ULKUS PEPTIKUM I. DEFINISI Penyakit ulkus peptikum adalah putusnya kontinuitas mukosa lambung yang meluas sampai di bawah epitel. Penyakit ulkus peptikum umumnya terjadi di duodenum dan lambung, Ini juga dapat terjadi pada esofagus, pylorum, jejenum, dan Meckel’s divertikulum. Penyakit ulkus peptikum terjadi ketika faktor agresif (gastrin, pepsin) menembus faktor defensif yang melibatkan resistensi mukosa (mucus, bikarbonat, mikrosirkulasi, prostaglandin, dinding mukosa) dan dari efek Helicobacter pylori. 1, 2
II. ANATOMI Lambung merupakan organ yang berbentuk seperti huruf J yang membentuk curvatura major dan curvatura minor. Spleen terletak di sebelah kiri dari lambung dan pankreas terletak di sebelah inferior dan posterior dari lambung. Sedangkan hati terletak di sebelah kanannya. Lambung terletak di regio hipocondrium sinistra dari permukaan abdomen. Lambung terdiri atas 5 bagian : 3 1.
Cardia yang berhubungan langsung dengan esofagus;
2.
Fundus yang menjadi atap yang merupakan perluasan dari cardia;
3.
Corpus atau badan lambung;
4.
Antrum; dan
5.
Pylorus, terdapat sfingter yang memisahkan lambung dari duodenum.
1
Struktur dari dinding lambung secara umum mirip dengan organ intestinal, dengan tambahan lapisan otot oblique yang membantu secara mekanik dalam fungsi mengocok dan membantu lambung untuk mengembang. Dinding lambung dari luar ke dalam tersusun atas: 3 -
Lapisan Serosa;
-
Lapisan otot longitudinal;
-
Lapisan otot circular;
-
Lapisan otot oblique;
-
Lapisan submukosa;
-
Muskularis mukosa;
-
Mukosa yang terdiri dari lamina propria dan epitel columna lambung dengan
kantung lambung (gastric pits) dan kelenjarnya.
Arteri coeliacus menyuplai darah arteri ke lambung dan darah vena mengalir ke vena portal hepatis. Lambung mendapat persarafan parasimaptis melalui nervus vagus (Nervus X) dan simpatis dari nervus Splanicus. Sebagian besar mukosa lambung dibentuk oleh lipatan-lipatan yang dikenal sebagai rugae. Mukosa antrum lebih halus dari mukosa lambung. Lapisan mukus membantu melindungi lambung terhadap trauma mekanik, HCl dan enzim proteolitik. 3
2
Kantung lambung merupakan bagian invaginasi dari epitel yang masuk ke dalam lamina propria. Dua atau tiga kelenjar lambung dihubungkan dengan tiap kantung melalui isthmus. Kelenjar lambung merupakan struktur tubular dengan kekhususan tiap sel untuk menghasilkan HCl (sel parietal atau oksintik) dan pepsin (sel chief),penghasil mukus (sel goblet), dan sel entero-endokrin dan sel stem. 3,4 Sel Parietal ditemukan pada daerah fundus, corpus dan atrum. Sel parietal terletak di dinding luar dari kantung lambung dan tidak berkontak dengan lumen kantung. Walaupun terpisah dari lumen kantung lambung oleh sel-sel utama, sel parietal menyalurkan sekresi HCl mereka ke dalam lumen melalui saluran-saluran halus, atau kanalikulus, yang berjalan di antara sel-sel utama. Selain menghasilkan HCl, sel parietal juga menghasilkan faktor intrinsik dan gastroferrin yang penting dalam absorbsi vitamin B12 dan zat besi. 3,4 Sel chief atau sel utama ditemukan paling banyak pada corpus. Sel ini bertanggung jawab dalam sekresi pepsinogen, yang merupakan suatu molekul enzim inaktif yang disintesis dan disimpan oleh kompleks Golgi dan retikulum endoplasma sel chief. Apabila pepsinogen ini disekresikan dalam lumen lambung, maka molekul pepsinogen akan diuraikan oleh HCl menjadi bentuk aktif, pepsin. Pepsin ini berfungsi untuk mencerna protein dan bekerja untuk menghasilkan lebih banyak pepsinogen.3,4 Sel entero-endokrin utama pada lambung adalah sel G yang menghasilkan gastrin, Sel D yang menghasilkan somatostatin, dan sel entero-chromaffin-like (ECL) yang menghasilkan histamin. 3,4
III. FISIOLOGI Lambung melakukan beberapa fungsi. Fungsi terpenting adalah mrnyimpan makanan yang masuk sampai disalurkan ke usus halus dengan kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan penyerapan optimal. Karena usus halus merupakan tempat utama pencernaan dan penyerapan, lambung perlu menyimpan makanan dan menyalurkannya sedikit demi sedikit ke duodenum dengan kecepatan yang tidak melebuhi kapasitas usus. Fungsi kedua lambung adalah untuk mensekresikan asam hidroklorida (HCl) dan enzimenzim yang memulai pencernaan protein. 3,4 Terdapat empat aspek motilitas lambung: 4 1. Pengisian Lambung (gastic filling).
