BAB I PENDAHULUAN Epilepsi merupakan gangguan saraf kronik dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan berulang secara spontan yang disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi. Pada tahun 2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37 juta orang di antaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara berkembang. Laporan WHO (2001) memperkirakan bahwa ratarata terdapat 8,2 orang penyandang epilepsi aktif di antara 1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka insidensi
dan
prevalensi
diperkirakan
lebih
tinggi
di
negara
berkembang(Kusumastuti, 2014).. Menurut International League Against Epilepsi (ILAE), yang disebut epilepsi adalah kecenderungan untuk terjadinya kejang tipe apapun secara klinis. Tiap individu yang mengalami epilepsy mempunyai risiko yang bermakna untuk mengalami kekambuhan kejang. Waktu munculnya kejang terjadi secara mendadak, tidak disertai demam berulang dan tidak dapat diprediksi. Kejang yang menahun dan berulang dapat berakibat fatal, oleh karena itu sasaran terapi utamanya adalah pengendalian penuh atas kejang(Harsono, 2001). Terapi
utama
epilepsi
yaitu
dengan
pemberian
obat-obat
antiepilepsi (OAE) untuk mengontrol kejang. Terapi pilihan lainnya termasuk perubahan pola makan, menghindari faktor pencetus (contohnya alkohol atau kurang tidur), stimulasi nervus vagus dan pembedahan. Terapi dimulai saat pasien mengalami kejang berulang dengan interval kejang yang tidak menahun(Kusumastuti, 2014)..
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Epilepsi 2.1.1 Definisi Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan epileptic yang
terus menerus, dengan
konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis dan sosial (Fisher, 2014). Bangkitan epileptic sendiri adalah: terjadinya tanda / gejala yang bersifat sesaat akibat aktivitas neuronal yang abnormal dan berlebihan diotak (Kusumastuti, 2014). Namun, agaknya definisi tersebut terlalu sulit untuk di cerna. Maka, untuk lebih jelasnya, dapat diambil definisi dari Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Infonesia (PERDOSSI), yaitu: Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi / gejala berikut(Kusumastuti, 2014).: 1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau
2
bangkitan refleks dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam. 2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun ke depan sama dengan (minimal 60%) bila terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi / bangkitan refleks (misalkan bangkitan pertama yang
terjadi 1
bulan setelah kejadian stroke, bangkitan pertama pada anak yang disertai lesi struktural dan epileptiform dischargers) 3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi (Kurnia, 2014).
2.1.2 Epidemiologi Prevalensi Prevalensi di Negara sedang berkembang ditemukan lebih tinggi dari pada Negara maju. Dilaporkan prevalensi di negara maju berkisar 2
antara 4-7/1000 orang dan 5-74/1000 orang di negara sedang berkembang. Daerah pedalaman memiliki angka prevalensi lebih tinggi dibendingkan
daerah
perkotaanya
itu
15,4/1000(4,8-49,6)
dipedalaman dan 10,3 (2,8-37,7) diperkotaan(Kusumastuti, 2014).. Pada negara maju, prevalensi median epilepsy yang aktif (bangkitan
dalam 5
tahun
terakhir)
adalah
4,9/1000(2,3-10,3),
sedanglkan pada negara berkembang di pedalaman 12,7/1000(3,545,5) dan di perkotaan 5,9(3,4-10,2). Di negara Asia, prevalensi epillepsi aktif tertinggi dilaporkan di Vietnam 10,7/1000 orang dan terendah di Taiwan 2,8/1000 orang(Kusumastuti, 2014).. Prevalensi epilepsy pada usia lanjut (>65tahun) di negara maju diperkirakan sekitar > 0,9%, lebih dari dekade 1 dan 2 kehidupan. Pada usia > 75 tahun prevalensi meningkat 1,5%. Sebaliknya prevalensi epilepsy di negara berkembang lebih tinggi pada usia dekade 1-2 dibandingkan pada usia lanjut. Kemungkinan penyebabnya adalah insiden yang rendah dan usia harapan hidup rata-rata di negara maju lebih tinggi. Prevalensi epilepsy berdasarkan jenis kelamin di negaranegara
Asia,
dilaporkan
sedikit
lebih
tinggi
dari
pada
wanita(Kusumastuti, 2014).. Kelompok studi epilepsy perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Pokdi Epilepsi PERDOSSI) mengadakan penelitian pada 18 rumah sakit di 15 kota pada tahun 2013 selama 6 bulan. Didapatan 2288 pasien terdiri atas 487 kasus baru dan 1801 kasus lama. Rerata usia kasus baru adalah 25,06±16,9 tahun, sedangkan rerata usia pada kasus lama adalah 29,2±16,5 tahun. Sebanyak 77,9% pasien berobat pertama kali ke dokter spesialis saraf, 6,8% berobat ke dokter umum, sedangkan sisanya berobat ke dukun dan tidak berobat(Kusumastuti, 2014).. Insidensi Insidensi median epilepsy di dunia 50,4 per 100.000/tahun (33,675,6). Pada negara dengan pendapatan perkapita yang tinggi, insidensi
3
median 45,0(30,3-66,7) dan paada negara dengan pendapatan perkapita menengah dan rendah adalah 81,7 (28,0-239,5) (Kusumastuti, 2014).. Di Asia, contohnya adalah insidensi epilepsy di Cina adalah 35/100.000 orang pertahun, dan di India 49,3/100.000 orang pertahun Puncak insiden dinegara Cina (Shanghai) pada usia 10-30 tahun dan >60 tahun, sedangkan di India puncaknya pada usia 10-19 tahun. Insidens epilepsi dinegara maju mengikuti distribusi bimodal dengan puncak pertama pada usia balita dan puncak kedua pada usia 65tahun. Angka insiden dinegara maju dilaporkan >130/100.000 orang/ tahun pada usia >65 tahun,160/100.000 orang/tahun pada usia >80
tahun.
Insiden status epileptikus dilaporkan sebesar 60-80/100.000 orang / tahun setelah usia 60 tahun, dengan angka mortalitas 2 kali lebih besar dibandingkan dewasa
muda. Sekitar 35% kasus epilepsy yang baru
ditemukan pada usia lanjut (>75 tahun) adalah status epileptikus. Pada negara sedang berkembang insidens epilepsi lebih tinggi sekitar (100-190/100.000 orang/tahun) Distribusi bimodal tidak tampak pada negara berkembang. Beberapa negara berkembang melaporkan puncak insiden epilepsi tertinggi pada usia dewasa muda, tanpa peningkatan pada usia tua(Kusumastuti, 2014).. 2.1.3 Klasifikasi Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsi (ILAE) terdiri atas dua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom epilepsi(Kusumastuti, 2014).. Klasifikasi ILAE 1981 untuk jenis bangkitan epilepsi (n.n, 1981) 1. Bangkitan parsial / fokal 1.1 Bangkitan parsial sederhana 1.1.1. Dengan gejala motorik 1.1.2. Dengan gejala somatosensorik
4
1.1.3. Dengan gejala otonom 1.1.4. Dengan gejala psikis 1.2 Bangkitan parsial kompleks 1.2.1.
Bangkitan
parsial
sederhana
yang
diikuti
dengan
gangguan kesadaran 1.2.2. Bangkitan yang disertai gangguan kesadaran sejak awal bangkitan 1.3 Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder 1.3.1. Parsial sederhana yang menjadi umum 1.3.2. Parsial kompleks menjadi umum 1.3.3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi umum 2.Bangkitan umum 2.1 Lena(absence) 2.1.1 Tipikal lena 2.1.2 Atipikal lena 2.2 Mioklonik 2.3 Klonik 2.4 Tonik 2.5 Tonik-klonik 2.6 Atonik/astatik 3.Bangkitan tak tergolongkan Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi (n.n, 1981) 1.Fokal / partial 1.1 Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan) 1.1.1
Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah
sentrotemporal (childhood epilepsi with centro temporal spikes)
5
1.1.2
Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada
daerah oksipital. 1.1.3 Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsi) 1.2 Simtomatis 1.2.1 Epilepsi parsial kontinu yang kronis progresif pada anak-anak (Kojenikow’s Syndrome) 1.2.2 Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan
(kurang
tidur,
alkohol,
obat-obatan,
hiperventilasi, refleks epilepsi, stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca) 1.2.3 Epilepsi lobus temporal 1.2.4 Epilepsi lobusfrontal 1.2.5 Epilepsi lobus parietal 1.2.6 Epilepsi oksipital 1.3Kriptogenik 2.Epilepsi umum 2.1 Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan) 2.1.1 Kejang neonates familial benigna 2.1.2 Kejang neonates benigna 2.1.3 Kejang epilepsi mioklonik pada bayi 2.1.4 Epilepsi lena pada anak 2.1.5 Epilepsi lena pada remaja 2.1.6 Epilepsi mioklonik pada remaja 2.1.7
Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat
terjaga 2.1.8
Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah
satu diatas 2.1.9
Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi
yang spesifik 2.2
Kriptogenik atau simtomatis (berurutan sesuai dengan
peningkatan usia)
6
2.2.1
Sindrom West (spasme infantile dan spasme alam)
2.2.2
Sindrom Lennox-Gastaut
2.2.3 Epilepsi mioklonik astatik 2.2.4 Epilepsi mioklonik lena 2.3
Simtomatis 2.3.1 Etiologinonspesifik Ensefalopati mioklonik dini Ensefalopati pada infantile dini dengan dengan burst suppression Epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak termasuk di atas 2.3.2
Sindrom spesifik
2.3.3 Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain. 3.Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum 3.1 Bangkitan umum dan fokal 3.1.1 Bangkitan neonatal 3.1.2 Epilepsi mioklonik berat pada bayi 3.1.3 Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur dalam 3.1.4 Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner) 3.1.5 Epilepsi yang tidak termasuk klasifikasi di atas 3.2 Tanpa gambaran tegas fokal atau umum 4.Sindrom khusus 4.1 Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu 4.1.1 Kejang demam 4.1.2 Bangkitan kejang / status epileptikus yang timbul hanya sekali 4.1.3 Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolik
akut,
atau
toksis,
eklamsia, hiperglikemi non ketotik.
