REFERAT SINDROM STEVENS JOHNSON
Dosen Pembimbing : dr. Heryanto Syamsuddin Sp.KK
Disusun oleh Rani Afriyani (05-008)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN PERIODE 17 MEI 2010 – 12 JUNI 2010
1
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA JAKARTA 2010 KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas anugerah dan kesempatan yang diberikan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan tugas referat Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin yang berjudul Sindrom Stevens Johnson. Refarat ini disusun untuk memenuhi tugas akhir kepaniteraan bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin periode kepaniteraan 17 mei 2010 s/d 12 juni 2010. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua dosen pembimbing di Bagian. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di RS. Pelabuhan. Mohon maaf jika referat ini masih banyak kekurangan. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Jakarta, 04 Juni 2010
Penulis
2
DAFTAR ISI
Kata pengantar…………………………………………………………………………… X Daftar isi ………………………………………………………………………………….. XX BAB I : Pendahuluan ……………………………………………………………………. 1 BAB II : Tinjauan pustaka Definisi……………………………………………………………………………. 2 Epidemiologi………………………………………………………………………2 Etiologi……………………………………………………………………………. 3 Patogenesis……………………………………………………………………… 5 Gejala klinis……………………………………………………………………… 6 Diagnosis………………………………………………………………………… 9 Diagnosis banding……………………………………………………………… 10 Komplikasi………………………………………………………………………. 13 Pengobatan……………………………………………………………………… 13 Prognosis………………………………………………………………………… 15 BAB III : Kesimpulan…………………………………………………………………… 17 Daftar pustaka………………………………………………………………………….. 18
3
BAB I PENDAHULUAN
Sindrom Stevens-Johnson merupakan kelainan pada kulit yang serius, di mana kulit dan selaput lendir bereaksi keras terhadap obat atau infeksi. [1] Seringkali, StevensJohnson sindrom diawali dengan gejala mirip flu, diikuti dengan ruam merah atau keunguan yang menyakitkan yang menyebar dan lecet, akhirnya menyebabkan lapisan atas kulit mati.[1] Penyebab pasti dari SSJ saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa hal yang memicu timbulnya SSJ seperti obat-obatan atau infeksi virus. [2] Mekanisme terjadinya sindrom pada SSJ adalah reaksi hipersensitif terhadap zat yang memicunya. [2]
Sindrom Stevens-Johnson adalah suatu kondisi medis darurat yang biasanya membutuhkan perawatan di rumah sakit. [1] Perawatan berfokus pada menghilangkan penyebab yang mendasari, mengontrol gejala dan mengurangi komplikasi. [1] Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui manifestasi SJS dan tatalaksananya.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/ bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium serta mata disertai gejala umum bervariasi dari ringan sampai berat. [3] Menurut Webster’s New World Medical Dictionary, SSJ didefinisikan sebagai reaksi alergi sistemik (sistemik = menyerang keseluruhan tubuh) dengan karakteristik berupa rash atau kemerahan yang mengenai kulit dan selaput lendir, termasuk selaput lendir mulut. Penyakit ini disebabkan oleh reaksi hipersensitif (alergi) terhadap obat atau virus tertentu.[3] Nama ini berasal dari Dr. Albert Mason Stevens dan Dr. Frank Chambliss Johnson, dokter anak di Amerika pada tahun 1922 bersama-sama mempublikasikan kumpulan gejala ini dalam American Journal Penyakit Anak.[4] Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger- Rendu bulosa
[3]
, sindrom mukokutaneo-okular
multiform mayor
[3]
, dermatostomatitis
[5]
, eritema multiformis tipe Herba
[6]
[3]
[3]
, eritema poliform
, eritema eksudativum
, dan ektodermosis erosiva
pluriorifisialis [6].
