BAB I PENDAHULUAN
Epilepsi adalah kelainan neurologis kronik yang terdapat di seluruh dunia. Epilepsi dapat terjadi pada pria maupun wanita dan pada semua umur. Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa batasan ras dan sosial ekonomi. Insiden epilepsi di dunia berkisar antara 33-198 tiap 100.000 penduduk tiap tahunnya.1,2 Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang berulang muncul tanpa diprovokasi. Penyebabnya adalah kelainan bangkitan listrik jaringan saraf yang tidak terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak. Keadaan ini bisa di indikasikan sebagai disfungsi otak. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara berkembang mencapai 100/100,000. Pendataan secara global ditemukan 3.5 juta kasus baru per tahun diantaranya 40% adalah anak-anak dan dewasa sekitar 40% serta 20% lainnya ditemukan pada usia lanjut.3 Salah satu masalah dalam penanggulangan epilepsi ialah menentukan dengan pasti diagnosis epilepsi oleh karena sebelum pengobatan dimulai diagnosis epilepsi harus ditegakkan dulu. Diagnosis dan pengobatan epilepsi tidak dapat dipisahkan sebab pengobatan yang sesuai dan tepat hanya dapat dilakukan dengan diagnosis epilepsi yang tepat pula. Diagnosis epilepsi berdasarkan atas gejala dan tanda klinis yang karakteristik. Jadi membuat diagnosis tidak hanya berdasarkan dengan beberapa hasil pemeriksaan penunjang diagnostik saja, justru informasi yang diperoleh sesudah melakukan wawancara yang lengkap dengan pasien maupun saksi mata yang mengetahui serangan kejang tersebut terjadi dan kemudian baru dilakukan pemeriksaan fisik dan neurologi. Begitu diperkirakan diagnosis epilepsi telah dibuat barulah dilanjutkan pemeriksaan tambahan untuk memastikan diagnosis dan mencari penyebabnya, lesi otak yang mendasari , jenis serangan kejang dan sindrom epilepsi.4,5
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Epilepsi adalah sindrom klinis yang ditandai dengan dua atau lebih bangkitan. Sebagian besar timbul tanpa provokasi akibat kelainan abnormal primer di otak dan bukan sekunder oleh penyebab sistemik. Manifestasi klinisnya dapat berupa gangguan kesadaran, perilaku, emosi, fungsi motorik, persepsi, dan sensasi, yang dapat terjadi tersendiri ataupun dalam kombinasi.6 Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala akibat cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih luas pada kedua hemisfer otak (serangan umum). Epilepsi merupakan gejala klinis yang kompleks yang disebabkan berbagai proses patologis di otak. Epilepsi ditandai dengan cetusan neuron yang berlebihan dan dapat dideteksi dari gejala klinis, rekaman elektroensefalografi (EEG), atau keduanya.7 Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu episode). International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epilepstik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.7 B. Etiologi Gangguan fungsi otak yang bisa menyebabkan lepasnya muatan listrik berlebihan di sel neuron saraf pusat, bisa disebabkan oleh adanya faktor fisiologis, biokimiawi, anatomis atau gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau
2
kelainan yang dapat menganggu fungsi otak, dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang. 8 Bila ditinjau dari faktor etiologis, epilepsi dibagi menjadi 2 kelompok : 8 1. Epilepsi idiopatik Sebagian besar pasien, penyebab epilepsi tidak diketahui dan biasanya pasien tidak menunjukkan manifestasi cacat otak dan tidak bodoh. Sebagian dari jenis idiopatik disebabkan oleh interaksi beberapa faktor genetik. Kata idiopatik diperuntukkan bagi pasien epilepsi yang menunjukkan bangkitan kejang umum sejak dari permulaan serangan. Dengan bertambah majunya pengetahuan serta kemampuan diagnostik, maka golongan idiopatik makin berkurang. Umumnya faktor genetik lebih berperan pada epilepsi idiopatik . 2. Epilepsi simtomatik Hal ini dapat terjadi bila fungsi otak terganggu oleh berbagai kelainan intrakranial dan ekstrakranial. Penyebab intrakranial, misalnya anomali kongenital, trauma otak, neoplasma otak, lesi iskemia, ensefalopati, abses otak, jaringan parut. Penyebab yang bermula ekstrakranial dan kemudian menganggu fungsi otak, misalnya: gagal jantung, gangguan pernafasan, gangguan metabolisme (hipoglikemia, hiperglikemia, uremia), gangguan keseimbangan elektrolit, intoksikasi obat, gangguan hidrasi (dehidrasi, hidrasi lebih). Kelainan struktural tidak cukup untuk menimbulkan bangkitan epilepsi, harus dilacak faktor-faktor yang ikut berperan dalam mencetuskan bangkitan epilepsi, contohnya, yang mungkin berbeda pada tiap pasien adalah stress, demam, lapar, hipoglikemia, kurang tidur, alkalosis oleh hiperventilasi, gangguan emosional. C. Patofisiologi Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala, stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang tidak normal (neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada
