REFERAT ACUTE MYELOBLASTIC LEUKEMIA
Oleh: Azzren Virgita Pasya, S.Ked 1618012051
Pembimbing: dr. Rina Kriswiastiny, Sp.PD
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RSUD DR H ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2017
BAB I PENDAHULUAN
Leukemia adalah suatu keadaan di mana terjadi pertumbuhan yang bersifat irreversibel dari sel induk dari darah. Pertumbuhan dimulai dari sel itu berasal. Sel-sel tesebut, pada berbagai stadium akan membanjiri aliran darah. Pada kasus Leukemia, sel darah putih tidak merespon kepada tanda/signal yang diberikan. Akhirnya produksi yang berlebihan tidak terkontrol (abnormal) akan keluar dari sumsum tulang dan dapat ditemukan di dalam darah perifer atau darah tepi. Jumlah sel darah putih yang abnormal ini bila berlebihan dapat mengganggu fungsi normal sel lainnya, Seseorang dengan kondisi seperti ini akan menunjukkan beberapa gejala seperti; mudah terkena penyakit infeksi, anemia dan perdarahan. Leukemia adalah suatu keganasan yang berasal dari perubahan genetik pada satu atau banyak sel di sumsum tulang. Pertumbuhan dari sel yang normal akan tertekan pada waktu sel leukemia bertambah banyak sehingga akan menimbulkan gejala klinis. Keganasan hematologik ini adalah akibat dari proses neoplastik yang disertai gangguan diferensiasi pada berbagai tingkatan sel induk hematopoetik sehingga terjadi ekspansi progresif kelompok sel ganas tersebut dalam sumsum tulang, kemudian sel leukemia beredar secara sistemik. Acute myeloid leukemia (AML), yaitu leukemia yang terjadi pada seri myeloid, meliputi (neutrofil, eosinofil, monosit, basofil, megakariosit dan lain - lain). Di negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32% dari seluruh kasus leukemia. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa (85%) dari pada anak (15%).
2
BAB II PEMBAHASAN
1. Definisi AML Leukemia myeloid akut atau Acute Myeloblastic Leukemia (AML) sering juga dikenal dengan istilah Acute Myelogenous Leukemia atau Acute Granulocytic Leukemia merupakan penyakit keganasan yang ditandai dengan diferensiasi dan proliferasi abnormal sel induk hematopoetik yang bersifat sistemik dan secara malignan melakukan transformasi sehingga menyebabkan penekanan dan penggantian komponen sumsum tulang belakang yang normal. Pada kebanyakan kasus AML, tubuh memproduksi terlalu banyak sel darah putih yang disebut myeloblas yang masih bersifat imatur. Sel-sel darah yang imatur ini tidak sebaik sel darah putih yang telah matur dalam melawan adanya infeksi. Pada AML, mielosit (yang dalam keadaan normal berkembang menjadi granulosit) berubah menjadi ganas dan dengan segera akan menggantikan sel-sel normal di sumsum tulang. 2. Klasifikasi AML terbagi atas berbagai macam subtipe. Hal ini berdasarkan morfologi, diferensiasi dan maturasi sel leukemia yang dominan dalam sumsum tulang, serta penelitian sitokimia. Mengetahui subtipe AML sangat penting, karena dapat membantu dalam memberikan terapi yang terbaik. Klasifikasi AML yang sering digunakan adalah klasifikasi yang dibuat oleh French American British (FAB) yang mengklasifikasikan leukemia mieloid akut menjadi 7 subtipe yaitu sebagai berikut:
Subtipe Menurut FAB
Nama Lazim
3
(French American British)
( % Kasus)
MO
Leukimia Mieloblastik Akut dengan diferensiasi Minimal (3%)
M1
Leukimia Mieloblastik Akut tanpa maturasi (1520%)
M2
Leukimia Mieloblastik Akut dengan maturasi granulositik (25-30%)
M3
Leukimia Promielositik Akut
M4
Leukimia Mielomonositik Akut (20%)
M4Eo
(5-10%)
Leukimia Mielomonositik Akut dengan eosinofil abnormal (5-10%)
M5
Leukimia Monositik Akut (2-9%)
M6
Eritroleukimia (3-5%)
M7
Leukimia Megakariositik Akut