3
Jika kosong, lambung memiliki volumesekitar 50 ml, tetapi organ ini dapat mengembang hingga kapasitasnya mencapai sekitar 1 liter ketika makan. Hal ini terjadi karena terdapat dua faktor, yaitu: a. Plastisitas otot polos yang mengacu pada kemampuan otot polos mempertahankan ketegangan konstan. Dengan demikian, pada saat serat-serat otot polos lambung teregang pada pengisian lambung, serat-serat tersebut akan melemas tanpa menyebabkan peningkatan ketegangan otot. b. Relaksasi reseptif lambung saat ia terisi. Di dalam lambung terdapat lipatanlipatan yang dikenal sebagai rugae. Selama makan, lipatan-lipatan tersebut mengecil dan mendatar saat lambung sedikit demi sedikit melemas karena terisi. Relaksasi refleks lambung sewaktu menerima makanan ini disebut relaksasi reseptif. Relaksasi ini meningkatan kemampuan lambung untuk menambah volume sehingga makanan bisa disimpan. Apabila kapasitas lebih dari 1 liter makanan yang masuk, lambung akan teregang dan individu tersebut akan merasa tidak nyaman. 2. Penyimpanan Lambung Sebagian sel otot polos mampu mengalami depolarisasi parsial yang otonom dan berirama. Salah satu kelompok sel-sel pemacu tersebut terletak di lambung di daerah fundus bagian atas. Sel-sel tersebut menghasilkan potensial gelombang lambat yang menyapu ke bawah di sepanjang lambung menuju sfingter pilorus dengan kecepatan tiga kali per menit. Pola depolarisasi spontan ritmik tersebut yaitu irama listrik dasar atau BER (basic electical rhythm) lambung, berlangsung secara terus-menerus dan mungkin disertai oleh kontraksi lapisan otot polos sirkuler lambung.Bergantung pada tingkat eksitabilitas otot polos, BER dapat dibawa ke ambang oleh aliran arus dan mengalami potensial aksi yang kemudian memulai kontraksi otot yang dikenal sebagai gelombang peristaltik. Gelombang peristaltik menyebar ke seluruh fundus dan korpus lalu ke antrum dan sfingter pilorus. Karena lapisan otot di fundus dan korpus tipis, kontraksi peristaltik di kedua daerah tersebut melemah sedangkan di antrum memiliki gelombang yang lebih kuat karena lapisan otot di antrum lebih tebal. Oleh karena itu, makanan yang masuk ke lambung dari esofagus tersimpan relatif tenang tanpa mengalami pencampuran. Makanan secara bertahap disalurkan dari korpus ke antrum, tempat berlangsungnya pencampuran makanan.
4
3. Pencampuran Lambung Kontraksi peristaltik lambung yang kuat merupakan penyebab makanan bercampur dengan sekresi lambung dan menghasilkan kimus. Setiap gelombang peristaltik antrum mendorong kimus ke depan ke arah sfingter pilorus. Kontraksi tonik sfingter pilorus dalam keadaan normal menjaga sfingter hampir, tetapi tidak seluruhnya, tertutup rapat. Lubang yang tersedia cukup besar untuk air dan cairan lain lewat, tetapi terlalu kecil untuk kimus yang kental lewat, kecuali apabila kimus terdorong oleh kontraksi peristaltik yang kuat. Walaupun demikian, dari 30 ml kimus yang dapat ditampung oleh antrum, hanya beberapa mililiter isi antrum yang terdorong ke duodenum setiap gerakan peristaltik. Sebelum lebih banyak kimus dapat diperas keluar, gelombang peristaltik sudah mencapai sfingter pilorus dan menyebabkan sfingter tersebut berkontraksi lebih kuat sehingga aliran kimus ke duodenum terhambat. Bagian terbesar kimus antrum yang terdorong ke depan, tetapi tidak dapt didorong ke dalam duodenum dengan tiba-tiba berhenti pada sfingter yang tertutup dan tertolak kembali ke dalam antrum, hanya untuk didorong ke depan dan tertolak kembali pada saat gelombang peristaltik baru datang. Gerakan maju mundur tersebut disebut retropulsi, menyebabkan kimus tercampur merata di antrum. 4. Pengosongan Lambung Kontraksi peristaltik antrum, selain menyebabkan pencampuran lambung, juga menghasilkan gaya pendorong untuk mengosongkan lambung. Pengosongan lambung diatur oleh faktor lambung (jumlah kimus dalam lambung dan derajat keenceran dari kimus dan faktor dudenum (lemak, asam, hipertonisitas, dan peregangan). Semakin tinggi eksitabilitas, semakin sering BER menghasilkan potensial aksi, semakin besar aktivitas di antrum, dan semakin cepat pengosongan lambung.