3
cedera maupun stroke ataupun tumor akan mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron yang mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak.3 Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi (focus) di otak. Disisi lain epilepsi juga akan bisa mengakibatkan kelainan jaringan otak sehingga bisa menyebabkan disfungsi fisik dan retardasi mental. Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik. Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebut-sebut sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsi.3
D. Klasifikasi Bangkitan Epilepsi Klasifikasi bangkitan epilepsi menurut International League Againts Epilepsi, 1981 : 9,10 1. Kejang Parsial Kejang parsial merupakan kejang dengan onset lokal pada satu bagian tubuh dan biasanya disertai dengan aura. Kejang parsial timbul akibat abnormalitas aktivitas elektrik otak yang terjadi pada salah satu hemisfer otak atau salah satu bagian dari hemisfer otak. Kejang parsial sederhana tidak disertai penurunan kesadaran Kejang parsial kompleks disertai dengan penurunan kesadaran 2. Kejang Umum Kejang umum timbul akibat abnormalitas aktivitas elektrik neuron yang terjadi pada seluruh hemisfer otak secara simultan Absens (Petit Mal)
4
Ciri khas serangan absens adalah durasi singkat, onset dan terminasi mendadak, frekuensi sangat sering, terkadang disertai gerakan klonik pada mata, dagu dan bibir. Mioklonik Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar yang dapat umum atau terbatas pada wajah, batang tubuh, satau atau lebih ekstremitas, atau satu grup otot. Dapat berulang atau tunggal. Klonik Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang kelojot. dijumpai terutama sekali pada anak. Tonik Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan ekstremitas menetap dalam satu posisi. Biasanya terdapat deviasi bola mata dan kepala ke satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh batang tubuh. Wajah menjadi pucat kemudian merah dan kebiruan karena tidak dapat bernafas. Mata terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak sensitif, pupil dilatasi. Tonik Klonik (grand mall) Merupakan suatu kejang yang diawali dengan tonik, sesaat kemudian diikuti oleh gerakan klonik. Atonik Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi hanya kepala jatuh ke depan atau lengan jatuh tergantung atau menyeluruh sehingga pasien terjatuh. 3. Kejang Tidak Dapat Diklasifikasi Sebagian besar serangan yang terjadi pada bayi baru lahir termasuk golongan ini.
E. Diagnosis Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara
5
kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.5 1. Anamnesis Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:5 - Pola / bentuk serangan - Lama serangan - Gejala sebelum, selama dan paska serangan - Frekuensi serangan - Faktor pencetus - Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang - Usia saat serangan terjadinya pertama - Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan - Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya - Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga 2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebabsebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.5 3. Pemeriksaan penunjang Elektro ensefalografi (EEG) Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal bila :
6
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak. 2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misal gelombang delta. 3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron). Rekaman video EEG Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.5 Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri.5
7