II.2. Epidemiologi Sindrom Stevens-Johnson adalah suatu kondisi yang jarang terjadi, di Amerika Serikat, terdapat 300 kejadian melaporkan sekitar 2,6 menjadi 6,1 kasus per juta
5
orang per tahun.[4] Kondisi ini sering terjadi pada orang dewasa dibandingkan pada anak-anak.[4] Sebagian besar terjadi pada dekade ke 2 dan ke 4 kehidupan, namun kasus ini telah dilaporkan terjadi pada anak-anak berumur 3 bulan. [7] Perempuan lebih sering terkena daripada pria dengan rasio 2:3. [4] SSJ juga telah dilaporkan lebih sering terjadi pada ras Kaukasia.[7] Suatu studi di Jerman barat melaporkan insiden SSJ dan NET 0,93 dan 1,1 kasus perjuta populasi pertahun. [8] SSJ dan NET dapat terjadi pada semua ras. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa wanita lebih banyak dari pria, dengan rasio pria dibanding wanita berkisar antara 0,5:0,7 (Mockenhaupt,1998; Klein, 2006). [8] Di Indonesia jarang terjadi, hanya sekitar 1-6 per juta orang. Dengan kata lain, rata-rata jumlah kasus sindrom ini hanya sekitar 0,03%. [3] Penelitian menunjukkan bahwa SSJ adalah kasus yang langka. Hanya 1 dari 2000 orang yang mengkonsumsi antibiotik penisilin yang terkena SSJ.[3]
II. 3. Etiologi Terdapat empat kategori etiologi yaitu (1) infeksi, (2) drug-induced, (3) keganasan, dan (4) idiopatik.[7] •
Obat dan keganasan yang paling sering terlibat sebagai etiologi pada orang dewasa dan orang tua.[7]
•
Pada anak-anak lebih sering disebabkan karena infeksi daripada keganasan atau reaksi terhadap suatu obat.[7]
•
Oxicam NSAID dan sulfonamides yang paling sering terlibat di negara-negara barat. Di Asia Tenggara, allopurinol adalah yang paling sering. [7]
•
Obat seperti sulfa, fenitoin, atau penisilin telah ditentukan sebelumnya, ditemukan lebih dari dua pertiga dari semua pasien dengan sindrom StevensJohnson (SSJ). Antikonvulsi karbamazepin, asam valproat, lamotrigin, dan barbiturat juga telah terlibat. Mockenhapupt et al menekankan bahwa antikonvulsi-induced SSJ terjadi pada 60 hari pertama penggunaan. Hallgren et al melaporkan ciprofloxacin dapat menginduksi sindrom Stevens Johnson pada 6
pasien muda di Swedia. Metry et al melaporkan sindrom
Stevens Johnson
terjadi pada 2 pasien HIV yang diobati dengan nevirapine. Para penulis berspekulasi bahwa masalah ini dapat juga disebabkan oleh non nukleosida reverse transcriptase inhibitor yaitu indinavir.[7] •
Infeksi virus yang telah dilaporkan menyebabkan SSJ adalah herpes simplex virus (HSV), AIDS, infeksi virus coxsackie, influenza, hepatitis, gondok, venereum lymphogranuloma (LGV), infeksi rickettsia, dan variola.[7]
•
Penyebab bakteri adalah grup A beta streptokokus, difteri, brucellosis, mikobakteri, Mycoplasma pneumoniae, tularemia, dan tifus. Sebuah kasus barubaru ini dilaporkan SSJ timbul setelah infeksi Mycoplasma pneumoniae.[7]
•
Coccidioidomycosis, dermatofitosis, dan histoplasmosis adalah kemungkinan yang disebabkan oleh jamur.[7]
•
Malaria dan trikomoniasis telah dilaporkan sebagai penyebab protozoa. [7]
•
Pada anak-anak, Epstein-Barr virus dan enterovirus telah diidentifikasi. [7]
•
Berbagai karsinoma dan limfoma telah dikaitkan. [7]
•
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) adalah idiopatik pada 25-50% kasus. [7]
7
Sumber:http://www.ebmedicine.net/topics.php? paction=showTopicSeg&topic_id=54&seg_id=1021
[9]
II.3. Patogenesis Patogenesisnya masih belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi alergi tipe III dan IV.[3] Reaksi alergi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigenantibodi yang membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. [3]
Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan
menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ).