IV. EPIDEMIOLOGI Insidens dan prevalensi dari ulkus peptikum telah menurun pada tahun terakhir yang sebagian besar dikarenakan ditemukannya pengobatan eradikasi bakteri H. pylori. Meskipun terjadi kemajuan dalam pengobatan ulkus ini, komplikasi tetap menjadi masalah. Ini dapat dikarenakan oleh peningkatan pengunaan ASA dan NSAIDs dan peningkatan usia pada beberapa negara. Penemuan dari berbagai studi menemukan insiden tiap tahun dari perdarahan ulkus sekitar 19,4- 57,0 kasus per 100,000 individu 5
dan perforasi sekitar 3,8 – 14 kasus per 100,000 individu. Komplikasi ini juga sering dihubungkan dengan peningkatan terjadinya ulkus rekuren dan mortalitas. Komplikasi dari ulkus peptikum juga berdampak terhadap ekonomi negara. Total biaya akibat ulkus peptikum di USA, berdasarkan pada biaya dan penurunan produktivitas kerja, telah diestimasi mencapai 5,65 milliar per tahun. Penyebaran penggunaan ASA dan NSAIDs kemungkinan memberikan konstribusi terhadap komplikasi ulkus peptikum. Penggunaan ASA (meski pada dosis rendah) atau NSAIDs paling sering dilaporkan menjadi salah satu faktor risiko terjadinya perdarahan duodenum dan lambung pada studi yang telah dilakukan. Beberapa studi telah melaporkan peningkatan risiko perdarahan kembali ketika terjadi infeksi H. pylori dengan penggunaan ASA/NSAIDs secara bersamaan. Pada 31% pasien dengan perdarahan ulkus peptikum mengalami perdarahan kembali dalam 30 hari. Mortalitas tinggi terjadi pada pasien dengan komplikasi ulkus peptikum, khususnya setelah perforasi. Mortalitas meningkat sesuai umur, yang kemungkinan menggambarkan peningkatan prevalensi dari comorbiditas. Di United States, Ulkus peptikum terjadi pada sekitar 4,5 juta orang. Secara keseluruhan, Insiden dari ulkus duodenum menurun dalam 3-4 dekade terakhir. Meskipun tingkat dari ulkus lambung sederhana menurun, insiden dari komplikasi ulkus lambung dan rawat inap tetap stabil, karena penggunaan aspirin dan peningkatan usia. Tingkat rawat inap dari ulkus lambung sekitar 30 pasien per 100,000 kasus. Prevalensi
terjadinya ulkus peptikum hampir sama pada laki-laki dan
perempuan. Prevalensinya sekitar 11-14% pada pria dan 8-11% pada wanita. Kecenderungan usia untuk
terjadinya ulkus menurun pada pria yang lebih muda,
terutama untuk ulkus duodenum dan meningkat pada wanita yang lebih tua. Secara klinis ulkus duodeni lebih sering dijumpai daripada ulkus lambung. Pada beberapa negara seperti Jepang dijumpai lebih banyak ulkus lambung daripada ulkus duodeni. 5 V.
FAKTOR RISIKO DAN ETIOLOGI Umumnya yang berperan besar terjadinya ulkus adalah H. Pylori yang merupakan organisme yang menghasilkan urease dan berkoloni pada mukosa antral dari lambung dimana penyebab tersering ulkus duodenum dan ulkus lambung. H. Pylori paling banyak terjadi pada orang dengan sosialekonomi rendah dan bertambah seiring dengan usia. Penyebab lain dari ulkus peptikum adalah penggunaan NSAIDs, 6
kurang dari 1% akibat gastrinoma (Zollinger-Ellison syndrome), luka bakar berat, dan faktor genetik. 6, 7 Faktor risiko terjadinya ulkus adalah herediter (berhubungaan dengan peningkatan jumlah sel parietal), merokok, hipercalcemia, mastositosis, alkohol, dan stress. 6, 7 VI.
PATOGENESIS 1. Faktor Asam Lambung “No Acid No Ulcer” 3, 5
Sel parietal/oxyntic mengeluarkan asam lambung HCl, sel peptik/ zimogen mengeluarkan pepsinogen yang oleh HCl diubah jadi pepsin dimana HCl dan pepsin adalah faktor agresif terutama pepsin dengan pH < 4. Bahan iritan akan menimbulkan defek barier mukosa dan terjadi difusi balik ion H+. Histamin terangsang untuk lebih banyak mengeluarkan asam lambung, timbul dilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler, kerusakan mukosa lambung, gastritis akut/kronik dan ulkus lambung. Produksi asam lambung (HCl) distimulasi oleh gastrin yang disekresi oleh sel G pada antrum, asetilkolin dilepaskan oleh nervus vagus dan histamin dilepaskan oleh sel entero-chromaffin-like (ECL), yang semuanya menstimulasi reseptor pada sel parietal yang merupakan penghasil asam. Ulkus duodenum sangat jarang terjadi pada orang yang tidak menghasilkan asam lambung, ulkus rekuren terjadi ketika produksi asam sangat meningkat, sebagai contoh, oleh tumor yang mensekresi gastrin. Bagaimanapun, produksi asam lambung biasanya rendah pada orang-orang dengan ulkus lambung dan ini dapat menghasilkan gastritis kronik. 2. Balance Theory 1974 5
Ulkus terjadi bila terjadi gangguan keseimbangan antara faktor agresif/ asam dan pepsin dengan defensif (mukus, bikarbonat, aliran darah, PG), bisa faktor agresif meningkat atau faktor defensif menurun. 3. Prostaglandin 5
Faktor risiko pada ulkus peptikum meningkat pada pasien yang menggunakan nonsteriod anti inflammatory drugs (NSAIDs), termasuk aspirin, yang menghambat produksi prostaglandin oleh sel epitel. Oleh karena itu, risiko dari ulkus peptikum berkurang oleh artifisial prostaglandin E2 agonist, misoprostil. 4. Obat Anti Inflamasi Non- Steroid (OAINS) 5,6,8,9 7
Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dan asam asetil salisilat (ASA) merupakan salah satu obat yang paling sering digunakan dalam berbagai keperluan. Pemakaian OAINS/ASA secara kronik dan reguler dapat menyebabkan terjadinya resiko
perdarahan
gastrointestinal
3
kali
lipat
dibanding
yang
tidak
menggunakannya. Patogenesis
terjadinya
kerusakan
mukosa
terutama
gastroduodenal
penggunaan OAINS/ASA adalah akibat efek toksik/ iritasi langsung pada mukosa yang memerangkap OAINS/ASA yang bersifat asam sehingga terjadi kerusakan epitel dalam berbagai tingkat, namun yang paling utama adalah efek OAINS/ASA yang menghambat kerja dari enzim siklooksigenase (COX) pada asam arakidonat sehingga
menekan
produksi
prostaglandin/prostasiklin.