F. Tatalaksana Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi kejang dengan dosis optimal terendah. Yang terpenting adalah kadar obat antiepilepsi bebas yang dapat menembus sawar darah otak dan mencapai reseptor susunan saraf pusat.11 Serangan epilepsi dapat dihentikan oleh obat dan dapat pula dicegah agar tidak kambuh. Obat tersebut disebut sebagai obat antikonvulsi atau obat antiepilepsi. 12 Prinsip pengobatan epilepsi: 12 1. Mendiagnosis secara pasti, menentukan etiologi, jenis serangan dan sindrom epilepsi 2. Memulai pengobatan dengan satu jenis obat antiepilepsi 3. Penggantian obat antiepilepsi secara bertahap apabila obat antiepilepsi yang pertama gagal 4. Pemberian obat antiepilepsi sampai 1-2 tahun bebas kejang
Obat Anti Epilepsi (OAE) Obat anti epilepsi (OAE) yang telah disetujui oleh lembaga regulator di Amerika
Serikat
dan
Eropa
adalah
sebagai
berikut:
acetazolamide,
carbamazepine, clonazepam, clorazepate, ethosuximide, ethotoin, felbamate, gabapentin, lacosamide, lamotrigin, levetiracetam, mephenytoin, methsuximide, oxcarbazepine, fenobarbital, fenitoin, pregabalin, primidone, tiagabin, topiramate, trimethadione, valproate, vigabatrin, dan zonisamide. Agen tambahan berikut digunakan terutama untuk terapi akut dari status epilepticus: diazepam, fosphenytoin, lorazepam, midazolam, dan propofol. Secara pragmatis, pilihan OAE pada individual terutama tergantung pada profil dasar pasien, termasuk efikasi untuk kejang atau syndrome epilepsi, toleransi, keamanan, kemudahan penggunaan, farmakokinetik dan akhirnya biaya.13
8
Jenis-jenis OAE dapat dijelaskan sebagai berikut.13 1. Golongan Hidantoin Dalam golongan hidantoin dikenal 3 senyawa antikonvulsi yaitu fenitoin (difenilhidantoin), mefenitoin dan etotoin dengan fenitoin sebagai prototype. Fenitoin adalah obat utama untuk hampir semua jenis epilepsy, kecuali bangkitan lena. Fenitoin berefek antikonvulsi tanpa menyebabkan depresi umum SSP. Sifat antikonvulsi fenitoin didasarkan pada penghambatan penjalaran rangsang dari focus ke bagian lain di otak. Fenitoin juga mempengaruhi perpindahan ion melintasi membrane sel, khususnya dengan menggiatkan pompa Na, K, Ca neuron dan mengubah neurotransmitter asetilkolin dan GABA.13 2. Golongan Barbiturat Disamping sebagai hipnotik-sedatif, golongan barbiturate efektif sebagai obat antikonvulsi, dan yang biasa digunakan adalah barbiturate kerja lama (long acting). Antiepileptic prototip barbiturate yang digunakan yaitu fenobarbital dan primidon. Kerja fenobarbital yaitu membatasi penjalaran aktivitas dan bangkitan serta menaikkan ambang rangsang.13 Fenobarbital masih merupakan obat antikonvulsan pilihan karena cukup efektif dan murah. Dosis efektifnya relative rendah. Fenobarbital merupakan obat pilihan utama untuk terapi kejang dan kejang demam pada anak. Primidon lebih efektif daripada fenobarbital, terutama untuk terapi kejang parsial dan kejang umum tonik klonik.13 3. Golongan Oksazolindion Trimetadon, merupakan obat antiepilepsi tipe absence, namun setelah etosuksimid dipakai secara luas pada tahun 1960, trimetadon sudah jarang digunakan.13 4. Golongan Suksinimid Antiepilepsi golongan suksinimid yang digunakan di klinik adalah etosuksimid, metsuksimid dan fensuksimid. Etosuksimid paling efektif bila dibandingkan dengan metsuksimid atau fensuksimid. Etosuksimid
9
merupakan obat terpilih untuk bangkitan lena. Etosuksimid tidak efektif untuk bangkitan parsial kompleks dan bangkitan tonik klonik umum atau pasien kejang dengan kerusakan organic otak yang berat.13 5. Karbamazepin Karbamazepin merupakan antiepilepsi pilihan utama yang banyak digunakan dalam klinik untuk mengobati epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik dan bangkitan parsial sederhana maupun kompleks. Namun demikian, penetapan dosis karbamazepin yang tepat sulit dilakukan karena hubungan dosis dan efeknya buruk, lingkup terapinya yang sempit serta profil farmakokinetikanya yang bervariasi.14 Mekanisme kerja karbamazepine yaitu melalui inhibisi kanal natrium dan kanal kalsium tipe L.8 6. Golongan Benzodiazepin Disamping
sebagai
antiansietas,
sebagian
golongan
obat
benzodiazepine bermanfaat sebagai antikonvulsi, khususnya untuk epilepsy. Diazepam terutama digunakan untuk terapi konvulsi rekuren, misalnya status epileptikus. Obat ini juga bermanfaat untuk terapi bangkitan parsial sederhana misalnya bangkitan klonik fokal. Diazepam efektif pada bangkitan lena karena menekan 3 gelombang paku dan ombak yang terjadi dalam 1 detik.13 7. Asam valproat Valproat terutama untuk terapi epilepsy umum, dan kurang efektif untuk terapi epilepsy fokal. Valproat menyebabkan hiperpolarisasi potensial istirahat membrane neuron, akibat peningkatan daya konduksi membrane
untuk
kalium.