[3]
Reaksi alergi
tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersensitisasi oleh suatu antigen, berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.[3] •
Reaksi
Hipersensitivitas
Tipe
III
(Reaksi
Kompleks
Imun)
Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh. Akibat endapan kompleks antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah maka kompleks tersebut mengaktifkan komplemen yang kemudian melepas berbagai mediator terutama macrophage chemotactic factor. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut akan merusak jaringan di sekitarnya dan mengakibatkan reaksi radang.[10] •
Reaksi
Hipersensitivitas
Tipe
IV
(Reaksi
Alergi
Seluler
Tipe
Lambat)
Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah terpajan antigen. Dalam hal ini tidak ada peran antibodi. Akibat sensitisasi tersebut sel Th1 melepaskan limfokin antara lain MIF, MAF. Makrofag yang diaktifkan melepas berbagai mediator (sitokin, enzim, dsb) sehingga dapat menyebabkan kerusakan jaringan.[10].[11] Stevens-Johnson
Syndrome
merupakan
penyakit
hipersensitivitas
yang
diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang 8
mampu menyebabkan sindroma ini. Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi. [7] Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin dihubungkan erat dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa menemukan bahwa petanda gen hanya relevan untuk Asia Timur. Berdasarkan dari temuan di Asia, dilakukan penelitian serupa di Eropa, 61% SJS/TEN yang diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801 – frekuensi fenotif di Eropa umumnya 3%), mengindikasikan
bahwa
resiko
alel
berbeda
antar
suku/etnik,
lokus
HLA-B
berhubungan erat dengan gen yang berhubungan. [7]
II.4. Gejala klinis Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah karena imunitas belum begitu berkembang.[12] Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, pasien dapat soporous sampai koma. [12] Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodormal berkisar antara 1-14 hari berupa demam tinggi, malese, nyeri kepala, batuk, pilek, nyeri tenggorokan, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot, dan atralgia yang sangat bervariasi. [3] Pada SSJ ini terlihat trias kelainan berupa : kelainan kulit, kelainan selaput lendir di orifisium, dan kelainan mata.[12] a. Kelainan kulit Lesi dimulai sebagai makula yang berkembang menjadi papula, vesikula, bullae, dan plak urtikaria. Pusat lesi ini mungkin vesikel, purpura, atau nekrotik. Lesi memiliki gambaran yang khas, dianggap patognomonik. Namun, berbeda dengan erythema multiforme, lesi ini hanya memiliki dua zona warna. Inti lesi dapat berupa vesikel, purpura, atau nekrotik, dikelilingi oleh eritema macular. Lesi ini di sebut lesi targetoid. Lesi mungkin menjadi bulosa dan kemudian pecah menyebabkan erosi yang luas, meninggalkan kulit yang gundul sehingga terjadi peluruhan yang ekstensif. Sehingga kulit menjadi rentan terhadap infeksi sekunder. [7] Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. [12] Kulit lepuh sangat longgar dan mudah lepas bila digosok. Pada sindrom Stevens-Johnson, kurang dari 10% dari 9
permukaan tubuh yang mengelupas. Sedangkan pada necrolysis epidermis toksik, 30% atau lebih dari permukaan tubuh yang mengelupas. Daerah kulit yang terkena akan terasa sakit. Pada beberapa orang, rambut dan kuku rontok. [13]
Peluruhan luas epidermis dari sindrom Stevens-Johnson. Sumber :
http://emedicine.medscape.com/article/756523-overview
Gambar 1
Gambar 2
[7]
Gambar 3
Keterangan : eritema-deskuamasi (gb.1), eritema-erosi-krusta-hemoragic (gb.2) , dan plak(gb.3). Sumber : http://www.dermis.net/dermisroot/en/30254/diagnose.htm b. Kelainan selaput lendir di orifisium
10
[6]