7
alkohol,
obat-obatan,
4.1.4 Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesfik (epilepsi refrektorik) Bangkitan parsial adalah apabila dari awal serangan hanya melibatkan area otak yang terbatas (localized), sedangkan yang disebut dengan serangan umum / general adalah apabila sejak awal serangan melibatkan kedua hemisfer otak. 1) Serangan parsial sederhana Pada serangan parsial sederhana tidak disertai gangguan atau penurunan kesadaran. Selama serangan berlangsung, penderita tetap sadar dan mampu menjawab pertanyaan. Pada serangan parsial dengan gejala motorik, pada umumnya area yang terlibat adalah korteks motorik, yang menyebabkan adanya gangguan aktivitas otot seperti tonik atau klonik. Pada serangan parsial dengan gejala sensorik sering muncul sebagai halusinasi atau ilusi yang melibatkan rasa sentuh, penghidungan, pengecapan, penglihatan dan pendengaran. Pada serangan autonomik, dapat menyebabkan perubahan pada kecepatan denyut jantung atau pernapasan, berkeringat, bulu roma berdiri, atau rasa aneh di dalam perut. Sedangkan, pada serangan psikis, menunjukkan adanya gangguan pada daerah sistim limbik dan area neokorteks pada lobus frontalis dan temporalis. Serangan ini berdampak pada cara berpikir, berperasaan dan menerima pengalaman. Manifestasi klinisnya antara lain rasa takut, cemas, depresi, deja vu, dan out of body experience. 2) Serangan parsial kompleks Pada serangan parsial kompleks terjadi penurunan kesadaran. Dalam hal ini, penderita mengalami gangguan dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Penderita dapat tampak sadar, namun apabila diperiksa lebih lanjut, maka penderita tidak sadar dengan lingkungannya, dan
8
kemudian tidak dapat mengingat kembali apa yang baru saja terjadi padanya. Ciri khas lainnya adalah adanya automatisme pada pasien. 3) Serangan parsial yang berkembang menjadi serangan umum Serangan umum sekunder terjadi melalui beberapa tahapan yang merupakan refleksi dari penyebaran cetusan ke berbagai area otak yang berbeda. Sebagai contoh, serangan parsial berlanjut menjadi serangan parsial kompleks dan kemudian berkembang menjadi serangan umum (tonik-klonik). 4) Serangan epilepsi umum Serangan epilepsi umum menunjkkan terlibatnya kedua belah hemisferium secara sinkron sejak awal. Mula serangan berupa kehilangan kesadaran, kemudian diikuti gejala lainnya yang bervariasi. Jenis-jenis serangan ini dibedakan oleh ada atau tidak adanya aktivitas motorik yang khas. Tonik-klonik umum : Pada serangan tonik-klonik, setelah biasanya didahului adanya aura, pasien langsung kehilangan kesadaran, yang segera diikuti oleh jatuhnya penderita ke tanah atau lantai. Pada tahap klonik, otot-otot menjadi kaku dan berkontraksi yang dapat menyebabkan epileptic cry. Rigiditas segera berhenti menjadi klonik secara sinkron yang melibatkan kepala, wajah lengan dan tungkai. Sedangkan serangan ini biasanya berlangsung 2-5 menit. Absence : Pada absence, biasanya terjadi pada usia 4-14 tahun dan seringkali menghilang pada usia 18 tahun. Serangan berupa mata terbelalak dalam waktu singkat, disertai gangguan kesadaran, mulai tanpa tanda peringatan dan berhenti secara mendadak dan kemudian penderita sadar kembali seperti sediakala dengan perhatian penuh. Pada jenis absence sederhana, penderita hanya tampak seperti melamun sejenak, sedangkan pada serangan absence kompleks, bisa disertainya adanya automatisme.
9
Atonik : Serangan atonik memiliki gambaran klinis berupa hilangnya tonus otot secara total dan mendadak, disertai hiangnya kontrol postur tubuh. Dengan demikian, terjadi ptosis, kepala menunduk, dan penderita jatuh ke lantai atau biasa disebut drop attack. Mioklonik : Gejala berupa kedutan otot atau sekelompok otot yang bersifat mendadak, dan singkat. Tonik : Gejala khas adalah adanya pengkakuan bilateral secara mendadak pada tubuh, lengan atau tungkai. Serangan berlangsung kurang dari 20 detik, dan muncul lebih sering pada penderita tidur. 2.1.4 Sindrom Epilepsi Pada umumnya sindrom epilepsi bersifat khas, unik dan terutama dijumpai pada golongan anak-anak (Rahardjo,2011). Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang terjadi bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus, dan kronisitas (Raharjo,2007). Sindrom epilepsi merupakan kelainan dimana epilepsi merupakan gejala yang paling dominan, dan terdapat bukti yang cukup secara klinis, EEG, radiologi, atau obsevasi genetik untuk menentukan mekanisme yang mendasarinya. Ada tiga sindroma epilepsi yang penting seperti dibawah ini: Juvenile Myoclonic epilepsy (JME) JME merupakan jenis kejang
umum yang
tidak diketahui
penyebabnya yang terjadi pada usia awal remaja, dan biasanya ditandai dengan bilateral myoclonic jerks yang bisa terjadi hanya satu kali atau berulang. Kejang mioklonik sering terjadi pada pagi hari setelah bangun tidur dan bisa dipicu karena kurang tidur. Tidak ada gangguan kesadaran kecuali pada mioklonik yang berat. Banyak pasien juga mengalami kejang umum tonik-klonik dan lebih dari 1/3 mengalami kejang absence. Meskipun kondisi ini sepertinya ringan, pemulihan yang utuh jarang terjadi tetapi kejang ini berespon baik terhadap OAE. Ada riwayat kejang pada keluarga, dan studi genetik menunjukkan bahwa ada penyebab poligenik. 10
Lennox-gastaut syndrome (LGS) Terjadi pada anak-anak dengan TRIAS : tipe kejang multiple (biasanya tonik-klonik, atonik, dan kejang atipikan absence), EEG menunjukan
<3Hz
spike-and-wave
dan
variasnya,
gangguan
perkembangan fungsi kognitif sering terjadi tapi tidak selalu. LGS dihubungkan dengan penyakit SSP atau disfungsi dari berbagai macam penyebab termasuk gangguan perkembangan, perinatal hypoxia/iskemia, trauma, infeksi, dan lesi bawaan yang lain. Mesial temporal lobe epilepsy syndrome (MTLE) MTLE merupakan sindroma yang paling umum yang dihubungkan dengan kejang parsial kompleks, dan ini merupakan contoh gejala klinis kejang parsial yang khas, electroencephalographic, dan karakteristik patologi. MRI resolusi tinggi dapat mendeteksi sklerosis hipocampus yang tampak dan menjadi penting sebagai patofisiologi MTLE pada beberapa pasien. mengenali sindrom ini sangat penting karena sindrom ini cenderung sulit diatasi dengan OAE tetapi berespon baik dengan intervensi pembedahan. 2.1.5 Patofisiologi Kejang Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi (Kliegman, 2007). Sel saraf, seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial membran, dalam keadaan istirahat potensial membran berkisar antara 30100 mV, selisih potensial membran ini akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan
rangsangan.
Potensial
membran
ini
terjadi
akibat
perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama ion Na +, K+ dan Ca2+. Bila sel saraf mengalami stimulasi, misalnya stimulasi listrik akan mengakibatkan menurunnya potensial membran. Penurunan potensial membran ini akan menyebabkan permeabilitas membran terhadap ion Na + akan meningkat, sehingga Na+ akan lebih banyak masuk ke dalam sel. Apabila hanya 11
sedikit Na+ yang masuk ke dalam sel maka perubahan potensial membran masih dapat dikompensasi oleh transport aktif ion Na + dan ion K+ sehingga selisih potensial membran kembali ke keadaan istirahat. Perubahan potensial yang demikian sifatnya tidak menjalar, yang disebut respon lokal. Bila rangsangan cukup kuat, perubahan potensial dapat mencapai ambang tetap (firing level), maka permiabilitas membran terhadap Na + akan meningkat secara besar-besaran pula, sehingga timbul spike potensial atau potensial aksi. Potensial aksi ini akan dihantarkan ke sel sarat berkutnya melalui sinap dengan perantara neurotransmitter. Bila perangsangan telah selesai, maka permeabilitas membran kembali ke keadaan instirahat, dengan cara Na + akan kembali ke luar sel dan K + masuk ke dalam sel melalui mekanisme pompa Na-K yang membutuhkan ATP(Kliegman, 2007). Secara umum, terdapat beberapa
teori
mengenai
mekanisme
terjadinya kejang (Kliegman, 2007), teori-teori tersebut antara lain sebagai berikut: a) Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa NaK,
misalnya
pada
hipoksemia,
iskemia,
dan
hipoglikemia.
Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia. b) Perubahan permeabilitas
membran
sel
saraf,
misalnya
hipokalsemia dan hipomagnesemia. c) Perubahan relatif pada neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan neurotransmiter yang bersifat inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA dan glutamat akan menimbulkan kejang.
Sumber lain menyatakan bahwa patofisiologi kejang secara pasti belum diketahui, namun diperkirakan bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh (Budiarto, 1997). Beberapa faktor fisiologis berperan dalam timbulnya kejang. Untuk memulai kejang, harus terdapat kelompok neuron yang dapat menimbulkan suatu discharge dan kerusakan pada γ-aminobutyric acid (GABA)-ergic inhibitory system. 12
Transmisi discharge sangat bergantung pada eksitasi sinaps glutamatergik. Neurotransmitter asam amino eksitator (glutamat dan aspartat) berperan dalam timbulnya eksitasi neuronal melalui aksi terhadap reseptor spesifik (Johnston, 2007). Kejang dapat disebabkan oleh kerusakan neuron pada otak, dan daerah
yang
mengalami
kerusakan
ini
dapat
menyebabkan
hipereksitabilitas sinaps yang dapat menyebabkan kejang. Lesi pada lobus temporalis menyebabkan kejang, dan bila jaringan abnormal ini diambil melalui pembedahan, kejang mungkin berhenti. Ada dua hipotesis yang menyatakan bahwa kejang diakibatkan oleh trauma otak. Yang pertama adalah kerusakan sebagian neuron inhibitor dan hipereksitabilitas neuron eksitator. Hipotesis lain menyatakan bahwa jalur eksitator abnormal yang terbentuk akibat reorganisasi setelah trauma (Johnston, 2007). Kejang tertentu pada anak bersifat spesifik terhadap usia, hal ini disebabkan karena otak yang belum berkembang sempurna lebih rentan terhadap kejang dibandingkan dengan otak pada anak yang lebih tua atau dewasa. Selain itu, otak imatur lebih eksitabel dibandingkan otak matur, dilihat dari peran glutamat yang dominan. Sedangkan GABA, yang merupakan neurotransmiter inhibitor utama, sering secara berlawanan menyebabkan eksitasi pada otak imatur. Lebih lagi, substansia nigra memiliki peran terhadap timbulnya kejang umum. Aktifitas kejang elektrografik
menyebar
dalam
substansia
nigra,
menyebabkan
peningkatan uptake 2-deoksiglukosa pada hewan dewasa, tetapi tidak ada atau sedikit aktivitas metabolik dalam substansia nigra ketika hewan imatur mengalami kejang. Selain itu, substansia nigra yang imatur mungkin berperan dalam peningkatan kerentanan terhadap kejang. lebih lagi, substansia nigra pars retikulata yang sensitif GABA berperan dalam pencegahan demam. Nampaknya jalur aliran keluar substansia nigra memodulasi dan mengatur penyebaran kejang tetapi tidak menyebabkan timbulnya bangkitan kejang (Johnston, 2007).
