TUGAS SEJARAH PEMINATAN PERISTIWA RENGASDENGKLOK
Disusun oleh: Nama : Isnaini Pujiantika No
: 11
Kelas
: X IPS I
SMA NEGERI 1 WERU TAHUN PELAJARAN 2017/2018
Rengasdengklok : Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945 Sumber http://meytha-aisyi-m-fib11.web.unair.ac.id/artikel_detail-73982-Umum%5bREVIEW%20BUKU%5d%20Rengasdengklok%20:%20Revolusi%20dan%20Peristiwa %2016%20Agustus%201945.html Judul Nama Penulis Kota, tahun Penerbit Tebal Buku Tema
: Rengasdengklok : Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945 : Her Suganda : Jakarta, 2009 : PT Kompas Media Nusantara : xxxviii + 242 hlm.; 14 cm x 21 cm : Sejarah Kota
Buku Rengasdengklok : Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945 yang ditulis oleh Her Suganda ini bukan hanya membahas tentang peristiwa tanggal 16 Agustus, dan tentang keberadaan Soekarno-Hatta di Rengasdengklok. Di dalam buku ini Her Suganda juga mengungkap berbagai peristiwa lain seperti peristiwa pembantaian ratusan warga Desa Rawagede, oleh pasukan Belanda pada 9 Desember 1947, dan dari aspek geografi, masa lalu daerah Rengasdengklok melalui peninggalan purbakala, tangsi, dan asrama prajurit PETA di Rengasdengklok sekitar tahun 1945. Buku ini lebih merupakan riwayat yang di tulis secara populer sehingga kehadirannya lebih merupakan kisah perjalanan sebuah kota atau wilayah dengan latar belakang sejar ah lokal yang mewarnai perjuangan masyarakatnya, baik dalam memperjuangkan kemerdekaan maupun kehidupan sosial masyarakatnya. Dalam buku ini dibahas mengenai asal-usul dan penamaan daerah-daerah s ekitar Kabupaten Rengasdengklok, karena tiap daerah memiliki riwayat dan sejarahnya masing-masing. Biasanya, orang-orang tua dulu memberi nama tempat sesuai dengan apa yang dilihat atau dialami pertama kali di tempat itu. Nama Karawang misalnya, dipercaya berasal dari kata “rawa”. Daerah bagian utara wilayah itu sebelumnya merupakan wilayah berawa-rawa. Daerah yang kini bernama Rengasdengklok pada awaln ya merupakan tempat yang masih jarang penduduknya. Di daerah itu dulu pernah terdapat kelompok pohon rengas yang tumbuh di tepi Sungai Citarum. Tempat itu dianggap angker sehingga penduduk selalu menghindar melewatinya. Dalam kepercayaan mereka pohon rengas dianggap bertuah. Karena getah pohon ini yang putih bisa membuat kulit melepuh dan gatal-gatal, sehingga kerap dijadikan bahan guna-guna dukun santet. Disana terdapat satu pohon yang tumbuhnya “ngadengklok”, maka disebutlah wilayah ini sebagai Rengasdengklok. Pada masa Pendudukan Jepang, daerah ini dijadikan sebagai tempat pertahanan Jepang yaitu tangsi dan asrama PETA. Diceritakan hari itu, Kamis tanggal 16 Agustus 1945. Matahari baru saja muncul di ufuk timur ketika sebuah mobil melintasi jalan raya pusat kota
Rengasdengklok, kemudian membelok ke kiri sehingga kendaraan ters ebut menuju ke asrama dan tangsi PETA di Kampung Tugu, sesuatu yang tidak mengherankan apalagi beberapa penumpangnya berseragam PETA. Pada saat itulah terjadi dua peristiwa penting bagi Bangsa Indonesia. Perisitiwa pertama adalah keberadaan Bung Karno, Bung Hatta dan Ibu Fatmawati disertai Guntur Soekarno Putra yang dibawa oleh pemuda dan prajurit PETA (Pembela Tanah Air). Setelah mereka gagal meyakinkan bahwa Jepang sudah menyerah kepada sekutu dan mendesak kedua pemimpin Bangsa Indonesia tersebut segera memproklamirkan Kemerdekaan sesuai dengan kehendaknya. Selama di Rengasdengklok Bung Karno, Bung Hatta dan Ibu Fatmawati disertai Guntur Soekarno Putra beristirahat di r umah, seorang petani Tionghoa, pada saat itu bangunan rumah Djiau Kie Siong merupakan bangunan paling bagus diantara bangunan rumah penduduk lainnya. Peristiwa kedua adalah peristiwa perebutan kekuasaan yang dilakukan masyarakat setempat. Perebutan kekuasaan tidak selalu disertai pertempuran atau peperangan yang mengakibatkan terjadinya pertumpahan darah. Perebutan kekuasaan di Rengasdengklok berlangsung damai, yang ditandai Sang Merah Putih dikibarkan