Kelainan selaput lendir yang tersering adalah mukosa mulut (100%), kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di lubang hidung (8%), dan anus (4%).[12] Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. [13] Di mukosa mulut dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta hitam yang tebal. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama. [12]
Kerusakan pada lapisan mulut biasanya sangat menyakitkan dan mengurangi
kemampuan pasien untuk makan atau minum dan sulit menutup mulut sehingga air liurnya menetes.[13] Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas, dan esofagus. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas. [12] Kelainan pada lubang alat genital akan menyebabkan sulit buang air kecil disertai rasa sakit. Kadang-kadang selaput lendir saluran pencernaan dan pernapasan juga terlibat, menyebabkan diare dan sesak napas.[13]
Gambar 2
Gambar 2
Gambar 3
Keterangan : vesikel-krusta (gb.1), eritema-erosi (palatum durum) (gb.2), dan krusta (gb.3). Sumber : http://www.dermis.net/dermisroot/en/30254/diagnose.htm
[6]
c. Kelainan mata Kelainan mata, merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering ialah konjungtivitis kataralis.[12] Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, blefarokonjungtivitis, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, iridosiklitis, 11
kelopak mata edema, penuh dengan nanah sehingga sulit dibuka, dan disertai rasa sakit.[13] Pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan.[3] Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.[3]
Gambar 3
Gambar 2
Keterangan : eritema-erosi (gb.1) dan konjungtivitis (gb.2) Sumber : 1. http://en.wikipedia.org/wiki/Stevens%E2%80%93Johnson_syndrome 2. http://www.dermis.net/dermisroot/en/30254/diagnose.htm
[4]
[6]
II.5. Diagnosa Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi disertai gejala prodormal. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi bila meninggi penyebabnya adalah infeksi sekunder, terdapat peningkatan eosinofil jika penyebabnya alergi. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun yang beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada.[3] Gambaran histopatologinya sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari 12
perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh. Kelainan berupa :[12] Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh darah dermis superfisial Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal Nekrosis sel epidermal di adneksa Spongiosis dan edema intrasel di epidermis Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan imunofluoresensi untuk membantu membedakan sindrom Steven Johnson dengan penyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya. Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah dalam urin. Pemeriksaan elektrolit di lakukan untuk mengetahui apakah terjadi gangguan keseimbangan
asam
basa.
Pemeriksaan
bronchoscopy,
esophagogastro
duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat dilakukan. Dan fototoraks untuk mengetahui adanya komplikasi pneumonitis.[7]
II.6. Diagnosis banding •
Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) Dimana manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk daripada SSJ. [2] Pada penyakit ini terdapat epidermolisis yang menyeluruh yaitu lebih dari 30% epidermis yang terkelupas (tanda Nikolsky positif).[13]
•
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease) Pada penyakit ini lesi kulit ditandai dengan krusta yang mengelupas pada kulit. .[2] Biasanya mukosa jarang terkena.[12] SSSS
NET 13
SSJ
Etiologi
Staphylococcus aureus,
Obat
Obat, infeksi,
infeksi mata, infeksi THT
Reaksi graft vs host
keganasan, post vaksinasi, radiasi,
Pasien
Anak-anak, bayi < 5 tahun
Dewasa
makanan. Dewasa, anak > 3
Gejala klinis
– Eritem muka, leher,
– Akut
tahun – Gejala prodormal
– Gejala prodormal
– Trias :
inguinal, axila (24 jam)
→ generalis (24-48 jam) – KU buruk → bula dinding kendur.