13
Pada dasarnya mekanisme kejang dapat dirangkum sebagai berikut (Lang, 2008): a) Depolarisasi paroksismal pada neuron tunggal menyebabkan kanal ion Ca2+ aktif sehingga ion Ca2+ masuk. Masuknya ion Ca2+ membuka
kanal
kation
yakni
Na+
sehingga
menyebabkan
depolarasasi yg berlebihan. Depolarisasi akan terhenti oleh adanya pembukaan kanal K+ dan Cl- yg diaktivasi oleh Ca2+, dimana ion Clakan masuk sedangkan ion K+ akan dikeluarkan. b) Kanal ion Ca2+ dapat dihambat oleh oleh ion Mg 2+, sedangkan pada hipomagnesemia
akan terjadi peningkatan aktivitas kanal Ca 2+
sehingga menyebabkan terjadinya hiperpolarisasi. Peningkatan konsentrasi K+ ekstrasel mengurangi efluk K+ melalui kanal K+. Hal ini berarti K+ memiliki efek depolarisasi, dan karena itu pada waktu yang bersamaan meningkatkan pengaktifan kanal Ca 2+. c) Dendrit sel piramidal juga didepolarisasi oleh glutamat dari sinaps eksitatorik. Glutamat bekerja pada kanal kation yg tidak permeable terhadap Ca2+ (kanal AMPA) dan pada kanal yang permeable terhadap Ca2+ (kanal NMDA). Akan tetapi, depolarisasi yang dipicu oleh pengaktifan kanal AMPA akan menghilangkan penghambatan Mg2+ pada kanal NMDA. Jadi defisiensi Mg 2+ dan depolarisasi akan memudahkan pengaktifan kanal NMDA. d) Potensial membrane neuron normalnya dipertahankan oleh kanal K+. Syarat : gradient K+ yg melewati membrane sel harus adekuat. Gradien ini dihasilkan oleh Na+/K+- ATPase. Kekurangan energy (baik
karena
penurunan
oksigen
atau
hipoglikemia)
akan
menghambat Na+/K+-ATPase sehingga memudahkan depolarisasi sel. e) Depolarisasi umumnya dikurangi oleh beurin inhibitorik yang mengaktifkan kanal K+ dan/atau Cl- diantaranya melalui GABA. GABA dihasilkan oleh glutamat dekarboksilase yakni enzim yang memnbutuhkan piridoksin (vitamin B6) sebagai ko-faktor. Defesiensi vitamin B6 atau berkurangnya afinitas enzim terhadap vitamin B 6 (kelainan genetik) memudahlan terjadinya epilepsi. Hiperpolarisasi
14
neuron talamus dapat meningkatkan kesiapan kanal Ca 2+ tipe-T untuk diaktifkan dengan memudahkan serangan absans.
Gambar 1. Patofisiologi Kejang Diambil dari Lang, F. Neuromuscular and Sensosr System : Epilepsy. Dalam : Color Atlas of Pathophysiology. New York : Thieme. 200 : 339
2.1.6 Epileptogenesis Epileptogenesis merupakan perubahan jaringan saraf normal menjadi suatu hubungan yang bersifat hipereksitasi. Perubahan tersebut biasanya muncul beberapa bulan setelah terjadinya kerusakan pada
15
sistem saraf pusat seperti trauma, stroke, infeksi atau bangkitan kejang yang pertama. Kerusakan tersebut menyebabkan penurunan terhadap ambang kejang sehingga menginisiasi terjadinya bangkita kejang (Lowenstein,2006). Kejang epilepsi dipicu oleh perangsangan sebagian besar
neuron
secara
berlebihan,
spontan
dan
sikron
sehingga
menyebabkan aktivasi fungsi motorik (kejang), sensorik (kesan sensorik), otonom (misal salivasi) serta fungsi kompleks (kognitif, emosional) secara lokal maupun umum (Lang, 2008). Pada penelitian patologi anatomi dari region hipokampus pasien dengan epilepsi lobus temporal menunjukkan bahwa patogenesa epilepsinya berkaitan dengan perubahan struktur pada jaringan saraf. Pada epilepsi lobus temporal menunjukkan adanya penurunan jumlah neuron yang bertanggung jawab untuk menginhibisi suatu rangsangan pada daerah gyrus dentatus. Sebagai respon terhadap penurunan jumlah neuron ini maka akan terjadi kompensasi yakni berupa penyusunan kembali dari sel-sel saraf yang masih hidup dan menyebabkan terjadinya suatu respon eksitasi yang berlebihan (Lowenstein, 2006). Kejang epilepsi dapat terjadi secara lokal, misalnya di gyrus presentralis kiri dengan neuron di daerah tersebut yang mengatur kaki kanan (kejang parsial). Kejang dapat menyebar dari temoat tersebut ke seluruh gyrus presentralis (epilepsi jacksonian). Jika kejang menyebar ke sisi tubuh lainnya, maka pasien akan kehilangan kesadaran (kejang parsial dengan generelisasi sekunder). Kejang umum primer selalu disertai hilangnya kesadaran (Lang, 2008). Fenomena
pemicu
terjadinya
epilepsi
adalah
depolarisasi
paroksismal pada neurin tunggal. Hal ini disebabkan oleh pengaktifan kanal ion Ca2+. Ca2+ yang masuk mula mula akan membuka kanal kation yang tidak spesifik sehingga menyebabkan depolarisasi berlebihan yang kaan terhenti oleh pembukaan kanal ion K + dan Cl- yang diaktivasi oleh Ca2+ .Kejang epilepsi terjadi jika jumlah neuron yang terangsang terdaoat dalam jumlah yang cukup. Penyebab atau faktor yang merangsang terjadinya epilepsi adalah kelainan genetik, malformasi otak, kelainan
16
jaringan otak (jaringan parut di sel glia), tumor, perdarahan, atau abses. Kejang juga dapat dipicu atau dipermudah oleh keracunan (misal alkohol), hipoglikemia, hipomagnesemia, hipokalsemia, kurang tidur, iskemia atau hipoksia,
dan
perangsangan
berulang
(misal
:
kilatan
cahaya).
Hiperventilasi dapat menyebabkan hipoksia serebri melalui vasokonstriksi serebri dan hipokapnia, dan karena itu memudahkan terjadinya kejang. Kejang epileptik memiliki insiden yang lebih tinggi pada wanita hamil (lang, 2008) Penelitian terbaru tentang epilepsi mengungkapkan bahwa faktor generic berpengaruh terhadap kejadian epilepsy. Pada pasien epilepsi didapakan adanya suatu mutasi yang mempengaruhi fungsi dari kanal ion, sehingga didapatkan adanya suatu aritmia cardiac, episodic ataxia, periodic weakness,dan familial hemiplegic migraine (Lowenstein, 2006). 2.1.7 Gejala / Gambaran Klinis I. Epilepsi Umum (Generalized) Pada kelompok epilepsi ini, perubahan EEG menunjukkan bahwa dari awalnya cetusan epileptik melibatkan kedua hemisphere dengan serentak. A. Epilepsi Grandmal (Tonic-clonic seizure) Bentuk yang paling sering dijumpai. Dapat didahului gejala prodromal
seperti
jeritan,sentakan,mioklonik, tegang, perubahan emosi, cepat
tersinggung,dll. Pasien kehilangan kesadaran, kaku (fase tonik) selama 10-30 detik, diikuti gerakan kejang kelonjotan pada kedua lengan dan tungkai (fase klonik) selama 30-60 detik, dapat disertai mulut
berbusa Selesai serangan pasien menjadi lemas (fase flaksid) dan
tampak bingung. Pasien sering tidur setelah bangkitan. Fase tonik semua lengan dan tungkai ekstensi, penderita tampak mengejan
sehingga
wajahnya
merah. Kemudian
penderita menahan napas ±30 detik, pada akhir fase ini terjadi sianosis, tekanan darah meningkat, pupil melebar, refleks 17
cahaya negatif, refleks patologi positif, kadang-kadang terjadi
inkontinensia karena kontraksi involunter Fase klonik terjadi kejang ritmik, penderita bernapas kembali, kadang lidah tergigit, ludah bercampur darah (buih kemerahan). Pada fase ini wajah menjadi normal kembali,
tekanan darah menurun, tanda gejala vital normal. Fase post iktal setelah kejang penderita tertidur. Waktu terbangun mula-mula terjadi disorientasi, tetapi beberapa menit setelah ini penderita menjadi normal kembali dan dapat berjalan seperti biasa.
B. Epilepsi Petit mal (Absence seizure) Tidak terjadi kejang. Terjadi gangguan kesadaran dalam waktu
singkat (6-10 detik). Penderita berhenti dari aktivitas yang sedang dilakukan,
seakan-akan melamun, kemudian melakukan aktivitas kembali Serangan kadang-kadang dapat 10-20 kali dalam sehari.
Karena singkat biasanya tidak diketahui orang sekitarnya. EEG menunjukkan gambaran yang sangat jelas yaitu 3 Hz spike
slow wave. Banyak terjadi pada anak-anak usia sekolah.
C. Epilepsi mioklonik Banyak terjadi pada anak-anak Terjadi gangguan kesadaran
sebentar,
disertai
gerakan
involunteer yang aneh dari sekelompok otot, terutama pada tubuh bagian atas (bahu dan lengan) yang disebut myoclonic jerking.
D. Epilepsi Atonik Secara mendadak penderita kehilangan tonus otot. Dapat mengenai beberapa bagian tubuh ataupun otot seluruh badan, misalnya tiba-tiba kepalanya terkulai karena kehilangan tonus otot leher atau secara tiba-tiba penderita terjatuh karena hilangnya tonus otot tubuh. Serangan ini berlangsung singkat disebut drop attack.
18
II.
Epilepsi Parsial (Fokal) Epilepsi parsial adalah serangan epilepsi yang bangkit akibat lepas
muatan listrik disuatu daerah dikorteks serebri (terdapat suatu fokus dikorteks serebri) A. Epilepsi parsial sederhana (simple) Manifestasinya bervariasi tergantung dari susunan saraf pusat yang terkena. Biasanya dengan gejala motorik, sensorik, autonom, maupun psikis. Tidak terjadi gangguan kesadaran. Epilepsi parsial sederhana dengan gejala motorik Fokus epilepsi biasanya terdapat di gyrus presentralis lobus frontalis (pusat motorik). Kejang dimulai di daerah yang mempunyai representasi yang luas di daerah ini. Dimulai di ibu jari, meluas keseluruh tangan, lengan, muka, dan tungkai. Kadang-kadang berhenti di satu sisi. Tetapi bila rangsangan sangat kuat dapat meluas ke lengan/tungkai yang lain sehingga menjadi kejang umum. Disebut sebagai jackson motoric epilepsy. Epilepsi parsial sederhana dengan gejala sensorik Fokus epilepsi terdapat di gyrus postsentralis
lobus
parietalis. Penderita merasa kesemutan didaerah ibu jari, lengan, muka, dan tungkai, tanpa kejang motorok yang dapat meluas ke sisi yang lain. Disebut sebagai jackson sensoric epilepsy. B. Epilepsi parsial kompleks Bangkitan fokal disertai gangguan kesadaran. Sering diikuti automatisme stereotipik seperti mengunyah, menelan, tertawa, dan kegiatan motorik lainnya tanpa tujuan yang jelas. Tanda tanda yang menonjol adalah gejala psikis dan automatisme. Disebut juga epilepsi psikomotor.
Sering didapatkan penderita dengan
gangguan pikiran yaitu de javu dan jamaisvu. Bila epilepsi ini sudah lama timbul , maka dapat timbul afasia sensorik dan hemianopsia, oleh karena kelainan di lobus temporalis. Pada rekaman EEG terdapat spikes dan kadang-kadang slow-wave daerah temporal. III.