(3-12%)
Tabel 1. Klasifikasi AML menurut FAB
Gambar 1. Gambaran Hasil BMA pada AML
3. Epidemiologi Kejadian AML berbeda dari satu negara dengan negara lainnya, hal ini berkaitan dengan cara diagnosis dan pelaporannya. AML mengenai semua kelompok usia, tetapi kejadiannya meningkat dengan bertambahnya usia. AML merupakan 20% kasus leukemia
4
pada anak. Sekitar 10.000 anak menderita AML setiap tahunnya di seluruh dunia. AML pada anak berjumlah kira-kira 15% dari leukimia, dengan insidensi yang tetap dari lahir sampai umur 10 tahun, meningkat sedikit pada masa remaja. Di Amerika setiap tahunnya sekitar 2,4 per 100.000 penduduk atau sekitar 500 sampai 600 orang berusia kurang dari 21 tahun menderita leukemia mielositik akut dan insiden ini meningkat sejalan dengan umur, puncaknya 12,6 per 100.000 penduduk dewasa yang berumur 65 tahun atau lebih. Yayasan Onkologi Anak Indonesia menyatakan, setiap tahun ditemukan 650 kasus leukemia di seluruh Indonesia, 150 kasus di antaranya terdapat di Jakarta dan sekitar 38% menderita jenis AML. Sekitar 80% anak di bawah usia 2 tahun dengan AML biasanya menderita AML subtipe M4 atau M5. Subtipe M7 umumnya diderita anak berusia di bawah 3 tahun, terutama dengan Sindrom Down. Penelitian sitogenetik mengidentifikasi adanya keabnormalan kromosom pada sel darah di sumsum tulang terdapat lebih dari 70% anak yang baru didiagnosis LMA. Keabnormalan itu terletak pada t (8;21), t (15;17), inversi 16, translokasi pita 11q23, dan trisomi 8. 4. Etiologi Penyebab leukemia masih belum diketahui secara pasti hingga kini. 14-18 Menurut hasil penelitian, orang dengan faktor risiko tertentu lebih meningkatkan risiko timbulnya penyakit leukemia. Faktor risiko tersebut adalah:
Radiasi dosis tinggi: Radiasi dengan dosis sangat tinggi, seperti waktu bom atom di Jepang pada masa perang dunia ke-2 menyebabkan peningkatan insiden penyakit ini. Terapi medis yang menggunakan radiasi juga merupakan sumber radiasi dosis tinggi. Sedangkan radiasi untuk diagnostik (misalnya rontgen), dosisnya jauh lebih rendah dan tidak berhubungan dengan peningkatan kejadian leukemia.
Pajanan terhadap zat kimia tertentu: benzene, formaldehida, pestisida
5
Obat – obatan: golongan alkilasi (sitostatika), kloramfenikol, fenilbutazon, heksaklorosiklokeksan
Kemoterapi: Pasien kanker jenis lain yang mendapat kemoterapi tertentu dapat menderita leukemia di kemudian hari. Misalnya kemoterapi jenis alkylating agents. Namun pemberian kemoterapi jenis tersebut tetap boleh diberikan dengan pertimbangan rasio manfaat-risikonya.
Faktor keluarga / genetik: pada kembar identik bila salah satu menderita AML maka kembarannya berisiko menderita leukemia pula dalam 5 tahun, dan insiden leukemia pada saudara kandung meningkat 4 kali bila salah satu saudaranya menderita AML.
Sindrom Down: Sindrom Down dan berbagai kelainan genetik lainnya yang disebabkan oleh kelainan kromosom dapat meningkatkan risiko kanker.
Kondisi perinatal: penyakit ginjal pada ibu, penggunaan suplementasi oksigen, asfiksia post partum, berat badan lahir >4500 gram, dan hipertensi saat hamil dan ibu hamil yang mengkonsumsi alkohol.
Human T-Cell Leukemia Virus-1 (HTLV-1). Virus tersebut menyebabkan leukemia Tcell yang jarang ditemukan. Jenis virus lainnya yang dapat menimbulkan leukemia adalah retrovirus dan virus leukemia feline.
Sindroma mielodisplastik: sindroma mielodisplastik adalah suatu kelainan pembentukkan sel darah yang ditandai berkurangnya kepadatan sel (hiposelularitas) pada sumsum tulang. Penyakit ini sering didefinisikan sebagai pre-leukemia. Orang dengan kelainan ini berisiko tinggi untuk berkembang menjadi leukemia.