Seperti
diketahui,
prostaglandin endogen sangat berperan dalam memelihara keutuhan mukosa dengan mengatur aliran darah mukosa, proliferasi sel-sel epitel, sekresi mukus dan bikarbonat, mengatur fungsi immunosit mukosa serta sekresi basal asam lambung. Kerusakan
mukosa
akibat
hambatan
produksi
prostaglandin
pada
penggunaan OAINS/ ASA melalui 4 tahap, yaitu : menurunnya sekresi mukus dan bikarbonat,
terganggunya
sekresi
asam
dan
proliferasi
sel-sel
mukosa,
berkurangnya aliran darah mukosa dan kerusakan mikrovaskular yang diperberat oleh kerja sama platelet dan mekanisme koagulasi. 5. Helicobacter pylori 5,6,8,9
Bakteri spiral pada lambung telah diketahui selama lebih ratusan tahun, dan menjadi lebih signifikan pada tahun 1982 ketika Warren dan Marshall melakukan kultur dari 11 pasien dengan gastritis dan dr Marshall mendemonstrasikan bahwa hal itu menyebabkan gastritis. Infeksi H. Pylori sebagian besar ditemukan pada pasien dengan ulkus peptikum, meskipun hanya sekitar 15% dari infeksi tersebut berkembang menjadi ulkus. Eradikasi infeksi H. Pylori secara permanent dapat mengobati sebagian besar pasien dengan ulkus peptikum. Kebanyakan kuman patogen memasuki barier dari mukosa lambung, tetapi HP sendiri jarang sekali memasuki epitel mukosa lambung ataupun bagian yang lebih dalam dari mukosa tersebut. Bila HP bersifat patogen maka yang pertama kali terjadi adalah HP dapat bertahan dalam suasana asam di lambung; kemudian terjadi penetrasi terhadap mukosa lambung; dan pada akhirnya HP berkolonisasi di lambung tersebut. Pada keadaan tersebut beberapa faktor dari HP memainkan
8
peranan penting diantaranya urease memecah urea menjadi amoniak yang bersifat basa lemah yang melindungi kuman tersebut terhadap asam lambung. Infeksi H. Pylori pada antrum gaster, yang menstimulasi produksi gastrin, menyebabkan hipersekresi asam dan ulkus duodenum, sementara infeksi pada corpus lambung, dimana terdapat sel parietal paling banyak, menyebabkan berkurangnya produksi asam lambung dan dihubungkan dengan gastritis, ulkus lambung, kanker lambung, dan lymphoma gaster. Ulkus peptikum merupakan hasil dari ketidakseimbangan antara faktor gastroprotektif, seperti lapisan mukus dan prostaglandins, dan faktor agresif, seperti asam lambung dan efek dari merokok, alkohol, dan NSAIDs. Ulkus lambung kebanyakan disebabkan infeksi HP (30- 60%) dan OAINS sedangkan ulkus duodenum hampir 90% disebabkan oleh HP, penyebab lain adalah Sindrom Zollinger Elison.