Epilepsi umum sekunder
19
Berkembang dari bangkitan parsial sederhana atau kompleks
yang dalam waktu singkat menjadi bangkitan umum. Bangkitan parsial dapat berupa aura Bangkitan umum yang terjadi biasanya bersifat tonik-klonik
2.1.8 Diagnosa Ada 3 langkah untuk mendiagnosa epilepsi, yaitu : 1. Pastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal menunjukkan bangkitan epilepsi atau bukan epilepsi 2. Bila bangkitan tersebut merupakan suatu bangkitan epilepsi, kemudian tentukan bangkitan yang ada termasuk jenis bangkitan apa (klasifikasi epilepsi) 3. Pastikan sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh bangkitan tersebut atau epilepsi jenis apa yang diderita oleh pasien serta tentukan etiologisnya. Diagnosa epilepsi ditegakkan bila terdapat gejala dan tanda klinis berupa bangkitan epilepsi berulang minimal 2 kali yang ditunjang dengan gambaran epileptiform pada EEG (Machfoed & Hamdan & Machin, 2012).
a) Anamnesis Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis yang dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun, apabila pemeriksa secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka diagnosis epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan. Hal demikian ini bermanfaat bagi pemeriksa yang tidak didukung fasilitas yang lengkap (Harsono, 2001). Penderita dan/atau orangtuanya perlu dimintai keterangan tentang adanya riwayat epilepsi pada keluarga. Seorang ayah yang menderita epilepsi hanya sedikit meningkatkan kemungkinan epilepsi pada anaknya. Bila ibu menderita epilepsi maka kemungkinan mewariskan epilepsi pada anaknya lebih besar, namun kemungkinan tersebut di bawah 5%. Bila kedua
orangtuanya
menderita
epilepsi
20
maka
kemungkinan
untuk
mewariskan kepada anaknya hanya meningkat sedikit. Epilepsi umum lebih banyak diwariskan daripada epilepsi parsial (Harsono, 2001). Kecermatan anamnesis Karena pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita maka anamnesis harus dilakukan secara rinci,cermat dan menyeluruh. Laporan penderita dan saksi mata sangat bermanfaat untuk mengarahkan diagnosis. Penjelasan mengenai segala sesuatu yang terjadi, sebelum, selama dan sesudah serangan meliputi gejala dan lamanya serangan merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Sementara itu, anamnesis juga harus mengarah kepada faktor pencetus serangan (Harsono, 2001). Mode of onset Merupakan gambaran klinis yang harus dirinci secara jelas. Serangan merupakan kejadian yang mulai dan berakhir secara cepat. Suatu episoda yang mulai secara lambat (beberapa menit) dengan gejala berikutnya yang terjadi secara bertahap pada umumnya bukan gambaran serangan. Namun, pada kasus tertentu baik epilepsi parsial atau umum dapat didahului tanda atau gejala awal yang berlangsung beberapa menit, jam atau bahkan beberapa hari sebelum serangan terjadi. Gejala-gejala yang tidak spesifik, sebagai pendahulu serangan meliputi, nyeri kepala, iritabilitas, labilitas emosional, letargi dan perasaan letih. Serangan parsial kompleks dan serangan umum tonik-klonik sekunder seringkali didahului oleh aura selama beberapa detik-menit. Bagaimanapun juga, aura bermula secara mendadak dan jangan sampai dirancukan dengan gejala yang berkembang secara bertahap pada penyakit lain seperti migrain atau serangan panik (Harsono, 2001). Aura Pemeriksa harus mengajukan pertanyaan secara sistematik, baik kepada penderita maupun saksi mata tentang aura, yang mungkin bersifat samar
atau
tidak
menentu
gambarannya.
Beberapa
penderita
mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah atau tidak seperti biasanya; sementara itu penderita lain menceritakan tentang keluhan spesifik tetapi 21
tidak dapat merinci secara tepat. Bentuk aura yang dapat digambarkan lebih jelas antara lain : sensasi aneh dalam perut, dada, atau kepala, perasaan kesemutan atau seperti ditusuk jarum, halusinasi atau ilusi, vertigo atau perasaan seperti dirinya mengambang di udara, distorsi waktu, kesulitan untuk menemukan kata-kata, de ja vu, serta perasaan takut atau cemas yang luar biasa. Sensasi abdominal dan kepala terasa ringan dapat mendahului terjaddinya sinkop (Harsono, 2001). Kejadian selama dan sesudah serangan Kejadian selama serangan harus dirinci atau dideskripsikan secara tepat ; bila perlu saksi mata menirukan gerakan atau kejadian yang dilihatnya. Pemeriksa harus menelusuri secara cermat selagi penderita menunjukkan sikap responsif : apakah tubuh terasa kaku atau menyentaknyentak, apakah ada gerakan otomatis pada mulut, kepala, lengan, atau tungkai; apakah mulut penderita berkomat-kamit; apakah ada perubahan warna kulit dan apakah ada inkontinensia urin atau lidah tergigit. Lamnya serangan, sebisa mungkin diperhitungkan (Harsono, 2001). Kondisi menentukan
penderita perjalanan
sesudah serangan.
serangan Sesudah
bermanfaat
serangan
untuk
tonik-klonik,
penderita tampak koma sejenak kemudian siuman secara bertahap dan tampak bingung, mengantuk atau bahkan mengamuk. Pada serangan parsial kompleks, penderita tampak sedikit bingung dan lelah, tetapi gejala pascaserangan dapat minimal atau bahkan tidak ada sama sekali. Pada absence dan mioklonus tidak diikuti oleh gejala pasca serangan (Harsono, 2001). Lain-lain Anamnesis harus memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, stroke, tumor otak, malformasi vaskular, gangguan metabolik, metastase, AIDS dan obat-obat tertentu (Harsono, 2001).
22
Sehingga dapat disimpulkan pada anamnesa harus digali untuk mendapatkan informasi mengenai : (Machfoed & Hamdan & Machin, 2012). 1. Pola atau bentuk bangkitan 2. Lama bangkitan 3. Gejala sebelum, selama maupun pasca bangkitan 4. Frekuensi bangkitan 5. Ada atau tidaknya penyakit lain yang diderita saat ini 6. Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama 7. Riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan atau kelahiran dan perkembangaan saat bayi/anak 8. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya 9. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga b) Pemeriksaan fisik umum dan neurologi Pemeriksaan fisik harus menyingkirkan sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada penderita yang lebih tua, auskultasi di daerah leher penting untuk mendeteksi penyakit vaskular. Pada anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan pertumbuhan, adenoma sebasea, dan organomegali (storage disease). Perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral (Harsono, 2001). Penilaian neurologi meliputi status mental, gait, koordiansi, saraf kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta reflesks tendon. Penderita yang menunjukkan tanda-tanda kelainan neurologis yang tidak jelas perlu diperiksa lebih teliti. Harus diingat bahwa kelainan neurologis yang samar atau ringan dapat menunjukkan lesi otak, sehingga harus dilakukan secara hati-hati (Harsono, 2001). Pemeriksaan secara hati-hati dari status mental (termasuk memori, fungsi bahasa, dan berpikir abstrak) dapat menunjukkan lesi di lobus anterior frontal, parietal atau lobus temporal. Uji lapang pandang dapat membantu menyaring lesi di jalur optik dan lobus oksipital. Uji penyaringan dari fungsi motorik seperti pronator drift, deep tendon reflexes, gait dan koordinasi dapat menunjukkan lesi di korteks motorik
23
(frontal), dan uji sensori kortikal (contoh: double simultaneous stimulation) dapat mendeteksi lesi di korteks parietal (Hauser, 2006). Perhatikan adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinusitis, gangguan kongenital, gangguan neurologi fokal atau difus, kecanduan alkohol maupun obat terlarang dan kanker (Machfoed & Hamdan & Machin, 2012). . Pemeriksaan penunjang a) Elektro-ensefalografi (EEG) Elektroda yang ditempelkan ke kulit kepala dapat mendeteksi aktivitas listrik spontan di otak. EEG mengkonduksikan aktivitas di otak sebagai gelombang; frekuensi gelombang diukur per detik (Hz). EEG dapat mendeteksi berbagai jenis abnormalitas baik yang bersifat fokal maupun difus. Ada dua jenis kelainan utama, ialah aktivitas yang lambat dan epileptiform (Harsono, 2001). Pada epilepsi pola EEG dapat membantu untuk menentukan jenis dan lokasi serangan. Gelombang epileptiform berasal dari cetusan paroksismal yang bersumber pada sekelompok neuron yang mengalami depolarisasi secara sinkron. Gambaran epileptiform antar cetusan yang terekam pada EEG muncul dan berhenti secara mendadak, seringkali dengan morfologi khas. Perlu diketahui bahwa pola epileptiform ini dapat muncul pada orang yang tidak menderita epilepsi sekitar 1-2%. Sebaliknya, rekaman EEG pada penderita epilepsi dalam keadaan sadar dan
istirahat
dapat
menunjukkan
gambaran
yang
normal.
Perlu
diperhatikan bahwa hasil pemeriksaan EEG saja tidak dapat digunakan untuk menetapkan atau meniadakan diagnosa epilepsi (Harsono, 2001). EEG sebaiknya dilakukan pada saat bangun tidur, dengan stimulasi fotik, hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan (pada epilepsi refleks). Kelainan epileptiform EEG interiktal (di luar bangkitan) pada orang dewasa dapat ditemukan sebesar 29-38%. Pada pemeriksaan ulang gambaran epileptiform dapat meningkat menjadi 59-77% (Machfoed & Hamdan & Machin, 2012).
24
Bila EEG pertama menunjukkan hasil normal sedangkan dugaan epilepsi sangat tinggi, maka dapat dilakukan EEG ulangan dalam 24-48 jam setelah bangkitan atau dilakukan dengan persyaratan khusus seperti dengan mengurangi tidur (sleep deprivation) atau dengan menghentikan obat anti epilepsi (OAE) (Machfoed & Hamdan & Machin, 2012). Indikasi EEG : (Machfoed & Hamdan & Machin, 2012). 1. Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan 2. 3. 4. 5. 6.
struktural Adanya perubahan bentuk bangkitan Terdapat defisit neurologi fokal Epilepsi dengan bangkitan parsial Bangkitan pertama di atas usia 25 tahun Untuk persiapan tindakan pembedahan EEG juga digunakan untuk mengklasifikasikan gangguan kejang
dan membantu menseleksi pengobatan OAE. Seperti contohnya episodic generalized spike-wave activity seringkali terlihat pada pasien dengan epilepsi tipe absans dan dapat terlihat dengan sindroma epilepsi menyeluruh
lainnya.
Focal
interictal
epileptiform
discharge
akan
mendukung diagnosis dari gangguan kejang parsial seperti kejang epilepsi lobus temporalis atau frontalis (Hauser, 2006) Rekaman EEG rutin pada kulit kepala dapat juga digunakan untuk menilai prognosis gangguan kejang; pada umumnya suatu EEG normal menyatakan prognosis yang lebih baik, mengingat suatu latar belakang abnormal atau aktivitas epileptiform yang profus menunjukkan hasil yang buruk (Hauser, 2006). b) Rekaman video-EEG Rekaman EEG dari video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis
dan
lokasi
sumber
serangan.