5. Patofisiologi AML merupakan penyakit dengan transformasi maligna dan perluasan klon-klon sel-sel hematopoetik yang terhambat pada tingkat diferensiasi dan tidak bisa
6
berkembang menjadi bentuk yang lebih matang. Sel darah berasal dari sel induk hematopoesis pluripoten yang kemudian berdiferensiasi menjadi induk limfoid dan induk mieloid (non limfoid) multipoten. Sel induk limfoid akan membentuk sel T dan sel B, sel induk mieloid akan berdiferensiasi menjadi sel eritrosit, granulosit-monosit dan megakariosit. Pada setiap stadium diferensiasi dapat terjadi perubahan menjadi suatu klon leukemik yang belum diketahui penyebabnya. Bila hal ini terjadi maturasi dapat terganggu, sehingga jumlah sel muda akan meningkat dan menekan pembentukan sel darah normal dalam sumsum tulang. Sel leukemik tersebut dapat masuk kedalam sirkulasi darah yang kemudian menginfiltrasi organ tubuh sehingga menyebabkan gangguan metabolisme sel dan fungsi organ. AML merupakan neoplasma uniklonal yang menyerang rangkaian mieloid dan berasal dari transformasi sel progenitor hematopoetik. Sifat alami neoplastik sel yang mengalami transformasi yang sebenarnya telah digambarkan melalui studi molekular tetapi defek kritis bersifat intrinsik dan dapat diturunkan melalui progeni sel. Defek kualitatif dan kuantitatif pada semua garis sel mieloid, yang berproliferasi pada gaya tak terkontrol dan menggantikan sel normal. Sel-sel leukemik tertimbun di dalam sumsum tulang, menghancurkan dan menggantikan sel-sel yang menghasilkan sel darah yang normal.
Sel kanker ini
kemudian dilepaskan ke dalam aliran darah dan berpindah ke organ lainnya, dimana mereka melanjutkan pertumbuhannya dan membelah diri. Mereka bisa membentuk tumor kecil (kloroma) di dalam atau tepat dibawah kulit dan bisa menyebabkan meningitis, anemia, gagal hati, gagal ginjal dan kerusakan organ lainnya. Kematian pada penderita leukemia akut pada umumnya diakibatkan penekanan sumsum tulang yang cepat dan hebat, akan tetapi dapat pula disebabkan oleh infiltrasi sel leukemik tersebut ke organ tubuh penderita. 6. Gejala Klinis
7
Gejala pertama biasanya terjadi karena sumsum tulang gagal menghasilkan sel darah yang normal dalam jumlah yang memadai. Gejala pasien leukemia bevariasi tergantung dari jumlah sel abnormal dan tempat berkumpulnya sel abnormal tersebut. Adapun gejala-gejala umum yang dapat ditemukan pada pasien AML antara lain: a. Kelemahan Badan dan Malaise Merupakan keluhan yang sangat sering diketemukan oleh pasien, rata-rata mengeluhkan keadaan ini sudah berlangsung dalam beberapa bulan.
Sekitar 90 %
mengeluhkan kelemahan badan dan malaise waktu pertama kali ke dokter. Rata-rata didapati keluhan ini timbul beberapa bulan sebelum simptom lain atau diagnosis AML dapat ditegakkan. Gejala ini disebabkan anemia, sehingga beratnya gejala kelemahan badan ini sebanding dengan anemia. b. Febris Febris merupakan keluhan pertama bagi 15-20 % penderita. Seterusnya febris juga didapatkan pada 75 % penderita yang pasti mengidap AML. Umumnya demam ini timbul karena infeksi bakteri akibat granulositopenia atau netropenia. Pada waktu febris juga didapatkan gejala keringat malam, pusing, mual dan tanda-tanda infeksi lain. c. Perdarahan Simptom lain yang sering disebabkan adalah fenomena perdarahan, dimana penderita mengeluh sering mudah gusi berdarah, lebam, petechiae, epitaksis, purpura dan lain-lain.