Efek
antikonvulsi
valproat
didasarkan
meningkatnya kadar asam gamma aminobutirat (GABA) di dalam otak.13
10
Gambar 1. Pemilihan Obat Antiepilepsi Berdasarkan Tipe Kejang12
Apabila penggunaan monoterapi gagal, maka digunakan terapi kombinasi.
Gambar 2. Penggunaan kombinasi OAE15
G. Menghentikan Pengobatan Pada Epilepsi Syarat penghentian obat anti epilepsi: 12 1. Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan
11
2. Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan 3. Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama Keputusan untuk menghentikan pengobatan pada epilepsy sama seperti memulai pengobatan. Pasien memiliki hak penuh untuk mengambil keputusan. Penghentian penggunaan OAE dimulai ketika 2 sampai 5 tahun bebas bangkitan kejang, dengan IQ normal dan EEG yang normal. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa penghentian OAE pada pasien yang memiliki EEG abnormal dapat menimbulkan rekurensi.16
H. Alasan Penghentian OAE Obat anti epilepsi menurunkan rangsangan membran, meningatkan penghambatan postsinaptik, atau mengubah sinkronisasi jaringan saraf untuk mengurangi rangsangan kejang. Efek samping yang umum dari penurunan rangsangan membrane adalah memperlambat motorik dan perkembangan psikomotor, kesulitan memperhatikan dan gangguan memori ringan, dan menimbulkan efek teratogenik. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa pemakaian jangka panjang OAE pada anak-anak menunjukkan efek terhadap perkembangan otak, seperti gangguan kognitif dan kesulitan menerima pelajaran. Pemakaian menunjukkan efek lebih kecil untuk penuruan IQ dibandingkan dengan fenobarbital. Pada pemakaian valproate lebih kecil efeknya untuk penurunan memori dibandingkan dengan fenobarbital atau carbamazepine.17 Berbagai penelitian mengenai pemakaian obat antiepilepsi jangka panjang menunjukkan pengaruhnya terhadap densitas mineral tulang, terutama pada wanita. Wanita yang mendapat pengobatan antiepilepsi jangka panjang dengan dilantin cenderung mengalami penurunan densitas tulang dua kali lebih besar dari wanita yang tidak mendapat obat. Obat-obat antiepilepsi seperti fenitoin dan karbamazepin terbukti menurunkan kadar vitamin D. Defisiensi vitamin D dapat menyebabkan kerapuhan tulang akibat hipokalsemia, hipofosfatemia dan hiperparatiroidisme sekunder.18
12
I. Bagaimana Bila Terjadi Rekurensi Berikut ini adalah tabel faktor resiko rekurensi kejang pada anak yang mengehentian penggunaan OAE setelah 2 tahun :19 Risk factor Benign childhood epilepsy with centritemporal spikes. Childhood absence epilepsy Overall risk including all risk factors Any EEG abnormality Idiopathic generalised epilepsy Multiple seizure types in same patient Remote symptomatic seizures Over 14 years at presentation
Recurrence risk (%) 0 19 30 39 40 50 70
Mengatasi rekurensi kejang pada epilepsi adalah dengan meningkatkan dosis OAE sampai ke batas efektif maksimal. Efektifitas didefinisikan sebagai ukuran meliputi kontrol kejang dan toleransi terhadap obat. Jika pengobatan lini pertama tidak berhasil, maka dilanjutkan dengan pengobatan lini kedua.20
13
BAB III PENUTUP Kesimpulan 1. Epilepsi adalah sindrom klinis yang ditandai dengan dua atau lebih bangkitan.Sebagian besar timbul tanpa provokasi akibat kelainan abnormal primer di otak dan bukan sekunder oleh penyebab sistemik. 2. Bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala, stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang tidak normal
(neurodevelopmental
problems),
pengaruh
genetik
yang
mengakibatkan mutasi. 3. Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. 4. Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi kejang dengan dosis optimal terendah. 5. Penghentian OAE harus tepat cara, waktu, dan indikasi. 6. Efek samping yang umum dari OAE adalah memperlambat motorik dan perkembangan psikomotor, kesulitan memperhatikan dan gangguan memori ringan, dan menimbulkan efek teratogenik (jarang). 7. Apabila terjadi rekurensi setelah pengehentian OAE maka diberikan OAE dengan dosis maksimal efektif.
14