Rekaman
video-EEG
memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk
25
kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi (Harsono, 2001). c) Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging studies bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT-Scan maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci (Harsono, 2001). MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri. Selain itu, MRI dapat mengidentifikasi kelainan pertumbuhan otak, tumor yang berukuran kecil, malformasi vaskular tertentu, dan penyakit demielinisasi (Harsono, 2001). Secara teori, semua kasus epilepsi parsial (kecuali anak dengan epilepsi rolandik benigna) harus diperiksa dengan MRI. Indikasi yang lain adalah adanya kelainan neurologis fokal, gelombang lambat fokal pada EEG, epilepsi refrakter (untuk mencari sklerosis temporal mesial dan glioma derajat rendah), dan penderita yang serangannya makin sering serta makin berat (Harsono, 2001). Sementara itu PET mengukur metabolisme otak regional dengan menggunakan molekul radioaktif. PET (positron emission tomography) antarcetusan bermanfaat untuk evaluasi pra-operasi terutama pada penderita dengan epilepsi lobus temporalis (fokusnya menunjukkan gambaran hipometabolisme atau disebut juga a cold spot), single photon emission computed tomography (SPECT) mengukur aliran darah otak regional dengan menggunakan molekul radioaktif. SPECT digunakan selama dan sesudah serangan, bermanfaat untuk evaluasi pra-operasi penderita dengan fokus baik di temporal maupun di luar daerah temporal (Harsono, 2001). a) Pemeriksaan Laboratorium Uji darah rutin diindikasikan untuk mengidentifikasi penyebab metabolik yang lebih sering menjadi penyebab kejang seperti abnormalitas elektrolit, glukosa, kalsium atau magnesium dan penyakit hepar maupun ginjal. Pemeriksaan toxin pada darah dan urin juga harus diperoleh dari semua pasien yang termasuk dalam kelompok
26
resiko tinggi, terutama ketika faktor pemicunya tidak jelas. Pungsi lumbar diindikasikan bila ada kecurigaan meningitis atau encephalitis dan pada semua pasien yang terinfeksi dengan HIV, walaupun tidak ada gejala atau tanda yang menunjukkan infeksi (HARRISON). 2.1.9 Diagnosa Banding Ada beberapa gerakan atau kondisi yang menyerupai kejang epileptic, seperti pingsan (Syncope), reaksi konversi, panic dan gerakan movement disorder. Hal ini sering membingungkan klinisi dalam menentukan diagnosis dan pengobatannya. Pada neonates dan bayi : Jittering Apnele spell Pada dewasa : Sinkope dapat sebagai vasovagal attack, sinkope kardiogenic, sinkope hipovolemic, sinkope hipotensi dan sinkope saat miksi
( micturition syncope) Serangan iskemik sepintas ( transient ischemic syncope) Vertigo Transient global amnesia Narkolepsi Bangkitan panic Sindrom menier Tics
Pada anak Breath holding spells Sinkope Migren Bangkitan psikogenic Prolonged QT syndrome Night terror Tics Hypercianotic attack (pada tetralogi fallot)
27
2.1.10 Penatalaksanaan Epilepsi Setelah diperhatikan adalah
membuat
diagnosis
yang
tepat,
hal
yang
perlu
sebelum menentukan terapi obat anti epilepsi (OAE)
berapa
besar
kemungkinan terjadinya bangkitan berulang,
berapa besar kemungkinan terjadinya konsekuensi psikososial, masalah pekerjaan, atau keadaan fisik akibat bangkitan selanjutnya dan pertimbangkan untung rugi antara pengobatan dan efek samping yang ditimbulkan. Ketepatan
diagnosis
merupakan
dasar
terapi,
diagnosis yang kurang tepat dapat menyebabkan terapi yang tidak tepat juga(Kusumastuti, 2014). Penatalaksanaan seluruh penderita epilepsy didasarkan atas hal-hal sebagai berikut:
Diagnosis yang tepat disertai deskripsi jenis serangan Identifikasi dan koreksi penyebab yang mendasarinya Pemilihan OAE yang paling efektif untuk jenis serangan
yang ada OAE diberikan dengan dosis awal yang rendah dan bila perlu dinaikkan sampai efektif atau sampai muncul efek
samping, Monoterapi sebagai prioritas utama.
Sementara itu identifikasi pencetus terjadinya serangan sangat penting artinya dalam penatalaksaaan epilepsy. Tujuan identifikasi pencetus tadi adalah untuk menghindari terjadinya serangan berikutnya. Hal-hal tersebut berlaku bagi penderita pria maupun wanita. Sementara itu, oleh karena ada perbedaan fisiologis pada wanita maka dalam hal-hal tertentu diperlukan adanya perhatian khusus dan/atau modifikasi(Harsono, 2011) Tujuan terapi Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan penyandang epilepsi dapat hidup normal dan tercapai kualitas hidup optimal untuk penyandangmental yang
dimilikinya. Harapannya
bangkitan, tanpa efek samping”.
adalah
“bebas
Untuk tercapainya tujuan tersebut
diperlukan beberapa upaya, antara samping/dengan efek samping
28
yang minimal, menurunkan angka kesakitan dan kematian(Kusumastuti, 2014). Penatalaksanaan tahap akut Walaupun serangan konvulsif tampak menakutkan orang lain dan menyakitkan penderita, si penderita itu sendiri tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Siapa pun yang menyaksikan serangan tonik-klonik harus tetap tenang, menolong penderita agar tetap berbaring di tempat yang aman. Penderita perlu dimiringkan agar tidak terjadi aspirasi saliva atau muntahan. Sementara itu penolong tidak perlu melakukan tindakan melawan gerakan/kejang karena dapat mencederai penderita maupun si penolong itu sendiri. Pakaian yang ketat segera dilonggarkan, kalung dan kacamata dilepas. Jangan memasukkan benda apapun( termasuk jari) ke dalam mulut penderita; benda yang di masukkan ke mulut dapat mencederai mulut dan gigi penderita atau jari penolong dapat tergigit(Harsono, 2011). Setelah kejang reda maka penderita dapat bingung dan/atau agresif. Dalam keadaan demikian ini jangan memberi makan/minum kepada penderita sampai dengan dia sadar betul. Sebelum dibiarkan sendirian, maka perlu dipastikan bahwa penderita sudah sadar penuh atau belum dengan mengajukan pertanyaan yang jawabannya bukan sekedar ya atau tidak(Harsono, 2011). Apabila seseorang mengalami serangan parsial kompleks, dengan demikian masih ada “sisa kesadaran”, maka pertolongannya lebih sederhana. Penderita dibawa ke tempat yang aman; dapat dilakukan sedikit pemaksaan bila misalnya penderita berjalan ke arah arus lalu lintas. Otomatisme selama serangan biasanya tampak memalukan tetapi tidak berbahaya. Bila mungkin maka penderita dibawa ke tempat yang tenang dan aman(Harsono, 2011).
29
Macam-macam terapi epilepsi Terapi pada epilepsi dapat berupa terapi farmakologi dan nonfarmakologi(Kusumastuti, 2014). A. Terapi Farmakologi Prinsip terapi farmakologi OAE diberikan bila(Kusumastuti, 2014): o Diagnosis epilepsi sudah dipastikan o Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun o Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan. o Penyandang dan/ atau keluarga telah
diberitahu
tentang kemungkinan efek samping yang timbul dari OAE. o Bangkitan terjadi berulang walaupun factor pencetus sudah dihindari (misalnya:alcohol, kurang tidur, stress, dll) Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis bangkitan(tabel 2.1) dan jenis sindrom epilepsi (Tabel 2.2) (Kusumastuti, 2014). Pemberian obat dimulai dimulai dari
dosis
rendah
dan
dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping (Tabel 2.3) (Kusumastuti, 2014). Kadar obat dalam plasma ditentukan bila(Kusumastuti, 2014): o Bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif o Diduga ada perubahan farmakokinetik OAE (disebabkan
oleh
kehamilan, penyakit hati, penyakit
ginjal, gangguan absorpsi OAE) o Diduga penyandang tidak patuh pada pengobatan o Setelah penggantian dosis/regimen OAE o Untuk melihat interaksi antara OAE atau obat lain. Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak dapat mengontrol bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua. Caranya bila OAE telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama
diturunkan
bertahap
(tapering
off).