VII. GAMBARAN KLINIS Secara umum, pasien dengan ulkus peptikum biasanya mengeluh dispepsia. Dispepsia adalah suatu sindroma klinik/ kumpulan gejala pada saluran cerna seperti mual, muntah, kembung, nyeri ulu hati, sendawa, rasa terbakar, rasa penuh dan cepat merasa kenyang. 2,3,5 Pada ulkus duodenum rasa sakit timbul waktu pasien merasa lapar, rasa sakit bisa membangunkan pasien tengah malam, rasa sakit hilang setelah makan dan minum obat antasida (Hunger Pain Food Relief = HPFR). Sakit yang dirasakan seperti rasa terbakar, rasa tidak nyaman yang mengganggu dan tidak terlokalisir. 3,5 Pada ulkus lambung rasa sakit timbul setelah makan, rasa sakit di rasakan sebelah kiri, anoreksia, nafsu makan berkurang, dan kehilangan berat badan. Walaupun demikian, rasa sakit saja tidak dapat menegakkan diagnosis ulkus lambung karena dispepsia non ulkus juga dapat menimbulkan rasa sakit yang sama. Muntah juga kadang timbul pada ulkus peptikum yang disebabkan edema dan spasme seperti pada ulkus kanal pilorik (obstruction gastric outlet). 2,3,5
VIII. DIAGNOSIS Diagnosis ulkus peptikum ditegakkan berdasarkan: 1) anamnesis (dispepsia/ rasa sakit pada ulu hati); 2) pemeriksaan penunjang (radiologi dengan barium meal 9
kontras/ colon in loop dan endoskopi); dan 3) hasil biopsi untuk pemeriksaan kuman H. Pylori. 2,5 Ulkus Duadenum Upper Gastrointestinal Endoscopy (UGIE) atau Upper Gastrointestinal barium radiografi. 7,8 Ulkus lambung Upper Gastrointestinal Endoskopi. 7,8 Deteksi H. Pylori Deteksi antibodi pada serum dan rapid urease test pada biopsi antral. Urea breath test umumnya digunakan untuk mengetahui eradikasi dari H. Pylori jika perlu.7
IX. TERAPI Tujuan terapi adalah menghilangkan keluhan/ gejala, menyembuhkan/ memperbaiki kesembuhan ulkus, mencegah kekambuhan/rekurensi ulkus, dan mencegah komplikasi. 2, 5 Walaupun ulkus lambung dan ulkus duodenum sedikit berbeda dalam patofisiologi tetapi respon terhadap terapi sama. Ulkus lambung biasanya ukurannya lebih besar, akibatnya memerlukan waktu terapi yang lebih lama. Untuk pengobatan ulkus lambung sebaiknya dilakukan biopsi untuk menyingkirkan adanya suatu keganasan/kanker lambung. 5 Terapi
terhadap
ulkus
peptikum
terdiri
dari:
Non-medikamentosa,
medikamentosa, dan tindakan operasi. 5,6, 9, 10 TERAPI NON-MEDIKAMENTOSA
DIET. Walaupun tidak diperoleh bukti yang kuat terhadap berbagai bentuk
diet yang dilakukan, namun pemberian diet yang mudah cerna khususnya pada ulkus yang aktif perlu dilakukan. Makan dalam jumlah sedikit dan lebih sering, lebih baik daripada makan yang sekaligus kenyang. 5 Mengurangi makanan yang merangsang pengeluaran asam lambung/ pepsin, makanan yang merangsang timbulnya nyeri dan zat-zat lain yang dapat mengganggu pertahanan mukosa gastroduodenal. Beberapa peneliti menganjurkan makanan biasa, lunak, tidak merangsang dan diet seimbang.
10
Merokok menghalangi penyembuhan ulkus, menghambat sekresi bikarbonat pankreas, menambah keasaman bulbus duodeni, menambah refluks dudenogastrik akibat relaksasi sfingter pilorus sekaligus meningkatkan kekambuhan ulkus. Merokok sebenarnya tidak mempengaruhi sekresi asam lambung tetapi dapat memperlambat pemyembuhan luka serta meningkatkan angka kematian karena efek peningkatan kekambuhan penyakit saluran pernafasan dan penyakit jantung koroner. Alkohol belum terbukti mempunyai bukti yang merugikan. Air jeruk yang asam, coca-cola, bir, kopi tidak mempunyai pengaruh ulserogenik tetapi dapat menambah sekresi asam lambung dan belum jelas dapat menghalangi penyembuhan luka dan sebaiknya jangan diminum sewaktu perut kosong. 5 OBAT-OBATAN. OAINS sebaiknya dihindari. Pemberian secara parenteral
(supositorik dan injeksi) tidak terbukti lebih aman. Bila diperlukan dosis OAINS diturunkan atau dikombinasikan dengan ARH2/PPI/misoprostrol. Pada saat ini sudah tersedia COX 2 inhibitor yang selektif untuk penyakit OA/RA yang kurang menimbulkan keluhan perut. Agen inhibitor COX-2 selektif dibedakan menurut susunan sulfa (rofecoxib, etoricoxib) dan sulfonamida (celecoxib, valdecoxib). Penggunaan parasetamol atau kodein sebagai analgesik dapat dipertimbangkan pemakaiannya.
5, 7, 9, 10
TERAPI MEDIKAMENTOSA 1,5
ANTASIDA. Pada saat ini antasida sudah jarang digunakan, antasida sering
digunakan untuk menghilangkan keluhan rasa sakit/dispepsia. Preparat yang mengandung magnesium tidak dianjurkan pada gagal ginjal karena menimbulkan hipermagnesemia dan kehilangan fosfat sedangkan alumunium menyebabkan konstipasi dan neurotoksik tapi bila dikombinasi dapat menghilangkan efek samping. Dosis anjuran 4 x 1 tablet, 4 x 30 cc.
KOLOID BISMUTH (COLOID BISMUTH SUBSITRAT/CBS DAN
BISMUTH SUBSALISILAT/BSS). Mekanisme belum jelas, kemungkinan membentuk
lapisan
penangkal
bersama
protein
pada
dasar
ulkus
dan
melindunginya terhadap pengaruh asam dan pepsin, berikatan dengan pepsin sendiri, merangsang sekresi PG, bikarbonat, mukus. Efek samping jangka panjang dosis tinggi khusus CBS neuro toksik.