Beratnya
keluhan
perdarahan
berhubungan
erat
dengan
beratnya
trombositopenia. d. Penurunan berat badan
8
Penurunan berat badan didapatkan pada 50 % penderita tetapi penurunan berat badan ini tidak begitu hebat dan jarang merupakan keluhan utama. Penurunan berat badan juga sering bersama-sama gejala anoreksia akibat malaise atau kelemahan badan. e. Nyeri tulang Nyeri tulang dan sendi didapatkan pada 20 % penderita AML. Rasa nyeri ini disebabkan oleh infiltrasi sel-sel leukemik dalam jaringan tulang atau sendi yang mengakibatkan terjadi infark tulang. Sedangkan tanda-tanda yang didapatkan pada pemeriksaan fisik pasien AML: a. Kepucatan, takikardi, murmur Pada pemeriksaan fisik, simptom yang jelas dilihat pada penderita adalah pucat karena adanya anemia. Pada keadaan anemia yang berat, bisa didapatkan simptom kaardiorespirasi seperti sesak nafas, takikardia, palpitasi, murmur, sinkope dan angina. b. Pembesaran organ-organ Walaupun jarang didapatkan dibandingkan ALL, pembesaran massa abnomen atau limfonodi bisa terjadi akibat infiltrasi sel-sel leukemik pada penderita AML. Splenomegali lebih sering didapatkan daripada hepatomegali. Hepatomegali jarang memberikan gejala begitu juga splenomegali kecuali jika terjadi infark.
c. Kelainan kulit dan hipertrofi gusi Deposit sel leukemik pada kulit sering terjadi pada subtipe AML tertentu, misalnya leukemia monoblastik (FAB M5) dan leukemia mielomonosit (FAB M4).
9
Kelainan kulit yang didapatkan berbentuk lesi kulit, warna ros atau populer ungu, multiple dan general, dan biasanya dalam jumlah sedikit. Hipertrofi gusi akibat infiltrasi sel-sel leukemia dan bisa dilihat pada 15 % penderita varian M5b, 50 % M5a dan 50 % M4. Namun hanya didapatkan sekitar 5 % pada subtipe AML yang lain. 7. Diagnosis Diagnosis AML dapat ditegakkan melalui pemeriksaan darah rutin, sediaan darah tepi dan dibuktikan aspirasi sumsum tulang belakang, pemeriksaan immnunophenotype, karyotype, atau dengan Polymerase Chain Reaction (PCR). Aspirasi sumsum tulang belakang (Bone Marrow Aspiration) merupakan syarat mutlak untuk menegakkan diagnosa definitif dan menentukan jenis leukemia akut. Secara klasik diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik, morfologi sel dan pengecatan sitokimia. Seperti sudah disebutkan, sejak sekitar dua dekade
tahun
yang
lalu
berkembang
2
(dua)
teknik
pemeriksaan
terbaru:
immunophenotyping dan analisis sitogenik. Berdasarkan pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia, gabungan ahli hematologi Amerika, Perancis dan Inggris pada tahun 1976 menetapkan klasifikasi LMA yang terdiri dari 8 subtipe (M0 sampai dengan M7). Klasifikasi ini dikenal dengan nama klasifikasi FAB (French American British). Klasifikasi FAB hingga saat ini masih menjadi diagnosis dasar LMA. Pengecatan sitokimia yang penting untuk pasien LMA adalah Sudan Black B (SSB) dan mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia tersebut akan memberikan hasil positif pada pasien LMA tipe M1, M2, M3, M4, dan M6. Pertama, tes darah dilakukan untuk menghitung jumlah setiap jenis sel darah yang berbeda dan melihat apakah mereka berada dalam batas normal. Dalam AML, tingkat sel darah merah mungkin rendah, menyebabkan anemia, tingkat-tingkat platelet
10
mungkin rendah, menyebabkan perdarahan dan memar, dan tingkat sel darah putih mungkin rendah, menyebabkan infeksi. Biopsi sumsum tulang atau aspirasi (penyedotan) dari sumsum tulang mungkin dilakukan jika hasil tes darah abnormal. Selama biopsi sumsum tulang, jarum berongga dimasukkan ke tulang pinggul untuk mengeluarkan sejumlah kecil dari sumsum dan tulang untuk pengujian di bawah mikroskop. Pada aspirasi sumsum tulang, sampel kecil dari sumsum tulang ditarik melalui cairan injeksi. Pungsi lumbal, atau tekan tulang belakang, dapat dilakukan untuk melihat apakah penyakit ini telah menyebar ke dalam cairan cerebrospinal, yang mengelilingi sistem saraf pusat atau sistem saraf pusat (SSP) - otak dan sumsum tulang belakang. Tes diagnostik mungkin termasuk flow cytometry penting lainnya (dimana sel-sel melewati sinar laser untuk analisa), imunohistokimia (menggunakan antibodi untuk membedakan antara jenis sel kanker), Sitogenetika (untuk menentukan perubahan dalam kromosom dalam sel), dan studi genetika molekuler (tes DNA dan RNA dari sel-sel kanker). Penyakit Leukemia dapat dipastikan dengan beberapa pemeriksaan, diantaranya adalah ; Biopsy, Pemeriksaan darah {complete blood count (CBC)}, CT or CAT scan, magnetic resonance imaging (MRI), X-ray, Ultrasound, Spinal tap/lumbar puncture. Pemeriksaan immunophenotypic sangat penting untuk mendiagnosis acute megakaryoblastic leukemia (AMLK), leukemia myeloid dengan diferensiasi minimal dan leukemia myeloid/limpoid (mixed, biphenotype). Keabnormalan genetik pada pasien AML terlihat dalam tabel berikut:
11
Tabel 2. Keabnormalan Genetik pada Berbagai Subtipe AML
8. Terapi Penatalaksanaan pasien AML adalah berupa terapi suportif, simptomatis dan kausatif. Terapi suportif dilakukan untuk menjaga balance cairan melalui infus dan menaikkan kadar Hb pasien melalu tranfusi. Pada AML, terapi suportif tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Sedangkan terapi simptomatis diberikan untuk meringankan gejala klnis yang muncul seperti pemberian penurun panas. Yang paling penting adalah terapi kausatif, dimana tujuannya adalah menghancurkan sel-sel leukemik dalam tubuh pasien AML. Terapi kausatif yang dilakukan yaitu kemoterapi. Penatalaksanaan terapi AML pada anak telah digunakan sejak tahun 1970an. Angka Five years survival meningkat dari kurang dari 5% pada tahun 1970 menjadi
12
43% sekarang ini. Hal ini merupakan manfaat dari pengobatan intensif, gabungan dari transplantasi stem sel sebagai terapi primer dan adanya perawatan suportif. Anak yang menderita AML memerlukan terapi intensif dengan menekan produksi sumsum tulang dan perawatan di rumah sakit. Terapi yang pertama kali dilakukan adalah menangani keadaan seperti demam, infeksi, perdarahan, leukositosis dan sindrom tumor lisis. Kemajuan terapi juga ditentukan oleh penggunaan antibiotik spektrum luas segera dan transfusi trombosit sebagai profilaksis juga memegang peranan penting dalam upaya survival. Berdasarkan terapi yang sesuai protokol, penderita AML pada anak dapat mengalami angka remisi total sebesar 75-90%. Pada beberapa pasien yang tidak berhasil mengalami remisi, setengah populasinya akan mengalami leukemia resistan dan separuhnya lagi akan meninggal akibat komplikasi penyakit tersebut atau akibat efek samping pengobatan itu sendiri. Terapi AML merupakan kombinasi antara cytarabine dan daunorubicin. Biasanya regimen terapi untuk anak digunakan cytarabine dan anthracyclin yang dikombinasikan dengan agen lain seperti etoposide dan atau thioguanine. Anthracycline yang paling banyak digunakan untuk terapi AML pada anak adalah daunorubicin. 1 Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa Regimen Cytosine arabinase, Daunorubicin, & Etoposide (ADE) lebih memberikan hasil yang memuaskan daripada regimen Daunorubisin, Cytosine arabinase & Thioguanine (DAT).
13
Tabel 3. Dosis Kemoterapi 14
Tantangan paling besar dalam terapi AML pada anak adalah untuk memperpanjang durasi remisi inisial dengan kemoterapi atau transplantasi sumsum tulang. Pada prakteknya, kebanyakan pasien yang diterapi dengan kemoterapi intensif setelah remisi dicapai karena hanya sebagian subset yang cocok dengan donor keluarga. Setelah tercapai remisi, diberikan kemoterapi tambahan (kemoterapi konsolidasi) beberapa minggu atau beberapa bulan setelah kemoterapi induksi. Kemoterapi konsolidasi jangka pendek telah membuktikan bahwa terapi dosis tinggi dan ASCT (Autologous Stem Cell Transplantation) cukup efektif. Pencangkokan tulang bisa dilakukan pada penderita yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan dan pada penderita usia muda yang pada awalnya memberikan respon terhadap pengobatan. Pada AML terapi rumatan tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Pasien dengan keganasan memiki kondisi dan kelemahan, yang apabila diberikan kemoterapi dapat terjadi efek samping yang tidak diinginkan (untolerable side effect). Sebelum memberikan kemoterapi perlu pertimbangan sebagai berikut: 1. Menggunakan kriteria Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) yaitu status 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
penampilan ≤ 2 Jumlah lekosit ≥ 3000/ml Jumlah trombosit ≥120.0000/ul Cadangan sumsum tulang masih adekuat misal Hb > 10 Creatinin Clearence diatas 60 ml/menit (dalam 24 jam) Bilirubin < 2 mg/dl ,SGOT dan SGPT dalam batas normal Elektrolit dalam batas normal. Mengingat toksisitas obat-obat sitostatika sebaiknya tidak diberikan pada usia diatas 70 tahun.