Bila
terjadi
bangkitan saat penurunan OAE pertama maka kedua OAE tetap diberikan. Bila responsyang didapat buruk, kedua OAE
30
hares diganti dengan OAE yang lain. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan bila terdapat respons dengan OAE kedua, tetapi respons tetap
suboptimal walaupun pergunaan
kedua OAE
pertama sudah maksimal(Kusumastuti, 2014). OAE kedua harus memiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan OAE pertama(Kusumastuti, 2014). Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila(Kusumastuti, 2014): o Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG o Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan bangkitan; misalnya meningioma, neoplasma otak, AVM, abses otak ensafalitis herpes. o Pada pemeriksaan
neurologis
dijumpai
kelainan
yang mengarah pada adanya kerusakan otak o Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang tua) o Riwayat bangkitan simtomatis o Terdapat sindrom epilepsi
yang
berisiko
kekambuhan tinggi seperti JME (Juvenile Myoclonic Epilepsi) o Riwayat trauma
kepala
terutama
yang
disertai
penurunan kesadaran stroke, infeksi SSP o Bangkitan pertama berupa status epileptikus Efek samping OAE perlu diperhatikan (Tabel 2.4), demikian pula halnya dengan profil farmakologis tiap OAE (Table 2.5) dan interaksi farmnakokinetik antar-OAE(Kusumastuti, 2014). Strategi untuk mencegah efek samping(Kusumastuti, 2014): o Pilih OAE yang paling cocok untuk karakteristik penyandang o Gunakan titrasi
dengan
dosis
terkecil
dan
rumatan
terkecil mengacu pada sindrom epilepsi dan karakteristik penyandang. Jenis obat antiepilepsi dan mekanisme kerjanya
31
Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, dosis OAE, efek samping OAE, profil farmakologi, interaksi antara OAE(Kusumastuti, 2014). a) Pemilihan
obat
anti-epilepsi
berdasarkan
dari
jenis
bangkitan Table 2.1a Pemilihan obat anti-epilepsi berdasarkan dari jenis bangkitan((Lowenstein,2006). N
Pemilihan obat antiepilepsi berdasarkan dari jenis bangkitan Kejang
o
umum Parsial*
Absence
tonik klonik
Atipikal absence, myoclonic
First
Valproic acid
Carbamazepin
Valproic acid
dan atoniv Valproic
line
Lamotrigine
e
Ethosuximid
acid
Phenytoin
e
Lamotrigine Secon
Phenytoin
Valproic acid Topiramate
d line
Carbamazepin
Levetiracetam
e
Tiagabine
Clonazepa
Topiramate
Zonisamide
m
Zonisamide
Gabapentine
Felbamate
Felbamate
Primidone
Primidone
Phenobarbital
Lamotrigine
Lamotrigine
Clonazepam
Topiramate
Phenobarbital Note: Termasuk : Bangkitan parsial, Bangkitan parsial kompleks, bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder Table 2.1b Pemilihan obat anti-epilepsi berdasarkan dari jenis bangkitan.( Machfoed, 2012) No
Jenis Bangkitan
OAE lini pertama
OAE lini kedua
OAE
lain
yang
dapat pertimbangkan
32
di
1
Bangkitan Lena
Sodium valproate
Ethosuximide
Lamotrigine 2
Bangkitan
Zonisamide
Sodium Valproate
myoklonik
3
Bangkitan
Tonik Sodium Valporate
klonik
4 5
Carbamazepin
Bangkitan Atonik Bangkitan
Levetiracetam
Topiramate
Lamotrigine
Levetiracetam
Clobazam
Zonisamide
Clonazepam
Lamotrigine
Phenobarbital Topiramate
Oxcarbazepine
Levetiracetam
Phenytoin
Zonisamide
phenobarbital Sodium Valproate
Lamotrigine
Primidon Felbamate
Topiramate Sodium valproate
Tiagabine
fokal Carbamazepine
dengan/tanpa
Phenytoin
Levetiracetam
Vigabatrin
umum sekunder
Phenobarbital
Zonisamide
Felbamate
Oxcarbazepine
Pregabalin
Primidone
Lamotrigine
Topiramate
Topiramate 6
Lamotrigine Sodium Valporate
Tidak terklasifikasikan
Levetiracetam Zonisamide
b) Pemilihan obat anti-epilepsi berdasarkan dari sindroma epilepsi Tabel 2.2 Pemilihan obat anti-epilepsi berdasarkan dari sindroma epilepsi(Kusumastuti, 2014). Sindrom
Lini
OAE
Lini ketiga
Epilepsi
pertama
Tamba
memperburu
han
k bangkitan
33
Dapat
Childhood
Etosuksimi Etosuks
Clobazam,
Carbamazepin
absence
d,
imid,
klonazepam,
,
epilepsy
Lamotrigin
Lamotri
Levetirasetam,
Okskarbazepi
topiramat
n,
zonisamid
pregabalin,
(CAE)
atau ,
sindroma
Sodium gin,
valproat,
Sodium
gabapentin, phenytoin,
absence
valproat
lainnya Juvenile
, Etosuksimi Etosuks
Clobazam,
vigabatrin Carbamazepin
absence
d,
imid,
klonazepam,
,
epilepsy
Lamotrigin
Lamotri
Levetirasetam,
Okskarbazepi
topiramat
n,
zonisamid
pregabalin,
(JAE)
atau ,
sindrom
Sodium gin,
valproat,
Sodium
tiagabin,
gabapentin, phenytoin,
absence
valproat
tiagabin,
lainnya Juvenyl
Lamotrigin
, Lamotri
Clobazam,
vigabatrin Carbamazepin
mioclonic
,
gin,
klonazepam,
,
epilepsy
Levetirase
Levetira
zonisamid
Okskarbazepi
(JME)
tam,
setam,
n,
Sodium
Sodium
pregabalin,
valproat,
valproat
tiagabin,
topiramat
,
vigabatrin
gabapentin, phenytoin,
topiram Epilepsi
Carbamaz
at Clobaz
dengan
epin,
am,
bangkitan
Lamotrigin
Levetira
umum tonik ,
setam,
klonik saja
Okskarba
Sodium
mazepin,
valproat
Sodium
,
valproat
topiram
Lamotrigin
at Lamotri
Epilepsi
34
Clobazam,
Carbamazepin
umum
,
Sodium gin,
klonazepam,
,
idiopatik
valproat,
Levetira
zonisamid
Okskarbazepi
topiramat
setam,
n,
Sodium
pregabalin,
valproat
tiagabin,
,
vigabatrin
topiram at Spasme
Rujuk
ke
infantil yang ahli tidak
neuropedi
disebabkan
atri
sklerosis
Vigabatrin,
tuberous
atau steroid (prednisol on
atau
tetrakosasi Spasme
d) Rujuk
ke
infantil yang ahli disebabkan
neuropedi
sklerosis
atri
tuberous
Vigabatrin, atau steroid (prednisol on
atau
tetrakosasi Epilepsi
d) Carbamaz
Carbam
Esilkarbazepin
benigna
epin,
azepin,
asetat,
dengan
Lamotrigin
Clobaz
lakosamid,
35
gabapentin, phenytoin,
gelombang
,
am,
fenobarbital,
paku
Levetirase
gabape
phenytoin,
didaerah
tam,
ntin,
pregabalin,
sentrotemp
Okskarba
Lamotri
tiagabin,
oral (benign mazepin,
gin,
vigabatrin,
epilepsy
Sodium
Levetira
zonisamid
with
valproat
setam,
sentrotemp
Okskar
oral spikes)
bamaze pin, Sodium valproat , topiram
Sindrom
Carbamaz
at Carbam
panayiotop
epin,
azepin,
asetat,
oulos
Lamotrigin
Clobaz
lakosamid,
,
am,
fenobarbital,
Levetirase
gabape
phenytoin,
tam,
ntin,
pregabalin,
Okskarba
Lamotri
tiagabin,
mazepin,
gin,
vigabatrin,
Sodium
Levetira
zonisamid
valproat
setam, Okskar bamaze pin, Sodium valproat , topiram at 36
Esilkarbazepin
Late
onset Carbamaz
Carbam
Esilkarbazepin
childhood
epin,
azepin,
asetat,
occipital
Lamotrigin
Clobaz
lakosamid,
epilepsy
,
am,
fenobarbital,
(tipe
Levetirase
gabape
phenytoin,
gastaut)
tam,
ntin,
pregabalin,
Okskarba
Lamotri
tiagabin,
mazepin,
gin,
vigabatrin,
Sodium
Levetira
zonisamid
valproat
setam, Okskar bamaze pin, Sodium valproat , topiram at ke Clobaz
Sindrom
Rujuk
Carbamazepin
dravet
ahli
am,
,
neuropedi
Siripent
Lamotrigin,
atri
ol
Okskarbazepi
gabapentin,
Sodium
n,
phenytoin,
valproat,
pregabalin,
Topiramat
tiagabin, vigabatrin
Epilepsi
Rujuk
ke
dengan
ahli
gelombang
neuropedi
paku
atri
kontinu selama tidur dalam
37
(continues spikes
and
wave during sleep) Sindrom
Rujuk
lennox
ahli
gastaut
neuropedi
ke Lamotri
Felbamat,
Carbamazepin
gin
rufinamid,
,
topiramat
Okskarbazepi
gabapentin,
atri
n, pregabalin,
Sodium
tiagabin,
valproat Rujuk ke
vigabatrin
Sindrom landau-
ahli
kleffner
neuropedi
Epilepsi
atri Rujuk
astatik
ahli
mioklonik
neuropedi
ke
atri
c) Dosis obat anti-epilepsi untuk orang dewasa Tabel 2.3 Dosis obat anti-epilepsi untuk
orang
dewasa(Kusumastuti, 2014). OAE
Carbamazepi n
Dosis
Dosis
Jumla
Titrasi OAE
awal
rumatan
h
tercapainy
(mg/hari
(mg/hari
dosis
a
)
)
per
state (hari)
400-600
400-
hari 2-3x
Mulai
1600
(untuk
200 mg/hari
yang
sampai
CR 2x)
target dalam
100- 2-7
1-4 minggu
38
Waktu steady
Fenitoin
200-300
200-400
1-2X
Mulai
3-15
100mg/hari sampai target dalam Asam valproat
500-
500-
2-3X
3-7 hari Mulai
1000
2500
untuk
500mg/hari
yang
bila
CR Fenobarbital
50-100
perlu
1- setelah
2X 1
50-200
2-4
7
hari Mulai
30- 8-30
50mg/mala m hari bila perlu setelah 1015 hari Klonazepam Klobazam
1 10
4
1 atau
10-30
2 1-2X
2-10 Mulai
2-6
10mg/hari bila
perlu
sampai
20
mg/hari setelah 1-2 Okskarbazepi
600-900
n
600-
2-3X
3000
minggu Mulai
2-4
300mg/hari sampai target dalam
Levetirasetam
1000-
1000-
2000
3000
2X
1-3 minggu Mulai 500/1000 mg/hari bila perlu
39
2
setelah Topiramat
100
100-400
2X
minggu Mulai
2 25 2-5
mg/hari 2550
mg/hari
tiap Gabapentine
900-
900-
1800
3600
2-3X
2
minggu Mulai 300- 2 900mg/hari sampai target dalam
Lamotrigine
50-100
50-200
1-2X
5-10 hari Mulai
2-6
25mg/hari selama
2
minggu sampai
50
mg/hari selama
2
minggu, 50mg/2 Zonisamid
100-200
100-400
1-2X
minggu Mulai 200- 7-10 400mg/hari sampain 1-2 minggu
Pregabalin
50-75
50-600
2-3X
1-2
Note: CR : Controlled release waktu paruh tertera diatas adalah pada penyandang yang tidak menggunakan enzyme inducers
d) Tabel efek samping obat antiepilepsi Table 2.4 Tabel efek samping obat-antiepilepsi(Kusumastuti, 2014). 40
N
Obat
Efek
samping
yang Efek samping minor
o 1
Carbamazepin
mengancam jiwa Anemia
aplastik, Dizziness,
e
hepatotoksisitas,
sindrom diplopia,
steven-johnson,
lupuslike kelelahan,
syndrome
ataksia, mual,
agranulositosis, leukopenia, trombositopenia, hyponatremia,
ruam,
gangguan perilaku, tiks, peningkatan
2
Phenytoin
berat
badan,
disfungsi
seksual,
disfungsi
hormone
tiroid,
neuropati perifer Anemia aplastik, gangguan Hipertrofi
gusi,
fungsi hati, sindrom steven- hirsutisme,
ataksia,
johnson
diplopia,
nystagmus,
ruam, anoreksia, mual, macroxytosis, neuropati perifer,
penurunan
absorpsi calcium pada 3
Phenobarbital
Hepatotoksik,
usus gangguan Mengantuk,
ataksia,
jaringan ikat dan sumsum nystagmus, ruam kulit, tulang,
sindrom
Steven- depresi, hiperaktif( pada
Johnson
anak), belajar(
4
Valproate
pada
anak),
disfungsi seksual Mual, muntah, rambut
Hepatotoksisitas, hiperamonemia,
gangguan
lekopeni, menipis,
trombositopeni, pankreatitis
amenorre,
tremor, peningkatan
berat badan, konstipasi,
41
hirsutisme, pada
alopesia perempuan,
POS(polycystic 5
Levetiracetam
Belum diketahui
ovarii
syndrome) Mual, nyeri
kepala,
Dizziness,