11
Obat ini mempunyai efek penyembuhan hampir sama dengan ARH2 serta adanya efek bakterisidal terhadap Helicobacter pylori sehingga kemungkinan relaps berkurang. Dosis anjuran 2x2 tablet sehari dengan efek samping berupa tinja berwarna kehitaman sehingga menimbulkan keraguan dengan perdarahan.
SUKRALFAT. Suatu kompleks garam sukrosa dimana grup hidroksil diganti
dengan aluminium hidroksida dan sulfat. Mekanisme kerja kemungkinan melalui pelepasan kutub aluminium hidroksida yang berikatan dengan kutub positif molekul protein membentuk lapisan fisikokemikal pada dasar ulkus, yang melindungi ulkus dari pengaruh agresif asam dan pepsin. Efek lain membantu sintesa prostaglandin, menambah sekresi bikarbonat dan mukus, meningkatkan daya pertahanan dan perbaikan mukosal. Dosis anjuran 4x1 gr sehari.
PROSTAGLANDIN. Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung
menambah sekresi mukus, bikarbonat, dan meningkatkan aliran darah mukosa serta pertahanan dan perbaikan mukosa. Efek penekanan sekresi asam lambung kurang kuat dibandingkan dengan ARH2. Biasanya digunakan sebagai penangkal terjadinya ulkus lambung pada pasien yang menggunakan OAINS. Dosis anjuran 4x200 mg atau 2x400 mg pagi dan malam hari. Efek samping diare, mual, muntah, dan menimbulkan kontraksi otot uterus sehingga tidak dianjuran pada orang hamil dan yang menginginkan kehamilan.
ANTAGONIS RESEPTOR H2/ARH2. (Cimetidin, Ranitidine, Famotidine,
Nizatidine), struktur homolog dengan histamin. Mekanisme kerjanya memblokir efek histamin pada sel parietal sehingga sel parietal tidak dapat dirangsang untuk mengeluarkan asam lambung. Inhibisi ini bersifat reversibel. Pengurangan sekresi asam post prandial dan nokturnal, yaitu sekresi nokturnal lebih dominan dalam rangka penyembuhan dan kekambuhan ulkus. Dosis terapeutik : Cimetidin : dosis 2x400 mg atau 800 gr malam hari Ranitidin
: 300 mg malam hari
Nizatidine : 1x300 mg malam hari Famotidin : 1x40 mg malam hari Roksatidin : 2x75 mg atau 150 mg malam hari Dosis terapetik dari keempat ARH2 dapat menghambat sekresi asam dalam potensi yang hampir sama, tapi efek samping simetidin lebih besar dari famotidin karena dosis terapeutik lebih besar. 12
PROTON PUMP INHIBITOR/ PPI (Omeprazol, Lanzoprazol, pantoprazol,
Rabeprazol, Esomesoprazol). Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim K+ H+ ATPase yang akan memecah K+ H+ ATP menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam HCl dari kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung. PPI mencegah pengeluaran asam lambung dari sel kanalikuli, menyebabkan pengurangan rasa sakit pasien ulkus, mengurangi aktivitas faktor agresif pepsin dengan pH>4 serta meningkatkan efek eradikasi oleh triple drugs regimen. Dosis Terapetik : Rabeprazole 2x 20 mg/ hari Omeprazole 2x 20 mg/ hari Esomesoprazole 2x 20 mg/ hari Lanzoprazole 2x 30 mg/ hari Pantoprazole 2x 40 mg/ hari
REGIMEN TERAPI HELICOBACTER PYLORI 5
Terapi Triple. Secara historis regimen terapi eradikasi yang pertama digunakan adalah: bismuth, metronidazole, tetrasiklin. Regimen triple terapi (PPI 2x1, Amoxicillin 2x1000, klaritromisin 2x500, metronidazole 3x500, tetrasiklin 4x500) dan yang banyak digunakan saat ini: 1. Proton pump inhibitor (PPI) 2x1 + Amoksisilin 2 x 1000 + Klaritromisin 2x500
2. PPI 2x1 + Metronidazol 3x500 + Claritromisin 2x500 (bila alergi penisilin) 3. PPI 2x1 + Metronidazol 3x500 + Amoksisilin 2x 1000 4. PPI 2x1 + Metronidazol 3x500 + Tetrasiklin 4x500 bila alergi terhadap klaritromisin dan penisilin Lama pengobatan eradikasi HP 1 minggu (esomesoprazol), 5 hari rabeprazole. Ada anjuran lama pengobatan eradikasi 2 minggu, untuk kesembuhan ulkus, bisa dilanjutkan pemberian PPI selama 3-4 minggu lagi. Keberhasilan eradikasi sebaiknya di atas 90%. Efek samping triple terapi 20-30%. Kegagalan pengobatan eradikasi biasanya karena timbulnya efek samping dan compliance dan resisten kuman. Infeksi dalam waktu 6 bulan pasca eradikasi biasanya suatu rekurensi denfan infeksi kuman lain. Tujuan eradikasi HP adalah mengurangi keluhan/gejala, penyembuhan ulkus, mencegah kekambuhan. Eradikasi selain dapat mencegah kekambuhan ulkus, juga dapat mencegah perdarahan dan keganasan. 13
Terapi Quadripel. Jika gagal dengan terapi triple, maka dianjurkan memberikan regimen terapi Quadripel yaitu: PPI 2x sehari, Bismuth subsalisilat 4x2 tab, MNZ 4x250, Tetrasiklin 4x500, bila bismuth tidak tersedia diganti dengan triple terapi. Bila belum berhasil, dianjurkan kultur dan tes sensitivitas.