– Eritem generalisata,
– Epidermolisis
vesikel, bula,
– Nikolsky sign +
purpura
– Mukosa jarang
– Kulit, mukosa bibir-
– PA : celah pada sratum granulosum
Kulit: eritem, vesikel, bula dan purpura, Mukosa:orifisium mulut, faring, traktus
mulut, orifisium
respiratorius,
genital
esophagus
– Epidermolisis +
(pseudomembran)
– Nikolsky sign +
Mata
– PA : celah pada
– Epidermolisis –
subepidermal
– Nikolsky sign – – PA : kelainan dermis sedikit sampai nekrolisis
Komplikasi
Selulitis, pneumonia,
Akut Tubular Nekrosis
epidermal Bronkopneumonia
septikemia Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Edisi 5, 2007. [12] •
Eritema multiforme (EM) Onset mendadak progresif cepat, distribusi simetris, mengenai kulit dan / atau mukokutan, dengan perubahan warna konsentris dalam beberapa atau semua lesi. Lesi menyebar secara sentripetal yaitu mengenai telapak tangan dan 14
telapak kaki, punggung tangan, dan permukaan ekstensor ekstremitas dan wajah. Pada keadaan berat mengenai seluruh tubuh. [7] Gejala prodromal terjadi pada 50% kasus, biasanya 1-14 hari sebelum lesi kulit berkembang. Gejala berupa demam, malaise, mialgia, arthralgia, sakit kepala, sakit tenggorokan, batuk, mual, muntah, dan diare. Timbul sensasi terbakar di daerah yang terkena. [7] Lesi berupa eritem, meluas menjadi makula atau papula berevolusi menjadi lesi yang khas bentuk iris (target lesion), terdiri 3 bagian yaitu bagian tengah berupa vesikel atau eritema keunguan dikelilingi lingkaran konsentris yang pucat kemudian lingkaran yang merah. Vesikulobulosa berkembang dalam makula yang sudah ada sebelumnya, papula, atau bercak. Keterlibatan mata terjadi pada 10% kasus EM, konjungtivitis purulen kebanyakan bilateral dengan lakrimasi yang meningkat. Membran mukosa terjadi pada sekitar 25% dari kasus EM, biasanya ringan, dan biasanya melibatkan rongga mulut. [7]
Sumber:
http://www.ebmedicine.net/topics.php?
paction=showTopicSeg&topic_id=54&seg_id=1021
II.7. Komplikasi
15
[9]
Komplikasi tersering ialah bronkopneumonia, sekitar 16%. Komplikasi lain ialah kehilangan cairan/ darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok, pada mata dapat terjadi ulserasi kornea, uveitis anterior, kebutaan karena gangguan lakrimasi.
[12]
Pada gastroenterologi teriadi esofageal striktur, pada genitourinari dapat terjadi nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, jaringan parut pada penis, vagina stenosis, dan pada kutaneus terdapat jaringan parut dan deformitas kosmetik. Infeksi dapat kambuh karena penyembuhan ulserasi yang lambat. [7]
II.8. Pengobatan Pertama, dan paling penting adalah harus segera menghentikan penggunaan obat penyebab yang dicurigai. Dengan tindakan ini, kita dapat mencegah keburukan. Orang dengan SSJ biasanya dirawat inap.[2] Bila mungkin, pasien NET dirawat dalam unit rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi. Pasien SSJ biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan spesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan dengan kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk membantu pemulihan. Antibiotik diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis.[2] Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SSJ/NET. Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertama memberi manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai. [2]
Obat ini menekankan sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko terjadinya
infeksi yang gawat, apalagi pada ODHA dengan sistem kekebalan yang sudah lemah. [2] Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadaan umum berat sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah : [2] • Segera menghentikan penggunaan obat penyebab yang dicurigai. [2] • Kortikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang
16
signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa. [2] •
Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Antibiotika yang diberikan jarang menimbulkan alergi,
berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat
nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari. Selain itu obat lain juga dapat digunakan misalnya siprofloksasin 2 x 400 mg iv dan seftriakson 2 g iv sehari. [2] •
Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat(Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk cetirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari, > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. [2]
•
Pada SSJ yang berat diiberikan terapi cairan dan elektrolit, serta diet tinggi kalori dan protein secara parenteral. Dapat diberikan infus, misalnya dekstrose 5%, Nacl 9%, dan Ringer laktat berbanding 1:1:1 dalam satu labu, setiap 8 jam. [12]
•
Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi. [3]
•
Pada daerah erosi dan ekskoriasi dapat diberikan krim sulfodiazin perak. [12]
•
Pada kasus purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg iv sehari.[12]
Lesi mulut diberi kenalog in orabase, betadine gargle, dan untuk bibir yang kelainannya berupa krusta tebal kehitaman dapat diberikan emolien misalnya krim urea 10%.[12]
•
Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan pada bola mata.[2]
•
Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah terjadinya perlekatan konjungtiva.[2]
17
•
Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dengan dosis 0,2-0,75 g / kg berat badan per hari selama empat hari berturut-turut. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS. [14]
•
Transfusi darah 300 cc selama 2 hari jika tidak ada perbaikan dalam 2 hari. [13] Efek transfusi darah (whole blood) ialah imunorestorasi. Bila terdapat leukopenia prognosisnya menjadi buruk, setelah pemberian transfusi leukosit cepat menjadi normal. Selain itu darah juga mengandung banyak sitokin dan leukosit, jadi meningkatkan daya tahan tubuh.[12] Indikasi pemberian transfusi darah pada SSJ dan NET ialah : [12] -
Bila telah diobati dengan dosis adekuat setelah 2 hari belum ada perbaikan.