tremor,
kelemahan, mengantuk, gangguan
perilaku,
agitasi,
ansietas,
trombositopenia, 6
Gabapentine
Teratogenik
leukopenia Somnolen,
kelelahan,
ataksia,
dizziness,
peningkatan badan, 7
Lamotrigine
Sindrom
berat gangguan
perilaku(pada anak) Steven-Johnson, Ruam, dizziness, tremor,
gangguan
hepar
kegagalan
multi
teratogenik
akut, ataksia,
diplopia,
organ, pandangan kabur, nyeri kepala, mual, muntah, insomnia, trombositopenia, nystagmus,
8
Oxcarbazepine
Ruam, Teratogenik
truncal
ataxia, tics Dizziness, ataksia, nyeri kepala, mual, kelelahan, hyponatremia, insomnia,
9
Topiramate
Batu
ginjal,
gangguan
tremor, disfungsi visual hipohidrosis, Gangguan kognitif, fungsi
teratogenik
hati, kesulitan
menemukan
kata, dizziness, ataksia, nyeri kepala, kelelahan, mual, penurunan berat badan,
42
paresthesia,
glaukoma 10
Zonisamide
Batu
ginjal,
hipohidrosis, Mual,
anemia aplastic, skin rash
nyeri
dizziness,
kepala, kelelahan,
paresthesia,
11
Pregabalin
ruam,
gangguan
berbahasa,
glaucoma,
letargi,
ataksia Peningkatan
Belum diketahui
berat
badad
e) Profil farmakologi Obat-anti epilepsi Tabel 2.5 Profil farmakologi obat-anti epilepsi(Kusumastuti, 2014). No
Nama Obat
Mekanisme kerja
Absorpsi ( bioavai labilitas %)
1
Karbamaz epine
MEnghambat kanal sodium( inaktivasi cepat)
Lambat( 75-80)
43
Ikat an den gan prot ein (%) 7080
Wakt u paruh (jam)
Rute eliminasi
24-45 ( tun ggal) 824(kr onis)
Metabolis me aktif di hati
2
Klobazam
Bersifat GABAergik( membuka kanal klorida) Bersifat GABAergik( membuka kanal klorida) Menghambat kanal kalsium
Cepat( 9 0-100)
8790
10-30
3
Klonazepa m
Cepat(8 0-90)
8090
30-40
4
Etosuksim id
Cepat(9 0-95)
0
20-60
5
Fenobarbi tal
Bersifat GABAergik( memperpanj ang terbukanya kanal klorida)
Lambat( 95-100)
4854
72144
6
Fenitoin
Lambat( 85-90)
9093
9-40
7
Primidon
Menghambat kanal sodium( inaktivasi secara cepat) Bersifat GABAergik( memperpanj ang terbukanya kanal klorida)
Cepat( 9 0-100)
2030
4-12
8
Valproat
Mekanisme yang bervariasi
Cepat(1 00)
8892
7-17
9
Felbamat
Mekanisme yang bervariasi
Lambat( 95-100)
2236
13-23
10
Gabapenti ne
Menghambat kanal kalsium
Lambat (60)
0
6-9
11
Lakosami d
Menghambat kanal sodium( inaktivasi secara lambat/ikatan dengan CRMP 2
Cepat ( 95100)
<15
13
12
Lamotrigi n
Menghambat kanal sodium
Cepat ( 95100)
55
22-36
44
Metabolis me aktif di hati Metabolis me di hati Metabolis me di hati 25% diekskresi kan dalam bentuk asli Metabolis me di hati 25% diekskresi kan dalam bentuk asli Metabolis me di hati Metabolis me di hati 25% diekskresi kan dalam bentuk asli Metabolis me aktif di hati Metabolis me di hati, ekskresi di ginjal Tidak metabolis m, ekskresi di ginjal Metabolis me di hati, 40% diekskresi kan dalam bentuk asli Glukoroni dasi
13
Levetirase tam
Berikatan dengan reseptor SV2A
Cepat ( 95100)
<10
7-8
14
Okskarba zepine
Menghambat Kanal Sodium (inkativasi secara cepat)
Cepat (95-100)
40
8-10
15
Pregabali n
Menghambat kanal kalsium
0
6
16
Rufinamid
34
6-10
Metabolis me di hati
17
Tiagabine
Cepat (95-100)
96
5-9
Metabolis me di hati
18
Topiramat
Menghambat kanal sodium(inaktivasi cepat) Bersifat GABAerik( menghambat reuptake sinaps GABA) Mekanisme bervariasi
Cepat ( 90100) lambat
Lambat (80)
917
20-24
19
Vigabatrin
Bersifat GABAergik( menghambat transaminase GABA)
Lambat (60-80)
0
5-7
20
Zonisami d
Mekanisme bervariasi
Cepat ( 95100)
4060
50-68
Metabolis me di hati, ekskresi di ginjal Tidak dimetaboli sme, ekskresi di ginjal Metabolis me di hati, ekskresi di ginjal
Penghentian OAE
45
Hidrolisis non hepatic, ekskresi di ginjal Konversi di hati menjadi metabolit yang aktif Ekskresi di ginjal
Pada dewasa; penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 3-5 tahun bebas bangkitan. OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan pada 60% pasien. Dalam hal penghentian OAE, maka ada hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu syarat umum untuk menghentikan OAE dan kemungkinan
kambuhan
bangkitan
setelah
OAE
dihentikan(Kusumastuti, 2014). Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut(Kusumastuti, 2014): o Setelah minimal 3 tahun
bebas
bangkitan
dan
gambaran EEG normal o Penghentian OAE disetujui oleh penyandang atau keluarganya. o Harus dilakukan secara bertahap, 25% dari dosis semula setiap bulan dalam jangkat waktu 3-6 bulan o Bila dilakukan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan utama. Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada keadaan sebagai berikut(Kusumastuti, 2014): o Semakin tua usia kemungkinan timbul kekambuhan o o o o
semakin tinggi Epilepsi simtomatis Gambaran EEG yang abnormal Bangkitan yang sulit terkontrol dengan OAE Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita, sangat jarang pada sindrom epilepsi benigna dengan gelombang tajam pada daerah sentrotemporal, 5-25% pada epilepsi lena masa anak kecil,25-75%, epilepsi parsial kriptogenik/simtomatis, 85-95% pada epilepsi
mioklonik pada anak, dan JME. o Penggunaan lebih dari satu OAE. o Telah mendapat terapi 10 tahun (kemungkinan
kekambuhan
lebih
atau kecil
lebih pada
penyandang yang telah bebas bangkitan selama 3-5 tahun, atau lebih dari lima tahun).
46
Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir
(sebelum
pengurangan
dosis
OAE),
kemudian
dievaluassi kembali. Rujukan ke spesialis epilepsi perlu ditimbangkan bila(Kusumastuti, 2014): o Tidak responsive terhadap 2 OAE pertama o Ditemukan efek samping yang signifikan dengan terapi o Berencana untuk hamil o Dipertimbangkan untuk penghentian terapi. Terapi terhadap epilepsy resisten Obat-antiepilepsi Yang dimaksud dengan epilepsi resisten OAE adalah kegagalan setelah mencoba dua OAE pilihan yang dapat ditoleransi, dan sesuai dosis ( baik sebagai monoterapi atau kombinasi) yang mencapai kondisi bebas bangkitan(Kusumastuti, 2014). Sekitar 25-30% penyandang akan berkembang menjadi epilepsi resisten OAE. Penanganan epilepsi resisten OAE mencakup hal-hal sebagai berikut(Kusumastuti, 2014): Kombinasi OAE Mengurangi dosis OAE ( pada OAE induced seizure) Terapi bedah Dipikirkan penggunaan terapi nonfarmakologis. B. Terapi Non-Farmakologis Meliputi: 1. Tindakan operasi Sekitar 20% dari penderita epilepsi resisten terhadap OAE sehingga perlu beberapa terapi untuk dikombinasikan dengan OAE. Untuk beberapa penderita, operasi sangat efektif untuk mengurangi frekuensi kejang dan bahkan dapat mengontrol kejang kompleks. Pentingnya pembedahan dapat dipahami ketika mendiagnosis pasien yang mengalami sindrom epilepsi yang dianggap mungkin resisten terhadap OAE. Pasien harus diupayakan untuk mendapat terapi medis yang efisien dan relatif singkat kemudian dirujuk untuk dievaluasi
dengan
pembedahan
daripada
membiarkan
pasien gagal di terapi dengan obat-obatan selama bertahun-
47
tahun dan mengalami trauma psikososial juga meningkatkan mortalitas(Lowenstein,2006). Prosedur pembedahan yang paling umum untuk pasien dengan epilepsi lobus temporal meliputi reseksi lobus temporal anteromedial (temporal lobectomy) atau hanya sebatas
mengambil
hipocampus
(amygdalohypocampectomy). Kejang
dan
amygdala
focal yang berasal
dari daerah ekstratemporal dapat dihilangkan dengan reseksi neokortikal fokal dengan mengambil lesi yang sudah teridentifikasi dengan tepat (lesionectomy). Apabila bagian kortikal tidak dapat diambil, dapat dilakukan transeksi subpial multiple yang menghalangi koneksi intrakortikal untuk mencegah penyebaran kejang. Hemispherectomy atau reseksi multilobar berguna untuk beberapa pasien dengan kejang yang berat karena kelainan di hemisfer seperti hemimegaloencephaly, atau kelainan displastik lainnya, dan corpus callosotomy telah terbukti efektif untuk menghentikan kejang tonik atau atonik yang biasanya ada pada kasus kejang
campuran
contohnya
pada
lennox-gastaut
syndrome(Lowenstein,2006). Evaluasi prabedah dirancang untuk mengidentifikasi dasar fungsional atau struktural pada pasien kejang. Penilaian dengan Video EEG pasien rawat inap digunakan untuk menentukan lokasi anatomi dari fokus kejang dan untuk mengkorelasi aktivitas elektrofisiologi yang abnormal dengan manifestasi kejang. Rekaman Sclap rutin atau scalp sphenoidal biasanya cukup digunakan untuk neuroimaging menggunakan pengawasan invasif elektrofisiologi seperti implant elektrode atau yang lebih umum dengan sub dural elektroda. Scan MRI resolusi tinggi rutin dipakai untuk identifikasi lesi struktural. Pencitraan fungsional seperti SPECT dan PET adalah pemeriksaan tambahan yang
48
membantu
memverifikasi
lokasi
yg
tampak
dibagian
epileptogenik(Lowenstein,2006). 2. Stimulasi nervus vagus Stimulasi nervus vagus merupakan salah satu alternative untuk meredakan serangan pada epilepsy refrakter yang tidak mungkin untuk dilakukan tindakan operasi. Pada mulanya dikerjakan pada binatang percobaan dengan memberi stimulasi kronis secara intermiten terhadap nervus vagus kiri. Percobaan pada manusia dilakukan sejak tahun 1987. Stimulasi nervus vagus
memperlihatkan
efek
antikonvulsan
pada
binatang percobaan dan kemudian percobaan dilakukan pada manusia, secara buta-tunggal. Berdasarkan hasil penelitian tersebut kemudian dilakukan penelitian di 17 pusat penanganan epilepsy terhadap 114 penderita secara buta-ganda placebo. Pada pengamatan jangka pendek maupun jangka panjang, stimulasi nervus vagus tadi
memperlihatkan
efek
anti-konvulsan
yang
bermakna secara statistic(Harsono, 2011). Mekanisme yang tepat dari fungsi Stimulasi nervus vagus tidak diketahui, meskipun penelitian experimental telah menunjukkan bahwa stimulasi pada nucleus nervus vagus menyebabkan aktivasi yang luas pada jalur cortical dan subcortical dan berhubungan dengan peningaktan ambang kejang(Lowenstein,2006). 3. Diet Ketogenik Diet ketogenic dapat mengendalikan serangan yang ada,
terutama
pada
anak-anak.