TINDAKAN OPERASI Tindakan operasi dilakukan pada keadaan: 5, 6, 9, 10 1. Elektif (gagal pengobatan/ ulkus refrakter) 2. Darurat (komplikasi: perdarahan, perforasi, stenosis pilorik) 3. Ulkus lambung dengan keganasan Terdapat tiga tindakan operasi yang dilakukan pada ulkus lambung, yaitu: highly selective vagotomy (HSV), vagotomi dan drainage, vagotomi dan gastrectomi distal. Highly Selective Vagotomy Highly selective vagotomy (HSV), juga disebut vagotomi sel parietal atau vagotomi gastric proximal, aman (risiko mortalitas < 0.5%) dan menyebabkan efek samping yang minimal. Operasi ini memutuskan suplai nervus vagus ke 2/3 proksimal dari lambung, dimana pada dasarnya terletak sel parietal. Sedangkan innervasi
vagus
ke
antrum,
pylorus,
dan
abdmoninal
viscera
tetap
dipertahankan.Tidak adekuatnya innervasi ke daerah tersebut karena kesalahan teknik operasi dapat mengakibatkan penekanan asam tidak adekuat dan insiden tinggi terjadinya ulkus rekuren. HSV menurunkan sekresi asam lambung sekitar 65-75%, yang sebanding dengan dilakukannya truncal vagotomi dan obat-obat supresi asam. Pengosongan lambung terhadap makanan biasa umumnya normal pada pasien setelah vagotomi sel parietal. Pengosongan cairan dapat normal atau meningkat karena penurunan compliance berhubungan dengan kehilangan relaksasi reseptif dan akomodasi. HSV tidak dilakukan sebagai pengobatan untuk tipe II (gastric dan duodenal) dan III (prepyloric) ulkus lambung karena hipergastrinemia yang disebabkan oleh obstruksi gastic outlet dan antrum statis. 6,9
Vagotomi dan Drainage Truncal
vagotomi
dan
pyloroplasti,
dan
truncal
vagotomi
dan
gastrojejunostomi adalah prosedur dari vagotomi dan drainage (V+D).
14
Bagaimanapun, vagotomi selektif dan drainage, dan HSV dan gastrojejunostomi dapat digunakan untuk operasi ulkus pada pasien tertentu. Keuntungan dari V+D karena aman dan dapat dilakukan dengan cepat oleh dokter bedah berpengalaman. Kerugiannya karena efek sampingnya (10% pasien mengalami dumping atau diare), dan 10% dengan rata-rata ulkus rekuren. Selama vagotomi truncal, perawatan harus dilakukan agar tidak terjadi perforasi esofagus, yang berpotensi menyebabkan kematian. Tidak seperti HSV, V+D secara luas diakui berhasil untuk operasi terhadap penyakit ulkus peptikum dengan komplikasi. Ini telah dikatakan sebagai operasi yang berguna untuk mengobati perdarahan duodenum dan ulkus lambung, perforasi duodenum dan ulkus lambung, dan obstruksi duodenum dan ulkus lambung (tipe II dan III). 9, 10 Gastrojejunostomi adalah pilihan terbaik pada pasien dengan obstruksi gastic outlet atau penyakit berat pada duodenum proximal. Anastomosis dilakukan antara proksimal jejenum dan bagian dari curvatura mayor lambung, salah satunya antecolic atau retrocolic. Di sisi lain, pyloroplasti berguna pada beberapa pasien yang membutuhkan pyloroduodenotomi untuk menangani komplikasi ulkus (perdarahan ulkus duodenal posterior), pada scar fokal atau terbatas pada daerah pyloric, atau ketikan gastrojejunostomi sulit dilakukan. Pyloroplasti yang umum terjadi adalah tipe Hieneke-Mikulicz, yang menutup insisi transpyloric longitudinal secara transversal. Teknik lainnya yang digunakan termasuk Finney dan Jaboulay pyloroplasti. 9 Vagotomi dan Antrectomi Keuntungan dari vagotomi dan antrectomi (V+A) adalah risiko rendah terjadinya kekambuhan ulkus dan penerapan operasi pada pasien dengan ulkus peptikum dengan komplikasi (perdarahan duodenum dan ulkus lambung, obstruksi ulkus peptikum, ulkus lambung yang tidak sembuh, dan ulkus rekuren). Kerugian dari V+A adalah operasi ini memilki mortalitas tinggi dibandingkan dengan HSV atau V+D. Setelah antrectomi, gastrointestinal disambung kembali, baik melalui Billroth I gastroduodenostomi atau Billroth II loop gastrojejunstomi. 6, 9, 10
Distal Gastrectomi Gastrectomi distal tanpa vagotomi (biasanya sekitar 50% gastrectomi termasuk dengan ulkus) secara tradisional menjadi prosedur pilihan untuk ulkus lambung tipe I. Rekonstruksi dapat dilakukan Billroth I atau Billroth II. Vagotomi 15
trunkal ditambahkan untuk tipe II dan II ulkus lambung, atau jika pasien diyakini berisiko untuk ulkus rekuren dan harus dipertimbangkan jika rekonstruksi Billroth II dimaksud. Walaupun tidak secara rutin digunakan untuk pengobatan bedah untuk ulkus peptikum, gastrectomi subtotal (75% gastrectomi distal) tanpa vagotomi dapat menjadi pilihan untuk pasien ulkus peptikum. Diseksi periesofagus dihindari (vagotomi tidak perlu jika 75% gastrectomi dilakukan), dan diseksi periduodenal diminimalkan (Billroth II adalah rekonstruksi pilihan). Akhirnya, ulkus lambung bersamaan (tipe II atau III) direseksi. Bagaimanapun, gastrectomi subtotal jarang merupakan pilihan operasi pertama pada pasien dengan ulkus duodenal, sejak vagotomi dan antrectomi memiliki tingkat rekurensi rendah, kurang aman, dan memiliki banyak efek samping. 2, 9, 10
X.