-
Bila terdapat purpura generalisata
-
Jika terdapat leukopenia
Setelah sembuh dari SSJ tidak boleh menggunakan kembali agen atau senyawa yang penyebab. Obat dari kelas farmakologis yang sama dapat digunakan asalkan obat tersebut secara struktural berbeda dengan obat penyebabnya. [7] Karena faktor genetik diduga berperan dalam kerusakan kulit dan timbulnya lepuh akibat obat, sehingga obat yang dicurigai tidak boleh digunakan dalam darah pasien. Tidak ada statistik khusus tentang risiko penggunaan ulang obat yang salah atau kemungkinan desensitisasi pada pasien dengan SSJ.[7]
II.9. Prognosis SSJ adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi, yang berpotensi mengancam nyawa. Tingkat mortalitas adalah 5%, jika ditangani dengan cepat dan tepat, maka prognosis cukup memuaskan.[4] Lesi biasanya akan sembuh dalam 1-2 minggu, kecuali bila terjadi infeksi sekunder. Sebagian besar pasien sembuh tanpa gejala sisa. [7] Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Pada keadaan umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia, dapat menyebabkan kematian.[12] Pengembangan gejala sisa yang serius, seperti kegagalan pernafasan, 18
gagal ginjal, dan kebutaan, menentukan prognosis. [7] Sampai dengan 15% dari semua pasien dengan sindrom Stevens-Johnson (SSJ) meninggal Bakteremia dan sepsis meningkatkan resiko kematian. Nilai
SCORTEN
merupakan
sejumlah
akibat kondisi ini.
[7]
variable
yang
digunakan
untuk
meramalkan faktor risiko terjadinya kematian pada SSJ dan dan juga pada TEN. [7] Skor SCORTEN •
Faktor prognosis Umur > 40 tahun
•
Skor mortalitas SCORTEN 0-1 > 3.2%
•
Keganasan
•
SCORTEN 2 > 12.1%
•
Denyut jantung > 120 x/menit
•
SCORTEN 3 > 35,3%
•
Persentase detasemen epidermis >
•
SCORTEN 4 > 58.3%
•
SCORTEN 5 atau lebih > 90%
10% •
BUN level >10 mmol/L
•
Kadar glukosa serum > 14 mmol / L
•
Kadar bikarbonat < 20 mmol / L
BAB III 19
KESIMPULAN
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum yang bervariasi dari ringan sampai berat. Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat yang paling sering adalah oxicam NSAID, sulfonamide, fenitoin, dan penisilin. Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III dan reaksi hipersensitivitas tipe IV. SSJ menyebabkan pengelupasan kulit kurang dari 10% permukaan tubuh, pada selaput lendir dapat menimbulkan krusta kehitaman, dan pada mata menyebabkan konjungtivitis purulenta. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk mendiagnosis SSJ kecuali pemeriksaan histopatologis. Diagnosis banding dari Sindrom Steven Johnson yaitu Nekrolisis Epidermal Toksik, Staphylococcal Scalded Skin Syndrom, dan Eritema Multiforme. Dan komplikasi pada SSJ yang paling sering terjadi adalah bronkopneumonia. Penanganan Sindrom Steven Johnson dilakukan dengan menghentikan obat penyebab, memberi terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral pada penderita dengan keadaan umum berat. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi. IVIG dapat diberikan untuk mencegah kerusakan kulit yang lebih lanjut dan antibiotik spektrum luas untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. SSJ adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi, yang berpotensi mengancam nyawa. Jika ditangani dengan cepat dan tepat, maka prognosis cukup memuaskan. Pada kasus ini tingkat mortalitas dapat ditentukan dengan nilai SCORTEN.