menggantikan bendera Nippon dan ditutup dengan pernyataan: “Bangsa dan Negara Indonesia sejak detik ini Merdeka.” Rengasdengklok setelah proklamasi kemerdekaan pernah mengalami situasi keamanan yang tidak menentu. Kegembiraan yang mewarnai suasana kemerdekaan ternyata tidak berlangsung lama. Hanya dua hari setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan PETA yang bermarkas di Daidan II Purwakarta dilucuti bala tentara J epang. Daerah Rengasdengklok yang merupakan salah satu pusat gerilya di Kabupaten Karawang di gempur habis-habisan. Ditenggah situasi yang tidak menentu itu, rakyat yang sejak lama memendam kebancian pada jepang mulai melampiaskan amarahnya. Orang-orang yang selama itu diaanggap sebagai antek-antek Jepang termasuk para pamong desa ditembak, namun sebagian besar karena di sembelih dan mayat-mayatnya di buang di sungai Citarum. Di dalam buku ini juga menceritakan mengenai Desa Rawagede yang pernah dijadikan ibu kota Kecamatan Rawamerta. Pada tanggal 9 Desember 1949, desa ini menjadi tempat pembantaian masal penduduk laki-laki dan hanya meninggalkan penduduk wanita. Berdasarkan catatan desa setempat,sekitar 431 penduduk sipil yang tidak berdosa menjadi korban kebiadaban pasukan tentara Belanda. Dalam keadaan ketakutan, penduduk laki-laki dewasa dikumpulkan dalam kelompokkelompok yang lebih kecil. Mereka diperintahkan berjongkok membelakangi tentara Belanda dengan kedua tangan diletakkan di atas kepala masing-masing. Eksekusi demi eksekusi berlangsung dari satu tempat ke tempat yang lain. Bahkan kereta api “trem” dari Rengasdengklok yang berhenti di stasiun Rawagede, seluruh penumpang laki -laki dewasanya diperintahkan turun dan dibantai. Hanya sebagian saja korban peristiwa itu yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Sampurna Raga. Sebagian lagi jenazahnya berserakan, bahkan tidak sempat dikuburkan karena hanyut di kali.
Pembantaian ini terjadi karena pihak Belanda mencari s eorang pejuang lokal yang bersembunyi di daerah Rawagede sebagai salah satu basis gerilyanya, pejuang itu bernama Lukas Kustarjo. Karena sering melakukan penyergapan, kepalanya dihargai 10.000 gulden baik dalam keadaan hidup maupun mati. Tetepi karena perlindungan rakyat, ia selalu berhasil meloloskan diri. Lukas Kustarjo sendiri meninggal di usia 76 tahun, pada tanggal 8 januari 1997. Di Rengasdengklok juga terdapat etnis Tionghoa, tidak diketahui pasti sejak kapan masyarakat Tionghoa ini masuk dan menetap di Rengasdengklok. Mereka hidup sebagai pedagang dan menempati bangunan strategis di sisi jalan raya. Peristiwa 16 Agustus 1945 yang terjadi di Rengasdengklok bukanlah peristiwa yang mudah untuk dilupakan. Oleh karena itu dibangunlah “Monumen Rengasdengklok” sebagai cerminan kebulatan tekad bangsa Indonesia sebelum terjadinya pembacaan teks proklamasi pada 17 Agustus 1945. Keempat tangan itu menurut penciptanya, melambangkan empat kekuatan dari empat penjuru mata angin yang bersatu, sehingga mampu menciptakan kekuatan dahsyat. Kekuatan itu adalah semangat Bangsa Indonesia dari seluruh pelosok Tanah Air untuk memerdekakan diri dari penjajahan. Selain Monumen Rengasdengklok, juga terdapat Tugu Kebulatan Tekad, Hasil Gotong Royong Masyarakat. Tugu ini terletak di atas lahan yang sebelumnya tangsi (chudan) Rengasdengklok. Bentuk bangunan tugu terdiri dari lantai yang bertingkat dengan badan tugu dan puncak tugu berupa kepalan tangan kiri yang mengandung makna, tangan kanan siaga memegang senjata dan tangan kiri melambangkan tekad yang kuat mempertahankan kemerdekaan saat mamekikkan “Merdeka”. Jauh sebelum euforia pemekaran wilayah yang mengusung pembentukan provinsi, kota atau kabupaten bermunculan, wacana pemekaran Kabupaten Karawang seti daknya sudah mengemuka sejak menjelang akhir tahun 1980-an. Bahkan gagasan itu menjadi tajam lagi setelah Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat menetapkan Pola Induk Pengembangan Wilayah Jangka Panjang (25-30 Tahun).