Kemoterapi pada AML sering menimbulkan efek samping seperti rambut rontok, mulut kering, luka pada mulut (stomatitis), susah atau sakit menelan (esophagitis), mual, muntah, diare, konstipasi, kelelahan, pendarahan, lebih mudah terkena infeksi, infertilitas, hilangnya nafsu makan, dan kerusakan hati. Penderita menjadi lebih sakit karena
15
pengobatan menekan aktivitias sumsum tulang, sehingga jumlah sel darah putih semakin sedikit (terutama granulosit) dan hal ini menyebabkan penderita mudah mengalami infeksi. 9. Prognosis Lowenberg et al mengelompokkan prognosis pasien AML menjadi 3 kelompok berdasarkan temuan klinis dan laboratoris yaitu baik (favorable), menengah (intermediate) dan buruk (unfavorable). Kelompok dengan prognosis baik meliputi pasien usia < 60 tahun atau > 2 tahun, kelainan kromosomal minimal, infiltrasi sel blas multiorgan minimal, kadar leukosit < 20.000/mm 3, respon yang baik terhadap kemoterapi induksi, tidak resisten terhadap multidrug therapy, tidak ditemukan leukemia ekstramedullar dan leukemia sekunder. Angka harapan hidup 2 tahun kedepan (2 years survival rate) bagi kelompok ini adalah 50-85%. Sedangkan kelompok dengan prognosis buruk meliputi pasien usia > 60 tahun atau < 2 tahun, ditemukan dua atau lebih kelainan kromosomal, infiltrasi sel blas pada banyak organ, kadar leukosit > 20.000/mm 3, respon yang buruk terhadap kemoterapi induksi,
resisten
terhadap
multidrug
therapy,
serta
ditemukannya
leukemia
ekstramedullar dan leukemia sekunder. Angka harapan hidup 2 tahun kedepan (2 years survival rate) bagi kelompok ini adalah 10-20%. 6 Sedangkan kelompok dengan prognosis menengah adalah peralihan dari baik dan buruk dan mencakup faktor-faktor lain yang tidak termasuk dalam kelompok prognosis baik maupun buruk dengan angka harapan hidup 2 tahun kedepan (2 years survival rate) sekitar 40-50% .
16
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Bab II. Tinjauan Pustaka. [online] 2011 [cited 2011 Januari 14] : Available from: repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20969/4/Chapter%20II.pdf Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-Unhas. Standar Pelayanan Medik Kesehatan Anak. Makassar : SMF Anak RS.Dr.Wahidin Sudirohusodo. 2009. p.197. Bakta, I made. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC, 2006 Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Ed. 15. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1996. Bleyer A. David G. Tubergen. The Leukemias in Nelson Textbook of Pediatrics. Kliegman,ed. Philadelpia : Elseiver.2007. c495. Desen, Wan. Buku Ajar Onkologi Klinis Ed. 2. Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. 2008 Hoffbrand, A. V, J. E. Pettit, P.A.H Moss. Kapita Selekta Hematologi edisi 4.Jakarta: EGC, 2005 Permono B, Ugrasena IDG. Leukemia Akut dalam Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005 Permono Bambang, Mia R. Pengelolaan Medik Anak dengan Leukemia dan Kemungkinan Perawatan di RS Kabupaten. [online] 2011 [cited 2011 Januari 14] : Available from www.pediatrik.com/pkb/061022022524-03ie136.pdf. Permono, Bambang, Sutaryo, Ugrasena IDG, Endang W, Maria A. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. 2005. Jakarta: IDAI Reksodiputro,A.Haryanto. Total Protected Environment Untuk Mencegah Infeksi Nosokomial di Ruang Transplantasi Sumsum Tulang RSCM FKUI in Cermin Dunia Kedokteran no.83. Jakarta : PT.Midas Surya Grafindo. 1993.p18 Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ilmu Kesehatan Anak ed.1. Jakarta : Info Medika Jakarta. 1985. p469. Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Ed. IV. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, 2006. Supandiman, Iman. Prof. dr. DSPD. H. Hematologi Klinik Ed. 2. Penerbit Alumni : Bandung. 1997. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed. 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2003
17