Kekuatan geser didefinisikan dengan menggunakan hubungan linier Mohr-Coulomb Menggunakan Keseimbangan normal Menggunakan keseimbangan tangensial Menggunakan keseimbangan momen
28
Cara
analisa
yang
dibuat
oleh
A.W.
Bishop
(1955)
menggunakan cara elemen dimana gaya yang bekerja pada tiap elemen Persyaratan keseimbangan diterapkan pada elemen yang membentuk lereng tersebut. Rumus metode bishop:
Gambar 3.1. Gaya-gaya yang bekerja pada suatu potongan Keterangan : W = Berat total pada irisan EL, ER = Gaya antar irisan yang bekerja secara horisontal pada penampang kiri dan kanan
29
XL, XR = Gaya antar irisan yang bekerja secara vertikal pada penampang kiri dan kanan P = Gaya normal total pada irisan T = Gaya geser pada dasar irisan b = Lebar dari irisan l = Panjang dari irisan = Sudut Kemiringan lereng Dengan memperhitungkan seluruh keseimbangan gaya maka rumus untuk faktor keamanan (Fk) metode Bishop diperoleh sebagai berikut (Anderson dan Richards, 1987) : fk=
[ +(−) tan∅′] sin
3.5 Faktor Keamanan (FK) Lereng Minimum
Kelongsoran suatu lereng penambangan umumnya terjadi melalui suatu bidang tertentu yang disebut dengan bidang gelincir (slip surface). Kestabilan lereng tergantung pada gaya penggerak dan gaya penahan yang bekerja pada bidang gelincir tersebut. Gaya penahan (resisting force) adalah gaya yang menahan agar tidak terjadi kelongsoran, sedangkan gaya penggerak (driving
force) adalah
gaya
yang
menyebabkan
terjadinya
kelongsoran. Perbandingan antara gaya-gaya penahan terhadap gaya-gaya yang menggerakkan tanah inilah yang disebut dengan faktor keamanan (FK) lereng penambangan. Dimana :
30
FK > 1,0 : Lereng dalam kondisi stabil. FK < 1,0 : Lereng tidak stabil. FK = 1,0 : Lereng dalam kondisi kritis. Mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi tingkat kestabilan lereng penambangan maka hasil analisa dengan FK = 1.00 belum dapat menjamin bahwa lereng tersebut dalam keadaan stabil. Hal ini disebabkan karena ada beberapa faktor yang perlu diperhitungkan dalam analisa faktor keamanan lereng penambangan, seperti kekurangan dalam pengujian conto di laboratorium serta conto batuan yang diambil belum mewakili keadaan sebenarnya di lapangan, tinggi muka air tanah pada lereng tersebut, getaran akibat kegiatan peledakan di lokasi penambangan, beban alat mekanis yang beroperasi. Dengan demikian, diperlukan suatu nilai faktor keamanan minimum dengan suatu nilai tertentu yang disarankan sebagai batas faktor keamanan terendah yang masih aman sehingga lereng dapat dinyatakan stabil atau tidak. Sehingga pada penelitian ini, faktor keamanan minimum yang digunakan adalah FK ≥ ( sama dengan atau lebih besar ) dari1.25, sesuai prosedur dari Joseph E. Bowles (2000), Dengan ketentuan : FK ≥ 1,25
: Lereng dalam kondisi Aman.
FK < 1,07
: Lereng dalam kondisi Tidak Aman.
FK > 1,07 ; <1,25 : Lereng dalam kondisi kritis.
31
3.6
Diagram Alir
Gambar 4 Diagram Alir
32
BAB IV HASIL YANG DIHARAPKAN
Penelitian ini difokuskan pada analisis bidang gelincir gerakan tanah berdasarkan metode Bishop. Sehingga nantinya dapat menentukan bidang gelincir pada daerah Bendungan Jatigede, kabupaten Sumedang provinsi Jawa Barat.
33
BAB V JADWAL KERJA
Tugas Akhir ini yang berjudul “Analisis bidang gelincir pada daerah Bendungan Jatigede” akan diselesaikan dalam 3 bulan, berikut rincian jadwal pelaksanaan pada Tabel 1.1 :
NO
TAHAPAN
SEPTEMBER 2016
1 1
Persiapan
2
Pengumpulan Data:
2
3
4
OKTOBER 2016
NOVEMBER 2016
1
1
2
Data Primer Data Sekunder 3
Analisis Bidang Gelincir
4
Penyusunan Laporan
Tabel 5.1 Jadwal Pelaksanaan
34
3
4
2
3
4