Rengasdengklok : Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945 Sumber
http://www.karawanginfo.com/?p=5327 Judul buku Penulis Penerbit Tahun Terbit Tebal
: Rengasdengklok Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945 : Her Suganda : Kompas, :Agustus 2009 : xxxvii + 241 halaman
Buku kajian tentang Karawang tidak pernah dibuat, bahkan oleh Pemerintah Kabupaten Karawang sekalipun. Untung saja, ada www.karawanginfo.com. Upaya Karawang Info menyajikan Karawang dengan segala potensinya patut mendapatkan apresiasi. Sebagai orang Karawang, saya sangat bangga ketika buku berjudul Rengasdengklok Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945 ini menghiasi 6toko-toko buku ternama. Siapa yang tidak mengenal Rengasdengklok? Ketenarannnya bahkan melampaui Karawang. Ya, Rengasdengklok populer karena adanya peristiwa bersejarah tanggal 16 Agustus 1945, sehari sebelum diproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Buku yang sampulnya bergambar Monumen Suroto Kunto ini memokuskan perhatian pada rangkaian peristiwa yang terjadi di Rengasdengklok sehari sebelum proklamasi kemerdekaan. Meskipun peristiwa itu hanyalah merupakan bagian dari riwayat daerah ini. Rengasdengklok, suatu kota kecil di Kabupaten Karawang selalu menjadi bahan pembicaraan menarik, terutama pada setiap menjelang HUT RI. Tepat sehari sebelum proklamasi, para pemuda dan anggota PETA membawa Bung Karno dan Bung Hatta disertai Ibu Fatmawati dan Guntur Soekarnoputra yang masih bayi ke kota kecil ini. Padahal, pada hari yang sama Bung Karno dan Bung Hatta rencananya akan memimpin rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Kehadiran kedua pemimpin Bangsa Indonesia di Rengasdengklok menjadi lebih menarik karena adanya satu peristiwa unik lainnya. Pada Kamis tanggal 16 Agustus 1945 itu, di halaman pendopo kawedanan berlangsung upacara penurunan Bendera Jepang Hinamaru, yang diikuti penaikan Sang Saka Merah Putih. Peristiwa itu dilanjutkan dengan pernyataan kemerdekaan oleh camat setempat. Di sinilah kemudian bisa disebut bahwa peristiwa Rengasdengklok 16 Agustus 1945 sebetulnya membalik sejarah nasional 180 derajat! Bila skenario awal tetap dijalankan, Indonesia akan memperoleh kemerdekaan yang sudah dipersiapkan bersama-sama dengan Jepang. Pembentukan lembaga seperti Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan PPKI merupakan rangkaian dari proses tersebut.