DAFTAR PUSTAKA
20
1. Staff mayo clinic : Stevens-Johnson syndrome. Diakses tanggal : 30 Mei 2010. Diunduh dari : http://www. mayoclinic.com/health/Stevens-johnsonsyndrome/ds0094 2. Allan, dr. : Referat sindrom stevens Johnson. Diakses tanggal : 30 Mei 2010. Diunduh dari : http://www.scribd.com/doc/16796718/Referat-Steven-Johnson 3. Anonym. Diakses tanggal : 1 Juni 2010. Diunduh dari : http://hajaddb.co.cc/sindromstevens-johnson-ssj 4. Wikipedia : Stevens-Johnson syndrome. Direvisi terakhir : 28 Mei 2010. Diakses tanggal : 31 Mei 2010. Diunduh dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Stevens %E2%80%93Johnson_syndrome 5. Mansjoer, A. Suprohaita. Wardhani, WI. Setiowulan, W. Erupsi Alergi Obat. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Media Aesculapius. Jakarta 2002 : 136-138. 6. Anonym. Diakses tanggal 30 Mei 2010. Diunduh dari : http://www.dermis.net/dermisroot/en/30254/diagnose.htm 7. Parrillo J Steven, DO, FACOEP, FACEP : Stevens-Johnson Syndrome. Direvisi terakhir 25 Mei 2010. Di akses tanggal : 30 Mei 2010. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/756523-overview 8. Yusra Pintaningrum, Ari Baskoro, Agung Pranoto : Penatalaksanaan penderita Sindroma Stevens-Johnson dan Toxic Necrolysis Epidermal. Dikutip tanggal :31 Mei 2010. Diunduh dari : http://arekkardiounair.blogspot.com/2008/09/penatalaksanaanseorang-penderita.html 9. Anonym. Diakses tanggal : 10 Juni 2010. Diunduh dari : http://www.ebmedicine.net/topics.php?paction=showTopicSeg&topic_id=54&seg id=1021 10. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd ed. Pharmaceutical Press. 2006. Diakses tanggal : 1 Juni 2010. Diunduh dari : http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf 21
11. Ariyanto Harsono, Anang Endaryanto : Sindrom stevens Johnson. Diakses tanggal : 30 Mei 2010. Diunduh dari : http://ummusalma.wordpress.com/2007/02/17/sindromsteven-johnson/#more-34 12. Djuanda, A. Hamzah, M. Sindrom Stevens Johnson. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta 2007 : 163-166. 13. Peter C. Schalock, MD : Stevens-Johnson Syndrome (SJS) and Necrolysis Epidermal Toxic . The merck manual. 2006. Dikutip tanggal : 30 Mei 2010. Diunduh dari : http://www.merck.com/mmhe/sec18/ch203/ch203e.html 14. Pierre-Dominique Ghislain MD, Jean-Claude Roujeau MD : Pengobatan reaksi obat yang parah: Stevens-Johnson Syndrome, Toxic epidermal dan sindrom hipersensitif Necrolysis. Dermatology Online Journal 8(1): 5. 2002. Dikutip tanggal : 30 Mei 2010. Diunduh dari : http://dermatology.cdlib.org/DOJvol8num1/reviews/drugrxn/ghislain.html
22