Berdasarkan
pengetahuan bahwa ketosis dan asidosis mempunyai efek antikonvulsan maka Wilder pada tahun 1921 mengenalkan diet ketogenic sebagai terapi epilepsy. Diet tersebut memerlukan protein 1 gr/kg/BB/hari, ditambah lemak untuk kalori tambahan dan karbohidrat
49
minimal. Restriksi karbohidrat dan pemasukan lemak yang tinggi akan menyebabkan rasa yang sangat tidak enak. Efek antiepilepsi bergantung kepada derajat ketosis
yang
ditentukan
oleh
karbohidrat(Harsono, 2011). Mekanisme diet ketogenic serangan
atau
bagaimana
rasio
lemak-
mengandalkan diet
ketogenic
mempengaruhi proses epileptogenic belum diketahui secara jelas. Penelitian lebih lanjut tentang diet ketogenic memungkinkan untuk pengembangan OAE baru yang efeknya menyerupai diet ketogenic(Harsono, 2011). 4. Deep brain stimulation 5. Relaksasi, behavioral
cognitive
therapy
dan
biofeedback
2.1.11 STATUS EPILEPTIKUS Definisi Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebuh dari 30 menit, atau adanya dua bangkitan atau lebih dan diantara bangkitan-bangkitan
tadi
tidak
terdapat
(Kusumastuti, 2014). Etiologi -
Hipoglikemi
50
pemulihan
kesadaran
-
Hipoksemia
-
Trauma
-
Infeksi
-
Tumor
-
Toksisitas obat
-
Gangguan metabolik
-
Tidak diketahui (30%), (Lowenstein,2006)
Klasifikasi Dikenal dua tipe status epileptikus, yaitu ;
SE konvusif (terdapat bangkitan motorik) Status epileptikus konvulsif adalah bangkitan dengan durasi lebih
dari 5 menit, atau bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran diantara bangkitan.
SE non-konfusif (tidak terdapat bangkitan motorik). Status epileptikus nonkonvulsif adalah sejumlah kondisi saat
aktivitas
bangkitan elektrografik
memanjang
(EEG
status)
dan
memberikan gejala klinis nonmotorik termasuk perubahan perilaku atau “ awareness”(Kusumastuti, 2014).
Penanganan A. PENGELOLAAN STATUS EPILEPTIKUS KONVULSIF
Protokol penanganan status epileptikus konvulsif : Stadium 1 (0-10 menit) SE Dini Pertahankan patensi jalan napas dan resusitasi Berikan oksigen Periksa fungsi kardiorespirasi Pasang infuse
51
Stadium 2 (0-30 menit) Monitor pasien Pertimbangkan kemungkinan kondisi non epileptik Terapi antiepilepsi emergensi Pemeriksaan emergensi (lihat di bawah) Berikan glukosa (D50% 50 ml) dan/atau thiamine 250 mg i.v bila ada kecurigaan penyalahgunaan alkohol atau defisiensi nutrisi Terapi asidosis bila terdapat asidosis berat Stadium 3(0-60 menit) SE Menetap Pastikan etiologi Siapkan untuk rujuk ke ICU Identifikasi dan terapi komplikasi medis yang terjadi Vasopressor bila diperlukan Stadium 4 (30-90 menit) Pindah ke ICU Perawatan intensif dan monitor EEG Monitor tekanan intrakranial bila dibutuhkan Berikan antiepilepsi rumatan jangka panjang
Obat anti epilepsi yang digunakan
Stadium premonitor (sebelum ke
Diazepam 10-20 mg per rektal, dapat
rumah sakit)
diulangi 15 menit kemudian bila kejang masih berlanjut, atau midazolam 10 mg diberikan intrabuccal( belum tersedia di Indonesia. Bila bangkitan berlanjut,
SE dini
terapi sebagai berikut. Lorazepam (intravena) 0,1 mg/kgBB( dapat diberikan 4 mg bolus, diulang
52
satu kali setelah 10-20 menit). Berikan OAE yang biasa digunakan bila pasien sudah pernah mendapat SE menetap
terapi OAE Bila bangkitan
masih
berlanjut
terapi sebagai berikut dibawah ini. Phenytoin i.v dosis of 15-18 mg/kg dengan kecepatan pemberian mg/menit
dan/atau
50
bolus
Phenobarbital 10-15 mg/kg i.v dengan kecepatan pemberian SE refrakter
100 mg/menit Anestesi umum dengan salah satu obat dibawah ini: -
Propofol
1-2
bolus, mg/kg/jam
mg/KgBB
dilanjutkan
2-10
dititrasi
naik
sampai SE terkontrol -
Midazolam bolus,
0,1-0,2
dilanjutkan
mg/kg/jam
mg/kg 0,05-0,5
dititrasi
naik
sampai SE terkontrol -
Thiopental
sodium
3-5
mg/kg bolus , dilanjut 3-5 mg/kg/jam
dititrasi
naik
sampai terkontrol Setelah
penggunaan
kecepatan
harus
2-3
hari
diturunkan
karena saturasi pada lemak. Anastesi dilanjutkan sampai 1224 jam setelah bangkitan klinis atau kemudian perlahan.
(Kusumastuti, 2014).
53
ektrografis
terakhir,
dosis diturunkan
(Kusumastuti, 2014) B. PENGELOLAAN STATUS EPILEPTIKUS NON KONVULSIF
Dapat ditemukan pada 1/3 kasus SE
Dapat dibagi menjadi status epileptikus lena, status epileptikus parsial kompleks, nonkonvulsif pada penyangdang dengan koma dan status epileptikus pada penyandang dengan gangguan belajar.
Pemilihan terapi untuk status epileptikus nonkonvulsivus bermacammacam sesuai jenis bangkitannya.
54
Dosis OAE pada SE Non Konvulsif SE
lena
biasanya
bisa
dihentikan
dengan
benzodiazepine
intravena: diazepam 0,2-0,3 mg/kg, atau clonazepam 1 mg (0,25-0,5 mg pada anak-anak) atau lorazepam 0,07 mg/kg(0,1 mg/kg pada anak), dapat diulangi bila diperlukan. Bila terapi ini tidak efektif, mungkin bisa diberikan fenitoin atau valproat intravena. Pada epilepsi lena pada anak, terapi rumatan dengan valproat atau ethosuximide diberikan setelah status
terkontrol.
Kondisi
ini
sering
disebabkan
oleh
putus
obat( khususnya obat psikotropik atau benzodiazepine), dan dapat dietrapi dengan diazepam atau lorazepam intravena. Terapi rumatan jangka panjang biasanya tidak diperlukan. SE parsial kompleks paling baik diterapi dengan benzodiazepine. Terdapat kontroversi tentang perlunya pemberian intravena pada kasus ini, tetapi pada
kebanyakan
kasus
terapi
oral
baik(Kusumastuti, 2014).
2.1.12 Prognosis
55
member
hasil
yang
cukup
Resiko kematian mendadak individu dengan pengobatan epilepsy 24 kali lebih tinggi pada populasi pada umumnya. Penyebab kematian pada epilepsy yang tidak dapat di jelaskan
tidak jelas (SUDEP : sudden
explained death in epilepsy). Hipothesa termasuk didalamnya arrytmia, asphyxia, dan gagal nafas merupakan perkiraan antara 2% dan 17% dari semua kematian pada individu dengan epilepsi kemungkinan disebabkan karena SUDEP. Factor resiko SUDEP termasuk pengontrolan kejang yang buruk, onset awal dari kejang, riwayat kejang tonik-klonik.
BAB III
56
KESIMPULAN Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan epileptic yang
terus menerus, dengan
konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis dan sosial. Penyebab epilepsy dapat idiopatik, kriptogenik maupun simptomatik. Klasifikasi jenis bangkitan epilepsy terdapat pada ILAE 1981, sedangkan klasifikasi sindroma epilepsy terdapat pada ILAE 1989. Mekanisme terjadinya epilepsy melalui berbagai hal antara lain oleh karena gangguan pada membrane sel neuron, gangguan mekanisme inhibisi paska sinaps, dan gangguan pada sel glia. Diagnosis epilepsy didasarkan oleh anamnesa, pemeriksaan fisik dan neurologic, pemeriksaan penunjang( EEG, laboratorium, dan imaging). Tujuan terapi epilepsy adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien. Terapi epilesi bisa dengan farmakologi dan non farmakologi. Untuk terapi farmakologi pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, dosis OAE, efek samping OAE, profil farmakologi, interaksi antara OAE. Terapi non farmakologi meliputi Tindakan operasi, stimulasi nervus vagus, Diet ketogenic, Deep brain stimulation, Relaksasi, behavioral cognitive therapy dan biofeedback. Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebuh dari 30 menit, atau adanya dua bangkitan atau lebih dan diantara bangkitan-bangkitan tadi tidak terdapat pemulihan kesadaran.
DAFTAR PUSTAKA
57
1. Budiarto G, 1997, Patofisiologi Epilepsi, Dalam: Penatalaksanaan Kejang Yang Rasional. Gramik FK Unair, Surabaya. 2. Chandra, Prof.Dr.B.,1994. Neurologi klinik. Fk unair. Surabaya 3. Commission on Classification and Terminology of the International Leage
Against
Epilepsi.
Proposal
for
Revised
Clinical
and
Electroencephalographic Classification of Epileptic Seizure. Epilepsia 1981; 22:489-501 4. Fisher S. G; Acevedo C; Arzimanoglou A et.al. A Practical Clinical Definition of Epilepsi. Epilepsia 2014 :1-8 5. Johnston, MV 2007, Seizures in Childhood, in Kliegman, RM, Behrman, RE, Jenson, HB, Stanton, BF, Nelson Textbok of Pediatrics, 18th ed, Saunders Elsevier, Philadelphia. 6. Kliegman R.M.,
Behrman R.E., Jenson H.B., Stanton B.F., 2007,
Nelson Textbook Of Pediatrics 18 Ed, Wb Saunders Co, Philadelphia. 7. Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E (ed 5), 2014. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Airlangga University press, Surabaya. 8. Lang, F. Neuromuscular and Sensosr System : Epilepsy. Dalam : Color Atlas of Pathophysiology, 2008, New York : Thieme. 200 : 339 9. Lowenstein, Daniel H. 2006. Seizures and Epilepsy. Mc-Graw Hill Companies, USA. 10. Lowenstein, Daniel H., Seizures and Epilepsy dalam Hauser, Stephen L., Harrison;s Neurology in Clinical Medicine, 2006, McGraw-Hill, Departemen of Neurology University of California, San Fransisco, California. 11. Machfoed, MH, Hamdan, M, Machin A, 2012, Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf,
Departemen
Ilmu
Penyakit
Saraf
Fakultas
Kedokteran
Universitas Airlangga, Surabaya. 12. Raharjo,Tri Budi. 2007. FAKTOR-FAKTOR RISIKO EPILEPSI PADA ANAK DI BAWAH USIA 6 TAHUN. Universitas diponegoro.Semarang. http://eprints.undip.ac.id/18016/1/Tri_Budi_Raharjo.pdf
58
13. Rahardjo,J.Eko Wahono. 2011. Buku ajar ilmu penyakit saraf; Ditulis dalam Tatalaksana penanganan penderita epilepsi. Departemen ilmu penyakit saraf universitas airlangga. Surabaya. 14. Harsono. 2001. Epilepsi. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta
59