Selain menguak peristiwa Rengasdengklok, buku ini juga mengungkap peristiwa lain yang langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan proklamasi dan revolusi kemerdekaan yang pecah setelah itu, antara lain peristiwa penculikan Letkol Suroto Kunto yang didampingi Mayor Adel Sofyan, Kopral Muhayar dan Prajurit Murod sepulang melakukan perundingan dengan Dewan Pimpinan Laskar Rakyat Djakarta Raya (LRDR) di Bekasi. Namun sekembalinya dari berunding keempatnya diculik di daerah Warungbambu, sebuah daerah yang terletak di sisi jalan raya Karawang-Cikampek. Keempatnya dinyatakan hilang. Tepat di mana ditemukan mobil sedan yang pernah ditumpangi Letkol Suroto Kunto dan stafnya, kemudian didirikan tugu peringatan Suroto Kunto. Peristiwa lainnya yaitu pembantaian ratusan warga Desa Rawagede, tetangga Rengasdengklok oleh pasukan Belanda pada 9 Desember 1947. Dalam peristiwa ini muncul nama pejuang lokal, seperti Kapten Lukas Kustarjo. Tak kalah menarik, buku ini juga mengulas huru-hara di Rengasdengklok tanggal 30 Januari 1997 yang menyebabkan kota kecil Rengasdengklok luluh lantak, juga membahas nasib Monumen Rengasdengklok dan sebutan predikat Lumbung Padi untuk Karawang. Saya merekomendasikan agar warga Karawang membaca buku ini. Mudah-mudahan perpustakaan Pemerintah Kabupaten Karawang sudah mengoleksi buku ini sehingga warga Karawang dengan mudah dapat mengaksesnya.
PERISTIWA RENGASDENGKLOK
Sumber : http://pikirankomentator.blogspot.co.id/2018/02/resensi-buku-peristiwa-rengasdengklok.html JUDUL BUKU PENERBIT PENULIS HALAMAN
: PERISTIWA RENGASDENGKLOK : PT. Kompas Media Nusantara : Hersuganda : 242 Halaman
SINOPSIS Peristiwa Rengasdengklok terjadi dikarenakan adanya perbedaan pendapat antara golongan muda dan tua tentang masalah kapan dilaksanakannya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kejadian tersebut berlangsung tepatnya pada tanggal 16 Agustus 1945. Golongan muda membawa Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta ke rengasdengklok dengan tujuan untuk mengamankan keduanya dari intervensi pihak luar. Daaerah Rengasdengklok dipilih karena menurut perhitungan militer, tempat tersebut jauh dari jalan raya Jakarta-Cirebon. Di samping itu, mereka dengan mudah dapat mengawasi tentara Jepang yang hendak datang ke Rengasdengklok dari arah Bandung maupun Jakarta. Kronologi Peristiwa Rengasdengklok
Soekarno-Hatta berada di Rengasdengklok selama satu hari penuh. Usaha dan rencana para pemuda untuk menekan kedua pemimpin bangsa Indonesia itu agar cepat-cepat memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa campur tangan tentara Jepang tidak dapat dilaksanakan. Dalam peristiwa Rengasdengklok tersebut tampaknya kedua pemimpin itu mempunyai wibawa yang besar sehingga para pemuda merasa segan untuk mendekatinya, apalagi melakukan penekanan. Namun, melalui pembicaraan antara Shodanco Singgih dengan Soekarno, menyatakan bahwa Soekarno bersedia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia setelah kembali ke Jakarta. Berdasarkan pernyataan Soekarno itu, pada tengah hari Shodanco Singgih kembali ke Jakarta untuk menyampaikan berita proklamasi kemerdekaan yang akan disampaikan oleh Soekarno kepada kawan-kawannya dan para pemimpin pemuda. Sementara itu, di Jakarta sedang terjadi perundingan antara Achmad Subardjo (mewakili golongan tua) dengan Wikana (mewakili golongan muda). Dari perundingan itu tercapai kata sepakat, bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia harus dilaksanakan di Jakarta. Di samping itu, Laksamana Tadashi Maeda mengizinkan rumah kediamannya dijadikan sebagai tempat perundingan dan bahkan ia bersedia menjamin keselamatan para pemimpin bangsa Indonesia itu.