KOMPLIKASI Komplikasi yang dapat timbul pada umumnya : 5, 9, 10 -
Perdarahan : hematemesis/ melena dengan tanda syok apabila perdarahan
masif dan perdarahan tersembunyi -
Anemia : Anemia dapat terjadi apabila terjadi kekurangan daraha berlebihan
dan anemia kronik -
Perforasi : nyeri perut menyeluruh sebagai tanda peritonitis
-
Gastric Outlet Obstruction : keluhan pasien akibat komplikasi ini berupa cepat
kenyang, muntah berisi makanan tak tercerna, mual, sakit perut setelah makan/ post prandial, berat badan menurun. Obstruksi yang terjadi akibat peradangan daerah peri pilorik timbul odema, spasme. Bisa obstruksi permanen akibat fibrosis dari suatu tukak sehingga mekanisme pergerakan antro duodenal terganggu. Komplikasi Pasca Operasi: 1,9, 10 - Obstruksi loop aferent (Billroth II),
- Bile reflux gastritis, - Dumping syndrome (pengosongan lambung menjadi cepat dengan abdominal
distress), - Postvagotomy diare, - Bezoar, - Anemia (iron, B12, malabsorpsi folat),
- Malabsorption, 16
- Osteomalacia and osteoporosis (malabsorpsi vitamin D and Ca), dan - Gastric remnant carcinoma.
XI. PROGNOSIS Prognosis tergantung dari perjalanan penyakit dan komplikasi yang terjadi. Kebanyakan pasien berhasil diobati dengan eradikasi infeksi H pylori, menghindari NSAID, dan penggunaan yang tepat terapi anti sekresi. Eradikasi infeksi H pylori menurunkan tingkat kekambuhan ulkus 60-90% menjadi sekitar 10-20%. 8 Tingkat mortalitas dari ulkus peptikum, yang telah menurun dalam beberapa dekade terakhir, sekitar 1 kematian per 100,000 kasus. Jika suatu pertimbangan semua pasien dengan ulkus duodenum, tingkat mortalitas karena perdarahan ulkus sekitar 5%. Selama 20 tahun terakhir, tingkat mortalitas pada perdarahan ulkus tidak berubah walaupun muncul histamin-2 reseptor antagonis (H2RAs) dan PPI. Bagaimanapun, bukti dari meta- analisis dan studi lain telah menunjukkan penurunan tingkat mortalitas dari perdarahan ulkus peptikum ketika PPI intravena digunakan setelah terapi endoskopi berhasil. 8
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Del John. Peptic ulcer disease and related disorders. In: Kasper DL, Braunwald E, et al (eds). Harrison’s principles of internal medicine 16th editions. United States: McGraw-Hill Companies; 2005. p. 1746- 56. 2. Price Sylvia, Wilson Lorraine. Gangguan lambung dan duodenum. Dalam: Glenda
Lindseth. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit Volume 6. Jakarta: EGC; 2002. hal. 423- 31. 3. Keshav Satish. The gastrointestinal system at a glance 1st ed. British: Blackwell Science Ltd; 2004. p. 20-3; 72-3. 4. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem edisi 2. Jakarta: EGC; 1996. Hal. 551- 2; 556-9. 5. Tarigan Pengarapen, Akil HAM. Tukak gaster dan tukak duodenum. Dalam: Sudoyo Aru, Alwi Idrus dkk editor. Buka ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi V. Jakarta: InternaPublishing; 2009. hal. 513-27. 6. Townsend CM, David R, Mark B, Mattox Kenneth. Sabiston textbook of surgery 17th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2004. p. 1279- 96. 7. Aro Pertti. Storstrubb Tom. Peptic ulcer disease in a general adult population. USA: America Journal of Epidemiology; 2006. p. 3-8. 8. Anand BS. Peptic ulcer disease. [online]. Update: June 20th 2011. [cited October 28th
2011]. Available from URL : http://emedicine.medscape.com/article/181753overview#showall 9. Burnicardi Charles. Schwartz’s principles of surgery eighty edition. United States: McGraw-Hill companies; 2004. p. 38- 69. 10. Souba Wiley, Fink Mitchell, Jurkovich Gregory. ACS surgery: principles & practice, 2007 edition. UK: WebMD Inc; 2007. p. 5-8.
18