Akhir Peristiwa Rengasdengklok
Berdasarkan kesepakatan antara golongan pemuda dengan Laksamana Tadashi Maeda itu, Jusuf Kunto bersedia mengantarkan Achmad Subardjo dan sekretaris pribadinya pergi menjemput Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Sebelum berangkat ke Rengasdengidok, Achmad Subardjo memberikan jaminan dengan taruhan nyawanya bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia akan dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 1945, selambatlambatnya pukul 12.00 WIB. Dengan jaminan itu, komandan kompi Peta Cudanco Subeno bersedia melepas Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta beserta rombongan untuk kembali ke Jakarta. Rombongan tersebut tiba di Jakarta pada pukul 17.30 WIB. Itulah sejarah singkat peristiwa Rengasdengklok yang terjadi sebelum proklamasi kemerdekaan
KELEBIHAN BUKU :
(1) Pengumpulan data dalam sejarah lisan dilakukan dengan komunikasi dua arah sehingga memungkinkan sejarawan dapat menanyakan langsung bagian yang kurang jelas kepada narasumber. (2) Penulisan sejarah menjadi lebih demokratis karena memungkinkan sejarawan untuk menggali informasi dari semua golongan masyarakat. (3) Melengkapi kekurangan data atau informasi yang belum termuat dalam dokumen. Penelitian sejarah lisan yang dipadukan dengan sumber tertulis dianggap dapat melengkapi kekurangan sumber-sumber sejarah selama ini. KELEMAHAN BUKU :
(1) Terbatasnya daya ingat seorang pelaku atau saksi sejarah terhadap suatu peristiwa. (2) Subjektivitas dalam penulisan sejarah sangat tinggi. Dalam hal ini perasaan keakuan dari seorang saksi dari seorang pelaku sejarah yang cenderung memperbesar peranannya dan menutupi kekurangannya sering muncul dalam proses wawancara. Selain itu, subjektivitas juga terjadi karena sudut pandang dari masing-masing pelaku dan saksi sejarah terhadap suatu peristiwa sering kali berbeda.
Rengasdengklok : Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945 Sumber http://arsip.tembi.net/bale-dokumentasi-resensi-buku/rengasdengklok-revolusi-dan-peristiwa16-agustus-1945
Judul
: Rengasdengklok. Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945 Penulis : Her Suganda Penerbit : Kompas, 2009, Jakarta Bahasa : Indonesia Jumlah halaman : xxxvii + 241
Mengapa Bung Karno dan Bung Hatta dibawa ke sana, bukan ke daerah lain. Mengapa camat Rengasdengklok diperintahkan oleh PETA untuk mengibarkan Merah Putih dan menyatakan kemerdekaan, sebelum Bung Karno dan Bung Hatta menyatakan kemerdekaan.
Rengasdengklok adalah kota kecil di wilayah Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Di kota inilah para pemuda dan anggota pasukan Pembela Tanah Air (PETA) “menculik” Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945. Mereka mendesak Bung Karno dan Bung Hatta agar proklamasi kemerdekaan segera dilaksanakan. Pada Kamis, 16 Agustus 1945 itu pula di halaman pendopo kawedanan berlangsung upacara penurunan bendera Jepang, Hinomaru. Setelah itu Sang Saka Merah Putih dikibarkan. Peristiwa itu dilanjutkan dengan pernyataan kemerdekaan oleh camat setempat, Soejono Hadipranoto. Kedua peristiwa tersebut adalah cerminan dinamika, sikap dan semangat para pemuda yang berkobar-kobar. Juga merupakan mata rantai terhadap peristiwa sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia yaitu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Buku ini mengulas dengan rinci peristiwa tersebut. Mengapa Bung Karno dan Bung Hatta dibawa ke sana, bukan ke daerah lain.
Mengapa camat Rengasdengklok diperintahkan oleh PETA untuk mengibarkan Merah Putih dan menyatakan kemerdekaan, sebelum Bung Karno dan Bung Hatta menyatakan kemerdekaan. Selain hal-hal di atas Rengasdeklok juga memiliki sejarah lokal yang sangat menarik. Misal “Gedong Jangkung” tempat para pejuang atau rakyat disiksa, kisah hilangnya Letkol Suroto Kunto pada November 1946, peristiwa berdarah Rawagede Desember 1947 sampai peristiwa huru-hara 30 Januari 1997.